1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki. Secara audiologi, bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi (Irwandi, 2008). Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (KepMenLH No.48 tahun 1996) atau semua suara tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu yang dapat menimbulkan gangguan pendengaran (KepMenNAKER No.51 Tahun 1999). Kebisingan dapat menyebabkan ancaman bagi sistem pendengaran, kesehatan umum, proses pembelajaran dan perilaku manusia. Bising di atas 85 dB tidak hanya akan menyebabkan keluhan pada organ telinga dan pendengaran tetapi berbagai penelitian membuktikan terjadinya peningkatan tekanan darah, gangguan tidur, kelainan pencernaan, meningkatnya emosi dan berbagai kelainan akibat stress (Ighoroje et al., 2004). Data dari Occupational Safety and Health Administration (OSHA) dan U.S Environmental Protection Agency (EPA) menyatakan bahwa paparan tingkat kebisingan yang berpotensi membahayakan tajam pendengaran umum terjadi di tempat kerja di Amerika. Lembaga Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (National Institute for Occupational Safety and Health / NIOSH) memperkirakan bahwa jumlah pekerja yang terpapar tingkat pencemaran 2 kebisingan adalah kira-kira 30 juta setiap tahun (Franks et al., 1996). Hal ini ditemui dalam bidang konstruksi, pertambangan, pertanian, manufaktur dan utilitas, transportasi, serta dalam kemiliteran. Perkiraan oleh OSHA menunjukkan bahwa hampir seperempat dari pekerja di industri ini secara rutin terpapar tingkat kebisingan dalam kisaran 90 sampai 100 dB (AS Departemen Tenaga Kerja OSHA, 1981). Secara internasional ketulian akibat bising diakui sebagai masalah kesehatan kerja yang signifikan, dengan perkiraan prevalensi berkisar 7% dari populasi di negara-negara barat dan 21% di negara berkembang. Di Australia, gangguan pendengaran diperkirakan merugikan negara sekitar US 11,6 milliar (Thorne et al., 2008). Data dari Divisi Manajemen Informasi Departemen Konsumen dan Layanan Bisnis (Department of Consumer and Business Services / DCBS) di Oregon melaporkan bahwa pada tahun 2000 sampai 2007 sebanyak 719 orang pekerja dinonaktifkan karena mengalami ketulian akibat bising yaitu pekerja pabrik (34,7 %), administrasi publik (26,6 %) dan konstruksi bangunan (10,8 %) (Christensen et al., 2009). National Institute on Deafness and Communication Disorders (NIDCD) memperkirakan bahwa prevalensi populasi gangguan pendengaran di Amerika Serikat adalah sekitar 10% dengan sekitar 3-4% akibat paparan kebisingan, di United Kingdom sekitar 14% dan 17% di Australia (Thorne et al., 2008). Kebisingan yang tinggi memberikan efek yang merugikan pada tenaga kerja, terutama akan mempengaruhi indera pendengaran. Tenaga kerja memiliki 3 risiko mengalami penurunan daya pendengaran yang terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu lama dan tanpa mereka sadari. Besarnya penurunan daya pendengaran ini tergantung pada lamanya pemaparan serta tingkat kebisingan, sehingga faktor-faktor yang menimbulkan gangguan pendengaran harus dikurangi atau dihindari sedapat mungkin (Sasongko, 2000). Oedono (2011) menyebutkan, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya trauma bising meliputi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi intensitas bising, spektrum frekuensi bising, jenis bising, lama paparan bising, lama istirahat, serta proteksi telinga, sedangkan faktor risiko internal meliputi bising lingkungan tempat tinggal, usia, kardiovaskuler (tekanan darah), hemodinamika (kadar trigliserida, kadar kolesterol, kadar gula darah, kadar hemoglobin, hematokrit, masa pembekuan darah, viskositas darah), serta perkembangan pneumatisasi cellulae mastoidea (Oedono, 2011). Vosteen dan Korde (1962) cit. Ward (1988) mengatakan bahwa penghantaran suara mulai dari skala media sampai nervus koklearis memerlukan energi yang dihasilkan oleh proses metabolisme biokimiawi, untuk mengubah getaran suara dari gerakan hidrodinamik menjadi tenaga listrik dan menimbulkan reflek traktus olivokoklearis. Bising keras menimbulkan penurunan kadar oksigen dan glukosa pada membran koklea. Makin keras suara, makin tinggi dan makin cepat gelombang berjalan di lamina basilaris, sehingga makin keras dan lama suara dipaparkan pada telinga, maka makin banyak energi yang diperlukan (Ward, 1988 cit. Oedono, 2011). 4 Menurut World Health Organization (WHO) gizi adalah pilar utama dari kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan (Soekirman, 2002). Untuk memelihara proses metabolisme tubuh dan aktivitasnya, perlu zat gizi yang memadai dalam makanan. Karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air, baik dari bahan pangan nabati maupun hewani harus tercukupi karena merupakan bahan dasar pembentukan sel dan jaringan baru dalam tubuh, juga berfungsi untuk pertumbuhan, pemeliharaan, dan perbaikan jaringan tubuh yang rusak. Energi diperlukan manusia untuk bergerak atau melakukan pekerjaan fisik dan juga menggerakkan proses-proses dalam tubuh seperti misalnya sirkulasi darah, denyut jantung, pernafasan, pencernaan dan proses-proses fisiologis tubuh lainnya (Suhardjo dan Kusharto, 1992). Lama kerja seseorang dalam satu hari agar dapat bekerja dengan baik pada umumnya 6-8 jam. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan biasanya terlihat penurunan produktivitas serta kecenderungan timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan. Dalam seminggu seseorang biasanya dapat bekerja baik selama 40-50 jam (Suma’mur, 1995). Efek bekerja shift pada terjadinya diabetes atau gangguan toleransi glukosa tidak sepenuhnya dimengerti. Sensitivitas insulin diketahui lebih rendah pada malam hari dibanding pada siang hari. Waktu tidur yang kurang juga berpengaruh pada metabolisme dan fungsi endokrin (Cauter et al, 1997). Di beberapa pabrik di Indonesia ada yang memberlakukan sistem lembur sehingga waktu kerja melebihi yang telah ditetapkan, meskipun intensitas 5 kebisingan di pabrik tersebut berada dibawah nilai ambang batas yang telah di tetapkan yaitu kurang dari 85 dB, namun hal ini perlu diperhatikan karena berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 718/Menkes/Per/XI/1987 dalam hal pembagian zona kebisingan, industri pabrik termasuk kedalam Zona D dengan batas maksimal yang dianjurkan adalah 60 dBA dan batas maksimal yang diperbolehkan adalah 70 dBA. Pada pabrik konveksi dalam penelitian ini memberlakukan sistem lembur sehingga jumlah jam kerja karyawannya bertambah menjadi sekitar 14 jam dalam sehari dan intensitas kebisingan ruangan sekitar 77 dB. Dengan adanya sistem lembur dan perubahan jadwal kerja, harus juga diperhatikan kemungkinan terjadinya kelelahan kronik dan masalah kesehatan lainnya. Waktu tidur yang kurang juga berpengaruh pada metabolisme dan fungsi endokrin, termasuk glukosa. B. Rumusan Masalah Gangguan pendengaran akibat kerja belum mendapat perhatian penuh, padahal gangguan ini menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa dengan proporsi 35%. Di berbagai industri di Indonesia, angka ini berkisar antara 30-50% (Bashirudin, 2003). Berbagai studi telah dilakukan dan membuktikan efek merugikan dari kebisingan industri terhadap pendengaran pekerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya trauma bising meliputi faktor eksternal dan internal, antara lain kadar gula darah (Oedono, 2011). Beberapa studi yang meneliti respon metabolik pada pekerja shift mengemukakan penurunan toleransi glukosa pada malam hari, sehingga diduga 6 bekerja shift memiliki efek pada toleransi glukosa (Morikawa, 2005). Di beberapa pabrik di Indonesia ada yang memberlakukan sistem lembur sehingga waktu kerja melebihi yang telah ditetapkan, dan menyebabkan bertambahnya waktu paparan kebisingan serta terjadinya kelelahan kronik yang dapat mempengaruhi organ pendengaran dari pekerja. Penelitian yang dilakukan oleh Halawa tahun 2011, pada frekuensi 2000 Hz dan 4000 Hz, lama paparan atau lama kerja mempunyai korelasi terhadap ambang dengar telinga kiri meskipun intensitas bising berada dibawah 80 dB (Halawa, 2011). Dari berbagai kondisi tersebut, perlu diketahui dan dipertimbangkan bahwa kadar gula darah merupakan faktor internal yang mempengaruhi ambang dengar pada pekerja pabrik konveksi. C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka dapat disusun pertanyaan penelitian: Adakah korelasi antara kadar gula darah dengan nilai ambang dengar pekerja pabrik konveksi? D. Keaslian Penelitian Sukar et al., 2003 meneliti dampak kebisingan frekuensi 6000 Hz dan 8000 Hz terhadap ketulian karyawan bagian boiler dan laundry (terpapar) dengan bagian umum (tidak terpapar) di rumah sakit di Jakarta, jumlah sampel keseluruhan 42 karyawan, usia 20 sampai 56 tahun, masa kerja minimum 5 tahun, yaitu tingkat kebisingan karyawan yang terpapar > 78 dB sedangkan yang tidak terpapar < 78 dB. Hasil yang diperoleh yaitu pada frekuensi 6000 Hz berdasarkan lama terpapar menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja di lokasi terpapar dengan lama terpapar ≥ 10 tahun yang telah mengalami ketulian sebanyak 47,6% 7 dan yang bekerja di lokasi tidak terpapar yang telah mengalami ketulian sebanyak 42,9% sedangkan karyawan yang telah terpapar < 10 tahun yang telah mengalami ketulian sebanyak 14,3% dan karyawan yang tidak terpapar telah mengalami ketulian sebanyak 9,5%. Pada frekuensi 8000 Hz dengan lama terpapar ≥ 10 tahun telah mengalami ketulian sebanyak 52,4% dan yang tidak terpapar yang telah mengalami ket lian sebanyak 38-1%,(sedangkan karyawan yang terpapar < 10 tahun yang bekerja di lokasi terpapar telah mengalami ketulian sebanyak 14,3% dan karyawan yang bekerja di lokasi tidak terpapar telah mengalami ketulian sebanyak 9,5%. Usmianto (2007) meneliti hubungan antara umur, masa kerja dan intensitas kebisingan dengan nilai ambang dengar pada karyawan di pengolahan kayu bagian rotari dan pengamplasan di kabupaten Kendal dengan jumlah sampel 35 orang. Hasil yang diperoleh data intensitas kebisingan 87,6 dB yaitu 23 orang (65,7%), intensitas kebisingan terendah 76,6 dB sebanyak 12 orang (34,2%), umur tertinggi 42 tahun umur terendah 22 tahun, masa kerja terlama 18 tahun, masa kerja terbaru 2 tahun dengan rata-rata masa kerja 8 tahun. Ambang dengar terendah 25 dB dan tertinggi 64 dB rata-rata ambang dengar 38 dB. Penelitian tentang hubungan kerja shift rotasi dengan SM pada 1529 pekerja dari 9 perusahaan oleh Bacquer et al (2009) didapatkan SM pada 60,6 per 1000 pekerja shift dan 37,2 per 1000 pekerja regular dengan OR 1,77, interval kepercayaan 95% 1,34-2,32. Kriteria SM yang digunakan adalah IDF yang meliputi LP ≥ 94 cm, tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg dan atau diastolik ≥ 85 mmHg dan atau terapi antihipertensi, kolesterol HDL < 40 mg/dl, trigliserid 8 sewaktu ≥ 220 mg/dl dan glukosa darah sewaktu ≥ 120 mg/dl atau DM tipe 2 (Bacquer et al., 2009). Penelitian lain oleh Windarwati (2011) membuktikan adanya hubungan antara kerja shift dengan resistensi insulin pada perawat di RSUP. Dr. Sardjito. Penelitian lain di Indonesia yaitu oleh Utomo pada tahun 1999 di Yogyakarta yang melakukan penelitian tentang profil audiometri tutur penderita Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI). Pada penelitian terhadap 55 penderita DMTTI tersebut didapatkan hasil 26 penderita mengalami gangguan pendengaran (47,27%) (Utomo, 1999). Penelitian lain oleh Haris di Surabaya pada tahun 2002 tentang gangguan pendengaran jenis sensorineural pada penderita DM menemukan 30 pasien (90,9%) dari 33 pasien yang menderita DM tipe 1 dan 2 yang diperiksa mengalami gangguan pendengaran tipe sensorineural dengan karakteristik terbanyak adalah bilateral simetris (Haris, 2002). Oedono (2011) dalam penelitiannya tentang trauma bising menyimpulkan bahwa ada korelasi antara kadar gula darah baik puasa maupun 1 jam setelah makan dengan nilai ambang dengar mulai frekuensi 125 Hz sampai dengan 8000 Hz pada pekerja dalam lingkungan bising keras (90 dB) (Oedono, 2011). Penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut diatas, yaitu peneliti ingin melihat korelasi antara kadar gula darah dengan nilai ambang dengar pekerja pabrik konveksi dengan intensitas kebisingan ruangan 77 dB. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan korelasi antara kadar gula darah dengan nilai ambang dengar pekerja pabrik konveksi. 9 F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia penelitian yaitu dapat dijadikan data awal untuk penelitian lebih jauh tentang pengaruh kadar gula darah terhadap nilai ambang dengar pada paparan bising. Bagi dunia akademik hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan asupan untuk lebih memahami pengaruh kadar gula darah terhadap nilai ambang dengar pada paparan bising. Bagi pihak terkait dengan paparan bising, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk evaluasi kesehatan pekerja yang terpapar bising dan dapat memberikan masukan bagi penentu kebijakan untuk membuat sistem regulasi dan keselamatan pekerja.