HIMNE SEBAGAI SARANA PENGUNGKAPAN KREDO JEMAAT

advertisement
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
HIMNE SEBAGAI SARANA PENGUNGKAPAN KREDO
JEMAAT KRISTEN MULA-MULA
Pdt. Decky K. Lolowang, M.Th.
PENDAHULUAN
Setiap orang, entah pemusik ataupun tidak, pasti
menyukai musik. Kalaupun seseorang tidak dapat menyanyi
atau merasa tidak memiliki bakat musik, namun ia tentu
menyukai musik. Musik adalah bagian dari kehidupan
manusia. Bahkan menjadi bahasa universal. Melalui nyanyian,
seorang dapat tersentuh emosinya. Dengan syair dan melodi
yang padu dari suatu lagu, seseorang dapat mengekspresikan
perasaannya yang terdalam terhadap sesuatu. Tidak terkecuali
dengan apa yang ia imani. Melalui nyanyian seseorang dapat
mengungkapkan keyakinan imannya kepada Yang Mahakuasa.
Karena itu dalam kehidupan keagamaan, kita banyak mengenal
apa yang dinamakan himne.
Dalam dunia Yunani
kuno, istilah himne
(Yun=humnos) dipakai menunjuk pada pengertian nyanyian
atau puisi yang disusun dalam rangka pemujaan kepada
pahlawan, orang terkenal dan terutama kepada dewa. Namun
himne sebagai nyanyian pujian untuk dewata atau yang
diimani sebagai Yang Mahakuasa, sudah dikenal di Tiongkok,
Asyur, Mesir bahkan di India.1 Berdasarkan data informatif ini
dapatlah
diperkirakan
bahwa
berbarengan
dengan
perkembangan peradaban, maka manusia sudah sejak dahulu
kala mengungkapkan keyakinan imannya kepada Yang
Mahakuasa itu antara lain dalam bentuk himne. Sebab pada
dasarnya seni musik (termasuk di dalamnya himne) dan
1
Lihat, Encyclopaedia Britanica, Vol.XII, (Chicago: William Benton,
Publisher, 1959), 14, band. Encyclopaedia Americana,(Connecticut: Grolier Inc.
1985), 671.
16
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
terutama tari merupakan jenis kesenian yang umurnya setua
peradaban manusia. Kedua jenis kesenian inilah menjadi sarana
paling awal pengungkapan kepercayaan umat manusia kepada
Yang Mahakuasa itu.2 Bagaimana dengan kekristenan?
Alkitab yang merupakan tulisan-tulisan kesaksian iman
umat
di masanya memberikan informasi yang sangat
menolong kita dalam menelusuri cara-cara pengungkapan iman
jemaat mula-mula. Sesuai dengan pokok bahasan, maka
perhatian akan lebih diarahkan pada sejauh mana himne
menjadi sarana pengungkapan kredo umat perjanjian, secara
khusus jemaat Kristen mula-mula. Namun sebelumnya perlulah
ditelusuri sejauh mana himne itu berperan dalam
pengungkapan iman baik dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru.
Nyanyian Dalam Alkitab
Kekristenan mewarisi kekayaan pengungkapan
imannya dalam berbagai cara. Tulisan-tulisan dalam Alkitab,
merupakan salah satu bentuk pengungkapan kesaksian iman
orang-orang percaya di masa lampau. Tetapi juga melalui
Alkitab sendiri dan tulisan-tulisan lainnya yang tidak kanonik
kita memperoleh gambaran yang cukup jelas bahwa baik dalam
kalangan umat Israel maupun kekristenan mula-mula,
pengungkapan iman umat tidak hanya dalam bentuk rumusan
dogmatis melainkan juga dalam bentuk nyanyian.
Informasi pertama menyangkut nyanyian yang kita
temukan dalam Alkitab adalah pujian pujian Musa dalam
Kel.15. Suatu nyanyian Paskah sesudah Exodus umat Israel
dari tanah perhambaan Mesir.3 Nyanyian yang agaknya
didendangkan secara dialogis antara Musa dan umat, demikian
2
H.M.Daniels: What to do with Sunday Morning; (Philadelphia: The
Westminster Press, 1979), 71.
3 H.A.Pandopo: Menggubah Nyanyian Jemaat, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
1994), 16.
17
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
juga diulangi antara Miryam dan kaum wanita,
menggambarkan kebesaran Tuhan yang telah membebaskan
umat Israel dari kejaran bala tentara Firaun.
Dari sejumlah besar nyanyian dalam Alkitab, terlukis
di dalamnya berbagai ragam pengungkapan iman umat
kepada Tuhan, baik itu dalam bentuk puji-pujian, permohonan,
keluhan, pengakuan dosa dan permohonan kelepasan, di
samping nyanyian berisi kesaksian dan pengajaran yang
kesemuanya tercermin di dalamnya adanya pengakuan iman
kepada Allah yang Mahakuasa, Mahakasih dan Penyayang.
Sejumlah nyanyian seperti: nyanyian pujian Hana (1 Sem. 2;110), Maria (Luk.1:46-55), Zakharia (Luk.1:68-79) dan
berbagai nyanyian lainnya seperti nyanyian Berkat (Bil.6:2426), nyanyian Musa (Ul.32:1-43), nyanyian terakhir Daud (2
Sem.23:1-7), nyanyian surge (Wahyu 7:15-17) serta 150
Mazmur menggambarkan hal itu.4
Kalau memperhatikan keterangan dalam 1 Raja-raja
4:32 yang menyatakan bahwa Salomo sendiri mengarang tidak
kurang dari 3000 amsal dan 1005 nyanyian, informasi ini
memberi gambaran betapa nyanyian itu merupakan sesuatu
yang menjadi kebutuhan riil
manusia dalam ia
mengekspresikan perasaannya.
Walaupun tidak banyak
4
Lihat, J.L.Ch.Abibeno, Mazmur dan Ibadah, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
1987), 1-3. Khusus menyangkut mazmur, Abineno menjelaskan bahwa sesuai
dengan namanya (mizmor=Ibrani, psalmos=Yun) yang berarti nyanyian dengan
permainan musik khususnya kecapi, mungkin mulanya mazmur-mazmur itu berupa
mazmur pribadi tetapi kemudian menjadi nyanyian umat. Di samping kata mazmur,
dipakai pula berbagai istilah lainnya yang menunjuk pada nyanyian pujipujian=tehillah (Arab=Tahlil) yang mempunyai pengertiannya yang hampir sama
dengan haleluya= pujilah Tuhan. Kekayaan ragam nyanyian umat sangat jelas
dalam mazmur apakah itu nyanyian doa, pengajaran, ratapan, pengakuan dosa dan
mohon pengampunan, bahkan nyanyian siarah. Belum lagi nyanyian Halel besar
seperti dalam Mazmur 113 - 118. Benar bahwa sesudah masa pembuangan, umat
Yahudi tidak lagi memakai alat musik (instrumen seperti kecapi, rebana dsb). Sikap
itu diambil sebagai pertanda kesedihan dan penyesalan atas dosa-dosa sehingga
mereka dihukum dengan pembuangan. Sejak itulah nyanyian umat lebih dikenal
dengan nyanyian sinagoge.
18
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
keterangan yang dapat diperoleh menyangkut apa isi dari 1005
nyanyian Salomo itu, namun dari sejumlah mazmur yang
berisi ajakan agar umat menyanyikan nyanyian baru bagi
Tuhan (Maz.33:3; 40:4; 96:1; 98:1; 149:1, perhatikan pula
Yes.42:10) memberi kesan bahwa sebagian nyanyian Salomo
itu merupakan nyanyian puji-pujian berbentuk kesaksian iman
untuk hormat dan kemuliaan nama Tuhan.
Dari perbendaharaan nyanyian dalam Alkitab
khususnya mazmur-mazmur yang begitu kaya dengan berbagai
latar belakang situasi pribadi
ataupun umat, nyanyiannyanyian itu agaknya dinyanyikan pada kesempatan ibadah
umat sesuai dengan keperluannya. Malahan dalam berbagai
keterangan penelitian menunjukkan bahwa mazmur merupakan
nyanyian tetap dalam ibadah umat Yahudi dan beberapa
pembacaan dari kita nabi-nabi disesuaikan dengan isi mazmur
yang hendak dinyanyikan.5 Berdasarkan berbagai petunjuk ini
dapatlah diperkirakan bahwa nyanyian merupakan bagian
integral dalam kehidupan rohani umat dan melalui nyanyian
baik pribadi maupun persekutuan, umat mengungkapkan
kesaksian dan pengakuan imannya.
Kredo Jemaat Dalam Himne
Tulisan-tulisan Perjanjian Baru memberi sejumlah
informasi tentang himne sebagai sarana pengungkapan iman
umat, khususnya yang berkaitan dengan pengakuan iman
kepada Yesus Kristus. Dalam injil Lukas 1-2, kita temukan
koleksi himne yang rupanya biasa dinyanyikan dalam ibadah
5 Ibid., 7-9. Abineno yang merujuk pada pendapat berbagai ahli menunjukkan
bahwa istilah-istilah tertentu dalam mazmur seperti sela (71 kali dalam 39 mazmur)
dan atau higayon (maz.9:17) merupakan salah satu petunjuk bahwa mazmurmazmur itu dipakai dalam ibadah jemaat. Baik sela maupun higayon berarti
berhenti. Artinya nyanyian itu berhenti sejenak. Kalau melihat terjemahan sela
menjadi diapsalma dalam Septuaginta yang berarti selingan musik, maka mungkin
yang dimaksudkan dengan sela atau juga sigayon adalah nyanyian berhenti diselingi
musik instrumen. Tetapi juga bisa berarti pause (=istirahat) untuk perenungan dan
untuk iringan kecapi.
19
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
jemaat kristen mula-mula. Koleksi itu meliputi nyanyian pujian
Maria (magnificat) dalam 1:46-55 yang rupanya mengambil
pola nyanyian Hanna dalam 1 Sem.1:46-55, nyanyian pujian
Zakharia (benedictus) dalam 1:68-79, yang merupakan mazmur
mesianik, nyanyian pujian malaekat (himnus anggelus, sering
disebut nyanyian Gloria Besar atau juga Gloria in excelcis)
dalam 2:14 dan nyanyian pujian Simeon dalam 2:29-32.6
Sejumlah koleksi himne dapat kita temukan pula dalam
kitab Wahyu baik dalam bentuk mazmur pujian ataupun
doksologi seperti: puji-pujian kepada Allah 4:8,11; 7:12;
11:17-18; 15:3-4; puji-pujian tentang Allah dan tentang Kristus
sebagai Anak Domba Allah dalam 5:13; 7:10; 11:15; 19:6-8.7
Di samping itu, sejumlah himne masih kita temukan
tersebar pada berbagai tulisan, antaranya pada tulisan Paulus,
Deutro Paulus, sastera Yohanes. Himne-himne tersebut
berisikan kredo tentang Kristus yang dipahami dan diimani
sebagai Dia yang berinkarnasi, mati dan kemudian dimuliakan
(Fil.2;6-11), Kristus yang adalah gambar Allah yang tak
kelihatan (Kol.1:15-20), Cahaya kemuliaan Allah (Ibrani 1:3),
yang menderita, mati dan kemudian duduk di sebenah kanan
Allah dalam kemuliaan-Nya (1Petrus 3:18-19, 22).8
Sudah pasti, himne-himne ini muncul dalam situasi
tertentu dan setiap pengarang ataupun redaktor mengangkat
himne-himne ini sebagai bagian dari bentuk kesaksian dan
pengajaran iman kristiani kepada para pembacanya. Saya
setuju dengan pandangan Dunn yang menyatakan bahwa
6
Ibid, 132-133.
Ibid, 133-134.
8 loc.cit., band. M.de Jonge, Christology in
Context, (Philadelphia: The
Westminster Press, 1988), 24, 125-126, 134; R.H.Fuller, The Foundations of the
New Testament Christology, (London: Lutterworth Press, 1965), 204-226. Bagi
Dunn, masih banyak lagi yang dapat diklasifikasi sebagai himne seperti Epesus
2:14-16, Kol.2:13-15, 1 Petrus 1:20; 2:21-23 namun baginya, melihat struktur
kalimat, bagian-bagian ini tidak lebih dari suatu kalimat pengajaran dari penulis
surat itu sendiri.
7
20
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
himne-himne ini dengan keanekaragaman gagasan yang
termuat di dalamnya mencerminkan latar belakang jemaat
penerima. Dunn mengklasifikasi bahwa koleksi himne dalam
Lukas merefleksikan keadaan jemaat Kristen Yahudi Palestina
mula-mula, dalam mana tersirat di dalamnya pujian atas
kesederhanaan dalam kesalehan. Himne dalam Wahyu
merefleksikan suatu bentuk kekristenan Yahudi Helenis yang
lebih banyak dipengaruhi oleh agama apokaliptik dan
entusiastik. Sementara himne-himne dalam Filipi, Kolose,
Ibrani, dan juga Yohanes lebih merefleksikan suatu bentuk
yang berbeda dari kekristenan Yahudi Helenis dalam mana
pengaruh spekulasi filsafat dan agama tentang kosmos dan juga
dari Gnostik cukup kentara tersirat di dalamnya. Dan himne
yang ada pada surat 1 Timotius dan 1 Petrus merefleksikan sisi
lain dari Kekristenan Helenis yang menekankan perbedaan
antara Yesus historis dengan Kristus yang dimuliakan.9
Dari sejumlah himne tersebut di atas pada umumnya
berisi kredo jemaat terutama berkaitan dengan Kristus yang
telah mati dan bangkit itu. Tiga dari himne-himne tersebut
dapat diangkat yakni himne dalam Filipi 2: 6-11, Kolose 1:1520 dan dalam Yohanes 1:1 - 18. Pembahasan secara khusus
ketiga himne ini selain karena kredo yang terkandung di
dalamnya menonjol dengan muatan kristologi yang berbobot,
tetapi juga karena ketiganya mewakili tiga situasi berbeda baik
menyangkut kepengarangan maupun alamat dan maksud
penulisannya (Filipi sebagai buah karya Paulus, Kolose
tergolong Deutro Paulus dan Yohanes dari rumpun sastra
Yohanin).
a. Filipi 2: 6 - 11.
Yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya
9
J.D.G.Dunn, op.cit., 140.
21
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi
sama dengan manusia.Dan dalam keadaan sebagai manusia
Ia telah merendahkan diri-Nya sampai mati bahkan mati di
kayu salib.Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia
dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,
supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di
langit dan yang di atas bumi dan yang di bawah bumi dan
segala lidah mengaku Yesus adalah Tuhan bagi kemuliaan
Allah Bapa.
Umumnya para ahli berpendapat bagian ini merupakan
himne yang dinyanyikan dalam ibadah jemaat.10
Memperhatikan bentuk dan isinya Dunn beranggapan bahwa
himne ini di satu pihak berbentuk puisi Ibrani, di dalamnya
pengaruh Yudaisme cukup kentara. Tapi di pihak lain, tema pra
eksisnya Kristus dan fakta bahwa himne ini lebih dipakai
dalam dunia Helenis memberi petunjuk adanya pengaruh dunia
Helenis. Hal itu terutama kentara pada gagasan ke-pra ada-an
Yesus yang nampaknya berasal dari spekulasi manusia
perdana pada agama sekitar. Namun ia berkesimpulan, lebih
bijak memahami himne ini sebagai ekspresi puitis dari bentuk
kristologi Adam. Di dalamnya memang ada pengaruh spekulasi
hikmat yang pra eksis serta pandangan tentang orang benar
harus mengalami penderitaan tetapi kemudian dimuliakan
tetapi intinya terletak pada perendahan diri Yesus.11 Pada
10
R.H.Fuller, op.cit, 105; band. M. de Jonge, op.cit., 24, 46. Lohmeyer
sebagaimana dikutip Fuller dan juga Dunn menganggap bahwa himne ini awalnya
adalah dalam bahasa Aram yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani
dan dipakai sebagai nyanyian liturgis oleh jemaat kristen mula-mula. Ia menunjuk
kesejajaran antara ide rupa Allah (ay.6) = gambar Allah dalam Kej.1:26,
mengosongkan diri (ay.7) = menyerahkan nyawa pada maut dalam Yes.53:12c,
mengambil rupa seorang hamba (ay. 7b) = ebeh Yhwh dalam Yes.53, menjadi sama
dengan manusia (ay.7c) = anak manusia dalam Daniel 7:13. Walaupun kemudian
gagasan Lohmeyer banyak ditinggalkan para ahli di kemudian hari. Sementara
Fuller sendiri berpendapat, himne ini produk dari para misionaris Kristen Yahudi
yang bekerja di lingkungan dunia kekafiran Yunani. Mereka memakai materi
legenda tentang sofia dan manusia perdana dalam mitologi Yunani.
11 J.D.G. Dunn, op.cit., 135-136. Fuller menilai komposisi syair himne ini
22
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
hemat saya, pandangan Dunn ini dapat menjadi acuan bagi kita
dalam memahami himne ini.
Sekalipun surat Filipi adalah tulisan asli Paulus, namun
khusus menyangkut himne ini, agaknya Paulus mengambil alih
dari himne yang sudah ada. Sebab himne ini lebih menitik
beratkan pada tema inkarnasi dan pengagungan Yesus
sementara fokus kristologi Paulus adalah pada salib dan
kebangkitan Kristus. Lebih dari itu, paham yang bersifat
kosmologis yang terlukis dalam ungkapan: apa yang ada di
langit, di bumi dan di bawah bumi, bukanlah karakteristik
Paulus. Namun Paulus sengaja mengambilnya dalam rangka
memberi kekuatan dan penghiburan kepada jemaat agar
mereka tetap memiliki keyakinan yang teguh kepada Kristus
yang ia beritakan. 12 Persoalan yang patut diketengahkan adalah
apa isi kredo yang tersirat dalam himne ini.
Dapat dikatakan, himne ini merupakan inti kristologi
dalam surat Filipi. Dengan mengambil alih himne ini menjadi
bahan tulisannya, Paulus tidak sekedar mau menasehati
jemaatnya melainkan juga mempertegas bahwa pengakuan
iman yang biasanya jemaat nyanyian dalam ibadah seperti yang
tersirat dalam himne tersebut, itulah yang ia beritakan dan
itulah juga tujuan dari penginjilannya yakni agar setiap orang
dapat meyakini Yesus sebagai Tuhan.
Sekalipun diawali dengan pelukisan yang berciri pra
eksis Yesus yakni Ia yang adalah morphe Theou (rupa Allah)
yang dilanjutkan dengan keterangan tentang kesetaraan dengan
Allah sebagai sesuatu yang harus dikorbankan, namun perlu
mencerminkan 5 tahapan proses inkarnasi hingga ke pengagungan-Nya oleh Bapa
yakni: pertama, gagasan pra ada Yesus yang tersirat dalam ungkapan rupa Allah dan
kesetaraan dengan Allah, kedua inkarnasi-Nya menjadi sama dengan manusia
bahkan menjadi hamba, ketiga kehidupan riilnya sebagai yang berinkarnasi, ke
empat pengagungan-Nya oleh Allah dan kelima, Dia yang dalam kemuliaan
bersama Bap (Lihat, R.H.Fuller, op.cit., 208-214).
12 R.H.Fuller, op.cit., 205.
23
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
ditegaskan kembali titik berat penekanan di sini adalah
perendahan diri Yesus dalam inkarnasi-Nya. Kata kunci yang
menggambarkan perendahan diri itu ialah kenosis
(pengosongan diri).
Mengosongkan diri menjadi sama dengan manusia
merupakan pelukisan yang paling dalam tentang perendahan
diri-Nya. Malahan hal mengosongkan diri digambarkan dalam
tiga tahapan: pertama, dari status sebagai gambar Allah dengan
kesetaraan dengan Allah yang harus dikorbankan, Ia menjadi
sama dengan manusia. Kedua, dengan menjadi sama dengan
manusia, ia bahkan rela menjadi hamba. Perendahan diri
menjadi hamba melukiskan tentang keadaan seseorang yang
sungguh-sungguh tak punya kuasa apa-apa, yang harus takluk
kepada perintah tuannya. Bukan hanya itu saja. Ketiga, dalam
keadaaan sebagai hamba, Ia merendahkan diri sampai mati.13
Pengulangan ungkapan sampai mati (di kayu salib) merupakan
bentuk penegasan tentang kenosis-nya Yesus demi kepentingan
keselamatan.
Ide tentang perendahan diri dalam bentuk pengorbanan
yang luar biasa dari Yesus diseimbangkan dengan ide tentang
pengagungan-Nya melalui ungkapan bahwa oleh kerelaan-Nya
merendahkan diri dan taat sampai mati di kayu salib, maka (ho
Theos auton huperupsosen= super-exalted him) Allah sangat
meninggikan Dia dan memberi-Nya gelar kurios=Tuhan.14
Pengagungan terhadap Yesus oleh Allah diperjelas dengan
takluknya segala yang ada di alam semesta ini (sesuai
kosmologi Yunani di mana alam semesta dipahami dalam tiga
tingkatan yakni dunia sorgawi, dunia riil dan dunia alam
berzah). Yang dimaksudkan agaknya menunjuk pada semua
13 Dunn menyinggung tiga tahap kristologi yakni Ia yang dalam rupa Allah
adalah pra ada bersama Allah, kemudian merendahkan diri menjadi sama dengan
manusia, namun setelah menderita dan mati, ia kemudian ditinggikan lagi dalam
kemuliaan-Nya bersama Bapa. Namun bagi Dunn, penekanan utama di sini terletak
pada perendahan diri-Nya yang luar biasa (lihat, Dunn, op.cit., 135-136).
14 Loc.cit.
24
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
kuasa di semua tingkatan tunduk pada-Nya. Jadi inti kredo
dalam himne ini adalah pengagungan terhadap Yesus yang
merendahkan diri (mengosongkan diri) tetapi kemudian
melalui pengosongan diri sampai pada salib-Nya, Ia sangat
ditinggikan Allah.
b. Kolose 1 : 15 - 20.
Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang
sulung, lebih utama dari segala ciptaan karena di dalam
Dialah telah diciptakan segala sesuatu di sorga dan di bumi,
yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan baik singgasana,
maupun penguasa, segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan
untuk Dia. Dia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan
segala sesuatu ada di dalam Dia dan Ia sendiri adalah kepala
tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit
dari antara orang mati sehingga Ia lebih utama dalam segala
sesuatu karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di
dalam Dia dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala
sesuatu dengan diri-Nya sesudah ia mengadakan pendamaian
oleh darah salib Kristus baik yang ada di bumi maupun yang
ada di sorga.
Sekalipun ada ahli lainnya (seperti Fuller)15 membagi
himne ini dalam tiga bait, namun nampaknya pembagian
seperti di atas lebih logis dan dapat dipertanggung jawabkan.
Agaknya himne inipun diambil alih dan diadaptasi oleh
pengarang surat Kolose dari nyanyian yang sudah populer di
masa itu.16 Kasemann (sebagaimana dikutip Dunn) menduga
bahwa himne ini dipengaruhi atau malahan merupakan himne
tentang manusia perdana yang berfungsi sebagai penebus
15
16
Fuller, op.cit., 214.
de Jonge, op.cit., 126.
25
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
sebagaimana ada dalam legenda dunia Gnostik. Manusia
perdana itu menjadi prototipe umat manusia.17
Dunn sendiri berpendapat bahwa himne ini muncul
dari komunitas Kristen terutama di
kalangan Yahudi
perantauan (atau bahkkan dari kalangan kafir yang dipengaruhi
ide-ide Yudaisme seperti halnya pengaruh spekulasi hikmat)
yang telah terbiasa berpola pikir teologis dalam kerangka
berpikir Helenistis. Hal ini dapat dilihat dari gagasan yang
muncul dalam himne tersebut yang mengidentifikasi Kristus
sebagai perantara penciptaan yang pra ada, dan peran alam
semesta yang ditujukan kepada Yesus yang dimuliakan itu.18
Sebagaimana tertulis di atas, himne ini dibagi dalam
bait. Bait pertama berisikan semacam kredo tentang Kristus
dalam kaitannya dengan penciptaan. Pada bagian ini
ditekankan implikasi kosmik dari karya Kristus. Bagian kedua
berisikan pengakuan atas Kristus dalam peran-Nya sebagai
Kepala Gereja Tuhan.19
Pada bait pertama hal yang perlu mendapat perhatian
adalah ide bahwa Yesus adalah gambar dari Allah (eikon tou
Theou) yang tidak kelihatan dan bahwa Ia adalah yang sulung
dan lebih utama dari segala yang diciptakan. Dua gagasan ini
kelihatannya agaknya berlatar dari spekulasi hikmat yang pra
ada dalam Yudaisme. Hanya saja, dengan mengidentifikasi
Kristus sejajar dengan gagasan spekulasi hikmat yang
dipersonifikasi sebagaimana dalam Amsal 8:22-23, maka
kredo tentang Kristus dalam himne ini mengalami
pendangkalan. Dengan kata lain, pengarang ataupun redaktor
surat Kolose hanya mengambil alih himne ini tanpa banyak
mengadakan adaptasi yang lebih sesuai dengan arus
pemahaman yang kuat di masa itu tentang Kristus yang mati
17
Dunn, op.cit., 136.
loc.cit.
19 de Jonge,op.cit., 126, band. Dunn, loc.cit.
18
26
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
dan bangkit walaupun mungkin lebih kontekstual sesuai
kebutuhan jemaat alamat surat saat itu. Sebab jika mengikuti
alur pikiran yang tersirat di dalamnya, Kristus tidak lebih dari
bagian dari ciptaan Allah, walaupun ia adalah ciptaan yang
sulung dan utama dari semua ciptaan.
Tetapi, kalau kita pahami istilah prototokos tidak dalam
arti sulung (dari semua ciptaan) secara kronologis melainkan
dalam arti terutama maka kita terhindar dari penafsiran yang
mendangkalkan keyakinan tentang Kristus itu. Sebab dengan
memberi arti yang terutama pada prototokos maka itu berarti
kita tidak akan memahami Yesus sebagai bagian dari ciptaan
melainkan yang turut mengambil peran dalam proses
penciptaan itu. Hal itu dipertegas dalam ay. 16 bahwa segala
sesuatu diciptakan melalui dan untuk Dia. Dan karena itu pada
dasarnya seluruh ciptaan dan segala kuasa takluk di bawah
kuasa-Nya.20
Bait kedua dari himne ini lebih menekankan tentang
karya penebusan Kristus bagi gereja. Ada semacam kesejajaran
antara bait pertama dan kedua yakni antara Kristus dengan
karya penciptaan dan Kristus dengan karya penebusan. Jika
dalam bait pertama ditonjolkan peran Kristus sebagai perantara
penciptaan maka dalam bait kedua diketengahkan peran-Nya
sebagai perantara dalam mana karya penebusan Allah
dikerjakan dengan sempurna. Pemakaian kata di dalam Dia,
melalui Dia dan kepada Dia, yang diungkapkan dalam bait
20Pandangan ini antara lain dikembangkan oleh D.Guthrie yang dalam ulasannya
menyangkut himne ini lebih cenderung memberi arti pada istilah prototokos bukan
sebagai yang sulung melainkan yang utama atau terutama. Baginya, dengan
memberi pengertian seperti ini orang akan terhindar dari pemahaman yang keliru
tentang Kristus yang dikemukakan dalam himne ini. Hanya saja, Guthrie masih tetap
meyakini surat Kolose sebagai buah karya Paulus padahal berbagai ungkapan,
gagasan dalam surat Kolose tidak ada tanda-tanda keterkaitannya dengan ide-ide
murni Paulus, termasuk dalam himne ini. (D.Guthrie, Kolose dalam Tafsiran
Alkitab Masa Kini, Vol.III, terj.P.D.Latuihamallo & P.S.Naipospos, (Jakarta: BPKGunung Mulia, 1986), 666.
27
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
pertama dan kemudian diulangi pada beberapa kalimat dalam
bait kedua hal itu memberi penegasan bahwa pokok utama
keyakinan kepada Tuhan haruslah dilihat dalam kerangka
ketaatan kepada Kristus. Tidak perlu ada keraguan apapun
tentang Dia karena seluruh karya penciptaan dan penebusan
Allah terwujud secara sempurna di dalam dan melalui Dia,
Kristus yang adalah Kepala Gereja.21
c. Yohanes 1:1-18.
Bagian ini merupakan prolog injil, namun tidak semuanya
tergolong pada himne. Umumnya para ahli (R.Brown,
J.D.g.Dunn, R.Bultmann, juga N.Perrin dan D Dulling)
menganggap bahwa yang termasuk syair himne adalah ayat 1 5 dan ayat 9-12a,14,16.22 Sisanya merupakan keterangan
tambahan menyangkut Yohanes Pembaptis (ayat 6-8, 15), dan
21 Dalam surat-surat yang diklarifikasi sebagai tulisan asli Paulus belum
dijumpai pemahaman tentang Kristus sebagai Kepala Gereja. Jika dalam Kolose
telah muncul pengertian tersebut (1:18), sebetulnya hal itu merupakan petunjuk
bahwa surat Kolose ini sudah harus digolongkan sebagai surat yang nanti muncul
belakangan. Benar bahwa Paulus sudah berbicara tentang persekutuan jemaat
sebagai tubuh (Roma 47:4; 12:5; 1 Kor.12-12-13) namun istilah itu hanya
merupakan cara yang bersifat metaforis dalam mengungkapkan relasi timbal baik
dan saling bergantung antara setiap anggota persekutuan jemaat. (Lihat; N.Perrin
dan D.Dulling, The New Testament, An Introduction, New York: Harcourt Brace
Jovanovich, Inc. 1982, 211). Kalau dalam Kolose bicara tentang tubuh yakni jemaat
dan Kristus sebagai Kepala, hal itu lebih menjurus kepada pemahaman kesatuan
persekutuan yang mulai menuju kepada pengertian organisatoris dalam mana
Kristus sebagai Kepala Gereja tidak hanya dilihat dalam pengertian keterikatan
persekutuan jemaat dengan Kristus melainkan juga sudah mulai menyiratkan
kesatuan organisatoris dengan pola kepelayanan dan kepemimpinan yang harus
berkaca pada Kristus.
22
Lihat, R.Brown, The Gospel according to St. John I-XII, (New York:
Doubleday & Company,Inc. 1977), 22; band. J.d.G.Dunn, Christology in the
Making, (London:SCM Press, 1985) 239-240; R. Bultmann, The Teology of the New
Testament, Vol.II, trans.,by k.Grobel, (London: SCM Press, 1967), 16; N.Perrin &
D.Duling, The New Testament, An Introduction, (New York: Harcourt Brace
Jovanovich, Inc., 1982), 248-249. Khusus menyangkut ayat 2 dan 10 b, sekalipun
tetap dicantumkannya dalam komposisi himne, namun Dunn agak meragukannya
sebagai bagian dari himne dan ia tetap membuka kemungkinan untuk
menggolongkannya pada keterangan tambahan.
28
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
lanjutan penjelasan untuk ayat 12 dan 16. Pembahasan
selanjutnya tidak lepas dari dasar pemahaman dengan mengacu
pada pandangan para hli tersebut di atas. Namun rekonstruksi
atas himne ini saya lebih cenderung mengikuti apa yang
dikemukakan Dunn 23sebagai berikut:
Pada mulanya adalah Firman dan firman itu
bersama-sama dengan Allah dan firman itu adalah
Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah,
segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak
ada sesuatupun yang telah jadi dari segala yang telah
dijadikan. Di dalam Dia ada hidup dan hidup itu
adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam
kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya
(inilah terang yang sesungguhnya yang menerangi
setiap orang sedang dalam ke dalam dunia) Ia telah
ada di dalam dunia dan dunia telah dijadikan oleh Dia
tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada
milik kepunyaan-Nya tetapi orang-orang kepunyaanNya itu tidak menerima-Nya tetapi semua orang yang
menerima-Nya, kepada mereka ia memberi kuasa untuk
menjadi anak-anak-Nya Dan Firman itu telah menjadi
manusia dan diam di antara kita dan kita telah melihat
kemuliaan-Nya, kemuliaan sebagai Anak Tunggal Bapa
penuh kasih karunia dan kebenaran karena dari
kepenuhannya kita semua telah menerima kasih
karunia demi kasih karunia.
Himne ini umum diakui sebagai nyanyian yang telah
ada sebelumnya. Bultmann sebagaimana disentil oleh Dunn,
menganggap himne ini aslinya adalah dari sumber Gnostik
walaupun ide yang ada di dalamnya tergolong pada tahap yang
lebih awal dari Gnostik. Hal itu jelas dalam hal campur
23
J.D.G.Dunn, Christology in the Making, 240. Bultmann sebagaimana dikutip
dan diikuti Fuller merekonstruksi himne ini menjadi 7 bagian yakni ay. 1-2; 3-4; 5
dan 9; 10-11; 12a; 14; 16.(lihat, R.H.Fuller, op.cit., 224-225.
29
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
baurnya gagasan yang terserap di dalamnya baik pengaruh
konsepsi Stoa tentang logos maupun spekulasi hikmat Yahudi
Helenis. Sedangkan Dunn sendiri berpendapat bahwa himne ini
turut dipengaruhi oleh latar belakang pemikiran Filo tentang
logos dan juga sedikitnya ada pengaruh dari spekulasi hikmat
di dunia Yahudi.24
Memang sulitlah menentukan dengan pasti dari sumber
mana himne ini tersusun. Yang jelas, penginjil Yohanes
memanfaatkan himne ini, yang mungkin saja sudah lama
dikenal di kalangan kekristenan sesudah diadaptasi dari himne
yang ada di kalangan umum masa itu. Penginjil mengambil alih
dan memberi penjelasan tambahan ke dalamnya dan
menjadikannya sebagai prolog injilnya. Persoalan selanjutnya
adalah apa kredo yang termuat dalam himne ini?
Memperhatikan himne ini secara seksama, kita dapati
ada dua hal pokok yang ditekankan di dalamnya yakni
pertama, dalam syair tentang logos = firman kita
diperhadapkan dengan gagasan logos yang pra ada sejak
mulanya dan kedua, menyangkut inkarnasi logos (logos sarx
egeneto).25 Pada bagian pertama logos diidentifikasi sebagai
dia yang telah ada bersama Allah sejak mulanya. Persoalannya
di sini adalah apakah ungkapan en arkhe = pada mulanya itu
menunjuk waktu sehingga dengan sendirinya pemahaman
tentang keberadaan logos sebagai yang en arkhe menunjuk
pada keberadaannya yang pra eksis?
24
J.D.G.Dunn, Christology in the Making, 241-243. C.H.Dodd lebih melihat
gagasan-gagasan yang tertuang dalam himne ini haruslah dicari akarnya dari
gagasan dabar Yhwh dalam PL, pempribadian hikmat dalam sastra hikmat di
samping kemungkinan pengaruh pemikiran Filo tentang Logos, khususnya
menyangkut pengertian logos sebagai yang imanen dalam segala sesuatu.
(C.H.Dodd, The Interpretation of the Fourth Gospel, London: Cambridge
University Press, 1978, 278-280).
25 Ibid, 240.
30
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
Jika hanya melihat sepintas lalu, memang syair tentang
logos ini sangat memberi kesan tentang ke pra ada-an logos itu.
Bahkan lebih dari itu, pengungkapan bahwa ia telah bersamasama dengan Allah sejak mula, malahan logos itu adalah Allah
(kai Theos en ho logos) memberi kesan yang cukup mendalam
bahwa logos itu adalah suatu pribadi yang telah ada sejak
mulanya dan ia sendiri adalah suatu pribadi yang berdiri
sendiri di samping Allah.
Benar bahwa jika memperhatikan bait pertama himne
ini (ay.1-3) kita melihat peran logos itu melampaui ruang dan
waktu. Ada pengakuan bahwa logos itu turut berperan dalam
proses penciptaan alam semesta. Tetapi bila kita
memperhatikan dengan lebih jeli anak kalimat kai Theos en ho
logos= dan firman itu adalah Allah, ada satu hal yang
kelihatan sepele namun punya dampak luas. Tidak adanya kata
sandang ho pada Theos padahal fungsinya sangat menentukan
status logos itu, sebenarnya sudah memberi petunjukjyang
cukup jelas bahwa logos itu tidaklah harus dipahami sebagai
satu entitas tersendiri atau Allah lain (semacam deuteros theos
dalam paham Gnostik) di samping Allah.
Rasanya penulis syair ini bukan karena alpa sehingga
lupa menuliskan kata sandang ho pada Theos. Jika demikian
maka seharusnya kita pahami bahwa maksud yang terkandung
di dalamnya adalah semata-mata pengakuan kepada Allah yang
telah menyatakan kehendak-Nya dalam penciptaan alam
semesta dan diwujudkan sejak mulanya, tatkala belum ada
segala sesuatu. Allah yang sama itulah yang bertindak melalui
firman-Nya. Dengan kata lain, hanya Allah saja yang telah ada
sejak mulanya dan Allah yang sama itulah yang berfirman,
menyatakan kehendak-Nya dan yang mencipta segala sesuatu
oleh firman-Nya.26 Allah sendirilah yang bertindak dalam
semua proses itu.
26Ibid,
21; band. R.Bultmann, The Gospel of John, An Commentary, trans. by
31
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
Memang pengungkapan tentang peran Allah
dibahasakan dengan mempersonifikasi peran logos. Hal
semacam itu lumrah dalam dunia Yudaisme. Sebagai contoh,
dalam dunia Yudaisme baik Torat maupun hikmat
dipersonifikasi bagaikan satu entitas yang telah ada sebelum
ada segala zaman dan yang turut berperan dalam proses
penciptaan (perhatikan model personifikasi hikmat dalam
Amsal 8:22-31). Itu berarti kita patut corak sastera
personifikatif pada himne logos ini.
Menyangkut inkarnasi logos (logos sarx egeneto dalam
ay.14) yang merupakan pokok kedua dalam himne ini, di sini
logos sungguh-sungguh sudah dipribadikan. Rasanya tidak ada
seorangpun yang gagal melihat kaitan inkarnasi logos itu
dengan Yesus Kristus. Sebab pada bagian selanjutnya, lebih
dijelaskan tentang Dia, Kristus yang adalah Anak Tunggal
Bapa yang penuh kasih karunia dan kebenaran. Memang
syairnya masih dengan bahasa yang impersonal tetapi
referensinya sudah sangat jelas menunjuk pada Kristus. Dunn
menggaris bawahi pengungkapan tentang inkarnasi logos
dalam ayat 14 sebagai sesuatu yang mengandung makna yang
sedikit revolusioner dalam mana terjadi transisi dari pemikiran
tentang pra eksistensi Allah kepada inkarnasi, tetapi juga dari
personifikasi logos yang impersonal kepada person yang
aktual.27 Menjadi jelaslah bahwa penambahan penginjil yang
memberi informasi tentang Yohanes Pembaptis dalam ay.6-8
dan 15 di satu pihak, dalam rangka memberi penegasan
tentang status Yohanes Pembaptis yang tidak dapat
dibandingkan dengan Yesus walaupun masih banyak para
pengikut Yohanes yang mengagungkan gurunya setara nabi
bahkan diimpikan sebagai Mesias. Di pihak lain, (sebagaimana
disinggung Dunn) sisipan dalam ayat 6-8 dan juga 15 itu
dimaksudkan dalam rangka memberi penafsiran kuat terhadap
G.R.Bearsley-Murray, (Oxford: Basil Blackwell, 1971), 21f.
27 Ibid, 243.
32
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
ayat 10-12 untuk menunjuk pada logos sarx egeneto dalam
ayat 14 sehingga inkarnasi logos itu menjadi semacam
rangkuman atas semua gagasan yang tersirat di dalam prolog
ini.28
Penegasan itu memberi petunjuk kepada kita bahwa
penginjil rupanya ingin agar jemaat yang menyanyikan himne
ini sungguh-sungguh memahami makna kehadiran Kristus,
yang kerelaannya menjadi manusia adalah dalam rangka
menunaikan amanat ilahi bagi keselamatan dunia ini.
Sebagaimana terang dipertentangkan dengan gelap, maka
firman yang menjadi daging itu merupakan realita ilahi yang
sekaligus menandai penyangkalan manusia (band.3:6). Justeru
dalam diri Firman yang menjadi daging itulah manusia ditebus
dari kedagingannya. Serentak dengan itu, ia dapat memandang
kemuliaan firman yang menjadi daging itu yakni kemuliaan
Allah yang bermanifestasi dalam Kristus bagi mata orangorang percaya. Dengan inkarnasi logos itulah realitas Yesus
dari Nasaret dijelaskan. Realita historis inilah yang sebenarnya
hendak ditekankan oleh penginjil dalam prolog ini.
Dengan itu, pelukiskan tentang Kristus sebagai firman
yang menjadi daging itu sekaligus berisikan kredo tentang
Kristus sebagai Anak Tunggal Bapa (monogenes Theou).
Tetapi monogenes Theou haruslah dilihat sebagai bentuk
pelukisan tentang keunikan relasi antara Sang Anak dengan
Bapa-Nya. Dengan ini hendak ditekankan bahwa relasi Yesus
dengan Allah Bapa tidak hanya terjadi dalam suasana yang
intim tetapi juga dalam ketaatan seutuhnya Sang Anak kepada
Bapa.29
Penutup
28
Ibid, 244.
F.Buchsel, Monogenes dalam: The Theological Dictionary of the New
Testament, Vo.IV, trans. by G.W.Bromiley, (Michigan: WM.B.Eerdmans
Publishing Co.1973), 739-741.
29
33
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
Dari sejumlah himne dalam Perjanjian Baru sebagaimana
telah dicatat di atas dan secara khusus melalui pembahasan
ketiga himne tersebut, maka menjadi jelaslah bahwa
pengungkapan kredo kekristenan mula-mula mengkristal pada
Kristologi. Suatu perenungan mendalam terhadap Kristus yang
mati dan bangkit, yang makna kematian dan kebangkitannya
direfleksikan dalam kehidupan riil umat. Refleksi itulah yang
kemudian dibahasakan dalam bentuk lagu puji-pujian,
pengagungan kepada Tuhan yang telah menyatakan diri dan
kehendak-Nya di dalam Kristus yang tersalib dan bangkit itu.
Pola pengungkapan kredo melalui lagu bukanlah hal baru.
Sebab pola itulah yang juga dilakukan dalam kehidupan umat
Israel sebagaimana disaksikan dalam Perjanjian Lama. Tentu
tidak dengan sendirinya disimpulkan bahwa himne merupakan
satu-satunya sarana pengungkapan kredo jemaat. Namun sudah
menjadi jelas bahwa musik, khususnya nyanyian merupakan
bagian integral dalam kehidupan peribadatan umat. Melalui
nyanyian-nyanyian itulah kredo umat diungkapkan dengan
lebih intens.
DAFTAR PUSTAKA
Abineno, J. L. Ch. Mazmur dan Ibadah. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1987.
Brown, R. The Gospel According to St. John I-XII. New York:
Doubleday & Company, Inc. 1977.
Buchsel, F. Monogenes dalam The Theological Dictionary of
the New Testament. Michigan: WM. B. Eerdmans
Publishing Co., 1973.
Bultmann, R. The Gospel of John, An Commentary. Oxford:
Basil Blackwell, 1971.
Bultmann, R. The Teology of The New Testament, Vol. II.
London: SCM Press, 1967.
34
Educatio Christi Nomor : 22 Tahun XX Februari 2015
Daniels, H. M. What to do with Sunday Morning. Philadelphia:
The Westminster Press, 1979.
de Jonge, M. Christology in Context. Philadelphia: The
Westminster Press, 1988.
Dunn, J. D. G. Christology in the Making. London: SCM Press,
1985.
Encyclopedia Americana, Connecticut: Grolier Inc. 1985.
Fuller, R. H. The Foundations of the New Testament
Christology. London: Lutterworth Press, 1965.
Pandopo, H. A. Menggubah Nyanyian Jemaat. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1994.
Perrin, N. & Duling, D. The New Testament, An introduction.
New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1982.
35
Download