Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014 STRATEGI “ERMO” DALAM PENGAJARAN KONSEP-KONSEP KIMIA ABSTRAK-TEORITIS "ERMO" STRATEGY IN TEACHING OF ABSTRACT-THEORETICAL CHEMISTRY CONCEPTS I Wayan Suja Program Studi S3 Pendidikan Sains, Program Pasca Sarjana Unesa Kampus Ketintang, Surabaya, 60231; Telepon/Faksimile: +6231.8293484 e-mail: [email protected] Abstrak. Saat ini, banyak pendidik tidak menyampaikan ketiga level kimia — makroskopis, submikroskopis, dan simbolik —secara utuh dalam pembelajaran kimia di kelas. Selain itu, ada berbagai rekomendasi agar pembelajaran kimia diawali dengan memperkenalkan level makroskopis. Rekomendasi tersebut dipandang tidak cocok untuk pengajaran konsep-konsep kimia teoritis, yang tidak mungkin diamati karena ukurannya submikroskopis atau bersifat non material. Dalam artikel ini dipaparkan strategi “ERMO” (explanating, reasoning, modelling, observing) sebagai alternatif untuk pengajaran konsep-konsep kimia abstrak-teoritis. Kata-kata kunci: kimia, konsep-konsep abstrak-teoritis Abstract. Currently, many educators do not convey the full three levels of chemistry — macroscopic, submicroscopic, and symbolic —in chemistry learning in the classroom. Except that, there are various recommendations so that learning begins by introducing the macroscopic level. The recommendations are deemed not suitable for teaching concepts of theoretical chemistry, which may not be observed due to its size submikroskopis or non-material nature. In this article presented a strategy "ERMO" (explanating, reasoning, modeling, observing) as an alternative to teaching abstract-theoretical chemistry concepts. Key words: chemisty, abstract-theoretical concepts. mendengar, dan meraba dengan menggunakan panca indera secara langsung atau tidak langsung (menggunakan alat bantu) menuju mengamati foto, foster, video, dan lain-lainnya. Dalam konteks pembelajaran kimia, agar dapat mengajarkan konsep-konsep kimia secara efektif, pendidik mesti memahami karakteristik materi ajar kimia, yang terdiri atas tiga level: makroskopis, submikroskopis, dan simbolik (Johnstone, 2006; Ben-Zvi et al., 1987; Talanquer, 2011). Pembelajaran kimia seharusnya menyasar pada ketiga target level kimia tersebut dan interkoneksinya. Namun, berbagai data penelitian menunjukkan guru cenderung hanya mengajarkan level simbolik, atau level makroskopis dan simbolik (Gabel, 1993; Tasker & Dalton, 2006). Menurut Achmad & Baradja (2012), proses belajar-mengajar kimia mesti melibatkan siswa dan guru dalam sederetan kegiatan-kegiatan intelektual yang rumit dengan urutan: 1) mengamati fenomena dan mempelajari fakta, 2) memahami model dan teori, 3) mengembangkan keterampilan penalaran, dan 4) menguji epistemologi kimia. Hal senada juga PENDAHULUAN Pemberlakuan Kurikulum 2013 merekomendasikan agar pembelajaran dilakukan dengan pendekatan ilmiah (scientific approach), melalui langkah-langkah mengamati (observing), menanya (questioning), menalar (associating), mencoba (experimenting), dan mengkomunikasikan (communicating) (Depdikbud, 2013; Permendikbud Nomor 65 tahun 2013). Penerapan pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sains sudah tidak asing lagi, namun bisa bermasalah dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Mengamati merupakan keterampilan dasar dalam pembelajaran penemuan (discovery learning), namun tidak semua konsep bersifat nyata dan dapat diamati. Walaupun objeknya nyata, guru juga tidak selalu bisa menghadirkannya ke ruang kelas. Misalnya, guru sejarah tidak mungkin membawa Candi Prambanan ke dalam kelas agar bisa diamati oleh siswa. Untuk itu, guru hanya menampilkan foto sebagai representasinya. Kondisi itu menyebabkan makna kata “mengamati” mengalami perluasaan, dari kegiatan melihat benda, merasakan, mencium, C - 16 Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014 disampaikan oleh Tasker & Dalton (2006) yang menyatakan, bahwa pembelajaran kimia dimulai dengan mengamati fenomena kimia (level makroskopis). Selanjutnya, pebelajar didorong untuk mengeksplanasikan fenomena tersebut pada level submikroskopis. Representasi level submikroskopis tersebut dikonstruksi pebelajar berdasarkan hasil diskusi dan refleksi berbantuan visualisasi level submikroskopis (berupa animasi). Selanjutnya, pebelajar menghubungkannya dengan representasi level simbolik. Temuan Suja et al. (2008), tahap-tahap pembelajaran menurut Achmad & Baradja (2012), serta Tasker & Dalton (2006) cocok diterapkan untuk mengajarkan konsep-konsep kimia nyata, namun kurang efektif digunakan untuk mengajarkan konsepkonsep kimia abstrak. Konsep-konsep kimia yang bersifat teoritis, seperti struktur atom, orbital atom, ikatan kimia, interaksi antar molekul, momen dipol, dan stereokimia lebih efektif diajarkan mulai dari eksplanasi teoritis sebelum menyampaikan dukungan data empirisnya. Konsep-konsep tersebut tidak dapat diamati, yang bisa diukur atau diamati hanyalah dampaknya. Temuan tersebut sejalan dengan pandangan Gabel (1999), yang menyatakan pembelajaran konsep-konsep kimia abstrak-teoritis lebih efektif dimulai dengan pengenalan level submikroskopis, sebelum menghadirkan kimia deskriptif pada level makroskopis. Pada artikel ini akan dipaparkan alternatif strategi pengajaran konsep-konsep kimia teoritis atau abstrak menurut epistemologi Catur Pramana. Catur Pramana didefisikan sebagai empat cara untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut pandangan Filsafat Nyaya (Pendit, 2007), yaitu: pengamatan (observing), penalaran (reasoning), pemodelan (modelling) dan pernyataan dari sumber terpercaya (explanating). Keterjalinan dan kecocokan antara level-level kimia dengan cara untuk mempelajarinya menurut Catur Pramana dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Keterkaitan konten kimia dengan konteks pedagogi Catur Pramana (dikembangkan dari Jansoon, 2009) Dalam gambar skematis di atas ditampilkan masing-masing level kimia memiliki hubungan khusus dengan cara untuk memperoleh pengetahuan menurut Catur Pramana. Pengamatan berkaitan dengan pengenalan aspek makroskopis kimia (macrochemistry), penalaran untuk menjelaskan dan memprediksi apa yang terjadi di tingkat submikroskopis (microchemistry), serta pemodelan (modelling) berkaitan dengan aspek simbolik (representational chemistry). Pengetahuan yang benar tentang ketiga level kimia tersebut dan juga interkoneksinya juga bisa diperoleh dari buku dan penjelasan orang-orang yang berkompeten (explanating). Sebelum memaparkan strategi pengajaran konsep-konsep kimia abstrak-teoritis dengan epistemologi Catur Pramana, terlebih dulu akan dipaparkan karakteristik pembelajaran kimia. PEMBAHASAN 1. Karakterisktik Pembelajaran Kimia Para pakar pendidikan kimia seperti Ben-Zvi et al. (1987), Gabel et al. (1987), Johnstone (1991), dan Treagust et al. (2003) memandang pembelajaran dan pengajaran kimia perlu menyertakan tiga representasi level kimia, yakni: (1) level makroskopis, (2) level submikroskopis, dan (3) level simbolik. Ketiga level tersebut direpresentasikan sebagai segitiga pemahaman kimia. Representasi makroskopis. Representasi makroskopis diperoleh dari suatu fenomena yang dapat diamati dan dipersepsikan oleh panca indra (sensory level) secara langsung atau tidak langsung. Pengamatan dapat dilakukan melalui pengalaman sehari-hari, inkuiri laboratorium, atau studi lapangan, misalnya berkaitan dengan wujud zat, massa, kerapatan, konsentrasi, warna, suhu, pH larutan, konsentrasi, temperatur, dan tekanan osmosis (Gilbert & Treagust, 2009). Representasi level makroskopis bersifat deskriptif, namun pengembangan kemampuan pebelajar untuk merepresentasikan level makroskopis memerlukan bimbingan agar mereka bisa fokus terhadap aspek-aspek tertentu yang paling penting diamati dan direpresentasikan berdasarkan fenomena yang diamatinya. Representasi submikroskopis. Ide representasi submikroskopis didasarkan atas gagasan bahwa materi bersifat diskontinu dan terbuat dari partikel-partikel diskrit (Nakhleh, 1992; Snir, Smith, C - 17 Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014 & Raz, 2003). Representasi submikroskopis tersebut menjelaskan dan mengeksplanasikan struktur dan proses kimia pada level partikel materi (atom, ion, molekul). Penggunaan istilah submikroskopis merujuk pada tingkat ukuran partikel yang direpresentasikan lebih kecil dari level mikroskopis (dimensi 10-9 - 10-10 m). Representasi level submikroskopis tersebut sangat penting digunakan untuk mengeksplanasi fenomena makroskopis. Entitas submikroskopis tersebut nyata (real), namun terlalu kecil untuk bisa diamati. Operasi pada level submikroskopis memerlukan kemampuan untuk berimajinasi dan memvisualisasikan. Model representasi pada level ini mulai dari yang paling sederhana sampai menggunakan teknologi komputer, menggunakan kata-kata (verbal), diagram, gambar, dan model dua atau tiga dimensi yang bersifat statis atau dinamis (Gilbert & Treagust, 2009). Banyak kesulitan dialami oleh pebelajar dalam memahami konsep-konsep kimia, seperti reaksi kimia, perilaku gas, pelarutan, dan kesetimbangan kimia karena kekurangpahamannya tentang sifat partikel materi yang tergolong submikroskopis (Nakhleh, 1992). Di sisi lain, banyak penelitian menunjukkan bahwa penguasaan sifat partikel materi dapat meningkatkan pemahaman konseptual siswa dan kemampuan memecahkan masalah kimia (Gilbert & Treagust, 2009). Representasi simbolik. Representasi simbolik merupakan representasi kimia secara kualitatif dan kuantitatif yang digunakan untuk membantu menjelaskan level makroskopis dan submikroskopis. Representasi simbolik mencakup model-model kimia, seperti model ball and stick, model space-filling, rumus kimia, persamaan reaksi, persamaan matematika, grafik, diagram, analogi, kiasan, gambaran, gagasan, simulasi atau segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mengembangkan model mental pada pemahaman terhadap konsep ilmiah yang baru (Davidowitz & Chittleborough, 2009). Menurut Taber (2009), representasi simbolik bertindak sebagai bahasa persamaan kimia (the language of chemical equation), sehingga terdapat aturan-aturan (grammatical rules) yang harus diikuti. Kondisi itu diterapkan secara nyata oleh pendidik dan pebelajar kimia dalam memahami konten kimia. Level simbolik menuntut siswa agar mampu berpikir abstrak, namun ada kecenderungan mereka menghafalkan rumus-rumus kimia tanpa memahami makna dan fungsinya (Farida, 2012). Gabel (1999) juga memiliki bukti, bahwa pembelajaran yang didominasi oleh level simbolik cenderung tidak efektif karena siswa hanya akan menghafalkannya. Di sisi lain, menurut Taber (2009), level simbolik merupakan penghubung antara level submikroskopis dan makroskopis. Karena itu, level simbolik akan lebih mudah dipahami jika pebelajar telah menguasi kedua level lainnya. Penggunaan representasi dengan berbagai cara untuk merepresentasikan suatu fenomana disebut representasi ganda (multiple representation). Waldrip (2008) mendefinisikan representasi ganda sebagai praktik merepresentasikan (re-representing) konsep yang sama melalui berbagai bentuk, mencakup model-model representasi deskriptif (verbal, grafik, tabel), eksperimental, matematis, figuratif (piktorial, analogi, atau metafora), kinestetik, visual dan atau model aksionaloperasional. Di sisi lain, Treagust (2008) menggolongkan model-model dalam representasi ganda untuk mempelajari konsep-konsep sains (kimia), meliputi analogi, pemodelan, diagram, dan multimedia. Dengan definisi yang lebih luas, semua representasi seperti model, analogi, persamaan, grafik, diagram, gambar dan simulasi yang digunakan dalam sains (kimia), dapat dirujuk sebagai metafora. Suatu metafora menyediakan deskripsi mengenai fenomena nyata dalam istilah berbeda yang membuat pebelajar menjadi lebih akrab untuk mengenalinya. Status metaforikal dan peranan representasi dalam belajar kimia menjadi penting dan harus dipahami agar dapat digunakan dalam pembelajaran, terutama untuk membantu pebelajar yang tidak akrab dan sulit memahami konsep-konsep ilmiah. Metafora digunakan sebagai penghubung agar konsep menjadi lebih akrab dan mudah dimengerti, selanjutnya memberikan landasan bagi pebelajar dalam membangun konsep baru (Treagust, 2008). 2. Strategi Pengajaran Konsep-konsep Kimia Abstrak-Teoritis Konsep-konsep kimia abstrak-teoritis memerlukan strategi khusus dalam pembelajarannya. Strategi pembelajaran didefinisikan sebagai perencanaan tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (David dalam Sanjaya, 2012). Dalam artikel ini penulis menyampaikan satu alternatif strategi pengajaran konsep-konsep kimia abstrak-teoritis menggunakan urutan “ERMO” (explanatingreasoning-modelling-observing). Tahap 1. Mendengarkan/ membaca informasi (explanating) C - 18 Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014 Pada tahap pertama, pendidik menyiapkan informasi atau topik yang akan dipelajari pebelajar berkaitan dengan konsep-konsep kimia abstrakteoritis, misalnya struktur resonansi pada benzene yang menyebabkannya tidak dapat mengalami reaksi adisi. Informasi tersebut bisa diperoleh dari pendidik sendiri atau sumber informasi lainnya. Pebelajar mendengarkan penjelasan pendidik atau mendiskusikan informasi yang ada dalam buku teks. Dengan demikian, metode yang diterapkan dalam pembelajaran bisa ceramah, tanya jawab, atau diskusi kelompok. Sehubungan dengan itu, guru memerankan dirinya sebagai sumber belajar dan pengelola pembelajaran (learning manager). Informasi baru yang disajikan kepada pebelajar dalam proses penerimaan konsep seharusnya terletak sedikit di atas rata-rata kemampuan mereka pada saat itu, yang dikenal sebagai zone of proximal development (Woolfolk, 2009).). Dalam keadaan tersebut, sebagian pebelajar dapat mengasimilasi informasi baru tersebut ke dalam struktur kognitifnya, namun sebagian yang lain mengalami kesulitan. Pebelajar yang mengalami kesulitan dalam penerimaan konsep perlu diberikan bantuan (scaffolding) oleh teman atau gurunya agar mampu melakukan akomodasi dalam struktur mentalnya. Dengan demikian, informasi yang diterima pebelajar menyebabkan terjadinya transformasi pada struktur mental pebelajar, dan pembelajaran menjadi bermakna (Dahar, 1989). terhadap bidang ikatan sigma (σ) cincin benzena. Masing-masing dari keenam orbital p tersebut dapat menyumbangkan satu elektron membentuk ikatan pi (π). Dengan enam elektron p, benzena mengandung tiga ikatan pi. Hasil eksperimen menunjukkan, keenam ikatan karbon-karbon pada benzena memiliki panjang 1,40 Å, lebih panjang dari ikatan rangkap, C = C; sebaliknya lebih pendek dari ikatan tunggal, C – C (Fessenden & Fessenden, 1989). Tahap 3. Membuat model dan analogi (modelling) Menurut Slavin (2008), untuk membantu siswa menyimpan informasi dalam LTM dapat ditempuh berbagai strategi, di antaranya dengan membuat pembelajaran menjadi relevan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, misalnya dengan mengingatkan mereka pada informasiinformasi yang telah tersimpan dalam LTM yang ada kaitannya dengan informasi baru yang akan dipelajarinya. Menurut Ausuble (Woolfolk, 2008), strategi ini dinamakan advance organizer. Cara lainnya, yang akan digunakan dalam strategi “ERMO” adalah penggunaan model atau analogi. a. Menggambar struktur 2D/3D molekul (drawing) Pendidik memfasilitasi pebelajar dalam membangun model molekul menggunakan molymod, ChemDraw dan Cham3D. Pebelajar bersama kelompoknya membuat model molekul menggunakan molymod dan menggambarnya untuk menjelaskan sifat senyawanya. Sebagai contoh untuk kasus di atas, benzena (C6H6) memiliki rumus struktur sebagaimana diperlihatkan pada Skema 1. Tahap 2. Memberikan penjelasan submikroskopis (reasoning) Strategi penalaran yang digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep kimia abstrak-teoritis bersifat deduktif. Pembelajaran deduktif adalah strategi pembelajaran yang dilakukan dengan mempelajari konsep-konsep terlebih dulu untuk kemudian dicari kesimpulan dan ilustrasi-ilustrasi; atau bahan pelajaran yang dipelajari dimulai dari halhal yang abstrak, kemudian secara perlahan-lahan menuju hal yang konkret (Sanjaya, 2012). Pada tahap ini, pendidik menanyakan kepada pebelajar tentang struktur submikroskopis yang mendasari fenomena alam atau gejala yang diinformasikannya pada tahap eksplanasi. Sesuai dengan contoh di atas, misalnya, mengapa benzena tidak mengalami reaksi adisi jika direaksikan dengan larutan Br2 dalam CCl4? Benzena tergolong molekul homosiklik, dibentuk oleh enam atom karbon dan enam atom hidrogen. Setiap atom karbon terhibridisasi sp2 dan cincinnya bersifat planar (datar). Setiap atom karbon memiliki orbital p tak terhibridisasi tegak lurus Skema 1. Struktur Resonansi Benzena Fakta bahwa semua ikatan karbon-karbon pada cincin benzena memiliki panjang sama menunjukkan cincin benzena tidak memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (selang-seling dengan ikatan tunggal). Keenam elektron pi terdelokalisasi sempurna dalam awan muatan elektron dan disebut sebagai awan pi aromatik, yang digambarkan sebagai lingkaran di dalam rumus struktur benzena (Fessenden & Fessenden, 1989). Skema 2. Struktur Benzena dengan Awan pi Aromatik b. Membuat analogi (making analogy) C - 19 Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014 Penggunaan analogi akan membuat konsep abstrak yang asing menjadi lebih dikenal dengan membandingkan konsep tersebut dengan objek dan pengalaman keseharian. Analogi akan berfungsi jika murid sudah mengenal analognya dalam kehidupan sehari-hari (Harrison & Coll, 2013). Dalam kaitan dengan rumus struktur benzena, rumus Kekule sebagaimana digambarkan di atas, berasal dari analogi seekor ular yang menggigit ekornya (melingkar). Rumus struktur benzena yang sesungguhnya bukanlah bergeser bolak-balik dari satu struktur ke struktur lainnya, seperti digambarkan pada Skema 1. Struktur nyata benzena merupakan komposit dari dua struktur resonansi, atau hibridisasi resonansi dari dua struktur resonansi (Fessenden & Fessenden, 1989). Lambang resonansi bukan struktur nyata, struktur nyatanya adalah gabungan dari semua lambang resonansi (yang tidak nyata). Sebagai analogi, artis Sukma Ayu (manusia nyata) dapat digambarkan sebagai hibrida resonansi antara bidadari (khayalan) dan tuyul (khayalan). Sukma Ayu tidak bergeser bolak-balik dari bidadari ke tuyul, namun manusia dengan sifat fisik seperti bidadari (berparas ayu) dan tuyul (berkepala botak) secara bersamaan (Suja, 2011). Tahap Fokus Aksi Menurut Glynn (1991), penggunaan analogi bagaikan pedang bermata dua karena di satu sisi dapat mempercepat pemahaman ilmiah secara tepat, namun di sisi lain dapat juga menimbulkan terjadinya miskonsepsi. Untuk menghindari terjadinya miskonsepsi, penggunaan analogi mesti diarahkan agar tidak keluar dari target (konsep ilmiah). Untuk mengarahkan penafsiran terhadap analogi dapat digunakan metode FAR (fokus-aksirefleksi). Fokus: memastikan pebelajar mengetahui mengapa pendidik menggunakan analogi. Aksi: memastikan para pebelajar mengenal objek atau pengalaman keseharian yang ingin digunakan sebagai analog. Selain itu, memastikan bahwa pendidik selalu mendiskusikan bagian mana dari analog dapat digunakan dan tidak dapat digunakan. Refleksi: mengevaluasi keefektivan penggunaan analogi, serta menanyakan pada diri sendiri tentang perlunya merevisi penjelasan dan mencari cara lain yang lebih baik dalam menggunakan analogi tersebut di lain waktu (Harrison & Coll, 2013). Langkah-langkah implementasi metode FAR dalam mengajar dengan analogi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Langkah-langkah Metode FAR (Harrison & Coll, 2013) Unsur Penjelasan Konsep Apakah konsep tersebut sulit, asing, atau abstrak? Pebelajar Gagasan apa yang sudah diketahui pebelajar berkaitan dengan konsep itu? Analog Apakah analog tersebut sudah dikenal oleh pebelajar? Kemiripan Analog : …. Ketidakmiripan Refleksi Skema 3. Analogi Struktur Benzena Kesimpulan Perbaikan Diskusikan bagian-bagian dari analog yang memiliki kemiripan dengan konsep yang sedang dipelajari! Deskripsikan kemiripan di antara keduanya. Target : .... Diskusikan bagian-bagian dari analog yang tidak memiliki kesamaan dengan konsepnya Apakah analogi yang sudah digunakan jelas dan berguna atau membingungkan? Apakah upaya ini berhasil mencapai tujuan yang diharapkan? Berdasarkan hasil evaluasi pengajaran, adakah perubahan yang dibutuhkan saat akan menggunakan analogi tersebut? Gentner (1983) menyatakan analogi sebagai alat representasi untuk memahami sesuatu yang abstrak atau belum diketahui (sebagai domain target) dengan menggunakan pengetahuan lain yang telah dimiliki (sebagai domain dasar) berdasarkan kemiripan sifatnya. Menurut Zook (dalam Slavin, 2008), penggunaan analogi dapat membantu pebelajar mempelajari informasi baru dengan menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah dimilikinya. Pemilihan analogi dalam pembelajaran perlu mempertimbangkan dua hal berikut: 1) analogi tersebut harus benar-benar dikenal oleh pebelajar, C - 20 Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014 dan 2) pemetaan kemiripan antara fitur-fitur domain analogi (objek atau peristiwa yang dikenal) dan domain target (konsep sains) (Duit dalam Harrison & Jong, 2005). Mengingat tidak ada analogi mampu mencakup seluruh fitur target, maka perlu digunakan analogi ganda untuk mewakili lebih banyak fitur domain target, khususnya ketika konsep target bersifat kompleks dan abstrak (Thagard dalam Harrison & Jong, 2005). pribadi, sesuai dengan konstruktivisme individualpsikologis oleh Piaget, tetapi juga kepentingan komunitas. Hasil belajar yang diperoleh juga akan lebih baik dibandingkan dengan belajar individual, disamping memberikan dampak iringan, berupa perilaku pebelajar yang mampu bersama-sama belajar dan belajar bersama-sama (learning to life together). Kegiatan pembelajaran dilakukan dalam kelompok kooperatif (beranggotakan 3 – 5 orang pebelajar) dalam posisi duduk melingkar. Pada awalnya pendidik mengambil peran sentral, tetapi secara bertahap menyerahkan peran tersebut kepada pebelajar sesuai dengan semangat kepemimpinan Ki Hajar Dewantara: mulai dari ing arso sung tulodo (di depan menjadi panutan), kemudian ing madyo mangun karso (di tengah memberikan motivasi), dan akhirnya tut wuri handayani (dari belakang memberikan dorongan kepada pebelajar agar mengembangkan kreativitasnnya). Kegiatan tersebut, yang menurut teori pembelajaran Vygotsky dikenal sebagai scaffolding, dilaksanakan oleh pendidik untuk meningkatkan aktivitas dan tanggung jawab pebelajar, serta mengembangkan sikap mereka dari tergantung menuju mandiri. Pembelajaran melibatkan proses pengamatan objek atau fenomena melalui kegiatan praktikum atau demonstrasi. Langkah tersebut mempertegas peran laboratorium sebagai bagian kegiatan akademis kimia, bukan pelengkap pengajaran (Suja, 2008). Selain kegiatan laboratorium, strategi “ERMO” juga melibatkan kegiatan memvisualisasikan keberadaan dan dinamika partikel-partikel materi yang bersifat abstrak memakai model atau analogi. Kegiatan tersebut berguna untuk mengasimilasi informasi baru dengan pengetahuan yang sudah ada pada pikiran pebelajar, sehingga kegiatan pembelajaran menjadi lebih bermakna (Treagust et al., 1998). Tahap 4. Mengamati aspek makroskopis (observing) Pada tahap ini pendidik menyediakan berbagai objek atau fenomena yang diperlukan untuk membuktikan kebenaran informasi yang diperoleh pebelajar dari penjelasan pendidik atau buku teks. Dalam hal ini, pendidik lebih banyak berperan sebagai demonstrator dan fasilitator bagi pebelajar dalam melakukan pengamatan. Selanjutnya, pebelajar membuktikan kebenaran informasi yang diperolehnya melalui pengamatan terhadap objek atau fenomena tertentu. Tahap ini mengedepankan pada aspek kimia empiris dan estetis. Sebagai contoh, untuk membuktikan sifat benzena yang lebih menampakkan sifat senyawa jenuh dibandingkan tidak jenuh dilakukan reaksi brominasi dan nitrasi sebagai berikut. Skema 4. Reaksi Substitusi Elektrofilik pada Benzena SIMPULAN DAN SARAN Penerapan strategi “ERMO” dalam pengajaran konsep-konsep kimia abstrak-teoritis menekankan pada kerjasama (cooperative learning) dan peran aktif pebelajar dalam pembelajaran (student active learning). Selama pembelajaran, setiap pebelajar dapat membangun model mentalnya tentang triplet kimia melalui kegiatan penerimaan informasi, penalaran, pembentukan/imaginasi model dan analogi, serta pembuktian melalui kegiatan observasi. Pembelajaran secara berkelompok merupakan penerapan teori konstruktivisme Vygosky yang relevan dengan budaya bangsa Indonesia, yang menghendaki adanya harmoni antara manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Dengan demikian, belajar tidak hanya menjadi kebutuhan Berdasarkan uraian di depan dapat diambil simpulan sebagai berikut. Pertama, materi ajar kimia mencakup level makroskopis, submikroskopis, dan simbolik. Sampai saat ini belum ada urutan yang jelas tentang pengajaran ketiga level kimia tersebut, namun ada kecenderungan pendidik hanya menekankan pada level tertentu atau hanya memperkenalkan level makroskopis dan simbolik. Akibatnya, pemahaman siswa tentang konten kimia hanya bersifat permukaan dan tidak mampu membuat interkoneksi di antara ketiga level tersebut. Kedua, pemilihan strategi pembelajaran konsep-konsep kimia mesti mempertimbangkan karakteristik konsep tersebut. Salah satu alternatif pembelajaran konsep- C - 21 Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014 konsep kimia abstrak-teoritis adalah dengan menerapkan strategi pembelajaran “ERMO” dengan sintaks pembelajaran explanating-reasoningmodelling-observing. Pada tahap eksplanasi pebelajar menerima informasi dari pendidik atau mencari informasi dari berbagai sumber belajar, terutama dari buku; dilanjutkan dengan penalaran deduktif pada tingkat molekuler (submikroskopis). Pada tahap pemodelan pebelajar berlatih membuat dan membayangkan struktur dua atau tiga-dimensi molekul sebagai dasar untuk menjelaskan dan memprediksi kereaktivan senyawanya. Untuk membantu pebelajar dalam memahami struktur dan sifat senyawa, dilanjutkan dengan pengembangan analogi. Terakhir, untuk membuktikan sifat senyawa sebagaimana diinformasikan oleh guru atau melalui buku dan penalarannya, dilakukan praktikum dengan metode demonstrasi. Agar dapat menerapkan strategi “ERMO” dalam pengajaran kimia di kelas/laboratorium, satuan pendidikan perlu menyediakan fasilitas pendukung secara memadai, termasuk peralatan dan bahan-bahan kimia. Mengingat praktikum menjadi bagian penting dalam pembelajaran kimia, pengajaran teori dan praktikum kimia sebaiknya dilakukan secara terintegrasi. Gilbert, J. K., & Treagust, D. F. (eds), 2009. Models and Modellingi in Science Education Multiple Representations in Chemistry Education. Dordrecht: Springer. DAFTAR PUSTAKA Nakhleh, M. B., 1992. Why some students don’t learn chemistry: Chemical misconceptions. Journal of Chemical Education, 69: 191 – 169. Glynn, S. M., 1991. “Explaining Science Concepts: A Teaching with Analogies Model.” In S. Glynn, R. Yeany, & B. Britton (Eds.), The Psychology of Learning Science (pp. 219 – 240). Hillsdale, NJ: Erlbaum. Harrison, A. G. & Coll, R. K., 2013. Using Analogies in Middle and Secondary Science Classrooms The Far Guide – An Interesting Way to Teach With Analogies. Terjemahan Akhlis Nursetiadi. Jakarta: PT Indeks. Harrison, A. G., & Jong, O. D., 2005. “Using multiple analogies: case study of a chemistry teachers’ preparations, presentations and reflections.” In Boersma, K., et al. (eds). Research and the quality of science education, 353-364. Dordrecht: Springer. Jansoon, N., 2009. Understanding Mental Models of Dilution in Thai Students. International Journal of Environmental & Science Education. 4(2): 147 – 168. Johnstone, 1991. Why is science difficult to learn? Things are seldom what they seem. Journal of Computer Assisted Learning, 7: 75 – 83. Johnstone, A. H., 2006. Chemical education research in Glasgow in perspective. Chemistry Education and Practice, 7(2): 49 – 63. Kemendikbud, 2013. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Achmad, H. & Baradja, L., Demonstrasi Sains Kimia: Kimia Deskriptif melalui Demo Kimia Jilid 1. Bandung: Nuansa. Pendit, S., 2007. Filsafat Hindu Dharma: Sad-Darśana. Denpasar: Bali Post. Ben-Zvi, R., Eylon, B., & Silberstein, J., 1987. Is an atom of copper malleable? Journal of Chemical of Education, 63(1): 64 – 66. Dahar, R. W., 1996. Erlangga. Teori-teori Belajar. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R I Nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan dasar dan Menengah. Jakarta: Sanjaya, W., 2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Davidowitz, B., & Chittleborough, G. D., 2009. “Linking the macroscopic and sub-microscopic levels: Diagram.” In: J. Gilbert & D. Treagust (Eds.), Multiple Representation in Chemical Education: Models and Modelling in Science Education. Dordrecht: Springer. pp. 169 – 191. Slavin, R. E., 2008. Educational Psychology Theory and Practice. 8th edition. Boston: Pearson. Snir, J., Smith, C. L., & Raz, G., 2003. Linking Phenomena with Competing Underlying Models: A Software Tool for Introducing Students to the Particulate Model of Matter. Science Education, 87(6), 794830. Farida, I., 2012. Interkoneksi multipel level representasi mahasiswa calon guru pada kesetimbangan larutan melalui pembelajaran berbasis web. Disertasi tidak dipublikasikan. Bandung: Pendidikan IPA PPs UPI. Suja, I W., 2008. Analisis Kebutuhan Pengembangan Perangkat Kerja Ilmiah dalam Pembelajaran Kimia di SMA. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 41(1): 204 – 218. Fessenden, R. J. & Fessenden, J. S., 1989. Organic Chemistry. Terjemahan Aloysius Hadyana Pudjaatmaka. Jakarta: Penerbit Erlangga. Gabel, D., 1999. Improving teaching and learning through chemistry education research: a look to the future. Journal of Chemical Education. 76(4): 548 – 553. Suja, I W., 2011. Membangun Pedagogical Content Knowledge Berbasis Anumana dan Upamana Pramana dalam Pembelajaran Kimia. Jurnal Pendidikan Kimia Indonesia. 1(2): 46 – 63. Gentner, D., 1983. Stucture mapping: a theoretical framework for analogy. Cognitive Science, 7: 155 – 170. Suja, I W., Retug, N., & Siregar, M., 2008. Pengembangan Model Pembelajaran Kimia Berbasis Siklus Belajar Catur Pramana. Laporan Penelitian Research C - 22 Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014 Grant I-MHERE Undiksha Tidak dipublikasikan. Singaraja: Lembaga Penelitian Undiksha. Taber, K. S., 2009. “Learning at the Symbolic Level.” In Gilbert, J. K. & Treagust, D. F.(eds). Models and Modellingi in Science Education Multiple Representations in Chemistry Education. Dordrecht: Springer. Talanquer, V., 2011. Macro, Submicro, and Symbolic: The many faces of the chemistry “triplet.” International Journal of Science Education, 33(2):179–195. Tasker, D., & Dalton, R., 2006. Research into Practice: visualization of the molecular world using animations. Chem. Educ. Res. Prac., 7: 141 – 159. Treagust, D. F. & Chandrasegaran, A. L. 2009. “Linking the Macroscopic and Sub-microscopic Level: Diagrams.” In J. K. Gilbert and D. Treagust (eds). Multiple Representation in Chemical Education, p. 169 – 191. Scotland: Springer. Treagust, D. F., 2008. Development and Use of Diagnostic Test to Evaluate Students’ Misconceptionin Science. International Journal of Science Education, 10(2): 159-169. Treagust, D. F., Chittleborough, G. & Mamiala, T. L., 2003. The Role of Submicroscopic and Symbolic Representations in Chemical Explanations. International Journal of Science Education, 25: 1353 – 1368. Waldrip, B., 2008. Improving Learning Through Use of Representatio in Science, Proceeding of The Second International Seminar on Science Education, UPI Bandung Indonesia. Woolfolk, A., 2009. Education Psychology Active Learning Edition (Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. C - 23