posisi al-`urf dalam struktur bangunan hukum islam

advertisement
Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam
POSISI AL-’URF DALAM STRUKTUR BANGUNAN
HUKUM ISLAM
Oleh : Rijal Mumazziq Zionis1
ABSTRAK
Dalam ushul fiqh terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat
(adat dapat menjadi pertimbangan hukum) atau al-‘adat shari’at
muhakkamat (adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah
tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan
variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat
bisa mempengaruhi materi hukum, secara proporsional. Hukum
Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal nonimplikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi
adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan
hukum Islam bersifat fleksibel. Karakter hukum Islam yang
akomodatif terhadap adat (tradisi) amat bersesuaian dengan fungsi
Islam sebagai agama universal (untuk seluruh dunia). ‚Wajah‛ Islam
pada berbagai masyarakat dunia tidaklah harus sama (monolitik).
Namun, keberagaman tersebut tetaplah dilingkupi oleh wihdat almanhaj (kesatuan manhaj) yaitu al-manhaj al-Nabawiy al-Muhammadiy.
Di sinilah, perlunya mempertimbangkan kembali posisi al-‘Adat
maupun al-’Urf dalam struktur bangunan hukum Islam.
Key Word: al-‘Urf, al-‘Adat, Hukum Islam
Pendahuluan
al-‘Adat dan al-‘Urf
Sebelum masuk dalam lingkup pembahasan al-‘Urf, terlebih dulu
kita bahas mengenai pengertian al-‘adat dan al-‘Urf, agar lebih fokus. Dalam
disiplin/literatur ilmu Usul Fiqh, pengertian adat (al-‘adat) dan al-’Urf
mempunyai peranan yang cukup signifikan. Kedua kata tersebut berasal
dari bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku.
Kata adat berasal dari kata ‘ad yang mempunyai derivasi kata al-‘adat yang
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah (STAIFAS) Kencong
Jember.
1
131
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
berarti sesuatu yang diulang-ulang (kebiasaan). Sedangkan ‘Urf berasal dari
kata‘araf yang mempunyai derivasi kata al-ma‘ruf yang berarti sesuatu yang
dikenal atau diketahui.2 Sedangkan Dalam pengertian lain al-’Urf adalah
segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi
kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau kaitannya
dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.
Sedangkan menurut ahli shara’, al-’Urf itu sendiri bermakna adat dengan
kata lain al-’Urf dan adat itu tidak ada perbedaan.
Al-’Urf tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli yang
dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan
sighat. Untuk al-’Urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling
pengertian terhadap pengertian al-walad, yang lafaz tersebut mutlak berarti
anak laki-laki dan bukan anak wanita. 3
Karena itu, menurut sebagian besar ulama, adat dan al-’Urf secara
terminologis tidak memiliki perbedaan prinsipil.4 Artinya perbedaan di
antara keduanya tidak mengandung perbedaan signifikan dengan
konsekwensi hukum yang berbeda pula. Misalnya dalam kitab fiqh
terdapat ungkapan haza thabit bi al-’Urf wa al’adat (ketentuan ini
berlandaskan al-’Urf dan al-‘adat), maka makna yang dimaksud keduanya
adalah sama. Penyebutan al-adat setelah kata al-’Urf berfungsi sebagai
penguat (ta’kid) saja, bukan kalimat tersendiri yang mengandung makna
berbeda (ta’sis).5
Secara garis besar ‘Urf terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, ‘Urf
sahih yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh semua umat manusia dan
tidak berlawanan dengan hukum shara‘ dan tidak menghalalkan sesuatu
yang haram serta tidak menegasikan kewajiban. Contoh, saling mengerti
manusia terhadap kontrak pemborongan atau saling mengerti tentang
pembagian mas kawin (al-mahar) kepada mas kawin yang didahulukan dan
diakhirkan.6
Kedua, al-‘adat fasid yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh
manusia dan berlawanan dengan hukum shara‘ serta menghalalkan sesuatu
yang haram dan menegasikan kewajiban. Contoh, saling mengerti manusia
terhadap sesuatu yang bertentangan dengan hukum shara’ seperti kontrak
manusia dalam perjudian dan lain-lain.7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001), 363.
Abdul Wahab Khalaf, Ilm Usul Fiqh, (Qahirah: Dar al-Qalam, tt), 88
4 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, 89
5 Abdul Karim Zaidan dalam al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, 155
6Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer
Iskandar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 131.
7 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, 131.
2
3
132
Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini
menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan al-’Urf
itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila
tidak terdapat nash syar’i atau lafad sarih (tegas) yang bertentangan
dengannya.
Tabel 1. Tabel perbandingan antara al-’Urf dengan al-’Adat
al-’Urf
al-‘a>dat
Adat memiliki makna yang lebih
sempit
Terdiri dari ‘Urf sahih dan fasid
Adat memiliki cakupan makna yang
lebih luas
Adat tanpa melihat apakah baik
atau buruk
Adat mencakup kebiasaan pribadi
‘Urf merupakan kebiasaan orang
banyak
Adat juga muncul dari sebab alami
Adat juga bisa muncul dari hawa
nafsu dan kerusakan akhlak
Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan al-’Urf memang
berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya,
istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan.
Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa
dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus
dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek
pekerjaan, sedangkan al-’Urf
lebih menekankan aspek pelakunya.
persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah
diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan
sesuai dengan karakter pelakunya.8
Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf.
Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf --yang sering disebut dalam alQur’an-- diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala
sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan ini merupakan
hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani, Rasulullah pernah
memberikan tuntunan agar manusia bertanya kepada hati nuraninya ketika
dihadapkan pada suatu persoalan (mengenai baik dan tidak baik). Beliau
juga pernah menyatakan bahwa keburukan atau dosa ialah sesuatu yang
membuat hati nurani menjadi gundah (tidak sreg).
Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya: khalista
& Kakilima Lirboyo, 2006), 276
8
133
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
Para ulama mendasarkan al-’Urf pada Surat al-A’raf ayat 199 :
ِ ِ ْ ‫ف و اع ِرض ع ِن‬
ِ
ِ
‫ي‬
َ ْ ْ َ ‫ُخذ الْ َع ْف ِو َو اْ ُم ْر بِالْعُْر‬
َ ْ ‫اْلَاهل‬
Artinya : ‚Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan
perintahkanlah dengan sesuatu yang baik dan berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh.‛ (QS. al-A’raf: 199)
Menurut al-Suyuti, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Yasin bin Isa alFadani, kata al-’Urf pada ayat di atas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau
adat. Ditegaskan lagi oleh Syaikh Yasin, adat yang dimaksudkan adalah
adat yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun pendapat ini
dianggap lemah oleh ulama lain. Sebab, jika al-’Urf dianggap sebagai adat
istiadat, maka sangat tidak selaras dengan asbab al-nuzul-nya, dimana ayat
ini diturunkan dalam konteks dakwah yang dilakukan Nabi kepada orangorang Arab yang berkarakter keras dan kasar, juga kepada orang-orang
yang lemah imannya. Dengan latar belakang seperti ini, al-’Urf yang tertera
pada ayat di atas bukanlah adat, melainkan metode dan etika dakwah yang
harus dilakukan oleh Nabi kepada mereka; yakni ajakan yang harus
dilakukan dengan cara yang baik dan lemah lembut. Ditambahkan oleh
Abdul Karim Zaidan bahwa al-’Urf yang dimaksud dalam ayat ini adalah
hal-hal yang telah diketahui nilai baiknya dan wajib dikerjakan (ma ‘urifa
husnuh wa wajaba fi’luh).9
Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah Swt. memerintahkan
kepada Rasulullah Saw. untuk memerintahkan kepada umatnya agar
mengikuti tradisinya.10 Sebagian ulama11 menyebutkan bahwa mayoritas
dari masalah-masalah furu'iyah terbentuk dari ayat ini. Di antara mereka
yaitu al-Qarafi yang mengibaratkan; "bahwa setiap apa-apa yang aku
saksikan dari sebuah adat telah memutuskan akan makna zahir dari ayat
tersebut kecuali jika disana terdapat suatu penjelasannya". 12
Dalam perkembangannya, al-’Urf kemudian secara general
digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al’Urf al-sahih}) dan tradisi buruk (al-’Urf al-fasid). Dalam konteks ini, tentu
saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang
baik. Arti ‚baik‛ disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu. Amr bi alma’ruf berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai
dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.
Periksa lebih lanjut pada ‘Abdul Karim Zaidan dalam al-Wajiz fi Usul al-Fiqh,
Muassasah al-Risalah, vol. IIX, 2001, 254
10 Ibnu ‘Abidin, Muraji' Sabiq, 113
11 Ibnu ‘Abidin, Muraji' Sabiq, 113
12 al-Qarafi, (al-Furuq) 3/149, Bairut: ‘Alimul-Kutub, tt.
9
134
Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam
Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan
manifestasi hati-hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi
lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan
yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi
pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu
masyarakat bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain. Sebagai
sebuah contoh, apabila al-Qur’an menyatakan ‚wa ‘asiru hunna bi al-ma’ruf
(Dan pergaulilah isteri-isteri kalian secara ma’ruf)‛, maka yang dimaksud
adalah tuntutan kepada para suami untuk memperlakukan isteri-isteri
mereka sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku dalam
masyarakat, yang mana nilai-nilai itu bisa jadi berbeda dengan yang ada
pada masyarakat lainnya. Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai
kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai wahyu (alQur’an dan Sunnah Nabi).
Bila merujuk pada fakta historis masa awal (pada masa Rasulullah
dan para sahabat), dalam tashri' al-Islam posisi al-’Urf menjadi faktor
penting dalam pembangunan Hukum Islam, bahkan menjadi pengiring
lahirnya wahyu al-Qur’an yang diturunkan melalui Muhammad Saw.
Namun demikian, sejak pasca sahabat dinamika ijtihad hukum di kalangan
umat Islam mulai mengurangi memasukkan al-’Urf sebagai sumber Hukum
Islam. Kalaulah para ulama menggunakan al-’Urf sebagai sumber Hukum
Islam, itu pun dengan syarat-syarat yang begitu rumit.
Dengan tingkat kerumitan itu, penulis membayangkan bahwa pada
saat itu baik al-Qur’an maupun as-Sunnah dipahami secara harfiah, rigid,
dan sangat normatif sesuai dengan ‚kepentingan‛–atau pemahaman–
penguasa pada masa itu. Al-Qur’an dan as-Sunnah– yang diyakini menjadi
landasan dan inspirasi tunggal rah}matan li al-'alamin – jika hanya dipahami
dengan menggunakan logika hukum positif. Pada tataran ini, maka yang
akan lahir bukanlah hukum-hukum yang berperikemanusiaan, melainkan
hukum-hukum yang tereduksi dan tidak kurang memiliki sentuhan
rah}matan li al-'alamin.
Sebagian para ulama telah menjadikan metodologi Hukum Islam dan
persyaratan diterimanya al-’Urf sebagai sesuatu yang suci setelah al-Qur’an.
Padahal al-’Urf pada dirinya merupakan fakta sosiologis, antropologis, serta
psikologis suatu masyarakat pada zamannya. Padanya pula terdapat nilainilai moral (moral values) yang sangat mungkin secara esensial mempunyai
makna serta maksud yang sama dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh
karena, beberapa persyaratan penggunaan al-’Urf yang ditawarkan oleh
para ulama fiqh maupun ulama usul fiqh, tidak selamanya harus menjadi
acuan utama. Selama antara teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah dengan
135
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
realitas al-’Urf mempunyai kesamaan makna dan maksud,13 maka
penghormatan terhadap al-’Urf sama seperti halnya penghormatan
terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Selanjutnya, dengan perkembangan dewasa ini banyak persoalan
yang harus dihadapi oleh umat Islam, baik secara individual maupun
kelompok. Kehadiran ulama yang mempunyai kepekaan antropologis dan
kecerdasan sosiologis sangat diharapkan. Karena hal itu dimungkinkan
menjadi faktor penting dalam menerima al-’Urf secara konseptual maupun
material. Karena al-’Urf itulah realitas kehidupan kekinian, oleh karenanya
solusi yang ditawarkannya pun sekurang-kurangnya sesuai dengan konsep
dan materi yang ada.
Tegasnya, ke depan peran al-’Urf sebagai sumber dalam
pembangunan Hukum Islam sangat signifikan. Munculnya persoalanpersoalan kontemporer seperti humanism, democratization, pluralism, gender
equality, cross-cultural, inter-religious faith, religious issues and science, dan
multiculturalism, tidak bisa diselesaikan dengan tanpa melibatkan al-'urf.
Langkah-langkah yang telah ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabat
dalam menggunakan al-’Urf sudah saatnya dihidupkan kembali jika Islam
tidak terlihat berwajah kaku dan statis. Berbekal al-’Urf --melalui sosioantropologis, fenomenologis, dan hermeneutis-- Islam harus senantiasa
melakukan negosiasi dalam merespon persoalan-persoalan yang terus
berkembang.
Tampaknya, dengan bekal kecerdasan dan kepekaan dalam
melakukan pembacaan terhadap al-’Urf visi dan orientasi Islam rah}matan li
al-'alamin bisa terus dikembangkan. Sebaliknya bila al-’Urf dianggap
sebagai suatu nilai dan ajaran yang tidak Islami, maka memungkinkan
mensejajarkan Islam sebagai ajaran kaum sofis yang tidak pernah
membumi. Dengan kata lain melalui pembacaan yang intensif terhadap al'urf, dimungkinkan Islam akan berwajah lembut dan penuh kasih menjadi
kenyataan.
al-’Urf : Dimensi Historis
Secara historis, selama Rasulullah hadir, sebagai legislator Islam di
wilayah Makkah maupun Madinah, beliau banyak mengadopsi al-’Urf
setempat. Sebagian al-’Urf tersebut ditetapkan oleh wahyu al-Qur’an dan
Seringkali sebagian masyarakat muslim bermain-main dalam persoalan teologis.
Misalnya suatu kasus yang secara maknawiyah mempunyai bobot moral value yang
sama dengan al-Qur'an dan as-sunnah, tetapi karena secara harafiah tidak terancam
dalam al-Qur'an dan al-sunnah akhirnya kasus itupun bisa diabaikan.
13
136
Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam
H}adith.14 Meskipun demikian, tidak semua al-’Urf tradisi masyarakat arab
pra Islam dijadikan sebagian bagian dari ajaran Islam.15 Tradisi Arab lain
dan tradisi lain dari luar Arab yang ditetapkan dalam al-Qur’an adalah
ibadah haji, puasa, kewarisan, bentuk-bentuk perdagangan (jual beli),
khitanan dan kurban.16
Namun demikian tidak semua tradisi arab-non arab itu 'diadopsi'
menjadi bagian dari shari'ah Islam, beberapa di antaranya direvisi,
dimodifikasi.17 Dan sebagian yang lainnya dibatalkan berdasarkan wahyu
dari Allah seperti persoalan riba dan cara memperlakukan kaum
perempuan.18 Fakta ini semakin menegaskan bahwa Hukum Islam (shari'ah
maupun fiqh) dalam perkembangan senantiasa berbasis pada al-'urf. Proses
perkembangan Hukum Islam tersebut senatiasa melibatkan dialektika
budaya yang terus menerus, sehingga menghasilkan fiqh.
Berpijak pada praktek Rasulullah dalam melakukan tashri' al-Islam
menunjukkan bahwa Hukum Islam yang hadir di muka bumi ini tidak
melompat dari ruang hampa muncul dalam waktu tiba-tiba. Sebaliknya
kehadiran Hukum Islam bahkan isi al-Qur’an pada mulanya terikat oleh
ruang, rentetan waktu dan peristiwa. Semua itu terjadi sebagai upaya
resposif pasa persoalan-persoalan yang berkembang pasa masa itu.
Meskipun sudah ada al-Qur’an dan Sunnah, mengingat begitu
pentingya kehadiran al-’Urf sehingga para sahabat sepeninggal rasulullah
tidak menutup diri untuk mengambil tradisi dan sistem masyarakat lain
Muhammad el-Awa, the Place of Custom ('urf) in Islamic Legal Theory, 177-178. Lebih
lanjut menurut el-Awa bahwa argumentasi Rasulullah dalam menyetujui al-'urf sebagai
sumber hukum Islamkarena al-'urf mampu menyediakan pemecahan (solutions) yang
diperkirakan bisa memberi kepuasan kebutuhan masyarakat tertentu.
15 Pada wilayah ini pun sebagian umat Islam juga masih belum bisa membedakan antara
tradisi Arab dengan ajaran Islam (bersumber dari al-Qur'an dan Hadith). Bahkan
mereka masih menyamakan bahwa Arab adalah Islam dan Islam adalah yang berkaitan
dengan Arab.
16 Dalam pembahasan historis-antropologis, Nizar Abazhah membahasnya dalam Fi
Madinah al-Rasul, yang diterjemahkan secara bagus oleh Asy’ari Khatib, dan diterbitkan
dengan judul Ketika Nabi di Kota: Kisah Sehari-hari Nabi di Kota, (Jakarta: Zaman, 2010)
17 Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter; the Experience of Indonesia, (Jakarta; Logos
Wacana Ilmu, 2001), 7
18 Pada kasus ini bisa dilihat pada penetapan hukum yang berkaaitan dengan hukum
pernikahan, kewarisan, persaksian di kalangan masyarakat Arab. Pada mulanya
perempuan Arab diperlakukan seperti barang yang bisa diperjual belikan dan
diwariskan. Mereka tidak mempunyai hak apa pun untuk menetukan diri mereka
sendiri.
14
137
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah.19 Fungsi alQur’an dan as-Sunnah, dalam hal ini, selain sebagai sumber inspirasi
penggalian hukum juga menjadi petunjuk pelaksanaan pembentukan
Hukum Islam. Bahkan bisa ditegaskan keabadian al-Qur’an sebagai wahyu
tuhan, fungsi dan perannya kan terus berkelanjutan jika ulama bersikap
akomodatif terhadap al-’Urf di seluruh penjuru dunia dan segala zaman.
Upaya transformasi kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah pada suatu
masyarakat hannya akan membatasi keabadian wahyu tuhan.20 Karena alQur’an sebagai petunjuk melihat persoalan kemanusiaan.21
Para sahabat yang mengikuti langkah Rasulullah, terlihat pada masa
kekhalifahan Umar bin Khattab. Amir al-Mu'minin ini mengadopsi sistem
dan keorganisasian dalam kekhalifahannya sesuai dengan model yang
pernah diterapkan oleh penguasa Bizantium (Byzantine).22 Tampaknya,
baik pada lapis pertama (masa Rasulullah) maupun pada lapis kedua (masa
sahabat) keberadaan al-’Urf dianggap sebagai salah satu sumber dan
landasan pembangunan Hukum Islam. Artinya pada periode awal Islam al’Urf menjadi landasan signifikan dalam pembangunan hukum.
Sayangnya, pada periode berikutnya al-’Urf justru menjadi
perdebatan dalam Islam. Pasca zaman sahabat, keterlibatan umat Islam
maupun ulama begitu intensif dan sangat bervariasi. Mereka harus
berhadapan dengan persoalan-persoalan baru yang belum pernah
ditetapkan dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, terutama pada persoalan
politik dan hukum. Selain itu sistem pemerintahan teokratis--yang
dikembangkan oleh Bani Ummayyah dan Bani Abbasiyyah-- tampaknya
telah mempunyai andil yang cukup besar terhadap lahirnya perbedaan
paham baik dari segi materi hukum (al-fiqh) metodologi hukum (usul al-fiqh)
maupun proses pengambilan hukum (istinbat al-Hukm). Perbedaan ini pula
mempengaruhi para ulama-ulama fiqh maupun ulama usul al-fiqh dalam
Muhamed el-awa, The Place Of Custum (Urf) In Islamic Legal Theory, 179. Banyak ayatayat al-Qur'an yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah
masyarakat, seperti konsep jual beli yang sudah ada sebelum Islam. Lihat, selanjutnya
pada Nasrun Hoeron, Usul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 142
20 Tentang persoalan sebagai agama yang akomodatif daripada transformatif, lihat
dalam Bryan s. Turner, Weber And Islam: A Critical Study (London: Routledge and Kegan
Paul, 1974), cet, ke-1, 171
21 Mahmoud M. Ayoub, Islam Faith And Practive, 65-67
22 Setelah Rasulullah wafat dan kekhalifahan Islam dikendalikan Umar Bin Khattab,
Islam telah mampu menguasai wilayah di luar Arab. Masyarakat Islam pun berhadapan
dengan tradisi hukum baru yang belum pernah ditetapkan oleh Rasulullah. Dalam hal
ini Ibn Khaldun menuliskan bahwa beberapa sistem dan tradisi suatu masyarakat yang
diadopsi oleh Umar Bin Khattab adalah pembentukan diwan untuk urusan pasukan
bersenjata (jund) dan persoalan keuangan negara (kharaj). Umar "berkiblat" pada
pengalaman penguasa Byzantine.
19
138
Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam
memperlakukan al-’Urf sebagai sumber Hukum Islam. Padahal, secara
umum madhhab-madhhab besar seperti Hanafiyah, Malikiyah, Hanbaliyah
dan Shafi'iyah menggunakan al-’Urf sebagai landasan Hukum Islam, hanya
saja dalam jumlah dan perinciannya, mereka berbeda pendapat.23
Penerimaan al-’Urf sebagai dalil shara' ini di kalangan para ulama fiqh
diperkuat oleh Imam al-Shat}ibi (w.790 H/ ahli usul fiqh Maliki) dan Imam
Ibn Qayyim al-Jauziyah (691 – 751 H / 1292 – 1350 M/ ahli usul fiqh
Hanbali).24 Imam Malik misalnya dalam memutuskan persoalan fiqhiyah
senantiasa menyandarkan pada al-’Urf yang dilakukan oleh masyarakat
Madinah. Sikap yang sama dilakukan oleh Imam Shafi'i ketika berada di
Mesir dan di Baghdad. Karena al-’Urf di Mesir dan di Baghdad berlainan,
maka Imam Shafi'i pun merubah qawl al-qadim menjadi qawl al-jadid.25
Langkah para ulama tersebut ketika mereka menentukan keputusan hukum
mereka senantiasa menggunakan al-'urf.26 Hal ini semakin menegaskan
bahwa al-’Urf kapan pun dan di mana pun, dalam konteks pembangunan
hukum, merupakan sesuatu yang mutlak ada.
Al-’Urf : Suatu Keniscayaan Hukum
Munculnya istilah illat (sesuatu yang dapat mengubah keadaan)27
hukum yang senatiasa menyertai dalam penetapan hukum (tashri' al-hukm)
menjadi bukti nyata bahwa Hukum Islam terlahir karena munculnya
kausalitas sosio-antropologis. Selain itu rekaman sebab-sebab turunnya al-
Satria Effendi Muh. Zein, Ushul Fiqh, 273
Nasrun haroen, Ushul Fiqh, 142. Lebih jauh para ulama membagi al-‘urf tiga macam
yaitu: dari segi obyeknya, terdiri dari al-urf al-lafzi dan al-urf al-amali. Dari segi
cakupannya terdiri dari al-urf al-aam dan al urf al-khas}. Dan dari segi keabsahannya al-urf
terdiri dari al-urf al-s}ahih} (kebiasaan suatu masyarakat yang tidak bertentangan dengan
nas}) dan al-urf al-fasid (kebiasaan suatu masyarakat yang bertentangan dengan nas} dan
bertentangan dengan kaidah-kaidah yang dalam shara’.)
25 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, 135
26 Pada kasus ini kita bisa membandingkan tulisan Tuner, mengutip H. Stuart Hughes,
bahwa pengembangan hukum umum dan prosedur hukum bisa dilihat melalui
beberapa tahapan beikut: pertama: wahyu hukum dari tuhan, melalui hukum para nabi;
kedua: kreasi empiris dan penemuan hukum berdasarkan pada hukum orang-orang
terhormat, ketiga: pembebanan hukum oleh penguasa teokrasi, keempat: penguraian
sistematis atas hukum dan administrasi keadilan yang profesional oleh orang yang
menerima latihan hukum dalam pola pembelajaran dan logika formal. Lihat dalam
Bryan S. Turner, Weber And Islam: A Critical Study, 110
27 Satria Effendi Muh. Zein, Ushul Fiqih, 267. Menurut Wahbah az-Zuhaili, illat adalah
suatu sifat yang konkrit dan keberadaannya dapar dipastikan pada setiap pelakunya
dan menrut sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum, yaitu
mewujudkan kemaslahatan dengan meraih manfaat dengan menolak kemadaratan.
23
24
139
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
Qur’an (asbab al-nuzul) yang mengiringi wahyu Allah disampingkan kepada
Nabi Muhammad Saw bukan terlepas dari persoalan sosial
kemasyarakatan. Sebaliknya ia sangat terkait erat dengan persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Persoalan teologis, idiologis, politis, maupun
ekonomi terlihat dengan begitu nyata ketika ayat-ayat tertentu
membicarakan hubungan antara umat Islam dengan umat non Islam
(Yahudi, Nasrani, Kafir Quraish, dan Majusi). Oleh karena itu, tidaklah
belebihan jika rasulullah sebenarnya tokoh yang senantiasa menggunakan
al-’Urf sebagai sumber hukum.
Dan, dalam bangunan Hukum Islam dari zaman Rasulullah hingga
hari ini, tidak bisa dipisahkan dari faktor al-'urf.28 Meskipun al-’Urf masih
menjadi persoalan di kalangan fuqaha tetapi adanya tidak bisa dihindari.
Persoalan tersebut terkait erat dengan belum adanya kesepakatan tunggal,29
tentang al-'urf. Karena memang sebagian fuqaha memahami bahwa al-’Urf
merupakan salah satu topik yang paling kontroversial dalam perdebatan
Islam. Perdebatan tersebut berkisar apakah al-’Urf bisa dijadikan sebagai
sumber Hukum Islam atau tidak.30
Al-Ur'f secara literer artinya diterima, yang menunjukkan hukum-hukum tidak tertulis
pada tradisi lokal. Al-'urf semakna dengan adat yang merujuk pada produk-produk
aturan konvensi yang berlaku lama, atau adopsi dengan sengaja atas kelayakan menurut
lingkungan sekitar. Lih., Levy, Social Structure of Islam, (Cambridge, 1969), 248, Abdul
Wahhab Khallaf, mendefinisikan al-'urf sebagai praktek masyarakat (dalam persoalan
hubungan legal) meliputi perkataan atau perbuatan, termasuk di dalamnya al-'urf yang
umum maupun yang bersifat personal, al-Siyasi al-Shari'iyyah (Cairo, 1977), 145., lihat
juga Khallaf dalam Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany, (Jakarta, 1996), 133134. Al-Zarqa' mendefiniskan al-'urf sebagai satuan legal yang dipraktekkan oleh
masyarakat dalam kehidupan formal bahkan ketika diumumkan oleh penguasa
legeslatif, al-Madkhal al-Fiqh; al-'Amma, (Damaskus, 1963) juz II., 836. Azhar Basyir,
mengartikan al-'urf dengan kepatuhan, sesuai dengan adat kebiasaan, dengan merujuk
pada al-Baqarah 233. Lih., Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Ijtihad dalam Hukum Islam,
(Bandung; Mizan, 1996), cet., ke-4, 52.
29 Dengan nada apologetis tidak adanya kesepakatan tunggal di kalangan umat Islam
seringkali dipahami sebagai rahmat yang diberikan kepada uamt Islam. Mereka
biasanya merujuk pada hadith yang populer, bahwa perbedaan dikalangan umatku
(Nabi Muhammad saw) adalah rahmat.
30 Penulis sendiri sampai saat ini turut bingung dengan perdebatan tersebut. Beberapa
penulis tentang persoalan dalam Islamic Legal Theory senantiasa menjadikan al-'urf
sebagai sumber hukum Islam (The sources of Islamic Law). Seharusnya perbedaan
pandangan itu bisa dieliminasi dengan lebih rasional dan sistematis bilaumat Islam bisa
menggunakan logika berfikir dan pengambilan hukum yang konsisten. Selain itu
persoalan yang lain adalah apakah al-'urf akan dijadikan sebagai materi (bahan yang
pertimbangan) hukum Islam atau sebagai salah satu metode penampilan hukum. Dalam
hal ini tampaknya para ulama masih belum menemukan format baku.
28
140
Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam
Sebagian para fuqaha’ mengakui bahwa kehadiran al-’Urf merupakan
unsur yang penting dalam pembangunan, penafsiran, serta penetapan
sanksi atas Hukum Islam. Karena al-’Urf 31–-sebagai adat istiadat-merupakan bagian kultur yang ada dalam kehidupan masyarakat, yang
menjadi salah datu faktor stabilitas sosial dan mempunyai kekuatan hukum
ditaati dan mengandung sanksi.32 Bahkan al-’Urf menjadi sumber hukum
valid yang merupakan suatu keharusan (a necessary, darurat) atau suatu
kebutuhan (a need, hajat).
Secara umum al-’Urf diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di
kalangan madhhab H}anafiyyah dan Malikiyyah. Ulama H}anafiyyah
menggunakan istihsan (salah satu metode ijtihad yang mengambil sesuatu
yang lebih baik yang tidak diatur dalam shara’) dalam berijtihad, dan salah
satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al-’Urf (istihsan yang menyandarkan
pada al-‘urf). Oleh ulama Hanafiyyah, al-’Urf itu didahulukan atas qiyas khafî
(qiyas yang ringan) dan juga didahulukan atas nas} yang umum, dalam arti
al-’Urf itu men-takhshis nas} yang umum. Ulama Malikiyyah menjadikan al’Urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam
menetapkan hukum.
Ulama Shafi`iyyah banyak menggunakan’Urf dalam hal-hal yang
tidak menemukan ketentuan batasan dalam shara’ maupun dalam
penggunaan bahasa. Dalam menanggapi adanya penggunaan’Urf dalam
fiqh, al-Suyut}i mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah al‘adat muhakkamah (adat itu menjadi pertimbangan hukum).33
Dalam fungsi dan peran praksisnya al-’Urf memainkan peranan
penting di dalam sejarah perkembangan dan kebangkitan manusia baik
dalam kehidupan sosial maupun kehidupan lainnya.34 Dari sinilah penulis
memahami bahwa al-’Urf
merupakan 'medium wajib' yang
menghubungkan antara sumber utama Hukum Islam (al-Qur’an dan
h}adith) dengan fiqh. Dengan kata lain, peran al-’Urf secara teoritis maupun
praksis historis dalam pembangunan hukum sangat esensial dan signifikan.
Alasan apa pun yang dikemukakan baik secara teologis, ideologis, ekonomi
Posisi al-'urf (custom, tradition, conventional rule of the community) ini tingkat
pentingnya bukan hanya dalam pelaksanaan hukum Islam saja tetapi semua sistem
hukum yang ada di dunia ini terbangun, tertetapkan,dan tersistematisir menurut logika
hukum sedikit banyak senantiasa dengan mempertimbangkan al-'urf merupakan unsur
universal dan esensial dalam setiap pembangunan hukum.
32 Ahmad Azhar Basyir, ‚Pokok-Pokok Ijtihad Dalam Hukum Islam‛, dalam Jalaluddin
Rahmat, (ed.), Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung; Mizan, 1996), cet., ke-4, 52.
33 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001),473
34 Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tashri' fi al-Islam, terj., Ahmad Sudjono, SH., (Bandung;
al-Ma'arif, 1981), cet., ke-2, 190-191
31
141
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
maupun politis dalam upaya untuk menjadikan al-’Urf sebagai sumber
hukum, bisa dipertimbangkan. Karana al-’Urf merupakan fakta awal yang
menjadi dasar hukum pembangunan suatu hukum.
Lebih jauh dari itu, menurut logika sosial bahwa kelahiran hukum
bermula, di antaranya, dari kesepakatan-kesepakatan yang dibangun oleh
masyarakat berdasarkan fakta sosial. Dengan kata lain, al-’Urf dengan
beberapa unsurnya yang meliputi fakta sosial, antropologis, serta dinamika
ekonomi politik tidak bisa dipisahkan dari proses pembentukan hukum.
Karena al-’Urf adalah esensi dan subtansi hukum itu sendiri, hanya
bedanya terletak pada wujudnya yang tidak atau belum dikondifikasikan
secara sistematis menurut alur hukum yang berlaku. Tampaknya ungkapan
pro bono publico, atau adat-istiadat itu harus dipertahankan, ketika tidak
diberlakukan, maka harus dicabut,35 menjadi landasan penting dalam
pembangunan hukum. Karena adat atau al-’Urf merupakan fakta
pendahuluan dari sebuah hukum.
Bila ditinjau dari jenis pekerjaannya, al-’Urf dibagi menjadi dua; al’Urf al-qawli (kultur linguistik) dan al-’Urf al-fi’li (kultur normatif). Dan jika
ditinjau dari aspek kuantitas pelakunya, al-’Urf terbilah menjadi al-’Urf al‘am dan al-’Urf al-khas}.
1. al-’Urf al-Qawli dan Fi’li
al-’Urf al-Qawli adalah sejenis kata, ungkapan, atau istilah tertentu
yang diberlakukan oleh sebuah komunitas untuk menunjuk makna khusus,
dan tidak ada kecenderungan makna lain di luar apa yang mereka
pahami.36 Artinya ketika kata itu diucapkan, maka yang terbesit dalam hati
mereka adalah makna yang khusus tersebut, bukan antonim makna
lainnya. Hanafiyyah dan Shafi’iyyah menamakan al-’Urf al-qawli ini
dengan istilah al-’Urf al-mukhassasah. 37 contohnya ketika orang Arab
mengucapkan walad (anak), maka mereka pasti mengartikannya sebagai
anak laki-laki, bukan anak perempuan. Begitu pula dengan kalimat lahm
(daging), yang dimaksud pasti bukan dagiung ikan asin atau ikan laut,
melainkan daging binatang peliharaan, seperti daging sapi, kambing, ayam,
daging hewan peliharaan lainnya. 38
Sementara al-’Urf al-fi’li (dalam istilah lain disebut sebagai al-’Urf
al-amali) adalah sejenis pekerjaan atau aktivitas tertentu yang sudah biasa
dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma
Mohammed el-Aeal, the Place of Custom ('urf) in Islamic Legal Theory, h. 178
Wahbah al-Zuhaily, Subul al-Istifadah min al-Nawazil wa al-Fatawa wa al-Amal al-Fiqhy fi
Tatbiqat al-Mu’asirah, (Damaskus: Dar al-Maktab, 2001), 48
37M. Sidqi al-Burnu, al-Wajiz
fi Idah Qawaid al-Fiqhal-Kulliyah, (Beirut: Muassasah alRisalah, 1983), 160
38 Abdul Wahhab Khallaf, Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, 89
35
36
142
Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam
sosial.39 Dalam budaya masyarakat Arab, al-’Urf al-fi’li dapat disaksikan
pada transaksi jual beli tanpa sighat (bay’ al-mu’atah) yang sudah sangat
umum terjadi. Karena sudah sangat mudah dijalankan, kebiasaan ini sudah
menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Tak heran jika qawl mukhtar
memperbolehkan transaksi model ini, dengan catatan hanya pada barang
yang bernilai nominal rendah (muhqirat), sebab tradisi tersebut sudah
menjadi kebiasaan masyarakat yang sulit dihindari. Inilah salah satu
aplikasi bentuk kaidah al-‘adat al-muhakkamah.40
2. al-’Urf al-Am dan Khas
Jika ditinjau dari aspek pelakunya, adat terbagi menjadi dua kategori
umum, yaitu adat ‘urfiyyah ammah (budaya global universal) dan adat
‘urfiyyah khassah (budaya parsial-partikular). Perinciannya adalah sebagai
berikut
a. adat ‘urfiyyah ammah adalah bentuk pekerjaan yang sudah berlaku
menyeluruh dan tidak mengenal batas waktu, pergantian generasi,
atau letak geografis. Tradisi jenis ini bersifat lintas batas, lintas
cakupan, dan lintas zaman. 41 Adat ‘urfiyyah ammah bisa berbentuk
ucapan (qawli) atau pekerjaan (fi’li).
b. adat ‘urfiyyah khassah ialah sejenis kebiasaan yang berlaku di kawasan
atau golongan tertentu, dan tidak tampak pada komunitas lainnya. 42
Tradisi jenis ini bisa berubah dan berbeda disebabkan perbedaan
tempat dan waktu. Ia juga bisa didefinisikan sebagai sebuah tradisi
yang dijalankan golongan tertentu, baik dalam satu kawasan,
komunitas intelektual, komunitas profesional, dan lain sebagainya.
Budaya jenis ini bisa berupa ucapan atau perbuatan.
Selain adat ‘urfiyyah ammah dan adat ‘urfiyyah khassah, Muhammad
S}idqi bin Ahmad al-Burnu menambahkan satu kategori lagi, yaitu adat
‘urfiyyah shar’iyyah (budaya shar’i).43 Contohnya seperti istilah shalat’ asal
maknanya adalah berdoa, sementara dalam terminologi shariat mempunyai
Wahbah al-Zuhaily, Subul al-Istifadah, 48
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh…, 89
41 Dalam kategori yang pertama ini, Abdul Karim Zaidan memberi tambahan kata sifat
al-Islamiyyah pada kalimat balad (kawasan) yang menjadi tempat berseminya tradisi
global ini. dengan demikian adat ‘urfiyyah ammah versi Abdul Karim Zaidan ini hanya
tradisi yang hidup dan berkembang di negara-negara Islam. Sejauh penelusuran
penulis, kata sifaty Islamiyyah ini tidak ditemukan dalam literatur usul fiqh maupun
kaidah fiqh yang lain, selain al-Wajiz karya Abdul Karim Zaidan. Lebih lengkapnya,
silahkan lihat Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz , 253
42 Abdul Karim Zaydan, al-Wajiz , 253
43 Muhammad Sidqi Ibn Ahmad al-Burnu, al-Wajiz, 157
39
40
143
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
pengertian’ ‚setiap pekerjaan yang diawali takbir dan diakhiri dengan
salam‛.
Bila ditilik secara umum, sebenarnya hanya terdapat dua kategori aladat lagi, yakni al-adat al-sahih dan al-adat al-fasid. Perinciannya adalah
sebagai berikut:
1. al-adat al-sahih, yakni bangunan tradisi yang tidak bertentangan dengan
dalil shar’I, tidak mengharamkan sesuatu yang halal, tidak
membatalkan sesuatu yang wajib,44 tidak menggugurkan cita-cita
kemaslahatan, serta tidak mendorong timbulnya mafsadah.45
Contohnya adalah adat masyarakat feodal Irak yang membagi mas
kawin menjadi mahar hal (kontan) dan mahar mu’ajjal (tunda), atau
pemberian bingkisan seorang pemuda kepada kekasihnya sebelum
dilangsungkan akad nikah, dimana semua itu dianggap sebagai
hadiah, bukan mahar. Karena tradisi di atas berlawanan dengan
shari’at, maka boleh dipelihara dan dijadikan pijakan hukum.
2. al-adat al-fasid, yaitu tradisi yang berlawanan dengan dalil shari’at, atau
menghalalkan keharaman maupun membatalkan kewajiban,46 serta
mencegah kemaslahatan dan mendortong timbulnya kerusakan.47
Contohnya adalah kebiasaan masyarakat Arab jahiliyyah yang
mengubur anak perempuan hidup-hidup karena dianggap sebagai aib,
berjudi atau taruhan, rentenir, pesta pora, dan lain sebagainya. Jenis
kedua ini sudah pasti bertentangan dengan shari’at.
Para ulama sepakat bahwa al-adat al-sahih wajib dipelihara dan
diikuti bila sudah menjadi norma-norma sosial. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Abdul Karim Zaydan, bahwa Nabi saw. sendiri cukup
responsif dan apresiatif terhadap cita-cita kemaslahatan masyarakat Arab
melalui adat istiadat mereka. Syarat kafa’ah (sepadan) dalam pernikahan,
atau perhitungan sifat ‘as}abah (kekerabatan) dalam perwalian dan waris
mewaris yang sebenarnya adalah tradisi masyarakat Arab pra-Islam
ternyata diadopsi oleh Nabi saw. Sebaliknya al-adat al-fasid jelas tidak boleh
dipelihara, karena pemeliharaan terhadap tradisi ini akan mengakibatkan
kerusakan
Muhammad Sidqi Ibn Ahmad al-Burnu, al-Wajiz, 157
Abdul Karim Zaydan, al-Wajiz , 253
46 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh…, 89
47 Abdul Karim Zaydan, al-Wajiz , 253
44
45
144
Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam
Posisi al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam
Mayoritas ulama sepakat bahwa sumber utama Hukum Islam adalah
al-Qur’an 48 dan Sunnah.49 Sumber hukum Islam lainnya adalah Ijima,50
Qiyas dan sumber terakhirnya adalah al-'urf.51 Mahmassani, secara ekplisit
menuliskan bahwa sumber Hukum Islam hanya meliputi al-Qur’an, asSunnah, Ijma dan Qiyas.52 Mahmassani tidak memasukkan al-’Urf sebagai
sumber Hukum Islam, melainkan memasukkannya sebagai sumber luar
dalam pembangunan Hukum Islam.53 Tidak dimasukkannya masih al-’Urf
sebagai dan dalil Hukum Islam karena kehadirannya masih diperselisihkan
di kalangan para ulama. Selain al-'urf, sebagai sumber hukum lain yang
Pemahaman terhadap sumber utama (al-Qur'an) tersebut mengalami dinamika yang
cukup beragama. Ibrahim Hosen menjelaskan bahwa pada periode salaf kecenderungan
ulama memahami al-Qur'an secara harafiah yang tidak sesuai dengan maksud al-Qur'an
itu sendiri. Dalam rangka pengembangan hukum Islam, Ibrahim Hosen menekankan
bahwa jika terdapat peraturan yang tidak terdapat dalam al-Qur'an tetapi jiwa dan
semangatnya sesuai dengan al-Qur'an maka peraturan tersebut harus diteima. Mereka
yang menolak peraturan tersebut bisa diancam sesuai dengan al-Qur'an dalam surat alMaidah (5): 44. Selanjutnya lih., Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi
Hukum Islam, Dalam Muhammad Wahyuni Nafis, Kontektualisasi Ajaran Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1995), cet., ke-1., 267-268
49 Pada mulanya para ulama bersikap selektif terhadap materi as-Sunnah (perkataan,
perbuatan, dan pernyataan) sebagai sumber Hukum Islam. Mereka memilih apakah
materi as-Sunnah tersebut bermuatan penetapan hukum (Tashri' al-Ahkam) atau sebagai
insan biasa (bashariyah). Namun demikian para ulama tidak lagi melakukan seleksi atas
Sunnah melainkan menggabungkan baik sebagai proses tashri' maupun sebagai sikap
bashariyah, mereka mengambil argumentasi naqli pada QS., al-Ahzab/33;21, "Sungguh
dalam pribadi Rasul terdapat suri tauladan yang baik bagi kamu semua" dan QS., alHashr/59;7, "Apa yang datang kepadamu dari Rasul, maka ikutilah dan apa yang
dilarang oleh Rasul maka jauhilah". Selanjutnya dalam upaya pemaharuan hukum
Islam, jika ingin melahirkan hukum yang baik maka langkah yang harus ditempuh
adalah dengan melakukan seleksi terhadap hadith-hadith terutama yang berkaitan
dengan tashri' al-ahkam.
50 Sebagai catatan, penulis menaruh perhatian yang serius pada istilah ijma' tersebut.
Bahkan lebih jauh penulis berasumsi bahwa di samping sebagai sumber hukum Islam
(dalam bentuknya sebagai materi hasil kesepakatan) penulis juga beranggapan bahwa
ijma' juga sebagai salah satu metode istinbat} hukum Islam.
51 Dari sekian ulama yang secara eksplisit menerima al-'urf sebagai landasan
pembentukan hukum Islam adalah Abdul Karim Zaidan. Namun demikian al-'urf yang
bisa diterima sebagai landasan hukum harus melliputi persyaratan sebgai berikut; tidak
bertentangan dengan al-Qur'an as-Sunnah; bersifat umum; telah ada ketika terjadinya
peristiwa yang akan dilandaskan kepada al-'urf, tidak ada kesepakatan pihak-pihak
terkait yang berlainan dengan al-'urf.
52 Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tashri' fi al-Islam, 5
53 Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tashri' fi al-Islam, 5
48
145
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
diperselisihkan di kalangan ulama adalah istihsan, maslahah al-mursalah,
istishab, shar'u man qablana dan sadd az-zari'ah.54
Al-’Urf lebih kuat dari qiyas karena ’urf adalah dalil yang berlaku
umum dan bukti bahwa sesuatu memang dibutuhkan. Contoh: sucinya
kotoran merpati sesuai ’urf yang terjadi pada mesjid, bahkan masjid alharam. Ini tidak bisa diqiyaskan pada kotoran ayam.
Perbedaan ’Urf dengan ’Ijma
Tabel 2. Tabel perbandingan antara ’Ijma dengan ’Urf
’Ijma
’Urf
Dasarnya adalah kesepakatan para
mujtahid atas suatu hukum syar’i
setelah Nabi SAW wafat
Tindakan mayoritas individu baik
’awam maupun ulama dan tidak
harus dalam bentuk kesepakatan
Harus berdasarkan dalil Syara
Tidak harus berdasarkan dalil Syara
’Ijma ada yang sampai kepada kita
dan ada yang tidak
Relatif sama dengan sejarah
Merupakan hujjah yang mesti
dilakukan
Tidak menjadi hujjah yang harus
dilakukan karena ’urf ada yang
shahih dan ada yang bathil
Beberapa usuliyyin memang ada yang tidak menyebutkan pengaruh
sebuah adat dalam pembahasan dalil-dalil mereka, namun sebagian yang
lainnya menggunakannya. Mereka mengambil kaidah kulliyah dari kaidah
fiqh. Mereka membicarakan sebuah tradisi di bawah kaidah al-‘adah
mukhakamah, kemudian menertibkannya ke dalam cabang-cabang, kaidahkaidah, dan hukum-hukum. Diantara para usuliyyin tersebut adalah;
Izzuddin ibn ‘Abdissalam, Amadi dan Ibn Khajib.55
Para ulama, yang menggunakan al-’Urf sebagai landasan atau sumber
pembangunan Hukum Islam, bersepakat bahwa hukum yang dibentuk
berdasarkan pada al'-'urf bertahan selama al-’Urf telah berubah, maka
kekuatan hukum itu pun juga berubah. Dengan kata lain, bahwa ketetapan
Hukum Islam yang dibangun bersumberkan pada al-’Urf tidak mempunyai
ketetapan yang abadi. Konskuensi lainnya adalah ketetapan atas al-’Urf pun
Satria Effendi Muh. Zein, Ushul Fiqh, 269
Ruqayyah Taha Jabir al-‘Awani, Atsar al-‘Urf fi Fahmi al-Nushush; Qodoya al-Mar'ah AnNamudzajiyyan,52
54
55
146
Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam
tidak bisa diberlakukan di suatu masyarakat yang hidup kemudian, kecuali
dijadikan bahan pertimbangan.
Berikut syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama
diperbolehkannya al-’Urf sebagai sumber Hukum Islam , adalah:56
1. Al-’Urf berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat dan keberlakukannya dianut oleh mayoritas masyarakat
tersebut.
2. Al-’Urf sudah ada sebelum munculnya kasus yang akan ditetapkan
hukumnya
3. Al-’Urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas
dalam suatu aqad (transaksi)
4. Al-’Urf tidak bertentangan dengan nas}.
Dengan persyaratan tersebut di atas para ulama memperbolehkan
penggunaan al-’Urf sebagai sumber Hukum Islam. Tentunya persyaratan
tersebut muncul bukan tanpa alsan, tetapi persoalan teologis, dan sosiohistoris-antropologis, menjadi pertimbangan utama. Namun demikian, jika
terjadi ertentangan antara al-’Urf dengan nas al-Qur’an sulit rasanya untuk
menentukan siapa ulama yang paling berwenang dalam menentukan keabsahan al-’Urf sebagai sumber hukum. Apalagi jika teks-teks nash hanya
dipahami oleh sekelompok umat tanpa melibatkan aspek pemaknaan
lainnya, maka hal itu membuka terjadinya utoritarianisme di kalangan umat
Islam. Tetapi, keyakinan bahwa al-Qur’an, yang bersifat abadi itu, sebagai
sumber Hukum Islam akan terlihat jika terjadi proses akomodasi bukan
transformasi.
Penutup
Kehadiran al-’Urf dalam pembangunan hukum –baik Hukum Islam
maupun hukum non Islam– menjadi faktor yang paling penting. Padanya
realitas teks-teks keagamaan, politik, maupun ekonomi bisa ditelusuri
makna-makna yang terkandung di dalamnya, apalagi dalam konteks
perkembangan (hukum) Islam di indonesia. Bahkan secara konseptual
maupun material dirinya menjadi landasan dan hukum pembangunan
hukum. Dengan kata lain al-’Urf itu sebagai pro bono publico, padanya
hukum bermula jika terdapat gantinya maka bisa ditinggalkan.
Langkah-langkah pengambilan al-’Urf sebenarnya telah dilakukan
oleh Rasulullah, para sahabat, dan para ulama pasca sahabat. Munculnya
asbab al-nuzul dalam kontek turunnya al-Qur’an atau asbab al-wurud dalam
kaitannya dengan keluarnya H}adith Rasulullah menunjukkan bahwa
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, 144. Lihat juga Muhamed el-Awa, The Place Of Custom
(Urf) In Islamic Legal Theory, 181-182
56
147
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
kedua terminologi tersebut merujuk pada realitas al-’Urf pada masa itu.
Namun demikian, para ulama salaf lebih berhati-hati dalam menjadikan al’Urf sebagai sumber hukum. Mereka akan menerima al-’Urf dengan terlebih
dahulu menawarkan syarat-syarat, di antaranya al-’Urf yang dijadikan
sebagai sumber hukum tidak bertentang dengan teks-teks nash al-Qur’an
dan as-Sunnah.
Selanjutnya, sehubungan dengan masyarakat muslim di Indonesia –
meskipun bukan satu-satunya penentu masa depan Islam– sangat
ditentukan oleh kecerdasan dan kepekaan umat Islam dalam rangka
membaca al-’Urf yang saat ini menjadi realitas modern. Barangkali al-’Urf di
zaman yang akan datang bukan hanya pada realitas dan fenomena sosial,
melainkan juga pada realitas dan fenomena gagasan. Oleh karena itu sikap
mengecilkan peran al-’Urf dalam pembangunan Hukum Islam dan
pengembangan pemikiran Islam hanya akan mempersempit cakupan visi
dan orientasi Islam , sebagai akhir dari rahmatan li al-'alamin.
148
Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam
DAFTAR PUSTAKA
Abazhah, Nizar, Ketika Nabi di Kota: Kisah Sehari-hari Nabi di Kota, terj.
Asy’ari Khatib, Jakarta: Zaman, 2010
al-‘Awani, Ruqayyah T}aha Jabir, Atsar al-’Urf fi Fahmi al-Nushush; Qodoya
al-Mar'ah An-Namudzajiyyan, Beirut: ‘Alam al-Kutb, tt
al-Burnu, M. S}idqi, al-Wajiz fi Id}ah Qawaid al-Fiqhal-Kulliyah, Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1983
Al-Qarrafi, Syaihabuddin Ahmad ibd Idris, al-Furuq fi Anwa’il Buruq,
Beirut: ‘Alam al-Kutb, tt
al-Zuhaily, Wahbah, Subul al-Istifadah min al-Nawazil wa al-Fatawa wa al-Amal
al-Fiqhy fi Tatbiqat al-Mu’asirah, Damaskus: Dar al-Maktab, 2001
Basyir, Ahmad Azhar. ‚Pokok-Pokok Ijtihad Dalam Hukum Islam‛, dalam
Jalaluddin Rahmat, (ed.), Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung; Mizan, 1996
el-Aeal, Mohammed. the Place of Custom ('urf) in Islamic Legal Theory, h. 178
Haq, Abdul. dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh Konseptual,
Surabaya: Khalista & Kakilima Lirboyo, 2006
Khallaf, Abdul Wahab, Ilm Usul Fiqh, Qahirah: Dar al-Qalam, tt
________. Ilmu Ushulul Fiqh, ter. Masdar Hilmy. Bandung: Gema Risalah
Press 1997
_______. Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996
_______. al-Siyasi al-Shari'iyyah, Cairo 1977
Mahmassani, Sobhi. Falsafah al-Tashri' fi al-Islam, terj., Ahmad Sudjono, SH.,
Bandung; al-Ma'arif, 1981
Hoeron, Nasrun. Usul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
149
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
Hosen, Ibrahim. ‚Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam‛,
Dalam Muhammad Wahyuni Nafis, Kontektualisasi Ajaran Islam,
Jakarta: Paramadina, 1995
Muh. Zein, Satria Effendi. ‚Ushul Fiqih‛, dalam Taufik Abdullah (et.al),
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, jilid
III, 2001
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001
Turner, Bryan S., Weber And Islam: A Critical Study. London: Routledge and
Kegan Paul, 1974
Zaidan, ‘Abdul Karim, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Muassasah al-Risalah, vol.
IIX, 2001
150
Download