JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya Dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 PERKEMBANGAN MODEL MORAL KOGNITIF DAN RELEVANSINYA DALAM RISET-RISET AKUNTANSI Febrianty Universitas Tridinanti Palembang Abstract This paper aims to provide a picture of cognitive moral development model and the characters who build the theory and its relevance in accounting research and strengthen the evidentiary mereflikasi cognitive moral theory. This description will begin with the importance of moral and cognitive psychology in understanding human behavior and interaction related to the particular demands of morality and ethics of accounting research that focuses on 1. Moral Development, 2. Moral considerations, and 3. Ethics Education. Progress will be indicated by the moral and ethical understanding and relationship between them based on reasonable assumptions and testing for relevanced and developed for other accounting research in the future. This is because given that psychology and human behavior continue to develop in accordance with the civilization and the complexity of pemasalahan menunutut they face and to resolve them appropriately. Keywords : Development, Moral, Cognitive, Research Accounting PENDAHULUAN Etika akuntan telah menjadi isu yang sangat menarik. Di Amerika Serikat isu ini antara lain dipicu oleh terjadinya crash pasar modal tahun 1987 (Chua et. al., 1994). Skandal Enron, Worldcom dan perusahaan-perusahaan besar di AS yang terlibat rekayasa akuntansi dalam laporan keuangan milyaran dollar AS. Dalam pembukuannya Worldcom mengumumkan laba sebesar USD 3,8 milyar antara Januari 2001 dan Maret 2002. Penipuan ini telah menenggelamkan kepercayaan investor terhadap korporasi AS dan menyebabkan harga saham dunia menurun serentak di akhir Juni 2002. Dalam perkembangannya, Scott Sullifan (CFO) dituduh telah melakukan tindakan kriminal dibidang keuangan dan mendapat hukuman 10 tahun penjara. Akibatnya pada saat itu, para investor memilih untuk menghentikan atau mengurangi aktivitasnya di bursa saham. Sedangkan di Indonesia, isu ini berkembang seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran etika yang terjadi, baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern, maupun akuntan pemerintah (Machfoedz, 1999). Secara historis, akuntan merasa lebih etis dibanding dengan profesi-profesi lain, padahal isu pelanggaran etika yang dilakukan auditor semakin nyata terjadi. Untuk kasus akuntan publik, beberapa pelanggaran etika ini dapat ditelusuri dari laporan Dewan Kehormatan IAI dalam laporan pertanggungjawaban pengurus IAI periode 1990-1994 yang menyebutkan adanya 21 kasus yang melibatkan 53 KAP (Husada, 1996). Isu-isu etika lainnya dalam dunia bisnis belakangan ini juga telah 57 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya Dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 banyak menarik perhatian masyarakat. Kasus deforestation, impor dan ekspor ilegal, pekerja-pekerja Indonesia ilegal, illegal logging, kasus Buyat/Minahasa, kasus Freeport, manipulasi laporan keuangan PT KAI, kasus penggelembungan nilai (mark up) PT. Kimia Farma Tbk pada tahun 2001 (Arifin, 2005). Laba bersih dilaporkan sebesar Rp 132 miliar lebih, padahal seharusnya hanyalah sebesar Rp 99,6 miliar, dan kasus Lapindo Brantas serta banyak lagi kasus lainnya. Terbongkarnya kasus-kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh para auditor dan perusahaan besar lainnya yang terlibat dalam praktik manajemen laba semakin memberikan kesadaran tentang pentingnya peran dunia pendidikan dalam menciptakan SDM yang berkualifikasi dan bermoral. Prinsip-prinsip good corporate governance juga menyatakan bahwa sikap independen, transparan, adil, dan akuntabel harus dimiliki oleh semua pengelola organisasi, baik swasta maupun pemerintah. Begitu pula halnya, perilaku moral para akuntan profesional penting untuk status dan kredibilitasnya terhadap etika profesi akuntansi. Kasus pelanggaran etika seharusnya tidak terjadi apabila setiap akuntan mempunyai pengetahuan, pemahaman, dan kemauan untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya (Ludigdo, 1999). Oleh karena itu, terjadinya berbagai kasus sebagaimana disebutkan di atas, seharusnya memberi kesadaran untuk lebih memperhatikan etika dalam melaksanakan pekerjaan profesi akuntan. Sudibyo (1995) dalam Khomsiyah dan Indriantoro (1998) mengemukakan bahwa dunia pendidikan akuntansi mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku etika auditor. Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa sikap dan perilaku moral auditor (akuntan) dapat terbentuk melalui proses pendidikan yang terjadi dalam lembaga pendidikan akuntansi, dimana mahasiswa sebagai input, sedikit banyaknya akan memiliki keterkaitan dengan akuntan yang dihasilkan sebagai output. Pertanyaan–pertanyaan tentang dugaan atas pelanggaran etika profesi akuntan terhadap kepercayaan publik telah menimbulkan campur tangan pemerintah. Ponemon dan Gabhart (1993) memberikan argumen bahwa hilangnya kepercayaan publik dan meningkatnya campur tangan dari pemerintah pada gilirannya menimbulkan dan membawa kepada matinya profesi akuntan, dimana masalah etika melekat dalam lingkungan pekerjaan para akuntan profesional (Finn, et al. 1988; Ponemon dan Gabhart, 1993; 1994; Leung dan Cooper, 1995). Dalam praktik profesinya, para akuntan profesional harus berinteraksi dengan aturan-aturan etika profesi dan bisnis dengan para stakeholder, yaitu terhadap individu-individu, perusahaan dan organisasi. Beberapa interaksi dalam banyak kasus dapat berpotensi munculnya konflik kepentingan. Para akuntan profesional cenderung mengabaikan persoalan moral bilamana menemukan masalah yang bersifat teknis (Volker,1984; Bebeau, et al. 1985), artinya bahwa para akuntan profesional cenderung berperilaku tidak bermoral apabila dihadapkan dengan suatu persoalan akuntansi. Kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi referensi sebagai acuan untuk riset-riset akuntansi yang sedang dan akan menguji variabel-variabel moral kognitif dan mengeksplorasi teori tersebut pada berbagai bidang ilmu. Moral Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Kata mos jika akan dijadikan kata keterangan atau kata sifat lalu mendapat perubahan dan belakangannnya, sehingga membiasakan menjadi “morris” kepada kebiasaan moral dan lain-lain dan moral adalah kata nama sifat dari kebiasaan moral dan lain-lain, dan moral adalah kata nama sifat dari kebiasaan itu, yang semula berbunyi moralis. Kata sifat tidak akan berdiri sendiri 58 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya Dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 dalam kehidupan sehari-hari selalu dihubungkan dengan barang lain. Begitu pula kata moralis dalam dunia ilmu lalu dihubungkan dengan scientia dan berbunyi scientis moralis, atau philosophia moralis. Karena biasanya orag-orang telah mengetahui bahwa pemakaian selalu berhubungan deangan kata-kata yang mempunyai arti ilmu maka untuk mudahnya disingkat jadi moral. Etika dalam bahasa latin adalah ethica, yang berarti falsafah moral. Menurut Keraf (1998) etika secara harfiah berasal dari kata Yunani, ethos (jamaknya ta etha), yang artinya sama dengan moralitas, yaitu adat kebiasaan yang baik. Adat kebiasaan yang baik ini kemudian menjadi sistem nilai yang berfungsi sebagai pedoman dan tolak ukur tingkah laku yang baik dan buruk. Etika merupakan suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi landasan bertindak seseorang sehingga apa yang dilakukannya dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang (Munawir, 1997). Etika sangat erat kaitannya dengan hubungan yang mendasar antar manusia dan berfungsi untuk mengarahkan kepada perilaku moral. Moral adalah sikap mental dan emosional yang dimiliki oleh individu sebagai anggota kelompok sosial dalam melakukan tugas-tugas atau fungsi yang diharuskan kelompoknya serta loyalitas pada kelompoknya (Sukamto, 1991; dalam Falah, 2006). Moral dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998) ada dua pengertian yaitu: 1. Ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban, dan 2. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah dan berdisiplin. Secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan, adat. Dengan kata lain, moral adalah nilainilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu etika dari bahasa Yunani dan moral dari bahasa Latin. (http://dehalban.tripod.com/id15.html). Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Nelsser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia/satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan maslah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan, membayangkan memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifitis, tingkat laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Pemikiran Moral Pemikiran moral mengacu pada penggunaan beberapa alasan untuk menilai sesuatu kegiatan bisnis sebagai etika atau bukan. Ada empat gaya pemikiran yang mencerminkan hirarki dari pengembangan moral, yang mengingatkan apa tujuan pengembangan moral (Kohlberg et al., 1983). Empat gaya pemikiran tersebut adalah deontological, teleological, 59 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 egois atau conventional (Fraedrich dan Ferrell, 1992a, 1992b; Harris dan Sutton, 1995; Reindenbach dan Robin, 1990). Pemikiran deontological berfokus pada maksud untuk merealisasikan tujuantujuan yang penting, ideal, dan nilai-nilai yang diinginkan secara umum, yaitu meliputi kesetiaan (Barnett et al., 1994; Ellenwood & Ryan, 1991). Pada pendekatan deontological, perhatian tidak hanya pada perilaku dan tindakan, namun lebih pada bagaimana orang melakukan usaha dengan sebaik-baiknya dan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran untuk mencapai tujuannya. Pemikiran teleological menekankan dalam maksimalisasi yang bermanfaat untuk masyarakat atau sebanyak-banyaknya orang. Pada pendekatan teleological, perhatian tidak hanya pada perilaku dan tindakan, namun lebih pada bagaimana mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya. Pemikiran conventional mengacu pada penyesuaian hukum, norma, dan kode etik profesional. Pemikiran egois memperoleh kebaikan dari kepentingan untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, hirarki akan memberikan tingkatan dari pengembangan etika dari egois ke conventional lalu ke teleological dan akhirnya ke deontological. Teori pengembangan moral mengenai pemikiran moral sangat penting sebagai konsep dari etika. Pemikiran moral akan mudah membuat pertimbangan moral dan perilaku moral. Kemudahan ini akan mencerminkan hak yang lebih tinggi dari pengembangan kognitif dalam pertimbangan dan perilaku. Oleh karena itu, seseorang cenderung untuk mempunyai pertimbangan moral menurut tingkat dari pengembangan dalam pemikiran moral seseorang. Perkembangan Model Moral Skema Moral Piaget Jean Piaget (1896-1980) seorang psikolog Swiss: dikenal dgn teori perkembangan intelektual yang menyeluruh yang mencerminkan adanya kekuatan antara fungsi biologi dan psikologis. Piaget menerangkan inteligensi itu sendiri sebagai adaptasi biologi terhadap lingkungan. Contohnya manusia tidak mempunyai mantel berbulu lembut untuk melindunginya dari dingin; manusia tidak mempunyai kecepatan untuk lari dari hewan pemangsa; manusia juga tidak mempunyai keahlian dalam memanjat pohon. Tetapi manusia memiliki kepandaian untuk memproduksi pakaian dan kendaraan untuk transportasi. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata, skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia: a. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun) b. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun) c. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun) 60 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 d. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa) Perkembangan moral berkaitan dengan aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh orang dalam berinteraksi dengan orang lain. Para pakar perkembangan anak mempelajari tentang bagaimana anak-anak berpikir, berperilaku dan menyadari tentang aturan-aturan tersebut minat terhadap bagaimana perkembangan moral yang dialami oleh anak membuat Piaget secara intensif mengobservasi dan melakukan wawancara dengan anak-anak dari usia 4-12 tahun. Ada dua macam studi yang dilakukan oleh Piaget mengenai perkembangan moral anak dan remaja: 1. Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng, sambil mempelajari bagaimana mereka bermain dan memikirkan aturan-aturan permainan. 2. Menanyakan kepada anak-anak pertanyaan tentang aturan-aturan etis, misalnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan. Dari hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan anak-anak berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada perkembangan mereka, antara lain: 1. Heteronomous Morality - Merupakan tahap pertama perkembangan moral teori Piaget yang terjadi kirakira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang lepas dari kendali manusia. - Pemikir heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku. - Misal: memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue. - Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan digugurkan oleh otoritas yang berkuasa. - Ketika Piaget menyarakan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam permainan kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan harus selalu sama dan tidak boleh berubah. - Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera. - Yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman. 2. Autonomous Morality - Tahap kedua perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. - Bagi pemikir Autonomous, maksud pelaku dianggap sebagai terpenting. - Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomous, dapat menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut kesepakatan. - Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak terelakkan. 61 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Piaget berpendapat bahwa dalam berkembang anak juga menjadi lebih pintar dalam berpikir tentang persoalan sosial, terutama tentang kemungkinan-kemungkinan dan kerja sama. Pemahaman sosial ini diyakini Piaget terjadi melalui relasi dengan teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, merencanakan sesuatu dengan merundingkannya, ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi antar orang tua dan anak, orang tua memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan secara otoriter. Model Empat Komponen Rest Model ini pertama kali diperkenalkan sebagai hasil penelitian dari psikologi moral (Rest 1983). Selanjutnya dikembangkan menjadi sebuah model dari komponen-komponen hipotetis yang mendasari setiap tindakan moral (Narvaez and Rest 1995; Rest, Bebeau, and Volker 1986; Rest et al. 1999). Rest menggagas suatu model empat komponen untuk meneliti pertimbangan proses pemikiran dan tingkah laku moral individu. Dia mengatakan bahwa untuk bertingkah laku secara moral, seorang individu melakukan empat proses psikologi dasar: 1. Moral Sensitivity: menafsirkan situasi sebagai moral. Kemampuan untuk menafsirkan hubungan sebab-akibat dalam situasi di mana keputusan yang diambil berpengaruh pada kesejahteraan orang lain. 2. Moral Judgment: memutuskan rangkaian tindakan mana yang paling benar. Kemampuan untuk membuat sebuah keputusan berdasarkan moral yang ideal. 3. Moral Motivation: memutuskan apa yang ingin dilakukan. Kemampuan untuk memprioritaskan moral yang menyangkut hal-hal yang akan dilakukan. 4. Moral Character: membangun dan mengimplementasikan sebuah rencana dari tindakan, melawan gangguan, dan mengatasi rintangan seperti kelelahan dan frustasi. Kemampuan untuk mengubah tujuan menjadi kelakuan. Sensitivitas moral mengacu pada kewaspadaan terhadap bagaimana tindakan seseorang mempengaruhi orang lain. Sensitivitas moral meliputi suatu kewaspadaan tindakan dan bagaimana tindakan tersebut dapat mempengaruhi pihak-pihak yang terlibat. Sensitivitas moral meliputi penggagasan skenario yang tepat secara imajinatif, pengetahuan sebab-akibat rantaian peristiwa, empati, dan keahlian pengambilan peran. Sensitivitas moral adalah kemampuan untuk mengetahui masalah-masalah etika yang terjadi (Shaub, 1989; Hebert et al., 1990). Sensitivitas moral didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengetahui bahwa suatu situasi memiliki makna etika ketika situasi itu dialami individu-individu (Shaub, 1989), yaitu kemampuan untuk mengetahui masalahmasalah etika (Hebert et al., 1990). Sensitivitas moral meliputi persepsi dan interpretasi dari sebuah kejadian dan hubungan dalam suatu situasi. Kebanyakan aspek dasar dari sensitivitas memperlihatkan indikasi elemen sebuah keberadaan situasi etika. Pertimbangan moral menyangkut penilaian dari tindakan-tindakan etika seperti yang dibuktikan oleh komponen pertama, yaitu: sensitivitas moral yang lebih dapat dibenarkan secara moral (cukup atau hanya atau secara moral benar atau bagus). Pertimbangan moral adalah mengarah pada pembuatan sebuah keputusan mengenai apakah kebenaran yang pasti dari tindakan secara moral, seperti apa yang seharusnya dilakukan. Proses dari tahapan ini meliputi pemikiran perspektif dari pertimbangan profesionalnya dalam sebuah pemecahan yang ideal untuk sebuah dilema etika (Thorne, 2000). 62 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Motivasi moral berhubungan dengan kepentingan yang diberikan pada nilai moral terhadap nilai-nilai lainnya. Motivasi moral dapat terjadi seperti halnya ketika aktualisasi atau proteksi terhadap kepentingan organisasi ditafsirkan lebih penting dari pada melakukan hal yang benar. Proses dalam tahapan ini meliputi pertimbangan nilai moral dalam menumbuhkan nilai lain untuk membangun pertimbangan perilaku moral. Pembangunan motivasi moral meliputi pertimbangan yang mendalam dalam pemikiran dan pertimbangan moral untuk sebuah tujuan akuntan dalam latihan pertimbangan profesionalnya (Thorne, 2000). Susilo, 1987 (dalam Simarmata, 2002) mengatakan bahwa motivasi adalah faktor-faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu. Selanjutnya Widyastuti,dkk (2004) menyatakan bahwa motivasi seringkali diartikan sebagai dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat, sehingga motivasi merupakan suatu tenaga yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku di dalam perbuatannya yang mempunyai tujuan tertentu. Sebaliknya, karakter moral mengacu pada sifat-sifat seperti kekuatan ego, kekerasan hati (ketekunan), keteguhan hati dan kemampuan untuk mengatasi rintangan-rintangan (Rest, 1986). Tahapan ini meliputi kegiatan atau tindakan seorang akuntan terhadap tujuan mereka, yaitu antara pelatihan pertimbangan profesional dan keikutsertaan dalam tindakan yang pasti. Thorne (2000) menyatakan bahwa respon akuntan untuk faktor sosial ketika pertimbangan profesional ideal mereka dan respon terhadap dirinya sendiri dalam latihan pertimbangan profesionalnya. Rest menyatakan bahwa tingkah laku moral adalah hasil dari suatu proses yang sangat ruwet, semua empat komponen (sensitivitas moral, pertimbangan moral, motivasi moral dan karakteristik moral) adalah faktor-faktor dari ̀tindakan moral. Seseorang individu yang memperlihatkan kecukupan dalam satu komponen tidak cukup pada komponen lainnya dan kegagalan moral dapat terjadi bila ada kekurangan dalam setiap komponen. Contohnya: seorang individu yang memiliki kapasitas pemikiran moral yang baik bisa saja gagal untuk merasakan suatu masalah etika, untuk mengabaikan suatu pihak yang terjepit dari evaluasi, atau salah menafsirkan pengaruh-pengaruh suatu pilihan tingkah laku pada pihak yang terjepit adalah kegagalan komponen pertama. Seorang individu yang telah membuktikan suatu masalah etika dalam suatu situasi bisa saja memiliki pemikiran moral yang cukup atau tidak sempurna untuk menentukan tingkah laku moral yang ideal adalah kegagalan komponen kedua. Seorang individu yang telah menentukan tingkah laku moral yang ideal dalam suatu situasi, bisa saja memutuskan bahwa faktor-faktor lainnya lebih penting daripada mengembangkan tujuan-tujuan moral yang ideal adalah kegagalan komponen ketiga. Akhirnya, seorang idnividu yang telah mengembangkan suatu tujuan moral bisa saja gagal melaksanakan tingkah laku, adalah kegagalan komponen keempat. Individu-individu berbeda dalam kemampuannya untuk merasakan adanya masalah etika. Individu-individu kurang mendengarkan dan melihat suatu situasi karena kesulitan untuk membuktikan peranannya (Shaub, 1978) atau mereka gagal untuk mengetahui atau menafsirkan suatu situasi yang terjadi dalam keterbatasan sensitivitas terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain (Rest, 1986). Selanjutnya beberapa penelitian psikologi telah menemukan bahwa suatu situasi sosial dapat menunjukkan tanggapan-tanggapan yang berpengaruh secara cepat terhadap penampilan seseorang dalam refleksi pertimbangan situasi tersebut (Zajonc, 1980; Hoffman, 1981). 63 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Komponen Intensitas Moral Jones Jones (1991) menyatakan bahwa intensitas moral (moral intensity) terdiri atas enam elemen, yaitu: Besaran Konsekuensi (the magnitude of consequences), Konsensus Sosial (social consensus), Probabilitas Efek (probability of effect), Kesegeraan Temporal (temporal immediacy), Kedekatan (Proximity), dan Konsentrasi Efek (concentration of effect). Flory, dkk. (1992, dalam Leisch, 2004) merangkum keenam komponen yang berkaitan dengan isu-isu (masalah) yang berhubungan dengan akuntansi ini dalam skenario yang berkaitan dengan situasi akuntansi, dan dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Besaran Konsekuensi (the Magnitude of Consequences), didefinisikan sebagai jumlah kerugian (atau manfaat) yang dihasilkan oleh pengorbanan (atau kebermanfaatan) dari sebuah tindakan moral. Dimasukkannya besaran konsekuensi ini dalam konstruk intensitas moral didasarkan pada observasi pada perilaku manusia dan bukti-bukti yang diperoleh, seperti keputusan yang menyertakan keinginan si pembawa moral (moral agent). Contohnya: skenario mengenai seorang akuntan manajemen di suatu perusahaan yang terpaksa mengikuti permintaan rekan sekerjanya mengenai persetujuan laporan biaya yang seharusnya dilaporkan ke komisi audit. 2. Konsensus Sosial (Social Consensus) didefinisikan sebagai tingkat kesepakatan sosial bahwa sebuah tindakan dianggap jahat atau baik. Sebagai contoh: skenario mengenai si A (seorang pengawas internal pada suatu perusahaan) yang diminta oleh atasannya untuk menaikkan modal kerja dengan berbagai cara (seperti menahan penjualan lebih lama atau meninjau ulang kerugian piutang). Ketika si A mendiskusikan hal ini dengan temannya, temannya tersebut mengatakan bahwa hal tersebut wajar, dan kebanyakan pimpinan akan meminta hal yang sama kepada bawahannya. 3. Probabilitas Efek (Probability Of Effect) merupakan sebuah fungsi bersama dari kemungkinan bahwa tindakan tertentu akan secara aktual mengambil tempat dan tindakan tersebut akan secara aktual menyebabkan kerugian (manfaat) yang terprediksi. Sebagai contoh: Kasus si A pada poin (2) di atas akan melakukan pertimbangan moral dengan mengasumsikan kecil sekali kemungkinan keputusannya tersebut akan mengakibatkan kerugian. 4. Kesegeraan Temporal (Temporal Immediacy) adalah jarak atau waktu antara pada saat terjadi dan awal mula konsekuensi dari sebuah tindakan moral tertentu (waktu yang makin pendek menunjukkan kesiapan yang lebih besar). Kesegeraan Temporal ini adalah sebuah konstruk komponen dengan dua alasan. Pertama, jika nilai mata uang sekarang lebih besar dari pada pada masa yang akan datang, seorang pedagang cenderung mendiskon barang dagangan untuk memperoleh uang secepatnya. Kedua, periode waktu antara tindakan yang ditanyakan dan yang diharapkan dalam memperluas bidang usaha akan menyebabkan kerugian yang sedikit. Sebagai contoh: si A pada skenario pada poin (2) di atas menganggap keputusannya tidak akan dengan segera menyebabkan kerugian dimasa mendatang, sehingga tindakannya di masadepan akan terbiasa untuk melakukan hal yang sama. 5. Kedekatan (Proximity) adalah perasaan kedekatan (sosial, budaya, psikologi, atau fisik) yang dimiliki oleh pembawa moral (moral agent) untuk si pelaku dari kejahatan (kemanfaatan) dari suatu tindakan tertentu. Konstruk kedekatan ini secara intuitif dan alasan moral menyebabkan seseorang lebih peduli pada orang- 64 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 orang yang berada didekatnya (secara sosial, budaya, psikologi ataupun secara fisik) daripada kepada orang-orang yang jaraknya jauh. Sebagai contoh: Si A pada skenario diatas memutuskan untuk mengambil tindakan akan mempertimbangkan apakah keputusannya tersebut akan mempengaruhi rekan kerjanya atau tidak. 6. Konsentrasi Efek (Concentration Of Effect) adalah sebuah fungsi infers dari jumlah orang yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sebuah tindakan yang dilakukan. Orang-orang yang memiliki perasaan kepentingan yang tertinggi akan bertindak secara amoral yang akan menghasilkan konsentrasi efek tinggi. Contoh: Si A pada skenario pada poin (2) di atas akan melakukan pertimbangan moral apakah keputusannya tersebut akan mengakibatkan kerugian (jika ada) bagi sedikit orang atau tidak. Moral Reasoning Kohlberg Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Kohlberg menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapantahapan perkembangan moral dari Kohlberg. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya. Dalam proses mewujudkan tahap perkembangan moralnya, setidaknya Kohlberg telah mengalami 3 tahap pemikiran yang sarat dipengaruhi oleh John Dewey, Baldwin, Jean Pieget, dan Emile Durkheim. Hal yang menjadi kajian Kohlberg adalah tertumpu pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu sendiri. Melalui penelitian yang dilakukannya selama 14 tahun, Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang kemudian dibagi dalam tiga taraf. 1. Periode pertama, tahun 1958-1970. Dimana Kohlberg mengembangkan pendekatan kognitif-developmental. Disini dia berhasil menelurkan karyanya: “Stage and Sequence” (1969). 2. Periode kedua, tahun 1970-1976. Kohlberg disini mengkonsentrasikan pemikirannya pada pengembangan strukturalisme Pieget dengan konsekuen penerapannya pada perkembangan longitudinal individu. Pada periode dia mencoba untuk melakukan ‘revisi’ atas karya sebelumnya dan munculah,”Moral Stage and Moralization” (1976). 3. Periode ketiga, 1975-hingga wafatnya (1987). Kohlberg mencirikan pemikirannya pada peralihan ‘nauralistis’ terhadap ‘tindakan moral’ dalam konteks kelompok atau ‘suasana moral’ yang terlembaga. Kritiknya atas penjelasan yang sosiologisirasional Durkheim yang kemudian ditarik kembali, secara tidak langsung dia 65 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 terpengaruh atas itu, dan menjadi ilham baru atas pemikirannya mengenai ‘suasana moral’. Pada periode ini Kohlberg mengeluarkan karyanya yang berjudul “The Moral Atmosphere of High School: A Comparative Study” (1984).(Tahap-tahap Perkembangan Moral,Lawrence Kohlberg:1995). Pada tahun 1960-1970 Kohlberg mulai melakukan pematangan atas paradigma baru di dunia psikologi yang dia cetuskan berdasarkan hasil penelitian empirisnya bernama teori kognitif developmental nya. Teori kognitif developmental menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakili seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yairu prinsip kesejahteraan manusia dan prinsip keadilan (Tahap-tahap Perkembangan Moral, Lawrence Kohlberg:1995). Menurut Kohlberg bahwa prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral. Adapun buah pemikiran Lawrence Kohlberg mengenai 3 tingkat dan 6 tahap perkembangan moral manusia, menurut Prof. Dr. K. Bertens dalam bukunya “Etika”, yang kemudian menjadi sebuah teori moral yang mempengaruhi dunia psikologi dan filsafat moral atau etika, yakni: 1. Taraf Pra-Konvensional Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka) kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah. Anak pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi, orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya. Pada taraf ini terdiri dari dua tahapan yaitu : - Punishment and Obedience Orientation. Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan taat secara buta pada yang berkuasa dianggap bernilai pada dirinya sendiri. - Instrument-Relativist Orientation. Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagai hubungan jual beli di pasar. Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti menyenangkan saya. 2. Taraf Konvensional (Conventional Level) Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai pada dirinya sendiri. Anak tidak hanya mau berkompromi, tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan ketertiban sosial. Dua tahap dalam taraf ini adalah : - Tahap interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation. Tingkah laku yang lebih baik adalah tingkah laku yang membuat senang orang lain atau yang menolong orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Supaya diterima dan disetujui orang lain seseorang harus berlaku “manis”. Orang berusaha membuat dirinya wajar seperti pada umumnya orang lain bertingkah laku. Intensi tingkah laku walaupun kadang-kadang berbeda dari pelaksanaanya sudah diperhitungkan, misalnya orang-orang yang mencuri buat anaknya yang hampir mati dianggap berintensi baik. 66 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 - Tahap law and order orientation. Otoritas peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan dan pemeliharaan ketertiban sosial dijunjung tinggi dalam tahap ini. Tingkah laku disebut benar, bila orang melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban sosial. 3. Taraf sesudah konvensional (Postoonventional Level) Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana. Tahapannya adalah: - Social Contract Orientation. Dalam tahap ini orang mengartikan benar-salahnya suatu tindakan atas hak-hak individu dan norma-norma yang sudah teruji di masyarakat. Disadari bahwa nilai-nilai yang bersiat relatif, maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu konsensus bersama. - The Universal Ethical Principle Orientation. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara nurani hati. Sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dianut oleh orang yang bersangkutan, prinsip prinsip etis itu bersifat abstrak. Pada intinya prinsip etis itu adalah prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat( nilai) manusia sebagai pribadi. Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya seperti itu berlakulan dalil berikut : 1. Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya. 2. Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berpikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya. 3. Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertari pada cara berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik kepada tahap 3. Berdasarkan inilah Kohlber percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin diperkembangkan. 4. Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik. Sesorang yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehingga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya. Kalau ia tetap tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan. Etika Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” dalam bentuk tunggal artinya kebiasaan, adat; akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir; dan bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM.), sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 2000). Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan etika maka pendekatan yang sangat perlu kita lakukan merinci prinsip-prinsip dasar etika. Prinsip ini terdiri atas dignity (harga diri/martabat), equity (keadilan), prudence (kehati-hatian), honesty (kejujuran), keterbukaan, good will (niat baik). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia etika berarti ilmu pengetahuan tentang asasasas akhlak (moral). Pengertian etika dalam kamus Echol dan Shadaly (1995) adalah 67 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 bertindak etis, layak, beradab dan bertata susila. Menurut Boynton dan Kell (1996) etika terdiri dari prinsip-prinsip moral dan standar. Moralitas berfokus pada perilaku manusiawi “benar” dan “salah”. Selanjutnya Arens-Loebbecke (1996) menyatakan bahwa etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat moral dan nilai. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa etika berkaitan erat dengan moral dan nilai-nilai yang berlaku. Termasuk para akuntan diharapkan oleh masyarakat untuk berlaku jujur, adil dan tidak memihak serta mengungkapkan laporan keuangan sesuai dengan kondisi sebenarnya. Sedangkan etika menurut filsafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Pada dasarnya,etika membahasa tentang tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan. Secara metodologi, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif, yaitu melihat perbuatan manusia dari sudut baik dan buruk . Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika). Adapun jenis-jenis Etika adalah sebagai berikut: 1. Etika Filosofis Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat. Ada dua sifat etika, yaitu: a. Non-empiris Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolaholah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan. b. Praktis Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif, dimana etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. 68 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 2. Etika Teologis Terdapat dua hal-hal yang berkait dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum. Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya. Model Sensitivitas Etika (Ethical Sensitivity Model) Hunt dan Vitell (1986) mengembangkan sebuah model untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan etika, dimana langkah awal individual menerima masalah etika, sampai pada pertimbangan etika (ethical judgment), berkembang pada niat, dan akhirnya terbawa pada perilaku. Faktor-faktor dimana Hunt dan Vitell memprediksi pengaruh kemampuan seseorang untuk mempersiapkan masalah etika meliputi lingkungan budaya, lingkungan industri, lingkungan organisasi, dan pengalaman personal. Teori dalam penelitian ini untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi sensitivitas etika akuntan berdasarkan teori Hunt dan Vitell (gambar 2 pada lampiran). Secara khusus, lingkungan budaya akuntan (CPA), pengalaman personal, lingkungan industri, dan lingkungan organisasional dihipotesiskan untuk mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengenal situasi yang memuat etika. Lingkungan budaya dan pengalaman personal adalah diasumsikan bentuk orientasi etika akuntan dimana dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala Forsyth (1980) yaitu idealisme (idealism) dan relativisme (relativism). Lingkungan industri atau pengaruh dari profesi akuntan (industri) seorang akuntan diukur dengan menggunakakan skala Aranya et al., (1981) yaitu komitmen profesional. Terakhir, lingkungan organisasi atau pengaruh perusahaan pada akuntan dievaluasi dengan menggunakan skala komitmen organisasi oleh Aranya dan Feris (1984). Teori Orientasi Etika dalam Perspektif Moral Forsyth (1980) memuat bahwa orientasi Etika dikendalikan oleh dua karakteristik, yaitu idealisme dan relativisme. Idealisme mengacu pada luasnya seseorang individu percaya bahwa keinginan dari konsekuensi dapat dihasilkan tanpa melanggar petunjuk moral. Kurangnya idealistic prakmatis mengakui bahwa sebuah konsekuensi negatif (mencakup kejahatan terhadap orang lain) sering menemani hasil konsekuensi positif dari petunjuk moralnya dan ada konsekuensi negatif berlaku secara moral dari sebuah tindakan. Relativisme dalam arti lain menyiratkan penolakan dari peraturan moral yang sesungguhnya untuk petunjuk perilaku. Forsyth (1992) menyatakan bahwa suatu hal yang menentukan dari suatu perilaku seseorang sebagai jawaban dari masalah etika adalah pilosopi moral pribadinya. Idealisme dan relativisme, dua gagasan etika yang terpisah adalah aspek pilosofi moral seorang individu (Forsyth, 1980; Ellas, 2002). Relativisme adalah suatu sikap penolakan terhadap nilai-nilai moral yang absolut dalam mengarahkan 69 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 perilaku moral. Sedangkan idealisme mengacu pada suatu hal yang dipercaya oleh individu dengan konsekuensi yang dimiliki dan diinginkannya tidak melanggar nilai-nilai moral. Kedua konsep tersebut bukan merupakan dua hal yang berlawanan tetapi lebih merupakan skala yang terpisah, yang dapat dikategorikan menjadi empat klasifikasi orientasi etika, yaitu: (1) Situasionisme; (2) Absolutisme; (3) Subyektif; dan (4) Eksepsionisme. Berikut ini adalah tabel klasifikasi orientasi etika: Tabel 1. Klasifikasi Orientasi Etika Riset-Riset Akuntansi yang Memfokuskan Pada Moral Kognitif Penelitian atas persoalan moral dalam akuntansi difokuskan pada tiga kelompok utama, yaitu: 1. Pengembangan Moral (Ethical developement), 2. Pertimbangan Moral (Ethical Judgment), dan 3. Pendidikan Etika (Ethics Education). Penelitian pengembangan moral berusaha mencari pokok-pokok yang mendasari proses pemikiran moral para akuntan dan auditor dalam praktik (Tsui, 1994, Sweeny, 1995; Jeffrey dan Weatherholt, 1996; Kite et al. 1996; Cohen et al. 2001; Ellas, 2002; Buchan, 2005). Penelitian pertimbangan moral, menguji hubungan antara pemikiran moral dan perilaku moral para akuntan dalam konteks akuntansi dan auditing (Allen and Ng, 2001; Chiu, 2003; Chan dan Leung, 2006). Penelitian dalam pendidikan etika menginvestigasi tentang keefektifan campur tangan pendidikan dalam memecahkan atau memperbaiki sikap moral dan keahlian atau pengetahuan tentang pemikiran moral dari mahasiswa akuntansi dan para praktisi (Jeffrey, 1993; Mele, 2005). Riset-riset di bidang akuntansi telah difokuskan pada kemampuan para akuntan dalam membuat keputusan etika dan berperilaku etis. Bagaimanapun, faktor yang penting dalam penilaian dan perilaku etis adalah kesadaran para individu bahwa mereka adalah agen moral. Kemampuan untuk menyadari adanya nilai-nilai etika atau moral dalam suatu keputusan inilah yang disebut sensitivitas etika. 1. Penelitian Hunt dan Vitell (1986) menyebutkan kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan sensitif akan adanya masalah-masalah etika dalam profesinya dipengaruhi oleh lingkungan budaya atau masyarakat di mana profesi itu berada, lingkungan profesi, lingkungan organisasi dan pengalaman pribadi. 2. Arnold dan Ponemon (1991) telah menyelidiki hubungan antara pemikiran moral auditor dengan persepsi whistle-blowing. Mereka melaporkan bahwa auditor intern dengan tingkat yang relatif lebih tinggi atas pemikiran moral lebih 70 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 dapat mengidentifikasi dan mengetahui perilaku yang tidak moral. Mereka juga menemukan bahwa prediksi atau ramalan-ramalan para auditor internal dipengaruhi oleh posisi individu yang telah menemukan pelanggaran etika. Penelitian lain mengenai masalah etika pernah dilakukan oleh Stevens et al (1993) yang melakukan perbandingan evaluasi etis dari staf pengajar (faculty) dan mahasiswa sekolah bisnis (School of business). Hasil penelitian menunjukkan bahwa staf pengajar lebih berorientasi etis dibandingkan mahasiswa. Glenn dan Van Loo (1993) melakukan penelitian untuk membandingkan keputusan dan sikap etis mahasiswa bisnis dengan keputusan dan sikap etis praktisi. Hasil analisis menunjukkan bahwa mahasiswa membuat keputusan yang kurang etis dibandingkan praktisi bisnis lainnya. Shaub, Finn dan Munter (1993) dalam penelitiannya tentang sensitivitas etika auditor, meneliti hubungan orientasi etika auditor dengan komitmen profesional auditor. Mereka menyatakan bahwa individu yang mempunyai idealisme secara otomatis akan memelihara tatacara pekerjaannya sesuai dengan standar profesional, sehingga standar profesional tersebut akan menjadi arahan dalam bekerja. Hal ini akan searah dengan konsep non-relativisme yang menyatakan tingkat absolutisme yang tinggi. Tujuan utama akuntan sebagai sebuah profesi audit adalah juga termasuk menghindari kerugian yang diterima oleh pengguna laporan keuangan, sehingga seorang auditor yang memiliki orientasi etika idealis akan selalu merujuk kepada tujuan dan arahan yang ada pada standar profesionalnya. Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994) melakukan penelitian tentang persepsi etis dan nilai-nilai individu terhadap anggota Institute of Internal Auditor. Mereka menyatakan bahwa orientasi etika internal auditor mempunyai hubungan positif dengan perilaku pengambilan keputusan etis. Internal auditor dengan skor idealisme yang tinggi akan cenderung membuat keputusan yang secara absolut lebih bermoral (favor moral absolute) dan sebaliknya. Windsor dan Ashkanasy (1995) mengungkapkan bahwa asimilasi keyakinan dan nilai organisasi yang merupakan definisi komitmen profesi mempengaruhi integritas dan independensi auditor. Fischer dan Rosenzweig (1995) menguji tentang sikap mahasiswa dan sikap praktisi yang berkaitan dengan akseptabilitas etis atas manajemen laba (earnings). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa dan praktisi memiliki beberapa sensitivitas etis yang sama namun tidak merata. Karcher (1996) mengandalkan penelitian Shaub (1989) untuk meneliti kemampuan para auditor untuk melihat kehadiran masalah moral. Suatu instrumen eksperimen dengan masalah etika yang disatukan kedalam situasisituasi akuntasi umum dilakukan untuk menemukan sensitivitas profesional akuntansi terhadap masalah-masalah moral dan faktor-faktor yang mempengaruhi sensitivitas moral mereka dan persepsi-persepsi kepentingan masalah moral. Karcher (1996) melaporkan bahwa para auditor dalam penelitiannya secara umum sensitif terhadap masalah-masalah etika. Faktorfaktor seperti sifat masalah moral, kepelikan masalah moral dan umur subjek (pelaku) ditemukan signifikan dalam pembuktian masalah etika, dimana posisi 71 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 pekerjaan, keahlian, pembeberan utama terhadap suatu masalah moral dan tingkat pendidikan subjek tidak signifikan. Jeffrey dan Weatherholt (1996) menguji hubungan antara komitmen profesional, pemahaman etika dan sikap ketaatan terhadap aturan. Hasilnya menunjukkan bahwa akuntan dengan komitmen profesional yang kuat maka perilakunya lebih mengarah kepada ketaatan terhadap aturan dibandingkan dengan akuntan dengan komitmen profesional yang rendah. Namun riset ini belum menunjukkan bagaimana komitmen profesi dan orientasi etika berhubungan dengan perilaku akuntan dalam situsai dilema etika. Cohen et al. (1998) meneliti pengaruh gender terhadap aspek perilaku etika. Penelitian ditujukan pada pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan akuntan dan non akuntan berdasarkan gender terhadap intensitas dan orientasi etika. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan intensitas moral dan orientasi etis antara pria dan wanita pada praktisi akuntan maupun nonakuntan. Khomsiyah dan Indriantoro (1998) mengungkapkan juga bahwa komitmen profesional mempengaruhi sensitivitas etika auditor pemerintah yang menjadi sampel penelitiannya. Penelitian tentang etika juga pernah dilakukan oleh Ludigdo & Machfoedz (1999) yang menemukan tidak terdapat perbedaan antara mahasiswa semester awal dengan semester akhir. Di New Zealand, Frey (2000) melakukan penelitian yang menginvestigasi pengaruh intensitas moral dalam pembuatan keputusan pada para pembuat keputusan (manajer) di perusahaan. Silver dan Valentine (2000) melakukan penelitian mengenai intensitas moral mahasiswa terhadap skenario yang berhubungan dengan marketing. Patterson (2001) telah menguji kepentingan relatif industri, organisasi dan faktor-faktor pribadi pada sensitivitas moral para akuntan publik. Patterson melaporkan bahwa industri, organsasi dan faktor pribadi ditemukan sebagai faktor penyebab yang signifikan pada sensitivitas moral akuntan publik, tetapi konstruk industri dan organisasi yang berkolerasi negatif dengan faktor pribadi. Douglas, Davidson dan Schwartz (2001) menyatakan bahwa nilai etika organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan nilai kepribadian individu. May dan Pauli (2002) melakukan riset pada mahasiswa Universitas Midwestern mengenai intensi moral, proses evaluasi moral, dimensi intensitas moral, dan pengakuan moral. Penelitian mengenai sensitivitas etis pernah dilakukan oleh Rustiana (2003) dengan subjek penelitian mahasiswa akuntansi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan sensitivitas etis antara mahasiswa pria dan wanita. L. Leitsch (2004) melakukan penelitian terhadap 110 orang mahasiswa akuntansi pada sebuah perguruan tinggi di Northeast (USA). Penelitiannya bertujuan untuk melihat perbedaan intensitas moral mahasiswa tersebut terhadap berbagai karakteristik isu dengan menggunakan empat skenario akuntansi yaitu: menyetujui pelaporan biaya yang dipertanyakan, memanipulasi pembukuan perusahaan, melanggar kebijakan perusahaan dan memperpanjang kredit yang diragukan. 72 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 21. Yulianty dan Fitriany (2005) menemukan bahwa mahasiswa semester akhir cenderung berlaku etis dalam penyusunan laporan keuangan dibandingkan mahasiswa semester akhir. 22. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cohen dan Bennie (2006) mengenai motivasi moral dijelaskan bahwa hubungan tanggung jawab dari auditor kepada pihak lain yang luas seperti para stakeholder adalah menjadi perhatian yang penting dalam memotivasi antara etika dengan nilai lainnya (sensitivitas, pertimbangan dan karakter) untuk membangun kecenderungan berperilaku moral. 23. Alleyne, dkk. (2006) melakukan penelitian terhadap mahasiswa Barbados bertujuan untuk mengukur pengaruh berbagai faktor seperti: gender, umur, afiliasi keagamaan dan komitmen terhadap perbedaan persepsi intensitas moral yang didasarkan pada empat skenario yang berhubungan dengan isu-isu audit dan non-audit. 24. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cohen dan Bennie (2006) mengenai motivasi moral dijelaskan bahwa hubungan tanggung jawab dari auditor kepada pihak lain yang luas seperti para stakeholder adalah menjadi perhatian yang penting dalam memotivasi antara etika dengan nilai lainnya (sensitivitas, pertimbangan dan karakter) untuk membangun kecenderungan berperilaku moral. 25. Budi Sasongko (2007) meneliti proses pembuatan keputusan moral dengan responden auditor internal, mengembangkan hipotesis yang dipengaruhi oleh orientasi etis, komitmen profesional, pengalaman kerja, dan nilai etis perusahaan (corporate ethical values). PENUTUP Perkembangan teori moral kognitif didasari oleh perlunya tingkah laku moral yang merupakan hasil dari suatu proses yang sangat ruwet yang terdiri dari berbagai unsur dan dapat dikelompokkan berdasar tahapan/periode. Seseorang individu yang memperlihatkan kecukupan dalam beberapa unsur tetapi tidak cukup pada unsur lainnya dan kegagalan moral dapat terjadi bila ada kekurangan dalam setiap unsur. Model yang diajukan oleh tokoh-tokoh seperti: Piaget, Rest, Jones, dan Kohlberg masing-masing memberikan sisi pandang yang berbeda-beda yang terus dikembangkan oleh para peneliti selanjutnya dan dapat menjadi dasar dalam memahami psikologi dan perilaku manusia untuk membedakan yang berlaku moral dan tidak moral, etis dan tidak etis. DAFTAR PUSTAKA Allen, P.W. and Ng, C.K. (2001), “Self interest among CPAs may influence their moral reasoning”, Journal of Business Ethics, Vol. 33 No. 1, pp. 29-35. Alleyne, P., Devonish D., Nurse, J. (2006), “Perception of Moral Intensity Among Undergraduate Accounting Students in Barbados”, Journal of Eastern Carribean Studies, Vol. 31, No. 3, pp. 1-26. 73 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Aranya, N., dan K. R. Ferris. 1984. Reexamination of Accountants’ OrganizationalProfessional Confic. The Accouting Review. Aranya, N., J. Pollock, dan J. Amernic. 1981. An Examination of Professional Commitmen in Publik Accounting. Accounting, Organization, and Society. Vol. 6. pp. 271-280. Arens & Loebbecke. 1998. “Auditing: Integrated Appro-ach”. Prentice Hall. pp. 68. Arifin Sabeni. (2005), “Peran Akuntan dalam Menegakkan Prinsip Good Corporate Governance (Tinjauan Perspektif Agency Theory)”. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Arnold, D. and Ponemon, L. (1991), “Internal auditors’ perceptions of whistleblowing and the influence of moral reasoning: an experiment”, Auditing: A Journal of Practice & Theory, Fall, pp. 1-15. Bebeau, M. J., J. R. Rest, dan C. M. Yamoor. 1985. Measuring Dental Students’ Ethical Sensitivity. Journal of Dental Education. Vol. 49. pp. 225-235. Bertens K., 2000. “Etika”, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. pp. 4-7. Buchan, H.F. 2005. Ethical Decision Making in the Public Accounting profession: an extension of Ajzen’s theory of Planned behavior”, Journal of Business Ethics, Vol.61 No.2, pp. 165-81. Budi Sasongko, dkk. (2007). Internal Auditor dan Dilema Etika. www.theakuntan.com. Chua, F.C M.H.B. Perera and M.R Mathews. 1994. Integration of Ethics Into Tertiary Accounting Programes in New Zealand and Australia. Cohen, J.R. and Bennie, N.M. (2006), “The Applicability of a Contingent Factors Model to Accounting Ethics Research”, Journal of Business Ethics, Vol. 68, pp. 1-18. Douglas, P. C., R. A. Davidson and B. N. Schwartz.2001. “The Effect of Organizational Culture and Ethical Orientation on Accountants‟ Ethical Judgements”, Journal of Business Ethics, Vol. 34(2), h. 101–121. Diakses tanggal 1 November 2009, dari Springer Link. Echols, J.M. dan Shadily, H. (1995), Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ellias, R.Z. 2002. “Determinants of earnings management ethics among accountants”, Journal of Business Ethics, Vol. 40 No. 1, pp. 33-45. Falah, S. 2006, Pengaruh Budaya Etis Organisasi dan Orientasi Etis terhadap Sensitivitas Etis, Tesis Magister Sains Akuntansi, Universitas Diponegoro, Semarang (tidak dipublikasikan). 74 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Finn, D.W., L.B Chonko, and J.D Hunt. 1988. “Ethical Problem in Public Accounting: The View from The Top”. Journal of Bussiness Ethics, 7 , pp. 605 – 615. Fischer, Marilyn, dan K. Rosenzweig, (1995). Attitudes of Students and Accounting Practitioners Concerning the Ethical Acceptability of Earnings Managements. Journal of Business Ethics 14:433-444. Forsyth, D. R. 1980. “A taxonomi of ethical ideologies”. Journal of Personality and Sosial Psychology 39 : 175 – 184. Fraedrich, J.P., & Ferrell, O.C (1992a), Cognitive consistency of marketing managers in ethical situations, Journal of Academy of Marketing Science, 20, 245-252. Frey, B.F. 2000. “The Impact of Moral Intensity on Decision Making in a Business Context”. Journal of Busniess Ethics. No. 26: 181-195. Hoesada, Jan. 1996. ”Etika Bisnis dan Profesi di Era Globalisasi”. Media Akuntansi. No.21 hal. 5 – 7. Hunt, S. D dan Vitell. 1986. “A General Theory of Marketing Ethics”. Journal of Macromarketing 6 (Spring) pp. 5 – 16. Jeffrey, C. and Weatherholt, N. (1996), “Ethical development, professional commitment, and rule observance attitudes: a study of CPAs and corporate accountants”, Behavioral Research in Accounting, Vol. 8, pp. 8-31. Jones, T. M.. 1991. “Ethical decision making by individuals in oorganiszations” : An issue – contingent model”. Academy of Management Review 16 (2) : pp. 366 – 395. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka. Karcher, J.N. (1996), “Auditors’ ability to discern the presence of ethical problems”, Journal of Business Ethics, Vol. 15 No. 10, pp. 1033-50. Keraf, Sonny, 1998, “Kemerosotan Moral Profesi Akuntansi”, Seminar Nasional Strategi Pendidikan Etika & Etika Profesi Akuntansi Di Indonesia. (Nopember). FE-Usakti. Jakarta. Khomsiyah dan Nur Indriantoro. 1998. “Pengaruh Orientasi Etika terhadap Komitmen dan Sensitivitas Etika Auditor Pemerintah di DKI Jakarta”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. vol.1 Januari hal. 13 – 28. Leitsch, Deborah L., (2004), “Differences in the Perceptions of Moral Intensity in the Moral Decision Process: An Empirical Examination of Accounting Students”, Journal of Business Ethics 53: 313–323, 2004. 75 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Leung, P. and Cooper, B.J. (1995), “Ethical dilemmas in accountancy practice”, Australian Accountant, May, pp. 28-32. Ludigdo, Unti dan M. Machfoedz. 1999. Persepsi Akuntan dan mahasiswa Terhadap Etika Bisnis. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol.2 Jan:1-9. Machfoedz, Mas’ud. (1999). “Studi Persepsi Mahasiswa terhadap Profesionalisme Dosen Akuntansi Perguruan Tinggi” Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia. vol 3 no 1 juni 1999. May, D. R. and K. P. Pauli. (2002), “The role of moral intensity in ethical decision making: A review and investigation of moral recognition, evaluation, and intention”, Business and Society 41(1), 85–118. Mele, D. (2005), “Ethical education in accounting: integrating rules, values and virtue”, Journal of Business Ethics, Vol. 57 No. 1, pp. 97-109. Ponemon, L., and D. Gabhart. 1993. Ethical reasoning in Accounting and auditing. Reidenbach, R.E., & Robn, D.P. (1990), Toward the development of a multidemensional scales for improving evaluations of business ethics, Journal of Business Ethics, 9, 639-653. Rest, J. R. 1983. “Morality,” in Handbook of Child Psychology, Volume III (4th ed.), P. H. Mussen (series ed.), J. H. Flavell and E. M. Markman (volume eds.), John Wiley & Sons, New York. pp. 556-629. Rest, J.R., 1986. “Moral Development: Advances in Research and Theory”. New York, NY : Praegar. Rustiana. (2003). “Studi Empiris novice accountant: Tinjauan Gender,” Jurnal Studi Bisnis. vol 1 no 2. Shaub, M. 1989. “An Empirical examination of the determinants of auditor ethical sensitivity”. Unpublished Ph.D. desertation, Texas Tech University. Simarmata, Jonner. 2002. ”Korelasi Motivasi Kerja dengan Kinerja”, Jurnal Akademika, Volume 6 No 1. Sweeney, J. (1995), “The moral expertise of auditors: an exploratory analysis”, Research on Accounting Ethics, Vol. 1, pp. 213-34. Thorne, L. (2000), “The Development of Context-Specific Measures of Accountants’ Ethical Reasoning”, Behavioral Research in Accounting 12, 139–170. Tsui, J. (1994), Auditors’ ethical behaviour; a study of the determinants of auditors’ decision making in an audit conflict situation, unpublished doctoral dissertation, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong. 76 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Volker, J. M., 1984. Couseling Experince, Moral Judgment, Awareness of Consequnces, and Moral Sensitivity in Counseling Practice. Unpublished Doctoral Disertation. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press. Widiastuti, Indah. 2004. Pengaruh Perbedaan Level Hirerarkis Akuntan publik dalam Kantor Akuntan Publik terhadap Persepsi tentang Kode Etik Akuntan Indonesia. Jurnal Akuntansi & Bisnis. Vol.3 (1) Peb: 53-65. Windsor, C. and Ashkanasy, N. (1995), “Moral reasoning development and belief in a just world as precursors of auditor independence: the role of organizational culture perceptions”, Proceedings of the Second Annual ABO Research Conference. Yulianty dan Fitriany, (2005).”Persepsi Mahasiswa Akuntansi Terhadap Etika Penyusunan Laporan Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi VIII. 15-16 September 2005. Ziegenfuss, D.E. dan A. Singhapakdi (1994), “Professional Values and Ethical Perceptions of Internal Auditors”, Managerial Auditing Journal, Vol. 9 No. 1, 77