Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam POSISI AL-’URF DALAM STRUKTUR BANGUNAN HUKUM ISLAM Oleh : Rijal Mumazziq Zionis1 ABSTRAK Dalam ushul fiqh terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat (adat dapat menjadi pertimbangan hukum) atau al-‘adat shari’at muhakkamat (adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum, secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal nonimplikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum Islam bersifat fleksibel. Karakter hukum Islam yang akomodatif terhadap adat (tradisi) amat bersesuaian dengan fungsi Islam sebagai agama universal (untuk seluruh dunia). ‚Wajah‛ Islam pada berbagai masyarakat dunia tidaklah harus sama (monolitik). Namun, keberagaman tersebut tetaplah dilingkupi oleh wihdat almanhaj (kesatuan manhaj) yaitu al-manhaj al-Nabawiy al-Muhammadiy. Di sinilah, perlunya mempertimbangkan kembali posisi al-‘Adat maupun al-’Urf dalam struktur bangunan hukum Islam. Key Word: al-‘Urf, al-‘Adat, Hukum Islam Pendahuluan al-‘Adat dan al-‘Urf Sebelum masuk dalam lingkup pembahasan al-‘Urf, terlebih dulu kita bahas mengenai pengertian al-‘adat dan al-‘Urf, agar lebih fokus. Dalam disiplin/literatur ilmu Usul Fiqh, pengertian adat (al-‘adat) dan al-’Urf mempunyai peranan yang cukup signifikan. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Kata adat berasal dari kata ‘ad yang mempunyai derivasi kata al-‘adat yang Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah (STAIFAS) Kencong Jember. 1 131 JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011 berarti sesuatu yang diulang-ulang (kebiasaan). Sedangkan ‘Urf berasal dari kata‘araf yang mempunyai derivasi kata al-ma‘ruf yang berarti sesuatu yang dikenal atau diketahui.2 Sedangkan Dalam pengertian lain al-’Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat. Sedangkan menurut ahli shara’, al-’Urf itu sendiri bermakna adat dengan kata lain al-’Urf dan adat itu tidak ada perbedaan. Al-’Urf tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan sighat. Untuk al-’Urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang lafaz tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan bukan anak wanita. 3 Karena itu, menurut sebagian besar ulama, adat dan al-’Urf secara terminologis tidak memiliki perbedaan prinsipil.4 Artinya perbedaan di antara keduanya tidak mengandung perbedaan signifikan dengan konsekwensi hukum yang berbeda pula. Misalnya dalam kitab fiqh terdapat ungkapan haza thabit bi al-’Urf wa al’adat (ketentuan ini berlandaskan al-’Urf dan al-‘adat), maka makna yang dimaksud keduanya adalah sama. Penyebutan al-adat setelah kata al-’Urf berfungsi sebagai penguat (ta’kid) saja, bukan kalimat tersendiri yang mengandung makna berbeda (ta’sis).5 Secara garis besar ‘Urf terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, ‘Urf sahih yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh semua umat manusia dan tidak berlawanan dengan hukum shara‘ dan tidak menghalalkan sesuatu yang haram serta tidak menegasikan kewajiban. Contoh, saling mengerti manusia terhadap kontrak pemborongan atau saling mengerti tentang pembagian mas kawin (al-mahar) kepada mas kawin yang didahulukan dan diakhirkan.6 Kedua, al-‘adat fasid yaitu sebuah kebiasaan yang dikenal oleh manusia dan berlawanan dengan hukum shara‘ serta menghalalkan sesuatu yang haram dan menegasikan kewajiban. Contoh, saling mengerti manusia terhadap sesuatu yang bertentangan dengan hukum shara’ seperti kontrak manusia dalam perjudian dan lain-lain.7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001), 363. Abdul Wahab Khalaf, Ilm Usul Fiqh, (Qahirah: Dar al-Qalam, tt), 88 4 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, 89 5 Abdul Karim Zaidan dalam al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, 155 6Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 131. 7 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, 131. 2 3 132 Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan al-’Urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafad sarih (tegas) yang bertentangan dengannya. Tabel 1. Tabel perbandingan antara al-’Urf dengan al-’Adat al-’Urf al-‘a>dat Adat memiliki makna yang lebih sempit Terdiri dari ‘Urf sahih dan fasid Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk Adat mencakup kebiasaan pribadi ‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak Adat juga muncul dari sebab alami Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya.8 Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf --yang sering disebut dalam alQur’an-- diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan ini merupakan hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani, Rasulullah pernah memberikan tuntunan agar manusia bertanya kepada hati nuraninya ketika dihadapkan pada suatu persoalan (mengenai baik dan tidak baik). Beliau juga pernah menyatakan bahwa keburukan atau dosa ialah sesuatu yang membuat hati nurani menjadi gundah (tidak sreg). Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya: khalista & Kakilima Lirboyo, 2006), 276 8 133 JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011 Para ulama mendasarkan al-’Urf pada Surat al-A’raf ayat 199 : ِ ِ ْ ف و اع ِرض ع ِن ِ ِ ي َ ْ ْ َ ُخذ الْ َع ْف ِو َو اْ ُم ْر بِالْعُْر َ ْ اْلَاهل Artinya : ‚Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan perintahkanlah dengan sesuatu yang baik dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.‛ (QS. al-A’raf: 199) Menurut al-Suyuti, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Yasin bin Isa alFadani, kata al-’Urf pada ayat di atas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan lagi oleh Syaikh Yasin, adat yang dimaksudkan adalah adat yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun pendapat ini dianggap lemah oleh ulama lain. Sebab, jika al-’Urf dianggap sebagai adat istiadat, maka sangat tidak selaras dengan asbab al-nuzul-nya, dimana ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah yang dilakukan Nabi kepada orangorang Arab yang berkarakter keras dan kasar, juga kepada orang-orang yang lemah imannya. Dengan latar belakang seperti ini, al-’Urf yang tertera pada ayat di atas bukanlah adat, melainkan metode dan etika dakwah yang harus dilakukan oleh Nabi kepada mereka; yakni ajakan yang harus dilakukan dengan cara yang baik dan lemah lembut. Ditambahkan oleh Abdul Karim Zaidan bahwa al-’Urf yang dimaksud dalam ayat ini adalah hal-hal yang telah diketahui nilai baiknya dan wajib dikerjakan (ma ‘urifa husnuh wa wajaba fi’luh).9 Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada Rasulullah Saw. untuk memerintahkan kepada umatnya agar mengikuti tradisinya.10 Sebagian ulama11 menyebutkan bahwa mayoritas dari masalah-masalah furu'iyah terbentuk dari ayat ini. Di antara mereka yaitu al-Qarafi yang mengibaratkan; "bahwa setiap apa-apa yang aku saksikan dari sebuah adat telah memutuskan akan makna zahir dari ayat tersebut kecuali jika disana terdapat suatu penjelasannya". 12 Dalam perkembangannya, al-’Urf kemudian secara general digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al’Urf al-sahih}) dan tradisi buruk (al-’Urf al-fasid). Dalam konteks ini, tentu saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang baik. Arti ‚baik‛ disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu. Amr bi alma’ruf berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu. Periksa lebih lanjut pada ‘Abdul Karim Zaidan dalam al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Muassasah al-Risalah, vol. IIX, 2001, 254 10 Ibnu ‘Abidin, Muraji' Sabiq, 113 11 Ibnu ‘Abidin, Muraji' Sabiq, 113 12 al-Qarafi, (al-Furuq) 3/149, Bairut: ‘Alimul-Kutub, tt. 9 134 Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi hati-hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain. Sebagai sebuah contoh, apabila al-Qur’an menyatakan ‚wa ‘asiru hunna bi al-ma’ruf (Dan pergaulilah isteri-isteri kalian secara ma’ruf)‛, maka yang dimaksud adalah tuntutan kepada para suami untuk memperlakukan isteri-isteri mereka sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai itu bisa jadi berbeda dengan yang ada pada masyarakat lainnya. Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai wahyu (alQur’an dan Sunnah Nabi). Bila merujuk pada fakta historis masa awal (pada masa Rasulullah dan para sahabat), dalam tashri' al-Islam posisi al-’Urf menjadi faktor penting dalam pembangunan Hukum Islam, bahkan menjadi pengiring lahirnya wahyu al-Qur’an yang diturunkan melalui Muhammad Saw. Namun demikian, sejak pasca sahabat dinamika ijtihad hukum di kalangan umat Islam mulai mengurangi memasukkan al-’Urf sebagai sumber Hukum Islam. Kalaulah para ulama menggunakan al-’Urf sebagai sumber Hukum Islam, itu pun dengan syarat-syarat yang begitu rumit. Dengan tingkat kerumitan itu, penulis membayangkan bahwa pada saat itu baik al-Qur’an maupun as-Sunnah dipahami secara harfiah, rigid, dan sangat normatif sesuai dengan ‚kepentingan‛–atau pemahaman– penguasa pada masa itu. Al-Qur’an dan as-Sunnah– yang diyakini menjadi landasan dan inspirasi tunggal rah}matan li al-'alamin – jika hanya dipahami dengan menggunakan logika hukum positif. Pada tataran ini, maka yang akan lahir bukanlah hukum-hukum yang berperikemanusiaan, melainkan hukum-hukum yang tereduksi dan tidak kurang memiliki sentuhan rah}matan li al-'alamin. Sebagian para ulama telah menjadikan metodologi Hukum Islam dan persyaratan diterimanya al-’Urf sebagai sesuatu yang suci setelah al-Qur’an. Padahal al-’Urf pada dirinya merupakan fakta sosiologis, antropologis, serta psikologis suatu masyarakat pada zamannya. Padanya pula terdapat nilainilai moral (moral values) yang sangat mungkin secara esensial mempunyai makna serta maksud yang sama dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena, beberapa persyaratan penggunaan al-’Urf yang ditawarkan oleh para ulama fiqh maupun ulama usul fiqh, tidak selamanya harus menjadi acuan utama. Selama antara teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah dengan 135 JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011 realitas al-’Urf mempunyai kesamaan makna dan maksud,13 maka penghormatan terhadap al-’Urf sama seperti halnya penghormatan terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah. Selanjutnya, dengan perkembangan dewasa ini banyak persoalan yang harus dihadapi oleh umat Islam, baik secara individual maupun kelompok. Kehadiran ulama yang mempunyai kepekaan antropologis dan kecerdasan sosiologis sangat diharapkan. Karena hal itu dimungkinkan menjadi faktor penting dalam menerima al-’Urf secara konseptual maupun material. Karena al-’Urf itulah realitas kehidupan kekinian, oleh karenanya solusi yang ditawarkannya pun sekurang-kurangnya sesuai dengan konsep dan materi yang ada. Tegasnya, ke depan peran al-’Urf sebagai sumber dalam pembangunan Hukum Islam sangat signifikan. Munculnya persoalanpersoalan kontemporer seperti humanism, democratization, pluralism, gender equality, cross-cultural, inter-religious faith, religious issues and science, dan multiculturalism, tidak bisa diselesaikan dengan tanpa melibatkan al-'urf. Langkah-langkah yang telah ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabat dalam menggunakan al-’Urf sudah saatnya dihidupkan kembali jika Islam tidak terlihat berwajah kaku dan statis. Berbekal al-’Urf --melalui sosioantropologis, fenomenologis, dan hermeneutis-- Islam harus senantiasa melakukan negosiasi dalam merespon persoalan-persoalan yang terus berkembang. Tampaknya, dengan bekal kecerdasan dan kepekaan dalam melakukan pembacaan terhadap al-’Urf visi dan orientasi Islam rah}matan li al-'alamin bisa terus dikembangkan. Sebaliknya bila al-’Urf dianggap sebagai suatu nilai dan ajaran yang tidak Islami, maka memungkinkan mensejajarkan Islam sebagai ajaran kaum sofis yang tidak pernah membumi. Dengan kata lain melalui pembacaan yang intensif terhadap al'urf, dimungkinkan Islam akan berwajah lembut dan penuh kasih menjadi kenyataan. al-’Urf : Dimensi Historis Secara historis, selama Rasulullah hadir, sebagai legislator Islam di wilayah Makkah maupun Madinah, beliau banyak mengadopsi al-’Urf setempat. Sebagian al-’Urf tersebut ditetapkan oleh wahyu al-Qur’an dan Seringkali sebagian masyarakat muslim bermain-main dalam persoalan teologis. Misalnya suatu kasus yang secara maknawiyah mempunyai bobot moral value yang sama dengan al-Qur'an dan as-sunnah, tetapi karena secara harafiah tidak terancam dalam al-Qur'an dan al-sunnah akhirnya kasus itupun bisa diabaikan. 13 136 Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam H}adith.14 Meskipun demikian, tidak semua al-’Urf tradisi masyarakat arab pra Islam dijadikan sebagian bagian dari ajaran Islam.15 Tradisi Arab lain dan tradisi lain dari luar Arab yang ditetapkan dalam al-Qur’an adalah ibadah haji, puasa, kewarisan, bentuk-bentuk perdagangan (jual beli), khitanan dan kurban.16 Namun demikian tidak semua tradisi arab-non arab itu 'diadopsi' menjadi bagian dari shari'ah Islam, beberapa di antaranya direvisi, dimodifikasi.17 Dan sebagian yang lainnya dibatalkan berdasarkan wahyu dari Allah seperti persoalan riba dan cara memperlakukan kaum perempuan.18 Fakta ini semakin menegaskan bahwa Hukum Islam (shari'ah maupun fiqh) dalam perkembangan senantiasa berbasis pada al-'urf. Proses perkembangan Hukum Islam tersebut senatiasa melibatkan dialektika budaya yang terus menerus, sehingga menghasilkan fiqh. Berpijak pada praktek Rasulullah dalam melakukan tashri' al-Islam menunjukkan bahwa Hukum Islam yang hadir di muka bumi ini tidak melompat dari ruang hampa muncul dalam waktu tiba-tiba. Sebaliknya kehadiran Hukum Islam bahkan isi al-Qur’an pada mulanya terikat oleh ruang, rentetan waktu dan peristiwa. Semua itu terjadi sebagai upaya resposif pasa persoalan-persoalan yang berkembang pasa masa itu. Meskipun sudah ada al-Qur’an dan Sunnah, mengingat begitu pentingya kehadiran al-’Urf sehingga para sahabat sepeninggal rasulullah tidak menutup diri untuk mengambil tradisi dan sistem masyarakat lain Muhammad el-Awa, the Place of Custom ('urf) in Islamic Legal Theory, 177-178. Lebih lanjut menurut el-Awa bahwa argumentasi Rasulullah dalam menyetujui al-'urf sebagai sumber hukum Islamkarena al-'urf mampu menyediakan pemecahan (solutions) yang diperkirakan bisa memberi kepuasan kebutuhan masyarakat tertentu. 15 Pada wilayah ini pun sebagian umat Islam juga masih belum bisa membedakan antara tradisi Arab dengan ajaran Islam (bersumber dari al-Qur'an dan Hadith). Bahkan mereka masih menyamakan bahwa Arab adalah Islam dan Islam adalah yang berkaitan dengan Arab. 16 Dalam pembahasan historis-antropologis, Nizar Abazhah membahasnya dalam Fi Madinah al-Rasul, yang diterjemahkan secara bagus oleh Asy’ari Khatib, dan diterbitkan dengan judul Ketika Nabi di Kota: Kisah Sehari-hari Nabi di Kota, (Jakarta: Zaman, 2010) 17 Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter; the Experience of Indonesia, (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001), 7 18 Pada kasus ini bisa dilihat pada penetapan hukum yang berkaaitan dengan hukum pernikahan, kewarisan, persaksian di kalangan masyarakat Arab. Pada mulanya perempuan Arab diperlakukan seperti barang yang bisa diperjual belikan dan diwariskan. Mereka tidak mempunyai hak apa pun untuk menetukan diri mereka sendiri. 14 137 JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011 selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah.19 Fungsi alQur’an dan as-Sunnah, dalam hal ini, selain sebagai sumber inspirasi penggalian hukum juga menjadi petunjuk pelaksanaan pembentukan Hukum Islam. Bahkan bisa ditegaskan keabadian al-Qur’an sebagai wahyu tuhan, fungsi dan perannya kan terus berkelanjutan jika ulama bersikap akomodatif terhadap al-’Urf di seluruh penjuru dunia dan segala zaman. Upaya transformasi kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah pada suatu masyarakat hannya akan membatasi keabadian wahyu tuhan.20 Karena alQur’an sebagai petunjuk melihat persoalan kemanusiaan.21 Para sahabat yang mengikuti langkah Rasulullah, terlihat pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Amir al-Mu'minin ini mengadopsi sistem dan keorganisasian dalam kekhalifahannya sesuai dengan model yang pernah diterapkan oleh penguasa Bizantium (Byzantine).22 Tampaknya, baik pada lapis pertama (masa Rasulullah) maupun pada lapis kedua (masa sahabat) keberadaan al-’Urf dianggap sebagai salah satu sumber dan landasan pembangunan Hukum Islam. Artinya pada periode awal Islam al’Urf menjadi landasan signifikan dalam pembangunan hukum. Sayangnya, pada periode berikutnya al-’Urf justru menjadi perdebatan dalam Islam. Pasca zaman sahabat, keterlibatan umat Islam maupun ulama begitu intensif dan sangat bervariasi. Mereka harus berhadapan dengan persoalan-persoalan baru yang belum pernah ditetapkan dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, terutama pada persoalan politik dan hukum. Selain itu sistem pemerintahan teokratis--yang dikembangkan oleh Bani Ummayyah dan Bani Abbasiyyah-- tampaknya telah mempunyai andil yang cukup besar terhadap lahirnya perbedaan paham baik dari segi materi hukum (al-fiqh) metodologi hukum (usul al-fiqh) maupun proses pengambilan hukum (istinbat al-Hukm). Perbedaan ini pula mempengaruhi para ulama-ulama fiqh maupun ulama usul al-fiqh dalam Muhamed el-awa, The Place Of Custum (Urf) In Islamic Legal Theory, 179. Banyak ayatayat al-Qur'an yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat, seperti konsep jual beli yang sudah ada sebelum Islam. Lihat, selanjutnya pada Nasrun Hoeron, Usul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 142 20 Tentang persoalan sebagai agama yang akomodatif daripada transformatif, lihat dalam Bryan s. Turner, Weber And Islam: A Critical Study (London: Routledge and Kegan Paul, 1974), cet, ke-1, 171 21 Mahmoud M. Ayoub, Islam Faith And Practive, 65-67 22 Setelah Rasulullah wafat dan kekhalifahan Islam dikendalikan Umar Bin Khattab, Islam telah mampu menguasai wilayah di luar Arab. Masyarakat Islam pun berhadapan dengan tradisi hukum baru yang belum pernah ditetapkan oleh Rasulullah. Dalam hal ini Ibn Khaldun menuliskan bahwa beberapa sistem dan tradisi suatu masyarakat yang diadopsi oleh Umar Bin Khattab adalah pembentukan diwan untuk urusan pasukan bersenjata (jund) dan persoalan keuangan negara (kharaj). Umar "berkiblat" pada pengalaman penguasa Byzantine. 19 138 Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam memperlakukan al-’Urf sebagai sumber Hukum Islam. Padahal, secara umum madhhab-madhhab besar seperti Hanafiyah, Malikiyah, Hanbaliyah dan Shafi'iyah menggunakan al-’Urf sebagai landasan Hukum Islam, hanya saja dalam jumlah dan perinciannya, mereka berbeda pendapat.23 Penerimaan al-’Urf sebagai dalil shara' ini di kalangan para ulama fiqh diperkuat oleh Imam al-Shat}ibi (w.790 H/ ahli usul fiqh Maliki) dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691 – 751 H / 1292 – 1350 M/ ahli usul fiqh Hanbali).24 Imam Malik misalnya dalam memutuskan persoalan fiqhiyah senantiasa menyandarkan pada al-’Urf yang dilakukan oleh masyarakat Madinah. Sikap yang sama dilakukan oleh Imam Shafi'i ketika berada di Mesir dan di Baghdad. Karena al-’Urf di Mesir dan di Baghdad berlainan, maka Imam Shafi'i pun merubah qawl al-qadim menjadi qawl al-jadid.25 Langkah para ulama tersebut ketika mereka menentukan keputusan hukum mereka senantiasa menggunakan al-'urf.26 Hal ini semakin menegaskan bahwa al-’Urf kapan pun dan di mana pun, dalam konteks pembangunan hukum, merupakan sesuatu yang mutlak ada. Al-’Urf : Suatu Keniscayaan Hukum Munculnya istilah illat (sesuatu yang dapat mengubah keadaan)27 hukum yang senatiasa menyertai dalam penetapan hukum (tashri' al-hukm) menjadi bukti nyata bahwa Hukum Islam terlahir karena munculnya kausalitas sosio-antropologis. Selain itu rekaman sebab-sebab turunnya al- Satria Effendi Muh. Zein, Ushul Fiqh, 273 Nasrun haroen, Ushul Fiqh, 142. Lebih jauh para ulama membagi al-‘urf tiga macam yaitu: dari segi obyeknya, terdiri dari al-urf al-lafzi dan al-urf al-amali. Dari segi cakupannya terdiri dari al-urf al-aam dan al urf al-khas}. Dan dari segi keabsahannya al-urf terdiri dari al-urf al-s}ahih} (kebiasaan suatu masyarakat yang tidak bertentangan dengan nas}) dan al-urf al-fasid (kebiasaan suatu masyarakat yang bertentangan dengan nas} dan bertentangan dengan kaidah-kaidah yang dalam shara’.) 25 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, 135 26 Pada kasus ini kita bisa membandingkan tulisan Tuner, mengutip H. Stuart Hughes, bahwa pengembangan hukum umum dan prosedur hukum bisa dilihat melalui beberapa tahapan beikut: pertama: wahyu hukum dari tuhan, melalui hukum para nabi; kedua: kreasi empiris dan penemuan hukum berdasarkan pada hukum orang-orang terhormat, ketiga: pembebanan hukum oleh penguasa teokrasi, keempat: penguraian sistematis atas hukum dan administrasi keadilan yang profesional oleh orang yang menerima latihan hukum dalam pola pembelajaran dan logika formal. Lihat dalam Bryan S. Turner, Weber And Islam: A Critical Study, 110 27 Satria Effendi Muh. Zein, Ushul Fiqih, 267. Menurut Wahbah az-Zuhaili, illat adalah suatu sifat yang konkrit dan keberadaannya dapar dipastikan pada setiap pelakunya dan menrut sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum, yaitu mewujudkan kemaslahatan dengan meraih manfaat dengan menolak kemadaratan. 23 24 139 JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011 Qur’an (asbab al-nuzul) yang mengiringi wahyu Allah disampingkan kepada Nabi Muhammad Saw bukan terlepas dari persoalan sosial kemasyarakatan. Sebaliknya ia sangat terkait erat dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Persoalan teologis, idiologis, politis, maupun ekonomi terlihat dengan begitu nyata ketika ayat-ayat tertentu membicarakan hubungan antara umat Islam dengan umat non Islam (Yahudi, Nasrani, Kafir Quraish, dan Majusi). Oleh karena itu, tidaklah belebihan jika rasulullah sebenarnya tokoh yang senantiasa menggunakan al-’Urf sebagai sumber hukum. Dan, dalam bangunan Hukum Islam dari zaman Rasulullah hingga hari ini, tidak bisa dipisahkan dari faktor al-'urf.28 Meskipun al-’Urf masih menjadi persoalan di kalangan fuqaha tetapi adanya tidak bisa dihindari. Persoalan tersebut terkait erat dengan belum adanya kesepakatan tunggal,29 tentang al-'urf. Karena memang sebagian fuqaha memahami bahwa al-’Urf merupakan salah satu topik yang paling kontroversial dalam perdebatan Islam. Perdebatan tersebut berkisar apakah al-’Urf bisa dijadikan sebagai sumber Hukum Islam atau tidak.30 Al-Ur'f secara literer artinya diterima, yang menunjukkan hukum-hukum tidak tertulis pada tradisi lokal. Al-'urf semakna dengan adat yang merujuk pada produk-produk aturan konvensi yang berlaku lama, atau adopsi dengan sengaja atas kelayakan menurut lingkungan sekitar. Lih., Levy, Social Structure of Islam, (Cambridge, 1969), 248, Abdul Wahhab Khallaf, mendefinisikan al-'urf sebagai praktek masyarakat (dalam persoalan hubungan legal) meliputi perkataan atau perbuatan, termasuk di dalamnya al-'urf yang umum maupun yang bersifat personal, al-Siyasi al-Shari'iyyah (Cairo, 1977), 145., lihat juga Khallaf dalam Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany, (Jakarta, 1996), 133134. Al-Zarqa' mendefiniskan al-'urf sebagai satuan legal yang dipraktekkan oleh masyarakat dalam kehidupan formal bahkan ketika diumumkan oleh penguasa legeslatif, al-Madkhal al-Fiqh; al-'Amma, (Damaskus, 1963) juz II., 836. Azhar Basyir, mengartikan al-'urf dengan kepatuhan, sesuai dengan adat kebiasaan, dengan merujuk pada al-Baqarah 233. Lih., Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Ijtihad dalam Hukum Islam, (Bandung; Mizan, 1996), cet., ke-4, 52. 29 Dengan nada apologetis tidak adanya kesepakatan tunggal di kalangan umat Islam seringkali dipahami sebagai rahmat yang diberikan kepada uamt Islam. Mereka biasanya merujuk pada hadith yang populer, bahwa perbedaan dikalangan umatku (Nabi Muhammad saw) adalah rahmat. 30 Penulis sendiri sampai saat ini turut bingung dengan perdebatan tersebut. Beberapa penulis tentang persoalan dalam Islamic Legal Theory senantiasa menjadikan al-'urf sebagai sumber hukum Islam (The sources of Islamic Law). Seharusnya perbedaan pandangan itu bisa dieliminasi dengan lebih rasional dan sistematis bilaumat Islam bisa menggunakan logika berfikir dan pengambilan hukum yang konsisten. Selain itu persoalan yang lain adalah apakah al-'urf akan dijadikan sebagai materi (bahan yang pertimbangan) hukum Islam atau sebagai salah satu metode penampilan hukum. Dalam hal ini tampaknya para ulama masih belum menemukan format baku. 28 140 Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam Sebagian para fuqaha’ mengakui bahwa kehadiran al-’Urf merupakan unsur yang penting dalam pembangunan, penafsiran, serta penetapan sanksi atas Hukum Islam. Karena al-’Urf 31–-sebagai adat istiadat-merupakan bagian kultur yang ada dalam kehidupan masyarakat, yang menjadi salah datu faktor stabilitas sosial dan mempunyai kekuatan hukum ditaati dan mengandung sanksi.32 Bahkan al-’Urf menjadi sumber hukum valid yang merupakan suatu keharusan (a necessary, darurat) atau suatu kebutuhan (a need, hajat). Secara umum al-’Urf diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan madhhab H}anafiyyah dan Malikiyyah. Ulama H}anafiyyah menggunakan istihsan (salah satu metode ijtihad yang mengambil sesuatu yang lebih baik yang tidak diatur dalam shara’) dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al-’Urf (istihsan yang menyandarkan pada al-‘urf). Oleh ulama Hanafiyyah, al-’Urf itu didahulukan atas qiyas khafî (qiyas yang ringan) dan juga didahulukan atas nas} yang umum, dalam arti al-’Urf itu men-takhshis nas} yang umum. Ulama Malikiyyah menjadikan al’Urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Ulama Shafi`iyyah banyak menggunakan’Urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalam shara’ maupun dalam penggunaan bahasa. Dalam menanggapi adanya penggunaan’Urf dalam fiqh, al-Suyut}i mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah al‘adat muhakkamah (adat itu menjadi pertimbangan hukum).33 Dalam fungsi dan peran praksisnya al-’Urf memainkan peranan penting di dalam sejarah perkembangan dan kebangkitan manusia baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan lainnya.34 Dari sinilah penulis memahami bahwa al-’Urf merupakan 'medium wajib' yang menghubungkan antara sumber utama Hukum Islam (al-Qur’an dan h}adith) dengan fiqh. Dengan kata lain, peran al-’Urf secara teoritis maupun praksis historis dalam pembangunan hukum sangat esensial dan signifikan. Alasan apa pun yang dikemukakan baik secara teologis, ideologis, ekonomi Posisi al-'urf (custom, tradition, conventional rule of the community) ini tingkat pentingnya bukan hanya dalam pelaksanaan hukum Islam saja tetapi semua sistem hukum yang ada di dunia ini terbangun, tertetapkan,dan tersistematisir menurut logika hukum sedikit banyak senantiasa dengan mempertimbangkan al-'urf merupakan unsur universal dan esensial dalam setiap pembangunan hukum. 32 Ahmad Azhar Basyir, ‚Pokok-Pokok Ijtihad Dalam Hukum Islam‛, dalam Jalaluddin Rahmat, (ed.), Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung; Mizan, 1996), cet., ke-4, 52. 33 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001),473 34 Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tashri' fi al-Islam, terj., Ahmad Sudjono, SH., (Bandung; al-Ma'arif, 1981), cet., ke-2, 190-191 31 141 JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011 maupun politis dalam upaya untuk menjadikan al-’Urf sebagai sumber hukum, bisa dipertimbangkan. Karana al-’Urf merupakan fakta awal yang menjadi dasar hukum pembangunan suatu hukum. Lebih jauh dari itu, menurut logika sosial bahwa kelahiran hukum bermula, di antaranya, dari kesepakatan-kesepakatan yang dibangun oleh masyarakat berdasarkan fakta sosial. Dengan kata lain, al-’Urf dengan beberapa unsurnya yang meliputi fakta sosial, antropologis, serta dinamika ekonomi politik tidak bisa dipisahkan dari proses pembentukan hukum. Karena al-’Urf adalah esensi dan subtansi hukum itu sendiri, hanya bedanya terletak pada wujudnya yang tidak atau belum dikondifikasikan secara sistematis menurut alur hukum yang berlaku. Tampaknya ungkapan pro bono publico, atau adat-istiadat itu harus dipertahankan, ketika tidak diberlakukan, maka harus dicabut,35 menjadi landasan penting dalam pembangunan hukum. Karena adat atau al-’Urf merupakan fakta pendahuluan dari sebuah hukum. Bila ditinjau dari jenis pekerjaannya, al-’Urf dibagi menjadi dua; al’Urf al-qawli (kultur linguistik) dan al-’Urf al-fi’li (kultur normatif). Dan jika ditinjau dari aspek kuantitas pelakunya, al-’Urf terbilah menjadi al-’Urf al‘am dan al-’Urf al-khas}. 1. al-’Urf al-Qawli dan Fi’li al-’Urf al-Qawli adalah sejenis kata, ungkapan, atau istilah tertentu yang diberlakukan oleh sebuah komunitas untuk menunjuk makna khusus, dan tidak ada kecenderungan makna lain di luar apa yang mereka pahami.36 Artinya ketika kata itu diucapkan, maka yang terbesit dalam hati mereka adalah makna yang khusus tersebut, bukan antonim makna lainnya. Hanafiyyah dan Shafi’iyyah menamakan al-’Urf al-qawli ini dengan istilah al-’Urf al-mukhassasah. 37 contohnya ketika orang Arab mengucapkan walad (anak), maka mereka pasti mengartikannya sebagai anak laki-laki, bukan anak perempuan. Begitu pula dengan kalimat lahm (daging), yang dimaksud pasti bukan dagiung ikan asin atau ikan laut, melainkan daging binatang peliharaan, seperti daging sapi, kambing, ayam, daging hewan peliharaan lainnya. 38 Sementara al-’Urf al-fi’li (dalam istilah lain disebut sebagai al-’Urf al-amali) adalah sejenis pekerjaan atau aktivitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma Mohammed el-Aeal, the Place of Custom ('urf) in Islamic Legal Theory, h. 178 Wahbah al-Zuhaily, Subul al-Istifadah min al-Nawazil wa al-Fatawa wa al-Amal al-Fiqhy fi Tatbiqat al-Mu’asirah, (Damaskus: Dar al-Maktab, 2001), 48 37M. Sidqi al-Burnu, al-Wajiz fi Idah Qawaid al-Fiqhal-Kulliyah, (Beirut: Muassasah alRisalah, 1983), 160 38 Abdul Wahhab Khallaf, Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, 89 35 36 142 Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam sosial.39 Dalam budaya masyarakat Arab, al-’Urf al-fi’li dapat disaksikan pada transaksi jual beli tanpa sighat (bay’ al-mu’atah) yang sudah sangat umum terjadi. Karena sudah sangat mudah dijalankan, kebiasaan ini sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Tak heran jika qawl mukhtar memperbolehkan transaksi model ini, dengan catatan hanya pada barang yang bernilai nominal rendah (muhqirat), sebab tradisi tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat yang sulit dihindari. Inilah salah satu aplikasi bentuk kaidah al-‘adat al-muhakkamah.40 2. al-’Urf al-Am dan Khas Jika ditinjau dari aspek pelakunya, adat terbagi menjadi dua kategori umum, yaitu adat ‘urfiyyah ammah (budaya global universal) dan adat ‘urfiyyah khassah (budaya parsial-partikular). Perinciannya adalah sebagai berikut a. adat ‘urfiyyah ammah adalah bentuk pekerjaan yang sudah berlaku menyeluruh dan tidak mengenal batas waktu, pergantian generasi, atau letak geografis. Tradisi jenis ini bersifat lintas batas, lintas cakupan, dan lintas zaman. 41 Adat ‘urfiyyah ammah bisa berbentuk ucapan (qawli) atau pekerjaan (fi’li). b. adat ‘urfiyyah khassah ialah sejenis kebiasaan yang berlaku di kawasan atau golongan tertentu, dan tidak tampak pada komunitas lainnya. 42 Tradisi jenis ini bisa berubah dan berbeda disebabkan perbedaan tempat dan waktu. Ia juga bisa didefinisikan sebagai sebuah tradisi yang dijalankan golongan tertentu, baik dalam satu kawasan, komunitas intelektual, komunitas profesional, dan lain sebagainya. Budaya jenis ini bisa berupa ucapan atau perbuatan. Selain adat ‘urfiyyah ammah dan adat ‘urfiyyah khassah, Muhammad S}idqi bin Ahmad al-Burnu menambahkan satu kategori lagi, yaitu adat ‘urfiyyah shar’iyyah (budaya shar’i).43 Contohnya seperti istilah shalat’ asal maknanya adalah berdoa, sementara dalam terminologi shariat mempunyai Wahbah al-Zuhaily, Subul al-Istifadah, 48 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh…, 89 41 Dalam kategori yang pertama ini, Abdul Karim Zaidan memberi tambahan kata sifat al-Islamiyyah pada kalimat balad (kawasan) yang menjadi tempat berseminya tradisi global ini. dengan demikian adat ‘urfiyyah ammah versi Abdul Karim Zaidan ini hanya tradisi yang hidup dan berkembang di negara-negara Islam. Sejauh penelusuran penulis, kata sifaty Islamiyyah ini tidak ditemukan dalam literatur usul fiqh maupun kaidah fiqh yang lain, selain al-Wajiz karya Abdul Karim Zaidan. Lebih lengkapnya, silahkan lihat Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz , 253 42 Abdul Karim Zaydan, al-Wajiz , 253 43 Muhammad Sidqi Ibn Ahmad al-Burnu, al-Wajiz, 157 39 40 143 JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011 pengertian’ ‚setiap pekerjaan yang diawali takbir dan diakhiri dengan salam‛. Bila ditilik secara umum, sebenarnya hanya terdapat dua kategori aladat lagi, yakni al-adat al-sahih dan al-adat al-fasid. Perinciannya adalah sebagai berikut: 1. al-adat al-sahih, yakni bangunan tradisi yang tidak bertentangan dengan dalil shar’I, tidak mengharamkan sesuatu yang halal, tidak membatalkan sesuatu yang wajib,44 tidak menggugurkan cita-cita kemaslahatan, serta tidak mendorong timbulnya mafsadah.45 Contohnya adalah adat masyarakat feodal Irak yang membagi mas kawin menjadi mahar hal (kontan) dan mahar mu’ajjal (tunda), atau pemberian bingkisan seorang pemuda kepada kekasihnya sebelum dilangsungkan akad nikah, dimana semua itu dianggap sebagai hadiah, bukan mahar. Karena tradisi di atas berlawanan dengan shari’at, maka boleh dipelihara dan dijadikan pijakan hukum. 2. al-adat al-fasid, yaitu tradisi yang berlawanan dengan dalil shari’at, atau menghalalkan keharaman maupun membatalkan kewajiban,46 serta mencegah kemaslahatan dan mendortong timbulnya kerusakan.47 Contohnya adalah kebiasaan masyarakat Arab jahiliyyah yang mengubur anak perempuan hidup-hidup karena dianggap sebagai aib, berjudi atau taruhan, rentenir, pesta pora, dan lain sebagainya. Jenis kedua ini sudah pasti bertentangan dengan shari’at. Para ulama sepakat bahwa al-adat al-sahih wajib dipelihara dan diikuti bila sudah menjadi norma-norma sosial. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Karim Zaydan, bahwa Nabi saw. sendiri cukup responsif dan apresiatif terhadap cita-cita kemaslahatan masyarakat Arab melalui adat istiadat mereka. Syarat kafa’ah (sepadan) dalam pernikahan, atau perhitungan sifat ‘as}abah (kekerabatan) dalam perwalian dan waris mewaris yang sebenarnya adalah tradisi masyarakat Arab pra-Islam ternyata diadopsi oleh Nabi saw. Sebaliknya al-adat al-fasid jelas tidak boleh dipelihara, karena pemeliharaan terhadap tradisi ini akan mengakibatkan kerusakan Muhammad Sidqi Ibn Ahmad al-Burnu, al-Wajiz, 157 Abdul Karim Zaydan, al-Wajiz , 253 46 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh…, 89 47 Abdul Karim Zaydan, al-Wajiz , 253 44 45 144 Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam Posisi al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam Mayoritas ulama sepakat bahwa sumber utama Hukum Islam adalah al-Qur’an 48 dan Sunnah.49 Sumber hukum Islam lainnya adalah Ijima,50 Qiyas dan sumber terakhirnya adalah al-'urf.51 Mahmassani, secara ekplisit menuliskan bahwa sumber Hukum Islam hanya meliputi al-Qur’an, asSunnah, Ijma dan Qiyas.52 Mahmassani tidak memasukkan al-’Urf sebagai sumber Hukum Islam, melainkan memasukkannya sebagai sumber luar dalam pembangunan Hukum Islam.53 Tidak dimasukkannya masih al-’Urf sebagai dan dalil Hukum Islam karena kehadirannya masih diperselisihkan di kalangan para ulama. Selain al-'urf, sebagai sumber hukum lain yang Pemahaman terhadap sumber utama (al-Qur'an) tersebut mengalami dinamika yang cukup beragama. Ibrahim Hosen menjelaskan bahwa pada periode salaf kecenderungan ulama memahami al-Qur'an secara harafiah yang tidak sesuai dengan maksud al-Qur'an itu sendiri. Dalam rangka pengembangan hukum Islam, Ibrahim Hosen menekankan bahwa jika terdapat peraturan yang tidak terdapat dalam al-Qur'an tetapi jiwa dan semangatnya sesuai dengan al-Qur'an maka peraturan tersebut harus diteima. Mereka yang menolak peraturan tersebut bisa diancam sesuai dengan al-Qur'an dalam surat alMaidah (5): 44. Selanjutnya lih., Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam, Dalam Muhammad Wahyuni Nafis, Kontektualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet., ke-1., 267-268 49 Pada mulanya para ulama bersikap selektif terhadap materi as-Sunnah (perkataan, perbuatan, dan pernyataan) sebagai sumber Hukum Islam. Mereka memilih apakah materi as-Sunnah tersebut bermuatan penetapan hukum (Tashri' al-Ahkam) atau sebagai insan biasa (bashariyah). Namun demikian para ulama tidak lagi melakukan seleksi atas Sunnah melainkan menggabungkan baik sebagai proses tashri' maupun sebagai sikap bashariyah, mereka mengambil argumentasi naqli pada QS., al-Ahzab/33;21, "Sungguh dalam pribadi Rasul terdapat suri tauladan yang baik bagi kamu semua" dan QS., alHashr/59;7, "Apa yang datang kepadamu dari Rasul, maka ikutilah dan apa yang dilarang oleh Rasul maka jauhilah". Selanjutnya dalam upaya pemaharuan hukum Islam, jika ingin melahirkan hukum yang baik maka langkah yang harus ditempuh adalah dengan melakukan seleksi terhadap hadith-hadith terutama yang berkaitan dengan tashri' al-ahkam. 50 Sebagai catatan, penulis menaruh perhatian yang serius pada istilah ijma' tersebut. Bahkan lebih jauh penulis berasumsi bahwa di samping sebagai sumber hukum Islam (dalam bentuknya sebagai materi hasil kesepakatan) penulis juga beranggapan bahwa ijma' juga sebagai salah satu metode istinbat} hukum Islam. 51 Dari sekian ulama yang secara eksplisit menerima al-'urf sebagai landasan pembentukan hukum Islam adalah Abdul Karim Zaidan. Namun demikian al-'urf yang bisa diterima sebagai landasan hukum harus melliputi persyaratan sebgai berikut; tidak bertentangan dengan al-Qur'an as-Sunnah; bersifat umum; telah ada ketika terjadinya peristiwa yang akan dilandaskan kepada al-'urf, tidak ada kesepakatan pihak-pihak terkait yang berlainan dengan al-'urf. 52 Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tashri' fi al-Islam, 5 53 Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tashri' fi al-Islam, 5 48 145 JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011 diperselisihkan di kalangan ulama adalah istihsan, maslahah al-mursalah, istishab, shar'u man qablana dan sadd az-zari'ah.54 Al-’Urf lebih kuat dari qiyas karena ’urf adalah dalil yang berlaku umum dan bukti bahwa sesuatu memang dibutuhkan. Contoh: sucinya kotoran merpati sesuai ’urf yang terjadi pada mesjid, bahkan masjid alharam. Ini tidak bisa diqiyaskan pada kotoran ayam. Perbedaan ’Urf dengan ’Ijma Tabel 2. Tabel perbandingan antara ’Ijma dengan ’Urf ’Ijma ’Urf Dasarnya adalah kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum syar’i setelah Nabi SAW wafat Tindakan mayoritas individu baik ’awam maupun ulama dan tidak harus dalam bentuk kesepakatan Harus berdasarkan dalil Syara Tidak harus berdasarkan dalil Syara ’Ijma ada yang sampai kepada kita dan ada yang tidak Relatif sama dengan sejarah Merupakan hujjah yang mesti dilakukan Tidak menjadi hujjah yang harus dilakukan karena ’urf ada yang shahih dan ada yang bathil Beberapa usuliyyin memang ada yang tidak menyebutkan pengaruh sebuah adat dalam pembahasan dalil-dalil mereka, namun sebagian yang lainnya menggunakannya. Mereka mengambil kaidah kulliyah dari kaidah fiqh. Mereka membicarakan sebuah tradisi di bawah kaidah al-‘adah mukhakamah, kemudian menertibkannya ke dalam cabang-cabang, kaidahkaidah, dan hukum-hukum. Diantara para usuliyyin tersebut adalah; Izzuddin ibn ‘Abdissalam, Amadi dan Ibn Khajib.55 Para ulama, yang menggunakan al-’Urf sebagai landasan atau sumber pembangunan Hukum Islam, bersepakat bahwa hukum yang dibentuk berdasarkan pada al'-'urf bertahan selama al-’Urf telah berubah, maka kekuatan hukum itu pun juga berubah. Dengan kata lain, bahwa ketetapan Hukum Islam yang dibangun bersumberkan pada al-’Urf tidak mempunyai ketetapan yang abadi. Konskuensi lainnya adalah ketetapan atas al-’Urf pun Satria Effendi Muh. Zein, Ushul Fiqh, 269 Ruqayyah Taha Jabir al-‘Awani, Atsar al-‘Urf fi Fahmi al-Nushush; Qodoya al-Mar'ah AnNamudzajiyyan,52 54 55 146 Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam tidak bisa diberlakukan di suatu masyarakat yang hidup kemudian, kecuali dijadikan bahan pertimbangan. Berikut syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama diperbolehkannya al-’Urf sebagai sumber Hukum Islam , adalah:56 1. Al-’Urf berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakukannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut. 2. Al-’Urf sudah ada sebelum munculnya kasus yang akan ditetapkan hukumnya 3. Al-’Urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu aqad (transaksi) 4. Al-’Urf tidak bertentangan dengan nas}. Dengan persyaratan tersebut di atas para ulama memperbolehkan penggunaan al-’Urf sebagai sumber Hukum Islam. Tentunya persyaratan tersebut muncul bukan tanpa alsan, tetapi persoalan teologis, dan sosiohistoris-antropologis, menjadi pertimbangan utama. Namun demikian, jika terjadi ertentangan antara al-’Urf dengan nas al-Qur’an sulit rasanya untuk menentukan siapa ulama yang paling berwenang dalam menentukan keabsahan al-’Urf sebagai sumber hukum. Apalagi jika teks-teks nash hanya dipahami oleh sekelompok umat tanpa melibatkan aspek pemaknaan lainnya, maka hal itu membuka terjadinya utoritarianisme di kalangan umat Islam. Tetapi, keyakinan bahwa al-Qur’an, yang bersifat abadi itu, sebagai sumber Hukum Islam akan terlihat jika terjadi proses akomodasi bukan transformasi. Penutup Kehadiran al-’Urf dalam pembangunan hukum –baik Hukum Islam maupun hukum non Islam– menjadi faktor yang paling penting. Padanya realitas teks-teks keagamaan, politik, maupun ekonomi bisa ditelusuri makna-makna yang terkandung di dalamnya, apalagi dalam konteks perkembangan (hukum) Islam di indonesia. Bahkan secara konseptual maupun material dirinya menjadi landasan dan hukum pembangunan hukum. Dengan kata lain al-’Urf itu sebagai pro bono publico, padanya hukum bermula jika terdapat gantinya maka bisa ditinggalkan. Langkah-langkah pengambilan al-’Urf sebenarnya telah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat, dan para ulama pasca sahabat. Munculnya asbab al-nuzul dalam kontek turunnya al-Qur’an atau asbab al-wurud dalam kaitannya dengan keluarnya H}adith Rasulullah menunjukkan bahwa Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, 144. Lihat juga Muhamed el-Awa, The Place Of Custom (Urf) In Islamic Legal Theory, 181-182 56 147 JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011 kedua terminologi tersebut merujuk pada realitas al-’Urf pada masa itu. Namun demikian, para ulama salaf lebih berhati-hati dalam menjadikan al’Urf sebagai sumber hukum. Mereka akan menerima al-’Urf dengan terlebih dahulu menawarkan syarat-syarat, di antaranya al-’Urf yang dijadikan sebagai sumber hukum tidak bertentang dengan teks-teks nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Selanjutnya, sehubungan dengan masyarakat muslim di Indonesia – meskipun bukan satu-satunya penentu masa depan Islam– sangat ditentukan oleh kecerdasan dan kepekaan umat Islam dalam rangka membaca al-’Urf yang saat ini menjadi realitas modern. Barangkali al-’Urf di zaman yang akan datang bukan hanya pada realitas dan fenomena sosial, melainkan juga pada realitas dan fenomena gagasan. Oleh karena itu sikap mengecilkan peran al-’Urf dalam pembangunan Hukum Islam dan pengembangan pemikiran Islam hanya akan mempersempit cakupan visi dan orientasi Islam , sebagai akhir dari rahmatan li al-'alamin. 148 Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-’Urf dalam Bangunan Hukum Islam DAFTAR PUSTAKA Abazhah, Nizar, Ketika Nabi di Kota: Kisah Sehari-hari Nabi di Kota, terj. Asy’ari Khatib, Jakarta: Zaman, 2010 al-‘Awani, Ruqayyah T}aha Jabir, Atsar al-’Urf fi Fahmi al-Nushush; Qodoya al-Mar'ah An-Namudzajiyyan, Beirut: ‘Alam al-Kutb, tt al-Burnu, M. S}idqi, al-Wajiz fi Id}ah Qawaid al-Fiqhal-Kulliyah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983 Al-Qarrafi, Syaihabuddin Ahmad ibd Idris, al-Furuq fi Anwa’il Buruq, Beirut: ‘Alam al-Kutb, tt al-Zuhaily, Wahbah, Subul al-Istifadah min al-Nawazil wa al-Fatawa wa al-Amal al-Fiqhy fi Tatbiqat al-Mu’asirah, Damaskus: Dar al-Maktab, 2001 Basyir, Ahmad Azhar. ‚Pokok-Pokok Ijtihad Dalam Hukum Islam‛, dalam Jalaluddin Rahmat, (ed.), Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung; Mizan, 1996 el-Aeal, Mohammed. the Place of Custom ('urf) in Islamic Legal Theory, h. 178 Haq, Abdul. dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Surabaya: Khalista & Kakilima Lirboyo, 2006 Khallaf, Abdul Wahab, Ilm Usul Fiqh, Qahirah: Dar al-Qalam, tt ________. Ilmu Ushulul Fiqh, ter. Masdar Hilmy. Bandung: Gema Risalah Press 1997 _______. Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996 _______. al-Siyasi al-Shari'iyyah, Cairo 1977 Mahmassani, Sobhi. Falsafah al-Tashri' fi al-Islam, terj., Ahmad Sudjono, SH., Bandung; al-Ma'arif, 1981 Hoeron, Nasrun. Usul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 149 JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011 Hosen, Ibrahim. ‚Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam‛, Dalam Muhammad Wahyuni Nafis, Kontektualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, 1995 Muh. Zein, Satria Effendi. ‚Ushul Fiqih‛, dalam Taufik Abdullah (et.al), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, jilid III, 2001 Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001 Turner, Bryan S., Weber And Islam: A Critical Study. London: Routledge and Kegan Paul, 1974 Zaidan, ‘Abdul Karim, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Muassasah al-Risalah, vol. IIX, 2001 150