potensi dan adaptasi jenis-jenis ikan payau (mangrove) sebagai

advertisement
“SEMINAR HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
UNTUK PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DAN PELAYANAN
KEPADA MASYARAKAT”
• Bidang Sosial, Ekonomi dan Humaniora/Agama
• Bidang Teknologi dan Rekayasa/Produk
• Bidang Biologi dan Kesehatan
Dipublikasikan oleh:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta
Telp.(0274) 563929 ext.126 Fax.(0274) 513235
ISBN : 978-602-6806-02-4
©November 2015
Tim Reviewer :
1. Prof. Ir. Titien Saraswati, M.Arch., Ph.D
2. Dr. dr. Nining Sri Wuryaningsih, Sp.PK
3. Dr. Charis Amarantini, M.Si
4. Dr. Ir. Sri Suwarno, M.Eng
5. Dr. Singgih Santoso, MM
6. Pdt. Robert Setio, Ph.D
KATA PENGANTAR
Dalam rangka mencapai visi dan misi Universitas, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana telah menyelenggarakan kegiatan ilmiah berupa diseminasi hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kegiatan seminar ini merupakan salah satu bentuk kegiatan ilmiah yang dilakukan guna mendorong dan meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian
dosen. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka mencapai tujuan universitas khususnya dalam mengemban
dharma penelitian dan dharma pengabdian kepada masyarakat seperti tersebut dalam dokumen Rencana
Induk Penelitian Universitas
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UKDW berpendapat bahwa pendidikan
tinggi yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembangunan nasional adalah suatu keharusan sehingga eksistensi perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat berkontribusi nyata kepada peningkatan
daya saing bangsa. Perbaikan kualitas penelitian akan dapat mewujudkan negara yang bermutu dan berwibawa, yang salah satu indikator utamanya adalah publikasi para peneliti dan akademisi.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UKDW terus berupaya untuk mengemas
program penelitian dan pengabdian masyarakat secara simultan dan berkesinambungan sesuai dengan
perkembangan ipteks-sosbud dan kebutuhan pembangunan. Reformulasi berbagai program penelitian
terus dilakukan dalam upaya merespon atas keinginan para peneliti dan stake-holders serta sekaligus
merespon atas kemajuan Ipteks itu sendiri.
Semua artikel yang termuat dalam prosiding ini diperoleh melalui suatu proses seleksi yang panjang yang dilakukan oleh tim reviewer dan telah dipresentasikan pada hari Jumat 23 Oktober 2015. Prosiding ini mencakup tiga kelompok bidang yaitu bidang Sosial, Ekonomi dan Humaniora/Agama, bidang
Teknologi dan Rekayasa/Produk serta bidang Biologi dan Kesehatan. LPPM berharap dengan diselenggarakan acara seminar ini dapat meningkatkan produktivitas karya ilmiah serta menjadi sarana bagi dosen
dalam upaya mendiseminasikan dan mempublikasikan hasil penelitian yang selanjutnya dapat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam.
Yogyakarta, November 2015
Ketua LPPM UKDW,
dr. The Maria Meiwati Widagdo, Ph.D
CONTENTS
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
KILLER YEAST AND ITS FUTURE APPLICATION
Dhira Satwika
ROLE OF ORGANIZATIONAL LEARNING IN THE RELATIONSHIP BETWEEN TQM
PRACTICES AND ORGANIZATIOAL PERFORMANCE
Sisnuhadi
RINGKASAN PENELITIAN UNTUK PENGEMBANGAN MODUL MODEL PENDIDIKAN
PERDAMAIAN BERBASIS BUDAYA DI KOTA YOGYAKARTA
Dra. Alviani Permata, M.Hum., Dra.Endah Setyowati, M.Si., MA,
Dra.Krisni Noor Patrianti,M.Hum., Marsius Tinambunan, S.Th., B.Ch.M,
Pratomo Nugroho Soetrana, MA., DAMPAK PEMBAKUAN PERAN GENDER TERHADAP KELAS SOSIAL DI YOGYAKARTA
Asnath. N.Natar; Edy Nugroho ARSITEKTUR GEREJA BERPERSFEKTIF FEMINIS
Asnath Niwa Natar
ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN PENGGUNA BPJS KESEHATAN DI YOGYAKARTA
Petra Surya Mega Wijaya, SE, MSi dan Dra Ety Istriani, MM
PEMODELAN DATA BERBASIS SEMANTIC WEB UNTUK KATALOG BUKU
PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS
Budi Susanto1), Umi Proboyekti2)
MAKNA SIMBOL RELASI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DALAM ARSITEKTUR
TRADISIONAL SUMBA SEBAGAI ACUAN PERWUJUDAN KESETARAAN JENDER
Wiyatiningsih, Asnath Niwa Natar, Endah Setyowati, Alviani Permata
KONTRIBUSI DAN PENERIMAAN PENGGUNA DALAM KESUKSESAN IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI ANGGARAN DAN REALISASI
Lussy Ernawati, Halim Budi Santoso
PENINGKATAN PEMASARAN SEKOLAH MELALUI DESAIN WEBSITE
Parmonangan Manurung1), Ferdy Sabono2)
MODEL KLASIFIKASI SIDIK JARI DENGAN TEORI HIMPUNAN GANDA
Sri Suwarno
KEANEKARAGAMAN DAN POTENSI MAKROFUNGI TAMAN NASIONAL GUNUNG
MERAPI LERENG UTARA KABUPATEN BOYOLALI
Aniek Prasetyaningsih dan Djoko Rahardjo PEMBERDAYAAN EKONOMI JEMAAT MELALUI BUDIDAYA JAMUR DI MAGELANG
DAN GUNUNG KIDUL
Aniek Prasetyaningsih dan Kisworo 1
5
19
29
41
54
66
76
90
96
101
106
115
•
•
•
•
•
•
•
PROFIL CEMARAN KROM DI LINGKUNGAN DAN AKUMULASINYA PADA RAMBUT
DAN KUKU WARGA DESA BANYAKAN, PIYUNGAN BANTUL
Djoko Rahardjo DETECTION OF ENTEROBACTERIACEAE FROM PROCESSED-WELL WATER
Eunike Ilona Hilson, Dhira Satwika DETEKSI MOLEKULER SALMONELLA SP PADA SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWA DI KABUPATEN SLEMAN, YOGYAKARTA
Gracia Imelda Ubas1), Charis Amarantini1)
POTENSI DAN ADAPTASI JENIS-JENIS IKAN PAYAU (MANGROVE) SEBAGAI IKAN
HIAS AIR TAWAR
Guruh Prihatmo; Haryati Bawole Sutanto
MOLECULAR DETECTION OF ESCHERICHIA COLI FROM WATER WELLS IN KLITREN, YOGYAKARTA
RA Mertha Prana, Dhira Satwika
GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU TERHADAP DBD DI DUSUN
TRISIGAN, DESA MURTIGADING, KECAMATAN SANDEN, KABUPATEN BANTUL
Amaze Grace Sira1), Yoseph Leonardo Samodra1)
STUDI KASUS PENYELEKSIAN MODEL DALAM SISTEM BIOLOGI SANGAT BERGANTUNG PADA RANCANGAN PERCOBAAN YANG DIPILIH
Suhardi Djojoatmodjo
123
131
136
144
150
153
158
Procceding
POTENSI DAN ADAPTASI JENIS-JENIS IKAN PAYAU
(MANGROVE) SEBAGAI IKAN HIAS AIR TAWAR
Guruh Prihatmo
Haryati Bawole Sutanto
Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Pada Masyarakat
Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, 2015
ABSTRAK
Populasi ikan payau di kawasan ekosistem mangrove makin hari makin menurun, seiring dengan terjadinya
degradasi hutan mangrove di daerah pasang surut baik secara kualitas, maupun kuantitas. Disamping itu banyak
jenis-jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi sangat rendah, sehingga tidak ada upaya untuk pemeliharaan atau
pelestarian jenis-jenis tersebut. Untuk itu perlu adanya peningkatan nilai ekonomi jenis-jenis ikan tersebut supaya
ada perhatian untuk pemeliharaan dan pelestariannya. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonominya yaitu
dengan menjadikannya sebagai ikan hias air tawar, untuk itu ikan-ikan air payau perlu diteliti dan dikaji tentang
kemampuan adaptasi dan potensinya sebagai ikan hias air tawar. Metode eksperimen digunakan dalam penelitian
ini dengan ikan uji berjumlah 11 jenis, dan masing-masing jenis ada 10 ekor, yang diperlakukan ditempat pengujian
berupa akuarium . Proses adaptasi dilakukan dengan cara pengurangan salinitas air payau secara bertahap hingga
menjadi tawar ( 100%, 87,5%, 75%, 62,5%, 50%, 37,5%, 25%, 12,5%, 0% atau 100% air tawar) dan dalam proses
tersebut juga dicoba pakan alternatif yang mudah dicari dan ikan mau makan. Selain itu kondisi oksigen terlarut, suhu,
dan pH air juga selalu dijaga agar tetap dalam keadaan normal, dan juga dilakukan pengamatan terhadap perubahan
warna dan perilaku ikan. Dari hasil penelitian terhadap 11 jenis ikan uji, 10 jenis (Scatophagus argus, valamugil seheli,
Acanthopagrus berda, Ambassis dussumieri, Diodon holocanthus, Lutjanus argentimaculatus, Tridentiger brevispinis,
Bentophilus sp, Mystus nigriceps, dan Labeo rohita) bertahan hingga hidup pada kondisi air tawar, sedangkan untuk
jenis Sicyopterus stimpsoni mati semua pada hari ke 25 dimana kondisi air payau masih 12,5%.
Kata kunci: Ekosistem mangrove, ikan payau, adaptasi
PENDAHULUAN
Perairan payau merupakan perairan yang sangat kaya akan keanekaragam hayati, karena perairan tersebut merupakan daerah ekoton atau transisi atau pertemuan antara air laut dengan air sungai.
Anasir-anasir abiotik maupun biotiknya juga dipengaruhi oleh perairan laut dan perairan sungai,
sehingga keanekaragaman hayatinya juga berasal
dari kedua ekosistem perairan tersebut. Selain itu
pada perairan payau juga dijumpai jenis-jenis mahluk hidup yang khas, yang hanya hidup pada perairan payau saja dan tidak dijumpai pada perairan
laut maupun perairan tawar, misalnya untuk hewan
yaitu jenis ikan glodok, dan untuk tumbuhan yaitu
jenis Rhizopora sp (bakau) dan Avecenia sp (apiapi). Pada perairan payau dengan substrat yang
berlumpur dan berpasir serta akumulasi bahan organik biasanya ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan
yang menyusun ekosistem atau hutan mangrov.
Pengertian mangrove menunjuk pada semua
tumbuhan atau komunitas tumbuhan yang hidup
di daerah pasang surut atau daerah peralihan an-
144
tara air laut dengan air tawar. Ekosistem mangrove
merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir dan laut, yang mempunyai
fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya (Prihatmo, 2014). Sebagai fungsi ekologi yaitu menyedia
nutrien bagi biota perairan, tempat bersarang atau
pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai
macam biota, penahan abrasi pantai, penahan angin dan tsunami, penyerap limbah atau remidiasi
bahan pencemar, dan pencegah intrusi air laut.
Selain itu hutan mangrove juga mempunyai fungsi
ekonomi yang tinggi seperti penyedia kayu bakar
atau arang, bubur kertas, kayu untuk mebel, kerajinan tangan, bahan obat obat-obatan, dan penghasil
komoditas perikanan yang bernilai ekonomi tinggi.
Sedangkan fungsi sosial-budaya sebagai areal konservasi, pendidikan, dan ecotourism.
Hutan mangrove yang alami yang mempunyai
area yang sangat luas yaitu di Jawa Tengah Kabupaten Cilacap, dengan luas mencapai lebih dari 20.000
Ha. Di kawasan mangrove Cilacap terdapat pemukiman yang cukup luas, yaitu ada 4 desa yang biasa
disebut dengan Kampung Laut, dan sebagian besar
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
masyarakatnya adalah nelayan. Namun makin hari
keadaan perikanan kawasan mangrove produksinya semakin menurun, karena meningkatnya
aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan
ekosistem mangrove dan perairan payau secara
umum, sehingga menurunkan pendapatan nelayan
dan akhirnya berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat nelayan. Untuk itu perlu adanya alternatif
lain untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
nelayan di kawasan perairan payau hutan mangrove. Salah satu alternatif tersebut yaitu menjadikan ikan-ikan payau yang mempunyai nilai ekonomi rendah menjadi ikan hias air tawar.
Banyak jenis-jenis ikan payau yang mempunyai bentuk dan warna yang unik dan indah, sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan ikan hias. Supaya ikan hias tersebut diminati banyak orang dan
mempunyai pasar yang luas maka harus diadaptasikan untuk hidup di air tawar. Karena itu kemampuan adaptasi jenis-jenis ikan payau untuk hidup di
air tawar perlu diteliti.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk: Mempelajari dan menguji-coba apakah jenis-jenis ikan perairan payau dapat diadaptasikan untuk hidup di
air tawar, dan jenis-jenis ikan payau apa saja yang
dapat diadaptasikan untuk hidup di air tawar dan
mempunyai potensi untuk dijadikan ikan hias.
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem mangrove banyak ditemukan di
pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta
dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2001).
Mangrove membentuk salah satu ekosistem yang
paling unik di dunia karena mereka berkembang
di mana tidak ada tumbuhan lain yang dapat bertahan di zona transisi antara laut dan daratan. Mereka juga berada di antara sebagian besar ekosistem
produktif di dunia (Mithaphala, 2008). Faktor utama yang mempengaruhi ekosistem ini adalah salinitas, tipe tanah, resistensi terhadap arus air, masukan air tawar, sedimentasi, aliran pasang surut, dan
gelombang air laut (Setyawan , dkk, 2003).
Menurut MacKinnon dkk.
(2000) hutan mangrove adalah nama kolektif untuk
vegetasi pohon yang menempati pantai berlumpur
di dalam wilayah pasang surut, dari tingkat air pasang tertinggi sampai tingkat air surut terendah. Selain itu ia terbentuk karena adanya masukan air tawar, sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu
yang hangat (Goldman dan Horne, 1983). Mangrove
tidak tumbuh di pantai terjal dan berombak besar
dengan arus pasang surut yang kuat karena hal
ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan
lumpur dan pasir yang merupakan substrat yang
diperlukan untuk pertumbuhannya (Nontji, 2005
dalam Muhaerin 2008). Menurut Murniati (2010),
kehidupan beberapa jenis/spesies fauna, baik ikan
maupun fauna bentik lainnya sangat bergantung
pada kondisi wilayah mangrove.
Penangkapan ikan menurut Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (2004)
data perikanan menunjukkan bahwa sekitar 3 %
dari hasil tangkapan laut Indonesia berasal dari jenis spesies yang bergantung pada ekosistem mangrove, seperti Penaeus monodon, Penaeus mareueiensis, Metapenaeus sp, kepiting bakau, dan Scylla
serrata. Peranan ekosistem mangrove bagi penyedia produk tangkapan hasil laut adalah sebagai
daerah asuhan (nursery grounds), daerah pencari
makanan (feeding grounds), dan daerah pemijahan
(spawning grounds).
Kawasan mangrove Segara Anakan Cilacap
merupakan wilayah ekosistem Estuaria yaitu Estuaria Laguna Segara Anakan. Menurut LIPI (Oseanografi) Segara Anakan menpunyai banyak keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki fungsi
ekologi yang sangat besar. Hilangnya kawasan ini
tentu akan membawa implikasi ancaman ekonomi
dan kerusakan lingkungan yang fatal (PEP-LIPI,
2001 dalam Pratiwi, 2013). Menurut Wakil Administratur Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan
(KPH) Banyumas Barat, Hilman Firmansyah, sejak
tahun 2000 kawasan hutan mangrove di Segara
Anakan, Cilacap mengalami alih fungsi lahan, hampir 4.000 hektar hutan mangrove beralih fungsi
menjadi lahan pertanian dan juga telah beralih
fungsi menjadi areal tambak, permukiman, serta
kayu mangrove yang ditebang untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar (Perum Perhutani, 2000
dalam Pratiwi, 2013).
Kepala Badan Pengelola Kawasan Segara
Anakan, Supriyanto menjelaskan bahwa pada tahun 1974, luas hutan mangrove di Segara Anakan
yaitu 15.551 hektar, tahun 1978 menyusut menjadi 10.975 hektar, tahun 1994 kembali menyusut
menjadi 8.975 hektar, dan tahun 2003 hanya sekitar 8.359 hektar (Kantor Pengelola Sumberdaya
Kawasan Segara Anakan (KPSKSA) Kabupaten Cilacap, 2009).
Jenis-jenis ikan perairan payau sangat beranekaragam, karena ikan-ikan pada daerah ini
berasal dari laut dan juga berasal dari sungai, yang
mempunyai toleransi terhadap kadar garam sedang. Misalnya di Kawasan Mangrove Taman Nasional Ujung Kulon ditemukan 58 jenis ikan, yang
tergolong dalam 34 famili dan 43 genus (Wahyudewantoro tahun 2009).
Ikan dapat ditemukan di hampir semua
genangan air yang berukuran besar, baik air tawar, air payau maupun air asin dan pada kedalaman bervariasi mulai dari dekat permukaan hingga
beberapa ribu meter di bawah permukaan (Fatkhomi, 2009). Raharjo (2011), menyebutkan beberapa
habitat ikan pada umumnya yaitu hábitat air tawar
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
145
Procceding
dan air laut. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi 2 yaitu air tergenang atau disebut habitat
lentik dan habitat lotik. Sungai yang deras dan
sungai yang tenang memiliki arus yang berbeda
sehingga berpengaruh terhadap kehidupan ikan.
Ikan berada dalam estuari pada bulan-bulan
tertentu, baik ikan air tawar maupun ikan laut. Baik
ikan-ikan yang hidup di estuari maupun ikan-ikan
pendatang sangat toleran terhadap perubahan salinitas dan faktor lain seperti temperatur, pH dan
sebagainya (Raharjo, 2011).
Ada beberapa parameter lingkungan yang
dapat mempengaruhi kehidupan ikan, yaitu:
1. Suhu. Menurut Nybakken (1988), ikan dapat
hidup dengan baik pada suhu berkisar antara 25-29ºC sedangkan batas minimum suhu
berkisar antara 16-17ºC.
2. Salinitas. Salinitas setiap jenis ikan tidak
sama (Brotowidjoyo, dkk., 1995). Salinitas
mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan. Pada ikan, salinitas berkaitan erat dengan
penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut.
3. pH. Ikan dapat hidup dalam air dengan nilai
pH berkisar antara 5-9 (Michael, 1995).
4. Arus Air. Arus air mempermudah penyebaran
telur, larva dan ikan-ikan kecil, serta bermigrasi. (Brotowidjoyo, dkk., 1995) Pasang
surut juga mempengaruhi keberadaan jenis
ikan, karena air laut mengalir dengan volume
tinggi sehingga ikan yang mempunyai habitat
di laut akan menuju ke arah hulu.
5. Cahaya. Cahaya merupakan faktor penting
bagi kehidupan di perairan. Bagi produsen
sebagai sumber energi untuk fotosíntesis,
bagi ikan yaitu untuk mencari mangsa, reproduksi, berlindung dari predator dan orientasi migrasi. Ikan menanggapi rangsangan cahaya antara 0 sampai 5 meter (Brotowidjoyo,
dkk.,1995).
6. BOD (Biochemical Oxygen Demand). Perairan dengan nilai BOD tinggi mengindikasikan
bahwa perairan tersebut tercemar oleh bahan
organik. Kadar BOD yang aman untuk kehidupan biota perairan tidak lebih dari 4
ppm
Menurut Radiopoetro (1991), bentuk, ukuran
dan jumlah sisik ikan dapat memberikan gambaran bagaimana kehidupan ikan tersebut. Sisik
ikan mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka macam, yaitu sisik ganoid merupakan sisik besar dan kasar, sisik sikloid dan stenoid merupakan
146
sisik yang kecil, tipis atau ringan serta sisik placoid
merupakan sisik yang lembut. Umumnya tipe ikan
perenang cepat atau secara terus menerus bergerak pada perairan berarus deras mempunyai tipe
sisik yang lembut, sedangkan ikan-ikan yang hidup
di perairan yang tenang dan tidak berenang secara
terus menerus pada kecepatan tinggi umumnya
mempunyai tipe sisik yang kasar.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
April sampai Agustus 2015, dengan lokasi pengambilan sampel ikan untuk diuji di perairan payau
Desa Ujung Alang, Kampung Laut Segara Anakan
Kabupaten Cilacap. Ikan ditangkap dengan menggunakan jala dengan mata jaring 1,5 cm dan 2,5
cm, jaring tebar (gillnet) dengan mata jaring 1 cm
dan serok ikan. Ikan-ikan yang tertangkap diidentifikansi dengan buku identifikasi ikan yang ditulis
oleh Saanin, 1984 dan Omar, 2012.
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen, yaitu dengan melakukan percobaan
dengan menguji-coba beberapa jenis ikan yang ditangkap di perairan payau hutan mangrove untuk
diadaptasikan secara bertahap untuk dikondisikan
agar bisa hidup di air tawar. Adaptasi tersebut didasarkan pada pengurangan konsentrasi air payau dan waktu aklimasi. Pengurangan konsentrasi
air payau seara bertahap, yaitu mulai dari 100%,
87,5%, 75%, 62,5%, 50%, 37,5%, 25%, 12,5%, dan
yang terkahir semua air tawar. Waktu aklimasi masing-masing tahap selama 4 hari, sehingga waktu
yang dibutuhkan untuk adaptasi selama 32 hari.
Jumlah ikan yang diuji untuk setiap jenis sebanyak
10 ekor dengan tempat uji menggunakan akuarium
sehingga perilaku ikan dapat diamati dengan jelas,
dengan ukuran akuarium panjang 50 cm, lebar 30
cm, dan tinggi 40 cm dan kedalaman air 32 cm.
Selama proses adaptasi, konsentrasi oksigen terlarut, pH, dan suhu selalu dijaga agar sesuai
dengan kondisi lapang. Data-data yang diperoleh
selama percobaan dianalisis secara deskriptif dan
kualitatif.
HASIL
Jenis-jenis Ikan Air Payau yang Diuji
Dalam penelitian ini ikan yang diuji sebanyak 11
jenis, yaitu:
1. Scatophagus argus (ikan keeper)
Ikan ini sering dijumpai pada perairan payau,
baik di muara sungai, sekitar dermaga pelabuhan,
maupun di perairan hutan mangrove, umumnya
hidup berkelompok. Di alam ikan ini memakan lumut atau larva hewan lain, jadi bersifat omnivore,
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
dan toleran terhadap fluktuasi salinitas. Ikan keeper di pasaran jarang di jumpai dan masih sangat
jarang dipelihara sebagai ikan hias, padahal mempunyai bentuk dan motif yang bagus seperti ikan
discus (ikan hias air tawar).
2. Valamugil seheli ( Forsskal) (ikan belanak)
Ikan belanak umumnya dijumpai di perairan payau, umumnya hidup berkelompok.. Secara
umum tubuhnya berbentuk memanjang agak langsing dan memipih, sirip punggung terdiri dari satu
jari-jari keras dan delapan jari-jari lemah, sirip dubur berwarna putih kotor terdiri dari satu jari-jari
keras dan sembilan jari-jari lemah, dan bibir bagian
atas lebih tebal dari pada bagian bawahnya. Di
alam hewan ini memakan lumut atau larva hewan
lain. Ikan ini jarang sekali dipelihara sebagai ikan
hias.
3. Acanthopagrus berda (ika bekuku)
Acanthopagrus berda merupakan ikan perairan payau dan banyak dijumpai di daerah estuary,
terutama pada tempat-tempat yang dasar perairannya berpasir atau berlumpur. Ikan ini merupakan ikan predator, dan di alam ia memakan hewn invertebrate, termasuk cacing, molusca, crustacean,
ikan kecil lainnya. Ikan ini sangat jarang dipelihara
sebagai ikan hias, padahal mempunyai bentuk dan
warna yang bagus.
4.
Ambassis dussumieri (ikan pempreng/
seriding)
Seriding atau ambassis umumnya berukuran
kecil berwarna keperakan, terang agak tembus
pandang. Hidup di perairan payau di dataran rendah, jarang ditemukan di air tawar, hidup di perairan yang banyak vegetasi, di perairan dangkal dan
banyak dijumpai di ekosistem mangrove. Ikan ini
termasuk ikan omnivora cenderung ke karnivora,
pakan alaminya ganggang, serangga air, crustacean,
dan hewan kecil lainnya. Ikan ini tidak memiliki nilai jual di pasar tetapi sering dijadikan sebagai umpan untuk memancing ikan yang berukuran lebih
besar. Ikan ini masih sangat jarang dipelihara sebagai
ikan hias, tetapi berpotensi sebagai ikan hias.
5. Diodon holocanthus (ikan buntal)
Diodon holocanthus (ikan buntal) hidup di laut
maupun perairan payau. Ikan ini tersebar luas, bersifat pelagic, umumnya hidup berkelompok, dan apabila dipegang tubuhnya bisa menggelembung seperti bola dengan ukuran jauh lebih besar dari ukuran
semula. Ikan ini bersifat omnivore namun cenderung
untuk karnivora. Di alam ia memakan hewan invertebrate, termasuk di dalamnya moluska, crustacean,
dan hewan kecil lainnya. Ikan ini jarang dikonsumsi
karena sangat beracun, tetapi kalau mengetahui
teknik dan cara memasaknya, akan menjadi hidangan yang lezat. Di Indonesia, secara umum ikan ini
tidak dimanfaatkan, namun akhir-akhir ini mulai ada
yang mencoba untuk dipelihara sebagai ikan hias,
karena bentuk, warna serta motifnya yang unik dan
bagus, serta mempunyai penampilan dan gerak gerik
yang lucu.
6. Lutjanus argentimaculatus (mangrove jack)
Lutjanus argentimaculatus (mangrove jack/
kakap merah) terebar secara meluas. Ikan ini
mempunyai toleransi yang lebar terhadap factor
lingkungan, umumnya di jumpai pada estuary atau
perairan payau pada ekosistem mangrove, tetapi
diwaktu dewasa sering dijumpai di lautan lepas.
Ikan ini mempunyai warna tubuh yang bermacammacam, bahkan warna tubuhnya bisa berubahubah tergantung pada konidisi lingkungan dimana
mereka berada, misalnya warna kemerahan dengan garis-garis putih vertical sampai warna tembaga, atau warna kecoklatan sampai coklat tua “Mangrove jacks” merupakan ikan predator, makanan di
alam berupa crustacean, gastropoda atau moluska,
maupun ikan-ikan kecil lainnya. Ikan ini mulai banyak peminatnya untuk dipelihara sebagai ikan hias.
7. Tridentiger brevispinis (ikan jangkaran)
Jenis Tridentiger brevispinis (ikan jangkaran)
terdistribusi meluas dan family ikan ini merupakan salah satu family yang mempunyai jenis sangat
banyak, yaitu lebih dari 2000 jenis dengan lebih
dari 200 marga atau genus, dan sebagian jenisjenisnya mempunyai toleransi yang lebar terhadap lingkungan, karena itu jenis-jenis dari family
gobiidae tersebar sangat luas. Ikan ini umumnya
hidup pada perairan yang dangkal dan mereka
cenderung beristirahat di dasar perairan serta berperilaku sangat pendiam, namun ia sangat cepat
dalam menangkap mangsanya. Ikan ini bertubuh
memanjang dengan warna terang sampai gelap,
atau kadang berwarna terang dan kadang berwarna gelap, dan di permukaan sisiknya ada bercakbercak mengkilap seperti mutiara, sehingga apabila terkena cahaya akan tampak gemerlap. Ikan
ini merupakan ikan predator, di alam ia memakan
crustacean, muluska, dan hewan-hewan atau ikan
kecil lainnya. Ikan ini masih sangat jarang dipelihara sebagai ikan hias.
8. Benthophilus sp (ikan boso)
Benthophilus sp (ikan boso) berada dalam family yang sama dengan ikan Tridentiger brevispinis
(ikan jangkaran) , karena itu secara sepintas hamper
sama. Ikan ini banyak dijumpai di estuary atau perairan payau, bahkan naik sampai ke sungai, namun
jarang sekali dijumpai di laut lepas. Ikan ini malas
untuk bergerak dan cenderung beristirahat diam di
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
147
Procceding
dasar perairan, dan umumnya hidup pada perairan
dangkal. Boso merupakan ikan predator dan memakan hewan-hewan invertebrata termasuk crustacea, moluska, dan ikan-ikan kecil lainnya. Ikan
ini di pasaran jarang dijumpai karena populasinya
sudah sangat bekurang, dan jarang dipelihara sebagai ikan hias.
9. Sicyopterus stimpsoni (ikan tenggeleng)
Sicyopterus stimpsoni (ikan tenggeleng)
juga berada dalam satu family dengan ikan boso,
karena itu bentuk tubuhnya juga mirip, namun
yang dewasa ukurannya lebih kecil dibandingkan
ikan boso atau jangkaran, dan ikan ini tidak bisa besar. Pada permukaan tubuhnya ada bercak-bercak
mengkilap hijau kebiruan. Ikan ini juga hidup dan
beristirahat di dasar perairan dan biasanya tinggal
di dalam lubang-lubang dalam lumpur pada perairan mangrove. Ikan ini mempunyai sirip perut yang
dapat dibentuk seperti mangkuk, sehingga ikan ini
dapat menempel pada batu, kayu, kalau di akuariun dapat menempel di kaca dinding akuarium. Ikan
ini juga merupakan ikan predator, dan makanannya
berupa hewan-hewan invertebrate termasuk crustacean dan moluska. Ikan ini di pasaran sekarang
jarang dijumpai, karena populasinya sudah sangar
menurun, dan jarang dipelihara sebagai ikan hias.
10. Mystus nigriceps (ikan keting)
Mystus nigriceps (ikan keting) penyebarannya sangat luas. Ikan ini banyak di jumpai di
muara, atau perairan payau, atau di sungai-sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut dan arus
airnya lamban, namun tidak dijumpai di laut lepas,
panjangnya tidak sampai 30 cm, dan hidupnya
berkelompok. Keting bersifat omnivore, di alam ia
lebih suka memakan hewan invertebrate. Keting
mempunyai sirip badan dan sirip punggung dengan
spina atau duri yang keras dan runcing, dan apabila
tertusuk durinya akan terasa sangat sakit. Ikan ini
lebih suka hidup pada perairan yang dangkal dan
berlumpur. Ikan ini juga dikonsumsi, namun banyak orang yang tidak menyukainya karena dagingnya sedikit, dan juga jarang dipelihara sebagai ikan
hias.
11. Labeo rohita
Labeo rohita
mempunyai penyebaran
yang sangat luas. Ikan ini dapat besar dan dapat
mencapai panjang lebih dari 1,5 m dengan berat lebih dari 80 kg, lebih suka hidup soliter
atau menyendiri. Ikan ini sering dijumpai pada
daerah estuary atau sungai-sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Ikan ini bersifat
omnivore, di Indonesia jarang dijumpai di pasaran karena populasinya sedikit, dan ikan ini
jarang sekali dipelihara sebagai ikan hias.
148
Proses Adaptasi
Salinitas atau kadar garam awal (air payau)
rata-rata sebesar 10 %o, dan salinitas ini relatif
rendah, karena pengambilan ikan uji di lapangan
pada saat musim hujan, sehingga daerah muara
sungai dipenuhi oleh luapan air sungai, sehingga
salinitasnya menurun atau rendah. Selama proses
pengujian atau adaptasi ikan dari air payau menuju
ke air tawar, konsentrasi oksigen terlarut (DO), pH,
dan suhu selalu dijaga agar sesuaui dengan kondisi
lapang, yaitu: DO berkisar antara 6 – 8 ppm, pH
berkisar antara 6,5 – 8, dan suhu berkisar antara
250C – 280C, sedangkan salinitas dilakukan pengurangan secara bertahap hingga mencapai kondisi
air tawar 100%. Selain juga diuji coba pakan alternatif yang mudah dicari di pasaran, yaitu cacing
sutera, cacing darah (baik segar maupun beku, dan
ulat hongkong. Dari ke tiga macam pakan alternative ini, cacing suteracing dan cacing darah sangat
di sukai oleh ke 11 jenis ikan tersebut, tidak megitu
di sukai, bahkan sebagaian jenis ikan tidak mau.
Selama proses adaptasi, respon atau
perilaku ikan berbeda-beda untuk tiap jenisnya.
Ikan yang stress dan tidak tahan terhadap proses
adaptasi tidak mau makan, dan cenderung berenang dengan mulut menyembul di permukaan air,
permukaan tubuhnya tampak berlendir, dan biasanya diikuti oleh keluarnya faeses seperti benang
yang tidak lepas dari kloakanya. Biasanya kalau
sudah menunjukkan tanda-tanda seperti ini ikan
tidak akan tahan lama dan akan mati.
Hasil adaptasi
Ikan yang bertahan hidup sampai akhir adaptasi dapat dilihat pada tabel 1. Dari hasil adaptasi,
11 jenis ikan yang diuji hanya 1 jenis saja yang tidak tahan sampai kondisi air tawar, yaitu jenis Sicyopterus stimpsoni. Ikan ini mulai mengalami kematian pada hari ke 17, yaitu pada konsentrasi air
payau 50 % dan semua ikan mati pada hari ke 25,
yaitu pada saat konsentrasi air payau 25 %. Ini disebabkan ikan tersebut biasa hidup lubang-lubang
substrat berlumpur, sehingga kondisi akuarium
sangat tidak sesuai untuk kehidupannya. Sedangkan 10 jenis lainnya bisa tahan sampai kondisi air
tawar. Jenis Mystus nigriceps, Benthophilus sp, dan
Tridentiger brevispinis bisa bertahan dan hidup semua
(100 %) sampai kondisi air tawar, ini disebabkan
ikan-ikan tersebut toleran pada salinitas rendah, dan
diwaktu air pasang mereka sering naik sampai ke sungai-sungai yang airnya cenderung tawar. Hal ini juga
sering terjadi untuk jenis Labeo rohita dan Valamugil
seheli, sehingga prosentase hidup mereka juga relatif
masih tinggi, yaitu 90% dan 80%.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Procceding
Tabel 1. Jumlah dan prosesntase ikan yang hidup
sampai akhir adaptasi
Jenis
Mystus nigriceps
Benthophilus sp
Tridentiger brevispinis
Labeo rohita
Valamugil seheli
Scatophagus argus
Lutjanus argentimaculatus
Acanthopagrus berda
Ambassis dussumieri
Diodon holocanthus
Sicyopterus stimpsoni
Jml ikan
hidup
10
10
10
9
8
7
7
6
6
5
0
% ikan
hidup
100
100
100
90
80
70
70
60
60
50
0
Untuk jenis-jenis yang prosentase hidupnya 70%
ke bawah seperti: Scatophagus argus, Lutjanus argentimaculatus, Acanthopagrus berda, Ambassis dussumieri, dan Diodon holocanthus agar prosentase
hidupnya lebih tinggi maka perlu adaptasi lebih
lama dengan interval pengurangan konsentrasi air
payau yang lebih kecil. Sedangkan untuk jenis Sicyopterus stimpsoni agar bisa hidup sampai kondisi
air tawar maka perlu perlakuan yang khusus, dalam
hal ini kondisi akuarium dibuat sedemikian rupa
sehingga mendekati kondisi habitatnya di lapang.
Dari 10 jenis ikan yang mampu beradaptasi
hingga air tawar, sangat berpotensi untuk ikan hias
air tawar. Hal ini karena ada beberapa penjual ikan
hias yang mau membeli dengan harga berkisar antara Rp 15.000,- sampai Rp 30.000; per ekor, padahal di masyarakat nelayan ikan-ikan tersebut mempunyai nilai ekonomi rendah, bahkan beberapa
jenis tidak mempunyai nilai ekonomi.
Daftar Pustaka
Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
IPB. Bogor.
Brotowidjoyo, M. D., Fauziah, Y., Nursal dan
Supriyanti.1995.Pengantar
Lingkungan
Perairan dan Budidaya Air. Yogyakarta: Liberty
Fatkhomi, F. 2009. Ekologi Ikan. [serial online]
http://wordbiology.wordpress.com/2009/01/20/
ekolologi-ikan/ [ diaksestanggal 17 Maret
2012].
Goldman ,C.R and A.J Horne, 1983. Limnology.
McGraw-Hill Book Company ,London
MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H. & Mangalik,
A. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo.
Jakarta.
Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan
Ladang dan Laboratorium.
Universitas Indonesia Press. Jakarta
Mithaphala, Sriyani. 2008. Coastal Ecosystem
Series Volume 2. Karunaratne and Sons Ltd.
Homagama. Sri Lanka.
Murniati, D. 2010. Komposisi Jenis Kepiting (
Decapoda: Brachyura ) Dalam Ekosistem
Mangrove dan Estuari, Taman Nasional Bali
Barat. Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati LIPI. Vol 10 (2)
.ISSN :0126-1754.
Muhaerin, M. 2008. Kajian Sumberdaya Ekosistem
Mangrove Untuk Pengelolaan Ekowisata di
Estuari Perancak, Jembrana, Bali [Skripsi].
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut: Suatu
Pendekatan Ekologi (Terjemahan).
PT. Gramedia. Jakarta.
Omar, S.B.A., 2012. Dunia Ikan. Gadjah Mada
University Press.
Pratiwi, R.E., 2013. Konversi Hutan Mangrove
Tahun
1998-2009,
dan
Pengaruhnya
Terhadap Produksi Perikanan dan Kondisi
Sosial Ekonomi Masyarakat Di Segara Anakan
Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap.
Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Prihatmo, G. 2014. Penentuan Zonasi untuk
Pengelolaan dan Pengembangan Area
Mangrove di Dusun Baros, Kabupaten Bantul.
Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen
Duta Wacana, Yogyakarta.
Radiopoetro. 1991. Zoologi. Penerbit Erlangga.
Jakarta
Raharjo, M., Setiadi, D., Muhdiono, I. dan Yusron, A..
2011. Iktiology. Lubuk Agung. Bandung
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi
Ikan. Bina Cipta. Bogor
Setyawan, A., dkk. 2003. Ekosistem Mangrove di
Jawa: Kondisi Terkini. Jurnal Biodiversitas Vol
4 (2) : 130-142. ISSN :1411-4402.
Wahyudewantoro, G. 2009. Keanekaragaman Fauna
Ikan Ekosistem Mangrove di
Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang
Banten. Jurnal Berita Biologi 9.
Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
149
Download