Hukum Tindak Pidana Khusus A. Pengertian Pengertian pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Secara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus. Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan : “Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri” . UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penyalahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi. B. Dasar Hukum UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2002 dan UU No 1/Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002. Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu atau untuk orang/golongan tertentu. Hukum Tindak Pidana Khusus menyimpang dari Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum. Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian : 1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepanjang UU itu tidak menentukan lain. 2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap). Perundang-undangan Pidana : 1. UU pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara; 2. Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana terhadap aturan yang berada di luar hukum pidana umum Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada bebebarapa substansi: 1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No 3/2004). 2. UU yang memuat ketentuan pidana, maksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU No 23/20020, UU No 26/2000). 3. UU Pidana, maksudnya undang-undang yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003) 4. UU Hukum Pidana adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undangundang ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang acara pidana). Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP, KUHP Militer). 5. Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan Hukum administrasi ( HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan). C. Kekhususan T.P. Khusus. Hukum Tindak Pidana Khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap hukum pidana umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana Formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan / orang-orang tertentu. Adapun kekhususan dari Tindak Pidana Khusus dapat berupa : 1. Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang Hk. Pidana Materil. Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan Hukum Pidana Umum dan dapat berupa: - Menentukan sendiri yang sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketentuan khusus. - Hukum Pidana bersifat elastis (ketentuan khusus). - Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman. (menyimpang). - Pengaturan tersendiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (ket. khs) - Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstra teritorial). (menyimpang/ket.khs) - Sub. Hukum berhubungan / ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan perekonomian negara (ket. Khs) - Pegawai Negeri merupakan Sub. Hukum tersendiri.(ket. khs). - Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu menetukan menjadi tindak pidana (ket.khus). - Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi. (menyimpang). - Perampasan barang bergerak, tidak bergerak (ket. khs). - Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU itu.(ket.khs). - Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs). - Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi. (ket.khs). - Tindak pidananya dapat bersifat politik ( ket.khs). - Dapat pula berlaku asas retro active. 2. Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal, dapat berupa : - Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa maupun Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. - Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain; - Adanya gugatan perdata terhadap tersangka / terdakwa TP Korupsi. - Penuntutan Kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara; - Perkara pidana Khusus di adili di Pengadilan khusus (HPE); - Dianutnya Peradilan In absentia; - Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank; - Dianutnya Pembuktian terbalik; - Larangan menyebutkan identitas pelapor; - Perlunya pegawai penghubung; D. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus - Tindak Pidana Korupsi - Tindak Pidana Pencucian Uang - Tindak Pidana HAM Berat - Tindak Pidana Terorisme - Tindak Pidana Narkotika - Tindak Pidana Lingkungan Hidup - Tindak Pidana Perdagangan Orang - Tindak Pidana Anak - Tindak Pidana Kehutanan - Dll. TINDAK PIDANA KORUPSI Pengelolaan Keuangan Negara / Daerah ????? KKN PENDAHULUAN Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara Pengertian penegakan hukum dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undangundang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara INDONESIA NEGARA HUKUM. Segala sesuatu yang ada di indonesia diatur oleh hukum, - Hukum yang tertulis. - Hukum yang tidak tertulis/ adat / kebiasaan. - Hukum Dilihat dalam garis - garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang memuat ketentuanketentuan tentang : 1. Aturan Umum Hukum Pidana dan Aspek Larangan Berbuat yang Disertai Ancaman Pidana. 2. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana pada diri sipembuat (Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan). 3. Tindakan dan upaya - upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya. PEMAHAMAN TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang merusak dan mengancam sendi-sendi kehidupan bangsa. Pelbagai peraturan peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk memberantas korupsi telah diterbitkan. Namun, praktik korupsi masih terus berulang dan semakin kompleks dalam realisasinya. Pada tahun 2010, menurut data Pacific Economic and Risk Consultansy, Indonesia menempati urutan teratas sebagai negara terkorup di Asia. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari korupsi hampir terjadi disetiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Proyek Pengadaan Barang/Jasa di instansi pemerintah, sampai proses penegakkan hukum. Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masayarakat umum, seperti memberi hadiah kepada Pejabat / Pegawai Negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan itu dipandang lumrah sebagai kebiasaan dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif ini lama-lama menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata. Kebiasaan berperilaku koruptif yang terus berlangsung di kalangan masyarakat salah satunya disebabkan karena masih kurangnya pemahaman mereka terhadap pengertian korupsi. Selama ini, kosakata korupsi sudah populer di Indonesia. Hampir semua orang pernah mendengar kata korupsi. Dari mulai rakyat yang tinggal di pedalaman, mahasiswa, pegawai negeri, orang swasta, aparat penegak hukum sampai pejabat negara. Namun jika ditanya kepada mereka apa itu korupsi, jenis perbuatan apa saja yang bisa dikategorikan tindak pidana korupsi? Hampir dipastikan sangat sedikit yang bisa menjawab secara benar bentuk / jenis korupsi sebagaimana dimaksud oleh undang-undang. Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi didalam undang-undang tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir sebelum negara ini merdeka. Namun hingga saat ini pemahaman masyarakat terhadap pengertian korupsi masih sangat kurang. Menjadi lebih memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu hal yang mudah. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif yang selama ini dianggap sebgai hal wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai Tindak Pidana Korupsi. Seperti Gratifikasi (pemberian hadiah) kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjadi salah satu bentuk Tindak Pidana Korupsi. Mengetahui bentuk / jenis perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai korupsi adalah upaya dini untuk mencegah agar seseorang tidak melakukan korupsi. Apa Yang Dimaksud Dengan Korupsi ? Korupsi bersasal bahasa latin “Corruptio,” atau “Corruptos” Kata tersebut kemudian diadopsi ke dalam beberapa bahasa, diantaranya yaitu : Bahasa Inggris : Corruption ( Corrupt ) Bahasa Belanda : Corruptie Bahasa Indonesia : Korupsi Korupsi secara harfiah bisa berarti : 1. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran 2. Perbuatan yg buruk (penggelapan, uang, penerimaan uang sogok, dsb) 3. Perbuatan yg kenyataan menimbulkan keadaan yg bersifat buruk Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang dalam 30 buah Pasal dalam UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 7 (tujuh) bentuk / jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketigapuluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kerugian keuangan negara Suap - Menyuap Penggelapan dalam jabatan Pemerasan Perbuatan curang Benturan kepentingan dalam pengadaan Gratifikasi TPK UU No 31 th 1999 Jo UU No 20 Th 2001 KERIGIAN KEUANGAN NEGARA Ps 2 & 3 PERBUATAN PEMERASAN Ps 12, e,g, f SUAP MENYUAP Ps 5,6,11,12,13 PENGGELAPAN DLM JABATAN Ps 8, 9, Ps 10.a,b c KORUPSI UU NO 31 TH 1999 JO UU NO 20 TH 2001 Benturan Kepentingan Ps 12 i PERBUATAN CURANG Ps 7 ayat (1) a,b,C,d Ps 7 (2) Ps 12.b Gratifikasi Ps 12 c 18 Selain defenisi tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana lain tersebut tertuang dalam Pasal 21, 22, 23, dan 24 Bab III UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Janis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas : 1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi. 2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka. 4. Saksi atau Ahli yang tidak memberika keterangan atau memberi keterangan palsu. 5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu. 6. Saksi yang membuka identitas pelapor. TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI EKSTRA ORDINARY CRIME TINDAK PIDANA KORUPSI DAPAT BERAKIBAT MERUSAK PEREKONOMIAN NEGARA TREND SEMAKIN CANGGIH CARA YANG DIGUNAKAN PELAKU EKSTRA ORDINARY CRIME (Kejahatan Luar Biasa): Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana yang tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu “kejahatan luar biasa”. Upaya Penanggulangannya : Untuk menanggulangi kejahatan yang luar biasa tersebut diperlukan suatu kebijakan sosial (sosial policy). Kemudian dijabarkan dalam kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Pada tataran tersebut dirumuskan dan ditegakkan pula kebijakan pidana (criminal policy). Dengan demikian tampak bahwa kebijakan pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum yang secara keseluruhan berada dalam suatu sistem kebijakan sosial. Oleh karena itu kebijakan pidana harus memiliki sinkronisasi dengan kebijakan penegakan hukum, sedangkan kebijakan penegakan hukum harus pula searah dan dijiwai oleh kebijakan sosial atau arah kebijakan penyelenggaraan negara pada umumnya. Trend Perkembangan : Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam kehidupan masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, serta modus operandi yang digunakan juga semakin canggih. Faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia meliputi 4 aspek, yaitu: 1.Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang melakukan korupsi, seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar. 2. Aspek Organisasi. yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, manajemen cenderung menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasi. 3.Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat dimana individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktek korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktek korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalah artian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa Indoenesia. 4.Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, judicial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan. Tiga Aspek : MENGAPA KORUPSI TERJADI Institusi/Administrasi Manusia KORUPSI Sosial/Budaya prepared by mulia ardi 1. Kerugian Keuangan Negara ; Pasal 2 Pasal 3 2. Suap – Menyuap ; • Pasal 5 Ayat (1) huruf a • Pasal 5 Ayat (1) huruf b • Pasal 13 • Pasal 5 Ayat (2) • Pasal 12 huruf a • Pasal 12 huruf b • Pasal 11 • Pasal 6 Ayat (1) huruf a • Pasal 6 Ayat (1) huruf b • Pasal 6 Ayat (2) • Pasal 12 huruf c • Pasal 12 huruf d 3. Penggelapan Dalam Jabatan ; Pasal 8 Pasal 9 Pasal 10 huruf a Pasal 10 huruf b Pasal 10 huruf c 4. Pemerasan ; Pasal 12 huruf e Pasal 12 huruf g Pasal 12 huruf f 5. Perbuatan Curang ; Pasal 7 Ayat (1) huruf a Pasal 7 Ayat (1) huruf b Pasal 7 Ayat (1) huruf c Pasal 7 Ayat (1) huruf d Pasal 7 Ayat (2) Pasal 12 huruf h 6.Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan ; Pasal 12 huruf i 7.Gratifikasi ; Pasal 12 B jo. Pasal 12 C 8. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi tertuang dalam Pasal 21, 22, dan 24 Bab III UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pasal 21 : Merintangi Proses Pemeriksaan Perkara Korupsi Pasal 22 jo Pasal 28 :Tidak Memberi Keterangan atau Memberi Keterangan Yang Tidak Benar Pasal 22 jo Pasal 29 : Bank Yang Tidak Memberikan Rekening Tersangka Pasal 22 jo Pasal 35 : Saksi atau Ahli Yang Tidak Memberi Keterangan atau Memberi Keterangan Palsu Pasal 22 jo Pasal 36 : Orang Yang Memegang Rahasia Jabatan Tidak Memberikan Keterangan atau Memberi Keterangan Palsu Pasal 24 jo Pasal 31 : Saksi Yang Membuka Identitas Pelapor . UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk tindak pidana korupsi, harus memenuhi rumusan unsur-unsur sebagaimana termuat dalam masing-masing Pasal, yaitu : Unsur Pasal 2 : Setiap orang ; Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi ; Dengan cara melawan hukum ; Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur Pasal 3 : Setiap orang ; Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi ; Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana ; Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ; Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur Pasal 5 ayat (1) huruf a : Setiap orang ; Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu ; Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ; Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya. Unsur Pasal 5 ayat (1) huruf b : Setiap orang ; Memberi sesuatu ; Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ; Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Unsur Pasal 13 : Setiap orang ; Memberi hadiah atau janji ; Kepada Pegawai Negeri ; Dengan mengingat kekuasan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Unsur Pasal 5 ayat (2) : Pegawai Negeri atau Penyelanggara Negara ; Menerima pemberian atau janji ; Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b Unsur Pasal 12 huruf a : Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ; Menerima hadiah atau janji ; Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ; Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Unsur Pasal 12 huruf b : Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ; Menerima hadiah ; Diketahuinya bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ; Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Unsur Pasal 11 : Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ; Menerima hadiah atau janji ; Diketahuinya ; Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Unsur Pasal 6 Ayat (1) huruf a : Setiap orang ; Memberi atau menjanjikan sesuatu ; Kepada hakim ; Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Unsur Pasal 6 Ayat (1) huruf b : Setiap orang ; Memberi atau menjanjikan sesuatu ; Kepada Advokat yang menghadiri sidang pengadilan ; Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Unsur Pasal 6 Ayat (2) : Hakim atau Advokat ; Yang menerima pemberian atau janji ; Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a atau huruf b. Unsur Pasal 12 huruf c : Hakim ; Menerima hadiah atau janji ; Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Unsur Pasal 12 huruf d : Advokat yang menghadiri sidang di pengadilan ; Menerima hadiah atau janji ; Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Unsur Pasal 8 Pegawai Negeri atau selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu ; Dengan sengaja ; Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu ; Uang atau Surat Berharga ; Yang disimpan karena jabatannya. Unsur Pasal 9 Pegawai Negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu ; Dengan sengaja ; Memalsu ; Buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Unsur Pasal 10 hurf a Pegawai Negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu ; Dengan sengaja ; Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai ; Barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yang berwenang ; Yang dikuasainya karena jabatan. Unsur Pasal 10 hurf b : Pegawai Negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu ; Dengan sengaja ; Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai ; Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana disebut pada pasal 10 huruf a. Unsur Pasal 10 huruf c Pegawai Negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu ; Dengan sengaja ; Membantu orang lain Menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai ; Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 huruf a. Unsur Pasal 12 huruf e : Pegawai Negeri atau penyelenggara negara ; Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain ; Secara melawan hukum ; Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya. Menyalagunakan kekuasaan. Unsur Pasal 12 huruf g : Pegawai negeri atau penyelenggara negara ; Pada waktu menjalankan tugas ; Meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang ; Seolah-olah merupakan hutang kepada dirinya ; Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang. Unsur Pasal 12 huruf f : Pegawai negeri atau penyelenggara negara ; Pada waktu menjalankan tugas ; Meminta, menerima, atau memotong pembayaran ; Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum ; Seolah olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum mempunyai hutang kepadanya. Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang. Unsur Pasal 7 Ayat (1) huruf a : Pemborong, Ahli Bangunan, atau Penjual Bahan Bangunan ; Melakukan perbuatan curang ; Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan ; Yang dapat membahayakan keamanan orang atau keamanan barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Unsur Pasal 7 Ayat (1) huruf b: Pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan ; Membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan ; Dilakukan dengan sengaja ; Sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 Ayat (1) huruf a Unsur Pasal 7 Ayat (1) huruf c : Setiap orang ; Melakukan perbuatan curang ; Pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI dan atau Kepolisian negara RI ; Dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. Unsur Pasal 7 Ayat (1) huruf d : Orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan atau Kepolisian RI Membiarkan perbuatan curang (sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat 1 huruf c) ; Dilakukan dengan sengaja. Unsur Pasal 7 Ayat (2) : Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan TNI dan atau Kepolisian negara RI ; Membiarkan perbuatan curang ; Sebagaimana dimaksud Pasal 7 Ayat (1) huruf a atau huruf c. Unsur Pasal 12 huruf h Pegawai negeri atau penyelenggara negara ; Pada waktu menjalankan tugas menggunakan tanah negara yang diatasnya ada hak pakai Seolah olah sesuai dengan peraturan perundangundangan ; Telah merugikan yang berhak ; Diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Unsur Pasal 12 huruf I : Pegawai negeri atau penyelenggara negara ; Dengan sengaja ; Langsung atau tidak langsung turut serta dalam pemborongan pengadaan atau persewaan. Pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Unsur Pasal 12 huruf b: Pegawai negeri atau penyelenggara negara ; Menerima gratifikasi ; Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya. Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. Unsur Pasal 21 : Setiap orang ; Dengan sengaja ; Mencegah, merintangi atau menggagalkan ; Secara langsung atau tidak langsung ; Penyidikan , penuntutan dan pemeriksaan disidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi. Unsur pasal 22 jo. Pasal 28 : Tersangka ; Dengan sengaja ; Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu ; Tentang keterangan harta bendanya atau harta benda istri suaminya atau harta benda anaknya atau harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui atau patut diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Unsur Pasal 22 jo Pasal 29 : Orang yang ditugaskan oleh bank ; Dengan sengaja ; Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Unsur Pasal 22 jo. Pasal 35 : Saksi atau ahli ; Dengan sengaja ; Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang isinya palsu. Unsur Pasal 22 jo. Pasal 36 : Orang yang karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya yang diwajibkan menyimpan rahasia ; Dengan sengaja ; Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang isinya palsu. Unsur Pasal 24 jo Pasal 31: Saksi ; Menyebut nama atau nama alamat pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan diketahuinya identitas pelapor. Menerima Hadiah atau Janji berhubungan dengan Jabatannya Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta Pegawai negeri atau penyelenggara negara Menerima hadiah atau janji Padahal diketahuinya Atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya. Menyuap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara Pasal 5 ayat (1) huruf a Memberi atau menjanjikan sesuatu; kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya; yang bertentangan dengan kewajibannya. Dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah Pemborong Berbuat Curang Pasal 7 ayat (1) huruf a Pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan; Melakukan perbuatan curang; Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan ; Yang dapat membahayakan keamanan orang atau keamanan barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang . Dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah Pengawas Membiarkan Kecurangan Pasal 7 ayat (1) huruf b Pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan; Membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan ; Dilakukan dengan sengaja ; Sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf a . Dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah Pegawai Negeri / Penyelenggara Negara Memeras Pasal 12 huruf e Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar: Pegawai negeri atau penyelenggara negara; Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain; Secara melawan hukum; Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; Menyalahgunakan kekuasaannya. Turut Serta Dalam Pengadaan Pasal 12 huruf i Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar: Pegawai negeri atau penyelenggara negara; Dengan sengaja; Langsung atau tidak langsung turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan; Pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. GRATIFIKASI Pasal 12B ayat (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; yang nilainya kurang dari Rp 10 juta pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik . Pengecualian Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sanksinya Pasal 12B ayat (2) Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Pelaporan dan Penentuan Status GratifikasiPasal 16, 17 & 18 UU No. 30 th. 2002 Penerima Gratifikasi Proses Penetapan Status Laporan Tertulis kepada KPK 30 Pasal 12C UU No. 20 th 2001 Waktu 30 hari kerja sejak diterima Dapat memanggil Penerima Gratifikasi H A R I Pimpinan KPK melakukan penelitian K E R J A 7 Hari Kerja sejak ditetapkan statusnya Menteri Keuangan Penerima Gratifikasi SK Pimpinan KPK ttg Status Gratifikasi Modus Operandi Korupsi PENYIMPANGAN PROSEDUR PENGADAAN BARANG / JASA INSTANSI PEMERINTAH MARK - UP HARGA / JUMLAH PERBUATAN CURANG PENGADAAN BARANG/JASA TIDAK SESUAI OWNER ESTIMATE GRATIFIKASI ( SUAP ) PENERIMA TIDAK MELAPOR KEPADA KPK PENGGELAPAN UANG DAN SURAT BERHARGA PEMALSUAN BUKU/DAFTAR PEMERASAN DALAM JABATAN TIDAK SESUAI PERATURAN PER UU AN. TERLIBAT PEMBORONGAN, PENGADAAN,PERSEWAAN -PERENCANAAN, -PELAKSANAAN -PELAPORAN DALAM JABATAN YG BIASA DIGUN PEMERIKSAAN ADM PADAHAL IA PENGURUS/PENGAWAS Pelaku KORUPSI SUBYEK SETIAP ORANG -Setiap orang -Pegawai negeri -Penylgr negara -Hakim -Advokat Sebagaimana UU NO 31 / 1999 yang telah diubah denganUU NO 20 / 2001 PERBUATAN -Memperkaya diri, orang lain, koorporasi secara melawan hukum (Psl 2) -Menguntungkan diri, orang lain, koorporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan /kedudukan (Psl 3) -Suap (Psl 5,6,11,12,13) PEMBORONG -Perbuatan curang, membahayakan keamanan umum (Psl 7) -Pegawai negeri -Selain PN -Penggelapan uang/surat berharga (Psl 8) -Pemalsuan, menghilangkan, merusakkan buku-buku/daftar-daftar (Psl 9, 10) -UU Lain yang menyebut -----korupsi AKIBAT -Merugikan Ku / ekonomi Negara -Merugikan individu, instansi, dunia usaha & masyarakat -Bangsa dan negara terpuruk Melawan Hukum untuk Memperkaya Diri dan Menyalahgunakan Kewenangan Pasal 2 (Break of Law) secara melawan hukum; memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; Setiap Orang atau Korporasi Formil dan materiil (perbuatan tercela) Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Pasal 3 (Abuse of Power) - dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi; - menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; ECW Neloe Keuangan / Perekonomian negara Unsur Keuangan Negara : Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan (termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: 1. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. 2. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yg menyertakan modal negara, atau perusahaan yg menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian degan negara. Unsur Perekonomian Negara : Penjelasan Umum UU No.31 Tahun 1999 menjelaskan sebagai berikut : Pengertian perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat mandiri yg didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengaan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat. Kerugian keuangan / perekonomian negara harus dibuktikan secara konkrit (didasarkan alat bukti yang sah) tidak boleh menggunakan asumsi, kerugian yang propestif; walaupun kegiatan institusi negara tersebut mendapat keuntungan tidak berarti perbuatan terdakwa tidak merugikan negara Korporasi : adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. PERLUASAN PENGERTIAN PEGAWAI NEGERI 1. 2. Orang yang mendapat gaji, upah dari negara atau korporasi. Orang yang menerima Modal atau fasilitas dari negara. Yang dimaksud dengan fasilitas dari negara adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, pemberian ijin yang eksklusif termasuk keringanan biaya masuk, pemberian harga atau pajak yang tidak wajar (bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku). PIDANA KHUSUS PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI PREVENTIF (Pencegahan) Pelaksanaan Program Binmatkum REPRESIF (Penindakan) Penyelidikan Penyidikan Penuntutan UPAYA PENEGAKAN HUKUM : Preventif, yaitu strategi yang diarahkan untuk mencegah terjadinya tindak pidana dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya tindak pidana. Detektif, yaitu strategi yang diarahkan untuk mengidentifikasi tindak pidana yang sering terjadi. Represif, yaitu strategi yang diarahkan untuk menangani atau memproses pelaku tindak pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku PERAN SERTA MASYARAKAT 1. 2. Pasal 41 UU 31/1999 Jo UU 20/2001 : Pada intinya masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Wujud dari peran serta masyarakat tersebut berupa : Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan TPK kepada Aparat Penegak Hukum yang menangani perkara TPK. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani TPK. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu 30 hari. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum Penyelidikan Adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Tugas penyelidikan adalah sangat penting karena merupakan landasan yang kuat didalam menunjang tugas penyidikan. Sumber Informasi Sebagai Dasar Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi didapat dari : 1. 3. 4. Kesimpulan 2. Laporan atau Pengaduan Masyarakat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Temuan sendiri. Media massa. L / satuan operasi L / satuan TO L / satuan penyelidikan Jaksa Kegiatan penyelidikan dilakukan segera setelah aparat penegak hukum menerima informasi / laporan / pengaduan tentang dugaan adanya suatu tindak pidana korupsi. Kegiatan penyelidikan ditujukan untuk Mencari, Menggali, Mengumpulkan Bahan Keterangan, dan Data-Data sebanyak dan selengkap mungkin dari berbagai sumber, baik dilakukan secara terbuka maupun tertutup, yang selanjutnya bahan keterangan dan data-data tersebut diolah dalam satu proses sehingga menghasilkan suatu kesimpulan. Oleh karena tugas penyelidikan berfungsi sebagai dasar untuk tugas penyidikan selanjutnya maka hasil tugas penyelidikan tersebut diharapkan dapat memberikan kesimpulan bahwa : Apakah suatu peristiwa pidana itu adalah merupakan suatu kejahatan yang sekaligus dapat menentukan arah dan alat bukti yang telah diperoleh, sehingga dapat mempermudah penyidikanya. Selanjutnya dari bahan keterangan dan data maupun dokumen yang diperoleh tersebut diolah dalam satu proses analisa yuridis sehingga menghasilkan suatu kesimpulan tentang “Apakah suatu perkara yang dilakukan penyelidikan tersebut telah diperoleh ataupun ditemukan bukti permulaan / bukti awal yang cukup telah terjadinya suatu tindak pidana ?” “ BUKTI PERMULAAN “ Dalam hal Penyidik yang melakukan Penyidikan menetapkan seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya patut diduga sebagai tersangka pelaku tindak pidana, maka penetapan Penyidik itu harus didasarkan pada “Bukti Permulaan” (Prima Facie Evident) Demikian pula dalam hal Penyidik melakukan tindakan penangkapan terhadap seorang yang diduga keras sebagai pelaku tindak pidana, maka perintah penangkapan itu harus didasarkan pada “Bukti Permulaan” ALAT BUKTI YANG SAH : “ BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP “ 1. Keterangan Saksi Adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. 2. Keterangan Ahli Sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang sah. 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan Terdakwa Dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP diterangkan bahwa : “Yang dimaksud dengan Bukti Permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bukyi Pasal 1 butir 14” Pasal tersebut menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul melakukan tindak pidana. Dengan membaca penjelasan Pasal 17, ternyata apa yang dimaksud dengan Bukti Permulaan (Prima Facie Evident) masih tetap tidak jelas, apakah bukti permulaan itu berbentuk Barang Bukti ataukah berbentuk Alat Bukti Yang Sah. Hal ini dapat menimbulkan munculnya berbagai penafsiran, berhubung tindakan Penyidikan itu mempunyai tujuan utama untuk mengumpulkan Bukti yang pada akhirnya akan bermuara pada penyajian pembuktian di muka sidang Pengadilan, maka penafsiran terhadap pengertian “Bukti” harus didasarkan dan tidak boleh dilepaskan dari pengertian “Alat-Alat Bukti Yang Sah” Dengan demikian dapat diketahui bahwa alat pembuktian yang berlaku dan bernilai untuk memutuskan bahwa terdakwa benar-benar bersalah melakukan tindak pidana adalah “Alat Bukti Yang Sah” sekurang-kurangnya sebanyak 2 (dua) alat bukti yang sah. Untuk dapat lebih memahami bahwa yang dimaksud dengan pengertian Bukti Permulaan itu adalah merupakan alat bukti yang sah, maka hal tersebut perlu dikaitkan dengan keseluruhan proses peradilan perkara pidana yang dimulai dari proses PENYIDIKAN, yaitu dalam bentuk serangakaian tindakan PENYIDIK dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan “Bukti” (alat-alat bukti dan barang bukti) yang dengan bukti itu tindak pidana yang ditangani menjadi terang / jelas (jenis/kualifikasinya, apakah pencurian, penggelapan, penipuan, penganiayaan, pembunuhan, atau korupsi) dan sekaligus untuk menentukan dan menemukan siapa orang yang menjadi tersangka pelaku tindak pidana yang sedang ditangani oleh Penyidik yang bersangkutan. Sebagai target utama dari tindakan penyidikan adalah mengumpulkan bukti yang terdiri dari barang bukti dan alat bukti yang sah. Dengan demikian alat bukti yang dikumpulkan/diketemukan/diperoleh dalam pemeriksaan Penyidikan tersebut dinamakan sebagai Bukti Permulaan, karena kedudukan dan dan fungsinya baru sebagai “Calon Alat Bukti Yang Sah”. Calon alat bukti tersebut setelah disajikan atau diajukan oleh Penuntut Umum di muka persidangan, maka calon alat bukti yang sah atau bukti permulaan tersebut benar-benar berubah menjadi “Alat Bukti Yang Sah Penyidikan Adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Kegiatan penyidikan tindak pidana korupsi bertujuan untuk mencari dan menemukan unsur-unsur tindak pidana korupsi berikut alat bukti yang sah. Dengan demikian dalam kegiatan penyidikan ini diarahkan pada konstruksi pasal-pasal yang disangkakan. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 109 Ayat (1) KUHAP yang berbunyi : “Dalam hal Penyidik telah mulai melakukan suatu penyidikan peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum.” Pemberitahuan tersebut disampaikan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum melalui SPDP. Sasaran / target tindakan Penyidikan adalah mengupayakan PEMBUKTIAN tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang / jelas dan sekaligus menemukan siapa tersangka pelakunya. Adapun yang dimaksud dengan “Pembuktian” adalah upaya menyajikan / mengajukan alat-alat bukti yang sah dan barang bukti di depan sidang Pengadilan untuk membuktikan kesalahan terdakwa sesuai dengan Surat Dakwaan Penuntut Umum. Upaya pembuktian dilakukan dengan cara-cara yang diatur dalam KUHAP, yaitu dengan melakukan kegiatan / tindakan mencari / menemukan / mengumpulkan / menyita alat-alat bukti yang sah dan barang bukti, yang selanjutnya melalui proses penuntutan, alat-alat bukti tersebut oleh Penuntut Umum diajukan ke depan persidangan . PRA PENUNTUTAN Dalam Pasal 14 Huruf (b) KUHAP menyebutkan bahwa : “Penuntut Umum mempunyai wewenang mengadakan Pra Penuntutan apabila ada kekurangan-kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentutan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan dari penyidikan.” 1. 2. 3. Dari ketentutan tersebut diatas menimbulkan Penafsiran yang berbeda-beda tentang pengertian Pra Penuntutan, yaitu : Pra Penuntutan ditafsirkan sebagai sarana koordinasi antara Penyidik dengan Penuntut Umum sebelum Berkas Perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum. Kewenangan Penuntut Umum untuk memberikan petunjuk dan pengarahan kepada Penyidik untuk kesempurnaan Berkas Perkara. Segala tindakan Penuntut Umum yang dilakukanya, sebelum Berkas Perkara dilimpahkan ke Pengadilan. PROSES PRA PENUNTUTAN DI KEJAKSAAN 1. 2. 3. 4. Segera setelah Pihak Kejaksaan menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Penyidik, maka diterbitkan P-16 (Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum Untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana). Apabila setelah pengiriman SPDP, namun Penyidik belum juga menyerahkan hasil penyidikannya kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU), maka pihak Kejaksaan menerbitkan P-17 (Surat Permintaan Perkembangan Hasil Penyidikan) Apabila setelah pengiriman SPDP, Penyidik segera menyerahkan berkas perkara, maka Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang bersangkutan segera memeriksa dan meneliti berkas perkara tersebut. Apabila dan pemeriksaan dan penelitian berkas perkara tersebut, JPU berpendapat masih diperlukan penyempurnaan, maka diterbitkan P-18 dan P-19 untuk penyidik. P-18 : Surat pemberitahuan bahwa hasil penyidikan belum lengkap. P-19 : Surat pengembalian berkas perkara disertai dengan petunjuk untuk dilengkapi. 5. 6. 7. 8. Bahwa Penyidik memiliki waktu selama 14 (empat belas) hari untuk melakukan penyidikan tambahan dalam rangka penyempurnaan berkas perkara. Apabila dalam kurun waktu 14 hari, ternyata Penyidik belum menyelesaikan penyidikan tambahan atau Penyidik belum mengembalikan berkas perkara tersebut ke Kejaksaan, maka pihak Kejaksaan menerbitkan P-20 (Surat Pemberitahuan Bahwa Waktu Penyidikan Tambahan Sudah Habis). P-21 (Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap) diterbit-kan oleh Kejaksaan apabila hasil pemeriksaan dan penelitian berkas perkara yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang ditunjuk untuk mengikuti perkembangan penyidikan memberikan kesimpulan bahwa Berkas Perkara tersebut telah memenuhi syarat FORMIL dan MATERIIL. Apabila setelah diterbitkan P-21, namun Penyidik belum juga menyerahkan tanggung jawab tersangka berikut barang buktinya kepada Penuntut Umum, maka pihak Kejaksaan segera menerbitkan P-21 A (Surat Pemberitahuan Susulan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap) kepada Penyidik, dengan permintaan agar Penyidik segera menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang buktinya dalam waktu yang tidak terlalu lama. PENYIDIK menyerahkan Berkas Perkara Hasil Penyidikan kepada PENUNTUT UMUM. Penyerahan Berkas Perkara dari PENYIDIK kepada PENUNTUT UMUM dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu : 1 Penyerahan Berkas Perkara TAHAP PERTAMA 2 Penyerahan Berkas Perkara TAHAP KEDUA TAHAP PERTAMA : TAHAP KEDUA : Penyidik hanya menyerahkan Berkas Perkara Hasil Penyidikan Penyidik menyerahkan tanggung jawab Tersangka dan Barang Bukti PRA PENUNTUTAN PENUNTUTAN PENERIMAAN BERKAS PERKARA TAHAP-1 Pasal 8 ayat (3) huruf a KUHAP Setelah berkas perkara diterima dari Penyidik , tugas Jaksa Penuntut Umum adalah melakukan penelitian berkas perkara yang difokuskan kepada : 1. Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan formalitas / persyaratan, tata cara penyidikan, yang harus dilengkapi dengan Surat Perintah, Berita Acara. Izin/ Persetujuan Ketua Pengadilan , disamping penelitian kwantitas kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula kwalitan kelengkapan syarat formal, yakni keabsahannya sesuai ketentuan Undang –Undang. 2. Kelengkapan materiil: yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kriteria yang dapat digunakan sebagai tolok ukur kelengkapan materiil antara lain : KELENGKAPAN FORMIL YAKNI meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan formalitas / persyaratan, yang diantaranya meliputi : Tatacara penyidikan yang harus dilengkapi dengan surat perintah Berita Acara Izin atau persetujuan pengadilan. Disamping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formil perlu diteliti pula kualitas kelengkapan syarat formal, yakni keabsahannya sesuai ketentuan UU. KELENGKAPAN MATERIIL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kwalifikasi dan pasal yang dilanggar); Siapa pelaku, siapa siapa yang melihat, mendengar, mengalami peristiwa itu (tersangka, saksi – saksi/ ahli); Bagaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi); Dimana perbuatan itu dilakukan (locus delicti); Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti) Akibat apa yang ditimbulkannya (ditinjau secara victimologis) Apa yang hendak dicapai dengan perbuatan itu (motivasi yang mendorong pelaku). Kelengkapan materiil terpenuhi bila segala sesuatu yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian telah tersedia sebagai hasil penyidikan. Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP PENERIMAAN BERKAS PERKARA TAHAP-2 PENYERAHAN TANGGUNG JAWAB TERSANGKA Penerimaan tersangka dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kebenaran tentang : Keterangan-keterangan tersangka dalam BAP; Identitas tersangka (guna mencegah terjadinya Error in Persona; status tersangka (ditahan/tidak, Residivis atau pemula) maupun kemungkinan ada tambahan keterangan dari tersangka. BARANG BUKTI 1. 2. 3. HAL-HAL YANG PERLU DITELITI : Kuantitas (jumlah, ukuran, takaran/timbangan atau satuan lainnya) Kualitas (harga, nilai , mutu, kadar dan lain lain) Kondisi (baik, rusak, lengkap/ tidak lengkap). PENUNTUTAN Adalah tindakan PENUNTUT UMUM untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh HAKIM di sidang pengadilan. “Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan yang berwenang mengadili” ( Pasal 137 KUHAP ) “Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan Surat Dakwaan” ( Pasal 143 ayat (1) KUHAP ) PROSES PENUNTUTAN DI KEJAKSAAN 1. Setelah PENYIDIK menyerahkan tanggung jawab tersangka berikut barang buktinya ke Kejaksaan, maka pada saat itu juga JPU melakukan Pemeriksaan terhadap Tersangka dan barang Bukti (Formulir Model : BA-15) 2. Selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Untuk Penyelesaian Tindak Pidana (Formulir Model : P-16 A) 3. Berkaitan dengan penahanan terdakwa, maka diterbitkan Surat Perintah Penahanan / Pengalihan Jenis Penahanan (Formulir Model : T-7) 4. Dalam hal dilakukan penahanan, maka Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan penahanan terhadap Tersangka di Rumah Tahanan (RUTAN) setempat. 5. JPU merubah dan menyempurnakan Rencana Dakwaan (RENDAK) menjadi Surat Dakwaan (Formulir Model : P-29). 6. Setelah Surat Dakwaan sempurna, JPU melimpahkan perkara ke Pengadilan disertai dengan Formulir Model : P-31 (Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa). Pelimpahan tersebut meliputi : Berkas Perkara, Surat Dakwaan, Barang Bukti 7. Setelah JPU menerima “Penetapan Hari Sidang” dari Pengadilan Negeri, maka JPU membuat dan mengirimkan Surat Panggilan kepada: Saksi - Saksi (Formulir Model : P-37) Terdakwa (Formulir Model : P-38) Guna hadir di persidangan pada hari yang telah ditetapkan 8. JPU menghadiri seluruh proses persidangan di Pengadilan Negeri 9. JPU membuat dan menyampaikan Surat Tuntutan (Formulir Model : P42) 10. JPU menyampaikan sikap terhadap Putusan Majelis Hakim. - Menerima Putusan Majelis Hakim - Melakukan upaya hukum (Formulir Model : P-46) 11. JPU melaksanakan eksekusi terhadap Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Formulir Model : P-48) ALAT BUKTI YANG SAH & BARANG BUKTI Dalam praktik hukum / praktik penegakan hukum, ternyata bahwa para Pejabat Penyidik pada saat mulai mengayunkan langkah pertamanya dalam melakukan PENYIDIKAN maka secara otomatis dan secara langsung sudah terkait dan sudah terikat dengan ketentuan-ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Bahkan yang menjadi target penting dalam kegiatan penyidikan adalah upaya mengumpulkan alat-alat pembuktian untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Demikian pula dalam hal Penyidik menentukan seseorang berstatus tersangka, setidak-tidaknya penyidik harus sudah menguasai alat pembuktian yang disebut “BUKTI PERMULAAN” selanjutnya apabila penyidik sudah melakukan upaya paksa, misalnya : penahanan terhadap orang yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana (tersangka), maka tindakan penyidik tersebut paling kurang harus didasarkan pada “BUKTI YANG CUKUP” Dengan demikian, meskipun upaya pembuktian yang paling penting dan menentukan itu adalah pada tingkat pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, namun upaya pengumpulan sarana pembuktian itu sudah berperan dan berfungsi pada saat penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan. Dalam proses PENUNTUTAN, terutama pada saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyusun Surat Dakwaan, semuanya itu sangat dipengaruhi dan didasarkan pada kesempurnaan serta keberhasilan tindakan penyidikan, terutama dalam upaya Penyidik mengumpulkan sarana pembuktian yang akan disajikan atau diajukan oleh JPU di depan sidang Pengadilan. Dengan kata lain, keberhasilan penyidikan akan mendukung keberhasilan tindakan penuntutan, dan keberhasilan tindakan penuntutan akan menghasilkan PUTUSAN Pengadilan yang adil sebagaimana diupayakan oleh Penyidik dan dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dan didambakan oleh Pencari Keadilan. ALAT BUKTI Alat Bukti Yang Sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut : 1 KETERANGAN SAKSI 2 KETERANGAN AHLI 3 SURAT 4 PETUNJUK 5 KETERANGAN TERDAKWA KETERANGAN SAKSI Adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan Saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di muka Sidang Pengadilan. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah, meskipun sesuai satu dengan yang lain bukan merupakan alat bukti yang sah. (Pasal 185 ayat 7 KUHAP). Keterangan Saksi yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan tersebut diberikan dibawah sumpah (Pasal 116 ayat 1), maka keterangan saksi itu berlaku sebagai alat bukti yang sah. Keterangan Saksi kepada Penyidik yang dituangkan dalam BAP berlaku sebagai alat bukti “SURAT” (Pasal 187 huruf b atau d KUHAP) Tidak berlaku sebagai Keterangan Saksi, apabila keterangan itu diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) Saksi a charge : Saksi yang memberatkan Terdakwa. Saksi a de charge : Saksi yang meringankan Terdakwa. KETERANGAN AHLI Adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki “KEAHLIAN KHUSUS” tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (di Sidang Pengadilan) Keterangan Ahli adalah apa yang seorang AHLI nyatakan di Sidang Pengadilan. (Pasal 186 KUHAP) Keterangan Ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam bentuk “Laporan” dan dibuat “Dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.” Jika hal tersebut tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, maka pada waktu pemeriksaan di Sidang Pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam BAP (Sidang). Keterangan tersebut diberikan setelah ia (orang ahli) mengucapkan sumpah atau janji dihadapan Hakim. Dalam hal Penyidik untuk kepentingan Peradilan menangani seorang korban, baik luka, keracunan, ataupun mati diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan “Keterangan Ahli” kepada Ahli Kedoketran Kehakiman (Kedokteran Forensik) atau dokter dan/atau ahli lainnya (Pasal 133 ayat 1 KUHAP) ALAT BUKTI SURAT Adalah surat yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. A. Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh Pejabat Umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. B. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh Pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. C. Surat keterangan dari seorang Ahli yang memuat perndapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. D. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. surat ALAT BUKTI PETUNJUK Adalah Perbuatan, Kejadian, atau Keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana. Petunjuk dimaksud hanya dapat diperoleh dari : KETERANGAN SAKSI SURAT KETERANGAN TERDAKWA PETUNJUK PERBUATAN KEJADIAN KEADAAN Kekuatan pembuktian alat bukti PETUNJUK sangat ditentukan oleh unsur-unsur subjektif (arif bijaksana, kecermatan, keseksamaan dalam hati nurani) dari Hakim. KETERANGAN TERDAKWA Adalah apa yang Terdakwa nyatakan di Sidang Pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal didakwakan kepada Terdakwa. ( Pasal 182 ayat 2 KUHAP ) Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. KETERANGAN TERDAKWA : 1. Bisa berisi pengakuan Tersangka / Terdakwa atas Sangkaan / Dakwaan; atau 2. Bisa berisi pengingkaran / pemungkiran atas Sangkaan / Dakwaan. BARANG BUKTI Penyitaan : Adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam Penyidikan, Penuntutan, dan Pengadilan. Berdasarkan pengertian / penafsiran otentik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa benda yang disita / benda sitaan yang juga dinamakan “BARANG BUKTI” tersebut adalah berfungsi / berguna untuk kepentingan pembuktian Penyidikan, Penuntutan, dan Pengadilan. Benda sitaan yang berstatus sebagai barang bukti adalah berfungsi untuk kepentingan pembuktian. Namun apabila dikaitkan dengan keberadaan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, maka dapat diketahui secara jelas bahwa barang bukti “tidak termasuk” sebagai alat bukti yang sah. Meskipun KUHAP tidak memberikan penjelasan secara tersurat (eksplisit) mengenai kedudukan dan fungsi barang bukti (Corpus Delicti), namun apabila hal tersebut dihubungkan dengan pasal-pasal lain dalam KUHAP, maka barang bukti tersebut dapat berubah atau menghasilkan alat bukti yang sah. Contoh 1 : Penyidik pada waktu melakukan pemeriksaan penyidikan perkara pembuhuhan, penyidik melakukan penyitaan terhadap barang bukti berupa senjata tajam yang diduga digunakan untuk melakukan pembunuhan, baju milik korban, dan sandal dengan bercak darah yang diduga milik pelaku pembunuhan. Kemudian Penyidik mengirimkan mayat dan BB tersebut ke Laboratorium Forensik / Ahli Kedokteran Kehakiman untuk mendapatkan Visum Et Repertum dan laporan/surat keterangan ahli. Atas permintaan Penyidik berdasarkan Pasal 133 jo 86 KUHAP, maka ahli forensik membuat laporan / keterangan hasil pemeriksaannya dalam bentuk “KETERANGAN AHLI” dan Visum Et Repertum. Dengan demikian BB yang disita oleh Penyidik dan BB berupa mayat korban pembunuhan tersebut telah berubah menjadi alat bukti yang sah berupa KETERANGAN AHLI dan Visum Et Repertum (Pasal 184 jo 186 jo 187 huruf c KUHAP) Contoh 2 : Dalam perkara pencurian, penggelapan, atau penipuan, apabila Barang Bukti (benda sitaan)dari hasil kejahatan yang berupa perhiasan cincin, gelang, atau kalung diajukan di muka persidangan maka sesuai dengan Pasal 181 KUHAP – HAKIM KETUA Sidang memperlihatkan kepada Terdakwa segala “Barang Bukti” dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal barang itu. Jika perlu BB itu diperlihatkan juga oleh HAKIM KETUA Sidang kepada Saksi. Apabila atas pertanyaan HAKIM KETUA Sidang terdakwa dan saksi memberikan keterangan bahwa mengenal BB yang diajukan di muka persidangan disertai “Penjelasan” yang berkaitan dengan BB tersebut, maka BB tersebut telah berubah menjadi Alat Bukti Yang Sah dalam bentuk “KETERANGAN SAKSI” dan “KETERANGAN TERDAKWA” Berdasarkan uraian–uraian tersebut dapat Benda Sitaan sebagai Barang Bukti secara sebagai Alat Bukti Yang Sah, namun dalam peradilan, BB tersebut secara materiil dapat Alat Bukti Yang Sah. disimpulkan bahwa meskipun yuridis formal tidak termasuk proses praktik hukum / praktik berubah dan berfungsi sebagai Disamping itu keberadaan Barang Bukti di muka persidangan dapat juga berfungsi sebagai sarana untuk mendukung dan memperkuat “KEYAKINAN HAKIM” dalam memutus kesalahan atau menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Atas dasar itu maka dalam proses pemeriksaan di muka persidangan, seringkali HAKIM menunda sidang disebabkan PENUNTUT UMUM tidak/belum mengajukan BB di muka sidang pengadilan. PROSEDUR PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Laporan Masyarakat/ Hasil temuan Instansi lain Ditelaah Hasil telaaha n Penunjukan Jaksa Penyelidik Surat Perintah Penyelidikan Ada Indikasi TP Tidak ada bukti permulaan ` Proses Penyelidikan TAHAP PENYIDIKAN Tidak ditindak lanjuti Bukan merupakan tindak pidana/tidak cukup bukti Dihentikan Penyelidikan Hasil Penyelidika n Bukan merupakan tindak pidana korupsi Cukup Bukti Dikirim ke Instansi lain Tembusan KPK SPDP TAHAP PENYIDIKAN TAHAP PENUNTUTAN Penunjukan Jaksa Penyidik Dikembalikan untuk dilengkapi Surat Perintah Penyidikan Pemeriksaan Saksi, Ahli & Tersangka Proses Penyidikan Penggeledahan / Penyitaan Barang Bukti Penahanan Tersangka Penelitian kelengkapan berkas Cukup Bukti ` Berita Acara Pendapat Hasil Penyidikan Lengkap Penunjukan JPU Bukan merupakan tindak pidana / Tidak Cukup Bukti Dihentikan Penyidikan SP 3 PENGADILAN NEGERI • Dakwaan Putusan • Berkas Perkara • Barang bukti Proses Persidangan Surat Pelimpahan Perkara Penetapan / ` Keputusan Ketua PN / Hakim Surat Dakwaan Penunjukan JPU Sikap Kedua belah pihak Satu Pihak Tidak Menerima UPAYA HUKUM Kedua Pihak Menerima Eksekusi Surat Tuntutan Pembacaan Tuntutan UPAYA HUKUM • Banding • Kasasi • Kasasi Demi Kepentingan Hukum • Grasi • Peninjauan Kembali Panitera Hakim Anggota Rohaniawan Hakim Ketua Hakim Anggota Panji Pengayoman KURSI SAKSI / AHLI PENGUNJUNG SIDANG Terdakwa Penasihat Hukum Kursi Pemeriksaan MEJA PENASIHAT HUKUM MEJA PENUNTUT UMUM Penuntut Umum MEJA MAJELIS HAKIM