praktek poligami tanpa seizin istri

advertisement
URGENSI SAKSI DALAM TALAK DAN RUJUK
MENURUT KHI DAN FIQIH (Sebuah Kajian Komparatif)
Oleh
AZIZ MAULANA
103044128066
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
URGENSI SAKSI DALAM TALAK DAN RUJUK
MENURUT KHI DAN FIQIH (Sebuah Kajian Komparatif)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
AZIZ MAULANA
103044128066
Di bawah bimbingan
Dr. Abdur Rahman Dahlan, MA.
NIP: 195811101988031001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul URGENSI SAKSI DALAM TALAK DAN RUJUK
MENURUT KHI DAN FIQIH (Sebuah Kajian Komparatif), telah diujikan dalam
sidang munaqosayah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 31 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada jurusan Peradilan Agama.
Jakarta, 31 Agustus 2010
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, S.H., M.A., M.M.
Nip. 1955 0505 1982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, M.A
Nip. 1950 0306 1976031001
(………………...)
2. Sekertaris
: Kamarusdiana, S.Ag, M.H
Nip. 1972 0224 1998031003
(………………...)
3. Pembimbing
: Dr. Abdur Rahman Dahlan, M.A
Nip. 1958 1110 1988031001
(………………...)
4. Penguji I
: Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, M.A
Nip. 1956 0906 1982031004
(………………...)
5. Penguji II
: Dr. Asmawi, M.Ag
Nip. 1972 1010 1997031008
(………………...)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyartan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Agustus 2010
AZIZ MAULANA
iii
KATA PENGANTAR
‫بسم ﷲ الرحمن الرحيم‬
Alhamdulillah, puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa
mengiringi dan membimbing langkah penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Walau
terasa sangat berat, namun berkat rahmat dan hidayatNya penulis mampu untuk
menyelesaikan dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
junjungan alam, pembawa cahaya kebajikan, Nabi yang mulia, Muhammad SAW.
Berawal dari rasa kekhawatiran akan kepastian hukum mengenai sah dan
tidaknya talak serta rujuk tanpa saksi, maka penulis mencoba untuk mengkaji lebih
dalam lagi mengenai hal itu dengan menggunakan metode perbandingan antara fiqih
dan KHI. Penelitian ini penulis lakukan bukan saja untuk menjawab kekhawatiran
penulis sendiri, tetapi lebih lanjut lagi penulis berharap agar karya tulis ini dapat
memberikan pemahaman terhadap masyarakat tentang pentingnya hukum dan
lembaga hukum.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan kalimat terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis semasa kuliah
sampai menyelesaikan pendidikan Strata Satu di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan ini penulis bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk
menyelesaikan studi dengan baik. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis haturkan
iv
kepada Drs. Basiq Djalil, S.H., M.H., dan Kamarusdiana, S.Ag., M.H., sebagai ketua
dan sekretaris jurusan yang telah membantu penulis dalam proses studi, baik sebagai
pelayan akademis maupun kapasitasnya sebagai dosen pengajar. Tak lupa pula
penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tiada terhingga kepada Dr. Abdur
Rahman Dahlan, M.A., selaku pembimbing skripsi, yang telah menuntun dan
membimbing penulis hingga bisa menghasilkan karya tulis yang baik.
Ucapan terima kasih pula penulis haturkan untuk segenap dosen dan para
pengajar yang telah mendedikasikan hidupnya, mencurahkan ilmunya kepada bangsa
dan negara khususnya kami, para mahasiswa. Ucapan terima kasih penulis
persembahkan kepada segenap staff perpustakaan Fakultas Syariah yang telah
memberikan pelayanan kepustakaan dan literasinya.
Kasih dan sayang serta doa tulus yang selalu dihadirkan oleh Bapak dan Ibu;
M. Tarmidzi dan Latifah untuk penulis; hormat dan baktiku selalu untukmu. Terhatur
pula cinta kasih ini untuk kakak-kakakku; Asep Dimyati, Hasan Bisri S.Ag,
Mukhlisin Lubis serta untuk adik-adikku; Anita, Rosita dan Miftah, yang telah
memberikan bantuan doa dan semangatnya untuk penulis.
Terima kasih teruntuk K.H. Bahruddin S.Ag. (Abi), pengasuh Pondok
Pesantren Daar El Hikaam, yang selalu memberikan nasihat kesejukan bagi hati
penulis saat gundah gulana melanda. Seluruh teman-teman seperjuangan santri Daar
El Hikaam, penulis ucapkan banyak terima kasih.
v
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari salah dan khilaf, penulis sangat
menyadari sekali bahwa penulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan yang
tentunya membutuhkan koreksi atas kekurangan dan kesalahan. Untuk itulah saran
dan kritik membangun selalu penulis harapkan.
Akhir kata penulis ucapkan, jazakumullah khairan katsiran.
Ciputat, 12 Agustus 2010
(Penulis)
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………. .. iv
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul …………………………………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………………. 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………………………………… 10
D. Review Studi Terdahulu……………………………………………. 10
E. Metode Penelitian…………………………………………………... 13
F. Sistematika Penulisan ……………………………………………… 14
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG SAKSI DALAM TALAK DAN
RUJUK
A. Pengertian Talak dan Rujuk …………………………………. ……. 16
B. Saksi dalam Talak dan Rujuk Menurut Tinjauan KHI dan Fiqih …. 23
1. Landasan Saksi dalam Talak dan Rujuk Menurut KHI…………. 23
2. Landasan Saksi dalam Talak dan Rujuk Menurut Fiqih………… 26
C. Akibat Hukum serta Hikmah Talak dan Rujuk………………...…. 29
BAB III
URGENSI KEUDUDKAN SAKSI DALAM TALAK DAN RUJUK
A. Pengertian Saksi…………………………………………………….. 32
vii
B. Urgensi Kedudukan Saksi dalam Talak dan Rujuk menurut KHI … 37
C. Urgensi Kedudukan Saksi dalam Talak dan Rujuk menurut Fiqih... 39
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM ANTARA KHI DAN FIQIH
A. Analisis Perbandingan antara KHI dan Fiqih Mengenai Urgensi
Kedudukan Saksi dalam Talak dan Rujuk ......................................... 44
B. Contoh Kasus Kedudukan Saksi dalam Talak dan Rujuk …………. 48
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………. 53
B. Saran ……………………………………………………………….. 54
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN.
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Islam adalah agama yang sangat sempurna, hal itu dibuktikan dengan
banyaknya aturan-aturan hukum yang mengatur hampir di semua lini kehidupan
manusia. Dari mulai hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah
sebagai sang pencipta atau Khalik. Hal itu Allah terangkan dalam firmanNYA :
zΝ≈n=ó™M}$# ãΝä3s9 àMŠÅÊu‘uρ ©ÉLyϑ÷èÏΡ öΝä3ø‹n=tæ àMôϑoÿøCr&uρ öΝä3oΨƒÏŠ öΝä3s9 àMù=yϑø.r& tΠöθu‹ø9$# ……..
∩⊂∪ ÒΟ‹Ïm§‘ Ö‘θàxî ©!$# ¨βÎ*sù 5ΟøO\b} 7#ÏΡ$yftGãΒ uöxî >π|ÁΚu øƒxΧ ’Îû §äÜôÊ$# Ç⎯yϑsù 4 $YΨƒÏŠ
(3 :3 /‫)المائدة‬
Artinya :
“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] Karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(QS Al-Maidah/3 : 3).
Sebagai salah satu bukti kesempurnaan Islam, dapat dilihat dari segi
penempatan aturan-aturan hukum. Islam sangat peduli terhadap pemeluknya,
sehingga Islam selalu memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi di setiap
lini kehidupan masyarakat.
Salah satu aturan hukum yang mengatur persoalan dalam Islam ialah
hukum tentang pernikahan. Pernikahan bukanlah hal yang sederhana, karena hal
1
2
ini menyangkut persoalan hubungan silaturahim antara dua keluarga besar, yaitu
kelurga dari pihak istri dan kelurga dari pihak suami. Apabila hubungan
pernikahan suami istri itu baik, maka akan baik pula hubungan silaturahim kedua
keluarga besar itu, begitupun sebaliknya.
Sebelum melangkah lebih lanjut lagi ke dalam pembahasan dari pokok
penelitian ini, penulis akan mencoba untuk menjelaskan terlebih dahulu mengenai
beberapa hal tentang nikah.
Menurut bahasa, nikah ialah ‫الجمع‬
artinya “berkumpul”.1 Sedangkan
Imam Abu Suja’ mengatakan bahwa nikah menurut bahasa yaitu ‫الجمع والوطء‬
(berkumpul dan bersetubuh).
Sedangkan menurut istilah, “Nikah adalah akad yang mengandung
kebolehan untuk bersetubuh”. 2 Sedangkan dalam Pasal 2 BAB II KHI
mengatakan bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mistaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”. 3 Ulama Ahli Ushul (Ushul al-Fiqh)
mengemukakan beberapa pendapat tentang arti lafaz nikah:
1
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husain, Kifâyah al-akhyâr fî halli ghayah
al-Ikhtishar, ( Kudus: Maktabah menara kudus,t.th), Juz 2, h. 31, Zainudin al-malibari, Fath almu’în,, h. 97.
2
Bakri A. Rahman, Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam UU. Perkawinan dan
BW, (PT. Hidakarya Agung, 1981), h. 11.
3
Abdurrahman, KHI di Indonesia , h. 114.
3
a. Nikah menurut arti aslinya adalah bersetubuh dan menurut arti majazi adalah
akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan
wanita; demikian menurut Ahli Ushul golongan Hanafi.
b. Nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal
hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti Majazi
ialah setubuh; demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafi’iyah.
c. Nikah, bersyarikat artinya antara akad dan setubuh; demikian menurut Abu alQasim Az-Zajjd, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan sebagian Ahli Ushul dari
sahabat Abu Hanifah. 4
Beberapa definisi di atas sudah memberikan penjelasan mengenai apa
yang dimaksud dengan nikah. Perbedaan pemberian definisi tersebut tidak terlalu
banyak memberikan pengaruh karena pada intinya maksud dari semua pendapat
itu hampir sama yaitu: “memberikan kehalalan hubungan suami istri antara
seorang pria dan wanita.
Selain dari perbedaan pendapat mengenai definisi nikah masih ada yang
menjadi salah satu sumber perbedaan dalam pernikahan, yaitu perceraian dan
rujuk. Talak berarti putusnya ikatan tali perkawinan, sedangkan rujuk berarti
menyambungnya kembali ikatan perkawinan yang sempat terputus. Namun
4
h.115
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta:Pustaka Pirdaus, 2003),
4
permasalahan talak dan rujuk tidak semudah itu, masih banyak perdebatan
mengenai tata caranya, waktu terjadinya, syarat-syaratnya dan lain-lain. Pada
kesempatan kali ini penulis akan memfokuskan penelitian mengenai persoalan
saksi dalam talak dan rujuk. Sedikit akan penulis jelaskan alasan mengapa
mengambil persoalan ini.
Rasulullah saw pernah bersabda:
.‫ ﺍﺑﻐﺾ ﺍﳊﻼﻝ ﺇﱃ ﺍﷲ ﺍﻟﻄﻼﻕ‬:‫ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬،‫ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ‬
(‫)ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮﺍ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬
Artinya :
“Dari Ibnu Umar, ia berkata telah bersabda Rasulullah saw: “Sesuatu
yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak. 5 (Riwayat Abu Dawud dan
Ibnu Majah)
Kalau dilihat dari hadits tadi, sekiranya Allah pun tidak menyukai
terjadinya talak atau perceraian dalam rumah tangga, karena sebenarnya masih
terdapat cara lain yang lebih baik dalam penyelesaian permasalahanpermasalahan rumah tangga. Tetapi, kalau memang semua cara dan usaha telah
dilakukan untuk mempertahankan utuhnya rumah tangga dan itu semua gagal,
maka perceraian pun harus dilakukan dengan ma’ruf dan sesuai dengan aturanaturan islam yang berlaku.
Allah berfirman dalam al-Qur’an:
5
4.
Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Mukhtar al-Hadits, (Semarang: Maktabah al-Alawiyyah, t.th), h.
5
βr& È≅ö6s% ⎯ÏΒ £⎯èδθßϑçGø)¯=sÛ ¢ΟèO ÏM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$# ÞΟçFóss3tΡ #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ
%[n#u| £⎯èδθãmÎh| uρ £⎯èδθãèÏnGyϑsù ( $pκtΞρ‘‰tF÷ès? ;Ïã ô⎯ÏΒ £⎯ÎγøŠn=tæ öΝä3s9 $yϑsù ∅èδθ¡yϑs?
(49 : 33/‫ ∪®⊆∩ )األحزاب‬WξŠÏΗsd
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya, maka tidak ada masa iddah atas mereka yang kamu
perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara yang sebaik-baiknya". (QS. al-Ahzab/33: 49)
Dalam ujung ayat tersebut ditegaskan bahwa menceraikan istri itu harus
dengan cara” yang sebaik-baiknya”. Karena hal ini berpengaruh sekali terhadap
sah atau tidaknya perceraian. Kalau seandainya terjadi kesalahan dalam hal ini,
maka setidaknya akan menimbulkan sebuah akibat hukum baru.
Hal yang kedua adalah “Rujuk”, sepertinya persoalan talak dan rujuk
adalah dua persoalan yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari aturan hukum.
Karena seandainya talak yang dilakukan tidak sah, tapi seorang suami tetap
menjalankan keputusan cerai itu dengan cara meninggalkan istrinya berarti ia
telah mendzalimi hak perempuan. Begitupun sebaliknya, seandainya rujuk yang
dilakukan oleh bekas suami tidak sah, maka ia berada dalam jurang keharaman
selagi bersama perempuan tersebut.
Dalam permasalahan ini pula, Allah swt berfirman:
ô“uρsŒ (#ρ߉Íκô−r&uρ 7∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθè%Í‘$sù ÷ρr& >∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθä3Å¡øΒr'sù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t/ #sŒÎ*sù
6
«!$$Î/ Ú∅ÏΒ÷σムtβ%x. ⎯tΒ ⎯ÏμÎ/ àátãθムöΝà6Ï9≡sŒ 4 ¬! nοy‰≈y㤱9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ óΟä3ΖÏiΒ 5Αô‰tã
(2 : 65/‫ ∪⊄∩ )الطالق‬%[`tøƒxΧ …ã&©! ≅yèøgs† ©!$# È,−Gtƒ ⎯tΒuρ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ
Artinya :
“Maka apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah
(kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pelajaran
itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Barang
siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar".
(QS. At thaalaq/65 : 2)
Persoalan yang paling mendasar dalam dua hal di atas tentang talak dan
rujuk adalah keberadaan saksi dalam prosesnya. Ulama telah berselisih paham
mengenai keberadaan saksi. Ada yang berpendapat bahwa hal itu wajib menjadi
rukun (menurut ulama Syi’ah Imamiyah) dan ada pula yang mengatakan itu
sunnah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa rujuk dengan perbuatan itu tidak sah,
karena dalam ayat di atas Allah menyuruh agar rujuk itu dipersaksikan. 6 Akan
tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa rujuk tanpa saksi itu sah. Dengan dalil
sebagai berikut:
(228 : 2/‫∪∇⊄⊄∩ )البقرة‬.... £⎯ÏδÏjŠtÎ/ ‘,ymr& £⎯åκçJs9θãèç/uρ ....
Artinya :
“…. Suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka....”. (QS.
Al Baqarah/2 : 228)
6
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Bandung,1988), h. 389.
7
Mereka berpendapat bahwa dalam ayat tersebut tidak ditentukan dengan
perkataan atau perbuatan. Hukum mempersaksikan dalam ayat tersebut adalah
sunnah. Dan menurut Imam Abu Hanifah, jika mempersaksikan dalam hal talak
saja tidak wajib, apalagi dalam hal rujuk, yang sifatnya meneruskan perkawinan
yang lama.
Akan tetapi KHI berkata lain. Dalam Bab XVI :
pasal 115 dikatakan bahwa :
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama.
Setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak, barulah persidangan mengenai perkara
perceraian itu digelar dengan semangat untuk mencapai kemashlahatan dan
keadilan bagi kedua belah pihak.
Kemudian dalam Bab XVIII pasal 165 dikatakan bahwa :
Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat
dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Kemudian dalam pasal 167 sampai 169 yang salah satu isinya mengatakan
bahwa :
Setelah itu suaminya mengucapkan rujuknya dan masing-masing
yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani buku
Pendaftaran Rujuk. 7
Dari beberapa pasal dalam KHI tadi, sekiranya dapat diketahui bahwa
7
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum
Islam, (Qolbun Salim, 2005), h. 258.
8
terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara KHI dan fiqih. Bagi KHI saksi
dalam talak dan rujuk itu wajib adanya dan itu berakibat terhadap sebuah hukum
baru, yaitu sah atau tidak sahnya talak atau rujuk.
Permasalahannya bisa jadi di sekitar kita masih terdapat sebagian orang
yang memakai hukum fiqih dan sebagaian lagi memakai KHI. Lalu bagaimanakah
menyikapi hal ini?
Dari latar belakang tersebut, tidaklah berlebihan apabila penulis
berkeinginan membuat sebuah karya ilmiah dengan judul “ URGENSI SAKSI
DALAM TALAK DAN RUJUK MENURUT KHI DAN FIQIH (Sebuah
Kajian Komparatif).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Permasalahan yang menyangkut masalah pernikahan sangatlah luas dan
beragam. Dari mulai syarat syah, rukun nikah, saksi dalam nikah, talak, rujuk,
saksi dalam talak dan rujuk dan lain-lain. Kalau kita mau menjabarkan
permaslahan itu semua dengan pendapat para ulama madzhab saja misalnya,
akan membutuhkan waktu pengkajian yang cukup lama, disamping itu pula
akan sulit bagi penulis untuk mengkerucutkan permasalahan, tentunya dengan
segala keterbatasan kemampuan penulis pribadi, apalagi kalau kita hendak
membandingkan itu semua dengan pendapat Kompilasi Hukum Islam.
Sungguh akan sangat panjang dan lebar sekali pembahasannya.
9
Oleh sebab itu dalam skripsi ini penulis akan membatasi penelitian
tentang dua perbedaan pendapat menegenai kedudukan saksi dalam talak dan
rujuk saja yaitu antara pendapat fiqih yang lebih dulu lahir, dengan pendapat
Kompilasi Hukum Islam yang lahir belakangan dan bertempat di Negara
tercinta ini, yaitu Indonesia.
Pendapat fiqih mengenai talak dan rujuk sangatlah beragam dari mulai
syarat, rukun, sampai tata cara menjatuhkan talak dan rujuk itu sendiri. Begitu
pula dengan KHI, terdapat banyak pasal dan ayat yang menerangkan tentang
talak dan rujuk. Hanya saja pada skripsi ini penulis membatasi penelitian
mengenai urgensi saksi dalam talak dan rujuk saja.
2. Perumusan Masalah
Setelah penulis membatasi penelitian pada urgensi saksi pada masalah
talak dan rujuk, maka akan muncul kemudian perumusan masalah, yang pada
kali ini akan dikumpulkan dalam beberapa poin saja, yaitu:
a. Bagaimana pendapat KHI tentang saksi dalam talak dan rujuk?
b. Bagaiamana pendapat Fiqih tentang saksi dalam talak dan rujuk ?
c. Aturan hukum manakah yang cocok untuk masyarakat Indonesia yang
pluralis ini?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
10
1) Untuk mengetahui dan lebih memperjelas tentang bagaimana sikap KHI
mengenai kedudukan saksi dalam talak dan rujuk?
2) Untuk mengetahui dan lebih memperjelas tentang bagaimana para ulama
fiqih menyikapi tentang kedudukan saksi dalam talak dan rujuk ?
3) Untuk mengetahui dan lebih memperjelas tentang akibat hukum apa yang
terjadi apabila mengambil salah satunya?
2. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat dalam proses perkembangan
khazanah keilmuan bagi para mahasiswa, lebih-lebih lagi bagi mahasiswa
Peradilan Agama (PA). Selain itu pula diharapkan skripsi ini dapat dijadikan
bahan rujukan untuk lebih mengetahui tentang dasar hukum, sebab, dan akibat
hukum yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat dalam masalah ini.
Skripsi ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan
pemikiran yang dapat memperkaya koleksi kepustakan ilmu fiqih. Dan di
samping itu, secara pribadi, studi ini sangat bermanfaat bagi pengembangan
metodologi dan ilmu pengetahuan penulis.
D. Studi Review Terdahulu
Literatur dalam hukum Islam masih berbeda pendapat mengenai saksi dalam
talak dan rujuk, berbeda dengan apa yang di tuliskan dalam KHI. Oleh karena itu
perlu ada pengkajian yang mendalam mengenai hal ini. Penulis mencoba mencari
beberapa karya tulis yang ada seblumnya agar dapat dijadikan salah satu rujukan
11
sekaligus untuk menunjukkan bahwa skripsi ini berbeda dengan karya tulis orang
lain. Kajian-kajian yang penulis temukan diantaranya ialah :
Nurin, Kedudukan Saksi Dalam Talak Menurut UU. No. 1 Tahun 1974 dan
KHI, Fakultas Syari’ah dan Hukum , 2006. 8
Skripsi ini terdiri dari 5 bab, pada kisaran tinjauan teoritis, skripsi tersebut
mempunyai sedikit persamaan dengan skripsi penulis akan tetapi dalam pokok
pembahasan jelas terdapat perbedaan objek perbandingan, yang menjadi pokok
permasalahan skripsi tersebut ialah membandingkan antara UU. No.1 Tahun 1974
dengan KHI. Skripsi ini membandingkan pasal 36 dalam UU. No.1 Tahun 1974
dengan beberapa pasal dalam KHI diantaranya pasal 116-117 dan beberapa pasal
dari pasal 129-148. Padahal dalam permasalahan saksi dalam talak antara UU
tersebut dengan KHI tidak terlalu terlihat pertentangannya bahkan cenderung
memiliki kesamaan. Pendekatan yang digunakan oleh Nurin dalam skripsinya
ialah pendekatan kualitatif.
Ahmad Zaenuddin, Kedudukan saksi dalam rujuk menurut Imam Mazhab,
KHI dan Undang-undang perkawinan tahun 1974, Fakultas Syari’ah dan Hukum,
2005. 9
Skripsi ini menjelaskan tentang kedudukan saksi hanya dalam rujuk saja tidak
membahas saksi dalam talak. Walaupun objek kajian hukumnya sama yaitu antara
8
Nurin, “Kedudukan Saksi Dalam Talak Menurut UU. No. 1 Tahun 1974 dan KHI’, (Skripsi
S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006).
9
Ahmad Zaenuddin, “Kedudukan Saksi Dalam Rujuk Menurut Imam Mazhab, KHI dan UU
Perkawinan Tahun 1974, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2005).
12
pendapat Imam Mazhab UU. No.1 Tahun 1974 dengan KHI, namun jelas sekali
perbedaannya dengan skripsi yang penulis tulis, yang hanya menggunakan dua
objek kajian saja. Pendekatan yang digunakan dalam skripsi tersebut ialah
pendekatan kualitatif. Disamping itu juga pendapat ulama madzhab yang dipakai
ialah ulama mazhab empat.
H.M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam : Suatu analisis dari UU. No.
1 Tahun 1974 dan KHI, 2004.
Buku ini sangat bagus dan lengkap sekali, beberapa bab di dalamnya
menjelaskan mengenai: usaha-usaha yang harus ditempuh sebelum putusnya
perkawinan, bentuk-bentuk perceraian, waktu menjatuhkan talak dan lain-lain.
Akan tetapi buku ini hanya menjelaskan saja tanpa adanya perbandingan anatra
fiqih dan KHI. 10
Abdul Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum
Islam,1986.
Buku ini juga sangatlah bagus dan lengkap, di dalamnya dijelaskan mengenai
hukum Islam, saksi dan kesaksian dan lain-lain yang menyangkut masalah saksi
dan kesaksian hanya saja tidak terlalu menjelaskan mengenai urgensi saksi
menurut fiqih dan KHI. 11
Kesimpulannya adalah skripsi yang penulis tulis ini tidaklah memiliki
kesamaan yang benar-benar sama dengan karya tulis orang lain walaupun kadang
10
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari UU No. 1 Tahun 1974 dan
KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004).
11
Abdul Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1986).
13
ada kesamaan dalam pengambilan sumber teorinya akan tetapi jelaslah berbeda
dalam masalah objek kajiannya dan tentunya berbeda pula ksimpulan akhir dari
penelitiannya.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif yang memusatkan perhatian tidak pada hasil penelitian lapangan.
Dikarenakan yang dikaji dalam penelitian ini hanya dokumen-dokumen saja.
2. Objek Penelitian
a. Data primer yaitu data yang diperoleh dari pendapat-pendapat Ulama
mazhab yang tercantum dalam kitab-kitab fiqih dan beberapa pasal dalam
KHI yang terkait dengan masalah saksi dalam talak dan rujuk.
b. Data sekunder yaitu data pendukung yang di peroleh dari pengkajian
buku-buku, dokumen-dokumen serta sebuah putusan dari kantor
Pengadilan Agama tentang saksi dalam talak.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Research) . 12
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press,1986), h. 201.
14
Penulis mengkaji beberapa pendapat ulama fiqih dan pendapat KHI
mengenai saksi dalam talak dan rujuk serta mengkaji sebuah putusan
Pengadilan Agama yang penulis jadikan sebagai contoh kasus.
4. Teknik Analisa Data:
Yaitu menggunakan teknik analisa data deskriptif kualitatif, serta
menggunakan teknik perbandingan hukum, yang membandingkan pendapat
para Ulama dengan beberapa pasal dalam KHI. 13 Penelitian tersebut akan
memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaaan mengenai
kedudukan saksi dalam talak dan rujuk. Dengan penelitian ini penulis
berharap dapat lebih mudah untuk mengadakan unifikasi hukum, serta
mendapatkan kepastian hukum tentang kedudukan saksi. Hasil-hasil
perbandingan hukum akan sangat bermanfaat bagi penerapan hukum di suatu
masyarakat majemuk seperti Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dalam lima bab yang setiap bab memuat penjelasan
tersendiri. Untuk memudahkan para pembaca, penulis akan menguraikan
sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab satu merupakan bab pendahuluan yang berisikan alasan pemilihan judul,
pembatasan masalah yang dimaksudkan agar masalah tidak terlalu meluas, dan
perumusan masalah yang memuat tiga pertanyaan yang nantinya menjadi acuan
13
Ibid., h.257
15
dalam peneitian ini, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab dua berisikan tinjauan teoritis tentang saksi dalam talak dan rujuk
menurut KHI dan fiqih. Dalam bab ini juga terdiri dari dua poin besar yaitu
pengertian talak dan rujuk serta pembahasan tentang saksi dalam talak dan rujuk.
Dalam poin yang kedua ini berisikan tentang beberapa landasan hukum yang
dipakai KHI dan Fiqih terkait saksi dalam talak dan rujuk.
Bab tiga berisikan pembahasan urgensi kedudukan saksi dalam talak dan
rujuk. Pembahasannya meliputi pengertian saksi baik secara hukum fiqih ataupun
KHI, lalu kemudian membahas tentang urgensi kedudukan saksi dalam talak dan
rujuk baik menurut KHI ataupun Fiqih.
Bab empat berisikan tentang analisis perbandingan hukum mengenai saksi
dalam talak dan rujuk antara KHI dan Fiqih dan sebuah putusan dari kantor
Pengadilan Agama yang penulis jadikan sebagai contoh kasus dalam penelitian
ini.
Bab lima merupkan bab penutup yang berisikan beberapa kesimpulan yang
fungsinya sebagai jawaban dari beberapa pertanyaan yang muncul dalam
perumusan masalah dan juga berisikan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG SAKSI DALAM TALAK DAN RUJUK
A. Pengertian Talak dan Rujuk
1. Pengertian talak
Talak secara bahasa dapat diartikan ‫ حل القيد‬melepaskan ikatan 1 ,
sedangkan menurut istilah ialah sebuah nama untuk melepaskan ikatan
perkawinan 2 . Seabagaimana yang Allah singgung dalam salah satu
firmanNYA:
βr& È≅ö6s% ⎯ÏΒ £⎯èδθßϑçGø)¯=sÛ ¢ΟèO ÏM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$# ÞΟçFóss3tΡ #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ
£⎯èδθãmÎh| uρ £⎯èδθãèÏnGyϑsù ( $pκtΞρ‘‰tF÷ès? ;Ïã ô⎯ÏΒ £⎯ÎγøŠn=tæ öΝä3s9 $yϑsù ∅èδθ¡yϑs?
(49 : 33/‫ ∪®⊆∩ )األحزاب‬WξŠÏΗsd %[n#u| Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaikbaiknya”.(QS Al-Ahzab /33 : 49)
Ayat tersebut di atas menjelaskan tentang talak yang terjadi sebelum
Duhul, dikatan disana bahwa tidak ada iddah bagi perempuan yang di talak
sebelum terjadinya duhul.
1
Muhammad Husain, Kifậyah al-akhyậr, Juz 2, h. 68.
2
Ibid.
16
17
Apabila dilihat dari lafadnya, maka talak dibagi menjadi dua, yaitu sharih
(terang) dan kinayah (sindiran).
1) Sharih, yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksud
adalah memutuskan ikatan perkawinan. Sedangkan menurut Imam
Muhammad Husain dalam kifayahnya mengatakan bahwa talak sharih itu
ada 3 lafadz (talak, firaq, dan sarah), dan masih menurut beliau bahwa
talak yang sharih itu tidak membutuhkan niat 3 , seperti kata si suami:
“Engkau tertalak” atau “Saya ceraikan engkau”.
2) Kinayah, yaitu kalimat yang masih ragu-ragu, boleh diartikan untuk
perceraian nikah atau yang lain.
Contohnya seperti perkataan suami:
“Pulanglah engkau ke rumah keluargamu”, atau “Pergilah dari sini” 4 .
Kalimat-kalimat tersebut bisa saja diartikan dengan arti yang sesuai
dengan redaksinya, atau bisa juga diartikan dengan maksud yang
terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu, lafadz kinayah ini memerlukan
niat di hati. Kalau tidak dibarengi dengan niat maka tidak jatuh talak 5 .
Sedangkan menurut KHI dalam pasal 117 diungkapkan bahwa, talak
adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang terjadi salah
satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud
3
Ibid, h. 86.
4
Sulaiman, Fiqih Islam, h. 373.
5
Ibn Qasim al-Ghozi, Hasyiyah al-Baijuri, (Daar al-Fikri), h. 205.
18
dalam pasal 129, 130 dan 131 6 .
Adapun perceraian terjadi karena beberapa sebab, dijelaskan dalam
KHI pasal 116, yang diantaranya ialah:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain diluar kemampuannya;
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun. Atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7 dan lainlain.
Apabila beberapa hal yang tersebut di atas telah terjadi maka sudah
jelas bahwa tujuan perkawinan sudah sangat sulit untuk terwujud. Dan tujuan
perkawinan itu sendiri ada beberapa, di antaranya adalah:
a) Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.
b) Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan keturunan.
c) Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperkokoh tali persaudaraan
antara kaum kerabat laki-laki dengan kaum kerabat perempuan. 8
6
Basiq Djalil, Perkawinan Lintas Agama, h. 246.
7
Ibid., h. 245.
8
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, h. 372.
19
Apabila dilihat dari bilangannya, maka talak dibagi 3 bagian, yaitu:
talak raj’i, bain syugra, dan talak bain kubra, sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam pasal 118 sampai 120 KHI.
Pasal 118
Talak raj’i adalah talak ke satu atau ke dua, di mana suami berhak rujuk
selama istri dalam masa iddah.
Pasal 119
Talak bain syugra adalah talak yang tidak boleh rujuk tapi boleh akad nikah
baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah
Pasal 120
Talak bain kubra adalah talak yang terjadi untuk ke tiga kalinya. Talak jenis
ini tidak dapat rujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila
pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya.
(‫ )الطالق مرتان‬itulah kalimat yang terdapat dalam al-Qur’an dan dikutip dalam
sarah Baijuri.
Talak itu dua kali (talak yang bisa rujuk), dijelaskan bahwa tidak
menutup kemungkinan bisa terjadi tiga kali. Tidak ada perbedaan memang
secara bilangan dengan KHI, hanya saja dalam hukum Islam talak raj’i yang
terjadi dua kali dan dan dihitung dua kali, kemudian talak bain terjadi satu kali
saja atau satu jenis saja.
Secara pengertian antara KHI dan fiqih tidak terlalu banyak
perbedaan. Talak raj’i dalam fiqih pun mengandung pengertian bahwa talak
satu atau dua yang membolehkan suami atau istri rujuk kembali selama masa
iddah. Begitu pun dengan talak bain “talak yang terjadi ke tiga kalinya dan
20
tidak boleh dinikahkan kembali, sebelum bekas istri itu mengadakan
pernikahan baru, kemudian dicerai dan selesai masa iddahnya dan itu pun
terjadi ba’da al dukhul”. Hanya saja ada perbedaan pada persoalan ada atau
tidaknya saksi dalam talak. Dalam KHI pasal 115 dijelaskan bahwa,
“Perceraian hanya dapat dilakukan di sidang Pengadilan Agama 9 ..........”, yang
dalam proses persidangan itu akan ada persidangan saksi. Berbeda dengan
para Ulama fiqih yang berbeda pendapat mengenai saksi dalam talak.
2. Pengertian Rujuk
Rujuk ialah mengembalikan istri kepada pernikahan semula setelah
ditalak, dan bukan talak bain 10 . Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
t,n=y{ $tΒ z⎯ôϑçFõ3tƒ βr& £⎯çλm; ‘≅Ïts† Ÿωuρ 4 &™ÿρãè% sπsW≈n=rO £⎯ÎγÅ¡àΡr'Î/ š∅óÁ−/utItƒ M≈s)¯=sÜßϑø9$#uρ
’Îû £⎯ÏδÏjŠtÎ/ ‘,ymr& £⎯åκçJs9θãèç/uρ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ £⎯ÏΒ÷σム£⎯ä. βÎ) £⎯ÎγÏΒ%tnö‘r& þ’Îû ª!$#
£⎯Íκön=tã ÉΑ$y_Ìh=Ï9uρ 4 Å∃ρá÷èpRùQ$$Î/ £⎯Íκön=tã “Ï%©!$# ã≅÷WÏΒ £⎯çλm;uρ 4 $[s≈n=ô¹Î) (#ÿρߊ#u‘r& ÷βÎ) y7Ï9≡sŒ
(228 : 2/‫ ∪∇⊄⊄∩ )البقرة‬îΛ⎧Å3ym ͕tã ª!$#uρ 3 ×πy_u‘yŠ
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru' tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
9
Basiq Djalil, Perkawinan lintas Agama, h. 245, kumpulan Perundang-undangan (memuat)
NTCR. (Bandung: CV. Madany Bandung, 2007), h. 90, PP. No. 9 Tahun 1975, pasal 14.
10
Muhammad Husain, Kifâyah al-akhyâr, h. 86.
21
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.
Al-Baqarah / 2 : 228)
Ayat tersebut menjelaskan tentang masa menunggu bagi perempuan
yang telah di talak semata-mata untuk mengetahui kebersihan rahim nya,
selain itu pula di singgung tentang bekas suami yang hendak berbuat ishlah
dengan cara merujuk bekas istrinya maka lakukanlah saat masa menunggu itu.
Ayat tersebut sangat bersesuaian dengan apa yang dijelaskan dalam surat AtThalaq yang redaksinya ialah :
ô“uρsŒ (#ρ߉Íκô−r&uρ 7∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθè%Í‘$sù ÷ρr& >∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθä3Å¡øΒr'sù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t/ #sŒÎ*sù
«!$$Î/ Ú∅ÏΒ÷σムtβ%x. ⎯tΒ ⎯ÏμÎ/ àátãθムöΝà6Ï9≡sŒ 4 ¬! nοy‰≈y㤱9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ óΟä3ΖÏiΒ 5Αô‰tã
(2 : 65/‫ ∪⊄∩ )الطالق‬%[`tøƒxΧ …ã&©! ≅yèøgs† ©!$# È,−Gtƒ ⎯tΒuρ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ
Artinya :
"Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan
mengadakan baginya jalan keluar”. (QS At-Thalaq /65 : 2)
Ayat tersebut pula menjelaskan hal yang sama dengan ayat yang
sebelumnya hanya saja dalam ayat ini Allah memberikan pilihan pada bekas
suami apak ia ingin meneruskan perkawinan atau perceraian asalkan dengan
22
cara yang ma’ruf.
Dalam pasal 163 KHI, dijelaskan tentang rujuk, di antaranya
mengenai beberapa hal yang menyebabkan rujuk itu terjadi:
a) Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang jatuh tiga kali atau
talak yang dijatuhkan qobla al dukhul.
b) Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau
alasan-alasan selain zina dan khulu.
Sehingga rujuk tidak akan terjadi apabila putusnya perkawinan
terjadi di luar izin pengadilan.
c) Keadaan istri yang dirujuk itu tertentu. Kalau suami yang mentalak
beberapa istrinya, kemudian ia rujuk kepada salah seorang dari mereka
yang tidak ditentukan siapa yang dirujuknya, maka rujuk itu tidak sah 11 .
Di samping itu semua, rujuk pun telah dicontohkan oleh Rasulullah
SAW. Hal itu dikisahkan dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Nasai dan
Ibnu Majah.
.(‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ )ﻃﻠﻖ ﺣﻔﺼﺔ ﰒ ﺭﺍﺟﻌﻬﺎ‬
12
(‫)ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺉ ﻭ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬
Artinya :
“Dari Umar RA bahwasannya Nabi saw telah mentalak Hafshah
kemudian merujuknya. (Riwayat Abu daud dan Nasai dan Ibnu Majah).
11
Sulaiman, Fiqih Islam, h. 388.
12
Muhammad Husain, Kifâyah Al-Akhyâr, h. 86
23
B. Saksi dalam Talak dan Rujuk Menurut KHI dan FIQIH
1. Landasan Saksi dalam Talak dan Rujuk Menurut KHI
a. Landsan Saksi dalam Talak
Dengan terbentuknya Kompilasi Hukum Islam sedikit banyak
dapat memberikan kontribusi bagi para Hakim Pengadilan Agama dalam
memutuskan sebuah perkara tanpa terjadi perbedaan yang signifikan.
Kompilasi Hukum Islam pun menjadi acuan dalam pelaksanaan
perkawinan di KUA (Kantor Urusan Agama) dan para Hakim di
Pengadilan Agama dalam penyelesaian kasus-kasus warga negara
Indonesia muslim.
Kompilasi berarti suatu produk berbentuk tulisan karya orang lain
yang disusun secara teratur (Compilation is: a literary production
composed of the work of others and arranged methodical manner),
(Kamus Black, Black’s Law Dictionary). Kompilasi Hukum Islam yang
dipakai
oleh
para
Hakim
di
Pengadilan
mulanya
atas
dasar
disosialisasikannya keputusan Presiden (Kepres) pada zaman orde baru.
Dalam skripsi ini, penulis memaparkan beberapa pasal dan ayat
saja yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yang berkaitan dengan
saksi dalam talak dan rujuk. Putusnya perkawinan telah dijelaskan dalam
pasal BAB XVI, yang secara umum rumusannya dijelaskan dalam pasal
113:
“Perkawinan dapat putus karena:
24
a.
Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan”.
Bahkan lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 115.
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”.
Kemudian dalam pasal 116 dijelaskan dengan gamblang tentang
beberapa alasan yang menjadikan perceraian. Yang di antara beberapa
poinnya adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun. Atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
f. Antara suami-istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik-talak;
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
Tidak ada sama sekali dari pasal-pasal di atas yang menjelaskan
dengan ekplisit mengenai saksi dalam talak, hanya saja secara implisit
saksi sangat dibutuhkan dalam permaslahan talak. Lihatlah dengan cermat
bait demi bait dari pasal-pasal tersebut, hampir semua kasus atau sebabsebab yang mengakibatkan terjadinya talak adalah perkara yang
membutuhkan kesaksian dari beberapa orang saksi. Misalnya saja dalam
25
poin “a “ yang menjelaskan tentang salah satu pihak baik suami atau istri
melakukan perbuatan zina atau mabuk-mabukan, hal ini tentunya
merupakan perkara yang membutuhkan kesaksian dari beberapa orang
saksi. Karena bagi sisapa saja yang menjadi penuduh maka wajib baginya
untuk mengajukan saksi untuk menguatkan tuduhannya. Begitu pula
sebaliknya bagi yang tertuduh harus mengajukan saksi untuk menguatkan
sanggahannya.
b. Landasan Saksi dalam Rujuk
Secara eksplisit sebab terjadinya rujuk tidak dijelaskan dalam KHI,
hanya saja pastinya rujuk terjadi karena kedua belah pihak menghendaki
utuhnya kembali ikatan perkawinan yang sempat terputus.Tapi dalam KHI
dijelaskan tentang beberapa hal yang menjaadikan rujuk itu bisa terjadi,
yaitu dalam pasal 163 :
1. Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah
2. Rujuk dapat dilakukan daam hal-hal :
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah
jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qobla al dukhul
b. Putusnya perkawinan berdasarkan putusan Pengadilan
dengan alasan-alasan selain zina dan khuluk
Sedangkan tata cara rujuk di jelaskan dalam pasal 167-169, yang
dintara isi pasal itu oalah :
Pasal 167
1. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama
istrinya Kepegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri
dengan membawa penetapan tentang trjadinya talak dan surat
keteranagan lain yang dipeerlukan.
26
2. Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
3. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan
merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum
munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam
iddah talak raj’i, apakah perempuan yang di rurjuk itu istrinya.
4. Setelah itu suaminya mengucapkan rujuknya dan masingmasing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani
buku pendaftaran rjuk.
5. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri
tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang
berhubungan dengan rujuk.
Beberapa pasal di atas tadi merupakan landasan hukum tntang
rujuk dalam KHI. Berbeda dengan saksi dalam talak, KHI sama sekali
tidak menjelaskan secara langsung dalam pasal-pasalnya, akan tetapi
keberadaan saksi dalam rujuk sangat jelas sekali disebutkan dalam pasal
147 ayat 4.
2.
Landasan Saksi dalam Talak dan Rujuk Menurut Fiqih
a. Landasan Saksi dalam Talak
Menurut Jumhur Fuqaha berbeda pendapat bahwa talak bisa jatuh
atau berlangsung tanpa saksi. Sebab talak merupakan hak seorang suami
dan sepertinya tidak ada dasar hukum dari Rasulullah saw., dan dari para
sahabat yang mengharuskan adanya saksi dalam talak. Mereka
berpegangan pada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang antara lain:
27
βr& È≅ö6s% ⎯ÏΒ £⎯èδθßϑçGø)¯=sÛ ¢ΟèO ÏM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$# ÞΟçFóss3tΡ #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ
(49 : 3/‫ )ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ‬.... ‫ ﹶﻓﻤَﺎ ﹶﻟ ﹸﻜ ْﻢ َﻋﹶﻠْﻴ ﹺﻬ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ ِﻋ ﱠﺪ ٍﺓ َﺗ ْﻌَﺘ ُﺪ ْﻭ َﻧ َﻬ ﹾﺎ‬ ∅èδθ¡yϑs?
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib
atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya
........”. (QS. Al-Ahzab/33 : 49).
Ayat tersebut menjelaskan tentang talak saja dan tidak di singgung
tentang harus adanya saksi dalam proses perceraian. Ayat ini kemudian
menjadi salah satu dalil bagi ualama jumhur untuk menopang pendapat
mereka yang tidak mensyaratkan adanya saksi dalam talak.
Kaitannya kesaksian dalam talak, Muhammad Jawad Mugniyah
mengutip dari bukunya Syekh Abu Zahrah “al-Ahwal al-Syakhsiyyah”,
halaman 365 13 , mengatakan bahwa ulama madzhab Syi’ah Immamiyah
Itsna’ Asyariah dan Ismailiyyah berpendapat bahwa talak tidak dianggap
jatuh bila tidak disertai dua orang saksi yang adil. Hal ini berdasarkan
firman Allah dalam surah Al-Thalaq yang berbunyi:
(#ρ߉Íκô−r&uρ 7∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθè%Í‘$sù ÷ρr& >∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθä3Å¡øΒr'sù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t/ #sŒÎ*sù
tβ%x. ⎯tΒ ⎯ÏμÎ/ àátãθムöΝà6Ï9≡sŒ 4 ¬! nοy‰≈y㤱9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ óΟä3ΖÏiΒ 5Αô‰tã ô“uρsŒ
13
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996),
Cet. ke-2, h. 448-449.
28
(2: 65/‫ )الطالق‬.%[`tøƒxΧ …ã&©! ≅yèøgs† ©!$# È,−Gtƒ ⎯tΒuρ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ Ú∅ÏΒ÷σãƒ
Artinya :
“Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar”. (QS At-Thalaq
/65 : 2)
Makna yang tersirat dalam ayat di atas adalah bahwa persaksian
sebagai alasan untuk dapat memberikan nasehat bagi orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Setidaknya dengan hadirnya para saksi dari
kalangan orang yang adil tidak akan bisa terlepas dari pemberian nasehat
yang baik bagi suami dan istri, yang bisa menjadi jalan keluar dari
persoalan yang amat Allah benci itu.
b. Landasan saksi dalam Rujuk
Para Ulama mazhab sepakat bahwa perbuatan rujuk dilakukan
dengan perkataan (‫ )ﻗﻮﻝ‬dan penyaksian (‫)ﺍﺷﻬﺎﺩ‬.
Namun, para ulama
berbeda pendapat tentang kedudukan saksi dalam rujuk. Mereka berselisih
tentang; apakah mendatangkan saksi merupakan syarat sah rujuk ataukah
bukan, dan juga bertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya rujuk
29
dengan wat’i. 14 Dalam al-Qur’an sendiri sudah Allah singgung;
(#ρ߉Íκô−r&uρ 7∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθè%Í‘$sù ÷ρr& >∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθä3Å¡øΒr'sù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t/ #sŒÎ*sù
tβ%x. ⎯tΒ ⎯ÏμÎ/ àátãθムöΝà6Ï9≡sŒ 4 ¬! nοy‰≈y㤱9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ óΟä3ΖÏiΒ 5Αô‰tã ô“uρsŒ
/‫ ∪⊄∩ )الطالق‬%[`tøƒxΧ …ã&©! ≅yèøgs† ©!$# È,−Gtƒ ⎯tΒuρ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ Ú∅ÏΒ÷σãƒ
(2 : 65
Artinya :
"Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah
diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan
mengadakan baginya jalan keluar”. (QS At-Thalaq /65 : 2)
Ayat inilah yang menjadi salah satu sumber perbedaan pendapat
antara para ulama madzhab. Seperti dalam maasalah talak, ulama Syi’ah
tetap mensyaratkan adanya saksi. Berbeda dengan Syafi’I dan Ibnu
Hamba yang mewajibkan adanya saksi, dan berbeda pula dengan Imam
Malik yang sama sekali tidak mensyaratkan saksi, hanya mensyaratkan
niat dalam hati.
3. Akibat Hukum serta Hikmah Talak dan Rujuk
Secara umum akibat hukum talak adalah kembali putusnya
perkawinan, tetapi dapat dilihat pula dari jenis talaknya. Dalam talak raj’i
14
Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahîd, h. 63.
30
akad perkawinan tidaklah hilang dan tidak pula menghilangkan hak
(kepemilikan). Talak ini juga tidak menghilangkan perpisahan, dan tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum selama masih dalam masa iddah istrinya 15 .
Kemudian seorang istri yang baik dalam menjalankan talak raj’iyah, berhak
mendapatkan tempat tinggal, pakaian dan uang belanja dari mantan suaminya.
Sedangkan dalam talak ba’in syugra dan talak bai’in kubra
menimbulkan akibat-akibat hukum. Baik dalam ba’in syugra maupun kubra,
dua-duanya mengakibatkan putusnya ikatan tali perkawinan, sehingga jika
salah satu talak tersebut dijatuhkan maka perempuan (istri) sudah menjadi
orang lain, karena itu haram hukumnya bagi laki-laki untuk bersenang-senang
dengan bekas istrinya lagi. Perbedaan hanya pada akad perkawinan yang baru,
pada talak ba’in syugra tidak membutuhkan syarat-syarat tertentu, sedangkan
pada ba’in kubra seorang perempuan itu harus sudah dinikahi oleh orang lain,
dan sudah selesai masa iddahnya.
Seperti dikatakan dalam firman Allah swt:
(230 : 2/‫ … ∪⊃⊂⊄∩ )البقرة‬3 …çνuöxî %¹`÷ρy— yxÅ3Ψs? 4©®Lym ߉÷èt/ .⎯ÏΒ …ã&s! ‘≅ÏtrB Ÿξsù $yγs)¯=sÛ βÎ*sù
Artinya :
“Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan
suami yang lain, ….”. (QS. Al baqarah/2 : 230)
15
Ibid, h. 265.
31
Sedangkan akibat hukum rujuk ialah utuhnya kembali ikatan
perkawinan dan menjadikan utuhnya kembali hak dan kewajiban suami istri.
Allah yang Maha Bijaksana telah menghalalkan talak, tapi juga
sekaligus membencinya, kecuali untuk kepentingan yang lebih baik bagi
suami, atau istri atau untuk kepentingan keturunannya. Karena biasanya talak
itu sendiri terjadi dikarenakan persoalan rumah tangga yang selalu diwarnai
dengan adanya pertengkaran antara kedua belah pihak, yang secara langsung
atau tidak hal itu sangat berpengaruh terhadap psikologis pertumbuhan
keturunannya dan terlebih lagi hubungan baik antara dua keluarga besar suami
istri, sehingga talak akan mengandung hikmah yang baik apabila memang
talak itu merupkan jalan terakhir dan tidak menimbulkan persoalan baru
dengan jatuhnya talak.
Apabila talak merupakan suatu yang dibenci oleh Allah, maka rujuk
pastinya sesuatu yang disukai Allah, karena tujuan dari rujuk itu sendiri
adalah memperbaiki hubungan kekeluargaan yang hampir terputus oleh
perceraian. Akan tetapi seperti halnya talak, rujuk pun akan membawa hikmah
yang baik apabila memang bertujuan demi kebaikan kedua belah pihak atau
kebaikan keturunannya.
BAB III
URGENSI KEDUDUKAN SAKSI DALAM TALAK DAN RUJUK
A. Pengertian Saksi
Menurut etimologi saksi merupakan kata benda yang memiliki arti orang
yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). 1 . Sedangkan
dalam kamus hukum dituliskan bahwa saksi adalah orang yang mengetahui
dengan
jelas
mengenai
sesuatu
karena
melihat
sendiri
atau
karena
pengetahuannya (saksi ahli), dalam memberikan keterangan di muka Pengadilan
seorang saksi harus disumpah menurut agamanya, agar yang diterangkannya itu
mempunyai kekuatan sebagai alat bukti 2 . Sedangkan dalam bahasa Arab
kesaksian adalah ‫( ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺓ‬asy-syahadah) atau ‫( ﺍﻟﺒﻴﻨﻪ‬al-bayyinah) yang mempunyai arti
“Bukti” 3 .
Menurut Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah mengemukakan bahwa :
‫ﻭﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺓ ﲪﻞ ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺓ ﻭﻣﺆﺩﻳﻬﺎ ﻷﻧﻪ ﻣﺸﺎﻫﺪ ﳌﺎﻏﺎﺏ ﻋﻦ ﻏﲑﻩ‬
Artinya ;
“Saksi adalah orang yang mempertanggung jawabkan kesaksian dan
mengemukakannya kepada orang lain karena ia mengetahui sesuatu yang
orang lain tidak tahu.” 4
1
Frista Artmanda, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media,t.th), h. 977.
2
JCT. Simorangkir, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), Cet. ke-6, h. 151.
3
A.W. Munawir, Kamus al munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002), Cet. ke-25, h. 747.
4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bairut: Dar al-Kutub al-Arab,t.th), Juz. 3, h. 325.
32
33
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa
saksi merupakan seorang yang mengetahui secara langsung ataupun mengetahui
dengan pengetahuannya tentang suatu kejadian. Saksi pun wajib memberikan
kesaksian yang sebenar-benarnya dengan tanpa ada kedustaan sedikit pun. Selain
itu pula seorang saksi diharapkan dapat memberikan kesaksianya di muka
Pengadilan demi kepentingan hukum. Sebagaimana pengertian bahasa Arab,
bahwa saksi merupakan alat bukti untuk mengungkap suatu kebenaran suatu
peristiwa. Para ulama pun berbeda pendapat mengenai syarat-syarat agar
kesaksian seorang dapat diterima kebenarannya, di antara syarat-syarat saksi yang
telah disepakati oleh para Ulama adalah sebagai berikut:
a.
Islam
Islam merupakan syarat mutlak bagi saksi dalam penyelesaian perkara
talak dan rujuk ataupun perkara lain bagi kita selaku pemeluk agama Islam.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
×≅ã_tsù È⎦÷⎫=n ã_u‘ $tΡθä3tƒ öΝ©9 βÎ*sù ( öΝà6Ï9%y`Íh‘ ⎯ÏΒ È⎦ø⎪y‰‹Íκy− (#ρ߉Îηô±tFó™$#uρ ....
(282 : 2/‫ ∪⊄∇⊄∩ )البقرة‬.... Ï™!#y‰pκ’¶9$# z⎯ÏΒ tβöθ|Êös? ⎯£ϑÏΒ Èβ$s?r&zöΔ$#uρ
Artinya:
“..... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari dua orang
lelaki (diantara kamu). Jia tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang laki-laki dan dua orang saksi-saksi yang kamu ridhoi ...”.(QS. alBaqarah/2: 282).
b. Baligh
Baligh menjadi syarat diterimanya kesaksian, karena dengan
34
kedewasaan seseorang sudah mampu berfikir dan bertindak secara sadar.
Berdasarkan firman Allah SWT:
......... ‫ﻭﺍﺷﺘﺸﻬﺪﻭﺍ ﺷﻬﻴﺪ ﻳﻦ ﻣﻦ ﺭﺟﺎ ﻟﻜﻢ‬........
Pemaknaan lafadz rijalikum menunjukkan orang yang sudah baligh,
bukan anak-anak 5 .
c. Berakal
Orang gila tidak dapat diterima kesaksiannya, karena secara kejiwaan
orang tersebut memiliki gangguan yang sangat mengganggu kesaksiannya.
d. Adil
Sifat adil juga dijadikan sebagai persyaratan bagi seseorang yang ingin
menjadi saksi sesuai dengan firman Allah:
… ‫ﻭﺃﺷﻬﺪﻭﺍ ﺫﻭﻯ ﻋﺪﻝ‬
Artinya:
“......... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki yang adil
........”. (QS. al-Baqarah/2: 282)
Adapun menurut Para Ulama ada beberapa sifat yang harus dimiliki
oleh orang yang disebut adil, diantaranya ialah: menjauhi dosa-dosa besar dan
tidak terus-menerus melakukan perbuatan dosa kecil, dapat dipercaya
ucapannya, menjaga kehormatan dirinya dan tidak melakukan perbuatan yang
5
Abdurahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, h. 48.
35
bisa membuat cela terhadap dirinya, dan mempunyai hati yang bersih dan baik
terhadap sesama.
e. Dapat Berbicara
Seorang saksi memang sudah seharusnya orang yang dapat berbicara,
sehingga nantinya kesaksian yang ia berikan jelas dan mudah dimengerti.
Mengenai kesaksian seorang yang bisu yang isyaratnya dapat dipahami serta
ia juga pandai menulis, para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini.
Diantaranya: 6
1. Madzhab Hanafi: tidak menerima, baik isyarat maupun pandai menulis.
2. Madzhab Hambali: tidak menerima dengan isyarat, walaupun diterima
isyaratnya, tetapi menerima bila ia sanggup menulis.
3. Madzhab Maliki: dapat menerima kesaksian orang bisu yang dapat
dimengerti isyaratnya.
4. Madzhab Syafi’i: dalam madzhab ini ada beberapa pendapat. Pendapat
pertama menerima dengan syarat bahwa hal itu dalam perkara perkawinan
dan talak. Dan ada juga yang tidak menerimanya. Oleh karena itu isyarat
orang bisu hanya dapat diterima dalam keadaan darurat.
Selian itu pula ada beberap dasar hukum yang mungkin nantinya
menjadi salah satu dalil yang di pakai oleh para u;ama fiqih dalam
prmasalahan saksi, diantaranya :
6
Ibid., h. 51.
36
Dalil itu dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan sunnah,
diantaranya:
a. QS. al-Baqarah ayat 282
.... ‫ ﻭﺍﺳﺘﺸﻬﺪﻭﺍ ﺷﻬﻴﺪﻳﻦ ﻣﻦ ﺭﺟﺎﻟﻜﻢ‬....
Artinya:
“........ dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari dua orang
lelaki (diantara kamu) ........”.
b. QS. al-Maidah ayat 8
∩∇∪ ....( ÅÝó¡É)ø9$$Î/ u™!#y‰pκà− ¬! š⎥⎫ÏΒ≡§θs% (#θçΡθä. (#θãΨtΒ#u™ š⎥⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orangorang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil.......... ”.
c. QS. al-Baqarah ayat 283
∩⊄∇⊂∪ .... 3 …çμç6ù=%s ÖΝÏO#u™ ÿ…çμ¯ΡÎ*sù $yγôϑçGò6tƒ ⎯tΒuρ 4 nοy‰≈y㤱9$# (#θßϑçGõ3s? Ÿωuρ ...
Artinya:
“........ dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikan persaksiannya,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya………”.
Sedangkan dalam hadist Nabi SAW. Yang mengulas tentang saksi
diantaranya ialah:
‫ﺃﻻﺍﺧﱪﻛﻢ ﲞﲑﺍﻟﺸﻬﺪﺍﺀ؟‬: ‫ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ‬: ‫ﻋﻦ ﺯﻳﺪﺑﻦ ﺧﺎﻟﺪﺍﳉﻬﲏ‬
7
(‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬.‫ﻫﻮﺍﻟﺬﻱ ﻳﺄﰐ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺓ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺴﺄ ﳍﺎ‬
7
265.
Imam Muslim, Shahîh Muslim , terj, Ma’mun Daud, (Jakarta: Widjaya, 1984), Cet. ke-1, h.
37
Artinya:
“Dari Zaid bin Khalid al-juhani, sesungguhnya Nabi saw., telah
bersabda: Suka kah kamu ku beritahukan kepadamu saksi-saksi yang
baik? yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum ia diminta untuk
mengemukakanya”. (H.R. Muslim)
Keberadaan saksi sangat penting bagi seorang penuduh. Artinya
apabila Si Penuduh itu mengemukakan tuduhannya dan dibarengi dengan
kehadiran saksi, maka hakim mendengar saksi dan memutuskan hukum bagi
yang menuduh dengan saksi tersebut. Begitu pun sebaliknya, tanpa saksi
maka yang didengar adalah perkataan tertuduh. Hal ini dikarenakan saksi
adalah hujjah yang sangat kuat untuk menolak keraguan bagi yang menuduh 8 .
Dengan beberapa dalil di atas dapat ditarik benang merah bahwa
keberadaan
saksi
beserta
kesaksiannya
sangatlah
dianjurkan
demi
menegakkan kebenaran untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
B. Urgensi Kedudukan saksi dalam talak dan rujuk menurut KHI
Jika kita cermati pada petikan pasal 116 di bab sebelumnya, kehadiran
saksi tidak dijelaskan secara ekplisit, akan tetapi secara implisit kehadiran saksi
sangatlah diperlukan. Dari mulai point “a” sampai “c” merupakan sebuah
tindakan dan perbuatan yang sangat berpotensi mengundang fitnah, artinya bisa
saja salah satu pihak berdusta kepada pihak lain, demi tercapainya maksud dan
tujuannya yaitu “perceraian”. Oleh karena itu beberapa hal yang disebutkan dalam
8
Imam Taqiyyudin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifâyah al-akhyâr, terj. K.H.
Syarifuddin Anwar dan K.H. Misbah Musthafa, (Surabaya: Bina Iman, 1993), Bag. 11, h. 566-567.
38
poin-poin tersebut di atas memerlukan bukti yang salah satu bukti itu bisa
diperoleh dari kesaksian beberapa orang saksi untuk menyakinkan para Hakim
dalam proses persidangan.
Dari pernyataan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dikatakan
putusnya ikatan perkawinan antara suami-istri, manakala perceraian itu dilakukan
di hadapan sidang Pengadilan dan harus mendapat izin Pengadilan. Bahkan
selanjutnya tata cara perceraian diatur dalam pasal 129 sampai pasal 146.
Berbeda halnya dengan permasalahan rujuk, KHI menjelaskan dengan
sangat jelas dalam pasal 167 ayat 4 yang mensyaratkan adanya saksi dalam
preoses rujuk. Tentunya hal ini pun bertujuan untuk kemashlahatan dan juga bagi
arsa keadilan.
Dari tinjauan beberapa penjelasan pasal-pasal di bab sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa kehadiran saksi sangatlah mutlak adanya pada proses
perceraian dan rujuk menurut Kompilasi Hukum Islam. Hal ini pun bisa jadi
dilakukan untuk meminimalisir kasus-kasus perceraian pada Pengadilan Agama.
Secara tegas memang tidak ada nash yang mewajibkan adanya saksi
dalam talak dan rujuk dan tidak ada pula nash yang melarang adanya saksi dalam
talak dan rujuk. Hanya saja KHI menggunakan beberapa landasan dalam
menentukan hukum saksi, yaitu : 1). Landasan Yuridis yaitu Undang-undang
no.14/1970 pasal 20 ayat (1) yang berbunyi : “Hakim sebagai penengak hukum
dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat”. Dan di dalam fiqih ada kaedah yang mengtakan :
39
“Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu,tempat dan keadaan”.
Keadaan masyarakat selalu berubah tentunya, bgitupun ilmu fiqih akan selalu
berkembang karena mempergunakan metode-metode yang sangat memperhatikan
rasa
keadilan
masyarakat.
Diantara
metode
tersebut
adalah
maslahah
mursalah,uruf dan lain-lain. 2). Landasan Fungsional yaitu :KHI adalah fiqih
Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan umat Islam
Indonesia. Ia bukan merupakan madzhab baru tapi dia mempersatukan berbagai
fiqih dalam dalam menjawab satu persoalan fiqih. Ia mengarah pada unifikasi
madzhab dalam hukum islam. Dalam sistem hukum Indonesia ini merupakan
bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan
hukum Nasioanl Indonesia 9 .
Dengan dibuatnya KHI diharapkan tidak ada lagi kesimpang-siuran
pendapat dalam memutuskan suatu perkara di lembaga Pengadilan Agama. Hal
inilah yang menjadi tujuan awal dikodifikasikannya hukum islam dalam satu
buku yaitu KHI yang lahir pada tahun 1991.
C. Urgensi Kedudukan Sakasi dalam Talak dan Rujuk menurut Fiqih
Dalam masalah ini ulama bisa dikatakan terbagi menjadi dua kubu besar,
yaitu pendapat yang berkembang dikalangan ulama sunni yang mengatakan
bahwa talak bisa saja jatuh tanpa adanya saksi, mereka menafsirkan ayat ke 49
dalam surat al-Ahzab. Yang menurut mereka tidak ada perintah untuk
9
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama, h.84
40
menyertakan saksi dalam masalah talak. Bahkan denga ayat itu mereka
menafsirkan bahwa mentalak adlah menjadi hak penuh seorang suami. Dan yang
kedua pendapat ulama Syi’ah yang mengatakan bahwa talak tidak dikatakan jatuh
tanpa adanya saksi, mereka menggunakan surat at-Thalak sebagia dalil penopang
pendapat mereka.
Masih menurut Ulama madzhab Imamiyah, mereka menetapkan bahwa
sekalipun semua persyaratan dalam talak sudah terpenuhi seluruhnya, namun
belum ada dua orang saksi yang adil, maka talak tidak jatuh pada saat itu - bahkan
tidak dipandang cukup pula dengan kehadiran satu orang saksi saja - sekalipun
orang tersebut dipandang sebagai seorang yang sangat dipercaya, bahkan
ma’shum.
Hal senada pun diungkapkan oleh Said Murtadha dalam “al-Intishâr”. Ia
mengatakan bahwa talak harus dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil..
Bahkan selain sebagai syarat terjadinya talak, menurut Imam Syafi’i, adanya dua
orang saksi tersebut diperlukan untuk menghindarkan terjadinya pertengkaran 10 .
Bisa jadi hal ini melihat karena biasanya perkara perceraian merupakan buah dari
sebuah pertengkaran. Oleh karena itu kehadiran saksi diharapkan dapat meredam
semua kemarahan.
Dalam surat at-Thalaq ayat 2 di atas terdapat (amar) yang menurut ahli albait, amar itu menunjukkan atas wajib dan menjadi syarat sah talak. Di antara
10
H.Ibnu Ma’ud dan H.Zainal Abidin S.,Fiqih Mazhab Syafi’i., Edisi lengkap Muamalat,
Munakahat, Jinayat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. ke-1, h. 382.
41
sahabat yang berpendapat seperti itu ialah, Amir al-Mu’minîn, Ali bin Abi Thalib,
Amran bin Husain, dari kalangan Tabi’in: Imam Muhammad Baaqir, Imam Ja’far
shadiq, dan putra-putra keduanya dari ahli al-bait, demikian juga Ibnu Juraij,
‘Atha’ dan Ibnu Sirin 11 .
Berpendapat jumhur fuqaha dari kalangan salaf dan khalaf bahwasanya
talak akan jatuh tanpa adanya saksi, karena talak merupakan sebagian dari hakhak yang dimiliki seorang suami 12 . Mereka pun berdalih bahwa tidak ada dalil
tentang kewajiban adanya saksi dalam perceraian baik dari Rasul ataupun para
sahabat.
Sudah menjadi sebuah kewajiban apabila pada saat akad nikah
dipersaksikan ijab dan kabulnya, maka pada saat bercerai pun disaksikan pula,
agar tidak ada pihak-pihak yang mengingkari perceraian itu. Selain itu pula
dengan adanya saksi dapat diketahui apakah talak yang dijatuhkan itu merupakan
talak raj’i atau talak tiga (bain).
Bagaimanakah hukum talak dengan menggunakan tulisan? ulama
Hanafiyah mengatakan bahwa talak yang menggunakan tulisan atau bisa jadi
surat harus mencantumkan nama istrinya dalam surat tersebut. Hukum talak
seperti ini sama dengan talak menggunakan kinayah (sindiran) walaupun lafadz
11
12
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Mesir: Daar al-Fath, t.th.), h. 166.
Ibid.
42
dalam tulisanya sarih (tegas) sehingga membutuhkan adanya niat.
13
Lalu
kemudian berpendapat pula Ulama Malikiyyah bahwa apabila suami berniat
untuk mentalak saat ia menulis surat, maka akan jatuh talaknya. Begitu pula
dengan Ulama Syafi’yah dan Hanabilah mereka memiliki pendapat yang sama
tentang hal tersebut. Artinya bahwa menurut Jumhur, talak dengan tulisan akan
jatuh apabila dengan niat.
Dilihat sekilas dari beberapa pendapat di atas tidak menyinggung
sedikitpun tentang adanya saksi, namun dapat dipahami dari keadaan yang
tergambarkan bahwa ada atau tidaknya niat pada saat menulis surat perceraian itu
harus dipersaksikan, karena kalau tidak, akan membuat kesempatan untuk
terjadinya kebohongan.
Berbeda halnya dengan rujuk, menurut Imam Malik dan Abu Hanifah
penyaksian pada saat rujuk dengan dua orang saksi hukumnya adalah sunnah.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i hal itu dihukumi wajib. Senada dengan Imam
Syafi’i. Imam Ibnu Hambal mengatakan bahwa jika suami hendak merujuk
istrinya maka ia harus mempersaksikannya kepada dua orang laki-laki muslim
bahwa ia telah merujuk istrinya.
Mengenai apakah rujuk itu sah walau hanya dengan wat’i dan tanpa
adanya perkataan dan saksi ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Syafi’i
13
6902.
Wahbah Zuhaili, Al-fiqh al-Islami wa adillatuh, (Damaskus: Daar al-Fikr,2000). Juz. 9, h.
43
mengatakan bahwa rujuk hanya sah dengan perkataan saja 14 . Beliau mengkiaskan
rujuk dengan nikah, artinya bahwa dalam pernikahan diperintahkan adanya saksi,
maka bagitupun pada rujuk, karena tidaklah ada persaksian tanpa perkataan.
Menurut Imam Malik rujuk itu sah dengan Wat’i asalkan jika suami berniat
menghendaki rujuk dengan istrinya. Imam Abu Hanifah pun membolehkan rujuk
dengan wat’i asalkan ada niat untuk itu.
Sekilas dapat dilihat bahwa hukum kedudukan saksi dalam talak dan
rujuk dalam Fiqih Islam belum mencapai titik kesepakatan. Hal ini disebabkan
perbedaan interpretasi ayat dalam al-Qur’an. Berbeda dengan KHI yang sudah
memberikan penjelasan mengenai masalah ini dalam pasal dan ayatnya masingmasing.
14
Ibid., h.64.
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM KHI DAN FIQIH TENTANG
KEDUDUKAN SAKSI DALAM TALAK DAN RUJUK
A. Analisis Perbandingan Hukum antara KHI dan Fiqih Mengenai Urgensi
Saksi dalam Talak dan Rujuk
Dari beberapa penjelasan pada beberapa bab sebelumnya, menunjukkan
ada beberapa perbedaan dan juga persamaan dari apa yang diutarakan oleh para
ulama fiqih mengenai saksi dalam rujuk dan apa yang telah dituliskan dalam KHI.
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa talak bisa jatuh tanpa adanya
saksi, karena talak merupakan hak seorang suami terhadap istrinya. Mereka
berdalih bahwa tidak ada aturan dari Rasulullah saw. dan dari para sahabat
mengenai harus adanya saksi dalam talak. Dalam hal ini surat Al Ahzab yang
menjadi dasar hukum mereka. Selain para jumhur ulama tersebut, ulama Syiah
Imamiyah memberikan pendapat yang sangat bertentangan dengan pendapat para
jumhur ulama. Mereka mengatakan bahwa sekalipun persyaratan talak sudah
terpenuhi semua tetapi tidak ada dua orang saksi yang adil, maka perceraian tetap
tidak terjadi. Surat At Thalaq lah yang menjadi dasar hukum mereka. Imam
Syafi’I pun mensyaratkan adanya saksi tetapi sebatas sebagai tujuan untuk
menghindari terjadinya pertengkaran bukan sebagai syarat sahnya talak.
Beberapa pendapat di atas merupakan beberapa perwakilan dari hukum
fiqih mengenai saksi dalam talak. Menurut penulis, ketidakseragaman pendapat
44
45
Penulis pun berpendapat bahwa apa yang diutarakan oleh imam Syafi’i,
Malik, Abu Hanifah dan pengikutnya mengenai sahnya talak walau dalam
keadaan main-main atau bercanda itu cukup merepotkan apabila diterapkan dalam
kehidupan masyarakat sekarang. Walaupun mungkin maksud para fuqaha tersebut
baik agar para suami berpikir dua kali kalau ingin mentalak istrinya. Karena
jangankan serius, bercandanya pun bisa menyebabkan jatuhnya talak. Tetapi
seperti pendapat penulis sebelumnya, bahwa hal ini akan banyak menimbulkan
kemadharatan, bahkan bisa jadi banyak pasangan suami istri yang masih terus
melanjutkan ikatan pernikahannya padahal suami pernah bercanda dan bermainmain dalam mengucapkan talak. Dan kalau talak itu sah, maka mereka sedang
46
melakukan perbuatan yang dilarang agama, yaitu berkumpul dan bisa jadi
berhubungan layaknya suami istri, padahal sudah jatuh talaknya.
Sedangkan dalam KHI sendiri, tidak dijelaskan tentang harus adanya saksi
dalam talak, akan tetapi dengan mensyaratkan bahwa perceraian hanya dapat
dilaksanakan di depan sidang Pengadilan Agama dan dengan segala macam
proses persidangannya – yang salah satu prosesnya yaitu alat bukti saksi – maka
itu sudah cukup memberikan penjelasan bahwa dalam KHI diharuskan adanya
saksi dalam talak.
Pengadilan Agama (PA) bukan merupakan kantor perceraian, yang
bertugas untuk menceraikan pasangan suami istri. Akan tetapi di PA para hakim
akan berusaha sekuat tenaga untuk mencoba mendamaikan kedua belah pihak
yang berperkara, tentunya dengan melihat sejauh mana manfaat dan madharatnya,
perdamaian atau perceraian untuk keduanya. Oleh sebab itulah para hakim
menggunakan KHI sebagai salah satu rujukan hukum dalam memutuskan perkara,
karena di dalam KHI sendiri terdapat beberapa aturan yang cukup ketat dalam
proses perceraian.
Eksistensi PA sebagai lembaga atau wadah bagi mereka yang berperkara
dalam masalah keluarga, khususnya dalam hal ini perceraian tidak dijelaskan
dalam dalil apapun baik dalam Al quran dan sunnah, akan tetapi keberadaan PA
bisa jadi masuk ke dalam salah satu metode ijtihad yaitu Al maslahah Al mursalah
(suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada
pembatalannya). Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syariat dan
47
tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian
tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni
suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan atau untuk menyatakan suatu
manfaat, maka itulah yang disebut Al mashlahah Al mursalah.
Bercerai di Pengadilan Agama tidak disyariatkan, namun demikian
kemaslahatan
dan
menghindari
kesewenang-wenangan
yang
berujung
kemadharatan membuat hal tersebut menjadi harus dan bisa jadi wajib hukumnya
menurut penulis. Sehingga konsekwensinya ialah perceraian yang dilakukan di
luar sidang pengadilan itu tidak sah.
Bagaimana dengan keberadaan saksi di dalam rujuk? Seperti yang telah
dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa ulama mazhab berbeda pendapat
mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa saksi dalam rujuk hukumnya
sunnah dan ada pula yang mengatakan wajib hukumnya, bahkan ada pula yang
mengatakan bahwa rujuk sah hukumnya walau hanya dengan menjima’ istrinya.
Hal itu menunjukkkan sebuah hak penuh bagi suami untuk merujuk istri tanpa
melihat bagaimana perasaan hati istri. Berbeda dengan apa yang dituliskan di
dalam KHI, pasal 164, dan 169. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa rujuk
harus dilaksanakan dengan dua orang saksi dan di hadapan pengawai pencatat
nikah. Selain itu rujuk pun harus atas persetujuan bekas istri, karena tanpa
persetujuan bekas istri rujuk itu dikatakan tidak sah.
Dari dua pendapat di atas, penulis bisa membandingkan bahwa KHI akan
lebih membawa kemaslahatan dan manfaat, ini dapat dilihat dari aturan hukum
48
dan tata cara rujuk yang dijelaskan di dalamnya. Kelihatannya KHI tidak
memihak kepada salah satunya saja, artinya KHI benar-benar berusaha agar
ikatan perkawinan yang sudah terbina tetap terjaga (khususnya dalam masalah
talak), dan memberikan hak kepada bekas istri untuk menentukan sang suami
boleh merujuknya atau tidak dengan mempertimbangkan perasaan dan kondisi
kejiwaan bekas istri pasca dicerai oleh suaminya.
Pada dasarnya antara fiqih dan KHI memiliki semangat yang sama, yaitu
menjalankan hukum Allah yang tertulis dalam firman-firmanNya. Hanya saja
interpretasi terhadap ayat-ayat itulah yang menjadi perbedaan. Akan tetapi
menurut penulis alangkah baiknya apabila kita selaku umat Islam di Indonesia ini
menggunakan aturan-aturan yang termaktub di dalam KHI dalam penyelesaian
permasalahan keluarga, khususnya perceraian dan rujuk.
B. Contoh Kasus Kedudukan Saksi dalam Talak dan Rujuk
Sebagai salah satu Objek Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini
maka dalam kesempatan kali ini penulis sengaja menyantumkan sebuah Putusan
Pengadilan Agama tentang Permohonan Cerai sebagai sebuah contoh kasus yang
terjadi di masyarakat. Sehingga diharapkan dengan adanya contoh kasusu tersebut
dapat menjadi penguat analisis yang telah penulis ungkapkan sebelumnya.
Dalam perkara permohonan cerai ini, dapat diketahui dengan jelas tentang
apa yang menjadi sebab mengapa suami memohon cerai dari istrinya, yaitu
karena mereka belum dikaruniai anak selama masa perkawinannya.
49
Dalam sidang tersebut termohon tidak pernah hadir selama persidangan
walaupun sudah dipanggil secara patut. Hal ini mengakibatkan hakim
menjatuhkan putusan dalam persidangan yang ke tiga. Putusan yang dijatuhkan
hakim merupakan putusan verstek. Putusan verstek bisa dijatuhkan apabila
tergugat atau termohon dalam hal ini tidak hadir karena ia dinilai ta’azzuz, atau
tawari, atau ghaib. 1 Verstek diatur dalam HIR pasal 125, yang mengatakan bahwa
“Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, lagi pula ia tidak
menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya meskipun ia dipangggil
dengan patut, maka tuntutan itu diterima dengan putusan tak hadir, kecuali kalau
nyata pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan”. 2
Selain ketidakhadiran termohon yang menjadikan hakim menjatuhkan
putusan dalam perkara tersebut, adanya dua orang saksi laki-laki yang berada di
pihak pemohon juga dapat menyebabkan hal yang sama. Keterangan-keterangan
mereka menunjukkkan bahwa sepertinya rumah tangga pemohon dan termohon
tidak bisa lagi dipertahankan, sehingga bisa jadi keputusan cerai oleh hakim dapat
membawa kebaikan bagi kedua belah pihak.
Kasus perceraian yang disebabkan karena kedua pasangan belum atau
tidak dikaruniai keturunan, memang tidak dijelaskan secara tersurat dalam KHI,
hanya saja persoalan inilah yang menjadi pemicu terjadinya ketidakharmonisan
1
H. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 85.
2
R. Tresna, Komentar HIR, (Jakarta: Praduya Paramita, 2005), h. 107, cet. ke-18.
50
dalam keluarga. Hal inilah yang dengan jelas dituliskan dalam KHI, yaitu pada
pasal 116 poin “f”, yang berbunyi:
“Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Sebenarnya keterangan saksi dalam kasus tersebut mengenai apakah kedua
pasangan sering terdengar bertengkar atau ribut tidaklah cukup membantu para
hakim, karena jawaban dari salah satu saksi itu: “tidak pernah mendengar” dan
saksi yang satu lagi mengatakan, “Pernah mendengar, tapi hanya satu kali saja”.
Penulis berpendapat bahwa hal tersebut belum cukup untuk hakim menjatuhkan
talak. Namun, yang disayangkan adalah ketidakhadiran termohon selama dalam
persidangan, sehingga keterangan kedua saksi menjadi satu-satunya referensi
hakim dalam memutuskan perkara.
Dalam hukum Islam sendiri kasus perceraian seperti ini bisa dimasukkan
ke dalam permasalahan fasakh. Fasakh berarti “mencabut” atau “menghapus”. 3
Maksudnya ialah perceraian yang disebabkan timbulnya hal-hal yang dianggap
berat oleh suami atau istri ataupun keduanya sehingga menyebabkan mereka tidak
sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami istri dalam mencapai tujuannya.
Dasar pokok dan hukum fasakh ialah seorang atau kedua suami-istri
merasa dirugikan oleh pihak lain dalam perkawinannya karena ia tidak
memperoleh hak-hak yang telah ditentukan oleh syara’ sebagai seorang suami
3
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 212.
51
atau istri. Fasakh merupakan perceraian dengan proses peradilan, hakimlah yang
memberi keputusan tentang kelangsungan perkawinan atau terjadinya perceraian.
Oleh karena itu pihak penggugat yang dalam kasus tersebut di atas disebut
pemohon, haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap dan dapat
menimbulkan keyakinan bagi hakim yang mengadilinya. Keputusan hakim
didasarkan kepada kebenaran alat-alat bukti tersebut.
Dibandingkan dengan perceraian dengan proses pengadilan yang lain,
maka alat-alat bukti dalam perkara fasakh sifatnya lebih nyata dan jelas. Misalnya
dalam hal seorang dari suami atau istri yang impotent, maka surat keterangan dari
dokter dapat dijadikan salah satu dari alat-alat bukti yang diajukan. Karena salah
satu syarat terjadinya fasakh adalah cacat atau penyakit.4 Dan dalam hal tidak
dapat memiliki keturunan, fasakh bisa terjadi, walaupun para ahli fiqih berbeda
pendapat mengenai cacat itu sendiri. Namun, menurut penulis pada dasarnya yang
menjadi tolak ukur putusan hakim dalam kasus di atas adalah bahwa kedua belah
pihak tidak akan mampu lagi untuk mempertahankan ikatan perkawinannya, dan
apabila dipaksakan terus untuk tidak bercerai, dikhawatirkan akan menambah
kemadharatan bagi keduanya.
Akhirnya, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kasus tersebut
keberadaan saksi menjadi alat bukti yang cukup kuat bahkan bisa jadi satusatunya. Karena dalam kasus ini, surat keterangan dari dokter akan menjadi alat
bukti yang menerangkan apakah salah satu dari mereka itu impotent. Selain itu
4
Ibid., h. 213.
52
pula ketidakhadiran termohon dalam tiap persidangan dan tidak pula
mengirimkan wakilnya, maka keputusan hakim mengenai jatuhnya talak secara
otomatis terlaksana dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Aturan yang terdapat dalam KHI mengenai saksi dalam talak dan rujuk sangat
bersesuaian dengan salah satu tujuan adanya hukum Islam, yaitu mashlahah
dan manfaat. Selain itu KHI pun mampu menjadikan Pengadilan Agama
sebagai tempat untuk penyelesaian masalah berdasarkan musyawarah demi
untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan bersama tanpa kesewenangwenangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam KHI menghendaki atau
boleh dikatakan bahwa saksi merupakan syarat syah dalam talak dan rujuk.
2. Secara umum dikalangan ulama madzhab fiqih sepertinya terdapa dua kubu
besar yang saling bertolak belakng mengenai hukum saksi dalam talak dan
rujuk. Yang pertama ialah ulama Sunni, mereka sepakat mengatakan bahwa
talak bisa jatuh tanpa adanya saksi, walaupun dalam masalah rujuk mereka
berbeda pendapat, ada yang mengatakan tidak perlu saksi dan ada yang
mengatakan perlu adanya saksi sebagai kiasan dari rukun nikah. Yang kedua
ulama Syi’ah, mereka sepakat mewajibkan adanya dua orang saksi yang adil
baik dalam talak ataupun rujuk, bahkan mereka berpendapat seandainya pun
53
54
smua syarat talak sudah terpenuhi semua tapi tidak ada dua orang saksi yang
adil, maka talak tetap tidak syah.
3. KHI lebih cocok dipergunakan di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya
di Pengadilan Agama sebagai lembaga hukum yang sah untuk dijadikan
sebagai salah satu rujukkan hukum dalam memutuskan perkara.
B. Saran-saran
Setelah penulis mengambil beberapa kesmpulan tersebut di atas, maka perlu
kiranya saran-saran sebagai berikut:
1. Perceraian merupakan sesuatu yang Allah benci, tetapi seandainya hal itu
sudah menjadi jalan terbaik, maka selesaikanlah permasalahan itu di
Pengadilan Agama, jangan kemudian menjadikan ayat dalam Al quran
Sebagai dalil satu-satunya untuk mengesahkan perceraian di luar PA tanpa
pertimbangan lain.
2. Rujuk merupakan perbuatan yang sangat mulia karena ia merupakan jalan
untuk menyambungkan kembali tali pernikahan yang telah terputus. Akan
tetapi lakukanlah rujuk itu dengan prosedur hukum yang berlaku, yaitu di
depan Pegawai Pencatat Nikah dengan dihadiri dua orang saksi. Hal ini
sebagai tanda bahwa Islam memiliki aturan hukum yang sangat rapi demi
mencapai kemaslahatan umat.
55
3. Sebagai warga negara yang patuh terhadap hukum, maka patuhilah aturanaturan hukum yang ada di negara ini. Karena hanya dengan mematuhi hukum
yang berlaku maka kehidupan akan terasa lebih indah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al Karim.
Abi Bakar Al-Syuyuthi, Jalaluddin Abdurahman, Al Ashbah wa al Nadzâir fil Furû,
Semarang: Maktabah wa Matba’ah karya Toha Putra.
Abu Bakar bin Muhammad Ikhsan, Kifâyah al Akhyâr fî Halli Ghôyah al Ikhtisôr,
Surabaya: Daar Al Ilmu.
al Ghozi, Ibnu Qôsim, Hâsyiah Al-Syeikh Ibrôhîm Al Baijûrî.
al Mari Bari, Zainudin, Fath al Mu’în, Semarang: Maktabah Wa Mat Ba’ah Toha
Putra,t.th
al-Mahalli, Jalaluddin, Al-Syuyuthi, Jalaluddin, Tafsir Jalâlain, Kudus: Maktabah
Menara Kudus.
A-Rahman, Drs. Bakri, Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam UU Perkawinan
dan BW, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1981.
Djalil, A. Basiq, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi
Hukum Islam, Jakarta: Qolbun Salim, 2005.
Hosen, Ibrahim, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003.
Ibnu Hijaj, Abi Al Husain Muslim, Sohîh Muslim, Dâr Al Fikri.
Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru,1987.
Rusdi, Ibnu, Bidayâh Al-Mujtahîd, wa Nihâyah al Muqtasîd, Semarang: Karya Toha
Putra,t.th.
Sudirman Abbas, Ahmad, Sejarah Qawaid Fiqhiyah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
Anglo Media, 2003.
Suja, Abu, Fath al Qorîb al Mujîb, Semarang: Maktabah Wa Mat Ba’ah Toha
Putra,t.th.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, Cet. ke-3.
Artmanda, Frista, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jombang: Lintas Media,2000.
Simorangkir, JCT, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, Cet. ke-6.
A.W. Munawir, Kamus al Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002, Cet. ke-25.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Bairut: Dar al-Kutub al-Arab,t.th.
Umar, Abdurahman, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam,
Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986.
Muhammad al-Husaini, Abu Bakar bin, Imam Taqiyyudin, Kifâyah al-Akhyâr terj.
Anwar, Syarifuddin, dan Musthafa, Misbah, Surabaya: Bina Iman, 1993.
Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama,
1996, Cet. ke-2.
Mas’ud, Ibnu, dan Abidin S., Zainal, Fiqih Mazhab Syafi’i., Edisi lengkap Muamalat,
Munakahat, Jinayat, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, Cet. ke-1.
Sabiq, Sayyid Fiqih Sunnah, Mesir: Daar al-Fath, t.th.
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Daar al-Fikr, 2000.
Rusyd, Ibnu, Bidâyah al-Mujtahîd, Semarang: Toha Putra, t.th.
Muslim, Imam, ShahîhMuslim , terj, Daud, Ma’mun, Jakarta: Widjaya, 1984, Cet.
ke-1.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang Saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli Saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta,12 Agustus 2010
Aziz
Maulana
Download