BAB IV STUDI KASUS 4.1. Analisa Hasil Assessment Asessment atau penilaian dari manajemen proyek BTEL dilakukan selama 17 hari dengan hasil penilaian terhadap 9 pegawai BTEL dari 3 region yang berbeda, yang aktif berkecimpung pada manajemen proyek secara langsung. Region yang dipilih adalah Bandung, Jakarta dan Bali. Hasil dari penilaian ini akan menjadi bahan utama selain hasil interview dan literatur untuk memilih model manajemen proyek yang terbaik untuk digunakan oleh BTEL, pemilihan model manajemen proyek ini akan dibicarakan pada bab selanjutnya dimana akan dilakukan analisa terhadap model yang telah digunakan terlebih dahulu pada bab ini. 4.1.1 Analisa Dimensi PMMM Dari penilaian yang didapat maka dapat dianalisa penggunaan manajemen proyek pada BTEL sudah mencapai titik pencapaian tertentu, sesuai dengan hasil yang didapatkan pada setiap tingkatan dimensi PMMM. 4.1.1.1 Analisa Dimensi Common Language Pada tingkatan pertama yang dinilai adalah kemampuan dasar ataupun pengetahuan dasar mengenai manajemen proyek yang merupakan standar internasional dari penggunaan panduan PMBOK (Project Management Book Of Knowledge) yang dikeluarkan oleh PMI (Project Management Institute). Tingkatan dasar ini mampu mengekplorasi pengetahuan sumber daya yang berkenaan dengan manajemen proyek didalam BTEL. Apabila bahasa yang digunakan, standar yang diaplikasi, prosedur dan pengetahuan dasar yang kuat sudah dimiliki oleh seluruh sumber 67 daya didalam BTEL, maka BTEL dapat dikategorikan sebagai sebuah perusahaan yang mengerti akan pentingnya manajemen proyek dalam mencapai keberhasilan perusahaan. Beberapa karakteristik yang dimiliki oleh perusahaan yang sudah melewati tingkatan Common Language ini adalah: • Apabila perusahaan belum mengunakan manajemen proyek secara menyeluruh, dan hanya menggunakannya hanya pada saat dibutuhkan pada suatu proyek saja. Baik itu pada manajemen senior ataupun pada manajemen tingkat menengah, hanya memberikan dorongan tentang penggunaan manajemen proyek secara tidak berarti atau hanya omong kosong belaka, dukungan dari tingkat eksekutif juga tidak ada. • Hanya terdapat sedikit “kantong” kepentingan dalam manajemen proyek, dan sebagian besar kepentingan yang ada bagi bawahan hanya menyelesaikan proyek yang datang dari perintah perusahaan. • Tidak tumbuhnya keinginan yang terbentuk untuk mengetahui keuntungan dari penggunaan manajemen proyek. Para manajer biasanya lebih mementingkan kekuasaan, tahta dan jabatan, hal ini akan membahayakan bagi manajemen dalam mengaplikasi aturan atau pendekatan baru. • Penentuan kebijakan lebih berdasarkan pada kepentingan pembuat kebijakan, daripada kepentingan perusahaan secara keseluruhan. • Tidak adanya investasi dan dukungan untuk pelatihan dan pendidikan mengenai manajemen proyek karena takut pengetahuan ini aka menimbulkan status-quo dintara manajemen tingkat atas, menengah dan bawahan. Pada tingkat dasar ini, manajemen proyek telah dikenal dengan baik, seperti terdapat pada banyak perusahaan namun belum mendapat dukungan secara penuh dari manajemen tingkat atas dan menengah mereka. Terdapat penolakan-penolakan untuk berubah dan akhirnya banyak perusahaan tidak pernah melewati tingkatan ini. 68 Titik permulaan terbaik untuk mengatasi karakteristik-karakteristik yang timbul diatas adalah dengan memperkenalkan pengetahuan dasar atas prinsip-prinsip manajemen proyek. Pendidikan adalah jawaban untuk melewati tingkatan common language ini. Programprogram pendidikan manajemen proyek mencakup prinsip-pinsip dasar manajemen proyek, keuntungan (dan kerugiannya) dari metodologi manajemen proyek, dan bahasa dasar yang digunakan oleh manajemen proyek. Pelatihan yang mendapatkan sertifikasi manajemen proyek sangat ideal untuk memenuhi kebutuhan perusahaan untuk melampaui tingkatan dasar dari PMMM. Manajemen proyek dan Total Quality Management (TQM) adalah serupa, pada keduanya dibutuhkan pelatihan secara menyeluruh terhadap para pegawai yang dimulai dari manajemen tingkat senior. TQM dikembangkan oleh beberapa “Soko Guru” yang berkualitas antara lain; W. Edwards Deming, Joseph M. Juran, dan Philips Crosby pada sekitar tahun 1980-1990 (Chase/Jacobs/Aquilano, 2006, “Operation Management; for competitive advantage with global cases”, New York, NY, McGraw-Hill - 18). Menurut Chase d.k.k. keikutsertaan pegawai dan pendekatan dari tiap tim untuk mendesain dan mengorganisasikan pekerjaan merupakan hal utama dari TQM dalam usaha peningkatan performa secara berkelanjutan, bahkan dalam prakteknya semua program TQM dikerjakan didalam tim (2006,182). Pada dasarnya dalam pelaksanaan TQM dibutuhkan enam konsep utama, yaitu: • Manajemen yang berkomitmen dan turut serta untuk menyediakan dukungan perusahaan yang long-term/ berjangka panjang dan dengan arahan yang datang dari atasan kepada bawahan/ top-to-bottom. • Fokus terhadap pelanggan yang tidak ada henti-hentinya, baik itu didalam ataupun diluar perusahaan. • Keturutsertaan dan pemanfaatan yang efektif dari semua pekerja. • Peningkatan yang berkelanjutan dari proses bisnis dan produksi. 69 • Memberlakukan suppliers/ penyedia barang dan jasa sebagai partner/ rekan kerja. • Melakukan pengukuran kinerja dari tiap-tiap proses yang ada. (Besterfield, 2003, 2) Menurut Besterfield tujuan dari TQM adalah menyediakan kualitas produk dan jasa kepada pelanggan, yang nantinya akan menaikkan produktifitas dan mengurangi biaya. Dengan adanya kualitas produk yang baik dan harga yang lebih murah, akan menaikkan posisi kompetisi perusahaan dalam pasar global. Runtutan ini akan mempermudah perusahaan untuk mencapai tujuannya yaitu terus tumbuh dan mendapatkan keuntungan yang lebih (2003,3). Shewhart Deming Juran Figenbaum Ishikawa Crosby Taguchi Gurus Principles & Techniques Tools & Techniques Product or Service Realization People & Relationship Leadership Customer Satisfaction Employee Involvement Supplier Partnership Benchmarking Information Technology Quality Management System Environmental Management System Quality Function Deployment Quality by Design Failure Mode & Effect Analysis Products & Service Liability Total Productive Maintenance Management Tools Statistical Process Control Experimental Design Taguchi’s Quality Engineering Customer Approach: Continuous Process Improvement Measure: Performance Measures Gambar IV.1. Total Quality Management Framework. (Sumber: Besterfield D.H., et. al., 2003, 6) Sesuai dengan penjelasan dari Besterfield d.k.k. Total Quality Management memiliki framework seperti diatas, dimulai dengan adanya pengetahuan dari para “soko guru” yang 70 disebutkan pada gambar diatas, yang kemudian berkontribusi pada pengembangan prinsipprinsip dan praktek yang menggunakan peralatan/ tools dan teknik-teknik tertentu ataupun yang tidak. Beberapa peralatan/ tools ini digunakan pada produk dan/ atau aktifitas penyampaian services/ jasa. Feedback dari pelanggan internal/ external atau pihak-pihak yang berkepentingan akan berupa informasi agar sistem perusahaan dapat ditingkatkan secara terus menerus dalam produk dan jasanya (2003,5-6). Dari penjelasan diatas terlihat adanya kesinambungan antara manajemen proyek dengan Total Quality Management. Bagaimanapun, lingkup dari program pelatihan dan materi yang diberikan tentang manajemen proyek akan berbeda-beda, tergantung pada tipe pegawai, keterampilan yang dibutuhkan, serta besar dan jenis proyek yang dilakukan oleh perusahaan. Para eksekutif dari perusahaan mungkin hanya membutuhkan pelatihan sekilas antara tiga hingga enam jam saja, dimana para pegawai yang lebih aktif terjun dalam kegiatan proyek sehari-harinya membutuhkan program pelatihan yang lebih panjang hingga berminggu-minggu. Untuk mencapai tingkatan ke-2 terdapat 5 hal kunci yang dibutuhkan oleh perusahaan, yaitu: • Mempersiapkan pelatihan dan pendidikan manajemen proyek secepatnya. • Mendorong atau mempromosikan pelatihan (atau mencari) para pemegang sertifikat Project Management Professionals (PMPs). • Mendorong atau mempromosikan para pegawai untuk mulai berkomunikasi dalam bahasa standar manajemen proyek. • Mengenal alat bantu manajemen proyek yang ada. • Membangun pengertian dari prinsip-prinsip dasar manajemen proyek (dengan menggunakan standar PMBOK) 71 Hal-hal diatas akan menjadi halangan yang berat apabila jenis perusahaan bukan dikendalikan oleh proyek (non-project-driven) dimana manajemen proyek tidak digunakan sebagai profesi. Keberhasilan dalam menyelesaikan tingkatan dasar atau tingkat 1 dari PMMM ini biasanya memiliki tingkat kerumitan yang menengah. Waktu yang dibutuhkan bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun, bergantung dari beberapa faktor dibawah ini: • Jenis perusahaan (project-driven atau non-project-driven) • Ukuran dan jenis proyek yang dikerjakan • Besarnya dukungan dari pihak eksekutif • Kualitas dukungan dari pihak eksekutif • Kekuatan budaya dari perusahaan yang sudah ada • Pengalaman sebelumnya, jika ada, dengan menggunakan manajemen proyek • Banyaknya laba perusahaan • Kondisi ekonomi (inflasi, resesi, dan sebagainya) • Kecepatan dalam penyelesaian pelatihan dan pendidikan yang diberikan Hasil Analisa Pada Tingkat 1 Dari hasil penilaian tingkat 1 dari PMMM ini, BTEL mendapatkan hasil seperti terlihat pada gambar dibawah. Analisa pada tingkat 1 ini di bagi atas 8 kategori, yaitu: 1. Kategori Scope Management/ manajemen ruang lingkup 2. Kategori Time Management/ manajemen waktu 3. Kategori Cost Management/ manajemen biaya 4. Kategori Human Resources Management/ manajemen sumber daya manusia 5. Kategori Procurement Management/ manajemen pembelian 6. Kategori Quality Management/ manajemen kualitas 7. Kategori Risk Management/ manajemen resiko 8. Kategori Communication Management/ manajemen komunikasi 72 Dari hasil penilaian yang telah dilakukan, maka didapatkan nilai rata-rata dari setiap kategori diatas sebagai berikut: Tabel IV.1. Hasil analisa tingkat 1PMMM dari BTEL JAKARTA No. Category 1 Scope Management 2 Procurement Management 3 Time Management 4 Quality Management 5 Cost Management 6 Risk Management 7 Human Resource Mgmt. 8 Communication Mgmt. TOTAL BANDUNG No. Category 1 Scope Management 2 Procurement Management 3 Time Management 4 Quality Management 5 Cost Management 6 Risk Management 7 Human Resource Mgmt. 8 Communication Mgmt. TOTAL Score 37 43 13 17 50 50 27 60 297 Score 47 40 23 17 40 43 27 57 293 BALI No. Category Score 1 Scope Management 47 2 Procurement Management 33 3 Time Management 17 4 Quality Management 17 5 Cost Management 37 6 Risk Management 40 7 Human Resource Mgmt. 27 8 Communication Mgmt. 57 TOTAL 273 AVERAGE POINTS FOR BTEL No. Category Score 1 Scope Management 43 2 Procurement Management 39 3 Time Management 18 4 Quality Management 17 5 Cost Management 42 6 Risk Management 44 7 Human Resource Mgmt. 27 8 Communication Mgmt. 58 TOTAL 273 73 Grafik IV.1. Hasil penilaian PMMM tingkat 1 pada 3 region di BTEL Dari hasil yang terlihat pada grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan pelatihan yang ada pada organisasi BTEL tidak menyeluruh dan belum terlaksana dengan baik. Terutama pada modul pelatihan dan pendidikan mengenai manajemen waktu dan manajemen kualitas yang hasilnya sangat rendah. Pendidikan dan pelatihan yang berhasil hanya pada manajemen komunikasi. Rata-rata nilai yang didapatkan oleh BTEL pada tingkat 1 ini adalah 34.125, hal ini menunjukkan bahwa BTEL belum dapat melewati tingkat 1 bahkan masih jauh dibawah rata-rata perusahaan yang dikategorikan baik yaitu 60.00. Walaupun idealnya BTEL membenahi organisasinya pada tingkat 1 terlebih dahulu, namun BTEL dapat secara paralel atau overlap melihat ke tingkat 2 dari PMMM. Karena apa yang dihadapi ini merupakan hal yang sangat dinamis. Kedinamisan dari manajemen proyek harus didasari dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup agar secara keseluruhan dapat berjalan dengan baik. 74 4.1.1.2 Analisa Dimensi Common Processes Dengan mempelajari dasar-dasar manajemen proyek dan bahkan memiliki beberapa pegawai yang bersertifikasi PMPs (Project Management Profesional)-pun belum tentu membuat manajemen proyek berhasil digunakan pada BTEL secara menyeluruh. Bahkan pada saat digunakan, manajemen proyek yang dipakai bisa saja tidak efektif. Tingkat 2 dari PMMM merupakan tahapan dimana perusahaan membuat hubungan aktifitas dari dua atau lebih usaha untuk menggunakan manajemen proyek dan membangun proses-proses dan metodologi-metodologi untuk mendukung pengunaan manajemen proyek yang efektif. Pada tingkat common processes ini perusahaan menyadari dengan menggunakan beberapa metodologi dan proses yang biasa dipakai oleh perusahaan akan sangat dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan pada suatu proyek dan dapat dipergunakan lagi pada proyek-proyek selanjutnya. Juga terlihat pada tingkatan ini kenyataan bahwa beberapa ekspektasi dari perilaku setiap pegawai perusahaan sangat dibutuhkan untuk melakukan eksekusi proyek yang berulang-ulang dari sebuah metodologi. Adapun beberapa karakteristik pada tingkat 2 ini adalah: • Beberapa keuntungan yang nyata dengan menggunakan manajemen proyek harus terlihat. Keuntungan yang biasanya terjadi termasuk biaya yang rendah, jadwal yang lebih pendek, tidak ada pengorbanan kualitas, dan potensi akan tingginya tingkat kepuasan pelanggan. • Manajemen proyek harus didukung oleh semua tingkatan perusahaan, termasuk tingkatan senior. Terdapat kemungkinan bahwa perubahan pada budaya perusahaan sangat dibutuhkan, hal ini diperlukan dukungan pihak eksekutif. • Keberlangsungan proyek-proyek yang berhasil di kerjakan secara terus-menerus membutuhkan beberapa metodologi dan proses yang mampu digunakan berulang kali. Hal ini membutuhkan komitmen dari manajemen perusahaan. 75 • Mengatur proyek-proyek sesuai dengan ruang lingkup dan waktu hanya merupakan sebagian dari usaha. Proyek harus diselesaikan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, dan hal ini hanya dapat dilakukan dengan perubahan sistem akuntansi pada pembiayaan. • Karakteristik akhir dari tingkat 2 adalah pengembangan kurikulum manajemen proyek dari pada hanya melakukan pelatihan manajemen proyek. Hal ini biasanya terlihat sebagai bukti dari komitmen perusahaan terhadap manajemen proyek. Common processes membutuhkan usaha proses pendefinisian yang baik dan ditentukan oleh aksi dan reaksi dari manajemen perusahaan yang dibutuhkan untuk mengeksekusi proses-proses dalam manajemen proyek. Tingkat 2 dari PMMM ini terbagi kedalam lima fase siklus kehidupan, seperti terdapat pada gambar dibawah. Gambar IV.2. Siklus kehidupan pada project management maturity tingkat 2 (Kerzner, 2001, 69) Fase Embryonic Fase siklus kehidupan yang pertama dari tingkatan kedua ini adalah fase embrio, dimana perusahaan mengenal bahwa manajemen proyek dapat menguntungkan perusahaan. Termasuk didalamnya seperti: • Mengetahui kebutuhan manajemen proyek • Mengetahui keuntungan-keuntungan yang potensial dari manajemen proyek • Mengetahui pengaplikasian manajemen proyek hingga pada bagian yang bermacam-macam pada bisnis yang berlangsung 76 • Mengetahui beberapa perubahan yang dianggap cukup penting untuk mengimplementasikan manajemen proyek Banyak perusahaan tidak melakukan penerimaan atas manajemen proyek secara menyeluruh, terkecuali para eksekutif mengerti mengapa sebenarnya mereka membutuhkan manajemen proyek. Terdapat enam pemotivasi yang biasanya digunakan untuk manajemen proyek, yaitu: • Proyek-proyek kapital: proyek kapital yang bernilai tinggi membutuhkan perencanaan dan penjadwalan yang efektif. Tanpa manajemen proyek, dapat terjadi ketidak-efektifan atas penggunaan sumber daya proyek yang ada. • Ekspektasi pelanggan: pelanggan memiliki hak untuk menginginkan kontraktor agar mengatur kebutuhan-kebutuhan pekerjaan pelanggan secara efektif dan efisien. • Kompetisi di dalam perusahaan: pihak eksekutif menginginkan para pegawainya untuk tetap fokus terhadap kompetisi di luar perusahaan dari pada kompetisi di dalam perusahaan, perebutan kekuasaan dan permainan kotor antar pegawai. • Pengertian pihak eksekutif: walaupun hal ini tidak biasa terjadi, pihak eksekutif dapat mendorong sikap penerimaan atas manajemen proyek dari puncak hingga dasar dalam perusahaan. • Pengembangan produk baru: pihak eksekutif menginginkan sebuah metodologi yang sudah tepat yang menyediakan kepastian bahwa proyek R&D akan selesai dengan sukses, dalam batas waktu yang ditetapkan, dan dalam biaya yang masih ditolerir. • Ke-efektifan dan ke-efisienan: pihak eksekutif menginginkan perusahaan mereka memiliki tingkat kompetisi yang sangat tinggi. Didalam teori kebanyakan perusahaan hanya memiliki satu dan hanya satu pemotivasi, karena dalam kenyataan dan realita hanya terdapat satu pemotivasi yaitu “kemampuan bertahan hidup / survival”. Hal ini terlihat pada gambar dibawah. 77 Gambar IV.3. Beberapa komponen untuk memiliki kemampuan bertahan hidup. (Sumber: Kerzner, 2001,) Terlihat pada gambar diatas, apabila suatu saat pihak eksekutif mengetahui bahwa manajemen proyek dibutuhkan oleh perusahaan untuk terus bertahan hidup, maka banyak perubahan yang harus dilakukan secepatnya. Yang disayangkan dari fase embrio ini adalah pengetahuan tentang keuntungan dan aplikasi-aplikasi manajemen proyek mungkin akan terlihat pertama kali oleh manajemen tingkat bawah atau menengah dari perusahaan. Selanjutnya untuk manajemen tingkat senior harus mendapatkan penerimaan yang baik pada konsep manajemen proyek. Hal ini mengarah ke fase kedua yaitu penerimaan dari manajemen tingkat eksekutif. Fase Executive Management Acceptance Yang termasuk dalam fase penerimaan pihak manajemen tingkat eksekutif adalah sebagai berikut: • Dukungan dari pihak eksekutif yang nyata terlihat 78 • Pengertian pihak eksekutif akan manajemen proyek • Adanya sponsor dari proyek yang dilakukan • Adanya keinginan untuk merubah cara perusahaan dalam melakukan bisnisnya Fase Line Management Acceptance Fase siklus kehidupan ketiga dari tingkat 2 ini adalah penerimaan jajaran manajemen. Hal ini termasuk didalamnya: • Dukungan dari jajaran manajemen secara nyata • Adanya komitmen dari jajaran manajemen atas manajemen proyek • Pendidikan dan pelatihan pada jajaran manajemen • Melepaskan pegawai-pegawai fungsional untuk program pelatihan manajemen proyek Fase Growth Fase yang keempat yang merupakan fase yang kritis adalah fase tumbuh/growth, fase ini merupakan awal terbentuknya proses manajemen proyek. Yang termasuk didalam fase ini adalah: • Pengembangan siklus kehidupan dari manajemen proyek • Pengembangan dari metodologi manajemen proyek • Adanya komitmen pada perencanaan yang efektif • Meminimalkan perubahan ruang lingkup • Pemilihan perangkat lunak dari manajemen proyek yang mampu mendukung metodologi manajemen proyek yang digunakan Sayangnya banyak perusahaan yang menggunakan metodologi lebih dari satu hingga membuatnya tidak efisien, namun cukup baik sebagai pembelajaran bagi perusahaan. 79 Fase Initial Maturity Fase kelima yang terumit untuk dilakukan yaitu fase permulaan pendewasaan / intial maturity dari tingkat common processes. Didalamnya terdapat: • Pengembangan dari manajemen sistem kontrol pembiayaan atau penjadwalan • Integrasi dari kontrol penjadwalan dan pembiayaan • Pengembangan dari kurikulum pendidikan yang berlangsung untuk mendukung manajemen proyek dan meningkatkan keahlian individu Banyak perusahaan tidak benar-benar menyelesaikan fase-fase siklus kehidupan dari tingkat 2 ini, hal ini disebabkan oleh perusahaan yang menolak pengontrolan biaya pada proyek yang berlangsung, dengan kata lain dikenal sebagai akuntansi horizontal yang menghitung keseluruhan proses dari proyek yang berlangsung. Selain ketakutan akan akuntansi horizontal, jajaran manajer dan eksekutif perusahaan juga membuat halangan atau penolakan berupa pendapat yang menyatakan bahwa apa yang mereka miliki saat itu sudah berjalan baik, mereka tidak ingin terdapat perubahan yang akhirnya mengharuskan mereka melakukan peningkatan performa terhadap pekerjaan yang sudah biasa mereka lakukan. Juga adanya pemikiran akan adanya perubahan aturan kekuasaan dan wewenang apabila mereka mendukung metodologi baru yang akan digunakan, dan mereka juga memahami hal yang salah bahwa perubahan metodologi akan selalu diikuti dengan aturan dan prosedur yang kaku. Apabila perusahaan ingin melampaui tingkat 2 mencapai tahap selanjutnya yaitu tingkat 3, maka ada empat kunci yang harus dilakukan yaitu: • Membangun budaya yang mendukung perilaku dan sisi kuantitas dari manajemen proyek. 80 • Mengetahui pemotivasi atau kebutuhan dasar akan manajemen proyek dan keuntungan-keuntungan yang akan didapatkan baik itu dalam jangka waktu yang pendek ataupun jangka panjang. • Membangun proses atau metodologi manajemen proyek yang memiliki keuntungankeuntungan yang diinginkan dan dapat diraih berkali-kali. • Mengembangkan apa saja yang sudah berlangsung, seperti kurikulum manajemen proyek yang digunakan pada keseluruhan pegawai yang akan akan menjadikan keuntungan dari manajemen proyek yang terus-menerus berlangsung dan mampu meningkatkan performanya untuk jangka waktu yang sangat panjang. Hasil Analisa Pada Tingkat 2 Dari hasil penilaian yang didapatkan seperti pada grafik dibawah, dapat disimpulkan bahwa manajemen proyek yang berjalan di BTEL belum mencapai fase growth, apalagi fase maturity. Tabel IV.2. Hasil analisa tingkat 2 PMMM dari BTEL JAKARTA Points X X X X X BALI Life Cycl e Phas es Emb ryon ic Exec utiv e Line Man age men t Gro wth Mat urity Points 12 10 8 6 4 2 0 ‐2 ‐4 ‐6 ‐8 ‐10 ‐12 12 10 8 6 4 2 0 ‐2 ‐4 ‐6 ‐8 ‐10 ‐12 Life Cycl e Phas es Emb ryon ic Exec utiv e Line Man age men t Gro wth Mat urity X X X X X 81 BANDUNG Points X X X X X AVERAGE Points Life Cycl e Phas es Emb ryon ic Exec utiv e Line Man age men t Gro wth Mat urity 12 10 8 6 4 2 0 ‐2 ‐4 ‐6 ‐8 ‐10 ‐12 12 10 8 6 4 2 0 ‐2 ‐4 ‐6 ‐8 ‐10 ‐12 Life Cycl e Phas es mbr yoni c Exec utiv e Line Man age men t Gro wth Mat urity X X X X X 82 Grafik IV.3. hasil penilaian PMMM tingkat 2 pada 3 region di BTEL Apabila 3 fase awal dari tingkat 2 ini dapat ditingkatkan (tentunya dengan meningkatkan hasil dari tingkat 1), maka secara perlahan akan meningkatkan fase-fase growth dan maturity dari manajemen proyek BTEL. Hal ini dapat dilakukan secara bersamaan dengan peningkatan kemampuan organisasi BTEL pada tingkat 1 secara keseluruhan. 4.1.1.3 Analisa Dimensi Singular Methodology Di tingkat 3 ini merupakan pengenalan perusahaan terhadap sinergi perusahan dan kontrol proses yang berhasil dicapai. Akan menjadi sangat baik jika menggunakan pengembangan sebuah metodologi tunggal dibanding dengan menggunakan metodologi yang bermacammacam. Diharapkan BTEL sudah memiliki metodologi tunggal atas manajemen proyek yang dapat diaplikasi pada seluruh pekerjaan proyeknya. Ditingkat ini perusahaan melakukan komitmen secara total terhadap manajemen proyek. Karakteristik dari tingkat 3 ini adalah: • Proses integrasi: disini perusahaan mengenal bahwa proses yang bermacammacam dapat terjalin menjadi satu kesatuan, proses penyatuan atau integrasi 83 menjadikan arahan yang pasti terhadap semua proses yang berlangsung. (Namun tidak semua perusahaan mampu mengunakan hanya satu metodologi dalam semua prosesnya.) • Dukungan budaya: proses-proses yang terintegrasi akan menjadikan sebuah metodologi tunggal. Dengan menggunakan metodologi tunggal ini akan didapatkan keuntungan yang sangat banyak. Pelaksanaan metodologi ini harus melalui budaya perusahaan, agar didapat dukungan atas pendekatan manajemen proyek dengan lapang dada. Budaya yang ada akan menjadi budaya yang mampu bekerja sama. • Dukungan manajemen: pada tingkatan ini, dukungan manajemen proyek harus seizin dan sepengetahuan seluruh lapisan manajemen. Maka dukungan itu akan terlaksana. Tiap lapisan dari manajemen mengerti perannya masing-masing dan dukungan yang dibutuhkan untuk menjadikan metodologi tunggal dapat berjalan dengan baik. • Manajemen proyek yang tidak resmi/ informal: dengan dukungan manajemen dan budaya yang dapat bekerja sama, metodologi tunggal bergantung pada penggunaan panduan dan daftar pengecekan/ checklist, daripada menggunakan pengembangan prosedural dan aturan yang lebih mahal. Maka kertas kerja dapat diminimalkan. • Pendidikan dan pelatihan: dengan dukungan budaya yang kuat, perusahaan akan menyadari keuntungn secara finansial dari pelatihan manajemen proyek. Keuntungannya dapat dijabarkan secara kuantitatif dan kualitatif. • Perilaku dengan kulitas yang terbaik: perusahaan menyadari perbedaan perilaku antara penggunaan manajemen proyek (seperti matriks) dengan manajemen yang segaris (seperti vertikal). Program pelatihan dan pendidikan atas perilaku pegawai telah dikembangkan untuk meningkatkan keterampilannya dalam manajemen proyek (seperti dalam cara berkomunikasi). 84 Keenam karakteristik ini memformulasi sebuah “hexagon of excellent”, seperti terlihat pada gambar dibawah ini. Keenam bagian ini membedakan dari perusahaan-perusahaan yang menggunakan manajemen proyek dengan kualitas terbaik atau yang berhasil, dibandingkan dengan perusahaan-peusahaan yang menggunakan manajmen proyek dengan kemampuan yang biasa-biasa saja. Integrated Processes Behavioral Excellent Culture Informal Project Mgmt. Management Support Training & Education Gambar IV.4. The Hexagon of excellent dari karakteristik metodologi tunggal (Kerzner, 2001, 79) Proses Penggabungan Perusahaan-perusahaan yang kurang dalam pendewasaan manajemen proyek akan memiliki berbagai proses terpisah didalam satu tempat. Pada gambar dibawah terdapat tiga buah lingkaran yang merupakan proses-proses terpisah. 85 Gambar IV.5. Proses-proses yang secara total terpisah (Kerzner, 2001, 79) Bagaimanapun, apakah perusahaan menginginkan proses-proses yang dilakukan , fasilitas yang mereka miliki, dan sumber dayanya menjadi sepenuhnya terpisah? Dua proses pertama yaitu manajemen proyek dan manajemen kualitas secara total (TQM) dapat diintegrasikan, pada saat sebuah perusahaan memahami tentang kelebihan-kelebihannya. Bahkan, pelatihan pegawai dalam prinsip TQM akan menyadari kemiripan antara kedua proses tersebut. Semua pemenang dalam Malcolm Balridge National Quality Award (MBNQA) yang sangat memiliki prestise pasti menggunakan sistem manajemen proyek yang sangat baik. Menurut pernyataan Dermawan Wibisono, Ph.D dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Kinerja; konsep, desain, dan teknik meningkatkan daya saing perusahaan”, MBNQA dibentuk oleh Departemen Perdagangan Amerika Serikat pada tahun 1987 dan dicanangkan oleh (almarhum) Presiden Ronald Reagan, yang pada saat itu membuat gerakan nasional untuk ajang kompetisi dalam peningkatan daya saingnya didalam negara itu. MBNQA sendiri memiliki penilaian terhadap 7 kategori kinerja utama yang tidak akan diterangkan lebih lanjut, yaitu: • Kepemimpinan • Perencanaan Strategi 86 • Fokus terhadap Pelanggan & Pasar • Manajemen Pengukuran, Manajemen Analisa dan Manajemen Pengetahuan • Fokus terhadap Sumber Daya Manusia • Manajemen Proses • Hasil dari Bisnis (Wibisono D., 2006, 11-12) MBNQA dijalankan dengan arahan dari National Institute of Standards and Technology, Amerika Serikat (Chase et.al., 2006,18). Gambar IV.6. Proses-proses yang terintegrasi secara total (Kerzner, 2001, 80) Apabila perusahaan mulai menyadari pentingnya sebuah metodologi tunggal, maka manajemen proyek akan terintegrasi dengan TQM dan dengan seluruh proses yang ada akan memformulakan sebuah metodologi tunggal. Integrasi ini terlihat pada gambar diatas. 87 Pada saat perusahaan mulai ingin menanjak kearah mencapai kualitas yang terbaik dalam manajemen proyeknya, maka penggunaan metodologi tunggal akan ditingkatkan lebih jauh dengan memasukkan manajemen resiko dan manajemen perubahan didalamnya. Manajemen perubahan memerlukan strategi yang mendalam dari manajemen perusahaan yang disebut strategi perubahan yang menurut Mason A. Carpenter dan Wm. Gerard Sanders dalam bukunya “Strategic Management; a dynamic perspective” mengatakan bahwa strategi perubahan merupakan perubahan yang signifikan pada pemilihan dari alokasi sumber daya yang ada, didalam bisnis dan aktifitas implementasi yang sejalan dengan strategi perusahaan sesuai dengan visinya (2007, 355). Pada gambar dibawah terdapat penjelasan singkat dan tidak akan dijelaskan lebih lanjut mengenai strategi perubahan yang bisa diaplikasi oleh perusahaan. Gambar IV.7. Langkah untuk membentuk strategi perubahan (Carpenter, 2007, 355) Penggunaan metodologi tunggal yang sudah melakukan integrasi dengan hal diatas ini terlihat pada gambar dibawah. Manajemen resiko biasanya mengakibatkan perubahan ruang lingkup, yang selanjutnya membuat resiko-resiko tambahan. 88 Gambar IV.8. Proses-proses yang terintegrasi pada era abad ke-21 (Kerzner, 2001, 80) Dengan membuat metodologi tunggal yang terintegrasi akan mengarahkan semua metodologi-metodologi yang ada, menuju efisiensi dan efektifitas perusahaan yang menggunakannya. Budaya Metodologi-metodologi dari manajemen proyek harus bukan hanya tumpukan kertas belaka. Tumpukan kertas tersebut harus dapat dikonversikan kedalam metodologi kelas dunia dengan kata lain bagaimana caranya perusahaan tersebut menjalankan metodologi yang dibentuk ke dalam budaya perusahaan. Keberhasilan perusahaan dalam manajemen proyeknya memiliki budaya yang mampu bekerja sama dimana dimana perusahaan secara menyeluruh mendukung penggunaan metodologi tunggal ini. Pada saat metodologi tunggal ini diberlakukan kemungkinan akan terjadi minimalisasi sikap rejeksi dari pihak pegawai perusahaan dan sebagian besar dari pegawai akan mengalami kemudahan-kemudahan dalam mengerjakan pekerjaan mereka. 89 Dukungan Manajemen Budaya perusahaan yang bisa bekerjasama akan membutuhkan dukungan yang efektif dari semua tingkatan manajemen perusahaan. Pada saat pelaksanaan metodologi manajemen proyek, semua hubungan antara manajemen proyek dan manajemen fungional sangat kritis sekali. Hubungan yang efektif dengan para manajemen fungsional berdasarkan beberapa faktor, yaitu: • Manajer proyek dan manajer fungsional berbagi akuntabilitas untuk keberhasilan sebuah proyek. Manajer fungsional harus memegang janji-janji mereka terhadap manajer proyek. • Para manajer proyek bernegosiasi dengan para manajer fungsional hanya untuk penyelesaian pekerjaan bukan membahas tentang kemampuan–kemampuan pegawai yang spesifik mereka miliki. Manajer proyek dapat meminta pegawai dengan kemampuan yang spesifik, namun keputusan akhir untuk kepegawaian dimiliki oleh manajer fungsional. • Para manajer fungsional cukup mempercayai pegawai-pegawainya dalam memberikan keputusan yang berhubungan dengan area fungsional masing-masing pegawai tanpa harus berulangkali bertanya kepada manajer fungsionalnya. • Apabila manajer fungsional tidak sanggup memegang janji yang mereka berikan terhadap suatu proyek, maka manajer proyek harus melakukan apapun yang dapat dilakukan untuk membantu manajer fungsional mengembangkan rencana alternatif yang dapat digunakan. Hubungan antara manajemen proyek dengan manajemen senior sangat penting sekali. Hubungan yang baik dengan manajemen eksekutif, atau yang lebih harus diperhatikan adalah eksekutif penyandang dana/ sponsor yang didalamnya terdapat beberapa faktor yaitu: 90 • Manajer proyek harus memperkuat dalam pemberian keputusan yang berkaitan dengan proyek. Hal ini dapat diselesaikan melalui pembuatan keputusan dan kewenangan yang tidak terpusat/ decentralization. • Penyandang dana diberikan pengarahan secara periodik dan juga menjaga agar mereka tidak turut campur dalam penanganan proyek secara langsung, namun bisa saja bergantung dengan posisi penyandang dana dalam proyek tersebut. • Para manajer proyek (dan semua yang menangani proyek) diharapkan memberikan rekomendasi-rekomendasi dan alternatif-alternatif daripada hanya melaporkan permasalahan. • Apapun yang terjadi dan sangat berarti harus dimasukkan dalam laporan status eksekutif yang sudah diformulasikan sebelumnya. • Terdapat ketentuan untuk memanggil manajer proyek secara periodik, namun bisa saja lebih sering terjadi dalam rapat-rapat/ briefings. Manajemen Proyek Yang Tidak Resmi/ Informal Dengan manajemen proyek yang informal, perusahaan dapat mengetahui mahalnya biaya dalam penggunaan kertas kerja. Manajemen proyek informal tidak menghilangkan kertas kerja, namun dapat diminimalkan hingga tingkatan yang dapat diterima oleh perusahaan. Agar dapat bekerja efektif, perusahaan harus memiliki jalur komunikasi, kerja sama, kepercayaan dan kerja tim yang sangat efektif. Keempat elemen ini merupakan komponen yang sangat kritikal dari budaya kerja sama dalam perusahaan. Sebagaimana pengembangan kepercayaan yang ada, penyandang dana dari proyek mungkin akan menekan dari tingkatan eksekutif hingga manajemen tingkat menengah. Para manajer proyek tidak lagi memakai dua “topi” (menjabat sebagai manajer proyek dan juga sebagai manajer fungsional pada saat yang sama), namun fungsi-fungsi yang ada akan disiapkan untuk para manajer proyek. 91 Pengembangan dari metodologi-metodologi manajemen proyek pada tingkat 2 lebih berdasarkan pada aturan dan prosedur yang kokoh. Tapi di tingkat 3, dengan menggunakan metodologi tunggal akan lebih berdasar kepada manajemen proyek yang informal, pada metodologi-metodologi yang sudah tertulis didalam format panduan dan daftar pengecekan. Karena sebab itu, dalam pelaksanaannya metodologi tunggal akan dapat mengurangi biaya dan waktu. Dengan adanya kemajuan dalam kemampuan alat cetak yang sekarang sudah bisa berwarna sanggup menggantikan tulisan sebagai alat bantu informasi didalam pengerjaan sebuah proyek. Sebagai contoh, ada perusahaan yang menggunakan “traffic lights” atau lampu lalu lintas pada pekerjaan paket WBS (Work Breakdown Structure) didalam laporan status/ perkembangan proyeknya. Lampu yang digunakan adalah merah, kuning dan hijau, bergantung pada definisinya sebagai berikut: • Merah: permasalahan yang terjadi akan mempengaruhi waktu, biaya, ruang lingkup dan kualitas proyek, hal ini membutuhkan campur tangan manajemen atas. • Kuning: permasalahan harus diwaspadai, mungkin akan terjadi permasalahan serius pada proyek yang sedang dikerjakan. Manajemen atas hanya cukup diberitahu melalui laporan status, namun belum perlu ada aksi dari manajemen atas. • Hijau: pekerjaan berjalan sesuai dengan rencana yang sudah dibuat. Tidak perlu ada campur tangan manajemen atas. Menurut Richard B. Chase d.k.k., WBS terdiri dari hirarki atas tugas-tugas didalam proyek, pecahan dari tugas, dan paket-paket pekerjaan. Penyelesaian dari satu atau lebih paket pekerjaan akan menghasilkan selesainya pecahan dari tugas (subtask) dan akhirnya penyelesaian dari semua tugas-tugas yang ada menghasilkan selesainya proyek yang dikerjakan (2006, 76). Dan menurut PMI dalam PMBOK, WBS adalah kumpulan komponen-komponen proyek yang terorganisir dan didalamnya menyatakan ruang lingkup proyek secara keseluruhan yang diorientasikan pada penyelesaian proyek; pekerjaan diluar 92 WBS berarti keluar dari ruang lingkup proyek. Setiap bagian dari WBS dinyatakan dengan identifikasi yang unik; pengidentifikasian ini dapat menyediakan struktur dari total biaya dan sumber daya yang dibutuhkan secara hirarki (2000, 57-60). Pendidikan Dan Pelatihan Pada tingkat 3 terdapat pemahaman bahwa akan adanya pengembalian dari pengembalian investasi/ return of investment (ROI) pada pelatihan yang diberikan. Keuntungannya, dapat dihitung secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil pelatihan yang berupa kuantitatif, yaitu: • Pendeknya waktu pengembangan produk • Pengambilan keputusan yang lebih cepat dan berkualitas lebih tinggi • Biaya yang rendah • Margin laba yang lebih tinggi • Lebih sedikit pegawai yang dibutuhkan • Pengurangan kertas kerja • Meningkatkan kualitas dan dapat dipercaya • Berkurangnya turnover/ keluar-masuknya pegawai • Implementasi dari pengetahuan yang diterima/ “best practices” yang lebih cepat Sedangkan hasil pelatihan yang berupa kualitatif, yaitu: • Memiliki pandangan dan fokus terhadap hasil dengan lebih baik • Koordinasi yang lebih baik • Memiliki moral yang lebih tinggi • Mempercepat dalam pengembangan para calon manajer • Memiliki kontrol yang lebih baik • Cara berhubungan terhadap pelanggan yang lebih baik • Mendapatkan dukungan dari area fungsional menjadi lebih besar 93 • Mengurangi konflik-konflik yang membutuhkan campur tangan manajemen tingkat senior Pendidikan dan pelatihan manajemen proyek adalah sebuah investasi bagi perusahaan, dan sebagai manajemen tingkat senior akan berharap adanya tambahan laba yang menjadi nyata bagi perusahaan. Pertanyaan yang biasanya timbul di kalangan eksekutif adalah bagaimana cara mereka mengetahui apakah perusahaan mereka sudah mencapai tingkat 3 dari PMMM. Sebenarnya mereka dapat mengetahui posisi mereka dari pertanyaan mengenai resolusi manajemen proyek yang muncul oleh manajemen tingkat senior. Pada tingkat 3 ini, para eksekutif telah mampu memahami bahwa untuk mempercepat mendapatkan berbagai keuntungan manajemen proyek hanya akan diperoleh dari pendidikan dan pelatihan yang sesuai. Dan telah dibahas sebelumnya, untuk bergerak dari tingkat 2 ke tingkat 3 perusahaan membutuhkan adanya pengembangan kurikulum manajemen proyek. Hal ini akan mengarahkan “model kompetensi inti” untuk keterampilan tingkat dasar dan mahir yang dibutuhkan oleh para manajer proyek. Pelatihan ditujukan untuk mendukung keterampilan-keterampilan pada kompetensi inti yang dibutuhkan oleh perusahaan. Perilaku Dengan Kualitas Yang Terbaik Perilaku dengan kualitas yang terbaik dapat terjadi saat perusahaan memahami perbedaanperbedaan antara manajemen proyek dengan manajemen fungsional, dan menyadari bahwa dibutuhkan program-program pelatihan yang berbeda-beda untuk mendukung pertumbuhan manajemen proyek yang dapat bertahan lama. Program pelatihan yang harus ditekankan berada pada pembahasan mengenai: • Motivasi dalam manajemen proyek 94 • Pembentukan pemimpin proyek yang sangat terampil • Karakteristik-karakteristik dari tim yang produktif • Karakteristik-karakteristik dari organisasi yang produktif • Manajemen proyek yang efektif dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi Kebanyakan perusahaan menyalah-artikan bahwa apabila sudah mencapai tingkat 3 dalam PMMM maka telah mampu 100% menyelesaikan proyek-proyeknya. Hal ini tidak benar, dengan mengimplementasi manajemen poyek dengan sukses tidak berarti proyek yang dikerjakan dapat sukses. Namun hanya dapat diartikan kalau proyek yang dikerjakan akan diatur secara efektif dan hal ini dapat meningkatkan kemungkinan atas kesuksesan yang akan mengikuti. Adapun hambatan-hambatan yang biasa muncul bagi perusahaan dalam melewati tingkatan metodologi tunggal ini adalah sebagai berikut: • “Jangan berusaha memperbaiki, apabila tidak ada yang rusak”. Perusahaan harus melanjutkan dengan tetap menggunakan proses-proses yang sudah berjalan baik saat ini. • Akan selalu ada penolakan-penolakan terhadap metodologi tunggal yang dikarenakan rasa takut akan bergesernya keseimbangan kekuasaan dan wewenang. • Manajer fungsional mungkin akan mempertahankan akuntabilitas yang sudah dijanjikan kepada manajer proyek. Berbagi akuntabilitas sering dilihat sebagai suatu resiko yang tinggi bagi manajer fungsional. • Perusahaan yang sudah kuat, sudah terbagi-bagi budaya perusahaannya (memiliki bisnis unit atau perusahaan Holding) akan lebih sering bertahan untuk dirubah menjadi satu atau tunggal, disini dibutuhkan budaya perusahaan yang mampu bekerja sama. 95 • Banyak perusahaan masih tetap pada pendirian mereka bahwa semuanya harus tertulis diatas kertas. Terlalu berlebihan dalam mempercayai adanya dokumentasi adalah yang terbaik merupakan kebiasaan buruk yang sangat susah ditembus. Ada beberapa kriteria kunci apabila perusahaan ingin meningkatkan diri dari tingkat 3 menuju ke tingkat 4. Beberapa kriteria tersebut adalah sebagai berikut: • Mengintegrasikan semua proses yang saling berhubungan kedalam metodologi tunggal dengan memperlihatkan pelaksanaan yang berhasil • Memotivasi keseluruhan perusahaan untuk menerima budaya yang mendukung manajemen proyek yang informal dan sistem laporan kepada banyak atasan • Mengembangkan dukungan terhadap penggunaan akuntabilitas secara bersama Hasil Analisa Pada Tingkat 3 Hasil penilaian tingkat 3 dari PMMM dapat terlihat pada grafik dibawah ini. Tabel IV.3. Hasil analisa tingkat 3 PMMM dari BTEL JAKARTA Total Points for each Category Point Category To Aver 1 2 3 tal age 20 22 69 23 29 20 Management Support 66 25 20 Cullture 23 Integrated Processes 17 23 24 69 Total Points for each Category Point Category To Aver 1 2 3 tal age 23 23 15 31 Integrated Processes BALI 66 22 20 18 25 Cullture 63 21 28 24 26 Management Support 78 26 96 18 14 71 24 28 23 Behavioral Excellence 42 25 12 Informal Project Management 12 Training and Education 16 16 23 48 18 19 10 19 Training and Education 62 21 125 19 27 19 Informal Project Management 65 22 31 20 31 Behavioral Excellence 82 27 135 BANDUNG Total Points for each Category Point Category To Aver 1 2 3 tal age AVERAGE Total Points for each Category Point Category To 1 2 3 tal 20 23 63 22 28 18 Management Support 71 20 17 Cullture Aver age 27 Integrated Processes 26 24 25 71 27 27 17 27 Integrated Processes 74 24 20 18 25 Cullture 63 21 28 20 26 Management Support 74 25 97 21 15 77 24 31 27 Behavioral Excellence 44 25 10 Informal Project Management 14 Training and Education 16 15 25 44 20 14 10 20 Training and Education 68 24 131 25 27 25 Informal Project Management 77 26 31 21 TOTAL 16 Behavioral Excellence 68 23 132 TOTAL Grafik IV.3. hasil penilaian PMMM tingkat 3 pada 3 region di BTEL Dapat dianalisa bahwa hasil dari penilaian tingkat 1 memang benar adanya dan pendidikan serta pelatihan mengenai manajemen proyek perlu dibenahi dan dilakukan sesegera 98 mungkin. Dengan adanya dukungan dari pihak manajemen dan perilaku dengan kualitas terbaik seharusnya BTEL sanggup setidaknya melewati tingkatan ke-2 dari PMMM. Untuk hasil diantara 80-146 dapat diinterpretasikan sebagai perusahaan yang hanya melakukan lip service saja terhadap manajemen proyek yang dilakukan dalam perusahaannya. Manajemen proyek yang ada pada BTEL memiliki dukungan yang sangat minim dari pihak manajemen dan eksekutif. BTEL sesengguhnya mengerti dan paham akan kebutuhannya terhadap manajemen proyek, namun pihak eksekutif belum melakukan yang seharusnya mereka lakukan. Perusahaan ini akan terus menjadi organisasi yang fungsional saja dan belum memiliki peningkatan kinerja yang baik. Perusahaan yang baik akan mendapatkan nilai 147-168 dan pada nilai rata-rata 169-210 perusahaan telah menjalani continuous improvement dan mampu mencapai tahap excellence dalam manajemen proyeknya. 4.1.1.4 Analisa Dimensi Benchmarking Benchmarking manajemen proyek adalah kumpulan proses-proses perbandingan praktek manajemen proyek didalam perusahaan dengan praktek manajemen proyek di perusahaan lain yang dilakukan secara berkelanjutan, hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi lebih agar bisa meningkatkan performa dari perusahaan itu sendiri. Informasi yang didapatkan dari proses benchmarking akan sangat berguna dalam meningkatkan performa proses-proses yang dilakukan dalam perusahaan dan implementasinya, juga dapat menghimpun informasi yang berguna untuk membuat perusahaan lebih mampu berkompetisi di pasar global. Apabila ingin berubah, BTEL seharusnya mencoba melakukan benchmarking terhadap kompetitornya dan juga perusahaan maju lainnya yang tidak satu industri (bisa memilih perusahaan yang terdaftar dalam LQ45 dari BEJ). 99 Menurut Michael J. Spendolini pada bukunya yang berjudul “The benchmarking book” benchmarking adalah: “A continuous, systematic process for evaluating the products, services, and work processes of organizations that are recognized as representing best practices for the purpose of organizational improvement.” (1992,9) Benchmarking adalah usaha yang terus berkelanjutan dari analisa dan evaluasi. Yang harus diperhatikan adalah penentuan mengenai hal apa yang akan di benchmark sangat tidak mungkin atau tidak praktis apabila mengevaluasi setiap aspek dari manajemen proyek. Sangat baik apabila dapat menentukan beberapa hal yang kritis saja sebagai beberapa faktor kesuksesan yang harus berjalan dengan benar dan dapat membantu perusahaan untuk berkembang. Yang menjadi faktor kesuksesan biasanya merupakan kunci dari bisnis proses dan bagaimana perusahaan melakukan integrasi. Apabila kunci faktor kesuksesan ini tidak ada di dalamnya, maka usaha dari perusahaan akan menjadi terhalangi. Penentuan faktor apa saja yang akan di benchmark akan lebih susah dibanding mendapatkan informasinya. Beberapa informasi yang ingin diketahui mungkin tidak bisa diambil dikarenakan perusahaan dimana informasi itu berada menilai bahwa informasi tersebut penting dan dirahasiakan. Mengidentifikasi perusahaan target dimana seharusnya merupakan perusahaan pembanding mungkin akan menjadi lebih rumit dari yang dibayangkan. Benchmarking bukan hal baru lagi, bahkan pada era tahun 1800-an hal ini telah digunakan oleh Franciss Lowell seorang kolonial dari Inggris, yang telah mempelajari pabrik-pabrik tekstil Inggris dan memindahkan ide-idenya beserta peningkatan-peningkatan kinerjanya untuk pabrik-pabrik tekstil di Amerika. Istilah Benchmarking mulai dikenal sejak pertama kali dipopulerkan oleh Xerox pada tahun 1980-an. Benchmarking merupakan bahan-bahan yang sangat penting bagi beberapa perusahaan yang memenangkan Malcolm Balridge 100 Award. Hampir semua pemenang penghargaan ini terbuka dan menerima untuk berbagi pengalaman mengenai manajemen proyek mereka. Benchmarking manajemen proyek dapat diselesaikan melalui survei, kuesioner, menghadiri pertemuan lokal dan internasional yang diselenggarakan oleh Project Management Institute (PMI) atau organisasi manajemen proyek lainnya, dan juga menghadiri konferensi dan simposium lainnya. Hubungan secara langsung biasanya menjadikan sumber informasi yang sangat berharga. Untuk melakukan proses benchmarking ada beberapa “aturan dasar/ code of conduct”, yaitu: • Menjaga agar proses benchmarking tetap legal • Dilarang melanggar aturan kerahasiaan • Berbagi informasi adalah jalan dua arah • Bersedia menandatangani formulir kerahasiaan • Tidak menyebarkan informasi yang telah diterima kepada pihak ketiga tanpa izin tertulis • Menekankan untuk menggunakan aturan yang jelas dan daftar pengecekan namun hindari untuk meminta formulir atau berkas yang mungkin sangat sensitif Benchmarking seharusnya tidak dilakukan terkecuali perusahaan berkeinginan untuk berubah. Perubahannya harus menjadi bagian dari proses-proses yang terstruktur, termasuk evaluasi, kemampuan untuk diaplikasi, dan manajemen resiko. Benchmarking merupakan bagian dari proses perencanaan strategi dari manajemen proyek yang akan menghasilkan perencanaan pekerjaan (action plan) yang siap untuk diimplementasikan. Pada buku Total Quality Management karangan Besterfield d.k.k., terdapat cuplikan dari tulisan Cristopher E. Bogan dan Michael J. English yang berjudul “Benchmarking for the 101 best practices: Winning Through Innovative Adaptations.”, Quality Digest (Agustus 1994):52-62 yang mengatakan bahwa konsep benchmarking adalah mengukur kinerja perusahaan terhadap kinerja perusahaan lain yang memiliki organisasi terbaik dikelasnya, menjelaskan bagaimana perusahaan yang terbaik dikelasnya mencapai tingkatan kinerja mereka, dan menggunakan informasi atas dasar kreatifitas yang digunakan dan kinerjakinerja terobosan. Adapun hal ini dapat terlihat pada gambar dibawah. What is our performance level? How do we do it? What are others’ performance level? How did they get there? Creative Adaptation Breakthrough Performance Gambar IV.9. konsep benchmarking (Sumber: Besterfield, et. al., 2003: 208) Pada tingkat 4 ini merupakan tingkatan dimana perusahaan memahami bagaimana cara meningkatkan performa dari metodologi yang sudah ada. Bagi perusahaan yang bergerak oleh proyek (project-driven), peningkatan performa yang terus menerus berkelanjutan adalah arti dari menjaga atau meningkatkan kemampuan berkompetisi. Peningkatan performa yang terus menerus berkelanjutan akan menjadi sangat baik apabila dilakukan melalui benchmarking yang terus berkelanjutan juga. Perusahaan harus menentukan siapa dan apa yang akan di benchmark. 102 Beberapa karakteristik dari tingkat 4 ini yaitu: • Perusahaan harus memiliki sebuah bagaian khusus yang menangani proyek/ project office (PO) atau pusat dari lualitas yang terbaik/ Center Of Excellence (COE) utuk manajemen proyek. Ini merupakan posisi fokal didalam perusahaan untuk ilmu pengetahuan manajemen proyek. • PO atau COE harus berdedikasi untuk proses peningkatan performa manajemen proyek. Hal ini biasanya berhasil dengan menggunakan pegawai-pegawai yang berdedikasi dan bekerja dengan waktu penuh/ fulltime. • Benchmarking harus dibuat berlawanan dengan industri-industri yang sejalan ataupun yang tidak sejalan. Di masa global saat ini, perusahaan yang memiliki pengalaman selama lima tahun dalam manajemen proyek dapat dengan mudah melampaui kemampuan-kemampuan dari perusahaan yang sudah menggunakan manajemen proyek selama 20 tahun atau lebih. • Perusahaan harus melakukan benchmarking secara kualitatif dan kuantitatif. Benchmarking secara kuantitatif menganalisa proses-proses dan metodologi yang digunakan, dimana benchmarking dengan cara kualitatif melihat aplikasi yang digunakan pada manajemen proyek perusahaan. Pada saat perusahaan sudah mencapai tingkat 4 artinya perusahaan sudah berkomitmen kepada manajemen proyek terhadap keseluruhan organisasi didalam perusahaannya. Pengetahuan manajemen proyek telah dijadikan sebagai esensi dari kemampuan sebuah perusahaan dalam mempertahankan hidupnya. Untuk memusatkan pengetahuan atas manajemen proyek, perusahaan harus membentuk sebuah project office (PO) atau sebuah center of excellence (COE) khusus untuk manajemen proyek. Tugas dan Tanggung jawab dari PO/ COE termasuk didalamnya: • Perencanaan strategi pada titik yang vokal terhadap manajemen proyek 103 • Sebuah organisasi didalam perusahaan yang berdedikasi untuk melakukan benchmarking atas manajemen proyek • Sebuah organisasi didalam perusahaan yang berdedikasi pada pengembangan yang berkelanjutan • Sebuah organisasi didalam perusahaan yang menyediakan pelatihan terhadap para manajer proyek yang belum memiliki pengalaman • Sebuah sentralisasi atau pemusatan data-data atas hal-hal yang dapat dipelajari • Sebuah organisasi didalam perusahaan yang disediakan untuk berbagi pengalamanpengalaman dan ide-ide mengenai manajemen proyek • Sebagai sebuah “hot line” (tempat bertanya) untuk penyelesaian masalah yang tidak secara langsung melapor kepada manajemen senior • Sebuah organisasi didalam perusahaan yang membuat standar-standar manajemen proyek • Titik yang vokal untuk sentralisasi aktifitas perencanaan dan penjadwalan • Titik yang vokal untuk mengontrol pembiayaan dan laporan • Sebuah organisasi didalam perusahaan yang dapat membantu bagian Human Resources dalam membuat jalur karir didalam manajemen proyek • Sebuah organisasi didalam perusahaan yang dapat membantu bagian Human Resources dalam mengembangkan kurikulum pendidikan dan pelatihan manajemen proyek Tabel IV.4. Perbedaan antara Project Office dengan Center Of Excellence Sumber: Kerzner (2001,100) Project Office Center Of Excellence Permanent line function for project manager May be formal or informal committee (may be part-time) Focus on internal lessons learned activities Focuses on external benchmarking 104 Champion for the implementation of the Champion for continuous improvement and methodology benchmarking Expertise in the use of project management Expertise in the identification of project tools management tools Kebanyakan perusahaan melihat PO dan COE merupakan dua nama dengan hal yang sama. Bagaimanapun keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar, seperti terlihat pada tabel diatas. Apabila tidak mengindahkan garis tanggung jawab, perusahaan bisa berkemelut dalam penempatan PO/ COE didalam organisasinya. Akhirnya disepakati oleh banyak perusahaan bahwa penempatan PO/ COE harus pada tingkatan manajemen senior. Dalam sejarahnya, benchmarking dapat di selesaikan menggunakan dua buah pendekatan: • Competitive Benchmarking, berkonsentrasi pada hasil dan faktor kuantitatif mengenai kesuksesan yang kritikal. • Process Benchmarking, berfokus pada performansi dari proses yang berlangsung dan penggunaan dari fungsi proses itu sendiri. Yang paling mendekati dengan manajemen proyek adalah process benchmarking dimana selanjutnya akan hanya membahas mengenai peningkatan process benchmarking. Kita dapat memecahnya menjadi dua kedalam kesempatan meningkatkan proses yang ada secara kuantitatif dan kualitatif. Pada gambar dibawah terlihat kesempatan-kesempatan dalam meningkatkan proses-proses yang ada secara kuantitatif, dimana berpusat disekitar peningkatan-peningkatan pada kesempatan berintegrasi. Pada kelima daerah utama yang terlihat adalah lima proses-proses integrasi yang terdeskripsikan pada tingkat 3 dari PMMM. 105 Integration Opportunities Upgrade Methodology Project Management • Tighter Cost Control • Corporate Resource Models • Efficiency/ Effectiveness Concurrent Engineering • • • • Total Quality Management • Lower Cost of Quality • Customer Involvement • Supplier Involvement Scope Change Management • Impact Analysis • Customer Management • Enhancement Projects Risk Management • WBS Analysis • Technical Risk Analysis • Customer Involvement Parts Scheduling Risk Identification Resource Constraint Analysis Supplier Improvement Gambar IV.10. Kesempatan-kesempatan dalam meningkatkan proses-proses yang ada secara kuantitatif (strategi-strategi generik untuk peningkatan proses yang ada) (Sumber: Kerzner, 2001: 101) Pada gambar dibawah ini terlihat kesempatan-kesempatan dalam meningkatkan prosesproses yang ada secara kualitatif, dimana berpusat disekitar aplikasi-aplikasi dan perubahan yang lebih jauh pada budaya perusahaan. 106 Corporate Acceptance Performance Improvement Opportunities Upgrade Methodology Integrated Processes Benchmarking Software Enhancement • Increase Usage/Loyalty of Existing Users • Discourage Development of Parallel Methodologies Show Benefits; Present & Future Show Cost of Parallelization • Attract New Internal Users • Integrate existing Processes • Integrate New Processes • Non‐Similar Industries New Ideas New Applications • Similar Industries • Internal Upgrades • New Purchase Gambar IV.11. Kesempatan-kesempatan dalam meningkatkan proses-proses yang ada secara kualitatif (strategi-strategi generik untuk peningkatan proses yang ada) (Sumber: Kerzner, 2001: 102) Terdapat empat faktor kunci yang dibutuhkan perusahaan agar mencapai tingkat 5, yang merupakan tingkatan terakhir dari PMMM. Faktor kuncinya adalah sebagai berikut: • Menciptakan sebuah organisasi didalam perusahaan yang berdedikasi pada pelaksanaan benchmarking • Mengembangkan proses-proses benchmarking manajemen proyek • Menentukan apa saja yang akan di benchmark dan kepada siapa perusahaan akan di benchmark • Menyadari keuntungan-keuntungan yang akan didapatkan dari benchmarking 107 Hasil Analisa Pada Tingkat 4 Penilaian atau assesment tidak dilakukan pada tingkatan ini karena keterbatasan waktu dan sumber benchmarking dari perusahaan lain sejenis yang tidak mudah didapatkan oleh periset. Namun telah didapatkan informasi yang sangat baik dari Bapak Achmad S. yaitu pada pertengahan tahun 2007 pihak BTEL membentuk satu divisi baru yaitu divisi PMO & QA (Program Management Office & Quality Assurance) yang walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut, kemungkinan berfungsi tidak jauh dari fungsi PO/ COE. Hal ini dapat mencerminkan secara tidak langsung pihak manajemen tingkat atas dari BTEL sudah mulai menyadari pentingnya PO/ COE untuk manajemen proyek didalam perusahaan.(hasil wawancara 19 Mei 2008) Apabila penilaian tingkat 4 ini dilakukan dengan baik, maka akan didapatkan keefektifan BTEL dalam mengaplikasi PO/ COE didalam organisasinya dimana saat ini sudah terbentuk PMO&QA didalam organisasi BTEL dan juga keberhasilan dalam penerapan metodologinya. Karena skor yang akan didapat mencerminkan keseimbangan antara benchmarking secara kualitatif maupun kuantitatif. 4.1.1.5 Analisa Dimensi Continuous Improvement Pada tingkatan yang sebelumnya, seharusnya perusahaan memulai benchmarking melawan perusahaan lain. Pada tingkat 5 ini, perusahaan melakukan evaluasi-evaluasi terhadap infomasi yang dapat dipelajari pada saat melakukan benchmarking dan mengimplementasikan beberapa perubahan yang diperlukan untuk meningkatkan prosesproses dalam manajemen proyek. Didalam tingkatan ini perusahaan telah sampai pada penyadarannya bahwa mencapai kualitas yang terbaik dari manajemen proyek merupakan perjalanan yang tidak akan pernah selesai. 108 Terdapat empat karakteristik dari tingkat 5 pada PMMM, yaitu: • Organisasi didalam perusahaan harus membuat catatan-catatan mengenai pelajaranpelajaran yang telah dipelajari dari seluruh laporan sesi awal hingga akhir setiap proyek. Jadikan semua proyek sebagai studi kasus. Diskusikan kesalahan-kesalahan dan pengetahuan tambahan yang dapat dipelajari, hal ini sangat kritikal agar kesalahan yang pernah terjadi tidak terulang kembali. • Pengetahuan yang sudah dipelajari dari setiap proyek harus ditransferkan pada proyek dan tim yang lain. Hal ini dapat dicapai dengan secara berkala mengadakan forum pembahasan pelajaran/ pengalaman yang pernah dipelajari/ dialami, atau dari pelajaranpelajaran studi kasus yang telah didiskusikan pada program-program pelatihan. • Perusahaan harus menyadari bahwa sebuah program dengan para pengajar yang handal harus diadakan agar dapat menelurkan para manajer proyek masa depan. Transfer ilmu pengetahuan dan informasi pengalaman-pengalaman dapat disampaikan dalam program tersebut. Program-program seperti ini seharusnya disupervisi secara langsung oleh PO/ COE. • Karakteristik terakhir dari tingkat 5 adalah pengertian perusahaan secara luas bahwa perencanaan strategi untuk manajemen proyek adalah sesuatu yang berkelanjutan, merupakan sebuah proses yang terus berlangsung. Mendokumentasikan hasil-hasil dari proyek yang telah dilakukan kedalam pelajaran yang dapat dipelajari kemudian, dan mempersiapkan studi-studi kasus akan menjadi sulit dilakukan. Manusia belajar dari kesuksesan dan kesalahan-kesalahan. Seorang eksekutif pernah berkomentar bahwa kesalahan terbesar dari sebuah proyek adalah apabila kita tidak dapat mempelajari apapun dari proyek tersebut. Dan ada eksekutif lain berkomentar bahwa pertemuan yang membahas laporan sebuah proyek adalah hanya menghabiskan waktu saja apabila kita tidak dapat mempelajari sesuatu dari pertemuan tersebut. 109 Metodologi-metodologi manajemen proyek harus berjalan dalam peningkatan yang terus berkelanjutan. Hal ini mungkin sangat memerlukan perencanaan strategi yang matang agar dapat terus memimpin dalam kompetisi. Peningkatan yang terus berkelanjutan pada sebuah metodologi dapat dipengaruhi dari dalam perusahaan oleh beberapa faktor seperti adanya perangkat lunak/ software yang lebih mendukung, budaya perusahaan yang mampu bekerja sama, atau hanya sebuah pendidikan dan pelatihan dalam mempergunakan metodologi yang ada. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi dari luar perusahaan seperti hubungan dengan para supplier, dan pelanggan, faktor legal (hukum), faktor sosial, faktor teknologi dan bahkan faktor politik juga berpengaruh. Lima area untuk peningkatan secara berkelanjutan terhadap metodologi manajemen proyek terlihat pada gambar dibawah. Gambar IV.12. Faktor-faktor yang mendukung continuous improvement (Sumber: Kerzner, 2001: 111) Dari gambar tersebut dapat dijabarkan seperti berikut: 110 Existing Process Improvements • Penggunaan yang berkali-kali • Akses terhadap pelanggan • Produk pengganti • Kondisi bekerja yang lebih baik • Pengunaan software yang lebih baik Integrated Process Improvements • Proses integrasi yang cepat • Kebutuhan pelatihan • Penerimaan perusahaan secara merata Behavioral Issues • Perubahan perilaku dalam organisasi • Perubahan budaya • Dukungan manajemen • Akibat pada manajemen proyek yang tidak resmi • Pergeseran kekuasaan dan kewenangan • Pemahaman keamanan/ safety • Kebutuhan kerja lembur Benchmarking • Membuat sebuah COE manajemen proyek • Benchmarking terhadap budaya • Benchmarking terhadap proses-proses yang ada Managerial Issues • Komunikasi terhadap pelanggan 111 • Kemampuan sumber daya terhadap kebutuhan perusahaan • Kebutuhan terhadap re-strukturisasi • Masalah-masalah yang timbul dari tahap awal (Growing Pains) Pemahaman atas kelima faktor diatas dapat menyediakan perusahaan sebuah kerangka kerja/ framework yang sangat baik untuk peningkatan kemampuan secara berkelanjutan. Keuntungan-keuntungan dari peningkatan yang berkelanjutan termasuk didalamnya: • Positioning perusahaan yang lebih baik • Menyatukan perusahaan • Meningkatkan analisa biaya • Nilai tambah pelanggan • Manajemen yang lebih baik sesuai ekspektasi pelanggan • Implementasi yang mudah Dengan pembuktian bahwa dalam manajemen proyek yang disebut mature/ matang merupakan perjalanan yang tiada henti, dan dapat dinyatakan bahwa manajemen proyek yang berkualitas terbaik harus memiliki perputaran yang tiada henti pada pencapaian pada bagian-bagian metodologi tunggal-peningkatan yang berkelanjutan-benchmarking, sesuai dengan gambar dibawah. 112 Process Definition Basic Knowledge Common Language Common Processes Level 5 Level 4 Level 3 Level 2 Level 1 Process Control Process Improvement Benchmarking Continuous Improvement Singular Methodology Gambar IV.13. Lima tingkatan dari maturity (Sumber: Kerzner, 2001: 113) Hal ini memperlihatkan bahwa tingkat 3, 4 dan 5 dari PMMM dapat berulang terusmenerus. Dan juga meluruskan pernyataan dari kemungkinan dan kebutuhan terjadinya saling mendahului/ over-lapping antar tingkatan. Semakin banyaknya industri yang menerima bahwa manajemen proyek merupakan cara hidup mereka, kesempatan-kesempatan untuk peningkatan yang berkelanjutan dalam praktek manajemen proyek telah bermunculan pada tingkat yang sangat dahsyat. Apakah yang lebih penting dari bukti nyata bahwa banyak perusahaan telah berbagi keberhasilankeerhasilan mereka dengan perusahaan lain dalam melakukan aktifitas benchmarking. Terdapat sepuluh area yang perlu diperhatikan, yaitu: • Mengembangkan prosedur dokumentasi yang efektif • Metodologi-metodologi manajemen proyek • Peningkatan yang berkelanjutan • Perencanaan kapasitas 113 • Model-model kompetensi • Mengatur multiple/ banyak proyek • Rapat pembahasan ulang/ review pada tiap akhir fase sebuah proyek • Strategi dalam memilih sebuah proyek • Pemilihan portofolio sebuah proyek • Akuntansi yang horizontal Kesepuluh area inilah yang mampu mempercepat perubahan perusahaan diera abad ke-21 ini. Budaya manajemen proyek yang efektif berdasarkan pada kepercayaan, komunikasi, kerjasama, dan kerja tim. Apabila dasar dari manajemen proyek telah kuat, struktur organisasi akan menjadi tidak relevan lagi. Mere-strukturisasi organisasi perusahaan hanya untuk menambahkan manajemen proyek tidak perlu dilakukan dan mungkin akan menjadi lebih berbahaya bagi perusahaan. Perusahaan mungkin harus dire-strukturisasi karena alasan yang lain, seperti menggunakan alasan pelanggan akan menjadi lebih rasional dan penting. Manajemen proyek yang sukses dapat hidup pada struktur organisasi apapun, bagaimanapun buruknya struktur itu terlihat diatas kertas, asalkan budaya perusahaan memperlihatkan kerja tim, kerjasama, kepercayaan dan komunikasi yang efektif. Organisasi perusahaan yang berkualitas tinggi dalam manajemen proyeknya dapat menggunakan bentuk struktur hampir apa saja. Saat ini, perusahaan kecil-menengah biasanya mere-strukturisasi perusahaannya untuk menampung semua sumber daya. Perusahaan besar cenderung terfokus pada strategi bisnis unit sebagai pondasi dari struktur yang sudah ada.dan masih banyak perusahaan yang menggunakan manajemen berbentuk matriks. Struktur apa saja dapat menggunakan manajemen proyek asalkan memiliki beberapa hal berikut ini: • Perusahaan terorganisir pada tim-tim proyek yang tidak terdedikasi/ nondedicated • Memiliki hirarki organisasi yang rata/ flat atau horizontal 114 • Mempraktekkan manajemen proyek yang tidak resmi/ informal • Tidak terlalu mementingkan tingkatan laporan dari para manajer proyek Pada organisasi yang sukses mengatur proyek-proyeknya, para manajer proyek akan dianggap menjadi para profesional dan memiliki deskripsi pekerjaan yang telah ditentukan sendiri oleh mereka. Biasanya sebagai pegawai dibolehkan naik jabatan satu dari dua tangga karir; tangga manajemen atau tangga teknikal (tidak diperbolehkan berpindahpindah dari satu ke yang lainnya). Hal ini menimbulkan kesulitan bagi para manajer proyek, yang bertanggung jawab menjembatani antara dua tangga tersebut. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, banyak perusahaan yang menciptakan tangga ketiga, yang mampu menjembatani antara teknologi dan manajemen perusahaan. Tangga itu adalah tangga manajemen proyek, yang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengembangan seperti dua tangga yang sebelumnya. Hasil Analisa Pada Tingkat 5 Dikarenakan terbatasnya waktu dan sumber pada tingkat yang sebelumya yaitu tingkat 4, maka pada tingkat 5 ini akan dilakukan penilaian lebih lanjut terhadap continuous improvement yang terdapat pada manajemen BTEL khususnya pada region Jakarta. Hal ini akan memperlihatkan posisi BTEL dalam kematangan manajemen proyeknya dan apakah telah dilakukan benchmarking didalam manajemen proyeknya seperti yang seharusnya dilakukan pada tingkat 4. 115 Grafik IV.4. hasil penilaian PMMM tingkat 5 pada region Jakarta di BTEL Dengan total nilai 10 BTEL masuk di kategori nilai 10-19, yaitu perusahaan yang bergerak lambat dalam peningkatan kinerjanya. Keterlambatan ini bisa saja terjadi karena rumitnya menggeser spektrum kewenangan dan kekuasaan yang ada pada organisasi BTEL. Dari analisa ini walaupun hanya pada region Jakarta terlihat bahwa BTEL belum berhasil melakukan benchmarking dan akan sulit untuk mendapatkan lesson learned dari hasil benchmarking, maka seharusnya masalah pergeseran spektrum kewenangan dan kebijakan perusahaan dapat dilakukan secara efektif. Pada kisaran rata-rata 20 keatas, barulah perusahaan dapat dikatakan sebagai perusahaan yang berkomitmen penuh pada Benchmarking dan Continuous Improvement. Perusahaan seperti ini biasanya menjadi pemimpin di industrinya. Perusahaan ini akan selalu memiliki pengetahuan tentang manajemen proyek melebihi kompetitornya dan melebihi apa yang diinginkan pelanggannya (unexpected services). 116 4.1.2. Analisa Resiko Tiap Dimensi Sebelum melihat tingkat resiko yang dihadapi dalam penggunaan tiap tingkatan PMMM, perlu dilihat terlebih dahulu tingkat kerumitan pada tiap tingkatan PMMM seperti dibawah ini: Tabel IV.5. tingkat resiko pada PMMM Tingkatan Keterangan Tingkat Kerumitan 1 Common Language Menengah/Medium 2 Common Processes Menengah/Medium 3 Singular methodology Tinggi/High 4 Benchmarking Rendah/Low 5 Continuous Improvement Rendah/Low Tingkat 1 Resiko yang terdapat pada tingkat 1 sesuai dengan tingkat kerumitannya yaitu menengah. Perusahaan mungkin akan sangat susah untuk berubah, terlebih akan dikarenakan rasa takut apabila terjadi perubahan keseimbangan dari kekuasaan dan kewenangan para pegawainya. Apalagi dengan adanya jalur laporan dengan banyak atasan yang akan merubah struktur administrasi penggajian dan pembobotan pegawai, dan cara mengevaluasi pegawai. Beberapa faktor yang menyebabkan tingkat 1 ini mendapatkan tingkat resiko yang menengah adalah: • Ketakutan akan adanya restrukturisasi perusahaan • Ketakutan akan adanya perubahan peran dan tanggung jawab • Ketakutan akan adanya perubahan prioritas 117 Tingkat 2 Pada tingkat 2 yaitu common processes terdapat tingkatan kerumitan yang menengah. Periode waktu untuk melewati tingkat 2 ini sekitar enam bulan atau dua tahun, hal ini bergantung pada: • Tipe perusahaan • Dukungan pihak eksekutif yang nyata • Kekuatan dari budaya perusahaan • Penolakan terhadap perubahan • Kecepatan dari pengembangan dan penggunaan metodologi baru yang baik • Adanya seseorang dari pemimpin pihak eksekutif yang mendorong dikembangkannya metodologi manajemen proyek pada perusahaan • Kecepatan terealisasinya keuntungan-keuntungan dari penggunaan manajemen proyek Resiko-resiko diatas dapat diatasi dengan adanya dukungan eksekutif yang kuat dan nyata. Tingkat 2 dari PMMM ini dapat mendahului tingkat 1, tidak ada alasan mengapa kita harus menunggu begitu banyaknya pegawai untuk dilatih dan dididik tentang manajemen proyek terlebih dahulu untuk mulai mengembangkan proses-proses dan metodologi yang akan digunakan. Justru dengan lebih awalnya perusahaan memulai dengan pengembangan metodologi dan proses-prosesnya maka lebih awal pula kurikulum manajemen proyek yang akan diberikan pada pegawai akan disesuaikan. Jadi para pegawai mampu melihat dengan jelas bagaimana metodologi tersebut digunakan pada konsep dasar manajemen proyek. Tingkat 3 Penyelesaian yang sukses dari tingkat 3 akan diikuti oleh tingkat kerumitan yang sangat tinggi. Dapat terjadi “culture shock” dalam perusahaan. Pada periode waktu yang 118 dibutuhkan untuk menyelesaikan tingkat 3 ini sekitar satu tahun atau lebih, bergantung kepada: • Kecepatan dalam penerimaan budaya untuk berubah • Penerimaan atas sistem manajemen proyek yang tidak resmi • Penerimaan terhadap metodologi tunggal Resiko tertinggi terdapat pada budaya perusahaan, apabila desain metodologi kurang baik, maka akan terjadi peperangan budaya didalam perusahaan. Apabila metodologi hanya diterima pada satu kantong kepentingan saja, maka budaya perusahaan akan menjadi terbagi-bagi. Jika budaya perusahaan sudah terbagi-bagi, maka keuntungan dari manajemen proyek akan menjadi tidak maksimal. Biasanya pada tingkatan ke-2 dan 3 tidak terjadi kondisi saling mendahului / overlapping. Begitu perusahaan menyadari keuntungan yang akan diraih dari penggunaan manajemen proyek dan kebutuhan akan adanya metodologi tunggal, perusahaan akan memberhentikan pengembangan proses-proses yang berjalan sendiri-sendiri/individual dan akan lebih terfokus pada apa yang terbaik untuk semua proses yang ada. Tingkat 4 Dalam menyelesaikan tingkat 4 dan mencapai tingkat 5 terdapat banyak hambatanhambatan yang harus diwaspadai. Metodologi tunggal yang dibuat pada tingkat 3 harus dikembangkan didalam perusahaan secara seksama. Benchmarking merupakan indikasi bahwa peningkatan-peningkatan dapat terjadi. Jangan sampai terdapat anggapan negatif yang tidak menyetujui hasil benchmarking dengan menyatakan bahwa industri yang dipakai sebagai acuan tidak sesuai dan lain sebagainya. Manusia memiliki dasar karakter yang takut akan perubahan, dan benchmarking membuka pintu untuk hasil yang tidak dikira-kira ke permukaan.cepat atau lambat semuanya akan 119 menyadari bahwa benchmarking merupakan hal yang sangat dibutuhkan bagi perusahaan dalam menjaga kehidupannya. Pada titik ini maka pelaksanaan benchmarking harus berdasarkan pada komitmen yang sangat serius dari perusahaan. Tingkat 5 Resiko yang ada pada tingkat 5 ini merupakan akumulasi dari tingkat 3 dan tingkat 4 yang sudah dilalui sebelumnya. Karena pencapaian perusahaan hingga tingkatan ini mencerminkan kemampuan manajemen perusahaan dalam melakukan metodologi tunggal dan benchmarking, oleh sebab itu perusahaan hanya perlu melakukan peningkatan atas apa yang sudah didapat dari pengalaman sebelumya dan selalu mengulang proses yang terdapat pada tingkat 3 dan tingkat 4 hingga mencapai metodologi perusahaan yang memiliki sustainable competitive advantage bagi perusahaan. 4.1.3. Analisa Kesenjangan Berdasarkan analisa diatas dapat disimpulkan akar masalah dari BTEL dari menganalisa kesenjangan yang terdapat pada analisa dimensi-dimensi PMMM diatas, hasil analisa kesenjangannya yaitu: 1. Sering muculnya permasalahan antara kelompok yang berada di proyek dengan kelompok yang berada di sisi manajerial. Koordinasi dan komunikasi sering menghambat proyek yang dikerjakan sehingga menyebabkan terlambatnya penyelesaian proyek dan kemungkinan membengkaknya biaya karena adanya keterlambatan. Hal ini secara langsung berpengaruh terhadap kestabilan perusahaan apabila berlangsung terus menerus. 2. Pemecahan sumber daya regional dengan pusat mengakibatkan kurang efisiennya anggota tim yang berada di regional, karena sifat kantor pusat seharusnya hanya dari sisi perencanaan yang strategis saja (Sumber: wawancara dengan pihak BTEL). 3. Kinerja penilaian yang dilakukan dalam riset saat ini berdasarkan pihak internal BTEL yaitu karyawannya. Untuk evaluasi eksternal diperlukan penilaian dengan model PMMM terhadap pelaku industri telekomunikasi di Indonesia, khususnya 120 dalam analisa benchmarking. Dengan adanya PMO didalam organisasi BTEL seharusnya benchmarking dapat dilakukan dibawah pengawasan dan perumusan PMO. 4. Kurangnya pendidikan dan pelatihan dalam manajemen proyek perlu diantisipasi oleh BTEL sesegera mungkin. Modul-modul pelatihan yang menunjang metodologi perusahaan seharusnya sudah mulai dikembangkan oleh PMO. Dukungan pihak eksekutif sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan mendasar ini. 4.2. Analisa Penggunaan Model Manajemen Proyek Pada Bakrie Telecom Saat ini BTEL mengunakan model manajemen proyek jenis non-turnkey. Sesuai dengan sejarah dan perkembangannya, mungkin model ini yang dirasakan oleh pihak manajemen sebagai model yang terbaik untuk diaplikasi oleh BTEL sesuai dengan prinsip perusahaan yang low cost. Sesuai dengan keuntungan-keuntungan yang didapatkan dari penggunaan model manajemen proyek jenis non-turnkey, yang pada awalnya mungkin pihak manajemen tingkat atas dari BTEL menginginkan adanya hasil terbaik dengan harga termurah dan proyek yang berjalan masih bisa ditolerir apabila ada keterlambatan waktu. Namun dari hasil analisa beberapa tingkatan PMMM terhadap pelaku proyek didalam BTEL, maka seharusnya BTEL melakukan perubahan-perubahan dan peningkatanpeningkatan yang sangat mendasar. Terlihat dari hasil assesment yang membuktikan kurangnya pengetahuan dasar para pelaku manajemen proyek, dan kurangnya dukungan pihak eksekutif terhadap peningkatan kinerja manajemen proyek di BTEL. Dengan digunakannya model manajemen proyek non-turnkey yang sesungguhnya sangat bergantung pada kemampuan dan keterampilan dari sumber daya manusia perusahaan, maka akan banyak permasalahan yang terjadi. Hal ini dapat dilihat pada analisa variabel dan dimensi yang akan dibahas pada sub-bab selanjutnya. 121 4.3. Preliminary Model dengan Variabel dan Dimensi Seiring perkembangan dan dinamisnya model manajemen proyek, maka perlu dibuatkan preliminary model sesuai dengan variabel dan dimensi yang digunakan atau yang belum digunakan oleh BTEL. Dari keseluruhan dimensi manajemen proyek yang sudah dijabarkan dalam analisa dimensi PMMM pada sub-bab sebelumnya, maka akan didapatkan beberapa variabel yang membedakan model-model manajemen proyek yang ada dan yang digunakan oleh BTEL (lihat tabel dibawah). Tabel IV.6. Variabel-variabel dari model manajemen proyek (Sumber: berbagai sumber) Contract Management Project Model Scope System Description of Description of Service Provider Service User Type of Project Project Cost Structure Leader Administration Whole until Lump‐ sum/ HIGH Supplier, Yes, Legal usually dedicated fixed cost or Fixed Sub‐ monitoring handled by time, HIGH cost plus Cost, Contractor, only & Provider, only complexity (depend on HIGH etc. managed project the strategic the scope) Variabel under Main handled by field will be Cost Contractor/ provider handled by Provider, Turnkey owner O&M under Main Contractor only for dedicated time NonTurnkey Partially Unit Price HIGH/ Supplier, Yes, with (depend on LOW Sub‐ monitoring, administration dedicated the scope) Fixed Contractor, schedulling usually time, LOW Cost, etc. managed & project handled by complexity LOW under Owner but handled by All 122 Variabel Service Cost User/ provider depends on the contract Owner, O&M under Services User/ Owner Managed Services BTEL Wholeness Cost‐Plus HIGH Sub‐ No, Legal and other and handle (usually Fixed Contractor, provider administration the used Cost, etc. managed acting as except the operational different VERY under strategic & type of cost‐ HIGH Service usually maintenance plus, Variabel User/ handled by for a long depend on Cost Owner, O&M Provider dedicated the phase) partner under time, VERY Provider HIGH (depends on complexity contract) Partially Unit Price HIGH Sub‐ Yes, All (indoor & with Fixed Contractor, monitoring administration outdoor) floating Cost, etc. managed only & handled by with basis HIGH under project Owner dedicated (because Variabel Service handled by time, HIGH the Cost User/ provider complexity pocurement Owner, O&M is under centralized) Owner Terlihat jelas bahwa model yang digunakan oleh BTEL merupakan model non-turnkey dengan beberapa perubahan yang diakibatkan oleh kebijakan perusahaan. Seperti adanya variabel biaya yang tinggi karena eksekusi proyek yang menjadi lamban yang disebabkan oleh kebijakan yang centralized. 123 Kebijakan yang centralized biasanya digunakan untuk proyek-proyek yang dianggap memiliki scope yang kecil atau dengan kompleksitas yang rendah. Namun kenyataannya kebijakan centralized dan penggunaan sistem pembiayaan yang floating ini disebabkan dinamisnya perubahan teknologi informasi dan telekomunikasi dan penyebaran implementasi proyek pada 6 regional yang menyebabkan tidak adanya pengembangan metodologi tunggal oleh BTEL. Ketidaksiapan ini membuat implementasi proyek dilapangan menjadi terhambat atas biaya dan waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya. Kebijakan yang centralized seharusnya hanya berupa kebijakan strategis saja dan untuk keseluruhan proses proyek dari Network Planning, SITAC (Site Acquisition), Transmission, CME (Civil, Mechanicl & Electrical), BSS (Base Station Sollution), Radio Network Optimization dan procurement dilakukan secara decentralized karena untuk mengontrolnya dapat digunakan solusi dari sistem IT (Information Technology) yang sudah ada seperti eProc (electronic procurement), sistem ERP (Enterprise Resource Planning), dan sistem integrasi berbagai fungsi lainnya. Sehingga mengurangi resiko BTEL yang sebelumnya menggunakan sistem floating pada budgeting proyeknya atau adanya resiko keterlambatan karena desain jaringan dilakukan tidak secara terperinci dipusat sedangkan pada waktu pelaksanaan, bagian konstruksi dari BTEL harus melakukan penghitungan ulang. Begitu pula dengan adanya perubahan spesifikasi yang terjadi dilapangan akan memakan waktu panjang untuk inisiasi ulang terhadap perubahan tersebut. Hal ini seharusnya dapat dieliminir dengan adanya pross inisiasi dan penentuan di setiap regional. Untuk mengurangi membengkaknya jumlah pegawai yang ada diregional dapat menggunakan pengurangan beberapa hal seperti penggunaan sistem IT seperti diatas. Maka hanya akan ditempatkan beberapa orang yang kompeten saja, namun tim inti dari Network Planning, Engineering & Development akan tetap berada dipusat untuk penanganan secara nasional dan untuk inisiasi mega proyek. 124 Penempatan manajer proyek didalam struktur organisasi BTEL juga menyebabkan adanya keterbatasan dan kelambanan dari kinerja seorang pemimpin proyek. Dengan penempatan manajer yang sejajar dengan general manager regional akan menyebabkan hubungannya menjadi bias, karena GM merupakan user atau owner dari proyek yang dipimpim oleh manajer proyek dalam model non-turnkey. Seharusnya keduanya memiliki posisi yang sejajar dan memiliki tanggung jawab yang terstruktur dengan jelas. Oleh karena itu didalam riset ini akan diuji, model manajemen proyek apakah yang dapat digunakan oleh BTEL dengan kondisi resource dan manajemen proyek yang belum mature, sesuai dengan hasil assesment yang dilakukan sebelumnya. 4.4. Pilot Case Pada pilot case ini akan dibentuk suatu model manajemen proyek yang memperlihatkan posisi manajer proyek didalam struktur organisasi BTEL dan juga alur implementasi sebuah proyek (sebagai contoh: pembangunan BTS regional). 125 Gambar IV.14. Opsi struktur matriks organisasi BTEL Pada struktur organisasi diatas terdapat bagian berwarna biru yang menandakan letak pembuatan inisiasi proyek hingga penyampaian hasil proyek kepada pihak fungsional BTEL. Hubungan para manajer proyek, GM proyek dan VP PMO&QA akan bergerak secara matriks terhadap sisi fungsional yang ada (bayangan merah untuk manajemen menengah dan kuning untuk tingkatan atas), baik itu dengan fungsi-fungsi yang berada dibawah Deputy President Director Network Services ataupun yang berada pada fungsifungsi Human Resource, Financial dan lainnya apabila dibutuhkan (bergantung pada lingkup proyek yang dilakukan). Dengan begitu tugas dan tanggung jawab PMO&QA dapat berjalan sebagaimana mestinya dan manajer proyek dapat bekerja sebagai partner dari GM Regional dan dapat memaksimalkan fungsi-fungsi yang ada dibawah VP NPED 126 dan EVP SCM agar mampu menyelesaikan proyek sesuai waktu dan budget yang dibuat oleh PMO sebagai salah satu tugas dari PMO&QA. Pada struktur ini BTEL masih bisa melakukan model non-turnkey pada manajemen proyeknya asalkan meningkatkan 3 peningkatan utama yaitu kemampuan sumber daya yang ada, proses-proses yang dilakukan dan pendidikan dan pelatihan yang memadai dapat didukung oleh pihak eksekutif BTEL. Apabila ketiga peningkatan dapat dilakukan oleh BTEL dan didukung oleh manajemen tingkat atas dan pihak eksekutif BTEL maka model non-turnkey dapat dipertahankan. Jika tidak mampu dalam jangka waktu yang dekat, maka sebaiknya BTEL merubah model manajemen proyeknya menjadi model turnkey manajemen proyek yang jauh lebih memudahkan proses pelaksanaan proyek. Dengan menggunakan model turnkey yang dimodifikasi sesuai kebutuhan BTEL maka akan didapatkan efisiensi sumber daya termasuk biaya dan efektifitas dari pelaksanaan proyek yang rata-rata tersebar pada 6 regional. Dengan menggunakan kedua model diatas sebaiknya BTEL melakukan peningkatan dengan menggunakan PMMM setidaknya hingga mampu melewati tingkat 2 untuk turnkey dan tingkat 3 untuk non-turnkey. 4.5. Revisi Model Pilot Case Sesuai dengan hasil wawancara dengan pihak BTEL, maka didapatkan revisi model yang telah diuji dengan segala keterbatasan yang ada. Revisi yang didapatkan adalah sebagai berikut: i. Pada divisi Network Planning sebaiknya dibelah menjadi 2 bagian yang dikerjakan secara simultan antara BTEL dan Vendor. Pada bagian vendor dilakukan dengan model turnkey pada prakteknya, dan pada bagian BTEL akan diselesaikan dengan model non-turnkey. Ada kemungkinan pembagiannya menurut proyek indoor dan outdoor. 127 ii. Fungsi PMO agar tidak tumpang tindih dengan SCM karena selama ini PMO menangani penjadwalan dan memonitor proses proyek yang berjalan, sedangkan seharusnya hal ini dilakukan oleh bagian SCM karena kontrak dan penjadwalan ada pada divisi SCM ini. iii. Setidaknya ada perbedaan variabel tambahan tentang cost, resource dan time yang dibutuhkan atas revisi no i.) diatas, agar dapat diperjelas analisa model yang diberikan. iv. Proses hand-over proyek yang sebelumnya dilakukan PM terhadap GM regional menjadi lebih baik dan, hal ini dapat menyebabkan laporan dokumentasi milestones proyek tidak mungkin berubah sesampainya di VP regional apalagi pada sisi PMO, yang sebenarnya harus mendapatkan data-data yang akurat mengenai lesson learned sebuah proyek (lihat hasil analisa dimensi common language dan common processes di sub-bab sebelumnya). v. Opsi struktur NPED dan SCM berada di regional sebaiknya dibatalkan, karena akan tidak efisien dan efektif karena akan membutuhkan sumber daya manusia yang banyak pada sisi regional walaupun dapat mempercepat prosesnya (hal ini dikarenakan sistem IT di BTEL belum dimaksimalisasi penggunaannya). Sesuai dengan hasil wawancara dengan pihak Vendor, maka didapatkan revisi model yang telah diuji dengan segala keterbatasan yang ada. Revisi yang didapatkan adalah sebagai berikut: i. Vendor lebih menginginkan model turnkey manajemen proyek, karena mereka beranggapan dengan menggunakan turnkey vendor bisa mendapatkan profit lebih. Terutama dikarenakan faktor resiko lebih dapat diminimalisir dengan adanya ekspatriat dengan keahlian dan keterampilan manajemen proyek yang mereka miliki. Juga dengan kemudahan untuk memilih supplier dan sub-kontraktor yang akan mereka gunakan didalam proyek. ii. Karena pemilihan BTEL terhadap perangkat yang sudah mulai tidak dikeluarkan lagi tipenya, maka kemungkinan akan menjadi kerumitan tersendiri dalam masalah 128 perawatannya. Sebaiknya BTEL memilih solusi-solusi yang akan mengurangi OPEX-nya walaupun dengan CAPEX yang lebih besar, hal ini akan menguntungkan BTEL pada jangka waktu yang lama, tidak hanya pada jangka waktu yang sementara saja. iii. Didalam organisasi vendor manajemen proyeknya selalu dilakukan dalam bentuk turnkey project dengan model organisasi yang matriks. iv. Dari sudut pandang vendor, GM regional merupakan end-user sedangkan BTEL pusat sebagai Owner dari proyek. Hal ini membuat tidak bermasalah apabila semua proses proyek dilakukan didaerah atau regional. Apalagi dengan model manajemen proyek yang non-turnkey. v. Untuk menghilangkan rasa tidak percaya dan lebih fair apabila proses tender dilakukan dengan cara e-Proc yang jauh lebih cepat prosesnya. Walaupun cara penunjukan langsung yang dilakukan BTEL telah menguntungkan vendor yang terpilih. vi. Vendor tidak melakukan O&M terhadap perangkat yang dipasang pada jaringan BTEL, hanya saja sekarang mulai menyalurkan sparepart atas permintaan BTEL. Hal ini tertuang didalam kontrak yang terpisah antara proyek dan maintenance perangkat. vii. Apabila BTEL melakukan turnkey maka vendor akan melakukan O&M, dengan operasional selama waktu yang ditentukan dan maintenance selama kontrak perawatan diperpanjang. Namun apabila BTEL memilih untuk menggunakan managed services maka BTEL dapat fokus dalam penjualan produk dan jasanya sedangkan sisi operasional dan maintenance akan diurus oleh vendor secara keseluruhan sesuai dengan kontraknya. Sesuai dengan hasil wawancara dengan para pakar manajemen proyek, pakar sumber daya manusia dan pakar akademisi, maka didapatkan revisi model yang telah diuji dengan segala keterbatasan yang ada. Revisi yang didapatkan adalah sebagai berikut: 129 i. Pada VP network maintenance & construction harus dihilangkan construction-nya apabila sisi proyek akan dikeluarkan dari bagian ini. Dan PMO seharusnya beranggotakan pagawai-pegawai senior yang mampu merumuskan apa yang terbaik bagi BTEL maka posisi GM manajer proyek seharusnya tidak secara langsung berhubungan dengan PMO&QA. Namun ada dokumen atau laporan yang diserahkan ke PMO sebagai kebutuhan PMO untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. ii. Seharusnya BTEL tidak menanggung resiko-resiko dari proyek yang dikerjakan namun sebaiknya BTEL membagi-bagikan resiko kepada pihak luar seperti vendor atau kontraktor. iii. Apabila PMO yang menanggung beban EVP SCM (sumber BTEL) maka seharusnya posisi EVP dirubah menjadi VP. Karena posisi EVP dapat berupa beban yang berat dibandingkan dengan bagian VP lainnya ataupun hanya common sense (karena senior, ataupun hal lainnya) yang akan berkibat negatif terhadap culture serta jalur komunikasi organisasi didalam perusahaan. iv. Sebagai perusahaan yang memiliki organisasi yang besar, sebaiknya BTEL memperhatikan piramida organisasi, dimana manajemen tingkat atas akan sebagai puncak dan tingkat bawah sebagai dasar piramida, dari kantor pusat hingga kantor regional (lihat studi literatur awal). v. Dengan menimbang kondisi BTEL yang merupakan perusahaan non-project driven, maka sebaiknya fungsi manajer proyek tetap memiliki “2 topi”, kondisi ini dapat merendahkan biaya yang dikeluarkan oleh BTEL. Pada saat proyek dilaksanakan “topi” sebagai manajer proyek yang digunakan, namun pada saat proyek sudah hand-over “topi” yang digunakan adalah sebagai manajer maintenance. vi. Hubungan matriks didalam organisasi sangat berbahaya apabila aturan dan kebijakan dari manajemen tingkat atas tidak tepat, maka seharusnya proses bisnis dibenahi terlebih dahulu dan tidak menganggap mudah penggunaan hubungan matriks didalam organisasi walaupun hasilnya akan sangat baik. vii. Apabila ingin menggunakan outsourcing sebaiknya diperhatikan kontrol manajemen dan kemampuan outsource-nya. Hal ini akan meningkatkan keefektifan 130 dan keefisienan dari penggunaan outsourcing. Namun sebaiknya tidak melakukan outsource pada bagian-bagian vital atau strategis dari perusahaan. viii. Apabila mengunakan model managed services maka secara langsung akan menghilangkan beberapa bagian dari divisi network services ini, seperti Operation, maintenance dan engineering. Walaupun dengan biaya awal yang cukup besar namun untuk jangka panjang hal ini seharusnya bisa menjadi pilihan untuk menghemat biaya. ix. Dalam hubungan Biaya-Mutu-Waktu yang terpenting adalah sumber daya manusianya, karena penyeimbang triple constraint tidak akan berjalan dengan baik apabila SDM-nya tidak mendukung. Baik itu dalam pendidikan dan pelatihannya ataupun budaya dan hubungan komunikasi di dalam organisasi. 4.6. Final Case Dari temuan-temuan yang didapatkan pada riset ini maka akan dibentuk sebuah final case yang akan memperlihatkan sebuah pola yang lebih sesuai untuk BTEL. Pemilihan model manajemen proyek Setelah dilakukan beberapa revisi terhadap pilot case maka pada final case ini BTEL sebaiknya memilih model turnkey manajemen proyek dengan beberapa perubahan pada aplikasinya. BTEL melakukan perencanaan jaringan pada Network Planning dibantu oleh PMO&QA agar mendapatkan inisiasi proyek dan perencanaan strategi yang matang. Pembentukan struktur organisasi Untuk menyesuaikan dengan pemilihan model turnkey manajemen proyek, BTEL perlu mengubah tugas dan tanggungjawab beberapa fungsional seperti dibawah. Terutama yang diberi warna merah sebagai hubungan langsung vendor dengan BTEL pada tahap proses defining sebuah proyek. 131 Gambar IV.15. Opsi struktur organisasi BTEL akhir Proses manajemen proyek Pada gambar struktur organisasi diatas terlihat pembagian kerja antara vendor dan BTEL (BTEL melakukan outsourcing pada bagian yang berwarna merah), fungsi PM (berada dibawah GM Regional) akan melakukan pengawasan pada tahap pelaksanaan proyek dan juga turut serta pada tahap inisiasi dan penentuan proyek. Hal ini akan jauh lebih tepat guna melihat posisi PM berada didalam fungsional VP Regional NM&C yang pada saat proyek selesai akan melakukan maintenance BTS untuk GM Regional. 132 Setelah BTEL melakukan SITAC selanjutnya proses penghitungan dan analisa dibuat oleh vendor yang akhirnya disesuaikan oleh fungsional BTEL dan strategi perusahaan. Setelah semuanya ter-define maka BTEL menentukan budget agar vendor turnkey yang mengerjakan proyeknya. Proses procurement bisa ditetapkan dan diawasi oleh BTEL dan pelaksanaan dilakukan oleh vendor menggunakan eProc agar prosesnya berjalan lancar dan mengurangi resiko dalam proses ini. Setelah semua resource proyek ter-define dengan jelas, BTEL mengawasi jalannya proyek oleh vendor dengan dikepalai seorang PM Regional. Tabel IV.7. Keuntungan dari penggunaan model turnkey dibandingkan dengan model lainnya di BTEL Turnkey Non-Turnkey Managed Services Biaya Tinggi Rendah Sangat Tinggi SDM Rendah Tinggi Sangat Rendah Waktu Sangat Rendah Sangat Tinggi Sangat Rendah Kualitas Sangat Tinggi Sangat Rendah Sangat Tinggi Dari tabel diatas akan terlihat penggunaan biaya, sumber daya dan waktu yang diperlukan juga kualitas yang dihasilkan pada saat BTEL menggunakan model turnkey ini. Dengan pemilihan model ini, BTEL dapat meminimalisasikan beban-beban dan resiko perusahaan diawal perencanaan seblum melakukan proyek turnkey. Setidaknya hal ini dapat dilakukan pada jangka waktu dekat sebelum kemampuan common language dan kemampuan common processes dari manajemen proyek didalam BTEL dapat ditingkatkan (dimana proses peningkatannya dapat memakan waktu 1 hingga 2 tahun). 133