BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Risiko Manajemen risiko dalam bisnis melibatkan pengidentifikasian peristiwa – peristiwa yang dapat memberikan konsekuensi keuangan yang merugikan dan kemudian mengambil tindakan untuk mencegah dan/atau meminimalkan kerugian yang diakibatkan oleh peristiwa – peristiwa tersebut (Brigham dan Daves, 2009:834). Ruang lingkup manajemen risiko telah diperluas menjadi turut mencakup hal – hal seperti pengendalian biaya – biaya input penting yaitu bahan bakar minyak dengan membeli transaksi berjangka untuk minyak, atau perlindungan dari perubahan dalam tingkat suku bunga atau nilai tukar dengan melakukan transaksi di pasar valuta asing. Manajer risiko juga mencoba untuk memastikan bahwa tindakan – tindakan yang dirancang untuk melindungi nilai dari risiko bukan sebaliknya justru menambah risiko. Hanafi (2012:1) menyatakan bahwa risiko adalah kejadian yang merugikan atau kemungkinan hasil yang diperoleh menyimpang dari yang diharapkan. Risiko muncul karena ada kondisi ketidakpastian, dimana ketidakpastian bisa tercermin dari fluktuasi pergerakan yang tinggi, semakin tinggi fluktuasi maka semakin besar ketidakpastiannya. Risiko keuangan (Brigham dan Houston, 2011:164) merupakan tambahan risiko yang dibebankan kepada pemegang saham biasa sebagai akibat dari keputusan untuk melakukan pendanaan utang. 12 13 Perusahaan yang memiliki operasi di luar negeri menghadapi beberapa risiko yang pada dasarnya berasal dari perubahan nilai tukar (Horne dan Wachowicz, 2001:550). Terdapat beberapa jenis eksposur risiko nilai tukar (Horne dan Wachowicz, 2001:552), yaitu yang pertama adalah eksposur translasi merupakan perubahan laba akuntansi dan neraca yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar. Jenis eksposur kedua adalah eksposur transaksi yang berhubungan dengan penyelesaian transaksi tertentu pada satu nilai tukar ketika kewajibannya dicatat pada nilai tukar lainnya. Terakhir, eksposur ekonomi melibatkan perubahan arus kas yang diharapkan di masa depan, dan juga nilai ekonomi yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar. Hanafi (2012:234) menyatakan bahwa dalam keuangan international terdapat tiga jenis eksposur yang dihadapi oleh perusahaan yang berkaitan dengan perubahan kurs, yaitu : 1) Eksposur Transaksi adalah eksposur yang terjadi karena perusahaan memasuki kontrak tertentu, yang kemudian memunculkan sejumlah nilai uang yang rentan terhadap perubahan kurs. 2) Eksposur Akuntansi terjadi karena laporan keuangan dengan mata uang tertentu, kemudian dikonversikan ke laporan keuangan dengan mata uang lain, rentan terhadap perubahan kurs. Perubahan kurs bisa menyebabkan proses konversi semacam itu menghasilkan keuntungan atau kerugian. 3) Eksposur Operasi adalah operasi perusahaan yang rentan terhadap perubahan kurs. 14 4) Eksposur Ekonomi adalah eksposur operasi yang digabung dengan eksposur transaksi. Brigham dan Daves (2009:837) menjelaskan beberapa alasan yang baik bagi perusahaan untuk mengelola risikonya, yaitu : 1) Kapasitas utang. Manajemen risiko dapat mengurangi ketidakstabilan arus kas, sehingga dapat mengurangi kemungkinan kebangrutan. Perusahaan – perusahaan dengan risiko operasional yang lebih rendah dapat mempergunakan utang lebih banyak, sehingga dapat mengarah pada harga saham yang lebih tinggi lagi akibat adanya pengurangan pajak dari bunga. 2) Menjaga anggaran modal yang optimal dari waktu ke waktu. Perusahaan – perusahaan enggan memperoleh ekuitas eksternal akibat adanya biaya emisi yang tinggi dan tekanan pasar. Ini artinya anggaran modal umumnya harus didanai dengan utang ditambah dana yang diperoleh secara internal, khususnya saldo laba ditahan dan depresiasi. 3) Kesulitan keuangan. Kesulitan keuangan yang dapat berupa kekhawatiran pemegang saham, tingkat suku bunga yang tinggi atas utang, kepergian pelanggan hingga kebangkrutan, memiliki keterkaitan dengan adanya penurunan arus kas di bawah tingkat yang diharapkan. Manajemen risiko dapat mengurangi kemungkinan terjadinya arus kas yang rendah, dan akibatnya kesulitan keuangan. 4) Keunggulan komparatif dalam lindung nilai. Banyak investor tidak dapat mengimplementasikan program lindung nilai sendiri seefisien sebuah perusahaan. Pertama, perusahaan umumnya memiliki biaya transaksi yang 15 rendah karena volume aktivitas lindung nilai yang lebih besar. Kedua, adanya masalah informasi asimetris, manajer tahu lebih banyak akan eksposur risiko perusahaan daripada investor luar, sehingga manajer dapat melakukan lindung nilai yang lebih efektif. Dan ketiga, manajemen risiko yang efektif mensyaratkan adanya keahlian – keahlian dan pengetahuan khusus yang lebih besar kemungkinannya dimiliki oleh perusahaan. 5) Biaya pinjaman. Perusahaan terkadang dapat menurunkan biaya – biaya input, khususnya tingkat bunga atas utang, melalui penggunaan instrumen – instrumen derivatif yang disebut “swap”. 6) Dampak perpajakan. Perusahaan dengan laba yang tidak stabil membayar pajak yang lebih tinggi daripada perusahaan yang lebih stabil karena adanya perlakuan kredit pajak dan ketentuan – ketentuan yang mengatur kerugian perusahaan yang dibawa ke depan dan dibawa ke belakang. Oleh karena itu, sistem perpajakan yang ada mendorong manajemen risiko menstabilkan laba. 7) Sistem kompensasi. Kebanyakan sistem kompensasi menetapkan angka “batas atas” dan “batas bawah” untuk bonus atau memberikan imbalan kepada para manajer karena telah memenuhi sasarannya. Meskipun tidak memberikan tambahan nilai yang terlalu banyak bagi para pemegang saham, lindung nilai masih dapat memberikan manfaat bagi para manajer. Beberapa sumber risiko yang bisa mempengaruhi keputusan perusahaan dalam mengelola risikonya (Zubir, 2011 : 20), antara lain : 1) Risiko suku bunga, yaitu risiko yang disebabkan oleh perubahan tingkat bunga tabungan dan tingkat bunga pinjaman. Tingkat bunga yang tinggi dapat 16 menyebabkan return yang diperoleh dari investasi berisiko rendah seperti deposito lebih tinggi daripada return investasi yang berisiko tinggi seperti saham. 2) Risiko pasar, yaitu risiko yang disebabkan oleh gejolak return suatu investasi sebagai akibat dari fluktuasi transaksi di pasar keseluruhan. Risiko pasar disebabkan oleh peristiwa-peristiwa yang bersifat menyeluruh yang mempengaruhi kegiatan pasar secara umum, seperti resesi, peperangan, perubahan struktur keuangan, dan perubahan selera keuangan. 3) Risiko inflasi, yaitu risiko yang disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat sebagai akibat dari kenaikan harga barang-barang secara umum. Hal ini akan berdampak buruk pada perusahaan karena permintaan terhadap barang yang diproduksi menurun, sehingga penjualan juga menurun dan harga saham melemah. 4) Risiko bisnis, yaitu risiko yang disebabkan oleh tantangan bisnis yang dihadapi perusahaan makin berat, baik akibat tingkat persaingan yang ketat, perubahan peraturan pemerintah, maupun klaim dari masyarakat terhadap perusahaan karena merusak lingkungan. 5) Risiko finansial, yaitu risiko keuangan ang berkaitan dengan struktur modal yang digunakan untuk mendanai kegiatan perusahaan. Perusahaan yang mempunyai utang besar mempunyai risiko yang besar juga di mata pemegang sahamnya karena sebagian besar laba operasi perusahaan akan digunakan untuk membayar bunga pinjaman tersebut. Akibatnya, bagian laba atau dividen yang diterima oleh pemegang saham menjadi kecil. Jika pendapatan 17 perusahaan tidak stabil, maka makin besar pula kemungkinan pemegang saham tidak menerima dividen dan hal ini akan mengakibatkan saham perusahaan menjadi tidak menarik, sehingga harga sahamnya akan jatuh. 6) Risiko likuiditas, yaitu risiko yang berkaitan dengan kesulitan untuk menjual saham karena tidak ada yang membeli saham tersebut. Risiko likuiditas juga berkaitan dengan kondisi perusahaan seperti menghadapi kesulitan keuangan. Investor yang memegang saham perusahaan tidak likuid akan menanggung risiko yang tinggi karena harganya akan jatuh pada waktu dijual, sehingga real return akan berada jauh di bawah expected return. 7) Risiko nilai tukar mata uang, yaitu risiko yang berkaitan dengan perubahan nilai mata uang suatu Negara. Hal ini menjadi faktor penyebab real return lebih kecil dari expected return. Perubahan nilai tukar dapat disebabkan oleh perubahan permintaan terhadap mata uang suatu Negara dalam perdagangan internasional dan mata uang sebagai “komoditas” yang diperjualbelikan. 8) Risiko Negara yaitu risiko yang berkaitan dengan investasi lintas Negara yang disebabkan oleh kondisi politik, keamanan, dan stabilitas perekonomian suatu negara. Semakin tidak stabil keamanan, politik, dan perekonomian suatu negara, makin tinggi risiko berinvestasi di negara tersebut, karena return investasi jadi makin tidak pasti, sehingga kompensasi atau return yang dituntut atas suatu investasi makin tinggi. Oleh karena itu, stabilitas negara tujuan investasi menjadi pertimbangan yang sangat penting sebelum memutuskan melakukan investasi di negara lain. 18 2.2 Derivatif Mata Uang Hubungan antara pendapatan (atau penetapan harga) dan biaya anak perusahaan luar negeri terkadang menyediakan lindung nilai alami, sehingga perusahaan mendapatkan perlindungan terus – menerus terhadap fluktuasi nilai tukar (Horne dan Wachowicz, 2001:558). Kuncinya adalah sejauh mana arus kas disesuaikan secara alami terhadap perubahan mata uang. Masalahnya bukan di Negara mana anak perusahaan tersebut berada, namun apakah fungsi pendapatan dan biaya anak perusahaan tersebut sensitif terhadap kondisi pasar global atau domestik. Sarana lainnya untuk mencegah eksposur mata uang adalah melalui alat dari beberapa pasar mata uang seperti kontrak forward, kontrak berjangka, opsi mata uang dan swap mata uang. Derivatif mata uang merupakan kontrak yang harganya sebagian merupakan turunan dari nilai mata uang yang terdapat pada kontrak tersebut. Beberapa individu dan perusahaan keuangan membentuk posisi derivatif mata uang untuk berspekulasi atas perubahan kurs nilai tukar di masa depan (Madura, 2006:147). Brigham dan Houston (2011:347) menyatakan bahwa derivatif merupakan suatu kontrak keuangan antara dua pihak untuk mentransaksikan suatu aset saat harga tetap pada tanggal yang akan terjadi di masa depan. Lindung nilai (hedging) dilakukan oleh suatu perusahaan atau individu untuk melindungi terhadap suatu perubahan harga yang akan memberikan dampak negatif pada laba (Brigham dan Houston, 2011:379). Instrumen derivatif sangat bermanfaat untuk manajemen risiko, yaitu bisa digunakan untuk hedging (lindung nilai). Hedging merupakan suatu strategi untuk mengurangi risiko kerugian yang diakibatkan oleh 19 turun-naiknya harga. Hedging merupakan suatu cara produsen atau investor untuk melindungi posisi suatu aset atau (underlying assets) dari risiko perubahan pasar. Brigham dan Daves (2009:853) menyatakan perusahaan dapat terkena berbagai risiko terkait dengan tingkat suku bunga, harga saham, dan fluktuasi nilai tukar di dalam pasar uang. Salah satu cara yang paling jelas dalam mengurangi risiko keuangan adalah dengan memiliki portofolio saham dan sekuritas uang yang terdiversifikasi secara luas, termasuk di dalamnya sekuritas internasional dan utang dengan berbagai waktu jatuh tempo. Akan tetapi, derivatif juga dapat digunakan untuk mengurangi risiko yang terkait dengan bursa keuangan dan komoditas. Instrumen derivatif dasar dapat dikelompokkan menjadi forward, futures, opsi, dan swap (Brigham dan Houston, 2011:347). 1) Kontrak berjangka (forward contracts) merupakan suatu kontrak keuangan yang memperkenankan pembeli kontrak untuk membeli aset tertentu pada harga tertentu di tanggal tertentu di masa depan. Penjual kontrak berjangka harus menjual kepada pembeli pada harga dan tanggal di masa depan tersebut. Underlying asset untuk kontrak berjangka tidak harus berupa emas, tetapi dapat berupa komoditas seperti logam mulia, logam, energi, gandum, makanan, mata uang, dan indeks keuangan. Kontrak berjangka memiliki fleksibilitas yang tinggi, tetapi kontrak berjangka juga memiliki kelemahan yang cukup besar karena tidak likuid. Artinya, pembeli atau penjual kontrak berjangka tidak dapat dengan mudah menjual posisinya dalam kontrak berjangka sebelum tanggal pengiriman. Cara menghentikan kontrak berjangka ini adalah dengan membatalkan kontrak atas dasar persetujuan pihak lawan. 20 Cara yang lain adalah mencoba untuk menjual kontrak berjangka kepada pihak ketiga. Cara yang ini akan sulit dilakukan karena kontrak berjangka biasanya bersifat sangat khusus, sehingga akan sulit bagi pemilik kontrak untuk menemukan pembeli yang memiliki kebutuhan underlying asset yang persis sama pada jumlah, harga, dan tanggal pengiriman tetap yang persis sama seperti yang dicantumkan dalam kontrak. Agar kontrak berjangka dapat dengan mudah diperjualbelikan dan bersifat likuid, spesifikasinya perlu distandarisasi dan harus ada bursa untuk memperdagangkannya. 2) Kontrak ijon (futures contracts) pada intinya sama dengan kontrak berjangka, hanya saja spesifikasi kontrak berjangka tersebut telah distandarisasi dan diperdagangkan di bursa. Untuk suatu kontrak berjangka, harga pengiriman ditetapkan pada hari pertama dan tidak dapat diubah, tetapi pada kontrak ijon harga pengiriman underlying asset akan berubah setiap hari. Pada umumnya, jika harga pasar aset saat ini yang disebut harga spot naik, maka harga pengiriman kontrak ijon juga akan ikut naik, begitu pula sebaliknya. Kenaikan dalam harga pengiriman ini tidak harus persis sama dengan kenaikan harga aset. Harga pengiriman efektif kontrak ijon setiap saat diumumkan di bursa. Jadi, harganya dapat berubah kapan saja. Pada hari terakhir perdagangan, harga pengiriman penutup dari kontrak ijon akan diumumkan dan seluruh kontrak ijon yang beredar akan ditetapkan pada harga pengiriman tersebut sampai sesi perdagangan berikutnya. 3) Kontrak opsi (option contract) merupakan suatu kontrak yang memberikan hak kepada pemegangnya namun bukan kewajiban untuk membeli (atau 21 menjual) suatu aset pada harga yang telah ditentukan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu. Ada dua jenis kontrak opsi utama, yaitu opsi call dan opsi put : a) Opsi Beli (Call Option) merupakan suatu kontrak opsi untuk membeli atau “call” selembar saham pada harga dan tanggal yang telah ditentukan. Opsi call Eropa memberikan hak kepada pembeli kontrak, tetapi bukan kewajiban untuk membeli underlying asset dari penjual kontrak pada harga dan tanggal yang telah ditentukan. Opsi call Amerika mirip dengan Eropa hanya saja pembeli dapat melaksanakan opsi call pada atau sebelum tanggal kadaluwarsa, artinya pembeli dapat membeli underlying asset dari penjual opsi pada atau sebelum tanggal kadaluwarsa b) Opsi Jual (Put Option) merupakan suatu opsi untuk menjual selembar saham pada harga dan tanggal tertentu. Opsi put Eropa memberikan hak kepada pembeli kontrak tetapi bukan kewajiban untuk menjual underlying asset ke penjual kontrak pada suatu harga dan tanggal yang telah ditentukan. Opsi put Amerika persis sama dengan Eropa kecuali pembeli dapat melaksanakan opsi put, pada atau sebelum tanggal kadaluwarsa. 4) Swap adalah dua pihak yang setuju untuk bertukar (swap) sesuatu, biasanya kewajiban untuk melakukan sejumlah pembayaran tertentu. Terdapat banyak jenis swap yang ada di pasar, termasuk swap tingkat bunga, swap mata uang, swap ekuitas, swap komoditas, dan swap risiko kredit. Di antara beberapa swap tersebut, swap tingkat bunga merupakan yang paling tua dan paling sederhana. Suatu swap tingkat bunga merupakan suatu kontrak keuangan yang 22 didasarkan atas suatu estimasi, dimana pembeli kontrak membayar tingkat bunga tetap secara berkala yang didasarkan atas jumlah yang diestimasi oleh penjual, dan penjual kontrak membayar tingkat bunga mengambang berdasarkan atas jumlah estimasi yang sama secara berkala kepada pembeli. Madura (2006 : 147) menjelaskan derivatif mata uang yang sering digunakan baik oleh spekulator yang tertarik menggunakan perdagangan mata uang hanya untuk memperoleh keuntungan, maupun oleh perusahaan untuk melindungi posisi valuta asingnya. Perusahaan multinasional umumnya membentuk posisi derivatif sebagai lindung nilai eksposurnya terhadap risiko nilai tukar. Madura (2006 : 147) juga menjelaskan beberapa transaksi derivatif yang sering digunakan oleh MNC, yaitu sebagai berikut : 1) Pasar Forward. Pasar forward memfasilitasi perdagangan kontrak forward atas mata uang. Kontrak forward adalah perjanjian antara sebuah perusahaan dengan sebuah bank komersial untuk menukar sejumlah mata uang tertentu dengan kurs nilai tukar tertentu pada tanggal tertentu di masa depan. Saat perusahaan multinasional (MNC) mengantisipasi kebutuhan adanya penerimaan valuta asing di masa depan, MNC dapat membuat kontrak forward untuk menetapkan kurs untuk membeli atau menjual valuta asing tertentu. Umumnya semua MNC besar menggunakan kontrak forward, dan kontrak forward umumnya tidak digunakan oleh konsumen atau perusahaan kecil. Kontrak forward yang paling umum berjangka waktu 30, 60, 90, 180, dan 23 360 hari, kurs forward atas suatu mata uang tertentu umumnya berbeda sesuai dengan lamanya periode forward. 2) Pasar Futures. Kontrak futures mata uang merupakan kontrak yang menyatakan volume standar suatu mata uang tertentu untuk ditukar pada tanggal jatuh tempo tertentu. Kontrak futures mata uang serupa dengan kontrak forward dari sisi kewajibannya, tetapi berbeda dengan forward dari sisi bentuk perdagangannya. Futures umumnya digunakan oleh MNC untuk lindung nilai posisi valuta asingnya. Selain itu, futures diperdagangkan oleh spekulator yang berharap memperoleh manfaat dari prediksinya mengenai pergerakan kurs masa depan. Perusahaan atau individu dapat mengirim pesanan kontrak futures melalui perusahaan pialang yang bertindak sebagai perantara. 3) Pasar Opsi. Opsi mata uang memberikan hak untuk membeli atau menjual mata uang dengan harga tertentu. Opsi mata uang dikelompokkan menjadi opsi beli (call) dan opsi jual (put). a) Opsi beli mata uang memberikan hak untuk membeli mata uang tertentu pada harga tertentu selama suatu periode tertentu. Opsi beli akan menguntungkan ketika seseorang ingin menetapkan harga maksimum untuk membeli suatu mata uang di masa depan. Jika kurs spot mata uang tersebut meningkat di atas strike price (harga penyerahan), pembeli opsi dapat menggunakan opsi dengan membeli mata uang seharga strike price, yang lebih murah dibandingkan kurs spot yang berlaku. Pemilik opsi 24 dapat memilih untuk membiarkan opsi kadaluwarsa tanpa menggunakan opsi tersebut, pemilik opsi yang kadaluwarsa merugi sebesar premi awal yang dibayarnya, tetapi itulah jumlah kerugian maksimalnya. b) Opsi jual mata uang memberikan hak kepada pemilik opsi untuk menjual suatu mata uang pada harga tertentu selama suatu periode waktu tertentu. Opsi jual mata uang dikatakan menguntungkan jika kurs nilai tukar saat ini lebih kecil dari strike price, netral jika kurs nilai tukar saat ini sama dengan strike price, dan tidak menguntungkan jika kurs nilai tukar saat ini lebih tinggi dibandingkan strike price. 2.3 Leverage Brigham dan Houston (2011:153) menyatakan jika suatu perusahaan ingin tumbuh, perusahaan membutuhkan modal, dan modal tersebut datang dalam bentuk utang atau ekuitas. Pendanaan utang memiliki dua keunggulan penting, yang pertama yaitu bunga yang dibayarkan atas utang dapat menjadi pengurang pajak, sementara dividen yang dibayarkan atas saham bukan pengurang pajak dan hal ini akan menurunkan biaya relatif utang. Keunggulan yang kedua yaitu pengembalian atas utang jumlahnya tetap, sehingga pemegang saham tidak ikut menerima laba perusahaan jika perusahaan meraih keberhasilan yang luar biasa. Namun utang juga memiiki kelemahan, kelemahan yang pertama yaitu penggunaan utang dalam jumlah yang besar akan meningkatkan risiko perusahaan, yang meningkatkan biaya utang maupun ekuitas. Kelemahan yang kedua jika perusahaan mengalami masa – masa yang buruk dan laba operasinya 25 tidak mencukupi untuk menutup beban bunga, pemegang saham terpaksa harus menutupi kekurangan tersebut. Jika tidak bisa, perusahaan tersebut akan bangkrut. Risiko keuangan (Brigham dan Houston, 2011:164) adalah tambahan risiko yang dibebankan kepada para pemegang saham biasa sebagai hasil dari keputusan untuk mendapatkan pendanaan melalui utang. Penggunaan pendanaan melalui utang (leverage keuangan) akan memberikan tiga implikasi penting, yaitu: 1) Dengan memperoleh dana melalui utang, para pemegang saham dapat mempertahankan kendali atas perusahaan tersebut dengan sekaligus membatasi investasi yang diberikan. 2) Kreditor akan melihat pada ekuitas, atau dana yang diperoleh sendiri, sebagai suatu batasan keamanan, sehingga semakin tinggi proporsi dari jumlah modal yang diberikan oleh pemegang saham, maka semakin kecil risiko yang harus dihadapi oleh kreditor. 3) Jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai dengan dana hasil pinjaman lebih besar daripada bunga yang dibayarkan, maka pengembalian dari modal pemilik akan diperbesar. Perusahaan – perusahaan yang memiliki rasio utang relatif tinggi akan memiliki ekspektasi pengembalian yang juga lebih tinggi ketika perekonomian sedang berada pada kondisi normal, namun memiliki risiko kerugian ketika ekonomi mengalami masa resesi. Oleh sebab itu, keputusan akan penggunaan utang mengharuskan perusahaan menyeimbangkan tingkat ekspektasi pengembalian yang lebih tinggi dengan risiko yang meningkat. Rasio leverage dapat diukur dengan menggunakan debt to equity ratio. Debt to Equity Ratio 26 (DER) menunjukan sejauh mana pendanaan dari hutang digunakan jika dibandingkan dengan pendanaan ekuitas. Ahmad dn Haris (2012) juga menggunakan rasio yang sama yaitu debt to equity ratio yang merupakan rasio total hutang dibandingkan dengan total ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan dan dapat dirumuskan sebagai berikut : DER = Penggunaan Debt to Equity Ratio dikarenakan DER adalah rasio yang paling tepat untuk menggambarkan struktur modal perusahaan dan dapat menunjukan kondisi keuangan perusahaan. Total utang meliputi kewajiban lancar dan utang jangka panjang. Kreditor lebih menyukai rasio utang yang lebih rendah karena semakin rendah angka rasionya, maka semakin besar peredaman dari kerugian yang dialami kreditor jika terjadi likuidasi. Pemegang saham mungkin di lain pihak lebih menginginkan lebih banyak leverage karena ia akan memperbesar ekspektasi keuntungan. Hubungan leverage dengan keputusan hedging dapat dilihat dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Ameer (2010) dalam artikelnya menyatakan bahwa suatu perusahaan yang menggunakan utang akan menghadapi biaya kesulitan keuangan dan karenanya keinginan yang lebih besar untuk terlibat dalam aktivitas lindung nilai. Ahmad dan Haris (2012) juga menyatakan hal yang sama bahwa lindung nilai akan dapat mengurangi kemungkinan perusahaan dalam kesulitan keuangan akibat penggunaan utang, sehingga leverage memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap penggunaan hedging. Beberapa penelitian juga mendukung pendapat tersebut 27 seperti yang dilakukan oleh Takao dan Lantara (2009), Afza dan Alam (2011), serta Guniarti (2014). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Shaari et al. (2013) yang menyatakan bahwa leverage memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap penggunaan hedging pada perusahaan di Malaysia. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan derivatif dari suatu perusahaan tergantung pada posisi keuangan perusahaan. Sebagai sebuah perusahaan di tingkat utang yang tinggi, perusahaan akan memotong biaya untuk mengurangi tingkat utang dan dengan demikian perusahaan akan menghindari masuk ke pasar derivatif jika tidak perlu karena permasalahan anggaran dan modal. Alasan mengapa rasio hutang terhadap ekuitas tidak signifikan adalah mungkin karena rasio ini yang tidak bisa secara akurat menunjukkan tingkat utang perusahaan, dan beberapa perusahaan mungkin tidak menambah dana operasional dari sumber pendanaan eksternal. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Jiwandhana dan Triaryati (2016) bahwa Debt to equity ratio (DER) sebagai proksi dari leverage memiliki pengaruh yang negatif namun tidak signifikan pada keputusan hedging dengan instrumen derivatif. 2.4 Ukuran Perusahaan Besar kecilnya suatu perusahaan membuat pengambilan keputusannya pun berbeda-beda. Besarnya ukuran perusahaan dapat mempengaruhi kemudahan suatu perusahaan dalam memperoleh sumber pendanaan baik eksternal maupun internal (Aretz et al.,2007). Semakin besar suatu perusahaan risiko yang diterima 28 pun semakin besar, sehingga perusahaan cenderung lebih banyak melakukan aktivitas hedging untuk melindungi asetnya. Perusahaan yang lebih besar tentunya memiliki aktivitas operasional yang luas dan lebih berisiko karena adanya kemungkinan besar untuk bertransaksi hingga ke berbagai negara. Ketika perusahaan dengan ukuran yang besar beroperasi melintasi berbagai negara akan melibatkan beberapa mata uang yang berbeda (Guniarti, 2014). Dalam kegiatannya akan terdapat risiko fluktuasi nilai tukar mata uang. Oleh karena itu, perusahaan yang lebih besar akan lebih banyak melakukan aktivitas hedging dalam rangka melindungi perusahaan dari risiko fluktuasi nilai tukar mata uang (Nguyen & Faff, 2002). Ukuran perusahaan diukur dengan logaritma nilai buku dari total aset (Ahmad dan Haris, 2012) yang bisa dirumuskan sebagai berikut : Firm Size = In Total Asset Ukuran perusahaan dilihat dari jumlah total aset yang dimilikinya, semakin besar aset yang dimiliki, semakin hati-hati perusahaan tersebut melangkahkan suatu kegiatan di perusahaannya. Ameer (2010) juga telah menyatakan bahwa ada hubungan antara ukuran perusahaan dan lindung nilai, terdapat hubungan positif atau negatif antara ukuran perusahaan dan aktivitas lindung nilai. Perusahaan-perusahaan kecil memiliki insentif yang lebih besar untuk melakukan lindung nilai. Karena perusahaan-perusahaan kecil juga dihadapkan dengan asimetri informasi yang lebih besar dan biaya transaksi pembiayaan yang lebih tinggi, jadi untuk membuat pendanaan eksternal tentunya akan lebih mahal bagi perusahaan-perusahaan kecil, sehingga lindung nilai sangat 29 mungkin untuk dilakukan. Namun, perusahaan-perusahaan kecil mungkin tidak memiliki teknologi dan keahlian untuk secara efektif menggunakan derivatif untuk mengelola eksposur risiko tersebut. Guniarti (2014) menyatakan bahwa besarnya ukuran perusahaan dapat mempengaruhi kemudahan suatu perusahaan dalam memperoleh sumber pendanaan baik eksternal maupun internal. Bahkan ukuran perusahaan dapat pula menciptakan hambatan masuk bagi perusahaan lain untuk memasuki industri tersebut. Perusahaan besar cenderung bertindak hati – hati dalam melakukan pengelolaan perusahaan dan cenderung melakukan aktivitas hedging yang lebih banyak. Perusahaan yang besar lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga mereka akan lebih berhati-hati dalam menjalankan perusahaan sehingga berdampak perusahaan tersebut melakukan manajemen risiko yang lebih ketat. Beberapa penelitian juga menyatakan hubungan antara ukuran perusahaan dengan keputusan hedging. Sang et al (2013) menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh tidak signifikan terhadap keputusan penggunaan hedging. Ahmad dan Haris (2012) dan Marshal et al. (2013) juga menyatakan hal yang sama bahwa ukuran perusahaan berpengaruh tidak signifikan terhadap keputusan penggunaan hedging. Berbeda dengan beberapa penelitian berikut seperti yang dilakukan Shiu et al. (2010) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan hedging. Takao dan Lantara (2009) juga menemukan hal yang sama bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap pengambilan keputusan hedging. Afza dan Alam (2011), Ameer (2010), Chaudrhry et al. 30 (2014), Raghavendra dan Velmurugan (2014), serta Jin dan Jorion (2007) juga menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengambilan keputusan hedging. 2.5 Profitabilitas Profitabilitas adalah hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan yang dilakukan oleh perusahaan (Brigham dan Daves, 2009:265). Bagi perusahaan tingkat profitabilitas lebih penting dibandingkan dengan laba, karena laba yang lebih besar bukan merupakan ukuran perusahaan telah memiliki kinerja yang efektif dan efisien. Rasio yang telah dibahas sejauh ini dapat memberikan petunjuk yang berguna dalam menilai keefektifan dari operasi sebuah perusahaan, tetapi rasio profitabilitas akan menunjukkan kombinasi efek dari likuiditas, manajemen aktiva, dan utang pada hasil – hasil operasi (Brigham dan Daves, 2009:266). 1) Margin laba atas penjualan yang dihitung dengan membagi laba bersih dengan penjualan, akan menunjukkan laba per nilai dolar penjualan : Margin laba atas penjualan = 2) Kemampuan dasar untuk menghasilkan laba dihitung dengan membagi keuntungan sebelum beban bunga dan pajak (EBIT) dengan total aktiva : Basic Earning Power (BEP) = Rasio di atas menunjukkan kemampuan dasar untuk menghasilkan laba dari aktiva – aktiva perusahaan, sebelum ada pengaruh dari pajak dan leverage, 31 dan angka ini akan bermanfaat dalam membandingkan perusahaan – perusahaan dengan berbagai situasi pajak dan tingkat pengungkitan keuangan yang berbeda – beda. 3) Rasio antara laba bersih terhadap total aktiva mengukur tingkat pengembalian total aktiva (return to total assets – ROA) setelah beban bunga dan pajak : ROA = 4) Tingkat pengembalian ekuitas saham biasa yaitu rasio laba bersih terhadap ekuitas saham biasa, mengukur tingkat pengembalian atas investasi dari pemegang saham biasa. ROE = Riyadi (2006:155) menyatakan bahwa terdapat dua rasio yang digunakan untuk mengukur profitabilitas suatu perusahaan, rasio – rasio tersebut adalah sebagai berikut : 1) Return On Assets (ROA) ROA merupakan rasio perbandingan antara laba sebelum pajak dengan total aset, rasio ini menunjukkan tingkat efisiensi pengelolaan aset yang dilakukan oleh perusahaan. Secara umum ROA diformulasikan sebagai berikut : ROA = ( ) x 100 Persen 32 2) Return On Equity (ROE) ROE merupakan rasio perbandingan antara laba setelah pajak dengan modal inti, rasio ini menunjukkan tingkat persentase yang dapat dihasilkan oleh perusahaan. Secara umum ROE diformulasikan sebagai berikut : ROE = ( ) x 100 Persen Dalam penelitian ini rasio yang digunakan untuk mengukur profitabilitas adalah Return On Assets (ROA). Penggunaan Return on Asset (ROA) dikarenakan ROA adalah rasio yang mencerminkan efektivitas kinerja suatu perusahaan untuk mendapatkan keuntungan. Apabila tingkat pengembalian (ROA) perusahaan berada dibawah rata – rata industri, ini merupakan akibat dari kemampuan untuk menghasilkan laba perusahaan yang rendah ditambah dengan biaya bunga yang tinggi yang dikarenakan oleh penggunaan utangnya diatas rata – rata, dimana keduanya menyebabkan laba bersihnya menjadi relatif rendah (Brigham dan Daves, 2009:266). Adapun beberapa penelitian terdahulu yang menyatakan hubungan antara profitabilitas dengan keputusan hedging. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Shaari et al. (2013) yang menyatakan bahwa ROA dan ROE memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap penggunaan hedging pada perusahaan di Malaysia. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Jiwandhana dan Triaryati (2016) yang menyatakan bahwa return on asset sebagai proksi dari profitabilitas memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel dependen yaitu keputusan hedging dengan menggunakan instrumen derivatif. Berbeda dengan penelitian Jin dan Jorion (2007) yang menyatakan 33 bahwa profitabilitas memiliki hubungan yang negatif dengan penggunaan hedging. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Jang (2011) dimana terdapat hubungan yang negatif antara profitabilitas perusahaan dengan keputusan hedging perusahaan dengan alasan semakin tingginya profitabilitas maka perusahaan akan menghadapi risiko financial distress cost yang lebih kecil dan mengakibatkan perusahaan tidak melakukan hedging. 2.6 Likuiditas Aktiva likuid adalah aktiva yang diperdagangkan dalam suatu pasar yang aktif sehingga akibatnya dapat dengan cepat diubah menjadi kas dengan menggunakan harga pasar yang berlaku (Brigham dan Daves, 2009:256). Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang harus segera dipenuhi. Menurut Brigham dan Daves (2009:258) rasio likuiditas yaitu rasio yang menunjukkan hubungan antara kas dan aktiva lancar lainnya dari sebuah perusahaan dengan kewajiban lancarnya. Kemampuan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendeknya dapat dihitung menggunakan rasio lancar, dengan cara membagi aktiva lancar dengan kewajiban lancar (Brigham dan Daves, 2009:258) : Rasio Lancar = Current ratio (Rasio lancar) merupakan salah satu rasio likuiditas yang bertujuan untuk melihat besarnya aktiva lancar relatif terhadap utang lancarnya. Aktiva lancar umumnya meliputi kas, sekuritas, piutang usaha, dan persediaan. Kewajiban lancar terdiri atas utang usaha, wesel tagih jangka pendek, 34 utang jatuh tempo yang kurang dari satu Tahun, akrual pajak, dan beban – beban akrual lainnya. Jika sebuah perusahaan mengalami kesulitan keuangan, perusahaan akan mulai membayar tagihan – tagihannya (utang usaha) secara lebih lambat, meminjam dari bank, dan seterusnya. Jika kewajiban lancar meningkat lebih cepat dari aktiva lancar, rasio lancar akan turun, dan hal ini pertanda adanya masalah. Ahmad dan Haris (2012) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat likuiditas yang lebih tinggi akan mencoba sejauh mungkin untuk tidak untuk menggunakan sumber pembiayaan eksternal. Likuiditas yang tinggi mengarah untuk menurunkan eksposur dan dengan demikian mengakibatkan perusahaan memiliki sedikit insentif untuk lindung nilai. Secara teoritis diperkirakan bahwa likuiditas perusahaan berbanding terbalik dengan probabilitas perusahaan untuk menggunakan derivatif untuk mengelola risiko keuangan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nguyen dan Faff (2002) menunjukkan bahwa semakin likuid perusahaan, semakin kecil kemungkinan akan menggunakan derivatif untuk mengelola risiko. Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Shaari et al. (2013) yang menyatakan bahwa likuiditas memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap penggunaan hedging pada perusahaan di Malaysia. Penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian Guniarti (2014) yang menyatakan bahwa liquidity berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap probabilitas aktivitas hedging. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Marshall et al. (2013) yang menyatakan bahwa Likuiditas berpengaruh positif namun tidak signifikan 35 terhadap keputusan penggunaan hedging. Sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Raghavendra dan Velmurugan (2014) yang menyatakan bahwa likuiditas berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap pengambilan keputusan hedging. Shaari et al. (2013) menyatakan bahwa likuiditas berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap penggunaan hedging.