Mei 2015 Laporan Nusantara VOLUME 11 NOMOR 2 |1 Halaman ini sengaja dikosongkan Laporan Nusantara Daftar Isi Kata Pengantar Bagian I Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II Perekonomian Sumatera Bagian III Perekonomian Jawa Bagian IV Perekonomian Kalimantan Bagian V Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Bagian VI Isu Khusus Daerah Isu Khusus 1: Perkembangan Terkini, Prospek, Tantangan dan Rekomendasi dalam Mencapai Kedaulatan Pangan Isu Khusus 2: Dampak Depresiasi Nilai Tukar Terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Lampiran Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818119, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553 Laporan Nusantara Halaman ini sengaja dikosongkan Laporan Nusantara Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai aspek dalam proses perumusan kebijakan, termasuk dinamika ekonomi dan isu terkini dalam perspektif kewilayahan. Pembahasan menyeluruh terkait perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara periodik antara 1 Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia . Hasil dari pembahasan tersebut menjadi bagian penting dalam mendukung pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko spasial yang berkembang. Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2015 dihadapkan pada sejumlah tantangan akibat kondisi perekonomian global yang belum sepenuhnya kondusif. Perekonomian nasional tumbuh sebesar 4,7%, melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,0%. Perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Secara umum, perlambatan terutama didorong oleh melemahnya konsumsi rumah tangga dan investasi. Pelemahan konsumsi rumah tangga terjadi merata di seluruh wilayah. Melemahnya kegiatan sektor-sektor utama di daerah berdampak pada menurunnya pendapatan, yang menyebabkan melemahnya daya beli. Sejalan dengan menurunnya kegiatan sektor-sektor utama daerah, aktivitas investasi daerah juga melambat. Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan kinerja. Perbaikan ekonomi ditopang oleh menguatnya permintaan domestik di seluruh wilayah. Sejalan dengan membaiknya perekonomian global, maka kegiatan dunia usaha juga meningkat. Hal tersebut mendorong optimisme adanya perbaikan pedapatan, yang selanjutnya mendorong perbaikan daya beli masyarakat. Membaiknya kondisi global akan dapat dimanfaatkan oleh wilayah KTI untuk meningkatkan kinerja sektor pertambangan, yang didukung oleh mulai beroperasinya sejumlah smelter, wilayah Jawa melalui peningkatan sektor manufaktur, dan Sumatera melalui sektor perkebunan yang akan mendorong industri CPO. Sementara itu, perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan masih akan terbatas, seiring dengan menurunnya kinerja pertambangan. Untuk keseluruhan tahun 2015, pertumbuhan perekonomian diperkirakan sedikit lebih baik dibandingkan dengan tahun 2014, yaitu pada kisaran 5,0% - 5,4%. Optimisme perbaikan pertumbuhan bersumber dari ekspektasi akan perbaikan perekonomian global dan akselerasi belanja pemerintah, terutama terkait realisasi program infrastruktur. Sementara itu, tekanan inflasi pada triwulan I 2015 relatif terkendali. Inflasi tercatat mencapai sebesar 6,38%, disebabkan oleh koreksi harga yang terjadi pada beberapa bahan pangan, seiring dengan pasokan yang cukup dan kondisi permintaan yang relatif stabil. Selain itu, penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada triwulan I 2015 turut memicu rendahnya inflasi di seluruh wilayah. Inflasi terendah terjadi di wilayah Jawa (diluar Jakarta) yaitu sebesar 5,90% (yoy), sedangkan inflasi tertinggi tercatat terjadi di Kalimantan yaitu sebesar 7,31% (yoy). Laju inflasi sedikit meningkat pada April 2015 terutama sebagai dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM pada akhir Maret. Inflasi April 2015 tercatat sebesar 0,36% (mtm) atau 6,79% (yoy), sedikit lebih tinggi daripada akhir triwulan I 2015 sebesar 6,38%. Pasca kenaikan harga BBM (bensin dan solar) pada akhir Maret 2015, tarif angkutan dalam kota di sejumlah daerah dan sejumlah harga makanan jadi turut meningkat. Hal tersebut merupakan dampak lanjutan dari naiknya BBM. Namun, kenaikan inflasi yang lebih besar dapat dihindari karena terjadi koreksi ke bawah pada harga beras dan cabai merah, terkait masuknya masa panen di sejumlah sentra produksi di Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi. Faktor penahan inflasi lainnya adalah 1 Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur). Laporan Nusantara|i permintaan domestik yang melambat, harga komoditas global yang masih menurun, serta terjaganya ekspektasi inflasi. Tekanan inflasi pada triwulan II 2015 diperkirakan meningkat seiring dengan faktor musiman menguatnya permintaan pada masa bulan Ramadhan dan libur tahun ajaran baru. Kenaikan konsumsi tersebut berpotensi memicu kekurangan pasokan di berbagai daerah, khususnya komoditas bahan makanan. Tekanan inflasi juga diprakirakan berasal dari komoditas administered prices, antara lain penyesuaian tarif listrik non-subsidi (rumah tangga di atas 3.500 VA). Namun, hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat masih sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Optimisme ini didukung oleh perkiraan surplus produksi pangan dan perbaikan berbagai infrastruktur konektivitas untuk meningkatkan efisiensi distribusi barang. Meski demikian, terdapat beberapa risiko yang dapat meningkatkan tekanan inflasi pada tahun 2015 yaitu kenaikan harga minyak dunia, pelemahan nilai tukar, dan kendala produksi pangan. Dengan mempertimbangkan potensi tekanan yang ada, upaya pengendalian inflasi di daerah perlu difokuskan pada berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan pasokan, keterjangkauan harga, serta kelancaran distribusi barang dari sentra produksi hingga ke konsumen. Selain itu, kegiatan memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat tentang berbagai langkah dan kebijakan yang akan ditempuh pemerintah dalam mengendalikan harga perlu diperkuat. Hal ini dilakukan untuk menjaga ekspektasi masyarakat terhadap harga barang-barang kebutuhan masyarakat. Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam buku Laporan Nusantara. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai permasalahan dan tantangan untuk mencapai kedaulatan pangan, yang merupakan salah satu agenda prioritas pembangunan pada era Kabinet Kerja. Selain itu, juga ditampilkan isu khusus mengenai dampak pelemahan rupiah terhadap perekonomian daerah. Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan bersama oleh Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) di kantor pusat Bank Indonesia dan Departemen Regional. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah. Jakarta, 21 Mei 2015 Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Juda Agung Direktur Eksekutif L a p o r a n N u s a n t a r a | ii PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2015 dihadapkan pada sejumlah tantangan. Dari sisi eksternal, pemulihan ekonomi global berjalan lambat dan tidak merata, disertai harga-harga komoditas di pasar internasional yang masih menurun sehingga berdampak negatif terhadap kinerja ekspor di berbagai daerah. Di sisi domestik, pengeluaran pemerintah, termasuk implementasi proyek infrastruktur, baik di pusat maupun daerah, masih belum berjalan secara optimal. Faktor eksternal dan domestik tersebut berdampak negatif terhadap daya beli konsumen dan minat investasi. Sejalan dengan itu, perekonomian nasional tumbuh melambat menjadi 4,7% (yoy) dari 5,0% pada triwulan sebelumnya. Perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali wilayah Sulawesi-Maluku-Papua-Bali-Nusa Tenggara (KTI). Di wilayah Sumatera, melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama dipicu oleh kontraksi yang terjadi di Provinsi Aceh dan Provinsi Riau. Kontraksi pertumbuhan ekonomi di dua provinsi tersebut, terutama terkait berhentinya produksi gas alam di Provinsi Aceh, dan lifting minyak bumi yang terus turun di Provinsi Riau. Di Jawa (termasuk Jakarta), perlambatan ekonomi lebih disebabkan oleh menurunnya kinerja industri pengolahan, sejalan dengan melemahnya ekspor. Di Kalimantan, perlambatan ekonomi dipicu oleh kontraksi ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur, terkait dengan pemburukan kinerja sektor batubara, yang merupakan komoditas utama Kalimantan. Tidak seperti wilayah lainnya, wilayah KTI mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Perekonomian KTI tumbuh sebesar 6,9%, meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,0%. Hal ini terutama terkait dengan perbaikan kinerja ekspor tambang tembaga di Papua dan Nusa Tenggara Barat setelah sebelumnya sempat dilarang karena belum memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU Minerba (base effect UU Minerba). Sumber: BPS, diolah Gambar I.1 Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2015 Rendahnya belanja pemerintah daerah pada triwulan I 2015, turut menahan pertumbuhan ekonomi nasional. Secara umum, daerah-daerah dengan basis utama sektor SDA menunjukkan realisasi belanja di Laporan Nusantara|1 bawah rata-rata. Hal ini sejalan dengan menurunnya kinerja sektor-sektor SDA, yang kemudian berdampak pada menurunnya dana bagi hasil (DBH), yang menjadi sumber dana APBD. Rendahnya penyerapan belanja daerah tercermin pada penempatan dana daerah di perbankan pada triwulan I 2015 yang lebih besar dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Sejalan dengan perlambatan perekonomian nasional, ekspansi kredit perbankan juga relatif terbatas. Pada triwulan I 2015, kredit korporasi maupun rumah tangga tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Turunnya pertumbuhan kredit korporasi, terutama terjadi di wilayah Kalimantan dan Jawa (termasuk Jakarta). Penurunan pertumbuhan kredit tersebut tersebut disertai dengan naiknya risiko kredit, yang tercermin pada meningkatnya nonperforming loan (NPL) meski masih dalam ambang batas yang aman, yaitu di bawah 5%. Sama halnya dengan sektor korporasi, secara umum pertumbuhan kredit di sektor rumah tangga menunjukkan perlambatan, kecuali Jawa yang masih tumbuh meningkat, meski relatif terbatas. Meski NPL rumah tangga meningkat, namun posisinya masih berada di bawah batas toleransi (5%). Kenaikan NPL sektor rumah tangga tersebut disinyalir akibat meningkatnya beban kredit rumah tangga, sebagaimana tercermin dari rasio cicilan utang terhadap pendapatan (Debt Service Ratio/DSR) rumah tangga yang sedikit lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Walaupun meningkat, DSR rumah tangga masih berada pada level yang dipandang cukup aman karena berada di bawah 30%. Indikasi perlambatan ekonomi nasional juga dikonfirmasi oleh melambatnya pertumbuhan kegiatan transaksi keuangan melalui sistem pembayaran. Secara umum transaksi melalui sistem pembayaran baik melalui sistem Real Time Gross Settlement (RTGS), maupun kliring menunjukkan penurunan. Pada triwulan I 2015 nilai transaksi melalui RTGS tumbuh negatif 21,3% (yoy), dari sebelumnya tumbuh 35,4% (yoy) pada triwulan IV 2014. Kontraksi transaksi melalui RTGS terutama terjadi di wilayah Jawa. Penurunan kegiatan transaksi melalui RTGS juga disebabkan oleh diberlakukannya ketentuan pembatasan nilai transaksi via RTGS di atas Rp 100 juta pada akhir 2014. Sementara itu nilai transaksi kliring pada triwulan I 2015 tumbuh melambat cukup signifikan, yaitu menjadi 10,5% (yoy) dari sebelumnya tumbuh mencapai 21,6% pada triwulan IV 2014. Perlambatan transaksi kiring tersebut terjadi hampir di semua wilayah, kecuali Sumatera. Tekanan inflasi pada Tw I 2015 hingga April 2015 relatif terkendali di seluruh wilayah. Inflasi pada akhir triwulan I 2015 tercatat sebesar 6,38% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan akhir tahun 2014 yang tercatat sebesar 8,36% (yoy). Koreksi beberapa harga bahan pangan karena pasokan yang mencukupi dan melemahnya permintaan, menjadi faktor penyebab turunnya laju inflasi. Komoditas bahan pangan yang mengalami koreksi harga ke bawah antara lain cabai merah, daging ayam ras, dan telur. Sementara itu, komoditas beras, di beberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan dan KTI menjadi pendorong inflasi, sedangkan di Sumatera justru menjadi penurun inflasi. Tekanan inflasi terendah terjadi di wilayah Jawa (di luar Jakarta) yaitu sebesar 5,90% (yoy), kemudian diikuti oleh Sumatera dan KTI, masing-masing sebesar 6,12% (yoy) dan 6,83% yoy. Di Jakarta, inflasi triwulan I 2015 tercatat sebesar 7,10% (yoy), lebih rendah daripada akhir tahun 2014. Inflasi tertinggi pada triwulan I 2015 terjadi di Kalimantan, yang mencapai 7,31%. Meski demikian, sama halnya dengan daerah-daerah lain, tekanan inflasi di Kalimantan pada triwulan I 2015 relatif lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebanyak dua kali pada triwulan I 2015, memicu rendahnya inflasi untuk komoditas premium/solar dan angkutan dalam kota di beberapa daerah. Laju inflasi sedikit meningkat pada April 2015 terutama sebagai dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM pada akhir Maret. Inflasi April 2015 tercatat sebesar 0,36% (mtm) atau 6,79% (yoy), sedikit lebih tinggi daripada akhir triwulan I 2015 sebesar 6,38%. Dorongan inflasi bersumber dari kelompok komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah (administered prices) pasca kenaikan harga BBM (bensin dan solar) pada akhir Maret 2015 serta dampak lanjutannya terhadap kenaikan tarif angkutan dalam kota di sejumlah daerah dan sejumlah harga makanan jadi. Tekanan inflasi administered prices juga dipicu oleh kenaikan harga LPG 12 kg dan tarif kereta api jarak menengah-jauh. Kenaikan inflasi yang lebih besar dapat dihindari karena terjadi Laporan Nusantara|2 koreksi ke bawah pada harga beras dan cabai merah, terkait masuknya masa panen di sejumlah sentra produksi di Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi. Faktor penahan inflasi lainnya adalah permintaan domestik yang melambat, harga komoditas global yang masih menurun, serta terjaganya ekspektasi inflasi. SUMATERA JAKARTA JAWA KALIMANTAN SULAMPUA BALI NUSTRA Gambar I.2 Peta Inflasi Daerah PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN Prospek Ekonomi Daerah Pada triwulan II 2015, berbagai indikator mengindikasikan bahwa kinerja perekonomian di seluruh wilayah berpotensi membaik. Perbaikan kinerja ekonomi yang cukup signifikan terjadi di wilayah KTI. Faktor pendorong utama datang dari komponen ekspor luar negeri, yang didukung oleh perpanjangan izin ekspor tembaga di Papua dan Nusa Tenggara Barat, serta beroperasinya smelter untuk pemurnian bijih nikel. Di wilayah Jawa perbaikan ekonomi terutama didorong oleh membaiknya permintaan, baik domestik maupun eksternal, terutama terkait dengan komoditas makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, kimia, serta baja. Di wilayah Sumatera, dorongan pertumbuhan ekonomi berasal dari peningkatan konsumsi swasta dan peningkatan realisasi belanja pemerintah, baik untuk belanja barang dan jasa, maupun belanja barang modal. Meningkatnya permintaan swasta tersebut, kemudian direspons oleh sektor industri pengolahan melalui peningkatan produksi. Sementara itu, semakin meningkatnya penyerapan anggaran pemerintah berpotensi mendorong kegiatan di sektor infrastruktur, yang mencerminkan meningkatnya kegiatan investasi, terutama investasi bangunan. Efektivitas penggunaan anggaran yang lebih baik terindikasi tidak hanya akan terjadi di Sumatera, tetapi juga terjadi di seluruh wilayah. Sebaliknya, prospek perbaikan kinerja ekonomi di Kalimantan diperkirakan relatif terbatas. Lemahnya permintaan batubara dan harganya di pasar global yang belum kunjung membaik menjadi faktor pemicu lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi di Kalimantan dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pertumbuhan ekonomi nasional untuk keseluruhan tahun 2015 diprakirakan membaik dibandingkan dengan tahun 2014. Pertumbuhan ekonomi diprakirakan berada di kisaran 5,0%-5,4%, membaik terbatas dari realisasi pertumbuhan tahun 2014 yang tercatat sebesar 5,2%. Meningkatnya kegiatan konsumsi dan investasi menjadi penopang membaiknya kinerja ekonomi. Belanja pemerintah yang mulai meningkat sejak triwulan II 2015 menjadi stimulus penggerak kegiatan ekonomi, terutama investasi. Sejalan dengan hal tersebut, optimisme dunia usaha diprediksi membaik sehingga mendorong ekspansi usaha. Selain itu, harapan akan membaiknya perekonomian global, terutama ekonomi negara-negara maju, berpotensi menciptakan peluang ekspor. Geliat yang terjadi di dunia usaha akan berdampak positif pada membaiknya pendapatan masyarakat, sehingga daya beli membaik. Lebih lanjut perbaikan daya beli akan mendorong kegiatan konsumsi. Sebagai cerminan dari Laporan Nusantara|3 meningkatnya investasi, kegiatan impor juga diprakirakan akan meningkat, terutama untuk impor bahan baku dan barang modal. SUMATERA Tendensi Kawasan Asesmen JAWA & JAKARTA Tendensi Tendensi Jawa Jakarta Asesmen KALIMANTAN Tendensi Kawasan Asesmen TIMUR INDONESIA Tendensi Kawasan Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Konsumsi RT Faktor musiman hari raya keagamaan dan tahun ajaran baru Faktor musiman hari raya keagamaan dan tahun ajaran baru Faktor musiman hari raya keagamaan dan tahun ajaran baru Faktor musiman hari raya keagamaan dan tahun ajaran baru Konsumsi Pemerintah Base effect realisasi APBD Sumut & pencairan gaji ke 13 Realisasi APBD Jakarta & realisasi APBD Kab/Kota yang baru disahkan Feb 2015 Realisasi APBD naik setelah realisasi yg minim di Tw I 2015 Kendala APBD (administrasi di Bali, Papua Barat , Maluku Utara) Investasi (PMTB) Realisasi proyek berlangsung di tw II (a.l. proyek trans sumatera) Realisasi proyek infrastruktur : irigasi dll, pabrik mobil varian baru (peningkatan kapasitas prod.), pembangunan pabrik mamin. Namun, pembangunan smelter masih terbatas. Realisasi infrastruktur pada tw II (post tender ) Non Bangunan meningkat untuk mendukung ekspansi tambang & industri tambang Bangunan didukung oleh infrastruktur konektivitas Ekspor LN Kenaikan ekspor CPO Perbaikan negara mitra dagang : Eropa, Jepang Dampak penurunan batubara & migas Impor LN Impor naik mendukung investasi (infrstruktur) Barang konsumsi & bahan baku (baja) naik, namun barang modal stagnan Penurunan impor barang modal Peningkatan ekspor tambang (nikel & tembaga) dan olahan (base effect ). Terdapat produksi dari smelter baru Peningkatan kebutuhan bahan baku (smelter baru) * Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year) Tabel I.1 Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan II 2015* Perbaikan ekonomi nasional tahun 2015 secara spasial akan ditopang oleh pertumbuhan ekonomi di wilayah Jawa (termasuk Jakarta) dan KTI. Di Jawa pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan ditopang oleh perbaikan di sektor pertanian, industri, infrastruktur, dan perdagangan, sejalan dengan perbaikan di sisi permintaan. Di wilayah KTI, perbaikan kinerja ekonomi, terutama akan didorong oleh perbaikan sektor pertambangan, sejalan dengan adanya dukungan dari mulai berjalannya beberapa smelter dan pulihnya produksi serta ekspor tembaga. Sebaliknya, perbaikan kinerja perekonomian di wilayah Sumatera, Jakarta dan Kalimantan diperkirakan akan tertahan. Di Sumatera, perlambatan ekonomi terkait dengan kinerja migas yang terus turun, terutama di Provinsi Aceh dan Riau. Kinerja ekspor SDA dari Sumatera juga diprakirakan belum banyak menunjukkan perbaikan, sejalan dengan lambatnya perbaikan ekonomi global. Untuk Jakarta, perlambatan ekonomi terkait dengan melemahnya konsumsi rumah tangga dan kinerja pengeluaran pemerintah yang terganggu akibat keterlambatan pengesahan APBD. Selain itu, meskipun ekspor Jakarta diprakirakan akan membaik, impor diprakirakan juga ikut meningkat, terutama impor yang mendukung pembangunan infrastruktur terkait pembangunan proyek Mass Rapid Transportation (MRT). Di Kalimantan, perlambatan ekonomi dipicu oleh menurunnya permintaan dan harga batubara, serta lifting migas di Kalimantan Timur. Upaya stimulus permintaan batubara dari pasar domestik berupa domestic market obligation (DMO) belum cukup berdampak seiring dengan masih tertundanya penyelesaian proyek-proyek PLTA. Ke depan, dalam perspektif yang lebih panjang, masih terdapat optimisme berlanjutnya perbaikan kinerja perekonomian nasional. Langkah strategis pemerintah untuk menempuh beberapa agenda pembangunan, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019, diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan dalam memperkuat fondasi ekonomi nasional. Salah satu agenda prioritas (Nawa Cita) pemerintah adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Salah satu cerminan kemandirian ekonomi nasional adalah terwujudnya Laporan Nusantara|4 kedaulatan pangan. Peningkatan kedaulatan pangan diterjemahkan menjadi langkah-langkah holistik untuk meningkatkan produksi, meningkatkan kesejahteraan pelaku, stabilnya harga pangan dengan kualitas yang terjamin, aman dan bergizi. Upaya mencapai kedaulatan pangan, khususnya melalui peningkatan produksi dan produktivitas, perlu mendapat dukungan baik di level pusat maupun daerah. Salah satu upaya dalam mendorong produksi dan produktivitas pangan adalah tersedianya infrastruktur pertanian yang memadai. Pembangunan infrastruktur yang saat ini diperlukan antara lain berupa perbaikan dan pembangunan infrastruktur pengairan, seperti waduk dan saluran irigasi, serta pembangunan jalan yang menghubungkan sentra produksi kepada konsumen akhir. Untuk mewujudkan ketersediaan infrastruktur tersebut, dukungan dan koordinasi antara instansi yang membidangi pembangunan fisik serta pemerintah daerah melalui dukungan kebijakan yang mempermudah implementasi pembangunan tersebut, mutlak diperlukan. Selain pembangunan infrastruktur, peningkatan produksi dan produktivitas pertanian juga memerlukan dukungan penyediaan teknologi dan sarana produksi, serta sumber daya manusia yang baik. Hal ini juga hanya dapat terwujud melalui dukungan banyak pihak, yaitu masyarakat, pemerintah dan pelaku usaha, dari tingkat pusat hingga daerah. Salah satu pengejawantahan dari kedaulatan pangan adalah stabilisasi harga pangan, yang erat kaitannya dengan aspek tata niaga. Secara garis besar, tantangan terbesar dari tata niaga sejumlah komoditas pangan strategis saat ini adalah pada perbaikan jalur distribusi, mekanisme pembentukan harga, dan faktor institusional yang mencakup kebijakan dan fasilitasi perdagangan. Rantai distribusi sejumlah komoditas pangan strategis cenderung panjang, tidak efisien, dan disertai tingginya variasi akumulasi margin antar simpul pelaku sehingga memicu lebarnya disparitas harga produsen dan konsumen. Selain itu, struktur pasar komoditas pangan yang dikuasai segelintir pelaku ditengarai juga berperan dalam pembentukan disparitas tersebut. Secara spasial, kendala distribusi akibat terbatasnya konektivitas dan infrastruktur dialami oleh wilayah-wilayah di luar Jawa. Biaya logistik di KTI merupakan yang tertinggi secara nasional. Oleh karenanya, peningkatan konektivitas melalui pembangunan infrastruktur jalan dan pelabuhan diharapkan dapat mengefisienkan rantai distribusi dan biaya logistik sebagai salah satu upaya pembenahan tata niaga. Hal ini juga mendukung upaya meningkatkan daya saing logistik untuk menyamai negara pesaing regional, sehingga akses pelaku usaha pangan ke pasar dapat semakin baik. Dari sisi harga, tekanan inflasi pada triwulan II 2015 diprakirakan akan sedikit meningkat. Inflasi yang lebih tinggi terutama dipicu oleh faktor musiman meningkatnya permintaan, sejalan dengan masuknya bulan Ramadhan serta masa libur tahun ajaran baru yang akan mendorong naiknya aktivitas konsumsi masyarakat. Penyesuaian harga diprakirakan terjadi pada kelompok makanan (aneka daging, bumbu, dan beras). Meningkatnya permintaan bahan pangan tersebut berpotensi memicu shortage pasokan pangan antardaerah. Dengan demikian, tekanan inflasi dari sisi pangan diprakirakan cukup merata terjadi di seluruh wilayah. Sementara itu, mobilitas masyarakat yang lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya berpotensi direspons dengan penyesuaian tarif berbagai moda angkutan seperti tarif angkutan antarkota dan angkutan udara. Selain faktor permintaan, kebijakan Pemerintah terkait rencana kenaikan tarif listrik per 1 Mei 2015, akan turut manambah tekanan inflasi, di samping dampak lanjutan dari kebijakan energi sebelumnya (kenaikan LPG). Faktor lain, yang diprakirakan berpotensi mendorong kenaikan inflasi dalam jangka pendek adalah berlanjutnya depresiasi rupiah, yang akan meningkatkan inflasi melalui jalur impor. Kendati demikian, inflasi sepanjang tahun 2015 diprakirakan tetap terkendali hingga akhir tahun, sehingga masih berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Berbagai upaya pengendalian inflasi serta koordinasi yang semakin kuat dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, diyakini akan mampu membawa pergerakan inflasi ke level yang lebih rendah. Optimisme terhadap kemampuan mengendalikan inflasi daerah tersebut ditopang oleh upaya Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dalam merumuskan arah kebijakan untuk menjaga stabilitas harga, baik kebijakan jangka pendek (musiman) maupun yang lebih berjangka panjang (struktural). Dengan adanya perencanaan pengendalian inflasi yang lebih baik, diharapkan Laporan Nusantara|5 ketersediaan pasokan, keterjangkauan harga, kelancaran distribusi terhadap barang-barang kebutuhan masyarakat, terutama pangan, dapat terwujud. Selain itu, pemberian informasi kepada masyarakat tentang upaya yang akan ditempuh pemerintah dalam menjaga kestabilan harga dan ketersediaan pangan merupakan strategi komunikasi yang efektif untuk menjaga ekspektasi harga masyarakat. Risiko dan Tantangan Ke Depan Prospek pertumbuhan ekonomi daerah selama sisa tahun 2015 diperkirakan akan membaik, namun risiko ke bawah masih ada. Sumber perbaikan ekonomi terutama akan datang dari kinerja pengeluaran pemerintah yang membaik, termasuk dalam bentuk proyek infrastruktur di berbagai daerah. Meskipun demikian, perekonomian daerah masih menghadapi risiko ke bawah yang bersumber dari tingginya ketidakpastian perekonomian global yang dapat berdampak pada melemahnya permintaan ekspor dan menurunnya harga komoditas dunia. Dari sisi domestik, risiko perlambatan ekonomi bersumber dari kemungkinan terhambatnya implementasi pembangunan infrastruktur. Dari perspektif spasial, jika pemulihan ekonomi global berjalan tidak sesuai harapan, permintaan ekspor produk pertanian/perkebunan di Sumatera akan cenderung terbatas. Hal demikian, di tengah harga komoditas yang masih rendah, dapat berdampak negatif terhadap kinerja konsumsi melalui penurunan daya beli. Sementara di Jawa, lambatnya pemulihan ekonomi global akan menekan kinerja ekspor manufaktur. Hal ini, di tengah meningkatnya biaya produksi akibat kenaikan harga energi dan faktor input, dapat mengurangi minat investasi swasta. Adapun pertumbuhan ekonomi di Kalimantan dapat semakin tertahan jika investasi di sektor migas tidak memadai, sehingga produksi migas terus menurun. Kondisi demikian dapat menurunkan kinerja ekspor dan DBH sehingga berimbas pada kemampuan fiskal daerah dalam merealisasikan belanja modal. Sementara di KTI, upaya menjaga kinerja sektor perikanan pasca diluncurkannya kebijakan kemaritiman perlu terus diupayakan. Selain itu perlu diwaspasai risiko dari lambatnya kemajuan hilirisasi tambang. Dari sisi pengendalian harga, masih terdapat sejumlah risiko yang dapat menghambat tren penurunan inflasi yang saat ini berlangsung. Risiko kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar dan dampaknya terhadap harga komoditas energi (BBM, listrik, LPG) menjadi faktor risiko inflasi yang paling mengemuka di seluruh wilayah. Kedua faktor tersebut perlu terus dicermati, terutama dalam upaya meredam dampak lanjutannya (second round impact) terhadap harga barang dan jasa yang lain. Selain faktor risiko jangka pendek tersebut, pengendalian laju inflasi di berbagai daerah juga masih dihadapkan pada tantangan struktural, terutama yang terkait dengan keterbatasan pasokan/produksi pangan dan tata niaga pangan yang tidak efisien. Secara spasial, beberapa wilayah memiliki tantangan struktural yang dapat semakin menambah risiko pengendalian inflasi, seperti misalnya di Kalimantan dan KTI yang dihadapkan pada belum memadainya infrastruktur konektivitas sehingga menghambat kelancaran arus distribusi barang, khususnya komoditas pangan strategis. Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala Departemen Regional pada 15 Mei 2015 di Jakarta. Pertemuan tersebut dilakukan secara periodik untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia Laporan Nusantara|6 PERTUMBUHAN EKONOMI Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan I 2015 tercatat melambat dibandingkan dengan triwulan IV 2014. Perekonomian Sumatera tercatat tumbuh 3,5% (yoy), lebih rendah dari capaian triwulan sebelumnya sebesar 4,4% (yoy). Perlambatan ekonomi terjadi di seluruh provinsi di Sumatera, kecuali Lampung, terutama disebabkan oleh melambatnya konsumsi rumah tangga, di tengah kinerja ekspor Sumatera yang masih terkontraksi. Dari sisi sektoral, perlambatan ekonomi terutama disebabkan oleh penurunan kinerja migas, yang mengakibatkan perlambatan sektor pertambangan dan penggalian, serta industri pengolahan. Perlambatan 2 ekonomi yang terjadi pada triwulan I 2015 dikonfirmasi oleh penurunan Indeks Realisasi Kegiatan Usaha . Perekonomian Sumatera pada triwulan II 2015 diprakirakan tumbuh membaik. Perbaikan ekonomi Sumatera didorong oleh peningkatan kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan, seiring dengan peningkatan produksi kelapa sawit dan perbaikan kinerja komoditas karet. Hal tersebut dikonfirmasi oleh hasil liaison, yang mengindikasikan akan adanya peningkatan penjualan domestik dan ekspor kedua komoditas tersebut. Perbaikan kedua sektor utama Sumatera diperkirakan mendorong perbaikan konsumsi rumah tangga, sejalan dengan kecenderungan peningkatan konsumsi menjelang bulan Ramadhan. Selain itu, pembangunan infrastruktur diperkirakan akan terakselerasi pada triwulan II 2015 ini, yang ditandai dengan dimulainya berbagai proyek infrastruktur pemerintah di wilayah Sumatera. Perlambatan perekonomian triwulan I 2015 membuat perkiraan ekonomi Sumatera untuk keseluruhan tahun 2015 terkoreksi ke bawah. Perekonomian Sumatera pada tahun 2015 diperkirakan tumbuh sebesar 4,0% – 4,5% (yoy), melambat dibandingkan dengan tahun 2014 yang sebesar 4,6%. Kondisi ini dipicu oleh perlambatan konsumsi swasta dan kinerja ekspor seiring dengan pemulihan perekonomian dunia yang masih terbatas. Kontraksi yang terjadi pada sektor migas menyebabkan perlambatan pada sektor pertambangan dan industri pengolahan migas. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang diperkirakan mampu menopang pertumbuhan ekonomi Sumatera di tahun 2015 yaitu percepatan realisasi APBD dan proyek-proyek infrastruktur Pemerintah di Sumatera, antara lain pembangunan tol trans Sumatera. Konsumsi Konsumsi Swasta Pertumbuhan konsumsi swasta pada triwulan I 2015 mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan IV 2014. Perlambatan ini terjadi di seluruh provinsi di Sumatera kecuali Sumatera Barat dan Kepulauan Riau. Penurunan laju konsumsi tercermin dari penyaluran kredit konsumsi yang melambat dari 10,9% (yoy) di triwulan IV 2014 menjadi 10,5% (yoy) (Grafik II.1), terutama pada kredit kendaraan bermotor. Hasil liaison kepada perusahaan di Sumatera menunjukkan terjadinya penurunan penjualan untuk domestik. Selain itu, Indeks Penjualan Eceran di Sumatera Utara juga mengalami kontraksi sebesar 6,3% (yoy). Penurunan konsumsi swasta ini sejalan dengan perlambatan ekonomi yang terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Konsumsi rumah tangga diperkirakan mengalami perbaikan pada triwulan II 2015. Masuknya periode bulan Ramadhan dan masa liburan sekolah pada akhir triwulan II 2015 diyakini akan meningkatkan konsumsi masyarakat, yang ditunjang oleh perbaikan pendapatan masyarakat. Namun, terdapat beberapa faktor risiko yang perlu diwaspadai karena berpotensi menahan konsumsi masyarakat lebih lanjut, antara lain kenaikan harga BBM, yang dipengaruhi oleh perkembangan harga minyak dunia. Penurunan optimisme akan konsumsi 2 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha Triwulan I 2015 Laporan Nusantara| 7 masyarakat juga tercermin dari Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang menunjukkan penurunan dari 120,6 pada Maret 2015 menjadi 114,7 pada April 2015. Penurunan optimisme tersebut, khususnya berasal dari penurunan ekspektasi akan ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha (Grafik II.2). Grafik II.1 Penyaluran Kredit Konsumsi *) hingga April 2015 Sumber : Survei Konsumen, Bank Indonesia Grafik II.2 Indeks Keyakinan Konsumen Konsumsi Pemerintah Pertumbuhan konsumsi pemerintah meningkat pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan IV 2014. Beberapa provinsi mencatatkan persentase realisasi belanja APBD yang lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I 2014 seperti di provinsi Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Realisasi konsumsi pemerintah tercermin dari posisi simpanan Pemda di perbankan, terutama pada posisi bulan Februari 2015 yang menunjukkan penurunan (Grafik II.3). Posisi simpanan Pemda pada akhir triwulan I 2015 kembali meningkat seiring dengan dropping dana perimbangan yang mencakup Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) antara lain di Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Selain itu, pertumbuhan konsumsi pemerintah juga disebabkan oleh faktor base effect, yaitu minimnya realisasi APBD Sumatera pada triwulan I 2014 akibat keterlambatan pengesahan RAPBD 2014 Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Grafik II.3 Perkembangan Posisi Simpanan Pemda Sumatera di Bank Umum Grafik II.4 Perkembangan Dana Bagi Hasil Belanja pemerintah diperkirakan akan meningkat pada triwulan II 2015 seiring dengan inisiatif untuk mempercepat realisasi APBD. Akselerasi realisasi APBD didukung oleh telah selesainya seluruh proses penganggaran, termasuk penunjukkan pejabat yang melaksanakan anggaran. Salah satu realisasi belanja pemerintah yaitu belanja pegawai akan terjadi pada akhir triwulan II 2015 berupa pembayaran gaji ke-13 kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, level realisasi belanja Pemda diperkirakan akan mengalami Laporan Nusantara| 8 3 penurunan dibanding tahun 2014 , seiring dengan penurunan penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) Sumatera tahun 2015. Penurunan DBH ini disebabkan oleh turunnya penerimaan Pemda dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) sepanjang tahun 2014. Penurunan penerimaan DBH diperkirakan terjadi di seluruh provinsi kecuali Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Lampung (Grafik II.4). Investasi Aktivitas investasi mulai menggeliat pada awal tahun 2015 terutama didorong oleh pihak swasta. Investasi meningkat dari 1,3% (yoy) di triwulan IV 2014 menjadi 1,9% (yoy) pada triwulan I 2015. Situasi politik yang stabil pasca-Pemilu presiden serta keyakinan akan pemerintahan baru, terkait perbaikan reformasi birokrasi dan program pengembangan infrastruktur, mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif. Sejumlah realisasi investasi di antaranya adalah eksplorasi sumur minyak baru dan pengembangan industri pengolahan kelapa sawit menjadi tenaga listrik di Riau, pembangunan pabrik Semen di Sumatera Barat, pembangunan fasilitas pendukung Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api Api dan persiapan penyelenggaraan Asian Games di Sumatera Selatan, serta pengembangan fasilitas pelabuhan di Lampung. Meningkatnya investasi terkonfirmasi dari laju kredit investasi yang tumbuh dari 5,4% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 8,6% (yoy) pada triwulan I 2015, dan melonjakknya pertumbuhan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dari 36,2% (yoy) menjadi 150,9% (yoy) (Grafik II.6). Grafik II.5 Perkembangan Kredit Investasi Sumatera Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Grafik II.6 Perkembangan PMA dan PMDN Sumatera Investasi diyakini akan terus meningkat pada triwulan II 2015, khususnya didorong oleh realisasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Proyek infrastruktur pemerintah yang diperkirakan akan mulai dilakukan pada triwulan II 2015 antara lain yaitu pembangunan tahap awal mega proyek jalan tol Trans Sumatera untuk ruas jalan tol Bakauheni-Terbanggi, setelah groundbreaking yang dilakukan pada akhir April 2015 lalu. Pertumbuhan investasi swasta diperkirakan masih berlanjut yang terlihat dari hasil liaison perusahaan di Sumatera. Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja nilai ekspor luar negeri masih mengalami kontraksi pada triwulan I 2015, bahkan lebih dalam dibandingkan dengan triwulan IV 2014 (Grafik II.7). Penurunan nilai ekspor terutama disebabkan oleh menurunnya produksi migas yang utamanya ditujukan untuk ekspor. Berakhirnya produksi LNG di Aceh juga 4 diikuti dengan menurunnya kinerja ekspor. Hal yang senada ditunjukkan oleh provinsi Riau, dimana terdapat 3 Dana Bagi Hasil tahun 2014 Anggaran per Oktober 2014, dan Dana Bagi Hasil 2015 Anggaran per April 2015 menurut data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. 4 Kontrak ekspor LNG Aceh ditujukan kepada Korea Selatan. Laporan Nusantara| 9 penurunan nilai ekspor migas pada triwulan I 2015 (turun 8,56%). Sementara itu, permintaan dunia yang masih terbatas belum mampu mendorong ekspor komoditas non migas. Harga komoditas ekspor utama yang masih belum mengalami perbaikan disertai terbatasnya permintaan dunia, menekan kinerja ekspor khususnya CPO dan karet (Grafik II.8). Masih terbatasnya ekspor Sumatera pada triwulan I 2015 juga dikonfirmasi oleh hasil likert scale liaison penjualan ekspor yang bernilai negatif, mengindikasikan terjadinya penurunan kinerja ekspor perusahaan. Perbaikan kinerja ekspor diprakirakan terus berlanjut pada triwulan II 2015. Optimisme tersebut didorong oleh harga kelapa sawit dan karet yang diprakirakan mulai membaik, serta masuknya musim panen terutama kelapa sawit. Perbaikan harga kelapa sawit dan karet, tercermin juga pada peningkatan harga di level petani. Grafik II.7 Perkembangan Ekspor Impor Sumatera Grafik II.8 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Impor Aktivitas impor meningkat pada triwulan I 2015 terutama untuk kelompok barang modal dalam mendukung tumbuhnya kegiatan investasi (Grafik II.9). Berdasarkan komoditasnya, peningkatan impor terjadi pada komoditas pupuk, gandum, dan peralatan elektrik, industri, dan perlengkapan (Grafik II.10). Meningkatnya impor komoditas pupuk terutama dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Peningkatan impor juga terjadi pada komoditas peralatan elektrik, industri dan perlengkapan. Peningkatan impor barang-barang tersebut terkait dengan kegiatan investasi yang mulai menggeliat, sejalan dengan hasil liaison, yang menyebutkan bahwa terjadi peningkatan pada investasi swasta. Grafik II.9 Perkembangan Nilai Kelompok Impor Sumatera Grafik II.10 Perkembangan Nilai Komoditas Impor Sumatera Impor diprakirakan relatif melambat pada triwulan II 2015 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang masih berlanjut berpotensi memberikan disinsentif bagi pelaku usaha untuk melakukan impor ditengah masih terbatasnya permintaan. Perlambatan impor bahan baku antara lain dikontribusi oleh industri elektronik, kapal dan besi baja yang mengalami penurunan produksi Laporan Nusantara| 10 akibat pelemahan kinerja sektor migas yang merupakan konsumen utama (baja) dan tekanan permintaan ekspor (elektronik, kapal). Namun, kegiatan investasi yang meningkat terkait proyek-proyek infrastruktur pemerintah yang membutuhkan dukungan bahan baku dan peralatan impor diperkirakan dapat menahan perlambatan impor lebih jauh. Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian pada triwulan I 2015 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sektor pertanian tumbuh 5,1% (yoy) dari 3,5% (yoy) pada triwulan IV 2014. Realisasi triwulan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Peningkatan sektor pertanian disebabkan karena membaiknya produksi tabama, seiring dengan masuknya musim panen raya di sejumlah daerah, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jambi. Selain siklus tahunan, peningkatan tabama ditopang oleh berbagai upaya dari Pemda untuk meningkatkan produksi pertanian melalui pembenahan infrastruktur pertanian, seperti pembangunan bendungan (Aceh) dan perbaikan irigasi (Sumatera Utara), penambahan luas tanam pangan, serta pemberian insentif melalui kebijakan pembebasan pajak bagi petani yang memiliki sawah (Sumatera Selatan). Pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan ditopang pula oleh produksi karet lokal (Sumatera Selatan, dan Jambi) yang meningkat (Grafik II.11), serta didorong oleh kenaikan harga karet di level petani (Grafik II.12). Dari sisi pembiayaan perbankan, penyaluran kredit sektor pertanian tercatat tumbuh positif sebesar 17,2% (yoy), naik dari triwulan sebelumnya yang hanya mencapai 16,5% (yoy) (Grafik II.13). Peningkatan kinerja sektor pertanian diperkirakan berlanjut hingga triwulan II 2015. Pertumbuhan sektor pertanian diprakirakan menjadi 5,1% (yoy). Peningkatan tersebut terindikasi dari hasil Indeks Prakiraan Kegiatan Dunia Usaha SKDU yang meningkat dari 1,80% menjadi 5,15%. Hasil SKDU juga didukung oleh hasil liaison yang menyatakan adanya perbaikan penjualan sektor pertanian. Peningkatan sektor pertanian ini masih ditopang oleh meningkatnya produksi komoditas tabama, sejalan dengan masuknya puncak masa panen padi (Sumatera Utara dan Lampung). Di samping tabama, diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi kelapa sawit, seiring dengan berakhirnya musim trek pada bulan April dan Mei, serta masuknya musim panen (Riau dan Sumatera Barat). Peningkatan produksi juga disertai dengan indikasi perbaikan harga tandan buah segar (TBS) di level petani (Grafik II.14). Kinerja perkebunan karet juga diperkirakan meningkat yang ditandai oleh membaiknya harga karet di level petani dan adanya upaya dari GAPKINDO untuk memperbaiki harga melalui kontrak langsung dengan pembeli dan penghentian kontrak jangka panjang. Sumber: Gapkindo *) Tanpa data Jambi Grafik II.11 Produksi Karet Sumatera Selatan, Kep. Bangka Belitung, dan Jambi Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi, diolah Grafik II.12 Harga Karet Lokal Laporan Nusantara| 11 Grafik II.13 Pertumbuhan Kredit Sektor Pertanian Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi, diolah Grafik II.14 Harga TBS Kelapa Sawit Sektor Pertambangan Kontraksi sektor pertambangan dan penggalian pada triwulan I 2015 cukup dalam. Sektor pertambangan mengalami kontraksi sebesar 0,80% (yoy) pada triwulan IV 2014, kemudian turun lebih dalam lagi hingga mengalami kontraksi sebesar 2,66% (yoy) triwulan I 2015. Perlambatan kinerja sektor pertambangan ini juga terindikasi dari hasil SKDU yang menunjukkan penurunan Indeks Kegiatan Dunia Usaha dari -18,51 pada triwulan IV 2014 menjadi -18,90 (Grafik II.15). Hal ini disebabkan oleh pemburukan kinerja migas sehingga mendorong kontraksi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh dan Provinsi Riau. Penurunan produksi migas terjadi karena minimnya eksplorasi minyak bumi baru di Riau sehingga hanya mengandalkan kondisi existing. Sementara itu di Aceh, kontrak penjualan LNG telah berakhir dan saat ini eksploitasi gas hanya ditujukan untuk pengolahan kondensat bagi pasar domestik. Adapun kinerja pertambangan batubara masih tertekan akibat pelemahan harga batubara dan perlambatan ekonomi Tiongkok sebagai negara importir utama komoditas batubara. Walaupun demikian, tingginya permintaan domestik untuk keperluan PLTU mampu menahan perlambatan produksi batubara lebih dalam lagi (Grafik II.16). Sumber : Survei Kegiatan Dunia Usaha Grafik II.15 Indeks Kegiatan Dunia Usaha Sektor Pertambangan Sumber : IHS McCloskey Grafik II.16 Perkiraan Produksi Batubara Sumatera Selatan Kontraksi kinerja sektor pertambangan dan penggalian diprakirakan masih berlanjut pada triwulan II 2015. Pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian diprakirakan semakin melambat dari -2,7% (yoy) pada triwulan I 2015 menjadi -3,0% (yoy) pada triwulan II 2015. Lifting perusahaan minyak di Riau diprakirakan membaik pada triwulan II 2015, yang ditandai dengan peningkatan produksi barel perhari. Namun, perbaikan lifting minyak tersebut berpotensi mengalami kendala perizinan eksplorasi lahan baru. Selain itu, prospek masih berlanjutnya tren penurunan harga batubara global turut menambah tekanan kinerja sektor pertambangan dan penggalian, khususnya untuk ekspor. Laporan Nusantara| 12 Sektor Industri Pengolahan Sejalan dengan kontraksi sektor pertambangan dan penggalian yang cukup dalam, kinerja industri pengolahan pada triwulan I 2015 juga mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sektor industri pengolahan tumbuh 1,80% (yoy) lebih rendah dari triwulan sebelumnya 3,04% (yoy). Perlambatan industri pengolahan dikontribusi oleh kontraksi yang terjadi pada industri pengolahan migas, antara lain terjadi di Aceh disebabkan oleh berakhirnya kontrak LNG bulan Oktober 2014. Berdasarkan liaison, pada triwulan I 2015, industri pengolahan di Aceh telah melakukan proses re-gasifikasi yang ditujukan untuk memasok gas bagi pembangkit listrik di Sumatera, namun dengan kapasitas produksi jauh di bawah kapasitas semula (ketika pengolahan LNG). Selain migas, kontributor utama perlambatan industri pengolahan adalah penurunan kinerja industri pengolahan logam/aluminium di Sumatera Utara, dan kinerja industri semen di Sumatera Barat akibat minimnya progress proyek infrastruktur Pemerintah di provinsi tersebut. Perlambatan sektor ini terkonfirmasi melalui Indeks Kegiatan Dunia Usaha sektor industri pengolahan yang juga menurun. Sumber : Bloomberg *) hingga awal Mei 2015 Grafik II.15 Indeks Kegiatan Dunia Usaha Sektor Pertambangan Grafik II.16 Perkiraan Produksi Batubara Sumatera Selatan Sektor industri pengolahan pada triwulan II 2015 diprakirakan meningkat dibandingkan dengan triwulan I 2015. Optimisme ini ditandai dengan masih tingginya penyaluran kredit sektor industri pengolahan pada triwulan I 2015 (Grafik II.17). Selain itu, perkiraan Indeks Kegiatan Usaha serta hasil liaison sektor industri pengolahan juga menunjukkan peningkatan, terutama industri pengolahan makanan dan minuman olahan kelapa sawit. Industri pengolahan kelapa sawit diperkirakan membaik akibat masuknya musim panen (Riau). Sementara itu, produksi pengolahan karet diperkirakan naik, didorong oleh peningkatan harga internasional karet hingga Mei 2015 ini (Grafik II.18), walaupun masih lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan kinerja pengolahan karet Sumatera antara lain disumbang oleh naiknya pertumbuhan sektor industri pengolahan karet Provinsi Jambi, seiring dengan banyaknya stok dan kenaikan permintaan luar negeri hingga bulan Juni/Juli 2015. PERKEMBANGAN INFLASI Pada triwulan I 2015, inflasi Sumatera tercatat sebesar 6,12% (yoy), lebih rendah dari inflasi triwulan sebelumnya 8,62% (yoy). Realisasi inflasi tersebut juga lebih rendah dari realisasi inflasi nasional (6,38%,yoy) (Grafik II.19). Berdasarkan provinsi, inflasi tertinggi terjadi di Bengkulu (7,65%; yoy) sementara inflasi terendah terjadi di Provinsi Jambi (4,88%; yoy). Berdasarkan disagregrasi inflasi, rendahnya inflasi tersebut disebabkan oleh menurunnya inflasi komoditas kelompok administered prices, dan komoditas dalam kelompok bahan pangan (volatile food). Berdasarkan komoditasnya, inflasi Sumatera yang rendah disebabkan oleh penurunan harga cabai merah serta BBM (bensin dan Solar). Selama bulan Januari–Maret lalu, harga cabai merah turun mencapai 61,53% Laporan Nusantara| 13 disebabkan oleh meningkatnya pasokan dalam wilayah Sumatera. Sementara itu, menurunnya harga minyak dunia diikuti dengan rata-rata penurunan harga BBM di dalam negeri. Selama kurun waktu tiga bulan, terdapat dua kali penurunan harga BBM dan satu kali peningkatan harga BBM. Harga bensin yang pada akhir tahun 2014 sebesar Rp8.500/liter turun menjadi Rp7.600/liter (per 1 Januari 2015), serta Rp6.800 (per 1 Maret 2015) namun kemudian meningkat menjadi Rp7.300 (per 28 Maret 2015). Hal senada juga terjadi pada harga solar yaitu dari Rp7.500 (akhir tahun 2014) turun menjadi Rp7.250 (per 1 Januari 2015), serta Rp6.400 (per 1 Maret 2015) namun kemudian meningkat menjadi Rp6.900 (per 28 Maret 2015). Meski demikian, inflasi administered prices Sumatera masih cukup tinggi disebabkan oleh meningkatnya tarif listrik dan bahan bakar rumah tangga. Secara rata-rata, tarif listrik meningkat mencapai 1,04% selama tiga bulan ini atau 20,53% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara itu, tarif bahan bakar rumah tangga meningkat 5,57% dalam tiga bulan terakhir atau 21,10% dari tahun sebelumnya. Selanjutnya, inflasi inti Sumatera cenderung mengalami peningkatan. Meningkatnya biaya upah (tukang, pembantu RT), makanan jadi dan sewa rumah merupakan penyumbang peningkatan inflasi inti tersebut. Selain itu Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) meningkat dari 181,9 menjadi 185,2 mengindikasikan kenaikan harga biaya tempat tinggal. Peningkatan IHPR terjadi di seluruh kota yang dihitung di Sumatera, yaitu Batam, Medan, Palembang, Padang, dan Bandar Lampung. Sumber: BPS, diolah Grafik II.19 Inflasi Provinsi di Sumatera Sumber: BPS, diolah Grafik II.21 Inflasi Per Provinsi Sumatera Sumber: BPS, diolah Grafik II.20 Disagregasi inflasi Sumatera KOMODITAS ANDIL CABAI MERAH -1.26 BENSIN -0.97 ANGKUTAN DALAM KOTA -0.14 CABAI RAWIT -0.08 CABE HIJAU -0.06 ANGKUTAN UDARA -0.04 DAGING AYAM RAS -0.03 SOLAR -0.03 KENTANG -0.02 TOMAT SAYUR -0.02 Sumber: BPS, diolah Tabel II.1 Komoditas Penyumbang Deflasi Tertinggi Triwulan I-2015 (QTQ) Setelah mengalami penurunan harga pada triwulan I 2015, tekanan inflasi pada triwulan II 2015 diperkirakan kembali meningkat. Kondisi tersebut telah terkonfirmasi pada meningkatnya laju inflasi pada bulan April yang menjadi sebesar 6,85% (yoy). Peningkatan tersebut utamanya berasal dari dampak kenaikan harga bensin Laporan Nusantara| 14 pada akhir Maret 2015 yang masuk dalam perhitungan inflasi April. Untuk keseluruhan triwulan II 2015, tekanan inflasi diprakirakan bersumber dari bahan pangan terkait tingginya permintaan menjelang bulan Ramadhan. Berdasarkan komoditasnya, potensi kenaikan harga terjadi pada beras sejalan dengan berakhirnya masa panen raya dan dampak lanjutan dari kenaikan HPP beras, serta berkurangnya pasokan bawang merah dari sentra produksi di Brebes. Dari sisi administered prices, risiko inflasi berasal dari tren peningkatan harga minyak dunia yang dapat diikuti dengan kenaikan harga BBM serta tarif angkutan sebagai dampak lanjutannya. Di samping itu, rencana pemerintah menaikkan TDL rumah tangga untuk beberapa golongan serta rencana kenaikan harga LPG juga dapat menjadi risiko peningkatan inflasi kelompok ini. Dari sisi inflasi inti risiko berasal dari pelemahan nilai tukar rupiah. Selain itu, meningkatnya realisasi investasi fisik pada triwulan mendatang juga dapat berpotensi menyebabkan kenaikan harga bahan bangunan. Dari sisi ekspektasi harga, berdasarkan hasil survei konsumen terdapat kenaikan ekspektasi inflasi masyarakat untuk tiga bulan ke depan. Namun, masih lemahnya pendapatan masyarakat, sejalan dengan belum membaiknya harga komoditas, dapat menjadi faktor penahan tekanan inflasi dari sisi konsumsi. Koordinasi Pengendalian Inflasi Dalam memperkuat peranan TPID dan menghadapi kendala, permasalahan, dan tantangan tekanan inflasi, beberapa langkah yang akan dilakukan TPID se-Sumatera sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Seluruh TPID di seluruh provinsi Sumatera telah menyusun rencana program kerja jangka pendek dan jangka panjang terkait penanganan inflasi daerah yang diharapkan dapat menekan risiko peningkatan inflasi di Sumatera. Koordinasi penyusunan kalender tanam. Melakukan pemetaan surplus defisit barang di masing-masing Kabupaten/Kota yang dapat dijadikan acuan untuk memudahkan kerjasama antardaerah Optimalisasi fungsi sub-terminal Agribisnis yang sudah terdapat pada masing-masing provinsi untuk memperpendek jalur distribusi, terutama komoditas pangan dan holtikultura. Penguatan infrastruktur keuangan di seluruh Kabupaten/Kota melalui koperasi, badan usaha milik desa (BUMDes) maupun perbankan yang dapat membantu petani dari sisi permodalan. Koordinasi terkait penyesuaian tarif angkutan antara Dinas Perhubungan dan Organda pasca kenaikan harga premium dan solar. Peningkatan monitoring tata niaga barang bersubsidi yaitu BBM dan LPG yang bertujuan untuk meminimalkan permainan harga serta menjaga ketersediaan stok. Monitoring kecukupan stok premium, solar, dan LPG oleh Pemerintah Daerah dan Pertamina. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja penyaluran kredit korporasi yang tumbuh menguat. Pada triwulan I 2015, kredit korporasi tumbuh 9,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 8,0% (yoy). Pertumbuhan kredit korporasi sempat mengalami tren perlambatan yang cukup lama, yaitu sejak triwulan IV 2013 hingga triwulan IV 2014 (Grafik II.23). Pertumbuhan kredit pada triwulan I 2015 ini didorong oleh penyaluran kredit investasi dan modal kerja yang tumbuh masing-masing sebesar 10,52% (yoy) dan 9,17% (yoy) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh masing-masing sebesar 6,81% (yoy) dan 8,93% (yoy). Penguatan kredit terutama didorong oleh pertumbuhan tiga sektor utama, yaitu industri pengolahan 15,23% (yoy), pertanian 9,92% (yoy) dan perdagangan 2,72 (yoy) (Grafik II.24). Ketahanan keuangan korporasi di wilayah Sumatera masih terjaga, tercermin dari kualitas kredit korporasi yang masih dalam batas aman, yang diindikasin oleh non performing loan (NPL) yang masih dalam batas aman (di bawah 5%) (Grafik II.25), meski sedikit meningkat dari triwulan sebelumnya (dari 1,95% menjadi 2,06%). Kenaikan NPL terutama terjadi pada debitur sektor perkebunan, khususnya komoditas karet yang harganya Laporan Nusantara| 15 masih mengalami tekanan. NPL yang meningkat terutama terjadi di Provinsi Jambi dan Sumatera Utara. Sementara itu, penghimpunan dana korporasi mengalami perlambatan baik dari sisi nominal maupun jumlah rekening sesuai dengan pola musimannya (Grafik II.26). Grafik II.23 Perkembangan Kredit Korporasi Sumatera Grafik II.24 Perkembangan Kredit Sektor Utama Sumatera Grafik II.25 Perkembangan NPL Kredit Korporasi Sumatera Grafik II.26 Perkembangan DPK Korporasi Ketahanan Sektor Rumah Tangga 5 Kredit konsumsi yang disalurkan dari Bank Umum kepada sektor rumah tangga di Sumatera mengalami perlambatan. Kredit konsumsi melambat dari 22,2% (yoy) di triwulan IV 2014 menjadi 21,6% (yoy) di triwulan I 2015 (Grafik II.27). Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh perlambatan kredit kendaraan bermotor. Sementara itu, penurunan pendapatan sebagai dampak dari tekanan harga komoditas, menyebabkan menurunnya kemampuan bayar debitur. Berdasarkan hasil Survei Konsumen, terdapat kecenderungan peningkatan Debt Service Ratio (DSR) yang mengindikasikan adanya peningkatan porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk membiayai cicilan pinjaman. meskipun masih di bawah batas yang dianggap aman (30%) (Grafik II.28). Kedua hal tersebut diatas mengindikasikan peningkatan kerentanan sektor rumah tangga dan potensi peningkatan NPL. Pada triwulan I 2015, NPL sektor rumahtangga Sumatera tercatat 1,94%, meningkat dibandingkan dengan kondisi triwulan sebelumnya yang sebesar 1,74%. Peningkatan NPL terjadi baik pada KKB, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun multiguna. Peningkatan NPL untuk kredit KPR terutama terjadi pada tipe apartemen tipe 22 sampai dengan 70 serta rumah sampai dengan tipe 21. Selain itu, NPL untuk kredit apartemen meningkat dari 1,43% pada triwulan IV 2014 menjadi 3,74% pada triwulan I 2015 (Grafik II.29). Meskipun cenderung meningkat, NPL tersebut masih berada di level yang aman yaitu di bawah 5%. Peningkatan NPL yang cukup signifikan terutama terjadi pada 5 Definisi kredit rumah tangga yaitu kredit sektor Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha dengan mengecualikan Sektor Bukan Lapangan Usaha Lainnya. Laporan Nusantara| 16 jenis kredit yang mengalami peningkatan suku bunga yang cukup tinggi antara lain pada kredit kepemilikan 6 apartemen dan kredit rumah tipe diatas 70. Sementara itu, dari sisi penghimpunan dana (Grafik II.30), pertumbuhan pada triwulan I 2015 relatif stabil yaitu pada kisaran 10,7% (yoy). Grafik II.27 Perkembangan Kredit Rumah Tangga Sumatera Grafik II.28 Debt Service Ratio Grafik II.29 Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga Sumatera Grafik II.30 DPK Rumah Tangga Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Sejalan dengan kondisi perekonomian yang melambat, kredit UMKM Sumatera juga mengalami perlambatan pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan IV 2014 (Grafik II.31). Secara sektoral, mayoritas kredit UMKM disalurkan kepada sektor perdagangan sebesar 52%, sektor pertanian sebesar 20%, dan sektor industri pengolahan sebesar 7% (Grafik II.32). Perlambatan terutama terjadi pada penyaluran kredit UMKM di sektor pertanian dan industri pengolahan, yang juga merupakan salah satu sektor utama Sumatera. Sementara itu, kualitas kredit tidak menunjukkan perbaikan, yang ditandai dengan rasio non-perfoming loan (NPL) yang mengalami peningkatan dari 5,3% pada triwulan sebelumnya menjadi 5,9%. Tingginya suku bunga pinjaman yang sebesar 14,7%, ditengah perlambatan ekonomi Sumatera diperkirakan menjadi pemicu peningkatan NPL daerah. NPL tertinggi tercatat terjadi di Provinsi Aceh sebesar 13,2%. 6 Definisi dana rumah tangga yaitu dana yang dihimpun dari nasabah perseorangan (bukan korporasi, Pemerintah, dan Bank). Laporan Nusantara| 17 Grafik II.31 Perkembangan Kredit UMKM Sumatera Grafik II.32 Pangsa Kredit UMKM Sumatera Kinerja Sistem Pembayaran Perlambatan perekonomian Sumatera pada triwulan I 2015 juga tercermin dari perlambatan nilai Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Transaksi BI-RTGS tercatat sebesar Rp383,3 triliun atau tumbuh 24,1% (yoy), melambat dibandingkan triwulan IV 2014 yang tumbuh 31,6% (yoy) (Tabel II.3). Dari sisi volume transaksi, terdapat penurunan jumlah transaksi RTGS sebesar -38,51% (yoy). Sementara itu, kegiatan kliring perbankan di wilayah Sumatera mengalami peningkatan volume dan nominal transaksi pada triwulan I 2015 (Tabel II.4). Secara nominal transaksi kliring tumbuh sebesar 57,51% (yoy) menjadi sebesar Rp.116,29 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV yang hanya 32,04% (yoy). Sementara itu, volume kliring meningkat signifikan sebesar 96,28% (yoy) pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang tercatat mengalam kontraksi sebesar 2,84%. Penurunan transaksi BI-RTGS yang bersamaan dengan peningkatan transaksi kliring ditengarai merupakan efek switching transaksi BI-RTGS ke transaksi kliring. Perkembangan RTGS 2012 2013 2014 2015 Sumatera I II III IV I II III IV I II III IV I Nilai (Rp Miliar) 259,151.20 343,543.41 304,982.98 312,572.72 271,978.20 341,732.94 351,898.24 352,127.78 309,763.87 402,841.82 415,393.98 463,286.75 384,313.91 244,265.81 262,385.64 262,893.62 289,839.61 238,877.12 243,091.42 231,059.04 250,915.22 219,295.00 212,623.00 218,408.69 243,909.00 134,845.00 Volume (lembar) Pertumbuhan (%yoy) Nilai 6.9 25.0 21.4 15.9 4.9 (0.5) 15.4 12.7 13.9 17.9 18.0 31.6 24.1 Volume (7.7) 5.5 13.4 10.6 (2.2) (7.4) (12.1) (13.4) (8.2) (12.5) (5.5) (2.8) (38.5) Tabel II.3 Perkembangan Transaksi RTGS Sumatera Perkembangan Kliring 2011 2012 2013 2014 2015 Sumatera I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I Nilai (Rp Miliar) 65,045 68,485 71,316 69,971 71,334 74,737 77,538 75,053 73,477 76,772 76,146 65,777 73,838 76,544 81,101 72,169 116,299 Volume (lembar) 2,175,893 2,279,285 2,237,259 2,133,795 2,213,716 2,322,745 2,389,881 2,322,787 2,232,191 2,300,129 2,132,326 1,742,190 2,037,822 2,166,626 2,255,866 2,154,496 3,999,839 Pertumbuhan (%yoy) Nilai 9.7 9.1 8.7 7.3 3.0 2.7 -1.8 -12.4 0.5 -0.3 6.5 9.7 57.5 Volume 1.7 1.9 6.8 8.9 0.8 -1.0 -10.8 -25.0 -8.7 -5.8 5.8 23.7 96.3 Tabel II.4 Perkembangan Transaksi Kliring Sumatera Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Perkembangan aliran uang kartal di wilayah Sumatera pada triwulan I 2015 mengalami net inflows sebesar Rp6,51 triliun, kondisi tersebut terlihat kontradiktif bila dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang mengalami net outflows sebesar Rp9,49 Triliun (Grafik II.33). Net inflows ini disumbangkan oleh seluruh Provinsi di Sumatera kecuali Provinsi Kepulauan Riau yang mengalami net outflows, seiring tingginya aktivitas perekonomian pada daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah Singapura tersebut. Perkembangan uang palsu pada triwulan I 2015 ini menunjukkan peningkatan atau dari 2.374 lembar menjadi 3.619 lembar dengan temuan uang palsu terbanyak berada di Lampung dan Sumatera Utara. Laporan Nusantara| 18 Grafik II.33 Perkembangan Inflow-outflow Sumatera Tabel II.5 Indikator Financial Inclusion Sumatera Perkembangan Keuangan Inklusif Salah satu fokus utama Bank Indonesia saat ini adalah bagaimana meningkatkan peran perbankan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam mengakses perbankan melalui pendalaman keuangan inklusif di daerah. Beberapa kegiatan terkini dalam usaha meningkatkan keuangan inklusif di daerah diantaranya adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Rapat koordinasi pemetaan dan pengumpulan data transaksi elektronifikasi dengan Pemerintah Daerah (Aceh) Pemetaan terhadap proses bisnis SAMSAT Sumatera Barat melalui pelayanan non tunai serta program Less Cash Society perbankan (Sumatera Barat) Penjajakan pemetaan Layanan Keuangan Digita (LKD) dengan perbankan (Riau) Pemetaan potensi LKD pada tahun 2014 serta pemilihan 3 Kota/Kab paling sesuai untuk diimplementasikan (Sumatera Selatan) Kerjasama dan koordinasi GNNT bersama BNP2TKI dan Hiswana Migas (Sumatera Utara) Penandatanganan MoU BI dgn Universitas (USU, Unsri, dan Unand) Sementara itu, kinerja pendalaman pasar keuangan dapat terlihat dari rasio rekening DPK, rasio rekening kredit, dan rasio jumlah bank (Tabel II.5). Dapat disimpulkan bahwa layanan akses keuangan yang relatif tinggi terdapat di Sumatera Utara, Jambi, Kepulauan Riau sejalan dengan lebih rendahnya angka kemiskinan. Di sisi lain, rendahnya layanan akses keuangan terjadi di Aceh, Sumatera Selatan dan Lampung sejalan dengan lebih tingginya angka kemiskinan. Jika dibandingkan dengan indikator financial inclusion kawasan lain, kondisi Sumatera relatif lebih baik. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Proyeksi pertumbuhan ekonomi Sumatera tahun 2015 diprakirakan lebih rendah dari proyeksi triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diprakirakan sebesar 4,0%–4,5 % (yoy). lebih rendahnya proyeksi tersebut terutama terkait dengan kinerja migas yang diperkirakan akan terus turun signifikan di Provinsi Aceh dan Riau. Dampak berhentinya produksi LNG di Aceh masih akan terasa hingga triwulan akhir 2015. Meski demikian, industri pengolahan gas di Aceh masih akan beroperasi, dengan kapasitas produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya. Sementara itu, sumber minyak bumi baru belum ditemukan di Riau hingga saat ini. Kinerja ekspor juga diperkirakan masih akan minim akibat pemulihan ekonomi dunia yang masih terbatas. Perkiraan pertumbuhan Amerika Serikat dikoreksi menjadi lebih rendah, sehingga kinerja ekspor ke negara tersebut masih belum sekuat perkiraan sebelumnya. Hal tersebut membuat kinerja industri pengolahan, terutama perkebunan, belum dapat menjadi andalan Sumatera. Di samping itu, pelemahan sektor pertambangan akan menahan pertumbuhan industri pengolahan. Laporan Nusantara| 19 Namun, prospek pertumbuhan ekonomi Sumatera dapat lebih baik dari perkiraan apabila pemerintah berhasil merealisasikan berbagai proyek yang telah direncanakan. Proyek-proyek tersebut antara lain dimulainya mega proyek jalan tol Sumatera di ruas Lampung-Sumatera Selatan, serta jaringan kereta api. Selain itu, infrastruktur pendukung kedaulatan pangan, seperti pembangunan dan rehabilitasi irigasi, waduk, dan sebagainya diperkirakan akan terus didorong hingga tahun 2019 nanti. Di Kepulauan Riau, adanya perubahan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Daerah terkait Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Perubahan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan diperkirakan akan membuat iklim investasi menjadi lebih kondusif. Pelaksanaan pilkada Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bengkulu dan sebagian besar Kabupaten/Kota di Sumatera pada akhir tahun 2015 juga turut mendorong peningkatan konsumsi. Sumber pertumbuhan diperkirakan masih berasal dari konsumsi domestik meskipun tidak setinggi proyeksi semula. Prospek Inflasi Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan masih berada dalam target sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Beberapa faktor yang dapat mendukung tercapainya target inflasi tersebut adalah meningkatnya produksi pangan pada tahun 2015, terjaganya kelancaran distribusi barang, serta masih terbatasnya pendapatan masyarakat. Berdasarkan informasi BMKG, faktor iklim diperkirakan lebih kondusif sehingga produksi bahan pangan di Sumatera seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara diperkirakan meningkat dari tahun sebelumnya. Di samping itu, adanya program pemerintah dalam meningkatkan produktivitas pertanian diharapkan dapat mulai berdampak pada pertengahan tahun terutama dalam mendukung panen 2-3 kali setahun (musim panen pada akhir tahun 2015), sehingga akan menjamin pasokan bahan pangan. Terjaminnya pasokan bahan makanan yang didukung oleh perbaikan infrastruktur, seperti jalan, diperkirakan dapat mendorong inflasi kelompok volatile food menjadi lebih rendah. Dari sisi permintaan, masih belum membaiknya harga komoditas menyebabkan masih terbatasnya pendapatan masyarakat sehingga konsumsi relatif lebih tertahan. Meskipun demikian, terdapat beberapa potensi risiko inflasi ke depan, di antaranya adalah kecenderungan meningkatnya harga minyak internasional, yang berpengaruh terhadap pergerakan harga BBM dan tarif transportasi. Beberapa faktor lain yang dapat memperbesar risiko inflasi administered prices pada tahun 2015 adalah, rencana penyesuaian tarif Listrik, dan harga LPG 3 kg. Dari kelompok inti, tekanan inflasi ke depannya diperkirakan masih berasal dari pelemahan nilai tukar rupiah yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga triwulan III 2015 terkait kebijakan suku bunga Amerika. Di samping itu, tingginya alokasi infrastruktur di tahun 2015 dapat berdampak pada meningkatnya harga bahan bangunan terutama menjelang akhir tahun. Risiko berkurangnya jumlah pasokan akibat faktor musiman (a.l. beras, cabai, bawang) dan kemungkinan peningkatan biaya transportasi seiring dengan penyesuaian harga BBM diperkirakan berpotensi mendorong peningkatan inflasi komoditas volatile foods. Laporan Nusantara| 20 Sektor pertambangan dan penggalian di Provinsi Aceh mayoritas berasal dari pertambangan gas alam yang berlokasi di Desa Arun, Aceh Utara yang ditemukan sejak tahun 1971. Selanjutnya, pengolahan gas alam menjadi LNG (Liquefied Natural Gas) berlokasi di kilang Lhoksumawe yang berdiri dari tahun 1974. Sejak tahun 1978, hasil produksi LNG diekspor ke Korea Selatan, selain menghasilkan kondensat untuk kebutuhan pasar domestik. Dalam beberapa tahun terakhir, produksi gas alam di ladang Arun terus menunjukkan penurunan, tercermin dari menurunnya penjualan baik dalam bentuk LNG maupun kondensat. Selanjutnya, pada minggu kedua bulan Oktober 2014, produksi LNG berakhir sejalan telah terpenuhinya seluruh kontrak ekspor dengan Korea Selatan. Saat ini, eksploitasi gas di ladang Arun masih berlangsung untuk pemenuhan pengolahan kondensat hingga tahun 2018, namun dengan nilai yang jauh di bawah nilai eksploitasi sebelumnya. Berakhirnya kontrak ekspor LNG tersebut berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Aceh. Berdasarkan data PDRB Provinsi Aceh, pada tahun 2010 sektor pertambangan merupakan sektor kedua terbesar di Aceh (setelah sektor pertanian) dengan pangsa mencapai 15,35%. Namun, pangsa sektor pertambangan tersebut terus menurun sejalan dengan semakin berkurangnya hasil eksploitasi gas alam di ladang Arun. Pada tahun 2014, pangsa sektor pertambangan turun hingga mencapai 11,37% dan kian mengecil menjadi 8,92% pada triwulan I 2015 pasca berhentinya produksi LNG. Kondisi ini mendorong pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian terus menurun yakni dari -2% pada tahun 2011-2012, turun menjadi -4% pada tahun 2013, hingga mencapai masing-masing -8,81% (tahun 2014) dan -31,58% (triwulan I 2015). Selain berdampak pada sektor pertambangan dan penggalian, berhentinya produksi LNG ini juga berdampak pada melambatnya pertumbuhan sektor industri pengolahan. Sektor industri pengolahan, yang pada tahun 2011–2012 masih menunjukkan pertumbuan yang positif, mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 6,53% (2014) serta 21,09% (triwulan I 2015). Pada akhirnya, kondisi ini juga menyebabkan terjadinya perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi Aceh, yang pada tahun 2014 hanya sebesar 1,65%, sementara triwulan I 2015 menunjukkan kontraksi sebesar 1,86% (Grafik II.34). Sumber: BPS, diolah Grafik II.34 Pertumbuhan Ekonomi Aceh Dengan mempertimbangkan berbagai kondisi tersebut di atas, pemerintah Provinsi Aceh perlu melakukan langkah-langkah strategis untuk mengurangi dampak negatif penurunan kinerja migas tersebut. Menindaklanjuti berakhirnya kontrak produksi LNG, pemerintah pusat telah menyetujui dan menjalankan regasifikasi (proyek terminal gas untuk industri dan rumah tangga) serta pemasangan pipa gas yang menghubungkan Arun, Aceh–Belawan, Sumatera Utara. Proses re-gasifikasi tersebut memanfaatkan peralatan dari kilang LNG sebelumnya. Sementara itu, pipa gas sepanjang 370 km ini dimanfaatkan untuk mengalirkan Laporan Nusantara| 21 hasil re-gas dari Arun ke Belawan untuk menjadi bahan bakar bagi pembangkit listrik. Adapun pasokan LNG untuk re-gasifikasi berasal dari Tangguh. Pengiriman pertama LNG dari Tangguh telah dilaksanakan bulan Februari lalu dengan hasil proses re-gas pertama telah disalurkan melalui pipa pada bulan Maret. Ke depannya, Arun direncanakan akan menjadi LNG hub untuk menyalurkan LNG ke daerah-daerah lain di wilayah Sumatera. Pasca berhentinya produksi LNG di Aceh, pemerintah daerah mencanangkan beberapa program untuk menopang perekonomian Aceh, khususnya terkait dengan sektor pertanian. Sektor pertanian dipilih sebagai fokus mengingat sektor ini merupakan salah satu sektor utama daerah, dengan pangsa mencapai 27,05% dan memiliki serapan tenaga kerja yang tinggi. Program-program pemberdayaan sektor pertanian yang akan dicanangkan oleh Bappeda Provinsi Aceh pada tahun 2016 meliputi program pengembangan kawasan strategis pertanian, agroindustri, dan peningkatan nilai tambah komoditas unggulan daerah, dengan detail sebagai berikut : a. Pengembangan dan revitalisasi kawasan-kawasan strategis (Agropolitan, Minapolitan, Kota Terpadu Mandiri dan Kawasan Industri) Pengembangan kawasan strategis sebagai prioritas investasi. Beberapa program kerja yang akan dilaksanakan: Pengembangan pendidikan kejuruan berbasis komoditas unggulan kawasan strategis. Peningkatan fasilitasi investasi dan peran sektor swasta dalam pengembangan kawasan strategis. Penyediaan infrastruktur ekonomi kawasan (irigasi, jalan kawasan, jalan akses, terminal, bandara, pelabuhan) Penyediaan infrastruktur dasar (air bersih, listrik). Pembangunan pusat distribusi logistik, sistem informasi pasar kawasan strategis serta penyediaan akses pembiayaan. Pemenuhan bibit/benih unggul, pupuk dan saprodi secara mandiri lewat penangkar, koperasi Peningkatan kualitas SDM petani dan penyuluh. Penyelenggaraan reformasi agrarian yaitu 2 ha per KK. b. Peningkatan realisasi investasi yang terkait dengan agroindustri Pangsa sektor pertanian Aceh yang besar perlu untuk dioptimalkan dengan meningkatkan nilai tambah melalui industrialisasi sektor pertanian. Beberapa program kerja yang akan dilaksanakan: Pengembangan science dan techno park Penyediaan tenaga terampil (BLK, SMK, Politeknik) serta pengembangan mental kewirausahaan Peningkatan kepastian regulasi dan arbritase hubungan industrial Penyediaan infrastruktur dasar dan konektivitas Penyediaan kawasan industri dan infrastruktur penunjang kawasan Peningkatan kualitas proses perizinan yang mudah dan cepat melalui SOP dan whistleblowing sistem Penyediaan informasi potensi daerah c. Peningkatan nilai tambah produk komoditas unggulan Peningkatan komoditas bahan pangan (padi) serta perkebunan (kopi, karet dan kelapa sawit). Beberapa program kerja yang akan dilaksanakan: Peningkatan jumlah dan kualitas wirausaha, IKM, UKM Pemanfaatan teknologi produksi dan pemasaran serta penyediaan akses pembiayaan Peningkatan fasilitasi kemitraan IKM/UKM dengan industri besar Peningkatan fasilitasi inovasi produk berbasis pasar dan investasi berbasis pertanian Pengembangan kawasan industri berbasis pertanian Penyediaan sistem informasi pasar Rehabilitasi lahan kritis Daerah Aliran Sungai (DAS) pantai, rawa dan gambut Peningkatan jaringan irigasi bendungan waduk dan embung Pengembangan iklim investasi yang kondusif Laporan Nusantara| 22 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Jawa melambat pada triwulan I 2015 relatif terhadap kinerja triwulan IV 2015. Pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan I 2015 tercatat pada level 5,2% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan capaian pertumbuhan pada triwulan IV 2014 sebesar 6,1% maupun proyeksi pada triwulan sebelumnya. Perlambatan ekonomi didorong oleh menurunnya kinerja di hampir seluruh komponen pembentuk PDRB Jawa dari sisi permintaan. Perlambatan konsumsi rumah tangga di Jawa terutama dipengaruhi oleh faktor base effect belanja Pemilu 2014, dan tekanan di sisi harga sebagai dampak dari penyesuaian harga BBM. Tertundanya persetujuan beberapa APBD Provinsi di Jawa dan terbatasnya penyerapan anggaran sesuai pola awal tahun, menyebabkan penurunan komponen PDRB dari belanja pemerintah. Sementara itu, turunnya realisasi nilai PMA turut menekan pertumbuhan investasi sektor swasta, meskipun jumlah proyek investasi PMDN cenderung masih meningkat. Kinerja ekspor luar negeri turun, yang diikuti oleh melambatnya pertumbuhan impor. Dari sisi sektoral, kinerja sektor perdagangan besar dan eceran, serta industri pengolahan mengalami perlambatan, akibat melemahnya konsumsi domestik dan terbatasnya perdagangan antardaerah. Sedangkan, sektor pertanian tumbuh positif seiring tibanya panen raya komoditas padi, bawang dan cabai merah pada awal tahun Tracking perekonomian Jawa pada triwulan II 2015 mengindikasikan adanya perbaikan kinerja relatif terhadap triwulan I 2015. Perekonomian Jawa diprakirakan mampu tumbuh sebesar 5,7%, yang dikonfirmasi oleh sejumlah indikator di sektor perdagangan besar dan eceran, serta industri pengolahan. Proyeksi ini juga didukung oleh meningkatnya permintaan memasuki bulan Ramadhan dan periode tahun ajaran baru. Asumsi menguatnya perekonomian negara Jepang, Eropa dan Asia mendorong optimisme terhadap kinerja ekspor utama manufaktur Jawa, yaitu makanan minuman, TPT, alas kaki dan mebel. Sementara itu, peningkatan minat investasi termasuk dari investor asing, terindikasi pada program strategis pemerintah, yakni industri 7 pendukung pengembangan infrastruktur dan industri kemaritiman . Komitmen pemerintah pusat dalam menggenjot realisasi belanja APBN-P di bidang infrastruktur, pertanian dan kemaritiman turut menjadi insentif bagi pelaku usaha guna meningkatkan investasinya. Selain itu, mulai terealisasinya belanja APBD Provinsi DKI Jakarta yang terkendala dalam penetapannya, turut menjadi faktor pendukung kinerja perekonomian pada triwulan berjalan. Dari sisi sektoral, perbaikan ekonomi didorong oleh peningkatan kapasitas produksi sektor industri pengolahan serta omset penjualan sektor perdagangan besar dan eceran. Asumsi perbaikan ekonomi Wilayah Timur Indonesia juga dipersepsikan positif oleh pelaku usaha terkait dengan potensi peningkatan kinerja perdagangan antar daerah. Ekonomi Jawa berpotensi tumbuh sedikit lebih tinggi pada keseluruhan tahun 2015 relatif terhadap tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Jawa pada tahun 2015 diprakirakan berada pada batas atas kisaran 5,5% 5,9%, lebih tinggi daripada pertumbuhan tahun 2014 (5,6%). Kondisi ini sejalan dengan relatif terjaganya persepsi masyarakat dan pelaku usaha terhadap kondisi perekonomian dan membaiknya prospek perdagangan luar negeri. Terjaganya stabilitas ekonomi makro, peningkatan signifikan dari belanja infrastruktur pemerintah, dan pemberian insentif fiskal pada industri dalam negeri diyakini memberikan sentimen positif pada perekonomian Jawa di 2015. Adapun optimisme pada perdagangan luar negeri dipengaruhi oleh positifnya prospek perekonomian beberapa negara mitra dagang, utamanya Jepang, Eropa dan Asia. Dari sisi penawaran, sumber pertumbuhan berasal dari sektor perdagangan besar dan eceran, sektor industri pengolahan, dan sektor pertanian. Meski pelaku usaha pada sektor industri pengolahan memperkirakan masih terjaganya iklim 7 Liaison Prov. Jatim, Banten dan Jabar. L a p o r a n N u s a n t a r a | 23 usaha, terdapat sejumlah downside risk khususnya terkait dengan kenaikan biaya produksi (upah minimum, biaya energi dan bahan baku). Selain itu, juga terdapat risiko dari relatif lebih lambatnya perbaikan ekonomi global serta pelemahan kinerja ekonomi Sumatera dan Kalimantan yang menjadi pasar tujuan bagi produk manufaktur Jawa. Adapun pertumbuhan tertinggi secara sektoral diproyeksikan pada sektor pertanian, seiring dengan kondusifnya faktor cuaca dan adanya komitmen pemerintah dalam peningkatan produksi pangan pada daerah sentra produksi. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Kinerja konsumsi rumah tangga Jawa tumbuh melambat pada triwulan I 2015, sebagaimana terkonfirmasi dari hasil survei konsumen. Indeks keyakinan terhadap kondisi ekonomi mengalami penurunan, meskipun indeks omset penjualan riil, masih terindikasi tumbuh moderat. Menurunnya persepsi terhadap kondisi perekonomian sejalan pula dengan pelemahan indikator ekspektasi tingkat penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja pada periode laporan. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi faktor dari tekanan harga yang berpengaruh pada melemahnya daya beli masyarakat dan penurunan kinerja konsumsi rumah tangga. Perlambatan konsumsi rumah tangga tercermin dari hasil survei yang mengindikasikan 70% responden berpendapat dampak kenaikan BBM cukup signifikan, sehingga terdapat rencana mengurangi pengeluaran, khususnya pada kelompok barang tahan lama. Grafik III.1 Indeks Penjualan Eceran (SPE) Grafik III.2 Kinerja Kredit Konsumsi 2014 2015 (Rp. Triliun) Belanja Infrastruktur Jawa 9.6 10.3 DKI Jakarta 29.0 28.6 Total 38.6 38.9 Grafik III.3 Indeks Keyakinan Konsumen % Kenaikan 7.3 -1.4 0.8 Belanja Lainnya Jawa 230.4 DKI Jakarta 40.2 Total 270.6 295.7 43.2 338.9 28.3 7.5 25.2 Total APBD Jawa DKI Jakarta Total 306.0 71.9 377.9 27.5 3.8 22.2 240.0 69.3 309.3 Tabel III.1 Struktur APBD Kawasan Jawa 2014 – 2015 Dampak pelemahan nilai tukar ditengarai turut berdampak pada penurunan penjualan ritel sejumlah kelompok barang khususnya pada barang elektronik. Masih tingginya kandungan impor bahan baku mendorong para pelaku usaha untuk menaikkan harga jual. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok impor barang konsumsi. Dalam menyikapi kenaikan harga tersebut, kelompok rumah tangga cenderung menahan belanja yang L a p o r a n N u s a n t a r a | 24 tercermin pada pelemahan indeks omset penjualan eceran (Grafik III.1). Sementara itu, indikator pembiayaan kelompok rumah tangga yang bersumber dari perbankan masih tumbuh moderat, sebagaimana tercermin dari data penyaluran kredit multiguna dan kredit kendaraan bermotor. Penurunan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) pada hampir seluruh bank besar, sebesar 0,25% (qtq) pada Triwulan I 2015, diperkirakan turut mendorong permintaan kredit konsumsi pada periode laporan (Grafik III.2). Sebelumnya perbankan juga telah menurunkan suku bunga deposito di kisaran 0,25% yang direspon kelompok rumah tangga dengan penurunan alokasi dana simpanan di perbankan. Pada triwulan II 2015, kinerja konsumsi rumah tangga berpotensi membaik seiring dengan meningkatnya belanja masyarakat pada bulan Ramadhan dan masa persiapan tahun ajaran baru. Perkiraan ini juga didasari oleh adanya persepsi positif terhadap membaiknya ekonomi domestik yang tercermin dari indeks pengeluaran dan pendapatan bulanan rumah tangga, serta ekspektasi omset penjualan eceran dalam 3 bulan yang akan 8 datang . Potensi pencairan gaji ke-13 lebih awal dibandingkan dengan tahun sebelumnya (triwulan III 2014) turut menjadi faktor pendukung kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan berjalan. Demikian pula adanya realisasi proyek pembangunan infrastruktur di Jawa yang sebagian besar memperkerjakan tenaga kerja lokal, turut berkontribusi pada tumbuh meningkatnya konsumsi rumah tangga. Selain itu, pergeseran panen raya yang umumnya terjadi pada bulan Maret-April, berpotensi mendorong peningkatan pendapatan kelompok rumah tangga tani. Adapun risiko yang dapat menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga untuk tumbuh lebih tinggi, bersumber dari faktor risiko dari potensi penyesuaian harga BBM dan Tarif Tenaga Listrik (TTL). Konsumsi Pemerintah Pada triwulan I 2015, belanja pemerintah di Jawa tumbuh lebih rendah, seiring dengan terbatasnya belanja fiskal pemerintah pusat dan tertundanya pengesahan APBD Provinsi DKI Jakarta. Dampak tertundanya pengesahan APBD Provinsi DKI Jakarta turut dirasakan pelaku usaha daerah yang menjadi pemasok sejumlah proyek besar di DKI Jakarta. Selain itu, juga ditemui adanya beberapa Kabupaten/Kota yang belum melakukan pengesahan APBD hingga akhir triwulan, di antaranya Kabupaten Blora dan Kabupaten Pangandaran. Belanja pemerintah yang tumbuh terbatas juga dipengaruhi oleh belum disalurkannya Dana Bagi Hasil (DBH) di beberapa Provinsi serta perlambatan di sektor usaha riil yang memengaruhi realisasi pendapatan pajak dan retribusi (pendapatan asli daerah). Namun, terbatasnya pembiayaan belanja Pemerintah di Jawa masih dapat 9 dipenuhi oleh SILPA yang relatif besar pada tahun 2014. Tracking realisasi belanja pemerintah pada triwulan II terindikasi meningkat seiring dengan telah ditetapkannya APBD DKI Jakarta 2015 yang menggunakan postur anggaran tahun 2014. Meski realisasi belanja di DKI Jakarta terindikasi dimulai pada akhir Mei 2015, namun dorongan dalam pengoptimalan sistem ebudgeting diharapkan dapat mempercepat proses pengadaan barang dan jasa. Potensi perbaikan realisasi belanja daerah juga dipengaruhi oleh peningkatan alokasi belanja seluruh Pemerintah Provinsi di Jawa sebesar 25,2% pada 2015 yang sebagian dialokasikan pada belanja pegawai, termasuk alokasi untuk pembayaran gaji ke-13. Dengan majunya Lebaran mendekati triwulan II 2015, diperkirakan pencairan gaji ke-13 akan dilakukan pada triwulan berjalan. Selain itu, penyesuaian ketentuan mengenai larangan penyelenggaraan rapat di hotel oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), juga diprediksi akan mendukung perbaikan belanja barang dan pegawai. Investasi Realisasi belanja investasi swasta di Jawa tumbuh sedikit melambat dari 4,7% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 4,6% (yoy) pada triwulan I 2015, sebagaimana tercermin dari realisasi nilai investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang mencapai lebih dari Rp350 triliun. 8 Survei Konsumen (SK) dan Survei Penjualan Eceran Kawasan Jawa. 9 Sisa lebih anggaran tahun sebelumnya yang menjadi penerimaan pada tahun berjalan (SILPA) adalah selisih antara surplus/defisit APBD dengan pembiayaan neto. L a p o r a n N u s a n t a r a | 25 10 Perlambatan tersebut searah dengan hasil likert scale kegiatan liaison Jawa yang mengalami penurunan (Grafik III.7). Selain itu, capaian belanja infrastruktur skala besar juga masih tergolong rendah. Kendala terbesar masih bersumber dari sulitnya negosiasi pembebasan lahan proyek dan kendala dalam proses birokrasi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Dari sisi teknis, kendala juga terkait dengan kapasitas institusi daerah yang belum cukup memadai untuk mengelola proyek skala besar. Grafik III.4 Kinerja Investasi PMA Grafik III.5 Kinerja Investasi PMDN Grafik III.6 Likert Scale Investasi dan perkiraannya Grafik III.7 Likert Scale Ekspor dan Impor Pada triwulan II 2015, kinerja investasi baik yang berasal dari sumber swasta maupun pemerintah diprediksi membaik. Berdasarkan hasil liaison, minat investasi asing meningkat khususnya pada proyek infrastruktur pemerintah serta beberapa industri yang memperoleh insentif pengurangan biaya masuk impor bahan baku. Investasi pembangunan infrastruktur yang saat ini masih sebagian besar didanai pemerintah, secara khusus untuk mendukung peningkatan kapasitas maupun perbaikan prasarana dan sarana di sektor pertanian (pembangunan waduk dan rehabilitasi jaringan irigasi) serta sektor transportasi (jalan, pelabuhan, bandara). 11 Dari total alokasi keseluruhan Dana Alokasi Khusus (DAK) tambahan di Pulau Jawa, 88% dialokasikan untuk mendukung pencapaian program ketahanan pangan. Perdagangan Ekspor Pada triwulan I 2015, kinerja ekspor Jawa tercatat tumbuh melambat. Perlambatan ini terjadi pada kelima komoditas ekspor utama Jawa yang meliputi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), makanan minuman, elektronik, kimia dan baja. Berdasarkan spasial, penurunan terdalam disumbang oleh DKI Jakarta. Tren penurunan harga internasional dari komoditas industri manufaktur seperti bahan kimia dan tekstil turut memengaruhi kinerja 10 Likert scale adalah merupakan alat dalam statistik yg digunakan untuk menilai/me-ranking beberapa variabel kegiatan liaison Bank Indonesia. Angka yg digunakan berskala (-5) hingga (+5), dengan fokus pada asesmen kondisi pelaku usaha tanpa membandingkan dengan kondisi eksternal lainnya. 11 Pendukung Program Prioritas Kabinet Kerja (P3K2). L a p o r a n N u s a n t a r a | 26 ekspor kawasan Jawa, meskipun secara volume ekspor relatif masih stabil untuk kedua jenis komoditas tersebut. Hasil liaison mengonfirmasi realisasi ekspor yang menurun pada industri pengolahan (Grafik III.8). Meski demikian, ekspor ke Amerika Serikat dan Jepang tercatat tumbuh moderat, seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut. Peningkatan ekspor terjadi pada komoditas mebel untuk pasar Amerika Serikat, serta komoditas bahan kimia organik dan hasil laut untuk pasar Jepang. Pada triwulan II 2015, ekspor luar negeri diprakirakan tumbuh membaik, didorong optimisme pelaku usaha di 12 DKI Jakarta, Banten dan Jawa Tengah . Prospek peningkatan ekspor komoditas utama Jawa, terjadi pada produk tekstil, kimia, dan produk makanan dan minuman dengan tujuan ke pasar Jepang dan ASEAN. Untuk beberapa jenis komoditas tersebut, daya saing ekspor Jawa relatif baik, seiring melimpahnya bahan baku domestik dan upaya otomasi proses produksi. Pelemahan nilai tukar rupiah ditengarai mendorong peningkatan margin sejumlah pengusaha eksportir, khususnya yang melakukan ekspor komoditas dengan bahan baku dalam negeri, seperti produk mebel, makanan minuman, dan alas kaki. Namun, pelemahan nilai tukar rupiah memberi tantangan pada pelaku usaha manufaktur yang masih memiliki ketergantungan pada impor bahan baku. Impor Sejalan dengan perlambatan kinerja ekspor luar negeri, transaksi impor di Jawa juga tercatat tumbuh lebih rendah daripada triwulan I 2015. Perlambatan impor tersebut terjadi khususnya pada impor barang konsumsi dan impor bahan baku. Turunnya impor barang konsumsi disebabkan oleh lebih mahalnya barang tersebut terkait melemahnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, turunnya impor bahan baku untuk industri kimia, elektronik, makanan minuman, besi baja dan TPT, disebabkan oleh melemahnya penjualan baik di pasar lokal maupun di pasar ekspor. Sama halnya dengan tren kinerja ekspor, perlambatan impor tertinggi dikontribusikan oleh DKI Jakarta, khususnya pada kelompok bahan baku dan barang modal. Namun secara umum, masih tingginya kebutuhan otomasi di sektor industri, menjadi faktor penahan penurunan laju impor barang modal. Grafik III.8 Kinerja Ekspor Jakarta & Jawa Grafik III.9 Kinerja Impor Jakarta & Jawa Pada triwulan II 2015, impor luar negeri diperkirakan meningkat seiring dengan optimisme perbaikan ekspor luar negeri dan peningkatan produksi industri pengolahan untuk mengantisipasi kenaikan permintaan. Peningkatan impor cenderung lebih didorong oleh kelompok impor bahan baku dan barang modal. Peningkatan impor turut dipicu oleh rencana akselerasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah yang membutuhkan besi baja, alat berat, dan peralatan konstruksi. Sementara itu, impor barang konsumsi diperkirakan juga tumbuh meningkat terkait dengan kenaikan permintaan masyarakat memasuki bulan Ramadhan dan persiapan Lebaran. 12 Liaison Prov. Jabar, Jateng, Jatim & Banten. L a p o r a n N u s a n t a r a | 27 Sektor Industri Pengolahan Pada triwulan I 2015, sektor industri pengolahan di Jawa tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Secara spasial, perlambatan yang terjadi pada industri pengolahan hampir di seluruh provinsi kecuali Jawa Tengah. Kelima komoditas utama manufaktur Jawa tercatat tumbuh melambat, yakni elektronik, kendaraan bermotor, besi dan baja, kimia dan kertas. Pelemahan tidak hanya bersumber dari transaksi ekspor luar negeri, namun juga berasal dari dalam negeri. Pelemahan ekonomi domestik, seiring menurunnya harga komoditas CPO dan batu bara wilayah di luar Jawa turut berdampak pada permintaan kelompok barang manufaktur khususnya yang tergolong barang tahan lama. Penjualan otomotif dan elektronik tercatat menurun sebesar 15%-20%. Pelemahan permintaan properti juga turut dirasakan oleh industri besi dan baja. Perlambatan ini terkonfirmasi oleh Prompt Manufacturing Index (PMI) yang berada di bawah level 50%. Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), terlihat adanya perlambatan realisasi kegiatan usaha di triwulan I 2015 (Gambar III.11). Meskipun siklus penurunan realisasi kegiatan usaha umumnya terjadi triwulan I, penurunan pada triwulan I 2015 merupakan yang paling dalam di tiga tahun terakhir. Kenaikan harga energi yang disertai kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), terus mendorong tingginya biaya produksi yang harus ditanggung pelaku usaha. Beberapa daerah bahkan memberlakukan Upah Minimum Kabupaten/Kota Sektoral (UMSK), yang merupakan tambahan di atas UMK dan sepenuhnya 13 menjadi kewenangan Pemerintah Dati II . Besaran UMSK dapat mencapai 5%-10% dari UMK pada industri yang merupakan PMA dan perusahaan terbuka (Tbk). Tingkat upah yang semakin tinggi mendorong beberapa 14 perusahaan mulai beralih ke proses otomasi untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja . Dampak dari pelemahan nilai tukar juga mendorong perlambatan yang terjadi pada sektor industri pengolahan. Hal ini disebabkan oleh impor konten yang dimiliki perusahaan dalam negeri khususnya untuk bahan baku masih sangat tinggi, yaitu mencapai 67,5%. Subsektor industri di wilayah Jawa, yang memiliki impor bahan baku cukup besar, diantaranya industri logam dan produknya, mesin dan peralatan serta bahan kimia. Subsektor industri logam dasar mengalami penurunan penjualan yang cukup drastis disebabkan permintaan domestik yang masih rendah pada triwulan I 2015. Belum optimalnya investasi pemerintah di infrastruktur 15 pada awal tahun 2015 menjadi salah satu faktor rendahnya permintaan baja domestik . Dalam rangka meningkatkan kinerja penjualan, perusahaan di bidang industri baja melakukan pengalihan pasar ke luar 16 negeri, di antaranya ke Thailand, Malaysia dan India . Penjualan ekspor pada komoditas kimia dan tekstil juga cenderung tertahan, seiring dengan perkembangan ekonomi negara mitra dagang yang tidak seoptimis perkiraan semula. Penurunan kinerja penjualan secara umum, telah menyebabkan adanya pengurangan 17 18 jumlah tenaga kerja pada sejumlah industri seperti pada industri tekstil dan komponen induksi/elektronik . Kinerja industri pengolahan pada triwulan II 2015 diprediksi tumbuh lebih tinggi. Pada industri logam dasar, semen dan bahan bangunan, pertumbuhan didorong oleh pembangunan infrastruktur yang akan dimulai pada triwulan II 2015. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, disebutkan bahwa Kementerian terkait diwajibkan memilih penyedia jasa konstruksi yang menggunakan bahan baku dasar dari dalam negeri. Hal tersebut diyakini akan meningkatkan kinerja sejumlah industri yang mendukung pembangunan program infrastruktur. Industri pengolahan aspal juga diprediksi 19 meningkat, seiring dengan pembangunan jalan tol dan perbaikan jalan . Sementara itu, permintaan pada subsektor industri TPT dan alas kaki diprediksi meningkat menjelang tahun ajaran baru dan Lebaran. 13 14 15 16 17 18 19 Berdasarkan hasil liaison di Jawa Timur. Berdasarkan hasil liaison di Jawa Barat. Berdasarkan hasil liaison di Jawa Timur. Berdasarkan hasil liaison di Banten. Berdasarkan hasil liaison di Jawa Timur. Berdasarkan hasil liaison di Banten. Berdasarkan hasil liaison di Jawa Tengah. L a p o r a n N u s a n t a r a | 28 Grafik III.10 Realisasi dan Ekspektasi Kegiatan Usaha (SKDU) serta Likert Scale Penjualan Manufaktur Grafik III.11 Produksi Industri. Kendaraan Bermotor Sektor Konstruksi Kinerja sektor konstruksi di Jawa tumbuh stabil pada triwulan I 2015 relatif terhadap triwulan IV 2014. Pertumbuhan sektor ini lebih banyak disumbang oleh kelanjutan proyek investasi swasta yang belum terselesaikan pada tahun 2014. Belanja infrastruktur pemerintah juga masih belum optimal pada awal tahun 2015. Hal ini terkait dengan masih banyaknya kendala dalam pembebasan lahan serta belum cukup optimalnya dukungan dana APBD. Beberapa provinsi di Jawa turut mengonfirmasi rendahnya kinerja sektor konstruksi sebagaimana tercermin dari data konsumsi semen (Grafik III.12) dan impor besi baja (Grafik III.13). Pelemahan harga properti sejak triwulan III 2014 semakin memperburuk kinerja penjualan perusahaan real estate, sehingga turut memengaruhi terbatasnya realisasi pembangunan proyek properti di Jawa. Grafik III.12 Konsumsi Semen Pulau Jawa Grafik III.13 Total Impor Besi dan Baja Kinerja sektor konstruksi diprediksi mengalami peningkatan pada triwulan II 2015, seiring dengan meningkatnya belanja investasi swasta pada sektor industri dan program percepatan pembangunan infrastruktur pemerintah. Sebagaimana diutarakan pelaku usaha pada industri makanan minuman, kimia dan kendaraan bermotor, terdapat rencana pembangunan pabrik guna menambah kapasitas produksi seiring dengan meningkatnya permintaan pasar domestik. Tercatat sejumlah proyek fisik infrastruktur skala besar yang berjalan pada triwulan II 2015 di Jawa, di antaranya proyek MRT di DKI Jakarta, pembangunan waduk Karian di Banten, pembangunan jalan tol Solo-Ngawi-Kertosono, dan pengembangan pelabuhan Merak di Banten. Di samping itu juga terdapat pembangunan proyek infrastruktur lain dalam skala yang lebih kecil yang tersebar di seluruh wilayah Jawa. Namun, realisasi pembangunan industri smelter di Jawa Timur masih terkendala masalah pembebasan lahan dan perizinan. Sektor Pertanian L a p o r a n N u s a n t a r a | 29 Sektor pertanian Jawa tumbuh lebih tinggi pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Secara spasial, seluruh provinsi mengalami peningkatan produksi kecuali di Jawa Timur. Secara umum, sektor pertanian di wilayah Jawa mengalami peningkatan memasuki musim panen. Hal ini juga dipengaruhi oleh pergeseran musim panen ke Maret-April. Inisiatif dalam penerapan sistem pola tanam yang lebih maju cukup 20 berhasil meningkatkan kualitas produksi tanaman pangan . Penggunaan mekanisasi alat-alat pertanian juga 21 berdampak pada peningkatan efisiensi produksi . Produksi untuk subsektor peternakan juga mengalami peningkatan, khususnya untuk ternak ayam dan sapi yang didukung dengan masuknya sejumlah investasi swasta. Di sisi lain, realisasi kredit sektor pertanian tumbuh melambat yang mengindikasikan belum adanya dukungan pembiayaan secara lebih optimal. Grafik III.14 Perkembangan Kinerja Kredit Pertanian Grafik III.15 Likert Scale Sektor Pertanian Produksi sektor pertanian di triwulan II 2015 diprediksi mengalami penurunan yang disebabkan oleh pergeseran musim tanam dan faktor cuaca. Panen pada triwulan berjalan relatif lebih tersebar dan dalam skala yang lebih kecil mengingat puncak musim panen terbagi antara bulan Maret dan April. Panen masih berpotensi terjadi di beberapa daerah yang areal sawahnya sempat terkena banjir dan hama. Terkait dengan faktor cuaca, hingga saat ini belum terdapat indikasi menguatnya risiko El Nino, meski curah hujan di sejumlah daerah telah berkurang yang akan memengaruhi masa tanam. Penurunan produksi juga diproyeksikan untuk sejumlah komoditas hortikultura seperti bawang merah yang terpengaruh oleh faktor cuaca dan gangguan hama. Pada subsektor peternakan, produksi daging dan telur ayam di Jawa Tengah dan Jawa Timur diperkirakan meningkat untuk mengantisipasi kenaikan permintaan menjelang Lebaran. PERKEMBANGAN INFLASI Tingkat inflasi Jawa melambat signifikan pada triwulan I 2015, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Inflasi Jawa tercatat sebesar 6,31% (yoy), lebih rendah dari inflasi pada triwulan IV 2014 yang mencapai 8,35%. Inflasi wilayah Jawa tersebut juga tercatat sedikit lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi nasional sebesar 6,38% pada triwulan I 2015. Menurut disagregasi kelompoknya, inflasi tertinggi masih disumbang oleh kelompok administered prices sebesar 12,19%, disusul oleh volatile food sebesar 8,04% (yoy) dan core inflation sebesar 4,43%. Meredanya tekanan inflasi di triwulan I 2015 lebih banyak disebabkan oleh kelompok administered prices, terkait penurunan harga BBM oleh Pemerintah. Turunnya harga BBM tersebut berpengaruh pada deflasi komoditas bensin dan transport, meskipun terdapat penyesuaian tarif moda transportasi kereta api yang menahan penurunan inflasi lebih lanjut pada komoditas yang ada pada kelompok transportasi. Sementara itu, beberapa komoditas dalam kelompok volatile food seperti cabai merah, cabai rawit dan bawang merah telah memasuki masa panen raya, yang membuat pasokan tersedia dalam jumlah cukup banyak di pasar dan mampu menurunkan harga. Adapun produksi beras terganggu karena tertundanya 20 21 Berdasarkan hasil liaison di Jawa Barat. Berdasarkan hasil liaison di Jawa Tengah. L a p o r a n N u s a n t a r a | 30 masa panen, sehingga membuat harga beras melonjak. Meskipun demikian, masa panen raya padi pada bulan Maret 2015 relatif mampu untuk meredam tekanan harga beras pada akhir triwulan. Grafik III.16 Perkembangan Inflasi Grafik III.17 Disagregasi Kelompok Inflasi Dari sisi inflasi inti (core inflation), tekanan cukup stabil. Tekanan inflasi lebih banyak berasal dari pelemahan nilai tukar tupiah terhadap dollar AS (depresiasi mencapai 1,13%, mtm atau 3,28%, yoy). Hal ini berdampak kepada peningkatan harga barang impor. Secara spasial, Provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Timur, merupakan wilayah yang mencatat inflasi inti cukup tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di Jawa. Tingkat inflasi wilayah Jawa pada triwulan II 2015 diperkirakan akan kembali meningkat. Tekanan inflasi yang meningkat tersebut dikonfirmasi oleh hasil survei konsumen terhadap perkiraan harga 3 bulan yang akan datang. Kenaikan inflasi seiring dengan penyesuaian harga di kelompok administered prices, yaitu harga BBM dan LPG (kenaikan harga LPG 12 Kg dilakukan pada awal April 2015). Hal ini memberikan tekanan inflasi pada komoditas bensin, bahan bakar rumah tangga dan tarip angkutan. Selain dari dampak penyesuaian harga BBM, kenaikan tarif kereta api untuk jarak menengah dan jarak jauh per 1 April 2015 juga turut memberikan tekanan inflasi dari kelompok administered prices. Sementara tekanan dari kelompok volatile food bersumber dari menurunnya pasokan bawang merah dan daging ayam,di tengah permintaan yang meningkat memasuki bulan Ramadhan di akhir triwulan II 2015. Berakhirnya musim panen untuk beberapa komoditas seperti cabai merah dan cabai rawit juga akan menambah tekanan inflasi dari kelompok volatile foods. Meski demikian kenaikan inflasi lebih lanjut diperkirakan dapat tertahan oleh lancarnya pasokan beras dari berbagai wilayah di pulau Jawa yang sudah memasuki masa panen raya di awal triwulan II 2015. Inflasi inti diperkirakan masih cukup stabil hingga akhir triwulan II 2015. Grafik III.18 Pemetaan Risiko Inflasi Grafik III.19 Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen Koordinasi Pengendalian Inflasi Pada awal tahun 2015, seluruh TPID Provinsi di wilayah Jawa telah menyusun arah pengendalian inflasi (roadmap). Arah pengendalian inflasi tahun 2015 – 2019 yang difokuskan pada komoditas dengan andil inflasi L a p o r a n N u s a n t a r a | 31 besar serta memiliki frekuensi yang tinggi sebagai penyumbang inflasi (Grafik III.18). Komoditas yang mendapat perhatian dalam roadmap tersebut adalah komoditas yang termasuk dalam kelompok volatile food. Terkait dengan hal ini peran daerah peran daerah menjadi sangat penting dalam menentukan langkah-langkah konkrit untuk menjaga kestabilan harga. Melalui hasil rapat koordinasi TPID wilayah Jawa, diidentifikasi lima komoditas yang dipandang memilik andil yang besar dalam pembentukan inflasi di wilayah Jawa. Kelima komoditas tersebut adalah beras, cabai merah, bawang merah, daging ayam ras dan telur ayam ras. Dalam pemetaan permasalahan jangka pendek maupun struktural terkait menjaga kestabilan harga kelima komoditas tersebut, beberapa hal menjadi perhatian, yakni produksi, infrastruktur, teknologi, tata niaga dan kelembagaan. Dalam menjawab permasalahan tersebut, ditetapkan sejumlah langkah strategis pengendalian inflasi melalui TPID wilayah Jawa sebagai berikut: 1. Penguatan fungsi kelembagaan dan regulasi (hingga level Kabupaten/Kota). 2. Pengoptimalan proses produksi, distribusi dan konektivitas. 3. Penguatan kerjasama dan sinergi antardaerah (Pusat, Provinsi & Kabupaten/Kota). 4. Peningkatan penyediaan riset dan informasi. 5. Pengarahan ekspektasi masyarakat melalui komunikasi dan edukasi Sementara itu, dalam upaya menghadapi tantangan pengendalian inflasi pada tahun 2015, TPID wilayah Jawa juga telah mengidentifikasi permasalahan yang berpotensi memiliki dampak relatif besar pada inflasi. Adapun program prioritas TPID untuk mengendalikan permasalahan dimaksud adalah sebagai berikut: Kesiapan No. Permasalahan Inflasi Dampak Program Prioritas 2015 TPID Lonjakan permintaan pada hari-hari  Terlaksananya 1 Besar Tinggi besar keagamaan (hampir untuk semua operasi pasar untuk komoditas strategis) 8 komoditas Ekspektasi masyarakat terhadap harga strategis saat peak cenderung meningkat dalam menyikapi 2 Besar Tinggi season (seperti bulan suatu situasi/kondisi tertentu ramadhan dan idul Pola tanam yang belum terstruktur fitri) 3 Besar Menengah dengan baik (khususnya untuk  Penyusunan program komoditas beras, cabai, bawang) pengelolaan Biaya pakan ternak yang cukup mahal ekspektasi 4 Besar Menengah dan bergantung kepada hanya masyarakat beberapa perusahaan  Pemberian bantuan Besarnya modal yang dibutuhkan sarana produksi dalam selama proses produksi 5 Menengah Tinggi (khususnya untuk komoditas beras, pertanian untuk cabai, bawang) memutus Jumlah produksi komoditas yang masih ketergantungan 6 Menengah Tinggi rendah kepada tengkulak Terdapat asimetri informasi harga  Meningkatkan koordinasi dengan 7 Menengah Menengah PD pasar dan asosiasi produsen Tabel III.2 Permasalahan Inflasi dan Program Prioritas 2015 STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Perkembangan penyaluran kredit bank umum berdasarkan lokasi proyek di wilayah Jawa pada akhir triwulan I 2015 menunjukkan perlambatan relatif terhadap triwulan sebelumnya. Total penyaluran kredit di Jawa L a p o r a n N u s a n t a r a | 32 mencapai Rp2.556 triliun atau tumbuh sebesar 11,7% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan akhir triwulan IV 2014 (12,1%). Adapun perlambatan penyaluran kredit terbesar terjadi pada kredit investasi, sejalan dengan tren perlambatan perekonomian Jawa pada triwulan I 2015. Hal ini menunjukkan perilaku prosiklikalitas perbankan yang cenderung untuk menahan penyaluran kredit ketika terjadi perlambatan perekonomian. Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) di wilayah Jawa tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. DPK tumbuh 16,9% pada akhir triwulan I 2015, meningkat dibandingkan dengan akhir triwulan sebelumnya yang tumbuh 12,9%. Total DPK pada triwulan I 2015 di Jawa mencapai Rp 3.235 triliun dan apabila dilihat dari rasio Loan to Deposit (LDR) terhadap penyaluran kredit berdasarkan lokasi proyek, maka LDR pada akhir triwulan I 2015 tercatat sebesar 79,0%, turun dari akhir triwulan sebelumnya yang mencapai 80,6%. Komposisi dari penghimpunan dana terbesar berupa deposito dengan pangsa sebesar 52,7%, diikuti tabungan sebesar 24,3% dan giro sebesar 23,0%. Meskipun komposisi DPK dalam bentuk deposito masih yang terbesar, apabila dicermati lebih lanjut, mayoritas jangka waktu dari deposito tersebut adalah jangka pendek (jangka waktu 1-3 bulan) yang mencapai 77% dari total nilai deposito. Hal ini sejalan dengan tren perlambatan penyaluran kredit investasi yang pada umumnya merupakan kredit jangka menengah-panjang. Dari sektor korporasi, pertumbuhan penyaluran kredit mengalami perlambatan. Pada akhir triwulan I 2015, penyaluran kredit kepada sektor korporasi mencapai Rp1.462 triliun atau tumbuh 11,7%, lebih rendah dibandingkan dengan akhir triwulan IV 2014 (12,3%). Sementara itu, penyaluran kredit di sektor rumah tangga juga dalam tren melambat, meskipun tidak sedalam perlambatan pada sektor korporasi. Penyaluran kredit di sektor rumah tangga mencapai Rp 605,5 triliun atau tumbuh 11,3% ada akhir triwulan I 2015, sedikit melambat dibandingkan akhir triwulan sebelumnya (12,0%). Grafik III.20 Perkembangan Kredit & Dana Pihak Ketiga Grafik III.21 Perkembangan Kredit Korporasi & RT Ketahanan Sektor Korporasi Prilaku prosiklikalitas penyaluran kredit perbankan, depresiasi nilai tukar, dan belum pulihnya kondisi ekonomi global, semakin meningkatkan kehati-hatian perbankan untuk menyalurkan kredit pada sektor korporasi. Penyaluran kredit yang melambat diikuti oleh peningkatan rasio NPL ke level 2,1% dibandingkan akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 1,9%. Penyaluran kredit dalam valuta asing yang memiliki pangsa sebesar 29% dari total kredit juga mengalami kenaikan NPL menjadi 2,6% dibandingkan pada akhir triwulan IV 2014 sebesar 2,4%. Meski demikian, tingkat NPL keseluruhan maupun kredit dalam valuta asing masih dalam batas aman. L a p o r a n N u s a n t a r a | 33 Grafik III.22 Pertumbuhan & NPL Kredit Korporasi Grafik III.23 Kredit Korporasi Sektor Utama Secara sektoral, penyaluran kredit masih didominasi oleh dua sektor ekonomi utama wilayah Jawa, yaitu 22 sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran . Penyaluran kredit korporasi terbesar pada triwulan I 2015 tercatat pada sektor industri pengolahan yang mencapai Rp489,9 triliun atau memiliki pangsa 33,7% dari total kredit korporasi, diikuti penyaluran kredit kepada sektor perdagangan hotel dan restoran yang mencapai Rp 280,0 triliun (pangsa 19,3%). Sementara itu, penyaluran kredit pada sektor pertanian, yang juga merupakan salah satu sektor utama di Jawa, relatif masih rendah. Kredit untuk sektor pertanian, pada akhir triwulan I 2015 hanya mencapai Rp57,1 triliun (3,9% dari total kredit). Seperti yang terlihat pada Grafik III.24, penyaluran kredit kepada sektor yang berada di bawah garis ambang batas NPL secara umum masih berpotensi ditingkatkan, terutama pada subsektor jasa real estate serta sektor listrik, gas dan air, yang memiliki pertumbuhan negatif. Demikian pula kredit pada sektor industri pengolahan, sektor pertanian dan sektor penyediaan akomodasi dan makanan minuman, meski pertumbuhannya sudah berada di atas rata-rata, masih dapat ditingkatkan mengingat kualitas kredit yang terjaga baik. Secara spasial, penyaluran kredit sektor pertanian di Jawa Timur justru mengalami penurunan menjadi sebesar 15,1% pada akhir triwulan I 2015. Rendahnya porsi pembiayaan ke sektor pertanian antara lain karena asumsi perbankan bahwa sektor pertanian memiliki risiko kredit yang cukup tinggi dibandingkan sektor lainnya. Meski demikian, rasio NPL kredit sektor pertanian pada akhir triwulan I 2015 tercatat sebesar 1,6%, lebih rendah dari rasio NPL kredit sektor industri pengolahan maupun sektor perdagangan besar dan eceran yang masingmasing sebesar 2,0% dan 3,9%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian cukup potensial untuk dibiayai, terlebih lagi dengan adanya target swasembada pangan oleh pemerintah. Sektor Ekonomi Pertanian, Perburuan dan Kehutanan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi Real Estate dan Jasa Perusahaan Jawa g NPL 28.38 1.60 18.14 1.98 -5.62 1.08 40.21 3.96 11.70 3.18 21.08 1.01 3.98 2.97 -2.42 1.54 Jawa Barat Banten DKI Jakarta DIY Jawa Tengah Jawa Timur g NPL g NPL g NPL g NPL g NPL g NPL 30.27 1.59 42.25 31.71 0.37 40.16 0.48 11.58 30.90 -15.08 0.78 13.16 2.30 21.91 2.56 14.54 2.15 13.07 0.85 28.01 1.77 22.40 1.19 -1.79 1.70 -18.18 0.71 0.32 1.16 21.63 -9.98 0.04 -30.00 0.29 42.72 5.88 94.01 1.96 38.21 3.31 186.85 2.63 21.56 2.92 21.85 6.90 28.00 1.33 13.48 4.25 8.86 3.29 16.23 0.94 20.56 2.67 10.67 3.95 42.23 0.83 -36.86 3.65 24.45 0.53 25.96 0.43 38.54 3.32 3.97 1.18 20.71 2.71 1.92 0.46 1.91 3.19 21.57 4.05 -2.34 4.66 1.10 2.14 -4.07 4.82 -24.80 0.38 0.35 1.22 46.88 0.03 -30.59 1.27 15.93 0.46 Tabel III.3 Perbandingan Pertumbuhan dan NPL Sektoral dan Spasial 22 Berdasarkan pengelompokan sektor dengan tahun dasar 2010 terbagi menjadi sektor perdagangan besar dan eceran, serta sektor penyediaan akomodasi dan makanan minuman. L a p o r a n N u s a n t a r a | 34 Grafik III.24 Pertumbuhan dan NPL Kredit Sektoral Grafik III.25 Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) Ketahanan Sektor Rumah Tangga Tren perlambatan ekonomi di wilayah Jawa tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan penyaluran kredit di sektor rumah tangga yaitu pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Apartemen (KPA), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), dan kredit multiguna. Kredit sektor rumah tangga justru mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Baik KPR, KPA, maupun KKB menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan pada akhir triwulan I 2015. KPR yang disalurkan Bank Umum di Jawa mencapai Rp 209,6 triliun, atau tumbuh sebesar 14,0%, sedikit di atas pertumbuhan pada akhir triwulan sebelumnya sebesar 13,7%. Pertumbuhan penyaluran kredit KPR juga sejalan dengan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang pada triwulan I 2015 juga tumbuh moderat. Penyaluran KPA tumbuh meningkat dari 3,8% pada akhir triwulan IV 2014 menjadi 4,3% dengan nominal Rp 25,2 triliun pada akhir triwulan I 2015. Sementara itu, penyaluran kredit multiguna mencapai Rp 294,3 triliun, tumbuh 11,9% pada pada akhir triwulan I 2015, meningkat dari akhir triwulan IV 2014 (tumbuh 10,3%). Dari seluruh penyaluran kredit rumah tangga, hanya KKB yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 11,7%, melambat dibandingkan pertumbuhan pada akhir triwulan IV 2014 (13,9%). Perlambatan pertumbuhan kredit KKB sejalan dengan menurunnya penjualan kendaraan roda empat. Peningkatan penyaluran kredit di sektor rumah tangga tidak diiringi dengan perbaikan kualitas kredit. Keseluruhan kredit sektor rumah tangga mencatat penurunan kualitas kredit dari triwulan sebelumnya. Rasio NPL pada KPR di akhir triwulan I 2015 merupakan yang tertinggi, yakni sebesar 2,1%, lebih tinggi dibandingkan akhir triwulan sebelumnya (1,9%). Rasio NPL pada KPA tercatat 2,0% pada akhir triwulan I 2015, meningkat dibandingkan dengan akhir triwulan sebelumnya (1,7%). Sedangkan rasio NPL pada KKB dan kredit multiguna relatif lebih moderat, masing-masing sebesar 0,9% dan 1,1% pada akhir triwulan IV 2014 menjadi 1,0% dan 1,2% pada akhir triwulan I 2015. Grafik III.26 Penyaluran Kredit Sektor Rumah Tangga Grafik III.27 NPL Kredit Sektor Rumah Tangga L a p o r a n N u s a n t a r a | 35 Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa yang sedang melambat juga tidak berdampak kepada penyaluran kredit UMKM. Jumlah kredit UMKM yang disalurkan pada akhir triwulan I 2015 mencapai Rp 428,9 triliun atau tumbuh 16,9%. Pertumbuhan tersebut meningkat apabila dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan IV 2014 yang tercatat sebesar 16,9% (yoy). Capaian ini mendukung kinerja perekonomian Jawa mengingat sektor UMKM diharapkan menjadi penopang di saat perekonomian melambat. Pertumbuhan juga terjadi pada jumlah rekening UMKM. Jumlah rekening pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 17.791.362, meningkat hingga 32,9% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hal tersebut menjadi salah satu indikasi meningkatnya aksesibilitas masyarakat terhadap kredit UMKM. Sementara itu, kualitas kredit UMKM tercatat menurun dengan rasio NPL pada akhir triwulan I 2015 tercatat sebesar 3,8%, lebih tinggi dari akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 3,4%. Dilihat dari porsinya terhadap total penyaluran kredit secara umum, porsi kredit UMKM tercatat sebesar 16,7%, meningkat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 16,5%. Grafik III.28 Penyaluran Kredit UMKM Grafik III.29 Pertumbuhan & NPL Kredit UMKM Kinerja Sistem Pembayaran Pada triwulan I 2015, nilai transaksi nontunai dari penggunaan fasilitas BI RTGS tumbuh sebesar 8,3% (yoy), yang ditopang oleh transaksi di DKI Jakarta sebagai kontributor terbesar dengan porsi 87,57% dari total transaksi wilayah Jawa. Sebagaimana polanya pada awal tahun, transaksi RTGS dan SKN di wilayah Jawa mengalami penurunan. Hal ini juga dipengaruhi oleh melambatnya kegiatan perekonomian wilayah Jawa. Faktor lain yang memperlambat pertumbuhan RTGS adalah larangan transaksi dengan nominal di bawah 100 juta rupiah menggunakan RTGS. Sementara itu, kegiatan transaksi yang menggunakan SKNBI pada triwulan I 2015 menunjukkan pertumbuhan sebesar 11,7% (yoy). Volume transaksi dengan menggunakan SKNBI mengalami penurunan pada triwulan I 2015, sesuai dengan polanya pada awal tahun. Grafik III.30 Transaksi RTGS Grafik III.31 Transaksi Kliring L a p o r a n N u s a n t a r a | 36 Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Berdasarkan data pengelolaan uang tunai yang diperoleh hingga triwulan I 2015, secara umum wilayah Jawa lebih banyak menerima uang masuk (cash inflow) dibandingkan dengan uang yang keluar (cash outflow). Sesuai dengan polanya, pada triwulan I 2015 lebih banyak terjadi penyetoran uang rupiah, sementara pada triwulan berikutnya cenderung akan lebih banyak terjadi penarikan uang rupiah. Apabila dilihat secara spasial, seluruh provinsi di wilayah Jawa, kecuali DKI Jakarta lebih banyak menerima penyetoran uang bila dibandingkan dengan penarikan uang. Sementara di DKI Jakarta, penarikan uang rupiah lebih dominan (Rp10,86 triliun pada triwulan I 2015) yang terkait dengan karakter Jakarta sebagai daerah konsumen. Secara keseluruhan, wilayah Jawa mengalami net inflow sebesar Rp37,5 triliun pada triwulan I 2015, lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2014 yang mengalami net inflow sebesar Rp30,2 triliun. Adapun Jawa Barat merupakan provinsi yang menerima penyetoran uang rupiah terbesar, yakni sebesar Rp5,9 triliun. Grafik III.32 Perkembangan Netflow Grafik III.33 Temuan UPAL Dari sisi penemuan Uang Palsu (UPAL), jumlah laporan yang diterima terkait UPAL mengalami peningkatan pada triwulan I 2015. Tercatat ditemukan sebanyak 39.957 lembar UPAL yang merupakan penemuan terbesar dalam 3 tahun terakhir. Penemuan UPAL ini didorong oleh meningkatnya pemahaman masyarakat dan perbankan terhadap uang palsu serta peran aktif kepolisian yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait dalam menindak pelaku pemalsuan uang. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Jawa diproyeksikan sedikit lebih tinggi pada tahun 2015. Prospek pertumbuhan Jawa berada pada batas atas kisaran 5,5%-5,9%. Optimisme perbaikan ekonomi Jawa bersumber dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Banten, sementara kinerja perekonomian Jawa Timur relatif terjaga. Di sisi lain, perekonomian DKI Jakarta dan Yogyakarta diperkirakan tumbuh melambat. Kondisi ini sejalan dengan terjaganya persepsi masyarakat dan pelaku usaha atas kondisi perekonomian dan prospek perbaikan kinerja perdagangan luar negeri. Selain itu, juga terdapat dukungan belanja infrastruktur serta insentif fiskal pada industri dalam negeri. Dari sisi penawaran, sumber pertumbuhan disumbang oleh sektor ekonomi utama wilayah Jawa, yakni sektor perdagangan besar dan eceran, sektor industri pengolahan, serta sektor pertanian. Optimisme membaiknya kinerja perdagangan luar negeri di Jawa Barat, Jawa Timur dan Yogyakarta, seiring dengan positifnya pertumbuhan ekonomi beberapa negara mitra dagang utama, yaitu Jepang, Eropa dan ASEAN. Adapun pertumbuhan yang tinggi diproyeksikan pada sektor pertanian, yang didukung oleh lebih kondusifnya faktor cuaca dan komitmen pemerintah dalam peningkatan produksi kelompok tanaman pangan dan hortikultura, serta masuknya investasi swasta pada sektor pertanian. Adapun, pelaku usaha pada sektor industri L a p o r a n N u s a n t a r a | 37 pengolahan masih mempertimbangkan adanya downside risk terkait kenaikan biaya produksi dari upah, biaya energi dan bahan baku, meski iklim usaha relatif terjaga. Selain itu, relatif lebih lambatnya perbaikan ekonomi Amerika Serikat dan Tiongkok serta pelemahan kinerja ekonomi Sumatera dan Kalimantan yang menjadi pasar tujuan bagi produk manufaktur Jawa juga turut memengaruhi kinerja sektoral di Jawa. Prospek Inflasi Inflasi Jawa pada tahun 2015 diprakirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi tahun 2014 dan masih selaras mendukung target sasaran inflasi nasional tahun 2015 (4,0% ± 1%). Tekanan inflasi pada tahun 2015 diprediksi masih akan mengikuti pola historis inflasi inti dan volatile food yang meningkat seiring dengan kenaikan permintaan pada musim lebaran dan tahun ajaran baru. Fokus pemerintah dalam merealisasikan pembangunan infrastruktur juga berpotensi mendorong kenaikan harga-harga pada kelompok komoditas inti. Dari kelompok administered prices, tekanan inflasi diprakirakan berasal dari dampak tradisi mudik lebaran yang berpotensi meningkatkan tarif angkutan transportasi jarak jauh, risiko kenaikan harga minyak dunia yang akan ditransmisikan ke penyesuaian harga BBM, serta fluktuasi nilai tukar rupiah yang berpotensi memengaruhi biaya energi (BBM, TTL, gas, BBM). Sementara itu, faktor penahan inflasi diperkirakan berasal dari upaya pemerintah dalam mendukung peningkatan produksi dan produktivitas pangan melalui peningkatan kapasitas dan kualitas infrastruktur pertanian. Selain itu, penyesuaian harga BBM oleh Pemerintah yang dilakukan secara berkala, diharapkan dapat mengurangi shock kenaikan harga BBM yang signifikan. Dari sisi kelompok volatile food, pemerintah daerah terus bekerja sama dengan para petani, di antaranya menjaga kesinambungan produksi cabai melalui program GTCK (Gerakan Tanam Cabai Kemarau). TPID di wilayah Jawa juga terus berupaya untuk melakukan percepatan implementasi rencana program kerja yang telah disusun untuk tahun 2015. Pada keseluruhan tahun 2015, inflasi Jawa diharapkan berada dalam rentang 3,9% - 4,3% (yoy). L a p o r a n N u s a n t a r a | 38 Keputusan Pemerintah untuk menghapus subsidi BBM dinilai tepat dalam rangka mengoptimalkan sumber daya keuangan negara yang terbatas (budget constraint) agar tepat sasaran pada program pembangunan yang produktif mendukung perekonomian khususnya dalam jangka menengah panjang. Penghapusan subsidi membuat harga BBM saat ini mengikuti harga keekonomian dengan penyesuaian dikaji setiap 3 bulannya. Beradsarkan hasil survei, hal ini selain berdampak pada pengeluaran rumah tangga, juga memengaruhi kegiatan dunia usaha, khususnya di Jawa. Dari sisi pelaku usaha, kebijakan penghapusan subsidi berdampak pada penurunan penjualan, terutama kelompok usaha kecil. Secara sektoral, pelaku usaha yang paling merasakan dampaknya adalah sektor perdagangan, sektor industri pengolahan serta sektor transportasi dan perdagangan., Bagi usaha skala kecil, penyesuaian harga jual terpaksa dilakukan sesuai dengan pergerakan harga BBM, sementara usaha skala besar dan menengah cenderung mempertahankan harga jual untuk menjaga daya saingnya di pasar. Kondisi ini secara umum berpengaruh kepada penurunan margin perusahaan. Namun, para pelaku usaha berharap dana realokasi BBM dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas yang sangat dibutuhkan dalam rangka menurunkan biaya distribusi barang. Grafik III.34 Harapan Masyarakat Pasca Penghapusan Subsidi BBM Grafik III.35 Realokasi Subsidi BBM yang diharapkan oleh Pelaku Usaha Respon rumah tangga atas kenaikan harga BBM yang berdampak pada penyesuaian harga barang dan jasa adalah mengurangi pengeluaran kelompok hiburan dan makanan jadi. Di sisi lain, penurunan harga BBM terindikasi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap harga barang (faktor rigiditas harga). Secara umum, rumah tangga berharap terjaganya harga pangan, disamping ekspektasi harga BBM dapat di bawah Rp 7.500,/liter baik solar maupun premium. Tabel III.4 Simulasi Elastisitas Harga BBM & Inflasi Bensin Grafik III.36 Dampak Penghapusan Subsidi BBM secara Spasial L a p o r a n N u s a n t a r a | 39 Berdasarkan hasil simulasi dampak penghapusan subsidi BBM terhadap inflasi, terkonfirmasi bahwa ketika harga BBM turun, inflasi komoditas bensin di Jawa juga turun dengan elastisitas sebesar -1,05. Secara spasial, elastisitas terbesar terdapat di Jawa Tengah dan DIY sebesar -1,07. Hal ini mengindikasikan pelaku usaha langsung menurunkan harga jual bensin ecerannya ketika terjadi penurunan harga BBM. Sementara itu, ketika harga BBM naik, inflasi bensin meningkat dengan elastisitas lebih besar, yaitu 1,10. Kenaikan harga bensin eceran tertinggi paska kenaikan harga BBM terindikasi di Jawa Timur dengan elastisitas sebesar 1,13. Secara keseluruhan, kebijakan penghapusan subsidi BBM, diperkirakan berpotensi menambah inflasi Jawa di kisaran 1,14% (yoy) pada tahun 2015, dengan dampak terbesar di Jawa Timur sebesar 1,21% (yoy). L a p o r a n N u s a n t a r a | 40 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Kalimantan pada triwulan I 2015 melambat sangat dalam dan merupakan yang terendah sepanjang sepuluh tahun terakhir. Kontraksi perekonomian Kalimantan Timur menjadi faktor utama perlambatan perekonomian Kalimantan. Membaiknya kinerja perekonomian Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, tidak mampu mempertahankan kinerja perekonomian Kalimantan mengingat kontraksi perekonomian yang cukup dalam di Kalimantan Timur. Sementara itu, perekonomian Kalimantan Selatan masih tumbuh stabil. Perkembangan harga dan permintaan batubara yang belum menunjukkan perbaikan berdampak negatif pada kegiatan sektor pertambangan di Kalimantan. Selain itu, lifting gas juga mengalami penurunan, sehingga ikut menyumbang kontraksi yang terjadi di sektor pertambangan dan industri di Kalimantan. Masih rendahnya harga komoditas global, melemahnya permintaan, serta permasalah pada produksi gas tersebut kemudian menyebabkan ekspor luar negeri mengalami kontraksi atau tumbuh negatif. Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator ekonomi di berbagai daerah Kalimantan mengindikasikan adanya sedikit perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan. Di satu sisi, harga komoditas batubara di pasar global yang masih rendah dan perlambatan ekonomi Tiongkok, yang diduga bersifat struktural, berpengaruh pada terbatasnya perbaikan aktivitas ekonomi Kalimantan. Di sisi lain, peningkatan produksi pertanian akan menjadi faktor pendorong membaiknya kinerja ekonomi Kalimantan triwulan II 2015. Diperkirakan perbaikan pertanian akan berlanjut sampai akhir tahun sehingga menjadi penopang ekonomi pada triwulan III dan IV. Meski demikian untuk keseluruhan tahun 2015, perekonomian Kalimantan diprakirakan masih akan tumbuh melambat. Hal tersebut dipicu oleh kinerja sektor pertambangan yang secara keseluruhan tahun 2015, belum mengalami perbaikan secara signifikan. Konsumsi Konsumsi Swasta Konsumsi swasta (konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga swasta nirlaba) berbagai daerah di Kalimantan tumbuh melambat pada triwulan I 2015. Hal ini sejalan dengan perlambatan kinerja sektor-sektor utama di Kalimantan. Harga komoditas ekspor yang masih rendah berdampak pada pendapatan masyarakat yang cenderung melemah, sejalan dengan menurunnya optimisme konsumen dalam melihat perekonomiaan saat ini (Grafik IV.1). Lebih lanjut lagi survei tendensi konsumen juga mengindikasikan adanya penurunan ketersediaan lapangan kerja dan konsumsi barang dibandingkan dengan periode sebelumnya. Selain itu, melemahnya konsumsi swasta juga tercermin pada penyaluran kredit konsumsi yang juga melambat. Grafik IV.1 Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Grafik IV.2 Indeks Tendensi Konsumen L a p o r a n N u s a n t a r a | 41 Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator konsumsi rumah tangga mulai menunjukkan perbaikan dalam level terbatas hampir di semua provinsi. Optimisme konsumen dalam memandang perekonomian ke depan meningkat, terkonfirmasi dari Indeks Tendensi Konsumen dan indeks ekspektasi konsumen hasil survei konsumen yang meningkat pada triwulan II 2015. (Grafik IV.1 dan Grafik IV.2). Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2015 masih tumbuh pada level yang rendah. Hal ini sejalan dengan lebih rendahnya anggaran belanja pemerintah daerah pada APBD 2015 dibandingkan tahun sebelumnya, khususnya di provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Menurunnya anggaran belanja di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara tahun 2015, disebabkan olah lebih rendahnya anggaran pendapatan daerah, khususnya dari Dana Bagi Hasil (DBH), akibat kinerja pertambangan yang buruk. Kondisi yang tidak kondusif ini, diperburuk oleh realisasi APBD Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara yang masih minim. Realisasi APBD di kedua provinsi tersebut di bawah rata-rata realisasi APBD seluruh provinsi di Indonesia, bahkan masuk dalam tiga provinsi dengan realisasi terendah. Pada triwulan II 2015 diperkirakan akan terjadi peningkatan konsumsi pemerintah untuk mengejar realisasi anggaran keseluruhan tahun 2015. Di sisi lain terdapat faktor risiko dalam konsumsi pemerintah terkait turunnya harga komoditas dan produksi migas serta batubara, sehingga menurunkan lebih dalam pendapatan dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH), yang pada akhirnya akan mengganggu kapasitas belanja daerah. Pendapatan 4% Belanja 12% PAD 9% DBH 7% Pegawai Barang/Jasa 5% 14% DAU 6% Lainnya 16% Modal Lainnya 21% 13% Sumber: DJPK Kemenkeu, (diolah) Gambar IV.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tahun 2015 dibandingkan dengan Tahun 2014 Sumber : DJPK Kemenkeu (diolah) Grafik IV.3 Perkembangan DBH dan Harga Internasional Batubara dan Minyak Investasi Investasi di berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan I 2015 secara agregat mengalami perlambatan. Hal ini terindikasi dari pertumbuhan realisasi nilai penanaman modal asing (PMA) yang lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya, (Grafik IV.4). Melemahnya investasi juga terkonfirmasi dari hasil survei dan liaison. Hasil survei kegiatan dunia usaha (SKDU) menunjukkan bahwa kegiatan investasi di sektor industri dan pertambangan masih lemah, tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) yang negatif (Grafik IV.5). Lesunya prospek batubara ke depan menjadi faktor penghambat investasi di sektor pertambangan oleh pelaku usaha. Di sisi lain, investasi di sektor pertanian masih cukup baik, khususnya di Kalimantan Selatan. Hasil SKDU juga mengindikasikan bahwa pelemahan investasi terjadi hampir di seluruh Kalimantan (Grafik IV.6). L a p o r a n N u s a n t a r a | 42 Sumber: BKPM, diolah Grafik IV.4 Realisasi PMA di Kalimantan Grafik IV.5 Investasi Hasil SKDU Grafik IV.6 Investasi Berdasar Sektoral Hasil SKDU Grafik IV.7 Investasi Berdasar Provinsi Hasil SKDU Memasuki triwulan II 2015, kinerja investasi diprakirakan sedikit membaik. Peningkatan kinerja investasi terutama didorong oleh prakiraan perbaikan investasi di Kalimantan Tengah (Grafik IV.8). Sementara itu, investasi di provinsi lain belum mengindikasikan adanya perbaikan yang cukup signifikan, bahkan investasi di Kalimantan Barat diprakirakan melambat. Melonjaknya investasi di Kalimantan Tengah terutama ditopang oleh pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Di sisi lain, peran swasta dalam mendukung investasi di Kalimantan masih kurang. Hal ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya perbaikan investasi di Kalimantan. Dari kegiatan liaison kepada beberapa pelaku usaha di sektor pertambangan dan industri migas diperoleh informasi yang mengonfirmasi rendahnya keterlibatan swasta pada investasi di Kalimantan, sebagaimana tercermin dari grafik likert scale yang dalam tren menurun (Grafik IV.9). Kontak liaison menyatakan belum akan melakukan investasi dalam waktu dekat. Grafik IV.8 Pertumbuhan Investasi PDRB di Kalimantan Grafik IV.9 Perkiraan Investasi Hasil Liaison dan SKDU L a p o r a n N u s a n t a r a | 43 Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan pada triwulan I 2015 masih meneruskan tren pelemahan. Kontraksi ekspor yang terjadi pada triwulan I 2015, terkonfirmasi dari likert scale penjualan ekspor yang tercatat masih berada di area negatif (Grafik IV.10). Ekspor utama Kalimantan, yang mengalami penurunan, yaitu batubara, crude palm oil (CPO) dan karet (Grafik IV.11). Penurunan ekspor terjadi di sebagian besar negara tujuan ekspor Kalimantan, kecuali Eropa (Grafik IV.12). Penurunan ekspor paling dalam terjadi pada komoditas CPO dengan negara tujuan ekspor utama Tiongkok dan India. Kondisi ekonomi mitra dagang utama, yang masih tertekan, menjadi salah satu penyebab turunnya permintaan terhadap ekspor Kalimantan. Grafik IV.10 Likert Scale Penjualan Ekspor Grafik IV.11 Pertumbuhan Ekspor Berdasar Komoditas Grafik IV.12 Pertumbuhan Tahunan Ekspor Berdasar Negara Tujuan Utama Grafik IV.13 Perkiraan Pertumbuhan Ekspor PDRB Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator kinerja ekspor luar negeri Kalimantan mulai menunjukkan perbaikan, meski dalam level yang terbatas. Perbaikan terutama didorong oleh Kalimantan Selatan, yaitu dari sektor perkebunan. Terbatasnya perbaikan ekspor Kalimantan disebabkan oleh masih lemah kinerja ekspor pertambangan. Ekspor batubara diperkirakan belum menunjukkan perbaikan. Hal tersebut tidak terlepas dari perlambatan perekonomian Tiongkok, yang masih berlanjut, sehingga permintaan impor negara tersebut tetap lemah. Selain itu, Tiongkok juga mulai membatasi impor batubara dan lebih mengutamakan penggunaan batubara dalam negeri. Demikian pula halnya dengan ekspor migas, diperkirakan masih akan terus terkontraksi karena belum ditemukannya sumur migas baru. Sementara itu, ekspor bahan olahan mineral, yang semula diproyeksi akan mulai menggeliat pada triwulan II tahun 2015, diperkirakan belum akan terjadi. Hal tersebut terkait dengan masih terbatasnya kemampuan smelter dalam mendorong ekspor pada triwulan II. L a p o r a n N u s a n t a r a | 44 Impor Pertumbuhan impor dari luar negeri ke berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan I 2015 tercatat malambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, hampir untuk semua jenis barang. Perlambatan terdalam terjadi untuk jenis barang modal yang juga terkorfirmasi oleh kegiatan liaison kepada pelaku usaha di bidang pertambangan dan pengangkutan batubara, yang menyatakan perusahaan cenderung menahan pembelian barang modal karena faktor harga jual batubara di pasar internasional yang masih rendah. Penurunan impor barang modal tersebut sejalan dengan perlambatan investasi. Di samping barang modal, penurunan impor juga terjadi untuk bahan baku. Untuk triwulan II 2015, impor luar negeri diprakirakan naik, didorong oleh peningkatan impor dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Kebutuhan impor meningkat, terutama untuk jenis barang modal dan bahan baku. Peningkatan impor barang modal, terkait dengan dimulainya proses pembangunan infrastruktur di Kalimantan Tengah serta pembangunan smelter di Kalimantan Barat. Sementara itu, impor bahan baku yang meningkat didorong oleh besarnya kebutuhan pupuk untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur, seiring usia tanaman yang relatif masih muda. Grafik IV.14 Pertumbuhan Impor Tahunan Grafik IV.15 Perkiraan Pertumbuhan Tahunan Impor PDRB Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertambangan Pada triwulan I 2015 kinerja sektor pertambangan di Kalimantan menurun cukup signifikan. Pertumbuhan sektor pertambangan mengalami kontraksi 1,2%, dari sebelumnya tumbuh 4,5%. Penurunan kinerja pertambangan tersebut sebagai akibat dari kontraksi yang cukup dalam sektor tersebut di Kalimantan Timur. Sektor pertambangan di Kalimantan Timur mengalami kontraksi 2%, jauh lebih rendah dari periode sebelumnya yang mampu mencatat pertumbuhan 6%. Melemahnya kinerja pertambangan terutama dipicu oleh turunnya produksi batubara dan migas Kalimantan. Pada triwulan I 2015 produksi batubara turun sangat dalam, hingga 38,86% (yoy) dari periode sebelumnya yang tumbuh 1,91% (yoy) (Grafik IV.16). Berkurangnya produksi batubara antara lain disebabkan oleh turunnya permintaan dari Tiongkok hingga 50%, sejalan dengan pelemahan perekonomian negara tersebut. Sementara itu, ekspor batubara ke India tumbuh melambat (Grafik IV.17). Kondisi ini berbeda dengan perkiraan semula, yang mengharapkan akan terjadi peningkatan permintaan batubara dari India, sehubungan dengan perkiraan masih tingginya kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik di India. Di sisi migas, penurunan produksi disebabkan oleh kondisi sumur-sumur tambang yang sudah tua dan tidak lagi produktif (Grafik IV. 18 dan IV.19). Upaya peningkatan kapasitas produksi, melalui kegiatan eksplorasi untuk menemukan sumber-sumber baru, relatif terbatas. L a p o r a n N u s a n t a r a | 45 Grafik IV.16 Produksi Batubara Kalimantan Grafik IV.17 Pertumbuhan tahunan Ekspor Tambang Batubara Berdasarkan Negara Tujuan, % Grafik IV.18 Lifting Gas Kalimantan Grafik IV.19 Lifting Minyak Kalimantan Pada triwulan II 2015, pertumbuhan sektor pertambangan diprakirakan masih mengalami perlambatan, terutama karena belum membaiknya pertambangan batubara dan migas. Lesunya perekonomian Tiongkok dan kebijakan Tiongkok yang mengutamakan produksi dalam negeri, serta sudah mencukupinya stok batubara Korea Selatan sampai dengan triwulan II tahun 2015, menjadi faktor penahan kinerja produksi batubara. Selain itu, terdapat risiko pasar batubara Indonesia akan diambil oleh Australia. Pada pertambangan migas, penurunan lifting juga masih akan terus terjadi, mengingat umur sumur-sumur migas di Kalimantan yang sudah tua dan belum ada investasi yang signifikan dalam waktu dekat. Sektor Industri Pengolahan Industri pengolahan Kalimantan pada triwulan I 2015 tumbuh melambat disebabkan oleh menurunnya kinerja industri pengolahan migas. Penurunan lifting migas mengakibatkan rendahnya kegiatan pada industri pengolahan migas. Selain industri migas, penurunan kegiatan usaha juga terjadi pada industri nonmigas, terutama industri olahan hasil perkebunan. Hal ini sejalan dengan melemahnya kinerja perkebunan. Turunnya produksi tandan buah segar (TBS) dan terbatasnya produksi getah karet, menyebabkan terhambatnya pasokan bahan baku ke industri olahan perkebunan, seperti CPO dan industri pengolahan karet. Hal ini terjadi terutama di Kalimantan Barat. Pada triwulan II 2015, perkembangan industri diperkirakan masih terkontrkasi, meski tidak sedalam periode sebelumnya. Industri migas diperkirakan masih menjadi penahan laju pertumbuhan sektor industri. Di sisi lain, industri CPO diperkirakan akan mengalami peningkatan, terutama di Kalimantan Timur, sejalan dengan mulai berproduksinya perkebunan sawit hasil investasi produksi sebelumnya. L a p o r a n N u s a n t a r a | 46 Sektor Pertanian Pertumbuhan sektor pertanian Kalimantan pada triwulan I 2015 melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penurunan kinerja tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi di Kalimantan. Perlambatan didorong oleh subsektor tanaman bahan makanan (tabama) dan perkebunan. Adanya banjir di Kalimantan Selatan, membuat panen bergeser ke triwulan II 2015. Perkembangan berbagai indikator pertanian di Kalimantan mengindikasikan adanya perbaikan kinerja sektor pertanian pada triwulan II 2015. Pertumbuhan sektor pertanian yang meningkat, didorong oleh peningkatan produksi tabama dan perkebunan. Produksi tabama di Kalimantan Selatan diperkirakan naik terkait pergesaran musim panen, di samping mulai tampaknya hasil implimentasi program dari pemerintah pusat untuk swasembada pangan di seluruh provinsi di Kalimantan. Pemerintah menetapkan target produksi beras pada tahun 2015 di Kalimantan sebesar 5,82 juta ton atau naik 21,89% (yoy) dibandingkan dengan tahun 2014. Target peningkatan produksi beras ini sangat tinggi dibandingkan dengan historis, dengan rata-rata kenaikan produksi beras hanya 1,67%. Beberapa upaya khusus yang dilakukan sepanjang tahun 2015 untuk mencapai target produksi tersebut di antaranya perbaikan jalan, optimasi lahan, pengembangan metode SRI, serta pemberian bantuan alat dan mesin pertanian. Pembiayaan semua program ini menggunakan anggaran APBNP. PERKEMBANGAN INFLASI Tekanan inflasi Kalimantan pada triwulan I 2015 menurun dibandingkan dengan akhir tahun 2014. Inflasi Kalimantan pada periode tersebut tercatat sebesar 7,31% (yoy), lebih rendah dari inflasi pada akhir tahun 2014 yang mencapai 7,87% (yoy). Kendati demikian level inflasi Kalimantan masih lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi nasional sebesar 6,38% (yoy). Secara spasial, Kalimantan Tengah tercatat sebagai satu-satunya daerah yang mengalami inflasi di bawah angka inflasi nasional, yaitu sebesar 5,90% (yoy). Meredanya tekanan inflasi Kalimantan antara lain didukung oleh kelompok administered prices, akibat turunnya harga BBM pada bulan Januari dan Februari 2015. Sementara itu, inflasi kelompok volatile foods meningkat, didorong oleh berkurangnya pasokan beras akibat belum panen, serta berkurangnya hasil tangkapan ikan segar dan hasil panen sayuran. Kondisi cuaca yang kurang mendukung juga berdampak terhadap berkurangnya stok barang di Kalimantan, yang sebagian besar didatangkan dari luar Kalimantan. Pada kelompok inti, tekanan inflasi didorong oleh peningkatan tarif sewa rumah dan harga nasi dengan lauk. Sumber: BPS, diolah Grafik IV.20 Perkembangan Inflasi Kalimantan dan Indonesia Sumber: BPS, diolah Grafik IV.21 Disagregasi Inflasi Kalimantan Memasuki bulan April 2015, inflasi Kalimantan masih terus melanjutkan tren penurunan. Inflasi April tercatat lebih rendah dari akhir triwulan I 2015 menjadi 7,21% (yoy), meskipun tetap lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional sebesar 6,79% (yoy). Menurunnya tekanan inflasi didukung oleh melemahnya tekanan harga kelompok volatile food, seperti daging ayam ras, ikan segar, dan sayur mayur di sebagian besar wilayah Kalimantan. Sementara itu, inflasi inti pada bulan April 2015 relatif stabil tercatat sebesar 5,95% (yoy). Di sisi L a p o r a n N u s a n t a r a | 47 lain, inflasi kelompok administered prices meningkat, dari 10,36% (yoy) menjadi 11,82% (yoy), didorong oleh, meningkatnya harga bensin dan tarif angkutan dalam kota sebagai dampak kenaikan BBM pada akhir Maret 2015. Selain itu kenaikan elpiji awal Maret, juga memberikan andil inflasi yang cukup besar. Pada triwulan II 2015, inflasi Kalimantan diperkirakan akan tetap terkendali. Kesiapan TPID dalam menyambut bulan Ramadhan, diperkirakan dapat menjaga pasokan bahan makanan secara cukup, sehingga pergerakan harga komoditas kelompok volatile foods diperkirakan tidak memberikan tekanan yang besar pada inflasi triwulan II. Selain terjaganya pasokan bahan pangan, terkelolanya ekspektasi harga masyarakat memasuki Ramadhan turut membantu terkendalinya inflasi di Kalimantan. Kondisi cuaca yang relatif baik, ditandai dengan penurunan curah hujan, berdampak positif terhadap produksi sayur mayur serta hasil tangkapan ikan segar. Inflasi inti diperkirakan masih stabil, sejalan dengan masih terbatasnya konsumsi masyarakat. Di sisi lain, inflasi administered prices diperkirakan meningkat, akibat penyesuaian harga BBM pada akhir Maret dan awal April. Koordinasi pusat dan daerah, melalui TPID, dalam mengantisipasi dampak lanjutan kenaikan BBM, diharapkan dapat meminimalisir kenaikan inflasi administered prices. Beberapa risiko yang berasal dari kelompok administered yang masih perlu diwaspadai diantaranya kenaikan harga LPG, TTL serta tiket angkutan udara pada masa liburan sekolah. Secara spasial stabilnya inflasi didukung oleh menurunnya inflasi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada triwulan II. Hal ini sejalan dengan masih terbatasnya perekonomian di kedua provinsi, sehingga kegiatan konsumsi masyarakat tertahan, terutama pembelanjaan untuk barang tahan lama. Koordinasi Pengendalian Inflasi Gudang Kandang /Kolam Penyangga Pasar Penyeimbang Petani Pengumpul Ped. Antara Wholesaler Ped. Kecamatan, Kab./Kota Pedagang antar daerah Kalteng K O N S U M E N Gambar IV.2 Skema Pasar Penyangga Dalam rangka mengendalikan inflasi di Kalimantan, berbagai upaya koordinasi melalui Tim Pengendali Inflasi daerah (TPID) diarahkan untuk mencapai inflasi yang rendah dan stabil. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara membentuk klaster ketahanan pangan, khususnya untuk komoditas beras, cabai dan bawang merah di Kalimantan, sebagai upaya mengurangi ketergantungan pasokan dari luar Kalimantan. TPID juga melakukan 23 upaya peningkatan produktivitas tanaman padi dengan menggunakan metode tanam bibit padat (Hazton) . Upaya lain dalam menjaga stabilitas harga, yaitu memperbaiki sisi tata niaga. Langkah yang diambil dalam 23 Pilot project dikembangkan bersama oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat bersama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Metode tanam hazton menggunakan jumlah bibit yang yang lebih banyak dalam satu lubang yakni mencapai 20-30 bibit dari umumnya hanya 3 atau 5 bibit. Pada tahun 2014 hasil pengujian metode hazton yang diterapkan di beberapa lokasi di Kalimantan Barat menunjukkan adanya peningkatan produktivitas padi hingga 2 kali lipat. Pada tahun 2015 akan dilakukan penanaman 1.000 hektar lahan di perbatasan yang bertujuan untuk mengendalikan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. L a p o r a n N u s a n t a r a | 48 upaya ini yaitu membentuk pasar penyeimbang di Kalimantan Tengah. Pasar ini berfungsi sebagai penyeimbang dan acuan harga untuk para pedagang, khususnya pada momen-momen tertentu. Melalui langkah ini diharapkan akan terbentuk harga yang stabil dan dapat mengurangi disparitas harga antara petani ke konsumen, sebagai akibat kesenjangan informasi harga pangan. Komoditas yang dijual merupakan komoditas pangan yang sering menyumbang inflasi. Untuk mendukung pasokannya, dibentuk kandang dan kolam penyangga, serta disediakan gudang penyimpanan dan pengelolaan stok bahan pangan. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Keuangan Kinerja sektor keuangan di Kalimantan pada triwulan I 2015 menurun, sejalan dengan perekonomian yang melemah. Penyaluran pembiayaan di Kalimantan melambat dari 9,7% (yoy) pada akhir 2014 menjadi 7,6% (yoy). Dari sisi risiko, kualitas kredit relatif terjaga, yang tercermin dari tingkat NPL sebesar 3,4%, atau masih di bawah threshold. Di sisi lain, penghimpunan dana di Kalimantan masih meningkat dari 5,3% (yoy) pada akhir 2014 menjadi 8,0% (yoy), terutama didorong oleh dana dari pemerintah. Peningkatan dana pemerintah daerah terkait lebih efisiennya proses pencairan Dana Bagi Hasil pada periode laporan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Grafik IV.22 Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit Sektoral Grafik IV.23 Pertumbuhan DPK Per Golongan Ketahanan Sektor Korporasi Pendanaan sektor korporasi di Kalimantan melambat pada triwulan I 2015 relatif dibandingkan dengan periode sebelumnya. Penyaluran kredit kepada sektor korporasi melambat dari 8,97% (yoy) pada akhir 2014 menjadi 6,19% (yoy). Hal ini terkait dengan masih lesunya perekonomian Kalimantan, yang disebabkan oleh faktor eksternal, yakni koreksi harga dan turunnya permintaan komoditas global. Kualitas penyaluran kredit di Kalimantan secara umum masih terjaga, dengan level NPL masih di bawah tresshold. Namun secara spasial, kualitas kredit di Kalimantan Timur sudah melewati ambang batas aman 5%. NPL kredit yang disalurkan di Kalimantan Timur tercatat sebesar 6,7%. Peningkatan NPL terutama didorong oleh memburuknya kualitas kredit sektor pertambangan dan industri pendukungnya, yang merupakan sektor utama Kalimantan Timur. Di sisi lain, penghimpunan dana di Kalimantan kembali ke level normalnya, terutama didukung oleh dana dari pemerintah. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, di Kalimantan Timur, terjadi keterlambatan pencairan penerimaan DBH batubara, akibat cukup panjangnya proses negosiasi DBH batubara. Permasalahan tersebut kini tidak terjadi pada triwulan I 2015. L a p o r a n N u s a n t a r a | 49 Grafik IV.24 Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit Korporasi Grafik IV.25 Pertumbuhan DPK Per Provinsi Ketahanan Sektor Rumah Tangga dan UMKM Ketahanan keuangan sektor rumah tangga (RT) di Kalimantan tetap terjaga. Pembiayaan RT di Kalimantan pada triwulan I 2015 tumbuh cukup baik sebesar 18,97% (yoy), didukung oleh kredit perumahan dan multiguna yang masing-masing tumbuh cukup tinggi sebesar 29,81% (yoy) dan 11,11% (yoy). Dari sisi kualitas penyaluran, risiko kredit RT masih tetap terjaga, tercermin dari rendahnya NPL, yang tercatat sebesar 1,75% dan debt-to24 service ratio yang masih pada level sehat yaitu sebesar 14,2% pada triwulan I 2015. Di sisi lain, pertumbuhan DPK perseorangan Kalimantan berada dalam tren yang melambat sepanjang setahun terakhir. Pada triwulan I 2015, DPK perseorangan hanya tumbuh sebesar 7,0% (yoy). Grafik IV.26 Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit RT Grafik IV.27 Debt-to-Service Ratio Per Provinsi Grafik IV.28 Pertumbuhan DPK Perseorangan Grafik IV.29 Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit UMKM 24 Debt-to-service ratio (DSR) merupakan salah satu ukuran tingkat ketahanan SSK yang diukur dari cicilan hutang terhadap pendapatan. DSR yang sehat maksimal berada pada level 30% L a p o r a n N u s a n t a r a | 50 Pertumbuhan pembiayaan UMKM pada triwulan I 2015 tercatat relatif stabil. Pertumbuhan kredit kepada UMKM tercatat sebesar 13,4% (yoy), relatif sama dengan triwulan sebelumnya. Penyaluran kredit UMKM di Kalimantan didominasi oleh sektor perdagangan, dan pertumbuhan kredit di sektor ini tercatat stabil. Secara spasial, penyaluran kredit UMKM di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah pada triwulan I 2015 meningkat, sementara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat melambat, meski masih pada level yang cukup tinggi. Dari sisi risiko, penyaluran kredit UMKM di Kalimantan perlu diwaspadai, karena NPL sudah melewati ambang batas aman 5% pada triwulan I 2015. Pelaku usaha keuangan perlu lebih selektif dalam menyalurkan kredit kepada UMKM. Secara sektoral, risiko kreditu UMKM tertinggi terdapat pada sektor konstruksi, transportasi dan jasa, dengan NPL masing-masing sebesar 11,1%, 8,2% dan 8%. Relatif tingginya risiko merupakan implikasi dari lesunya kegiatan ekonomi, di tengah rendahnya permintaan komoditas ekspor Kalimantan. Hal tersebut juga terkonfirmasi secara spasial, yang terlihat dari tingginya NPL kredit UMKM di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Perekonomian kedua provinsi tersebut lebih digerakkan oleh ekspor komoditas batubara, yang saat ini harganya masih terpuruk. Sistem Pembayaran Perlambatan ekonomi yang terjadi di Kalimantan juga terkonfirmasi oleh indikator sistem pembayaran yang mengalami perlambatan. Nilai transaksi nontunai di wilayah Kalimantan pada triwulan I 2015 tercatat Rp230 triliun atau tumbuh 0,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 9,2% (yoy). Pada transaksi tunai, permintaan uang kartal juga mengalami penurunan, yang tercermin dari penurunan transaksi outflow dari Bank Indonesia sampai dengan 7,0% (yoy), sedangkan inflow masih tumbuh 16,7% (yoy). Sementara itu, jumlah temuan uang yang diragukan keasliannya pada triwulan I 2015 tercatat sebanyak 1.313 bilyet atau mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 452 bilyet. Cukup tingginya angka temuan ini disebabkan adanya temuan uang yang diragukan keasliannya oleh Kepolisian RI di Kalimantan Tengah pada bulan Januari 2015. Grafik IV.30 Perkembangan SP Non Tunai Grafik IV.31 Perkembangan SP Tunai PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Secara umum, kinerja perekonomian Kalimantan untuk keseluruhan tahun 2015 diperkirakan melambat. Pertumbuhan ekonomi Kalimantan diprakirakan berada di kisaran 1,4%–1,9% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan prakiraan sebelumnya dan capaian tahun 2014. Lebih rendahnya proyeksi disebabkan oleh kinerja sektor pertambangan dan industri olahan migas yang tidak setinggi perkiraan triwulan IV 2014. Di sisi lain, sektor pertanian diperkirakan tetap meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya, sehingga dapat menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi lebih jauh lagi. L a p o r a n N u s a n t a r a | 51 Kinerja sektor pertambangan baik batubara dan migas diperkirakan menurun. Penurunan batubara terkait melemahnya permintaan Tiongkok pasca dikeluarkannya aturan pelarangan penggunaan batubara di pemukiman dan perkotaan. Selain itu, dalam jangka menengah panjang, Tiongkok akan mengganti sebagian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi pembangkit dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan seperti gas, air dan angin. Pada subsektor migas, lifting migas sepanjang tahun 2015 diperkirakan tidak mengalami perbaikan, sejalan dengan stagnannya investasi yang dilakukan pada pertambangan migas. Industri olahan diperkirakan masih tertahan, akibat belum membaiknya kinerja industri migas. Lifting migas yang terus turun, berdampak pada rendahnya aktivitas di industri migas. Di sisi lain, industri nonmigas diperkirakan akan meningkat, sejalan dengan membaiknya produksi sawit. Sementara itu, kegiatan operasional smelter tahun 2015 diperkirakan hanya sedikit berkontribusi pada perkembangan industri olahan Kalimantan. Masih terdapat sejumlah tantangan dalam penyelesaian smelter di Kalimantan, antara lain isu lingkungan dan pendanaan smelter pasca dihentikannya ekspor bauksit. Sektor pertanian diperkirakan meningkat didukung naiknya produksi tanaman pangan dan perkebunan sawit. Peningkatan produksi tanaman bahan makanan didukung oleh program pemerintah dalam rangka mencapai kedaulatan pangan. Pada subsektor perkebunan, produksi sawit juga diperkirakan masih akan terus meningkat seiring dengan semakin produktifnya produksi kebun di Kalimantan yang masih berumur muda. Dari sisi permintaan, diprakirakan belum ada perbaikan kinerja pada komponen pembentuknya. Konsumsi diperkirakan melambat sejalan dengan belum pulihnya sektor pertambangan sehingga memengaruhi pendapatan dan daya beli masyarakat. Perlambatan juga terjadi pada belanja pemerintah, terkait turunnya DBH, sehingga belanja pemerintah tidak dapat setinggi pada tahun 2014. Selain itu, ekspor diprakirakan masih akan terkontraksi dan investasi juga diprakirakan melambat, sebagai respons rendahnya permintaan komoditas batubara, yang merupakan komoditas ekspor terbesar Kalimantan. Di sisi lain, penurunan investasi diprakirakan masih dapat ditopang oleh ekspansi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur di daerah, selain pembangunan smelter yang masih terus berlanjut. Di tengah perekonomian yang diproyeksi masih tumbuh rendah, terdapat faktor risiko yang berpotensi menekan laju pertumbuhan tahun 2015 semakin dalam, yakni potensi koreksi harga komoditas energi, baik migas maupun batubara yang lebih dalam. Selain itu, kebijakan pemerintah India, yang berencana akan membuka 12 tambang dalam waktu 12 bulan kedepan, berpotensi menurunkan kebutuhan impor barang tambang India, termasuk barang tambang yang didatangkan dari Indonesia. Bahkan, dalam 18 bulan kedepan, pemerintah India merencanakan membuka 40-50 tambang batubara. Dari sisi regulasi, potensi kenaikan royalti penambang dengan izin IUP dari 3% menjadi 7%, 9% dan 13,5%, sesuai dengan besaran kalori, juga diperkirakan akan menjadi faktor penghambat laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan tahun 2015. Pada subsektor migas, masih berlanjutnya natural declining produksi migas, berpotensi menurunkan produksi LNG. Faktor risiko lain, yang berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan pada tahun 2015, yaitu terhambatnya pembangunan beberapa proyek seperti penyelesaian smelter; proyek PLTA, yang mengurangi penyerapan batubara domestik; serta terhambatnya program infrastruktur akan memberi tekanan pada kinerja investasi, terutama investasi bangunan, serta kinerja sektor konstruksi. Prospek Inflasi Tekanan inflasi Kalimantan pada tahun 2015 diprakirakan terkendali pada kisaran 4,0%-4,5% (yoy), terutama dipengaruhi oleh minimalnya tekanan inflasi kelompok volatile food dan administered prices. Pada kelompok volatile food, minimalnya tekanan inflasi pada tahun 2015 didukung oleh peningkatan produksi pangan yang terutama didukung hasil program pemerintah pusat. Sementara dari sisi kelompok inti, diperkirakan tekanan bersifat minimal sejalan dengan belum membaiknya pendapatan masyarakat. Beberapa risiko ke depan diprakirakan masih akan membayangi prospek inflasi Kalimantan tahun 2015. Risiko inflasi bersumber dari komoditas kelompok administered prices, yang terkait dengan kebijakan di bidang energi. Risiko berasal dari kenaikan harga minyak dunia, yang ditransmisikan pada penyesuaian harga BBM, L a p o r a n N u s a n t a r a | 52 LPG, dan TTL. Potensi kenaikan harga emas dunia juga berpotensi memberikan tekanan inflasi pada kelompok inti. Risiko inflasi lainnya berasal dari adanya pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang serentak di beberapa daerah, sehingga meningkatkan konsumsi. Berbagai upaya untuk meminimalisir dampak inflasi, khususnya dampak lanjutan dari inflasi administered prices, terus dilakukan melalui TPID. L a p o r a n N u s a n t a r a | 53 Saat ini tren perekonomian Kalimantan sedang menurun, dan pada triwulan I 2015 capaian pertumbuhan ekonomi Kalimantan merupakan yang terendah sepanjang sepuluh tahun terakhir. Hal ini merupakan imbas dari ketergantungan ekonomi Kalimantan pada sumber daya alam yang tidak terbarukan dan memiliki nilai tambah yang kecil. Untuk itu diperlukan transformasi ekonomi Kalimantan dari comparative advantage menjadi competitive advantage, seperti yang sudah dibahas pada Laporan Nusantara sebelumnya. Untuk mendukung transformasi ekonomi Kalimantan, maka diperlukan upaya untuk melakukan pembenahan enabling factors, salah satunya adalah konektivitas. Minimnya konektivitas menjadi tekanan pada pertumbuhan ekonomi. Belum baiknya konektivitas di Kalimantan menyebabkan pelaku usaha enggan berinvestasi. Investasi masih berpusat di Wilayah Jawa (Grafik IV.32). Selain itu, buruknya konektivitas juga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Biaya distribusi ke Kalimantan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Selain itu, konektivitas juga akan memengaruhi secara signifikan proses pembentukan harga dan menurunkan disparitas harga pangan antarkota, yang pada akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Grafik IV.32 Pangsa Nilai PMA dan PMDN di Wilayah Indonesia Gambar IV.3 Biaya Kargo / km dari Jakarta Rendahnya konektivitas di Kalimantan terjadi baik pada transportasi udara, transportasi laut maupun darat. Rendahnya konektivitas udara terindikasi oleh rasio bandara terhadap luas wilayah darat di Kalimantan yang paling rendah dibandingkan dengan wilayah lain. Hal yang sama juga pada ketersediaan dan kualitas jalan di Kalimantan, yang cenderung tidak lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain. Belum adanya moda kereta api di Kalimantan, menjadikan distribusi menjadi kurang efisien. Dari sisi transportasi laut, indeks konektivitas transportasi laut Kalimantan tergolong rendah di Indonesia. Tabel IV.1 Kondisi Ketersediaan dan Kualitas Jalan Gambar IV.4 Indeks Konektivitas Transportasi Laut L a p o r a n N u s a n t a r a | 54 Permasalahan konektivitas juga menjadi faktor penghambat perekonomian daerah perbatasan di Kalimantan, yang sebagian besar merupakan daerah tertinggal. Jenis permukaan jalan di kawasan perbatasan Kalimantan hanya sebagian kecil dengan permukaan aspal, dan sisanya masih dengan permukaan berupa kerikil dan tanah. Selain itu kondisi jalan juga hanya sebagian kecil dengan kondisi baik. Selain kondisi infrastruktur yang tidak baik, pelayanan sosial dasar juga tidak memadai. Rata-rata jarak pasar di Kalimantan sejauh 39,95km lebih jauh dari nasional yang hanya 14,8km. Jauhnya jarak pasar dapat menyebabkan tingginya harga-harga komoditas, khususnya komoditas kebutuhan sehari-hari, karena sulitnya pedagang pengecer menjangkau pasar tersebut. Kondisi tersebut memaksa masyarakat di kawasan perbatasan untuk membeli kebutuhan sehari-hari mereka dari Malaysia. Hal ini menyebabkan dominasi penggunaan Ringgit di perbatasan. Sumber: BPS, diolah Grafik IV.33 Jenis Permukaan Jalan Kawasan Perbatasan Sumber: BPS, diolah Grafik IV.34 Kondisi Jalan di Kawasan Perbatasan Dalam rangka memperbaiki konektivitas, dalam RPJMN 2015-2019, pemerintah telah berencana membangun infrastruktur pendukung transportasi darat, laut, dan udara, baik untuk Kalimantan secara umum (Gambar IV.5) maupun daerah perbatasan secara khusus (Gambar IV.6). Konektivitas yang akan dibangun di Kalimantan memerhatikan beberapa hal sebagai berikut (i) keterpaduan infrastruktur wilayah dengan kawasan strategis yang dibangun, (ii) pengembangan kawasan perbatasan melalui dukungan wilayah, serta (iv) membangun konektivitas melalui jalan lintas/lingkar pulau dan pengembangan sungai untuk navigasi. Sumber: Bappenas, diolah Sumber: Bappenas, diolah Gambar IV.5 Proyek Konektivitas di Kalimantan Gambar IV.6 Proyek Konektivitas Daerah Perbatasan Tahun 2015 Tantangan yang harus dihadapi dalam mewujudkan perbaikan konektivitas tidak ringan. Beberapa hal yang harus dihadapi di antaranya tata ruang wilayah yang belum selesai, pembebasan lahan yang sulit, serta suplai energi yang tidak mencukupi. Selain itu, peningkatan sinergi dan koordinasi antar instansi juga menjadi kunci penyelesaian program konektivitas. Pada gilirannya, perbaikan konektivitas akan turut mendukung transformasi ekonomi untuk mendorong kenaikan nilai tambah perekonomian. L a p o r a n N u s a n t a r a | 55 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a | 56 PERTUMBUHAN EKONOMI 25 Pertumbuhan Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan I 2015, secara agregat lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Perekonomian pada triwulan I 2015 tercatat tumbuh sebesar 6,9% (yoy), setelah tumbuh sebesar 5,0% (yoy) pada triwulan IV 2014. Akselerasi pertumbuhan ekonomi berasal dari beberapa provinsi berbasis sumber daya alam (SDA), terutama penghasil tambang mineral, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah (bijih nikel, feronikel, LNG), Nusa Tenggara Barat (tembaga), Papua (tembaga), Maluku Utara (bijih nikel), dan Sulawesi Tenggara (bijih nikel, feronikel). Perbaikan pada kategori pertambangan di beberapa provinsi tersebut sejalan dengan penguatan kinerja ekspor pertambangan, sehubungan dengan perpanjangan izin ekspor tembaga dan beroperasinya smelter nikel yang baru. Meski demikian, capaian pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 tersebut tidak setinggi perkiraan Bank Indonesia sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh realisasi pertumbuhan kategori pertambangan dan pertanian yang lebih rendah dari proyeksi triwulan IV 2015. Terkait kategori pertambangan, mining rates produksi tembaga (produktivitas) di Papua yang belum optimal menyebabkan volume produksi tercatat 20% lebih rendah dari estimasi produsen. Adapun kategori pertanian di beberapa daerah sentra seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Bali mengalami perlambatan yang cukup dalam karena produksi tanaman bahan makanan (tabama) dan perikanan tangkap yang menurun. Penurunan tersebut diakibatkan oleh dampak cuaca buruk yang lebih besar dari perkiraan sebelumnya sehingga mengganggu pola produksi. Memasuki periode triwulan II 2015, perkembangan beberapa indikator ekonomi di berbagai daerah, hasil survei, dan pendalaman informasi (FGD, liaison) mengindikasikan pertumbuhan ekonomi KTI akan kembali mengalami percepatan. Pada sisi permintaan, membaiknya pertumbuhan ekonomi didorong oleh penguatan konsumsi rumah tangga dan ekspor luar negeri. Akselerasi komponen permintaan tersebut juga tercermin pada kinerja seluruh kategori lapangan usaha utama di KTI. Kinerja kategori pertanian akan meningkat, seiring masuknya musim panen raya. Kemudian, akselerasi pertumbuhan pada kategori pertambangan akan cenderung dipengaruhi oleh faktor base effect, terkait terhentinya kegiatan tambang di beberapa daerah pada periode yang sama tahun lalu. Pada kategori industri pengolahan, meningkatnya laju pertumbuhan akan didorong oleh beroperasinya smelter nikel dan pabrik LNG yang baru di Sulawesi. Selain itu, kinerja kategori perdagangan juga akan menguat sehubungan dengan faktor musiman perayaan hari besar keagamaan. Pada kategori konstruksi, dorongan pertumbuhan akan bersumber dari kinerja pembangunan proyek pemerintah yang akan meningkat pada triwulan II 2015. Adapun untuk keseluruhan tahun 2015, pertumbuhan ekonomi KTI diproyeksikan tumbuh pada kisaran 7,7% - 8,1% (yoy), atau lebih tinggi dari tahun 2014 (6,0%, yoy), akibat pengaruh akselerasi pada pertumbuhan kategori tambang dan industri. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Pada triwulan I 2015, konsumsi rumah tangga mencatat pertumbuhan positif namun relatif tidak lebih tinggi dari historis pertumbuhannya selama beberapa tahun terakhir. Masih tingginya harga barang, diikuti dengan keyakinan konsumen yang melemah menjadi penahan kinerja konsumi rumah tangga yang tumbuh sebesar 6,3% (yoy). Meski harga bahan bakar minyak (BBM) diturunkan pada awal tahun 2015, harga barang 25 Data pertumbuhan ekonomi menggunakan tahun dasar 2010 sejak triwulan IV 2014. Kawasan Timur Indonesia (KTI) terdiri dari 13 provinsi di Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Pulau Papua, Bali, dan Kepulauan Nusa Tenggara, yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. L a p o r a n N u s a n t a r a | 57 kebutuhan pokok tidak mengalami koreksi sehingga alokasi belanja masyarakat untuk keperluan rumah tangga yang lain masih tertahan. Kenaikan harga bahan bakar rumah tangga (LPG 12 kg) pada pertengahan triwulan I 2015 dinilai turut menahan pertumbuhan yang dikonfirmasi oleh beberapa indikator konsumsi. Tingkat keyakinan konsumen di beberapa kota KTI menunjukkan pelemahan dibandingkan dengan akhir tahun 2014 (Grafik V.1). Kegiatan pariwisata juga belum optimal, yang tercermin dari perlambatan pertumbuhan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) (Grafik V.2). Berdasarkan hasil liaison, kredit yang disalurkan untuk kebutuhan konsumsi serta tingkat upah yang direalisasikan oleh pelaku usaha juga menunjukkan penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Perkembangan indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga akan tumbuh lebih baik pada triwulan II 2015. Kondisi ini didukung oleh optimisme perekonomian KTI yang secara keseluruhan mengalami perbaikan, terutama pada sektor utama di KTI, yaitu (tambang, pertanian, industri pengolahan, dan konstruksi), yang akan turut memperbaiki tingkat pendapatan pekerja pada sektor tersebut. Indeks keyakinan konsumen beberapa kota di KTI juga menunjukkan peningkatan pada April 2015, seperti di kota Gorontalo, Jayapura, dan Denpasar, yang dipengaruhi oleh keyakinan konsumen terhadap kondisi penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, dan konsumsi barang tahan lama yang lebih baik dari enam bulan sebelumnya. Kemudian, indikator omset penjualan eceran di Denpasar dan Makassar juga mengalami peningkatan selama April dan Mei 2015, mengindikasikan adanya akselerasi kegiatan perdagangan di KTI (Grafik V.3). Selain itu, aktivitas persiapan Lebaran (masa puasa) dinilai akan turut mendorong kegiatan konsumsi rumah tangga. Grafik V.1 Indeks Keyakinan Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik V.2 Jumlah Wisatawan Mancanegara Konsumsi Pemerintah Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan I 2015 tercatat cukup tinggi meski tidak sebaik rata-rata pertumbuhan historis triwulan sebelumnya. Selain karena siklus penyerapan anggaran belanja yang biasanya belum optimal pada awal tahun, konsumsi pemerintah juga menghadapi beberapa kendala pertumbuhan dan tercatat tumbuh sebesar 8,4% (yoy). Salah satu kendala realisasi anggaran adalah belum adanya tindak lanjut terhadap pelaksanaan proyek pemerintah yang dilakukan. Pemerintah Daerah (Pemda) cenderung masih dalam proses pengadaan barang dan jasa tahap awal (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat). Di samping itu, beberapa daerah juga terlambat dalam melakukan pelaporan untuk memenuhi syarat tertib administrasi terkait penyerapan APBD (Papua Barat, NTT, NTB, Maluku Utara, Bali). Adapun indikator simpanan Pemda dalam bentuk giro belum diserap secara optimal dibandingkan dengan periode sebelumnya, yang tercermin pada pertumbuhan nilai simpanan yang meningkat cukup tinggi (Grafik V.4). Pada triwulan II 2015, kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Meski secara umum kegiatan belanja daerah meningkat sesuai pola siklikalnya, laju pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan masih terbatas sehubungan dengan kendala penyerapan anggaran belanja daerah yang terjadi di beberapa daerah sejak triwulan I 2015. Kendala utama berasal dari sisi administrasi yang L a p o r a n N u s a n t a r a | 58 menyebabkan tertahannya penyerapan anggaran belanja di Provinsi Maluku Utara, Papua Barat, dan Bali. Faktor lain yang menjadi faktor penahan relisasi belanja Pemda adalah mundurnya pengalokasian dana vertikal di beberapa DATI II di Sulawesi Selatan serta belum optimalnya pelaksanaan proyek Pemda di NTB yang masih berada dalam tahap survei. Grafik V.3 Omset Penjualan Eceran, Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia Grafik V.4 Simpanan Giro Pemerintah Daerah Investasi Investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) mencatat pertumbuhan yang tinggi pada triwulan I 2015, namun belum melampaui historis pertumbuhan investasi triwulan sebelumnya selama beberapa tahun terakhir. Belum optimalnya pertumbuhan investasi (9,5%, yoy) disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah sikap wait and see dari para investor (Bali) dan cuaca buruk yang mengganggu kelancaran geliat kegiatan pembangunan (NTT). Selain itu, selesainya tahap pertama beberapa proyek hilirisasi di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah, turut menurunkan realisasi investasi bangunan. Dari indikator asal penanaman modal, faktor penahan pertumbuhan adalah penanaman modal yang bersumber dari dalam negeri, yang cenderung tumbuh melambat pada periode laporan (Grafik V.5). Meski demikian, kegiatan penanaman modal asing tercatat masih mengalami akselerasi sehingga mampu menopang kinerja investasi. Berdasarkan hasil liaison kepada para pelaku usaha, kegiatan investasi pada awal tahun 2015 yang berupa maintenance capital untuk memperbesar kapasitas produksi, tumbuh cukup baik. Grafik V.5 Realisasi Penanaman Modal Grafik V.6 Penyaluran Kredit Investasi Pertumbuhan investasi pada triwulan II 2015 diperkirakan meningkat dibandingkan dengan triwulan I 2015. Optimisme tersebut didukung oleh investasi yang bersifat nonbangunan sebagai faktor utama percepatan pertumbuhan investasi, terutama yang berasal dari aktivitas ekspansi sektor riil (tambang dan hasil olahannya) di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, NTB, dan Papua Barat. Kegiatan pembangunan maupun perbaikan infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan, irigasi) maupun nontransportasi (pembangkit listrik, pusat perbelanjaan, hotel) juga akan mendorong pertumbuhan. Apalagi, realisasi proyek pemerintah L a p o r a n N u s a n t a r a | 59 diperkirakan meningkat sesuai siklusnya. Tren kredit yang digunakan untuk investasi juga mulai menunjukkan adanya peningkatan (Grafik V.6). Perdagangan Luar Negeri Ekspor Pada triwulan I 2015, kinerja ekspor luar negeri KTI mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang terutama didorong oleh ekspor pertambangan (konsentrat tembaga). Ekspor luar negeri nonmigas dari KTI tercatat sebesar 1,52 miliar dolar AS dan tumbuh sebesar 24,9% (yoy) setelah turun sebesar -26,4% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Kegiatan produksi dan ekspor tembaga di Papua dan NTB berjalan normal kembali, seiring izin ekspor yang telah dikeluarkan Pemerintah Pusat bagi produsen utama di kedua provinsi tersebut sejak triwulan III 2014. Meski realisasi produksi tembaga di Papua tidak setinggi estimasi sebelumnya, akselerasi tetap terjadi di sisi ekspor karena tahun sebelumnya ekspor luar negeri komoditas tambang mengalami penurunan yang sangat dalam (base effect). Di samping itu, komoditas olahan nikel juga berkontribusi pada percepatan yang terjadi untuk komponen ekspor (Grafik V.7). Akselerasi ekspor luar negeri diperkirakan masih berlanjut pada triwulan II 2015. Permintaan negara mitra dagang diperkirakan masih meningkat untuk beberapa komoditas ekspor dari Sulawesi Tenggara (feronikel) dan Bali (kayu, pakaian jadi, perikanan). Hal ini didukung oleh kinerja Purchasing Managers’ Index (PMI) yang tetap ekspansif di Tiongkok, Amerika Serikat, dan Zona Eropa. Di samping itu, terdapat optimisme perbaikan ekspor olahan gas alam dari Papua Barat, seiring insentif harga dan permintaan global. Hal tersebut masih ditambah dengan pengaruh faktor basis perhitungan karena adanya pembatasan ekspor mineral mentah selama triwulan II 2014 sehingga pertumbuhan ekspor tembaga (Papua, NTB) dan bijih nikel (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah) akan terakselerasi cukup tinggi. Impor Pada triwulan I 2015, impor luar negeri nonmigas KTI tercatat mengalami kontraksi yang lebih dalam. Impor tercatat sebesar 0,54 miliar dolar AS atau turun sebesar 8,5% (yoy) setelah sebelumnya mengalami kontraksi sebesar 1,1% (yoy). Memburuknya kinerja impor tercermin dari penurunan impor bahan baku dan barang konsumsi, seiring dengan perkembangan konsumsi rumah tangga yang masih terbatas (Grafik V.10). Adapun impor barang modal menahan kontraksi lebih lanjut karena akselerasi yang masih terjadi, seiring dengan kegiatan pembangunan dan operasional dari beberapa proyek hilirisasi (impor tungku smelteri) dan pembangkit listrik (impor peralatan listrik). Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik V.7 Ekspor Luar Negeri Menurut Komoditas Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik V.8 Impor Luar Negeri Menurut Kategori Barang Setelah mengalami kontraksi, kinerja impor luar negeri diperkirakan mampu berbalik arah dan mencatat pertumbuhan positif pada triwulan II 2015. Membaiknya kondisi impor luar negeri terutama didorong oleh L a p o r a n N u s a n t a r a | 60 prospek yang optimis pada komponen penggunaan yang lain, khususnya dari konsumsi rumah tangga, investasi, maupun ekspor luar negeri yang berbasis bahan baku impor. Kondisi perekonomian yang secara umum membaik, seiring penguatan sektor-sektor ekonomi utama di KTI, dan adanya kebutuhan pelaku usaha mengisi persediaan bahan baku untuk mendukung realisasi investasi nonbangunan, dinilai akan mendorong kebutuhan impor seluruh kategori barang. Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertambangan dan Penggalian Kategori pertambangan dan penggalian mengalami akselerasi pada triwulan I 2015, yang didorong oleh peningkatan laju pertumbuhan produksi tembaga. Angka laju pertumbuhan kategori ini tercatat menjadi 10,9% (yoy), setelah mengalami kontraksi sebesar 9,4% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Pasca relaksasi izin ekspor yang dikantongi produsen mineral di Papua dan NTB sejak triwulan III 2014, kegiatan produksi tembaga di dua daerah tersebut telah berjalan dengan normal. Hal ini mendorong akselerasi pertumbuhan kategori tambang pada triwulan I 2015 setelah pada periode yang sama tahun sebelumnya kegiatan produksi dibatasi oleh implementasi UU Minerba (Grafik V.9). Di samping itu, adanya smelter baru yang beroperasi di Sulawesi Tengah (feronikel) dan Sulawesi Tenggara (nickel pig iron atau NPI) juga mendorong peningkatan kebutuhan bijih nikel sebagai bahan baku. Pada triwulan II 2015, pertumbuhan kategori pertambangan KTI diperkirakan masih mengalami akselerasi. Permintaan bijih nikel untuk industri olahan nikel masih cukup kuat karena adanya smelter baru. Produsen utama bijih nikel di Sulawesi Tenggara juga diperkirakan tidak mengalami gangguan operasional dan akan menopang pertumbuhan secara umum (Grafik V.10). Produsen tembaga di NTB, serta produsen tembaga dan emas di Papua masih memiliki izin ekspor mineral masing-masing hingga akhir triwulan II 2015. Adapun upaya mencapai target produksi yang lebih optimal akan dilakukan oleh produsen nikel matte di Sulawesi Selatan setelah mengalami kontraksi pada triwulan sebelumnya. Sumber: Produsen, diolah Grafik V.9 Pertumbuhan Produksi Tembaga dan Emas Sumber: Produsen, diolah Grafik V.10 Pertumbuhan Produksi Nikel (Sulawesi Tengara) Sektor Industri Pengolahan Pada triwulan I 2015, sektor industri pengolahan mengalami deselerasi pertumbuhan yang disebabkan oleh melemahnya kinerja beberapa komoditas industri utama di KTI. Capaian pertumbuhan sektor industri tercatat 6,9% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2014 (9,6%, yoy). Untuk industri makanan olahan, khususnya ikan, kendala produksi bersumber dari ketersediaan bahan baku di musim penghujan yang menurun, sehingga produksi menjadi tidak optimal. Selanjutnya, produksi terigu di Sulawesi Selatan juga mengalami perlambatan karena masih dalam tahap penyediaan bahan baku, sebelum meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan menjelang Lebaran (Grafik V.11). Perlambatan juga dialami oleh industri tekstil di Bali yang tertekan akibat faktor persaingan dengan eksportir dari negara lain. Selain itu, permintaan global L a p o r a n N u s a n t a r a | 61 yang melemah serta tren harga minyak yang masih menurun menyebabkan produksi LNG Papua Barat tumbuh melambat. Adapun indikator produksi industri mikro dan kecil di KTI juga tercatat tidak tumbuh lebih tinggi dari capaian triwulan sebelumnya (Grafik V.12). Memasuki triwulan II 2015, kategori industri pengolahan KTI diperkirakan mampu mencatat akselerasi dan mendukung penguatan ekonomi secara keseluruhan. Adanya smelter baru (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah) dan pabrik LNG baru (Sulawesi Tengah) akan meningkatkan nilai tambah industri pengolahan KTI pada triwulan II 2015 dengan cukup signifikan. Menguatnya kegiatan konsumsi rumah tangga (peningkatan permintaan dari faktor musiman) dan investasi (proyek pembangunan lebih intensif) akan menopang pertumbuhan produksi industri makanan olahan serta industri semen. Tingkat pertumbuhan produksi LNG di Papua Barat juga diperkirakan akan membaik seiring faktor eksternal yang menunjukkan adanya pemulihan. Sementara itu, industri feronikel (Sulawesi Tenggara) turut menjaga pertumbuhan kategori ini secara keseluruhan seiring keyakinan produsen untuk mencapai target produksi. Sumber: Produsen, diolah Grafik V.11 Produksi Terigu Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik V.12 Pertumbuhan Indeks Produksi Industri Mikro dan Kecil Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Laju pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan I 2015 mengalami perlambatan dan menahan kinerja pertumbuhan ekonomi secara total, sehingga tidak terakselerasi lebih lanjut. sektor ini tercatat tumbuh sebesar 3,5% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tecatat sebesar 6,4% (yoy). Perlambatan terutama dikontribusikan oleh subsektor tabama dari berbagai daerah yang belum menghasilkan produksi secara optimal. Adanya anomali cuaca dan serangan hama, serta permasalahan jaringan irigasi berdampak pada penurunan produksi di Bali. Bergesernya musim tanam, yang menyebabkan kemunduran panen, terjadi di beberapa daerah sentra (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, NTB, dan Gorontalo). Produksi ikan tangkap tercatat menurun cukup dalam pada awal triwulan karena terbatasnya kegiatan penangkapan (Maluku dan Sulawesi Selatan). Secara umum, produksi ikan tangkap berada dalam tren yang menurun sejak Januari 2015 (Grafik V.13). Adapun indikator Nilai Tukar Perani (NTP) selama triwulan I 2015 secara umum tercatat lebih rendah dari triwulan sebelumnya (Grafik V.14). Dari subsektor perkebunan, panen raya kakao belum berlangsung, di tengah harga komoditas yang cenderung menurun. Pada triwulan II 2015, nilai tambah sektor pertanian diperkirakan mengalami akselerasi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Akselerasi ini didukung oleh perbaikan subsektor utama pertanian, seiring cuaca yang lebih baik dan datangnya musim panen. Produksi tabama akan meningkat karena masuknya masa panen raya padi di hampir seluruh daerah sentra produksi di KTI. Panen kakao juga berlangsung pada triwulan II 2015, terutama di Sulawesi yang berstatus sebagai produsen terbesar kakao di Indonesia. Adanya perbaikan infrastruktur produksi tabama (Gorontalo) dan perkebunan (Sulawesi Utara) turut mengakomodasi peningkatan yang terjadi. Dari subsektor perikanan, produksi ikan tangkap akan meningkat, seiring cuaca yang L a p o r a n N u s a n t a r a | 62 kondusif serta adanya upaya pemberdayaan masyarakat pesisir pantai melalui penambahan fasilitas penangkapan ikan (Sulawesi Tengah). Sumber: Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan, diolah Grafik V.13 Produksi Ikan Tangkap Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik V.14 Nilai Tukar Petani Sektor Konstruksi Pada triwulan I 2015, pertumbuhan sektor konstruksi tercatat mengalami perlambatan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sektor konstruksi tumbuh dari 9,1% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 8,6% (yoy), sejalan dengan kinerja investasi bangunan yang juga melambat. Selesainya tahap awal proyek hilirisasi dan masih belum optimalnya penyerapan proyek infrastruktur pemerintah menjadi faktor utama penahan kinerja sektor konstruksi. Hal ini dikonfirmasi oleh realisasi pengadaan semen yang mengalami kontraksi pada triwulan I 2015 (Grafik V.15) yang terjadi merata di hampir seluruh daerah di KTI. Pada triwulan II 2015, pertumbuhan sektor konstruksi diperkirakan meningkat. Peningkatan ini terutama akan ditopang oleh berlanjutnya proyek pembangunan yang bersifat multiyears di berbagai daerah, baik untuk proyek infrastruktur transportasi maupun nontransportasi (proyek ekspansi sektor riil lainnya). Dorongan dari sisi Pemda diperkirakan akan meningkat selaras dengan siklus penyerapan APBD yang lebih baik pada triwulan II 2015 sehingga mendukung arah proyeksi pertumbuhan kategori ini. Dari sisi swasta, pelaku usaha konstruksi memperkirakan adanya peningkatan harga jual yang dapat menjadi insentif bagi kegiatan dunia usaha secara keseluruhan (Grafik V.16). Sumber: Asosiasi Semen Indonesia, diolah Grafik V.15 Pengadaan Semen Grafik V.16 Saldo Bersih Tertimbang Harga Jual Bangunan, Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia PERKEMBANGAN INFLASI Laju inflasi KTI pada triwulan I 2015 tercatat mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Tekanan inflasi mereda yaitu dari 8,31% (yoy) menjadi 6,83% (yoy) pada periode laporan. Secara L a p o r a n N u s a n t a r a | 63 spasial, penurunan laju inflasi yang cukup besar terjadi di Sulawesi Tengah, Papua, Bali, dan NTB. Sumber utama menurunnya tekanan inflasi pada triwulan I 2015 berasal dari komponen administered prices dan volatile food. Adanya penurunan harga BBM bersubsidi di awal tahun, mengikuti koreksi ke bawah dari harga minyak dunia, membawa laju inflasi administered prices ke besaran lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2014. Meski harga BBM kembali ditingkatkan pada akhir periode triwulan I 2015, kenaikan tersebut tidak mendorong inflasi tahunan tercatat lebih tinggi karena level harga BBM yang baru masih lebih rendah dari level harga pada akhir 2014. Sementara itu, bobot konsumsi BBM yang jauh lebih besar dari bobot konsumsi LPG dalam keranjang komoditas inflasi KTI membuat dampak kenaikan harga LPG dapat diredam penurunan tren inflasi komoditas BBM. Selanjutnya, harga kelompok aneka bumbu tercatat mengalami deflasi dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2014. Kondisi tersebut menyebabkan tekanan inflasi volatile food menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Berbagai komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain adalah aneka cabai (melimpahnya pasokan dari daerah sentra) yang diikuti oleh turunnya harga aneka ikan (pasokan membaik di akhir triwulan), daging ayam dan minyak goreng. Sementara itu, inflasi inti cenderung masih meningkat yang didorong oleh kenaikan harga pada komoditas non-traded (komoditas terkait upah dan biaya pendidikan perguruan tinggi/akademi). Selain itu, inflasi emas perhiasan secara tahunan juga menunjukkan peningkatan, yang didorong oleh tren meningkatnya harga emas di pasar global pada awal tahun 2015 sehingga mendorong kenaikan harga emas perhiasan (Grafik V.17). Grafik V.17 Grafik V.18 Perkembangan Harga Komoditas, Survei Pemantauan Harga Bank Ekspektasi Harga Konsumen Jangka Pendek, Survei Konsumen Indonesia Bank Indonesia Pada triwulan II 2015, laju inflasi diperkirakan cenderung meningkat dibandingkan dengan triwulan I 2015. Indikasi peningkatan tersebut terlihat sejak April 2015 yang mencatat adanya kenaikan harga bulanan sebesar 0,27% (mtm), sehingga inflasi tahunan tercatat sebesar 6,95% (yoy). Tendensi kenaikkan harga dimaksud terutama disebabkan oleh penyesuaian harga BBM pada akhir Maret 2015, serta kenaikan harga aneka bawang, yang juga sejalan dengan hasil survei harga yang dilakukan Bank Indonesia. Berlanjutnya tren peningkatan harga pada triwulan II 2015 akan dipengaruhi oleh dimulainya masa puasa menjelang Lebaran yang akan meningkatkan permintaan masyarakat pada barang kebutuhan pokok. Indikator ekspektasi konsumen jangka pendek hasil Survei Konsumen di Makassar (bobot tertinggi kota IHK di KTI) juga cenderung meningkat pada triwulan II 2015 (Grafik V.18). Koordinasi Pengendalian Inflasi Tantangan pengendalian inflasi di daerah menjadi semakin kompleks dengan berbagai kebijakan Pemerintah Pusat yang berupaya menyehatkan sisi kapasitas fiskal melalui pengurangan subsidi energi. Hal ini membuat shock harga yang berasal dari kelompok administered prices berpotensi muncul sewaktu-waktu, bergantung kondisi variabel ekonomi penentu. Kondisi tersebut perlu diantisipasi daerah, dalam hal ini TPID, sehingga dampak gejolak harga administered prices dapat diakomodasi dengan baik di daerah tanpa meningkatkan L a p o r a n N u s a n t a r a | 64 ekspektasi secara berlebihan. Oleh sebab itu, penetapan kebijakan di daerah dalam rangka menyesuaikan perubahan harga dari Pemerintah Pusat perlu dilakukan. Selama periode triwulan I 2015, beberapa TPID Provinsi/Kabupaten/Kota di KTI, didukung oleh Bank Indonesia di daerah, telah melakukan upaya-upaya untuk turut menstabilkan harga. Secara khusus, di NTB, penyampaian surat rekomendasi terkait pengendalian konsumsi LPG 12 kg kepada Pemerintah Provinsi telah dilakukan. Dari sisi harga pangan dan kebutuhan pokok yang sering menjadi penggerak utama inflasi, TPID di Bali mengimplementasikan program Warung Sembako TPID untuk mendukung pengendalian harga barang kebutuhan pokok. Upaya yang lebih terkoordinasi di seluruh daerah untuk pengendalian harga juga telah diwujudkan TPID di masing-masing daerah melalui penyusunan rencana kerja jangka hingga beberapa tahun ke depan. Di dalam setiap rencana kerja yang disusun, dilakukan identifikasi komoditas penggerak inflasi yang memiliki bobot besar dalam struktur keranjang inflasi daerah, serta memiliki frekuensi tinggi sebagai penyumbang inflasi pada setiap bulan. Komoditas yang teridentifikasi memiliki bobot besar dan kerap menjadi penyumbang inflasi dalam setiap bulannya akan mendapat perhatian. Untuk KTI, komoditas beras, aneka cabai, ikan tangkap, daging ayam ras, dan bawang merah berhasil diidentifikasi sebagai komoditas strategis yang perlu mendapat perhatian dalam program pengendalian harga yang dirumuskan. Pada tahap selanjutnya, TPID mengidentifkasi permasalahan spesifik terkait pengendalian harga untuk setiap komoditas yang ada. Permasalahan tersebut berbentuk tantangan jangka pendek (ketersediaan pasokan, faktor musiman, serta umur komoditas) maupun struktural (jumlah petani/peternak, infrastruktur, struktur pasar). Kemudian, TPID merumuskan program kerja jangka pendek dan jangka menengah untuk mengatasi tantangan yang dihadapi antara lain melalui pengembangan klaster komoditas, penguatan infrastruktur produksi dan distribusi, maupun program kerja lainnya. Berbekal hasil tersebut, TPID juga merumuskan peran Pemerintah Pusat yang diperlukan dalam mendukung rencana kerja untuk beberapa tahun ke depan yang telah disusun (Gambar V.1). Gambar V.1 Alur Kerja Roadmap Pengendalian Inflasi Daerah STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Kredit sektor korporasi di KTI pada awal tahun 2015 tercatat mengalami perkembangan yang cukup baik. Hal tersebut tercermin dari pertumbuhan kredit korporasi yang mengalami akselerasi, serta risiko kredit yang semakin terjaga dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan I 2015, kredit korporasi mampu tumbuh mencapai 19,4% (yoy) meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 16,5% (yoy) (Grafik V.19). Faktor pendorong pertumbuhan kredit korporasi antara lain dipengaruhi oleh akselerasi L a p o r a n N u s a n t a r a | 65 kredit korporasi pada sektor utama seperti perdagangan dan pertambangan. Di samping itu, sektor konstruksi dan industri juga terakselerasi seiring masih maraknya proyek pembangunan dan perbaikan infrastruktur di KTI pada tahun 2015 serta hilirisasi yang terus berlanjut. Akselerasi pertumbuhan kredit korporasi diikuti dengan membaiknya kualitas kredit. Rasio non performing loan (NPL) mengalami penurunan dari 4,4% pada akhir tahun 2014 menjadi 4,2% pada triwulan I 2015 (Grafik V.20). Penurunan NPL kredit korporasi secara keseluruhan dipengaruhi oleh membaiknya kualitas kredit pada sektor perdagangan yang pangsanya besar dalam struktur kredit. Sektor lain yang mengalami perbaikan NPL antara lain adalah sektor pertanian dan konstruksi. Perbaikan NPL ditengarai juga dipengaruhi oleh turunnya suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada Februari 2015, yang memengaruhi pergerakan suku bunga kredit korporasi ke level yang lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2014. Grafik V.19 Pertumbuhan Kredit Korporasi Grafik V.20 NPL Kredit Korporasi Ketahanan Sektor Rumah Tangga Berkebalikan dengan kondisi pada sektor korporasi, sektor rumah tangga tercatat mengalami perlambatan pertumbuhan kredit, yang diikuti dengan penurunan kualitas kredit pada triwulan laporan. Kredit rumah tangga mengalami perlambatan pertumbuhan dari 29,9% (yoy) di triwulan IV 2014 menjadi 28,9% (yoy) (Grafik V.21). Perlambatan pada kredit rumah tangga terjadi pada pada hampir seluruh jenis kredit, terkecuali jenis kredit multiguna yang tercatat masih tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kendati demikian, pertumbuhan kredit rumah tangga pada triwulan laporan masih tergolong cukup tinggi dan berada di atas pertumbuhan total kredit yang disalurkan berdasarkan lokasi proyek (13,5%, yoy) pada triwulan laporan. Hal tersebut sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2015, yang menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga masih cukup kuat kendati mengalami perlambatan. Hal ini turut mencerminkan kondisi daya beli masyarakat yang masih cukup baik, di tengah tren kenaikan harga pada awal tahun. Grafik V.21 Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga Grafik V.22 NPL Kredit Rumah Tangga L a p o r a n N u s a n t a r a | 66 Ketahanan sektor rumah tangga terpantau masih sangat baik. Meskipun mengalami peningkatan rasio NPL dari 1,3% pada triwulan lalu menjadi 1,6% pada triwulan l 2015, kondisi NPL masih berada di bawah batas aman (5%) (Grafik V.22). Peningkatan rasio NPL pada kredit rumah tangga dipengaruhi oleh naiknya NPL pada jenis kredit KPR, KKB dan multiguna. Penyebab kenaikan rasio NPL ditengarai disebabkan oleh tingkat suku bunga yang cenderung mengalami peningkatan khususnya untuk KPR dan KKB. Naiknya suku bunga KPR dan KKB, di tengah tingkat harga barang kebutuhan pokok yang masih cukup tinggi memberikan pengaruh kepada kemampuan membayar dari sektor rumah tangga. Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di KTI masih melajutkan tren perlambatan pertumbuhan. Tren perlambatan pertumbuhan kredit UMKM terlah terjadi sejak akhir tahun 2013, seiring dengan tren peningkatan suku bunga (Grafik V.23). Pada triwulan laporan, kredit UMKM mencatat pertumbuhan sebesar 12,4% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (12,9%, yoy) maupun dengan pertumbuhan total kredit perbankan (13,5%, yoy) di KTI. Perlambatan pembiayaan tersebut disebabkan oleh pergerakan NPL kredit UMKM yang terus berada dalam tren meningkat sejak triwulan terakhir tahun 2013, sehingga perbankan cenderung menahan laju kredit UMKM dengan lebih selektif memilih debitur. Meski demikian, suku bunga kredit UMKM tercatat relatif stabil di kisaran 14% sejak dua tahun terakhir. Kondisi suku bunga yang cukup tinggi tersebut turut memengaruhi penurunan kualitas kredit UMKM dari 4,1% pada triwulan IV 2014 menjadi 4,5% pada triwulan I 2015 (Grafik V.24). Upaya pengembangan UMKM terus ditempuh Bank Indonesia di KTI sejak awal 2015. Dalam hal ini, berbagai program peningkatan kinerja klaster komoditas utama di daerah dilakukan untuk mendukung tugas Bank Indonesia maupun kinerja perekonomian daerah. Di Bali, berbagai kegiatan pengembangan klaster seperti padi dan sapi bali terus diperkokoh dengan adanya berbagai pelatihan (penguatan kapasitas) bagi para petani terkait manajemen aktivitas utama. Kelompok peternak klaster sapi di Gorontalo juga melakukan kegiatan penambahan kelompok peternak baru. Sementara itu, upaya pengembangan klaster baru di Sulawesi Selatan dilakukan di beberapa kabupaten maupun kota untuk komoditas cabai dan kedelai, sedangkan di Papua penjajakan pengembangan klaster Virgin Coconut Oil (VCO) juga telah dimulai. Peningkatan kapasitas dan kinerja klaster pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kelayakan UMKM yang belum memperoleh akses bank maupun memperbesar repayment capacity UMKM yang sudah menerima layanan perbankan. Grafik V.23 Pertumbuhan Kredit UMKM Grafik V.24 NPL Kredit UMKM Kinerja Sistem Pembayaran Kegiatan sistem pembayaran nontunai di KTI menunjukkan perkembangan yang cukup baik pada triwulan I 2015. Hal tersebut terlihat dari indikator transaksi nontunai melalui Real Time Gross Settlement (RTGS) maupun transaksi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang tumbuh relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik V.25 dan Grafik V.26). Hampir 90% transaksi sistem pembayaran nontunai L a p o r a n N u s a n t a r a | 67 masih menggunakan RTGS karena didorong oleh efisiensi waktu melalui proses settlement yang lebih cepat. Upaya peningkatan intensitas penggunaan instrumen sistem pembayaran nontunai terus dilakukan di KTI. Bank Indonesia senantiasa meningkatkan layanan sistem pembayaran yang prima dengan tentunya mengedepankan perlindungan konsumen. Gerakan Nasional Non Tunai atau GNNT yang telah dicanangkan mulai dimplementasikan di berbagai daerah di KTI, salah satunya di Ambon, yang ditandai dengan berlakunya penggunaan Uang Elektronik (UNIK) di pelabuhan kapal feri serta di Universitas Pattimura (Unpatti). Grafik V.25 Perkembangan Total Transaksi RTGS Grafik V.26 Perkembangan Total Transaksi Kliring Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Pengedaran uang kartal di KTI mencatat peningkatan pada sisi inflow selama triwulan I 2015. Hal tersebut sesuai dengan pola historisnya, yaitu setelah masa liburan berakhir, masyarakat cenderung kembali menyimpan dananya di bank (Grafik V.27). Sementara itu, sisi outflow tercatat masih mengalami penurunan dan diperkirakan akan meningkat pada akhir triwulan mendatang. Upaya pemenuhan uang layak edar terus diupayakan Bank Indonesia ke seluruh daerah terpencil. Hal ini dipenuhi dengan kegiatan kas keliling hingga ke daerah terpencil yang masih cukup banyak di Indonesia Timur. Ke depan, Bank Indonesia juga merencanakan untuk mengembangkan jaringan distribusi uang yang berfokus pada kebutuhan penambahan kas titipan di daerah. Sementara itu, indikator temuan uang rupiah palsu mengalami percepatan pertumbuhan pada Januari 2015, namun kembali mengalami kontraksi pada bulan selanjutnya (Grafik V.28). Ke depan, sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah akan ditingkatkankan intensitas maupun luasan cakupannya. Kegiatan sosialisasi tersebut dilakukan bersamaan dengan sosialisasi mengenai kebanksentralan dan edukasi keuangan lainnya baik kepada pelajar, UMKM, maupun kepada nelayan dan petani di wilayah kerja Bank Indonesia di KTI. Grafik V.27 Perkembangan Pengedaran Uang Grafik V.28 Perkembangan Temuan Uang Palsu L a p o r a n N u s a n t a r a | 68 PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan indikator ekonomi dan pengolahan data serta informasi yang diperoleh, untuk keseluruhan 2015, perekonomian KTI diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2014. Angka pertumbuhan ekonomi KTI untuk tahun 2015 diproyeksikan berada pada kisaran 7,7% - 8,1% (yoy) atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya 6,0%, yoy). Secara spasial, penyumbang akselerasi di KTI antara lain adalah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua Barat, Papua, NTB, serta NTT. Kategori pertambangan dan perdagangan menjadi motor utama pertumbuhan di tahun 2015. Peningkatan demand untuk bijih nikel di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah, akan mendorong kinerja sektor tambang dan kegiatan perdagangan terkait ekspor. Industri olahan nikel dan LNG yang baru juga turut mendukung arah percepatan tersebut. Kemudian, izin ekspor dari produsen utama tembaga di NTB dan Papua diperkirakan dapat diperpanjang selama produsen dapat memenuhi komitmen dan mencapai kesepakatan dengan para pemangku kepentingan. Apabila kuota produksi tembaga produsen di Papua dan NTB dapat dicapai, pertumbuhan sektor pertambangan akan melaju dengan cukup signifikan yang turut dipengaruhi oleh faktor base effect. Di samping itu, berbagai upaya penguatan infrastruktur pemerintah secara umum juga dinilai akan menopang pertumbuhan ekonomi KTI secara keseluruhan. Dilihat dari indikator yang ada, ekspektasi penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja sudah mulai menunjukkan peningkatan memasuki akhir tahun 2015 (Grafik V.29). Adapun beberapa faktor risiko terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi KTI selama tahun 2015 masih mengemuka dan berasal baik dari sisi eksternal maupun internal. Pada sisi eksternal, harga komoditas global yang diekspor oleh KTI cenderung masih dalam tren yang menurun. Hal ini dapat menjadi faktor penghambat akselerasi untuk sektor tradable, khususnya komoditas minyak kelapa, minyak kelapa sawit, LNG, kakao, ikan segar maupun olahan, serta kayu lapis. Meski permintaan domestik bijih nikel diprakirakan akan meningkat, risiko pelemahan harga dapat menurunkan permintaan eksternal. Selain itu, ekonomi Tiongkok, yang menjadi salah satu importir utama KTI, masih berada dalam tren yang melambat. Pada sisi internal, berbagai kendala pada upaya penguatan infrastruktur dan hilirisasi dinilai menjadi risiko utama pertumbuhan ekonomi KTI pada tahun 2015. Berbagai rencana Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terkait peningkatan kondisi infrastruktur di KTI perlu diperkokoh dengan komitmen implementasi yang berkesinambungan. Apabila infrastruktur pendukung mengalami hambatan pembangunan, kinerja perekonomian secara umum juga akan mengalami hambatan. Proyek-proyek smelter perlu diawasi dan diakomodasi sebagaimana ketentuan yang berlaku. Kehadiran smelter baru di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara telah terbukti menjadi sumber akselerasi perekonomian KTI melalui hilirisasi SDA pada triwulan I 2015 dan diperkirakan akan terus menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi KTI dengan adanya fase pembangunan lanjutan (penambahan kapasitas produksi). Prospek Inflasi Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa laju inflasi KTI pada triwulan II 2015 akan mengalami peningkatan karena dipengaruhi faktor musiman, seperti liburan akhir tahun ajaran dan menjelang Lebaran. Meski tekanan inflasi cenderung akan terakselerasi pada triwulan II 2015, inflasi KTI pada akhir tahun 2015 diperkirakan menurun atau berada pada kisaran 4,39% - 4,79% (yoy). Penurunan inflasi dimaksud didukung oleh beberapa faktor, salah satunya adalah harga pangan yang berada dalam tren laju inflasi yang menurun, setelah naik cukup signifikan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Faktor lain yang meredakan tekanan inflasi yaitu ekspektasi masyarakat yang diperkirakan terkendali terkait dengan perkembangan harga yang terjadi. Hal tersebut didukung oleh proses komunikasi kebijakan pengalihan subsidi energi yang terus dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemda, termasuk TPID. Tingkat keberhasilan kegiatan dimaksud tercermin pada ekspektasi harga jangka panjang konsumen dan pedagang yang cenderung menurun memasuki triwulan IV 2015 (Grafik V.30). Faktor depresiasi nilai tukar rupiah dinilai belum memberikan dampak signifikan L a p o r a n N u s a n t a r a | 69 pada inflasi KTI pada akhir tahun, karena komoditas traded relatif tidak dominan dalam struktur nilai konsumsi agregat di KTI. Harga BBM (bensin dan solar) akan menjadi faktor utama penyebab penurunan inflasi, selama tidak ada penyesuaian harga ke level yang lebih tinggi dibandingkan dengan akhir tahun lalu. Adapun laju inflasi berbagai tarif angkutan secara agregat akan melandai, dipengaruhi oleh menurunnya inflasi tahunan tarif angkutan darat. Beberapa faktor risiko nonmusiman, yaitu selain risiko faktor musiman terkait cuaca dan momen hari raya, yang dapat meningkatkan laju inflasi di KTI, harus tetap diwaspadai. Risiko utama berasal dari sisi kebijakan pemerintah, terkait kebijakan penyesuaian harga BBM, TDL, dan harga LPG. Kebijakan penyesuaian harga BBM yang fleksibel mengikuti pergerakan harga minyak internasional, menyebabkan pembentukan ekspektasi masyarakat menjadi sangat krusial untuk dikelola. Hal ini menjadi salah satu risiko yang patut dicermati oleh pemangku kepentingan, khususnya TPID. Risiko lain datang dari aspek harga pangan, terutama terkait dengan upaya percepatan produksi dan penguatan konektivitas antardaerah (termasuk aspek tata niaga) untuk mendukung swasembada dan distribusi pangan di tengah pembatasan impor. Selain itu, perbaikan infrastruktur terkait produksi dan distribusi pangan menjadi salah satu kunci utama dalam mendukung pengendalian harga pangan. Hambatan pada upaya tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu kestabilan harga, khususnya di KTI, yang memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap hasil produksi daerah lain. Grafik V.29 Grafik V.30 Ekspektasi Kondisi Ekonomi, Survei Konsumen Bank Indonesia Ekspektasi Harga Jangka Panjang, Survei dari Bank Indonesia L a p o r a n N u s a n t a r a | 70 Kawasan Timur Indonesia (KTI) memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun memiliki tingkat 26 kesejahteraan yang masih relatif rendah. Sebagai ilustrasi, perbandingan pendapatan perkapita provinsi 27 terkaya di KTI tidak jauh berbeda dengan pendapatan perkapita provinsi termiskin di kawasan lainnya . Kondisi ini mencerminkan disparitas sosial ekonomi yang cukup tinggi antara KTI dengan kawasan lainnya. Disparitas tersebut juga disebabkan oleh terjadinya jumped structural transformation pada ekonomi KTI. Struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor primer, diikuti oleh pertumbuhan sektor tersier yang kuat, namun pertumbuhan sektor sekunder relatif stagnan. Hal ini mencerminkan rendahnya nilai tambah dari eksploitasi hasil alam, yang merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif dan berkelanjutan. Hilirisasi sektor pertambangan, yang merupakan sektor primer utama KTI, merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk memperkecil disparitas sosial. Saat ini hilirisasi akan dilakukan oleh 18 perusahaan tambang utama untuk pengolahan komoditas bijih nikel, mangan, gas alam dan bijih tembaga. Hingga triwulan I tahun 2015, progres hilirisasi atau pembangunan smelter di KTI sudah menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Secara spasial, progress yang signifikan terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Adapun tracking progress dari masing-masing proyek yaitu empat proyek sudah selesai, lima proyek pembangunannya sudah mencapai ±30% dan 9 proyek lainnya masih dalam tahap groundbreaking dan negosiasi dengan pemerintah daerah (Gambar 1). Empat proyek utama yang sudah selesai, akan melakukan ekspor perdana pada triwulan II 2015, yaitu PT. SMI Nikel Mineral di Kawasan Industri Morowali (Sulawesi Tengah) dengan kapasitas produksi 300.000 ton/tahun, PT. Central Modern Metal Industri di Kendari (Sulawesi Tenggara) dengan kapasitas 20.000 ton/tahun, PT. Vale di Konawe (Sulawesi Tenggara) dengan tambahan kapasitas produksi sebesar 10.000 ton/tahun serta DSLNG di 28 Sulawesi Tengah dengan kapasitas 900.000 ton/tahun . Sementara itu, komitmen pembangunan smelter PT. Freeport McMoran dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT), yang merupakan perusahaan pertambangan terbesar di KTI, sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Secara total, progres hilirisasi melalui pembangunan smelter di KTI saat ini sudah mencapai 25%, dan hingga akhir tahun diperkirakan akan mencapai 50%. Beberapa faktor risiko yang akan menahan realisasi proses hilirisasi antara lain; (1) kebutuhan energi yang cukup tinggi dan belum dapat di suplai oleh KTI. Total kebutuhan listrik untuk proyek smelter KTI mencapai 6.000 Mw, sedangkan jumlah yang tersedia hanya mencapai 30%-40% dari total kebutuhan energi listrik. Selain itu, (2) masalah pembebasan lahan dan perizinan alih fungsi lahan masih menjadi kendala pembangunan smelter. (3) Infrastruktur jalan yang belum memadai di pusat pertambangan menyebabkan biaya distribusi perlengkapan pembangunan menjadi lebih tinggi. Infrastruktur komunikasi yang minim juga menjadi penghambat kelancaran pembangunan smelter. Dari sisi SDM, (4) rendahnya kualitas SDM KTI menyebabkan perusahaan harus mendatangkan tenaga kerja dari luar KTI khususnya pulau Jawa, yang berimplikasi pada biaya SDM yang cukup tinggi. Kemudian, dengan seluruh kendala tersebut menyebabkan kebutuhan pembiayaan menjadi meningkat, berdampak pada kebutuhan permodalan yang lebih besar. Saat ini pembiayaan masing-masing perusahaan masih bersumber dari perusahaan induk. Meski demikian tambahan pembiayaan masih dibutuhkan dan diperkirakan akan diperoleh melalui perbankan. 26 Pendapatan perkapita digunakan sebagai salah satu ukuran kesejahteraan. 27 Pendapatan perkapita tahun 2014 provinsi Sulawesi Selatan sebagai daerah terkaya tercatat sebesar Rp 27,30 juta, sedangkan pendapatan perkapita Daerah Ibukota Yogyakarta sebagai daerah termiskin sebesar Rp20,49 juta. 28 DSLNG tahun 2015 akan berproduksi dibawah kapasitas maksimal yang sebesar 2 Juta ton/tahun karena pasokan bahan baku terbatas. L a p o r a n N u s a n t a r a | 71 Gambar V.2 Progress Pembangunan smelter KTI L a p o r a n N u s a n t a r a | 72 Kemandirian ekonomi merupakan salah satu isu sentral dalam agenda Nawa Cita Pemerintahan Jokowi-JK. Kemandirian ekonomi bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat sesuai dengan cita-cita pembangunan nasional. Dari sejumlah komponen kemandirian ekonomi yang ingin diwujudkan, kedaulatan pangan menjadi 29 salah satu aspek utama. Dalam visi kedaulatan pangan, pertanian adalah sektor strategis ekonomi domestik yang perlu didukung dan dikuatkan. Dalam kaitan itu, pembangunan pertanian dan perdesaan baik yang 30 tercakup dalam agenda Nawa Cita maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, akan diarahkan kepada wujud peningkatan kedaulatan pangan sebagai salah satu sektor strategis yang dikembangkan untuk menciptakan kemandirian ekonomi. Penguatan kedaulatan pangan diterjemahkan dalam langkah-langkah holistik untuk meningkatkan produksi, stabilitas harga pangan, dan kesejahteraan pelaku usaha pangan. Secara konseptual, strategi kebijakan pembangunan pertanian 2015 – 2019 difokuskan untuk memastikan tercapainya hal tersebut. Gambar VI.1 Strategi Kebijakan Pembangunan Pertanian 2015 - 2019 Tulisan ini akan membahas isu kedaulatan pangan dari dua dimensi utama, yakni produksi dan distribusi/tata niaga. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa upaya meningkatkan produksi di sisi hulu guna menjamin ketersediaan pasokan, perlu dibarengi dengan upaya memastikan hasil produksi tersebut dapat didistribusikan kepada konsumen (sisi hilir) dengan harga yang terjangkau. Sehubungan tersebut, tulisan ini didasarkan pada pemikiran bahwa aspek produksi dan distribusi pelu dilihat dalam satu kesatuan yang utuh dalam upaya mewujudkan stabilitas harga dan kedaulatan pangan. 29 Merujuk pada UU Pangan No. 18/2012, kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dalam konsepsi kedaulatan pangan, terkandung prinsip kemandirian dalam mengembangkan pertanian dan berproduksi tanpa adanya intervensi asing baik terkait dengan kebijakan maupun impor. 30 Khususnya pembangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa yang menjadi basis pertanian. L a p o r a n N u s a n t a r a | 73 Dari sisi produksi, perkembangan terkini menunjukkan bahwa produksi sejumlah komoditas pangan strategis masih belum mampu mencukupi konsumsi domestik. Sejauh ini, dari tiga komoditas pangan yang ditargetkan swasembada (beras, jagung, dan kedelai), hanya jagung yang diproyeksikan mengalami surplus pada tahun 2015 dan mampu menjadi komoditas ekspor. Produksi beras, yang secara nasional diproyeksikan mencatat surplus pada tahun 2015, namun menghadapi risiko perlambatan produksi. Hal ini merujuk pada tren pertumbuhan produksi dalam tiga tahun terakhir yang menurun sebagai pengaruh dari alih fungsi lahan, faktor cuaca, dan rendahnya produktivitas. Kemudian, produksi kedelai diprakirakan akan cenderung defisit pada tahun 2015 sehubungan dengan belum adanya perubahan yang signifikan pada pola produksi kedelai, yang memerlukan perawatan khusus dan rentan terhadap serangan hama. Sedangkan untuk komoditas lain di luar padi, jagung, dan kedelai yang memiliki andil cukup besar terhadap stabilitas harga seperti aneka cabai dan bawang belum menjadi prioritas swasembada, kendati sejumlah program untuk meningkatkan produksi telah diinisiasi. Aspek lain yang mendapat perhatian adalah meningkatnya kebutuhan bahan pangan terkait dengan pertambahan jumlah penduduk, meski konsumsi per kapita untuk sejumlah komoditas pangan strategis diproyeksikan mengalami penurunan sebagai pengaruh dari transformasi kelas menengah di daerah urban. Produksi yang tidak merata secara spasial mengakibatkan terdapatnya daerah surplus dan defisit yang berdampak pada dinamika pasokan dan harga. Surplus beras terjadi di Jawa dan Sumatera, serta sebagian 31 Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua. Sementara itu, komoditas hortikultura strategis, yang harganya kerap bergejolak, tergantung kondisi pasokan, seperti cabai merah terindikasi surplus hanya di Sumatera, Jawa dan Sulampua-Balinusra. Demikian pula untuk komoditas bawang merah, terindikasi surplus hanya di Jawa dan Sulampua-Balinusra. Adapun pemenuhan kebutuhan bawang merah di Sumatera, bergantung pada pasokan dari Jawa. Sama halnya dengan Sumatera, Kalimantan juga memiliki ketergantungan relatif tinggi pada pemenuhan produk hortikultura dari wilayah lain. Untuk komoditas daging, yang harganya juga cenderung bergejolak, terutama pada periode kenaikan permintaan, hasil pemetaan menunjukkan surplus terdapat di Sulampua-Balinusra dan Sumatera. Sedangkan untuk komoditas daging ayam surplus terjadi di Jawa serta 32 Kalimantan. Secara umum, potensi peningkatan produksi pangan terdapat di wilayah luar Jawa dengan mempertimbangkan ketersediaan lahan dan pengembangan pertanian modern dengan skala ekonomi dan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Upaya mempertemukan daerah surplus dan defisit akan sangat dipengaruhi oleh infrastruktur konektivitas. Di tengah minimnya konektivitas khususnya di luar Jawa, dalam jangka pendek ketergantungan pada Impor belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Upaya peningkatan 33 kapasitas produksi dan produktivitas, terutama untuk komoditas pangan strategis yang masih tercatat defisit. setidaknya dapat mengurangi impor sehingga kondusif dalam mendukung langkah perbaikan neraca perdagangan. Masalah kesinambungan atau ketersediaan pasokan antarwaktu dan antardaerah juga turut mewarnai upaya pencapaian kedaulatan pangan. Ketidaksinambungan pasokan khususnya terkait dengan siklus produksi dan pengelolaan atau manajemen stok. Meski terdapat siklus produksi tertentu pada sejumlah komoditas pangan strategis terutama tanaman bahan makanan (tabama), dengan pengelolaan stok yang baik, masalah ketidaksinambungan pasokan semestinya tidak terjadi. Hal lain yang menjadi perhatian adalah pola perdagangan lintas wilayah yang menyebabkan ketidakseimbangan pasokan antardaerah, panjangnya rantai distribusi, dan lebih tingginya biaya logistik dan distribusi. Pada mekanisme pasar bebas, harga pangan cenderung mengikuti harga tertinggi dan kondisi pasokan. Hal ini menyebabkan hasil produksi dilarikan menuju daerah dengan harga tertinggi, seperti ke wilayah DKI Jakarta, yang merupakan daerah defisit dengan 31 Spesifik di Kalimantan, produktivitas panen padi (3,58 ton/Ha) jauh di bawah nasional (5,08 juta/Ha) terkait dengan kondisi lahan gambut dan sistem pengairan tadah hujan dengan masa tanam hanya sekali dalam setahun. Sementara di Sumatera, kendala secara spesifik pada perbaikan irigasi untuk meningkatkan produktivitas (frekuensi panen padi). 32 Khusus di KTI, komoditas ikan menjadi sumber pemenuhan protein yang utama disamping daging. Produksi perikanan KTI tercatat surplus dalam level yang cukup signfikan didukung dengan surplus di seluruh wilayah provinsi KTI. Produk perikanan KTI juga menjadi sumber ekspor yang cukup dominan baik ke pasar domestik maupun internasional. 33 Pengendalian permintaan (demand) melalui diversifikasi pangan juga menjadi salah satu solusi yang mendukung pencapaian kedaulatan pangan dalam jangka panjang. L a p o r a n N u s a n t a r a | 74 tingkat permintaan tertinggi secara nasional. Selanjutnya, setelah keseimbangan harga tercapai dalam level baru yang lebih tinggi, komoditas pangan bergerak kembali menuju ke berbagai wilayah, termasuk ke daerah sentra produksi. Tantangan Kedaulatan Pangan di Sisi Produksi Gambaran secara utuh pada masalah dan tantangan kedaulatan pangan dari aspek produksi tercermin pada bagan di bawah. Tantangan yang diidentifikasi tersebut merupakan common factor di sebagian besar wilayah, namun secara relatif terdapat perbedaan tingkat permasalahan dan isu spesifik di tiap wilayah. Minimnya infrastruktur pertanian lebih menjadi isu di wilayah luar Jawa. Sementara di Jawa, isu utama terkait dengan alih fungsi lahan dan kerusakan jaringan irigasi. Adapun tantangan terbesar diidentifikasi dari aspek kelembagaan dalam rangka meningkatkan skala ekonomi, manajemen pengelolaan dan pembinaan usaha tani, serta tidak kalah pentingnya pembangunan infrastruktur pertanian. Aspek kelembagaan penting, mengingat sebagian besar dari masalah produksi pertanian yang diidentifikasi bermuara pada tantangan dari sisi kebijakan (regulasi), legal dan perizinan, penganggaran, mekanisme implementasi kebijakan, serta SDM. Meski secara umum, telah ada kebijakan yang mendukung peningkatan kapasitas produksi, dalam implementasinya masih ditemui banyak kendala. •Faktor cuaca cukup dominan memengaruhi kesinambungan produksi dan kualitas produk • Ketersediaan sarana infrastruktur pengairan (waduk, saluran irigasi primer-tersier) perlu ditingkatkan • Kondisi akses jalan ke sentra pertanian yang belum memadai C • Ketersediaan sarana pupuk, benih yang belum optimal (kesesuaian waktu). • Pengelolaan dan pengawasan distribusi pupuk di daerah masih perlu ditingkatkan Produksi A B A Tantangan • Sinergi dan koordinasi dlm pembangunan infrastruktur pertanian oleh Pusat-Daerah • Pengadaan lahan sesuai dgn RTRW dan hambatan perizinan • Keterbatasan anggaran infrastruktur daerah B • Rendahnya adopsi inovasi dan teknologi mengakibatkan produktivitas yang rendah. • Tingginya alih fungsi lahan pertanian. Program K/L C Tantangan • Keterbatasan akses terhadap alsintan • Penyaluran bantuan yang harus sesuai dengan karakteristik wilayah pertanian • Dukungan teknis & non-teknis (BBM, kemampuan pengelolaan) yang masih minim Tantangan • Keterbatasan akses terhadap saprodi • Penyaluran bantuan saprodi yang tepat sasaran & lokasi • Dukungan teknis (penyuluh) terkait Good Agricultural Practice (GAP) (Keterangan : Disarikan dari berbagai kajian dan narasumber) Gambar VI.2 Permasalahan dan Tantangan Pencapaian Kedaulatan Pangan di Sisi Produksi Infrastruktur pertanian menjadi tantangan struktural dalam peningkatan kapasitas poduksi dan produktivitas usaha tani. Kondisi terkini menunjukkan parahnya kerusakan jaringan irigasi pertanian yang mencapai hingga 46% dari total jaringan irigasi yang ada. Kerusakan terbesar terjadi pada jaringan irigasi yang berada di bawah kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota (59% rusak dari total yang menjadi kewenangannya) dan Pemerintah Provinsi (53% rusak dari total yang menjadi kewenangannya). Disamping minimnya upaya perluasan jaringan irigasi baru di daerah, faktor pemeliharaan masih menjadi kendala utama. Hal ini terkait salah satunya dengan terbatasnya alokasi anggaran, terutama APBD, di samping minimnya pengawasan. L a p o r a n N u s a n t a r a | 75 Dengan asumsi tren produksi dan konsumsi per kapita berlanjut seperti saat ini, tanpa ada pembangunan dan 34 rehabilitasi jaringan irigasi, diprakirakan defisit beras akan mulai terjadi pada tahun 2017. 22,5% 41% PUSAT 59% 2.376.521 Ha KAB/KOTA 3.663.172 Ha Total Luas Irigasi Permukaan : 7.145.168 Ha Kondisi Baik Kondisi Rusak 33% 77,5% 51% PROV 1.105.475 Ha 16% 53,4% 46,6% (Sumber : Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) Grafik VI.1 Kondisi Jaringan Irigasi Pertanian Tahun 2014 Secara nyata, pemerintah telah berupaya mengatasi tantangan dari kendala infrastruktur pertanian, khususnya untuk menyelesaikan rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak maupun membangun jaringan irigasi baru. Hal ini tercermin dari APBN-P 2015 yang mengalihkan anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan berbagai upaya penghematan anggaran belanja kementerian/lembaga ke belanja infrastruktur. Alokasi anggaran untuk keseluruhan proyek infrastruktur naik sekitar 40% pada tahun 2015, bila dibandingkan dengan alokasi pada tahun 2014. Alokasi anggaran, yang mencapai sekitar Rp 11,6 triliun, akan digunakan untuk pembangunan jalan pertanian (500 km), jaringan irigasi (0,36 juta Ha irigasi primer-sekunder dan 0,35 juta Ha irigasi tersier), waduk (5 proyek baru, 16 proyek berjalan), serta perbaikan pelabuhan perikanan (22 proyek). Pembangunan jaringan irigasi baru dialokasikan terbesar di wilayah Sumatera, sementara untuk rehabilitasi jaringan irigasi difokuskan di wilayah Jawa pada tahun 2015. Dalam kurun waktu yang lebih panjang, hingga tahun 2019, Pemerintah merencanakan pembangunan waduk dan jaringan irigasi dalam skala luas, untuk mendukung tercapainya kedaulatan pangan sesuai amanat RPJMN 2015 – 2019. Sebanyak 65 waduk senilai sekitar Rp 89,5 triliun direncanakan pembangunannya pada tahun 2015. Adapun sebaran dari pembangunan waduk tersebut sekitar 60% dari 65 proyek dimaksud berada di wilayah Jawa (27 proyek senilai Rp 39,5 T) dan Sumatera (12 proyek senilai Rp 19,7 T). Di samping itu, juga akan dibangun 1 juta Ha jaringan irigasi baru, yang sekitar 69% di antaranya, direncanakan dibangun di wilayah 35 Sumatera dan Maluku-Papua (terluas di Papua Barat). Sementara itu, untuk rehabilitasi jaringan irigasi seluas 3 juta Ha direncanakan sekitar 60% di antaranya, dibangun di wilayah Jawa (terluas di Jawa Barat) dan Sumatera (terluas di Sumatera Utara). Diharapkan dengan adanya langkah prioritas dalam pembangunan maupun perbaikan infrastruktur pertanian, produksi komoditas pangan strategis dapat meningkat dan mencapai swasembada untuk sejumlah komoditas. Adapun target swasembada difokuskan pada komoditas beras, jagung, dan kedelai. Khusus komoditas beras, swasembada ditargetkan dalam tiga tahun pertama (tahun 2015 – 2017). Peningkatan produksi pangan tertinggi pada tahun 2019 ditargetkan pada komoditas kedelai yang mencapai hingga 22,7% dari baseline produksi pada 2014. 34 Analisis dan estimasi Ditjen Sumber Daya Air, Kemenpupera dengan mengasumsikan konsumsi beras (139 kg/orang/tahun, proyeksi jumlah penduduk oleh BPS, luas lahan beririgasi (Kepmen 293 Tahun 2014), produktivitas sebesar 5,16 Ton GKG/Ha dengan Indeks Pertanaman (IP) sebesar 1,43 dan rendemen GKG ke beras 0,56, serta perkiraan alih fungsi lahan sebesar 100.000 Ha/tahun. 35 Langkah pembangunan jaringan irigasi baru merupakan hal yang mutlak untuk mendukung program pertanian modern (food estate) yang mengutamakan produktivitas tinggi dengan dukungan teknologi, metode tanam, dan SDM. L a p o r a n N u s a n t a r a | 76 Bali-Nusa MalukuTenggara Papua MalukuPapua 28,4% 31,9% Sumatera Sulawesi 28,1% 14,4% Jawa Bali-Nusa Tenggara 6,5% 5,7% 5,3% Sumatera Kalimantan 5,0% 14,8% Kalimantan Sulawesi 11,7% Jawa 31,7% 16,5% (Sumber : Ditjen Sumber Daya Air, Kemenpupera) Grafik VI.2 Persentasi Proyek Pembangunan Irigasi Grafik VI.3 Persentasi Proyek Rehabilitasi Irigasi Dalam kaitan dengan upaya mengatasi tantangan dalam pencapaian kedaulatan pangan di sisi produksi melalui pembangunan infrastruktur, diperlukan sinergi antara Pemerintah Pusat – Daerah. Koordinasi maupun kerjasama diperlukan untuk memastikan adanya dukungan sesuai dengan kewenangannya, mengingat jaringan irigasi primer-sekunder menjadi tanggung jawab pusat, sementara jaringan irigasi tersier berada dalam kewenangan daerah. Tanpa adanya sinergi, terdapat risiko lambatnya atau bahkan tertundanya realisasi pembangunan infrastruktur pertanian yang strategis tersebut. Monitoring secara berkala dibutuhkan guna mengetahui kemajuan dari sejumlah proyek serta kendala yang dihadapi di seluruh wilayah. Rp Juta Provinsi Sulawesi Utara NTB Sumatera Selatan Sumatera Barat Jambi TOTAL *) Seluruh Fase Fase Perencanaan 908,517 0 744,426 0 375,019 280,145 202,288 68,938 149,751 62,000 4,613,528 883,165 Posisi per Mei *) Fase Post Fase Tender Konstruksi 78,517 830,000 724,538 19,888 53,450 41,424 76,495 56,855 87,751 0 2,528,349 1,202,014 % Fase Konstruksi 91.4 2.7 11.0 28.1 0 26.1 Data ditarik pada 4 Mei 2015 (Sumber : BCI Asia) Tabel VI.1 Tracking Proyek Konstruksi Pembangunan Waduk dan Jaringan Irigasi 2015 Tantangan Kedaulatan Pangan di Sisi Tata Niaga Salah satu pengejewantahan dari kedaulatan pangan adalah stabilisasi harga pangan yang sangat terkait dengan aspek tata niaga. Secara garis besar, tantangan terbesar dari tata niaga sejumlah komoditas pangan strategis saat ini adalah pada perbaikan jalur distribusi, mekanisme pembentukan harga, dan faktor institusional, yang mencakup kebijakan dan fasilitasi perdagangan. Selain itu, belum optimalnya manajemen stok, di tengah masih terdapatnya ketidaksinambungan pasokan, mengakibatkan minimnya stok penyangga, yang menyebabkan stabilitas harga rentan, terutama saat terjadi paceklik atau penurunan produksi. Gambaran secara utuh pada masalah dan tantangan kedaulatan pangan dari aspek tata niaga tercermin pada bagan di bawah. Tantangan yang diidentifikasi di bawah ini merupakan common factor di sebagian besar wilayah, namun relatif terdapat perbedaan level permasalahan dan isu spesifik di tiap wilayah, antara lain panjang pendeknya rantai distribusi, hambatan distribusi, serta akses ke pasar. L a p o r a n N u s a n t a r a | 77 A Tantangan • Belum optimalnya sistem manajemen stok/logistik terintegrasi yang mendukung efisiensi rantai distribusi • Inefiesiensi distribusi dan terbatasnya pusat distribusi pangan yang didukung dgn gudang penyimpanan memadai dan tepat lokasi • Keterbatasan anggaran daerah utk stabilisasi harga, termasuk dalam menjaga kesinambungan pangan • Keterbatasan transparansi harga dan konektivitas menyebabkan C semakin lebarnya disparitas harga antardaerah • Belum optimalnya pengelolaan logistik pangan untuk A mendukung kesinambungan pasokan dan stabilitas harga Rp Distribution channel • Ketepatan pengaturan waktu dan besaran jumlah alokasi impor yang disesuaikan dengan B kondisi pasokan/produksi domestik • Masih terbatasnya peran institusi pangan/Pemerintah dalam D meningkatkan skala ekonomi dan akses langsung ke pasar C Tantangan • Sistem informasi harga pangan belum B Tantangan Program K/L digunakan secara luas dan terintegrasi • Akurasi kondisi surplus defisit komoditas pangan • Pengarahan ekspektasi yg memengaruhi • Kesesuain dengan aturan WTO mekanisme pembentukan harga • Perluasan jaringan akses membutuhkan D Tantangan investasi besar dan dukungan stakeholders • Masih lemahnya kelembagaan pelaku usaha pangan khususnya pusat dan daerah pada sisi manajemen bisnis • Kurangnya komitmen dlm implementasi kerjasama antar daerah • Minimnya fasilitasi/pendampingan kepada petani dalam mengakses pasar yang lebih luas (Keterangan : Disarikan dari berbagai kajian dan narasumber) Gambar VI.3 Permasalahan dan Tantangan Pencapaian Kedaulatan Pangan di Sisi Tata Niaga Rantai distribusi sejumlah komoditas pangan strategis cenderung panjang, yang berdampak pada tidak seimbangnya akumulasi margin serta terjadinya disparitas harga yang besar di tingkat produsen (khususnya pada tingkat petani dan pedagang besar). Sebagai contoh, bagan di bawah adalah rantai distribusi beras yang dipetakan secara nasional melalui survei. Terbatasnya akses ke pasar secara langsung, menyebabkan tingginya ketergantungan petani pada pengepul atau tengkulak yang menyediakan sejumlah fasilitas baik pada periode sebelum maupun pascapanen. Pedagang besar memiliki peran penting dalam tata niaga, terkait dengan jaringan rantai pasok dan jaringan perdagangan yang dimiliki, serta modal pendukung. Hal ini ditengarai sebagai faktor yang menyebabkan pedagang besar cenderung mampu memengaruhi pasokan dan harga secara relatif, serta dapat mengambil margin terbesar bersama dengan pedagang grosir yang memiliki jaringan di tingkat pengecer. Sama halnya dengan petani, pengecer dan konsumen akhir cenderung tidak memiliki daya tawar. Meski demikian, efisiensi rantai distribusi tidak hanya terkait dengan panjang/pendeknya rantai, tetapi juga penyebaran margin keuntungan, yang mengindikasikan risiko dan faktor pembentukan harga. Pedagang besar mengambil margin terbesar disebabkan pula oleh risiko yang harus ditanggung terkait dengan volatilitas pasokan dan harga. L a p o r a n N u s a n t a r a | 78 Market Power – Marjin Terbesar (Sumber : Tumpak, dkk, Grup Riset Ekonomi, Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter/DKEM, 2011) Gambar VI.4 Rantai Distribusi Beras Secara umum, juga terlihat distribusi pasokan pangan yang terbagi hampir merata antara pasar domestik di dalam wilayah produksi dengan pasar di wilayah (provinsi) lain, mengikuti mekanisme pasar (harga tertinggi dan kondisi pasokan). Hal ini turut menjadi faktor terjadinya disparitas harga pangan secara spasial, di samping adanya perbedaan biaya distribusi. Berdasarkan survei, biaya distribusi (transportasi dan bongkar muat) berada pada kisaran 40% - 50% tergantung dari jenis pelaku usaha pangan. Selain itu, persepsi pedagang terhadap kendala distribusi juga mengonfirmasi tingginya biaya pengangkutan yang di antaranya sebagai pengaruh dari keterbatasan jumlah angkutan serta faktor lain seperti kerusakan infrastruktur dan cuaca buruk. Secara spasial, kendala distribusi terutama di wilayah luar Jawa yang memiliki konektivitas dan infrastruktur lebih terbatas. Biaya logistik khususnya di KTI merupakan yang tertinggi secara nasional (Sumber : Ridhwan, dkk, DKEM, 2012) Grafik VI.4 Struktur Biaya Pedagang (Sumber : Tumpak, dkk, DKEM, 2011) Grafik VI.5 Faktor dalam Kendala Distribusi Peningkatan konektivitas melalui pembangunan infrastruktur jalan dan pelabuhan diharapkan dapat mengefisienkan rantai distribusi dan biaya logistik sebagai salah satu upaya pembenahan tata niaga. Hal ini juga mendukung upaya meningkatkan daya saing logistik untuk menyamai negara pesaing regional, sehingga akses pelaku usaha pangan ke pasar dapat semakin efisien. Peningkatan konektivitas juga dalam rangka memperluas akses pasar yang bertujuan untuk penguasaan pasar domestik serta pasar ekspor bagi komoditas pangan. Dalam kaitan itu, sejumlah pembangunan dan pemeliharaan jalan nasional direncanakan dalam kurun waktu tahun 2015 -2019 dengan nilai total proyek sekitar Rp 278 triliun. Pembangunan terutama difokuskan pada proyek jalan bebas hambatan, yang pada akhir tahun 2014 hanya dapat diselesaikan di wilayah Bali dan L a p o r a n N u s a n t a r a | 79 sebagian Jawa. Jalur Trans Sumatera dimulai pembangunannya pada tahun 2015, sementara pembangunan jalan bebas hambatan di wilayah Kalimantan dan Sulawesi masih dalam tahap studi dan penyiapan dokumen serta pengadaan lahan. Diharapkan pada tahun 2019, lebih dari 50% jalan bebas hambatan secara nasional dapat diselesaikan pembangunannya. WIL AYAH Sumatera Jawa Kalimantan Bali Sulawesi TOTAL PAN JANG (KM) STATUS 2 0 14 TAR GET 2 0 15-2019 2 0 15 SEL ESAI 496.19 - 1.23 174.99 1,348.81 256.18 123.78 775.75 99.02 - - 99.02 9.70 9.70 - - 39.00 - - 39.00 1 ,992.72 2 6 5.88 125.01 1 ,088.76 Sumber : Kemen PU Pera Grafik VI.6 Indeks Kinerja Logistik Tabel VI.2 Status Pembangunan Jalan 2015 Seperti halnya dengan pembangunan infrastruktur pertanian, perlu adanya koordinasi dan sinergi pusatdaerah dalam pembangunan infrastruktur transportasi baik darat maupun laut. Berdasarkan pemantauan terkini (data BCI Asia pada awal Mei 2015), terindikasi lambatnya realisasi pembangunan pelabuhan laut dan 36 udara serta terminal. Hal ini ditengarai sebagai pengaruh dari kendala dalam pengadaan lahan dan perizinan, di samping kemungkinan adanya isu pendanaan. Kontribusi dan kerjasama Pemerintah Daerah sangat diharapkan dalam menyelesaikan sejumlah kendala tersebut. Selain itu, juga diharapkan adanya dukungan daerah dalam pembangunan jalan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Dari sisi pembiayaan, pembangunan infrastruktur juga membutuhkan dukungan swasta dan BUMN. Diperlukan langkah konkrit untuk mendapatkan dukungan swasta melalui penawaran skema pembiayaan dan struktur insentif. Dari sisi pembiayaan pemerintah baik melalui APBN amupun APBD (budget constraint), perlu adanya prioritas proyek infrastruktur yang akan dibangun. Prioritas perlu didasarkan pada analisis cost-benefit agar manfaat dari pembangunan infrastruktur dapat semaksimal mungkin dirasakan masyarakat, mendukung kedaulatan pangan, serta mendorong perekonomian sektor riil secara langsung. Kesimpulan dan Rekomendasi Kedaulatan pangan merupakan salah satu aspek utama dalam komponen kemandirian ekonomi yang ingin diwujudkan dan tertuang dalam agenda Nawa Cita Pemerintahan Jokowi-JK dan RPJMN. Dalam menyoroti dua aspek utama, yaitu produksi yang mewakiliki sisi hulu dan distribusi/tata niaga yang mencakup sisi hilir, diharapkan dapat memberikan gambaran umum yang holistik akan aspek kedaulatan pangan. Perkembangan terkini sisi produksi menunjukan bahwa sejumlah komoditas pangan strategis masih belum mampu mencukupi konsumsi domestik. Khusus untuk tiga komoditas pangan (beras, jagung dan kedelai), yang ditargetkan swasembada, hanya jagung yang diprakirakan mengalami surplus pada 2015. Kondisi surplus-defisit dimaksud akan membawa dimensi tantangan apbila dilihat dari aspek spasial. Konektivitas anatar daerah menjadi kunci utama untuk menjembatani perdagangan antar daerah yang mengalami surplus dan defisit sehingga pasokan dapat selalu terjaga. Adapun tantangan yang dihadapi pada sisi produksi, terutama pada aspek kelembagaan, alih fungsi lahan, kerusakan jaringan irigasi dan masih minimnya infrastruktur (khusus untuk daearah luar 36 Dalam RPJMN 2015 – 2019 direncanakan pembangunan 24 pelabuhan barang baru yang sebagian besar akan terintegrasi dengan sistem tol laut, 60 pelabuhan penyeberangan baru, serta 15 bandara baru. Disamping pembangunan infrastruktur pelabuhan laut dan udara, juga direncanakan perluasan jalur kereta api di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi sepanjang total 3,258 km. Optimalisasi moda kereta dalam distribusi barang juga dapat turut mendukung perbaikan sistem dan biaya logistik. L a p o r a n N u s a n t a r a | 80 Jawa). Kemudian, tantangan pada aspek tata niaga terkait jalur distribusi, mekanisme pembentukan harga, dan faktor institusional, yang mencakup kebijakan dan fasilitasi perdagangan. Menyikapi berbagai kendala dan tantangan di maksud, upaya peningkatan produksi dan pembenahan tata niaga memainkan peran sangat penting dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan. Pembangunan infrastruktur pertanian akan mendorong kenaikan produksi dan produktivitas pangan sedangkan pembangunan infrastruktur transportasi akan mendukung perbaikan logistik, sehingga upaya pembenahan rantai distribusi dan stabilitas harga lebih dapat dicapai. Dari sisi pembiayaan, pembangunan infrastruktur memiliki conditionality, yakni swasta maupun BUMN. Dengan demikian, perlu adanya langkah konkrit untuk mendapat dukungan swasta melalui penawaran skema pembiayaan dan struktur insentif. Kemudian, dalam rangka mengoptimalkan sumber daya (resources) terutama dr sisi pembiayaan pemerintah (budget constraint), perlu adanya prioritas proyek infrastruktur yang akan dibangun. Prioritas perlu didasarkan analisis cost-benefit agar manfaat dari pembangunan infrastruktur dapat semaksimal mungkin dirasakan masyarakat, mendukung kedaulatan pangan, serta mendorong perekonomian sektor riil secara langsung. Selain itu, koordinasi dan sinergi lintas institusi baik di pusat dan daerah memegang peranan kunci, khususnya dalam menyelesaikan sejumlah masalah yang menghambat pembangunan infrastruktur. Terakhir, menilik pada aspek tata niaga, terdapat beberapa opsi strategi atau langkah riil yang dapat dilakukan untuk membenahinya, khususnya dalam mengefisiensikan rantai distribusi dan biaya logistik yg berpengaruh pada pembentukan harga. Salah satunya adalah dengan pengelolaan pusat distribusi pangan regional secara profesional dengan fungsi terpadu dari hulu hingga hilir. L a p o r a n N u s a n t a r a | 81 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a | 82 Sebagai negara dengan perekonomian yang terbuka, dinamika ekonomi global akan memengaruhi perkembangan ekonomi Indonesia. Interaksi perekonomian nasional dengan perekonomian global, terjalin melalui kegiatan perdagangan internasional. Dukungan kegiatan perdagangan internasional pada kinerja ekonomi dipengaruh oleh seberapa besar ekspor dapat dipacu, meskipun impor tetap dilakukan. Faktor utama yang dapat memengaruhi kinerja ekspor yaitu permintaan negara mitra dagang dan perkembangan nilai tukar. Dalam beberapa waktu terakhir kondisi nilai tukar rupiah cenderung terdepresiasi. Secara teori kondisi ini akan menguntungkan kinerja ekspor, karena pelemahan nilai tukar dapat memperbaiki daya saing komoditas ekspor dari sisi harga. Meski demikian pemanfaatan peluang sangat tergantung pada faktor-faktor lain yang memengaruhi daya saing dari komoditas ekspor tersebut. Perkembangan perekonomian dunia yang semakin maju dan tanpa batas mendorong terus meningkatnya transaksi perdagangan internasional. Bagi negara emerging dengan karakteristik small open economy, nilai tukar berperan penting dalam transaksi perdagangan sekaligus menjadi salah satu barometer stabilitas makroekonomi. Dalam konteks tersebut, perkembangan level dan fluktuasi nilai tukar selalu menjadi topik pembicaraan menarik dan mengundang fokus perhatian banyak pihak, khususnya manakala nilai tukar mengalami tekanan. Sehubungan hal tersebut, pada bulan April 2015, Bank Indonesia melaksanakan survei kepada pelaku usaha di berbagai daerah guna menjaring pandangan mereka mengenai dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap perekonomian daerah, khususnya melalui jalur ekspor-impor. Grafik VI.7 Pergerakan Ekspor dan Nilai Tukar Rupiah Hasil Umum Survei Survei dilakukan kepada 279 responden pelaku usaha dari 12 sektor usaha di seluruh wilayah, dengan porsi terbesar responden dari wilayah Jawa. Berdasarkan sektor usahanya, sebagian besar responden merupakan pelaku usaha industri pengolahan (70,9%). Untuk melihat dampak nilai tukar terhadap kegiatan usaha responden, maka responden dikelompokkan dalam beberapa jenis usaha berdasarkan asal bahan baku yang digunakan dan orientasi pasarnya yaitu : (i) usaha berbahan baku impor dengan orientasi pasar domestik; (ii) usaha berbahan baku impor dengan orientasi pasar ekspor; dan (iii) usaha berbahan baku lokal dengan orientasi pasar ekspor. Pengelompokan berdasarkan asal bahan baku didasari pemikiran bahwa bahan baku merupakan faktor paling dominan yang menentukan biaya produksi, sehingga peningkatan biaya perolehan akibat pelemahan rupiah akan mempengaruhi kinerja usaha. Sementara itu, pengelompokan berdasarkan Laporan Nusantara| 83 orientasi pasar diharapkan akan mampu memberikan gambaran mengenai kondisi pelaku usaha dalam mengoptimalkan pemanfaatan kondisi pelemahan rupiah yang terjadi. Share Responden Survei-Wilayah Share Responden Survei – Sektor Usaha Grafik VI.8 Profil Responden Grafik VI.9 Dampak Nilai Tukar Terhadap Penjualan Per Kategori Usaha Dalam jangka pendek (triwulan II 2015), pelemahan nilai tukar yang terjadi mengakibatkan pelaku usaha yang memiliki orientasi pasar domestik cenderung lebih pesimis terhadap kondisi penjualan dibandingkan dengan pelaku usaha dengan orientasi pasar ekspor (Grafik VI.4). Dalam perspektif jangka panjang (sepanjang 2015), baik pelaku usaha yang berorientasi pasar ekspor maupun domestik menunjukkan optimisme terhadap peningkatan penjualan. Selain penurunan penjualan, kinerja usaha juga dihadapkan pada permasalahan peningkatan biaya produksi. Berdasarkan hasil survei, peningkatan biaya produksi pada usaha yang menggunakan bahan baku impor, baik yang berorientasi pasar domestik maupun ekspor, cenderung lebih dominan dibandingkan dengan usaha yang menggunakan bahan baku lokal. Peningkatan biaya produksi dalam level yang lebih moderat pada usaha yang berbasis bahan baku lokal dan berorientasi pasar ekspor, diperkirakan karena pelemahan rupiah juga memiliki dampak terhadap kenaikan harga bahan baku lokal, antara lain melalui jalur kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dalam kondisi yang sedemikian rupa, seluruh kategori usaha mengindikasikan upaya untuk mempertahankan daya saingnya saat ini maupun disepanjang tahun 2015 dengan cara mempertahankan kondisi harga jual (stabil). Upaya ini berdampak pada berkurangnya margin usaha, khususnya pada usaha berbahan baku impor dengan orientasi pasar ekspor. Sementara itu, mayoritas responden memperkirakan indikator kinerja usaha lainnya, seperti kebutuhan investasi dan pembiayaan relatif stabil sepanjang tahun 2015. L a p o r a n N u s a n t a r a | 84 (a) (b) (c) (d) Grafik VI.10 Dampak Pelemahan Rupiah terhadap Biaya Produksi, Harga Jual, Margin Usaha, dan Daya Saing Dampak Pelemahan Nilai Tukar pada Industri Pengolahan Asesmen dampak pelemahan nilai tukar terhadap industri pengolahan dikhususkan di wilayah Jawa, mengingat dominasi industri pengolahan Jawa terhadap industri pengolahan nasional. Hasil survei terhadap 86 perusahaan industri pengolahan di Jawa, terindikasi bahwa omset penjualan relatif stabil (Tabel VI.1). Sementara, pelaku usaha yang memiliki orientasi pasar ekspor memperkirakan akan mengalami kenaikan penjualan. Mayoritas perusahaan di semua kategori pelaku usaha menyatakan bahwa biaya produksi mengalami kenaikan, termasuk pada pelaku usaha yang menggunakan bahan baku dari pasar domestik. Meskipun demikian, mayoritas pelaku usaha menyatakan belum akan melakukan penyesuaian harga jual. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya margin usaha, khususnya bagi pelaku usaha berbahan baku impor dengan orientasi pasar domestik. 37 Hasil asesmen Marshall Lerner condition menunjukkan bahwa beberapa sektor industri di wilayah Jawa cenderung inelastis terhadap pelemahan nilai tukar rupiah (Tabel VI.2). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka pendek, pelemahan nilai tukar rupiah belum memberikan dampak bagi perbaikan neraca perdagangan industri pengolahan di Jawa. Asesmen sektor industri di Jawa berdasarkan analisis Marshall Lerner condition, dikelompokkan dalam beberapa kategori berdasarkan karakteristik industri, yaitu: a. Industri dengan orientasi pasar domestik, namun memiliki kandungan impor tinggi (komoditas: tekstil dan produk tekstil/TPT). 37 Marshall Lerner condition adalah kondisi perbaikan neraca perdagangan terhadap depresiasi nilai tukar yang tercapai melalui respons pasar berupa peningkatan permintaan, seiring membaiknya daya saing ekspor. Respons tersebut juga disertai dengan upaya pengurangan impor, melalui penguatan lini produksi bahan baku substitusi impor L a p o r a n N u s a n t a r a | 85 Dampak pelemahan nilai tukar terhadap kinerja industri TPT relatif terbatas, tercermin dari total elastisitas ekspor dan impor yang kurang dari 1 (Tabel VI.2). Nilai elastisitas ekspor TPT terhadap pelemahan nilai tukar yang lebih kecil dibandingkan elastisitas impor terhadap pelemahan nilai tukar, mengindikasikan respon impor yang lebih kuat dibandingkan ekspor. Hal ini ditengarai disebabkan oleh tingginya komponen bahan baku impor pada komoditas TPT. b. Industri dengan orientasi pasar ekspor, namun memiliki kandungan impor tinggi (komoditas: Kendaraan Bermotor dan Elektronik). Pelemahan nilai tukar berpotensi mendorong peningkatan kinerja ekspor kendaraan bermotor, namun menurunkan daya saing ekspor produk elektronik. Pelemahan nilai tukar direspon positif melalui peningkatan kinerja ekspor kendaraan bermotor dengan elastisitas 0,47 ditengah content impor yang menurun (elastisitas -0,04) (Tabel VI.2). Sementara itu, pengaruh nilai tukar rupiah terhadap industri elektronik cukup besar, tercermin dari elastisitas yang mendekati 1 (0,99). Pelemahan nilai tukar direspon dengan penurunan kinerja ekspor elektronik, ditengarai terjadi karena adanya ketergantungan yang tinggi dari pelaku usaha terhadap bahan baku impor (hingga mencapai 70%). c. Industri dengan orientasi pasar ekspor, namun memiliki kandungan bahan baku domestik (komoditas: Makanan Minuman). Dampak pelemahan nilai tukar terhadap kinerja ekspor-impor industri makanan dan minuman relatif terbatas, tercermin dari total elastisitas ekspor-impor yang di bawah 1. Pelemahan nilai tukar rupiah direspon positif oleh industri makanan dan minuman, sehingga mendorong peningkatan ekspor maupun impor. Nilai elastisitas ekspor yang lebih besar dibandingkan elastisitas impor mengindikasikan respon positif ekspor yang lebih kuat daripada impor. Hal ini sejalan dengan dominasi penggunaan komponen bahan baku lokal pada industri makanan minuman. *Kondisi elastis diperoleh bila penjumlahan elastisitas eksporimpor (absolut) ≥1 Tabel VI.3 Hasil Survei Dampak Nilai Tukar Tabel VI.4 Asesmen Dampak Nilai Tukar terhadap Sektor Industri Pengolahan Kawasan Jawa Dampak Pelemahan Nilai Tukar Pada Komoditas Pertambangan : Batubara & Minyak Bumi 38 Berdasarkan hasil survei yang dilakukan kepada para pelaku usaha pertambangan di Kalimantan, diketahui bahwa pelemahan nilai tukar tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja komoditas batubara dan minyak bumi. Hal ini terjadi karena pendapatan maupun pengeluaran pelaku usaha ditransaksikan menggunakan mata uang dolar AS, baik untuk pasar ekspor maupun pasar domestik. Jika dilihat dari struktur biayanya, 80%–90% biaya digunakan untuk pembelian sparepart, bensin pertambangan, royalti serta 38 Survei dilakukan pada contact Liaison periode April 2015 (Departemen Statistik) dengan menggunakan suplemen kuesioner. L a p o r a n N u s a n t a r a | 86 pembayaran cicilan dan bunga kredit. Sedangkan, biaya yang menggunakan mata uang rupiah hanya 10%–20% saja, antara lain untuk pembayaran gaji non-ekspatriat, pajak dan biaya operasional lainnya. Lebih lanjut, kandungan impor yang cukup tinggi pada sektor pertambangan, seperti sparepart dan bahan peledak tidak terpengaruh oleh nilai tukar karena output produksi juga dijual dalam valuta dollar AS. Berdasarkan olah data sekunder, untuk melihat dampak nilai tukar terhadap kinerja sektor batubara dan migas di Kalimantan, terlihat bahwa tidak terdapat hubungan yang konsisten antara pelemahan nilai tukar dengan volume ekspor batubara dan migas. Ekspor batubara lebih didorong oleh harga komoditas yang merupakan representasi permintaan pada level global. Sementara itu, kinerja ekspor migas lebih dipengaruhi oleh natural declining yang terjadi pada sumur migas yang ada. Grafik VI.11 Ekspor Batubara dan Nilai Tukar Grafik VI.12 Ekspor Batubara dan Harga Komoditas Grafik VI.13 Volume Ekspor Minyak Bumi dan Nilai Tukar Grafik VI.14 Ekspor Gas dan Harga Komoditas Dampak Pelemahan Nilai Tukar Pada Komoditas Perkebunan : CPO dan Karet Survei terhadap 59 responden pelaku usaha komoditas Crude Palm Oil (CPO) dan karet Sumatera menunjukkan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memberikan dampak positif kepada ekspor, terindikasi dari perkiraan peningkatan penjualan keseluruhan tahun 2015 yang mencapai 4,5% (yoy). Namun, peningkatan penjualan baik dari segi nilai maupun volume belum menjadi faktor pendorong bagi pelaku usaha untuk meningkatkan investasi dan pembiayaan pada tahun 2015. Responden juga memperkirakan bahwa pelemahan nilai tukar yang terjadi belum memengaruhi biaya produksi. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar tidak diiringi dengan penurunan impor. Hal ini karena impor yang dilakukan oleh pelaku usaha di Sumatera merupakan barang modal (48% dari total impor) yang digunakan dalam proses produksi. Kinerja ekspor CPO dan karet Sumatera juga dipengaruhi perkembangan harga kedua komoditas tersebut di pasar internasional. Hal tersebut dikonfirmasi melalui uji korelasi terhadap kedua variabel tersebut dengan menggunakan data ekspor sejak tahun 2007 hingga Maret 2015. Korelasi yang kuat antara kinerja ekspor dan L a p o r a n N u s a n t a r a | 87 harga komoditas tercermin dari nilai korelasi keduanya yang mencapai 0,95 untuk komoditas karet dan 0,75 untuk komoditas CPO (Tabel VI.3). Indikator Ekspor Karet (Nilai) Ekspor Karet (Volume) Ekspor CPO (Nilai) Ekspor CPO (Volume) Nilai Tukar Harga Komoditas -0.54 0.95 -0.06 0.32 -0.54 0.75 0.36 -0.14 Tabel VI.5 Hasil Uji Korelasi Nilai Tukar terhadap Ekspor Dampak Pelemahan Nilai Tukar Pada Industri Pariwisata Pengamatan terhadap data sekunder dari tahun 2010 hingga 2014, menunjukkan pergerakan nilai tukar rupiah searah dengan peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan tingkat hunian hotel. Pelemahan rupiah yang terjadi selama periode pengamatan, diiringi dengan percepatan peningkatan tren Tingkat Penghunian Kamar (TPK). Namun, tren pertumbuhan tersebut belum terlihat pada awal tahun 2015. Grafik VI.15 Dampak Pelemahan Rupiah Terhadap Wisman dan Tingkat Hunian Hotel Pariwisata merupakan sektor utama di Provinsi Bali. Memasuki tahun 2015, sektor pariwisata Bali mengalami perlambatan, yang tercermin dari penurunan pertumbuhan angka kedatangan wisatawan mancanegara pada bulan Januari dan Februari 2015. Pada Februari 2015, tingkat hunian hotel menurun 10% (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, disertai dengan penurunan tingkat kunjungan wisatawan mancanegara. Hingga Februari 2015 pertumbuhan jumlah wisman tercatat sebesar 15,43% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 16,90% (yoy). Sektor perhotelan berbintang mengalami penurunan paling besar, akibat masih tingginya management fee dan biaya operasional hotel yang ditransaksikan dalam valuta asing (dolar AS), di tengah penurunan permintaan wisatawan, terkait pelemahan ekonomi di negara asal wisatawan. Penurunan wisman terbesar berasal dari Tiongkok, Malaysia, Singapura, dan Rusia. Selain itu, kembali kondusifnya tujuan wisata di luar Indonesia, antara lain Thailand, juga menjadi salah satu penyebab penurunan jumlah wisatawan mancanegara. Anomali sepanjang tahun 2015 ini terkonfirmasi dari hasil survei. Para pelaku usaha di sektor pariwisata menilai bahwa pelemahan rupiah akan berdampak pada penurunan penjualan dan margin usaha pada awal tahun 2015. Para pelaku usaha pariwisata berusaha untuk tidak menaikkan harga jual, meskipun pelemahan rupiah berdampak pada kenaikan biaya produksi. Responden menilai, menaikan harga jual malah kian menurunkan kinerja sektor pariwisata. Pelemahan rupiah yang terjadi ditengarai tidak memengaruhi rencana investasi, baik modal kerja, bangunan, maupun finansial. Selain itu, mayoritas responden memilih untuk tidak melakukan atau menunda penambahan utang. Namun, bagi responden yang telah memiliki utang, L a p o r a n N u s a n t a r a | 88 rescheduling pembayaran dan permohonan dispensasi jatuh tempo pembayaran menjadi pilihan strategi pengelola keuangan. Grafik VI.16 Tren Hunian Hotel dan Asal Negara Wisatawan Grafik VI.17 Dampak Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Pariwisata L a p o r a n N u s a n t a r a | 89 Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Sumatera Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah 2013 2014 5.0 I - II - III - Kons ums i Ruma h Ta ngga - - - - 6.4 Kons ums i LNPRT - - - - 3.3 Kons ums i Pemeri nta h - - - - 0.4 Pembentuka n Moda l Teta p Bruto - - - - 1.3 Eks por - - - - Impor - - - - PDRB (%,yoy) IV 4.2 2014 4.6 2015 I 2015 P 3.5 4.0 - 4.4 5.8 5.0 5.6 - 6.0 11.4 (3.7) 2.5 - 2.9 2.7 1.8 6.6 - 7.0 3.2 1.9 4.8 - 5.2 - - - - Sisi Permintaan Net Eks por 17.6 (12.3) 3.0 (6.0) - (5.6) 5.1 5.0 - 5.4 Sisi Produksi Perta ni a n, Kehuta na n, da n Peri ka na n - - - - 3.5 5.1 Perta mba nga n da n Pengga l i a n - - - - (0.8) (1.4) Indus tri Pengol a ha n - - - - 3.0 4.7 1.8 2.6 - 3.0 Penga da a n Li s tri k da n Ga s - - - - 10.8 5.9 5.8 6.6 - 7.0 Penga da a n Ai r, Pengel ol a a n Sa mpa h, Li mba h da n Da ur Ul a ng - - - - 5.9 4.7 5.4 5.5 - 5.9 Kons truks i - - - - 6.9 7.0 3.6 6.0 - 6.4 Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor - - - - 6.1 5.8 4.9 5.8 - 6.2 Tra ns porta s i da n Perguda nga n - - - - 8.5 6.4 7.9 6.7 - 7.1 Penyedi a a n Akomoda s i da n Ma ka n Mi num - - - - 8.1 7.8 8.0 7.3 - 7.7 Informa s i da n Komuni ka s i - - - - 6.4 7.6 8.2 7.8 - 8.2 Ja s a Keua nga n da n As ura ns i - - - - 7.6 3.8 4.7 4.7 - 5.1 Rea l Es ta te - - - - 7.0 6.6 5.6 5.7 - 6.1 Ja s a Perus a ha a n - - - - 7.6 6.7 6.7 6.8 - 7.2 Admi ni s tra s i Pemeri nta ha n, Perta ha na n da n Ja mi na n Sos i a l Wa ji b - - - - 7.7 6.1 6.0 6.8 - 7.2 Ja s a Pendi di ka n - - - - 6.8 7.9 10.3 11.2 - 11.6 Ja s a Kes eha ta n da n Kegi a ta n Sos i a l - - - - 3.8 7.4 7.5 7.5 - 7.9 Ja s a l a i nnya - - - - 6.7 6.7 7.5 7.2 - 7.6 Provi ns i Aceh - - - - 0.6 1.6 (1.9) (2.1) - (1.7) Provi ns i Suma tera Uta ra - - - - 4.8 5.2 4.8 4.9 - 5.3 Provi ns i Suma tera Ba ra t - - - - 5.5 5.9 5.5 5.7 - 6.1 Provi ns i Ri a u - - - - 1.0 2.6 (0.2) 0.7 - 1.1 Provi ns i Ja mbi - 10.3 5.6 5.8 6.5 7.0 5.9 8.0 - 8.4 Provi ns i Kepul a ua n Ri a u - - - - 7.8 7.3 7.1 7.3 - 7.7 Provi ns i Suma tera Sel a ta n - 3.8 4.9 4.1 6.0 4.7 4.8 5.5 - 5.9 Provi ns i Bengkul u - 5.6 5.2 5.6 5.7 5.5 5.4 5.3 - 5.7 Provi ns i La mpung - - - - 4.7 5.1 4.9 5.1 - 5.5 Provi ns i Kep. Ba ngka Bel i tung - - - - 4.7 4.7 4.1 4.6 - 5.0 8.9 7.2 5.9 4.6 8.6 8.6 6.1 3.89 - 4.39 Provi ns i Aceh 7.3 5.7 5.5 5.1 8.1 8.1 5.4 3.68 - 4.18 Provi ns i Suma tera Uta ra 10.2 7.7 6.2 4.4 8.2 8.2 6.1 4.18 - 4.68 Provi ns i Suma tera Ba ra t 10.9 8.6 6.2 6.0 11.6 11.6 6.3 4.88 - 5.38 Provi ns i Ri a u 8.8 7.8 6.6 5.8 8.6 8.6 6.2 3.91 - 4.41 Provi ns i Ja mbi 8.7 7.7 6.3 4.4 8.7 8.7 4.9 2.13 - 2.63 Provi ns i Kepul a ua n Ri a u 8.2 7.7 6.0 4.0 7.6 7.6 5.7 3.75 - 4.25 Provi ns i Suma tera Sel a ta n 7.0 5.1 4.3 3.3 8.5 8.5 6.3 3.64 - 4.14 Provi ns i Bengkul u 9.9 8.4 5.8 6.1 10.9 10.9 7.7 3.75 - 4.25 Provi ns i La mpung 7.6 6.6 6.4 4.2 8.1 8.1 6.6 3.42 - 3.92 Provi ns i Kep. Ba ngka Bel i tung 8.7 8.3 6.1 6.2 9.0 9.0 6.7 5.50 - 6.00 18.1 16.1 15.2 10.5 9.4 9.4 10.1 9.4 9.1 14.3 13.2 12.1 12.1 13.8 (2.7) (2.7) - (2.3) PDRB Per Provinsi(%,yoy) Inflasi IHK (%,yoy) Kredit (%,yoy) DPK (%,yoy) L a p o r a n N u s a n t a r a | 89 Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Jawa Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah 2013 PDRB (%,yoy) - Sisi Permintaan - 2014 I II III IV 5.5 5.3 5.5 6.1 2014 5.6 2015 I 5.2 2015 5.4 - 5.7 Kons ums i Ruma h Ta ngga - 5.0 4.7 4.5 5.3 4.8 4.8 4.9 - 5.2 Kons ums i LNPRT - 25.2 25.9 5.0 (2.7) 12.8 (11.5) (3.5) - (3.2) Kons ums i Pemeri nta h - (3.5) 1.4 8.9 4.8 2.9 1.0 3.4 - 3.7 Pembentuka n Moda l Teta p Bruto - 6.3 4.6 3.8 4.7 4.8 4.6 5.3 - 5.6 Eks por - 5.6 (2.6) 9.3 14.2 6.5 8.8 8.9 - 9.2 Impor - 0.9 (2.3) 1.5 9.8 2.3 1.4 4.4 - 4.7 (2.7) (2.0) (22.4) 25.5 (1.7) 5.3 (1.7) - (1.3) Net Eks por Anta r Da era h Sisi Produksi Perta ni a n, Kehuta na n, da n Peri ka na n - (0.2) 1.2 1.3 0.7 0.8 2.1 1.6 - 1.9 Perta mba nga n da n Pengga l i a n - 1.4 4.2 5.8 3.1 3.5 0.3 2.2 - 2.5 Indus tri Pengol a ha n - 6.7 5.5 5.2 6.2 5.9 4.9 5.6 - 5.9 Penga da a n Li s tri k da n Ga s - 3.9 6.9 5.4 0.4 4.1 (4.3) 2.7 - 3.0 Penga da a n Ai r, Pengel ol a a n Sa mpa h, Li mba h da n Da ur Ul a ng - 3.4 3.2 2.9 3.8 3.3 5.3 3.7 - 4.0 Kons truks i - 6.6 5.8 5.0 4.6 5.4 4.7 4.9 - 5.2 Perda ga nga n Bes a r, Ecera n, da n Repa ra s i Mobi l da n Sepeda Motor - 4.2 4.0 5.0 4.6 4.4 4.5 4.9 - 5.2 Tra ns porta s i da n Perguda nga n - 6.5 5.6 6.3 8.2 6.7 7.4 7.0 - 7.3 Penyedi a a n Akomoda s i da n Ma ka n Mi num - 7.3 9.3 11.5 9.5 9.4 7.0 6.2 - 6.5 Informa s i da n Komuni ka s i - 11.0 10.8 11.4 11.3 11.1 10.5 10.2 - 10.5 Ja s a Keua nga n da n As ura ns i - 2.1 4.4 2.4 10.5 4.8 7.7 5.9 - 6.2 Rea l Es ta te - 6.0 6.0 6.1 6.2 6.1 5.6 5.6 - 5.9 Ja s a Perus a ha a n - 8.5 9.0 9.3 8.8 8.9 7.1 6.8 - 7.1 Admi ni s tra s i Pemeri nta ha n, Perta ha na n da n Ja mi na n Sos i a l Wa ji b - 1.5 0.5 1.7 5.4 2.3 3.1 2.7 - 3.0 Ja s a Pendi di ka n - 6.6 7.7 8.6 6.6 7.4 5.9 6.2 - 6.5 Ja s a Kes eha ta n da n Kegi a ta n Sos i a l - 8.7 10.0 8.7 8.1 8.9 8.2 7.4 - 7.7 Ja s a l a i nnya - 7.9 8.5 8.4 7.9 8.2 7.7 7.1 - 7.4 DKI Ja ka rta - 5.9 6.1 5.6 6.2 6.0 5.1 5.3 - 5.6 Ja wa Ba ra t - 4.7 5.2 5.1 5.5 5.1 4.9 5.2 - 5.5 Ba nten - 4.7 4.7 4.4 8.0 5.5 5.7 5.4 - 5.7 Ja wa Tenga h - 5.7 4.2 5.7 6.2 5.4 5.6 5.6 - 5.9 DI Yogya ka rta - 6.2 4.8 5.6 4.3 5.2 4.2 4.9 - 5.2 Ja wa Ti mur - 5.9 5.6 5.9 6.0 5.9 5.2 5.7 - 6.0 PDRB (%,yoy) Inflasi IHK (%,yoy) 7.47 7.09 4.44 8.35 6.31 DKI Ja ka rta 7.77 7.66 5.05 8.95 7.10 Ja wa Ba ra t 7.95 6.48 3.59 7.60 5.46 Ba nten 8.47 7.85 5.53 10.20 7.46 Ja wa Tenga h 6.65 7.18 4.66 8.21 5.64 DI Yogya ka rta 5.81 6.14 4.29 6.59 5.12 Ja wa Ti mur 6.24 6.73 4.13 7.77 6.17 Kredit Perbankan (%, yoy) 20.8 18.5 14.0 12.1 11.7 DPK (%, yoy) 12.4 13.6 13.1 12.8 17.0 L a p o r a n N u s a n t a r a | 90 Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Kalimantan Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah 2014 I II III IV 2014 2015 I 2015 p PDRB (%,yoy) 2.1 2.2 3.4 4.0 3.2 1.1 1,4-1,9 Kons ums i Ruma h Ta ngga - - - - - 3.2 4,1-4,6 Kons ums i LNPRT - - - - - (4.8) 0,1-0,6 Kons ums i Pemeri nta h - - - - - 2.3 4,1-4,6 Pembentuka n Moda l Teta p Bruto - - - - - 5.9 6,6-7,1 Neteks por - - - - - (2.3) (3,9)-(3,4) Sisi Produksi 1,4-1,9 Sisi Permintaan 2.6 2.6 3.5 4.0 3.2 1.1 Perta ni a n, Kehuta na n, da n Peri ka na n 4.5 3.8 2.7 6.3 4.2 4.0 4,7-5,2 Perta mba nga n da n Pengga l i a n (2.1) (2.8) 0.8 4.5 0.1 (1.2) (1,6)-(1,1) Indus tri Pengol a ha n 4.0 6.3 3.3 (4.3) 2.2 (5.2) (4.4)-(3.9) 34.9 20,7-21,2 Penga da a n Li s tri k da n Ga s 0.3 5.6 7.2 49.7 15.8 Penga da a n Ai r, Pengel ol a a n Sa mpa h, Li mba h da n Da ur Ul a ng 7.5 6.2 6.9 6.0 6.7 3.4 4,5-5,0 Kons truks i 6.4 7.5 7.1 8.9 7.5 5.2 6,7-7,2 Perda ga nga n Bes a r da n Ecera n, da n Repa ra s i Mobi l da n Sepeda Motor 5.9 5.2 6.6 4.1 5.4 3.5 5,1-5,6 Tra ns porta s i da n Perguda nga n 7.8 6.5 6.8 5.9 6.7 6.6 6,8-7,3 Penyedi a a n Akomoda s i da n Ma ka n Mi num 5.8 5.4 6.7 5.8 5.9 5.2 6,1-6,6 Informa s i da n Komuni ka s i 9.6 10.2 12.1 9.9 10.5 11.6 9,4-9,9 Ja s a Keua nga n da n As ura ns i 6.5 5.8 2.1 6.7 5.2 4.8 6,0-6,5 Rea l Es ta te 6.2 7.8 7.3 6.1 6.9 5.6 4,6-5,1 Ja s a Perus a ha a n 9.2 9.5 7.6 6.6 8.2 3.2 4,4-4,9 Admi ni s tra s i Pemeri nta ha n, Perta ha '-n da n Ja mi '-n Sos i a l Wa ji b 6.9 6.2 8.8 9.6 8.0 8.0 9,1-9,6 Ja s a Pendi di ka n 12.7 10.1 9.5 7.8 9.9 9.8 8,4-8,9 Ja s a Kes eha ta n da n Kegi a ta n Sos i a l 9.0 8.6 6.2 6.1 7.4 7.2 7,1-7,6 Ja s a l a i nnya 6.3 6.6 8.3 7.7 7.2 6.4 7,7-8,2 5.3 5.5 4.6 4.0 4.9 3.9 4,5-5,0 PDRB Per Provinsi (%,yoy) Provi ns i Ka l i ma nta n Sel a ta n Provi ns i Ka l i ma nta n Ti mur 0.7 0.8 2.8 3.8 2.0 (1.3) (0,5)-(1,0) Provi ns i Ka l i ma nta n Ba ra t 6.1 5.3 4.9 3.9 5.0 4.7 5,1-5,6 5.3 6.2 7.8 7,7-8,2 Provi ns i Ka l i ma nta n Tenga h Inflasi IHK (%,yoy) - - - 7.31 7.56 4.98 7.87 7.30 Provi ns i Ka l i ma nta n Sel a ta n 4.88 6.83 4.81 7.28 7.00 Provi ns i Ka l i ma nta n Ti mur 8.38 7.67 4.57 7.67 7.08 Provi ns i Ka l i ma nta n Ba ra t 8.83 8.79 6.29 9.43 8.94 Provi ns i Ka l i ma nta n Tenga h 5.20 6.37 4.64 7.07 5.90 17.1 11.5 6.9 9.7 7.6 6.7 5.3 8.0 Kredit Perbankan (%, yoy) DPK (%, yoy) 2.9 7.3 L a p o r a n N u s a n t a r a | 91 Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Kawasan Timur Indonesia Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah 2013 2014 2014 2015 I 2015p 7.2 I - II - III - IV 5.0 Kons ums i Ruma h Ta ngga - - - - - 5.5 6.3 6.4 - 6.8 Kons ums i LNPRT - - - - - 10.9 (4.4) 2.6 - 2.10 Kons ums i Pemeri nta h - - - - - 5.8 8.4 8.2 - 8.6 Pembentuka n Moda l Teta p Bruto - - - - - 9.7 9.5 8.2 - 8.6 Eks por - - - - - - - - Impor - - - - - - - - Net Eks por - - - - - (4.6) 33.3 2.7 - 3.1 Perta ni a n, Kehuta na n, da n Peri ka na n - - - - 6.4 6.6 3.5 4.8 - 5.2 Perta mba nga n da n Pengga l i a n - - - - (9.4) (3.1) 10.9 9.3 - 9.7 Indus tri Pengol a ha n - - - - 9.6 8.1 6.9 12.0 - 12.4 Penga da a n Li s tri k da n Ga s - - - - 14.7 10.2 8.4 9.6 - 10.0 Penga da a n Ai r, Pengel ol a a n Sa mpa h, Li mba h da n Da ur Ul a ng - - - - 5.0 5.7 2.3 4.3 - 4.7 Kons truks i - - - - 9.1 8.4 8.6 8.3 - 8.7 Perda ga nga n Bes a r da n Ecera n, da n Repa ra s i Mobi l da n Sepeda Motor - - - - 5.4 7.7 6.1 7.7 - 8.1 Tra ns porta s i da n Perguda nga n - - - - 7.7 6.8 6.4 7.6 - 8.0 Penyedi a a n Akomoda s i da n Ma ka n Mi num - - - - 7.4 7.1 6.9 7.8 - 8.2 Informa s i da n Komuni ka s i - - - - 7.1 7.3 7.5 8.2 - 8.6 Ja s a Keua nga n da n As ura ns i - - - - 11.5 6.8 9.9 8.4 - 8.8 Rea l Es ta te - - - - 7.7 7.7 6.9 7.5 - 7.9 Ja s a Perus a ha a n - - - - 7.3 7.7 4.2 7.0 - 7.4 Admi ni s tra s i Pemeri nta ha n, Perta ha na n da n Ja mi na n Sos i a l Wa ji b - - - - 8.4 8.1 6.2 7.3 - 7.7 Ja s a Pendi di ka n - - - - 6.5 7.4 9.1 7.8 - 8.2 Ja s a Kes eha ta n da n Kegi a ta n Sos i a l - - - - 5.0 8.8 7.9 7.3 - 7.7 Ja s a l a i nnya - - - - 7.0 7.6 7.2 7.1 - 7.5 Provi ns i Sul a wes i Sel a ta n 7.6 - - - 7.7 7.6 5.2 7.6 Provi ns i Sul a wes i Ba ra t 9.3 - - - 10.9 8.7 6.0 7.7 Provi ns i Sul a wes i Tengga ra 7.5 - - - 5.3 6.3 5.8 6.5 Provi ns i Sul a wes i Tenga h 9.5 - - - 9.5 5.1 17.7 14.9 Provi ns i Goronta l o 7.7 - - - 8.2 7.3 4.7 7.1 Provi ns i Sul a wes i Uta ra 6.4 6.7 6.3 6.2 6.1 6.3 6.4 6.5 Provi ns i Ma l uku Uta ra 6.4 - - - 5.2 5.5 5.3 5.8 Provi ns i Ma l uku 5.3 - - - 3.8 6.7 4.1 5.7 Provi ns i Pa pua Ba ra t 7.4 - - - 0.1 5.4 (1.5) 6.6 Provi ns i Pa pua 7.9 - - - (7.5) 3.2 5.8 7.4 Provi ns i Ba l i 6.7 6.6 6.2 6.2 7.9 6.7 6.2 6.3 Provi ns i Nus a Tengga ra Ba ra t 5.2 - - - 10.8 5.2 16.5 12.7 Provi ns i Nus a Tengga ra Ti mur 5.4 5.1 4.5 5.5 PDRB (%,yoy) 6.0 6.9 7.7 - 8.1 Sisi Permintaan Sisi Produksi PDRB Per Provinsi(%,yoy) - - - 5.2 6.6 6.7 4.1 8.3 6.8 Provi ns i Sul a wes i Sel a ta n 5.9 5.9 3.7 8.6 7.1 Provi ns i Sul a wes i Ba ra t 6.2 6.7 4.5 7.9 6.7 Provi ns i Sul a wes i Tengga ra 5.6 4.8 1.8 8.4 7.8 Provi ns i Sul a wes i Tenga h 8.4 10.4 5.5 8.8 5.3 Provi ns i Goronta l o 5.1 5.8 3.6 6.1 5.3 Provi ns i Sul a wes i Uta ra 5.7 6.3 4.0 9.7 8.0 Provi ns i Ma l uku Uta ra 8.9 8.9 2.8 7.2 9.1 Provi ns i Ma l uku 8.8 9.7 5.4 9.3 7.9 Provi ns i Pa pua Ba ra t 9.6 7.4 4.5 9.1 6.8 Provi ns i Pa pua 5.8 5.3 5.3 6.6 7.0 Provi ns i Ba l i 6.1 6.4 4.5 8.4 6.4 Provi ns i Nus a Tengga ra Ba ra t 7.0 6.8 4.9 7.2 6.0 Provi ns i Nus a Tengga ra Ti mur 7.8 8.1 4.1 7.8 5.4 Kredit Perbankan (%, yoy) 17.8 14.2 12.7 13.3 13.5 DPK (%, yoy) 11.9 15.4 14.7 11.2 14.6 Inflasi IHK (%,yoy) L a p o r a n N u s a n t a r a | 92 Penanggung Jawab dan Editor Doddy Zulverdi Koordinator Penyusun Kiki Nindya Asih Tim Penulis Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter : Departemen Regional I (Sumatera) Departemen Regional II (Jawa) Departemen Regional III (Kalimantan) : Departemen Regional IV (Sulampua Bali Nusra) : : : Handri Adiwilaga M. Cahyaningtyas Neva Andina Darius Tirtosuharto Puput Kurniati Maximilian T. Tutuarima Nurul Pratiwi Andi Parenrengi Febby Leorisa Septine Wulandini Komalia Rahmayani Rizki Fitrama Adela Putri Rizkia Bernad Hasiholan R. Hutama Jaya Wardhana (KPwDN Provinsi Kalimantan Selatan) Andree Breitner Makahinda Evy Marya Deswita Siburian Laporan Nusantara| Laporan Nusantara|