BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Gender a. Konsep Gender Istilah gender pasti sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Namun seringkali orang-orang sulit membedakan antara gender dengan seks (jenis kelamin). Kata gender dalam istilah Indonesia sebenarnya dari bahasa Inggris, yaitu “gender”. Namun dalam kamus bahasa Inggris, tidak secara jelas dibedakan pengertian antara seks dan gender (Nugroho, 2008:1). Pada dasarnya gender dan seks adalah dua hal yang berbeda, namun seringkali pengertian dari kedua hal tersebut dicampuradukkan. Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya (sosiokultural). Sedangkan seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis (Umar, 1999 dalam Sastriyani, 2009:165). Istilah seks lebih cenderung pada aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih cenderung kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya (Umar, 1999 dalam Sastriyani, 2009:165). Terdapat dua teori untuk melihat perbedaan antara gender dan jenis kelamin, yakni teori Nature dan teori Nurture (Arief Budiman, 1985 dalam Partini, 2013:1). Teori Nature menganggap bahwa perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan diakibatkan karena adanya faktor-faktor biologis. Sedangkan teori Nurture menganggap bahwa perbedaan tersebut terbentuk karena adanya proses belajar dari lingkungan dimana mereka tinggal. Dalam teori gender menyebutkan bahwa gender merupakan bangunan sosial dan kultural yang akhirnya membedakan karakterisktik maskulin dan 6 7 feminim (Thomson dan Priestley, 1996: dalam Partini, 2013:17). Istilah maskulin seringkali digunakan untuk menyebutkan sifat yang kelelakian, sedangkan feminim untuk menyebutkan sifat keperempuanan. Maskulin dan feminim dibentuk secara sosial dan tidak ada tolak ukur yang pasti, sehingga masyarakat dapat menyebut seseorang bersifat feminim atau maskulin berdasarkan pada sosial budaya tempatnya tinggal. Ideologi gender merupakan ideologi yang mengkotak-kotakkan peran dan posisi ideal perempuan didalam rumah tangga dan masyarakat. Peran ideal inilah yang akhirnya menjadi sesuatu yang aku dan stereotip (Achmad, 1995 dalam Partini, 2013:17). Ideologi gender seringkali menyudutkan perempuan dalam konteks kefeminimannya, sehingga yang dilakukan perempuan hanyalah untuk memantaskan diri sebagaimana telah digariskan sesuai dengan kodrat dan stereotip yang sudah menjadi hal yang baku didalam masyarakat. Gender dapat berlangsung didalam masyarakat karena didukung oleh sistem kepercayaan gender (gender belief system) (Deaux dan Kite, 1987 dalam Partini, 2013:18). Dalam bukunya Bias Gender dan Birokrasi, Partini juga menyebutkan pendapat Deaux dan Kite, bahwa sistem kepercayaan gender mencakup elemen diskriptif, yaitu kepercayaan tentang bagaimana “sebenarnya” laki-laki dan perempuan, serta bagaimana “seharusnya” lakilaki dan perempuan bersikap. b. Bias Gender Memperjuangkan keadilan gender merupakan tugas yang berat, karena masalah gender merupakan masalah yang sangat intens dan proses pencarian solusinya perlu dilakukan secara komprehensif (Nugroho, 2008: 61). Feminisme tumbuh sebagai suatu gerakan sekaligus pendekatan yang berusaha merombak struktur yang ada karena dianggap telah mengakibatkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. (Nugroho, 2008: 62). Betty Friedan merupakan salah satu dari ribuan perempuan yang dapat diklasifikasi sebagai feminis liberal. Sebagaimana diungkapkan oleh Zillah 8 Eisenstein, Elizabeth Holtzman, Bella Abzug, Eleanor Smeal, Pat Schroeder, dan Patsy Mink adalah feminis liberal, demikian juga banyak pemimpin dan anggota lain dari National Organization for Women (NOW) dan Women‟s Equity Action League (WEAL). Meskipun terkadang perempuan-perempuan ini berbeda pendapat, namun mereka tidak menyetujui bahwa tujuan utama dari pembebasan perempuan adalah kesetaraan seksual, atau sering disebut sebagai keadilan gender. (Tong, 2008: 48). Feminis liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif – yaitu, dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuanbaik didalam akademi, forum, maupun pasar. Mereka menekankan ahwa masyarakat patriarkal mencampuradukkan seks dan gender, serta menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan dengan kepribadian feminim yang layak untuk perempuan. (Tong, 2008:49). Di Indonesia, perempuan pertama yang berusaha untuk memperjuangkan hak-haknya dilakukan oleh R.A Kartini. Melalui bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang” berhasil menjadi langkah awal bagi kaum perempuan untuk memperoleh kesamaan hak, terutama hak dalam memperoleh pendidikan. Sedangkan untuk pergerakan perempuan Indonesia diawali dengan adanya Kongres Perempuan yang dilakukan pada tahun 1028, yang kemudian hari ulangtahun kongres tersebut diperingati sebagai Hari Ibu, dan sampai saat ini diakui sebagai lahirnya gerakan perempuan Indonesia. 2. Pendidikan a. Konsep Pendidikan Secara etimologis atau kebangsaan, „pendidikan‟ berasal kata „didik‟ yang mendapat imbuhan pe-an. Berubah menjadi kata „mendidik‟ yang berarti membantu anak untuk menguasai aneka pengetahuan, ketrampilan, 9 sikap, dan nilai yang diwarisi dari keluarga dan masyarakatnya (Rohman, 2009: 5). Secara terminologis atau arti konsep, terdapat pengertian-pengertian lain yang lebih lengkap menurut para ahli: 1) Menurut Crow and Crow, pendidikan diartikan sebagai proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi (Rohman, 2009: 6). 2) Ki Hajar Deantara mengartikan pendidikan sebagai usaha menuntun segenap kekuatan kodrat yang ada pada anak, aik sebagai individu manusia maupun sebagai anggota masyarakat agar dapat mencapai kesempurnaan hidup (Rohman, 2009: 8) 3) Made Pidarta menyebut pendidikan adalah teori umum mengenai pendidikan (education is the general theory of education). (Rohman, 2009: 8) Karena sifatnya yang kompleks dalam istilah pendidikan, maka kemudian pendidikan dibagi menjadi beberapa batasan berdasarkan fungsinya (Tirtaraharja dan Sulo, 2005 dalam Triwiyanto, 2014: 23): 1) Pendidikan sebagai transformasi budaya 2) Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi 3) Pendidikan sebagai proses penyipan warga negara 4) Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan nilai, serta mengembangkan potensi dalam dirinya baik melalui pendidikan formal, informal, maupun nonformal, agar individu tersebut siap terjun didalam dunia kerja dan lingkungan masyarakat, serta dapat memainkan peranan hidup secara tepat. 10 b. Unsur-unsur Pendidikan Didalam pendidikan terdapat unsur-unsur yang saling terkait satu sama lain. Unsur-unsur tersebut antara lain tujuan pendidikan, kurikulum, peserta didik, pendidik, interaksi edukatif, isi pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Tujuan pendidikan dalam sistem pendidikan termuat dalam UU Sisdiknas, yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab (Triwiyanto, 2014: 24). Kurikulum merupakan sesuatu yang direncanakansebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan. Perencanaan kurikulum biasanya bersifat ide, suatu cita-cita tentang manusia atau warga negara yang dibentuk (Nasution, 2006 dalam Simanjuntak, 2014: 98). Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Sosok peserta didik umumnya merupakan sosok anak yang membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa tumbuh dan berkembang kearah dewasa (Rohman, 2009: 105106). Pendidik adalah setiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi oranglain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi (Barnadib, 1994 dalam Rohman, 2009: 149). Menurut Arif Rohman dalam bukunya “Memahami Pendidikan & Ilmu Pendidikan” penyebutan nama pendidik berbeda-beda di beberapa tempat. Pendidik di lingkungan keluarga adalah orang tua dari anak-anak yang biasa disebut ayah-ibu atau papa-mama. Di lingkungan pesantren biasanya disebut ustadz, kyai, romo kyai. Pada lingkungan pendidikan di masyarakat menyebut pendidik dengan istilah 11 tutor, fasilitator, atau instruktur. Pada lingkungan sekolah biasanya disebut dengan guru. Interaksi edukatif adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Isi pendidikan merupakan materi dan kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Sedangkan, lingkungan pendidikan adalah tempat manusia berinteraksi timbal balik sehingga kemampuannya dapat terus dikembangkan kearah yang lebih baik lagi (Rohman, 2009: 25). 3. Bias Gender dalam Pendidikan a. Konseptualisasi Bias Gender dalam Proses Pembelajaran Karena sudah mendarah daging, akhirnya gender dipandang sebagai Kodrat Tuhan. Kodrat yang harus diterima dan dijalankan oleh laki-laki maupun perempuan, dan bagi yang melanggar kodrat maka ia akan dicap melakukan perbuatan menyimpang. Gender yang sudah menjadi sistem nilai atau ideologi didalam masyarakat akan berpengaruh pula pada kehidupan sistem sosial di sekolah. Artinya, perilaku yang tampak dalam kehidupan sosial di sekolah akan menampakkan bias gender. Interaksi guru-guru, guru murid, dan murid murid, baik yang terjadi di dalam maupun di luar kelas, pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat. Juga tempat duduk murid, penataan barisan, dan pelaksanaan upacara serta permainan murid tidak lepas dari hal itu. dengan demikian kegiatan pemelajaran yang merupakan inti dari kehidupan sosial sekolah akan menampakkan bias gender (Muthali’in, 2001:57-58). Proses pembelajaran dengan berbagai komponen yang ada, pada umumnya dapat digolongkan kedalam bendabudaya/artefak. Kurikulum, GBPP, PCW, SP, metode pembelajaran, media pembelajaran, bahan pembelajaran, dan buku pelajaran dapat digolongkan sebagai benda budaya (Muthali’in, 2001:58). Artinya, komponen-komponen tersebut merupakan bagian dari media sosialisasi bias gender yang terjadi di sekolah. 12 Dalam buku pelajaran memuat teks-teks atau kalimat-kalimat yang menampilkan konstruksi bias gender (Logsdon, 1985 dalam Muthali’in, 2001: 58). Ibu memasak, Ani mencuci piring, Wati membantu ibu di dapur, ayah ke kantor, Amir bermain sepak bola, Ali ikut ayah memancing (Murniati, 1993 dalam Muthali’in, 2001: 58). b. Dampak Bias Gender pada Siswa Seseorang melakukan idenfikasi diri melalui pengalaman dan aktivitas sosialnya dengan tokoh-tokoh yang ada disekita lingkungan hidupnya. Proses identifikasi citra diri pada tokoh-tokoh tersebut memunculkan gambaran tentang dirinya dan tentang masa depannya (Widja, 1989 dalam Muthali’in, 2001:60). Dengan demikian, apa yang “dibaca” seseorang dari tokoj-tokoh serta lingkungan disekitarnya akan diidentifikasi dan diinternalisasi, tentunya adalah hal-hal yang dipandang “baik” oleh lingkungan dan masyarakat. Gender yang merupakan salah satu ideologi dominan akan termanifestasi dalam kehidupan sosial sekitar serta tokohtokoh panutan untuk indentifikasi tersebut (Muthali’in, 2001:60). Berdasarkan proses identifikasi tersebut, dalam diri siswa terinternalisasi serangkaian nilai dan sikap yang menghasilkan tindakan sosial yang relevan dengan pendefinisian siswa tentang realitas sosialnya (Widja, 1989 dalam Muthali’in, 2001: 61). Salah satu realitas yang dominan adalah bias gender, maka penafsiran siswa terhadap realitas sosial bias gender tersebut juga akan terinternalisasi dalam dirinya, khususnya dari sistem sosial sekolah dan proses pembelajarannya (Muthali’in, 2001: 61). Pengetahuan bias gender yang sudah terinternalisasi dalam diri siswa akan berpengaruh pada sikap sekaligus perilaku bias gender pada siswa (Muthali’in, 2001: 64). 13 4. Teori Nature dan Culture (Sherry B. Ortner) Jenis kelamin dibagi menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan. Namun di dalam kehidupan sosial, perempuan selalu termarginalkan dan menjadi warga kelas dua. Keberadaan perempuan selalu menjadi yang nomor dua dan di bawah laki-laki. Peran dan status perempuan juga tidak terlalu diperhitungkan. Terdapat dikotomi nature dan culture yang digunakan untuk menunjukkan pemisahan dan stratifikasi di antara dua jenis kelamin ini. Perempuan mewakili sifat “alam” (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih berbuadaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut menyebabkan terjadinya proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan (Abdullah, 2006: 3). “woman‟s body and its functions, more involved more the time with “species life”, seem to place her close to nature, in contras to man‟s psycology, which frees him more completely to take up the project of culture” (Ortner, 1974: 73). Sherry B. Ortner menyatakan bahwa tubuh perempuan dan fungsinya lebih cenderung dengan “kehidupan”, menempatkan dirinya dekat dengan alam, berbeda dengan laki-laki yang sepenuhnya bebas dengan proyek budaya. Maksudnya, perempuan selalu diidentikkan dengan kehidupan. Ia memiliki rahim, di dalam rahim tersebutlah sebuah kehidupan baru mulai terbentuk dan tumbuh. Setelah sembilan bulan lalu janin tersebut keluar ke dunia. Bayi yang sudah keluar dari rahim mendapatkan ASI (Air Susu Ibu) agar dapat bertahan hidup dengan baik. Selain itu, perempuan juga memiliki periode menstruasi setiap bulannya. Semua hal tersebut secara alami dimiliki oleh perempuan. “because of woman's greater bodily involvement with the natural functions surrounding reproduction, she is seen as more a part of nature than is man” (Ortner, 1974: 76). Sherry B. Ortner juga mengemukakan bahwa tubuh perempuan yang lebih hebat dengan fungsi alam sekitar reproduksi, ia lebih sebagai bagian dari alam daripada pria. dipandang 14 “Since men lack a “natural” basis (nursing, generalized to child care) for a familial orientation, their sphere of activity is defined at level of interfamilial relation. And hence, so the cultural reasoning seems to go, men are the “natural” proprietors of religion, ritual, politics, and other realms of cultural thought and action in which universalistic statement of spiritual and social synthesis are made” (Ortner, 1974: 79). Menurut Ortner, karena laki-laki tidak memiliki “natural” dasar untuk orientasi keluarga, maka mereka membuat “natural” milik laki-laki yaitu agama, ritual, politik, dan lain-lain. Tidak hanya dengan “culture”, laki-laki juga diidentifikasikan dengan kreativitas sebagai lawan dari “nature”. Implikasi dari perbedaan “nature” dan “nurture” tersebut adalah terjadinya pemisahan sektor kehidupan. Perempuan yang diidentifikasikan sebagai “nature”, dianggap sebagai orang yang berkaitan erat dengan sektor domestik. Sedangkan laki-laki di tempatkan sebagai kelompok yang berhak mengisi sektor publik. Ideologi semacam ini telah disahkan oleh berbagai pranata dan lembaga sosial, yang ini kemudian menjadi fakta sosial tentang status-status dan peran-peran yang dimainkan oleh perempuan (Abdullah, 2006: 4). Terjadinya keunggulan laki-laki terhadap perempuan karena dikonstruksi oleh budaya yang dipengaruhi oleh peluang laki-laki yang lebih besar untuk berperan aktif terhadap dunia luar. Laki-laki yang memiliki akses yang lebih besar terhadap sektor produktif kemudian dikonstruksikan untuk berperan sosial di sektor publik, sedangkan perempuan mempunyai tugas mulia 4 (empat) M (menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui) dikonstruksikan untuk berperan di sektor “sosial domestik”, yaitu menguasai rumah tangga, anak dan melayani laki-laki (suami). Perempuan yang baik dipresentasikan sebagai ibu maupun istri yang terkait dengan rumah, anak, masakan, pakaian, kecantikan, kelembutan, dan keindahan (Abdullah, 2006: 7). Di dalam tatanan sosial yang dilandasi pada sistem hubungan yang patriarkis, segala kegiatan perempuan dan persepsi masyarakat terhadap status dan posisi perempuan, dilingkupi oleh nilai-nilai yang memihak 15 kepada pria. Nilai-nilai yang patriarkis tersebut diinternalisasikan dan dilanggengkan melalui berbagai institusi sosial seperti lembaga politik, pendidikan, maupun kepercayaan-kepercayaan, sehingga subordinasi tersebut tidak dirasakan sebagai suatu sistem yang secara langsung sangat menekan dan memojokkan perempuan (Abdullah, 2006: 84). Pada sistem patriarki, laki-laki mengontrol kerja perempuan, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Di dalam rumah, pekerjaan perempuan berlangsung rutin dan melelahkan, dan pekerjaan jenis ini dianggap bukan sebagai suatu pekerjaan sehingga perempuan tergantung pada suami. Di luar rumah, dapat dilihat antara lain bahwa laki-laki menyisihkan perempuan dari pekerjaan yang berupah tinggi (Hartman, 1979 dalam Partini, 2013: 15). 16 C. Kerangka Berpikir “woman‟s body and its functions, more involved more the time with “species life”, seem to place her close to nature, in contras to man‟s psycology, which frees him more completely to take up the project of culture” (Ortner, 1974: 73). Sherry B. Ortner menyatakan bahwa tubuh perempuan dan fungsinya lebih cenderung dengan “kehidupan”, menempatkan dirinya dekat dengan alam, berbeda dengan laki-laki yang sepenuhnya bebas dengan proyek budaya. “Since men lack a “natural” basis (nursing, generalized to child care) for a familial orientation, their sphere of activity is defined at level of interfamilial relation. And hence, so the cultural reasoning seems to go, men are the “natural” proprietors of religion, ritual, politics, and other realms of cultural thought and action in which universalistic statement of spiritual and social synthesis are made” (Ortner, 1974: 79). Menurut Ortner, karena laki-laki tidak memiliki “natural” dasar untuk orientasi keluarga, maka mereka membuat “natural” milik laki-laki yaitu agama, ritual, politik, dan lain-lain. Tidak hanya dengan “culture”, laki-laki juga diidentifikasikan dengan kreativitas sebagai lawan dari “nature”. Sebagai akibat dari adanya perbedaan nature dan culture ini menyebabkan terjadinya pemisahan peran laki-laki dan perempuan. Perempuan lebih diidentifikasikan berperan di sektor domestik, sedangkan laki-laki berada di sektor publik. Banyaknya siswa perempuan di SMA Negeri 2 Boyolali yang berhasil menguasai peringkat sepuluh besar di kelas memperlihatkan bahwa perempuan mampu menunjukkan kemampuannya untuk merambah sektor publik. Pada kenyataan. Perolehan hasil prestasi belajar tersebut tidak semata-mata menunjukkan keberhasilan perempuan di sektor publik, tetapi terdapat bias gender yang medasarinya. Dominasi perempuan terhadap prestasi belajar hanyalah bentuk lain dari bias gender. Perempuan mendapatkan peringkat yang tinggi karena perhatian dan konsentrasi perempuan berada di lingkup domestik. Perempuan banyak menghabiskan waktu di rumah untuk mengerjakan tugas-tugas ibu yang di turunkan kepada anak perempuannya. Seperti menyapu, mengepel, 17 mencuci, dan kegiatan sejenisnya. Selain kegiatan tersebut, belajar di rumah juga salah satu aktivitas yang digunakan perempuan untuk menghabiskan waktunya. Berbeda dengan siswa laki-laki yang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah (ruang publik). Mereka melakuan berbagai aktivitas seperti bermain futsal, band, playstation, dan kegiatan serupa. Banyaknya aktivitas di luar rumah yang di kerjakan, membuat siswa laki-laki menggunakan sedikit waktu di rumah dengan beristirahat. Hal ini menyebabkan kurangnya waktu untuk belajar di rumah. Di dalam tatanan sosial yang dilandasi pada sistem hubungan yang patriarkis, segala kegiatan perempuan dan persepsi masyarakat terhadap status dan posisi perempuan, dilingkupi oleh nilai-nilai yang memihak kepada pria. Nilainilai yang patriarkis tersebut diinternalisasikan dan dilanggengkan melalui berbagai institusi sosial seperti lembaga politik, pendidikan, maupun kepercayaankepercayaan, sehingga subordinasi tersebut tidak dirasakan sebagai suatu sistem yang secara langsung sangat menekan dan memojokkan perempuan (Abdullah, 2006: 84). Bias gender terus ada di dalam masyarakat karena ada pihak-pihak yang melanggengkannya. Diantara pihak-pihak tersebut adalah keluarga dan sekolah. Keduanya memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan karakter individu. Keluarga yang merupakan tempat individu pertama kali mulai berinteraksi, sudah membawa pengaruh bias gender melalui penurunan aktivitas domestik dan publik dari orang tua kepada anak-anaknya. Sekolah melanggengkan bias gender melalui berbagai komponen, salah satunya adalah sumber belajar siswa. Sumber belajar siswa dapat diperoleh dari berbagai media. Namun yang paling dekat dengan siswa adalah guru dan modul belajar. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti menyusun kerangka berpikir sebagai berikut: 18 Teori Nature dan Nurture Alam Kebudayaan Perempuan Laki-laki Domestik Publik Perbedaan Prestasi Belajar Gambar 2.1. Kerangka Berpikir