“SEMINAR HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNTUK PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT” • Bidang Sosial, Ekonomi dan Humaniora/Agama • Bidang Teknologi dan Rekayasa/Produk • Bidang Biologi dan Kesehatan Dipublikasikan oleh: Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta Telp.(0274) 563929 ext.126 Fax.(0274) 513235 ISBN : 978-602-6806-02-4 ©November 2015 Tim Reviewer : 1. Prof. Ir. Titien Saraswati, M.Arch., Ph.D 2. Dr. dr. Nining Sri Wuryaningsih, Sp.PK 3. Dr. Charis Amarantini, M.Si 4. Dr. Ir. Sri Suwarno, M.Eng 5. Dr. Singgih Santoso, MM 6. Pdt. Robert Setio, Ph.D KATA PENGANTAR Dalam rangka mencapai visi dan misi Universitas, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana telah menyelenggarakan kegiatan ilmiah berupa diseminasi hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kegiatan seminar ini merupakan salah satu bentuk kegiatan ilmiah yang dilakukan guna mendorong dan meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian dosen. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka mencapai tujuan universitas khususnya dalam mengemban dharma penelitian dan dharma pengabdian kepada masyarakat seperti tersebut dalam dokumen Rencana Induk Penelitian Universitas Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UKDW berpendapat bahwa pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembangunan nasional adalah suatu keharusan sehingga eksistensi perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat berkontribusi nyata kepada peningkatan daya saing bangsa. Perbaikan kualitas penelitian akan dapat mewujudkan negara yang bermutu dan berwibawa, yang salah satu indikator utamanya adalah publikasi para peneliti dan akademisi. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UKDW terus berupaya untuk mengemas program penelitian dan pengabdian masyarakat secara simultan dan berkesinambungan sesuai dengan perkembangan ipteks-sosbud dan kebutuhan pembangunan. Reformulasi berbagai program penelitian terus dilakukan dalam upaya merespon atas keinginan para peneliti dan stake-holders serta sekaligus merespon atas kemajuan Ipteks itu sendiri. Semua artikel yang termuat dalam prosiding ini diperoleh melalui suatu proses seleksi yang panjang yang dilakukan oleh tim reviewer dan telah dipresentasikan pada hari Jumat 23 Oktober 2015. Prosiding ini mencakup tiga kelompok bidang yaitu bidang Sosial, Ekonomi dan Humaniora/Agama, bidang Teknologi dan Rekayasa/Produk serta bidang Biologi dan Kesehatan. LPPM berharap dengan diselenggarakan acara seminar ini dapat meningkatkan produktivitas karya ilmiah serta menjadi sarana bagi dosen dalam upaya mendiseminasikan dan mempublikasikan hasil penelitian yang selanjutnya dapat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam. Yogyakarta, November 2015 Ketua LPPM UKDW, dr. The Maria Meiwati Widagdo, Ph.D CONTENTS • • • • • • • • • • • • • KILLER YEAST AND ITS FUTURE APPLICATION Dhira Satwika ROLE OF ORGANIZATIONAL LEARNING IN THE RELATIONSHIP BETWEEN TQM PRACTICES AND ORGANIZATIOAL PERFORMANCE Sisnuhadi RINGKASAN PENELITIAN UNTUK PENGEMBANGAN MODUL MODEL PENDIDIKAN PERDAMAIAN BERBASIS BUDAYA DI KOTA YOGYAKARTA Dra. Alviani Permata, M.Hum., Dra.Endah Setyowati, M.Si., MA, Dra.Krisni Noor Patrianti,M.Hum., Marsius Tinambunan, S.Th., B.Ch.M, Pratomo Nugroho Soetrana, MA., DAMPAK PEMBAKUAN PERAN GENDER TERHADAP KELAS SOSIAL DI YOGYAKARTA Asnath. N.Natar; Edy Nugroho ARSITEKTUR GEREJA BERPERSFEKTIF FEMINIS Asnath Niwa Natar ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN PENGGUNA BPJS KESEHATAN DI YOGYAKARTA Petra Surya Mega Wijaya, SE, MSi dan Dra Ety Istriani, MM PEMODELAN DATA BERBASIS SEMANTIC WEB UNTUK KATALOG BUKU PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS Budi Susanto1), Umi Proboyekti2) MAKNA SIMBOL RELASI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL SUMBA SEBAGAI ACUAN PERWUJUDAN KESETARAAN JENDER Wiyatiningsih, Asnath Niwa Natar, Endah Setyowati, Alviani Permata KONTRIBUSI DAN PENERIMAAN PENGGUNA DALAM KESUKSESAN IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI ANGGARAN DAN REALISASI Lussy Ernawati, Halim Budi Santoso PENINGKATAN PEMASARAN SEKOLAH MELALUI DESAIN WEBSITE Parmonangan Manurung1), Ferdy Sabono2) MODEL KLASIFIKASI SIDIK JARI DENGAN TEORI HIMPUNAN GANDA Sri Suwarno KEANEKARAGAMAN DAN POTENSI MAKROFUNGI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI LERENG UTARA KABUPATEN BOYOLALI Aniek Prasetyaningsih dan Djoko Rahardjo PEMBERDAYAAN EKONOMI JEMAAT MELALUI BUDIDAYA JAMUR DI MAGELANG DAN GUNUNG KIDUL Aniek Prasetyaningsih dan Kisworo 1 5 19 29 41 54 66 76 90 96 101 106 115 • • • • • • • PROFIL CEMARAN KROM DI LINGKUNGAN DAN AKUMULASINYA PADA RAMBUT DAN KUKU WARGA DESA BANYAKAN, PIYUNGAN BANTUL Djoko Rahardjo DETECTION OF ENTEROBACTERIACEAE FROM PROCESSED-WELL WATER Eunike Ilona Hilson, Dhira Satwika DETEKSI MOLEKULER SALMONELLA SP PADA SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWA DI KABUPATEN SLEMAN, YOGYAKARTA Gracia Imelda Ubas1), Charis Amarantini1) POTENSI DAN ADAPTASI JENIS-JENIS IKAN PAYAU (MANGROVE) SEBAGAI IKAN HIAS AIR TAWAR Guruh Prihatmo; Haryati Bawole Sutanto MOLECULAR DETECTION OF ESCHERICHIA COLI FROM WATER WELLS IN KLITREN, YOGYAKARTA RA Mertha Prana, Dhira Satwika GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU TERHADAP DBD DI DUSUN TRISIGAN, DESA MURTIGADING, KECAMATAN SANDEN, KABUPATEN BANTUL Amaze Grace Sira1), Yoseph Leonardo Samodra1) STUDI KASUS PENYELEKSIAN MODEL DALAM SISTEM BIOLOGI SANGAT BERGANTUNG PADA RANCANGAN PERCOBAAN YANG DIPILIH Suhardi Djojoatmodjo 123 131 136 144 150 153 158 Procceding POTENSI DAN ADAPTASI JENIS-JENIS IKAN PAYAU (MANGROVE) SEBAGAI IKAN HIAS AIR TAWAR Guruh Prihatmo Haryati Bawole Sutanto Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, 2015 ABSTRAK Populasi ikan payau di kawasan ekosistem mangrove makin hari makin menurun, seiring dengan terjadinya degradasi hutan mangrove di daerah pasang surut baik secara kualitas, maupun kuantitas. Disamping itu banyak jenis-jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi sangat rendah, sehingga tidak ada upaya untuk pemeliharaan atau pelestarian jenis-jenis tersebut. Untuk itu perlu adanya peningkatan nilai ekonomi jenis-jenis ikan tersebut supaya ada perhatian untuk pemeliharaan dan pelestariannya. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonominya yaitu dengan menjadikannya sebagai ikan hias air tawar, untuk itu ikan-ikan air payau perlu diteliti dan dikaji tentang kemampuan adaptasi dan potensinya sebagai ikan hias air tawar. Metode eksperimen digunakan dalam penelitian ini dengan ikan uji berjumlah 11 jenis, dan masing-masing jenis ada 10 ekor, yang diperlakukan ditempat pengujian berupa akuarium . Proses adaptasi dilakukan dengan cara pengurangan salinitas air payau secara bertahap hingga menjadi tawar ( 100%, 87,5%, 75%, 62,5%, 50%, 37,5%, 25%, 12,5%, 0% atau 100% air tawar) dan dalam proses tersebut juga dicoba pakan alternatif yang mudah dicari dan ikan mau makan. Selain itu kondisi oksigen terlarut, suhu, dan pH air juga selalu dijaga agar tetap dalam keadaan normal, dan juga dilakukan pengamatan terhadap perubahan warna dan perilaku ikan. Dari hasil penelitian terhadap 11 jenis ikan uji, 10 jenis (Scatophagus argus, valamugil seheli, Acanthopagrus berda, Ambassis dussumieri, Diodon holocanthus, Lutjanus argentimaculatus, Tridentiger brevispinis, Bentophilus sp, Mystus nigriceps, dan Labeo rohita) bertahan hingga hidup pada kondisi air tawar, sedangkan untuk jenis Sicyopterus stimpsoni mati semua pada hari ke 25 dimana kondisi air payau masih 12,5%. Kata kunci: Ekosistem mangrove, ikan payau, adaptasi PENDAHULUAN Perairan payau merupakan perairan yang sangat kaya akan keanekaragam hayati, karena perairan tersebut merupakan daerah ekoton atau transisi atau pertemuan antara air laut dengan air sungai. Anasir-anasir abiotik maupun biotiknya juga dipengaruhi oleh perairan laut dan perairan sungai, sehingga keanekaragaman hayatinya juga berasal dari kedua ekosistem perairan tersebut. Selain itu pada perairan payau juga dijumpai jenis-jenis mahluk hidup yang khas, yang hanya hidup pada perairan payau saja dan tidak dijumpai pada perairan laut maupun perairan tawar, misalnya untuk hewan yaitu jenis ikan glodok, dan untuk tumbuhan yaitu jenis Rhizopora sp (bakau) dan Avecenia sp (apiapi). Pada perairan payau dengan substrat yang berlumpur dan berpasir serta akumulasi bahan organik biasanya ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan yang menyusun ekosistem atau hutan mangrov. Pengertian mangrove menunjuk pada semua tumbuhan atau komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut atau daerah peralihan an- 144 tara air laut dengan air tawar. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir dan laut, yang mempunyai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya (Prihatmo, 2014). Sebagai fungsi ekologi yaitu menyedia nutrien bagi biota perairan, tempat bersarang atau pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, penahan angin dan tsunami, penyerap limbah atau remidiasi bahan pencemar, dan pencegah intrusi air laut. Selain itu hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomi yang tinggi seperti penyedia kayu bakar atau arang, bubur kertas, kayu untuk mebel, kerajinan tangan, bahan obat obat-obatan, dan penghasil komoditas perikanan yang bernilai ekonomi tinggi. Sedangkan fungsi sosial-budaya sebagai areal konservasi, pendidikan, dan ecotourism. Hutan mangrove yang alami yang mempunyai area yang sangat luas yaitu di Jawa Tengah Kabupaten Cilacap, dengan luas mencapai lebih dari 20.000 Ha. Di kawasan mangrove Cilacap terdapat pemukiman yang cukup luas, yaitu ada 4 desa yang biasa disebut dengan Kampung Laut, dan sebagian besar Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Procceding masyarakatnya adalah nelayan. Namun makin hari keadaan perikanan kawasan mangrove produksinya semakin menurun, karena meningkatnya aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove dan perairan payau secara umum, sehingga menurunkan pendapatan nelayan dan akhirnya berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat nelayan. Untuk itu perlu adanya alternatif lain untuk meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan di kawasan perairan payau hutan mangrove. Salah satu alternatif tersebut yaitu menjadikan ikan-ikan payau yang mempunyai nilai ekonomi rendah menjadi ikan hias air tawar. Banyak jenis-jenis ikan payau yang mempunyai bentuk dan warna yang unik dan indah, sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan ikan hias. Supaya ikan hias tersebut diminati banyak orang dan mempunyai pasar yang luas maka harus diadaptasikan untuk hidup di air tawar. Karena itu kemampuan adaptasi jenis-jenis ikan payau untuk hidup di air tawar perlu diteliti. Tujuan penelitian ini yaitu untuk: Mempelajari dan menguji-coba apakah jenis-jenis ikan perairan payau dapat diadaptasikan untuk hidup di air tawar, dan jenis-jenis ikan payau apa saja yang dapat diadaptasikan untuk hidup di air tawar dan mempunyai potensi untuk dijadikan ikan hias. TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2001). Mangrove membentuk salah satu ekosistem yang paling unik di dunia karena mereka berkembang di mana tidak ada tumbuhan lain yang dapat bertahan di zona transisi antara laut dan daratan. Mereka juga berada di antara sebagian besar ekosistem produktif di dunia (Mithaphala, 2008). Faktor utama yang mempengaruhi ekosistem ini adalah salinitas, tipe tanah, resistensi terhadap arus air, masukan air tawar, sedimentasi, aliran pasang surut, dan gelombang air laut (Setyawan , dkk, 2003). Menurut MacKinnon dkk. (2000) hutan mangrove adalah nama kolektif untuk vegetasi pohon yang menempati pantai berlumpur di dalam wilayah pasang surut, dari tingkat air pasang tertinggi sampai tingkat air surut terendah. Selain itu ia terbentuk karena adanya masukan air tawar, sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat (Goldman dan Horne, 1983). Mangrove tidak tumbuh di pantai terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat karena hal ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur dan pasir yang merupakan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya (Nontji, 2005 dalam Muhaerin 2008). Menurut Murniati (2010), kehidupan beberapa jenis/spesies fauna, baik ikan maupun fauna bentik lainnya sangat bergantung pada kondisi wilayah mangrove. Penangkapan ikan menurut Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (2004) data perikanan menunjukkan bahwa sekitar 3 % dari hasil tangkapan laut Indonesia berasal dari jenis spesies yang bergantung pada ekosistem mangrove, seperti Penaeus monodon, Penaeus mareueiensis, Metapenaeus sp, kepiting bakau, dan Scylla serrata. Peranan ekosistem mangrove bagi penyedia produk tangkapan hasil laut adalah sebagai daerah asuhan (nursery grounds), daerah pencari makanan (feeding grounds), dan daerah pemijahan (spawning grounds). Kawasan mangrove Segara Anakan Cilacap merupakan wilayah ekosistem Estuaria yaitu Estuaria Laguna Segara Anakan. Menurut LIPI (Oseanografi) Segara Anakan menpunyai banyak keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki fungsi ekologi yang sangat besar. Hilangnya kawasan ini tentu akan membawa implikasi ancaman ekonomi dan kerusakan lingkungan yang fatal (PEP-LIPI, 2001 dalam Pratiwi, 2013). Menurut Wakil Administratur Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Banyumas Barat, Hilman Firmansyah, sejak tahun 2000 kawasan hutan mangrove di Segara Anakan, Cilacap mengalami alih fungsi lahan, hampir 4.000 hektar hutan mangrove beralih fungsi menjadi lahan pertanian dan juga telah beralih fungsi menjadi areal tambak, permukiman, serta kayu mangrove yang ditebang untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar (Perum Perhutani, 2000 dalam Pratiwi, 2013). Kepala Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan, Supriyanto menjelaskan bahwa pada tahun 1974, luas hutan mangrove di Segara Anakan yaitu 15.551 hektar, tahun 1978 menyusut menjadi 10.975 hektar, tahun 1994 kembali menyusut menjadi 8.975 hektar, dan tahun 2003 hanya sekitar 8.359 hektar (Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan (KPSKSA) Kabupaten Cilacap, 2009). Jenis-jenis ikan perairan payau sangat beranekaragam, karena ikan-ikan pada daerah ini berasal dari laut dan juga berasal dari sungai, yang mempunyai toleransi terhadap kadar garam sedang. Misalnya di Kawasan Mangrove Taman Nasional Ujung Kulon ditemukan 58 jenis ikan, yang tergolong dalam 34 famili dan 43 genus (Wahyudewantoro tahun 2009). Ikan dapat ditemukan di hampir semua genangan air yang berukuran besar, baik air tawar, air payau maupun air asin dan pada kedalaman bervariasi mulai dari dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan (Fatkhomi, 2009). Raharjo (2011), menyebutkan beberapa habitat ikan pada umumnya yaitu hábitat air tawar Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat 145 Procceding dan air laut. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi 2 yaitu air tergenang atau disebut habitat lentik dan habitat lotik. Sungai yang deras dan sungai yang tenang memiliki arus yang berbeda sehingga berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Ikan berada dalam estuari pada bulan-bulan tertentu, baik ikan air tawar maupun ikan laut. Baik ikan-ikan yang hidup di estuari maupun ikan-ikan pendatang sangat toleran terhadap perubahan salinitas dan faktor lain seperti temperatur, pH dan sebagainya (Raharjo, 2011). Ada beberapa parameter lingkungan yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan, yaitu: 1. Suhu. Menurut Nybakken (1988), ikan dapat hidup dengan baik pada suhu berkisar antara 25-29ºC sedangkan batas minimum suhu berkisar antara 16-17ºC. 2. Salinitas. Salinitas setiap jenis ikan tidak sama (Brotowidjoyo, dkk., 1995). Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan. Pada ikan, salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut. 3. pH. Ikan dapat hidup dalam air dengan nilai pH berkisar antara 5-9 (Michael, 1995). 4. Arus Air. Arus air mempermudah penyebaran telur, larva dan ikan-ikan kecil, serta bermigrasi. (Brotowidjoyo, dkk., 1995) Pasang surut juga mempengaruhi keberadaan jenis ikan, karena air laut mengalir dengan volume tinggi sehingga ikan yang mempunyai habitat di laut akan menuju ke arah hulu. 5. Cahaya. Cahaya merupakan faktor penting bagi kehidupan di perairan. Bagi produsen sebagai sumber energi untuk fotosíntesis, bagi ikan yaitu untuk mencari mangsa, reproduksi, berlindung dari predator dan orientasi migrasi. Ikan menanggapi rangsangan cahaya antara 0 sampai 5 meter (Brotowidjoyo, dkk.,1995). 6. BOD (Biochemical Oxygen Demand). Perairan dengan nilai BOD tinggi mengindikasikan bahwa perairan tersebut tercemar oleh bahan organik. Kadar BOD yang aman untuk kehidupan biota perairan tidak lebih dari 4 ppm Menurut Radiopoetro (1991), bentuk, ukuran dan jumlah sisik ikan dapat memberikan gambaran bagaimana kehidupan ikan tersebut. Sisik ikan mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka macam, yaitu sisik ganoid merupakan sisik besar dan kasar, sisik sikloid dan stenoid merupakan 146 sisik yang kecil, tipis atau ringan serta sisik placoid merupakan sisik yang lembut. Umumnya tipe ikan perenang cepat atau secara terus menerus bergerak pada perairan berarus deras mempunyai tipe sisik yang lembut, sedangkan ikan-ikan yang hidup di perairan yang tenang dan tidak berenang secara terus menerus pada kecepatan tinggi umumnya mempunyai tipe sisik yang kasar. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2015, dengan lokasi pengambilan sampel ikan untuk diuji di perairan payau Desa Ujung Alang, Kampung Laut Segara Anakan Kabupaten Cilacap. Ikan ditangkap dengan menggunakan jala dengan mata jaring 1,5 cm dan 2,5 cm, jaring tebar (gillnet) dengan mata jaring 1 cm dan serok ikan. Ikan-ikan yang tertangkap diidentifikansi dengan buku identifikasi ikan yang ditulis oleh Saanin, 1984 dan Omar, 2012. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, yaitu dengan melakukan percobaan dengan menguji-coba beberapa jenis ikan yang ditangkap di perairan payau hutan mangrove untuk diadaptasikan secara bertahap untuk dikondisikan agar bisa hidup di air tawar. Adaptasi tersebut didasarkan pada pengurangan konsentrasi air payau dan waktu aklimasi. Pengurangan konsentrasi air payau seara bertahap, yaitu mulai dari 100%, 87,5%, 75%, 62,5%, 50%, 37,5%, 25%, 12,5%, dan yang terkahir semua air tawar. Waktu aklimasi masing-masing tahap selama 4 hari, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk adaptasi selama 32 hari. Jumlah ikan yang diuji untuk setiap jenis sebanyak 10 ekor dengan tempat uji menggunakan akuarium sehingga perilaku ikan dapat diamati dengan jelas, dengan ukuran akuarium panjang 50 cm, lebar 30 cm, dan tinggi 40 cm dan kedalaman air 32 cm. Selama proses adaptasi, konsentrasi oksigen terlarut, pH, dan suhu selalu dijaga agar sesuai dengan kondisi lapang. Data-data yang diperoleh selama percobaan dianalisis secara deskriptif dan kualitatif. HASIL Jenis-jenis Ikan Air Payau yang Diuji Dalam penelitian ini ikan yang diuji sebanyak 11 jenis, yaitu: 1. Scatophagus argus (ikan keeper) Ikan ini sering dijumpai pada perairan payau, baik di muara sungai, sekitar dermaga pelabuhan, maupun di perairan hutan mangrove, umumnya hidup berkelompok. Di alam ikan ini memakan lumut atau larva hewan lain, jadi bersifat omnivore, Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Procceding dan toleran terhadap fluktuasi salinitas. Ikan keeper di pasaran jarang di jumpai dan masih sangat jarang dipelihara sebagai ikan hias, padahal mempunyai bentuk dan motif yang bagus seperti ikan discus (ikan hias air tawar). 2. Valamugil seheli ( Forsskal) (ikan belanak) Ikan belanak umumnya dijumpai di perairan payau, umumnya hidup berkelompok.. Secara umum tubuhnya berbentuk memanjang agak langsing dan memipih, sirip punggung terdiri dari satu jari-jari keras dan delapan jari-jari lemah, sirip dubur berwarna putih kotor terdiri dari satu jari-jari keras dan sembilan jari-jari lemah, dan bibir bagian atas lebih tebal dari pada bagian bawahnya. Di alam hewan ini memakan lumut atau larva hewan lain. Ikan ini jarang sekali dipelihara sebagai ikan hias. 3. Acanthopagrus berda (ika bekuku) Acanthopagrus berda merupakan ikan perairan payau dan banyak dijumpai di daerah estuary, terutama pada tempat-tempat yang dasar perairannya berpasir atau berlumpur. Ikan ini merupakan ikan predator, dan di alam ia memakan hewn invertebrate, termasuk cacing, molusca, crustacean, ikan kecil lainnya. Ikan ini sangat jarang dipelihara sebagai ikan hias, padahal mempunyai bentuk dan warna yang bagus. 4. Ambassis dussumieri (ikan pempreng/ seriding) Seriding atau ambassis umumnya berukuran kecil berwarna keperakan, terang agak tembus pandang. Hidup di perairan payau di dataran rendah, jarang ditemukan di air tawar, hidup di perairan yang banyak vegetasi, di perairan dangkal dan banyak dijumpai di ekosistem mangrove. Ikan ini termasuk ikan omnivora cenderung ke karnivora, pakan alaminya ganggang, serangga air, crustacean, dan hewan kecil lainnya. Ikan ini tidak memiliki nilai jual di pasar tetapi sering dijadikan sebagai umpan untuk memancing ikan yang berukuran lebih besar. Ikan ini masih sangat jarang dipelihara sebagai ikan hias, tetapi berpotensi sebagai ikan hias. 5. Diodon holocanthus (ikan buntal) Diodon holocanthus (ikan buntal) hidup di laut maupun perairan payau. Ikan ini tersebar luas, bersifat pelagic, umumnya hidup berkelompok, dan apabila dipegang tubuhnya bisa menggelembung seperti bola dengan ukuran jauh lebih besar dari ukuran semula. Ikan ini bersifat omnivore namun cenderung untuk karnivora. Di alam ia memakan hewan invertebrate, termasuk di dalamnya moluska, crustacean, dan hewan kecil lainnya. Ikan ini jarang dikonsumsi karena sangat beracun, tetapi kalau mengetahui teknik dan cara memasaknya, akan menjadi hidangan yang lezat. Di Indonesia, secara umum ikan ini tidak dimanfaatkan, namun akhir-akhir ini mulai ada yang mencoba untuk dipelihara sebagai ikan hias, karena bentuk, warna serta motifnya yang unik dan bagus, serta mempunyai penampilan dan gerak gerik yang lucu. 6. Lutjanus argentimaculatus (mangrove jack) Lutjanus argentimaculatus (mangrove jack/ kakap merah) terebar secara meluas. Ikan ini mempunyai toleransi yang lebar terhadap factor lingkungan, umumnya di jumpai pada estuary atau perairan payau pada ekosistem mangrove, tetapi diwaktu dewasa sering dijumpai di lautan lepas. Ikan ini mempunyai warna tubuh yang bermacammacam, bahkan warna tubuhnya bisa berubahubah tergantung pada konidisi lingkungan dimana mereka berada, misalnya warna kemerahan dengan garis-garis putih vertical sampai warna tembaga, atau warna kecoklatan sampai coklat tua “Mangrove jacks” merupakan ikan predator, makanan di alam berupa crustacean, gastropoda atau moluska, maupun ikan-ikan kecil lainnya. Ikan ini mulai banyak peminatnya untuk dipelihara sebagai ikan hias. 7. Tridentiger brevispinis (ikan jangkaran) Jenis Tridentiger brevispinis (ikan jangkaran) terdistribusi meluas dan family ikan ini merupakan salah satu family yang mempunyai jenis sangat banyak, yaitu lebih dari 2000 jenis dengan lebih dari 200 marga atau genus, dan sebagian jenisjenisnya mempunyai toleransi yang lebar terhadap lingkungan, karena itu jenis-jenis dari family gobiidae tersebar sangat luas. Ikan ini umumnya hidup pada perairan yang dangkal dan mereka cenderung beristirahat di dasar perairan serta berperilaku sangat pendiam, namun ia sangat cepat dalam menangkap mangsanya. Ikan ini bertubuh memanjang dengan warna terang sampai gelap, atau kadang berwarna terang dan kadang berwarna gelap, dan di permukaan sisiknya ada bercakbercak mengkilap seperti mutiara, sehingga apabila terkena cahaya akan tampak gemerlap. Ikan ini merupakan ikan predator, di alam ia memakan crustacean, muluska, dan hewan-hewan atau ikan kecil lainnya. Ikan ini masih sangat jarang dipelihara sebagai ikan hias. 8. Benthophilus sp (ikan boso) Benthophilus sp (ikan boso) berada dalam family yang sama dengan ikan Tridentiger brevispinis (ikan jangkaran) , karena itu secara sepintas hamper sama. Ikan ini banyak dijumpai di estuary atau perairan payau, bahkan naik sampai ke sungai, namun jarang sekali dijumpai di laut lepas. Ikan ini malas untuk bergerak dan cenderung beristirahat diam di Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat 147 Procceding dasar perairan, dan umumnya hidup pada perairan dangkal. Boso merupakan ikan predator dan memakan hewan-hewan invertebrata termasuk crustacea, moluska, dan ikan-ikan kecil lainnya. Ikan ini di pasaran jarang dijumpai karena populasinya sudah sangat bekurang, dan jarang dipelihara sebagai ikan hias. 9. Sicyopterus stimpsoni (ikan tenggeleng) Sicyopterus stimpsoni (ikan tenggeleng) juga berada dalam satu family dengan ikan boso, karena itu bentuk tubuhnya juga mirip, namun yang dewasa ukurannya lebih kecil dibandingkan ikan boso atau jangkaran, dan ikan ini tidak bisa besar. Pada permukaan tubuhnya ada bercak-bercak mengkilap hijau kebiruan. Ikan ini juga hidup dan beristirahat di dasar perairan dan biasanya tinggal di dalam lubang-lubang dalam lumpur pada perairan mangrove. Ikan ini mempunyai sirip perut yang dapat dibentuk seperti mangkuk, sehingga ikan ini dapat menempel pada batu, kayu, kalau di akuariun dapat menempel di kaca dinding akuarium. Ikan ini juga merupakan ikan predator, dan makanannya berupa hewan-hewan invertebrate termasuk crustacean dan moluska. Ikan ini di pasaran sekarang jarang dijumpai, karena populasinya sudah sangar menurun, dan jarang dipelihara sebagai ikan hias. 10. Mystus nigriceps (ikan keting) Mystus nigriceps (ikan keting) penyebarannya sangat luas. Ikan ini banyak di jumpai di muara, atau perairan payau, atau di sungai-sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut dan arus airnya lamban, namun tidak dijumpai di laut lepas, panjangnya tidak sampai 30 cm, dan hidupnya berkelompok. Keting bersifat omnivore, di alam ia lebih suka memakan hewan invertebrate. Keting mempunyai sirip badan dan sirip punggung dengan spina atau duri yang keras dan runcing, dan apabila tertusuk durinya akan terasa sangat sakit. Ikan ini lebih suka hidup pada perairan yang dangkal dan berlumpur. Ikan ini juga dikonsumsi, namun banyak orang yang tidak menyukainya karena dagingnya sedikit, dan juga jarang dipelihara sebagai ikan hias. 11. Labeo rohita Labeo rohita mempunyai penyebaran yang sangat luas. Ikan ini dapat besar dan dapat mencapai panjang lebih dari 1,5 m dengan berat lebih dari 80 kg, lebih suka hidup soliter atau menyendiri. Ikan ini sering dijumpai pada daerah estuary atau sungai-sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Ikan ini bersifat omnivore, di Indonesia jarang dijumpai di pasaran karena populasinya sedikit, dan ikan ini jarang sekali dipelihara sebagai ikan hias. 148 Proses Adaptasi Salinitas atau kadar garam awal (air payau) rata-rata sebesar 10 %o, dan salinitas ini relatif rendah, karena pengambilan ikan uji di lapangan pada saat musim hujan, sehingga daerah muara sungai dipenuhi oleh luapan air sungai, sehingga salinitasnya menurun atau rendah. Selama proses pengujian atau adaptasi ikan dari air payau menuju ke air tawar, konsentrasi oksigen terlarut (DO), pH, dan suhu selalu dijaga agar sesuaui dengan kondisi lapang, yaitu: DO berkisar antara 6 – 8 ppm, pH berkisar antara 6,5 – 8, dan suhu berkisar antara 250C – 280C, sedangkan salinitas dilakukan pengurangan secara bertahap hingga mencapai kondisi air tawar 100%. Selain juga diuji coba pakan alternatif yang mudah dicari di pasaran, yaitu cacing sutera, cacing darah (baik segar maupun beku, dan ulat hongkong. Dari ke tiga macam pakan alternative ini, cacing suteracing dan cacing darah sangat di sukai oleh ke 11 jenis ikan tersebut, tidak megitu di sukai, bahkan sebagaian jenis ikan tidak mau. Selama proses adaptasi, respon atau perilaku ikan berbeda-beda untuk tiap jenisnya. Ikan yang stress dan tidak tahan terhadap proses adaptasi tidak mau makan, dan cenderung berenang dengan mulut menyembul di permukaan air, permukaan tubuhnya tampak berlendir, dan biasanya diikuti oleh keluarnya faeses seperti benang yang tidak lepas dari kloakanya. Biasanya kalau sudah menunjukkan tanda-tanda seperti ini ikan tidak akan tahan lama dan akan mati. Hasil adaptasi Ikan yang bertahan hidup sampai akhir adaptasi dapat dilihat pada tabel 1. Dari hasil adaptasi, 11 jenis ikan yang diuji hanya 1 jenis saja yang tidak tahan sampai kondisi air tawar, yaitu jenis Sicyopterus stimpsoni. Ikan ini mulai mengalami kematian pada hari ke 17, yaitu pada konsentrasi air payau 50 % dan semua ikan mati pada hari ke 25, yaitu pada saat konsentrasi air payau 25 %. Ini disebabkan ikan tersebut biasa hidup lubang-lubang substrat berlumpur, sehingga kondisi akuarium sangat tidak sesuai untuk kehidupannya. Sedangkan 10 jenis lainnya bisa tahan sampai kondisi air tawar. Jenis Mystus nigriceps, Benthophilus sp, dan Tridentiger brevispinis bisa bertahan dan hidup semua (100 %) sampai kondisi air tawar, ini disebabkan ikan-ikan tersebut toleran pada salinitas rendah, dan diwaktu air pasang mereka sering naik sampai ke sungai-sungai yang airnya cenderung tawar. Hal ini juga sering terjadi untuk jenis Labeo rohita dan Valamugil seheli, sehingga prosentase hidup mereka juga relatif masih tinggi, yaitu 90% dan 80%. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Procceding Tabel 1. Jumlah dan prosesntase ikan yang hidup sampai akhir adaptasi Jenis Mystus nigriceps Benthophilus sp Tridentiger brevispinis Labeo rohita Valamugil seheli Scatophagus argus Lutjanus argentimaculatus Acanthopagrus berda Ambassis dussumieri Diodon holocanthus Sicyopterus stimpsoni Jml ikan hidup 10 10 10 9 8 7 7 6 6 5 0 % ikan hidup 100 100 100 90 80 70 70 60 60 50 0 Untuk jenis-jenis yang prosentase hidupnya 70% ke bawah seperti: Scatophagus argus, Lutjanus argentimaculatus, Acanthopagrus berda, Ambassis dussumieri, dan Diodon holocanthus agar prosentase hidupnya lebih tinggi maka perlu adaptasi lebih lama dengan interval pengurangan konsentrasi air payau yang lebih kecil. Sedangkan untuk jenis Sicyopterus stimpsoni agar bisa hidup sampai kondisi air tawar maka perlu perlakuan yang khusus, dalam hal ini kondisi akuarium dibuat sedemikian rupa sehingga mendekati kondisi habitatnya di lapang. Dari 10 jenis ikan yang mampu beradaptasi hingga air tawar, sangat berpotensi untuk ikan hias air tawar. Hal ini karena ada beberapa penjual ikan hias yang mau membeli dengan harga berkisar antara Rp 15.000,- sampai Rp 30.000; per ekor, padahal di masyarakat nelayan ikan-ikan tersebut mempunyai nilai ekonomi rendah, bahkan beberapa jenis tidak mempunyai nilai ekonomi. Daftar Pustaka Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor. Brotowidjoyo, M. D., Fauziah, Y., Nursal dan Supriyanti.1995.Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Yogyakarta: Liberty Fatkhomi, F. 2009. Ekologi Ikan. [serial online] http://wordbiology.wordpress.com/2009/01/20/ ekolologi-ikan/ [ diaksestanggal 17 Maret 2012]. Goldman ,C.R and A.J Horne, 1983. Limnology. McGraw-Hill Book Company ,London MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H. & Mangalik, A. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta. Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Universitas Indonesia Press. Jakarta Mithaphala, Sriyani. 2008. Coastal Ecosystem Series Volume 2. Karunaratne and Sons Ltd. Homagama. Sri Lanka. Murniati, D. 2010. Komposisi Jenis Kepiting ( Decapoda: Brachyura ) Dalam Ekosistem Mangrove dan Estuari, Taman Nasional Bali Barat. Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati LIPI. Vol 10 (2) .ISSN :0126-1754. Muhaerin, M. 2008. Kajian Sumberdaya Ekosistem Mangrove Untuk Pengelolaan Ekowisata di Estuari Perancak, Jembrana, Bali [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi (Terjemahan). PT. Gramedia. Jakarta. Omar, S.B.A., 2012. Dunia Ikan. Gadjah Mada University Press. Pratiwi, R.E., 2013. Konversi Hutan Mangrove Tahun 1998-2009, dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Perikanan dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Segara Anakan Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Prihatmo, G. 2014. Penentuan Zonasi untuk Pengelolaan dan Pengembangan Area Mangrove di Dusun Baros, Kabupaten Bantul. Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Radiopoetro. 1991. Zoologi. Penerbit Erlangga. Jakarta Raharjo, M., Setiadi, D., Muhdiono, I. dan Yusron, A.. 2011. Iktiology. Lubuk Agung. Bandung Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Bogor Setyawan, A., dkk. 2003. Ekosistem Mangrove di Jawa: Kondisi Terkini. Jurnal Biodiversitas Vol 4 (2) : 130-142. ISSN :1411-4402. Wahyudewantoro, G. 2009. Keanekaragaman Fauna Ikan Ekosistem Mangrove di Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang Banten. Jurnal Berita Biologi 9. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat 149