Laporan Nusantara Mei 2015

advertisement
Mei 2015
Laporan Nusantara
VOLUME 11 NOMOR 2
|1
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara
Daftar Isi
Kata Pengantar
Bagian I
Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah
Bagian II
Perekonomian Sumatera
Bagian III
Perekonomian Jawa
Bagian IV
Perekonomian Kalimantan
Bagian V
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Bagian VI
Isu Khusus Daerah
Isu Khusus 1: Perkembangan Terkini, Prospek, Tantangan dan
Rekomendasi dalam Mencapai Kedaulatan Pangan
Isu Khusus 2: Dampak Depresiasi Nilai Tukar Terhadap Kinerja
Perekonomian Daerah
Lampiran
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Bank Indonesia
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Grup Asesmen Ekonomi
Divisi Asesmen Ekonomi Regional
Ph. 021-29818119, 29818868
Fax. 021-3452489, 2310553
Laporan Nusantara
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara
Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai aspek dalam proses perumusan kebijakan, termasuk dinamika
ekonomi dan isu terkini dalam perspektif kewilayahan. Pembahasan menyeluruh terkait perkembangan
perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara periodik antara
1
Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia .
Hasil dari pembahasan tersebut menjadi bagian penting dalam mendukung pemahaman Bank Indonesia
terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko spasial yang berkembang.
Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2015 dihadapkan pada sejumlah tantangan akibat kondisi
perekonomian global yang belum sepenuhnya kondusif. Perekonomian nasional tumbuh sebesar 4,7%,
melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,0%. Perlambatan ekonomi pada triwulan
I 2015 terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Secara
umum, perlambatan terutama didorong oleh melemahnya konsumsi rumah tangga dan investasi. Pelemahan
konsumsi rumah tangga terjadi merata di seluruh wilayah. Melemahnya kegiatan sektor-sektor utama di
daerah berdampak pada menurunnya pendapatan, yang menyebabkan melemahnya daya beli. Sejalan dengan
menurunnya kegiatan sektor-sektor utama daerah, aktivitas investasi daerah juga melambat.
Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan
kinerja. Perbaikan ekonomi ditopang oleh menguatnya permintaan domestik di seluruh wilayah. Sejalan
dengan membaiknya perekonomian global, maka kegiatan dunia usaha juga meningkat. Hal tersebut
mendorong optimisme adanya perbaikan pedapatan, yang selanjutnya mendorong perbaikan daya beli
masyarakat. Membaiknya kondisi global akan dapat dimanfaatkan oleh wilayah KTI untuk meningkatkan
kinerja sektor pertambangan, yang didukung oleh mulai beroperasinya sejumlah smelter, wilayah Jawa melalui
peningkatan sektor manufaktur, dan Sumatera melalui sektor perkebunan yang akan mendorong industri CPO.
Sementara itu, perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan masih akan terbatas, seiring dengan menurunnya
kinerja pertambangan.
Untuk keseluruhan tahun 2015, pertumbuhan perekonomian diperkirakan sedikit lebih baik dibandingkan
dengan tahun 2014, yaitu pada kisaran 5,0% - 5,4%. Optimisme perbaikan pertumbuhan bersumber dari
ekspektasi akan perbaikan perekonomian global dan akselerasi belanja pemerintah, terutama terkait realisasi
program infrastruktur.
Sementara itu, tekanan inflasi pada triwulan I 2015 relatif terkendali. Inflasi tercatat mencapai sebesar 6,38%,
disebabkan oleh koreksi harga yang terjadi pada beberapa bahan pangan, seiring dengan pasokan yang cukup
dan kondisi permintaan yang relatif stabil. Selain itu, penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada
triwulan I 2015 turut memicu rendahnya inflasi di seluruh wilayah. Inflasi terendah terjadi di wilayah Jawa
(diluar Jakarta) yaitu sebesar 5,90% (yoy), sedangkan inflasi tertinggi tercatat terjadi di Kalimantan yaitu
sebesar 7,31% (yoy).
Laju inflasi sedikit meningkat pada April 2015 terutama sebagai dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM
pada akhir Maret. Inflasi April 2015 tercatat sebesar 0,36% (mtm) atau 6,79% (yoy), sedikit lebih tinggi
daripada akhir triwulan I 2015 sebesar 6,38%. Pasca kenaikan harga BBM (bensin dan solar) pada akhir Maret
2015, tarif angkutan dalam kota di sejumlah daerah dan sejumlah harga makanan jadi turut meningkat. Hal
tersebut merupakan dampak lanjutan dari naiknya BBM. Namun, kenaikan inflasi yang lebih besar dapat
dihindari karena terjadi koreksi ke bawah pada harga beras dan cabai merah, terkait masuknya masa panen di
sejumlah sentra produksi di Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi. Faktor penahan inflasi lainnya adalah
1
Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).
Laporan Nusantara|i
permintaan domestik yang melambat, harga komoditas global yang masih menurun, serta terjaganya
ekspektasi inflasi.
Tekanan inflasi pada triwulan II 2015 diperkirakan meningkat seiring dengan faktor musiman menguatnya
permintaan pada masa bulan Ramadhan dan libur tahun ajaran baru. Kenaikan konsumsi tersebut berpotensi
memicu kekurangan pasokan di berbagai daerah, khususnya komoditas bahan makanan. Tekanan inflasi juga
diprakirakan berasal dari komoditas administered prices, antara lain penyesuaian tarif listrik non-subsidi
(rumah tangga di atas 3.500 VA). Namun, hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara
agregat masih sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Optimisme ini didukung oleh
perkiraan surplus produksi pangan dan perbaikan berbagai infrastruktur konektivitas untuk meningkatkan
efisiensi distribusi barang. Meski demikian, terdapat beberapa risiko yang dapat meningkatkan tekanan inflasi
pada tahun 2015 yaitu kenaikan harga minyak dunia, pelemahan nilai tukar, dan kendala produksi pangan.
Dengan mempertimbangkan potensi tekanan yang ada, upaya pengendalian inflasi di daerah perlu difokuskan
pada berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan pasokan, keterjangkauan harga, serta kelancaran distribusi
barang dari sentra produksi hingga ke konsumen. Selain itu, kegiatan memberikan informasi yang jelas kepada
masyarakat tentang berbagai langkah dan kebijakan yang akan ditempuh pemerintah dalam mengendalikan
harga perlu diperkuat. Hal ini dilakukan untuk menjaga ekspektasi masyarakat terhadap harga barang-barang
kebutuhan masyarakat.
Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam
buku Laporan Nusantara. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai
permasalahan dan tantangan untuk mencapai kedaulatan pangan, yang merupakan salah satu agenda prioritas
pembangunan pada era Kabinet Kerja. Selain itu, juga ditampilkan isu khusus mengenai dampak pelemahan
rupiah terhadap perekonomian daerah.
Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan bersama oleh Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter
(DKEM) di kantor pusat Bank Indonesia dan Departemen Regional. Akhir kata, kami berharap buku Laporan
Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta
menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 21 Mei 2015
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Juda Agung
Direktur Eksekutif
L a p o r a n N u s a n t a r a | ii
PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH
Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2015 dihadapkan pada sejumlah tantangan. Dari sisi eksternal,
pemulihan ekonomi global berjalan lambat dan tidak merata, disertai harga-harga komoditas di pasar
internasional yang masih menurun sehingga berdampak negatif terhadap kinerja ekspor di berbagai daerah. Di
sisi domestik, pengeluaran pemerintah, termasuk implementasi proyek infrastruktur, baik di pusat maupun
daerah, masih belum berjalan secara optimal. Faktor eksternal dan domestik tersebut berdampak negatif
terhadap daya beli konsumen dan minat investasi. Sejalan dengan itu, perekonomian nasional tumbuh
melambat menjadi 4,7% (yoy) dari 5,0% pada triwulan sebelumnya.
Perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali wilayah
Sulawesi-Maluku-Papua-Bali-Nusa Tenggara (KTI). Di wilayah Sumatera, melambatnya pertumbuhan ekonomi
terutama dipicu oleh kontraksi yang terjadi di Provinsi Aceh dan Provinsi Riau. Kontraksi pertumbuhan
ekonomi di dua provinsi tersebut, terutama terkait berhentinya produksi gas alam di Provinsi Aceh, dan lifting
minyak bumi yang terus turun di Provinsi Riau. Di Jawa (termasuk Jakarta), perlambatan ekonomi lebih
disebabkan oleh menurunnya kinerja industri pengolahan, sejalan dengan melemahnya ekspor. Di Kalimantan,
perlambatan ekonomi dipicu oleh kontraksi ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur, terkait dengan
pemburukan kinerja sektor batubara, yang merupakan komoditas utama Kalimantan. Tidak seperti wilayah
lainnya, wilayah KTI mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari triwulan sebelumnya.
Perekonomian KTI tumbuh sebesar 6,9%, meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya sebesar 5,0%. Hal ini terutama terkait dengan perbaikan kinerja ekspor tambang tembaga di
Papua dan Nusa Tenggara Barat setelah sebelumnya sempat dilarang karena belum memenuhi persyaratan
yang diatur dalam UU Minerba (base effect UU Minerba).
Sumber: BPS, diolah
Gambar I.1
Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2015
Rendahnya belanja pemerintah daerah pada triwulan I 2015, turut menahan pertumbuhan ekonomi
nasional. Secara umum, daerah-daerah dengan basis utama sektor SDA menunjukkan realisasi belanja di
Laporan Nusantara|1
bawah rata-rata. Hal ini sejalan dengan menurunnya kinerja sektor-sektor SDA, yang kemudian berdampak
pada menurunnya dana bagi hasil (DBH), yang menjadi sumber dana APBD. Rendahnya penyerapan belanja
daerah tercermin pada penempatan dana daerah di perbankan pada triwulan I 2015 yang lebih besar
dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya.
Sejalan dengan perlambatan perekonomian nasional, ekspansi kredit perbankan juga relatif terbatas. Pada
triwulan I 2015, kredit korporasi maupun rumah tangga tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya.
Turunnya pertumbuhan kredit korporasi, terutama terjadi di wilayah Kalimantan dan Jawa (termasuk Jakarta).
Penurunan pertumbuhan kredit tersebut tersebut disertai dengan naiknya risiko kredit, yang tercermin pada
meningkatnya nonperforming loan (NPL) meski masih dalam ambang batas yang aman, yaitu di bawah 5%.
Sama halnya dengan sektor korporasi, secara umum pertumbuhan kredit di sektor rumah tangga menunjukkan
perlambatan, kecuali Jawa yang masih tumbuh meningkat, meski relatif terbatas. Meski NPL rumah tangga
meningkat, namun posisinya masih berada di bawah batas toleransi (5%). Kenaikan NPL sektor rumah tangga
tersebut disinyalir akibat meningkatnya beban kredit rumah tangga, sebagaimana tercermin dari rasio cicilan
utang terhadap pendapatan (Debt Service Ratio/DSR) rumah tangga yang sedikit lebih tinggi dari triwulan
sebelumnya. Walaupun meningkat, DSR rumah tangga masih berada pada level yang dipandang cukup aman
karena berada di bawah 30%.
Indikasi perlambatan ekonomi nasional juga dikonfirmasi oleh melambatnya pertumbuhan kegiatan
transaksi keuangan melalui sistem pembayaran. Secara umum transaksi melalui sistem pembayaran baik
melalui sistem Real Time Gross Settlement (RTGS), maupun kliring menunjukkan penurunan. Pada triwulan I
2015 nilai transaksi melalui RTGS tumbuh negatif 21,3% (yoy), dari sebelumnya tumbuh 35,4% (yoy) pada
triwulan IV 2014. Kontraksi transaksi melalui RTGS terutama terjadi di wilayah Jawa. Penurunan kegiatan
transaksi melalui RTGS juga disebabkan oleh diberlakukannya ketentuan pembatasan nilai transaksi via RTGS
di atas Rp 100 juta pada akhir 2014. Sementara itu nilai transaksi kliring pada triwulan I 2015 tumbuh
melambat cukup signifikan, yaitu menjadi 10,5% (yoy) dari sebelumnya tumbuh mencapai 21,6% pada triwulan
IV 2014. Perlambatan transaksi kiring tersebut terjadi hampir di semua wilayah, kecuali Sumatera.
Tekanan inflasi pada Tw I 2015 hingga April 2015 relatif terkendali di seluruh wilayah. Inflasi pada akhir
triwulan I 2015 tercatat sebesar 6,38% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan akhir tahun 2014 yang
tercatat sebesar 8,36% (yoy). Koreksi beberapa harga bahan pangan karena pasokan yang mencukupi dan
melemahnya permintaan, menjadi faktor penyebab turunnya laju inflasi. Komoditas bahan pangan yang
mengalami koreksi harga ke bawah antara lain cabai merah, daging ayam ras, dan telur. Sementara itu,
komoditas beras, di beberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan dan KTI menjadi pendorong inflasi, sedangkan
di Sumatera justru menjadi penurun inflasi. Tekanan inflasi terendah terjadi di wilayah Jawa (di luar Jakarta)
yaitu sebesar 5,90% (yoy), kemudian diikuti oleh Sumatera dan KTI, masing-masing sebesar 6,12% (yoy) dan
6,83% yoy. Di Jakarta, inflasi triwulan I 2015 tercatat sebesar 7,10% (yoy), lebih rendah daripada akhir tahun
2014. Inflasi tertinggi pada triwulan I 2015 terjadi di Kalimantan, yang mencapai 7,31%. Meski demikian, sama
halnya dengan daerah-daerah lain, tekanan inflasi di Kalimantan pada triwulan I 2015 relatif lebih rendah dari
triwulan sebelumnya. Penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebanyak dua kali pada triwulan
I 2015, memicu rendahnya inflasi untuk komoditas premium/solar dan angkutan dalam kota di beberapa
daerah.
Laju inflasi sedikit meningkat pada April 2015 terutama sebagai dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM
pada akhir Maret. Inflasi April 2015 tercatat sebesar 0,36% (mtm) atau 6,79% (yoy), sedikit lebih tinggi
daripada akhir triwulan I 2015 sebesar 6,38%. Dorongan inflasi bersumber dari kelompok komoditas yang
harganya diatur oleh pemerintah (administered prices) pasca kenaikan harga BBM (bensin dan solar) pada
akhir Maret 2015 serta dampak lanjutannya terhadap kenaikan tarif angkutan dalam kota di sejumlah daerah
dan sejumlah harga makanan jadi. Tekanan inflasi administered prices juga dipicu oleh kenaikan harga LPG 12
kg dan tarif kereta api jarak menengah-jauh. Kenaikan inflasi yang lebih besar dapat dihindari karena terjadi
Laporan Nusantara|2
koreksi ke bawah pada harga beras dan cabai merah, terkait masuknya masa panen di sejumlah sentra
produksi di Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi. Faktor penahan inflasi lainnya adalah permintaan domestik
yang melambat, harga komoditas global yang masih menurun, serta terjaganya ekspektasi inflasi.
SUMATERA
JAKARTA
JAWA
KALIMANTAN
SULAMPUA BALI NUSTRA
Gambar I.2
Peta Inflasi Daerah
PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN
Prospek Ekonomi Daerah
Pada triwulan II 2015, berbagai indikator mengindikasikan bahwa kinerja perekonomian di seluruh wilayah
berpotensi membaik. Perbaikan kinerja ekonomi yang cukup signifikan terjadi di wilayah KTI. Faktor
pendorong utama datang dari komponen ekspor luar negeri, yang didukung oleh perpanjangan izin ekspor
tembaga di Papua dan Nusa Tenggara Barat, serta beroperasinya smelter untuk pemurnian bijih nikel. Di
wilayah Jawa perbaikan ekonomi terutama didorong oleh membaiknya permintaan, baik domestik maupun
eksternal, terutama terkait dengan komoditas makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, kimia, serta
baja. Di wilayah Sumatera, dorongan pertumbuhan ekonomi berasal dari peningkatan konsumsi swasta dan
peningkatan realisasi belanja pemerintah, baik untuk belanja barang dan jasa, maupun belanja barang modal.
Meningkatnya permintaan swasta tersebut, kemudian direspons oleh sektor industri pengolahan melalui
peningkatan produksi. Sementara itu, semakin meningkatnya penyerapan anggaran pemerintah berpotensi
mendorong kegiatan di sektor infrastruktur, yang mencerminkan meningkatnya kegiatan investasi, terutama
investasi bangunan. Efektivitas penggunaan anggaran yang lebih baik terindikasi tidak hanya akan terjadi di
Sumatera, tetapi juga terjadi di seluruh wilayah. Sebaliknya, prospek perbaikan kinerja ekonomi di Kalimantan
diperkirakan relatif terbatas. Lemahnya permintaan batubara dan harganya di pasar global yang belum
kunjung membaik menjadi faktor pemicu lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi di Kalimantan dibandingkan
dengan wilayah lainnya.
Pertumbuhan ekonomi nasional untuk keseluruhan tahun 2015 diprakirakan membaik dibandingkan dengan
tahun 2014. Pertumbuhan ekonomi diprakirakan berada di kisaran 5,0%-5,4%, membaik terbatas dari realisasi
pertumbuhan tahun 2014 yang tercatat sebesar 5,2%. Meningkatnya kegiatan konsumsi dan investasi menjadi
penopang membaiknya kinerja ekonomi. Belanja pemerintah yang mulai meningkat sejak triwulan II 2015
menjadi stimulus penggerak kegiatan ekonomi, terutama investasi. Sejalan dengan hal tersebut, optimisme
dunia usaha diprediksi membaik sehingga mendorong ekspansi usaha. Selain itu, harapan akan membaiknya
perekonomian global, terutama ekonomi negara-negara maju, berpotensi menciptakan peluang ekspor. Geliat
yang terjadi di dunia usaha akan berdampak positif pada membaiknya pendapatan masyarakat, sehingga daya
beli membaik. Lebih lanjut perbaikan daya beli akan mendorong kegiatan konsumsi. Sebagai cerminan dari
Laporan Nusantara|3
meningkatnya investasi, kegiatan impor juga diprakirakan akan meningkat, terutama untuk impor bahan baku
dan barang modal.
SUMATERA
Tendensi
Kawasan
Asesmen
JAWA & JAKARTA
Tendensi
Tendensi Jawa
Jakarta
Asesmen
KALIMANTAN
Tendensi
Kawasan
Asesmen
TIMUR INDONESIA
Tendensi
Kawasan
Asesmen
Pertumbuhan
Ekonomi
Konsumsi RT
Faktor musiman hari raya
keagamaan dan tahun ajaran baru
Faktor musiman hari raya
keagamaan dan tahun ajaran baru
Faktor musiman hari raya
keagamaan dan tahun ajaran baru
Faktor musiman hari raya keagamaan
dan tahun ajaran baru
Konsumsi
Pemerintah
Base effect realisasi APBD Sumut &
pencairan gaji ke 13
Realisasi APBD Jakarta & realisasi
APBD Kab/Kota yang baru disahkan
Feb 2015
Realisasi APBD naik setelah
realisasi yg minim di Tw I 2015
Kendala APBD (administrasi di Bali,
Papua Barat , Maluku Utara)
Investasi (PMTB)
Realisasi proyek berlangsung di tw
II (a.l. proyek trans sumatera)
Realisasi proyek infrastruktur :
irigasi dll, pabrik mobil varian baru
(peningkatan kapasitas prod.),
pembangunan pabrik mamin.
Namun, pembangunan smelter
masih terbatas.
Realisasi infrastruktur pada tw II
(post tender )
Non Bangunan meningkat untuk
mendukung ekspansi tambang & industri
tambang
Bangunan didukung oleh infrastruktur
konektivitas
Ekspor LN
Kenaikan ekspor CPO
Perbaikan negara mitra dagang :
Eropa, Jepang
Dampak penurunan batubara &
migas
Impor LN
Impor naik mendukung investasi
(infrstruktur)
Barang konsumsi & bahan baku
(baja) naik, namun barang modal
stagnan
Penurunan impor barang modal
Peningkatan ekspor tambang (nikel &
tembaga) dan olahan (base effect ).
Terdapat produksi dari smelter baru
Peningkatan kebutuhan bahan baku
(smelter baru)
* Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
Tabel I.1
Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan II 2015*
Perbaikan ekonomi nasional tahun 2015 secara spasial akan ditopang oleh pertumbuhan ekonomi di
wilayah Jawa (termasuk Jakarta) dan KTI. Di Jawa pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan ditopang oleh
perbaikan di sektor pertanian, industri, infrastruktur, dan perdagangan, sejalan dengan perbaikan di sisi
permintaan. Di wilayah KTI, perbaikan kinerja ekonomi, terutama akan didorong oleh perbaikan sektor
pertambangan, sejalan dengan adanya dukungan dari mulai berjalannya beberapa smelter dan pulihnya
produksi serta ekspor tembaga. Sebaliknya, perbaikan kinerja perekonomian di wilayah Sumatera, Jakarta dan
Kalimantan diperkirakan akan tertahan. Di Sumatera, perlambatan ekonomi terkait dengan kinerja migas yang
terus turun, terutama di Provinsi Aceh dan Riau. Kinerja ekspor SDA dari Sumatera juga diprakirakan belum
banyak menunjukkan perbaikan, sejalan dengan lambatnya perbaikan ekonomi global. Untuk Jakarta,
perlambatan ekonomi terkait dengan melemahnya konsumsi rumah tangga dan kinerja pengeluaran
pemerintah yang terganggu akibat keterlambatan pengesahan APBD. Selain itu, meskipun ekspor Jakarta
diprakirakan akan membaik, impor diprakirakan juga ikut meningkat, terutama impor yang mendukung
pembangunan infrastruktur terkait pembangunan proyek Mass Rapid Transportation (MRT). Di Kalimantan,
perlambatan ekonomi dipicu oleh menurunnya permintaan dan harga batubara, serta lifting migas di
Kalimantan Timur. Upaya stimulus permintaan batubara dari pasar domestik berupa domestic market
obligation (DMO) belum cukup berdampak seiring dengan masih tertundanya penyelesaian proyek-proyek
PLTA.
Ke depan, dalam perspektif yang lebih panjang, masih terdapat optimisme berlanjutnya perbaikan kinerja
perekonomian nasional. Langkah strategis pemerintah untuk menempuh beberapa agenda pembangunan,
sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019, diharapkan dapat
menjawab berbagai tantangan dalam memperkuat fondasi ekonomi nasional. Salah satu agenda prioritas
(Nawa Cita) pemerintah adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik. Salah satu cerminan kemandirian ekonomi nasional adalah terwujudnya
Laporan Nusantara|4
kedaulatan pangan. Peningkatan kedaulatan pangan diterjemahkan menjadi langkah-langkah holistik untuk
meningkatkan produksi, meningkatkan kesejahteraan pelaku, stabilnya harga pangan dengan kualitas yang
terjamin, aman dan bergizi.
Upaya mencapai kedaulatan pangan, khususnya melalui peningkatan produksi dan produktivitas, perlu
mendapat dukungan baik di level pusat maupun daerah. Salah satu upaya dalam mendorong produksi dan
produktivitas pangan adalah tersedianya infrastruktur pertanian yang memadai. Pembangunan infrastruktur
yang saat ini diperlukan antara lain berupa perbaikan dan pembangunan infrastruktur pengairan, seperti
waduk dan saluran irigasi, serta pembangunan jalan yang menghubungkan sentra produksi kepada konsumen
akhir. Untuk mewujudkan ketersediaan infrastruktur tersebut, dukungan dan koordinasi antara instansi yang
membidangi pembangunan fisik serta pemerintah daerah melalui dukungan kebijakan yang mempermudah
implementasi pembangunan tersebut, mutlak diperlukan. Selain pembangunan infrastruktur, peningkatan
produksi dan produktivitas pertanian juga memerlukan dukungan penyediaan teknologi dan sarana produksi,
serta sumber daya manusia yang baik. Hal ini juga hanya dapat terwujud melalui dukungan banyak pihak, yaitu
masyarakat, pemerintah dan pelaku usaha, dari tingkat pusat hingga daerah.
Salah satu pengejawantahan dari kedaulatan pangan adalah stabilisasi harga pangan, yang erat kaitannya
dengan aspek tata niaga. Secara garis besar, tantangan terbesar dari tata niaga sejumlah komoditas pangan
strategis saat ini adalah pada perbaikan jalur distribusi, mekanisme pembentukan harga, dan faktor
institusional yang mencakup kebijakan dan fasilitasi perdagangan. Rantai distribusi sejumlah komoditas
pangan strategis cenderung panjang, tidak efisien, dan disertai tingginya variasi akumulasi margin antar simpul
pelaku sehingga memicu lebarnya disparitas harga produsen dan konsumen. Selain itu, struktur pasar
komoditas pangan yang dikuasai segelintir pelaku ditengarai juga berperan dalam pembentukan disparitas
tersebut. Secara spasial, kendala distribusi akibat terbatasnya konektivitas dan infrastruktur dialami oleh
wilayah-wilayah di luar Jawa. Biaya logistik di KTI merupakan yang tertinggi secara nasional. Oleh karenanya,
peningkatan konektivitas melalui pembangunan infrastruktur jalan dan pelabuhan diharapkan dapat
mengefisienkan rantai distribusi dan biaya logistik sebagai salah satu upaya pembenahan tata niaga. Hal ini
juga mendukung upaya meningkatkan daya saing logistik untuk menyamai negara pesaing regional, sehingga
akses pelaku usaha pangan ke pasar dapat semakin baik.
Dari sisi harga, tekanan inflasi pada triwulan II 2015 diprakirakan akan sedikit meningkat. Inflasi yang lebih
tinggi terutama dipicu oleh faktor musiman meningkatnya permintaan, sejalan dengan masuknya bulan
Ramadhan serta masa libur tahun ajaran baru yang akan mendorong naiknya aktivitas konsumsi masyarakat.
Penyesuaian harga diprakirakan terjadi pada kelompok makanan (aneka daging, bumbu, dan beras).
Meningkatnya permintaan bahan pangan tersebut berpotensi memicu shortage pasokan pangan antardaerah.
Dengan demikian, tekanan inflasi dari sisi pangan diprakirakan cukup merata terjadi di seluruh wilayah.
Sementara itu, mobilitas masyarakat yang lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya berpotensi
direspons dengan penyesuaian tarif berbagai moda angkutan seperti tarif angkutan antarkota dan angkutan
udara. Selain faktor permintaan, kebijakan Pemerintah terkait rencana kenaikan tarif listrik per 1 Mei 2015,
akan turut manambah tekanan inflasi, di samping dampak lanjutan dari kebijakan energi sebelumnya
(kenaikan LPG). Faktor lain, yang diprakirakan berpotensi mendorong kenaikan inflasi dalam jangka pendek
adalah berlanjutnya depresiasi rupiah, yang akan meningkatkan inflasi melalui jalur impor.
Kendati demikian, inflasi sepanjang tahun 2015 diprakirakan tetap terkendali hingga akhir tahun, sehingga
masih berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Berbagai upaya pengendalian inflasi serta
koordinasi yang semakin kuat dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, diyakini akan mampu
membawa pergerakan inflasi ke level yang lebih rendah. Optimisme terhadap kemampuan mengendalikan
inflasi daerah tersebut ditopang oleh upaya Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dalam merumuskan arah
kebijakan untuk menjaga stabilitas harga, baik kebijakan jangka pendek (musiman) maupun yang lebih
berjangka panjang (struktural). Dengan adanya perencanaan pengendalian inflasi yang lebih baik, diharapkan
Laporan Nusantara|5
ketersediaan pasokan, keterjangkauan harga, kelancaran distribusi terhadap barang-barang kebutuhan
masyarakat, terutama pangan, dapat terwujud. Selain itu, pemberian informasi kepada masyarakat tentang
upaya yang akan ditempuh pemerintah dalam menjaga kestabilan harga dan ketersediaan pangan merupakan
strategi komunikasi yang efektif untuk menjaga ekspektasi harga masyarakat.
Risiko dan Tantangan Ke Depan
Prospek pertumbuhan ekonomi daerah selama sisa tahun 2015 diperkirakan akan membaik, namun risiko ke
bawah masih ada. Sumber perbaikan ekonomi terutama akan datang dari kinerja pengeluaran pemerintah
yang membaik, termasuk dalam bentuk proyek infrastruktur di berbagai daerah. Meskipun demikian,
perekonomian daerah masih menghadapi risiko ke bawah yang bersumber dari tingginya ketidakpastian
perekonomian global yang dapat berdampak pada melemahnya permintaan ekspor dan menurunnya harga
komoditas dunia. Dari sisi domestik, risiko perlambatan ekonomi bersumber dari kemungkinan terhambatnya
implementasi pembangunan infrastruktur. Dari perspektif spasial, jika pemulihan ekonomi global berjalan
tidak sesuai harapan, permintaan ekspor produk pertanian/perkebunan di Sumatera akan cenderung terbatas.
Hal demikian, di tengah harga komoditas yang masih rendah, dapat berdampak negatif terhadap kinerja
konsumsi melalui penurunan daya beli. Sementara di Jawa, lambatnya pemulihan ekonomi global akan
menekan kinerja ekspor manufaktur. Hal ini, di tengah meningkatnya biaya produksi akibat kenaikan harga
energi dan faktor input, dapat mengurangi minat investasi swasta. Adapun pertumbuhan ekonomi di
Kalimantan dapat semakin tertahan jika investasi di sektor migas tidak memadai, sehingga produksi migas
terus menurun. Kondisi demikian dapat menurunkan kinerja ekspor dan DBH sehingga berimbas pada
kemampuan fiskal daerah dalam merealisasikan belanja modal. Sementara di KTI, upaya menjaga kinerja
sektor perikanan pasca diluncurkannya kebijakan kemaritiman perlu terus diupayakan. Selain itu perlu
diwaspasai risiko dari lambatnya kemajuan hilirisasi tambang.
Dari sisi pengendalian harga, masih terdapat sejumlah risiko yang dapat menghambat tren penurunan inflasi
yang saat ini berlangsung. Risiko kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar dan dampaknya
terhadap harga komoditas energi (BBM, listrik, LPG) menjadi faktor risiko inflasi yang paling mengemuka di
seluruh wilayah. Kedua faktor tersebut perlu terus dicermati, terutama dalam upaya meredam dampak
lanjutannya (second round impact) terhadap harga barang dan jasa yang lain. Selain faktor risiko jangka
pendek tersebut, pengendalian laju inflasi di berbagai daerah juga masih dihadapkan pada tantangan
struktural, terutama yang terkait dengan keterbatasan pasokan/produksi pangan dan tata niaga pangan yang
tidak efisien. Secara spasial, beberapa wilayah memiliki tantangan struktural yang dapat semakin menambah
risiko pengendalian inflasi, seperti misalnya di Kalimantan dan KTI yang dihadapkan pada belum memadainya
infrastruktur konektivitas sehingga menghambat kelancaran arus distribusi barang, khususnya komoditas
pangan strategis.
Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala
Departemen Regional pada 15 Mei 2015 di Jakarta. Pertemuan tersebut dilakukan secara periodik untuk
membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai
bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia
Laporan Nusantara|6
PERTUMBUHAN EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan I 2015 tercatat melambat dibandingkan dengan triwulan IV
2014. Perekonomian Sumatera tercatat tumbuh 3,5% (yoy), lebih rendah dari capaian triwulan sebelumnya
sebesar 4,4% (yoy). Perlambatan ekonomi terjadi di seluruh provinsi di Sumatera, kecuali Lampung, terutama
disebabkan oleh melambatnya konsumsi rumah tangga, di tengah kinerja ekspor Sumatera yang masih
terkontraksi. Dari sisi sektoral, perlambatan ekonomi terutama disebabkan oleh penurunan kinerja migas, yang
mengakibatkan perlambatan sektor pertambangan dan penggalian, serta industri pengolahan. Perlambatan
2
ekonomi yang terjadi pada triwulan I 2015 dikonfirmasi oleh penurunan Indeks Realisasi Kegiatan Usaha .
Perekonomian Sumatera pada triwulan II 2015 diprakirakan tumbuh membaik. Perbaikan ekonomi Sumatera
didorong oleh peningkatan kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan, seiring dengan peningkatan
produksi kelapa sawit dan perbaikan kinerja komoditas karet. Hal tersebut dikonfirmasi oleh hasil liaison, yang
mengindikasikan akan adanya peningkatan penjualan domestik dan ekspor kedua komoditas tersebut.
Perbaikan kedua sektor utama Sumatera diperkirakan mendorong perbaikan konsumsi rumah tangga, sejalan
dengan kecenderungan peningkatan konsumsi menjelang bulan Ramadhan. Selain itu, pembangunan
infrastruktur diperkirakan akan terakselerasi pada triwulan II 2015 ini, yang ditandai dengan dimulainya
berbagai proyek infrastruktur pemerintah di wilayah Sumatera.
Perlambatan perekonomian triwulan I 2015 membuat perkiraan ekonomi Sumatera untuk keseluruhan tahun
2015 terkoreksi ke bawah. Perekonomian Sumatera pada tahun 2015 diperkirakan tumbuh sebesar 4,0% –
4,5% (yoy), melambat dibandingkan dengan tahun 2014 yang sebesar 4,6%. Kondisi ini dipicu oleh
perlambatan konsumsi swasta dan kinerja ekspor seiring dengan pemulihan perekonomian dunia yang masih
terbatas. Kontraksi yang terjadi pada sektor migas menyebabkan perlambatan pada sektor pertambangan dan
industri pengolahan migas. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang diperkirakan mampu menopang
pertumbuhan ekonomi Sumatera di tahun 2015 yaitu percepatan realisasi APBD dan proyek-proyek
infrastruktur Pemerintah di Sumatera, antara lain pembangunan tol trans Sumatera.
Konsumsi
Konsumsi Swasta
Pertumbuhan konsumsi swasta pada triwulan I 2015 mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan IV
2014. Perlambatan ini terjadi di seluruh provinsi di Sumatera kecuali Sumatera Barat dan Kepulauan Riau.
Penurunan laju konsumsi tercermin dari penyaluran kredit konsumsi yang melambat dari 10,9% (yoy) di
triwulan IV 2014 menjadi 10,5% (yoy) (Grafik II.1), terutama pada kredit kendaraan bermotor. Hasil liaison
kepada perusahaan di Sumatera menunjukkan terjadinya penurunan penjualan untuk domestik. Selain itu,
Indeks Penjualan Eceran di Sumatera Utara juga mengalami kontraksi sebesar 6,3% (yoy). Penurunan konsumsi
swasta ini sejalan dengan perlambatan ekonomi yang terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Konsumsi rumah tangga diperkirakan mengalami perbaikan pada triwulan II 2015. Masuknya periode bulan
Ramadhan dan masa liburan sekolah pada akhir triwulan II 2015 diyakini akan meningkatkan konsumsi
masyarakat, yang ditunjang oleh perbaikan pendapatan masyarakat. Namun, terdapat beberapa faktor risiko
yang perlu diwaspadai karena berpotensi menahan konsumsi masyarakat lebih lanjut, antara lain kenaikan
harga BBM, yang dipengaruhi oleh perkembangan harga minyak dunia. Penurunan optimisme akan konsumsi
2
Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha Triwulan I 2015
Laporan Nusantara| 7
masyarakat juga tercermin dari Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang menunjukkan penurunan dari 120,6
pada Maret 2015 menjadi 114,7 pada April 2015. Penurunan optimisme tersebut, khususnya berasal dari
penurunan ekspektasi akan ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha (Grafik II.2).
Grafik II.1
Penyaluran Kredit Konsumsi
*) hingga April 2015
Sumber : Survei Konsumen, Bank Indonesia
Grafik II.2
Indeks Keyakinan Konsumen
Konsumsi Pemerintah
Pertumbuhan konsumsi pemerintah meningkat pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan IV 2014.
Beberapa provinsi mencatatkan persentase realisasi belanja APBD yang lebih tinggi dibandingkan dengan
triwulan I 2014 seperti di provinsi Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Realisasi konsumsi
pemerintah tercermin dari posisi simpanan Pemda di perbankan, terutama pada posisi bulan Februari 2015
yang menunjukkan penurunan (Grafik II.3). Posisi simpanan Pemda pada akhir triwulan I 2015 kembali
meningkat seiring dengan dropping dana perimbangan yang mencakup Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Bagi Hasil (DBH) antara lain di Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Selain itu,
pertumbuhan konsumsi pemerintah juga disebabkan oleh faktor base effect, yaitu minimnya realisasi APBD
Sumatera pada triwulan I 2014 akibat keterlambatan pengesahan RAPBD 2014 Provinsi Sumatera Utara dan
Sumatera Barat.
Grafik II.3
Perkembangan Posisi Simpanan Pemda Sumatera di Bank
Umum
Grafik II.4
Perkembangan Dana Bagi Hasil
Belanja pemerintah diperkirakan akan meningkat pada triwulan II 2015 seiring dengan inisiatif untuk
mempercepat realisasi APBD. Akselerasi realisasi APBD didukung oleh telah selesainya seluruh proses
penganggaran, termasuk penunjukkan pejabat yang melaksanakan anggaran. Salah satu realisasi belanja
pemerintah yaitu belanja pegawai akan terjadi pada akhir triwulan II 2015 berupa pembayaran gaji ke-13
kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, level realisasi belanja Pemda diperkirakan akan mengalami
Laporan Nusantara| 8
3
penurunan dibanding tahun 2014 , seiring dengan penurunan penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) Sumatera
tahun 2015. Penurunan DBH ini disebabkan oleh turunnya penerimaan Pemda dari pengelolaan Sumber Daya
Alam (SDA) sepanjang tahun 2014. Penurunan penerimaan DBH diperkirakan terjadi di seluruh provinsi kecuali
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Lampung (Grafik II.4).
Investasi
Aktivitas investasi mulai menggeliat pada awal tahun 2015 terutama didorong oleh pihak swasta. Investasi
meningkat dari 1,3% (yoy) di triwulan IV 2014 menjadi 1,9% (yoy) pada triwulan I 2015. Situasi politik yang
stabil pasca-Pemilu presiden serta keyakinan akan pemerintahan baru, terkait perbaikan reformasi birokrasi
dan program pengembangan infrastruktur, mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif. Sejumlah
realisasi investasi di antaranya adalah eksplorasi sumur minyak baru dan pengembangan industri pengolahan
kelapa sawit menjadi tenaga listrik di Riau, pembangunan pabrik Semen di Sumatera Barat, pembangunan
fasilitas pendukung Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api Api dan persiapan penyelenggaraan Asian Games di
Sumatera Selatan, serta pengembangan fasilitas pelabuhan di Lampung. Meningkatnya investasi terkonfirmasi
dari laju kredit investasi yang tumbuh dari 5,4% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 8,6% (yoy) pada triwulan I
2015, dan melonjakknya pertumbuhan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dari 36,2% (yoy) menjadi
150,9% (yoy) (Grafik II.6).
Grafik II.5
Perkembangan Kredit Investasi Sumatera
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
Grafik II.6
Perkembangan PMA dan PMDN Sumatera
Investasi diyakini akan terus meningkat pada triwulan II 2015, khususnya didorong oleh realisasi proyek-proyek
infrastruktur pemerintah. Proyek infrastruktur pemerintah yang diperkirakan akan mulai dilakukan pada
triwulan II 2015 antara lain yaitu pembangunan tahap awal mega proyek jalan tol Trans Sumatera untuk ruas
jalan tol Bakauheni-Terbanggi, setelah groundbreaking yang dilakukan pada akhir April 2015 lalu.
Pertumbuhan investasi swasta diperkirakan masih berlanjut yang terlihat dari hasil liaison perusahaan di
Sumatera.
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja nilai ekspor luar negeri masih mengalami kontraksi pada triwulan I 2015, bahkan lebih dalam
dibandingkan dengan triwulan IV 2014 (Grafik II.7). Penurunan nilai ekspor terutama disebabkan oleh
menurunnya produksi migas yang utamanya ditujukan untuk ekspor. Berakhirnya produksi LNG di Aceh juga
4
diikuti dengan menurunnya kinerja ekspor. Hal yang senada ditunjukkan oleh provinsi Riau, dimana terdapat
3
Dana Bagi Hasil tahun 2014 Anggaran per Oktober 2014, dan Dana Bagi Hasil 2015 Anggaran per April 2015 menurut data Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan.
4
Kontrak ekspor LNG Aceh ditujukan kepada Korea Selatan.
Laporan Nusantara| 9
penurunan nilai ekspor migas pada triwulan I 2015 (turun 8,56%). Sementara itu, permintaan dunia yang masih
terbatas belum mampu mendorong ekspor komoditas non migas. Harga komoditas ekspor utama yang masih
belum mengalami perbaikan disertai terbatasnya permintaan dunia, menekan kinerja ekspor khususnya CPO
dan karet (Grafik II.8). Masih terbatasnya ekspor Sumatera pada triwulan I 2015 juga dikonfirmasi oleh hasil
likert scale liaison penjualan ekspor yang bernilai negatif, mengindikasikan terjadinya penurunan kinerja
ekspor perusahaan.
Perbaikan kinerja ekspor diprakirakan terus berlanjut pada triwulan II 2015. Optimisme tersebut didorong oleh
harga kelapa sawit dan karet yang diprakirakan mulai membaik, serta masuknya musim panen terutama
kelapa sawit. Perbaikan harga kelapa sawit dan karet, tercermin juga pada peningkatan harga di level petani.
Grafik II.7
Perkembangan Ekspor Impor Sumatera
Grafik II.8
Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas
Impor
Aktivitas impor meningkat pada triwulan I 2015 terutama untuk kelompok barang modal dalam mendukung
tumbuhnya kegiatan investasi (Grafik II.9). Berdasarkan komoditasnya, peningkatan impor terjadi pada
komoditas pupuk, gandum, dan peralatan elektrik, industri, dan perlengkapan (Grafik II.10). Meningkatnya
impor komoditas pupuk terutama dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Peningkatan impor juga
terjadi pada komoditas peralatan elektrik, industri dan perlengkapan. Peningkatan impor barang-barang
tersebut terkait dengan kegiatan investasi yang mulai menggeliat, sejalan dengan hasil liaison, yang
menyebutkan bahwa terjadi peningkatan pada investasi swasta.
Grafik II.9
Perkembangan Nilai Kelompok Impor Sumatera
Grafik II.10
Perkembangan Nilai Komoditas Impor Sumatera
Impor diprakirakan relatif melambat pada triwulan II 2015 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang masih berlanjut berpotensi memberikan disinsentif
bagi pelaku usaha untuk melakukan impor ditengah masih terbatasnya permintaan. Perlambatan impor bahan
baku antara lain dikontribusi oleh industri elektronik, kapal dan besi baja yang mengalami penurunan produksi
Laporan Nusantara| 10
akibat pelemahan kinerja sektor migas yang merupakan konsumen utama (baja) dan tekanan permintaan
ekspor (elektronik, kapal). Namun, kegiatan investasi yang meningkat terkait proyek-proyek infrastruktur
pemerintah yang membutuhkan dukungan bahan baku dan peralatan impor diperkirakan dapat menahan
perlambatan impor lebih jauh.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian pada triwulan I 2015 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Sektor pertanian tumbuh 5,1% (yoy) dari 3,5% (yoy) pada triwulan IV 2014. Realisasi triwulan ini
lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Peningkatan sektor pertanian disebabkan karena
membaiknya produksi tabama, seiring dengan masuknya musim panen raya di sejumlah daerah, yaitu
Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jambi. Selain siklus tahunan, peningkatan tabama ditopang oleh
berbagai upaya dari Pemda untuk meningkatkan produksi pertanian melalui pembenahan infrastruktur
pertanian, seperti pembangunan bendungan (Aceh) dan perbaikan irigasi (Sumatera Utara), penambahan luas
tanam pangan, serta pemberian insentif melalui kebijakan pembebasan pajak bagi petani yang memiliki sawah
(Sumatera Selatan). Pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan ditopang pula oleh produksi
karet lokal (Sumatera Selatan, dan Jambi) yang meningkat (Grafik II.11), serta didorong oleh kenaikan harga
karet di level petani (Grafik II.12). Dari sisi pembiayaan perbankan, penyaluran kredit sektor pertanian tercatat
tumbuh positif sebesar 17,2% (yoy), naik dari triwulan sebelumnya yang hanya mencapai 16,5% (yoy) (Grafik
II.13). Peningkatan kinerja sektor pertanian diperkirakan berlanjut hingga triwulan II 2015. Pertumbuhan
sektor pertanian diprakirakan menjadi 5,1% (yoy). Peningkatan tersebut terindikasi dari hasil Indeks Prakiraan
Kegiatan Dunia Usaha SKDU yang meningkat dari 1,80% menjadi 5,15%. Hasil SKDU juga didukung oleh hasil
liaison yang menyatakan adanya perbaikan penjualan sektor pertanian. Peningkatan sektor pertanian ini masih
ditopang oleh meningkatnya produksi komoditas tabama, sejalan dengan masuknya puncak masa panen padi
(Sumatera Utara dan Lampung). Di samping tabama, diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi kelapa
sawit, seiring dengan berakhirnya musim trek pada bulan April dan Mei, serta masuknya musim panen (Riau
dan Sumatera Barat). Peningkatan produksi juga disertai dengan indikasi perbaikan harga tandan buah segar
(TBS) di level petani (Grafik II.14). Kinerja perkebunan karet juga diperkirakan meningkat yang ditandai oleh
membaiknya harga karet di level petani dan adanya upaya dari GAPKINDO untuk memperbaiki harga melalui
kontrak langsung dengan pembeli dan penghentian kontrak jangka panjang.
Sumber: Gapkindo
*) Tanpa data Jambi
Grafik II.11
Produksi Karet Sumatera Selatan,
Kep. Bangka Belitung, dan Jambi
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi, diolah
Grafik II.12
Harga Karet Lokal
Laporan Nusantara| 11
Grafik II.13
Pertumbuhan Kredit Sektor Pertanian
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi, diolah
Grafik II.14
Harga TBS Kelapa Sawit
Sektor Pertambangan
Kontraksi sektor pertambangan dan penggalian pada triwulan I 2015 cukup dalam. Sektor pertambangan
mengalami kontraksi sebesar 0,80% (yoy) pada triwulan IV 2014, kemudian turun lebih dalam lagi hingga
mengalami kontraksi sebesar 2,66% (yoy) triwulan I 2015. Perlambatan kinerja sektor pertambangan ini juga
terindikasi dari hasil SKDU yang menunjukkan penurunan Indeks Kegiatan Dunia Usaha dari -18,51 pada
triwulan IV 2014 menjadi -18,90 (Grafik II.15). Hal ini disebabkan oleh pemburukan kinerja migas sehingga
mendorong kontraksi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh dan Provinsi Riau. Penurunan produksi migas
terjadi karena minimnya eksplorasi minyak bumi baru di Riau sehingga hanya mengandalkan kondisi existing.
Sementara itu di Aceh, kontrak penjualan LNG telah berakhir dan saat ini eksploitasi gas hanya ditujukan untuk
pengolahan kondensat bagi pasar domestik. Adapun kinerja pertambangan batubara masih tertekan akibat
pelemahan harga batubara dan perlambatan ekonomi Tiongkok sebagai negara importir utama komoditas
batubara. Walaupun demikian, tingginya permintaan domestik untuk keperluan PLTU mampu menahan
perlambatan produksi batubara lebih dalam lagi (Grafik II.16).
Sumber : Survei Kegiatan Dunia Usaha
Grafik II.15
Indeks Kegiatan Dunia Usaha Sektor Pertambangan
Sumber : IHS McCloskey
Grafik II.16
Perkiraan Produksi Batubara Sumatera Selatan
Kontraksi kinerja sektor pertambangan dan penggalian diprakirakan masih berlanjut pada triwulan II 2015.
Pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian diprakirakan semakin melambat dari -2,7% (yoy) pada
triwulan I 2015 menjadi -3,0% (yoy) pada triwulan II 2015. Lifting perusahaan minyak di Riau diprakirakan
membaik pada triwulan II 2015, yang ditandai dengan peningkatan produksi barel perhari. Namun, perbaikan
lifting minyak tersebut berpotensi mengalami kendala perizinan eksplorasi lahan baru. Selain itu, prospek
masih berlanjutnya tren penurunan harga batubara global turut menambah tekanan kinerja sektor
pertambangan dan penggalian, khususnya untuk ekspor.
Laporan Nusantara| 12
Sektor Industri Pengolahan
Sejalan dengan kontraksi sektor pertambangan dan penggalian yang cukup dalam, kinerja industri pengolahan
pada triwulan I 2015 juga mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sektor industri
pengolahan tumbuh 1,80% (yoy) lebih rendah dari triwulan sebelumnya 3,04% (yoy). Perlambatan industri
pengolahan dikontribusi oleh kontraksi yang terjadi pada industri pengolahan migas, antara lain terjadi di Aceh
disebabkan oleh berakhirnya kontrak LNG bulan Oktober 2014. Berdasarkan liaison, pada triwulan I 2015,
industri pengolahan di Aceh telah melakukan proses re-gasifikasi yang ditujukan untuk memasok gas bagi
pembangkit listrik di Sumatera, namun dengan kapasitas produksi jauh di bawah kapasitas semula (ketika
pengolahan LNG). Selain migas, kontributor utama perlambatan industri pengolahan adalah penurunan kinerja
industri pengolahan logam/aluminium di Sumatera Utara, dan kinerja industri semen di Sumatera Barat akibat
minimnya progress proyek infrastruktur Pemerintah di provinsi tersebut. Perlambatan sektor ini terkonfirmasi
melalui Indeks Kegiatan Dunia Usaha sektor industri pengolahan yang juga menurun.
Sumber : Bloomberg
*) hingga awal Mei 2015
Grafik II.15
Indeks Kegiatan Dunia Usaha Sektor Pertambangan
Grafik II.16
Perkiraan Produksi Batubara Sumatera Selatan
Sektor industri pengolahan pada triwulan II 2015 diprakirakan meningkat dibandingkan dengan triwulan I
2015. Optimisme ini ditandai dengan masih tingginya penyaluran kredit sektor industri pengolahan pada
triwulan I 2015 (Grafik II.17). Selain itu, perkiraan Indeks Kegiatan Usaha serta hasil liaison sektor industri
pengolahan juga menunjukkan peningkatan, terutama industri pengolahan makanan dan minuman olahan
kelapa sawit. Industri pengolahan kelapa sawit diperkirakan membaik akibat masuknya musim panen (Riau).
Sementara itu, produksi pengolahan karet diperkirakan naik, didorong oleh peningkatan harga internasional
karet hingga Mei 2015 ini (Grafik II.18), walaupun masih lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama
tahun sebelumnya. Peningkatan kinerja pengolahan karet Sumatera antara lain disumbang oleh naiknya
pertumbuhan sektor industri pengolahan karet Provinsi Jambi, seiring dengan banyaknya stok dan kenaikan
permintaan luar negeri hingga bulan Juni/Juli 2015.
PERKEMBANGAN INFLASI
Pada triwulan I 2015, inflasi Sumatera tercatat sebesar 6,12% (yoy), lebih rendah dari inflasi triwulan
sebelumnya 8,62% (yoy). Realisasi inflasi tersebut juga lebih rendah dari realisasi inflasi nasional (6,38%,yoy)
(Grafik II.19). Berdasarkan provinsi, inflasi tertinggi terjadi di Bengkulu (7,65%; yoy) sementara inflasi terendah
terjadi di Provinsi Jambi (4,88%; yoy). Berdasarkan disagregrasi inflasi, rendahnya inflasi tersebut disebabkan
oleh menurunnya inflasi komoditas kelompok administered prices, dan komoditas dalam kelompok bahan
pangan (volatile food).
Berdasarkan komoditasnya, inflasi Sumatera yang rendah disebabkan oleh penurunan harga cabai merah serta
BBM (bensin dan Solar). Selama bulan Januari–Maret lalu, harga cabai merah turun mencapai 61,53%
Laporan Nusantara| 13
disebabkan oleh meningkatnya pasokan dalam wilayah Sumatera. Sementara itu, menurunnya harga minyak
dunia diikuti dengan rata-rata penurunan harga BBM di dalam negeri. Selama kurun waktu tiga bulan, terdapat
dua kali penurunan harga BBM dan satu kali peningkatan harga BBM. Harga bensin yang pada akhir tahun
2014 sebesar Rp8.500/liter turun menjadi Rp7.600/liter (per 1 Januari 2015), serta Rp6.800 (per 1 Maret 2015)
namun kemudian meningkat menjadi Rp7.300 (per 28 Maret 2015). Hal senada juga terjadi pada harga solar
yaitu dari Rp7.500 (akhir tahun 2014) turun menjadi Rp7.250 (per 1 Januari 2015), serta Rp6.400 (per 1 Maret
2015) namun kemudian meningkat menjadi Rp6.900 (per 28 Maret 2015). Meski demikian, inflasi administered
prices Sumatera masih cukup tinggi disebabkan oleh meningkatnya tarif listrik dan bahan bakar rumah tangga.
Secara rata-rata, tarif listrik meningkat mencapai 1,04% selama tiga bulan ini atau 20,53% dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Sementara itu, tarif bahan bakar rumah tangga meningkat 5,57% dalam tiga bulan
terakhir atau 21,10% dari tahun sebelumnya.
Selanjutnya, inflasi inti Sumatera cenderung mengalami peningkatan. Meningkatnya biaya upah (tukang,
pembantu RT), makanan jadi dan sewa rumah merupakan penyumbang peningkatan inflasi inti tersebut. Selain
itu Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) meningkat dari 181,9 menjadi 185,2 mengindikasikan kenaikan
harga biaya tempat tinggal. Peningkatan IHPR terjadi di seluruh kota yang dihitung di Sumatera, yaitu Batam,
Medan, Palembang, Padang, dan Bandar Lampung.
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.19
Inflasi Provinsi di Sumatera
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.21
Inflasi Per Provinsi Sumatera
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.20
Disagregasi inflasi Sumatera
KOMODITAS
ANDIL
CABAI MERAH
-1.26
BENSIN
-0.97
ANGKUTAN DALAM KOTA -0.14
CABAI RAWIT
-0.08
CABE HIJAU
-0.06
ANGKUTAN UDARA
-0.04
DAGING AYAM RAS
-0.03
SOLAR
-0.03
KENTANG
-0.02
TOMAT SAYUR
-0.02
Sumber: BPS, diolah
Tabel II.1
Komoditas Penyumbang Deflasi Tertinggi Triwulan I-2015
(QTQ)
Setelah mengalami penurunan harga pada triwulan I 2015, tekanan inflasi pada triwulan II 2015 diperkirakan
kembali meningkat. Kondisi tersebut telah terkonfirmasi pada meningkatnya laju inflasi pada bulan April yang
menjadi sebesar 6,85% (yoy). Peningkatan tersebut utamanya berasal dari dampak kenaikan harga bensin
Laporan Nusantara| 14
pada akhir Maret 2015 yang masuk dalam perhitungan inflasi April. Untuk keseluruhan triwulan II 2015,
tekanan inflasi diprakirakan bersumber dari bahan pangan terkait tingginya permintaan menjelang bulan
Ramadhan. Berdasarkan komoditasnya, potensi kenaikan harga terjadi pada beras sejalan dengan berakhirnya
masa panen raya dan dampak lanjutan dari kenaikan HPP beras, serta berkurangnya pasokan bawang merah
dari sentra produksi di Brebes. Dari sisi administered prices, risiko inflasi berasal dari tren peningkatan harga
minyak dunia yang dapat diikuti dengan kenaikan harga BBM serta tarif angkutan sebagai dampak lanjutannya.
Di samping itu, rencana pemerintah menaikkan TDL rumah tangga untuk beberapa golongan serta rencana
kenaikan harga LPG juga dapat menjadi risiko peningkatan inflasi kelompok ini. Dari sisi inflasi inti risiko berasal
dari pelemahan nilai tukar rupiah. Selain itu, meningkatnya realisasi investasi fisik pada triwulan mendatang
juga dapat berpotensi menyebabkan kenaikan harga bahan bangunan. Dari sisi ekspektasi harga, berdasarkan
hasil survei konsumen terdapat kenaikan ekspektasi inflasi masyarakat untuk tiga bulan ke depan. Namun,
masih lemahnya pendapatan masyarakat, sejalan dengan belum membaiknya harga komoditas, dapat menjadi
faktor penahan tekanan inflasi dari sisi konsumsi.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Dalam memperkuat peranan TPID dan menghadapi kendala, permasalahan, dan tantangan tekanan inflasi,
beberapa langkah yang akan dilakukan TPID se-Sumatera sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Seluruh TPID di seluruh provinsi Sumatera telah menyusun rencana program kerja jangka pendek dan
jangka panjang terkait penanganan inflasi daerah yang diharapkan dapat menekan risiko peningkatan
inflasi di Sumatera.
Koordinasi penyusunan kalender tanam.
Melakukan pemetaan surplus defisit barang di masing-masing Kabupaten/Kota yang dapat dijadikan
acuan untuk memudahkan kerjasama antardaerah
Optimalisasi fungsi sub-terminal Agribisnis yang sudah terdapat pada masing-masing provinsi untuk
memperpendek jalur distribusi, terutama komoditas pangan dan holtikultura.
Penguatan infrastruktur keuangan di seluruh Kabupaten/Kota melalui koperasi, badan usaha milik desa
(BUMDes) maupun perbankan yang dapat membantu petani dari sisi permodalan.
Koordinasi terkait penyesuaian tarif angkutan antara Dinas Perhubungan dan Organda pasca kenaikan
harga premium dan solar.
Peningkatan monitoring tata niaga barang bersubsidi yaitu BBM dan LPG yang bertujuan untuk
meminimalkan permainan harga serta menjaga ketersediaan stok.
Monitoring kecukupan stok premium, solar, dan LPG oleh Pemerintah Daerah dan Pertamina.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Kinerja penyaluran kredit korporasi yang tumbuh menguat. Pada triwulan I 2015, kredit korporasi tumbuh
9,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 8,0% (yoy). Pertumbuhan kredit
korporasi sempat mengalami tren perlambatan yang cukup lama, yaitu sejak triwulan IV 2013 hingga triwulan
IV 2014 (Grafik II.23). Pertumbuhan kredit pada triwulan I 2015 ini didorong oleh penyaluran kredit investasi
dan modal kerja yang tumbuh masing-masing sebesar 10,52% (yoy) dan 9,17% (yoy) dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang tumbuh masing-masing sebesar 6,81% (yoy) dan 8,93% (yoy). Penguatan kredit
terutama didorong oleh pertumbuhan tiga sektor utama, yaitu industri pengolahan 15,23% (yoy), pertanian
9,92% (yoy) dan perdagangan 2,72 (yoy) (Grafik II.24).
Ketahanan keuangan korporasi di wilayah Sumatera masih terjaga, tercermin dari kualitas kredit korporasi
yang masih dalam batas aman, yang diindikasin oleh non performing loan (NPL) yang masih dalam batas aman
(di bawah 5%) (Grafik II.25), meski sedikit meningkat dari triwulan sebelumnya (dari 1,95% menjadi 2,06%).
Kenaikan NPL terutama terjadi pada debitur sektor perkebunan, khususnya komoditas karet yang harganya
Laporan Nusantara| 15
masih mengalami tekanan. NPL yang meningkat terutama terjadi di Provinsi Jambi dan Sumatera Utara.
Sementara itu, penghimpunan dana korporasi mengalami perlambatan baik dari sisi nominal maupun jumlah
rekening sesuai dengan pola musimannya (Grafik II.26).
Grafik II.23
Perkembangan Kredit Korporasi Sumatera
Grafik II.24
Perkembangan Kredit Sektor Utama Sumatera
Grafik II.25
Perkembangan NPL Kredit Korporasi Sumatera
Grafik II.26
Perkembangan DPK Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
5
Kredit konsumsi yang disalurkan dari Bank Umum kepada sektor rumah tangga di Sumatera mengalami
perlambatan. Kredit konsumsi melambat dari 22,2% (yoy) di triwulan IV 2014 menjadi 21,6% (yoy) di triwulan I
2015 (Grafik II.27). Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh perlambatan kredit kendaraan bermotor.
Sementara itu, penurunan pendapatan sebagai dampak dari tekanan harga komoditas, menyebabkan
menurunnya kemampuan bayar debitur. Berdasarkan hasil Survei Konsumen, terdapat kecenderungan
peningkatan Debt Service Ratio (DSR) yang mengindikasikan adanya peningkatan porsi pendapatan masyarakat
yang digunakan untuk membiayai cicilan pinjaman. meskipun masih di bawah batas yang dianggap aman
(30%) (Grafik II.28). Kedua hal tersebut diatas mengindikasikan peningkatan kerentanan sektor rumah tangga
dan potensi peningkatan NPL. Pada triwulan I 2015, NPL sektor rumahtangga Sumatera tercatat 1,94%,
meningkat dibandingkan dengan kondisi triwulan sebelumnya yang sebesar 1,74%. Peningkatan NPL terjadi
baik pada KKB, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun multiguna.
Peningkatan NPL untuk kredit KPR terutama terjadi pada tipe apartemen tipe 22 sampai dengan 70 serta
rumah sampai dengan tipe 21. Selain itu, NPL untuk kredit apartemen meningkat dari 1,43% pada triwulan IV
2014 menjadi 3,74% pada triwulan I 2015 (Grafik II.29). Meskipun cenderung meningkat, NPL tersebut masih
berada di level yang aman yaitu di bawah 5%. Peningkatan NPL yang cukup signifikan terutama terjadi pada
5
Definisi kredit rumah tangga yaitu kredit sektor Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha dengan mengecualikan Sektor Bukan Lapangan
Usaha Lainnya.
Laporan Nusantara| 16
jenis kredit yang mengalami peningkatan suku bunga yang cukup tinggi antara lain pada kredit kepemilikan
6
apartemen dan kredit rumah tipe diatas 70. Sementara itu, dari sisi penghimpunan dana (Grafik II.30),
pertumbuhan pada triwulan I 2015 relatif stabil yaitu pada kisaran 10,7% (yoy).
Grafik II.27
Perkembangan Kredit Rumah Tangga Sumatera
Grafik II.28
Debt Service Ratio
Grafik II.29
Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga Sumatera
Grafik II.30
DPK Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Sejalan dengan kondisi perekonomian yang melambat, kredit UMKM Sumatera juga mengalami perlambatan
pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan IV 2014 (Grafik II.31). Secara sektoral, mayoritas kredit
UMKM disalurkan kepada sektor perdagangan sebesar 52%, sektor pertanian sebesar 20%, dan sektor industri
pengolahan sebesar 7% (Grafik II.32). Perlambatan terutama terjadi pada penyaluran kredit UMKM di sektor
pertanian dan industri pengolahan, yang juga merupakan salah satu sektor utama Sumatera. Sementara itu,
kualitas kredit tidak menunjukkan perbaikan, yang ditandai dengan rasio non-perfoming loan (NPL) yang
mengalami peningkatan dari 5,3% pada triwulan sebelumnya menjadi 5,9%. Tingginya suku bunga pinjaman
yang sebesar 14,7%, ditengah perlambatan ekonomi Sumatera diperkirakan menjadi pemicu peningkatan NPL
daerah. NPL tertinggi tercatat terjadi di Provinsi Aceh sebesar 13,2%.
6
Definisi dana rumah tangga yaitu dana yang dihimpun dari nasabah perseorangan (bukan korporasi, Pemerintah, dan Bank).
Laporan Nusantara| 17
Grafik II.31
Perkembangan Kredit UMKM Sumatera
Grafik II.32
Pangsa Kredit UMKM Sumatera
Kinerja Sistem Pembayaran
Perlambatan perekonomian Sumatera pada triwulan I 2015 juga tercermin dari perlambatan nilai Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Transaksi BI-RTGS tercatat sebesar Rp383,3 triliun atau
tumbuh 24,1% (yoy), melambat dibandingkan triwulan IV 2014 yang tumbuh 31,6% (yoy) (Tabel II.3). Dari sisi
volume transaksi, terdapat penurunan jumlah transaksi RTGS sebesar -38,51% (yoy). Sementara itu, kegiatan
kliring perbankan di wilayah Sumatera mengalami peningkatan volume dan nominal transaksi pada triwulan I
2015 (Tabel II.4). Secara nominal transaksi kliring tumbuh sebesar 57,51% (yoy) menjadi sebesar Rp.116,29
triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV yang hanya 32,04% (yoy). Sementara itu, volume kliring
meningkat signifikan sebesar 96,28% (yoy) pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang
tercatat mengalam kontraksi sebesar 2,84%. Penurunan transaksi BI-RTGS yang bersamaan dengan
peningkatan transaksi kliring ditengarai merupakan efek switching transaksi BI-RTGS ke transaksi kliring.
Perkembangan RTGS
2012
2013
2014
2015
Sumatera
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
Nilai (Rp Miliar)
259,151.20 343,543.41 304,982.98 312,572.72 271,978.20 341,732.94 351,898.24 352,127.78 309,763.87 402,841.82 415,393.98 463,286.75 384,313.91
244,265.81 262,385.64 262,893.62 289,839.61 238,877.12 243,091.42 231,059.04 250,915.22 219,295.00 212,623.00 218,408.69 243,909.00 134,845.00
Volume (lembar)
Pertumbuhan (%yoy)
Nilai
6.9
25.0
21.4
15.9
4.9
(0.5)
15.4
12.7
13.9
17.9
18.0
31.6
24.1
Volume
(7.7)
5.5
13.4
10.6
(2.2)
(7.4)
(12.1)
(13.4)
(8.2)
(12.5)
(5.5)
(2.8)
(38.5)
Tabel II.3
Perkembangan Transaksi RTGS Sumatera
Perkembangan Kliring 2011
2012
2013
2014
2015
Sumatera
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
Nilai (Rp Miliar)
65,045
68,485
71,316
69,971
71,334
74,737
77,538
75,053
73,477
76,772
76,146
65,777
73,838
76,544
81,101
72,169 116,299
Volume (lembar) 2,175,893 2,279,285 2,237,259 2,133,795 2,213,716 2,322,745 2,389,881 2,322,787 2,232,191 2,300,129 2,132,326 1,742,190 2,037,822 2,166,626 2,255,866 2,154,496 3,999,839
Pertumbuhan (%yoy)
Nilai
9.7
9.1
8.7
7.3
3.0
2.7
-1.8
-12.4
0.5
-0.3
6.5
9.7
57.5
Volume
1.7
1.9
6.8
8.9
0.8
-1.0
-10.8
-25.0
-8.7
-5.8
5.8
23.7
96.3
Tabel II.4
Perkembangan Transaksi Kliring Sumatera
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Perkembangan aliran uang kartal di wilayah Sumatera pada triwulan I 2015 mengalami net inflows sebesar
Rp6,51 triliun, kondisi tersebut terlihat kontradiktif bila dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang
mengalami net outflows sebesar Rp9,49 Triliun (Grafik II.33). Net inflows ini disumbangkan oleh seluruh
Provinsi di Sumatera kecuali Provinsi Kepulauan Riau yang mengalami net outflows, seiring tingginya aktivitas
perekonomian pada daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah Singapura tersebut. Perkembangan
uang palsu pada triwulan I 2015 ini menunjukkan peningkatan atau dari 2.374 lembar menjadi 3.619 lembar
dengan temuan uang palsu terbanyak berada di Lampung dan Sumatera Utara.
Laporan Nusantara| 18
Grafik II.33
Perkembangan Inflow-outflow Sumatera
Tabel II.5
Indikator Financial Inclusion Sumatera
Perkembangan Keuangan Inklusif
Salah satu fokus utama Bank Indonesia saat ini adalah bagaimana meningkatkan peran perbankan untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam mengakses perbankan melalui pendalaman keuangan
inklusif di daerah. Beberapa kegiatan terkini dalam usaha meningkatkan keuangan inklusif di daerah
diantaranya adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Rapat koordinasi pemetaan dan pengumpulan data transaksi elektronifikasi dengan Pemerintah Daerah
(Aceh)
Pemetaan terhadap proses bisnis SAMSAT Sumatera Barat melalui pelayanan non tunai serta program
Less Cash Society perbankan (Sumatera Barat)
Penjajakan pemetaan Layanan Keuangan Digita (LKD) dengan perbankan (Riau)
Pemetaan potensi LKD pada tahun 2014 serta pemilihan 3 Kota/Kab paling sesuai untuk
diimplementasikan (Sumatera Selatan)
Kerjasama dan koordinasi GNNT bersama BNP2TKI dan Hiswana Migas (Sumatera Utara)
Penandatanganan MoU BI dgn Universitas (USU, Unsri, dan Unand)
Sementara itu, kinerja pendalaman pasar keuangan dapat terlihat dari rasio rekening DPK, rasio rekening
kredit, dan rasio jumlah bank (Tabel II.5). Dapat disimpulkan bahwa layanan akses keuangan yang relatif tinggi
terdapat di Sumatera Utara, Jambi, Kepulauan Riau sejalan dengan lebih rendahnya angka kemiskinan. Di sisi
lain, rendahnya layanan akses keuangan terjadi di Aceh, Sumatera Selatan dan Lampung sejalan dengan lebih
tingginya angka kemiskinan. Jika dibandingkan dengan indikator financial inclusion kawasan lain, kondisi
Sumatera relatif lebih baik.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Sumatera tahun 2015 diprakirakan lebih rendah dari proyeksi triwulan
sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diprakirakan sebesar 4,0%–4,5 % (yoy). lebih rendahnya
proyeksi tersebut terutama terkait dengan kinerja migas yang diperkirakan akan terus turun signifikan di
Provinsi Aceh dan Riau. Dampak berhentinya produksi LNG di Aceh masih akan terasa hingga triwulan akhir
2015. Meski demikian, industri pengolahan gas di Aceh masih akan beroperasi, dengan kapasitas produksi yang
lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya. Sementara itu, sumber minyak bumi baru belum ditemukan di
Riau hingga saat ini. Kinerja ekspor juga diperkirakan masih akan minim akibat pemulihan ekonomi dunia yang
masih terbatas. Perkiraan pertumbuhan Amerika Serikat dikoreksi menjadi lebih rendah, sehingga kinerja
ekspor ke negara tersebut masih belum sekuat perkiraan sebelumnya. Hal tersebut membuat kinerja industri
pengolahan, terutama perkebunan, belum dapat menjadi andalan Sumatera. Di samping itu, pelemahan sektor
pertambangan akan menahan pertumbuhan industri pengolahan.
Laporan Nusantara| 19
Namun, prospek pertumbuhan ekonomi Sumatera dapat lebih baik dari perkiraan apabila pemerintah berhasil
merealisasikan berbagai proyek yang telah direncanakan. Proyek-proyek tersebut antara lain dimulainya mega
proyek jalan tol Sumatera di ruas Lampung-Sumatera Selatan, serta jaringan kereta api. Selain itu, infrastruktur
pendukung kedaulatan pangan, seperti pembangunan dan rehabilitasi irigasi, waduk, dan sebagainya
diperkirakan akan terus didorong hingga tahun 2019 nanti. Di Kepulauan Riau, adanya perubahan Surat
Keputusan (SK) Pemerintah Daerah terkait Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan
Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Perubahan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan
diperkirakan akan membuat iklim investasi menjadi lebih kondusif. Pelaksanaan pilkada Provinsi Jambi,
Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bengkulu dan sebagian besar Kabupaten/Kota di Sumatera pada akhir tahun
2015 juga turut mendorong peningkatan konsumsi. Sumber pertumbuhan diperkirakan masih berasal dari
konsumsi domestik meskipun tidak setinggi proyeksi semula.
Prospek Inflasi
Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan masih berada dalam target sasaran inflasi nasional
sebesar 4%±1%. Beberapa faktor yang dapat mendukung tercapainya target inflasi tersebut adalah
meningkatnya produksi pangan pada tahun 2015, terjaganya kelancaran distribusi barang, serta masih
terbatasnya pendapatan masyarakat. Berdasarkan informasi BMKG, faktor iklim diperkirakan lebih kondusif
sehingga produksi bahan pangan di Sumatera seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, dan
Sumatera Utara diperkirakan meningkat dari tahun sebelumnya. Di samping itu, adanya program pemerintah
dalam meningkatkan produktivitas pertanian diharapkan dapat mulai berdampak pada pertengahan tahun
terutama dalam mendukung panen 2-3 kali setahun (musim panen pada akhir tahun 2015), sehingga akan
menjamin pasokan bahan pangan. Terjaminnya pasokan bahan makanan yang didukung oleh perbaikan
infrastruktur, seperti jalan, diperkirakan dapat mendorong inflasi kelompok volatile food menjadi lebih rendah.
Dari sisi permintaan, masih belum membaiknya harga komoditas menyebabkan masih terbatasnya pendapatan
masyarakat sehingga konsumsi relatif lebih tertahan.
Meskipun demikian, terdapat beberapa potensi risiko inflasi ke depan, di antaranya adalah kecenderungan
meningkatnya harga minyak internasional, yang berpengaruh terhadap pergerakan harga BBM dan tarif
transportasi. Beberapa faktor lain yang dapat memperbesar risiko inflasi administered prices pada tahun 2015
adalah, rencana penyesuaian tarif Listrik, dan harga LPG 3 kg. Dari kelompok inti, tekanan inflasi ke depannya
diperkirakan masih berasal dari pelemahan nilai tukar rupiah yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga
triwulan III 2015 terkait kebijakan suku bunga Amerika. Di samping itu, tingginya alokasi infrastruktur di tahun
2015 dapat berdampak pada meningkatnya harga bahan bangunan terutama menjelang akhir tahun. Risiko
berkurangnya jumlah pasokan akibat faktor musiman (a.l. beras, cabai, bawang) dan kemungkinan
peningkatan biaya transportasi seiring dengan penyesuaian harga BBM diperkirakan berpotensi mendorong
peningkatan inflasi komoditas volatile foods.
Laporan Nusantara| 20
Sektor pertambangan dan penggalian di Provinsi Aceh mayoritas berasal dari pertambangan gas alam yang
berlokasi di Desa Arun, Aceh Utara yang ditemukan sejak tahun 1971. Selanjutnya, pengolahan gas alam
menjadi LNG (Liquefied Natural Gas) berlokasi di kilang Lhoksumawe yang berdiri dari tahun 1974. Sejak tahun
1978, hasil produksi LNG diekspor ke Korea Selatan, selain menghasilkan kondensat untuk kebutuhan pasar
domestik.
Dalam beberapa tahun terakhir, produksi gas alam di ladang Arun terus menunjukkan penurunan, tercermin
dari menurunnya penjualan baik dalam bentuk LNG maupun kondensat. Selanjutnya, pada minggu kedua
bulan Oktober 2014, produksi LNG berakhir sejalan telah terpenuhinya seluruh kontrak ekspor dengan Korea
Selatan. Saat ini, eksploitasi gas di ladang Arun masih berlangsung untuk pemenuhan pengolahan kondensat
hingga tahun 2018, namun dengan nilai yang jauh di bawah nilai eksploitasi sebelumnya.
Berakhirnya kontrak ekspor LNG tersebut berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Aceh. Berdasarkan data
PDRB Provinsi Aceh, pada tahun 2010 sektor pertambangan merupakan sektor kedua terbesar di Aceh
(setelah sektor pertanian) dengan pangsa mencapai 15,35%. Namun, pangsa sektor pertambangan tersebut
terus menurun sejalan dengan semakin berkurangnya hasil eksploitasi gas alam di ladang Arun. Pada tahun
2014, pangsa sektor pertambangan turun hingga mencapai 11,37% dan kian mengecil menjadi 8,92% pada
triwulan I 2015 pasca berhentinya produksi LNG. Kondisi ini mendorong pertumbuhan sektor pertambangan
dan penggalian terus menurun yakni dari -2% pada tahun 2011-2012, turun menjadi -4% pada tahun 2013,
hingga mencapai masing-masing -8,81% (tahun 2014) dan -31,58% (triwulan I 2015). Selain berdampak pada
sektor pertambangan dan penggalian, berhentinya produksi LNG ini juga berdampak pada melambatnya
pertumbuhan sektor industri pengolahan. Sektor industri pengolahan, yang pada tahun 2011–2012 masih
menunjukkan pertumbuan yang positif, mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 6,53% (2014) serta 21,09%
(triwulan I 2015). Pada akhirnya, kondisi ini juga menyebabkan terjadinya perlambatan dalam pertumbuhan
ekonomi Aceh, yang pada tahun 2014 hanya sebesar 1,65%, sementara triwulan I 2015 menunjukkan kontraksi
sebesar 1,86% (Grafik II.34).
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.34
Pertumbuhan Ekonomi Aceh
Dengan mempertimbangkan berbagai kondisi tersebut di atas, pemerintah Provinsi Aceh perlu melakukan
langkah-langkah strategis untuk mengurangi dampak negatif penurunan kinerja migas tersebut.
Menindaklanjuti berakhirnya kontrak produksi LNG, pemerintah pusat telah menyetujui dan menjalankan regasifikasi (proyek terminal gas untuk industri dan rumah tangga) serta pemasangan pipa gas yang
menghubungkan Arun, Aceh–Belawan, Sumatera Utara. Proses re-gasifikasi tersebut memanfaatkan peralatan
dari kilang LNG sebelumnya. Sementara itu, pipa gas sepanjang 370 km ini dimanfaatkan untuk mengalirkan
Laporan Nusantara| 21
hasil re-gas dari Arun ke Belawan untuk menjadi bahan bakar bagi pembangkit listrik. Adapun pasokan LNG
untuk re-gasifikasi berasal dari Tangguh. Pengiriman pertama LNG dari Tangguh telah dilaksanakan bulan
Februari lalu dengan hasil proses re-gas pertama telah disalurkan melalui pipa pada bulan Maret. Ke depannya,
Arun direncanakan akan menjadi LNG hub untuk menyalurkan LNG ke daerah-daerah lain di wilayah Sumatera.
Pasca berhentinya produksi LNG di Aceh, pemerintah daerah mencanangkan beberapa program untuk
menopang perekonomian Aceh, khususnya terkait dengan sektor pertanian. Sektor pertanian dipilih sebagai
fokus mengingat sektor ini merupakan salah satu sektor utama daerah, dengan pangsa mencapai 27,05% dan
memiliki serapan tenaga kerja yang tinggi. Program-program pemberdayaan sektor pertanian yang akan
dicanangkan oleh Bappeda Provinsi Aceh pada tahun 2016 meliputi program pengembangan kawasan strategis
pertanian, agroindustri, dan peningkatan nilai tambah komoditas unggulan daerah, dengan detail sebagai
berikut :
a.
Pengembangan dan revitalisasi kawasan-kawasan strategis (Agropolitan, Minapolitan, Kota Terpadu
Mandiri dan Kawasan Industri)
Pengembangan kawasan strategis sebagai prioritas investasi. Beberapa program kerja yang akan
dilaksanakan:
Pengembangan pendidikan kejuruan berbasis komoditas unggulan kawasan strategis.
Peningkatan fasilitasi investasi dan peran sektor swasta dalam pengembangan kawasan strategis.
Penyediaan infrastruktur ekonomi kawasan (irigasi, jalan kawasan, jalan akses, terminal, bandara,
pelabuhan)
Penyediaan infrastruktur dasar (air bersih, listrik).
Pembangunan pusat distribusi logistik, sistem informasi pasar kawasan strategis serta penyediaan
akses pembiayaan.
Pemenuhan bibit/benih unggul, pupuk dan saprodi secara mandiri lewat penangkar, koperasi
Peningkatan kualitas SDM petani dan penyuluh.
Penyelenggaraan reformasi agrarian yaitu 2 ha per KK.
b.
Peningkatan realisasi investasi yang terkait dengan agroindustri
Pangsa sektor pertanian Aceh yang besar perlu untuk dioptimalkan dengan meningkatkan nilai tambah
melalui industrialisasi sektor pertanian. Beberapa program kerja yang akan dilaksanakan:
Pengembangan science dan techno park
Penyediaan tenaga terampil (BLK, SMK, Politeknik) serta pengembangan mental kewirausahaan
Peningkatan kepastian regulasi dan arbritase hubungan industrial
Penyediaan infrastruktur dasar dan konektivitas
Penyediaan kawasan industri dan infrastruktur penunjang kawasan
Peningkatan kualitas proses perizinan yang mudah dan cepat melalui SOP dan whistleblowing sistem
Penyediaan informasi potensi daerah
c.
Peningkatan nilai tambah produk komoditas unggulan
Peningkatan komoditas bahan pangan (padi) serta perkebunan (kopi, karet dan kelapa sawit). Beberapa
program kerja yang akan dilaksanakan:
Peningkatan jumlah dan kualitas wirausaha, IKM, UKM
Pemanfaatan teknologi produksi dan pemasaran serta penyediaan akses pembiayaan
Peningkatan fasilitasi kemitraan IKM/UKM dengan industri besar
Peningkatan fasilitasi inovasi produk berbasis pasar dan investasi berbasis pertanian
Pengembangan kawasan industri berbasis pertanian
Penyediaan sistem informasi pasar
Rehabilitasi lahan kritis Daerah Aliran Sungai (DAS) pantai, rawa dan gambut
Peningkatan jaringan irigasi bendungan waduk dan embung
Pengembangan iklim investasi yang kondusif
Laporan Nusantara| 22
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian Jawa melambat pada triwulan I 2015 relatif terhadap kinerja triwulan IV 2015. Pertumbuhan
ekonomi Jawa pada triwulan I 2015 tercatat pada level 5,2% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan
capaian pertumbuhan pada triwulan IV 2014 sebesar 6,1% maupun proyeksi pada triwulan sebelumnya.
Perlambatan ekonomi didorong oleh menurunnya kinerja di hampir seluruh komponen pembentuk PDRB Jawa
dari sisi permintaan. Perlambatan konsumsi rumah tangga di Jawa terutama dipengaruhi oleh faktor base
effect belanja Pemilu 2014, dan tekanan di sisi harga sebagai dampak dari penyesuaian harga BBM.
Tertundanya persetujuan beberapa APBD Provinsi di Jawa dan terbatasnya penyerapan anggaran sesuai pola
awal tahun, menyebabkan penurunan komponen PDRB dari belanja pemerintah. Sementara itu, turunnya
realisasi nilai PMA turut menekan pertumbuhan investasi sektor swasta, meskipun jumlah proyek investasi
PMDN cenderung masih meningkat. Kinerja ekspor luar negeri turun, yang diikuti oleh melambatnya
pertumbuhan impor. Dari sisi sektoral, kinerja sektor perdagangan besar dan eceran, serta industri pengolahan
mengalami perlambatan, akibat melemahnya konsumsi domestik dan terbatasnya perdagangan antardaerah.
Sedangkan, sektor pertanian tumbuh positif seiring tibanya panen raya komoditas padi, bawang dan cabai
merah pada awal tahun
Tracking perekonomian Jawa pada triwulan II 2015 mengindikasikan adanya perbaikan kinerja relatif terhadap
triwulan I 2015. Perekonomian Jawa diprakirakan mampu tumbuh sebesar 5,7%, yang dikonfirmasi oleh
sejumlah indikator di sektor perdagangan besar dan eceran, serta industri pengolahan. Proyeksi ini juga
didukung oleh meningkatnya permintaan memasuki bulan Ramadhan dan periode tahun ajaran baru. Asumsi
menguatnya perekonomian negara Jepang, Eropa dan Asia mendorong optimisme terhadap kinerja ekspor
utama manufaktur Jawa, yaitu makanan minuman, TPT, alas kaki dan mebel. Sementara itu, peningkatan
minat investasi termasuk dari investor asing, terindikasi pada program strategis pemerintah, yakni industri
7
pendukung pengembangan infrastruktur dan industri kemaritiman . Komitmen pemerintah pusat dalam
menggenjot realisasi belanja APBN-P di bidang infrastruktur, pertanian dan kemaritiman turut menjadi insentif
bagi pelaku usaha guna meningkatkan investasinya. Selain itu, mulai terealisasinya belanja APBD Provinsi DKI
Jakarta yang terkendala dalam penetapannya, turut menjadi faktor pendukung kinerja perekonomian pada
triwulan berjalan. Dari sisi sektoral, perbaikan ekonomi didorong oleh peningkatan kapasitas produksi sektor
industri pengolahan serta omset penjualan sektor perdagangan besar dan eceran. Asumsi perbaikan ekonomi
Wilayah Timur Indonesia juga dipersepsikan positif oleh pelaku usaha terkait dengan potensi peningkatan
kinerja perdagangan antar daerah.
Ekonomi Jawa berpotensi tumbuh sedikit lebih tinggi pada keseluruhan tahun 2015 relatif terhadap tahun
sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Jawa pada tahun 2015 diprakirakan berada pada batas atas kisaran 5,5% 5,9%, lebih tinggi daripada pertumbuhan tahun 2014 (5,6%). Kondisi ini sejalan dengan relatif terjaganya
persepsi masyarakat dan pelaku usaha terhadap kondisi perekonomian dan membaiknya prospek perdagangan
luar negeri. Terjaganya stabilitas ekonomi makro, peningkatan signifikan dari belanja infrastruktur pemerintah,
dan pemberian insentif fiskal pada industri dalam negeri diyakini memberikan sentimen positif pada
perekonomian Jawa di 2015. Adapun optimisme pada perdagangan luar negeri dipengaruhi oleh positifnya
prospek perekonomian beberapa negara mitra dagang, utamanya Jepang, Eropa dan Asia. Dari sisi penawaran,
sumber pertumbuhan berasal dari sektor perdagangan besar dan eceran, sektor industri pengolahan, dan
sektor pertanian. Meski pelaku usaha pada sektor industri pengolahan memperkirakan masih terjaganya iklim
7
Liaison Prov. Jatim, Banten dan Jabar.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 23
usaha, terdapat sejumlah downside risk khususnya terkait dengan kenaikan biaya produksi (upah minimum,
biaya energi dan bahan baku). Selain itu, juga terdapat risiko dari relatif lebih lambatnya perbaikan ekonomi
global serta pelemahan kinerja ekonomi Sumatera dan Kalimantan yang menjadi pasar tujuan bagi produk
manufaktur Jawa. Adapun pertumbuhan tertinggi secara sektoral diproyeksikan pada sektor pertanian, seiring
dengan kondusifnya faktor cuaca dan adanya komitmen pemerintah dalam peningkatan produksi pangan pada
daerah sentra produksi.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Kinerja konsumsi rumah tangga Jawa tumbuh melambat pada triwulan I 2015, sebagaimana terkonfirmasi dari
hasil survei konsumen. Indeks keyakinan terhadap kondisi ekonomi mengalami penurunan, meskipun indeks
omset penjualan riil, masih terindikasi tumbuh moderat. Menurunnya persepsi terhadap kondisi
perekonomian sejalan pula dengan pelemahan indikator ekspektasi tingkat penghasilan dan ketersediaan
lapangan kerja pada periode laporan. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi faktor
dari tekanan harga yang berpengaruh pada melemahnya daya beli masyarakat dan penurunan kinerja
konsumsi rumah tangga. Perlambatan konsumsi rumah tangga tercermin dari hasil survei yang
mengindikasikan 70% responden berpendapat dampak kenaikan BBM cukup signifikan, sehingga terdapat
rencana mengurangi pengeluaran, khususnya pada kelompok barang tahan lama.
Grafik III.1
Indeks Penjualan Eceran (SPE)
Grafik III.2
Kinerja Kredit Konsumsi
2014
2015
(Rp. Triliun)
Belanja Infrastruktur
Jawa
9.6
10.3
DKI Jakarta
29.0
28.6
Total
38.6
38.9
Grafik III.3
Indeks Keyakinan Konsumen
%
Kenaikan
7.3
-1.4
0.8
Belanja Lainnya
Jawa
230.4
DKI Jakarta
40.2
Total
270.6
295.7
43.2
338.9
28.3
7.5
25.2
Total APBD
Jawa
DKI Jakarta
Total
306.0
71.9
377.9
27.5
3.8
22.2
240.0
69.3
309.3
Tabel III.1
Struktur APBD Kawasan Jawa 2014 – 2015
Dampak pelemahan nilai tukar ditengarai turut berdampak pada penurunan penjualan ritel sejumlah kelompok
barang khususnya pada barang elektronik. Masih tingginya kandungan impor bahan baku mendorong para
pelaku usaha untuk menaikkan harga jual. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok impor barang konsumsi.
Dalam menyikapi kenaikan harga tersebut, kelompok rumah tangga cenderung menahan belanja yang
L a p o r a n N u s a n t a r a | 24
tercermin pada pelemahan indeks omset penjualan eceran (Grafik III.1). Sementara itu, indikator pembiayaan
kelompok rumah tangga yang bersumber dari perbankan masih tumbuh moderat, sebagaimana tercermin dari
data penyaluran kredit multiguna dan kredit kendaraan bermotor. Penurunan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)
pada hampir seluruh bank besar, sebesar 0,25% (qtq) pada Triwulan I 2015, diperkirakan turut mendorong
permintaan kredit konsumsi pada periode laporan (Grafik III.2). Sebelumnya perbankan juga telah menurunkan
suku bunga deposito di kisaran 0,25% yang direspon kelompok rumah tangga dengan penurunan alokasi dana
simpanan di perbankan.
Pada triwulan II 2015, kinerja konsumsi rumah tangga berpotensi membaik seiring dengan meningkatnya
belanja masyarakat pada bulan Ramadhan dan masa persiapan tahun ajaran baru. Perkiraan ini juga didasari
oleh adanya persepsi positif terhadap membaiknya ekonomi domestik yang tercermin dari indeks pengeluaran
dan pendapatan bulanan rumah tangga, serta ekspektasi omset penjualan eceran dalam 3 bulan yang akan
8
datang . Potensi pencairan gaji ke-13 lebih awal dibandingkan dengan tahun sebelumnya (triwulan III 2014)
turut menjadi faktor pendukung kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan berjalan. Demikian pula adanya
realisasi proyek pembangunan infrastruktur di Jawa yang sebagian besar memperkerjakan tenaga kerja lokal,
turut berkontribusi pada tumbuh meningkatnya konsumsi rumah tangga. Selain itu, pergeseran panen raya
yang umumnya terjadi pada bulan Maret-April, berpotensi mendorong peningkatan pendapatan kelompok
rumah tangga tani. Adapun risiko yang dapat menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga untuk tumbuh
lebih tinggi, bersumber dari faktor risiko dari potensi penyesuaian harga BBM dan Tarif Tenaga Listrik (TTL).
Konsumsi Pemerintah
Pada triwulan I 2015, belanja pemerintah di Jawa tumbuh lebih rendah, seiring dengan terbatasnya belanja
fiskal pemerintah pusat dan tertundanya pengesahan APBD Provinsi DKI Jakarta. Dampak tertundanya
pengesahan APBD Provinsi DKI Jakarta turut dirasakan pelaku usaha daerah yang menjadi pemasok sejumlah
proyek besar di DKI Jakarta. Selain itu, juga ditemui adanya beberapa Kabupaten/Kota yang belum melakukan
pengesahan APBD hingga akhir triwulan, di antaranya Kabupaten Blora dan Kabupaten Pangandaran. Belanja
pemerintah yang tumbuh terbatas juga dipengaruhi oleh belum disalurkannya Dana Bagi Hasil (DBH) di
beberapa Provinsi serta perlambatan di sektor usaha riil yang memengaruhi realisasi pendapatan pajak dan
retribusi (pendapatan asli daerah). Namun, terbatasnya pembiayaan belanja Pemerintah di Jawa masih dapat
9
dipenuhi oleh SILPA yang relatif besar pada tahun 2014.
Tracking realisasi belanja pemerintah pada triwulan II terindikasi meningkat seiring dengan telah
ditetapkannya APBD DKI Jakarta 2015 yang menggunakan postur anggaran tahun 2014. Meski realisasi belanja
di DKI Jakarta terindikasi dimulai pada akhir Mei 2015, namun dorongan dalam pengoptimalan sistem ebudgeting diharapkan dapat mempercepat proses pengadaan barang dan jasa. Potensi perbaikan realisasi
belanja daerah juga dipengaruhi oleh peningkatan alokasi belanja seluruh Pemerintah Provinsi di Jawa sebesar
25,2% pada 2015 yang sebagian dialokasikan pada belanja pegawai, termasuk alokasi untuk pembayaran gaji
ke-13. Dengan majunya Lebaran mendekati triwulan II 2015, diperkirakan pencairan gaji ke-13 akan dilakukan
pada triwulan berjalan. Selain itu, penyesuaian ketentuan mengenai larangan penyelenggaraan rapat di hotel
oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), juga diprediksi akan mendukung perbaikan belanja barang dan pegawai.
Investasi
Realisasi belanja investasi swasta di Jawa tumbuh sedikit melambat dari 4,7% (yoy) pada triwulan IV 2014
menjadi 4,6% (yoy) pada triwulan I 2015, sebagaimana tercermin dari realisasi nilai investasi Penanaman
Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang mencapai lebih dari Rp350 triliun.
8
Survei Konsumen (SK) dan Survei Penjualan Eceran Kawasan Jawa.
9
Sisa lebih anggaran tahun sebelumnya yang menjadi penerimaan pada tahun berjalan (SILPA) adalah selisih antara surplus/defisit APBD
dengan pembiayaan neto.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 25
10
Perlambatan tersebut searah dengan hasil likert scale kegiatan liaison Jawa yang mengalami penurunan
(Grafik III.7). Selain itu, capaian belanja infrastruktur skala besar juga masih tergolong rendah. Kendala
terbesar masih bersumber dari sulitnya negosiasi pembebasan lahan proyek dan kendala dalam proses
birokrasi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Dari sisi teknis, kendala juga terkait dengan
kapasitas institusi daerah yang belum cukup memadai untuk mengelola proyek skala besar.
Grafik III.4
Kinerja Investasi PMA
Grafik III.5
Kinerja Investasi PMDN
Grafik III.6
Likert Scale Investasi dan perkiraannya
Grafik III.7
Likert Scale Ekspor dan Impor
Pada triwulan II 2015, kinerja investasi baik yang berasal dari sumber swasta maupun pemerintah diprediksi
membaik. Berdasarkan hasil liaison, minat investasi asing meningkat khususnya pada proyek infrastruktur
pemerintah serta beberapa industri yang memperoleh insentif pengurangan biaya masuk impor bahan baku.
Investasi pembangunan infrastruktur yang saat ini masih sebagian besar didanai pemerintah, secara khusus
untuk mendukung peningkatan kapasitas maupun perbaikan prasarana dan sarana di sektor pertanian
(pembangunan waduk dan rehabilitasi jaringan irigasi) serta sektor transportasi (jalan, pelabuhan, bandara).
11
Dari total alokasi keseluruhan Dana Alokasi Khusus (DAK) tambahan di Pulau Jawa, 88% dialokasikan untuk
mendukung pencapaian program ketahanan pangan.
Perdagangan
Ekspor
Pada triwulan I 2015, kinerja ekspor Jawa tercatat tumbuh melambat. Perlambatan ini terjadi pada kelima
komoditas ekspor utama Jawa yang meliputi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), makanan minuman, elektronik,
kimia dan baja. Berdasarkan spasial, penurunan terdalam disumbang oleh DKI Jakarta. Tren penurunan harga
internasional dari komoditas industri manufaktur seperti bahan kimia dan tekstil turut memengaruhi kinerja
10
Likert scale adalah merupakan alat dalam statistik yg digunakan untuk menilai/me-ranking beberapa variabel kegiatan liaison Bank
Indonesia. Angka yg digunakan berskala (-5) hingga (+5), dengan fokus pada asesmen kondisi pelaku usaha tanpa membandingkan dengan
kondisi eksternal lainnya.
11
Pendukung Program Prioritas Kabinet Kerja (P3K2).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 26
ekspor kawasan Jawa, meskipun secara volume ekspor relatif masih stabil untuk kedua jenis komoditas
tersebut. Hasil liaison mengonfirmasi realisasi ekspor yang menurun pada industri pengolahan (Grafik III.8).
Meski demikian, ekspor ke Amerika Serikat dan Jepang tercatat tumbuh moderat, seiring dengan membaiknya
pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut. Peningkatan ekspor terjadi pada komoditas mebel untuk
pasar Amerika Serikat, serta komoditas bahan kimia organik dan hasil laut untuk pasar Jepang.
Pada triwulan II 2015, ekspor luar negeri diprakirakan tumbuh membaik, didorong optimisme pelaku usaha di
12
DKI Jakarta, Banten dan Jawa Tengah . Prospek peningkatan ekspor komoditas utama Jawa, terjadi pada
produk tekstil, kimia, dan produk makanan dan minuman dengan tujuan ke pasar Jepang dan ASEAN. Untuk
beberapa jenis komoditas tersebut, daya saing ekspor Jawa relatif baik, seiring melimpahnya bahan baku
domestik dan upaya otomasi proses produksi. Pelemahan nilai tukar rupiah ditengarai mendorong
peningkatan margin sejumlah pengusaha eksportir, khususnya yang melakukan ekspor komoditas dengan
bahan baku dalam negeri, seperti produk mebel, makanan minuman, dan alas kaki. Namun, pelemahan nilai
tukar rupiah memberi tantangan pada pelaku usaha manufaktur yang masih memiliki ketergantungan pada
impor bahan baku.
Impor
Sejalan dengan perlambatan kinerja ekspor luar negeri, transaksi impor di Jawa juga tercatat tumbuh lebih
rendah daripada triwulan I 2015. Perlambatan impor tersebut terjadi khususnya pada impor barang konsumsi
dan impor bahan baku. Turunnya impor barang konsumsi disebabkan oleh lebih mahalnya barang tersebut
terkait melemahnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, turunnya impor bahan baku untuk industri kimia,
elektronik, makanan minuman, besi baja dan TPT, disebabkan oleh melemahnya penjualan baik di pasar lokal
maupun di pasar ekspor. Sama halnya dengan tren kinerja ekspor, perlambatan impor tertinggi dikontribusikan
oleh DKI Jakarta, khususnya pada kelompok bahan baku dan barang modal. Namun secara umum, masih
tingginya kebutuhan otomasi di sektor industri, menjadi faktor penahan penurunan laju impor barang modal.
Grafik III.8
Kinerja Ekspor Jakarta & Jawa
Grafik III.9
Kinerja Impor Jakarta & Jawa
Pada triwulan II 2015, impor luar negeri diperkirakan meningkat seiring dengan optimisme perbaikan ekspor
luar negeri dan peningkatan produksi industri pengolahan untuk mengantisipasi kenaikan permintaan.
Peningkatan impor cenderung lebih didorong oleh kelompok impor bahan baku dan barang modal.
Peningkatan impor turut dipicu oleh rencana akselerasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah yang
membutuhkan besi baja, alat berat, dan peralatan konstruksi. Sementara itu, impor barang konsumsi
diperkirakan juga tumbuh meningkat terkait dengan kenaikan permintaan masyarakat memasuki bulan
Ramadhan dan persiapan Lebaran.
12
Liaison Prov. Jabar, Jateng, Jatim & Banten.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 27
Sektor Industri Pengolahan
Pada triwulan I 2015, sektor industri pengolahan di Jawa tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya.
Secara spasial, perlambatan yang terjadi pada industri pengolahan hampir di seluruh provinsi kecuali Jawa
Tengah. Kelima komoditas utama manufaktur Jawa tercatat tumbuh melambat, yakni elektronik, kendaraan
bermotor, besi dan baja, kimia dan kertas. Pelemahan tidak hanya bersumber dari transaksi ekspor luar negeri,
namun juga berasal dari dalam negeri. Pelemahan ekonomi domestik, seiring menurunnya harga komoditas
CPO dan batu bara wilayah di luar Jawa turut berdampak pada permintaan kelompok barang manufaktur
khususnya yang tergolong barang tahan lama. Penjualan otomotif dan elektronik tercatat menurun sebesar
15%-20%. Pelemahan permintaan properti juga turut dirasakan oleh industri besi dan baja. Perlambatan ini
terkonfirmasi oleh Prompt Manufacturing Index (PMI) yang berada di bawah level 50%. Berdasarkan hasil
Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), terlihat adanya perlambatan realisasi kegiatan usaha di triwulan I 2015
(Gambar III.11). Meskipun siklus penurunan realisasi kegiatan usaha umumnya terjadi triwulan I, penurunan
pada triwulan I 2015 merupakan yang paling dalam di tiga tahun terakhir.
Kenaikan harga energi yang disertai kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), terus mendorong
tingginya biaya produksi yang harus ditanggung pelaku usaha. Beberapa daerah bahkan memberlakukan Upah
Minimum Kabupaten/Kota Sektoral (UMSK), yang merupakan tambahan di atas UMK dan sepenuhnya
13
menjadi kewenangan Pemerintah Dati II . Besaran UMSK dapat mencapai 5%-10% dari UMK pada industri
yang merupakan PMA dan perusahaan terbuka (Tbk). Tingkat upah yang semakin tinggi mendorong beberapa
14
perusahaan mulai beralih ke proses otomasi untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja . Dampak dari
pelemahan nilai tukar juga mendorong perlambatan yang terjadi pada sektor industri pengolahan. Hal ini
disebabkan oleh impor konten yang dimiliki perusahaan dalam negeri khususnya untuk bahan baku masih
sangat tinggi, yaitu mencapai 67,5%. Subsektor industri di wilayah Jawa, yang memiliki impor bahan baku
cukup besar, diantaranya industri logam dan produknya, mesin dan peralatan serta bahan kimia.
Subsektor industri logam dasar mengalami penurunan penjualan yang cukup drastis disebabkan permintaan
domestik yang masih rendah pada triwulan I 2015. Belum optimalnya investasi pemerintah di infrastruktur
15
pada awal tahun 2015 menjadi salah satu faktor rendahnya permintaan baja domestik . Dalam rangka
meningkatkan kinerja penjualan, perusahaan di bidang industri baja melakukan pengalihan pasar ke luar
16
negeri, di antaranya ke Thailand, Malaysia dan India . Penjualan ekspor pada komoditas kimia dan tekstil juga
cenderung tertahan, seiring dengan perkembangan ekonomi negara mitra dagang yang tidak seoptimis
perkiraan semula. Penurunan kinerja penjualan secara umum, telah menyebabkan adanya pengurangan
17
18
jumlah tenaga kerja pada sejumlah industri seperti pada industri tekstil dan komponen induksi/elektronik .
Kinerja industri pengolahan pada triwulan II 2015 diprediksi tumbuh lebih tinggi. Pada industri logam dasar,
semen dan bahan bangunan, pertumbuhan didorong oleh pembangunan infrastruktur yang akan dimulai pada
triwulan II 2015. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, disebutkan bahwa Kementerian terkait diwajibkan memilih penyedia jasa konstruksi yang
menggunakan bahan baku dasar dari dalam negeri. Hal tersebut diyakini akan meningkatkan kinerja sejumlah
industri yang mendukung pembangunan program infrastruktur. Industri pengolahan aspal juga diprediksi
19
meningkat, seiring dengan pembangunan jalan tol dan perbaikan jalan . Sementara itu, permintaan pada
subsektor industri TPT dan alas kaki diprediksi meningkat menjelang tahun ajaran baru dan Lebaran.
13
14
15
16
17
18
19
Berdasarkan hasil liaison di Jawa Timur.
Berdasarkan hasil liaison di Jawa Barat.
Berdasarkan hasil liaison di Jawa Timur.
Berdasarkan hasil liaison di Banten.
Berdasarkan hasil liaison di Jawa Timur.
Berdasarkan hasil liaison di Banten.
Berdasarkan hasil liaison di Jawa Tengah.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 28
Grafik III.10
Realisasi dan Ekspektasi Kegiatan Usaha (SKDU) serta Likert
Scale Penjualan Manufaktur
Grafik III.11
Produksi Industri. Kendaraan Bermotor
Sektor Konstruksi
Kinerja sektor konstruksi di Jawa tumbuh stabil pada triwulan I 2015 relatif terhadap triwulan IV 2014.
Pertumbuhan sektor ini lebih banyak disumbang oleh kelanjutan proyek investasi swasta yang belum
terselesaikan pada tahun 2014. Belanja infrastruktur pemerintah juga masih belum optimal pada awal tahun
2015. Hal ini terkait dengan masih banyaknya kendala dalam pembebasan lahan serta belum cukup optimalnya
dukungan dana APBD. Beberapa provinsi di Jawa turut mengonfirmasi rendahnya kinerja sektor konstruksi
sebagaimana tercermin dari data konsumsi semen (Grafik III.12) dan impor besi baja (Grafik III.13). Pelemahan
harga properti sejak triwulan III 2014 semakin memperburuk kinerja penjualan perusahaan real estate,
sehingga turut memengaruhi terbatasnya realisasi pembangunan proyek properti di Jawa.
Grafik III.12
Konsumsi Semen Pulau Jawa
Grafik III.13
Total Impor Besi dan Baja
Kinerja sektor konstruksi diprediksi mengalami peningkatan pada triwulan II 2015, seiring dengan
meningkatnya belanja investasi swasta pada sektor industri dan program percepatan pembangunan
infrastruktur pemerintah. Sebagaimana diutarakan pelaku usaha pada industri makanan minuman, kimia dan
kendaraan bermotor, terdapat rencana pembangunan pabrik guna menambah kapasitas produksi seiring
dengan meningkatnya permintaan pasar domestik. Tercatat sejumlah proyek fisik infrastruktur skala besar
yang berjalan pada triwulan II 2015 di Jawa, di antaranya proyek MRT di DKI Jakarta, pembangunan waduk
Karian di Banten, pembangunan jalan tol Solo-Ngawi-Kertosono, dan pengembangan pelabuhan Merak di
Banten. Di samping itu juga terdapat pembangunan proyek infrastruktur lain dalam skala yang lebih kecil yang
tersebar di seluruh wilayah Jawa. Namun, realisasi pembangunan industri smelter di Jawa Timur masih
terkendala masalah pembebasan lahan dan perizinan.
Sektor Pertanian
L a p o r a n N u s a n t a r a | 29
Sektor pertanian Jawa tumbuh lebih tinggi pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Secara spasial, seluruh provinsi mengalami peningkatan produksi kecuali di Jawa Timur. Secara umum, sektor
pertanian di wilayah Jawa mengalami peningkatan memasuki musim panen. Hal ini juga dipengaruhi oleh
pergeseran musim panen ke Maret-April. Inisiatif dalam penerapan sistem pola tanam yang lebih maju cukup
20
berhasil meningkatkan kualitas produksi tanaman pangan . Penggunaan mekanisasi alat-alat pertanian juga
21
berdampak pada peningkatan efisiensi produksi . Produksi untuk subsektor peternakan juga mengalami
peningkatan, khususnya untuk ternak ayam dan sapi yang didukung dengan masuknya sejumlah investasi
swasta. Di sisi lain, realisasi kredit sektor pertanian tumbuh melambat yang mengindikasikan belum adanya
dukungan pembiayaan secara lebih optimal.
Grafik III.14
Perkembangan Kinerja Kredit Pertanian
Grafik III.15
Likert Scale Sektor Pertanian
Produksi sektor pertanian di triwulan II 2015 diprediksi mengalami penurunan yang disebabkan oleh
pergeseran musim tanam dan faktor cuaca. Panen pada triwulan berjalan relatif lebih tersebar dan dalam skala
yang lebih kecil mengingat puncak musim panen terbagi antara bulan Maret dan April. Panen masih berpotensi
terjadi di beberapa daerah yang areal sawahnya sempat terkena banjir dan hama. Terkait dengan faktor cuaca,
hingga saat ini belum terdapat indikasi menguatnya risiko El Nino, meski curah hujan di sejumlah daerah telah
berkurang yang akan memengaruhi masa tanam. Penurunan produksi juga diproyeksikan untuk sejumlah
komoditas hortikultura seperti bawang merah yang terpengaruh oleh faktor cuaca dan gangguan hama. Pada
subsektor peternakan, produksi daging dan telur ayam di Jawa Tengah dan Jawa Timur diperkirakan meningkat
untuk mengantisipasi kenaikan permintaan menjelang Lebaran.
PERKEMBANGAN INFLASI
Tingkat inflasi Jawa melambat signifikan pada triwulan I 2015, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Inflasi Jawa tercatat sebesar 6,31% (yoy), lebih rendah dari inflasi pada triwulan IV 2014 yang mencapai 8,35%.
Inflasi wilayah Jawa tersebut juga tercatat sedikit lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi nasional sebesar
6,38% pada triwulan I 2015. Menurut disagregasi kelompoknya, inflasi tertinggi masih disumbang oleh
kelompok administered prices sebesar 12,19%, disusul oleh volatile food sebesar 8,04% (yoy) dan core inflation
sebesar 4,43%. Meredanya tekanan inflasi di triwulan I 2015 lebih banyak disebabkan oleh kelompok
administered prices, terkait penurunan harga BBM oleh Pemerintah. Turunnya harga BBM tersebut
berpengaruh pada deflasi komoditas bensin dan transport, meskipun terdapat penyesuaian tarif moda
transportasi kereta api yang menahan penurunan inflasi lebih lanjut pada komoditas yang ada pada kelompok
transportasi. Sementara itu, beberapa komoditas dalam kelompok volatile food seperti cabai merah, cabai
rawit dan bawang merah telah memasuki masa panen raya, yang membuat pasokan tersedia dalam jumlah
cukup banyak di pasar dan mampu menurunkan harga. Adapun produksi beras terganggu karena tertundanya
20
21
Berdasarkan hasil liaison di Jawa Barat.
Berdasarkan hasil liaison di Jawa Tengah.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 30
masa panen, sehingga membuat harga beras melonjak. Meskipun demikian, masa panen raya padi pada bulan
Maret 2015 relatif mampu untuk meredam tekanan harga beras pada akhir triwulan.
Grafik III.16
Perkembangan Inflasi
Grafik III.17
Disagregasi Kelompok Inflasi
Dari sisi inflasi inti (core inflation), tekanan cukup stabil. Tekanan inflasi lebih banyak berasal dari pelemahan
nilai tukar tupiah terhadap dollar AS (depresiasi mencapai 1,13%, mtm atau 3,28%, yoy). Hal ini berdampak
kepada peningkatan harga barang impor. Secara spasial, Provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Timur,
merupakan wilayah yang mencatat inflasi inti cukup tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di Jawa.
Tingkat inflasi wilayah Jawa pada triwulan II 2015 diperkirakan akan kembali meningkat. Tekanan inflasi yang
meningkat tersebut dikonfirmasi oleh hasil survei konsumen terhadap perkiraan harga 3 bulan yang akan
datang. Kenaikan inflasi seiring dengan penyesuaian harga di kelompok administered prices, yaitu harga BBM
dan LPG (kenaikan harga LPG 12 Kg dilakukan pada awal April 2015). Hal ini memberikan tekanan inflasi pada
komoditas bensin, bahan bakar rumah tangga dan tarip angkutan. Selain dari dampak penyesuaian harga BBM,
kenaikan tarif kereta api untuk jarak menengah dan jarak jauh per 1 April 2015 juga turut memberikan tekanan
inflasi dari kelompok administered prices. Sementara tekanan dari kelompok volatile food bersumber dari
menurunnya pasokan bawang merah dan daging ayam,di tengah permintaan yang meningkat memasuki bulan
Ramadhan di akhir triwulan II 2015. Berakhirnya musim panen untuk beberapa komoditas seperti cabai merah
dan cabai rawit juga akan menambah tekanan inflasi dari kelompok volatile foods. Meski demikian kenaikan
inflasi lebih lanjut diperkirakan dapat tertahan oleh lancarnya pasokan beras dari berbagai wilayah di pulau
Jawa yang sudah memasuki masa panen raya di awal triwulan II 2015. Inflasi inti diperkirakan masih cukup
stabil hingga akhir triwulan II 2015.
Grafik III.18
Pemetaan Risiko Inflasi
Grafik III.19
Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Pada awal tahun 2015, seluruh TPID Provinsi di wilayah Jawa telah menyusun arah pengendalian inflasi
(roadmap). Arah pengendalian inflasi tahun 2015 – 2019 yang difokuskan pada komoditas dengan andil inflasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 31
besar serta memiliki frekuensi yang tinggi sebagai penyumbang inflasi (Grafik III.18). Komoditas yang
mendapat perhatian dalam roadmap tersebut adalah komoditas yang termasuk dalam kelompok volatile food.
Terkait dengan hal ini peran daerah peran daerah menjadi sangat penting dalam menentukan langkah-langkah
konkrit untuk menjaga kestabilan harga.
Melalui hasil rapat koordinasi TPID wilayah Jawa, diidentifikasi lima komoditas yang dipandang memilik andil
yang besar dalam pembentukan inflasi di wilayah Jawa. Kelima komoditas tersebut adalah beras, cabai merah,
bawang merah, daging ayam ras dan telur ayam ras. Dalam pemetaan permasalahan jangka pendek maupun
struktural terkait menjaga kestabilan harga kelima komoditas tersebut, beberapa hal menjadi perhatian, yakni
produksi, infrastruktur, teknologi, tata niaga dan kelembagaan. Dalam menjawab permasalahan tersebut,
ditetapkan sejumlah langkah strategis pengendalian inflasi melalui TPID wilayah Jawa sebagai berikut:
1. Penguatan fungsi kelembagaan dan regulasi (hingga level Kabupaten/Kota).
2. Pengoptimalan proses produksi, distribusi dan konektivitas.
3. Penguatan kerjasama dan sinergi antardaerah (Pusat, Provinsi & Kabupaten/Kota).
4. Peningkatan penyediaan riset dan informasi.
5. Pengarahan ekspektasi masyarakat melalui komunikasi dan edukasi
Sementara itu, dalam upaya menghadapi tantangan pengendalian inflasi pada tahun 2015, TPID wilayah Jawa
juga telah mengidentifikasi permasalahan yang berpotensi memiliki dampak relatif besar pada inflasi. Adapun
program prioritas TPID untuk mengendalikan permasalahan dimaksud adalah sebagai berikut:
Kesiapan
No.
Permasalahan Inflasi
Dampak
Program Prioritas 2015
TPID
Lonjakan permintaan pada hari-hari
 Terlaksananya
1
Besar
Tinggi
besar keagamaan (hampir untuk semua
operasi pasar untuk
komoditas strategis)
8 komoditas
Ekspektasi masyarakat terhadap harga
strategis saat peak
cenderung meningkat dalam menyikapi
2
Besar
Tinggi
season (seperti bulan
suatu situasi/kondisi tertentu
ramadhan dan idul
Pola tanam yang belum terstruktur
fitri)
3
Besar
Menengah
dengan
baik
(khususnya
untuk
 Penyusunan program
komoditas beras, cabai, bawang)
pengelolaan
Biaya pakan ternak yang cukup mahal
ekspektasi
4
Besar
Menengah
dan
bergantung
kepada
hanya
masyarakat
beberapa perusahaan
 Pemberian bantuan
Besarnya modal yang dibutuhkan
sarana produksi
dalam
selama
proses
produksi
5
Menengah
Tinggi
(khususnya untuk komoditas beras,
pertanian untuk
cabai, bawang)
memutus
Jumlah produksi komoditas yang masih
ketergantungan
6
Menengah
Tinggi
rendah
kepada tengkulak
Terdapat asimetri informasi harga
 Meningkatkan
koordinasi dengan
7
Menengah
Menengah
PD pasar dan asosiasi
produsen
Tabel III.2
Permasalahan Inflasi dan Program Prioritas 2015
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Perkembangan penyaluran kredit bank umum berdasarkan lokasi proyek di wilayah Jawa pada akhir triwulan I
2015 menunjukkan perlambatan relatif terhadap triwulan sebelumnya. Total penyaluran kredit di Jawa
L a p o r a n N u s a n t a r a | 32
mencapai Rp2.556 triliun atau tumbuh sebesar 11,7% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan akhir triwulan
IV 2014 (12,1%). Adapun perlambatan penyaluran kredit terbesar terjadi pada kredit investasi, sejalan dengan
tren perlambatan perekonomian Jawa pada triwulan I 2015. Hal ini menunjukkan perilaku prosiklikalitas
perbankan yang cenderung untuk menahan penyaluran kredit ketika terjadi perlambatan perekonomian.
Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) di wilayah Jawa tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. DPK
tumbuh 16,9% pada akhir triwulan I 2015, meningkat dibandingkan dengan akhir triwulan sebelumnya yang
tumbuh 12,9%. Total DPK pada triwulan I 2015 di Jawa mencapai Rp 3.235 triliun dan apabila dilihat dari rasio
Loan to Deposit (LDR) terhadap penyaluran kredit berdasarkan lokasi proyek, maka LDR pada akhir triwulan I
2015 tercatat sebesar 79,0%, turun dari akhir triwulan sebelumnya yang mencapai 80,6%. Komposisi dari
penghimpunan dana terbesar berupa deposito dengan pangsa sebesar 52,7%, diikuti tabungan sebesar 24,3%
dan giro sebesar 23,0%. Meskipun komposisi DPK dalam bentuk deposito masih yang terbesar, apabila
dicermati lebih lanjut, mayoritas jangka waktu dari deposito tersebut adalah jangka pendek (jangka waktu 1-3
bulan) yang mencapai 77% dari total nilai deposito. Hal ini sejalan dengan tren perlambatan penyaluran kredit
investasi yang pada umumnya merupakan kredit jangka menengah-panjang.
Dari sektor korporasi, pertumbuhan penyaluran kredit mengalami perlambatan. Pada akhir triwulan I 2015,
penyaluran kredit kepada sektor korporasi mencapai Rp1.462 triliun atau tumbuh 11,7%, lebih rendah
dibandingkan dengan akhir triwulan IV 2014 (12,3%). Sementara itu, penyaluran kredit di sektor rumah tangga
juga dalam tren melambat, meskipun tidak sedalam perlambatan pada sektor korporasi. Penyaluran kredit di
sektor rumah tangga mencapai Rp 605,5 triliun atau tumbuh 11,3% ada akhir triwulan I 2015, sedikit melambat
dibandingkan akhir triwulan sebelumnya (12,0%).
Grafik III.20
Perkembangan Kredit & Dana Pihak Ketiga
Grafik III.21
Perkembangan Kredit Korporasi & RT
Ketahanan Sektor Korporasi
Prilaku prosiklikalitas penyaluran kredit perbankan, depresiasi nilai tukar, dan belum pulihnya kondisi ekonomi
global, semakin meningkatkan kehati-hatian perbankan untuk menyalurkan kredit pada sektor korporasi.
Penyaluran kredit yang melambat diikuti oleh peningkatan rasio NPL ke level 2,1% dibandingkan akhir triwulan
sebelumnya yang sebesar 1,9%. Penyaluran kredit dalam valuta asing yang memiliki pangsa sebesar 29% dari
total kredit juga mengalami kenaikan NPL menjadi 2,6% dibandingkan pada akhir triwulan IV 2014 sebesar
2,4%. Meski demikian, tingkat NPL keseluruhan maupun kredit dalam valuta asing masih dalam batas aman.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 33
Grafik III.22
Pertumbuhan & NPL Kredit Korporasi
Grafik III.23
Kredit Korporasi Sektor Utama
Secara sektoral, penyaluran kredit masih didominasi oleh dua sektor ekonomi utama wilayah Jawa, yaitu
22
sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran . Penyaluran kredit korporasi
terbesar pada triwulan I 2015 tercatat pada sektor industri pengolahan yang mencapai Rp489,9 triliun atau
memiliki pangsa 33,7% dari total kredit korporasi, diikuti penyaluran kredit kepada sektor perdagangan hotel
dan restoran yang mencapai Rp 280,0 triliun (pangsa 19,3%). Sementara itu, penyaluran kredit pada sektor
pertanian, yang juga merupakan salah satu sektor utama di Jawa, relatif masih rendah. Kredit untuk sektor
pertanian, pada akhir triwulan I 2015 hanya mencapai Rp57,1 triliun (3,9% dari total kredit). Seperti yang
terlihat pada Grafik III.24, penyaluran kredit kepada sektor yang berada di bawah garis ambang batas NPL
secara umum masih berpotensi ditingkatkan, terutama pada subsektor jasa real estate serta sektor listrik, gas
dan air, yang memiliki pertumbuhan negatif. Demikian pula kredit pada sektor industri pengolahan, sektor
pertanian dan sektor penyediaan akomodasi dan makanan minuman, meski pertumbuhannya sudah berada di
atas rata-rata, masih dapat ditingkatkan mengingat kualitas kredit yang terjaga baik.
Secara spasial, penyaluran kredit sektor pertanian di Jawa Timur justru mengalami penurunan menjadi sebesar
15,1% pada akhir triwulan I 2015. Rendahnya porsi pembiayaan ke sektor pertanian antara lain karena asumsi
perbankan bahwa sektor pertanian memiliki risiko kredit yang cukup tinggi dibandingkan sektor lainnya. Meski
demikian, rasio NPL kredit sektor pertanian pada akhir triwulan I 2015 tercatat sebesar 1,6%, lebih rendah dari
rasio NPL kredit sektor industri pengolahan maupun sektor perdagangan besar dan eceran yang masingmasing sebesar 2,0% dan 3,9%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian cukup potensial untuk dibiayai,
terlebih lagi dengan adanya target swasembada pangan oleh pemerintah.
Sektor Ekonomi
Pertanian, Perburuan dan Kehutanan
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air
Konstruksi
Perdagangan Besar dan Eceran
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi
Real Estate dan Jasa Perusahaan
Jawa
g
NPL
28.38 1.60
18.14 1.98
-5.62 1.08
40.21 3.96
11.70 3.18
21.08 1.01
3.98 2.97
-2.42 1.54
Jawa Barat
Banten
DKI Jakarta
DIY
Jawa Tengah Jawa Timur
g
NPL
g
NPL
g
NPL
g
NPL
g
NPL
g
NPL
30.27 1.59 42.25 31.71 0.37 40.16 0.48 11.58 30.90 -15.08 0.78
13.16 2.30 21.91 2.56 14.54 2.15 13.07 0.85 28.01 1.77 22.40 1.19
-1.79 1.70 -18.18 0.71 0.32 1.16 21.63 -9.98 0.04 -30.00 0.29
42.72 5.88 94.01 1.96 38.21 3.31 186.85 2.63 21.56 2.92 21.85 6.90
28.00 1.33 13.48 4.25 8.86 3.29 16.23 0.94 20.56 2.67 10.67 3.95
42.23 0.83 -36.86 3.65 24.45 0.53 25.96 0.43 38.54 3.32
3.97 1.18
20.71 2.71
1.92 0.46 1.91 3.19 21.57 4.05 -2.34 4.66
1.10 2.14
-4.07 4.82 -24.80 0.38 0.35 1.22 46.88 0.03 -30.59 1.27 15.93 0.46
Tabel III.3
Perbandingan Pertumbuhan dan NPL Sektoral dan Spasial
22
Berdasarkan pengelompokan sektor dengan tahun dasar 2010 terbagi menjadi sektor perdagangan besar dan eceran, serta sektor
penyediaan akomodasi dan makanan minuman.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 34
Grafik III.24
Pertumbuhan dan NPL Kredit Sektoral
Grafik III.25
Indeks Harga Properti Residensial (IHPR)
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Tren perlambatan ekonomi di wilayah Jawa tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan penyaluran kredit di
sektor rumah tangga yaitu pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Apartemen (KPA), Kredit
Kendaraan Bermotor (KKB), dan kredit multiguna. Kredit sektor rumah tangga justru mengalami sedikit
peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Baik KPR, KPA, maupun KKB menunjukkan adanya
peningkatan pertumbuhan pada akhir triwulan I 2015. KPR yang disalurkan Bank Umum di Jawa mencapai Rp
209,6 triliun, atau tumbuh sebesar 14,0%, sedikit di atas pertumbuhan pada akhir triwulan sebelumnya
sebesar 13,7%. Pertumbuhan penyaluran kredit KPR juga sejalan dengan Indeks Harga Properti Residensial
(IHPR) yang pada triwulan I 2015 juga tumbuh moderat. Penyaluran KPA tumbuh meningkat dari 3,8% pada
akhir triwulan IV 2014 menjadi 4,3% dengan nominal Rp 25,2 triliun pada akhir triwulan I 2015. Sementara itu,
penyaluran kredit multiguna mencapai Rp 294,3 triliun, tumbuh 11,9% pada pada akhir triwulan I 2015,
meningkat dari akhir triwulan IV 2014 (tumbuh 10,3%). Dari seluruh penyaluran kredit rumah tangga, hanya
KKB yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 11,7%, melambat dibandingkan pertumbuhan pada akhir
triwulan IV 2014 (13,9%). Perlambatan pertumbuhan kredit KKB sejalan dengan menurunnya penjualan
kendaraan roda empat.
Peningkatan penyaluran kredit di sektor rumah tangga tidak diiringi dengan perbaikan kualitas kredit.
Keseluruhan kredit sektor rumah tangga mencatat penurunan kualitas kredit dari triwulan sebelumnya. Rasio
NPL pada KPR di akhir triwulan I 2015 merupakan yang tertinggi, yakni sebesar 2,1%, lebih tinggi dibandingkan
akhir triwulan sebelumnya (1,9%). Rasio NPL pada KPA tercatat 2,0% pada akhir triwulan I 2015, meningkat
dibandingkan dengan akhir triwulan sebelumnya (1,7%). Sedangkan rasio NPL pada KKB dan kredit multiguna
relatif lebih moderat, masing-masing sebesar 0,9% dan 1,1% pada akhir triwulan IV 2014 menjadi 1,0% dan
1,2% pada akhir triwulan I 2015.
Grafik III.26
Penyaluran Kredit Sektor Rumah Tangga
Grafik III.27
NPL Kredit Sektor Rumah Tangga
L a p o r a n N u s a n t a r a | 35
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa yang sedang melambat juga tidak berdampak kepada penyaluran kredit
UMKM. Jumlah kredit UMKM yang disalurkan pada akhir triwulan I 2015 mencapai Rp 428,9 triliun atau
tumbuh 16,9%. Pertumbuhan tersebut meningkat apabila dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir
triwulan IV 2014 yang tercatat sebesar 16,9% (yoy). Capaian ini mendukung kinerja perekonomian Jawa
mengingat sektor UMKM diharapkan menjadi penopang di saat perekonomian melambat. Pertumbuhan juga
terjadi pada jumlah rekening UMKM. Jumlah rekening pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 17.791.362,
meningkat hingga 32,9% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hal tersebut
menjadi salah satu indikasi meningkatnya aksesibilitas masyarakat terhadap kredit UMKM. Sementara itu,
kualitas kredit UMKM tercatat menurun dengan rasio NPL pada akhir triwulan I 2015 tercatat sebesar 3,8%,
lebih tinggi dari akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 3,4%. Dilihat dari porsinya terhadap total penyaluran
kredit secara umum, porsi kredit UMKM tercatat sebesar 16,7%, meningkat dari triwulan sebelumnya yang
sebesar 16,5%.
Grafik III.28
Penyaluran Kredit UMKM
Grafik III.29
Pertumbuhan & NPL Kredit UMKM
Kinerja Sistem Pembayaran
Pada triwulan I 2015, nilai transaksi nontunai dari penggunaan fasilitas BI RTGS tumbuh sebesar 8,3% (yoy),
yang ditopang oleh transaksi di DKI Jakarta sebagai kontributor terbesar dengan porsi 87,57% dari total
transaksi wilayah Jawa. Sebagaimana polanya pada awal tahun, transaksi RTGS dan SKN di wilayah Jawa
mengalami penurunan. Hal ini juga dipengaruhi oleh melambatnya kegiatan perekonomian wilayah Jawa.
Faktor lain yang memperlambat pertumbuhan RTGS adalah larangan transaksi dengan nominal di bawah 100
juta rupiah menggunakan RTGS. Sementara itu, kegiatan transaksi yang menggunakan SKNBI pada triwulan I
2015 menunjukkan pertumbuhan sebesar 11,7% (yoy). Volume transaksi dengan menggunakan SKNBI
mengalami penurunan pada triwulan I 2015, sesuai dengan polanya pada awal tahun.
Grafik III.30
Transaksi RTGS
Grafik III.31
Transaksi Kliring
L a p o r a n N u s a n t a r a | 36
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Berdasarkan data pengelolaan uang tunai yang diperoleh hingga triwulan I 2015, secara umum wilayah Jawa
lebih banyak menerima uang masuk (cash inflow) dibandingkan dengan uang yang keluar (cash outflow).
Sesuai dengan polanya, pada triwulan I 2015 lebih banyak terjadi penyetoran uang rupiah, sementara pada
triwulan berikutnya cenderung akan lebih banyak terjadi penarikan uang rupiah. Apabila dilihat secara spasial,
seluruh provinsi di wilayah Jawa, kecuali DKI Jakarta lebih banyak menerima penyetoran uang bila
dibandingkan dengan penarikan uang. Sementara di DKI Jakarta, penarikan uang rupiah lebih dominan
(Rp10,86 triliun pada triwulan I 2015) yang terkait dengan karakter Jakarta sebagai daerah konsumen. Secara
keseluruhan, wilayah Jawa mengalami net inflow sebesar Rp37,5 triliun pada triwulan I 2015, lebih tinggi
dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2014 yang mengalami net inflow sebesar Rp30,2 triliun.
Adapun Jawa Barat merupakan provinsi yang menerima penyetoran uang rupiah terbesar, yakni sebesar Rp5,9
triliun.
Grafik III.32
Perkembangan Netflow
Grafik III.33
Temuan UPAL
Dari sisi penemuan Uang Palsu (UPAL), jumlah laporan yang diterima terkait UPAL mengalami peningkatan
pada triwulan I 2015. Tercatat ditemukan sebanyak 39.957 lembar UPAL yang merupakan penemuan terbesar
dalam 3 tahun terakhir. Penemuan UPAL ini didorong oleh meningkatnya pemahaman masyarakat dan
perbankan terhadap uang palsu serta peran aktif kepolisian yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait
dalam menindak pelaku pemalsuan uang.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Jawa diproyeksikan sedikit lebih tinggi pada tahun 2015. Prospek pertumbuhan Jawa
berada pada batas atas kisaran 5,5%-5,9%. Optimisme perbaikan ekonomi Jawa bersumber dari Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Banten, sementara kinerja perekonomian Jawa Timur relatif terjaga. Di sisi lain,
perekonomian DKI Jakarta dan Yogyakarta diperkirakan tumbuh melambat. Kondisi ini sejalan dengan
terjaganya persepsi masyarakat dan pelaku usaha atas kondisi perekonomian dan prospek perbaikan kinerja
perdagangan luar negeri. Selain itu, juga terdapat dukungan belanja infrastruktur serta insentif fiskal pada
industri dalam negeri.
Dari sisi penawaran, sumber pertumbuhan disumbang oleh sektor ekonomi utama wilayah Jawa, yakni sektor
perdagangan besar dan eceran, sektor industri pengolahan, serta sektor pertanian. Optimisme membaiknya
kinerja perdagangan luar negeri di Jawa Barat, Jawa Timur dan Yogyakarta, seiring dengan positifnya
pertumbuhan ekonomi beberapa negara mitra dagang utama, yaitu Jepang, Eropa dan ASEAN. Adapun
pertumbuhan yang tinggi diproyeksikan pada sektor pertanian, yang didukung oleh lebih kondusifnya faktor
cuaca dan komitmen pemerintah dalam peningkatan produksi kelompok tanaman pangan dan hortikultura,
serta masuknya investasi swasta pada sektor pertanian. Adapun, pelaku usaha pada sektor industri
L a p o r a n N u s a n t a r a | 37
pengolahan masih mempertimbangkan adanya downside risk terkait kenaikan biaya produksi dari upah, biaya
energi dan bahan baku, meski iklim usaha relatif terjaga. Selain itu, relatif lebih lambatnya perbaikan ekonomi
Amerika Serikat dan Tiongkok serta pelemahan kinerja ekonomi Sumatera dan Kalimantan yang menjadi pasar
tujuan bagi produk manufaktur Jawa juga turut memengaruhi kinerja sektoral di Jawa.
Prospek Inflasi
Inflasi Jawa pada tahun 2015 diprakirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi tahun 2014 dan masih
selaras mendukung target sasaran inflasi nasional tahun 2015 (4,0% ± 1%). Tekanan inflasi pada tahun 2015
diprediksi masih akan mengikuti pola historis inflasi inti dan volatile food yang meningkat seiring dengan
kenaikan permintaan pada musim lebaran dan tahun ajaran baru. Fokus pemerintah dalam merealisasikan
pembangunan infrastruktur juga berpotensi mendorong kenaikan harga-harga pada kelompok komoditas inti.
Dari kelompok administered prices, tekanan inflasi diprakirakan berasal dari dampak tradisi mudik lebaran
yang berpotensi meningkatkan tarif angkutan transportasi jarak jauh, risiko kenaikan harga minyak dunia yang
akan ditransmisikan ke penyesuaian harga BBM, serta fluktuasi nilai tukar rupiah yang berpotensi
memengaruhi biaya energi (BBM, TTL, gas, BBM).
Sementara itu, faktor penahan inflasi diperkirakan berasal dari upaya pemerintah dalam mendukung
peningkatan produksi dan produktivitas pangan melalui peningkatan kapasitas dan kualitas infrastruktur
pertanian. Selain itu, penyesuaian harga BBM oleh Pemerintah yang dilakukan secara berkala, diharapkan
dapat mengurangi shock kenaikan harga BBM yang signifikan. Dari sisi kelompok volatile food, pemerintah
daerah terus bekerja sama dengan para petani, di antaranya menjaga kesinambungan produksi cabai melalui
program GTCK (Gerakan Tanam Cabai Kemarau). TPID di wilayah Jawa juga terus berupaya untuk melakukan
percepatan implementasi rencana program kerja yang telah disusun untuk tahun 2015. Pada keseluruhan
tahun 2015, inflasi Jawa diharapkan berada dalam rentang 3,9% - 4,3% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 38
Keputusan Pemerintah untuk menghapus subsidi BBM dinilai tepat dalam rangka mengoptimalkan sumber
daya keuangan negara yang terbatas (budget constraint) agar tepat sasaran pada program pembangunan yang
produktif mendukung perekonomian khususnya dalam jangka menengah panjang. Penghapusan subsidi
membuat harga BBM saat ini mengikuti harga keekonomian dengan penyesuaian dikaji setiap 3 bulannya.
Beradsarkan hasil survei, hal ini selain berdampak pada pengeluaran rumah tangga, juga memengaruhi
kegiatan dunia usaha, khususnya di Jawa.
Dari sisi pelaku usaha, kebijakan penghapusan subsidi berdampak pada penurunan penjualan, terutama
kelompok usaha kecil. Secara sektoral, pelaku usaha yang paling merasakan dampaknya adalah sektor
perdagangan, sektor industri pengolahan serta sektor transportasi dan perdagangan., Bagi usaha skala kecil,
penyesuaian harga jual terpaksa dilakukan sesuai dengan pergerakan harga BBM, sementara usaha skala besar
dan menengah cenderung mempertahankan harga jual untuk menjaga daya saingnya di pasar. Kondisi ini
secara umum berpengaruh kepada penurunan margin perusahaan. Namun, para pelaku usaha berharap dana
realokasi BBM dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas yang sangat
dibutuhkan dalam rangka menurunkan biaya distribusi barang.
Grafik III.34
Harapan Masyarakat Pasca Penghapusan Subsidi BBM
Grafik III.35
Realokasi Subsidi BBM yang diharapkan oleh Pelaku Usaha
Respon rumah tangga atas kenaikan harga BBM yang berdampak pada penyesuaian harga barang dan jasa
adalah mengurangi pengeluaran kelompok hiburan dan makanan jadi. Di sisi lain, penurunan harga BBM
terindikasi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap harga barang (faktor rigiditas harga). Secara umum,
rumah tangga berharap terjaganya harga pangan, disamping ekspektasi harga BBM dapat di bawah Rp 7.500,/liter baik solar maupun premium.
Tabel III.4
Simulasi Elastisitas Harga BBM & Inflasi Bensin
Grafik III.36
Dampak Penghapusan Subsidi BBM secara Spasial
L a p o r a n N u s a n t a r a | 39
Berdasarkan hasil simulasi dampak penghapusan subsidi BBM terhadap inflasi, terkonfirmasi bahwa ketika
harga BBM turun, inflasi komoditas bensin di Jawa juga turun dengan elastisitas sebesar -1,05. Secara spasial,
elastisitas terbesar terdapat di Jawa Tengah dan DIY sebesar -1,07. Hal ini mengindikasikan pelaku usaha
langsung menurunkan harga jual bensin ecerannya ketika terjadi penurunan harga BBM. Sementara itu, ketika
harga BBM naik, inflasi bensin meningkat dengan elastisitas lebih besar, yaitu 1,10. Kenaikan harga bensin
eceran tertinggi paska kenaikan harga BBM terindikasi di Jawa Timur dengan elastisitas sebesar 1,13. Secara
keseluruhan, kebijakan penghapusan subsidi BBM, diperkirakan berpotensi menambah inflasi Jawa di kisaran
1,14% (yoy) pada tahun 2015, dengan dampak terbesar di Jawa Timur sebesar 1,21% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 40
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian Kalimantan pada triwulan I 2015 melambat sangat dalam dan merupakan yang terendah
sepanjang sepuluh tahun terakhir. Kontraksi perekonomian Kalimantan Timur menjadi faktor utama
perlambatan perekonomian Kalimantan. Membaiknya kinerja perekonomian Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah, tidak mampu mempertahankan kinerja perekonomian Kalimantan mengingat kontraksi perekonomian
yang cukup dalam di Kalimantan Timur. Sementara itu, perekonomian Kalimantan Selatan masih tumbuh
stabil. Perkembangan harga dan permintaan batubara yang belum menunjukkan perbaikan berdampak negatif
pada kegiatan sektor pertambangan di Kalimantan. Selain itu, lifting gas juga mengalami penurunan, sehingga
ikut menyumbang kontraksi yang terjadi di sektor pertambangan dan industri di Kalimantan. Masih rendahnya
harga komoditas global, melemahnya permintaan, serta permasalah pada produksi gas tersebut kemudian
menyebabkan ekspor luar negeri mengalami kontraksi atau tumbuh negatif.
Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator ekonomi di berbagai daerah Kalimantan mengindikasikan
adanya sedikit perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan. Di satu sisi, harga komoditas batubara di pasar global
yang masih rendah dan perlambatan ekonomi Tiongkok, yang diduga bersifat struktural, berpengaruh pada
terbatasnya perbaikan aktivitas ekonomi Kalimantan. Di sisi lain, peningkatan produksi pertanian akan menjadi
faktor pendorong membaiknya kinerja ekonomi Kalimantan triwulan II 2015. Diperkirakan perbaikan pertanian
akan berlanjut sampai akhir tahun sehingga menjadi penopang ekonomi pada triwulan III dan IV. Meski
demikian untuk keseluruhan tahun 2015, perekonomian Kalimantan diprakirakan masih akan tumbuh
melambat. Hal tersebut dipicu oleh kinerja sektor pertambangan yang secara keseluruhan tahun 2015, belum
mengalami perbaikan secara signifikan.
Konsumsi
Konsumsi Swasta
Konsumsi swasta (konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga swasta nirlaba) berbagai daerah di
Kalimantan tumbuh melambat pada triwulan I 2015. Hal ini sejalan dengan perlambatan kinerja sektor-sektor
utama di Kalimantan. Harga komoditas ekspor yang masih rendah berdampak pada pendapatan masyarakat
yang cenderung melemah, sejalan dengan menurunnya optimisme konsumen dalam melihat perekonomiaan
saat ini (Grafik IV.1). Lebih lanjut lagi survei tendensi konsumen juga mengindikasikan adanya penurunan
ketersediaan lapangan kerja dan konsumsi barang dibandingkan dengan periode sebelumnya. Selain itu,
melemahnya konsumsi swasta juga tercermin pada penyaluran kredit konsumsi yang juga melambat.
Grafik IV.1
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Grafik IV.2
Indeks Tendensi Konsumen
L a p o r a n N u s a n t a r a | 41
Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator konsumsi rumah tangga mulai menunjukkan perbaikan dalam
level terbatas hampir di semua provinsi. Optimisme konsumen dalam memandang perekonomian ke depan
meningkat, terkonfirmasi dari Indeks Tendensi Konsumen dan indeks ekspektasi konsumen hasil survei
konsumen yang meningkat pada triwulan II 2015. (Grafik IV.1 dan Grafik IV.2).
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2015 masih tumbuh pada level yang rendah. Hal ini sejalan dengan lebih
rendahnya anggaran belanja pemerintah daerah pada APBD 2015 dibandingkan tahun sebelumnya, khususnya
di provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Menurunnya anggaran belanja di Kalimantan Timur dan
Kalimantan Utara tahun 2015, disebabkan olah lebih rendahnya anggaran pendapatan daerah, khususnya dari
Dana Bagi Hasil (DBH), akibat kinerja pertambangan yang buruk. Kondisi yang tidak kondusif ini, diperburuk
oleh realisasi APBD Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara yang masih minim. Realisasi APBD di kedua
provinsi tersebut di bawah rata-rata realisasi APBD seluruh provinsi di Indonesia, bahkan masuk dalam tiga
provinsi dengan realisasi terendah.
Pada triwulan II 2015 diperkirakan akan terjadi peningkatan konsumsi pemerintah untuk mengejar realisasi
anggaran keseluruhan tahun 2015. Di sisi lain terdapat faktor risiko dalam konsumsi pemerintah terkait
turunnya harga komoditas dan produksi migas serta batubara, sehingga menurunkan lebih dalam pendapatan
dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH), yang pada akhirnya akan mengganggu kapasitas belanja daerah.
Pendapatan
4%
Belanja
12%
PAD
9%
DBH
7%
Pegawai Barang/Jasa
5%
14%
DAU
6%
Lainnya
16%
Modal
Lainnya
21%
13%
Sumber: DJPK Kemenkeu, (diolah)
Gambar IV.1
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kalimantan Timur dan
Kalimantan Utara Tahun 2015 dibandingkan dengan Tahun 2014
Sumber : DJPK Kemenkeu (diolah)
Grafik IV.3
Perkembangan DBH dan Harga Internasional Batubara dan
Minyak
Investasi
Investasi di berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan I 2015 secara agregat mengalami perlambatan. Hal
ini terindikasi dari pertumbuhan realisasi nilai penanaman modal asing (PMA) yang lebih rendah dibandingkan
dengan periode sebelumnya, (Grafik IV.4). Melemahnya investasi juga terkonfirmasi dari hasil survei dan
liaison. Hasil survei kegiatan dunia usaha (SKDU) menunjukkan bahwa kegiatan investasi di sektor industri dan
pertambangan masih lemah, tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) yang negatif (Grafik IV.5). Lesunya
prospek batubara ke depan menjadi faktor penghambat investasi di sektor pertambangan oleh pelaku usaha.
Di sisi lain, investasi di sektor pertanian masih cukup baik, khususnya di Kalimantan Selatan. Hasil SKDU juga
mengindikasikan bahwa pelemahan investasi terjadi hampir di seluruh Kalimantan (Grafik IV.6).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 42
Sumber: BKPM, diolah
Grafik IV.4
Realisasi PMA di Kalimantan
Grafik IV.5
Investasi Hasil SKDU
Grafik IV.6
Investasi Berdasar Sektoral Hasil SKDU
Grafik IV.7
Investasi Berdasar Provinsi Hasil SKDU
Memasuki triwulan II 2015, kinerja investasi diprakirakan sedikit membaik. Peningkatan kinerja investasi
terutama didorong oleh prakiraan perbaikan investasi di Kalimantan Tengah (Grafik IV.8). Sementara itu,
investasi di provinsi lain belum mengindikasikan adanya perbaikan yang cukup signifikan, bahkan investasi di
Kalimantan Barat diprakirakan melambat. Melonjaknya investasi di Kalimantan Tengah terutama ditopang oleh
pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Di sisi lain, peran swasta dalam mendukung investasi di
Kalimantan masih kurang. Hal ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya perbaikan investasi di Kalimantan.
Dari kegiatan liaison kepada beberapa pelaku usaha di sektor pertambangan dan industri migas diperoleh
informasi yang mengonfirmasi rendahnya keterlibatan swasta pada investasi di Kalimantan, sebagaimana
tercermin dari grafik likert scale yang dalam tren menurun (Grafik IV.9). Kontak liaison menyatakan belum
akan melakukan investasi dalam waktu dekat.
Grafik IV.8
Pertumbuhan Investasi PDRB di Kalimantan
Grafik IV.9
Perkiraan Investasi Hasil Liaison dan SKDU
L a p o r a n N u s a n t a r a | 43
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan pada triwulan I 2015 masih meneruskan tren pelemahan. Kontraksi
ekspor yang terjadi pada triwulan I 2015, terkonfirmasi dari likert scale penjualan ekspor yang tercatat masih
berada di area negatif (Grafik IV.10). Ekspor utama Kalimantan, yang mengalami penurunan, yaitu batubara,
crude palm oil (CPO) dan karet (Grafik IV.11). Penurunan ekspor terjadi di sebagian besar negara tujuan ekspor
Kalimantan, kecuali Eropa (Grafik IV.12). Penurunan ekspor paling dalam terjadi pada komoditas CPO dengan
negara tujuan ekspor utama Tiongkok dan India. Kondisi ekonomi mitra dagang utama, yang masih tertekan,
menjadi salah satu penyebab turunnya permintaan terhadap ekspor Kalimantan.
Grafik IV.10
Likert Scale Penjualan Ekspor
Grafik IV.11
Pertumbuhan Ekspor Berdasar Komoditas
Grafik IV.12
Pertumbuhan Tahunan Ekspor Berdasar Negara Tujuan Utama
Grafik IV.13
Perkiraan Pertumbuhan Ekspor PDRB
Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator kinerja ekspor luar negeri Kalimantan mulai menunjukkan
perbaikan, meski dalam level yang terbatas. Perbaikan terutama didorong oleh Kalimantan Selatan, yaitu dari
sektor perkebunan. Terbatasnya perbaikan ekspor Kalimantan disebabkan oleh masih lemah kinerja ekspor
pertambangan. Ekspor batubara diperkirakan belum menunjukkan perbaikan. Hal tersebut tidak terlepas dari
perlambatan perekonomian Tiongkok, yang masih berlanjut, sehingga permintaan impor negara tersebut tetap
lemah. Selain itu, Tiongkok juga mulai membatasi impor batubara dan lebih mengutamakan penggunaan
batubara dalam negeri. Demikian pula halnya dengan ekspor migas, diperkirakan masih akan terus terkontraksi
karena belum ditemukannya sumur migas baru. Sementara itu, ekspor bahan olahan mineral, yang semula
diproyeksi akan mulai menggeliat pada triwulan II tahun 2015, diperkirakan belum akan terjadi. Hal tersebut
terkait dengan masih terbatasnya kemampuan smelter dalam mendorong ekspor pada triwulan II.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 44
Impor
Pertumbuhan impor dari luar negeri ke berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan I 2015 tercatat malambat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, hampir untuk semua jenis barang. Perlambatan terdalam terjadi
untuk jenis barang modal yang juga terkorfirmasi oleh kegiatan liaison kepada pelaku usaha di bidang
pertambangan dan pengangkutan batubara, yang menyatakan perusahaan cenderung menahan pembelian
barang modal karena faktor harga jual batubara di pasar internasional yang masih rendah. Penurunan impor
barang modal tersebut sejalan dengan perlambatan investasi. Di samping barang modal, penurunan impor
juga terjadi untuk bahan baku.
Untuk triwulan II 2015, impor luar negeri diprakirakan naik, didorong oleh peningkatan impor dari Kalimantan
Timur dan Kalimantan Tengah. Kebutuhan impor meningkat, terutama untuk jenis barang modal dan bahan
baku. Peningkatan impor barang modal, terkait dengan dimulainya proses pembangunan infrastruktur di
Kalimantan Tengah serta pembangunan smelter di Kalimantan Barat. Sementara itu, impor bahan baku yang
meningkat didorong oleh besarnya kebutuhan pupuk untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur,
seiring usia tanaman yang relatif masih muda.
Grafik IV.14
Pertumbuhan Impor Tahunan
Grafik IV.15
Perkiraan Pertumbuhan Tahunan Impor PDRB
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan
Pada triwulan I 2015 kinerja sektor pertambangan di Kalimantan menurun cukup signifikan. Pertumbuhan
sektor pertambangan mengalami kontraksi 1,2%, dari sebelumnya tumbuh 4,5%. Penurunan kinerja
pertambangan tersebut sebagai akibat dari kontraksi yang cukup dalam sektor tersebut di Kalimantan Timur.
Sektor pertambangan di Kalimantan Timur mengalami kontraksi 2%, jauh lebih rendah dari periode
sebelumnya yang mampu mencatat pertumbuhan 6%.
Melemahnya kinerja pertambangan terutama dipicu oleh turunnya produksi batubara dan migas Kalimantan.
Pada triwulan I 2015 produksi batubara turun sangat dalam, hingga 38,86% (yoy) dari periode sebelumnya
yang tumbuh 1,91% (yoy) (Grafik IV.16). Berkurangnya produksi batubara antara lain disebabkan oleh turunnya
permintaan dari Tiongkok hingga 50%, sejalan dengan pelemahan perekonomian negara tersebut. Sementara
itu, ekspor batubara ke India tumbuh melambat (Grafik IV.17). Kondisi ini berbeda dengan perkiraan semula,
yang mengharapkan akan terjadi peningkatan permintaan batubara dari India, sehubungan dengan perkiraan
masih tingginya kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik di India. Di sisi migas, penurunan produksi
disebabkan oleh kondisi sumur-sumur tambang yang sudah tua dan tidak lagi produktif (Grafik IV. 18 dan
IV.19). Upaya peningkatan kapasitas produksi, melalui kegiatan eksplorasi untuk menemukan sumber-sumber
baru, relatif terbatas.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 45
Grafik IV.16
Produksi Batubara Kalimantan
Grafik IV.17
Pertumbuhan tahunan Ekspor Tambang Batubara
Berdasarkan Negara Tujuan, %
Grafik IV.18
Lifting Gas Kalimantan
Grafik IV.19
Lifting Minyak Kalimantan
Pada triwulan II 2015, pertumbuhan sektor pertambangan diprakirakan masih mengalami perlambatan,
terutama karena belum membaiknya pertambangan batubara dan migas. Lesunya perekonomian Tiongkok
dan kebijakan Tiongkok yang mengutamakan produksi dalam negeri, serta sudah mencukupinya stok batubara
Korea Selatan sampai dengan triwulan II tahun 2015, menjadi faktor penahan kinerja produksi batubara. Selain
itu, terdapat risiko pasar batubara Indonesia akan diambil oleh Australia. Pada pertambangan migas,
penurunan lifting juga masih akan terus terjadi, mengingat umur sumur-sumur migas di Kalimantan yang
sudah tua dan belum ada investasi yang signifikan dalam waktu dekat.
Sektor Industri Pengolahan
Industri pengolahan Kalimantan pada triwulan I 2015 tumbuh melambat disebabkan oleh menurunnya kinerja
industri pengolahan migas. Penurunan lifting migas mengakibatkan rendahnya kegiatan pada industri
pengolahan migas. Selain industri migas, penurunan kegiatan usaha juga terjadi pada industri nonmigas,
terutama industri olahan hasil perkebunan. Hal ini sejalan dengan melemahnya kinerja perkebunan. Turunnya
produksi tandan buah segar (TBS) dan terbatasnya produksi getah karet, menyebabkan terhambatnya pasokan
bahan baku ke industri olahan perkebunan, seperti CPO dan industri pengolahan karet. Hal ini terjadi terutama
di Kalimantan Barat.
Pada triwulan II 2015, perkembangan industri diperkirakan masih terkontrkasi, meski tidak sedalam periode
sebelumnya. Industri migas diperkirakan masih menjadi penahan laju pertumbuhan sektor industri. Di sisi lain,
industri CPO diperkirakan akan mengalami peningkatan, terutama di Kalimantan Timur, sejalan dengan mulai
berproduksinya perkebunan sawit hasil investasi produksi sebelumnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 46
Sektor Pertanian
Pertumbuhan sektor pertanian Kalimantan pada triwulan I 2015 melambat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Penurunan kinerja tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi di Kalimantan. Perlambatan
didorong oleh subsektor tanaman bahan makanan (tabama) dan perkebunan. Adanya banjir di Kalimantan
Selatan, membuat panen bergeser ke triwulan II 2015.
Perkembangan berbagai indikator pertanian di Kalimantan mengindikasikan adanya perbaikan kinerja sektor
pertanian pada triwulan II 2015. Pertumbuhan sektor pertanian yang meningkat, didorong oleh peningkatan
produksi tabama dan perkebunan. Produksi tabama di Kalimantan Selatan diperkirakan naik terkait pergesaran
musim panen, di samping mulai tampaknya hasil implimentasi program dari pemerintah pusat untuk
swasembada pangan di seluruh provinsi di Kalimantan. Pemerintah menetapkan target produksi beras pada
tahun 2015 di Kalimantan sebesar 5,82 juta ton atau naik 21,89% (yoy) dibandingkan dengan tahun 2014.
Target peningkatan produksi beras ini sangat tinggi dibandingkan dengan historis, dengan rata-rata kenaikan
produksi beras hanya 1,67%. Beberapa upaya khusus yang dilakukan sepanjang tahun 2015 untuk mencapai
target produksi tersebut di antaranya perbaikan jalan, optimasi lahan, pengembangan metode SRI, serta
pemberian bantuan alat dan mesin pertanian. Pembiayaan semua program ini menggunakan anggaran APBNP.
PERKEMBANGAN INFLASI
Tekanan inflasi Kalimantan pada triwulan I 2015 menurun dibandingkan dengan akhir tahun 2014. Inflasi
Kalimantan pada periode tersebut tercatat sebesar 7,31% (yoy), lebih rendah dari inflasi pada akhir tahun 2014
yang mencapai 7,87% (yoy). Kendati demikian level inflasi Kalimantan masih lebih tinggi dibandingkan dengan
inflasi nasional sebesar 6,38% (yoy). Secara spasial, Kalimantan Tengah tercatat sebagai satu-satunya daerah
yang mengalami inflasi di bawah angka inflasi nasional, yaitu sebesar 5,90% (yoy). Meredanya tekanan inflasi
Kalimantan antara lain didukung oleh kelompok administered prices, akibat turunnya harga BBM pada bulan
Januari dan Februari 2015. Sementara itu, inflasi kelompok volatile foods meningkat, didorong oleh
berkurangnya pasokan beras akibat belum panen, serta berkurangnya hasil tangkapan ikan segar dan hasil
panen sayuran. Kondisi cuaca yang kurang mendukung juga berdampak terhadap berkurangnya stok barang di
Kalimantan, yang sebagian besar didatangkan dari luar Kalimantan. Pada kelompok inti, tekanan inflasi
didorong oleh peningkatan tarif sewa rumah dan harga nasi dengan lauk.
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.20
Perkembangan Inflasi Kalimantan dan Indonesia
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.21
Disagregasi Inflasi Kalimantan
Memasuki bulan April 2015, inflasi Kalimantan masih terus melanjutkan tren penurunan. Inflasi April tercatat
lebih rendah dari akhir triwulan I 2015 menjadi 7,21% (yoy), meskipun tetap lebih tinggi dibandingkan inflasi
nasional sebesar 6,79% (yoy). Menurunnya tekanan inflasi didukung oleh melemahnya tekanan harga
kelompok volatile food, seperti daging ayam ras, ikan segar, dan sayur mayur di sebagian besar wilayah
Kalimantan. Sementara itu, inflasi inti pada bulan April 2015 relatif stabil tercatat sebesar 5,95% (yoy). Di sisi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 47
lain, inflasi kelompok administered prices meningkat, dari 10,36% (yoy) menjadi 11,82% (yoy), didorong oleh,
meningkatnya harga bensin dan tarif angkutan dalam kota sebagai dampak kenaikan BBM pada akhir Maret
2015. Selain itu kenaikan elpiji awal Maret, juga memberikan andil inflasi yang cukup besar.
Pada triwulan II 2015, inflasi Kalimantan diperkirakan akan tetap terkendali. Kesiapan TPID dalam menyambut
bulan Ramadhan, diperkirakan dapat menjaga pasokan bahan makanan secara cukup, sehingga pergerakan
harga komoditas kelompok volatile foods diperkirakan tidak memberikan tekanan yang besar pada inflasi
triwulan II. Selain terjaganya pasokan bahan pangan, terkelolanya ekspektasi harga masyarakat memasuki
Ramadhan turut membantu terkendalinya inflasi di Kalimantan. Kondisi cuaca yang relatif baik, ditandai
dengan penurunan curah hujan, berdampak positif terhadap produksi sayur mayur serta hasil tangkapan ikan
segar. Inflasi inti diperkirakan masih stabil, sejalan dengan masih terbatasnya konsumsi masyarakat. Di sisi lain,
inflasi administered prices diperkirakan meningkat, akibat penyesuaian harga BBM pada akhir Maret dan awal
April. Koordinasi pusat dan daerah, melalui TPID, dalam mengantisipasi dampak lanjutan kenaikan BBM,
diharapkan dapat meminimalisir kenaikan inflasi administered prices. Beberapa risiko yang berasal dari
kelompok administered yang masih perlu diwaspadai diantaranya kenaikan harga LPG, TTL serta tiket angkutan
udara pada masa liburan sekolah.
Secara spasial stabilnya inflasi didukung oleh menurunnya inflasi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
pada triwulan II. Hal ini sejalan dengan masih terbatasnya perekonomian di kedua provinsi, sehingga kegiatan
konsumsi masyarakat tertahan, terutama pembelanjaan untuk barang tahan lama.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Gudang
Kandang
/Kolam
Penyangga
Pasar Penyeimbang
Petani
Pengumpul
Ped. Antara
Wholesaler
Ped.
Kecamatan,
Kab./Kota
Pedagang
antar daerah
Kalteng
K
O
N
S
U
M
E
N
Gambar IV.2
Skema Pasar Penyangga
Dalam rangka mengendalikan inflasi di Kalimantan, berbagai upaya koordinasi melalui Tim Pengendali Inflasi
daerah (TPID) diarahkan untuk mencapai inflasi yang rendah dan stabil. Hal ini antara lain dilakukan dengan
cara membentuk klaster ketahanan pangan, khususnya untuk komoditas beras, cabai dan bawang merah di
Kalimantan, sebagai upaya mengurangi ketergantungan pasokan dari luar Kalimantan. TPID juga melakukan
23
upaya peningkatan produktivitas tanaman padi dengan menggunakan metode tanam bibit padat (Hazton) .
Upaya lain dalam menjaga stabilitas harga, yaitu memperbaiki sisi tata niaga. Langkah yang diambil dalam
23
Pilot project dikembangkan bersama oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat bersama dengan Pemerintah
Provinsi Kalimantan Barat. Metode tanam hazton menggunakan jumlah bibit yang yang lebih banyak dalam satu lubang yakni mencapai
20-30 bibit dari umumnya hanya 3 atau 5 bibit. Pada tahun 2014 hasil pengujian metode hazton yang diterapkan di beberapa lokasi di
Kalimantan Barat menunjukkan adanya peningkatan produktivitas padi hingga 2 kali lipat. Pada tahun 2015 akan dilakukan penanaman
1.000 hektar lahan di perbatasan yang bertujuan untuk mengendalikan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah
tersebut.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 48
upaya ini yaitu membentuk pasar penyeimbang di Kalimantan Tengah. Pasar ini berfungsi sebagai
penyeimbang dan acuan harga untuk para pedagang, khususnya pada momen-momen tertentu. Melalui
langkah ini diharapkan akan terbentuk harga yang stabil dan dapat mengurangi disparitas harga antara petani
ke konsumen, sebagai akibat kesenjangan informasi harga pangan. Komoditas yang dijual merupakan
komoditas pangan yang sering menyumbang inflasi. Untuk mendukung pasokannya, dibentuk kandang dan
kolam penyangga, serta disediakan gudang penyimpanan dan pengelolaan stok bahan pangan.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Keuangan
Kinerja sektor keuangan di Kalimantan pada triwulan I 2015 menurun, sejalan dengan perekonomian yang
melemah. Penyaluran pembiayaan di Kalimantan melambat dari 9,7% (yoy) pada akhir 2014 menjadi 7,6%
(yoy). Dari sisi risiko, kualitas kredit relatif terjaga, yang tercermin dari tingkat NPL sebesar 3,4%, atau masih di
bawah threshold. Di sisi lain, penghimpunan dana di Kalimantan masih meningkat dari 5,3% (yoy) pada akhir
2014 menjadi 8,0% (yoy), terutama didorong oleh dana dari pemerintah. Peningkatan dana pemerintah daerah
terkait lebih efisiennya proses pencairan Dana Bagi Hasil pada periode laporan dibandingkan dengan periode
sebelumnya.
Grafik IV.22
Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit Sektoral
Grafik IV.23
Pertumbuhan DPK Per Golongan
Ketahanan Sektor Korporasi
Pendanaan sektor korporasi di Kalimantan melambat pada triwulan I 2015 relatif dibandingkan dengan
periode sebelumnya. Penyaluran kredit kepada sektor korporasi melambat dari 8,97% (yoy) pada akhir 2014
menjadi 6,19% (yoy). Hal ini terkait dengan masih lesunya perekonomian Kalimantan, yang disebabkan oleh
faktor eksternal, yakni koreksi harga dan turunnya permintaan komoditas global. Kualitas penyaluran kredit di
Kalimantan secara umum masih terjaga, dengan level NPL masih di bawah tresshold. Namun secara spasial,
kualitas kredit di Kalimantan Timur sudah melewati ambang batas aman 5%. NPL kredit yang disalurkan di
Kalimantan Timur tercatat sebesar 6,7%. Peningkatan NPL terutama didorong oleh memburuknya kualitas
kredit sektor pertambangan dan industri pendukungnya, yang merupakan sektor utama Kalimantan Timur.
Di sisi lain, penghimpunan dana di Kalimantan kembali ke level normalnya, terutama didukung oleh dana dari
pemerintah. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, di Kalimantan Timur, terjadi keterlambatan
pencairan penerimaan DBH batubara, akibat cukup panjangnya proses negosiasi DBH batubara. Permasalahan
tersebut kini tidak terjadi pada triwulan I 2015.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 49
Grafik IV.24
Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit Korporasi
Grafik IV.25
Pertumbuhan DPK Per Provinsi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga dan UMKM
Ketahanan keuangan sektor rumah tangga (RT) di Kalimantan tetap terjaga. Pembiayaan RT di Kalimantan pada
triwulan I 2015 tumbuh cukup baik sebesar 18,97% (yoy), didukung oleh kredit perumahan dan multiguna yang
masing-masing tumbuh cukup tinggi sebesar 29,81% (yoy) dan 11,11% (yoy). Dari sisi kualitas penyaluran,
risiko kredit RT masih tetap terjaga, tercermin dari rendahnya NPL, yang tercatat sebesar 1,75% dan debt-to24
service ratio yang masih pada level sehat yaitu sebesar 14,2% pada triwulan I 2015. Di sisi lain, pertumbuhan
DPK perseorangan Kalimantan berada dalam tren yang melambat sepanjang setahun terakhir. Pada triwulan I
2015, DPK perseorangan hanya tumbuh sebesar 7,0% (yoy).
Grafik IV.26
Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit RT
Grafik IV.27
Debt-to-Service Ratio Per Provinsi
Grafik IV.28
Pertumbuhan DPK Perseorangan
Grafik IV.29
Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit UMKM
24
Debt-to-service ratio (DSR) merupakan salah satu ukuran tingkat ketahanan SSK yang diukur dari cicilan hutang terhadap pendapatan.
DSR yang sehat maksimal berada pada level 30%
L a p o r a n N u s a n t a r a | 50
Pertumbuhan pembiayaan UMKM pada triwulan I 2015 tercatat relatif stabil. Pertumbuhan kredit kepada
UMKM tercatat sebesar 13,4% (yoy), relatif sama dengan triwulan sebelumnya. Penyaluran kredit UMKM di
Kalimantan didominasi oleh sektor perdagangan, dan pertumbuhan kredit di sektor ini tercatat stabil. Secara
spasial, penyaluran kredit UMKM di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah pada triwulan I 2015 meningkat,
sementara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat melambat, meski masih pada level yang cukup tinggi.
Dari sisi risiko, penyaluran kredit UMKM di Kalimantan perlu diwaspadai, karena NPL sudah melewati ambang
batas aman 5% pada triwulan I 2015. Pelaku usaha keuangan perlu lebih selektif dalam menyalurkan kredit
kepada UMKM. Secara sektoral, risiko kreditu UMKM tertinggi terdapat pada sektor konstruksi, transportasi
dan jasa, dengan NPL masing-masing sebesar 11,1%, 8,2% dan 8%. Relatif tingginya risiko merupakan implikasi
dari lesunya kegiatan ekonomi, di tengah rendahnya permintaan komoditas ekspor Kalimantan. Hal tersebut
juga terkonfirmasi secara spasial, yang terlihat dari tingginya NPL kredit UMKM di Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan. Perekonomian kedua provinsi tersebut lebih digerakkan oleh ekspor komoditas batubara,
yang saat ini harganya masih terpuruk.
Sistem Pembayaran
Perlambatan ekonomi yang terjadi di Kalimantan juga terkonfirmasi oleh indikator sistem pembayaran yang
mengalami perlambatan. Nilai transaksi nontunai di wilayah Kalimantan pada triwulan I 2015 tercatat Rp230
triliun atau tumbuh 0,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 9,2% (yoy).
Pada transaksi tunai, permintaan uang kartal juga mengalami penurunan, yang tercermin dari penurunan
transaksi outflow dari Bank Indonesia sampai dengan 7,0% (yoy), sedangkan inflow masih tumbuh 16,7% (yoy).
Sementara itu, jumlah temuan uang yang diragukan keasliannya pada triwulan I 2015 tercatat sebanyak 1.313
bilyet atau mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 452
bilyet. Cukup tingginya angka temuan ini disebabkan adanya temuan uang yang diragukan keasliannya oleh
Kepolisian RI di Kalimantan Tengah pada bulan Januari 2015.
Grafik IV.30
Perkembangan SP Non Tunai
Grafik IV.31
Perkembangan SP Tunai
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, kinerja perekonomian Kalimantan untuk keseluruhan tahun 2015 diperkirakan melambat.
Pertumbuhan ekonomi Kalimantan diprakirakan berada di kisaran 1,4%–1,9% (yoy), lebih rendah dibandingkan
dengan prakiraan sebelumnya dan capaian tahun 2014. Lebih rendahnya proyeksi disebabkan oleh kinerja
sektor pertambangan dan industri olahan migas yang tidak setinggi perkiraan triwulan IV 2014. Di sisi lain,
sektor pertanian diperkirakan tetap meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya, sehingga dapat
menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi lebih jauh lagi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 51
Kinerja sektor pertambangan baik batubara dan migas diperkirakan menurun. Penurunan batubara terkait
melemahnya permintaan Tiongkok pasca dikeluarkannya aturan pelarangan penggunaan batubara di
pemukiman dan perkotaan. Selain itu, dalam jangka menengah panjang, Tiongkok akan mengganti sebagian
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi pembangkit dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan
seperti gas, air dan angin. Pada subsektor migas, lifting migas sepanjang tahun 2015 diperkirakan tidak
mengalami perbaikan, sejalan dengan stagnannya investasi yang dilakukan pada pertambangan migas.
Industri olahan diperkirakan masih tertahan, akibat belum membaiknya kinerja industri migas. Lifting migas
yang terus turun, berdampak pada rendahnya aktivitas di industri migas. Di sisi lain, industri nonmigas
diperkirakan akan meningkat, sejalan dengan membaiknya produksi sawit. Sementara itu, kegiatan operasional
smelter tahun 2015 diperkirakan hanya sedikit berkontribusi pada perkembangan industri olahan Kalimantan.
Masih terdapat sejumlah tantangan dalam penyelesaian smelter di Kalimantan, antara lain isu lingkungan dan
pendanaan smelter pasca dihentikannya ekspor bauksit.
Sektor pertanian diperkirakan meningkat didukung naiknya produksi tanaman pangan dan perkebunan sawit.
Peningkatan produksi tanaman bahan makanan didukung oleh program pemerintah dalam rangka mencapai
kedaulatan pangan. Pada subsektor perkebunan, produksi sawit juga diperkirakan masih akan terus meningkat
seiring dengan semakin produktifnya produksi kebun di Kalimantan yang masih berumur muda.
Dari sisi permintaan, diprakirakan belum ada perbaikan kinerja pada komponen pembentuknya. Konsumsi
diperkirakan melambat sejalan dengan belum pulihnya sektor pertambangan sehingga memengaruhi
pendapatan dan daya beli masyarakat. Perlambatan juga terjadi pada belanja pemerintah, terkait turunnya
DBH, sehingga belanja pemerintah tidak dapat setinggi pada tahun 2014. Selain itu, ekspor diprakirakan masih
akan terkontraksi dan investasi juga diprakirakan melambat, sebagai respons rendahnya permintaan
komoditas batubara, yang merupakan komoditas ekspor terbesar Kalimantan. Di sisi lain, penurunan investasi
diprakirakan masih dapat ditopang oleh ekspansi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur di daerah,
selain pembangunan smelter yang masih terus berlanjut.
Di tengah perekonomian yang diproyeksi masih tumbuh rendah, terdapat faktor risiko yang berpotensi
menekan laju pertumbuhan tahun 2015 semakin dalam, yakni potensi koreksi harga komoditas energi, baik
migas maupun batubara yang lebih dalam. Selain itu, kebijakan pemerintah India, yang berencana akan
membuka 12 tambang dalam waktu 12 bulan kedepan, berpotensi menurunkan kebutuhan impor barang
tambang India, termasuk barang tambang yang didatangkan dari Indonesia. Bahkan, dalam 18 bulan kedepan,
pemerintah India merencanakan membuka 40-50 tambang batubara. Dari sisi regulasi, potensi kenaikan royalti
penambang dengan izin IUP dari 3% menjadi 7%, 9% dan 13,5%, sesuai dengan besaran kalori, juga
diperkirakan akan menjadi faktor penghambat laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan tahun 2015. Pada
subsektor migas, masih berlanjutnya natural declining produksi migas, berpotensi menurunkan produksi LNG.
Faktor risiko lain, yang berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan pada tahun 2015, yaitu
terhambatnya pembangunan beberapa proyek seperti penyelesaian smelter; proyek PLTA, yang mengurangi
penyerapan batubara domestik; serta terhambatnya program infrastruktur akan memberi tekanan pada
kinerja investasi, terutama investasi bangunan, serta kinerja sektor konstruksi.
Prospek Inflasi
Tekanan inflasi Kalimantan pada tahun 2015 diprakirakan terkendali pada kisaran 4,0%-4,5% (yoy), terutama
dipengaruhi oleh minimalnya tekanan inflasi kelompok volatile food dan administered prices. Pada kelompok
volatile food, minimalnya tekanan inflasi pada tahun 2015 didukung oleh peningkatan produksi pangan yang
terutama didukung hasil program pemerintah pusat. Sementara dari sisi kelompok inti, diperkirakan tekanan
bersifat minimal sejalan dengan belum membaiknya pendapatan masyarakat.
Beberapa risiko ke depan diprakirakan masih akan membayangi prospek inflasi Kalimantan tahun 2015. Risiko
inflasi bersumber dari komoditas kelompok administered prices, yang terkait dengan kebijakan di bidang
energi. Risiko berasal dari kenaikan harga minyak dunia, yang ditransmisikan pada penyesuaian harga BBM,
L a p o r a n N u s a n t a r a | 52
LPG, dan TTL. Potensi kenaikan harga emas dunia juga berpotensi memberikan tekanan inflasi pada kelompok
inti. Risiko inflasi lainnya berasal dari adanya pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang serentak di beberapa
daerah, sehingga meningkatkan konsumsi. Berbagai upaya untuk meminimalisir dampak inflasi, khususnya
dampak lanjutan dari inflasi administered prices, terus dilakukan melalui TPID.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 53
Saat ini tren perekonomian Kalimantan sedang menurun, dan pada triwulan I 2015 capaian pertumbuhan
ekonomi Kalimantan merupakan yang terendah sepanjang sepuluh tahun terakhir. Hal ini merupakan imbas
dari ketergantungan ekonomi Kalimantan pada sumber daya alam yang tidak terbarukan dan memiliki nilai
tambah yang kecil. Untuk itu diperlukan transformasi ekonomi Kalimantan dari comparative advantage
menjadi competitive advantage, seperti yang sudah dibahas pada Laporan Nusantara sebelumnya. Untuk
mendukung transformasi ekonomi Kalimantan, maka diperlukan upaya untuk melakukan pembenahan
enabling factors, salah satunya adalah konektivitas.
Minimnya konektivitas menjadi tekanan pada pertumbuhan ekonomi. Belum baiknya konektivitas di
Kalimantan menyebabkan pelaku usaha enggan berinvestasi. Investasi masih berpusat di Wilayah Jawa (Grafik
IV.32). Selain itu, buruknya konektivitas juga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Biaya distribusi ke
Kalimantan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Selain itu, konektivitas juga akan
memengaruhi secara signifikan proses pembentukan harga dan menurunkan disparitas harga pangan
antarkota, yang pada akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Grafik IV.32
Pangsa Nilai PMA dan PMDN di Wilayah Indonesia
Gambar IV.3
Biaya Kargo / km dari Jakarta
Rendahnya konektivitas di Kalimantan terjadi baik pada transportasi udara, transportasi laut maupun darat.
Rendahnya konektivitas udara terindikasi oleh rasio bandara terhadap luas wilayah darat di Kalimantan yang
paling rendah dibandingkan dengan wilayah lain. Hal yang sama juga pada ketersediaan dan kualitas jalan di
Kalimantan, yang cenderung tidak lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain. Belum adanya moda kereta api
di Kalimantan, menjadikan distribusi menjadi kurang efisien. Dari sisi transportasi laut, indeks konektivitas
transportasi laut Kalimantan tergolong rendah di Indonesia.
Tabel IV.1
Kondisi Ketersediaan dan Kualitas Jalan
Gambar IV.4
Indeks Konektivitas Transportasi Laut
L a p o r a n N u s a n t a r a | 54
Permasalahan konektivitas juga menjadi faktor penghambat perekonomian daerah perbatasan di Kalimantan,
yang sebagian besar merupakan daerah tertinggal. Jenis permukaan jalan di kawasan perbatasan Kalimantan
hanya sebagian kecil dengan permukaan aspal, dan sisanya masih dengan permukaan berupa kerikil dan tanah.
Selain itu kondisi jalan juga hanya sebagian kecil dengan kondisi baik. Selain kondisi infrastruktur yang tidak
baik, pelayanan sosial dasar juga tidak memadai. Rata-rata jarak pasar di Kalimantan sejauh 39,95km lebih jauh
dari nasional yang hanya 14,8km. Jauhnya jarak pasar dapat menyebabkan tingginya harga-harga komoditas,
khususnya komoditas kebutuhan sehari-hari, karena sulitnya pedagang pengecer menjangkau pasar tersebut.
Kondisi tersebut memaksa masyarakat di kawasan perbatasan untuk membeli kebutuhan sehari-hari mereka
dari Malaysia. Hal ini menyebabkan dominasi penggunaan Ringgit di perbatasan.
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.33
Jenis Permukaan Jalan Kawasan Perbatasan
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.34
Kondisi Jalan di Kawasan Perbatasan
Dalam rangka memperbaiki konektivitas, dalam RPJMN 2015-2019, pemerintah telah berencana membangun
infrastruktur pendukung transportasi darat, laut, dan udara, baik untuk Kalimantan secara umum (Gambar
IV.5) maupun daerah perbatasan secara khusus (Gambar IV.6). Konektivitas yang akan dibangun di Kalimantan
memerhatikan beberapa hal sebagai berikut (i) keterpaduan infrastruktur wilayah dengan kawasan strategis
yang dibangun, (ii) pengembangan kawasan perbatasan melalui dukungan wilayah, serta (iv) membangun
konektivitas melalui jalan lintas/lingkar pulau dan pengembangan sungai untuk navigasi.
Sumber: Bappenas, diolah
Sumber: Bappenas, diolah
Gambar IV.5
Proyek Konektivitas di Kalimantan
Gambar IV.6
Proyek Konektivitas Daerah Perbatasan Tahun 2015
Tantangan yang harus dihadapi dalam mewujudkan perbaikan konektivitas tidak ringan. Beberapa hal yang
harus dihadapi di antaranya tata ruang wilayah yang belum selesai, pembebasan lahan yang sulit, serta suplai
energi yang tidak mencukupi. Selain itu, peningkatan sinergi dan koordinasi antar instansi juga menjadi kunci
penyelesaian program konektivitas. Pada gilirannya, perbaikan konektivitas akan turut mendukung
transformasi ekonomi untuk mendorong kenaikan nilai tambah perekonomian.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 55
Halaman ini sengaja dikosongkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 56
PERTUMBUHAN EKONOMI
25
Pertumbuhan Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan I 2015, secara agregat lebih tinggi dari triwulan
sebelumnya. Perekonomian pada triwulan I 2015 tercatat tumbuh sebesar 6,9% (yoy), setelah tumbuh sebesar
5,0% (yoy) pada triwulan IV 2014. Akselerasi pertumbuhan ekonomi berasal dari beberapa provinsi berbasis
sumber daya alam (SDA), terutama penghasil tambang mineral, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah (bijih nikel,
feronikel, LNG), Nusa Tenggara Barat (tembaga), Papua (tembaga), Maluku Utara (bijih nikel), dan Sulawesi
Tenggara (bijih nikel, feronikel). Perbaikan pada kategori pertambangan di beberapa provinsi tersebut sejalan
dengan penguatan kinerja ekspor pertambangan, sehubungan dengan perpanjangan izin ekspor tembaga dan
beroperasinya smelter nikel yang baru.
Meski demikian, capaian pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 tersebut tidak setinggi perkiraan Bank
Indonesia sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh realisasi pertumbuhan kategori pertambangan dan pertanian
yang lebih rendah dari proyeksi triwulan IV 2015. Terkait kategori pertambangan, mining rates produksi
tembaga (produktivitas) di Papua yang belum optimal menyebabkan volume produksi tercatat 20% lebih
rendah dari estimasi produsen. Adapun kategori pertanian di beberapa daerah sentra seperti Sulawesi Selatan,
Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Bali mengalami perlambatan yang cukup dalam karena produksi
tanaman bahan makanan (tabama) dan perikanan tangkap yang menurun. Penurunan tersebut diakibatkan
oleh dampak cuaca buruk yang lebih besar dari perkiraan sebelumnya sehingga mengganggu pola produksi.
Memasuki periode triwulan II 2015, perkembangan beberapa indikator ekonomi di berbagai daerah, hasil
survei, dan pendalaman informasi (FGD, liaison) mengindikasikan pertumbuhan ekonomi KTI akan kembali
mengalami percepatan. Pada sisi permintaan, membaiknya pertumbuhan ekonomi didorong oleh penguatan
konsumsi rumah tangga dan ekspor luar negeri. Akselerasi komponen permintaan tersebut juga tercermin
pada kinerja seluruh kategori lapangan usaha utama di KTI. Kinerja kategori pertanian akan meningkat, seiring
masuknya musim panen raya. Kemudian, akselerasi pertumbuhan pada kategori pertambangan akan
cenderung dipengaruhi oleh faktor base effect, terkait terhentinya kegiatan tambang di beberapa daerah pada
periode yang sama tahun lalu. Pada kategori industri pengolahan, meningkatnya laju pertumbuhan akan
didorong oleh beroperasinya smelter nikel dan pabrik LNG yang baru di Sulawesi. Selain itu, kinerja kategori
perdagangan juga akan menguat sehubungan dengan faktor musiman perayaan hari besar keagamaan. Pada
kategori konstruksi, dorongan pertumbuhan akan bersumber dari kinerja pembangunan proyek pemerintah
yang akan meningkat pada triwulan II 2015. Adapun untuk keseluruhan tahun 2015, pertumbuhan ekonomi
KTI diproyeksikan tumbuh pada kisaran 7,7% - 8,1% (yoy), atau lebih tinggi dari tahun 2014 (6,0%, yoy), akibat
pengaruh akselerasi pada pertumbuhan kategori tambang dan industri.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Pada triwulan I 2015, konsumsi rumah tangga mencatat pertumbuhan positif namun relatif tidak lebih tinggi
dari historis pertumbuhannya selama beberapa tahun terakhir. Masih tingginya harga barang, diikuti dengan
keyakinan konsumen yang melemah menjadi penahan kinerja konsumi rumah tangga yang tumbuh sebesar
6,3% (yoy). Meski harga bahan bakar minyak (BBM) diturunkan pada awal tahun 2015, harga barang
25
Data pertumbuhan ekonomi menggunakan tahun dasar 2010 sejak triwulan IV 2014. Kawasan Timur Indonesia (KTI) terdiri dari 13
provinsi di Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Pulau Papua, Bali, dan Kepulauan Nusa Tenggara, yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat,
dan Nusa Tenggara Timur.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 57
kebutuhan pokok tidak mengalami koreksi sehingga alokasi belanja masyarakat untuk keperluan rumah tangga
yang lain masih tertahan. Kenaikan harga bahan bakar rumah tangga (LPG 12 kg) pada pertengahan triwulan I
2015 dinilai turut menahan pertumbuhan yang dikonfirmasi oleh beberapa indikator konsumsi. Tingkat
keyakinan konsumen di beberapa kota KTI menunjukkan pelemahan dibandingkan dengan akhir tahun 2014
(Grafik V.1). Kegiatan pariwisata juga belum optimal, yang tercermin dari perlambatan pertumbuhan jumlah
wisatawan mancanegara (wisman) (Grafik V.2). Berdasarkan hasil liaison, kredit yang disalurkan untuk
kebutuhan konsumsi serta tingkat upah yang direalisasikan oleh pelaku usaha juga menunjukkan penurunan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Perkembangan indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga akan tumbuh lebih baik pada
triwulan II 2015. Kondisi ini didukung oleh optimisme perekonomian KTI yang secara keseluruhan mengalami
perbaikan, terutama pada sektor utama di KTI, yaitu (tambang, pertanian, industri pengolahan, dan
konstruksi), yang akan turut memperbaiki tingkat pendapatan pekerja pada sektor tersebut. Indeks keyakinan
konsumen beberapa kota di KTI juga menunjukkan peningkatan pada April 2015, seperti di kota Gorontalo,
Jayapura, dan Denpasar, yang dipengaruhi oleh keyakinan konsumen terhadap kondisi penghasilan,
ketersediaan lapangan kerja, dan konsumsi barang tahan lama yang lebih baik dari enam bulan sebelumnya.
Kemudian, indikator omset penjualan eceran di Denpasar dan Makassar juga mengalami peningkatan selama
April dan Mei 2015, mengindikasikan adanya akselerasi kegiatan perdagangan di KTI (Grafik V.3). Selain itu,
aktivitas persiapan Lebaran (masa puasa) dinilai akan turut mendorong kegiatan konsumsi rumah tangga.
Grafik V.1
Indeks Keyakinan Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik V.2
Jumlah Wisatawan Mancanegara
Konsumsi Pemerintah
Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan I 2015 tercatat cukup tinggi meski tidak sebaik rata-rata
pertumbuhan historis triwulan sebelumnya. Selain karena siklus penyerapan anggaran belanja yang biasanya
belum optimal pada awal tahun, konsumsi pemerintah juga menghadapi beberapa kendala pertumbuhan dan
tercatat tumbuh sebesar 8,4% (yoy). Salah satu kendala realisasi anggaran adalah belum adanya tindak lanjut
terhadap pelaksanaan proyek pemerintah yang dilakukan. Pemerintah Daerah (Pemda) cenderung masih
dalam proses pengadaan barang dan jasa tahap awal (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat). Di
samping itu, beberapa daerah juga terlambat dalam melakukan pelaporan untuk memenuhi syarat tertib
administrasi terkait penyerapan APBD (Papua Barat, NTT, NTB, Maluku Utara, Bali). Adapun indikator
simpanan Pemda dalam bentuk giro belum diserap secara optimal dibandingkan dengan periode sebelumnya,
yang tercermin pada pertumbuhan nilai simpanan yang meningkat cukup tinggi (Grafik V.4).
Pada triwulan II 2015, kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan relatif stabil dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Meski secara umum kegiatan belanja daerah meningkat sesuai pola siklikalnya, laju pertumbuhan
konsumsi pemerintah diperkirakan masih terbatas sehubungan dengan kendala penyerapan anggaran belanja
daerah yang terjadi di beberapa daerah sejak triwulan I 2015. Kendala utama berasal dari sisi administrasi yang
L a p o r a n N u s a n t a r a | 58
menyebabkan tertahannya penyerapan anggaran belanja di Provinsi Maluku Utara, Papua Barat, dan Bali.
Faktor lain yang menjadi faktor penahan relisasi belanja Pemda adalah mundurnya pengalokasian dana vertikal
di beberapa DATI II di Sulawesi Selatan serta belum optimalnya pelaksanaan proyek Pemda di NTB yang masih
berada dalam tahap survei.
Grafik V.3
Omset Penjualan Eceran, Survei Penjualan Eceran Bank
Indonesia
Grafik V.4
Simpanan Giro Pemerintah Daerah
Investasi
Investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) mencatat pertumbuhan yang tinggi pada triwulan I 2015,
namun belum melampaui historis pertumbuhan investasi triwulan sebelumnya selama beberapa tahun
terakhir. Belum optimalnya pertumbuhan investasi (9,5%, yoy) disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
adalah sikap wait and see dari para investor (Bali) dan cuaca buruk yang mengganggu kelancaran geliat
kegiatan pembangunan (NTT). Selain itu, selesainya tahap pertama beberapa proyek hilirisasi di Sulawesi
Tenggara dan Sulawesi Tengah, turut menurunkan realisasi investasi bangunan. Dari indikator asal penanaman
modal, faktor penahan pertumbuhan adalah penanaman modal yang bersumber dari dalam negeri, yang
cenderung tumbuh melambat pada periode laporan (Grafik V.5). Meski demikian, kegiatan penanaman modal
asing tercatat masih mengalami akselerasi sehingga mampu menopang kinerja investasi. Berdasarkan hasil
liaison kepada para pelaku usaha, kegiatan investasi pada awal tahun 2015 yang berupa maintenance capital
untuk memperbesar kapasitas produksi, tumbuh cukup baik.
Grafik V.5
Realisasi Penanaman Modal
Grafik V.6
Penyaluran Kredit Investasi
Pertumbuhan investasi pada triwulan II 2015 diperkirakan meningkat dibandingkan dengan triwulan I 2015.
Optimisme tersebut didukung oleh investasi yang bersifat nonbangunan sebagai faktor utama percepatan
pertumbuhan investasi, terutama yang berasal dari aktivitas ekspansi sektor riil (tambang dan hasil olahannya)
di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, NTB, dan Papua Barat. Kegiatan pembangunan maupun
perbaikan infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan, irigasi) maupun nontransportasi (pembangkit listrik,
pusat perbelanjaan, hotel) juga akan mendorong pertumbuhan. Apalagi, realisasi proyek pemerintah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 59
diperkirakan meningkat sesuai siklusnya. Tren kredit yang digunakan untuk investasi juga mulai menunjukkan
adanya peningkatan (Grafik V.6).
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Pada triwulan I 2015, kinerja ekspor luar negeri KTI mengalami peningkatan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang terutama didorong oleh ekspor pertambangan (konsentrat
tembaga). Ekspor luar negeri nonmigas dari KTI tercatat sebesar 1,52 miliar dolar AS dan tumbuh sebesar
24,9% (yoy) setelah turun sebesar -26,4% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Kegiatan produksi dan ekspor
tembaga di Papua dan NTB berjalan normal kembali, seiring izin ekspor yang telah dikeluarkan Pemerintah
Pusat bagi produsen utama di kedua provinsi tersebut sejak triwulan III 2014. Meski realisasi produksi tembaga
di Papua tidak setinggi estimasi sebelumnya, akselerasi tetap terjadi di sisi ekspor karena tahun sebelumnya
ekspor luar negeri komoditas tambang mengalami penurunan yang sangat dalam (base effect). Di samping itu,
komoditas olahan nikel juga berkontribusi pada percepatan yang terjadi untuk komponen ekspor (Grafik V.7).
Akselerasi ekspor luar negeri diperkirakan masih berlanjut pada triwulan II 2015. Permintaan negara mitra
dagang diperkirakan masih meningkat untuk beberapa komoditas ekspor dari Sulawesi Tenggara (feronikel)
dan Bali (kayu, pakaian jadi, perikanan). Hal ini didukung oleh kinerja Purchasing Managers’ Index (PMI) yang
tetap ekspansif di Tiongkok, Amerika Serikat, dan Zona Eropa. Di samping itu, terdapat optimisme perbaikan
ekspor olahan gas alam dari Papua Barat, seiring insentif harga dan permintaan global. Hal tersebut masih
ditambah dengan pengaruh faktor basis perhitungan karena adanya pembatasan ekspor mineral mentah
selama triwulan II 2014 sehingga pertumbuhan ekspor tembaga (Papua, NTB) dan bijih nikel (Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah) akan terakselerasi cukup tinggi.
Impor
Pada triwulan I 2015, impor luar negeri nonmigas KTI tercatat mengalami kontraksi yang lebih dalam. Impor
tercatat sebesar 0,54 miliar dolar AS atau turun sebesar 8,5% (yoy) setelah sebelumnya mengalami kontraksi
sebesar 1,1% (yoy). Memburuknya kinerja impor tercermin dari penurunan impor bahan baku dan barang
konsumsi, seiring dengan perkembangan konsumsi rumah tangga yang masih terbatas (Grafik V.10). Adapun
impor barang modal menahan kontraksi lebih lanjut karena akselerasi yang masih terjadi, seiring dengan
kegiatan pembangunan dan operasional dari beberapa proyek hilirisasi (impor tungku smelteri) dan
pembangkit listrik (impor peralatan listrik).
Sumber: Bea Cukai, diolah
Grafik V.7
Ekspor Luar Negeri Menurut Komoditas
Sumber: Bea Cukai, diolah
Grafik V.8
Impor Luar Negeri Menurut Kategori Barang
Setelah mengalami kontraksi, kinerja impor luar negeri diperkirakan mampu berbalik arah dan mencatat
pertumbuhan positif pada triwulan II 2015. Membaiknya kondisi impor luar negeri terutama didorong oleh
L a p o r a n N u s a n t a r a | 60
prospek yang optimis pada komponen penggunaan yang lain, khususnya dari konsumsi rumah tangga,
investasi, maupun ekspor luar negeri yang berbasis bahan baku impor. Kondisi perekonomian yang secara
umum membaik, seiring penguatan sektor-sektor ekonomi utama di KTI, dan adanya kebutuhan pelaku usaha
mengisi persediaan bahan baku untuk mendukung realisasi investasi nonbangunan, dinilai akan mendorong
kebutuhan impor seluruh kategori barang.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Kategori pertambangan dan penggalian mengalami akselerasi pada triwulan I 2015, yang didorong oleh
peningkatan laju pertumbuhan produksi tembaga. Angka laju pertumbuhan kategori ini tercatat menjadi
10,9% (yoy), setelah mengalami kontraksi sebesar 9,4% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Pasca relaksasi izin
ekspor yang dikantongi produsen mineral di Papua dan NTB sejak triwulan III 2014, kegiatan produksi tembaga
di dua daerah tersebut telah berjalan dengan normal. Hal ini mendorong akselerasi pertumbuhan kategori
tambang pada triwulan I 2015 setelah pada periode yang sama tahun sebelumnya kegiatan produksi dibatasi
oleh implementasi UU Minerba (Grafik V.9). Di samping itu, adanya smelter baru yang beroperasi di Sulawesi
Tengah (feronikel) dan Sulawesi Tenggara (nickel pig iron atau NPI) juga mendorong peningkatan kebutuhan
bijih nikel sebagai bahan baku.
Pada triwulan II 2015, pertumbuhan kategori pertambangan KTI diperkirakan masih mengalami akselerasi.
Permintaan bijih nikel untuk industri olahan nikel masih cukup kuat karena adanya smelter baru. Produsen
utama bijih nikel di Sulawesi Tenggara juga diperkirakan tidak mengalami gangguan operasional dan akan
menopang pertumbuhan secara umum (Grafik V.10). Produsen tembaga di NTB, serta produsen tembaga dan
emas di Papua masih memiliki izin ekspor mineral masing-masing hingga akhir triwulan II 2015. Adapun upaya
mencapai target produksi yang lebih optimal akan dilakukan oleh produsen nikel matte di Sulawesi Selatan
setelah mengalami kontraksi pada triwulan sebelumnya.
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.9
Pertumbuhan Produksi Tembaga dan Emas
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.10
Pertumbuhan Produksi Nikel (Sulawesi Tengara)
Sektor Industri Pengolahan
Pada triwulan I 2015, sektor industri pengolahan mengalami deselerasi pertumbuhan yang disebabkan oleh
melemahnya kinerja beberapa komoditas industri utama di KTI. Capaian pertumbuhan sektor industri tercatat
6,9% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2014 (9,6%, yoy). Untuk industri makanan olahan,
khususnya ikan, kendala produksi bersumber dari ketersediaan bahan baku di musim penghujan yang
menurun, sehingga produksi menjadi tidak optimal. Selanjutnya, produksi terigu di Sulawesi Selatan juga
mengalami perlambatan karena masih dalam tahap penyediaan bahan baku, sebelum meningkatkan produksi
untuk memenuhi permintaan menjelang Lebaran (Grafik V.11). Perlambatan juga dialami oleh industri tekstil
di Bali yang tertekan akibat faktor persaingan dengan eksportir dari negara lain. Selain itu, permintaan global
L a p o r a n N u s a n t a r a | 61
yang melemah serta tren harga minyak yang masih menurun menyebabkan produksi LNG Papua Barat tumbuh
melambat. Adapun indikator produksi industri mikro dan kecil di KTI juga tercatat tidak tumbuh lebih tinggi
dari capaian triwulan sebelumnya (Grafik V.12).
Memasuki triwulan II 2015, kategori industri pengolahan KTI diperkirakan mampu mencatat akselerasi dan
mendukung penguatan ekonomi secara keseluruhan. Adanya smelter baru (Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah) dan pabrik LNG baru (Sulawesi Tengah) akan meningkatkan nilai tambah industri pengolahan KTI pada
triwulan II 2015 dengan cukup signifikan. Menguatnya kegiatan konsumsi rumah tangga (peningkatan
permintaan dari faktor musiman) dan investasi (proyek pembangunan lebih intensif) akan menopang
pertumbuhan produksi industri makanan olahan serta industri semen. Tingkat pertumbuhan produksi LNG di
Papua Barat juga diperkirakan akan membaik seiring faktor eksternal yang menunjukkan adanya pemulihan.
Sementara itu, industri feronikel (Sulawesi Tenggara) turut menjaga pertumbuhan kategori ini secara
keseluruhan seiring keyakinan produsen untuk mencapai target produksi.
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.11
Produksi Terigu
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik V.12
Pertumbuhan Indeks Produksi Industri Mikro dan Kecil
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Laju pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan I 2015 mengalami perlambatan dan menahan kinerja
pertumbuhan ekonomi secara total, sehingga tidak terakselerasi lebih lanjut. sektor ini tercatat tumbuh
sebesar 3,5% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tecatat sebesar 6,4% (yoy). Perlambatan
terutama dikontribusikan oleh subsektor tabama dari berbagai daerah yang belum menghasilkan produksi
secara optimal. Adanya anomali cuaca dan serangan hama, serta permasalahan jaringan irigasi berdampak
pada penurunan produksi di Bali. Bergesernya musim tanam, yang menyebabkan kemunduran panen, terjadi
di beberapa daerah sentra (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, NTB, dan Gorontalo). Produksi ikan tangkap
tercatat menurun cukup dalam pada awal triwulan karena terbatasnya kegiatan penangkapan (Maluku dan
Sulawesi Selatan). Secara umum, produksi ikan tangkap berada dalam tren yang menurun sejak Januari 2015
(Grafik V.13). Adapun indikator Nilai Tukar Perani (NTP) selama triwulan I 2015 secara umum tercatat lebih
rendah dari triwulan sebelumnya (Grafik V.14). Dari subsektor perkebunan, panen raya kakao belum
berlangsung, di tengah harga komoditas yang cenderung menurun.
Pada triwulan II 2015, nilai tambah sektor pertanian diperkirakan mengalami akselerasi dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Akselerasi ini didukung oleh perbaikan subsektor utama pertanian, seiring cuaca yang
lebih baik dan datangnya musim panen. Produksi tabama akan meningkat karena masuknya masa panen raya
padi di hampir seluruh daerah sentra produksi di KTI. Panen kakao juga berlangsung pada triwulan II 2015,
terutama di Sulawesi yang berstatus sebagai produsen terbesar kakao di Indonesia. Adanya perbaikan
infrastruktur produksi tabama (Gorontalo) dan perkebunan (Sulawesi Utara) turut mengakomodasi
peningkatan yang terjadi. Dari subsektor perikanan, produksi ikan tangkap akan meningkat, seiring cuaca yang
L a p o r a n N u s a n t a r a | 62
kondusif serta adanya upaya pemberdayaan masyarakat pesisir pantai melalui penambahan fasilitas
penangkapan ikan (Sulawesi Tengah).
Sumber: Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan, diolah
Grafik V.13
Produksi Ikan Tangkap
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik V.14
Nilai Tukar Petani
Sektor Konstruksi
Pada triwulan I 2015, pertumbuhan sektor konstruksi tercatat mengalami perlambatan dibandingkan dengan
periode sebelumnya. Sektor konstruksi tumbuh dari 9,1% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 8,6% (yoy),
sejalan dengan kinerja investasi bangunan yang juga melambat. Selesainya tahap awal proyek hilirisasi dan
masih belum optimalnya penyerapan proyek infrastruktur pemerintah menjadi faktor utama penahan kinerja
sektor konstruksi. Hal ini dikonfirmasi oleh realisasi pengadaan semen yang mengalami kontraksi pada
triwulan I 2015 (Grafik V.15) yang terjadi merata di hampir seluruh daerah di KTI.
Pada triwulan II 2015, pertumbuhan sektor konstruksi diperkirakan meningkat. Peningkatan ini terutama akan
ditopang oleh berlanjutnya proyek pembangunan yang bersifat multiyears di berbagai daerah, baik untuk
proyek infrastruktur transportasi maupun nontransportasi (proyek ekspansi sektor riil lainnya). Dorongan dari
sisi Pemda diperkirakan akan meningkat selaras dengan siklus penyerapan APBD yang lebih baik pada triwulan
II 2015 sehingga mendukung arah proyeksi pertumbuhan kategori ini. Dari sisi swasta, pelaku usaha konstruksi
memperkirakan adanya peningkatan harga jual yang dapat menjadi insentif bagi kegiatan dunia usaha secara
keseluruhan (Grafik V.16).
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia, diolah
Grafik V.15
Pengadaan Semen
Grafik V.16
Saldo Bersih Tertimbang Harga Jual Bangunan, Survei Kegiatan
Dunia Usaha Bank Indonesia
PERKEMBANGAN INFLASI
Laju inflasi KTI pada triwulan I 2015 tercatat mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Tekanan inflasi mereda yaitu dari 8,31% (yoy) menjadi 6,83% (yoy) pada periode laporan. Secara
L a p o r a n N u s a n t a r a | 63
spasial, penurunan laju inflasi yang cukup besar terjadi di Sulawesi Tengah, Papua, Bali, dan NTB. Sumber
utama menurunnya tekanan inflasi pada triwulan I 2015 berasal dari komponen administered prices dan
volatile food. Adanya penurunan harga BBM bersubsidi di awal tahun, mengikuti koreksi ke bawah dari harga
minyak dunia, membawa laju inflasi administered prices ke besaran lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan IV 2014. Meski harga BBM kembali ditingkatkan pada akhir periode triwulan I 2015, kenaikan tersebut
tidak mendorong inflasi tahunan tercatat lebih tinggi karena level harga BBM yang baru masih lebih rendah
dari level harga pada akhir 2014. Sementara itu, bobot konsumsi BBM yang jauh lebih besar dari bobot
konsumsi LPG dalam keranjang komoditas inflasi KTI membuat dampak kenaikan harga LPG dapat diredam
penurunan tren inflasi komoditas BBM.
Selanjutnya, harga kelompok aneka bumbu tercatat mengalami deflasi dibandingkan dengan periode yang
sama tahun 2014. Kondisi tersebut menyebabkan tekanan inflasi volatile food menurun dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Berbagai komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain adalah aneka cabai
(melimpahnya pasokan dari daerah sentra) yang diikuti oleh turunnya harga aneka ikan (pasokan membaik di
akhir triwulan), daging ayam dan minyak goreng. Sementara itu, inflasi inti cenderung masih meningkat yang
didorong oleh kenaikan harga pada komoditas non-traded (komoditas terkait upah dan biaya pendidikan
perguruan tinggi/akademi). Selain itu, inflasi emas perhiasan secara tahunan juga menunjukkan peningkatan,
yang didorong oleh tren meningkatnya harga emas di pasar global pada awal tahun 2015 sehingga mendorong
kenaikan harga emas perhiasan (Grafik V.17).
Grafik V.17
Grafik V.18
Perkembangan Harga Komoditas, Survei Pemantauan Harga Bank Ekspektasi Harga Konsumen Jangka Pendek, Survei Konsumen
Indonesia
Bank Indonesia
Pada triwulan II 2015, laju inflasi diperkirakan cenderung meningkat dibandingkan dengan triwulan I 2015.
Indikasi peningkatan tersebut terlihat sejak April 2015 yang mencatat adanya kenaikan harga bulanan sebesar
0,27% (mtm), sehingga inflasi tahunan tercatat sebesar 6,95% (yoy). Tendensi kenaikkan harga dimaksud
terutama disebabkan oleh penyesuaian harga BBM pada akhir Maret 2015, serta kenaikan harga aneka
bawang, yang juga sejalan dengan hasil survei harga yang dilakukan Bank Indonesia. Berlanjutnya tren
peningkatan harga pada triwulan II 2015 akan dipengaruhi oleh dimulainya masa puasa menjelang Lebaran
yang akan meningkatkan permintaan masyarakat pada barang kebutuhan pokok. Indikator ekspektasi
konsumen jangka pendek hasil Survei Konsumen di Makassar (bobot tertinggi kota IHK di KTI) juga cenderung
meningkat pada triwulan II 2015 (Grafik V.18).
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Tantangan pengendalian inflasi di daerah menjadi semakin kompleks dengan berbagai kebijakan Pemerintah
Pusat yang berupaya menyehatkan sisi kapasitas fiskal melalui pengurangan subsidi energi. Hal ini membuat
shock harga yang berasal dari kelompok administered prices berpotensi muncul sewaktu-waktu, bergantung
kondisi variabel ekonomi penentu. Kondisi tersebut perlu diantisipasi daerah, dalam hal ini TPID, sehingga
dampak gejolak harga administered prices dapat diakomodasi dengan baik di daerah tanpa meningkatkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 64
ekspektasi secara berlebihan. Oleh sebab itu, penetapan kebijakan di daerah dalam rangka menyesuaikan
perubahan harga dari Pemerintah Pusat perlu dilakukan. Selama periode triwulan I 2015, beberapa TPID
Provinsi/Kabupaten/Kota di KTI, didukung oleh Bank Indonesia di daerah, telah melakukan upaya-upaya untuk
turut menstabilkan harga. Secara khusus, di NTB, penyampaian surat rekomendasi terkait pengendalian
konsumsi LPG 12 kg kepada Pemerintah Provinsi telah dilakukan. Dari sisi harga pangan dan kebutuhan pokok
yang sering menjadi penggerak utama inflasi, TPID di Bali mengimplementasikan program Warung Sembako
TPID untuk mendukung pengendalian harga barang kebutuhan pokok.
Upaya yang lebih terkoordinasi di seluruh daerah untuk pengendalian harga juga telah diwujudkan TPID di
masing-masing daerah melalui penyusunan rencana kerja jangka hingga beberapa tahun ke depan. Di dalam
setiap rencana kerja yang disusun, dilakukan identifikasi komoditas penggerak inflasi yang memiliki bobot
besar dalam struktur keranjang inflasi daerah, serta memiliki frekuensi tinggi sebagai penyumbang inflasi pada
setiap bulan. Komoditas yang teridentifikasi memiliki bobot besar dan kerap menjadi penyumbang inflasi
dalam setiap bulannya akan mendapat perhatian. Untuk KTI, komoditas beras, aneka cabai, ikan tangkap,
daging ayam ras, dan bawang merah berhasil diidentifikasi sebagai komoditas strategis yang perlu mendapat
perhatian dalam program pengendalian harga yang dirumuskan.
Pada tahap selanjutnya, TPID mengidentifkasi permasalahan spesifik terkait pengendalian harga untuk setiap
komoditas yang ada. Permasalahan tersebut berbentuk tantangan jangka pendek (ketersediaan pasokan,
faktor musiman, serta umur komoditas) maupun struktural (jumlah petani/peternak, infrastruktur, struktur
pasar). Kemudian, TPID merumuskan program kerja jangka pendek dan jangka menengah untuk mengatasi
tantangan yang dihadapi antara lain melalui pengembangan klaster komoditas, penguatan infrastruktur
produksi dan distribusi, maupun program kerja lainnya. Berbekal hasil tersebut, TPID juga merumuskan peran
Pemerintah Pusat yang diperlukan dalam mendukung rencana kerja untuk beberapa tahun ke depan yang
telah disusun (Gambar V.1).
Gambar V.1
Alur Kerja Roadmap Pengendalian Inflasi Daerah
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Kredit sektor korporasi di KTI pada awal tahun 2015 tercatat mengalami perkembangan yang cukup baik. Hal
tersebut tercermin dari pertumbuhan kredit korporasi yang mengalami akselerasi, serta risiko kredit yang
semakin terjaga dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan I 2015, kredit korporasi mampu
tumbuh mencapai 19,4% (yoy) meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 16,5%
(yoy) (Grafik V.19). Faktor pendorong pertumbuhan kredit korporasi antara lain dipengaruhi oleh akselerasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 65
kredit korporasi pada sektor utama seperti perdagangan dan pertambangan. Di samping itu, sektor konstruksi
dan industri juga terakselerasi seiring masih maraknya proyek pembangunan dan perbaikan infrastruktur di KTI
pada tahun 2015 serta hilirisasi yang terus berlanjut.
Akselerasi pertumbuhan kredit korporasi diikuti dengan membaiknya kualitas kredit. Rasio non performing
loan (NPL) mengalami penurunan dari 4,4% pada akhir tahun 2014 menjadi 4,2% pada triwulan I 2015 (Grafik
V.20). Penurunan NPL kredit korporasi secara keseluruhan dipengaruhi oleh membaiknya kualitas kredit pada
sektor perdagangan yang pangsanya besar dalam struktur kredit. Sektor lain yang mengalami perbaikan NPL
antara lain adalah sektor pertanian dan konstruksi. Perbaikan NPL ditengarai juga dipengaruhi oleh turunnya
suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada Februari 2015, yang memengaruhi pergerakan suku bunga kredit
korporasi ke level yang lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2014.
Grafik V.19
Pertumbuhan Kredit Korporasi
Grafik V.20
NPL Kredit Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Berkebalikan dengan kondisi pada sektor korporasi, sektor rumah tangga tercatat mengalami perlambatan
pertumbuhan kredit, yang diikuti dengan penurunan kualitas kredit pada triwulan laporan. Kredit rumah
tangga mengalami perlambatan pertumbuhan dari 29,9% (yoy) di triwulan IV 2014 menjadi 28,9% (yoy) (Grafik
V.21). Perlambatan pada kredit rumah tangga terjadi pada pada hampir seluruh jenis kredit, terkecuali jenis
kredit multiguna yang tercatat masih tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kendati
demikian, pertumbuhan kredit rumah tangga pada triwulan laporan masih tergolong cukup tinggi dan berada
di atas pertumbuhan total kredit yang disalurkan berdasarkan lokasi proyek (13,5%, yoy) pada triwulan
laporan. Hal tersebut sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2015, yang
menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga masih cukup kuat kendati mengalami perlambatan. Hal ini turut
mencerminkan kondisi daya beli masyarakat yang masih cukup baik, di tengah tren kenaikan harga pada awal
tahun.
Grafik V.21
Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Grafik V.22
NPL Kredit Rumah Tangga
L a p o r a n N u s a n t a r a | 66
Ketahanan sektor rumah tangga terpantau masih sangat baik. Meskipun mengalami peningkatan rasio NPL dari
1,3% pada triwulan lalu menjadi 1,6% pada triwulan l 2015, kondisi NPL masih berada di bawah batas aman
(5%) (Grafik V.22). Peningkatan rasio NPL pada kredit rumah tangga dipengaruhi oleh naiknya NPL pada jenis
kredit KPR, KKB dan multiguna. Penyebab kenaikan rasio NPL ditengarai disebabkan oleh tingkat suku bunga
yang cenderung mengalami peningkatan khususnya untuk KPR dan KKB. Naiknya suku bunga KPR dan KKB, di
tengah tingkat harga barang kebutuhan pokok yang masih cukup tinggi memberikan pengaruh kepada
kemampuan membayar dari sektor rumah tangga.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di KTI masih melajutkan tren perlambatan
pertumbuhan. Tren perlambatan pertumbuhan kredit UMKM terlah terjadi sejak akhir tahun 2013, seiring
dengan tren peningkatan suku bunga (Grafik V.23). Pada triwulan laporan, kredit UMKM mencatat
pertumbuhan sebesar 12,4% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (12,9%, yoy)
maupun dengan pertumbuhan total kredit perbankan (13,5%, yoy) di KTI. Perlambatan pembiayaan tersebut
disebabkan oleh pergerakan NPL kredit UMKM yang terus berada dalam tren meningkat sejak triwulan terakhir
tahun 2013, sehingga perbankan cenderung menahan laju kredit UMKM dengan lebih selektif memilih debitur.
Meski demikian, suku bunga kredit UMKM tercatat relatif stabil di kisaran 14% sejak dua tahun terakhir.
Kondisi suku bunga yang cukup tinggi tersebut turut memengaruhi penurunan kualitas kredit UMKM dari 4,1%
pada triwulan IV 2014 menjadi 4,5% pada triwulan I 2015 (Grafik V.24).
Upaya pengembangan UMKM terus ditempuh Bank Indonesia di KTI sejak awal 2015. Dalam hal ini, berbagai
program peningkatan kinerja klaster komoditas utama di daerah dilakukan untuk mendukung tugas Bank
Indonesia maupun kinerja perekonomian daerah. Di Bali, berbagai kegiatan pengembangan klaster seperti padi
dan sapi bali terus diperkokoh dengan adanya berbagai pelatihan (penguatan kapasitas) bagi para petani
terkait manajemen aktivitas utama. Kelompok peternak klaster sapi di Gorontalo juga melakukan kegiatan
penambahan kelompok peternak baru. Sementara itu, upaya pengembangan klaster baru di Sulawesi Selatan
dilakukan di beberapa kabupaten maupun kota untuk komoditas cabai dan kedelai, sedangkan di Papua
penjajakan pengembangan klaster Virgin Coconut Oil (VCO) juga telah dimulai. Peningkatan kapasitas dan
kinerja klaster pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kelayakan UMKM yang belum memperoleh
akses bank maupun memperbesar repayment capacity UMKM yang sudah menerima layanan perbankan.
Grafik V.23
Pertumbuhan Kredit UMKM
Grafik V.24
NPL Kredit UMKM
Kinerja Sistem Pembayaran
Kegiatan sistem pembayaran nontunai di KTI menunjukkan perkembangan yang cukup baik pada triwulan I
2015. Hal tersebut terlihat dari indikator transaksi nontunai melalui Real Time Gross Settlement (RTGS)
maupun transaksi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang tumbuh relatif stabil dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya (Grafik V.25 dan Grafik V.26). Hampir 90% transaksi sistem pembayaran nontunai
L a p o r a n N u s a n t a r a | 67
masih menggunakan RTGS karena didorong oleh efisiensi waktu melalui proses settlement yang lebih cepat.
Upaya peningkatan intensitas penggunaan instrumen sistem pembayaran nontunai terus dilakukan di KTI.
Bank Indonesia senantiasa meningkatkan layanan sistem pembayaran yang prima dengan tentunya
mengedepankan perlindungan konsumen. Gerakan Nasional Non Tunai atau GNNT yang telah dicanangkan
mulai dimplementasikan di berbagai daerah di KTI, salah satunya di Ambon, yang ditandai dengan berlakunya
penggunaan Uang Elektronik (UNIK) di pelabuhan kapal feri serta di Universitas Pattimura (Unpatti).
Grafik V.25
Perkembangan Total Transaksi RTGS
Grafik V.26
Perkembangan Total Transaksi Kliring
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Pengedaran uang kartal di KTI mencatat peningkatan pada sisi inflow selama triwulan I 2015. Hal tersebut
sesuai dengan pola historisnya, yaitu setelah masa liburan berakhir, masyarakat cenderung kembali
menyimpan dananya di bank (Grafik V.27). Sementara itu, sisi outflow tercatat masih mengalami penurunan
dan diperkirakan akan meningkat pada akhir triwulan mendatang. Upaya pemenuhan uang layak edar terus
diupayakan Bank Indonesia ke seluruh daerah terpencil. Hal ini dipenuhi dengan kegiatan kas keliling hingga ke
daerah terpencil yang masih cukup banyak di Indonesia Timur. Ke depan, Bank Indonesia juga merencanakan
untuk mengembangkan jaringan distribusi uang yang berfokus pada kebutuhan penambahan kas titipan di
daerah. Sementara itu, indikator temuan uang rupiah palsu mengalami percepatan pertumbuhan pada Januari
2015, namun kembali mengalami kontraksi pada bulan selanjutnya (Grafik V.28). Ke depan, sosialisasi ciri-ciri
keaslian uang rupiah akan ditingkatkankan intensitas maupun luasan cakupannya. Kegiatan sosialisasi tersebut
dilakukan bersamaan dengan sosialisasi mengenai kebanksentralan dan edukasi keuangan lainnya baik kepada
pelajar, UMKM, maupun kepada nelayan dan petani di wilayah kerja Bank Indonesia di KTI.
Grafik V.27
Perkembangan Pengedaran Uang
Grafik V.28
Perkembangan Temuan Uang Palsu
L a p o r a n N u s a n t a r a | 68
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan indikator ekonomi dan pengolahan data serta informasi yang diperoleh, untuk keseluruhan 2015,
perekonomian KTI diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2014. Angka
pertumbuhan ekonomi KTI untuk tahun 2015 diproyeksikan berada pada kisaran 7,7% - 8,1% (yoy) atau lebih
tinggi dari tahun sebelumnya 6,0%, yoy). Secara spasial, penyumbang akselerasi di KTI antara lain adalah
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua Barat, Papua, NTB, serta NTT.
Kategori pertambangan dan perdagangan menjadi motor utama pertumbuhan di tahun 2015. Peningkatan
demand untuk bijih nikel di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah, akan mendorong kinerja sektor tambang
dan kegiatan perdagangan terkait ekspor. Industri olahan nikel dan LNG yang baru juga turut mendukung arah
percepatan tersebut. Kemudian, izin ekspor dari produsen utama tembaga di NTB dan Papua diperkirakan
dapat diperpanjang selama produsen dapat memenuhi komitmen dan mencapai kesepakatan dengan para
pemangku kepentingan. Apabila kuota produksi tembaga produsen di Papua dan NTB dapat dicapai,
pertumbuhan sektor pertambangan akan melaju dengan cukup signifikan yang turut dipengaruhi oleh faktor
base effect. Di samping itu, berbagai upaya penguatan infrastruktur pemerintah secara umum juga dinilai akan
menopang pertumbuhan ekonomi KTI secara keseluruhan. Dilihat dari indikator yang ada, ekspektasi
penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja sudah mulai menunjukkan peningkatan memasuki akhir tahun
2015 (Grafik V.29).
Adapun beberapa faktor risiko terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi KTI selama tahun 2015 masih
mengemuka dan berasal baik dari sisi eksternal maupun internal. Pada sisi eksternal, harga komoditas global
yang diekspor oleh KTI cenderung masih dalam tren yang menurun. Hal ini dapat menjadi faktor penghambat
akselerasi untuk sektor tradable, khususnya komoditas minyak kelapa, minyak kelapa sawit, LNG, kakao, ikan
segar maupun olahan, serta kayu lapis. Meski permintaan domestik bijih nikel diprakirakan akan meningkat,
risiko pelemahan harga dapat menurunkan permintaan eksternal. Selain itu, ekonomi Tiongkok, yang menjadi
salah satu importir utama KTI, masih berada dalam tren yang melambat. Pada sisi internal, berbagai kendala
pada upaya penguatan infrastruktur dan hilirisasi dinilai menjadi risiko utama pertumbuhan ekonomi KTI pada
tahun 2015. Berbagai rencana Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terkait peningkatan kondisi
infrastruktur di KTI perlu diperkokoh dengan komitmen implementasi yang berkesinambungan. Apabila
infrastruktur pendukung mengalami hambatan pembangunan, kinerja perekonomian secara umum juga akan
mengalami hambatan. Proyek-proyek smelter perlu diawasi dan diakomodasi sebagaimana ketentuan yang
berlaku. Kehadiran smelter baru di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara telah terbukti menjadi sumber
akselerasi perekonomian KTI melalui hilirisasi SDA pada triwulan I 2015 dan diperkirakan akan terus menjadi
pendorong pertumbuhan ekonomi KTI dengan adanya fase pembangunan lanjutan (penambahan kapasitas
produksi).
Prospek Inflasi
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa laju inflasi KTI pada triwulan II 2015 akan mengalami
peningkatan karena dipengaruhi faktor musiman, seperti liburan akhir tahun ajaran dan menjelang Lebaran.
Meski tekanan inflasi cenderung akan terakselerasi pada triwulan II 2015, inflasi KTI pada akhir tahun 2015
diperkirakan menurun atau berada pada kisaran 4,39% - 4,79% (yoy). Penurunan inflasi dimaksud didukung
oleh beberapa faktor, salah satunya adalah harga pangan yang berada dalam tren laju inflasi yang menurun,
setelah naik cukup signifikan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Faktor lain yang meredakan tekanan
inflasi yaitu ekspektasi masyarakat yang diperkirakan terkendali terkait dengan perkembangan harga yang
terjadi. Hal tersebut didukung oleh proses komunikasi kebijakan pengalihan subsidi energi yang terus
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemda, termasuk TPID. Tingkat keberhasilan kegiatan dimaksud
tercermin pada ekspektasi harga jangka panjang konsumen dan pedagang yang cenderung menurun memasuki
triwulan IV 2015 (Grafik V.30). Faktor depresiasi nilai tukar rupiah dinilai belum memberikan dampak signifikan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 69
pada inflasi KTI pada akhir tahun, karena komoditas traded relatif tidak dominan dalam struktur nilai konsumsi
agregat di KTI. Harga BBM (bensin dan solar) akan menjadi faktor utama penyebab penurunan inflasi, selama
tidak ada penyesuaian harga ke level yang lebih tinggi dibandingkan dengan akhir tahun lalu. Adapun laju
inflasi berbagai tarif angkutan secara agregat akan melandai, dipengaruhi oleh menurunnya inflasi tahunan
tarif angkutan darat.
Beberapa faktor risiko nonmusiman, yaitu selain risiko faktor musiman terkait cuaca dan momen hari raya,
yang dapat meningkatkan laju inflasi di KTI, harus tetap diwaspadai. Risiko utama berasal dari sisi kebijakan
pemerintah, terkait kebijakan penyesuaian harga BBM, TDL, dan harga LPG. Kebijakan penyesuaian harga BBM
yang fleksibel mengikuti pergerakan harga minyak internasional, menyebabkan pembentukan ekspektasi
masyarakat menjadi sangat krusial untuk dikelola. Hal ini menjadi salah satu risiko yang patut dicermati oleh
pemangku kepentingan, khususnya TPID. Risiko lain datang dari aspek harga pangan, terutama terkait dengan
upaya percepatan produksi dan penguatan konektivitas antardaerah (termasuk aspek tata niaga) untuk
mendukung swasembada dan distribusi pangan di tengah pembatasan impor. Selain itu, perbaikan
infrastruktur terkait produksi dan distribusi pangan menjadi salah satu kunci utama dalam mendukung
pengendalian harga pangan. Hambatan pada upaya tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu kestabilan
harga, khususnya di KTI, yang memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap hasil produksi
daerah lain.
Grafik V.29
Grafik V.30
Ekspektasi Kondisi Ekonomi, Survei Konsumen Bank Indonesia Ekspektasi Harga Jangka Panjang, Survei dari Bank Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 70
Kawasan Timur Indonesia (KTI) memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun memiliki tingkat
26
kesejahteraan yang masih relatif rendah. Sebagai ilustrasi, perbandingan pendapatan perkapita provinsi
27
terkaya di KTI tidak jauh berbeda dengan pendapatan perkapita provinsi termiskin di kawasan lainnya .
Kondisi ini mencerminkan disparitas sosial ekonomi yang cukup tinggi antara KTI dengan kawasan lainnya.
Disparitas tersebut juga disebabkan oleh terjadinya jumped structural transformation pada ekonomi KTI.
Struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor primer, diikuti oleh pertumbuhan sektor tersier yang kuat,
namun pertumbuhan sektor sekunder relatif stagnan. Hal ini mencerminkan rendahnya nilai tambah dari
eksploitasi hasil alam, yang merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif dan berkelanjutan.
Hilirisasi sektor pertambangan, yang merupakan sektor primer utama KTI, merupakan salah satu upaya
Pemerintah untuk memperkecil disparitas sosial. Saat ini hilirisasi akan dilakukan oleh 18 perusahaan tambang
utama untuk pengolahan komoditas bijih nikel, mangan, gas alam dan bijih tembaga. Hingga triwulan I tahun
2015, progres hilirisasi atau pembangunan smelter di KTI sudah menunjukkan perkembangan yang cukup
signifikan. Secara spasial, progress yang signifikan terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Adapun tracking progress dari masing-masing proyek yaitu empat proyek sudah selesai, lima proyek
pembangunannya sudah mencapai ±30% dan 9 proyek lainnya masih dalam tahap groundbreaking dan
negosiasi dengan pemerintah daerah (Gambar 1).
Empat proyek utama yang sudah selesai, akan melakukan ekspor perdana pada triwulan II 2015, yaitu PT. SMI
Nikel Mineral di Kawasan Industri Morowali (Sulawesi Tengah) dengan kapasitas produksi 300.000 ton/tahun,
PT. Central Modern Metal Industri di Kendari (Sulawesi Tenggara) dengan kapasitas 20.000 ton/tahun, PT. Vale
di Konawe (Sulawesi Tenggara) dengan tambahan kapasitas produksi sebesar 10.000 ton/tahun serta DSLNG di
28
Sulawesi Tengah dengan kapasitas 900.000 ton/tahun . Sementara itu, komitmen pembangunan smelter PT.
Freeport McMoran dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT), yang merupakan perusahaan pertambangan
terbesar di KTI, sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik.
Secara total, progres hilirisasi melalui pembangunan smelter di KTI saat ini sudah mencapai 25%, dan hingga
akhir tahun diperkirakan akan mencapai 50%. Beberapa faktor risiko yang akan menahan realisasi proses
hilirisasi antara lain; (1) kebutuhan energi yang cukup tinggi dan belum dapat di suplai oleh KTI. Total
kebutuhan listrik untuk proyek smelter KTI mencapai 6.000 Mw, sedangkan jumlah yang tersedia hanya
mencapai 30%-40% dari total kebutuhan energi listrik. Selain itu, (2) masalah pembebasan lahan dan perizinan
alih fungsi lahan masih menjadi kendala pembangunan smelter. (3) Infrastruktur jalan yang belum memadai di
pusat pertambangan menyebabkan biaya distribusi perlengkapan pembangunan menjadi lebih tinggi.
Infrastruktur komunikasi yang minim juga menjadi penghambat kelancaran pembangunan smelter. Dari sisi
SDM, (4) rendahnya kualitas SDM KTI menyebabkan perusahaan harus mendatangkan tenaga kerja dari luar
KTI khususnya pulau Jawa, yang berimplikasi pada biaya SDM yang cukup tinggi. Kemudian, dengan seluruh
kendala tersebut menyebabkan kebutuhan pembiayaan menjadi meningkat, berdampak pada kebutuhan
permodalan yang lebih besar. Saat ini pembiayaan masing-masing perusahaan masih bersumber dari
perusahaan induk. Meski demikian tambahan pembiayaan masih dibutuhkan dan diperkirakan akan diperoleh
melalui perbankan.
26
Pendapatan perkapita digunakan sebagai salah satu ukuran kesejahteraan.
27
Pendapatan perkapita tahun 2014 provinsi Sulawesi Selatan sebagai daerah terkaya tercatat sebesar Rp 27,30 juta, sedangkan
pendapatan perkapita Daerah Ibukota Yogyakarta sebagai daerah termiskin sebesar Rp20,49 juta.
28
DSLNG tahun 2015 akan berproduksi dibawah kapasitas maksimal yang sebesar 2 Juta ton/tahun karena pasokan bahan baku terbatas.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 71
Gambar V.2
Progress Pembangunan smelter KTI
L a p o r a n N u s a n t a r a | 72
Kemandirian ekonomi merupakan salah satu isu sentral dalam agenda Nawa Cita Pemerintahan Jokowi-JK.
Kemandirian ekonomi bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat sesuai dengan cita-cita pembangunan
nasional. Dari sejumlah komponen kemandirian ekonomi yang ingin diwujudkan, kedaulatan pangan menjadi
29
salah satu aspek utama. Dalam visi kedaulatan pangan, pertanian adalah sektor strategis ekonomi domestik
yang perlu didukung dan dikuatkan. Dalam kaitan itu, pembangunan pertanian dan perdesaan baik yang
30
tercakup dalam agenda Nawa Cita maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019,
akan diarahkan kepada wujud peningkatan kedaulatan pangan sebagai salah satu sektor strategis yang
dikembangkan untuk menciptakan kemandirian ekonomi. Penguatan kedaulatan pangan diterjemahkan dalam
langkah-langkah holistik untuk meningkatkan produksi, stabilitas harga pangan, dan kesejahteraan pelaku
usaha pangan. Secara konseptual, strategi kebijakan pembangunan pertanian 2015 – 2019 difokuskan untuk
memastikan tercapainya hal tersebut.
Gambar VI.1
Strategi Kebijakan Pembangunan Pertanian 2015 - 2019
Tulisan ini akan membahas isu kedaulatan pangan dari dua dimensi utama, yakni produksi dan distribusi/tata
niaga. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa upaya meningkatkan produksi di sisi hulu guna
menjamin ketersediaan pasokan, perlu dibarengi dengan upaya memastikan hasil produksi tersebut dapat
didistribusikan kepada konsumen (sisi hilir) dengan harga yang terjangkau. Sehubungan tersebut, tulisan ini
didasarkan pada pemikiran bahwa aspek produksi dan distribusi pelu dilihat dalam satu kesatuan yang utuh
dalam upaya mewujudkan stabilitas harga dan kedaulatan pangan.
29
Merujuk pada UU Pangan No. 18/2012, kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang
sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dalam konsepsi kedaulatan pangan, terkandung prinsip kemandirian dalam mengembangkan
pertanian dan berproduksi tanpa adanya intervensi asing baik terkait dengan kebijakan maupun impor.
30
Khususnya pembangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa yang menjadi basis pertanian.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 73
Dari sisi produksi, perkembangan terkini menunjukkan bahwa produksi sejumlah komoditas pangan strategis
masih belum mampu mencukupi konsumsi domestik. Sejauh ini, dari tiga komoditas pangan yang ditargetkan
swasembada (beras, jagung, dan kedelai), hanya jagung yang diproyeksikan mengalami surplus pada tahun
2015 dan mampu menjadi komoditas ekspor. Produksi beras, yang secara nasional diproyeksikan mencatat
surplus pada tahun 2015, namun menghadapi risiko perlambatan produksi. Hal ini merujuk pada tren
pertumbuhan produksi dalam tiga tahun terakhir yang menurun sebagai pengaruh dari alih fungsi lahan, faktor
cuaca, dan rendahnya produktivitas. Kemudian, produksi kedelai diprakirakan akan cenderung defisit pada
tahun 2015 sehubungan dengan belum adanya perubahan yang signifikan pada pola produksi kedelai, yang
memerlukan perawatan khusus dan rentan terhadap serangan hama. Sedangkan untuk komoditas lain di luar
padi, jagung, dan kedelai yang memiliki andil cukup besar terhadap stabilitas harga seperti aneka cabai dan
bawang belum menjadi prioritas swasembada, kendati sejumlah program untuk meningkatkan produksi telah
diinisiasi. Aspek lain yang mendapat perhatian adalah meningkatnya kebutuhan bahan pangan terkait dengan
pertambahan jumlah penduduk, meski konsumsi per kapita untuk sejumlah komoditas pangan strategis
diproyeksikan mengalami penurunan sebagai pengaruh dari transformasi kelas menengah di daerah urban.
Produksi yang tidak merata secara spasial mengakibatkan terdapatnya daerah surplus dan defisit yang
berdampak pada dinamika pasokan dan harga. Surplus beras terjadi di Jawa dan Sumatera, serta sebagian
31
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua. Sementara itu, komoditas hortikultura strategis, yang harganya
kerap bergejolak, tergantung kondisi pasokan, seperti cabai merah terindikasi surplus hanya di Sumatera, Jawa
dan Sulampua-Balinusra. Demikian pula untuk komoditas bawang merah, terindikasi surplus hanya di Jawa dan
Sulampua-Balinusra. Adapun pemenuhan kebutuhan bawang merah di Sumatera, bergantung pada pasokan
dari Jawa. Sama halnya dengan Sumatera, Kalimantan juga memiliki ketergantungan relatif tinggi pada
pemenuhan produk hortikultura dari wilayah lain. Untuk komoditas daging, yang harganya juga cenderung
bergejolak, terutama pada periode kenaikan permintaan, hasil pemetaan menunjukkan surplus terdapat di
Sulampua-Balinusra dan Sumatera. Sedangkan untuk komoditas daging ayam surplus terjadi di Jawa serta
32
Kalimantan. Secara umum, potensi peningkatan produksi pangan terdapat di wilayah luar Jawa dengan
mempertimbangkan ketersediaan lahan dan pengembangan pertanian modern dengan skala ekonomi dan
sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Upaya mempertemukan daerah surplus dan defisit akan sangat
dipengaruhi oleh infrastruktur konektivitas. Di tengah minimnya konektivitas khususnya di luar Jawa, dalam
jangka pendek ketergantungan pada Impor belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Upaya peningkatan
33
kapasitas produksi dan produktivitas, terutama untuk komoditas pangan strategis yang masih tercatat defisit.
setidaknya dapat mengurangi impor sehingga kondusif dalam mendukung langkah perbaikan neraca
perdagangan.
Masalah kesinambungan atau ketersediaan pasokan antarwaktu dan antardaerah juga turut mewarnai upaya
pencapaian kedaulatan pangan. Ketidaksinambungan pasokan khususnya terkait dengan siklus produksi dan
pengelolaan atau manajemen stok. Meski terdapat siklus produksi tertentu pada sejumlah komoditas pangan
strategis terutama tanaman bahan makanan (tabama), dengan pengelolaan stok yang baik, masalah
ketidaksinambungan pasokan semestinya tidak terjadi. Hal lain yang menjadi perhatian adalah pola
perdagangan lintas wilayah yang menyebabkan ketidakseimbangan pasokan antardaerah, panjangnya rantai
distribusi, dan lebih tingginya biaya logistik dan distribusi. Pada mekanisme pasar bebas, harga pangan
cenderung mengikuti harga tertinggi dan kondisi pasokan. Hal ini menyebabkan hasil produksi dilarikan
menuju daerah dengan harga tertinggi, seperti ke wilayah DKI Jakarta, yang merupakan daerah defisit dengan
31
Spesifik di Kalimantan, produktivitas panen padi (3,58 ton/Ha) jauh di bawah nasional (5,08 juta/Ha) terkait dengan kondisi lahan
gambut dan sistem pengairan tadah hujan dengan masa tanam hanya sekali dalam setahun. Sementara di Sumatera, kendala secara
spesifik pada perbaikan irigasi untuk meningkatkan produktivitas (frekuensi panen padi).
32
Khusus di KTI, komoditas ikan menjadi sumber pemenuhan protein yang utama disamping daging. Produksi perikanan KTI tercatat
surplus dalam level yang cukup signfikan didukung dengan surplus di seluruh wilayah provinsi KTI. Produk perikanan KTI juga menjadi
sumber ekspor yang cukup dominan baik ke pasar domestik maupun internasional.
33
Pengendalian permintaan (demand) melalui diversifikasi pangan juga menjadi salah satu solusi yang mendukung pencapaian
kedaulatan pangan dalam jangka panjang.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 74
tingkat permintaan tertinggi secara nasional. Selanjutnya, setelah keseimbangan harga tercapai dalam level
baru yang lebih tinggi, komoditas pangan bergerak kembali menuju ke berbagai wilayah, termasuk ke daerah
sentra produksi.
Tantangan Kedaulatan Pangan di Sisi Produksi
Gambaran secara utuh pada masalah dan tantangan kedaulatan pangan dari aspek produksi tercermin pada
bagan di bawah. Tantangan yang diidentifikasi tersebut merupakan common factor di sebagian besar wilayah,
namun secara relatif terdapat perbedaan tingkat permasalahan dan isu spesifik di tiap wilayah. Minimnya
infrastruktur pertanian lebih menjadi isu di wilayah luar Jawa. Sementara di Jawa, isu utama terkait dengan
alih fungsi lahan dan kerusakan jaringan irigasi. Adapun tantangan terbesar diidentifikasi dari aspek
kelembagaan dalam rangka meningkatkan skala ekonomi, manajemen pengelolaan dan pembinaan usaha tani,
serta tidak kalah pentingnya pembangunan infrastruktur pertanian. Aspek kelembagaan penting, mengingat
sebagian besar dari masalah produksi pertanian yang diidentifikasi bermuara pada tantangan dari sisi
kebijakan (regulasi), legal dan perizinan, penganggaran, mekanisme implementasi kebijakan, serta SDM. Meski
secara umum, telah ada kebijakan yang mendukung peningkatan kapasitas produksi, dalam implementasinya
masih ditemui banyak kendala.
•Faktor cuaca cukup dominan
memengaruhi kesinambungan
produksi dan kualitas produk
• Ketersediaan sarana infrastruktur
pengairan (waduk, saluran irigasi
primer-tersier) perlu ditingkatkan
• Kondisi akses jalan ke sentra
pertanian yang belum memadai
C
• Ketersediaan sarana pupuk, benih
yang belum optimal (kesesuaian
waktu).
• Pengelolaan dan pengawasan
distribusi pupuk di daerah masih
perlu ditingkatkan
Produksi
A
B
A Tantangan
• Sinergi dan koordinasi dlm
pembangunan infrastruktur
pertanian oleh Pusat-Daerah
• Pengadaan lahan sesuai dgn RTRW
dan hambatan perizinan
• Keterbatasan anggaran infrastruktur
daerah
B
• Rendahnya adopsi inovasi dan
teknologi mengakibatkan
produktivitas yang rendah.
• Tingginya alih fungsi lahan
pertanian.
Program K/L
C
Tantangan
• Keterbatasan akses terhadap alsintan
• Penyaluran bantuan yang harus sesuai
dengan karakteristik wilayah
pertanian
• Dukungan teknis & non-teknis (BBM,
kemampuan pengelolaan) yang masih
minim
Tantangan
• Keterbatasan akses terhadap saprodi
• Penyaluran bantuan saprodi yang
tepat sasaran & lokasi
• Dukungan teknis (penyuluh) terkait
Good Agricultural Practice (GAP)
(Keterangan : Disarikan dari berbagai kajian dan narasumber)
Gambar VI.2
Permasalahan dan Tantangan Pencapaian Kedaulatan Pangan di Sisi Produksi
Infrastruktur pertanian menjadi tantangan struktural dalam peningkatan kapasitas poduksi dan produktivitas
usaha tani. Kondisi terkini menunjukkan parahnya kerusakan jaringan irigasi pertanian yang mencapai hingga
46% dari total jaringan irigasi yang ada. Kerusakan terbesar terjadi pada jaringan irigasi yang berada di bawah
kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota (59% rusak dari total yang menjadi kewenangannya) dan
Pemerintah Provinsi (53% rusak dari total yang menjadi kewenangannya). Disamping minimnya upaya
perluasan jaringan irigasi baru di daerah, faktor pemeliharaan masih menjadi kendala utama. Hal ini terkait
salah satunya dengan terbatasnya alokasi anggaran, terutama APBD, di samping minimnya pengawasan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 75
Dengan asumsi tren produksi dan konsumsi per kapita berlanjut seperti saat ini, tanpa ada pembangunan dan
34
rehabilitasi jaringan irigasi, diprakirakan defisit beras akan mulai terjadi pada tahun 2017.
22,5%
41%
PUSAT
59%
2.376.521 Ha
KAB/KOTA
3.663.172 Ha
Total Luas Irigasi
Permukaan :
7.145.168
Ha
Kondisi Baik
Kondisi Rusak
33%
77,5%
51%
PROV
1.105.475 Ha
16%
53,4%
46,6%
(Sumber : Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)
Grafik VI.1
Kondisi Jaringan Irigasi Pertanian Tahun 2014
Secara nyata, pemerintah telah berupaya mengatasi tantangan dari kendala infrastruktur pertanian, khususnya
untuk menyelesaikan rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak maupun membangun jaringan irigasi baru. Hal ini
tercermin dari APBN-P 2015 yang mengalihkan anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan berbagai
upaya penghematan anggaran belanja kementerian/lembaga ke belanja infrastruktur. Alokasi anggaran untuk
keseluruhan proyek infrastruktur naik sekitar 40% pada tahun 2015, bila dibandingkan dengan alokasi pada
tahun 2014. Alokasi anggaran, yang mencapai sekitar Rp 11,6 triliun, akan digunakan untuk pembangunan
jalan pertanian (500 km), jaringan irigasi (0,36 juta Ha irigasi primer-sekunder dan 0,35 juta Ha irigasi tersier),
waduk (5 proyek baru, 16 proyek berjalan), serta perbaikan pelabuhan perikanan (22 proyek). Pembangunan
jaringan irigasi baru dialokasikan terbesar di wilayah Sumatera, sementara untuk rehabilitasi jaringan irigasi
difokuskan di wilayah Jawa pada tahun 2015.
Dalam kurun waktu yang lebih panjang, hingga tahun 2019, Pemerintah merencanakan pembangunan waduk
dan jaringan irigasi dalam skala luas, untuk mendukung tercapainya kedaulatan pangan sesuai amanat RPJMN
2015 – 2019. Sebanyak 65 waduk senilai sekitar Rp 89,5 triliun direncanakan pembangunannya pada tahun
2015. Adapun sebaran dari pembangunan waduk tersebut sekitar 60% dari 65 proyek dimaksud berada di
wilayah Jawa (27 proyek senilai Rp 39,5 T) dan Sumatera (12 proyek senilai Rp 19,7 T). Di samping itu, juga
akan dibangun 1 juta Ha jaringan irigasi baru, yang sekitar 69% di antaranya, direncanakan dibangun di wilayah
35
Sumatera dan Maluku-Papua (terluas di Papua Barat). Sementara itu, untuk rehabilitasi jaringan irigasi seluas
3 juta Ha direncanakan sekitar 60% di antaranya, dibangun di wilayah Jawa (terluas di Jawa Barat) dan
Sumatera (terluas di Sumatera Utara).
Diharapkan dengan adanya langkah prioritas dalam pembangunan maupun perbaikan infrastruktur pertanian,
produksi komoditas pangan strategis dapat meningkat dan mencapai swasembada untuk sejumlah komoditas.
Adapun target swasembada difokuskan pada komoditas beras, jagung, dan kedelai. Khusus komoditas beras,
swasembada ditargetkan dalam tiga tahun pertama (tahun 2015 – 2017). Peningkatan produksi pangan
tertinggi pada tahun 2019 ditargetkan pada komoditas kedelai yang mencapai hingga 22,7% dari baseline
produksi pada 2014.
34
Analisis dan estimasi Ditjen Sumber Daya Air, Kemenpupera dengan mengasumsikan konsumsi beras (139 kg/orang/tahun, proyeksi
jumlah penduduk oleh BPS, luas lahan beririgasi (Kepmen 293 Tahun 2014), produktivitas sebesar 5,16 Ton GKG/Ha dengan Indeks
Pertanaman (IP) sebesar 1,43 dan rendemen GKG ke beras 0,56, serta perkiraan alih fungsi lahan sebesar 100.000 Ha/tahun.
35
Langkah pembangunan jaringan irigasi baru merupakan hal yang mutlak untuk mendukung program pertanian modern (food estate)
yang mengutamakan produktivitas tinggi dengan dukungan teknologi, metode tanam, dan SDM.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 76
Bali-Nusa MalukuTenggara Papua
MalukuPapua
28,4%
31,9%
Sumatera
Sulawesi
28,1%
14,4%
Jawa
Bali-Nusa
Tenggara
6,5%
5,7% 5,3%
Sumatera
Kalimantan
5,0%
14,8%
Kalimantan
Sulawesi 11,7%
Jawa
31,7%
16,5%
(Sumber : Ditjen Sumber Daya Air, Kemenpupera)
Grafik VI.2
Persentasi Proyek Pembangunan Irigasi
Grafik VI.3
Persentasi Proyek Rehabilitasi Irigasi
Dalam kaitan dengan upaya mengatasi tantangan dalam pencapaian kedaulatan pangan di sisi produksi
melalui pembangunan infrastruktur, diperlukan sinergi antara Pemerintah Pusat – Daerah. Koordinasi maupun
kerjasama diperlukan untuk memastikan adanya dukungan sesuai dengan kewenangannya, mengingat
jaringan irigasi primer-sekunder menjadi tanggung jawab pusat, sementara jaringan irigasi tersier berada
dalam kewenangan daerah. Tanpa adanya sinergi, terdapat risiko lambatnya atau bahkan tertundanya realisasi
pembangunan infrastruktur pertanian yang strategis tersebut. Monitoring secara berkala dibutuhkan guna
mengetahui kemajuan dari sejumlah proyek serta kendala yang dihadapi di seluruh wilayah.
Rp Juta
Provinsi
Sulawesi Utara
NTB
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Jambi
TOTAL
*)
Seluruh
Fase
Fase
Perencanaan
908,517
0
744,426
0
375,019
280,145
202,288
68,938
149,751
62,000
4,613,528
883,165
Posisi per Mei *)
Fase Post
Fase
Tender
Konstruksi
78,517
830,000
724,538
19,888
53,450
41,424
76,495
56,855
87,751
0
2,528,349
1,202,014
% Fase
Konstruksi
91.4
2.7
11.0
28.1
0
26.1
Data ditarik pada 4 Mei 2015
(Sumber : BCI Asia)
Tabel VI.1
Tracking Proyek Konstruksi Pembangunan Waduk dan Jaringan Irigasi 2015
Tantangan Kedaulatan Pangan di Sisi Tata Niaga
Salah satu pengejewantahan dari kedaulatan pangan adalah stabilisasi harga pangan yang sangat terkait
dengan aspek tata niaga. Secara garis besar, tantangan terbesar dari tata niaga sejumlah komoditas pangan
strategis saat ini adalah pada perbaikan jalur distribusi, mekanisme pembentukan harga, dan faktor
institusional, yang mencakup kebijakan dan fasilitasi perdagangan. Selain itu, belum optimalnya manajemen
stok, di tengah masih terdapatnya ketidaksinambungan pasokan, mengakibatkan minimnya stok penyangga,
yang menyebabkan stabilitas harga rentan, terutama saat terjadi paceklik atau penurunan produksi. Gambaran
secara utuh pada masalah dan tantangan kedaulatan pangan dari aspek tata niaga tercermin pada bagan di
bawah. Tantangan yang diidentifikasi di bawah ini merupakan common factor di sebagian besar wilayah,
namun relatif terdapat perbedaan level permasalahan dan isu spesifik di tiap wilayah, antara lain panjang
pendeknya rantai distribusi, hambatan distribusi, serta akses ke pasar.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 77
A Tantangan
• Belum optimalnya sistem manajemen stok/logistik terintegrasi yang mendukung efisiensi rantai distribusi
• Inefiesiensi distribusi dan terbatasnya pusat distribusi pangan yang didukung dgn gudang penyimpanan
memadai dan tepat lokasi
• Keterbatasan anggaran daerah utk stabilisasi harga, termasuk dalam menjaga kesinambungan pangan
• Keterbatasan transparansi harga
dan konektivitas menyebabkan
C semakin lebarnya disparitas harga
antardaerah
• Belum optimalnya pengelolaan
logistik pangan untuk
A
mendukung kesinambungan
pasokan dan stabilitas harga
Rp
Distribution
channel
• Ketepatan pengaturan waktu
dan besaran jumlah alokasi
impor yang disesuaikan dengan B
kondisi pasokan/produksi
domestik
• Masih terbatasnya peran institusi
pangan/Pemerintah dalam
D meningkatkan skala ekonomi dan
akses langsung ke pasar
C Tantangan
• Sistem informasi harga pangan belum
B Tantangan
Program K/L
digunakan secara luas dan terintegrasi
• Akurasi kondisi surplus defisit komoditas pangan
• Pengarahan ekspektasi yg memengaruhi
• Kesesuain dengan aturan WTO
mekanisme pembentukan harga
• Perluasan jaringan akses membutuhkan
D Tantangan
investasi besar dan dukungan stakeholders
• Masih lemahnya kelembagaan pelaku usaha pangan khususnya
pusat dan daerah
pada sisi manajemen bisnis
• Kurangnya komitmen dlm implementasi kerjasama antar daerah
• Minimnya fasilitasi/pendampingan kepada petani dalam
mengakses pasar yang lebih luas
(Keterangan : Disarikan dari berbagai kajian dan narasumber)
Gambar VI.3
Permasalahan dan Tantangan Pencapaian Kedaulatan Pangan di Sisi Tata Niaga
Rantai distribusi sejumlah komoditas pangan strategis cenderung panjang, yang berdampak pada tidak
seimbangnya akumulasi margin serta terjadinya disparitas harga yang besar di tingkat produsen (khususnya
pada tingkat petani dan pedagang besar). Sebagai contoh, bagan di bawah adalah rantai distribusi beras yang
dipetakan secara nasional melalui survei. Terbatasnya akses ke pasar secara langsung, menyebabkan tingginya
ketergantungan petani pada pengepul atau tengkulak yang menyediakan sejumlah fasilitas baik pada periode
sebelum maupun pascapanen. Pedagang besar memiliki peran penting dalam tata niaga, terkait dengan
jaringan rantai pasok dan jaringan perdagangan yang dimiliki, serta modal pendukung. Hal ini ditengarai
sebagai faktor yang menyebabkan pedagang besar cenderung mampu memengaruhi pasokan dan harga secara
relatif, serta dapat mengambil margin terbesar bersama dengan pedagang grosir yang memiliki jaringan di
tingkat pengecer. Sama halnya dengan petani, pengecer dan konsumen akhir cenderung tidak memiliki daya
tawar. Meski demikian, efisiensi rantai distribusi tidak hanya terkait dengan panjang/pendeknya rantai, tetapi
juga penyebaran margin keuntungan, yang mengindikasikan risiko dan faktor pembentukan harga. Pedagang
besar mengambil margin terbesar disebabkan pula oleh risiko yang harus ditanggung terkait dengan volatilitas
pasokan dan harga.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 78
Market Power – Marjin Terbesar
(Sumber : Tumpak, dkk, Grup Riset Ekonomi, Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter/DKEM, 2011)
Gambar VI.4
Rantai Distribusi Beras
Secara umum, juga terlihat distribusi pasokan pangan yang terbagi hampir merata antara pasar domestik di
dalam wilayah produksi dengan pasar di wilayah (provinsi) lain, mengikuti mekanisme pasar (harga tertinggi
dan kondisi pasokan). Hal ini turut menjadi faktor terjadinya disparitas harga pangan secara spasial, di samping
adanya perbedaan biaya distribusi. Berdasarkan survei, biaya distribusi (transportasi dan bongkar muat)
berada pada kisaran 40% - 50% tergantung dari jenis pelaku usaha pangan. Selain itu, persepsi pedagang
terhadap kendala distribusi juga mengonfirmasi tingginya biaya pengangkutan yang di antaranya sebagai
pengaruh dari keterbatasan jumlah angkutan serta faktor lain seperti kerusakan infrastruktur dan cuaca buruk.
Secara spasial, kendala distribusi terutama di wilayah luar Jawa yang memiliki konektivitas dan infrastruktur
lebih terbatas. Biaya logistik khususnya di KTI merupakan yang tertinggi secara nasional
(Sumber : Ridhwan, dkk, DKEM, 2012)
Grafik VI.4
Struktur Biaya Pedagang
(Sumber : Tumpak, dkk, DKEM, 2011)
Grafik VI.5
Faktor dalam Kendala Distribusi
Peningkatan konektivitas melalui pembangunan infrastruktur jalan dan pelabuhan diharapkan dapat
mengefisienkan rantai distribusi dan biaya logistik sebagai salah satu upaya pembenahan tata niaga. Hal ini
juga mendukung upaya meningkatkan daya saing logistik untuk menyamai negara pesaing regional, sehingga
akses pelaku usaha pangan ke pasar dapat semakin efisien. Peningkatan konektivitas juga dalam rangka
memperluas akses pasar yang bertujuan untuk penguasaan pasar domestik serta pasar ekspor bagi komoditas
pangan. Dalam kaitan itu, sejumlah pembangunan dan pemeliharaan jalan nasional direncanakan dalam kurun
waktu tahun 2015 -2019 dengan nilai total proyek sekitar Rp 278 triliun. Pembangunan terutama difokuskan
pada proyek jalan bebas hambatan, yang pada akhir tahun 2014 hanya dapat diselesaikan di wilayah Bali dan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 79
sebagian Jawa. Jalur Trans Sumatera dimulai pembangunannya pada tahun 2015, sementara pembangunan
jalan bebas hambatan di wilayah Kalimantan dan Sulawesi masih dalam tahap studi dan penyiapan dokumen
serta pengadaan lahan. Diharapkan pada tahun 2019, lebih dari 50% jalan bebas hambatan secara nasional
dapat diselesaikan pembangunannya.
WIL AYAH
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Bali
Sulawesi
TOTAL
PAN JANG
(KM)
STATUS
2 0 14
TAR GET
2 0 15-2019
2 0 15
SEL ESAI
496.19
-
1.23
174.99
1,348.81
256.18
123.78
775.75
99.02
-
-
99.02
9.70
9.70
-
-
39.00
-
-
39.00
1 ,992.72
2 6 5.88
125.01
1 ,088.76
Sumber : Kemen PU Pera
Grafik VI.6
Indeks Kinerja Logistik
Tabel VI.2
Status Pembangunan Jalan 2015
Seperti halnya dengan pembangunan infrastruktur pertanian, perlu adanya koordinasi dan sinergi pusatdaerah dalam pembangunan infrastruktur transportasi baik darat maupun laut. Berdasarkan pemantauan
terkini (data BCI Asia pada awal Mei 2015), terindikasi lambatnya realisasi pembangunan pelabuhan laut dan
36
udara serta terminal. Hal ini ditengarai sebagai pengaruh dari kendala dalam pengadaan lahan dan perizinan,
di samping kemungkinan adanya isu pendanaan. Kontribusi dan kerjasama Pemerintah Daerah sangat
diharapkan dalam menyelesaikan sejumlah kendala tersebut. Selain itu, juga diharapkan adanya dukungan
daerah dalam pembangunan jalan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota.
Dari sisi pembiayaan, pembangunan infrastruktur juga membutuhkan dukungan swasta dan BUMN. Diperlukan
langkah konkrit untuk mendapatkan dukungan swasta melalui penawaran skema pembiayaan dan struktur
insentif. Dari sisi pembiayaan pemerintah baik melalui APBN amupun APBD (budget constraint), perlu adanya
prioritas proyek infrastruktur yang akan dibangun. Prioritas perlu didasarkan pada analisis cost-benefit agar
manfaat dari pembangunan infrastruktur dapat semaksimal mungkin dirasakan masyarakat, mendukung
kedaulatan pangan, serta mendorong perekonomian sektor riil secara langsung.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kedaulatan pangan merupakan salah satu aspek utama dalam komponen kemandirian ekonomi yang ingin
diwujudkan dan tertuang dalam agenda Nawa Cita Pemerintahan Jokowi-JK dan RPJMN. Dalam menyoroti dua
aspek utama, yaitu produksi yang mewakiliki sisi hulu dan distribusi/tata niaga yang mencakup sisi hilir,
diharapkan dapat memberikan gambaran umum yang holistik akan aspek kedaulatan pangan. Perkembangan
terkini sisi produksi menunjukan bahwa sejumlah komoditas pangan strategis masih belum mampu mencukupi
konsumsi domestik. Khusus untuk tiga komoditas pangan (beras, jagung dan kedelai), yang ditargetkan
swasembada, hanya jagung yang diprakirakan mengalami surplus pada 2015. Kondisi surplus-defisit dimaksud
akan membawa dimensi tantangan apbila dilihat dari aspek spasial. Konektivitas anatar daerah menjadi kunci
utama untuk menjembatani perdagangan antar daerah yang mengalami surplus dan defisit sehingga pasokan
dapat selalu terjaga. Adapun tantangan yang dihadapi pada sisi produksi, terutama pada aspek kelembagaan,
alih fungsi lahan, kerusakan jaringan irigasi dan masih minimnya infrastruktur (khusus untuk daearah luar
36
Dalam RPJMN 2015 – 2019 direncanakan pembangunan 24 pelabuhan barang baru yang sebagian besar akan terintegrasi dengan sistem
tol laut, 60 pelabuhan penyeberangan baru, serta 15 bandara baru. Disamping pembangunan infrastruktur pelabuhan laut dan udara, juga
direncanakan perluasan jalur kereta api di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi sepanjang total 3,258 km. Optimalisasi moda
kereta dalam distribusi barang juga dapat turut mendukung perbaikan sistem dan biaya logistik.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 80
Jawa). Kemudian, tantangan pada aspek tata niaga terkait jalur distribusi, mekanisme pembentukan harga, dan
faktor institusional, yang mencakup kebijakan dan fasilitasi perdagangan.
Menyikapi berbagai kendala dan tantangan di maksud, upaya peningkatan produksi dan pembenahan tata
niaga memainkan peran sangat penting dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan. Pembangunan
infrastruktur pertanian akan mendorong kenaikan produksi dan produktivitas pangan sedangkan
pembangunan infrastruktur transportasi akan mendukung perbaikan logistik, sehingga upaya pembenahan
rantai distribusi dan stabilitas harga lebih dapat dicapai. Dari sisi pembiayaan, pembangunan infrastruktur
memiliki conditionality, yakni swasta maupun BUMN. Dengan demikian, perlu adanya langkah konkrit untuk
mendapat dukungan swasta melalui penawaran skema pembiayaan dan struktur insentif. Kemudian, dalam
rangka mengoptimalkan sumber daya (resources) terutama dr sisi pembiayaan pemerintah (budget constraint),
perlu adanya prioritas proyek infrastruktur yang akan dibangun. Prioritas perlu didasarkan analisis cost-benefit
agar manfaat dari pembangunan infrastruktur dapat semaksimal mungkin dirasakan masyarakat, mendukung
kedaulatan pangan, serta mendorong perekonomian sektor riil secara langsung. Selain itu, koordinasi dan
sinergi lintas institusi baik di pusat dan daerah memegang peranan kunci, khususnya dalam menyelesaikan
sejumlah masalah yang menghambat pembangunan infrastruktur. Terakhir, menilik pada aspek tata niaga,
terdapat beberapa opsi strategi atau langkah riil yang dapat dilakukan untuk membenahinya, khususnya dalam
mengefisiensikan rantai distribusi dan biaya logistik yg berpengaruh pada pembentukan harga. Salah satunya
adalah dengan pengelolaan pusat distribusi pangan regional secara profesional dengan fungsi terpadu dari
hulu hingga hilir.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 81
Halaman ini sengaja dikosongkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 82
Sebagai negara dengan perekonomian yang terbuka, dinamika ekonomi global akan memengaruhi
perkembangan ekonomi Indonesia. Interaksi perekonomian nasional dengan perekonomian global, terjalin
melalui kegiatan perdagangan internasional. Dukungan kegiatan perdagangan internasional pada kinerja
ekonomi dipengaruh oleh seberapa besar ekspor dapat dipacu, meskipun impor tetap dilakukan. Faktor utama
yang dapat memengaruhi kinerja ekspor yaitu permintaan negara mitra dagang dan perkembangan nilai
tukar. Dalam beberapa waktu terakhir kondisi nilai tukar rupiah cenderung terdepresiasi. Secara teori kondisi
ini akan menguntungkan kinerja ekspor, karena pelemahan nilai tukar dapat memperbaiki daya saing
komoditas ekspor dari sisi harga. Meski demikian pemanfaatan peluang sangat tergantung pada faktor-faktor
lain yang memengaruhi daya saing dari komoditas ekspor tersebut.
Perkembangan perekonomian dunia yang semakin maju dan tanpa batas mendorong terus meningkatnya
transaksi perdagangan internasional. Bagi negara emerging dengan karakteristik small open economy, nilai
tukar berperan penting dalam transaksi perdagangan sekaligus menjadi salah satu barometer stabilitas
makroekonomi. Dalam konteks tersebut, perkembangan level dan fluktuasi nilai tukar selalu menjadi topik
pembicaraan menarik dan mengundang fokus perhatian banyak pihak, khususnya manakala nilai tukar
mengalami tekanan. Sehubungan hal tersebut, pada bulan April 2015, Bank Indonesia melaksanakan survei
kepada pelaku usaha di berbagai daerah guna menjaring pandangan mereka mengenai dampak pelemahan
nilai tukar rupiah terhadap perekonomian daerah, khususnya melalui jalur ekspor-impor.
Grafik VI.7
Pergerakan Ekspor dan Nilai Tukar Rupiah
Hasil Umum Survei
Survei dilakukan kepada 279 responden pelaku usaha dari 12 sektor usaha di seluruh wilayah, dengan porsi
terbesar responden dari wilayah Jawa. Berdasarkan sektor usahanya, sebagian besar responden merupakan
pelaku usaha industri pengolahan (70,9%). Untuk melihat dampak nilai tukar terhadap kegiatan usaha
responden, maka responden dikelompokkan dalam beberapa jenis usaha berdasarkan asal bahan baku yang
digunakan dan orientasi pasarnya yaitu : (i) usaha berbahan baku impor dengan orientasi pasar domestik; (ii)
usaha berbahan baku impor dengan orientasi pasar ekspor; dan (iii) usaha berbahan baku lokal dengan
orientasi pasar ekspor. Pengelompokan berdasarkan asal bahan baku didasari pemikiran bahwa bahan baku
merupakan faktor paling dominan yang menentukan biaya produksi, sehingga peningkatan biaya perolehan
akibat pelemahan rupiah akan mempengaruhi kinerja usaha. Sementara itu, pengelompokan berdasarkan
Laporan Nusantara| 83
orientasi pasar diharapkan akan mampu memberikan gambaran mengenai kondisi pelaku usaha dalam
mengoptimalkan pemanfaatan kondisi pelemahan rupiah yang terjadi.
Share Responden Survei-Wilayah
Share Responden Survei – Sektor Usaha
Grafik VI.8
Profil Responden
Grafik VI.9
Dampak Nilai Tukar Terhadap Penjualan Per Kategori Usaha
Dalam jangka pendek (triwulan II 2015), pelemahan nilai tukar yang terjadi mengakibatkan pelaku usaha yang
memiliki orientasi pasar domestik cenderung lebih pesimis terhadap kondisi penjualan dibandingkan dengan
pelaku usaha dengan orientasi pasar ekspor (Grafik VI.4). Dalam perspektif jangka panjang (sepanjang 2015),
baik pelaku usaha yang berorientasi pasar ekspor maupun domestik menunjukkan optimisme terhadap
peningkatan penjualan. Selain penurunan penjualan, kinerja usaha juga dihadapkan pada permasalahan
peningkatan biaya produksi. Berdasarkan hasil survei, peningkatan biaya produksi pada usaha yang
menggunakan bahan baku impor, baik yang berorientasi pasar domestik maupun ekspor, cenderung lebih
dominan dibandingkan dengan usaha yang menggunakan bahan baku lokal. Peningkatan biaya produksi dalam
level yang lebih moderat pada usaha yang berbasis bahan baku lokal dan berorientasi pasar ekspor,
diperkirakan karena pelemahan rupiah juga memiliki dampak terhadap kenaikan harga bahan baku lokal,
antara lain melalui jalur kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dalam kondisi yang sedemikian rupa,
seluruh kategori usaha mengindikasikan upaya untuk mempertahankan daya saingnya saat ini maupun
disepanjang tahun 2015 dengan cara mempertahankan kondisi harga jual (stabil). Upaya ini berdampak pada
berkurangnya margin usaha, khususnya pada usaha berbahan baku impor dengan orientasi pasar ekspor.
Sementara itu, mayoritas responden memperkirakan indikator kinerja usaha lainnya, seperti kebutuhan
investasi dan pembiayaan relatif stabil sepanjang tahun 2015.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 84
(a)
(b)
(c)
(d)
Grafik VI.10
Dampak Pelemahan Rupiah terhadap Biaya Produksi, Harga Jual, Margin Usaha, dan Daya Saing
Dampak Pelemahan Nilai Tukar pada Industri Pengolahan
Asesmen dampak pelemahan nilai tukar terhadap industri pengolahan dikhususkan di wilayah Jawa, mengingat
dominasi industri pengolahan Jawa terhadap industri pengolahan nasional. Hasil survei terhadap 86
perusahaan industri pengolahan di Jawa, terindikasi bahwa omset penjualan relatif stabil (Tabel VI.1).
Sementara, pelaku usaha yang memiliki orientasi pasar ekspor memperkirakan akan mengalami kenaikan
penjualan. Mayoritas perusahaan di semua kategori pelaku usaha menyatakan bahwa biaya produksi
mengalami kenaikan, termasuk pada pelaku usaha yang menggunakan bahan baku dari pasar domestik.
Meskipun demikian, mayoritas pelaku usaha menyatakan belum akan melakukan penyesuaian harga jual.
Kondisi ini menyebabkan berkurangnya margin usaha, khususnya bagi pelaku usaha berbahan baku impor
dengan orientasi pasar domestik.
37
Hasil asesmen Marshall Lerner condition menunjukkan bahwa beberapa sektor industri di wilayah Jawa
cenderung inelastis terhadap pelemahan nilai tukar rupiah (Tabel VI.2). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam
jangka pendek, pelemahan nilai tukar rupiah belum memberikan dampak bagi perbaikan neraca perdagangan
industri pengolahan di Jawa. Asesmen sektor industri di Jawa berdasarkan analisis Marshall Lerner condition,
dikelompokkan dalam beberapa kategori berdasarkan karakteristik industri, yaitu:
a.
Industri dengan orientasi pasar domestik, namun memiliki kandungan impor tinggi (komoditas: tekstil
dan produk tekstil/TPT).
37
Marshall Lerner condition adalah kondisi perbaikan neraca perdagangan terhadap depresiasi nilai tukar yang tercapai melalui respons
pasar berupa peningkatan permintaan, seiring membaiknya daya saing ekspor. Respons tersebut juga disertai dengan upaya pengurangan
impor, melalui penguatan lini produksi bahan baku substitusi impor
L a p o r a n N u s a n t a r a | 85
Dampak pelemahan nilai tukar terhadap kinerja industri TPT relatif terbatas, tercermin dari total elastisitas
ekspor dan impor yang kurang dari 1 (Tabel VI.2). Nilai elastisitas ekspor TPT terhadap pelemahan nilai
tukar yang lebih kecil dibandingkan elastisitas impor terhadap pelemahan nilai tukar, mengindikasikan
respon impor yang lebih kuat dibandingkan ekspor. Hal ini ditengarai disebabkan oleh tingginya
komponen bahan baku impor pada komoditas TPT.
b. Industri dengan orientasi pasar ekspor, namun memiliki kandungan impor tinggi (komoditas: Kendaraan
Bermotor dan Elektronik).
Pelemahan nilai tukar berpotensi mendorong peningkatan kinerja ekspor kendaraan bermotor, namun
menurunkan daya saing ekspor produk elektronik. Pelemahan nilai tukar direspon positif melalui
peningkatan kinerja ekspor kendaraan bermotor dengan elastisitas 0,47 ditengah content impor yang
menurun (elastisitas -0,04) (Tabel VI.2). Sementara itu, pengaruh nilai tukar rupiah terhadap industri
elektronik cukup besar, tercermin dari elastisitas yang mendekati 1 (0,99). Pelemahan nilai tukar direspon
dengan penurunan kinerja ekspor elektronik, ditengarai terjadi karena adanya ketergantungan yang tinggi
dari pelaku usaha terhadap bahan baku impor (hingga mencapai 70%).
c.
Industri dengan orientasi pasar ekspor, namun memiliki kandungan bahan baku domestik (komoditas:
Makanan Minuman).
Dampak pelemahan nilai tukar terhadap kinerja ekspor-impor industri makanan dan minuman relatif
terbatas, tercermin dari total elastisitas ekspor-impor yang di bawah 1. Pelemahan nilai tukar rupiah
direspon positif oleh industri makanan dan minuman, sehingga mendorong peningkatan ekspor maupun
impor. Nilai elastisitas ekspor yang lebih besar dibandingkan elastisitas impor mengindikasikan respon
positif ekspor yang lebih kuat daripada impor. Hal ini sejalan dengan dominasi penggunaan komponen
bahan baku lokal pada industri makanan minuman.
*Kondisi elastis diperoleh bila penjumlahan elastisitas eksporimpor (absolut) ≥1
Tabel VI.3
Hasil Survei Dampak Nilai Tukar
Tabel VI.4
Asesmen Dampak Nilai Tukar terhadap Sektor Industri
Pengolahan Kawasan Jawa
Dampak Pelemahan Nilai Tukar Pada Komoditas Pertambangan : Batubara & Minyak
Bumi
38
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan kepada para pelaku usaha pertambangan di Kalimantan, diketahui
bahwa pelemahan nilai tukar tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja komoditas batubara dan
minyak bumi. Hal ini terjadi karena pendapatan maupun pengeluaran pelaku usaha ditransaksikan
menggunakan mata uang dolar AS, baik untuk pasar ekspor maupun pasar domestik. Jika dilihat dari struktur
biayanya, 80%–90% biaya digunakan untuk pembelian sparepart, bensin pertambangan, royalti serta
38
Survei dilakukan pada contact Liaison periode April 2015 (Departemen Statistik) dengan menggunakan suplemen kuesioner.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 86
pembayaran cicilan dan bunga kredit. Sedangkan, biaya yang menggunakan mata uang rupiah hanya 10%–20%
saja, antara lain untuk pembayaran gaji non-ekspatriat, pajak dan biaya operasional lainnya. Lebih lanjut,
kandungan impor yang cukup tinggi pada sektor pertambangan, seperti sparepart dan bahan peledak tidak
terpengaruh oleh nilai tukar karena output produksi juga dijual dalam valuta dollar AS.
Berdasarkan olah data sekunder, untuk melihat dampak nilai tukar terhadap kinerja sektor batubara dan migas
di Kalimantan, terlihat bahwa tidak terdapat hubungan yang konsisten antara pelemahan nilai tukar dengan
volume ekspor batubara dan migas. Ekspor batubara lebih didorong oleh harga komoditas yang merupakan
representasi permintaan pada level global. Sementara itu, kinerja ekspor migas lebih dipengaruhi oleh natural
declining yang terjadi pada sumur migas yang ada.
Grafik VI.11
Ekspor Batubara dan Nilai Tukar
Grafik VI.12
Ekspor Batubara dan Harga Komoditas
Grafik VI.13
Volume Ekspor Minyak Bumi dan Nilai Tukar
Grafik VI.14
Ekspor Gas dan Harga Komoditas
Dampak Pelemahan Nilai Tukar Pada Komoditas Perkebunan : CPO dan Karet
Survei terhadap 59 responden pelaku usaha komoditas Crude Palm Oil (CPO) dan karet Sumatera menunjukkan
bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memberikan dampak positif kepada ekspor, terindikasi
dari perkiraan peningkatan penjualan keseluruhan tahun 2015 yang mencapai 4,5% (yoy). Namun, peningkatan
penjualan baik dari segi nilai maupun volume belum menjadi faktor pendorong bagi pelaku usaha untuk
meningkatkan investasi dan pembiayaan pada tahun 2015. Responden juga memperkirakan bahwa pelemahan
nilai tukar yang terjadi belum memengaruhi biaya produksi. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar tidak diiringi
dengan penurunan impor. Hal ini karena impor yang dilakukan oleh pelaku usaha di Sumatera merupakan
barang modal (48% dari total impor) yang digunakan dalam proses produksi.
Kinerja ekspor CPO dan karet Sumatera juga dipengaruhi perkembangan harga kedua komoditas tersebut di
pasar internasional. Hal tersebut dikonfirmasi melalui uji korelasi terhadap kedua variabel tersebut dengan
menggunakan data ekspor sejak tahun 2007 hingga Maret 2015. Korelasi yang kuat antara kinerja ekspor dan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 87
harga komoditas tercermin dari nilai korelasi keduanya yang mencapai 0,95 untuk komoditas karet dan 0,75
untuk komoditas CPO (Tabel VI.3).
Indikator
Ekspor Karet (Nilai)
Ekspor Karet (Volume)
Ekspor CPO (Nilai)
Ekspor CPO (Volume)
Nilai Tukar Harga Komoditas
-0.54
0.95
-0.06
0.32
-0.54
0.75
0.36
-0.14
Tabel VI.5
Hasil Uji Korelasi Nilai Tukar terhadap Ekspor
Dampak Pelemahan Nilai Tukar Pada Industri Pariwisata
Pengamatan terhadap data sekunder dari tahun 2010 hingga 2014, menunjukkan pergerakan nilai tukar rupiah
searah dengan peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan tingkat hunian hotel. Pelemahan rupiah yang
terjadi selama periode pengamatan, diiringi dengan percepatan peningkatan tren Tingkat Penghunian Kamar
(TPK). Namun, tren pertumbuhan tersebut belum terlihat pada awal tahun 2015.
Grafik VI.15
Dampak Pelemahan Rupiah Terhadap Wisman dan Tingkat Hunian Hotel
Pariwisata merupakan sektor utama di Provinsi Bali. Memasuki tahun 2015, sektor pariwisata Bali mengalami
perlambatan, yang tercermin dari penurunan pertumbuhan angka kedatangan wisatawan mancanegara pada
bulan Januari dan Februari 2015. Pada Februari 2015, tingkat hunian hotel menurun 10% (yoy) dibandingkan
dengan periode yang sama tahun sebelumnya, disertai dengan penurunan tingkat kunjungan wisatawan
mancanegara. Hingga Februari 2015 pertumbuhan jumlah wisman tercatat sebesar 15,43% (yoy), lebih rendah
dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 16,90% (yoy). Sektor perhotelan berbintang mengalami
penurunan paling besar, akibat masih tingginya management fee dan biaya operasional hotel yang
ditransaksikan dalam valuta asing (dolar AS), di tengah penurunan permintaan wisatawan, terkait pelemahan
ekonomi di negara asal wisatawan. Penurunan wisman terbesar berasal dari Tiongkok, Malaysia, Singapura,
dan Rusia. Selain itu, kembali kondusifnya tujuan wisata di luar Indonesia, antara lain Thailand, juga menjadi
salah satu penyebab penurunan jumlah wisatawan mancanegara.
Anomali sepanjang tahun 2015 ini terkonfirmasi dari hasil survei. Para pelaku usaha di sektor pariwisata
menilai bahwa pelemahan rupiah akan berdampak pada penurunan penjualan dan margin usaha pada awal
tahun 2015. Para pelaku usaha pariwisata berusaha untuk tidak menaikkan harga jual, meskipun pelemahan
rupiah berdampak pada kenaikan biaya produksi. Responden menilai, menaikan harga jual malah kian
menurunkan kinerja sektor pariwisata. Pelemahan rupiah yang terjadi ditengarai tidak memengaruhi rencana
investasi, baik modal kerja, bangunan, maupun finansial. Selain itu, mayoritas responden memilih untuk tidak
melakukan atau menunda penambahan utang. Namun, bagi responden yang telah memiliki utang,
L a p o r a n N u s a n t a r a | 88
rescheduling pembayaran dan permohonan dispensasi jatuh tempo pembayaran menjadi pilihan strategi
pengelola keuangan.
Grafik VI.16
Tren Hunian Hotel dan Asal Negara Wisatawan
Grafik VI.17
Dampak Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Pariwisata
L a p o r a n N u s a n t a r a | 89
Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Sumatera
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
2013
2014
5.0
I
-
II
-
III
-
Kons ums i Ruma h Ta ngga
-
-
-
-
6.4
Kons ums i LNPRT
-
-
-
-
3.3
Kons ums i Pemeri nta h
-
-
-
-
0.4
Pembentuka n Moda l Teta p Bruto
-
-
-
-
1.3
Eks por
-
-
-
-
Impor
-
-
-
-
PDRB (%,yoy)
IV
4.2
2014
4.6
2015
I
2015 P
3.5
4.0 - 4.4
5.8
5.0
5.6 - 6.0
11.4
(3.7)
2.5 - 2.9
2.7
1.8
6.6 - 7.0
3.2
1.9
4.8 - 5.2
-
-
-
-
Sisi Permintaan
Net Eks por
17.6
(12.3)
3.0
(6.0) - (5.6)
5.1
5.0 - 5.4
Sisi Produksi
Perta ni a n, Kehuta na n, da n Peri ka na n
-
-
-
-
3.5
5.1
Perta mba nga n da n Pengga l i a n
-
-
-
-
(0.8)
(1.4)
Indus tri Pengol a ha n
-
-
-
-
3.0
4.7
1.8
2.6 - 3.0
Penga da a n Li s tri k da n Ga s
-
-
-
-
10.8
5.9
5.8
6.6 - 7.0
Penga da a n Ai r, Pengel ol a a n Sa mpa h, Li mba h da n Da ur Ul a ng
-
-
-
-
5.9
4.7
5.4
5.5 - 5.9
Kons truks i
-
-
-
-
6.9
7.0
3.6
6.0 - 6.4
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
-
-
-
-
6.1
5.8
4.9
5.8 - 6.2
Tra ns porta s i da n Perguda nga n
-
-
-
-
8.5
6.4
7.9
6.7 - 7.1
Penyedi a a n Akomoda s i da n Ma ka n Mi num
-
-
-
-
8.1
7.8
8.0
7.3 - 7.7
Informa s i da n Komuni ka s i
-
-
-
-
6.4
7.6
8.2
7.8 - 8.2
Ja s a Keua nga n da n As ura ns i
-
-
-
-
7.6
3.8
4.7
4.7 - 5.1
Rea l Es ta te
-
-
-
-
7.0
6.6
5.6
5.7 - 6.1
Ja s a Perus a ha a n
-
-
-
-
7.6
6.7
6.7
6.8 - 7.2
Admi ni s tra s i Pemeri nta ha n, Perta ha na n da n Ja mi na n Sos i a l Wa ji b
-
-
-
-
7.7
6.1
6.0
6.8 - 7.2
Ja s a Pendi di ka n
-
-
-
-
6.8
7.9
10.3
11.2 - 11.6
Ja s a Kes eha ta n da n Kegi a ta n Sos i a l
-
-
-
-
3.8
7.4
7.5
7.5 - 7.9
Ja s a l a i nnya
-
-
-
-
6.7
6.7
7.5
7.2 - 7.6
Provi ns i Aceh
-
-
-
-
0.6
1.6
(1.9)
(2.1) - (1.7)
Provi ns i Suma tera Uta ra
-
-
-
-
4.8
5.2
4.8
4.9 - 5.3
Provi ns i Suma tera Ba ra t
-
-
-
-
5.5
5.9
5.5
5.7 - 6.1
Provi ns i Ri a u
-
-
-
-
1.0
2.6
(0.2)
0.7 - 1.1
Provi ns i Ja mbi
-
10.3
5.6
5.8
6.5
7.0
5.9
8.0 - 8.4
Provi ns i Kepul a ua n Ri a u
-
-
-
-
7.8
7.3
7.1
7.3 - 7.7
Provi ns i Suma tera Sel a ta n
-
3.8
4.9
4.1
6.0
4.7
4.8
5.5 - 5.9
Provi ns i Bengkul u
-
5.6
5.2
5.6
5.7
5.5
5.4
5.3 - 5.7
Provi ns i La mpung
-
-
-
-
4.7
5.1
4.9
5.1 - 5.5
Provi ns i Kep. Ba ngka Bel i tung
-
-
-
-
4.7
4.7
4.1
4.6 - 5.0
8.9
7.2
5.9
4.6
8.6
8.6
6.1
3.89 - 4.39
Provi ns i Aceh
7.3
5.7
5.5
5.1
8.1
8.1
5.4
3.68 - 4.18
Provi ns i Suma tera Uta ra
10.2
7.7
6.2
4.4
8.2
8.2
6.1
4.18 - 4.68
Provi ns i Suma tera Ba ra t
10.9
8.6
6.2
6.0
11.6
11.6
6.3
4.88 - 5.38
Provi ns i Ri a u
8.8
7.8
6.6
5.8
8.6
8.6
6.2
3.91 - 4.41
Provi ns i Ja mbi
8.7
7.7
6.3
4.4
8.7
8.7
4.9
2.13 - 2.63
Provi ns i Kepul a ua n Ri a u
8.2
7.7
6.0
4.0
7.6
7.6
5.7
3.75 - 4.25
Provi ns i Suma tera Sel a ta n
7.0
5.1
4.3
3.3
8.5
8.5
6.3
3.64 - 4.14
Provi ns i Bengkul u
9.9
8.4
5.8
6.1
10.9
10.9
7.7
3.75 - 4.25
Provi ns i La mpung
7.6
6.6
6.4
4.2
8.1
8.1
6.6
3.42 - 3.92
Provi ns i Kep. Ba ngka Bel i tung
8.7
8.3
6.1
6.2
9.0
9.0
6.7
5.50 - 6.00
18.1
16.1
15.2
10.5
9.4
9.4
10.1
9.4
9.1
14.3
13.2
12.1
12.1
13.8
(2.7) (2.7) - (2.3)
PDRB Per Provinsi(%,yoy)
Inflasi IHK (%,yoy)
Kredit (%,yoy)
DPK (%,yoy)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 89
Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Jawa
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
2013
PDRB (%,yoy)
-
Sisi Permintaan
-
2014
I
II
III
IV
5.5
5.3
5.5
6.1
2014
5.6
2015
I
5.2
2015
5.4 - 5.7
Kons ums i Ruma h Ta ngga
-
5.0
4.7
4.5
5.3
4.8
4.8
4.9 - 5.2
Kons ums i LNPRT
-
25.2
25.9
5.0
(2.7)
12.8
(11.5)
(3.5) - (3.2)
Kons ums i Pemeri nta h
-
(3.5)
1.4
8.9
4.8
2.9
1.0
3.4 - 3.7
Pembentuka n Moda l Teta p Bruto
-
6.3
4.6
3.8
4.7
4.8
4.6
5.3 - 5.6
Eks por
-
5.6
(2.6)
9.3
14.2
6.5
8.8
8.9 - 9.2
Impor
-
0.9
(2.3)
1.5
9.8
2.3
1.4
4.4 - 4.7
(2.7)
(2.0)
(22.4)
25.5
(1.7)
5.3
(1.7) - (1.3)
Net Eks por Anta r Da era h
Sisi Produksi
Perta ni a n, Kehuta na n, da n Peri ka na n
-
(0.2)
1.2
1.3
0.7
0.8
2.1
1.6 - 1.9
Perta mba nga n da n Pengga l i a n
-
1.4
4.2
5.8
3.1
3.5
0.3
2.2 - 2.5
Indus tri Pengol a ha n
-
6.7
5.5
5.2
6.2
5.9
4.9
5.6 - 5.9
Penga da a n Li s tri k da n Ga s
-
3.9
6.9
5.4
0.4
4.1
(4.3)
2.7 - 3.0
Penga da a n Ai r, Pengel ol a a n Sa mpa h, Li mba h da n Da ur Ul a ng
-
3.4
3.2
2.9
3.8
3.3
5.3
3.7 - 4.0
Kons truks i
-
6.6
5.8
5.0
4.6
5.4
4.7
4.9 - 5.2
Perda ga nga n Bes a r, Ecera n, da n Repa ra s i Mobi l da n Sepeda Motor
-
4.2
4.0
5.0
4.6
4.4
4.5
4.9 - 5.2
Tra ns porta s i da n Perguda nga n
-
6.5
5.6
6.3
8.2
6.7
7.4
7.0 - 7.3
Penyedi a a n Akomoda s i da n Ma ka n Mi num
-
7.3
9.3
11.5
9.5
9.4
7.0
6.2 - 6.5
Informa s i da n Komuni ka s i
-
11.0
10.8
11.4
11.3
11.1
10.5
10.2 - 10.5
Ja s a Keua nga n da n As ura ns i
-
2.1
4.4
2.4
10.5
4.8
7.7
5.9 - 6.2
Rea l Es ta te
-
6.0
6.0
6.1
6.2
6.1
5.6
5.6 - 5.9
Ja s a Perus a ha a n
-
8.5
9.0
9.3
8.8
8.9
7.1
6.8 - 7.1
Admi ni s tra s i Pemeri nta ha n, Perta ha na n da n Ja mi na n Sos i a l Wa ji b
-
1.5
0.5
1.7
5.4
2.3
3.1
2.7 - 3.0
Ja s a Pendi di ka n
-
6.6
7.7
8.6
6.6
7.4
5.9
6.2 - 6.5
Ja s a Kes eha ta n da n Kegi a ta n Sos i a l
-
8.7
10.0
8.7
8.1
8.9
8.2
7.4 - 7.7
Ja s a l a i nnya
-
7.9
8.5
8.4
7.9
8.2
7.7
7.1 - 7.4
DKI Ja ka rta
-
5.9
6.1
5.6
6.2
6.0
5.1
5.3 - 5.6
Ja wa Ba ra t
-
4.7
5.2
5.1
5.5
5.1
4.9
5.2 - 5.5
Ba nten
-
4.7
4.7
4.4
8.0
5.5
5.7
5.4 - 5.7
Ja wa Tenga h
-
5.7
4.2
5.7
6.2
5.4
5.6
5.6 - 5.9
DI Yogya ka rta
-
6.2
4.8
5.6
4.3
5.2
4.2
4.9 - 5.2
Ja wa Ti mur
-
5.9
5.6
5.9
6.0
5.9
5.2
5.7 - 6.0
PDRB (%,yoy)
Inflasi IHK (%,yoy)
7.47
7.09
4.44
8.35
6.31
DKI Ja ka rta
7.77
7.66
5.05
8.95
7.10
Ja wa Ba ra t
7.95
6.48
3.59
7.60
5.46
Ba nten
8.47
7.85
5.53
10.20
7.46
Ja wa Tenga h
6.65
7.18
4.66
8.21
5.64
DI Yogya ka rta
5.81
6.14
4.29
6.59
5.12
Ja wa Ti mur
6.24
6.73
4.13
7.77
6.17
Kredit Perbankan (%, yoy)
20.8
18.5
14.0
12.1
11.7
DPK (%, yoy)
12.4
13.6
13.1
12.8
17.0
L a p o r a n N u s a n t a r a | 90
Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Kalimantan
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
2014
I
II
III
IV
2014
2015
I
2015 p
PDRB (%,yoy)
2.1
2.2
3.4
4.0
3.2
1.1
1,4-1,9
Kons ums i Ruma h Ta ngga
-
-
-
-
-
3.2
4,1-4,6
Kons ums i LNPRT
-
-
-
-
-
(4.8)
0,1-0,6
Kons ums i Pemeri nta h
-
-
-
-
-
2.3
4,1-4,6
Pembentuka n Moda l Teta p Bruto
-
-
-
-
-
5.9
6,6-7,1
Neteks por
-
-
-
-
-
(2.3)
(3,9)-(3,4)
Sisi Produksi
1,4-1,9
Sisi Permintaan
2.6
2.6
3.5
4.0
3.2
1.1
Perta ni a n, Kehuta na n, da n Peri ka na n
4.5
3.8
2.7
6.3
4.2
4.0
4,7-5,2
Perta mba nga n da n Pengga l i a n
(2.1)
(2.8)
0.8
4.5
0.1
(1.2)
(1,6)-(1,1)
Indus tri Pengol a ha n
4.0
6.3
3.3
(4.3)
2.2
(5.2)
(4.4)-(3.9)
34.9
20,7-21,2
Penga da a n Li s tri k da n Ga s
0.3
5.6
7.2
49.7
15.8
Penga da a n Ai r, Pengel ol a a n Sa mpa h, Li mba h da n Da ur Ul a ng
7.5
6.2
6.9
6.0
6.7
3.4
4,5-5,0
Kons truks i
6.4
7.5
7.1
8.9
7.5
5.2
6,7-7,2
Perda ga nga n Bes a r da n Ecera n, da n Repa ra s i Mobi l da n Sepeda Motor
5.9
5.2
6.6
4.1
5.4
3.5
5,1-5,6
Tra ns porta s i da n Perguda nga n
7.8
6.5
6.8
5.9
6.7
6.6
6,8-7,3
Penyedi a a n Akomoda s i da n Ma ka n Mi num
5.8
5.4
6.7
5.8
5.9
5.2
6,1-6,6
Informa s i da n Komuni ka s i
9.6
10.2
12.1
9.9
10.5
11.6
9,4-9,9
Ja s a Keua nga n da n As ura ns i
6.5
5.8
2.1
6.7
5.2
4.8
6,0-6,5
Rea l Es ta te
6.2
7.8
7.3
6.1
6.9
5.6
4,6-5,1
Ja s a Perus a ha a n
9.2
9.5
7.6
6.6
8.2
3.2
4,4-4,9
Admi ni s tra s i Pemeri nta ha n, Perta ha '-n da n Ja mi '-n Sos i a l Wa ji b
6.9
6.2
8.8
9.6
8.0
8.0
9,1-9,6
Ja s a Pendi di ka n
12.7
10.1
9.5
7.8
9.9
9.8
8,4-8,9
Ja s a Kes eha ta n da n Kegi a ta n Sos i a l
9.0
8.6
6.2
6.1
7.4
7.2
7,1-7,6
Ja s a l a i nnya
6.3
6.6
8.3
7.7
7.2
6.4
7,7-8,2
5.3
5.5
4.6
4.0
4.9
3.9
4,5-5,0
PDRB Per Provinsi (%,yoy)
Provi ns i Ka l i ma nta n Sel a ta n
Provi ns i Ka l i ma nta n Ti mur
0.7
0.8
2.8
3.8
2.0
(1.3)
(0,5)-(1,0)
Provi ns i Ka l i ma nta n Ba ra t
6.1
5.3
4.9
3.9
5.0
4.7
5,1-5,6
5.3
6.2
7.8
7,7-8,2
Provi ns i Ka l i ma nta n Tenga h
Inflasi IHK (%,yoy)
-
-
-
7.31 7.56 4.98 7.87
7.30
Provi ns i Ka l i ma nta n Sel a ta n
4.88
6.83
4.81
7.28
7.00
Provi ns i Ka l i ma nta n Ti mur
8.38
7.67
4.57
7.67
7.08
Provi ns i Ka l i ma nta n Ba ra t
8.83
8.79
6.29
9.43
8.94
Provi ns i Ka l i ma nta n Tenga h
5.20
6.37
4.64
7.07
5.90
17.1 11.5
6.9
9.7
7.6
6.7
5.3
8.0
Kredit Perbankan (%, yoy)
DPK (%, yoy)
2.9
7.3
L a p o r a n N u s a n t a r a | 91
Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Kawasan Timur Indonesia
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
2013
2014
2014
2015
I
2015p
7.2
I
-
II
-
III
-
IV
5.0
Kons ums i Ruma h Ta ngga
-
-
-
-
-
5.5
6.3
6.4 - 6.8
Kons ums i LNPRT
-
-
-
-
-
10.9
(4.4)
2.6 - 2.10
Kons ums i Pemeri nta h
-
-
-
-
-
5.8
8.4
8.2 - 8.6
Pembentuka n Moda l Teta p Bruto
-
-
-
-
-
9.7
9.5
8.2 - 8.6
Eks por
-
-
-
-
-
-
-
-
Impor
-
-
-
-
-
-
-
-
Net Eks por
-
-
-
-
-
(4.6)
33.3
2.7 - 3.1
Perta ni a n, Kehuta na n, da n Peri ka na n
-
-
-
-
6.4
6.6
3.5
4.8 - 5.2
Perta mba nga n da n Pengga l i a n
-
-
-
-
(9.4)
(3.1)
10.9
9.3 - 9.7
Indus tri Pengol a ha n
-
-
-
-
9.6
8.1
6.9
12.0 - 12.4
Penga da a n Li s tri k da n Ga s
-
-
-
-
14.7
10.2
8.4
9.6 - 10.0
Penga da a n Ai r, Pengel ol a a n Sa mpa h, Li mba h da n Da ur Ul a ng
-
-
-
-
5.0
5.7
2.3
4.3 - 4.7
Kons truks i
-
-
-
-
9.1
8.4
8.6
8.3 - 8.7
Perda ga nga n Bes a r da n Ecera n, da n Repa ra s i Mobi l da n Sepeda Motor
-
-
-
-
5.4
7.7
6.1
7.7 - 8.1
Tra ns porta s i da n Perguda nga n
-
-
-
-
7.7
6.8
6.4
7.6 - 8.0
Penyedi a a n Akomoda s i da n Ma ka n Mi num
-
-
-
-
7.4
7.1
6.9
7.8 - 8.2
Informa s i da n Komuni ka s i
-
-
-
-
7.1
7.3
7.5
8.2 - 8.6
Ja s a Keua nga n da n As ura ns i
-
-
-
-
11.5
6.8
9.9
8.4 - 8.8
Rea l Es ta te
-
-
-
-
7.7
7.7
6.9
7.5 - 7.9
Ja s a Perus a ha a n
-
-
-
-
7.3
7.7
4.2
7.0 - 7.4
Admi ni s tra s i Pemeri nta ha n, Perta ha na n da n Ja mi na n Sos i a l Wa ji b
-
-
-
-
8.4
8.1
6.2
7.3 - 7.7
Ja s a Pendi di ka n
-
-
-
-
6.5
7.4
9.1
7.8 - 8.2
Ja s a Kes eha ta n da n Kegi a ta n Sos i a l
-
-
-
-
5.0
8.8
7.9
7.3 - 7.7
Ja s a l a i nnya
-
-
-
-
7.0
7.6
7.2
7.1 - 7.5
Provi ns i Sul a wes i Sel a ta n
7.6
-
-
-
7.7
7.6
5.2
7.6
Provi ns i Sul a wes i Ba ra t
9.3
-
-
-
10.9
8.7
6.0
7.7
Provi ns i Sul a wes i Tengga ra
7.5
-
-
-
5.3
6.3
5.8
6.5
Provi ns i Sul a wes i Tenga h
9.5
-
-
-
9.5
5.1
17.7
14.9
Provi ns i Goronta l o
7.7
-
-
-
8.2
7.3
4.7
7.1
Provi ns i Sul a wes i Uta ra
6.4
6.7
6.3
6.2
6.1
6.3
6.4
6.5
Provi ns i Ma l uku Uta ra
6.4
-
-
-
5.2
5.5
5.3
5.8
Provi ns i Ma l uku
5.3
-
-
-
3.8
6.7
4.1
5.7
Provi ns i Pa pua Ba ra t
7.4
-
-
-
0.1
5.4
(1.5)
6.6
Provi ns i Pa pua
7.9
-
-
-
(7.5)
3.2
5.8
7.4
Provi ns i Ba l i
6.7
6.6
6.2
6.2
7.9
6.7
6.2
6.3
Provi ns i Nus a Tengga ra Ba ra t
5.2
-
-
-
10.8
5.2
16.5
12.7
Provi ns i Nus a Tengga ra Ti mur
5.4
5.1
4.5
5.5
PDRB (%,yoy)
6.0
6.9
7.7 - 8.1
Sisi Permintaan
Sisi Produksi
PDRB Per Provinsi(%,yoy)
-
-
-
5.2
6.6
6.7
4.1
8.3
6.8
Provi ns i Sul a wes i Sel a ta n
5.9
5.9
3.7
8.6
7.1
Provi ns i Sul a wes i Ba ra t
6.2
6.7
4.5
7.9
6.7
Provi ns i Sul a wes i Tengga ra
5.6
4.8
1.8
8.4
7.8
Provi ns i Sul a wes i Tenga h
8.4
10.4
5.5
8.8
5.3
Provi ns i Goronta l o
5.1
5.8
3.6
6.1
5.3
Provi ns i Sul a wes i Uta ra
5.7
6.3
4.0
9.7
8.0
Provi ns i Ma l uku Uta ra
8.9
8.9
2.8
7.2
9.1
Provi ns i Ma l uku
8.8
9.7
5.4
9.3
7.9
Provi ns i Pa pua Ba ra t
9.6
7.4
4.5
9.1
6.8
Provi ns i Pa pua
5.8
5.3
5.3
6.6
7.0
Provi ns i Ba l i
6.1
6.4
4.5
8.4
6.4
Provi ns i Nus a Tengga ra Ba ra t
7.0
6.8
4.9
7.2
6.0
Provi ns i Nus a Tengga ra Ti mur
7.8
8.1
4.1
7.8
5.4
Kredit Perbankan (%, yoy)
17.8
14.2
12.7
13.3
13.5
DPK (%, yoy)
11.9
15.4
14.7
11.2
14.6
Inflasi IHK (%,yoy)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 92
Penanggung Jawab dan Editor
Doddy Zulverdi
Koordinator Penyusun
Kiki Nindya Asih
Tim Penulis
Departemen Kebijakan
Ekonomi dan Moneter
:
Departemen Regional I
(Sumatera)
Departemen Regional II
(Jawa)
Departemen Regional III
(Kalimantan)
:
Departemen Regional IV
(Sulampua Bali Nusra)
:
:
:
Handri Adiwilaga
M. Cahyaningtyas
Neva Andina
Darius Tirtosuharto
Puput Kurniati
Maximilian T. Tutuarima
Nurul Pratiwi Andi Parenrengi
Febby Leorisa
Septine Wulandini
Komalia Rahmayani
Rizki Fitrama
Adela Putri Rizkia
Bernad Hasiholan
R. Hutama Jaya Wardhana (KPwDN Provinsi
Kalimantan Selatan)
Andree Breitner Makahinda
Evy Marya Deswita Siburian
Laporan Nusantara|
Laporan Nusantara|
Download