BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsipprinsip hubungan internasional, hukum internasional dan diplomasi. Sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, negara-negara saling mengirim wakilnya ke ibu kota negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan kepentingan bersama, mengembangkan hubungan, mencegah kesalahpahaman ataupun menghindari terjadinya sengketa. Perundingan-perundingan ini biasanya dipimpin oleh seorang utusan yang dinamakan duta besar. 1 Negara yang memiliki hubungan dengan Negara lain baik hanya dua Negara (bilateral) maupun lebih (multilateral) 2. Hubungan tersebut juga tidak hanya terbatas oleh hubungan Negara dengan Negara tetapi juga dapat berupa hubungan Negara dengan subjek hukum internasional lainnya seperti organisasi internasional. Negara sebagai salah satu subyek hukum internasional memiliki kesamaan dengan manusia, dimana manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup berdampingan. Sama halnya dengan manusia, Negara pun membutuhkan untuk berhubungan dengan Negara lain. Berhubungan dengan Negara lain pun merupakan salah satu syarat utama untuk terbentuknya suatu Negara menurut hukum internasional. 3 1 Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika Global, Alumni, Bandung, hlm. 510. 2 Hubungan Bilateral,http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_bilateral(Diakses tanggal 28 januari 2015) Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan hukum internasional dalam berbagai kehidupan masyarakat internasional, baik dengan sesama negara maupun dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya. Sebagai konsekuensinya maka negaralah yang paling banyak memiliki, memikul dan memegang kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum internasional dibanding dengan subjek hukum intenasional lainnya. Suatu negara, untuk dapat disebut sebagai suatu subjek hukum intenasional maka mengacu pada Pasal 1 Konvensi Montevideo ( Pan American ) tentang hak dan kewajiban negara (The Convention on Rights and Duties of State) tahun 1933, yang berbunyi sebagai berikut : 4 “ The state as a person of international law should progress the following qualification :(a) a permanent population;(b) defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter the relations with other states.” Ketiga kriteria telah diakui sejak abad kesembilam belas di Eropa, sedangkan kriteria yang keempat berasal dari para penulis Amerika Latin yang mewakili negaranya dalam konvensi. Kriteria yang terdapat dalam pasal tersebut dianggap telah mencerminkan hukum kebiasaan internasional. Kriteria keempat secara konvensional disebut kemampuan untuk membangun dan berkomunikasi dalam hubungan internasional (ability to establish and to communicate in international relation) 5 Berkaitan dengan hal tersebut diatas, hubungan internasional sangat diperlukan oleh suatu negara dalam rangka berinteraksi dengan negara-negara lain. Interaksi tersebut harus dibina berdasarkan prinsip persamaan hak-hak menentukan nasib sendiri denga tidak 3 http://www.academia.edu/5536690/Makalah_H_diplomatik_hak_istimewa_dan_kekebalan_konsuler (diakses tanggal 28 januari 2015) 4 Konvensi Montevideo 1903 tentang Hak dan Kewajiban Negara 5 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Komtemporer, Refika Aditama, Bandung 2006, hlm 10 mencampuri dalam negeri suatu negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB, yaitu : 6 “Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain untuk memperteguh perdamaian universal.” Masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah Negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan yang lain. Dalam rangka pikiran ini tidak ada suatu badan berdiri diatas negara-negara baik dalam bentuk negara dunia maupun badan supranasional yang lain. Dengan perkataan lain, yang terjadi kordinasi antar anggota masyarakat internasional yang sederajat. Interaksi yang dilakukan oleh negara sebagai subjek hukum internasional tersebut untuk mengadakan hubungan dengan negara lain diperoleh dengan adanya penerimaan atau pengakuan eksistensinya sebagai negara oleh masyarakat internasional itu sendiri. dalam interaksi tersebut terkadang banyak menimbulak beberapa masalah antara lain mengenai suaka politik. Suaka, yang dalam bahasa asing disebut asylum, pada dasarnya merupakan suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara lain yang terancam keselamatannya. 7Suaka adalah lembaga yang sama tuanya dengan peradapan manusia. Bermula pada tradisi masyarakat sederhana, suaka kemudian dikenal dalam perkembangan agama-agama besar di dunia. Selanjutnya, lembaga suaka hidup dalam 6 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa http://agus-prayogi.blogspot.com/2013/04/hubungan-diplomatik-dan-suaka-poli-tik.html diakses tanggal 20 januari 2015 7 praktek hubungan antar bangsa dan, akhirnya, sekarang ini, menjadi lembaga yang diakui dan dihormati sebagai lembaga hukum kebiasaan internasional. Negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Karabia telah mengakui dan menghormati lembaga suaka dalam hubungan antar mereka sudah sejak abad ke-19, sebagaimana terefleksikan dalam Perjanjian Montevideo tentang Hukum Pidana Internasional, 1889, yang memuat ketentuan yang mengakui dan menghormati prinsip lembaga suaka (Pasal 15-18). 8 Prinsip lembaga suaka terus menerus dikukuhkan oleh negara-negara di kawasan tersebut dengan inkorporasinya ke dalam, dan kemudian dibuatnya secara khusus perjanjian regional yang mengatur masalah suaka, seperti Persetujuan Caracas tentang Esktradisi, 1911 (Pasal 18), Konvensi Havana tentang Suaka (Diplomatik), 1928, Konvensi Montevido tentang Suaka Politik, 1933, Deklarasi Bogota tentang Hak dan Kewajiban Manusia, 1984 (Pasal 27) Konvensi Caracas tentang Suaka Diplomatik, 1954, Konvensi Caracas tentang Suaka Teritorial, 1954, Konvensi San Jose tentang Hak Asasi Manusia, 1969 (Pasal 22), dan Konvensi Antar-Amerika tentang Ekstradisi, Caracas, 1981 (Pasal6). 9 Di Afrika, negara-negara kawasan ini mengukuhkan prinsip lembaga suaka dalam instrumen yuridis regional, yakni Konvensi Organisasi Persatuan Afrika (OPA) yang mengatur Aspek Spesifik Masalah Pengungsi di Afrika. 10 Di Eropa, pentingnya penghormatan prinsip lembaga suaka beberapa kali ditandaskan oleh negara-negara di kawasan tersebut, antara lain, dalam Resolusi 14 (1967) tentang Suaka bagi orang-orang yang berada dalam bahaya persekusi, yang diterima oleh Komite Menterimenteri Dewan Eropa pada 1967 dan Deklarasi tentang Suaka Teritorial yang diterima oleh Komite Menteri-menteri Dewan Eropa pada 1977. 8 http://tugaskuncung2.blogspot.com/2014_05_01_archive.html diakses tanggal 20 januari 2015 http://repo.unsrat.ac.id/26/1/LEMBAGA_SUAKA_DALAM_HUKUM_INTERNASIONAL.pdf. diakses tannggal 20 januari 2014 10 http://kadarudin.blogspot.com/2012_05_01_archive.html diakses tanggal 20 januari 2015 9 Di tingkat internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 14), yang diproklamasikan oleh Majelis Umum PBB pada 1948, 11 merupakan instrumen internasional tertulis utama sebagai sumber penerapan dan pembangunan lembaga suaka dalam hubungan antar bangsa. Konvensi mengenai Status Pengungsi, 1951, walaupun merupakan instrumen yuridis internasional yang mengatur masalah pengungsi, jadi bukan masalah suaka, dan bahkan sama sekali tidak memuat istilah ”suaka” dalam batang tubuhnya, memuat prinsip lembaga suaka yang justru paling fundamental, yakni prinsip tidak akan dikembalikannya seseorang ke negara tempat ia mengalami persekusi atau menghadapi ancaman persekusi. Prinsip ini, yang terkenal dengan sebutan prinsip ”non-refoulement” tercantum dalam Pasal 33 Konvensi 1951 tersebut. Selain sebagai prinsip yang paling fundamental dalam lembaga suaka, prinsip “non-refoulement” merupakan jantung sistem perlindungan internasional pengungsi menurut hukum pengungsi internasional. Instrumen Internasional yang meskipun bukan merupakan instrumen yuridis, yang menggariskan dan menendaskan prinsip-prinsip lembaga suaka adalah Deklarasi tentang Suaka Teritorial, yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada 1967. Selain dicantumkan atau diatur oleh berbagai instrumen internasional dan regional tersebut di atas, baik yang bersifat yuridis maupun non yuridis, penganutan dan penghormatan prinsip lembaga suaka juga refleksi dalam setiap perjanjian ekstradisi, baik bilateral maupun regional, dengan senantiasa terdapatnya ketentuan dalam perjanjian tersebut yang menetapkan tidak akan diekstradisikannya seseorang yang disangka atau dituduh melakukan tindak pidana yang bukan tindak pidana biasa, yang sering disebut “tindak pidana politik”. 11 http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Pages/Language.aspx?LangID=inz diakses tanggal 20 januari 2015 Jika perlindungan yang dicari itu diberikan, pencari suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari Negara dimana ia berasal. Pada kasus Edward J Snowden Ia adalah seorang pria yang berkebangsaan Amerika yang bekerja sebagai kontraktor untuk badan keamanan nasional Amerika ( NSA). Pakar IT (Edward Snowden) itu diburu oleh Amerika Serikat karena mengungkapkan kepada media program pengintaian rahasia pemerintah dari data komputer NSA yang menyebabkan terungkapnya program pengawasan rahasia dan disangka oleh pihak berwenang Amerika Serikat melakukan spionase. 12 Edward Snowden meninggalkan posisi kontraktor intelijen di Hawai menuju Hongkong pada tanggal 20 Mei 2013 lalu untuk memulai serangkaian pembocoran upaya pengintaian pembicaraan telepon dan internet oleh NSA yang kemudian memicu keprihatinan banyak pemerintah di seluruh dunia. Kini Amerika Serikat telah mencabut kewarganegaraan Edward Snowden yang saat ini sedang berada di Rusia. Ia telah mengajukan permohonan suaka ke 21 negara, salah satu Negara yang ditujunya adalah Ekuador dan Venezuela. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui informasi bagaimana status hukum Edward Snowden yang telah melakukan pengintaian sejumlah informasi pemerintahan di Negara asalnya dalam pencarian suaka ditinjau dari segi hukum internasional. B. Rumusan Masalah Isu mengenai pencari suaka yang hangat diperbincangkan dalam lingkungan masyarakat internasional. Dalam isu mengenai suaka politik terdapat beberapa permasalahan yang akan menjadi lingkup kajian tulisan ini: 1. Bagaimana tinjauan umum mengenai Suaka Politik ? 2. Bagaimana tinjauan penerima Suaka dalam hukum internasional dan hukum positif ? 12 http://internasional.kompas.com/read/2013/08/11/1535476/Apakah.Edward.Snowden.Seorang.Pengkhianat. diakses tanggal 20 januari 2015 3. Bagaimana status negara dalam menerima para pencari suaka politik dalam kasus Edward Snow mantan agen CIA (CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY) ? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui tinjauan umum mengenai suaka politik dalam hukum internasional. 2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai penerima suaka dalam hukum internasional dan hukum positif. 3. Untuk mengetahui status negara dalam meneriman para pencari suaka politik dalam kasus Edward snowden mantan agen CIA (CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY). Manfaat penulisan skripsi ini adalah : a. Manfaat teoritis 1. Untuk memberikan informasi mengenai aspek hukum internasional dalam rangka pemahanan tentang suaka politik. 2. Untuk menambah bahan pustaka bagi penelitian di bidang yang sama yakni mengenai suaka politik berserta strukturnya yang erat kaitannya dengan hukum organisasi internasional. b. Manfaat praktis 1. Untuk memberikan gambaran kepada masyarakat internasional mengenai suaka politik beserta akibat hukum yang ditimbulkan dan akan mempengaruhi hubungan antar negara. 2. Untuk memberikan masukan dalam rangka pembaharuan pengaturan baik yang bersifat internasional maupun regional mengenai suaka politik. D. Keaslian Penulisan Adapun skripsi yang berjudul “Status Negara Dalam Menerima Para Pencari Suaka Politik Dalam Kasus Edward Snowden Mantan Agen CIA (CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY)” merupakan tulisan yang masih baru dan belum ada tulisan lain dalam bentuk skripsi yang membahas mengenai masalah ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti. Maka penulisan skripsi ini masih orisinil dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Hukum Diplomatik Hukum diplomatik adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antar negara dengan didasarkan atas permufakatan (consensus) bersama yang kemudian dituangkan dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi kebiasaan internasional. 13 Pengertian “Hukum Diplomatik” masih belum banyak diungkapkan. Para sarjana hukum internasional masih belum banyak menuliskan secara khusus, karena pada hahikatnya hokum diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional yang mempunyai sebagian sumber hukum yang sama seperti konvensi-konvensi internasional yang ada. Ada yang memberikan batasan bahwa hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat termasuk bentuk-bentuk organisasional dari dinas diplomatik. 13 Sumaryo Suryokusumo, Teori dan Kasus Hukum Diplomatik, Alumni, Bandung, 2005, hlm 5 Banyak penulis hanya memberikan batasan dan arti “diplomasi” sendiri walaupun di antara mereka masih belum ada keseragaman. Adapula pemakaian perkataan “diplomasi” itu secara berbeda-beda menurut penggunaannya: 14 • Ada yang menyamakan kata itu dengan “politik luar negeri”, misalnya dikatakan “Diplomasi RI di Afrika perlu ditingkatkan” • Diplomasi dapat pula diartikan sebagai “perundingan” seperti sering dinyatakan bahwa “Masalah Timur Tengah hanya dapat diselesaikan melalui diplomasi”. Jadi perkataan diplomasi di sini merupakan satu-satunya mekanisme yaitu melaui perundingan. • Dapat pula diplomasi diartikan sebagai “dinas luar negeri” seperti dalam ungkapan “selama ini ia bekerja untuk diplomasi”. • Ada juga yang menggunakan secara kiasan seperti dalam “Ia pandai berdiplomasi” yang berarti “bersilat lidah”. Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah di akui. Untuk mengetahui pengertian “Hukum Diplomatik” memang tepat sekali jika membahas lebih lanjut mengenai pengertian “diplomasi” itu sendiri yang diberikan oleh Satow, Quency Wright dan Harold Nicholson. 2. Konvensi mengenai Hukum Diplomatik A. Konvensi wina 1961 mengenai hubungan diplomatik Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk 14 https://muhammadchoirulrosiqin.wordpress.com/2014/01/11/resume-buku-hukum-diplomatik-teori-dankasus-prof-dr-sumaryo-suryokusumo/ diakses tanggal 22 januari 2014 hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan secara rinci. Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa. B. Konvensi Wina 1963 mengenai hubungan konsuler Untuk pertama kalinya usaha guna mengadakan kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul telah dilakukan dalam Konverensi negara-negara Amerika tahun 1928 di Havana, Kuba, di mana dalam tahun itu telah disetujui Convention on Consular Agents. C. Konvensi New York 1969 mengenai misi khusus Konvensi ini Wina tahun 1961 dan 1963 telah mengutamakan kodifikasi dari hukum kebiasaan yang ada, sementara konvensi ini bertujuan untuk memberi peraturan yang lebih mengatur mengenai misi-misi khusus yang memiliki tujuan terbatas yang berbeda dengan misi diplomatik yang sifatnya permanen. D. Konvensi Wina 1975 mengenai keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi internasional. Pentingnya perumusan konvensi ini sebenarnya didorong dengan adanya situasi dimana pertumbuhan organisasi internasional yang begitu cepatnya baik dalam jumlah maupun lingkup masalah hukumnya yang timbul akibat hubungan negara dengan organisasi internasional. Dalam perkembangannya lebih lanjut, ada permasalahan dalam persidangan tahun 1971 yang mengajukan tiga masalah, yaitu : 1. Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti tidak adanya pengakuan, tidak adanya putusan, hubungan diplomatik dan konsuler atau adanya pertikaian senjata di antara anggota-anggota organisasi internasional itu sendiri. 2. Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa 3. Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi. 3. Suaka Politik Suaka, yang dalam bahasa asing disebut asylum, pada dasarnya merupakan suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara lain yang terancam keselamatannya. Suaka politik merupakan gagasan yuridiksi di mana seseorang yang dianiaya untuk opini politik di negerinya sendiri dapat dilindungi oleh pemerintah berdaulat lain, negara asing, atau perlindungan gereja di Abad Pertengahan. Suaka politik merupakan salah satu hak asasi manusia, dan aturan hukum internasional. Seluruh negara yang menerima Konvensi Terkait Status Pengungsi PBB wajib mengizinkan orang yang benar-benar berkualifikasi datang ke negerinya. Orang-orang yang memenuhi syarat-syarat suaka politik adalah mereka yang diperlakukan buruk di negerinya karena masalah : A. Ras B. Kebangsaan C. Agama D. Opini politik E. Keanggotaan kelompok atau aktivitas sosial tertentu. 15 Orang-orang yang diberikan suaka politik disebut pengungsi. Mereka sering dikelirukan dengan "pengungsi ekonomi", yang merupakan orang-orang yang pindah dari suatu negara miskin ke negara kaya agar dapat bekerja dan menerima uang yang dapat dikirimkan pada keluarga mereka di negeri asal. Pengungsi ekonomi sering menjadi sasaran empuk bagi sejumlah politikus dan media massa yang mengatakan bahwa para pengungsi tersebut merebut pekerjaan dari penduduk negeri setempat. Terhadap masalah suaka politik antara pengusiran dan pengasingan penjahat perlu dibedakan antara penjahat dari penduduk negeri. Perlu diketahui bahwa secara historis, istilah suaka (asylum) mulai timbul dan sering terjadi di negara-negara Amerika Latin sehingga kebiasaan-kebiasaan ini dapat digolongan pada kebiasaan internasional regional yakni kebiasaan internasional yang berasal dari daerah tertentu atau kawasan tertentu dalam hal ini yakni negara-negara Amerika Latin. Suaka berasal dari bahasa Yunani yakni “asylon” atau “asylum” dalam bahasa Latin, yang artinya tempat yang tidak dapat dilanggar di mana seseorang yang dikejar-kejar mencari tempat berlindung. Masalah permintaan suaka ini dan pemberian suaka bukanlah muncul pada beberapa tahun ini saja. Untuk waktu yang lama, suaka diberikan kepada pelarian pada umumnya, terlepas dari sifat perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pencari suaka 15 http://id.wikipedia.org/wiki/Suaka_politik diakses tanggal 22 januari 2015 yang menyebabkannya dikejar-kejar. Dalam waktu yang lama pelaku tindak pidana biasa pun, yang mendapat suaka di negara lain, tidak diekstradisikan. 16 Keadaan ini baru berubah pada abad ke-17, di mana berbagai pakar hukum internasional Belanda yang terkenal Grotius, menggariskan perbedaan antara tindak pidana politik dan tindak pidana biasa dan menyatakan bahwa suaka hanya dapat diklaim oleh mereka yang mengalami penuntutan (presecution) politis atau keagamaan. Sejak abad pertengahan ke-19 sebagian besar perjanjian ekstradisi mengakui prinsip non ekstradisi bagi tindak pidana politik, kecuali yang dilakukan terhadap kepala negara F. Metode Penelitian Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan mempergunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman-pedoman, cara seseorang mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi. Sebagaimana suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk mendapatkan data yang valid dan relevan dengan judul dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan data – data yang valid dan relevan tersebut sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dipakai adalah metode pendekatan Yuridis Normatif (legal research) yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi konsep suaka politik, menguji kebenaran apakah benar suaka politik merupakan salah satu solusi untuk menangani 16 http://agus-prayogi.blogspot.com/2013/04/hubungan-diplomatik-dan-suaka-poli-tik.html diakses tanggal 22 januari 2015 Hukum Diplomatik, serta peran hukum dan masyarakat internasional dalam menerapkan konsep tersebut dalam rangka menjalankan hubungan antarnegara. Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam penaikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus). Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, dalam hal ini adalah konsep suaka politik 2. Sumber Data Data yang diperlukan adalah data hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat,antara lain deklarasi universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Piagam PBB, Konvensi Wina tahun 1961 mengenai hubungan diplomatik, konvensi Wina tahun 1963 mengenai hubungan konsuler Konvensi Wina tahun 1975 tentang tentang hubungan antara perwakilan negara-negara dengan organisasi internasional.. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian dan tulisan para ahli hukum, buku-buku, pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini. 2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menulis skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan studi pustaka (library research) yakni pengumpulan data yang dilakukan secara studi kepustakaan dan peraturanperaturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Metode Library Research adalah dengan mempelajari sumber-sumber atau bahanbahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa rujukan buku- buku, wacana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum lingkungan, hukum ekonomi, dan hukum internasional yang sudah mempunyai nama besar dibidangnya. 3. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data secara kualitatif, yakni upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dipelajari dan memutuskan apa yang dapat dituliskan. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan atau gambaran isi yang dimaksud adalam mengemukakan garis-garis besar dari uraian skripsi. Secara garis besar pembahasan skripsi ini akan dibagi dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan masalah-masalah tersendiri secara sistematis dan berhubungan antara satu bab dengan bab lainnya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam sub bab sesuai dengan kebutuhan penulisan skripsi ini. Dengan pembagian tersebut diharapkan akan mempermudah pemahaman pembaca untuk mengetahui inti pembahasan secara keseluruhan. Berikut Penulis akan menguraikan sistematika penulisan skripsi ini, yaitu: BAB I Merupakan bab pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Menerangkan mengenai tinjauan umum mengenai suaka politik mulai dari pengertian suaka politik, perbedaan suaka teritorial dan suaka politik, sampai pada praktek-praktek negara mengenai suaka politik. BAB III Menguraikan tentang tinjauan terhadap penerima suaka baik dalam hukum internasional maupun hukum positif, yang mana menjelaskan tentang kedudukan negara sebagai penerima suaka, hak-hak penerima suaka politik dalam hukum internasional dan hak-hak penerima suaka politik dalam hukum positif. BAB IV Menguraikan tentang status negara dalam menerima para pencari suaka politik dalam kasus Edward Snowden mantan agen CIA (CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY) baik status Edward Snowden selaku pencari suaka maupun Amerika Serikat dalam hal ini ingin melakukan ektradisi dan juga status negara penerima suaka politik BAB V Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan uraian pembahasan dan beberapa saran penulis yang mungkin dapat bermanfaat.