Economics Development Analysis Journal

advertisement
EDAJ 6 (1) (2017)
Economics Development Analysis Journal
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/edaj
ANALISIS
DETERMINAN
MENURUNNYA
NILAI
EKSPOR
MANUFAKTUR DI TENGAH PELEMAHAN NILAI TUKAR RUPIAH
Nanik Ika Nurhayati
Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel:
Diterima Desember 2016
Disetujui Januari 2017
Dipublikasikan Februari
2017
Indonesia menggunakan sistem kurs mengambang, terjadinya depresiasi nilai tukar dimana nilai
mata uang dalam negeri menurun dan nilai mata uang asing bertambah tinggi akan menyebabkan
ekspor meningkat. Depresiasi rupiah yang cukup tinggi seharusnya bisa meningkatkan daya saing
produk – produk ekspor Indonesia khususnya ekspor manufaktur yang memiliki kontribusi
terbesar bagi total ekspor, namun yang terjadi beberapa tahun terakhir justru sebaliknya. Momen
pelemahan nilai rupiah tidak bisa memacu meningkatnya nilai ekspor manufaktur Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data sekunder time series periode kuartalan 2006Q1-201Q3 yang
diperoleh dari Bank Indonesia, International Financial Statistics, dan World Bank. Teknik analisis
yang digunakan adalah metode OLS (Ordinary Least Square) dengan menggunakan alat bantuEViews 6. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah dan pertumbuhan GDP
negara tujuan ekspor mempunyai hubungan positif terhadap ekspor manufaktur namun tidak
berpengaruh secara signifikan. Sementara tingkat inflasi berhubungan negatif dan tidak signifikan
terhadap nilai ekspor manufaktur. Sedangkan impor bahan baku berpengaruh positif secara
signifikan terhadap ekspor manufaktur. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor indusri manufaktur
Indonesia masih bergantung pada bahan baku dari impor. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah
harus melakukan langkah terobosan strategis dalam jangka pendek guna meningkatkan ekspor
non-migas, terutama ekspor produk industri manufaktur yang merupakan produk ekspor bernilai
tambah tinggi.
________________
Keywords:
Kurs, export,
competitiveness, depreciation
___________________
Abstract
________________________________________________________________
Indonesia uses a system of floating exchange rates, the depreciation of the exchange rate where the value of
domestic currency declined and foreign currency exchange rate increases will cause exports to rise higher.
Depreciation is high enough should be able to improve product competitiveness - Indonesian export products,
especially manufacturing exports which have the largest contribution to total exports, but what happened the
last few years just the opposite. Moment of the weakening of the rupiah could not spur increased value of
manufacturing exports Indonesia. This study uses secondary data time series 2006Q1-201Q3 quarterly period
obtained from Bank Indonesia, International Financial Statistics, and the World Bank. The analysis
technique used is OLS (Ordinary Least Square) by using the tool bantuE-Views 6. The results of this study
indicate that the exchange rate and GDP growth in export destination countries have a positive relationship
towards manufacturing exports but not significantly. While the inflation rate is negatively related and no
significant effect on the value of manufacturing exports. Meanwhile, imports of raw materials significantly
positive effect on manufacturing exports. This indicates that exports of manufacturing indusri Indonesia still
relies on raw material imports. In this regard, the government should make strategic breakthrough step in the
short term in order to increase non-oil exports, particularly exports of manufacturing products which are high
value-added export products.
© 2017 Universitas Negeri Semarang
ISSN 2252-6765
Alamat korespondensi:
Gedung L2 Lantai 2 FE Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: [email protected]
72
Nanik Ika Nurhayati / Economics Development Analysis Journal 6 (1) (2017)
berkontribusi sebanyak 4% dengann nilai
USD 5,76 miliar, dan ekspor dari hasil sektor
lain sebanyak 1% dengan nilai US$ 1,40
miliar.
Indonesia menganut sistem kurs
mengambang,
jika
kurs
mengalami
depresiasi, yaitu nilai mata uang dalam
negeri menurun dan berarti nilai mata uang
asing bertambah tinggi kursnya (harganya)
akan menyebabkan ekspor meningkat dan
impor cenderung menurun (Sukirno, 2002).
Jadi apabila niai tukar mata uang rupiah
terhadap USD melemah akan meningkatkan
ekspor produk-produk Indonesia ke luar
negeri, hal ini karena jika dilihat dari sudut
pandang negara tujuan ekspor, harga produkproduk Indonesia cenderung lebih murah
dibanding produk-produk ekspor dari negara
lain, sehingga akan meningkatkan daya saing
ekspor Indonesia.
Sepanjang tahun 2014 hingga 2015
nilai tukar rupiah berfluktuasi dengan
kecenderungan melemah terhadap dollar AS
hingga menyentuh angka Rp 13.795. Dengan
terdepresiasinya rupiah terhadap dollar AS
banyak pihak yang mengharapkan jumlah
ekspor Indonesia dapat ditingkatkan, karena
dengan pelemahan rupiah, daya saing
produk Indonesia akan meningkat di pasar
dunia.
Namun,
kenyataannya
tidak
demikian. Kinerja ekspor manufaktur
Indonesia sebagai sektor yang memiliki
kontribusi terbesar bagi total ekspor
cenderung menurun jika dilihat dari
pergerakantahun 2011 dan mengalami
penurunan yang cukup signifikan hingga
akhir tahun 2015.
Kurang baiknya kinerja ekspor ini
tidak terlepas dari kondisi perekonomian
global yang tidak mendukung di tengah
pelemahan perekonomian di sejumlah
negara tujuan ekspor, serta turunnya harga
komoditas yang selama ini menjadi andalan
ekspor Indonesia. Adapun produk-produk
yang melalui proses manufaktur di Tanah
Air juga tidak terlalu menunjukkan
pertumbuhan ekspor yang positif selama
masa-masa penurunan nilai mata uang
PENDAHULUAN
Berdasarkan
teori
ekonomi,
perdagangan internasional yang terdiri dari
ekspor dan impor merupakan salah satu
kunci dari pertumbuhan ekonomi suatu
negara, disamping konsumsi, investasi, dan
pengeluaran pemerintah.Secara historis,
pertumbuhan ekonomi di negara-negara
maju sangat didukung oleh pertumbuhan
ekspor sehingga negara-negara tersebut
menguasai pangsa pasar dunia (Lubis, 2013).
Ekspor merupakan salah satu tolak
ukur penting untuk mengetahui seberapa
besar pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Dari kegiatan ekspor ini maka kegiatan bisnis
di sektor riil akan semakin terjaga. Produk
yang dihasilkan di dalam negeri tidak hanya
berputar di dalam negeri saja akan tetapi
dapat dijual di perdagangan internasional.
Oleh sebab itu dalam jangka panjang
kegiatan ekspor dapat menjadi pahlawan
devisa bagi pertumbuhan ekonomi negara
Nilai
ekspor
Indonesia
cukup
berfluktuasi selama sepuluh tahun terakhir.
Nilai ekspor terbesar terjadi pada tahun
2011, total nilai ekspor tersebut mencapai
US$ 203,6 miliar atau meningkat 29,1%
dibandingkan tahun 2010. Nilai tersebut dua
kali lebih besar dari nilai ekspor Indonesia
pada lima tahun sebelumnya yakni tahun
2006. Pencapaian ini sangat membanggakan
mengingat Indonesia adalah salah satu dari
sedikit yang mampu melipatgandakan nilai
ekspornya dalam kurun waktu lima
tahun.Namun, setelah pencapaian tinggi
tersebut, ekspor Indonesia justru mengalami
penurunan terus – menerus selama empat
tahun berikutnya. Total nilai ekspor tahun
2015 hanya sebesar US$ 148,4 miliar atau
turun 27,12% dibandingkan tahun 2011.
Komoditas yang memiliki kontribusi
terbesar terhadap total ekspor adalah ekspor
hasil manufaktur yang menyumbang 72%
dengan nilai USD 106,19 miliar. Posisi
kedua sebanyak 23% diperoleh dari hasil
pertambangan dengan nilai USD 33,68
miliar.
Selanjutnya
hasil
pertanian
73
Nanik Ika Nurhayati / Economics Development Analysis Journal 6 (1) (2017)
rupiah. Hal ini terkait dengan bahan baku
produk itu yang masih banyak tergantung
dari impor.
Perkembangan impor bahan baku
Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.
Impor bahan baku berkontribusi cukup besar
terhadap total impor. Dari total impor
produk industri pada 2012 senilai USD
189.14 miliar, sekitar 67% di antaranya
merupakan impor bahan baku. Impor bahan
baku mengalami lonjakan yang sangat
signifikan pada tahun 2014 – 2015 hingga
mempengaruhi total impor dan membuat
Neraca Perdagangan Indonesia defisit. Fakta
ini sangat mengkhawatirkan karena industri
manufaktur di dalam negeri memiliki
ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
bahan baku dari negara lain.
Momen pelemahan nilai tukar rupiah
tidak bisa memacu meningkanya nilai ekspor
manufaktur Indonesia. Berdasarkan uraian
tersebut di atas penulis tertarik untuk
melakukan penelitian yang diajukan dalam
skripsi ini dengan judul “ Analisis
Determinan Menurunnya Nilai Ekspor
Manufaktur Di Tengah Pelemahan Nilai
Tukar Rupiah”
Secara matematis model dasar yang
digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
EX_M= f (REER,INF,IM_BB,GDP_IM)
…………………………………………(1)
Dimana :
EX_M
: Ekspor Manufaktur Indonesia
REER
: Nilai tukar
INF
: Inflasi
IM_BB
: Impor bahan baku
GDP_IMP : GDP importir
Sehingga persamaannya :
EX_M = a0+ ß1 REER+ ß2 INF+ ß3 IM_BB
+ ß4 GDP_IM + Ui …………...……(2)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sektor industri diharapkan dapat
menjadi
motor
penggerak
bagi
perekonomian nasional. Hal ini mengigat
berbagai kekayaan sumber daya alam
Indonesia
yang
memilki
keunggulan
komparatif adalah produk primer yang perlu
diolah menjadi produk industri manufaktur
untuk meningkatkan nilai tambah. Menurut
Kemenperin, kontribusi industri manufaktur
harus setidaknya 40% terhadap PDB. Jika
angka tersebut tercapai, Indonesia baru bisa
mengaku sebagai negara dengan industri
yang kuat.Kontribusi tersebut merupakan
yang tertinggi di antara sektor lainnya.
Mengenai perkembangan
ekspor
terkini, posisi nilai ekspor Indonesia pada
tahun 2015 mencapai USD 148.36 miliar
yang ditopang oleh ekspor hasil manufaktur
USD 106.19 miliar atau memberikan
kontribusi sekitar 72% terhadap total ekspor.
Posisi total ekspor tersebut mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2011 sebesar
22.3%, yaitu dari USD 191.11 miliar dan
ekspor hasil manufaktur juga mengalami
penurunan sebesar 8.32%, yaitu dari USD
115.82 miliar.
Nilai
tukar
rupiah
mengalami
fluktuasi dengan kecenderungan melemah
terhadap US dolar. Dalam lima tahun
tersebut rupiah mengalami nilai terkuatnya
METODE PENELITIAN
Data
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah data time series periode
kuartalan dengan periode 2006 Q1- 2015 Q4
sampel waktu dari bulan Januari 2006 –
Desember 2015. Sumber data diperoleh dari
laporan bulanan dan laporan tahunan yang
dipublikasikan oleh Bank Indonesia, IFS
(International Financial Statistic), dan World
Bank.Menggunakan metode analisis Ordinary
Least Square (OLS). Pengolahan data
menggunakan Eviews 6.0, selain itu juga
digunakan software Microsoft Excel sebagai
software pembantu dalam mengkonversi data
kedalam bentuk baku yang disediakan oleh
sumber kedalam bentuk yang lebih
representatif untuk digunakan pada software
utama dengan tujuan untuk meminimalkan
kesalahan.
74
Nanik Ika Nurhayati / Economics Development Analysis Journal 6 (1) (2017)
pada angka Rp 8,560 /USD di tahun 2011
kuartal III dan nilai terlemahnya pada angka
Rp 13,850/USD di tahun 2015 kuartal III.
Dengan kata lain, pada tahun 2015 nilai
tukar rupiah melemah sebesar 61,80%
terhadap dolar Amerika dibandingkan tahun
2011.
Perkembangan inflasi menunjukkan
pergerakan yang fluktuatif. Pada awal tahun
2006 inflasi berada pada titik tertinggi dalam
kurun waktu 2006-2015 yakni sebesar
16.90%.
Inflasi kembalik naik pada
pertengahan tahun 2008
yaitu sebesar
11.96%. Berdasarkan jenisnya maka inflasi
pada tahun tersebut termasuk dalam
Galloping Inflation atau inflasi dua digit,
dimana orang mulai ragu, daya beli menurun
dan mata uang akan menurun nilainya.
Inflasi mulai stabil pada tahun 2009 sampai
2015 dengan tingkat 2.29% - 7.76%. Dalam
kegiatan ekspor barang, inflasi berdampak
pada biaya produksi barang, pajak, bea
cukai, serta entries barrier lain dalam
melakukan perdagangan antar negara.
Dalam keadaan inflasi daya saing ekspor pun
akan berkurang
Indonesia memiliki sepuluh negara
tujuan terbesar untuk hasil ekspor hasil
industri manufaktur, diantaranya : Amerika
serikat, Tiongkok, Jepang, Singapura, India,
Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Belanda
dan Australia. Amerika Serikat merupakan
negara tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia
diikuti Tiongkok dan Jepang.Diantara 10
negara tersebut, Amerika Serikat adalah satusatunya negara yang memiliiki trend positif
dalam pertumbuhan nilai impornya dari
Indonesia untuk ekspor hasil manufaktur.
Ekspor suatu negara adalah impor
negara lain. Dengan harga dianggap tetap,
ekspor tergantung dari pendapatan luar
negeri bukan pendapatan nasional negara
tersebut( Nopirin, 2010:241). Artinya,
permintaan akan ekspor Indonesia salah
satunya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
negara importir. Pendapatan suatu negara
disebut juga GDP (Gross Domestic Bruto)
sebagai parameter pertumbuhan ekonomi
secara global.
Setelah dilakukan pengujian asumsi
klasik, maka dapat dinyatakan model regresi
linear yang digunakan yang digunakan
terbebas dari penyakit atau dapat memenuhi
syarat untuk mengasilkan estimasi yang baik
atau dikenal dengan BLUE. Hasil regresi
dengan Metode Least Square maka hasilnya
sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Regresi
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
GDP_GR
INF
LNIM_BB
LNREER
C
0.003733
-0.006706
0.654444
0.034372
2.867206
0.004791
0.003164
0.032551
0.074106
0.705021
0.779119
-2.119213
20.10507
0.463830
4.066836
0.4411
0.0412
0.0000
0.6456
0.0003
R-squared
Adjusted R-squared
F-statistic
Prob(F-statistic)
Durbin-Watson stat
0.939873
0.933001
136.7742
0.000000
1.052849
Sumber : olah data E-views.
75
Nanik Ika Nurhayati / Economics Development Analysis Journal 6 (1) (2017)
Dari hasil regresi tersebut, dapat
diperoleh persamaan sebagai berikut :
LNEX_M = 2.867206 + 0.034372 REER –
0.006706 INF + 0.654444 LNIM_BB +
0.003733
LNGDP_GR…………………………………
………………………………….(3)
Hasil regresi dari pengaruh nilai
tukar, inflasi, impor bahan baku, dan
pertumbuhan
GDP
terhadap
ekspor
2
manufaktur munjukkan nilai R sebesar
0.939873. Artinya, 93,99% nilai ekspor
manufaktur dapat dijelaskan oleh variabel
nilai tukar, inflasi, impor bahan baku, dan
pertumbuhan GDP importir, sementara
6.01% dijelaskan oleh variabel – variabel lain
di luar model.
Hasil
regresi
pada
tabel
1.
Menunjukkan nilai probabilitas F-statistic
bahan baku yang berasal dari luar negeri.
Dimana neraca pembayaran Indonesia
pernah mengalami defisit anggaran pada
tahun 2012 karena lonjakan nilai impor
bahan baku, bahan penolong dan modal.
Berdasarkan hasil regresi didapatkan
bahwa pertumbuhan GDP negara importir
berpengaruh positif namun tidak signifikan
terhadap ekspor manufaktur. .Hal ini belum
membuktikan teori dimana ekspor suatu
negara adalah impor negara lain. Dengan
harga dianggap tetap, ekspor tergantung dari
pendapatan luar negeri bukan pendapatan
nasional
negara
tersebut(
Nopirin,
2010:241). Tidak terpenuhinya kondisi ini
pada ekspor manufaktur Indonesia beberapa
tahun terakhir lebih kepada kurangnya daya
saing yang dimiliki, dimana produk – produk
yang dihasilkan kurang kompetitif
sebesar 0.0000 signifikan pada  = 1%.
Artinya nilai tukar, inflasi, impor bahan
baku, dan pertumbuhan GDP importir
secara bersama-sama berpengaruh signifikan
terhadapekspor manufaktur.
Berdasarkan hasil analisis dijelaskan
bahwa variabel nilai tukar berpengaruh
negatif namun tidak signifikan dengan
koefisien sebesar 0.034372 terhadap ekspor
manufaktur.Artinya nilai tukar tidak
memilki pengaruh yang signifikan terhadap
nilai ekspor manufaktur Indonesia.Hal ini
menunjukkan bahwa nilai tukar belum
mampu mempengaruhi peningkatan nilai
ekspor manufaktur.
Hasil dari analisis menunjukkan
bahwa inflasi berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap ekspor manufaktur
dengan
koefisien
-0.006706.Dimana
kenaikan 1% tingkat inflasi dalam negeri
akan menurunkan nilai ekspor manufaktur
Indonesia sebesar 0.0067 USD.
Impor bahan baku berpengaruh positif
secara
signifikan
terhadap
ekspor
manufaktur
dengan
koefisien
0.654444.Impor bahan baku yang terbukti
berpengaruh secara signifikan terhadap
ekspor manufaktur menunjukkan bahwa
industri kita masih sangat bergantung pada
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian data
mengenai Analisis Determinan Menurunnya
Ekspor manufaktur di tengah pelemahan
Nilai tukar Rupiah, diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
Variabel nilai tukar berpengaruh
negatif namun tidak signifikan terhadap
ekspor manufaktur Indonesia. Hal ini
menunjukkan
bahwa
kinerja
ekspor
manufaktur Indonesia tidak bergantung pada
tingkat nilai tukar, sehingga saat nilai tukar
mengalami depresiasi sekalipun, hal tersebut
tidak
membuat
ekspor
manufaktur
mengalami peningkatan.
Variabel inflasi berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap nilai ekspor
manufaktur Indonesia. Adanya peningkatan
inflasi akan menurunkan nilai ekspor
manufaktur Indonesia.
Variabel
impor
bahan
baku
berpengaruh positif dan signifikan terhadap
ekspor manufaktur. Apabila, impor bahan
baku mengalami kenaikan maka ekspor
manufaktur akan meningkat. Hal ini karena
sebagian besar bahan baku untuk industri
manufaktur masih bergantung pada impor.
76
Nanik Ika Nurhayati / Economics Development Analysis Journal 6 (1) (2017)
Variabel pertumbuhan GDP importir
atau negara tujuan ekspor berpengaruh
positif namun tidak signifikan terhadap
ekspor manufaktur Indonesia.
Variabel independen yang terdiri dari
nilai tukar, inflasi, impor bahan baku dan
pertumbuhan GDP importir secara bersama
– sama berpengaruh signifikan dan statistik
terhadap ekspor manufaktur Indonesia.
Terjadinya depresiasi nilai tukar
belum mampu meningkatkan ekspor
manufaktur di Indonesia. Daya saing produk
hasil
manufaktur
masih
rendah
dibandingkan produk dari negara lain.
Sektor industri manufaktur Indonesia lebih
bergantung pada bahan baku yang diperoleh
dari impor. Hal ini akan menyulitkan
produsen atau pelaku usaha manufaktur saat
terjadi kenaikan harga bahan baku impor.
Faktor
tersebut
menyebabkan
membengkaknya biaya produksi sehingga
harga produk hasil manufaktur kita sulit
bersaing di pasar internasional. Akan lebih
baik
jika
pemerintah
mengusahakan
penyediaan
bahan
baku
melalui
pengembangan industri subtitusi dalam
negeri, selain akan menekan biaya produksi
juga akan mengurangi tingkat impor bahan
baku.
Pemerintah harus terus mengajak
para pelaku sektor riil, khususnya pelaku
usaha dan eksportir industri manufaktur
untuk bersinergi dengan pemerintah untuk
melakukan langkah terobosan strategis
dalam jangka pendek guna meningkatkan
ekspor, terutama ekspor produk industri
manufaktur yang merupakan produk ekspor
bernilai tambah tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Adisaputro,
Gunawandan
Marwan
Asri,
2003.Anggaran Perusahaan, Buku 1,
Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Bank Indonesia.2016.Statistik Ekonomi dan
Keuangan
Indonesia
(online).
(www.bi.go.id)
Basri, Faisal, 2002, Perekonomian Indonesia:
Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan
Indonesia, Erlangga :Jakarta
Boediono, 2001.Ekonomi Makro. Edisi-4.penerbit
BPFE: Yogyakarta.
Deliarnov, Nicholson, Walter. 2005, Teori
Ekonomi Mikro I, Terjemahan Deliarnov,
Rajawali.:Jakarta
Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional,
alih bahasa oleh Haris Munandar edisi 5
cetak 1. Erlangga :Jakarta
Gujarati, Domodardan Porter, C. Dawn. 2010.
Dasar-dasar ekonometrika. Salemba Empat:
Jakarta
Krugman R. Paul danObstfeld Maurice,
2005.Ekonomi Internasional Teori dan
Kebijakan Jilid 2. Rajawali Pers: Jakarta
[penerjemah: Dr. Faisal H Basri,SE.
M.Sc]
Kuncoro, Mudrajat, 2007. Ekonomika Industri
Indonesia: Menuju Negara Industri Baru 2030,
Andi, Yogyakarta.
International Monetary Fund. 2016. International
Financial Statistics (online). (www.imf.org)
Lipsey, R. G., P. N. Courant, D. D. Purvis, dan
P. O. Steiner. 1995. Pengantar Makro
Ekonomi. Erlangga: Jakarta.
Lubis, Andrian D. 2013.Analisis Faktor yang
Mempengaruhi
Kinerja
ekspor
Indonesia.Penelitian pada Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perdagangan Luar Negeri.
Jakarta
Nopirin, 2000. Pengantar Ilmu Ekonomi Makrodan
Mikro. BPFE UGM. Yogyakarta.
Nopirin. 2010. Ekonomi Internasional Ed.3.
Yogyakarta: BPFE
77
Download