Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Ikan Kerapu Macan
Ikan kerapu yang termasuk kedalam famili Serranidae, sub famili
Epinephelinae dan secara umum dikenal sebagai groupers, hinds dan sea basses
yang terdiri dari 15 genus yang mencakup 159 spesies (Heemstra dan Randal
1993). Klasifikasi kerapu macan menurut Heemstra dan Randal 1993 (Gambar 2):
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrate
Kelas : Teleostei
Sub Kelas : Osteicanthopterygii (Actinopterygii)
Ordo : Perciforma
Sub Ordo : Perciodea
Famili : Serranidae
Genus : Epinephelus
Spesies : Epinephelus fuscoguttatus
Gambar 2 Ikan kerapu macan (Sumber: Heemstra dan Randal 1993)
Ikan kerapu memiliki bentuk badan yang memanjang pipih (compressed)
atau agak membulat, mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke
atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi dengan gigi geratan berderet dua baris,
lancip dan kuat serta ujung luar bagian depan adalah gigi-gigi yang terbesar. Sirip
ekor umumnya membulat (rounded). Sirip punggung memanjang dimana bagian
jari-jarinya yang keras berjumlah kurang lebih sama dengan jari-jari lunaknya,
8
jari-jari sirip yang berjumlah 6-8 buah, sedangkan sirip dubur (anal fin) berjumlah
3 buah. Jari-jari sirip ekor berjumlah 15-17 dan bercabang dengan jumlah 13-15.
Warna dasar sawo matang. Perut bagian bawah agak keputihan dan pada
badannya terdapat titik warna merah kecoklatan serta tampak pula 4-6 baris warna
gelap yang melintang hingga ke ekornya. Badannya ditutupi oleh sisik kecil,
mengkilat dan memiliki ciri-ciri loreng.
2.2 Tingkah Laku Makan Ikan Kerapu Macan
Heemstra dan Randal (1993) menyatakan ikan kerapu merupakan ikan
predator pemangsa ikan-ikan lain, krustase, dan cephalopoda.
Ikan ini
bersembunyi diantara terumbu karang dan bebatuan untuk mendapatkan mangsa.
Beberapa jenis kerapu seperti Paranthias spp dan Epinephelus undulus
merupakan pemakan plankton yang memiliki tapis insang yang panjang dan rapat.
Sebagian besar jenis ikan predator (misalnya Serranidae) memiliki puncak
aktivitas mencari makan pada waktu senja dan subuh hari (Gunarso 1985).
Ikan kerapu merupakan organisme yang bersifat nokturnal. Pada malam hari
aktif bergerak di kolom perairan untuk mencari makan sedangkan pada siang hari
lebih bersembunyi di liang-liang karang. Ikan kerapu memiliki kebiasaan makan
pada siang hari dan malam hari, namun lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari
(Sudjiharno et al. 1989; Maryati 2004). Menurut Anonim (2004), kerapu termasuk
ikan jenis ikan yang aktif diantara siang dan malam hari (crepuscular).
Kerapu biasa mencari makan dengan menyergap mangsa dari tempat
persembunyiannya. Kerapu bersifat kanibalisme jika kekurangan makanan.
Kanibalisme biasanya mulai terjadi pada larva umur 30 hari, pada saat itu ikan
cenderung berkumpul di suatu tempat dengan kepadatan tertinggi (Maryati 2004)
Kerapu termasuk jenis karnivora, kerapu dewasa memakan ikan-ikan kecil,
kepiting, udang-udangan, sedangkan pada saat larva memangsa larva moluska
(trokofor), rotifer, mikro krustase, kopepoda dan zooplankton. Sebagai ikan
karnivor, kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di kolom air
(Nybakken 1988).
9
2.3 Organ Penciuman Ikan (Olfactory Organ)
Dalam penerimaan rangsangan penciuman pada ikan seperti hewan lainnya
yang berperan adalah olfactory bulb (Hoar dan Randall 1971). Secara umum
olfaktori ikan serupa dengan organ nasal manusia, namun lubang/cuping hidung
pada ikan jaring terbuka ke rongga mulut. Dasar bentuk hidung dibentuk oleh
epitelium penciuman atau mukosa berupa lipatan/lamella berbentuk ros. Susunan
bentuk dan tingkatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap spesies
(Fujaya 2004).
Organ penciuman ikan sangat berbeda dengan hewan lain, organ ini
menggambarkan tingkat perkembangan dan habitat ekologis. Menurut Evans
(1940) cyclostome pada ikan adalah monorhinal, yaitu mempunyai satu organ
penciuman dengan satu lubang hidung. Pada spesies ikan teleostei antara organ
pernapasan dan organ penciuman tidak berhubungan langsung. Selanjutnya
Brown (1957) juga menyatakan bahwa kelompok ikan bertulang keras (teleost),
kedua lubang olfaktori selalu berada di dorso-anterior bagian depan kepala ikan
dan tidak berhubungan langsung dengan laju pernapasan. Selama ikan berenang,
terutama pada saat air masuk ke mulut pada saat bernapas, air tersebut akan keluar
melalui masing-masing lubang organ penciuman (olfactory sacs) (Brown 1957).
Secara umum olfactory serupa dengan organ nasal untuk penciuman
manusia.
Akan tetapi dari struktur bentuk dan sistematika fungsinya ada
perbedaan antara manusia dan ikan. Lubang atau cuping hidung pada ikan jarang
terbuka ke dalam rongga mulut. Dasar dari lubang hidung dibentuk oleh epitelium
penciuman atau mukosa berupa lipatan/lamella berbentuk ros (Hara 1993).
Susunan bentuk dan lipatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap
spesies (Gambar 3).
10
Keterangan :
(a) Posisi cuping hidung teleostei, (b) epithelium olfactory; (vo)
hidung depan; (ho) hidung belakang; (H) kulit yang menahan
pergerakan air masuk ke dalam hidung depan; (F) lamella
Gambar 3 Bentuk hidung ikan dan bagiannya (Sumber: Harder 1975
diacu dalam Fujaya 2004)
Pada sebagian besar hewan bertulang belakang, letak olfactory bulb
berdekatan dengan dinding rongga hidung dan bidang olfaktorinya pendek. Pada
jenis ikan teleost (bertulang keras), letak olfactory bulb dipisahkan dari
telencephalon oleh bidang olfactoy yang panjang (Hoar dan Randall 1970)
(Gambar 4)
Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahan organik maupun anorganik
yang dikenal melalui indera penciuman (Syandri 1988). Selanjutnya dijelaskan
pula bahwa ikan dapat mengenal bau mangsanya, predator dan spesies sendiri.
Bau-bau tersebut melarut dalam air dan merangsang reseptor pada organ
penciuman (olfactory organ) ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan
tersebut.
Organ penciuman sebagai alat bantu sensor untuk mengetahui banyaknya
makanan yang tersedia di sekitar habitatnya (Wudianto et al. 1993). Lebih lanjut
dijelaskan pula oleh Gunarso (1985) bahwa organ penciuman merupakan salah
satu organ dari organ-organ penting lainnya pada tubuh ikan yang berhubungan
untuk mempelajari tingkah laku alaminya (natural behaviour).
11
Gambar 4 Bagian otak dorsal (gambar atas), lateral (gambar tengah), longitudinal
(gambar bawah). Keterangan : I: urat saraf penciuman; II: urat saraf
penglihatan; Ac L: Acoustic Lobe dari medula oblongata; Cerb:
Cerebellum; Fac L: Facial Lobe dari medula oblongata; OB: Olfactory
Bulb; OT: Optic Tectum; Sp C: Spinal Cord (urat saraf tulang
belakang); Teg: Tegmentum; Tel: Telencephalon; Thal: Thalamus; Vag
L Med: Vagal Lobe dari medula oblongata; VC: Valvula cerebelli
(Sumber: Hoar dan Randall 1970)
Reseptor pembau mendeteksi rangsangan kimia dalam bentuk signal elektrik
yang berasal dari gerakan silia, disebabkan oleh arus yang lemah yang melewati
lamella, selanjutnya informasi tersebut diteruskan ke sistem saraf pusat (Fujaya
2004). Brown (1957) menyatakan bahwa olfactory bulb dihubungkan oleh otak
bagian depan (forebrain) oleh urat syaraf (tangkai olfaktori) yang berukuran
panjang sekitar 2 cm (Gambar 5). Rangsangan kimiawi diteruskan ke otak oleh
neuron reseptor penciuman melalui serangkaian molekuler yang teratur,
membraneous, dan neural events. Proses tersebut dimulai dengan adanya bau
yang mengenai permukaan mukosa olfaktori (Hara 1993).
12
Gambar 5 Sistem penciuman (olfactory) pada ikan (Sumber: Schultz 2004)
Ikan mendeteksi adanya reseptor pembau dalam bentuk stimuli kimia.
Stimuli tersebut melalui lubang hidung (nostril) dan dirubah dalam bentuk signal
elektrik yang berasal dari gerakan silia yang kemudian melewati olfactory lamella
yang berbentuk rosette (bunga mawar). Sinyal yang dihasilkan pada olfactory
lamella diteruskan pada olfactory bulb dan olfactory tract yang kemudian
diterjemahkan pada otak telencephalon (Gambar 6).
Keterangan:
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
Olfactory Bulb (OB),
Olfactory Tracts (OT),
Granule Cell Layer (GCL);
Glomerular Layer (GL);
Mitral Cell Layer (MCL);
Medial Olfactory Tract (MOT);
Median Raphe (MR);
Olfactory Lamellae (OL);
Olfactory Nerve (ON);
Olfactory Nerve Layer (ONL);
Telencephalon (Tel).
Gambar 6 Struktur organ penciuman pada ikan mulai dari organ lamella hingga
otak bagian telencephalon (di lihat dari posisi dorsal) (Sumber:
Mitamura et al. 2005)
Ikan
mendeteksi
stimuli
kimia
melalui
sedikitnya
dua
saluran
chemoreception yang berbeda, yaitu: olfaction (bau) dan gustory (rasa).
Pembedaan antara dua organ tersebut menurut perkiraan tidaklah selalu pada
13
semua hewan bertulang belakang, yang sebagian besar menggunakan organ
olfaction dan perasa. Olfaction digambarkan sebagai pendeteksian melalui hidung
(air-borne molekul) yang berasal dari suatu jarak atau suatu pengertian jarak yang
memungkinkan ikan untuk menempatkan dan menemukan makanan atau
pasangan seksual atau untuk menghindari dari musuh pada suatu jarak yang lebih
jauh (Hansen dan Reutter 2004).
Fungsi organ olfactory (penciuman) pada ikan merupakan salah satu sistem
reseptor kimia yang beradaptasi terhadap substansi kimia spesifik lingkungan,
baik berupa bahan organik maupun anorganik. Dalam berbagai pola tingkah laku
ikan, fungsi tambahan dari olfactory antara lain homing, migrasi, sosial, seksual
dan perilaku yang berkenaan dengan maturity (Hara 1993).
Menurut Syandri (1988), Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahanbahan organik maupun anorganik yang dapat dikenal melalui indera penciuman.
Ikan dapat mengenal bau mangsanya, predator, dan spesies sendiri. Bau-bau
melarut didalam air dan merangsang reseptor pada organ olfaktoris ikan, sehingga
menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut. Percobaan secara fisiologis yang
dilakukan oleh Syandri (1988) membuktikan bahwa:
(1) Apabila organ olfaktori pada ikan hiu dirusak, maka kemampuan ikan akan
hilang untuk menangkap mangsanya.
(2) Apabila mata ikan ini dirusak sedangkan olfaktoris masih tetap baik, maka
ikan hiu masih dapat menangkap dengan cepat mangsanya (mengenai lokasi
mangsanya)
(3) Pada konsentrasi 0,0001 ppm ikan hiu sensitif terhadap bau.
(4) Pada manusia bau yang sangat sensitif bagi ikan hiu adalah darah dan bukan
bau badan.
Percobaan lain yang dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan
antara tingkah laku ikan dengan daya penciuman dihubungkan dengan migrasi
tahunan maupun migrasi selama fase memijah. Percobaan yang dilakukan sebagai
berikut:
(1) Apabila organ visual pada ikan salmon yang sedang memijah dirusak, maka
ikan tersebut dapat kembali ke tempat lokasi semula walaupun telah
mengalami migrasi berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
14
(2) Apabila organ penciuman dirusak, ikan salmon yang akan memijah tidak
dapat lagi ke tempat semula.
(3) Percobaan yang dilakukan di Washington University dengan menggunakan
elektro encephalografi yaitu alat pencatat gelombang otak, ternyata ikan
salmon mempunyai reaksi yang baik terhadap air yang berasal dari syarafnya.
Dari percobaan-percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa indera
penciuman umumnya adalah yang paling sensitif bagi ikan. Indera penciuman
inilah yang membantu ikan salmon menemukan kembali ke tempat asalnya.
2.4 Umpan
Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan berupa fisik maupun
kimiawi yang dapat memberikan respons ikan tertentu dalam tujuan penangkapan
ikan (Hendrotomo 1989). Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan
merupakan fungsi umpan sebagai pemikat (attractor). Penggunaan atraktor umpan
dalam pengoperasian bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Berdasarkan kondisi
umpan dapat dibedakan ke dalam umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead
bait), sedangkan menurut asalnya umpan dapat dibedakan ke dalam umpan alami
(natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Leksono 1983).
Menurut Leksono (1983), beberapa pertimbangan dalam menentukan
alternatif terhadap jenis ikan sebagai umpan yaitu:
(1)
Umpan harus dapat digunakan pada alat tangkap yang telah ada,
(2)
Umpan dapat memenuhi selera ikan yang menjadi tujuan utama
penangkapan,
(3)
Umpan mudah didapat dalam jumlah banyak serta kontinuitas yang baik,
(4)
Lokasi sumberdaya relatif dekat serta mudah dalam penanganannya, dan
(5)
Biaya Pengadaan relatif murah.
Djatikusumo (1975) menyatakan bahwa umpan yang baik harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
(1)
Tahan lama (tidak cepat busuk),
(2)
Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik
bagi ikan yang menjadi tujuan penangkapan,
(3)
Mempunyai bau yang spesifik untuk merangsang ikan datang,
15
(4)
Harga terjangkau,
(5)
Mempunyai ukuran memadai, dan
(6)
Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
Kandungan kimia yang terkandung dalam umpan merupakan salah satu
faktor penentu dalam proses penangkapan ikan dengan menggunakan bubu.
Perbedaan jenis umpan dapat menyebabkan perbedaan hasil tangkapan pada bubu,
hal tersebut disebabkan karena bau yang dikeluarkan oleh kandungan kimia dari
umpan tersebut. Bau yang dikeluarkan oleh suatu umpan berdasarkan kandungan
asam amino yang merupakan bagian dari rangkaian protein (Taibin 1984 diacu
dalam Syandri 1988).
Reseptor penciuman (olfactory) pada ikan memiliki respons yang tinggi
pada asam amino, tetapi asam amino relatif tidak efektif untuk respons pada
indera perasa (gustatory).
Kadar protein dan lemak yang tinggi akan
menimbulkan bau yang menyengat dari umpan (Caprio 1982).
Kandungan alanin, glisin dan prolin pada asam amino yang merupakan
komponen utama perangsang nafsu makan ikan semakin menurun (Fujaya 2004),
sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan stimulator penciuman yang akan
berakibat menurunnya respons makan pada ikan (Caprio 1982).
Pada jack mackerel (Trachurus japonica), red sea bream (Pagrus major),
dan rainbow trout (Oncohynchus mykiss), campuran tirosin, phenilalanin, lisin,
dan histidin serta triptophan dan valin, diidentifikasi sebagai perangsang nafsu
makan (Fujaya 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari kelompok nukleotide,
inosine-5’-monophosphate (IMP), inosine, adenosine-5’-diphosphate (ADP),
guaninosine-5’-monophosphate (GNP), dan uridine-5’-monophospate (UMP) juga
diidentifkasi sebagai perangsang nafsu makan pada ikan.
2.5 Unit Penangkapan Bubu
Bubu merupakan alat tangkap yang termasuk ke dalam klasifikasi perangkap
(traps), ikan dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan
tersebut akan sukar keluar karena terhalang pintu masuknya yang berbentuk
corong (non-return devices) (Brandt 1984). Prinsip dasar dari semua jenis bubu
16
(pots) dan perangkap (traps) adalah menarik keinginan ikan untuk masuk ke
dalam bubu dengan menyediakan pintu yang mudah dimasuki ikan dan sulit untuk
keluar (Sainsbury 1996).
Bubu adalah alat penangkap ikan yang didesain untuk menangkap berbagai
jenis ikan dan crustacea, dengan berbagai bentuk dan terbuat dari berbagai bahan.
Bubu memiliki satu atau lebih bukaan mulut. Bubu biasanya dioperasikan di
dasar perairan dengan sistem tunggal maupun rawai. Dalam pengoperasiannya
bisa diberi umpan atau tidak. Bubu dilengkapi dengan tali pelampung untuk
menghubungkan
bubu
dengan
pelampung.
Pelampung
berfungsi
untuk
menunjukkan posisi pemasangan bubu (Nedelec dan Prado 1990)
Secara umum bubu terdiri dari bagian-bagian rangka (frame) badan (body),
mulut (funnel) atau ijeb dan pintu masuk. Rangka biasanya terbuat dari bahan
yang kuat seperti besi, besi behel, bambu atau kayu yang bentuknya disesuaikan
dengan
konstruksi
bubu
yang
diinginkan.
Rangka
berfungsi
untuk
mempertahankan bentuk bubu selama pengoperasian di laut. Badan bubu berupa
rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu merupakan pintu dimana
ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar, umumnya berbentuk seperti corong.
Pintu bubu untuk mengambil hasil tangkapan dari dalam badan bubu (Subani dan
Barus 1989).
Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu pada umumnya hampir sama,
yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan memiliki
kelimpahan ikan target tangkapan yang tinggi (Martasuganda 2003).
Lama
perendaman bubu di perairan, ada yang hanya direndam beberapa jam, ada yang
direndam satu malam, ada juga yang direndam sampai tiga hari tiga malam dan
bahkan ada yang direndam sampai tujuh hari tujuh malam. Bubu dioperasikan di
atas dasar perairan dengan umpan sebagai pemikat mangsa (Martasuganda 2003).
Prinsip pengoperasian bubu yaitu dipasang secara pasif menghadang dan
merangkap ikan. Hal-hal yang membuat ikan tertarik pada bubu khususnya pada
bubu yang tidak menggunakan umpan antara lain (Ferno dan Olsen 1994):
(1)
Pergerakan acak ikan,
(2)
Menganggap bubu sebagai tempat istirahat dan berlindung,
(3)
Tingkah laku sosial interspesies,
17
(4)
Pemangsaan, dan
(5)
Mencari pasangan (reproduksi).
Martasuganda (2003) menambahkan bahwa secara umum ikan masuk ke
dalam bubu karena faktor-faktor berikut:
(1)
Mencari makan,
(2)
Mencari tempat berlindung,
(3)
Mencari tempat beristirahat, dan
(4)
Sifat thigmotaxis ikan.
Metode pengoperasian bubu ada dua cara yaitu sistem tunggal dan sistem
rawai. Masing-masing cara disesuaikan dengan kedalaman pemasangan, jarak
pemasangan, dan lokasi pemasangan. Adapun cara pemasangan bubu secara
umum ada 4 tahap yaitu sebagai berikut (Sainsbury 1996):
(1)
Pemasangan umpan
Pada perikanan bubu yang menggunakan umpan, sebelum bubu dipasang di
perairan, umpan harus dipasang terlebih dahulu dalan bubu. Posisi umpan
harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu menarik perhatian ikan
baik dari bau maupun bentuknya. Biasanya umpan dipasang di tengahtengah bubu, digantungkan dengan tali atau tempat umpan.
(2)
Pemasangan bubu (setting)
Bubu yang telah siap, satu demi satu diturunkan baik dengan menggunakan
tangan maupun mechanical line hauler.
Sebagai penanda posisi
pemasangan pada bubu dilengkapi dengan pelampung untuk memudahkan
nelayan menemukan kembali bubunya.
(3)
Perendaman bubu (soaking)
Lama perendaman bubu bervariasi tergantung dari jenis dan tingkah laku
dari ikan yang ditangkap. Lama perendaman bubu berkisar beberapa jam
sampai beberapa hari.
(4)
Pengangkatan bubu (hauling)
Proses hauling pada bubu dapat dilakukan dengan tangan atau alat bantu
(disesuaikan
dengan
ukuran
bubu
dan
kedalaman
pemasangan).
Penggunaan alat bantu akan mempercepat dan mengefisienkan tenaga
18
selama proses hauling. Setelah bubu sampai di atas kapal, ikan dikeluarkan
dan dilakukan penanganan.
Hasil tangkapan bubu merupakan ikan berkualitas tinggi dan dapat
dipasarkan dalam keadaan hidup (Martasuganda 2003).
Ikan yang banyak
tertangkap oleh bubu adalah ikan kue (Caranx spp), beronang (Siganus spp),
kerapu (Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), ekor
kuning (Caesio spp), ikan kaji (Diagramma spp) dan lencam (Lethrinus spp)
(Subani dan Barus 1988).
2.6 Efektivitas Alat Tangkap Bubu
Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu
tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan
dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen
(Gibson et al. 1990). Efektivitas dapat pula diartikan perbandingan antara hasil
dengan tujuan dalam persen, dimana apabila nilai efektivitasnya di atas 100%
maka dapat dikatakan cukup efektif, sedangkan apabila nilai efektivitasnya di
bawah 100% dapat dikatakan kurang efektif. Dengan kata lain bahwa efektivitas
sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan
tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen.
Efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk
mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan.
Nilai efektivitas alat tangkap bagan motor (lift net) dapat dikategorikan tiga, yaitu:
apabila nilainya kurang dari 50% dapat dikatakan alat tangkap tersebut
efektivitasnya rendah, nilai 50% - 80% dikatakan alat tangkap yang cukup
efektivitasnya dan nilai 80% - 100% dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya
tinggi (Baskoro et al. 2006).
Menurut Fridman (1988) bahwa hasil tangkapan suatu alat tangkap
dipengaruhi efektivitas alat dan efisiensi cara operasi. Lebih lanjut dijelaskan
pula bahwa efektivitas alat tangkap secara umum tergantung pada faktor-faktor,
antara lain: parameter alat tangkap itu sendiri (rancang bangun dan konstruksi),
pola tingkah laku ikan, ketersediaan atau kelimpahan ikan dan kondisi
oseanografi.
Download