mewaspadai leptospirosis di indonesia sebagai penyakit zoonosis

advertisement
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
MEWASPADAI LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA
SEBAGAI PENYAKIT ZOONOSIS
**MASNIARI POLOENGAN dan * IYEP KOMALA
**Balai Penelitian Veteriner
Jl. R.E Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114
*Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis
yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang
berbentuk spiral dari genus Leptospira, yang
menyerang hewan dan manusia. Penelitian
tentang Leptospirosis pertama dilakukan oleh
ADOLF HEIL pada tahun 1886. Dia melaporkan
adanya penyakit tersebut pada manusia dengan
gambaran klinis demam, pembesaran hati dan
limpa, ikterus dan ada tanda-tanda kerusakan
pada ginjal (WIDARSO et al., 2005).
Penyakit-penyakit dengan gejala tersebut
oleh GOLDSMITH (1887) disebut sebagai
"Weil's Disease" dan pada taun 1915 Inada
berhasil membuktikan bahwa Weil's Disease
disebabkna
oleh
Bakteri
Leptospira
icterohemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis
Leptospira dapat diisolasi baik dari hewan
maupun manuia (WIDARSO et al., 2005).
Beberapa tahun kemudian organisme
penyebab penyaki ini juga ditemukan di
hewan. Setelah tahun 1948 pengetahuan kita
tentang epidemiologis Leptospirosis makan
bertambah karena adanya epidemi penyakit ini
pada manusia yang dapat dihubungkan dengan
terjadinya wabah pada sapi, anjing dan babi
yang terinfeksi dengan tipe lain dari Leptospira
(SOEJOEDONO, 2000).
Sampai saat ini dikenal dua spesies
Leptospira yaitu Leptospira interogans dan
Leptospira biflexa. Spesies pertama dikenal
patogen terhadap manusia dan hewan,
sedangkan spesies kedua merupakan safrofit
yang hidup bebas di perairan dangkal dan
jarang dihuhungkan dengan infeksi pada
manusia.
Menurut
DHARMOJONO
(2001)
Leptospirosis selain disebut sebagai Weil's
Disease juga disebut redwater desease (of
calves) pada ternak sapi atau penyakit canine
typhus (pada anjing) atau penyakit menular non
virus
(non-virus
infectious
jaundice).
154
Mikroorganisme Leptospira yang telah dikenal
dari aspek imunologiknya memiliki berbagai
serovars. Kebanyakan dari serovars tersebut
tergolong ke dalam kelomok Leptospira
interrogans. Leptospira mempunyai kesukaan
untuk tinggal di dalam ginjal atau organ
reproduksi. Itulah penyebabnya Leptospira
dapat dikeluarkan dari tumbuh penderita
bersama eksresi alat kencing dan kelamin
(urogenitalis), misalnya bersama urin dalam
jumlah yang besar selama berbulan-bulan,
bahakn bertahun-tahun.
EPIDEMIOLOGI DAN EKOLOGI
Bakteri Leptospira sebagai penyebab
Leptospirosis berbentuk spiral termasuk ke
dalam Ordo Spirochaetales dalam family
Trepanometaceae. Lebih dari 170 serotipe
leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan
hampir setengahnya terdapat di Indonesia.
Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan
ujung-ujungnya yang bengkok, seperti kait dari
bakteri Leptospria menyebabkan gerakan
leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar
sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun
melengkung, karena ukurannya yang sangat
kecil (WIDARSO et al, 2005).
Leptospira menyukai tinggal dipermukaan
air dalam waktu lama dan siap menginfeksi
calon korbanya apabila kontak dengannya,
karena itu Leptospirosis sering pula disebut
sebagai penyakit yang timbul dari air (water
born deseasei). Serovars yang pernah berhasil
diisolasi dari ternak sapi yatu L. hardjo, L.
pomona, L. grippotyphosa, L. canicola dan L.
icterohaemorrhagiae. Dua yang disebutkan
terakhir adalah umumnya yang menyerang
pada anjing juga (DHARMOJONO, 2001).
Menurut DHARMOJONO (2001) bakteri ini
berbentuk benang berplintiran (filament) yang
ujungnya seperti kait, berukura panjang 6-20
mikrometer dan diameter 0,1-0,2 mikrometer.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Bakteri ini dapat bergerak maju mundur
memutar sepanjang sumbunya. Sebanyak 175
macam leptospira yang berbeda dari segi aspek
antigeniknya (yang disebut serovars), baru
tujuh macam yang berhasil diisolasi. Antar
serovars ini hanya terjadi kekebalan silang
secara moderat saja, sedangkan infeksi oleh
dua atau bahkan lebih serovars seringkali
ditemukan. Dalam waktu 6-12 hari paska
infeksi, umumnya zat anti kebal aglutinasi
terbentuk. Titer antibodi itu meningkat dengan
cepat, kemudian menurun dalam beberpa bulan
sampai kepada tingkat moderat, dan tetap ada
untuk beberapa minggu tetapi ada yang sampai
bertahun-tahun.
Leptospira hanya dapat dilihat dengan
mikroskop medan gelap atau mikroskop fase
kontras. Leptospira peka terhadap asam dan
dapat hidup di dalam air tawar selama kurang
lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air
selokan dan air kemih yang tidak diencerkan
akan cepat mati. Hewan-hewan yang menjadi
sumber penularan Leptospirosis ialah tikus,
babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing,
kucing, serangga, burung, insektivora (landak,
kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat
menjadi karier leptospira (WIDARSO et al,
2005).
Manusia terinfeksi leptospira melalui
kontak dengan air, tanah (lumpur), tanaman
yang telah dikotori oleh air seni hewan-hewan
penderita Leptospirosis.Bakteri leptospira
masuk ke dalam tubuh melaui selaput lendir
(mukosa) mata, hidung atau kulit yang lecet
dan kadang-kadang melalui saluran pencernaan
dari makanan yang terkontaminasi oleh urine
tikus yang terinfeksi leptospira. Masa inkubasi
Leptospirosis 4-19 hari, rata-rata 10 hari.
Penularan langsung dari manusia ke manusia
jarang terjadi (WIDARSO et al, 2005).
Leptospirosis tersebar baik di Indonesia
maupun di luar negeri. Di Indonesia
Leptospirosis ditemukan antara lain di propinsi
Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Lampung,
Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera
Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur,
dan Kalimantan Barat. Leptospirosis umumnya
menyerang para petani, pekerja perkebunan,
pekerja tambang/selokan, pekerja rumah
potong hewan dan militer. Di samping itu tidak
sedikit pula yang menyerang para penggemar
olahraga renang (WIDARSO et al, 2005).
Organisme penyebab penyakit masuk ke
dalam tubuh manusia melalui kulit yang
terluka atau membrane mukosa atau
kemungkinan juga melalui saluran pencernaan.
Pada kasus indeks masa inkubasinya
berlangsung antara 10-12 hari, tetapi dapat
berayun antara 2-30 hari. Umumnyaq wabah
terjadi karena terpapar pada air yang
terkontaminasi oleh urin hewan tertular.
Populasi dalam resiko adalah beberapa grup
okupasi (pekerjaan), misalnya petani/pekerja di
sawah, perkebunan tebu, tambang, saluran
kebersihan kota, rumah potong, perawat hewan
dan dokter hewan yang berhunungan atau
terpapar kepada air, perairan, lumpur dan/atau
hewan, baik hewan piara maupun satwa liar
(SOEJOEDONO, 2000).
PATOGENESIS
Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat
karena kontak kulit atau selaput lendir (mucous
membrane) misalnyaa, konjuktiva (mata)
karena kecipratan selaput lendir vagina atau
lecet-lecet kulit dengan urin atau cemaran oleh
keluaran
urogenitalis
lainnya
atau
mengkonsumsi makanan atau minuman yang
tercemar oleh bakteri tersebut. Apabila hewan
korban terinfeksi bakteri Leptospira ini, maka
segeralah mikroorganisme ini merasuk ke
dalam jaringan tubuh penderita. Apabila
kebetulan kornannya sedang buntukng, maka
kebuntingan umumnya akan gugur apalagi
apabila kebuntingannya itu baru berjalan
periode pertengahan atau sepertiga pertama
masa kebuntingan. Keguguran oleh infeksi L.
hardjo atau L. pomona umunya terjadi 3-10
minggu setelah terjadi infeksi. Keguguran ini
sering kali disertai oleh rentensi atau
(ketinggalan) dari fetal membran, yang dapat
menyebabkan gangguan fertilitas dikemudian
hari (DAHMOJONO, 2001).
Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh
hospes melalui selaput lendir, luka-luka lecet
maupun melalui kulit menjadi lebih lunak
karena terkena air. Kemudian, kuman akan
dibawa ke berbagai bagian tubuh dan
memperbanyak diri terutama di dalam hati,
ginjal, kelenjar mamae dan selaput otak.
Kuman tersebut dapat ditemukan di dalam atau
di luar sel-sel jaringan yang terkena. Pada
beberapa tingkatan penyakit dapat ditemukan
155
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
fase leptospiremia, yang biasanya terjadi pada
minggu pertama setelah infeksi. Beberapa
servoar menghasilkan endotoksin, sedangkan
servoar lainnya menghasilkan hemolisin, yang
mampu merusak dinding kapiler pembuluh
darah.
Pada
proses
infeksi
yang
berkepanjangan reaksi imunologik yang timbul
dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan
jaringan makin parah. Berbeda dengan infeksi
oleh kuman-kuman lain, pada Leptospirosis
tidak dibebaskan eksotoksin oleh kuman
leptospira (WIDARSO et al, 2005).
Leptospira hidup dengan baik didalam
tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan kuman
tersebut akan dibebaskan melalui air kemih
untuk jangka waktu yang lama, meskipun
kadar antibodi penderita cukup tinggi dan
banyak sel-sel penghasil zat kebal dapat
ditemukan di tempat-tempat yang mengalamai
infeksi. Sampai sekarang tidak ada uraian yang
dapat menjelaskan kejadian tersbut. Kematian
terjadi karena septimia, anemia hemolitika,
kerusakan hati karena terjadinya uremia.
keparahan penderita bervariasi tergantung pada
umur serta servoar leptospira penyebab infeksi
(WIDARSO et al, 2005).
Dalam organ ginjal penderita terjadi lesi
dalam bentuk kepucatan/kematian sebagai
daerah (infark) merah atau putih yang
menyebabakan (mottleing) pada bagian kortek.
Hati menjadi membengkak dan disana sini
terjadi kematian jaringan (nekrosis).
Angka
kematian
akibat
penyakit
Leptospirosis termasuk tinggi, bisa mencapai
2,5-16,45% (rata-rata 7,1%). Pada usia lebih
dari 50th malah kematian bisa sampai 56%.
penderita Leptospirosis yang disertai selaput
mata berwarna kuning (kerusakan jaringan
hati), resiko kematian akan lebih tinggi
(WIDARSO et al, 2005).
Menurut
HANGGARA
(2004)
hasil
penelitian RSCM dan Rumah Sakit
Persahabatan (RSP) Jakarta pada Januari 1993
sampai Desember 1996 secara retrospektif
dengan menggunakan data dari catatan medik
penderita rawat inap di Unit Penyakit Dalam
menunjukkan ada 68 penderita Leptospirosis.
Penderita tersebut terdiri dari 44 orang
penderita yang dirawat di RSCM dan 24 orang
dirawat di RS. Persahabatan. Karakteristik
penderita adalah 51 (75%) orang pria berumur
rata rata 35,86 tahun, dan 17 orang wanita
(25%) berumur rata rata 45,76 tahun. Dari jenis
156
pekerjaannya, 28 orang pria (55%) sebagai
buruh, 14 orang (27%) karyawan swasta, 5
orang (9%) PNS, 4 orang (7,8%) pelajar.
Sedangkan 14 orang wanita (82,35%) sebagai
ibu rumah tangga, 2 orang (11,76%) karyawan
swasta, dan 1 orang (5,88%) PNS. Angka
kejadian meningkat antara Januari dan Maret.
GEJALA DAN TANDA
(SIMPTOMATOLOGI)
Gejala dan tanda yang timbul tergantung
kepada berat ringannya infeski, maka gejala
dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau
ringan saja. Hewan yang kondisi fisik dan
imunologiknya baik, penderita mampu segera
mambentuk antibodi (zat kekebalan). Sehingga
mampu menghadapi bakteri Leptispira, bahkan
penderita
dapat
menjadi
sembuh
(DHARMOJONO, 2001).
Menurut WIDARSO et al. (2005) gejala
klinis dari Leptospirosis bisa dibedakan
menjadi tiga stadium, yaitu:
Stadium pertama
• Demam, menggigil
• Sakit kepala
• Malaise
• Muntah
• Konjungtivis
• Rasa nyeri pada otot terutama otot betis
dan punggung. Gejala-gejala tersebut
akan tampak antara 4-9 hari.
Gejala-gejala karakteristik sebagai berikut :
• Konjungtivis tanpa disertai eksudat
serous/purulent
• Kemerahan pada mata
• Rasa nyeri pada otot-otot
Gejala ini biasanya terjadi pada hari ketiga
sampai keempat setelah penyakit tersebut
muncul.
Stadium kedua
• Pada stadium ini biasanya telah
terbentuk antibodi di dalam tubuh
penderita
• Gejala-gejala yang tampak pada
stadium ini lebih bervariasi dibanding
pada stadium pertama antara lain ikterus
(kekuningan)
• Apabila demam dan gejala-gejala lain
timbul lagi, besar kemungkinan akan
terjadi meningitis
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
• Biasanya stadium ini terjadi antara
minggu kedua dan keempat
Stadium ketiga
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini
juga dapat menunjukkan gejala klinis pada
stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi
Leptospirosis dapat menimbulkan gejala-gejala
berikut :
• Pada ginjal,renal failure yang dapat
menyebabkan kematian
• Pada mata, konjungtiva yang tertutup
menggambarkan fase septisemi yang
erat hubungannya dengan keadaan
fotobia dan konjungtiva hemorrhagic
• Pada hati, jaundice (kekuningan) yang
terjadi pada hari keempat dan keenam
dengan adanya pembesaran hati dan
konsistensi lunak
• Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung
dan kegagalan jantung yangd apat
menyebabkan kematian mendadak
• Pada
paru-paru,
hemorhagic
pneumonitis dengan batuk darah, nyeri
dada, respiratory distress dan cyanosis
• Perdarahan karena adanya kerusakan
pembuluh darah (vascular damage) dari
saluran pernapasan, saluran pencernaan,
ginjal dan saluran genitalia
• Infeksi pada kehamilan menyebabkan
abortus, lahir mati, premature dan
kecacatan pada bayi.
Menurut SUPRIYANTO (2005) gejala yang
ditimbulkan oleh Leptospirosis yaiatu:
1. Pada stadium awal manusia yang terserang
mengalami demam tinggi, badan mengigil
seolah kedinginan, lesu, dan perut eneg,
muntah, radang mata seperti iritasi, dan
rasa nyeri pada otot betis. Gejala itu akan
tampak antara empat sampai sepuluh hari
setelah tertular.
2. Kemudian pada stadium kedua, parasit ini
membentuk
antibodi
dalam
tubuh
penderita, dengan indikasi klinis yang lebih
berat dari pada stadium awal. Stadium ini
terjadi antara minggu kedua dan keempat.
Apabila semakin parah efeknya akan ke
mana-mana seperti pada ginjal (akan
mengakibatkan gagal ginjal),jantung yang
terkena akan berdebar tidak teratur,
membengkak dan gagal jantung. Pembuluh
darah mengalami kebocoran dan akibatnya
di saluran pernapasan, saluran pencernaan,
dan saluran genitilia terjadi pendarahan.
Reservoir atau pembawa leptospira adalah
tikus. Mereka hidup di saluran kencing tikus
dan terbuang digenangan. Leptospira ini tidak
berbahaya bagi vektor (hewan pembawa) tetapi
bisa jadi mematikan untuk manusia. Penularan
di tempat kering kemungkinannya kecil terjadi,
juga penularan langsung dari manusia ke
manusia lain jarang sekali terjadi. Bebeberapa
hewan lain, seperti babi, anjing, kambing,
kuda, kucing, kelelawar dan jenis serangga
tertentu juga bisa menjadi reservoir
(SUPRIYANTO, 2005).
Leptospira paling mudah masuk melalui
permukaan tubuh yang terbuka, terutama luka.
Leptospira masuk karena kulit yang terendam
lama jadi lembek, lunak sehingga menjadi
mudah masuk. Manusia bisa terinfeksi
Leptospira melalui kontak dengan air tanah
atau tanaman yang telah dikotori air seni
hewan. Masa inkubasinya relatif cepat anatara
empat sampai sepuluh hari. Cepat tidaknya
penularan tergantung tiga faktor yaitu hause
atau orangnya, kemudian agennya (kuman) dan
lingkungannya sendiri. Orang yang dalam
kondisi lemah, perut lapar, stres akan mudah
terkena penyakit apalagi lingkungan yang tidak
bersih dan memungkinkan penyakit ini berada
(SUPRIYANTO, 2005).
Menurut SOEJOEDONO (2000) pada
manusia penyakit ini beragam kehebatannya,
dari mulai subkilinis, dengan gejala akut atau
sampai kepada penyakit yang mematikan, oleh
karena itu tanda klinisnyapun amat beragam
sehingga bersifat nonspesifik. Tanda-tanda
yang umum dijumpai adalah demam, pusing,
nyeri otot, nausea, muntah dan hilangnya nafsu
makan (anorexia), kadang-kadang dijumpai
konjungtivitis, ikterus, anemia dan kegagalan
(insufisensia) dari ginjal.
Gelala klinik pada sapi yang terkena
penyakit ini umumnya adalah dengan
terlihatnya hemolytic icterus dan hemo
globinuria yang terjadi pada 50% kasus yang
disebabkan oleh L. pomona dan terjadi pada
sapi-sapi muda. Mortalitasnya antara 5-15%,
sedangkan morbiditasnya adalah >75% (pada
sapi yang tua) dan 100% pada sapi muda.
Gejala lain pada sapi muda adalah demam,
tengkurap ditanah, anorexia dan dyspnea. Suhu
badan dapat naik sampai 40,5-410C.
157
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Gejala icterus akan segera meghilang tetapi
gejala anemia segera timbul. Butir darah merah
(RBC) dalam waktu 4-5 hari pertama
meningkat tetapi pada 7-10 hari kemudian akan
kembali normal. Kebanyakan penderita pada
sapi, juga menunjukkan leukositosis. Infeksi
oleh L. hardjo jarang sekali memperlihatkan
gejala icterus, hemoglobinuria dan anemia,
sehingga akan lebih sulit untuk mendiagnosa
(DHARMOJONO, 2001).
PENENTUAN PENYAKIT (DIAGNOSIS)
DAN DIAGNOSISI BANDING
Diagnosis tidak hanya didasarkan kepada
gejala dan klinik saja, melainkan juga harus
dikonfirmasikan
dengan
pemeriksaan
laboratorium.
Serologik
akan
terjadi
peningkatan titer dalam serum penderita.
Serum diambil dari hewan tersangka, pertama
ketika penyakit datang berjalan akut, kemudian
ketika penyakit sudah berjalan 7-10 hari. Uji
serologik dilakukan dengan cara uji agultinasi
mikroskopik (micros copic agglutination test)
atau uji agultinasi mikrotiter (microtiter
agglutination test). Uji lain dilakukan dengan
Elisa dan uji fikasi komplemen (comlement
fixation test).
Dilaboratorium yang mempunyai fasilitas,
dilakukan
pula
uji
biologik
dengan
menyuntikan 0,5 ml darah tersangka (diambil
secara aseptik) kepada hewan percobaan atau
media laboratorium lainnya. Urin (yang baru
dikoleksi) dari hewan tersangka yang telah
disentrifuse dapat diperiksa dengan mikroskop
lapangan gelap (darkfield microscope).
Leptosprira dikeluarkan oleh penderita secara
intermiten, maka apabila pemeriksaan pertama
negatif, sebaiknya dilakukan lagi pemeriksaan
ulang. Pemeriksaan labotorium dapat pula
dilakukan dengan melakukan seksi jaringan
ginjal atau hati yang diwarnai dengan metode
levaditi (silver-impreg nation method levaditi)
atau teknik Warhhim-Stary.
Ternak babi yang terserang leptospirasisi
memperlihatkan gejala demam, icterus, hilang
nafsu makan, gangguan alat pencernakan
kadang-kadang dengan gejala-gejala syarap,
seperti timbulnya kekakuan karena radang otak
(meningitis with rigidity), spasmus dan
berputar-putar, perdarahan, kemudian mati.
158
PENGOBATAN
Pengobatan
terhadap
penderita
Leptospirosis
dapat
dilakukan
dengan
pemberian antibiotik seperti Penicillin,
Streptomycin, Tetracycline atau Erythromycin.
Dari bermacam-macam antibiotik yang
tersebut diatas, pemberian Penicillin atau
Tetracycline dosis tinggi dapat memberikan
hasil yang sangat baik (WIDARSO et al, 2005).
Pengobatan dini sangat menolong karena
bakteri Leptospira mudah mati dengan
antibiotik yang banyak dipasaran, seperti
Penicillin dan turunannya (Amoxylline),
Streptomycine, Tetracycline, Erytromycine.
Angka kematian dapat mencapai 20% apabila
terjadi komplikasi (DINAS KESEHATAN
PROPINSI DKI JAKARTA, 2004).
Menurut KOMPAS CYBER MEDIA (2005)
selain antibiotika golongan penicilline, bakteri
ini juga peka terhadap Streptomycine,
Chloramphenicol
dan
Erythromycine.
Antibiotika ini tergolong tidak mahal dan
mudah didapatkan. Pengobatan yang dilakukan
sejak dini, maka prognosis Leptospirosis
umumnya baik, berbeda apabila terlambat
dilakukan pengobatan.
Leptospira umumnya peka terhadap
sebagian besar antibiotika seperti penisilin,
streptomisin,
tetrasiklin,
kloranfenikol,
eritromisin, siprofloksasin, sefalosporin, dan
sebagainya. Penisilin prokain merupakan obat
pilihan utama untuk Leptospirosis. Dosis yang
dianjurkan adalah tinggi, misalnya 600.000
unit setiap 4 jam yang dapat ditingkatkan
sampai 8-12 juta unit perhari pada penderita
dengan kondisi yang berat. Mortalitas pada
kondisi yang berat berkisar antara 15-40%.
Prognosis tergantung dari keganasan kuman,
daya tahan dan keadaan umum penderita, usia,
gagal multi organ serta pemberian antibiotika
dengan dosis yang adekuat pada fase dini
(HANGGARA, 2004).
Menurut WIDARSO et al. (2005) cara
mengobati penderita Leptospirosis yang
dianjurkan adalah sebagai berikut :
• Pemberian suntikan Benzyl (crystal)
Penisilin akan efektif jika secara dini
pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau
sebelum terjadi jaundice dengan dosis
6-8 megaunit secara 1.v, yang dapat
secra bertahap selama 5-7 hari
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
• Selain cara diatas, kombinasi crystalline
dan procaine penicillin dengan jumlah
yang sama dapat diberikan setiap hari
dengan dosis 4-5 megaunit secara i.m,
separuh dosis dapat diberikan selama 56 hari. Procaine penicillin 1,5 megaunit
i.m, dapat diberikan secara kontinue
selama
2
hari
setelah
terjadi
albuminuria
• Penderita
yang
alergi
terhadap
penicilline dapat diberikan antibiotik
lain
yaitu
Tetracycline
atau
Erythromycine, tetapi kedua antibiotik
tersebut kurang efektif dibanding
Penicilline. Tetracycline tidak dapat
diberikan jika penderita mengalami
gagal ginjal. Tetracycline dapat
diberikan secepatnya dengan dosis 250
mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24
jam, kemudian 250-500 mg setiap 6 jam
secara
oral
selama
6
ahri.
Erythromycine diberikan dengan dosis
250 mg setiap 6 jam selama 5 hari.
Terapi dengan antibiotika (streptomisin,
khlortetrasiklin, atau oksitetrasiklin), apabila
dilakukan pada awal perjalanan penyakit
biasanya berhasil. Pemberian (oksitetrasiklin,
atau oksitetrasiklin) apabila dilakukan pada
awal perjalanan penyakit, banyak berhasil.
Pemberian oksitetrasiklin dengan dosis 10
mg/kg bb selam lima hari pada ternak babi
penderita Leptospirosis, dapat memberikan
kesembuhan cukup baik yaitu 86%. Pemberian
per-oral dengan mencampurkan oksitetrasiklin
dengan dosis 500-1000 gr ke dalam setiap
makanannya selam 14 hari berturut-turut dapat
menghilangkan keadaan sebagai pembawa
penyakit
pada
ternak
babi
94%
(DHARMOJONO, 2001).
PENCEGAHAN LEPTOSPIROSIS
Hewan penderita harus dijauhkan dari
sumber-sumber air yang mengenang, karena
lapstopira tumbuh dengan baik dipermukaan
air. Tikus biasanya bersarang disolakansolakan, sedangkan tikus adalah hewan
pembawa
mokroorganisma
ini,
maka
diupayakan agar solokan – solokan tidak
menjadi sarang tikus dan diupayakan juga agar
air mengalir lancar disedemikian rupa sehingga
solokan selalu kering, jangan dibiarkan air
mengenang didalamnya.
Menurut WIDARSO et al. (2005)
pencegahan Leptospirosis dapat dilakukan
dengan cara:
• Pendidikan kesehatan mengenai bahaya
serta cara menular penyakit, berperan
dalam upaya pencegahan penyakit
Leptospirosis
• Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan
antara lain mencuci kaki, tangan serta
bagian tubuh lainnya dengan sabun
setelah bekerja di sawah
• Pembersihan tempat-tempat air dan
kolam-kolam renang sangat membantu
dalam usaha mencegah penyakit
Leptospirosis
• Melindungi pekerja-pekerja yang dalam
pekerjaannya mempunyai resiko yang
tinggi terhadap Leptospirosis dengan
penggunaan sepatu bot dan sarung
tangan
• Vaksinasi
terhadap
hewan-hewan
peliharaan dan hewan ternak dengan
vaskin strain lokal
• Mengisolasi hewan-hewan sakit guna
melindungi masyarakat, rumah-rumah
penduduk serta daerah-daerah wisata
dari urine hewan-hewan tersebut
• Pengamatan terhadap hewan rodent
yang ada disekitar penduduk, terutama
di desa dengan melakukan penangkapan
tikus untuk diperiksa terhadap kuman
Leptospirosis
• Kewaspadaan terhadap Leptospirosis
pada keadaan banjir
• Pemberantasan rodent (tikus) dengan
peracunan atau cara-cara lain
Menurut DHARMOJONO (2001) Vaksin
terhadap Leptospirosis pada anjing telah lama
ditemukan dan selalu disempurnakan sesuai
dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Vaksin
leptopsira adalah vaksin inaktif dalam bentuk
cair, sekaligus tindakan sebagai solven/vent
apabila vaksin ini akan dikombinasi dengan
vaksin lain (umunya vaksin distemper dan
adenovirus atau rabies pada anjng). Vaksin
Leptospirosis juga umumnya terjadi dari dua
komponen, yaitu L. canicola dan L.
icterohaemorrhagiae antigens.
159
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
DAFTAR PUSTAKA
DHARMOJONO. 2001. Limabelas Penyakit Menular
dari Binatang ke Manusia. Milenia Populer,
Jakarta.
RESSANG, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner.
Buku Pelajaran Patologi Khusus Veteriner
Edisi II.
DINAS KESEHATAN PROPINSI DKI JAKARTA. 2004.
Info dan Tips Waspada Leptospirosis. Jakarta.
SOEJOEDONO, R.R. 2000. Zoonosis. Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
HANGGARA R. 2004. Ulah Leptospirosis. Halo
Internis. Edisi II. Jakarta.
SUBRONTO. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah
Mada University Press, Jogjakarta.
Ed.
SUPRIYANTO A. 2005. Waspada Leptospirosis, Jauhi
Geningan Air. Tempo Interaktif. Jakarta.
NADESUL H. 2005. Awas, Gejala Leptospirosis
Menyerupai Flu. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
WIDARSO, WILFRIED dan SITI G. 2005.
Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia.
Pusat Data Informasi-Perhimpunan Rumah
Sakit Seluruh Indonesia. Jakarta.
MERCK’S VETERINARY MANUAL. 1991. 7
Merck’s Co. and Inc.
160
th
Download