1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A.
Latar Belakang Masalah
Keterlibatan perempuan dalam sejarah perfilman di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari kehadirannya dalam seni pertunjukan yang telah lebih dulu
berkembang. Sebelum pertunjukan film dikenal masyarakat luas di Hindia
Belanda, perempuan telah lebih dulu bersinggungan dalam dunia seni
pertunjukan. Kehadiran mereka nampak dalam perannya sebagai penari dalam
beragam tradisi lokal semacam tayuban1 hingga pemain sandiwara dalam komedie
stamboel maupun toneel melayu yang populer di kalangan masyarakat perkotaan
Hindia Belanda sekitar awal abad XX. Hindia Belanda pada masa itu tengah
memasuki jaman kemajuan dimana beragam kebijakan pemerintahan kolonial
mulai dari penghapusan Tanam Paksa, liberalisasi ekonomi hingga Politik Etis
membawa dampak terhadap perkembangan sarana dan infrastruktur modern yang
memiliki arti penting bagi perkembangan kehidupan masyarakatnya.2
1
Merupakan semacam tradisi di kalangan priyayi yang diadakan setelah
upacara – upacara penting yang berhubungan dengan keraton, dan berlangsung
sesudah pukul satu malam sampai pagi keesokan harinya. Ketika nayub seorang
lelaki biasanya menari dengan ronggeng dan bisa memberi uang dengan cara
menyelipkannya ke dalam kemben si ronggeng. Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan
Kawula: Surakarta 1900-1915 (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 80-81.
2
Pendirian rumah gadai pemerintah, pelayanan kredit rakyat, pelayanan
informasi, peningkatan pertanian, opiumregie (monopoli candu oleh negara),
pelayanan kesehatan, pelayanan pos, telegram, telepon, kereta api, dan pendidikan
bagi kaum pribumi menjadi bagian dari aktivitas pemerintahan kolonial demi
kemajuan negeri jajahan.Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat
di Jawa 1912-1926 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 36.
1
Peningkatan infrastruktur dan beragam layanan yang tersedia di beberapa
kota di Pulau Jawa pada gilirannya menarik gelombang urbanisasi sehingga
menyebabkan perubahan dalam struktur masyarakat Hindia Belanda. Kelas
priyayi baru muncul sebagai kelas menegah yang berperan besar dalam
membentuk masyarakat konsumen dan menyokong perubahan gaya hidup
masyarakat pribumi di berbagai kota besar di Hindia Belanda sejak awal abad
XX.3 Perkembangan kota sebagai titik pertemuan antara masyarakat dari beragam
latar belakang menyediakan ruang bagi terjadinya pembauran beragam
kebudayaan dimana kebudayaan tersebut saling berinteraksi dan beradaptasi
dengan berbagai unsur budaya lokal. Keadaan semacam ini pada gilirannya
memiliki arti penting bagi manusia dalam hubungannya dengan kesenian.4
Munculnya seni pertunjukan komedie stamboel, toneel, hingga sandiwara
modern menjadi salah satu bukti meluasnya kebudayaan mestizo di kalangan
masyarakat perkotaan yang terpengaruh derasnya arus modernisasi yang
menyebar dan menggeser kebudayaan feodal yang berpusat pada keraton secara
perlahan.5 Jenis-jenis pertunjukan tersebut hadir di tengah masyarakat perkotaan
yang membutuhkan hiburan dalam bentuk yang baru karena kultur perkotaan yang
3
Bedjo Riyanto, Iklan, Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa
Masa Kolonial 1870-1915 (Yogyakarta:Tarawang, 2000), hlm. 4.
4
Cepatnya perubahan dan meluasnya kontak dengan kebudayaan barat
membawa pengaruh besar terhadap kebudayaan dan kesenian di Hindia Belanda,
Wertheim bahkan menganggap bahwa keberlangsungan keadaan tersebut memicu
peniruan seenaknya terhadap apa yang dianggap pada masa itu sebagai
kebudayaan barat. Seperti yang dikutip oleh Salim Said dalam Profil Dunia Film
Indonesia (Jakarta: Grafiti Pers, 1991), hlm.14.
5
Lihat W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi
Perubahan Sosial (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1999), hlm. 243.
2
dinamis tidak lagi memungkinkan mereka untuk menikmati pertunjukan seni
tradisional semacam wayang yang diketahui memakan banyak waktu.
Rombongan Miss Riboet’s Orion dan Dardanella merupakan rombongan yang
sempat merajai dunia pementasan sandiwara, meskipun di tengah jalan
kepopulerannya harus bersaing dengan pertunjukan film yang mulai berkembang.
Peningkatan produksi film yang dihasilkan oleh beberapa studio film di Hindia
Belanda disamping distribusi film impor yang masif menjadi salah satu ancaman
bagi kelangsungan hidup seni pertunjukan keliling tersebut.
Bagi para seniman sandiwara, menurunnya pamor sandiwara ketika itu tidak
banyak memberikan pilihan, beberapa diantaranya memilih untuk beralih ke dunia
film yang dirasa lebih menjanjikan. Nama – nama seperti Roekiah, Ratna Asmara,
Soekarsih, Wolly Sutinah, Fifi Young, dan Dewi Mada merupakan cikal bakal
pemain film yang lahir dari dunia panggung sandiwara. Kecenderungan menarik
pemain dari rombongan sandiwara untuk bermain dalam film - film hasil produksi
Hindia Belanda menjadi ciri khas yang menonjol dalam perfilman Hindia Belanda
menjelang akhir tahun 1930-an. Strategi semacam ini terbukti sukses meraih
jumlah penonton yang signifikan namun di satu sisi justru menjadi penyumbang
terbesar bagi kemunduran dunia sandiwara di Hindia Belanda.6
Tidak dapat diungkiri bahwa sejak masa kolonial, film mulai mengambil
perannya dalam proses sosialisasi dan konstruksi stereotipe perempuan yang
seksis. Gambaran mengenai perempuan yang beroperasi di wilayah domestik
6
Andjar Asmara, “Crisis Toneel di Indonesia”, dalam
Doenia Film Tahun I, No.8, 1941, hlm. 35.
Pertjatoeran
3
menjadi stereotipe yang paling sering ditemui dalam layar film. Sosialisasi citra
perempuan yang sepertinya rela menanggung beratnya beban penderitaan akibat
ulah dan perlakuan buruk suaminya dapat dengan mudah ditemui pada periode
tersebut, salah satunya melalui “Eulis Atjih” yang diproduksi tahun 1927 dan
menjadi salah satu dari sekian banyak representasi perempuan ideal pada
masanya. Film yang diangkat dari roman “Tjarios Eulis Atjih” karangan Joehana
atau lebih dikenal dengan Achmad Bassach ini berkisah mengenai penderitaan
dan kesetiaan yang dituntut dari seorang istri terhadap suami yang pernah
meninggalkannya dan gemar hidup berfoya – foya.7 Film tersebut seolah
membuka jalan bagi kecenderungan maraknya film bertema serupa yang
mengisahkan lika – liku kehidupan perempuan sebagai tema cerita yang
menjamur pada masanya. Tidak lama berselang, berturut-turut lahir film serupa
yang mengetengahkan kehidupan perempuan sebagai daya tarik utamanya.8 Alihalih melibatkan perempuan sebagai pemeran utama, namun yang ada justru
menyajikan dan melanggengkan stereotipe domestik perempuan yang diidealkan
sedemikian rupa. Sebagai konsekuensinya, kehadiran perempuan dalam film
7
Film ini masih merupakan film bisu yang diproduksi oleh Java Film
Company dan disutradarai G.Kruegers. Film ini mencetak sukses sehingga film
dengan judul yang sama dibuat kembali di tahun 1954. Disarikan dari J.B.
Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926 – 2007 (Jakarta: Nalar, 2007), hlm.1.
8
Sebut saja Lily Van Java, Njai Dasima I, II,III, Melati Van Agam I, II,
Boenga Roos dari Tjikembang hingga Roekihati. Kesemuanya diproduksi dan
disutradai oleh warga Tionghoa yang sebagian besar menguasai produksi film
jaman kolonial. Dari sekitar 100-an buah film yang diproduksi jaman kolonial,
setidaknya sekitar 20-an buah film cerita (sebagian besar merupakan film hasil
adaptasi dari karya sastra modern, baik pribumi maupun Cina) yang secara
gamblang memasang nama tokoh utama perempuannya sebagai judul filmnya
sepanjang tahun 1926 – 1950. J.B. Kristanto, ibid., hlm. 1 – 13.
4
cenderung dikonstruksikan dalam beragam bentuk pencitraan perempuan yang
tidak seimbang dan terkonstruksi secara sosial budaya.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada representasi perempuan di
dalam layar film, persepsi masyarakat mengenai keterlibatan perempuan dalam
perfilman pada periode awal cenderung disamakan dengan stigma “perempuan
tontonan”. Kebutuhan akan sosok perempuan yang tetap diperlukan sebagaimana
film membutuhkan sosok lelaki dalam penggambaran visual dan narasinya tidak
serta merta membuat posisi perempuan lebih beruntung dibandingkan dengan
rekan laki-lakinya. Perempuan yang terlibat di dalamnya atau katakanlah
menjadikan dirinya sebagai pihak yang sengaja memperbolehkan dirinya ditonton
menurut pandangan masyarakat dianggap bukanlah perempuan baik- baik
sehingga pantas dipandang rendah derajatnya.9 Para perempuan ini harus
membiasakan diri dengan stigma tledek, semacam julukan yang berkonotasi
negatif yang berangkat dari kepopuleran tayuban yang ditujukan bagi perempuan
yang menekuni dunia pertunjukan. Dalam periode selanjutnya, stigma tersebut
terus berkembang seiring dengan kepopuleran pertunjukan sandiwara yang turut
membawa serta stigma anak wayang yang terisolir dalam kehidupan
bermasyarakat. Persepsi sosial masyarakat semacam itu bukannya tidak mungkin
menjauhkan bahkan mempersempit akses perempuan dalam beragam aktifitas
keseniannya.
9
“Wanita dalam Sedjarah Film Indonesia” dalam Aneka edisi 4 tahun ke1, 15 April 1950, hlm. 9.
5
Sementara itu, keterlibatan mereka yang menjanjikan popularitas tentunya
berdampak langsung terhadap peningkatan karir dan ekonomi, sesuatu yang
sangat jarang sekali bisa diperoleh perempuan pada masa tersebut. Mobilitas
vertikal10 dalam struktur masyarakat tak pelak dialami oleh para aktris yang
berkecimpung dalam industri perfilman. Hal tersebut pada gilirannya mampu
membawa mereka memasuki transformasi peran yang belum pernah terjadi pada
masa sebelumnya di sepanjang sejarah perfilman Indonesia. Nama besar dan
pengalaman yang diperoleh bersamaan dengan kemapanan secara finansial
mendorong mereka untuk mengembangkan karir di industri perfilman dengan
beragam cara, salah satunya adalah dengan merambah peran baru sebagai seorang
sutradara bahkan produser film melalui sejumlah perusahaan film yang
didirikannya. Meskipun demikian, mobilitas vertikal yang dirasakan oleh para
perempuan ini tidak serta merta menjauhkannya dari segala macam hambatan
untuk bersaing dengan rekan lelakinya dalam industri perfilman Indonesia periode
awal. Hal tersebut menjadi akibat dari adanya mobilitas sosial yang selain
mengakomodir penyesuaian juga mampu memunculkan konflik.
Konflik yang muncul kemudian tak jarang hadir sebagai bagian dari
persinggungan dengan sistem normatif dan nilai yang berlaku dalam masyarakat
tradisional Indonesia, dimana kultur Jawa menjadi sedemikian dominannya.
Dalam nilai-nilai tradisi Jawa, masyarakatnya akrab mengenal konsep macak
10
Mobilitas vertikal atau social climbing merupakan salah satu unsur dari
gerak atau mobilitas sosial yang berupa perubahan, pergeseran atau peningkatan
status dan peran yang dialami anggota masyarakat yang sebagian besar
dipengaruhi oleh beragam faktor seperti perubahan kondisi sosial dan budaya
masyarakatnya. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali
Press, 2010), hlm. 220.
6
(pandai merias diri), manak (kemampuan menghasilkan keturunan) dan masak (di
dapur) dalam kehidupan para perempuannya. Melalui konstruksi peran ideal
semacam inilah, peran perempuan menjadi tereduksi sebatas area domestik yang
kemudian mempengaruhi kedudukan, peran, serta tingkah laku para perempuan,
sehingga berpeluang menciptakan pembagian kerja secara seksual dengan
membedakan pekerjaan - pekerjaan mana yang dianggap pantas dan tidak pantas
bagi perempuan yang hidup dalam budaya tersebut. Dengan demikian, kehadiran
perempuan dalam dunia perfilman terkesan problematis karena memiliki dualitas
posisi yang tak terelakkan dan bahkan seringkali dianggap kontroversial.
Sejak periode kolonial perempuan menjadi dominan kehadirannya dalam
industri perfilman sebagai tontonan karena mereka secara praktis hanya dilibatkan
sebagai pihak yang ditonton dan belum menjadi pihak yang memiliki andil dalam
proses produksi sebuah film. Oleh sebab itulah ketenaran bintang film perempuan
menjadi teramat dominan dan populer di kalangan masyarakat bahkan hingga saat
ini, meskipun sebagian besar peran yang dimainkannya di dalam layar justru
melanggengkan dan memperkuat peran gender perempuan. Kehadiran perempuan
yang lebih dinilai dari penampilan fisik dibanding kemampuannya dalam
berakting oleh masyarakat tak jarang menjadikannya sosok kontroversial dalam
dunia perfilman di Indonesia.
“Saya tidak akan memerosotkan kesenian, melainkan hendak
melenyapkan pandangan – pandangan kolot yang masih terdapat
dalam kesenian Indonesia.”11
11
“Peristiwa Nurnaningsih”, dalam Kentjana
Oktober 1954, hlm.24.
No.6. Thn.II, edisi 30
7
Demikian pernyataan Nurnaningsih dalam menanggapi berita mengenai peredaran
foto vulgar dirinya yang menjadi ladang pemberitaan di berbagai media cetak
Indonesia. Pernyataan tersebut dengan segera memancing reaksi masyarakat dan
menjadikannya aktris yang kontroversial sekaligus populer di sekitar tahun 1950an. Menurut masyarakat, perilakunya dianggap mencederai norma adat ketimuran
yang selama ini diagungkan dan berdampak secara langsung terhadap penurunan
karir keartisannya.
Pasca kemerdekaan ketika Indonesia sebagai sebuah negara baru terbentuk,
semangat nasionalisme yang menggebu – gebu hadir dari sebagian besar
masyarakatnya. Kita perlu mengingat bagaimana keoptimisan dari kalangan
seniman untuk menjadikan perfilman nasional jauh lebih menampakkan “wajah
Indonesia-nya” sekaligus menjadikannya tuan rumah di negerinya sendiri
bukanlah suatu perkara yang mudah. Kutipan diatas seakan menjadi pengingat
bahwa dalam perjalanan film Indonesia ketika tujuan mempertahankan semangat
nasionalisme dengan menjunjung tinggi nilai – nilai ketimuran harus berbenturan
dengan pengaruh kapitalisme dan modernisme yang menjangkiti masyarakat.
Dengan demikian perempuan berada dalam posisi tarik menarik di antara beragam
kepentingan yang menyebabkan posisinya menjadi subordinat dalam struktur
perfilman tanah air.
“Jarang ada kritikus yang mau mendiskusikan soal itu, wajah
wanita tidak pernah jadi masalah penting dalam perfilman kita”.12
12
Seperti yang ditulis Krishna Sen ketika mewawancarai Misbach Yusa
Biran sekitar tahun 1981 dalam “Wajah Wanita dalam Film Indonesia: Beberapa
Catatan”, Prisma edisi 7 (Jakarta: LP3ES, Juli 1981), hlm. 32.
8
Kutipan pernyataan Misbach Yusa Biran tersebut seakan menegaskan
betapa perempuan menjadi subordinat dalam dunia perfilman tanah air yang
maskulin. Perfilman seolah-olah hanya dibangun oleh tokoh laki-laki saja tanpa
sedikitpun mempertimbangkan peran perempuan yang terlibat di dalamnya. Hal
yang sama juga kembali dirasakan oleh Sen ketika ia merasa kesulitan
menemukan rujukan tulisan yang berbicara mengenai hubungan perempuan
dengan film Indonesia. Menurutnya hal tersebut sangat ironis mengingat dari
sedemikian banyaknya jumlah tulisan mengenai film yang ada dan tersimpan di
Sinematek dalam kurun waktu tersebut, tidak satupun ditemukan pembahasan
mengenai perempuan dalam perfilman Indonesia.13
Terkait absennya perempuan dalam sejarah perfilman bukan semata-mata
berbicara mengenai penting atau tidaknya mereka untuk dibicarakan melainkan
lebih mencerminkan bagaimana sudut pandang patriarkis menjadi sangat dominan
dalam sebagian besar aspek kehidupan masyarakatnya. Sudut pandang ini tidak
mengakomodasikan kesetaraan bahkan cenderung berpretensi menomorduakan
perempuan dalam segala macam bentuk relasi gender sehingga perempuan
menjadi terlupakan untuk diperhitungkan seberapapun besaran kontribusinya.
B.
Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini akan berbicara
mengenai transformasi peran perempuan dalam sejarah perfilman Indonesia 1926-
13
Ibid.
9
1971. Pertanyaan – pertanyaan pokok yang hendak dijawab dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah posisi dan peran perempuan dalam industri perfilman
Indonesia sejak 1926 - 1971?
2.
Mengapa terjadi pergeseran peran perempuan dan bagaimanakah
bentuk – bentuk pergeseran tersebut?
3.
Bagaimana respon masyarakat terkait penampilan dan perilaku
perempuan dalam perfilman sepanjang periode tersebut?
Film dan pertunjukannya hadir di hadapan publik Hindia Belanda sebagai
bagian dari perubahan sosial budaya yang mewarnai Hindia Belanda sejak awal
abad XX. Perubahan sosial budaya yang terjadi pada masa tersebut tidak hanya
terbatas pada perubahan tata ruang dan infrastruktur di perkotaan Hindia Belanda
saja, namun lebih mengarah pada bagaimana budaya modern itu diterapkan mulai
dari liberalisasi ekonomi, restrukturisasi birokrasi kolonial, pendidikan, gaya
hidup, hingga perkembangan teknologi dan media massa yang tergolong pesat
pada jamannya.
Fokus dalam penelitian ini adalah perempuan dalam sejarah perfilman
Indonesia. Selama ini, perbincangan mengenai hubungan perempuan dengan
perfilman dapat dikaji melalui dua jenis kajian, pertama adalah kajian yang
membicarakan hubungan perempuan terkait representasi peran yang dihasilkan
melalui sejumlah film yang beredar. Kajian semacam ini lebih mengarah pada
persoalan representasi perempuan sebagai bagian dari konstruksi gender yang
seringkali merugikan perempuan dalam penggambarannya di film. Sementara itu,
10
yang kedua adalah perbincangan mengenai posisi dan peran perempuan secara
historis dalam industri perfilman yang mampu mengungkap beragam bentuk
transformasi peran ke arah yang belum pernah terjadi pada periode sebelumnya di
Indonesia. Untuk itulah dalam penelitian ini, penulis tidak berpretensi
mengungkap bagaimana perempuan direpsentasikan melalui film – film Indonesia
yang beredar sekitar tahun 1926-1971.
Berkenaan dengan fokus penelitian tersebut, maka lingkup temporal akan
dimulai sekitar tahun 1926 dan dibatasi sekitar tahun 1971. Tahun 1926 dipilih
berdasarkan alasan belum adanya kajian yang secara spesifik dan komprehensif
mendeskripsikan peranan perempuan secara historis dalam perfilman sepanjang
periode tersebut. Tahun 1926 juga dipilih berdasarkan fakta historis yang
mengungkapkan bahwa sejak tahun tersebut telah berlangsung proses produksi
sebuah film lokal di Hindia Belanda melalui kegiatan produksi film berjudul
“Loetoeng Kasaroeng”(1926) yang dengan segera diikuti oleh produksi sejumlah
film lainnya. Dalam proses produksi tersebut ditemukan pula fakta bahwa
perempuan sudah ikut dilibatkan sebagai pemain dalam layar lebar, maka
berdasarkan tahun inilah diharapkan rekam jejak keterlibatan perempuan
sekiranya mulai dapat ditelusuri.
Kajian ini selanjutnya akan diakhiri pada masa awal era Orde Baru yaitu
sekitar tahun 1971 dikarenakan pembahasan mengenai perempuan dalam film
Indonesia sejak tahun itu sudah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu
sebagai akibat dari kesadaran mengenai gender dalam film yang bergulir secara
sporadis di berbagai media cetak saat itu. Selain itu, secara statistik terdapat
11
penurunan jumlah perempuan sutradara yang berperan di balik layar dibandingkan
pada periode sebelumnya. Jika pada periode pasca kemerdekaan diketahui
terdapat tiga orang sebagai pionir sutradara perempuan di Indonesia; Ratna
Asmara, Chitra Dewi, dan Sofia W.D, namun sejak tahun 1971 diketahui hanya
dua perempuan sutradara yang mampu berkiprah di industri perfilman nasional
hingga akhir periode 1970-an, yaitu Sofia W.D dan Ida Farida.14 Oleh sebab itu
ada baiknya penulis membatasi kajian ini sampai pada tahun tersebut.
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan transformasi peran yang berhasil
dijalani perempuan dalam sejarah perfilman Indonesia sepanjang periode 19261971. Dengan begitu, penelitian ini diharapkan mampu menampilkan perempuan
sebagai bagian dari industri perfilman Indonesia yang ikut ambil bagian dalam
perkembangan perfilman nasional. Secara praktis penelitian ini juga diharapkan
memiliki kontribusi dalam penulisan sejarah perfilman Indonesia.
D.
Tinjauan Pustaka
Dalam ranah akademis terdapat beberapa karya yang berkaitan dengan tema
perfilman Indonesia. Penelitian mengenai perfilman Indonesia yang telah
dilakukan oleh para peneliti terdahulu pada umumnya memiliki kecenderungan
beberapa tema kajian. Tema kajian pertama adalah yang kajian yang berorientasi
pada pendekatan sosio-historis melalui pembahasan mengenai dinamika perfilman
14
Disarikan dari Sinematek, Apa Siapa Orang Film 1926-1978
(Jakarta:Yayasan Artis Film dan Sinematek Indonesia, 1979).
12
nasional dari waktu ke waktu, ini adalah kajian yang paling sering dijumpai di
Indonesia. Karya Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia yang terbit
sekitar tahun 1991,15 merupakan kajian sejarah perfilman Indonesia yang
mendeskripsikan perkembangan film Indonesia sejak masa kolonial, rezim
Soekarno, dan Soeharto dengan penekanan pada kekuatan militer Indonesia
sekaligus menguji keterkaitannya dengan beragam faktor sosial, politik, kultural,
dan ekonomi dalam membentuk wajah perfilman Nasional. Selain itu, sudut
pandang kapitalis yang melingkupi perfilman Indonesia terlihat dalam karya
Riyadi Gunawan. Ia mencoba mengurai kondisi perfilman Indonesia pada masa
awal melalui sudut pandang tersebut. Menurutnya, kehadiran film di Indonesia
sudah sejak awal dilihat sebagai barang dagangan sehingga penilaiannya
berdasarkan laba - rugi semata. Beragam pertentangan abadi antara komersialisme
dan idealisme yang melingkupi pembuatan film dijabarkan disini. Sebagai sebuah
karya sejarah, kajian ini sebenarnya lebih banyak berbicara mengenai pergeseran
orientasi pemilik modal dan pemilik bioskop yang cenderung ke arah dagang, dan
itulah sebabnya mengapa mutu film saat itu bisa dikatakan jauh dari kata
memadai.16 Kepentingan komersial semacam ini nampak sejalan dengan apa yang
disampikan oleh Andjar Asmara, seniman yang besar dalam industri film tanah air
sebelum dan sesudah kemerdekaan.17 Karya Said yang merupakan hasil analisis
15
Salim Said bahkan berani mengatakan bahwa politik adalah panglima
film di Indonesia saat itu. Salim Said. op.cit.
16
Riyadi Gunawan, “Sejarah Perfilman Indonesia”, dalam Majalah Prisma
Tahun XIX , (Jakarta: LP3ES, 1990).
17
Salim Said, op cit, hlm. 35.
13
sosio-historis terhadap industri perfilman Indonesia juga sudah dipaparkan dengan
apik oleh beberapa nama seperti Misbach Yusa Biran18 dan Taufik Abdullah.19
Fokus terhadap aspek historis perfilman sebagai sebuah industri menjadikan
beberapa kajian tersebut kurang mengangkat persoalan perempuan sebagai salah
satu aspek yang ikut membentuk wajah industri perfilman tanah air.
Yang kedua; kajian yang lebih mengarah pada pengaruh kuasa seperti
negara terhadap film hingga analisis budaya dan representasi perempuan yang
dihasilkan melalui film sejak periode Orde Baru hingga periode reformasi.
Indonesian Cinema: National Culture on Screen karya Karl G. Heider, berbicara
mengenai perfilman Indonesia dengan melakukan pendekatan antropologis ke
berbagai persoalan perfilman tanah air dan bagaimana persoalan budaya
direfleksikan dalam film-film Indonesia Orde Baru. Karl G. Heider melihat bahwa
di Indonesia, film berperan besar dalam proses “imagining or constructing of an
Indonesian culture”. Penelitian yang berangkat dari ketertarikan Heider terhadap
film Indonesia dengan menganalisis beragam genre film untuk kemudian
membandingkannya dengan film Amerika dan Eropa dalam konteks global.
18
Misbach Yusa Biran dikenal luas sebagai sutradara sekaligus bapak
sejarah dan arsiparis film Indonesia karena beliau bukan saja menjadi saksi hidup
tumbuh dan berkembangnya perfilman nasional. Suami dari aktris Nanny Wijaya
ini juga turut berperan besar memprakarsai sekaligus memimpin Lembaga Pusat
Perfilman Haji Usmar Ismail (Sinematek Indonesia) periode 1975-2001 yang
secara independen bercita-cita mendokumentasikan film nasional. Beliau tutup
usia di umur 78 tahun, akibat sakit yang dideritanya sejak lama pada 11 April
2012. Misbach Jusa Biran, Sejarah Film 1900 – 1950 (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2009).
19
Taufik Abdullah, dkk. Film Indonesia Bagian I (1900 – 1950) (Jakarta:
Dewan Film Nasional, 1993).
14
Heider hanya selintas menengok persoalan representasi perempuan melalui satu
bab yang diberi judul “Feminism in a Male World: Contradictory Messages”
dimana menurutnya sebagian besar perempuan dalam film digambarkan sebagai
kaum yang bergantung kepada lelaki dan akan jadi hal yang mengejutkan jika itu
tidak terjadi di Indonesia.20 Melalui pernyataan ini, Heider mengamini bahwa
dominasi patriarkis yang diusung oleh kebudayaan Jawa sentris dalam masyarakat
Indonesia menjadi sedemikian kuat mengakar secara kultural dan berdampak pada
wajah perempuan dalam film yang sangat sulit berubah sehingga menjadi hal
yang lumrah dan sesuatu yang tidak mengejutkan jika direpresentasikan sebagai
kaum yang dipaksa kalah. Heider menilai kecenderungan film di Indonesia pasca
Orde Baru dalam menggambarkan setinggi apapun perempuan berkarir, maka ia
harus dikembalikan ke dalam ranah keluarga adalah sesuai dengan ideologi
gender yang diinginkan negara, mereka seolah dipaksa untuk kembali ke ranah
domestik keluarga di akhir cerita. Representasi tersebut secara kultural ingin
menegaskan bahwa perempuan dalam film Indonesia Orde Baru adalah
perempuan yang pasif dan menjadi kelompok terpinggirkan serta tidak berperan
penting dalam film karena hanya dijadikan pemanis bagi dunia perfilman yang
diciptakan lelaki.
Penelitian yang menfokuskan diri pada perempuan dalam film Indonesia
Orde Baru juga terlihat melalui kajian karya Sita Aripurnami. Melalui kajian ini
diuraikan bagaimana film pada akhir tahun 1980-an menggambarkan perempuan
20
Karl. G. Heider, Indonesian Cinema: National Culture on Screen
(Honolulu: University of Hawaii Press, 1991).
15
melalui enam buah film unggulan Piala Citra tahun 1988 dan 1989.21 Sita
Aripurnami mendiskusikan ragam dikotomi gender yang direpresentasikan dalam
film –film tersebut. Hasilnya adalah perempuan direpresentasikan secara
dikotomis antara perempuan baik dan jahat, perempuan yang tau aturan dan
menyimpang, hingga perempuan amoral yang perlu dihukum di akhir cerita.
Aripurnami juga menelusuri peran perempuan dalam film masa awal, dimana
sebagian besar perempuan sebagai aktris ditempatkan hanya sebagai figuran. Jika
pun mereka mendapatkan peran sebagai bintang utama, itu pasti berkaitan dengan
peran domestiknya yang sebatas rumah.
Melalui perspektif kajian komunikasi massa dan ekonomi politik, Krishna
Sen mengungkapkan dinamika dan perentangan kepentingan ideologis dalam
industri film Indonesia. Persoalan kekuasaan yang melingkupi sinema Indonesia
dikaji lebih lanjut untuk menafsirkan arah feminisme dalam film pada masa Orde
Baru. Sen melihat sinema Indonesia dari konteks sosial politik kemudian
membaginya ke dalam tiga periode dan berhenti di tahun 1994, ia kemudian
menganalisis pergeseran representasi perempuan tahun 1980-an dan konotasi yang
muncul dari representasi itu.22 Pembahasan secara kritis terhadap representasi
perempuan dalam beberapa film Orde Baru sekaligus mendeskripsikan stereotipe
21
Sita Aripurnami, “Perempuan Pada Film”, dalam Prisma Tahun XIX,
(Jakarta: LP3ES, 1990).
22
Krishna Sen, Kuasa dalam Sinema: Negara dan Masyarakat (Penerbit
Ombak: Yogyakarta, 2009).
16
peran gender yang ada dalam film Indonesia menjadikan kajian ini memiliki
kontribusi tersendiri dalam kajian gender dengan film sebagai objek materialnya.
Beragam
kajian
tersebut
tentu
dapat
membantu
mendeskripsikan
perkembangan film sebagai sebuah industri berkembang di Indonesia, meskipun
demikian kajian yang disumbangkan oleh para pemikir di atas masih bersifat
general jika dikaitkan dengan posisi dan peranan perempuan dalam perfilman
Indonesia sejak periode kolonial hingga awal 1971 yang tidak bisa digeneralisir
begitu saja sebagai suatu entitas yang sama dari satu periode ke periode lainnya.
Kajian yang banyak ditemui jika berbicara mengenai perempuan dalam film
hampir selalu diarahkan ke dalam bentuk kajian representasi perempuan dalam
film periode Orde Baru dan sesudahnya, mengingat persoalan representasi
perempuan memang menjadi bidang kajian dan pemikiran cultural studies yang
cukup populer dan sedang berkembang di Indonesia. Berdasarkan pemikiran itu,
maka disimpulkan bahwa sepengetahuan penulis belum dijumpai studi sejarah
yang berusaha mendeskripsikan peran perempuan dalam sejarah perfilman
Indonesia sejak periode kolonial hingga pasca kemerdekaan.
E.
Kerangka Konseptual
Kuntowijoyo melihat tema mengenai peran perempuan dalam berbagai
sektor sosial ekonomi bisa ditemukan dalam berbagai bentuk ragamnya masingmasing yang berupaya menyuarakan perempuan sebagai pihak subordinat yang
jarang nampak dalam penulisan sejarah androsentris. Penulisan mengenai peranan
perempuan dalam berbagai sektor tersebut diharapkan dapat digunakan untuk
17
memperjelas peranan perempuan dalam bidang sosial, kultural hingga ekonomi
yang selama ini masih minim dilakukan oleh sejarawan.23 Atas dasar inilah maka
perlu dipahami konsep mengenai peran dan gender dalam penulisan sejarah ini.
Dalam industri media, persoalan yang kerap kali muncul dalam
perbincangan
mengenai
peran
perempuan
adalah
adanya
indikasi
ketidakmampuan perempuan untuk berperan secara dominan di bidang produksi.
Mengenai persoalan tersebut, Erica Carter menyatakan bahwa perempuan menjadi
marjinal dan subordinat dalam bidang “budaya kerja maskulin”, karena mereka
telah dibentuk oleh ideologi masyarakat patriarki untuk menjadi dominan di
bidang subordinat yaitu sebagai objek tontonan atau konsumsi, disinilah pria
identik dengan produktivitas di bidang produksi, sedangkan perempuan menjadi
identik dengan konsumsi, sehingga tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan dari
kondisi tersebut karena sudah dianggap lumrah.24
Marginalisasi perempuan dalam bidang produksi dan dominasi mereka
sebagai objek tontonan inilah yang sering menjadi ideologi utama bagi media –
media dimanapun, termasuk film di Indonesia. Dengan kata lain, alih-alih
melibatkan perempuan dalam film, ketimpangan ideologis antara lelaki dan
perempuan dalam praktik sosiokultural masyarakat akan dikesankan hilang karena
23
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah: Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003), hlm. 120.
24
Seperti yang dikutip oleh Yasraf Amir Piliang, “Masih Adakah Aura
Wanita di Balik Euphoria Media” dalam Idi Subandy Ibrahim (ed.), Wanita dan
Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. xiii.
18
mereka dianggap sudah ikut ambil bagian di dalamnya.25 Padahal, minimnya
keterlibatan perempuan dalam sejarah perfilman tanah air sejak periode awal
berhasil membangun persepsi bahwa dunia film adalah dunia maskulin yang
hanya dibangun oleh laki-laki, maka ketika perempuan terjun ke dalamnya,
perannya menjadi tidak nampak, bahkan ada kecenderungan dari mereka untuk
ikut mengadopsi cara pandang yang sama dengan secara sadar maupun tidak
menyetujui sistem nilai yang dianut. Inilah yang kemudian menjadikan persoalan
perempuan dan gambarannya dalam film menjadi menarik untuk dipertanyakan.
Peran (role) adalah konsep yang dinamis dan selalu berkaitan dengan
kedudukan atau status.26 Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran. Kedudukan dan
peran tidak dapat dipisahkan, karena saling tergantung antara yang satu dengan
yang lainnya. Dengan kata lain, tak ada peran tanpa kedudukan atau kedudukan
tanpa peran. Hal itu sekaligus berarti bahwa kedudukan membawa serta peran peran tertentu sekaligus menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta
kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.27 Dalam
konteks ini yang akan dibicarakan adalah peran yang dijalankan oleh perempuan
dalam industri perfilman Indonesia. Kedudukan atau posisi perempuan dalam
25
Ikwan Setiawan, Perempuan dalam Layar Bergerak: Representasi
Perempuan dan Pertarungan Ideologis dalam Film Indonesia Era 2000-an
(Analisis Semiotika Mitos Barthesian dan Wacana Foucouldian), Tesis tidak
diterbitkan (Yogyakarta: S2 Kajian Media Budaya UGM, 2008), hlm.61.
26
27
Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 217.
Ibid., hlm. 213.
19
perfilman Indonesia tentu saja membawa serta peran di dalamnya, namun
kedudukan perempuan dalam film yang seringkali dilihat secara hierarkis dimana
laki-laki berada pada kedudukan dominan sedangkan perempuan subordinat
menjadikan perannya dalam dunia perfilman tidak dianggap penting. Simone de
Beauvoir mengungkapkan bahwa realitas sosial yang menempatkan perempuan
sebagai the second human being yang ditempatkan di bawah superioritas laki-laki
telah berdampak luas dalam kehidupan bermasyarakat.28 Dalam dunia perfilman
hal ini juga terasa, absennya perempuan dalam perfilman tanah air semakin
dipertegas dengan minimnya keterlibatan perempuan dan rendahnya pengakuan
terhadap perempuan dalam industri film.
Sita Aripurnami dalam penelitiannya mengenai gambaran perempuan dalam
film pasca Orde Baru menemukan bahwa ada kecenderungan beberapa perempuan
yang menekuni bidang produksi di balik layar setelah tahun 1965 harus
mengadopsi cara pandang yang sama dengan standar laki-laki sehingga
representasi perempuan yang dihasilkannya pun sejalan dengan ideologi patriarkis
agar karyanya dapat sukses dan diterima di kalangan perfilman dan masyarakat.29
Tidak hanya ini, beberapa peneliti sinema Indonesia bahkan menyetujui bahwa
28
Anggapan bahwa perempuan sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan
untuk kepentingan laki-laki berakibat perempuan hanya boleh ditempatkan di
ranah domestik saja, sedangkan laki-laki berada di ranah publik. Simone de
Beauvoir, The Second Sex: Kehidupan Perempuan, Indonesia. Terj. Toni B.
Febriantono, dkk. (Jakarta: Pustaka Prometea, 2003), hlm. 14.
29
Sita Aripurnami, “Cengeng, Cerewet, Judes, Kurang Akal, dan BukaBukaan: Gambaran Perempuan dalam Film Indonesia” dalam Idi Subandi
Ibrahim,ed., Wanita dan Media Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik
Orde Baru, op.cit., hlm. 296.
20
dominasi patriarki menjadi sangat kental meliputi kultur film yang ada di
Indonesia, dan sulit untuk berubah.30 Sudut pandang laki-laki dalam film dapat
ditelusuri melalui dominannya peran laki-laki sebagai penentu kebijakan sehingga
melalui film, mereka dapat membentuk kembali peran – peran gender tertentu
terhadap perempuan yang sesuai dengan harapannya.
Untuk itulah diperlukan kesadaran dalam menelaah keterkaitan antara
perempuan dan sinema melalui pendekatan gender. Pendekatan ini digunakan
untuk mencoba melihat perempuan sebagai aspek dalam arus utama sejarah
sehingga tidak mengisolasinya sebagai suatu sejarah yang androsentris. Dengan
demikian akan ditemukan beragam akses yang dimiliki perempuan dalam sejarah
perfilman
berupa
tingkat
partisipasi
atau
kontribusi
perempuan
yang
menghasilkan beragam peranan di dalamnya. Berbicara tentang gender berarti
berbicara tentang relasi yang terjalin antara laki-laki dan perempuan, untuk itulah
diperlukan pemahaman yang mendasar mengenai perbedaan antara konsep seks
atau jenis kelamin dengan gender yang seringkali mengalami pengaburan makna.
Ann Oakley memandang bahwa perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciriciri biologis, terutama yang menyangkut prokreasi (hamil, melahirkan dan
menyusui), sedangkan perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial
30
Seperti yang diungkapkan oleh Krishna Sen dalam Indonesian Cinema:
Framing the New Order (London: Zed Books, 1994). Karl G.Heider, Indonesian
Cinema: National Culture On Screen, op.cit. Intan Paramaditha, “Pasir Berbisik
and
New
Women’s
Aesthetics
in
Indonesian
Cinema”
http://www.ejumpcut.org/archive/jc49.2007/PasirBerbisik/index.html,
diakses
sekitar April 2011. Sita Aripurnami “Penampilan Perempuan dalam Gambar
Hidup: Cermin Dominasi Cara Pandang Patriarki” dalam Idi Subandi Ibrahim,ed.,
Wanita dan Media Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru,
op.cit., hlm.223.
21
yang berpangkal kepada perbedaan seks, tetapi tidak selalu identik dengannya.31
Dengan begitu, gender merupakan kategorisasi yang memisahkan laki-laki dan
perempuan atas dasar asumsi - asumsi perilaku, nilai, sikap, dan kepercayaan yang
seringkali maknanya dikontraskan dengan seks yang lebih mengacu pada
perbedaan secara biologis.32 Dewasa ini muncul semacam doktrin bahwa apa yang
sesungguhnya merupakan gender justru dianggap sebagai kodrat sehingga dalam
penerapannya tidak boleh dipertukarkan. Ini kemudian akan berpengaruh terhadap
peranan dan pekerjaan mana saja yang dianggap pantas atau tidak pantas
dimainkan baik oleh lelaki maupun perempuan sebagai anggota masyarakat.
F.
Sumber Penulisan dan Metode Penelitian
Salah satu dari tujuan ilmu sejarah adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu
mengenai fenomena yang terjadi di masa lalu, tentang bagaimana deskripsi
peristiwa, penyebab peristiwa itu terjadi, serta perkiraan implikasi atau dampak
peristiwa tersebut terhadap bidang kehidupan.33 Tujuan studi ini adalah untuk
mencapai penulisan sejarah, maka upaya merekonstruksi masa lampau dari obyek
31
Ann Oakley, seorang ahli sosiologi dari Inggris merupakan orang yang
pertama kali melakukan pembedaan istilah gender dan seks. Lebih jauh periksa
Ratna Saptari, Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial sebuah
pengantar studi Perempuan, (Jakarta: Kalyanamitra, 1997), hlm. 89.
32
Konsep gender itu sendiri dimaksudkan untuk melihat perbedaan yang
tidak alami atau perbedaan yang dibentuk secara sosial budaya dan bukan lagi
terletak pada perbedaan secara biologis yang sifatnya dapat dipertukarkan dan
berubah – ubah dari waktu ke waktu. Mansour Fakih, Analisis Gender dan
Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.7-8.
33
Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah,
Sejarah Filsafat dan IPTEK (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), hlm. 5.
22
yang diteliti itu ditempuh melalui metode penelitian sejarah.34 Adapun penelitian
ini berupa studi historis atas kontribusi perempuan dalam sejarah perfilman
Indonesia. Dengan demikian, kajian ini merupakan hasil penelitian dokumentatif
atas peran perempuan dalam perfilman Indonesia.
Langkah pertama dalam proses penelitian sejarah adalah mencari fakta
dibalik sumber data yang ada. Sumber tertulis didapatkan penulis dari sejumlah
arsip, majalah, surat kabar, buku-buku teks, tesis, dan jurnal ilmiah. Pada proses
ini penulis melakukan pencarian terhadap sumber – sumber sejarah yang berkaitan
langsung maupun tidak langsung dengan perempuan dalam perfilman indonesia
periode pasca kemerdekaan. Penulis memusatkan kegiatan pencarian sumber di
beberapa tempat yang memungkinkan dimana sumber data yang akan dipakai itu
disimpan. Penelusuran sumber arsip kolonial yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintahan kolonial terhadap perfilman dapat ditelusuri di Lembaga Arsip
Nasional Republik Indonesia. Sumber data yang penulis temukan hanya berupa
kumpulan kebijakan pemerintah dalam bidang perfilman atau Staatblads yang
berisi keputusan – keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda berhubungan dengan segala bentuk kebijakan yang berkenaan dengan
kegiatan penyensoran dan kebijakan pemerintah lainnya dalam hal mengatur
peredaran film dan tujuan pembuatan film di jaman itu. Sumber tersebut dianggap
penting karena penulis mengganggap kebijakan pemerintah Indonesia dalam
34
Secara garis besar, penelitian ini melalui tiga tahapan di mana sumber
data yang akan digunakan akan berupa sumber tertulis dan tidak tertulis,
kemudian bagaimana sumber tersebut didapat, dan apa yang akan dilakukan
terhadap data tersebut untuk mendapatkan fakta. Dudung Abdurrachaman, Metode
Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 91.
23
bidang perfilman hingga masa Orde Baru sebagian besar masih mengadaptasi
kebijakan jaman pemerintah kolonial tersebut, termasuk dalam hal sensor.
Pencarian sumber tertulis juga dilakukan di Perpustakaan Nasional untuk mencari
dan menemukan artikel – artikel, majalah, dan surat kabar pada periode yang
berkaitan dengan tema penelitian. Banyaknya surat kabar dan majalah film yang
membahas resensi film dan para pekerjanya termasuk para artis sekitar periode
1950 hingga 1970-an, dipakai untuk melihat kondisi atau situasi yang belum
tercatat dalam dokumen pemerintah. Beberapa majalah film tahun kolonial juga
ditemukan disini meliputi Doenia Film, Pertjatoeran Doenia dan Film, Filmland,
Panorama, surat kabar Bintang Betawi, Pewarta Soerabaia, Nieuw Weekblad,
dan Preanger Post dan Pembangoenan. Beberapa surat kabar sejaman juga
ditemukan seperti Aneka, Varia, Bintang Timur, Suara Merdeka, dan sebagainya.
Studi pustaka juga dilakukan di beberapa perpustakaan. Pelacakan sumber tertulis
dilingkup Kota Yogyakarta ditelusuri melalui perpustakaan Fakultas Ilmu
Budaya, Perpustakaan Kolese Ignatius, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan
FISIPOL – UGM, Perpustakaan Kota Yogyakarta dan Perpustakaan Kunci
Cultural Studies Yogyakarta.
Selain penelusuran pustaka, penulis juga memakai metode sejarah lisan,
yaitu berupa wawancara dengan sejumlah orang, terutama perempuan yang
berkaitan secara langsung dan terlibat sekitar periode tersebut , walaupun banyak
dari mereka yang terlibat secara langsung dalam periode awal 50-an sudah sulit
ditemui hingga tidak memungkinkan untuk dilakukan wawancara. Wawancara
didasarkan pada beberapa pertanyaan mengenai perjalanan hidup beserta
24
pengalaman mereka yang berkecimpung di bidang perfilman Indonesia, dan
mengenai beberapa informasi mendetail yang tidak terekam dalam sumber –
sumber lainnya. Sumber lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
visual berupa dari foto, baik yang didapat dari pemberian secara langsung oleh
narasumber yang berhasil diwawancara maupun yang terekam dalam beberapa
majalah dan surat kabar sejaman di Perpustakaan Nasional Jakarta, sedangkan
hasil fotografi pada masa kolonial hanya dapat ditemui dalam situs milik KITLV.
Proses berikutnya berupa kritik sumber yang berguna untuk menguji
otentisitas dan kredibilitas suatu sumber. Otentisitas dimaksudkan untuk melihat
apakah sumber yang telah ditemukan itu asli atau palsu, sedangkan kredibilitas
dimaksudkan untuk menentukan apakah sumber itu layak atau tidak untuk
digunakan dalam penelitian ini. Beberapa data yang telah berhasil terkumpul
kemudian
diseleksi
agar
kebenaran,
baik
isi
maupun
fisiknya
dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menghasilkan rangkaian fakta untuk kemudian
dilakukan analisis terkait permasalahan yang akan diungkap dalam penelitian ini
dan disusun secara logis dan sistematis ke dalam bentuk penulisan sejarah.
G.
Sistematika Penulisan
Demi tercapainya hasil penelitian yang sistematis serta terarah maka
kerangka penulisan akan disajikan dalam lima bab yang akan dibuat secara
terstruktur sehingga memudahkan pembaca dalam memahami maksud dari
penelitian ini. Bab pertama merupakan bab pengantar yang di dalamnya berisi
latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka konsep yang
25
dipergunakan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab
ini diarahkan sebagai pengantar mengenai problematika perempuan dalam sinema
Indonesia bahkan sejak film pertama kali dibuat.
Proses penciptaan suatu film tentu saja tidak bisa dilepaskan dari konteks
sosial budaya dan politik dalam masyarakat karena bagaimanapun juga film tidak
pernah lahir dari kondisi kekosongan budaya. Untuk itu, maka bab kedua akan
digunakan untuk membahas persoalan kontekstual yang melingkupi proses
penciptaan film dari masa ke masa melalui pembahasan mengenai dinamika
perfilman itu sendiri di Indonesia. Pembahasan mengenai dinamika perfilman
memperlihatkan bagaimana kultur perfilman Indonesia didominasi oleh beragam
kepentingan sehingga secara tak langsung berdampak terhadap posisi dan peran
perempuan dalam film.
Bab ketiga diperuntukkan untuk membahas keterlibatan perempuan secara
historis dalam perfilman Indonesia periode kolonial yang membawa serta posisi
dan peran mereka sejak awal perfilman Indonesia mulai dibangun, sementara pada
bab keempat akan digunakan untuk membahas keterlibatan perempuan yang
mulai mengalami pergeseran dari dalam layar ke balik layar pasca kemerdekaan.
Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana transformasi peran perempuan dalam
industri perfilman di indonesia pasca kemerdekaan. Mengenai siapa saja mereka,
apa saja yang melatari serta hambatan yang ditemuinya juga akan dideskripsikan
di dalam bab ini.
26
Beragam respon masyarakat terkait penampilan dan perilaku para aktris
pada masanya juga akan dipaparkan pada subbab terakhir bab empat.35 Mengingat
bagaimanapun bentuk kemajuan yang diperoleh perempuan dalam perfilman
Indonesia akan selalu berlangsung bertahap, sementara perempuan dalam
perfilman Indonesia menghadapi beragam ketidakadilan gender untuk bersaing
dalam industri perfilman, kehadiran mereka rupanya masih terus dihakimi dan
dihormati atas dasar penampilan atau fisik semata. Dengan begitu, diketahui
bahwa masyarakat tidak berlaku pasif terhadap penampilan dan perilaku para
aktris, sebaliknya masyarakat juga ikut berperan dalam mengontrol penampilan
dan perilaku mereka sepanjang periode tersebut. Bab kelima merupakan bab yang
selain menyimpulkan hasil dari penelitian ini juga menjawab inti permasalahan
yang telah disampaikan pada bab terdahulu.
35
Hal ini akan sangat berkaitan dengan pemahaman akan fungsi film
sebagai sarana kontrol sosial yang potensial dimana film juga mempunyai
kecenderungan untuk mempromosikan nilai konformitas, mulai dari gaya rambut,
berpakaian, perbendaharaan kata atau jargon, bahkan juga sikap dan pandangan
tertentu dengan cara yang lebih halus. Budi K. Zaman, Laporan Penelitian
Bahasa Film: Teks dan Ideologi (FISIPOL UGM: Yogyakarta, 1993), hlm. 6668.
27
Download