BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gaharu

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gaharu adalah hasil hutan bukan kayu berupa resin yang telah digunakan
sebagai pewangi dengan nilai komersial tinggi, yang terbentuk akibat pohon
terinfeksi oleh fungi yang masuk ke dalam pohon atau akibat perlukaan (Adelina
dkk., 2004). Ada berbagai pohon penghasil gaharu, salah satunya yang paling
banyak ditemui adalah jenis Aquilaria malaccensis Lam. yang termasuk keluarga
Thymelaeaceae. Tumbuhan ini banyak ditemukan di Bangladesh, Bhutan, India,
Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, dan Thailand (Moosa, 2010).
Resin gaharu yang benilai ekonomi tinggi menyebabkan pohon gaharu banyak
ditebang sembarangan tanpa adanya penanaman kembali untuk diambil resin dan
dijual hingga ke mancanegara, sehingga jumlahnya jauh berkurang dan terancam
punah. Resin terbentuk sebagai eksudat tanaman baik diperoleh secara alami
ataupun akibat kondisi patogenik, berupa senyawa amorf solid atau semisolid
yang tidak larut dalam air, tetapi kebanyakan larut dalam alkohol atau pelarut
organik lain, umumnya berbentuk keras, transparan, dan dapat melebur (Kar,
2007). Oleh karena itu, pohon gaharu masuk dalam Appendix II CITES (The
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and
Fauna) sehingga penebangan dan perdagangannya dibatasi (CITES, 2009). Kini
pohon gaharu telah banyak dibudidayakan kembali oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia di berbagai wilayah untuk menjaga
2
kelestarian alam, keberlanjutan ekspor, dan menuju produksi gaharu yang lestari
di Indonesia.
Kayunya telah digunakan sebagai obat, dupa, dan parfum baik di negaranegara Asia maupun Timur Tengah. Pohon yang terinfeksi memproduksi resin
mulai dari umur 20 tahun dan paling baik diperoleh pada umur 50 tahun ke atas,
sedangkan pada pohon yang dibudidaya gaharu dapat diproduksi paling cepat
umur 3 tahun (Barden dkk., 2000). Dibutuhkan waktu bertahun-tahun agar
diperoleh gaharu yang siap dijual, sedangkan daunnya belum dimanfaatkan. Perlu
diketahui kandungan dan manfaat daun gaharu sehingga dapat dimanfaatkan
terutama bagi kesehatan selagi menunggu resinnya dapat dipanen. Daun gaharu
ini berpotensi sebagai bahan produksi industri kecil obat tradisional (IKOT)
maupun industri obat tradisional (IOT) apalagi saat ini masyarakat mulai banyak
memanfaatkan bahan alam untuk perawatan, pencegahan, dan pengobatan.
Ekstrak metanol dan air daun gaharu mengandung alkaloid, flavonoid,
tritepenoid, steroid, saponin, dan tanin (Wil dkk., 2014). Adapun senyawasenyawa tersebut dapat berperan sebagai antioksidan alami. Antioksidan alami
dinilai lebih aman daripada antioksidan sintetik yang dalam jangka waktu lama
dapat menyebabkan mutagenik dan karsinogenik (Amarowicz dkk., 2000).
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan, yang mampu
menginaktivasi
berkembangnya
reaksi
oksidasi,
dengan
cara
mencegah
terbentuknya radikal dan mengikat radikal bebas maupun molekul yang sangat
reaktif sehingga kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi, 2007). Radikal bebas
yang berasal dari lingkungan maupun dalam tubuh (Winarsi, 2007) akan terlibat
3
langsung dalam proses degeneratif tubuh seperti penuaan, kanker, penyakit
kardiovaskuler, arteriosklerosis, kelainan saraf, iritasi kuit, dan peradangan
(Winarsi, 2007). Oleh karena itu, diperlukan antioksidan untuk menetralisir
kelebihan senyawa radikal di dalam tubuh guna mencegah terjadinya penyakitpenyakit degeneratif yang dapat diperoleh dari daun gaharu sebagai sumber
antioksidan alaminya.
Penelitian sebelumnya menyebutkan daun gaharu memiliki aktivitas
antioksidan baik pada ekstrak air (Wil dkk., 2014), ekstrak metanol maupun pada
fraksi n-heksana, diklormetan, etil asetat, dan n-butanol (Moosa, 2010). Dari
penelitian Wil dkk. (2014) sebelumnya hanya dapat diketahui aktivitas
antioksidan dan kandungan fenol total dari ekstrak etanol dan airnya, tetapi belum
diketahui kandungan flavonoid totalnya. Flavonoid diketahui memiliki aktivitas
antioksidan karena dalam struktur senyawanya terdapat sistem yang dapat
mereduksi radikal bebas dengan cara memberi elektron sehingga mampu
menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi. Penelitian ini dilakukan untuk
mengukur aktivitas antioksidan serta kadar flavonoid total ekstrak alkoholik dan
ekstrak air beserta fraksinya yang diperoleh dengan metode ekstraksi yang
berbeda.
Diperlukan suatu metode yang sederhana dengan peralatan dan larutan
penyari yang aman dan mudah diperoleh bagi suatu IKOT. Metode ekstraksi dan
larutan penyari yang digunakan menentukan kandungan zat aktif dalam ektrak
yang dibuat. Maserasi dan infundasi merupakan metode ekstraksi yang sederhana
karena metodenya mudah dan peralatan yang diperlukan juga sederhana. Larutan
4
penyari yang diperlukan pada maserasi umumnya alkohol dan air, sedangkan
infundasi menggunakan air (Depkes., 1986). Penelitian ini menggunakan pelarut
etanol pada ekstraksi secara maserasi dan air pada infundasi, kedua pelarut ini
berbeda polaritasnya sehingga senyawa-senyawa yang terlarut akan berbeda pula.
Jenis pelarut yang digunakan pada kedua metode ini aman untuk digunakan
selama proses pengolahan apabila diaplikasikan pada IKOT dan IOT dibandingan
pelarut lainnya seperti metanol yang mengakibatkan efek toksik pada mata hingga
menyebabkan kebutaan maupun menyebabkan kerusakan organ tubuh yang
lainnya apabila terlalu lama terpapar oleh metanol (Anonim, 2005).
Selain ekstrak daun gaharu pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran
aktivitas antioksidan dan penetapan kadar flavonoid total pada fraksinya.
Fraksinasi ekstrak dilakukan untuk memperoleh senyawa dengan kadar zat aktif
yang lebih tinggi ataupun untuk mengeliminasi senyawa-senyawa yang tidak
diharapkan ada dalam ekstrak yang dibuat (Depkes., 2000).
Pelarut yang
digunakan dalam fraksinasi akan menarik senyawa-senyawa yang kepolarannya
mirip dengan polaritas pelarutnya. Fraksinasi ini dilakukan secara sederhana
sehingga dapat diterapkan pada industri kecil dan diharapkan dapat meningkatkan
kadar senyawa aktifnya.
Fraksinasi secara padat-cair dengan n-heksana dilakukan pada ekstrak etanol
daun gaharu yang dipekatkan, sehingga senyawa-senyawa yang tidak diperlukan
seperti klorofil dapat terlarut dalam n-heksana dan senyawa flavonoidnya banyak
tertinggal dalam fraksi tak larut n-heksana. Sedangkan fraksinasi secara padat-cair
dengan etanol dilakukan pada ekstrak air daun gaharu yang dipekatkan, sehingga
5
senyawa-senyawa flavonoid dalam ekstrak banyak yang terlarut dalam etanol dan
senyawa yang tidak diperlukan seperti sakarida dan protein tetap tertinggal dalam
ekstrak airnya (Pramono, 2015a). Flavonoid umumnya banyak terlarut dalam
pelarut etanol, kecuali dalam bentuk flavonoid poliglikosida, misalnya naringenin
4’-β-D-glukosil-7-β-rutinosida yang akan mudah larut dalam air. Ekstrak dan
fraksinya ini lalu diuji aktivitas antioksidan dan ditentukan kadar flavonoid
totalnya. Kemudian akan diketahui pula keterkaitan kadar flavonoid total yang
ada dengan besarnya aktivitas antioksidan yang dihasilkan.
B. Rumusan Masalah
1. Ekstrak atau fraksi apakah yang memiliki aktivitas antioksidan paling besar
diantara ekstrak etanol, fraksi tak larut n-heksana, ekstrak air, dan fraksi larut
etanol daun gaharu ?
2. Apakah fraksinasi yang dilakukan efektif meningkatkan kadar flavonoid total
ekstrak daun gaharu yang diperoleh secara maserasi dan infundasi ?
3. Apakah kadar flavonoid total ekstrak etanol, fraksi tak larut n-heksana, ekstrak
air, dan fraksi larut etanol daun gaharu berkorelasi dengan aktivitas
antioksidan?
C. Tujuan
1. Mengetahui fraksi atau ekstrak daun gaharu yang memiliki aktivitas
antioksidan paling besar.
2. Mengetahui efektivitas fraksinasi pada ekstrak daun gaharu secara maserasi
dan infundasi dalam meningkatkan kadar flavonoid total.
6
3. Mengetahui korelasi antara kadar flavonoid total ekstrak etanol, fraksi tak
larut n-heksana, ekstrak air, dan fraksi larut etanol daun gaharu terhadap
aktivitas antioksidan.
D. Manfaat
Penelitian ini dapat melengkapi informasi aktivitas antioksidan beserta
kandungan flavonoid total ekstrak daun gaharu (Aquilaria malaccensis Lam.)
pada metode ektraksi secara infundasi dan maserasi beserta fraksi, sehingga dapat
menjadi dasar untuk penggunaannya dalam industri obat tradisional dan untuk
penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan antioksidan dan flavonoid dalam
daun gaharu terutama dalam bidang kesehatan.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Radikal bebas
Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang memiliki
elektron bebas tidak berpasangan pada elektron terluarnya. Elektron bebas
yang tidak berpasangan memiliki sifat sangat reaktif untuk berpasangan
dengan elektron bebas lain membentuk molekul nonradikal (Birben dkk.,
2012). Reaksi pembentukan radikal bebas secara umum melalui 3 tahap
reaksi, yaitu:

Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas, misalnya:
Fe++ + H2O2  Fe+++ + OH- + •OH
R1-H + •OH  R1• + H2O
7

Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal.
R2-H + R1•  R2• + R1-H
R3-H + R2•  R3• + R2-H

Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain
atau dengan penangkapan radikal, sehingga potensi propagasinya rendah
R1• + R1•  R1- R1
R2• + R1•  R2- R1
R2• + R2•  R2- R2 dst. (Winarsi, 2007)
Radikal bebas dapat menyebabkan modifikasi DNA dengan berbagai
cara, diantaranya dapat mendegradasi basa, pemutusan rantai DNA,
modifikasi, mutasi, delesi, atau translokasi ikatan purin, pirimidin, atau gula,
dan cross-linking dengan protein. Kebanyakan modifikasi DNA ini sangat
berhubungan dengan terjadinya karsinogenesis, penuaan, neurodegeneratif,
kardiovaskuler, dan penyakit autoimun (Birben dkk., 2012).
Radikal bebas dapat berasal dari lingkungan seperti polusi udara, asap
kendaraan, asap rokok, sinar ultraviolet, dan sebagainya. Radikal bebas dapat
terbentuk di dalam tubuh, misalnya proses metabolisme yang melibatkan
reaksi reduksi-oksidasi dapat menjadi sumber produksi radikal bebas yang
berkelanjutan, radikal bebas atau oksidan yang berlebihan dalam tubuh dapat
menyebabkan kerusakan sel (Packer dkk., 2004). Selain itu radikal bebas juga
berperan dalam reaksi enzim katalisis, transfer elektron dalam mitokondria,
transduksi sinyal dan ekspresi gen, aktivasi faktor transkripsi nukleus (Packer
dkk., 2004). Proses metabolisme ini sering kali terjadi kebocoran elektron
8
yang menyebabkan mudahnya terbentuk radikal bebas, seperti anion
superoksida, hidroksil, dan lain-lain (Winarsi, 2007).
Bila elektron yang terikat radikal bebas berasal dari senyawa yang
berikatan kovalen, akan sangat berbahaya karena ikatan digunakan bersamasama pada orbital terluarnya. Umumnya, senyawa yang memiliki ikatan
kovalen adalah molekul-molekul besar (biomakromolekul), seperti lipid,
protein, polisakarida maupun asam nukleat (DNA). Molekul yang paling
rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh. Apabila
ukuran biomolekul yang diserang semakin besar maka akan semakin besar
kerusakannya (Winarsi, 2007).
Bila dua senyawa radikal bebas bertemu, maka elektron-elektron tidak
berpasangan tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang
stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa yang
stabil, ada 3 kemungkinan yang dapat terjadi :
- Radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor)
kepada senyawa bukan radikal bebas.
- Radikal bebas menerima elektron dari senyawa bukan radikal bebas.
- Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Halliwell &
Gutteridge, 2000).
2.
Antioksidan
Apabila senyawa radikal bebas diproduksi atau berada dalam jumlah
berlebihan dalam tubuh, maka tubuh memerlukan senyawa yang dapat bersifat
9
sebagai antioksidan, yaitu senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,
menangkap, menahan pembentukan atau meniadakan efek senyawa oksigen
reaktif. Antioksidan bekerja dengan cara menghentikan pembentukan radikal
bebas yang baru, menetralisir, memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi
akibat radikal bebas (Lestariana, 2003), menginaktivasi atau menangkap
radikal, dan memotong propagasi (pemutusan rantai) (Winarsi, 2007).
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan yang mampu
menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah
terbentuknya radikal dan mengikat radikal bebas maupun molekul yang sangat
reaktif, sehingga kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi, 2007).
Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase,
katalase, glutation peroksidase), vitamin (misalnya vitamin E, C, A, dan βkaroten), dan senyawa lain (misalnya flavonoid, albumin, bilirubin,
seruloplasmin, dan lain-lain). Berdasarkan perannya terdapat 3 kelompok
antioksidan di dalam tubuh yaitu:
a. Antioksidan primer, adalah antioksidan yang bereaksi dengan radikal
bebas untuk menghasilkan produk yang memiliki kestabilan termodinamis
lebih baik dan mencegah terbentuknya radikal bebas baru. Contohnya
enzim-enzim antioksidan yang aktivitasnya bergantung dengan adanya ion
logam, seperti enzim superoksida dismutase (SOD) bergantung pada
logam Fe, Cu, Zn, dan Mn, enzim katalase yang bergantung pada Fe,
enzim glutation peroksidase (GPx) bergantung pada Se, dan mentalbinding protein lainnya (Winarsi, 2007).
10
b. Antioksidan sekunder, dikenal juga sebagai antioksidan nonenzimatik
yang diperoleh dari makanan, dapat memperlambat reaksi inisiasi dengan
cara memutus rantai hidroperoksida (Wijaya, 1996), menangkap senyawa
oksidan serta mencegah terjadinya reaksi berantai (Winarsi, 2007).
Contohnya vitamin A, vitamin E, vitamin C, β-karoten, asam urat,
bilirubin, glutation, flavonoid, polifenol, asam lipoat, karotenoid (Packer
dkk., 2004).
c. Antioksidan tersier, yang digunakan untuk meperbaiki DNA, yaitu enzim
metionin sulfoksida, reduktase (Wijaya, 1996).
Untuk mencegah atau menghambat reaksi oksidatif dari makanan,
antioksidan banyak digunakan sebagai bahan tambahan dalam lemak dan
minyak maupun dalam proses pengolahan makanan. Adapun tipe antioksidan
dibagi menjadi 2 macam, yaitu :

Antioksidan sintetik
Kebanyakan berupa senyawa fenolik seperti BHA (Butil Hidroksi
Anisol),
BHT
(Butil
Hidroksi
Toluen),
TBHQ
(Tertiary
Butylhydroquinone), dan ester asam galat (misalnya propil galat (PG))
(gambar 1). Penggunaan antioksidan sintetik ini memiliki batasan yaitu
0,02% dari kandungan lemak atau minyak dalam makanan. Beberapa
antioksidan dikombinasikan untuk mendapatkan efek yang sinergis
seperti BHA dan BHT atau BHA dan PG. Namun antioksidan ini setelah
penggunaan yang lama dapat memberikan efek toksik. Misalnya BHA
yang pada dosis konsumsi berlebihan dapat memacu terjadinya kanker
11
(Amarowicz dkk., 2000), BHT dapat menyebabkan perubahan dalam
tiroid tikus, stimulasi sintesis DNA, dan induksi enzim (Farago, 1989),
PG
dan
TBHQ
dapat
meningkatkan
terjadinya
karsinogenesis
(Amarowicz dkk., 2000).
Gambar 1. Senyawa antioksidan sintetik (a) BHA, (b) BHT, (c) TBHQ, (d) PG

Antioksidan alami
Sebagai produk bahan alam, antioksidan jenis ini lebih sehat dan aman
untuk digunakan serta telah menjadi alternatif dari antioksidan sintetik.
Antioksidan alami banyak ditemukan dalam
berbagai tanaman,
mikroorganisme, jamur, dan jaringan hewan (Pokorny dkk., 2001).
Adapun golongan senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan adalah
golongan fenolik, flavonoid, asam fenolat, lignin, asam sinamat, kumarin,
tokoferol, dan tanin (Kahkonen dkk., 1999). Aktivitas antioksidan
senyawa fenolik memiliki mekanisme sebagai berikut:
a. Menangkal radikal seperti senyawa oksigen/nitrogen reaktif.
12
b. Menekan pembentukan senyawa oksigen/nitrogen reaktif dengan
menghambat beberapa enzim atau senyawa pengkhelat logam yang
berperan dalam produksi radikal bebas.
c. Melindungi pertahanan antioksidan (Dai & Mumper, 2010).
3.
Analisis Antioksidan
Metode yang banyak digunakan secara in vitro untuk menentukan kapasitas
antioksidan kandungan suatu ekstrak atau makanan adalah sebagai berikut :
a. Analisis berbasis HAT (hydrogen atom transfer / transfer atom hidrogen)
Mengukur suatu antioksidan dalam meredam radikal bebas dengan
mendonorkan
atom
hidrogen.
Mekanisme
HAT
dalam
aktivitas
antioksidannya adalah adanya atom H dari fenol (Ar-OH) yang ditransfer
ke radikal ROO•, seperti pada reaksi berikut:
ROO• + AH/ArOH  ROOH + A•/ArO•
Radikal ariloksi (ArO•) yang terbentuk dari reaksi antioksidan fenol
dengan radikal peroksil tersebut kemudian distabilisasi dengan adanya
resonansi (Apak dkk., 2013). Kapasitas antioksidan total sampel dihitung
sebagai ekivalen Trolox berdasarkan kurva standar (Dai & Mumper,
2010). Analisis ini meliputi analisis ORAC (Oxygen Radical Absorbance
Capacity), analisis TRAP menggunakan hidroklorida seperti 2,2’-azobis
(2-amidinopropan) dihidroklorida (AAPH) sebagai generator radikal, dan
analisis Pemudaran atau Pemutihan β-karoten (Apak dkk., 2013).
13
b. Analisis berbasis ET (Electron Transfer / Transfer Elektron)
Kebanyakan analisis ini aksi antioksidan dipicu dengan suatu senyawa
(pereaksi) potensial-redoks yang sesuai, senyawa antioksidan akan
mereduksi senyawa (pereaksi) oksidan berwarna atau berfluoresensi
sehingga dapat berubah warnanya, sebagai pengganti radikal peroksil.
Tingkat perubahan warna berkorelasi dengan konsentrasi antioksidan
dalam sampelnya (Apak dkk., 2013). Analisis ini meliputi :

Analisis Trolox-equivalent antioxidant capacity (TEAC) dengan
pereaksi oksidan berupa 2,2'-Azinobis-(3-ethylbenzothiazoline-6sulfonic acid) kation radikal (ABTS+)

Analisis 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH)
DPPH● (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) merupakan radikal stabil yang
memiliki panjang gelombang maksimum 515 nm (Apak dkk., 2013).
DPPH merupakan metode yang cepat dan sederhana (tanpa
memerlukan banyak step dan pereaksi) serta lebih murah
dibandingkan metode lain (Alam dkk., 2013). Adanya senyawa
antioksidan menyebabkan perubahan warna pada DPPH dari ungu
menjadi kuning. Aktivitas antioksidan dihitung sebagai penurunan
aktivitas DPPH sebesar 50% yang disebut efisien konsentrasi (EC50)
atau dikenal juga dengan konsentrasi penghambatan (IC50)
(Molyneux, 2004).

FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power) dengan pereaksi
oksidan Fe3+(2,4,6-tripiridil-s-triazin)2Cl3
14

CUPRAC (Cupric Reducing Antioxidant Capacity), menggunakan
pereaksi oksidan berupa bis(neocuproine) Cu2+Cl2 (Dai & Mumper,
2010).
Meskipun kapasitas mereduksi sampel tidak berhubungan langsung dengan
kemampuan menangkal radikal bebas, hal ini tetaplah menjadi parameter
yang penting untuk antioksidan (Apak dkk., 2013).
4.
Senyawa Flavonoid
Gambar 2. Struktur flavonoid (Pokorny dkk., 2001)
Menurut Harborne (1987), flavonoid mempengaruhi sistem biologis
pada manusia, seperti mempengaruhi kerja otot polos, sistem enzim,
hepatoprotektif, memodulasi fungsi imun dan sel inflamasi, serta memiliki
aktivitas antivirus dan antitoksik. Flavonoid memiliki rangka khas karbon
penyusunnya yaitu C6-C3-C6 seperti pada gambar 2. Struktur dasarnya terdiri
15
dari 2 cincin aromatik yang terhubung oleh 3 rantai karbon alifatik, yang
biasanya terkondensasi membentuk cincin piran atau furan. Flavonoid
meliputi flavan, flavon, flavonol, isoflavon, flavonon, dan khalkon berada
pada berbagai tipe jaringan tanaman tingkat tinggi (Pokorny dkk., 2001)
(gambar 2).
Flavonoid memiliki sifat antioksidan yang sangat kuat dengan
menangkal radikal anion superoksida, radikal lipid peroksil, dan radikal
hidroksil. Selain itu, flavonoid mampu bekerja melalui berbagai macam reaksi
diantaranya
menghambat
aktivitas
enzim
seperti
ksantin
oksidase,
myeloperoksidase, lipooksigenase, dan siklooksigenase. Flavonoid juga
mampu mengkhelat ion logam, mengkhelat dengan substansi antioksidan lain
seperti askorbat (Pokorny dkk., 2001). Sekitar 90% flavonoid dalam tanaman
berada dalam bentuk glikosidanya (Pokorny dkk., 2001). Namun bentuk
glikosida memiliki efektivitas antioksidan yang lebih rendah daripada bentuk
aglikonnya (Pokorny dkk., 2001). Untuk mendapatkan aktivitas penangkalan
radikal yang maksimal molekul flavonoid memerlukan kriteria berikut dengan
ilustrasi seperti pada gambar 3:
a. Memiliki struktur 3’,4’-dihidroksi (orto-dihidroksi) pada cincin B, sebagai
pendonor elektron yang terbaik, sehingga meningkatkan stabilitas bentuk
radikal dan berperan dalam delokalisasi elektron.
b. Ikatan rangkap di posisi 2,3 dengan gugus 4-okso pada cincin C, yang
memungkinkan delokalisasi elektron dari cincin B.
16
c. Adanya gugus 3-hidroksil pada cincin C dan gugus 5-hidroksil pada cincin
A dengan gugus 4-okso, yang esensial untuk memaksimalkan potensi
penangkapan radikal.
d. Adanya gugus 3-hidroksil penting dalam aktivitas antioksidan. Glikosilasi
pada posisi tersebut akan menurunkan aktivitasnya bila dibandingkan
dengan aglikonnya (Pokorny dkk., 2001; Dai & Mumper, 2010).
Flavonoid dengan gugus hidroksil bebas berperan dalam menangkal
radikal bebas dan banyaknya gugus hidroksil, khususnya pada pada cincin B,
akan meningkatkan aktivitas antioksidannya (Pokorny dkk., 2001). Gugus
hidroksil pada cincin B merupakan sisi aktif yang utama dalam memutus
rantai oksidasi (Pokorny dkk., 2001).
Gambar 3. Struktur flavonoid yang berhubungan dengan aktivitas antioksidan (Pokorny
dkk., 2001) (a) 3’,4’-dihiroksiflavon; (b) senyawa flavon; (c) 5-hidroksiflavonol
Ekstraksi flavonoid dari dalam simplisia dapat dilakukan dengan pelarut
polar, semi polar maupun nonpolar sesuai dengan kelarutan flavonoid yang
diekstraksi. Kelarutan flavonoid berbeda-beda sesuai dengan golongan dan
subtituennya (Robinson, 1985). Pelarut yang kurang polar akan mengekstraksi
aglikon flavonoid, sedangkan pelarut yang lebih polar akan mengekstraksi
glikosida flavonoid atau antosianin (Markham, 1988).
17
Gambar 4. Reaksi flavonoid dengan AlCl3 (Mabry dkk., 1970)
Metode yang digunakan untuk penetapan kadar flavonoid total salah
satunya adalah metode yang ada pada Farmakope Herbal Indonesia Suplemen
III (2013). Prinsip dari metode ini adalah terbentuknya kompleks AlCl3
dengan gugus orto-dihidroksi atau ketohidroksi yang ada pada flavonoid
sehingga menghasilkan warna (gambar 4). Oleh karena itu, senyawa flavonoid
yang dapat bereaksi dengan pereaksi AlCl3 adalah semua senyawa flavonoid
dengan gugus orto-dihidroksi atau ketohidroksi.
Metode penetapan kadar flavonoid ini hanya spesifik pada flavonoid
yang memiliki gugus ketohidroksi dan ortodihidroksi saja, sedangkan senyawa
flavonoid yang tidak memiliki gugus tersebut tidak dapat bereaksi dan tidak
termasuk dalam kadar flavonoid total yang diperoleh. Terdapat metode
pengukuran
kolorimetri
lain
yaitu
menggunakan
pereaksi
2,4-
dinitrofenilhidrazin yang spesifik untuk senyawa flavanon, sehingga dengan
menggunakan kedua metode tersebut diperkirakan hasil kedua pengukuran
dapat memberikan kadar flavonoid total yang lebih realistis (Chang dkk.,
2002).
18
5.
Daun Gaharu (Aquilaria malaccensis Lam.)
a. Klasifikasi daun gaharu (gambar 5) adalah sebagai berikut
Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Tracheophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Myrtales
Keluarga
: Thymelaeaceae
Gambar 5. Daun Aquilaria
malaccensis Lam. (MPBD, 2016)
Marga
: Aquilaria
Jenis
: Aquilaria malaccensis Lam.
Sinonim
: Aquilaria agallocha Roxb. (IUCN, 1998)
b. Morfologi
Aquilaria malaccensis Lam. adalah salah satu dari 15 jenis pohon gaharu
yang ada di Indonesia, yang termasuk keluarga Thymelaeaceae. A.
malaccensis tergolong pohon yang umumnya dapat tumbuh dengan tinggi
hingga 40 m dan diameter batang 1,5-2,5 m. Tumbuhan gaharu
mempunyai daun sederhana, dengan panjang tangkai daun 4-6 mm; bentuk
daun bulat telur, hingga lonjong sampai lanset 7,5-12 cm x 2,5-5,5 cm,
berwarna hijau mengkilap pada permukaan atas, dasar daun menipis atau
tumpul, ujung meruncing, panjang ketajaman hingga 2 cm; vena daun di
12-16 pasang, tidak teratur, dan sering bercabang, pinggir daun tergolong
rata (CITES, 2009). Batang A. malaccensis biasanya lurus, kadang-kadang
bergalur; kulit batang halus, berwarna keputihan, dan percabangan yang
ramping. Bunga berada di ujung ranting atau ketiak atas dan bawah daun.
19
A. malaccensis mulai berbunga dan menghasilkan buah pada umur 7-9
tahun dan pohon berukuran sedang dilaporkan dapat menghasilkan sekitar
1,5 kg benih pertahun saat musim normal. Buah berbentuk bulat telur atau
lonjong, berukuran panjang sekitar 3-4 cm dan lebar 2,5 cm. Biji bulat
telur yang ditutupi bulu halus berwarna kemerahan (CITES, 2009).
c. Habitat
Umumnya jenis ini tumbuh di wilayah barat Indonesia. Biasanya tumbuh
di daratan rendah dan lereng gunung dengan ketinggian 200-750 m, iklim
Koeppen tipe A-B dengan temperatur 14-320C dan curah hujan tahunan
2000-4000 mm. Tumbuhan ini tumbuh di tanah lempung berpasir
(Adelina dkk., 2004).
d. Status konservasi
Utamanya kayu gaharu digunakan sebagai incense, parfum, dan obat
tradisional. A. malaccensis merupakan jenis gaharu yang paling bernilai
dan berkualitas dibandingkan jenis gaharu lainnya di Indonesia sehingga
permintaan pasar dunia terhadap gaharu menjadi tinggi. Hal ini telah
menarik minat masyarakat baik lokal maupun pendatang untuk melakukan
eksploitasi
gaharu
secara
besar-besaran.
Akibatnya,
populasi
A.
malaccensis di hutan alam semakin menurun dan bahkan pada suatu saat
terancam punah. Guna mencegah dari kepunahan maka pada pertemuan
CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Flora and Fauna) ke–IX di Florida, Amerika Serikat pada tahun
1994, A. malaccensis, salah satu tumbuhan penghasil gaharu terpenting
20
telah dimasukkan ke dalam Appendix II sebagai tumbuhan yang terancam
punah, sehingga dalam penebangan dan perdagangannya perlu dibatasi.
Bahkan sejak 2004, seluruh anggota genus Aquilaria telah dimasukkan
dalam Appendix II CITES (CITES, 2009).
e. Kandungan kimia (metabolit sekunder) daun gaharu
Berdasarkan kemotaksonomi, daun gaharu yang termasuk jenis
Aquilaria dan keluarga Thymelaeaceae mengandung senyawa-senyawa
sebagai berikut (Hegnauer, 1973; Sheng-zhuo dkk., 2013) :
1) Diterpenoid dan triterpenoid
Terdapat dua jenis senyawa diterpenoid yaitu jenis tigliane dan
abietane. Jenis tigliane berupa senyawa 12-hidroksilforbol-13-asetat
(gambar 6) dan 12-O-n-deka-2,4,6-trienoilforbol-13-asetat. Jenis
abietane berupa senyawa metil abieta-8,9,12-trien-19-oat, metil-7oksodehidroabietat, asam 7α-hidroksipodokarpen-8-en-13-on-18-oat,
8-norisopimara-8,15-dien-4β-ol, kriptotansinon, dihidrotansinon I,
tansinon I, tansinon IIA. Selain senyawa diterpenoid juga terdapat
senyawa triterpenoid, berupa triterpen tertrasiklik dan pentasiklik.
Jenis triterpen tetrasiklik, seperti dihidrocucurbitasin F, cucurbitasin I
(gambar 6), heksanorcucurbitasin I, cucurbitasin D, isocucurbitasin D,
neocucurbitasin B. Sedangkan jenis triterpen pentasiklik, seperti 22hidroksihopan-3-on, hederagenin, 2α-hidroksiursan (gambar 6), asam
2α-hidroksiursolat.
21
12-hidroksilforbol-13-asetat
Hederagenin
2α-hidroksiursan
Cucurbitasin I
Gambar 6. Senyawa diterpenoid dan triterpenoid daun gaharu
2) Seskuiterpen dan minyak atsiri
α-agarofuran
β-agarofuran
Agarospirol
Gambar 7. Senyawa penyusun minyak atsiri daun gaharu
Umumnya senyawa ini berasal dari resin gaharu, meliputi senyawasenyawa seperti jenis agarofuran, cadinan, selinan, valencan,
eremofilan, guaian, prezizan, vetispiran, dari minyak atsiri batangnya
terisolasi senyawa aquilarin B. Komponen minyak atsiri meliputi
agarol,
α-agarofuran,
β-agarofuran,
agarospirol
(gambar
7),
dihidroagarofuran, noroksoagarofuran, 4-hidroksidihidroagarofuran,
dan 3,4-dihidroksiagarofuran.
22
3) Senyawa fenolik, flavonoid, tanin
Meliputi senyawa coumarinolignan (aquillochin), flavan, 2-(2feniletil) kromon, dan tanin (gambar 8). Tidak ditemukan adanya
senyawa kumarin lain selain aquillochin pada jenis Aquilaria.
Senyawa jenis flavan diantaranya adalah senyawa 7-β-D-glikosida
dari 5-O-metilapigenin, mangiferin, 5-O-xilosilglikosida dari 7-Ometilapigenin, 5-O-xilosilglikosida dari 7,4’-di-O-metilapigenin, 5-βD-glikosida
dari
7,3’-di-O-metilluteolin,
luteolin,
hidroksigenkwanin,
apigenin-7,4’-dimetileter,
trimetoksiflavon,
7,4’-dimetil-luteolin,
genkwanin,
5-hidroksil-7,3’,4’4’,5-dihidroksi-3’,7-
dimetoksiflavon, lethedioside A, lethedoside A, 7-hidroksi-4’metoksi-5-O-glukosa flavon, 7,3’-dimetoksi-4’-hidroksi-5-O-glukosa
flavon, 7,4’-dimetoksi-5-O-glukosa flavon, luteolin-7,3’,4’ metileter,
acacetin, formononetin, genkwanin 5-O-β-primeverosida, hesperetin,
homoeriodiktiol. Pada minyak atsiri daun gaharu diperoleh sejumlah
kecil senyawa difenil keton dan senyawa fenolik lainnya seperti
aquilarinosida A, iriflofenon, 7-β-D-glukosida dari 5-O-metilapigenin,
mangiferin,
2-O-α-L-ramnopiranosi-1,4,6,4’-trihidroksibenzofenon,
iriflofenon 2-O-α-ramnosida, iriflofenon 3,5C-α-ramnosida, serta 3,3’(3-hidroksipropan-1,2-diil) difenol. Selain itu, terdapat pula senyawasenyawa tanin seperti justisidin A, justisidin F, ciwujiaton, (+)siringaresinol,
glukopiranosida,
siringaresnol-4’-β-O-D-glukopiranosida.
siringaresinol-4,4’-di-O-β-D-
23
Ciwujiaton
Iriflofenon
(+)-siringaresinol
Justisidin A
Genkwanin
Aquillochin
Acacetin
Herperetin
Luteolin
Gambar 8. Senyawa fenolik, flavonoid, dan tanin daun gaharu
4) Senyawa lain-lain
Terdapat pula senyawa sterin, lilin, asam sinamat, asam kelidonat,
serta senyawa toksin seperti forbol, dafnetoksin, mezerein, huratoksin.
Ekstrak metanol dan air daun gaharu mengandung alkaloid,
flavonoid, tritepenoid, steroid, saponin, dan tanin (Wil dkk., 2014).
Adapun senyawa kimia yang telah teridentifikasi dalam ekstrak metanol
daun gaharu yang belum diinokulasi adalah asam n-heksadekanoat,
gliserin, 2-propanon, 1,3 dihidroksi, 3,7,11,15-tetrametil-2-heksadesen-1ol (Phytol), dodesil akrilat, 2,3-dihidro-3,5-dihidroksi-6-metil - 4H piran-4-on, skualen (C30H50), 1-tetradekanol, 6-etil-5-hidroksi-2,3n,7trimetoksinaftokuinon, oktaetilen glikol monodesil eter (Khalil dkk.,
24
2013). Selain itu, juga telah diisolasi senyawa-senyawa 5-hidroksi-4’,7dimetoksi-flavon,
luteolin-7,3’,4’-trimetil
eter,
5,3’-dihidroksi-7,4’-
dimetoksiflavon (gambar 9), metilparaben, asam vanilat, asam phidroksibenzoat, asam siringat, asam isovanilat, β-sitosterol, stigmasterol,
β-sitostenon, dan stigmasta-4,22-dien-3-on dari ektrak metanol daun
gaharu (Li dkk., 2015). Fraksi n-heksana ekstrak metanol daun gaharu
mengandung stigmasterol, β-sitosterol, 3-friedelanol (Moosa, 2010).
Gambar 9. Struktur senyawa flavonoid pada ekstrak metanol daun gaharu
(1) 5-hidroksi-4’,7-dimetoksi-flavon, (2) luteolin-7,3’,4’-trimetil eter, (3) 5,3’dihidroksi-7,4’-dimetoksiflavon
Ekstrak metanol daun gaharu kering yang diperoleh dengan metode
maserasi memiliki kadar fenolik total sebesar 176,17 ± 1,16 mg/g
Ekuivalen asam galat (EAG) dan ekstrak airnya sebesar 181,11 ± 0,61
mg/g EAG (Wil dkk., 2014). Senyawa-senyawa folatil yang terkandung
dalam daun gaharu antara lain berupa senyawa alkil (31,64%), ester
(5,81%), keton (5,4%), asam (4,79%), aldehid (2,63%), alkohol (1,51%),
kinolin (1,23%), fenol (0,62%), naftalen (0,51%), alkena (0,48%),
philippines (0,36%), furan (0,33%), 1,8-sineol (0,23%), dan indol
(0,16%) (Zheng dkk., 2015).
25
f. Kegunaan
Pada penelitian sebelumnya daun gaharu berpotensi sebagai antioksidan
(Moosa, 2010), antidiabetika (Yunus dkk., 2015), hepatoprotektif terhadap
hepatotoksik yang diinduksi parasetamol pada tikus (Alam dkk., 2016),
antimikroba terhadap bakteri S. flexneri dan P. aeruginosa pada ektrak
airnya dan terhadap B. subtilis
pada ekstrak metanolnya (Dash dkk.,
2008), antikanker terhadap sel kanker serviks HeLa (Fatmawati dan
Hidayat, 2016). Ekstrak metanol daun gaharu memiliki aktivitas
antioksidan dengan IC50 1938 µg/mL, sedangkan ekstrak air daun gaharu
memiliki IC50 1091 µg/mL (Wil dkk., 2014).
6.
Metode Penyarian
Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari suatu
bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Faktor yang mempengaruhi
kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisanlapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat
tersebut. Peristiwa osmosa dan difusi berperan dalam proses penyarian
(Depkes., 1986). Metode ekstraksi meliputi ekstraksi dengan pelarut secara
panas dan secara dingin serta destilasi uap. Ekstraksi dengan pelarut cara
dingin termasuk maserasi dan perkolasi. Ekstraksi dengan pelarut cara panas
menggunakan refluks, alat soxhlet, dan infundasi (Depkes., 2000).
Maserasi merupakan proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan
pelarut disertai beberapa kali penggojogan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (Depkes., 2000). Adanya pengadukan berfungsi untuk menghilangkan
26
atau memecah profil konsentrasi yang terbentuk akibat jenuhnya cairan
penyari disekitar butir serbuk simplisia yang direndam yang perlu diganti
dengan pelarut yang masih rendah konsentrasinya sehingga perbedaan
konsentrasi tetap terjaga. Cairan penyari yang digunakan akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat
aktif akan terlarut, dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat
aktif di dalam dan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar,
proses ini terus terjadi berulang-ulang sehingga terjadi keseimbangan
konsentrasi di dalam dan di luar sel (Depkes., 1986).
Infundasi adalah metode pembuatan sediaan cair dengan cara menyari
simplisia menggunakan air pada suhu 900 C selama 15 atau 30 menit
(Depkes., 1986). Banyaknya bahan yang digunakan umumnya sebesar 10%
dari infusa yang akan dibuat, kecuali bahan-bahan tertentu yang disebutkan
dalam Farmakope. Selain itu juga, dalam menyari diperlukan air ekstra
sebanyak dua kali bobot bahannya, kecuali dinyatakan lain (Duin, 1954).
Panci infusa dan dekokta terdiri atas dua bagian, yaitu panci A yang berisi
simplisia dan air; panci B yang berisi air berfungsi sabagai penangas air.
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
terekstraksi sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, dan tahap
perkolasi sebenarnya (penetesan atau pengumpulan ekstrak). Destilasi uap
adalah ekstraksi senyawa mudah menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar
atau simplisia) dengan uap air, berdasarkan peristiwa tekanan parsial senyawa
27
tersebut dengan fase uap air dari ketel secara berkelanjutan sampai sempurna
dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa mudah menguap
ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa yang memisah
sempurna atau memisah sebagian (Depkes., 2000).
Penyarian yang biasanya digunakan pada perusahaan obat sampai saat
ini masih terbatas pada penggunaan cairan penyari air, etanol atau etanol-air.
Pertimbangan dalam pemilihan air dikarenakan air mudah diperoleh, murah,
stabil, tidak mudah menguap dan terbakar, serta tidak beracun. Namun air
bukan penyari yang selektif, sarinya dapat ditumbuhi kapang dan kuman,
cepat rusak, dan untuk pengeringan memerlukan waktu lama. Sedangkan
pertimbangan dalam pemilihan penyari etanol karena lebih selektif, kapang
dan kuman lebih sulit tumbuh, tidak beracun, netral, dapat bercampur dengan
air pada segala perbandingan, pemanasan yang digunakan untuk pemekatan
lebih sedikit, tapi etanol lebih mahal. Untuk meningkatkan penyarian biasanya
digunakan campuran antara etanol dan air dengan perbandingan tertentu
tergantung bahan yang akan disari (Depkes., 1986).
Fraksinasi adalah proses pemisahan dan pemurnian untuk mendapatkan
kandungan senyawa tertentu (Depkes., 2000). Jumlah dan senyawa yang dapat
dipisahkan menjadi fraksi berbeda-beda, tergantung pada kandungan senyawa
dan kesesuaian polaritas senyawa dan pelarutnya.
Senyawa polar akan selalu memiliki ikatan kovalen polar, tetapi ada
senyawa nonpolar yang juga memiliki ikatan kovalen polar. Ikatan kovalen
polar adalah ikatan antara dua atom yang memiliki elektronegativitas yang
28
cukup berbeda untuk dapat menyebabkan terjadinya perbedaan densiti
elektron antar kedua atom. Perbedaan elektronegativitas ini menyebabkan
terbentuknya molekul polar, dengan satu sisi memiliki muatan yang lebih
positif dan sisi lainnya lebih negatif. Ikatan kovalen polar menimbulkan
interaksi intermolekular dipol-dipol. Sedangkan molekul nonpolar terjadi
akibat adanya ikatan kovalen nonpolar, yaitu ikatan kovalen di mana kedua
atom pembentuk ikatan mempunyai elektronegativitas sama atau hampir sama
menyebabkan elektron yang digunakan bersama pada ikatan tersebut sama.
Ada keseimbangan elektronegativitas antaratom sehingga molekul nonpolar
akan bersifat netral (McMurry, 2008; Sardjiman, 2011).
Tabel I. Daya melarutkan cairan penyari terhadap kandungan kimia tumbuhan (Pramono,
2015a)
Cairan Penyari
Golongan Kandungan Kimia
Heksan, Petroleum Eter, Toluen, Benzen
Terpenoid (minyak atsiri), diterpen, triterpen,
steroid, polimetoksi flavon, lipid, resin,
klorofil, xantofil
Semua diatas dan aglikon kumarin,
Kloroform, Diklormetan
antrakinon, alkaloid bebas, kurkuminoid,
fenol bebas
Semua diatas dan aglikon flavonoid
Dietileter
polihidroksi, asam fenolat, glikosida triterpen
dan steroid
Semua diatas dan flavonoid monoglikosida,
Etil asetat, Aseton
glikosida kumarin dan antrakinon, quasinoid
Semua diatas dan flavonoid diglikosida, tanin
Etanol, Metanol, Alkohol lain
Semua yang diatas mulai dari yang larut
Air panas
dalam dietil eter, dan flavonoid poliglikosida,
garam alkaloid, mono dan disakarida, asam
amino. Poliosa dan protein menggumpal
Pelarut yang digunakan untuk fraksinasi dapat disesuaikan dengan
kandungan senyawa yang diinginkan. Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan
senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh
pada
kandungan
senyawa
aktif
(Depkes.,
2000).
Tabel
I
dapat
29
menggambarkan senyawa-senyawa yang tersari pada cairan penyari yang
digunakan.
7.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) telah dikenal sebagai metode yang
sederhana, cepat, murah, serta dapat digunakan untuk analisis kualitataif
senyawa organik, isolasi senyawa tunggal dari campuran multikomponen,
analisis kuantitatif, dan isolasi skala preparatif. KLT juga memberikan teknik
yang
mudah
pada
pemisahan
multidimensi
(misalnya
2
dimensi)
(Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008). KLT merupakan salah satu metode
kromatografi cair dengan cara mengaplikasikan sampel sebagai sebuah bercak
atau totolan kecil pada sebuah lapisan tipis penjerap pada lapisan planar dari
bahan gelas, plastik atau pelat logam. Fase gerak berjalan melalui fase diam
secara sistem kapilaritas, kadangkala diiringi gaya gravitasi atau gaya tekan.
Pemisahan KLT terjadi secara terbuka dan tiap komponen mempunyai total
waktu migrasi yang sama namun berbeda jarak migrasinya. Komponenkomponen dalam sampel bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda-beda
seiring pergerakan fase gerak melewati fase diam, dan disebut pengembangan
kromatogram (Sherma, 1996). Fase gerak KLT terdiri dari solven tunggal
maupun campuran solven organik dan atau solven yang mengandung air
(aqueous) (Fried & Sherma, 1994). Beragam sistem fase gerak yang
digunakan dalam pemisahan flavonoid menggunakan KLT. Seperti glikosida
flavonon, glikosida isoflavon dapat menggunakan fase gerak n-butanol-asam
30
asetat-air (4:1:5 fase atas) dengan fase diam silika gel (Andersen dan
Markham, 2006).
Beberapa penjerap yang telah digunakan pada lempeng KLT antara lain,
adsorben anorganik (silika atau silika gel dan alumina), lapisan organik
(selulosa, poliamida), senyawa organik polar yang terikat secara kovalen pada
matriks silika gel modifikasi (diol, sianopropil, dan aminopropil), dan
senyawa organik nonpolar yang terikat pada fase diam (RP2, RP8, RP18)
dengan densitas berbeda yang menutupi matriks silika gel (WaksmundzkaHajnos dkk., 2008). Fase diam yang biasa digunakan dalam pemisahan
flavonoid adalah silika gel, selulosa, dan poliamida (Andersen dan Markham,
2006)
Tabel II. Penafsiran senyawa flavonoid berdasarkan fluoresensi di bawah sinar UV 366
nm pada fase diam kertas atau lempeng selulosa (Pramono, 2015b)
Fluoresensi bercak tanpa
Perkiraan Flavonoid
pereaksi penampak bercak
a. Flavon dengan 5-OH bebas
Ungu Gelap
b. Flavonol dengan 5-OH bebas dan 3-OH tersubstitusi
a. Flavon tanpa 5-OH bebas
b. Flavon dengan 5-OH tersubstitusi
Biru
c. Flavonol tanpa 5-OH bebas dan dengan 3-OH tersubstitusi
d. Flavonol dengan 3-OH dan 5-OH tersubstitusi
Kuning
Flavonol dengan 5-OH bebas
a. Flavonol tanpa 5-OH bebas
Hijau-kuning
b. Flavonol dengan 5-OH tersubstitusi
Deteksi menjadi sangat sederhana saat komponen-komponen yang
dianalisis secara alami mempunyai warna, fluoresensi atau mengabsorbsi sinar
ultraviolet (UV). Umumnya senyawa flavonoid mampu meredam lempeng
yang berfluoresensi pada lampu UV 254 nm dan berfluoresensi pada UV 366
nm yang nampak sebagai bercak yang terang dengan latar belakang gelap
(Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008). Fluoresensi flavonoid pada UV 366 nm
31
tergantung strukturnya sehingga dapat berfluoresensi kuning, hijau, atau biru
seperti pada tabel II, yang intensitas dan perubahannya dapat dipengaruhi oleh
pereaksi semprot (Andersen dan Markham, 2006).
Visualisasi menggunakan pereaksi semprot biasanya dibutuhkan untuk
memproduksi warna atau fluoresensi pada sebagian besar komponen (Sherma,
1996). Deteksi menggunakan uap iodin pada lempeng KLT akan memberikan
bercak berwarna kuning-coklat pada senyawa flavonoid dengan latar belakang
putih (Andersen dan Markham, 2006). Gugus orto-dihidroksi yang terdapat
pada cincin B flavon dan flavonol serta pada cincin A (pada C-6,7 atau C-7,8)
dapat dideteksi dengan asam borat/natrium asetat (Mabry dkk., 1970).
Penampakan bercak setelah elusi menjadi data penting untuk menentukan
golongan senyawa. Setiap golongan senyawa memiliki warna bercak yang
khas.
Parameter dasar yang digunakan untuk mendeskripsikan migrasi dalam
KLT adalah nilai Rf. Nilai Rf adalah
𝑅𝑓 =
jarak bercak dari titik penotolan
jarak total yang dicapai fase gerak dari titik penotolan
Nilai Rf berkisar antara 1 hingga 0, atau dari 100 hingga 0 jika dikalikan 100
atau sering disebut hRf (Sherma, 1996). Harga Rf dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain struktur kimia senyawa yang dipisahkan, sifat penyerap dan
derajat aktivitasnya, tebal dan kerataan lapisan penyerap, kemurnian fase
gerak, tingkat kejenuhan uap di dalam bejana pengembangan, teknik
percobaan (elusi secara menaik; menurun ataupun cara elusi 2 dimensi),
jumlah cuplikan, suhu, dan kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 2002).
32
8.
Spektrofotometri UV-Visibel
Gambar 10. Transisi elektronik (Pavia, 2001)
Spektrofotometri
UV-Visibel
memiliki
daerah
dengan
panjang
gelombang 190-800 nm. Ketika suatu radiasi dilewatkan melalui suatu materi
yang transparan, sebagian dari radiasi dapat diserap. Radiasi yang tidak
diserap ketika melewati prisma, selisih spektrumnya disebut dengan spektrum
serapan. Sebagai akibatnya atom atau molekul dari energi rendah (ground
state) akan menuju ke energi yang lebih tinggi (kondisi tereksitasi) (gambar
10). Radiasi elektromagnetik yang diserap memiliki energi yang tetap equal
atau setara dengan perbedaan energi pada kondisi terkesitasi dan ground state
(Pavia, 2001).
Suatu molekul ditetapkan dengan spektrofotometer UV-Visibel.
Interaksi antara senyawa yang mempunyai gugus kromofor dan gugus
auksokrom sebagai pendukung untuk meningkatkan probabilitas transisinya.
Gugus kromofor adalah gugus yang terdiri atas ikatan rangkap terkonjugasi
dan dapat menyerap sinar UV. Sedangkan gugus auksokrom adalah atom atau
gugus fungsional yang memiliki elektron bebas tidak berpasangan, tidak
menunjukkan absorbsi sendiri tetapi dapat mempengaruhi panjang gelombang
atau intensitas suatu pita absorpsi dari suatu kromofor (Sastrohamidjojo,
1991).
33
Jumlah serapan radiasi elektromagnetik akan sebanding dengan jumlah
molekul penyerapnya, sehingga spektra absorbansi dapat digunakan untuk
analisis kuantitatif. Spektra absorbansi umumnya terekam sebagai suatu plot
serapan terhadap panjang gelombang. Kuantitas serapan energi oleh suatu
senyawa berbanding terbalik dengan panjang gelombang radiasi (Fessenden &
Fessenden, 1995). Gugus auksokrom yang terikat pada gugus kromofor akan
meningkatkan absorbansinya dan menggeser puncak serapan ke panjang
gelombang lebih tinggi. Peningkatan intensitas absorbansi dinamakan efek
hiperkromik, sedangkan penurunan intensitas absorbansi dinamakan dengan
efek hipokromik. Pergeseran yang diakibatkan oleh auksokrom dapat
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
a.
Pergeseran batokromik, yaitu pergeseran merah atau pergeseran ke
panjang gelombang yang lebih tinggi.
b.
Pergeseran hipsokromik, yaitu pergeseran biru atau pergeseran ke
panjang gelombang yang lebih pendek (Sastrohamidjojo, 1991).
Gambar 11. Struktur dasar flavonoid (Mabry dkk., 1970)
Analisis flavonoid dengan spektoskopi UV dapat digunakan pereaksi
natrium metoksida, alumunium klorida (AlCl3), natrium asetat, asam borat
(H3BO3). Spektra metanol dari flavon dan flavonol menunjukkan ada 2
34
puncak absorbsi pada daerah 240-400 nm. Kedua puncak ini biasa disebutkan
sebagai pita I (biasanya pada 300-380 nm) dan pita II (biasanya pada 240-280
nm). Pita I berhubungan dengan absorbsi oleh sistem sinamoil cincin B
sedangkan pita II berhubungan dengan absorbsi sistem benzoil cincin A
seperti pada gambar 11.
Penggunaan pereaksi tertentu dapat untuk mengidentifikasi letak gugus
hidroksi pada struktur flavonoid. Natrium metoksida yang merupakan basa
kuat dapat mengionisasi gugus hidroksil pada posisi 3’ atau 4’ yang
menyebabkan pergeseran batokromik pada kedua pita. Natrium asetat yang
merupakan basa lemah hanya dapat mengionisasi gugus hidroksi yang lebih
asam pada flavon dan flavonol, seperti ionisasi pada gugus 7’-hidroksi yang
menyebabkan pita II mengalami pergesaran batokromik 5-20 nm. Keberadaan
asam asetat menyebabkan asam borat mengkhelat gugus orto-dihidroksi pada
semua lokasi kecuali C-5,6, sehingga cincin B yang memiliki gugus ortodihidroksi akan mengalami pergeseran batokromik pada pita I 12-30 nm.
Reaksi dengan alumunium klorida menyebabkan flavon dan flavonol yang
memiliki gugus hidroksi pada C-3 atau C-5 membentuk kompleks yang stabil
terhadap asam dan membentuk kompleks yang labil pada flavonoid dengan
sistem orto-dihidroksi, hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran
batokromik pada pita I 35-60 nm (Mabry dkk., 1970).
35
F. Landasan Teori
Daun
gaharu
mengandung
senyawa
golongan
fenolik,
terpenoid,
diterpenoid, tanin, seskuiterpen, steroid, lilin, saponin, alkaloid, serta flavonoid
yang berupa aglikon polihidroksi, aglikon polimetoksi, maupun mono dan
diglikosida (Hegnauer, 1973; Sheng-zhuo, 2013; Wil dkk., 2014; Li dkk., 2015).
Selain itu kandungan fenolik total dan aktivitas antioksidan ekstrak metanol
maupun air daun gaharu telah diketahui (Wil dkk., 2014). Senyawa fenolik dan
flavonoid terhidroksilasi yang terkandung di dalam daun gaharu diduga berpotensi
sebagai antioksidan.
Maserasi menggunakan etanol dapat melarutkan senyawa-senyawa seperti
terpenoid, klorofil, polimetoksi flavon, fenol, aglikon flavonoid polihidroksi,
flavonoid mono dan diglikosida, dan tanin, sedangkan infundasi dengan air panas
dapat melarutkan senyawa-senyawa seperti aglikon flavonoid polihidroksi, asam
fenolat, flavonoid mono, di, dan poliglikosida, tanin, garam alkaloid, mono dan
disakarida, dan asam amino (Pramono, 2015a). Komponen-komponen aktif dan
komponen yang tidak dibutuhkan dalam ekstrak daun gaharu yang diperoleh
secara maserasi dan infudasi diharapkan mampu dipisahkan dengan metode
ekstraksi partisi bertingkat (fraksinasi). Tahap partisi ini akan menyari senyawa
yang kepolarannya sesuai dengan pelarut (Harborne, 1987), sehingga fraksi yang
diinginkan akan bebas dari komponen yang tidak dibutuhkan. Fraksinasi dengan
n-heksana dilakukan pada ekstrak etanol daun gaharu, sehingga senyawa-senyawa
seperti klorofil, terpenoid (minyak atsiri), polimetoksi flavon dari daun gaharu
dapat terlarut dalam n-heksana dan senyawa flavonoid lainnya banyak tertinggal
36
dalam fraksi tak larut n-heksana. Sedangkan fraksinasi dengan etanol dilakukan
pada ekstrak air daun gaharu, sehingga senyawa-senyawa flavonoid selain bentuk
poliglikosida dalam ekstrak banyak yang terlarut dalam etanol, sedangkan
senyawa seperti flavonoid poliglikosida, garam alkaloid, mono dan disakarida,
asam amino, dan protein tetap tertinggal dalam ekstrak airnya (Pramono, 2015a).
Adanya fraksinasi dengan n-heksana pada ekstrak etanol hasil maserasi dan
fraksinasi dengan etanol pada ekstrak air hasil infundasi diharapkan dapat
meningkatkan kadar flavonoid total ekstrak hasil fraksinasi.
Golongan senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan adalah golongan
fenolik, flavonoid, asam fenolik, lignin, asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan
tanin (Kahkonen dkk., 1999). Senyawa-senyawa tersebut mudah larut dalam
etanol seperti telah disebutkan sebelumnya (Pramono, 2015a). Etanol dapat
mengekstraksi lebih banyak aglikon flavonoid daripada glikosida, sedangkan air
akan lebih banyak mengekstraksi bentuk glikosidanya. Bentuk aglikon flavonoid
memiliki efektivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada bentuk glikosida
(Pokorny dkk., 2001). Fraksinasi yang dilakukan pada ekstrak dapat
meningkatkan kadar senyawa aktif seperti flavonoid terhidroksilasi dan fenolik
yang memiliki aktivitas antioksidan. Oleh karena itu, diperkirakan fraksi tak larut
n-heksana yang diperoleh dari ekstrak etanol berpotensi memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi daripada ekstrak dan fraksi lainnya.
Antioksidan merupakan senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,
menangkap, menahan pembentukan atau meniadakan efek senyawa oksigen
reaktif (Lestariana, 2003) dengan cara memberi elektron atau reduktan, yang
37
mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi (Winarsi, 2007). Adanya
golongan senyawa flavonoid terhidroksilasi dalam suatu tanaman seringkali
dihubungkan dengan aktivitas antioksidannya. Aktivitas antioksidan pada
flavonoid diakibatkan dengan adanya gugus hidroksil bebas (Pokorny dkk., 2001).
Kadar flavonoid total pada ekstrak maupun fraksi daun gaharu diperkirakan
berkorelasi atau berhubungan dengan aktivitas antioksidan yang dihasilkan.
G. Hipotesis
1. Fraksi tak larut n-heksana dari ekstrak etanol hasil maserasi memiliki
aktivitas antioksidan paling besar dibandingkan ekstrak etanol, fraksi larut
etanol, dan ekstrak air hasil infundasi daun gaharu.
2. Fraksinasi yang dilakukan pada ekstrak daun gaharu dapat meningkatkan
kadar flavonoid totalnya.
3. Kadar flavonoid total dan aktivitas antioksidan yang diperoleh memiliki
korelasi.
Download