BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Teori Kebijakan Publik-Subsidi Mahzab neoklasik ekonomi modern mendasarkan perekonomian seperti pasar persaingan sempurna, yakni terjadi efisiensi paling optimal dalam perekonomian dengan efisiensi penggunaan sumber daya juga terciptanya harga dan kuantitas produksi dalam keseimbangan sehingga intervensi pemerintah tidak diperlukan. Namun kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Perekonomian di negara manapun tidak selalu dalam kondisi keseimbangan yang mengakibatkan terjadinya kegagalan pasar. Maka diperlukan intervensi dari pemerintah dalam menanggulangi kegagalan pasar tersebut. Salah satu cara untuk menanggulangi kegagalan pasar tersebut adalah dengan keberadaan subsidi. Subsidi adalah salah satu kebijakan pemerintah dalam rangka membantu suatu usaha atau untuk menjaga stabilitas harga bagi kepentingan masyarakat. Menurut Suparmoko (2003), subsidi dapat bersifat langsung (dalam bentuk tunai, pinjaman bebas bunga, dan lain-lain) atau tidak langsung (pembebasan penyusutan, potongan sewa, dan lain-lain). Subsidi diantaranya dapat berupa: subsidi produksi, pemerintah menutup sebagian biaya produksi untuk mendorong peningkatan output produk tertentu dan untuk menekan harga; subsidi pendapatan, diberikan pemerintah melalui transfer pemerintah untuk meningkatkan standar hidup minimum sebagian kelompok tertentu. Menurut Kamaludin (2003), meskipun subsidi ini memiliki kebaikan bagi usaha-usaha dan kepentingan masyarakat, tetapi subsidi juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: a. Subsidi dapat mengakibatkan hubungan persaingan yang tidak adil antara berbagai kegiatan usaha, karena pendistribusiannya tidak dapat dilakukan secara adil dan merata. b. Subsidi dapat menyebabkan pemborosan baik dalam investasi modal maupun fasilitas yang berlebihan. c. Subsidi dapat menyebabkan ketidakadilan antara pemakai jasa dan pembayar pajak yang tidak langsung merasakan manfaatnya. 11 Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, pemerintah harus bisa melihat usaha atau kegiatan mana yang pantas untuk mendapatkan subsidi yang lebih besar dan usaha atau kegiatan mana yang harus dikurangi subsidinya. Contoh pemberian subsidi di Indonesia adalah subsidi pupuk bagi petani, subsidi pendidikan dan kesehatan, serta subsidi bahan bakar minyak bagi nelayan dan masyarakat. 2.1.1.1 Subsidi dan Elastisitas Subsidi akan menggeser kurva permintaan ke atas untuk konsumsi bersubsidi (subsidized consumption) atau kurva penawaran ke bawah untuk produksi bersubsidi (subsidized production) Pengaruh kedua jenis subsidi ini pada kurva permintaan dan penawaran dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. P S D D’ Sumber: Spencer dan Amos (1993) Gambar 1. Q Pengaruh Konsumsi Bersubsidi Pada Gambar 1 konsumsi bersubsidi menggeser kurva permintaan D ke atas menjadi kurva permintaan D’. Di mana semakin banyak barang atau jasa dijual dengan harga subsidi akan semakin banyak jumlah permintaan konsumen terhadap barang atau jasa tersebut. Permintaan akan barang bersubsidi bergeser ke kanan atas karena daya beli masyarakat akan barang tersebut menjadi menguat. Harga barang tersebut menjadi lebih murah jika dibandingkan dengan harga tanpa disubsidi. Kecenderungan masyarakat untuk membeli barang tersebut juga meningkat karena harganya yang lebih terjangkau dan ketersediaan barang tersebut di masyarakat. 12 P S S’ D Q Sumber: Spencer dan Amos (1993) Gambar 2. di mana: Pengaruh Produksi Bersubsidi P = harga Q = permintaan untuk produk tertentu S = kurva penawaran awal S’ = kurva penawaran akhir D = kurva permintaan awal D’ = kurva permintaan akhir Pada Gambar 2, produksi bersubsidi menggeser kurva penawaran S ke bawah menjadi kurva penawaran S’. Di mana semakin banyak barang atau jasa bersubsidi semakin banyak jumlah barang atau jasa tersebut yang ditawarkan. Jika kedua Gambar tersebut digabung menjadi kurva baru, akan menghasilkan ekuilibrium baru yang lebih besar. 2.1.2 Pemerintah Sebagai Penyedia Barang Publik Menurut Stiglitz (1999), suatu barang dikategorikan sebagai barang publik jika memenuhi salah satu atau kedua karakteristik sebagai berikut: a. Non rival consumption, yaitu barang yang dapat dikonsumsi oleh individu tanpa mengurangi kesempatan bagi individu lain untuk mengonsumsinya, atau dapat dikonsumsi secara bersama-sama. b. Non exclusion, yaitu tidak ada yang dapat menghalangi seseorang untuk mengonsumsi barang tersebut. Jika kedua karakteristik tersebut ada pada sebuah barang, maka barang tersebut merupakan barang publik murni (pure public goods). Sedangkan barang yang hanya memiliki salah satu karakteristik dari kedua karakteristik tersebut, 13 atau properti lain (dapat dikonsumsi bersama atau tidak dapat dikecualikan) pada tingkat tertentu, maka barang tersebut merupakan barang publik tidak murni (impure public goods). Secara faktual pemerintah menyediakan sarana dan prasarana di sektor pendidikan dan di sektor kesehatan, karena kedua sektor ini memenuhi kriteria barang swasta yang disediakan secara publik (Stiglitz, 1999). Kekurangan penyediaan saran dan prasarana di sektor pendidikan dan di sektor kesehatan biasanya dipenuhi oleh pihak swasta. Namun untuk menghindari adanya free rider yang dapat menyebabkan tidak efisiennya penyediaan barang di sektor tersebut, maka penyediaan sarana dan prasarana oleh pihak swasta tidak lagi menganut prinsip barang publik, tetapi menganut prinsip barang swasta. Penyediaan barang publik dapat dilakukan secara publik maupun oleh pemerintah. Namun penyediaan barang publik yang dilakukan secara pribadi akan menimbulkan free rider, yang dapat menyebabkan penyediaan barang tersebut menjadi tidak efisien. Timbulnya free rider disebabkan karena sifat dari barang publik yang memberikan eksternalitas positif bagi orang lain, namun mereka enggan untuk berpartisipasi dalam penyediaan barang publik tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah dianggap pihak yang paling tepat untuk menyediakan barang publik bagi masyarakat. Manusia akan berupaya untuk memenuhi tingkat tertinggi dari utilitasnya, sehingga akan memilih barang publik atau barang swasta berdasarkan marginal rate of substitution (MRS) yang merupakan slope dari kurva indiferennya. Namun setiap individu memiliki keterbatasan anggaran, yang besarnya adalah: Y= C + PG Di mana T adalah pendapatan, C adalah konsumsi barang swasta dan P adalah harga yang harus dibayarkan untuk mengonsumsi setiap unit barang publik. G adalah jumlah barang publik yang disediakan. 14 Sumber: Stiglitz (1999) Gambar 3. Ilustrasi Kurva Indiferen Barang Publik dan Barang Swasta Gambar 3 adalah ilustrasi kurva indiferen barang publik dan barang swasta. Secara grafis, utilitas maksimum yang dapat dicapai dari setiap individu adalah di titik E pada gambar yang atas, yaitu titik perpotongan antara kurva indiferen dengan batas anggaran. Tetapi ketika harga (P) turun, sementara batas anggaran tetap, makajumlah barang publik (G) yang diminta bertambah, sehingga perpotongan antara kurva indiferen dengan batas anggaran di titik E’. Kurva ini juga menunjukkan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk membelanjakan pendapatannya untuk membeli barang publik maupun barang swasta. 15 Secara makro, kita dapat melihat kurva permintaan agregat sebagai berikut: Sumber: Mankiw (2007) Gambar 4. Kurva Permintaan Agregat Kurva permintaan agregat dapat naik atau turun mengikuti fakta di lapangan. Permintaan agregat dapat naik (kurva AD bergeser ke kanan) antara lain jika terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan gaji pegawai negeri, turunnya pajak perseorangan, panen raya, dan lain-lain. 2.1.3 Willingness to Pay (Kesediaan Membayar) Menurut Smith dan Nagle (2002), Willingness to Pay (WTP) adalah kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya. Pendekatan yang digunakan dalam analisis willingness to pay didasarkan pada persepsi pengguna terhadap tarif dari jasa pelayanan dan kebutuhan mereka terhadap BBM jenis premium. Permasalahan-permasalahan transportasi yang terjadi sering berhubungan dengan tingkat willingness to pay, dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain (Dardela, 2009): a. Produk yang ditawarkan oleh operator jasa pelayanan transportasi b. Kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan c. Utilitas pengguna terhadapa produk tersebut d. Selera pengguna WTP i dapat diduga dengan nilai tengah dari kelas atau interval WTP responden ke-i. Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui WTP yang benar adalah berada antara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP). Pada tahap ini, biasanya diabaikan penawaran sanggahan atau respon dari responden yang tidak dapat menentukan jumlah yang 16 ingin mereka bayarkan karena mereka tidak ingin mengikuti program pemerintah untuk membenahi masalah kemacetan (Nursusandhari dalam Agustya, 2011). 2.1.4 Regresi Logistik Regresi Logistik atau yang lebih dikenal dengan metode logit merupakan bagian dari analisis regresi. Analisis ini mengaji hubungan pengaruh peubahpeubah penjelas (X) terhadap peubah respon (Y) melalui model persamaan matematis tertentu. Secara umum, apabila peubah respon dalam analisis regresi adalah peubah kategorik, maka analisis regresi yang dapat digunakan antara lain analisis regresi logistik. Analisis regresi logistik dapat dibagi menjadi regresi logistik biner, regresi logistik nominal dan regresi logistik ordinal. Secara umum, analisis regresi logistik menggunakan peubah penjelasnya, yang dapat berupa peubah kategorik ataupun peubah numerik, untuk menduga besarnya peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon. Dalam analisis regresi logistik, pemodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon dilakukan melalui transformasi dari regresi linier ke logit. Formulasi transformasi logit tersebut adalah: 𝑃𝑖 Logit(pi) = log ϱ �1−𝑃𝑖� .......................................................................................(2.1) P i adalah peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon untuk orang ke-i dan log ϱ adalah logaritma dengan basis bilangan 𝜚. Kategori sukses secara umum menjadi perhatian dalam penelitian. Salah satu ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi logistik adalah odd ratio. Nilai odd ratio yang didapat dapat mengindikasikan seberapa lebih mungkin (dalam kaitannya dengan odd ratio) munculnya kejadian sukses pada suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok lainnya. 2.1.5 Analisis Crosstabs – Chi Square Menurut Trihendradi (2009), analisis crosstabs merupakan analisis dasar untuk hubungan antar variabel kategori (nominal-ordinal). Penambahan variabel kontrol untuk mempertajam analisis sangat mungkin terjadi. Crosstabs data digunakan untuk mengetahui hubungan atau distribusi respons antara variabel data dalam bentuk baris dan kolom. Sedangkan analisis crosstabs – chi square adalah suatu analisis hubungan antar variabel data nominal (Yamin, 2009). 17 2.1.6 Metode Regresi Linier Berganda Analisis regresi merupakan suatu alat analisis untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas yang dinyatakan dalam koefisien regresi. Variabel bebas adalah variabel yang nilainya dapat ditentukan dan bersifat menerangkan variabel tak bebas yang nilainya tergantung kepada variabel bebas. Menurut Gujarati (2006), dalam analisis regresi diketahui dua bentuk model yaitu model persamaan tunggal dan model persamaan simultan. Pada model persamaan tunggal ada satu variabel tak bebas (Y) yang diterangkan oleh satu atau beberapa variabel X. Sementara dalam persamaan simultan, suatu variabel Y tidak hanya ditentukan oleh variabel X tetapi beberapa variabel X juga ditentukan oleh variabel Y atau ada dua variabel Y 1 dan Y 2 yang dipengaruhi secara bersamasama oleh suatu variabel x. Adapun penelitian ini menggunakan analisis regresi dengan model persamaan tunggal yaitu analisis regresi linier berganda. Ordinary Least Square (OLS) merupakan salah satu metode yang sering digunakan karena kemudahannya dalam mengolah data. Gujarati (1993) menyebutkan bahwa ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model ini, antara lain: a. Semua penaksir tak bias linier atau penaksir OLS memiliki varians minimum. b. Varians tiap unsur disturbance e 1 tergantung (conditional) pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan adalah suatu angka konstan yang sama dengan σ2 yang merupakan asumsi homoskedastisitas yaitu varians yang sama. c. Tidak ada autokorelasi artinya tidak ada korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau seperti dalam data cross sectional. d. Variabel yang menjelaskan adalah non stokastik yaitu terdiri dari angkaangka yang tetap dan e1 didistribusikan secara normal. e. Tidak ada multikolinearitas antara variabel yang menjelaskan X. 18 2.2 Konsep dan Definisi 2.2.1 Kenaikan Harga BBM dan Subsidi BBM Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia, pengolahan dan penyalurannya dikuasai oleh negara. Hal ini sesuai dengan pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. BBM adalah sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, yang berasal dari endapan sisa-sisa jasad hidup yang halus dan mengandung minyak. BBM merupakan energi sekunder yang dihasilkan dari proses transformasi minyak bumi. Menurut pasal 3 Undang-Undang No.4 tahun 1960, bahan galian minyak dan gas bumi adalah kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, sementara usaha pertambangan dilaksanakan oleh perusahaan negara. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pengolahan minyak mentah dan BBM dikuasai sepenuhnya oleh negara yang penguasaannya diwakili oleh pemerintah. Menurut UndangUndang No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi dinyatakan bahwa migas merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan pemerintah yang ditetapkan sebagai pemegang kuasa pertambangan. Menurut naskah RAPBN dan Nota Keuangan setiap tahun, subsidi BBM adalah pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada PT. Pertamina (pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia) dalam situasi di mana pendapatan yang diperoleh PT. Pertamina dari kewajiban untuk menyediakan BBM di tanah air adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan BBM tersebut. Subsidi BBM merupakan salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk meringankan beban konsumen, terutama untuk masyarakat menengah ke bawah. Tujuan pemberian subsidi BBM untuk membantu masyarakat menengah ke bawah ternyata kurang tepat sasaran. Pada kenyataannya penikmat terbesar subsidi BBM yang diberikan pemerintah adalah kelompok orang mampu karena pemberian subsidi BBM tidak membeda-bedakan golongan masyarakat. Alasan keadilan terhadap masyarakat miskin dan defisit anggaran membuat pemerintah mulai mengurangi anggaran untuk subsidi BBM dan mengalokasikannya untuk 19 subsidi bidang lain (bantuan langsung tunai, beras miskin, kartu sehat, beasiswa, dan lain-lain). 2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga Premium Berdasarkan Peraturan Presiden No. 55 tahun 2005 telah diatur bahwa harga ekonomis BBM didasarkan pada Mean of Platts Singapore (MOPS) atau harga rata-rata yang digunakan oleh negara Singapura. Selain itu, ada penambahan biaya distribusi dan margin yang akan diterima PT. Pertamina, yang disebut dengan faktor alpha. Selain kedua faktor tersebut, dalam perhitungan BBM ditambahkan pula pajak. 2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu Subsidi BBM merupakan salah satu yang menarik perhatian masyarakat luas karena berhubungan dengan pengeluaran riil mereka. Subari pada tahun 2008 menganalisis tentang dampak kebijakan penurunan subsidi BBM terhadap indikator makroekonomi. Penelitian ini difokuskan pada indikator-indikator makroekonomi seperti inflasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah dan neraca pembayaran. Hasilnya, jika pemerintah menurunkan jumlah subsidi BBM atau menaikkan harga BBM akan berdampak pada terjadinya inflasi (namum tidak terlalu signifikan), terjadinya penurunan pertumbuhan nasional, terjadinya peningkatan pengangguran, menurunnya nilai tukar rupiah relatif terhadap mata uang asing dan terjadinya defisit neraca pembayaran. Pada tahun 1998, terjadi guncangan ekonomi politik di dalam negeri. Hal ini memengaruhi kebijakan pemerintah pada tahun 2000 untuk mengurangi jumlah subsidi BBM. Nikensari dan Trianoso pada tahun 2003 menganalisis dampak penurunan subsidi BBM terhadap perekonomian Indonesia dengan model analisa komputasi keseimbangan umum. Data yang digunakan adalah data yang dibangun pada tahun 2000 dengan menggunakan tahun dasar data tahun 1998. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah menyebabkan harga beberapa komoditas meningkat. Tetapi untuk jangka pendek, kenaikan harga BBM masih berdampak positif pada variabel PDB dan variabel ekonomi lainnya, sedangkan untuk jangka panjang apabila kondisi perekonomian 20 tidak lebih baik dari kondisi perekonomian pada tahun 1998, maka akan menyebabkan penurunan persentase PDB dan variabel ekonomi lainnya. Subsidi non-BBM memiliki peran yang penting juga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Patriadi dan Handoko pada tahun 2005 melakukan analisis evaluasi kebijakan subsidi non BBM (subsidi pupuk, beras, suku bunga, kredit, obligasi publik, raskin). Analisis ini menggunakan penghitungan beban fiskal subsidi non-BBM terhadap APBN dan membandingkannya selama beberapa tahun dengan anggaran yang berbeda di Indonesia. Mereka menemukan bahwa beban subsidi non-BBM terhadap APBN ternyata relatif lebih ringan daripada beban subsidi BBM. Meskipun subsidi BBM memiliki porsi yang besar dalam APBN, subsidi non-BBM perlu dipertahankan untuk membantu masyarakat yang memiliki daya beli rendah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, memiliki kebijakan subsidi BBM yang responsif dengan tingkat konsumsi BBM. Granado, Coady dan Gillingham (2010) menganalisis ketidakseimbangan manfaat dari subsidi BBM terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Penelitian mereka memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mereka observasi. Mereka menganalisis dampak langsungnya berdasarkan data pengeluaran BBM untuk memasak, listrik dan transportasi. Hasilnya, peningkatan harga BBM pada tahun 2003 hingga tahun 2008 memiliki dampak yang signifikan pada tingkat kesejahteraan rumah tangga. Beberapa negara dengan kebijakan harga jual BBM yang cukup tinggi mencerminkan tingkat pendapatan negara tersebut yang cukup tinggi juga. Hal ini membuat subsidi BBM menjadi salah satu instrumen kebijakan yang sangat penting dalam melindungi rumah tangga miskin dalam menghadapi tingginya harga minyak dunia. Transparansi dalam memberikan informasi tentang subsidi BBM kepada publik dapat mendukung reformasi dalam subsidi BBM. 2.4 Kerangka Pemikiran Transportasi merupakan faktor yang penting dalam memengaruhi tingkat produktivitas seseorang. Transportasi berperan penting dalam pencapaian efisiensi seseorang dalam mobilitasnya. Mobilitas seseorang yang didorong untuk semakin 21 efisien menyebabkan masyarakat cenderung untuk menggunakan kendaraan mobil pribadi (pada kondisi tertentu). Maraknya kendaraan pribadi dewasa ini menyebabkan melonjaknya penggunaan BBM terutama jenis premium. Keterbatasan produksi minyak dalam negeri dari tahun ke tahun menyebabkan pemerintah melakukan impor minyak mentah dan memberikan subsidi terhadap harga jual BBM jenis premium yang disesuaikan dengan harga dunia dan kemampuan masyarakat dalam negeri. Dengan pembengkakan dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk membayar subsidi BBM jenis premium, pemerintah berencana untuk menaikkan harga jual BBM jenis premium untuk masyarakat dan mengurangi jumlah subsidi. Subsidi diproyeksikan untuk dialihkan kepada subsidi lainnya, seperti pada bidang pendidikan, kesehatan, pupuk, dll. Pertimbangan-pertimbangan yang sedang dipikirkan oleh pemerintah untuk menaikkan harga jual BBM jenis premium menjadi polemik bagi masyarakat karena akan mempengaruhi pengeluaran riil total. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon masyarakat jika terjadi kenaikan harga BBM jenis premium terutama bagi pengendara mobil pribadi. 22 Subsidi BBM Tingginya Harga Minyak Dunia Pengeluaran Pemerintah Tingginya Konsumsi BBM Kebijakan Kenaikan Harga BBM Logit Crosstabs Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respon Setuju Respon Tidak Setuju WTP Subsidi BBM jenis premium merupakan cara pemerintah untuk membantu masyarakat agar dapat mengakses ketersediaan BBM jenis premium dengan lebih mudah. Tingginya harga minyak dunia dewasa ini dan tingkat konsumsi masyarakat akan BBM jenis premium yang juga meningkat menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah secara agregat. Karena pemerintah mulai merasa terbebani dengan subsidi BBM jenis premium, pemerintah berencana untuk meningkatkan harga jual BBM jenis premium di masyarakat. Penelitian ini menganalisis bagaimana respon masyarakat, terutama pengendara mobil pribadi di Bogor terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi respon asyarakat tersebut. Pada akhirnya, akan diketahui berapa kesediaan membayar masyarakat terhadap satu liter BBM jenis premium. 23 2.5 Hipotesis Penelitian a. Jenis kelamin tidak memengaruhi respon masyarakat terhadap kenaikan harga BBM jenis premium. b. Usia seseorang memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium. c. Jumlah tanggungan responden berpengaruh negatif terhadap rencana respon masyarakat terhadap kenaikan harga BBM jenis premium. d. Tingkat pendidikan memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium e. Tingkat pendapatan responden memengaruhi respon masyarakat rencana terhadap kenaikan harga BBM jenis premium. f. Tingkat pendapatan anggota keluarga lain memengaruhi respon masyarakat rencana terhadap kenaikan harga BBM jenis premium. g. Kesediaan membayar terhadap satu liter BBM jenis premium memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga satu liter BBM jenis premium. h. Perilaku menghemat memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium. i. Tingkat konsumsi BBM jenis premium memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium. j. CC mobil memengaruhi respon masyarakat terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis premium.