Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602

advertisement
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3.
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
STRATEGI “ERMO” DALAM PENGAJARAN KONSEP-KONSEP KIMIA
ABSTRAK-TEORITIS
"ERMO" STRATEGY IN TEACHING OF ABSTRACT-THEORETICAL
CHEMISTRY CONCEPTS
I Wayan Suja
Program Studi S3 Pendidikan Sains, Program Pasca Sarjana Unesa
Kampus Ketintang, Surabaya, 60231; Telepon/Faksimile: +6231.8293484
e-mail: [email protected]
Abstrak. Saat ini, banyak pendidik tidak menyampaikan ketiga level kimia — makroskopis, submikroskopis, dan
simbolik —secara utuh dalam pembelajaran kimia di kelas. Selain itu, ada berbagai rekomendasi agar pembelajaran
kimia diawali dengan memperkenalkan level makroskopis. Rekomendasi tersebut dipandang tidak cocok untuk
pengajaran konsep-konsep kimia teoritis, yang tidak mungkin diamati karena ukurannya submikroskopis atau
bersifat non material. Dalam artikel ini dipaparkan strategi “ERMO” (explanating, reasoning, modelling,
observing) sebagai alternatif untuk pengajaran konsep-konsep kimia abstrak-teoritis.
Kata-kata kunci: kimia, konsep-konsep abstrak-teoritis
Abstract. Currently, many educators do not convey the full three levels of chemistry — macroscopic,
submicroscopic, and symbolic —in chemistry learning in the classroom. Except that, there are various
recommendations so that learning begins by introducing the macroscopic level. The recommendations are deemed
not suitable for teaching concepts of theoretical chemistry, which may not be observed due to its size
submikroskopis or non-material nature. In this article presented a strategy "ERMO" (explanating, reasoning,
modeling, observing) as an alternative to teaching abstract-theoretical chemistry concepts.
Key words: chemisty, abstract-theoretical concepts.
mendengar, dan meraba dengan menggunakan panca
indera secara langsung atau tidak langsung
(menggunakan alat bantu) menuju mengamati foto,
foster, video, dan lain-lainnya.
Dalam konteks pembelajaran kimia, agar
dapat mengajarkan konsep-konsep kimia secara
efektif, pendidik mesti memahami karakteristik
materi ajar kimia, yang terdiri atas tiga level:
makroskopis,
submikroskopis,
dan
simbolik
(Johnstone, 2006; Ben-Zvi et al., 1987; Talanquer,
2011). Pembelajaran kimia seharusnya menyasar
pada ketiga target level kimia tersebut dan
interkoneksinya. Namun, berbagai data penelitian
menunjukkan guru cenderung hanya mengajarkan
level simbolik, atau level makroskopis dan simbolik
(Gabel, 1993; Tasker & Dalton, 2006).
Menurut Achmad & Baradja (2012), proses
belajar-mengajar kimia mesti melibatkan siswa dan
guru dalam sederetan kegiatan-kegiatan intelektual
yang rumit dengan urutan: 1) mengamati fenomena
dan mempelajari fakta, 2) memahami model dan
teori, 3) mengembangkan keterampilan penalaran,
dan 4) menguji epistemologi kimia. Hal senada juga
PENDAHULUAN
Pemberlakuan Kurikulum 2013 merekomendasikan
agar pembelajaran dilakukan dengan pendekatan
ilmiah (scientific approach), melalui langkah-langkah
mengamati (observing), menanya (questioning),
menalar (associating), mencoba (experimenting), dan
mengkomunikasikan (communicating) (Depdikbud,
2013; Permendikbud Nomor 65 tahun 2013).
Penerapan pendekatan ilmiah dalam pembelajaran
sains sudah tidak asing lagi, namun bisa bermasalah
dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Mengamati merupakan keterampilan dasar
dalam pembelajaran penemuan (discovery learning),
namun tidak semua konsep bersifat nyata dan dapat
diamati. Walaupun objeknya nyata, guru juga tidak
selalu bisa menghadirkannya ke ruang kelas.
Misalnya, guru sejarah tidak mungkin membawa
Candi Prambanan ke dalam kelas agar bisa diamati
oleh siswa. Untuk itu, guru hanya menampilkan foto
sebagai representasinya. Kondisi itu menyebabkan
makna kata “mengamati” mengalami perluasaan, dari
kegiatan melihat benda, merasakan, mencium,
C - 16
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3.
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
disampaikan oleh Tasker & Dalton (2006) yang
menyatakan, bahwa pembelajaran kimia dimulai
dengan mengamati fenomena kimia (level
makroskopis). Selanjutnya, pebelajar didorong untuk
mengeksplanasikan fenomena tersebut pada level
submikroskopis. Representasi level submikroskopis
tersebut dikonstruksi pebelajar berdasarkan hasil
diskusi dan refleksi berbantuan visualisasi level
submikroskopis (berupa animasi).
Selanjutnya,
pebelajar menghubungkannya dengan representasi
level simbolik.
Temuan Suja et al. (2008), tahap-tahap
pembelajaran menurut Achmad & Baradja (2012),
serta Tasker & Dalton (2006) cocok diterapkan untuk
mengajarkan konsep-konsep kimia nyata, namun
kurang efektif digunakan untuk mengajarkan konsepkonsep kimia abstrak. Konsep-konsep kimia yang
bersifat teoritis, seperti struktur atom, orbital atom,
ikatan kimia, interaksi antar molekul, momen dipol,
dan stereokimia lebih efektif diajarkan mulai dari
eksplanasi teoritis sebelum menyampaikan dukungan
data empirisnya. Konsep-konsep tersebut tidak dapat
diamati, yang bisa diukur atau diamati hanyalah
dampaknya.
Temuan tersebut sejalan dengan
pandangan Gabel (1999), yang menyatakan
pembelajaran konsep-konsep kimia abstrak-teoritis
lebih efektif dimulai dengan pengenalan level
submikroskopis, sebelum menghadirkan kimia
deskriptif pada level makroskopis.
Pada artikel ini akan dipaparkan alternatif
strategi pengajaran konsep-konsep kimia teoritis atau
abstrak menurut epistemologi Catur Pramana. Catur
Pramana didefisikan sebagai empat cara untuk
memperoleh pengetahuan yang benar menurut
pandangan Filsafat Nyaya (Pendit, 2007), yaitu:
pengamatan (observing), penalaran (reasoning),
pemodelan (modelling) dan pernyataan dari sumber
terpercaya (explanating). Keterjalinan dan kecocokan
antara level-level kimia dengan cara untuk
mempelajarinya menurut Catur Pramana dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Keterkaitan konten kimia dengan
konteks pedagogi Catur Pramana
(dikembangkan dari Jansoon, 2009)
Dalam gambar skematis di atas ditampilkan
masing-masing level kimia memiliki hubungan
khusus dengan cara untuk memperoleh pengetahuan
menurut Catur Pramana. Pengamatan berkaitan
dengan pengenalan aspek makroskopis kimia
(macrochemistry), penalaran untuk menjelaskan dan
memprediksi apa yang terjadi di tingkat
submikroskopis (microchemistry), serta pemodelan
(modelling) berkaitan dengan aspek simbolik
(representational chemistry).
Pengetahuan yang
benar tentang ketiga level kimia tersebut dan juga
interkoneksinya juga bisa diperoleh dari buku dan
penjelasan
orang-orang
yang
berkompeten
(explanating).
Sebelum memaparkan strategi pengajaran
konsep-konsep kimia abstrak-teoritis dengan
epistemologi Catur Pramana, terlebih dulu akan
dipaparkan karakteristik pembelajaran kimia.
PEMBAHASAN
1.
Karakterisktik Pembelajaran Kimia
Para pakar pendidikan kimia seperti Ben-Zvi
et al. (1987), Gabel et al. (1987), Johnstone (1991),
dan Treagust et al. (2003) memandang pembelajaran
dan pengajaran kimia perlu menyertakan tiga
representasi level kimia, yakni: (1) level
makroskopis, (2) level submikroskopis, dan (3) level
simbolik. Ketiga level tersebut direpresentasikan
sebagai segitiga pemahaman kimia.
Representasi makroskopis. Representasi
makroskopis diperoleh dari suatu fenomena yang
dapat diamati dan dipersepsikan oleh panca indra
(sensory level) secara langsung atau tidak langsung.
Pengamatan dapat dilakukan melalui pengalaman
sehari-hari, inkuiri laboratorium, atau studi lapangan,
misalnya berkaitan dengan wujud zat, massa,
kerapatan, konsentrasi, warna, suhu, pH larutan,
konsentrasi, temperatur, dan tekanan osmosis (Gilbert
& Treagust, 2009). Representasi level makroskopis
bersifat
deskriptif,
namun
pengembangan
kemampuan pebelajar untuk merepresentasikan level
makroskopis memerlukan bimbingan agar mereka
bisa fokus terhadap aspek-aspek tertentu yang paling
penting diamati dan direpresentasikan berdasarkan
fenomena yang diamatinya.
Representasi
submikroskopis.
Ide
representasi submikroskopis didasarkan atas gagasan
bahwa materi bersifat diskontinu dan terbuat dari
partikel-partikel diskrit (Nakhleh, 1992; Snir, Smith,
C - 17
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3.
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
& Raz, 2003). Representasi submikroskopis tersebut
menjelaskan dan mengeksplanasikan struktur dan
proses kimia pada level partikel materi (atom, ion,
molekul). Penggunaan istilah submikroskopis
merujuk pada tingkat ukuran partikel yang
direpresentasikan lebih kecil dari level mikroskopis
(dimensi 10-9 - 10-10 m).
Representasi level submikroskopis tersebut
sangat penting digunakan untuk mengeksplanasi
fenomena makroskopis.
Entitas submikroskopis
tersebut nyata (real), namun terlalu kecil untuk bisa
diamati. Operasi pada level submikroskopis
memerlukan kemampuan untuk berimajinasi dan
memvisualisasikan. Model representasi pada level ini
mulai dari yang paling sederhana sampai
menggunakan teknologi komputer, menggunakan
kata-kata (verbal), diagram, gambar, dan model dua
atau tiga dimensi yang bersifat statis atau dinamis
(Gilbert & Treagust, 2009).
Banyak kesulitan dialami oleh pebelajar dalam
memahami konsep-konsep kimia, seperti reaksi
kimia, perilaku gas, pelarutan, dan kesetimbangan
kimia karena kekurangpahamannya tentang sifat
partikel materi yang tergolong submikroskopis
(Nakhleh, 1992). Di sisi lain, banyak penelitian
menunjukkan bahwa penguasaan sifat partikel materi
dapat meningkatkan pemahaman konseptual siswa
dan kemampuan memecahkan masalah kimia (Gilbert
& Treagust, 2009).
Representasi
simbolik.
Representasi
simbolik merupakan representasi kimia secara
kualitatif dan kuantitatif yang digunakan untuk
membantu menjelaskan level makroskopis dan
submikroskopis. Representasi simbolik mencakup
model-model kimia, seperti model ball and stick,
model space-filling, rumus kimia, persamaan reaksi,
persamaan matematika, grafik, diagram, analogi,
kiasan, gambaran, gagasan, simulasi atau segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk mengembangkan
model mental pada pemahaman terhadap konsep
ilmiah yang baru (Davidowitz & Chittleborough,
2009). Menurut Taber (2009), representasi simbolik
bertindak sebagai bahasa persamaan kimia (the
language of chemical equation), sehingga terdapat
aturan-aturan (grammatical rules) yang harus diikuti.
Kondisi itu diterapkan secara nyata oleh pendidik dan
pebelajar kimia dalam memahami konten kimia.
Level simbolik menuntut siswa agar mampu
berpikir abstrak, namun ada kecenderungan mereka
menghafalkan rumus-rumus kimia tanpa memahami
makna dan fungsinya (Farida, 2012). Gabel (1999)
juga memiliki bukti, bahwa pembelajaran yang
didominasi oleh level simbolik cenderung tidak
efektif karena siswa hanya akan menghafalkannya.
Di sisi lain, menurut Taber (2009), level simbolik
merupakan penghubung antara level submikroskopis
dan makroskopis. Karena itu, level simbolik akan
lebih mudah dipahami jika pebelajar telah menguasi
kedua level lainnya.
Penggunaan representasi dengan berbagai cara
untuk merepresentasikan suatu fenomana disebut
representasi ganda (multiple representation).
Waldrip (2008) mendefinisikan representasi ganda
sebagai praktik merepresentasikan (re-representing)
konsep yang sama melalui berbagai bentuk,
mencakup model-model representasi deskriptif
(verbal, grafik, tabel), eksperimental, matematis,
figuratif (piktorial, analogi, atau metafora),
kinestetik, visual dan atau model aksionaloperasional.
Di sisi lain, Treagust (2008)
menggolongkan model-model dalam representasi
ganda untuk mempelajari konsep-konsep sains
(kimia), meliputi analogi, pemodelan, diagram, dan
multimedia. Dengan definisi yang lebih luas, semua
representasi seperti model, analogi, persamaan,
grafik, diagram, gambar dan simulasi yang digunakan
dalam sains (kimia), dapat dirujuk sebagai metafora.
Suatu metafora menyediakan deskripsi mengenai
fenomena nyata dalam istilah berbeda yang membuat
pebelajar menjadi lebih akrab untuk mengenalinya.
Status metaforikal dan peranan representasi
dalam belajar kimia menjadi penting dan harus
dipahami agar dapat digunakan dalam pembelajaran,
terutama untuk membantu pebelajar yang tidak akrab
dan sulit memahami konsep-konsep ilmiah. Metafora
digunakan sebagai penghubung agar konsep menjadi
lebih akrab dan mudah dimengerti, selanjutnya
memberikan landasan bagi pebelajar dalam
membangun konsep baru (Treagust, 2008).
2.
Strategi Pengajaran Konsep-konsep
Kimia Abstrak-Teoritis
Konsep-konsep
kimia
abstrak-teoritis
memerlukan strategi khusus dalam pembelajarannya.
Strategi
pembelajaran
didefinisikan
sebagai
perencanaan tentang rangkaian kegiatan yang
didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
(David dalam Sanjaya, 2012). Dalam artikel ini
penulis menyampaikan satu alternatif strategi
pengajaran konsep-konsep kimia abstrak-teoritis
menggunakan urutan “ERMO” (explanatingreasoning-modelling-observing).
Tahap 1. Mendengarkan/ membaca informasi
(explanating)
C - 18
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3.
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
Pada tahap pertama, pendidik menyiapkan
informasi atau topik yang akan dipelajari pebelajar
berkaitan dengan konsep-konsep kimia abstrakteoritis, misalnya struktur resonansi pada benzene
yang menyebabkannya tidak dapat mengalami reaksi
adisi. Informasi tersebut bisa diperoleh dari pendidik
sendiri atau sumber informasi lainnya. Pebelajar
mendengarkan
penjelasan
pendidik
atau
mendiskusikan informasi yang ada dalam buku teks.
Dengan demikian, metode yang diterapkan dalam
pembelajaran bisa ceramah, tanya jawab, atau diskusi
kelompok.
Sehubungan
dengan
itu,
guru
memerankan dirinya sebagai sumber belajar dan
pengelola pembelajaran (learning manager).
Informasi baru yang disajikan kepada
pebelajar dalam proses penerimaan konsep
seharusnya terletak sedikit di atas rata-rata
kemampuan mereka pada saat itu, yang dikenal
sebagai zone of proximal development (Woolfolk,
2009).). Dalam keadaan tersebut, sebagian pebelajar
dapat mengasimilasi informasi baru tersebut ke
dalam struktur kognitifnya, namun sebagian yang lain
mengalami kesulitan. Pebelajar yang mengalami
kesulitan dalam penerimaan konsep perlu diberikan
bantuan (scaffolding) oleh teman atau gurunya agar
mampu melakukan akomodasi dalam struktur
mentalnya.
Dengan demikian, informasi yang
diterima
pebelajar
menyebabkan
terjadinya
transformasi pada struktur mental pebelajar, dan
pembelajaran menjadi bermakna (Dahar, 1989).
terhadap bidang ikatan sigma (σ) cincin benzena.
Masing-masing dari keenam orbital p tersebut dapat
menyumbangkan satu elektron membentuk ikatan pi
(π). Dengan enam elektron p, benzena mengandung
tiga ikatan pi. Hasil eksperimen menunjukkan,
keenam ikatan karbon-karbon pada benzena memiliki
panjang 1,40 Å, lebih panjang dari ikatan rangkap,
C = C; sebaliknya lebih pendek dari ikatan tunggal,
C – C (Fessenden & Fessenden, 1989).
Tahap 3. Membuat model dan analogi (modelling)
Menurut Slavin (2008), untuk membantu
siswa menyimpan informasi dalam LTM dapat
ditempuh berbagai strategi, di antaranya dengan
membuat pembelajaran menjadi relevan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa, misalnya
dengan mengingatkan mereka pada informasiinformasi yang telah tersimpan dalam LTM yang ada
kaitannya dengan informasi baru yang akan
dipelajarinya. Menurut Ausuble (Woolfolk, 2008),
strategi ini dinamakan advance organizer. Cara
lainnya, yang akan digunakan dalam strategi
“ERMO” adalah penggunaan model atau analogi.
a. Menggambar struktur 2D/3D molekul (drawing)
Pendidik memfasilitasi pebelajar dalam
membangun model molekul menggunakan molymod,
ChemDraw dan Cham3D. Pebelajar bersama
kelompoknya membuat model molekul menggunakan
molymod dan menggambarnya untuk menjelaskan
sifat senyawanya. Sebagai contoh untuk kasus di
atas, benzena (C6H6) memiliki rumus struktur
sebagaimana diperlihatkan pada Skema 1.
Tahap 2. Memberikan penjelasan
submikroskopis (reasoning)
Strategi penalaran yang digunakan untuk
mengajarkan konsep-konsep kimia abstrak-teoritis
bersifat deduktif. Pembelajaran deduktif adalah
strategi pembelajaran yang dilakukan dengan
mempelajari konsep-konsep terlebih dulu untuk
kemudian dicari kesimpulan dan ilustrasi-ilustrasi;
atau bahan pelajaran yang dipelajari dimulai dari halhal yang abstrak, kemudian secara perlahan-lahan
menuju hal yang konkret (Sanjaya, 2012). Pada
tahap ini, pendidik menanyakan kepada pebelajar
tentang struktur submikroskopis yang mendasari
fenomena alam atau gejala yang diinformasikannya
pada tahap eksplanasi. Sesuai dengan contoh di atas,
misalnya, mengapa benzena tidak mengalami reaksi
adisi jika direaksikan dengan larutan Br2 dalam CCl4?
Benzena tergolong molekul homosiklik,
dibentuk oleh enam atom karbon dan enam atom
hidrogen. Setiap atom karbon terhibridisasi sp2 dan
cincinnya bersifat planar (datar). Setiap atom karbon
memiliki orbital p tak terhibridisasi tegak lurus
Skema 1. Struktur Resonansi Benzena
Fakta bahwa semua ikatan karbon-karbon
pada cincin benzena memiliki panjang sama
menunjukkan cincin benzena tidak memiliki ikatan
rangkap terkonjugasi (selang-seling dengan ikatan
tunggal).
Keenam elektron pi terdelokalisasi
sempurna dalam awan muatan elektron dan disebut
sebagai awan pi aromatik, yang digambarkan
sebagai lingkaran di dalam rumus struktur benzena
(Fessenden & Fessenden, 1989).
Skema 2. Struktur Benzena dengan Awan pi
Aromatik
b. Membuat analogi (making analogy)
C - 19
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3.
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
Penggunaan analogi akan membuat konsep
abstrak yang asing menjadi lebih dikenal dengan
membandingkan konsep tersebut dengan objek dan
pengalaman keseharian. Analogi akan berfungsi jika
murid sudah mengenal analognya dalam kehidupan
sehari-hari (Harrison & Coll, 2013). Dalam kaitan
dengan rumus struktur benzena, rumus Kekule
sebagaimana digambarkan di atas, berasal dari
analogi seekor ular yang menggigit ekornya
(melingkar).
Rumus struktur benzena yang
sesungguhnya bukanlah bergeser bolak-balik dari
satu struktur ke struktur lainnya, seperti digambarkan
pada Skema 1. Struktur nyata benzena merupakan
komposit dari dua struktur resonansi, atau hibridisasi
resonansi dari dua struktur resonansi (Fessenden &
Fessenden, 1989).
Lambang resonansi bukan struktur nyata,
struktur nyatanya adalah gabungan dari semua
lambang resonansi (yang tidak nyata). Sebagai
analogi, artis Sukma Ayu (manusia nyata) dapat
digambarkan sebagai hibrida resonansi antara
bidadari (khayalan) dan tuyul (khayalan). Sukma
Ayu tidak bergeser bolak-balik dari bidadari ke tuyul,
namun manusia dengan sifat fisik seperti bidadari
(berparas ayu) dan tuyul (berkepala botak) secara
bersamaan (Suja, 2011).
Tahap
Fokus
Aksi
Menurut Glynn (1991), penggunaan analogi
bagaikan pedang bermata dua karena di satu sisi
dapat mempercepat pemahaman ilmiah secara tepat,
namun di sisi lain dapat juga menimbulkan terjadinya
miskonsepsi.
Untuk menghindari terjadinya
miskonsepsi, penggunaan analogi mesti diarahkan
agar tidak keluar dari target (konsep ilmiah).
Untuk mengarahkan penafsiran terhadap
analogi dapat digunakan metode FAR (fokus-aksirefleksi). Fokus: memastikan pebelajar mengetahui
mengapa pendidik menggunakan analogi. Aksi:
memastikan para pebelajar mengenal objek atau
pengalaman keseharian yang ingin digunakan sebagai
analog. Selain itu, memastikan bahwa pendidik selalu
mendiskusikan bagian mana dari analog dapat
digunakan dan tidak dapat digunakan. Refleksi:
mengevaluasi keefektivan penggunaan analogi, serta
menanyakan pada diri sendiri tentang perlunya
merevisi penjelasan dan mencari cara lain yang lebih
baik dalam menggunakan analogi tersebut di lain
waktu (Harrison & Coll, 2013). Langkah-langkah
implementasi metode FAR dalam mengajar dengan
analogi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Langkah-langkah Metode FAR (Harrison & Coll, 2013)
Unsur
Penjelasan
Konsep
Apakah konsep tersebut sulit, asing, atau abstrak?
Pebelajar
Gagasan apa yang sudah diketahui pebelajar berkaitan dengan konsep
itu?
Analog
Apakah analog tersebut sudah dikenal oleh pebelajar?
Kemiripan
Analog : ….
Ketidakmiripan
Refleksi
Skema 3. Analogi Struktur Benzena
Kesimpulan
Perbaikan
Diskusikan bagian-bagian dari analog yang memiliki kemiripan dengan
konsep yang sedang dipelajari! Deskripsikan kemiripan di antara
keduanya.
Target : ....
Diskusikan bagian-bagian dari analog yang tidak memiliki kesamaan
dengan konsepnya
Apakah analogi yang sudah digunakan jelas dan berguna atau
membingungkan? Apakah upaya ini berhasil mencapai tujuan yang
diharapkan?
Berdasarkan hasil evaluasi pengajaran, adakah perubahan yang
dibutuhkan saat akan menggunakan analogi tersebut?
Gentner (1983) menyatakan analogi sebagai
alat representasi untuk memahami sesuatu yang
abstrak atau belum diketahui (sebagai domain target)
dengan menggunakan pengetahuan lain yang telah
dimiliki (sebagai domain dasar) berdasarkan
kemiripan sifatnya. Menurut Zook (dalam Slavin,
2008), penggunaan analogi dapat membantu
pebelajar mempelajari informasi baru dengan
menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah
dimilikinya. Pemilihan analogi dalam pembelajaran
perlu mempertimbangkan dua hal berikut: 1) analogi
tersebut harus benar-benar dikenal oleh pebelajar,
C - 20
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3.
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
dan 2) pemetaan kemiripan antara fitur-fitur domain
analogi (objek atau peristiwa yang dikenal) dan
domain target (konsep sains) (Duit dalam Harrison &
Jong, 2005). Mengingat tidak ada analogi mampu
mencakup seluruh fitur target, maka perlu digunakan
analogi ganda untuk mewakili lebih banyak fitur
domain target, khususnya ketika konsep target
bersifat kompleks dan abstrak (Thagard dalam
Harrison & Jong, 2005).
pribadi, sesuai dengan konstruktivisme individualpsikologis oleh Piaget, tetapi juga kepentingan
komunitas. Hasil belajar yang diperoleh juga akan
lebih baik dibandingkan dengan belajar individual,
disamping memberikan dampak iringan, berupa
perilaku pebelajar yang mampu bersama-sama belajar
dan belajar bersama-sama (learning to life together).
Kegiatan pembelajaran dilakukan dalam
kelompok kooperatif (beranggotakan 3 – 5 orang
pebelajar) dalam posisi duduk melingkar. Pada
awalnya pendidik mengambil peran sentral, tetapi
secara bertahap menyerahkan peran tersebut kepada
pebelajar sesuai dengan semangat kepemimpinan Ki
Hajar Dewantara: mulai dari ing arso sung tulodo (di
depan menjadi panutan), kemudian ing madyo
mangun karso (di tengah memberikan motivasi), dan
akhirnya tut wuri handayani (dari belakang
memberikan dorongan kepada pebelajar agar
mengembangkan kreativitasnnya). Kegiatan tersebut,
yang menurut teori pembelajaran Vygotsky dikenal
sebagai scaffolding, dilaksanakan oleh pendidik
untuk meningkatkan aktivitas dan tanggung jawab
pebelajar, serta mengembangkan sikap mereka dari
tergantung menuju mandiri.
Pembelajaran melibatkan proses pengamatan
objek atau fenomena melalui kegiatan praktikum atau
demonstrasi. Langkah tersebut mempertegas peran
laboratorium sebagai bagian kegiatan akademis
kimia, bukan pelengkap pengajaran (Suja, 2008).
Selain kegiatan laboratorium, strategi “ERMO” juga
melibatkan kegiatan memvisualisasikan keberadaan
dan dinamika partikel-partikel materi yang bersifat
abstrak memakai model atau analogi. Kegiatan
tersebut berguna untuk mengasimilasi informasi baru
dengan pengetahuan yang sudah ada pada pikiran
pebelajar, sehingga kegiatan pembelajaran menjadi
lebih bermakna (Treagust et al., 1998).
Tahap 4. Mengamati aspek makroskopis
(observing)
Pada tahap ini pendidik menyediakan berbagai
objek atau fenomena yang diperlukan untuk
membuktikan kebenaran informasi yang diperoleh
pebelajar dari penjelasan pendidik atau buku teks.
Dalam hal ini, pendidik lebih banyak berperan
sebagai demonstrator dan fasilitator bagi pebelajar
dalam melakukan pengamatan.
Selanjutnya,
pebelajar membuktikan kebenaran informasi yang
diperolehnya melalui pengamatan terhadap objek
atau fenomena tertentu. Tahap ini mengedepankan
pada aspek kimia empiris dan estetis. Sebagai
contoh, untuk membuktikan sifat benzena yang lebih
menampakkan sifat senyawa jenuh dibandingkan
tidak jenuh dilakukan reaksi brominasi dan nitrasi
sebagai berikut.
Skema 4. Reaksi Substitusi Elektrofilik pada
Benzena
SIMPULAN DAN SARAN
Penerapan strategi “ERMO” dalam pengajaran
konsep-konsep kimia abstrak-teoritis menekankan
pada kerjasama (cooperative learning) dan peran
aktif pebelajar dalam pembelajaran (student active
learning). Selama pembelajaran, setiap pebelajar
dapat membangun model mentalnya tentang triplet
kimia melalui kegiatan penerimaan informasi,
penalaran, pembentukan/imaginasi model dan
analogi, serta pembuktian melalui kegiatan observasi.
Pembelajaran secara berkelompok merupakan
penerapan teori konstruktivisme Vygosky yang
relevan dengan budaya bangsa Indonesia, yang
menghendaki adanya harmoni antara manusia sebagai
makhluk pribadi dan makhluk sosial.
Dengan
demikian, belajar tidak hanya menjadi kebutuhan
Berdasarkan uraian di depan dapat diambil
simpulan sebagai berikut. Pertama, materi ajar kimia
mencakup level makroskopis, submikroskopis, dan
simbolik. Sampai saat ini belum ada urutan yang
jelas tentang pengajaran ketiga level kimia tersebut,
namun ada kecenderungan pendidik hanya
menekankan pada level tertentu atau hanya
memperkenalkan level makroskopis dan simbolik.
Akibatnya, pemahaman siswa tentang konten kimia
hanya bersifat permukaan dan tidak mampu membuat
interkoneksi di antara ketiga level tersebut. Kedua,
pemilihan strategi pembelajaran konsep-konsep
kimia mesti mempertimbangkan karakteristik konsep
tersebut. Salah satu alternatif pembelajaran konsep-
C - 21
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3.
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
konsep kimia abstrak-teoritis adalah dengan
menerapkan strategi pembelajaran “ERMO” dengan
sintaks
pembelajaran
explanating-reasoningmodelling-observing. Pada tahap eksplanasi pebelajar
menerima informasi dari pendidik atau mencari
informasi dari berbagai sumber belajar, terutama dari
buku; dilanjutkan dengan penalaran deduktif pada
tingkat molekuler (submikroskopis). Pada tahap
pemodelan pebelajar berlatih membuat dan
membayangkan struktur dua atau tiga-dimensi
molekul sebagai dasar untuk menjelaskan dan
memprediksi kereaktivan senyawanya.
Untuk
membantu pebelajar dalam memahami struktur dan
sifat senyawa, dilanjutkan dengan pengembangan
analogi. Terakhir, untuk membuktikan sifat senyawa
sebagaimana diinformasikan oleh guru atau melalui
buku dan penalarannya, dilakukan praktikum dengan
metode demonstrasi.
Agar dapat menerapkan strategi “ERMO”
dalam pengajaran kimia di kelas/laboratorium, satuan
pendidikan perlu menyediakan fasilitas pendukung
secara memadai, termasuk peralatan dan bahan-bahan
kimia. Mengingat praktikum menjadi bagian penting
dalam pembelajaran kimia, pengajaran teori dan
praktikum kimia sebaiknya dilakukan secara
terintegrasi.
Gilbert, J. K., & Treagust, D. F. (eds), 2009. Models and
Modellingi in Science Education Multiple
Representations
in
Chemistry
Education.
Dordrecht: Springer.
DAFTAR PUSTAKA
Nakhleh, M. B., 1992. Why some students don’t learn
chemistry: Chemical misconceptions. Journal of
Chemical Education, 69: 191 – 169.
Glynn, S. M., 1991. “Explaining Science Concepts: A
Teaching with Analogies Model.” In S. Glynn, R.
Yeany, & B. Britton (Eds.), The Psychology of
Learning Science (pp. 219 – 240). Hillsdale, NJ:
Erlbaum.
Harrison, A. G. & Coll, R. K., 2013. Using Analogies in
Middle and Secondary Science Classrooms The Far
Guide – An Interesting Way to Teach With
Analogies. Terjemahan Akhlis Nursetiadi. Jakarta:
PT Indeks.
Harrison, A. G., & Jong, O. D., 2005. “Using multiple
analogies: case study of a chemistry teachers’
preparations, presentations and reflections.” In
Boersma, K., et al. (eds). Research and the quality
of science education, 353-364. Dordrecht: Springer.
Jansoon, N., 2009. Understanding Mental Models of
Dilution in Thai Students. International Journal of
Environmental & Science Education. 4(2): 147 –
168.
Johnstone, 1991. Why is science difficult to learn? Things
are seldom what they seem. Journal of Computer
Assisted Learning, 7: 75 – 83.
Johnstone, A. H., 2006. Chemical education research in
Glasgow in perspective. Chemistry Education and
Practice, 7(2): 49 – 63.
Kemendikbud, 2013. Modul Pelatihan Implementasi
Kurikulum 2013.
Achmad, H. & Baradja, L., Demonstrasi Sains Kimia:
Kimia Deskriptif melalui Demo Kimia Jilid 1.
Bandung: Nuansa.
Pendit, S., 2007. Filsafat Hindu Dharma: Sad-Darśana.
Denpasar: Bali Post.
Ben-Zvi, R., Eylon, B., & Silberstein, J., 1987. Is an atom
of copper malleable? Journal of Chemical of
Education, 63(1): 64 – 66.
Dahar, R. W., 1996.
Erlangga.
Teori-teori Belajar.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R I Nomor
65 tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan
dasar dan Menengah.
Jakarta:
Sanjaya, W., 2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi
Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Davidowitz, B., & Chittleborough, G. D., 2009. “Linking
the macroscopic and sub-microscopic levels:
Diagram.” In: J. Gilbert & D. Treagust (Eds.),
Multiple Representation in Chemical Education:
Models and Modelling in Science Education.
Dordrecht: Springer. pp. 169 – 191.
Slavin, R. E., 2008. Educational Psychology Theory and
Practice. 8th edition. Boston: Pearson.
Snir, J., Smith, C. L., & Raz, G., 2003. Linking Phenomena
with Competing Underlying Models: A Software
Tool for Introducing Students to the Particulate
Model of Matter. Science Education, 87(6), 794830.
Farida, I., 2012. Interkoneksi multipel level representasi
mahasiswa calon guru pada kesetimbangan larutan
melalui pembelajaran berbasis web. Disertasi tidak
dipublikasikan. Bandung: Pendidikan IPA PPs UPI.
Suja, I W., 2008. Analisis Kebutuhan Pengembangan
Perangkat Kerja Ilmiah dalam Pembelajaran Kimia
di SMA. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran,
41(1): 204 – 218.
Fessenden, R. J. & Fessenden, J. S., 1989. Organic
Chemistry.
Terjemahan Aloysius
Hadyana
Pudjaatmaka. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Gabel, D., 1999. Improving teaching and learning through
chemistry education research: a look to the future.
Journal of Chemical Education. 76(4): 548 – 553.
Suja, I W., 2011. Membangun Pedagogical Content
Knowledge Berbasis Anumana dan Upamana
Pramana dalam Pembelajaran Kimia.
Jurnal
Pendidikan Kimia Indonesia. 1(2): 46 – 63.
Gentner, D., 1983. Stucture mapping: a theoretical
framework for analogy. Cognitive Science, 7: 155
– 170.
Suja, I W., Retug, N., & Siregar, M., 2008. Pengembangan
Model Pembelajaran Kimia Berbasis Siklus Belajar
Catur Pramana. Laporan Penelitian Research
C - 22
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3.
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
Grant I-MHERE Undiksha Tidak dipublikasikan.
Singaraja: Lembaga Penelitian Undiksha.
Taber, K. S., 2009. “Learning at the Symbolic Level.” In
Gilbert, J. K. & Treagust, D. F.(eds). Models and
Modellingi in Science Education Multiple
Representations
in
Chemistry
Education.
Dordrecht: Springer.
Talanquer, V., 2011. Macro, Submicro, and Symbolic: The
many faces of the chemistry “triplet.” International
Journal of Science Education, 33(2):179–195.
Tasker, D., & Dalton, R., 2006. Research into Practice:
visualization of the molecular world using
animations. Chem. Educ. Res. Prac., 7: 141 – 159.
Treagust, D. F. & Chandrasegaran, A. L. 2009. “Linking
the Macroscopic and Sub-microscopic Level:
Diagrams.” In J. K. Gilbert and D. Treagust (eds).
Multiple Representation in Chemical Education, p.
169 – 191. Scotland: Springer.
Treagust, D. F., 2008. Development and Use of Diagnostic
Test to Evaluate Students’ Misconceptionin
Science. International Journal of Science
Education, 10(2): 159-169.
Treagust, D. F., Chittleborough, G. & Mamiala, T. L.,
2003. The Role of Submicroscopic and Symbolic
Representations in Chemical Explanations.
International Journal of Science Education, 25:
1353 – 1368.
Waldrip, B., 2008. Improving Learning Through Use of
Representatio in Science, Proceeding of The
Second International Seminar on Science
Education, UPI Bandung Indonesia.
Woolfolk, A., 2009. Education Psychology Active Learning
Edition (Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto & Sri
Mulyantini Soetjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
C - 23
Download