BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kesejahteraan Psikis
Menurut Ryff (dalam Papalia, Sterns, & Feldman, 2002) mendefinisikan
kesejahteraan psikis sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif
terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah
lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan
kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup menjadi lebih bermakna, serta
berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan diri-nya.
Selanjutnya, Ryff (1993) mengatakan bahwa kesejahteraan psikis sebagai unsur
penting yang menunjang perkembangan individu secara positif. Adapun keenam dimensi
yang membentuk kesejahteraan psikis menurut Ryff (1993), yaitu:
1. Penerimaan Diri, berkaitan erat dengan bagaimana individu menerima dirinya pada masa
kini dan masa lalunya, juga sikap-sikap positif yang dilakukan terhadap dirinya sendiri.
Individu dapat dikatakan memiliki nilai penerimaan diri yang baik, senang dan bahagia akan
kenangan masa lalu-nya. Apabila individu tersebut tidak mempunyai nilai penerimaan diri
yang baik, maka individu tersebut akan merasa tidak puas terhadap diri-nya saat ini dan
berharap ingin menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri.
2. Hubungan positif dengan yang lain, berkaitan erat dengan perasaan empati dan afeksi
individu dengan orang lain, serta mempunyai minat yang besar untuk membina hubungan
yang positif dengan orang lain. Dengan cara saling berbagi dan saling mengerti satu sama
lain, sebaliknya orang yang tidak memiliki nilai hubungan positif dengan yang lain seringkali
ditandai dengan perilaku tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap
asertif, terisolasi dan frustasi dalam membina hubungan interpersonal.
3. Otonomi, berkaitan erat dengan rasa kebebasan yang dimiliki individu untuk terlepas dari
norma yang mengatur kehidupan sehari-hari. Dalam artian individu yang memiliki nilai
otonomi yang baik dapat menentukan segala sesuatu dengan tepat bagi dirinya seorang diri
dan mandiri, mampu mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan orang lain.
Sebaliknya orang yang tidak memiliki nilai otonomi yang baik terus berpegangan pada
penilaian orang lain untuk membuat keputusan.
4. Penguasaan lingkungan, berkaitan erat dengan bagaimana kemampuan individu untuk
memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikisnya. Mampu
menciptakan perbaikan pada lingkungan dan melakukan perubahan yang dibutuhkan demi
menunjang aktifitas fisik dan mental. Sebaliknya orang yang tidak mempunyai nilai
penguasaan lingkungan akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa
putus asa dan tidak mampu untuk mengubah lingkungan di sekitarnya.
5. Tujuan hidup, berkaitan erat dengan individu yang menyadari bahwa ia memiliki tujuan
tertentu yang harus diraih dalam hidup, serta mampu memberikan makna pada hidup yang di
jalaninya, mempunyai keterarahan yang baik dalam hidup dan memiliki keyakinan yang
mendukung tujuan hidup. Sebaliknya individu yang tidak memiliki tujuan hidup akan
cenderung kehilangan arah dan tidak dapat melihat makna dalam hidupnya.
6. Pertumbuhan individu, berkaitan erat dengan individu memiliki keinginan yang besar
untuk mengembangkan potensi dirinya. Kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan
perspektif utama dalam dimensi pertumbuhan individu,
terbuka terhadap pengalaman-
pengalaman baru, serta memiliki kemampuan dalam menyadari potensi yang dimiliki.
Sebaliknya individu yang tidak memiliki nilai pertumbuhan individu akan mengalami
stagnasi, ketidakmampuan dalam melihat peningkatan/pengembangan diri yang ada dan
kehilangan minat terhadap kehidupannya.
Karyawan yang memberikan informasi tentang kepuasan hidup dan pekerjaan mereka
akan lebih kooperatif dan lebih membantu teman serumpunnya dalam pekerjaannya, akan
menjadi lebih patuh dan disiplin, bekerja lebih lama dan bertahan lebih lama di perusahaan
daripada pekerja yang tidak memiliki kepuasan dalam bekerja (Spector, 1997). Wright &
Bowett (1997) mengatakan bahwa karyawan yang produktif dan bahagia secara psikis, dalam
mengerjakan tugas-nya akan menghasilkan hasil yang lebih baik dan energi yang positif
untuk lingkungan-nya, dan secara tidak langsung juga akan mendapatkan perlakuan yang
lebih baik dari para atasan-nya.
Merujuk pada teori kesejahteraan psikis menurut Ryff (1993), peneliti mengartikan
konsep kesejahteraan psikis adalah suatu kondisi dimana individu tersebut mampu menerima
kelebihan dan kekurangan diri apa adanya, mampu mengembangkan potensi dirinya, mampu
menciptakan lingkungan yang sejalan dengan kondisi psikisnya, mempunyai tujuan hidup
yang jelas untuk masa depannya dan juga mempunyai kapasitas untuk mengambil keputusan
tanpa tekanan dan campur tangan orang lain.
Sedangkan menurut Liputo (2009), ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh
terhadap kesejahteraan psikis individu, adapun faktor-faktor tersebut adalah:
1) Dukungan Sosial
Dukungan yang berasal dari lingkungan dapat mendukung penerima dalam mencapai tujuan
dan kesejahteraan hidup.
2) Ideologi Peran Jenis Kelamin
Sejumlah penelitian mengatakan adanya kaitan yang erat antara peran yang dijalankan dalam
kehidupan sehari dengan kesejahteraan psikis. Ditemukan bahwa istri yang menjalani hidup
secara tradisional mengalami beban peran berlebih dan mengalami depresi yang lebih tinggi,
dibandingkan dengan perempuan modern. Dan wanita yang menjalani peran wanita secara
tradisional menunjukkan stress yang berlebih dan seringkali memperlihatkan ketidakpuasan
hidup.
3) Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi juga turut serta mempengaruhi kesejahteraan psikis seseorang. Seperti
besar pendapatan keluarga, jenjang pendidikan yang tinggi, keberhasilan pekerjaan dan status
sosial di masyarakat.
4) Religiusitas
Berkaitan dengan segala persoalan hidup, individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi
lebih mampu memaknai kejadian hidup-nya secara positif sehingga hidupnya menjadi jauh
lebih bermakna.
2.2 Keterikatan Karyawan
Menurut Ott (2007), keterikatan karyawan pada pekerjaaan merupakan kunci
keberhasilan dan profitabilitas organisasi. Keterikatan karyawan meliputi kepuasan karyawan
terhadap pekerjaan (Robbins dan Judge, 2009). Dengan demikian manajemen perlu
mengarahkan perhatiannya pada upaya bagaimana meningkatkan komitmen dan kemampuan
karyawan. Namun kemudian disadari bahwa dengan menumbuhkan keterikatan karyawan,
organisasi dapat meningkatkan kualitas, produktivitas dan efisiensi operasional lebih tinggi.
Perrin’s Global Workforce Study (2003) mendefinisikan
keterikatan karyawan sebagai
kesediaan dan kemampuan karyawan untuk mewujudkan keberhasilan organisasi dalam
mencapai tujuan, dengan cara memberikan konstribusi pemikiran dan upaya berkelanjutan.
Berdasarkan studi dinyatakan bahwa keterikatan karyawan dengan organisasi dibentuk oleh
keterikatan emosional dan faktor rasional yang berhubungan dengan pengalaman kerja dan
lingkungan kerja.
Sedangkan Robinson et.al., (2004) mendefinisikan keterikatan karyawan sebagai
sikap positif individu karyawan terhadap organisasi dan nilai organisasi. Seorang karyawan
yang memiliki tingkat keterikatan tinggi
pada organisasi memiliki pemahaman dan
kepedulian terhadap lingkungan operasional organisasi, mampu bekerja sama untuk
meningkatkan pencapaian unit
kerja/organisasi
melalui
kerja sama antara individu
karyawan dengan manajemen. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa keterikatan individu
berkorelasi positif dengan pencapaian kinerja unit kerja/organisasi, tingkat retensi karyawan,
profitabilitas, kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, keamanan pelanggan dan daya saing
organisasi dalam industri.
Meere (2004) mengungkapkan bahwa data 360.000 karyawan dari 41 perusahaan
yang berlokasi di sepuluh negara dengan kondisi ekonomi kuat, keterikatan karyawan yang
rendah menurunkan pencapaian penghasilan. Sementara hasil studi Financial News (Maret,
2001), sebagaimana dilaporkan oleh Accord Mangement Systems (2004) menyatakan bahwa
keterikatan karyawan yang rendah antara lain ditunjukkan oleh tingkat absensi rata-rata 3,5
hari per tahun.
Schmidt (2004) mendefinisikan keterikatan karyawan adalah gabungan dari kepuasan
dan komitmen kerja, dimana kepuasan lebih mengacu pada elemen sikap, sedangkan
komitmen lebih mengacu pada elemen motivasi dan fisik. Keterikatan karyawan yang baik
akan dapat memotivasi pekerja untuk dapat berkerja melebihi apa yang diharapkan. Menurut
Federman (2009) keterikatan karyawan adalah derajat dimana seorang karyawan mampu
berkomitmen pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut ditentukan pada
bagaimana mereka bekerja dan seberapa lama mereka bekerja.
Sedangkan Schaufeli & Bakker (2004) mendefinisikan keterikatan karyawan sebagai
suatu hal yang positif, memuaskan, sikap pandang yang berkaitan dengan pekerjaan yang
ditandai oleh vigor, dedication, dan absorption. Keterikatan karyawan mengacu pada kondisi
perasaan dan pemikiran yang sungguh-sungguh dan konsisten yang tidak hanya berfokus
pada objek, peristiwa, individu atau perilaku tertentu.
Aspek-aspek dalam keterikatan karyawan (Schaufeli, Salanova & Bakker, 2002;
Schaufeli & Bakker, 2004) yaitu vigor, dedication dan absorption. (1)Vigor, ditandai oleh
tingginya tingkat kekuatan dan resiliensi mental dalam bekerja, kesediaan untuk berusaha
dengan sungguh-sungguh dalam suatu pekerjaan serta adanya sikap gigih dalam menghadapi
berbagai kendala. (2)Dedication, ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias,
inspirasi, kebanggaan dan tantangan. (3)Absorption, ditandai dengan penuh konsentrasi dan
minat yang mendalam terhadap pekerjaan, waktu terasa berlalu begitu cepat dan individu
sulit melepaskan diri dari pekerjaan.
Menurut Saks (2006) hasil penelitian menunjukkan bahwa keterikatan karyawan
berpengaruh pada nilai-nilai penting dalam perusahaan yang berdampak pada produktivitas.
Hal ini juga berpengaruh terhadap keuntungan organisasi, kepuasan, kesetiaan pelanggan,
retensi atau turnover karyawan serta keamanan. negatif terhadap tingkat ketidakhadiran
karyawan. Dan berkorelasi positif terhadap peningkatan kepuasan kerja, komitmen terhadap
organisasi.
Schaufeli (2000) mengungkapkan bahwa keterikatan karyawan selalu mengacu pada
keterlibatan, komitmen, antusiasme, fokus dalam berusaha dan energi. Hal yang terlihat jelas
dari karyawan yang memiliki keterikatan di perusahaan ditandai dengan keterlibatan secara
emosi dan pernyataan bahwa Ia berada di jalur yang sama, yang terlihat dari etika kerja-nya.
Penelitian lanjutan Schmidt & Hayes (2002) juga menyimpulkan bahwa mereka telah
mengumpulkan semua bukti-bukti yang mengacu pada keterikatan karyawan. Berdasarkan
hal tersebut, keterikatan karyawan dapat tumbuh jika karyawan memiliki kesejahteraan psikis
yang baik saat bekerja. Disamping itu kesejahteraan psikis yang baik pada saat bekerja juga
akan meningkatkan keuntungan yang didapat melalui adanya daya produktivitas yang lebih
tinggi. Dan, didukung oleh Langelaan (2006) bahwa hanya dengan dukungan kesejahteraan
psikis yang baik, karyawan baru mampu untuk tetap bertahan serta mencintai perusahaan
dimana Ia berkerja.
Menurut
Harter
(2002)
konsep
keterikatan
karyawan
telah
banyak
dikonseptualisasikan oleh banyak pakar, seperti:
1)
Keterikatan karyawan mempunyai 3 aspek penting: (a) Kognisi – percaya dan
mendukung visi, misi dan nilai yang dianut oleh perusahaan. (b) Afeksi – tumbuh-nya
rasa mempunyai, bangga dan melekat dengan perusahaan. (c) Sikap – keinginan untuk
pergi lebih jauh dan tetap bersama dengan perusahaannya. (Harter, 2002)
2)
Hewitt (1998): karyawan yang terikat secara konsisten menunjukkan tiga sikap
umum. Mereka: (a) Berkata (Say) – secara konsisten mengatakan hal-hal yang positif
tentang perusahaan-nya kepada rekan kerja-nya. (b) tinggal ( Stay) - mempunyai
keinginan yang besar untuk tetap bersama perusahaan, meski ada beberapa pilihan
lain untuk kerja di perusahaan lain. (c )Meraih ( Strive)- menambahkan waktu lebih,
usaha dan inisiatif yang berkontribusi terhadap kesuksesan bisnis perusahaan.
3)
Towers Perrin (2000): keterikatan karyawan disadari dengan adanya emosi positif
yang mencerminkan perilaku kerja karyawan.
4)
Mercer (2006): keterikatan karyawan atau dapat disebut juga sebagai komitmen dan
motivasi yang mengacu pada kondisi psikis dimana karyawan merasa tertarik dengan
kesuksesan perusahaan. Hal ini didukung dengan adanya standar kerja yang tinggi
disaat bekerja.
Dari hasil kajian literatur, peneliti berpendapat bahwa semua definisi dari keterikatan
karyawan yang diungkapkan oleh pakar diatas adalah tepat, tetapi yang paling sesuai dengan
kriteria peneliti dalam penelitian ini adalah definisi keterikatan karyawan menurut Perrin’s
Global Workforce Study (2003) yang mendefinisikan bahwa keterikatan karyawan sebagai
kesediaan dan kemampuan karyawan untuk mewujudkan keberhasilan organisasi dalam
mencapai tujuan, dengan cara memberikan konstribusi pemikiran dan upaya berkelanjutan,
karena peneliti juga beranggapan bahwa definisi praktis dari keterikatan karyawan ditandai
dengan kesediaan dan kemampuan karyawan untuk membawa organisasi semakin
berkembang, dengan memberikan kontribusi tenaga dan pikiran.
Download