BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1.
Gender
a.
Konsep Gender
Istilah gender pasti sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Namun
seringkali orang-orang sulit membedakan antara gender dengan seks (jenis
kelamin). Kata gender dalam istilah Indonesia sebenarnya dari bahasa
Inggris, yaitu “gender”. Namun dalam kamus bahasa Inggris, tidak secara
jelas dibedakan pengertian antara seks dan gender (Nugroho, 2008:1).
Pada dasarnya gender dan seks adalah dua hal yang berbeda, namun
seringkali pengertian dari kedua hal tersebut dicampuradukkan. Gender
secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dari segi sosial budaya (sosiokultural). Sedangkan seks
secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dari segi anatomi biologis (Umar, 1999 dalam Sastriyani,
2009:165). Istilah seks lebih cenderung pada aspek biologis seseorang,
meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi
fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender
lebih cenderung kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek
non-biologis lainnya (Umar, 1999 dalam Sastriyani, 2009:165).
Terdapat dua teori untuk melihat perbedaan antara gender dan jenis
kelamin, yakni teori Nature dan teori Nurture (Arief Budiman, 1985 dalam
Partini, 2013:1). Teori Nature menganggap bahwa perbedaan psikologis
antara laki-laki dan perempuan diakibatkan karena adanya faktor-faktor
biologis. Sedangkan teori Nurture menganggap bahwa perbedaan tersebut
terbentuk karena adanya proses belajar dari lingkungan dimana mereka
tinggal.
Dalam teori gender menyebutkan bahwa gender merupakan bangunan
sosial dan kultural yang akhirnya membedakan karakterisktik maskulin dan
6
7
feminim (Thomson dan Priestley, 1996: dalam Partini, 2013:17). Istilah
maskulin seringkali digunakan untuk menyebutkan sifat yang kelelakian,
sedangkan feminim untuk menyebutkan sifat keperempuanan. Maskulin dan
feminim dibentuk secara sosial dan tidak ada tolak ukur yang pasti,
sehingga masyarakat dapat menyebut seseorang bersifat feminim atau
maskulin berdasarkan pada sosial budaya tempatnya tinggal.
Ideologi gender merupakan ideologi yang mengkotak-kotakkan peran
dan posisi ideal perempuan didalam rumah tangga dan masyarakat. Peran
ideal inilah yang akhirnya menjadi sesuatu yang aku dan stereotip (Achmad,
1995 dalam Partini, 2013:17). Ideologi gender seringkali menyudutkan
perempuan dalam konteks kefeminimannya, sehingga yang dilakukan
perempuan hanyalah untuk memantaskan diri sebagaimana telah digariskan
sesuai dengan kodrat dan stereotip yang sudah menjadi hal yang baku
didalam masyarakat.
Gender dapat berlangsung didalam masyarakat karena didukung oleh
sistem kepercayaan gender (gender belief system) (Deaux dan Kite, 1987
dalam Partini, 2013:18). Dalam bukunya Bias Gender dan Birokrasi, Partini
juga menyebutkan pendapat Deaux dan Kite, bahwa sistem kepercayaan
gender mencakup elemen diskriptif, yaitu kepercayaan tentang bagaimana
“sebenarnya” laki-laki dan perempuan, serta bagaimana “seharusnya” lakilaki dan perempuan bersikap.
b.
Bias Gender
Memperjuangkan keadilan gender merupakan tugas yang berat, karena
masalah gender merupakan masalah yang sangat intens dan proses
pencarian solusinya perlu dilakukan secara komprehensif (Nugroho, 2008:
61). Feminisme tumbuh sebagai suatu gerakan sekaligus pendekatan yang
berusaha merombak struktur yang ada karena dianggap telah mengakibatkan
ketidakadilan terhadap kaum perempuan. (Nugroho, 2008: 62).
Betty Friedan merupakan salah satu dari ribuan perempuan yang dapat
diklasifikasi sebagai feminis liberal. Sebagaimana diungkapkan oleh Zillah
8
Eisenstein, Elizabeth Holtzman, Bella Abzug, Eleanor Smeal, Pat
Schroeder, dan Patsy Mink adalah feminis liberal, demikian juga banyak
pemimpin dan anggota lain dari National Organization for Women (NOW)
dan Women‟s Equity Action League (WEAL). Meskipun terkadang
perempuan-perempuan ini berbeda pendapat, namun mereka tidak
menyetujui bahwa tujuan utama dari pembebasan perempuan adalah
kesetaraan seksual, atau sering disebut sebagai keadilan gender. (Tong,
2008: 48).
Feminis liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari
peran gender yang opresif – yaitu, dari peran-peran yang digunakan sebagai
alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau
tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuanbaik didalam
akademi, forum, maupun pasar. Mereka menekankan ahwa masyarakat
patriarkal mencampuradukkan seks dan gender, serta menganggap hanya
pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan dengan kepribadian feminim yang
layak untuk perempuan. (Tong, 2008:49).
Di
Indonesia,
perempuan
pertama
yang
berusaha
untuk
memperjuangkan hak-haknya dilakukan oleh R.A Kartini. Melalui bukunya
“Habis Gelap Terbitlah Terang” berhasil menjadi langkah awal bagi kaum
perempuan untuk memperoleh kesamaan hak, terutama hak dalam
memperoleh pendidikan. Sedangkan untuk pergerakan perempuan Indonesia
diawali dengan adanya Kongres Perempuan yang dilakukan pada tahun
1028, yang kemudian hari ulangtahun kongres tersebut diperingati sebagai
Hari Ibu, dan sampai saat ini diakui sebagai lahirnya gerakan perempuan
Indonesia.
2.
Pendidikan
a.
Konsep Pendidikan
Secara etimologis atau kebangsaan, „pendidikan‟ berasal kata „didik‟
yang mendapat imbuhan pe-an. Berubah menjadi kata „mendidik‟ yang
berarti membantu anak untuk menguasai aneka pengetahuan, ketrampilan,
9
sikap, dan nilai yang diwarisi dari keluarga dan masyarakatnya (Rohman,
2009: 5).
Secara terminologis atau arti konsep, terdapat pengertian-pengertian
lain yang lebih lengkap menurut para ahli:
1)
Menurut Crow and Crow, pendidikan diartikan sebagai proses
yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu
untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan
budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi
(Rohman, 2009: 6).
2)
Ki Hajar Deantara mengartikan pendidikan sebagai usaha
menuntun segenap kekuatan kodrat yang ada pada anak, aik
sebagai individu manusia maupun sebagai anggota masyarakat
agar dapat mencapai kesempurnaan hidup (Rohman, 2009: 8)
3)
Made Pidarta menyebut pendidikan adalah teori umum
mengenai pendidikan (education is the general theory of
education). (Rohman, 2009: 8)
Karena sifatnya yang kompleks dalam istilah pendidikan, maka
kemudian pendidikan dibagi menjadi beberapa batasan berdasarkan
fungsinya (Tirtaraharja dan Sulo, 2005 dalam Triwiyanto, 2014: 23):
1)
Pendidikan sebagai transformasi budaya
2)
Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi
3)
Pendidikan sebagai proses penyipan warga negara
4)
Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan merupakan usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan,
ketrampilan, sikap, dan nilai, serta mengembangkan potensi dalam dirinya
baik melalui pendidikan formal, informal, maupun nonformal, agar individu
tersebut siap terjun didalam dunia kerja dan lingkungan masyarakat, serta
dapat memainkan peranan hidup secara tepat.
10
b.
Unsur-unsur Pendidikan
Didalam pendidikan terdapat unsur-unsur yang saling terkait satu
sama lain. Unsur-unsur tersebut antara lain tujuan pendidikan, kurikulum,
peserta didik, pendidik, interaksi edukatif, isi pendidikan, dan lingkungan
pendidikan.
Tujuan pendidikan dalam sistem pendidikan termuat dalam UU
Sisdiknas, yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis, serta bertanggung jawab (Triwiyanto, 2014: 24).
Kurikulum merupakan sesuatu yang direncanakansebagai pegangan
guna mencapai tujuan pendidikan. Perencanaan kurikulum biasanya bersifat
ide, suatu cita-cita tentang manusia atau warga negara yang dibentuk
(Nasution, 2006 dalam Simanjuntak, 2014: 98). Menurut UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan.
Peserta
didik
adalah
anggota
masyarakat
yang
berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Sosok peserta didik
umumnya merupakan sosok anak yang membutuhkan bantuan orang lain
untuk bisa tumbuh dan berkembang kearah dewasa (Rohman, 2009: 105106).
Pendidik adalah setiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi
oranglain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi (Barnadib,
1994 dalam Rohman, 2009: 149). Menurut Arif Rohman dalam bukunya
“Memahami Pendidikan & Ilmu Pendidikan” penyebutan nama pendidik
berbeda-beda di beberapa tempat. Pendidik di lingkungan keluarga adalah
orang tua dari anak-anak yang biasa disebut ayah-ibu atau papa-mama. Di
lingkungan pesantren biasanya disebut ustadz, kyai, romo kyai. Pada
lingkungan pendidikan di masyarakat menyebut pendidik dengan istilah
11
tutor, fasilitator, atau instruktur. Pada lingkungan sekolah biasanya disebut
dengan guru.
Interaksi edukatif adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Isi pendidikan
merupakan materi dan kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan
minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Sedangkan, lingkungan
pendidikan adalah tempat manusia berinteraksi timbal balik sehingga
kemampuannya dapat terus dikembangkan kearah yang lebih baik lagi
(Rohman, 2009: 25).
3.
Bias Gender dalam Pendidikan
a.
Konseptualisasi Bias Gender dalam Proses Pembelajaran
Karena sudah mendarah daging, akhirnya gender dipandang sebagai
Kodrat Tuhan. Kodrat yang harus diterima dan dijalankan oleh laki-laki
maupun perempuan, dan bagi yang melanggar kodrat maka ia akan dicap
melakukan perbuatan menyimpang. Gender yang sudah menjadi sistem nilai
atau ideologi didalam masyarakat akan berpengaruh pula pada kehidupan
sistem sosial di sekolah. Artinya, perilaku yang tampak dalam kehidupan
sosial di sekolah akan menampakkan bias gender. Interaksi guru-guru, guru
murid, dan murid murid, baik yang terjadi di dalam maupun di luar kelas,
pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat. Juga tempat duduk
murid, penataan barisan, dan pelaksanaan upacara serta permainan murid
tidak lepas dari hal itu. dengan demikian kegiatan pemelajaran yang
merupakan inti dari kehidupan sosial sekolah akan menampakkan bias
gender (Muthali’in, 2001:57-58).
Proses pembelajaran dengan berbagai komponen yang ada, pada
umumnya dapat digolongkan kedalam bendabudaya/artefak. Kurikulum,
GBPP, PCW, SP, metode pembelajaran, media pembelajaran, bahan
pembelajaran, dan buku pelajaran dapat digolongkan sebagai benda budaya
(Muthali’in, 2001:58). Artinya, komponen-komponen tersebut merupakan
bagian dari media sosialisasi bias gender yang terjadi di sekolah.
12
Dalam buku pelajaran memuat teks-teks atau kalimat-kalimat yang
menampilkan konstruksi bias gender (Logsdon, 1985 dalam Muthali’in,
2001: 58). Ibu memasak, Ani mencuci piring, Wati membantu ibu di dapur,
ayah ke kantor, Amir bermain sepak bola, Ali ikut ayah memancing
(Murniati, 1993 dalam Muthali’in, 2001: 58).
b.
Dampak Bias Gender pada Siswa
Seseorang melakukan idenfikasi diri melalui pengalaman dan aktivitas
sosialnya dengan tokoh-tokoh yang ada disekita lingkungan hidupnya.
Proses identifikasi citra diri pada tokoh-tokoh tersebut memunculkan
gambaran tentang dirinya dan tentang masa depannya (Widja, 1989 dalam
Muthali’in, 2001:60). Dengan demikian, apa yang “dibaca” seseorang dari
tokoj-tokoh
serta
lingkungan
disekitarnya
akan
diidentifikasi
dan
diinternalisasi, tentunya adalah hal-hal yang dipandang “baik” oleh
lingkungan dan masyarakat. Gender yang merupakan salah satu ideologi
dominan akan termanifestasi dalam kehidupan sosial sekitar serta tokohtokoh panutan untuk indentifikasi tersebut (Muthali’in, 2001:60).
Berdasarkan
proses
identifikasi
tersebut,
dalam
diri
siswa
terinternalisasi serangkaian nilai dan sikap yang menghasilkan tindakan
sosial yang relevan dengan pendefinisian siswa tentang realitas sosialnya
(Widja, 1989 dalam Muthali’in, 2001: 61). Salah satu realitas yang dominan
adalah bias gender, maka penafsiran siswa terhadap realitas sosial bias
gender tersebut juga akan terinternalisasi dalam dirinya, khususnya dari
sistem sosial sekolah dan proses pembelajarannya (Muthali’in, 2001: 61).
Pengetahuan bias gender yang sudah terinternalisasi dalam diri siswa akan
berpengaruh pada sikap sekaligus perilaku bias gender pada siswa
(Muthali’in, 2001: 64).
13
4.
Teori Nature dan Culture (Sherry B. Ortner)
Jenis kelamin dibagi menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan.
Namun di dalam kehidupan sosial, perempuan selalu termarginalkan dan
menjadi warga kelas dua. Keberadaan perempuan selalu menjadi yang
nomor dua dan di bawah laki-laki. Peran dan status perempuan juga tidak
terlalu diperhitungkan. Terdapat dikotomi nature dan culture yang
digunakan untuk menunjukkan pemisahan dan stratifikasi di antara dua jenis
kelamin ini. Perempuan mewakili sifat “alam” (nature) harus ditundukkan
agar mereka lebih berbuadaya (culture). Usaha membudayakan perempuan
tersebut
menyebabkan
terjadinya
proses
produksi
dan
reproduksi
ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan (Abdullah, 2006: 3).
“woman‟s body and its functions, more involved more the time with
“species life”, seem to place her close to nature, in contras to man‟s
psycology, which frees him more completely to take up the project of
culture” (Ortner, 1974: 73).
Sherry B. Ortner menyatakan bahwa tubuh perempuan dan fungsinya
lebih cenderung dengan “kehidupan”, menempatkan dirinya dekat dengan
alam, berbeda dengan laki-laki yang sepenuhnya bebas dengan proyek
budaya. Maksudnya, perempuan selalu diidentikkan dengan kehidupan. Ia
memiliki rahim, di dalam rahim tersebutlah sebuah kehidupan baru mulai
terbentuk dan tumbuh. Setelah sembilan bulan lalu janin tersebut keluar ke
dunia. Bayi yang sudah keluar dari rahim mendapatkan ASI (Air Susu Ibu)
agar dapat bertahan hidup dengan baik. Selain itu, perempuan juga memiliki
periode menstruasi setiap bulannya. Semua hal tersebut secara alami
dimiliki oleh perempuan.
“because of woman's greater bodily involvement with the natural
functions surrounding reproduction, she is seen as more a part of
nature than is man” (Ortner, 1974: 76).
Sherry B. Ortner juga mengemukakan bahwa tubuh perempuan yang
lebih hebat dengan fungsi alam sekitar reproduksi, ia lebih
sebagai bagian dari alam daripada pria.
dipandang
14
“Since men lack a “natural” basis (nursing, generalized to child care)
for a familial orientation, their sphere of activity is defined at level of
interfamilial relation. And hence, so the cultural reasoning seems to
go, men are the “natural” proprietors of religion, ritual, politics, and
other realms of cultural thought and action in which universalistic
statement of spiritual and social synthesis are made” (Ortner, 1974:
79).
Menurut Ortner, karena laki-laki tidak memiliki “natural” dasar untuk
orientasi keluarga, maka mereka membuat “natural” milik laki-laki yaitu
agama, ritual, politik, dan lain-lain. Tidak hanya dengan “culture”, laki-laki
juga diidentifikasikan dengan kreativitas sebagai lawan dari “nature”.
Implikasi dari perbedaan “nature” dan “nurture” tersebut adalah
terjadinya pemisahan sektor kehidupan. Perempuan yang diidentifikasikan
sebagai “nature”, dianggap sebagai orang yang berkaitan erat dengan sektor
domestik. Sedangkan laki-laki di tempatkan sebagai kelompok yang berhak
mengisi sektor publik. Ideologi semacam ini telah disahkan oleh berbagai
pranata dan lembaga sosial, yang ini kemudian menjadi fakta sosial tentang
status-status dan peran-peran yang dimainkan oleh perempuan (Abdullah,
2006: 4).
Terjadinya
keunggulan
laki-laki
terhadap
perempuan
karena
dikonstruksi oleh budaya yang dipengaruhi oleh peluang laki-laki yang lebih
besar untuk berperan aktif terhadap dunia luar. Laki-laki yang memiliki
akses yang lebih besar terhadap sektor produktif kemudian dikonstruksikan
untuk berperan sosial di sektor publik, sedangkan perempuan mempunyai
tugas mulia 4 (empat) M (menstruasi, mengandung, melahirkan, dan
menyusui) dikonstruksikan untuk berperan di sektor “sosial domestik”, yaitu
menguasai rumah tangga, anak dan melayani laki-laki (suami). Perempuan
yang baik dipresentasikan sebagai ibu maupun istri yang terkait dengan
rumah, anak, masakan, pakaian, kecantikan, kelembutan, dan keindahan
(Abdullah, 2006: 7).
Di dalam tatanan sosial yang dilandasi pada sistem hubungan yang
patriarkis, segala kegiatan perempuan dan persepsi masyarakat terhadap
status dan posisi perempuan, dilingkupi oleh nilai-nilai yang memihak
15
kepada pria. Nilai-nilai yang patriarkis tersebut diinternalisasikan dan
dilanggengkan melalui berbagai institusi sosial seperti lembaga politik,
pendidikan,
maupun
kepercayaan-kepercayaan,
sehingga
subordinasi
tersebut tidak dirasakan sebagai suatu sistem yang secara langsung sangat
menekan dan memojokkan perempuan (Abdullah, 2006: 84).
Pada sistem patriarki, laki-laki mengontrol kerja perempuan, baik di
dalam rumah maupun di luar rumah. Di dalam rumah, pekerjaan perempuan
berlangsung rutin dan melelahkan, dan pekerjaan jenis ini dianggap bukan
sebagai suatu pekerjaan sehingga perempuan tergantung pada suami. Di luar
rumah, dapat dilihat antara lain bahwa laki-laki menyisihkan perempuan
dari pekerjaan yang berupah tinggi (Hartman, 1979 dalam Partini, 2013:
15).
16
C. Kerangka Berpikir
“woman‟s body and its functions, more involved more the time with
“species life”, seem to place her close to nature, in contras to man‟s
psycology, which frees him more completely to take up the project of
culture” (Ortner, 1974: 73).
Sherry B. Ortner menyatakan bahwa tubuh perempuan dan fungsinya lebih
cenderung dengan “kehidupan”, menempatkan dirinya dekat dengan alam,
berbeda dengan laki-laki yang sepenuhnya bebas dengan proyek budaya.
“Since men lack a “natural” basis (nursing, generalized to child care) for a
familial orientation, their sphere of activity is defined at level of
interfamilial relation. And hence, so the cultural reasoning seems to go,
men are the “natural” proprietors of religion, ritual, politics, and other
realms of cultural thought and action in which universalistic statement of
spiritual and social synthesis are made” (Ortner, 1974: 79).
Menurut Ortner, karena laki-laki tidak memiliki “natural” dasar untuk
orientasi keluarga, maka mereka membuat “natural” milik laki-laki yaitu agama,
ritual, politik, dan lain-lain. Tidak hanya dengan “culture”, laki-laki juga
diidentifikasikan dengan kreativitas sebagai lawan dari “nature”.
Sebagai akibat dari adanya perbedaan nature dan culture ini menyebabkan
terjadinya pemisahan peran laki-laki dan perempuan. Perempuan lebih
diidentifikasikan berperan di sektor domestik, sedangkan laki-laki berada di sektor
publik.
Banyaknya siswa perempuan di SMA Negeri 2 Boyolali yang berhasil
menguasai peringkat sepuluh besar di kelas memperlihatkan bahwa perempuan
mampu menunjukkan kemampuannya untuk merambah sektor publik. Pada
kenyataan. Perolehan hasil prestasi belajar tersebut tidak semata-mata
menunjukkan keberhasilan perempuan di sektor publik, tetapi terdapat bias gender
yang medasarinya. Dominasi perempuan terhadap prestasi belajar hanyalah
bentuk lain dari bias gender. Perempuan mendapatkan peringkat yang tinggi
karena perhatian dan konsentrasi perempuan berada di lingkup domestik.
Perempuan banyak menghabiskan waktu di rumah untuk mengerjakan tugas-tugas
ibu yang di turunkan kepada anak perempuannya. Seperti menyapu, mengepel,
17
mencuci, dan kegiatan sejenisnya. Selain kegiatan tersebut, belajar di rumah juga
salah satu aktivitas yang digunakan perempuan untuk menghabiskan waktunya.
Berbeda dengan siswa laki-laki yang lebih banyak menghabiskan waktunya di
luar rumah (ruang publik). Mereka melakuan berbagai aktivitas seperti bermain
futsal, band, playstation, dan kegiatan serupa. Banyaknya aktivitas di luar rumah
yang di kerjakan, membuat siswa laki-laki menggunakan sedikit waktu di rumah
dengan beristirahat. Hal ini menyebabkan kurangnya waktu untuk belajar di
rumah.
Di dalam tatanan sosial yang dilandasi pada sistem hubungan yang
patriarkis, segala kegiatan perempuan dan persepsi masyarakat terhadap status dan
posisi perempuan, dilingkupi oleh nilai-nilai yang memihak kepada pria. Nilainilai yang patriarkis tersebut diinternalisasikan dan dilanggengkan melalui
berbagai institusi sosial seperti lembaga politik, pendidikan, maupun kepercayaankepercayaan, sehingga subordinasi tersebut tidak dirasakan sebagai suatu sistem
yang secara langsung sangat menekan dan memojokkan perempuan (Abdullah,
2006: 84).
Bias gender terus ada di dalam masyarakat karena ada pihak-pihak yang
melanggengkannya. Diantara pihak-pihak tersebut adalah keluarga dan sekolah.
Keduanya memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan karakter
individu. Keluarga yang merupakan tempat individu pertama kali mulai
berinteraksi, sudah membawa pengaruh bias gender melalui penurunan aktivitas
domestik
dan
publik
dari
orang
tua
kepada
anak-anaknya.
Sekolah
melanggengkan bias gender melalui berbagai komponen, salah satunya adalah
sumber belajar siswa. Sumber belajar siswa dapat diperoleh dari berbagai media.
Namun yang paling dekat dengan siswa adalah guru dan modul belajar.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti menyusun kerangka berpikir sebagai
berikut:
18
Teori Nature dan Nurture
Alam
Kebudayaan
Perempuan
Laki-laki
Domestik
Publik
Perbedaan Prestasi Belajar
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
Download