Jakarta, 19 Desember 2016 Proyeksi Ekonomi dan Strategi Investasi 2017 Ringkasan: Walau dilatari oleh ketidakpastian eksternal, kami optimis dengan prospek ekonomi dan investasi selama tahun 2017. Kepemimpinan politik yang kuat untuk mendukung reformasi struktural yang memperkuat administrasi pemerintahan sangat penting untuk menghadapi dinamika faktor eksternal dan memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Mencermati kenaikan harga komoditas dan steeping yield di Amerika Serikat, kami menyakini kinerja asset saham mengalahkan obligasi pada tahun depan. Berdasarkan permutasi faktor SLEVI (sentiment, liquidity, earning, valuation and interest rate) kami proyeksikan kenaikan IHSG 17% dan indeks obligasi negara 7.5%. Déjà vu. Persepsi investor jelang akhir tahun ini sebetulnya mirip dengan tahun 2016. Konsensus saat itu menyakini the Fed bakal menaikan bunga sebanyak empat kali selama tahun 2016. The Fed dan BoE digadang memimpin pengetatan likuiditas, meninggalkan ECB dan BoJ yang gencar menggelar stimulus. Namun, kecemasan perlambatan ekonomi China yang melandasi kejatuhan bursanya pada awal tahun dan kejutan Brexit pada pertengahan tahun memicu konvergensi kebijakan moneter yang menjamin interest rate lower for longer. Untuk meredakan risiko resesi paska Brexit, BoE untuk pertama kali dalam tujuh tahun menurunkan bunga dan turut melakukan quantitative easing. Selanjutnya penguatan dollar nampak membuat the Fed lebih berhatihati menaikkan bunga, termasuk mengurungkan pada pertemuan September. Menyikapi Taper Tan-Trump Kejutan terpilihnya Trump kembali membalikkan persepsi bahwa the Fed akan memimpin pengetatan (hawkish) sendirian. Setelah kenaikan 25bps pada pertemuan pekan lalu, konsensus saat ini memproyeksikan kenaikan Fed fund rate sebanyak tiga kali selama tahun 2017 menjadi 1,5%. Dengan retorika “Super-Keynesian”, Trump seperti seorang yang ingin menyiram bensin pada sesuatu yang sedang terbakar. Jelas tidak sepenuhnya cocok dengan fase siklus bisnis di Amerika Serikat yang sedang menikmati booming dengan unemployment rate menukik jadi 4,6%. Pertumbuhan tingkat upah 2,38% sudah lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi 1,6% tahun ini dan proyeksi 2,2% tahun 2017. Fase booming ditunjukkan oleh kenaikan index harga rumah hingga melewati angka tertinggi Juli 2006. 1 Jadi tidak heran bila investor obligasi seketika bereaksi negatif melalui lonjakan yield T-bond yang berdampak global. Ada komentator yang genit menamai dampak tersebut sebagai Taper Tan-Trump. setelah terpilihnya Trump yield T-bond 10 tahun naik 73,7bps menjadi 2,59%. Pada periode tersebut, ekspektasi inflasi hanya naik 8,9bps menjadi 1,9%. Hal ini menegaskan investor mencemaskan supply risk obligasi negara Paman Sam tersebut. Investor nampak menghindari obligasi bertenor panjang seperti tercermin pada pelebaran yield antara tenor 30 dan dua tahun. Pada Tabel diatas kolom Currency, terlihat indeks dollar global DXY menguat hampir lima persen yang sejalan dengan pelemahan yen 10,7% dan euro 5,5%. Dollar Mexico terlihat anjlok sekitar 10% yang diduga terkait sentimen bila Trump membatasi imigrasi. Pelemahan lira Turki diduga juga dipicu oleh defisit neraca berjalan yang cukup besar disamping masalah politik. Kurs rupiah sendiri melemah 2,4%, lebih kuat dibanding ringgit Malaysia. Namun sepanjang tahun berjalan, rupiah menguat sekitar 3,4% sementara ringgit terdepresiasi 3,8%. Investor, terutama asing, pada umumnya mengapresiasi berbagai kebijakan struktural pro-aktif yang digelar pemerintah termasuk keberhasilan program tax-amnesty. Pada kelompok komoditas terlihat harga emas anjlok 11% yang jelas terkait penguatan dollar. Lonjakan harga minyak 20% yang lebih banyak dipengaruhi oleh keputusan OPEC memangkas produksi. Sementara kenaikan CPO lebih terkait stimulus besar-besaran yang dilakukan pemerintah China untuk menyerap kelebihan kapasitas. Bayangkan defisit fiskal China yang selama periode 2009-2014 hanya berkisar 1,8% GDP, sejak tahun 2015 dipacu menjadi 3,4%. Pelonggaran moneter dilakukan baik melalui pemangkasan suku bunga dan giro wajib minimum. China nampak berhasil bila mencermati deflasi berdasarkan producer price index telah kembali menjadi inflasi sebesar 3,3% pada bulan November 2016 seperti terlihat pada peraga dibawah. Stabilisasi perekonomian China mengangkat harga komoditas dari kejatuhan parah selama tiga tahun terakhir. Pada kelompok asset saham (equity), terlihat Nikkei melesat 13% yang ditopang oleh pelemahan yen. Indeks bursa AS S&P500 (SPX) melesat sekita 5,5%. IHSG terkoreksi sekitar 4,4% setelah investor asing melepas dengan penjualan bersih senilai $1,2 miliar. Namun menarik untuk diketahui bahwa investor asing mulai kembali mengakumulasi surat utang negara seperti terlihat pada peraga dibawah ini. 2 Prospek Saham Lebih Cerah Dalam World Economic Outlook bulan Oktober 2016, IMF memproyeksikan laju pertumbuhan ekonomi global 2017 sebesar 3,4%. Angka ini lebih gegas dibanding proyeksi tahun 2016 yang mencapai 3,1%. Hal ini nampak melandasi kegairahan perdagangan dunia untuk tumbuh 3,8% dibanding 2,3% tahun 2016. Pada periode yang sama, perekonomian AS diharapkan menguat dengan laju pertumbuhan 2,2% dari 1,6%. Kelesuan masih melanda kawasan Eropa dengan pertumbuhan 1,5% atau melambat dibanding 1,7% tahun 2016. Perekonomian Tiongkok diproyeksikan melanjutkan normalisasi dengan tumbuh 6,2% dari 6,5%. Namun perlu diingatkan ada baiknya kita tidak melihat secepat apa mereka tumbuh. Melainkan bagaimana mereka tumbuh. Bintang pertumbuhan ekonomi nampak dipercayakan kepada India dengan tumbuh 7,6% seperti tahun 2016. ASEAN-5 digadang tumbuh dengan 5,1% sedikit lebih tinggi dari 2016 yang sebesar 4,8%. Dalam APBN 2017, pertumbuhan ekonomi diasumsikan mencapai 5,1%. Angka ini sedikit lebih rendah dibanding 5,2% yang menjadi revisi asumsi APBN 2016. Demikian juga angka ini lebih rendah dibanding proyeksi Bank Dunia 5,3%. Mencermati pemaparan Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemerintah nampak memilih bersikap konservatif. Melalui berbagai pertemuan dengan Ibu Sri Mulyani, saya mendapat pesan kuat bahwa pemerintah, terutama Departemen Keuangan, untuk fokus pada kredibilitas anggaran untuk meraih kualitas pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Pemerintah akan lebih banyak mendorong sektor swasta. Mencermati perekonomian dunia yang sedang menguat dan munculnya kembali kegairahan perusahaan menarik kredit, saya cenderung setuju dengan proyeksi Bank Dunia. Sejalan dengan kenaikan harga komoditas yang cenderung meningkatkan daya beli, saya menduga angka inflasi yang lebih tinggi sebesar 4,2%. Sedikit lebih tinggi dari asumsi pemerintah (4%), namun masih dalam target interval Bank Indonesia. Saya memproyeksikan nilai tukar rupiah pada rentang 13.500 hingga 14.000 atau lebih lemah dari asumsi pemerintah Rp 13.300 per dollar. Pada akhir tahun 2015 lalu, saya berani memproyeksikan kurs rupiah berkisar 13.000 hingga 13.500 atau lebih kuat dari asumsi pemerintah. Pertimbangan saya terkait penurunan defisit neraca minyak yang disebabkan oleh penurunan harga minyak dan pelemahan daya beli. Recovery story is equity friendly. Selama tahun 2016 Bank Indonesia telah agresif menurunkan suku bunga yang memacu kinerja obligasi negara. Tentunya dengan peningkatan harga berbagai komoditas seperti terlihat 3 pada tabel, tekanan inflasi mulai muncul. Jadi selain berinvestasi pada sektor domestik yang diuntungkan oleh program tax-amnesty, investor perlu melirik saham komoditas yang diangkat oleh percepatan ekonomi global. Penguatan ekonomi domestik juga ditandai dengan membaiknya prospek penyaluran kredit. Sehingga sangat bisa jadi Bank Indonesia membatasi penurunan suku bunga. Dengan kondisi ini ada kemungkinan Bank Indonesia mempertahan suku bunga atau hanya menurunkannya satu kali. Itu sebabnya bagi investor yang menginginkan yield lebih tinggi, perlu mempertimbangkan melirik corporate bond setelah duration strategi sukses selama tahun 2016. From LSIEV to SLEVI Mencermati berbagai dinamika eksternal, terutama kenaikan harga komoditas dan kenaikan suku bunga, dan kualitas respon kebijakan domestik, saya menyukai permutasi ELVIS menjadi SLEVI (Sentiment, Liquidity, Earning, Valuation and Interest Rate). Bergabungnya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dan indikasi keberhasilan program tax-amnesty akan menjaga sentiment investor terhadap Indonesia tetap positif. Seharusnya S&P memberikan Indonesia investment rating upgrade. Dengan persepsi the Fed melakukan pengetatan peranan faktor liquidity akan berkurang. Investor saat ini sedang menata ulang alokasi investasi secara regional dan asset class. Mencermati akselerasi inflasi di China, saya juga menduga bank sentralnya suatu ketika akan mengetatkan likuiditas. Pertimbangan ini juga yang melandasi saya menempatkan faktor interest rate (I) paling akhir. Khabar gembira tentunya lebih mengemuka faktor earning yang melandasi kenaikan harga saham. Selain pengeluaran pemerintah, daya beli masyarakat dipacu oleh kenaikan harga komoditas ekspor. Faktor valuasi terkait dengan kenaikan pesat bursa saham negara maju dan regional. Lalu bagaimana proyeksi IHSG? Dengan asumsi kenaikan indeks S&P500 sebesar 5% dan pertumbuhan real M1 growth Indonesia sebesar 7%, diproyeksikan kenaikan IHSG sebesar 17,67%. Bila IHSG pada akhir tahun 2016 ditutup pada angka 5.300, maka proyeksi akhir tahun 2017 menjadi 6.236. Perlu disampaikan bahwa proyeksi kenaikan IHSG itu masih dalam rentang rata-rata pertumbuhan GDP nominal secara historis selama 10 tahun terakhir plus satu standar deviasi. Artinya masih wajar. Akhirnya kami mengucapkan selamat merayakan Natal dan Tahun Baru 2017. Selalu semangat! Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation 4