BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Indonesia, Brazil, Kolombia, dan Zaire adalah empat negara terkaya di dunia
dalam hal keanekaragaman hayati dan disebut megadiversitas. Indonesia dan
Meksiko adalah dua negara yang menjadi bagian dari enam kawasan biogeografi
utama, yaitu kawasan Australasia dan Indo-Melayu. Wilayah transisi dari dua
kawasan biogeografis disebut sebagai kawasan Wallacea, dimana kawasan ini
memiliki
tingkat
diversitas
dan
endemisitas
yang
sangat
tinggi
(Mittermeier et al. 1998).
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan jumlah
pulau lebih dari 17.000 pulau dan memiliki luas 1.919.443 km2 memanjang sepanjang
5.000 km dari Barat ke Timur dan 1.700 km dari Utara ke Selatan. Secara geografis
Indonesia terletak antara 95oBT - 141oBT dan 6oLU - 11oLS. Ditinjau secara empiris
dan yuridis, upaya pengelolaan untuk melestarikan keanekaragaman hayati telah
dilakukan di tingkat lokal (nasional) maupun global (internasional). Pada tingkat
global, Konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati (KKH atau United Nations
Conventions on Biological Diversity) merupakan salah satu hasil Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Bumi 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Konvensi ini mulai berlaku di
Indonesia sejak tahun 1994, melalui ratifikasi dalam bentuk UU No.5/1994, yang
intinya memiliki tujuan utama yaitu: (1) konservasi keanekaragaman hayati, (2)
pemanfaatan berkelanjutan dari komponennya, dan (3) pembagian keuntungan yang
adil dan merata dari penggunaan sumber daya genetis, termasuk akses yang memadai
serta
alih
teknologi,
dan
melalui
sumber
pendanaan
yang
sesuai
(Departemen Kehutanan, 2009).
Selain merupakan negara kepulauan, Indonesia kaya akan keanekaragaman
hayati, namun laju kepunahan spesies juga berlangsung cepat. Daftar terbanyak dari
spesies yang terancam punah di dunia berada di Indonesia. Tahun 1996, IUCN
(International Union for the Conservation of Nature) mencatat jumlah mamalia yang
1
terancam punah di Indonesia berkisar 128 spesies, burung 104 spesies, ikan 60
spesies dan tumbuhan 184 spesies (Peduli Kehati, 2002).
Kawasan dengan tingkat diversitas dan endemisitas yang tinggi memerlukan
pengelolaan yang bijak dan tepat agar nilai-nilai keanekaragaman hayati yang ada di
dalamnya tidak punah. Studi atau penelitian diperlukan guna memperhitungkan nilai
ekonomi dari keanekaragaman hayati. Secara umum suatu kawasan dengan tingkat
keanekaragaman hayati yang tinggi memiliki beberapa fungsi penting, baik untuk
ekosistem yang berada didalamnya maupun untuk makluk hidup yang berada
disekitarnya, antara lain:
 Keanekaragaman hayati dengan nilai ekonomi, yaitu keanekeragaman hayati
yang memiliki berbagai sumberdaya untuk keperluan perairan pertanian,
kehutanan, tempat pariwisata, dll.
 Keanekaragaman hayati dengan nilai sosial budaya, misalnya gua-gua sebagai
tempat spiritual keagamaan, mempunyai nilai estetika, sebagai tempat rekreasi,
sebagai tempat untuk pendidikan alam.
 Keanekaragaman hayati dengan nilai ilmiah yang tinggi, dan sangat penting
untuk studi biologi, studi ekologi, dan sebagainya.
Papua yang meliputi setengah dari pulau New Guinea, merupakan salah satu
dari lima pulau terbesar di Indonesia. Sebuah pulau tropis terbesar dan tertinggi di
dunia, dengan luas lebih dari 416.000 km2. Lebih dari 250 suku mendiami Papua,
dengan adat istiadat, bahasa dari setiap suku dan hubungan adat dengan alam
sekitarnya. Pulau Papua memiliki daerah rimba belantara tropis yang penting bagi
paru-paru dunia dan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Di Papua
diperkirakan terdapat 25.000 spesies tumbuhan berkayu, 164 spesies mamalia, 329
spesies amfibia dan reptilian, 650 spesies burung, 250 jenis ikan tawar dan 1.200
spesies ikan laut. Dengan persentase masing-masing sebesar 55% (13.750) tumbuhan
berkayu, 58% (95 spesies) mamalia, 35% (78 spesies) reptilian, 52% (338 spesies)
burung, kurang lebih 150.000 spesies serangga serta ratusan spesies hewan
avertebrata air tawar dan air laut. Dengan demikian, Papua memiliki hampir separuh
2
dari
kekayaan
keanekaragaman
hayati
yang
ada
di
Indonesia
(Conservation International, 1999).
Diantara ribuan spesies tumbuhan berkayu yang terdapat di Papua, salah satu
spesies adalah tumbuhan Sowang (Xanthosthemon Novaguineense Valet), yang
merupakan tumbuhan endemik pulau New Guinea (Whitmore et al, 1997). Tumbuhan
Sowang tumbuh di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. Habitat Tumbuhan
Sowang adalah dataran rendah pada ketinggian 15 – 450 m dpl, sehingga Tumbuhan
Sowang paling banyak terdapat di kawasan penyangga Pegunungan Cycloops.
Berkaitan dengan keberadaan populasi Sowang di Pegunungan Cycloops, aktivitas
masyarakat di hutan terbagi menjadi; (1) masyarakat tradisional yang menjadikan
hutan sebagai sumber kehidupan; (2) masyarakat tradisional yang menjadikan hutan
sebagai harta warisan leluhur tetapi tidak menggantungkan hidup pada hutan dan; (3)
masyarakat pendatang yang bermukim dan berladang secara nomaden serta bermata
pencaharian sebagai pengumpul hasil hutan termasuk Tumbuhan Sowang.
1. 2. Tumbuhan Sowang
Tumbuhan Sowang adalah salah satu jenis tumbuhan endemik di daerah
Papua yang masih kurang dikenal secara luas. Masyarakat asli yang berada di
kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops seperti masyarakat Sentani, Kayu Batu,
Kayu Pulau, Enggros/Tobati dan Masyarakat di Ormu telah lama menggunakan kayu
dan bagian dari Tumbuhan Sowang untuk keperluan konstruksi misalnya untuk tiang
rumah, tiang jembatan dan kurungan ikan yang dikombinasikan dengan kawat atau
bahan utama keramba di Danau Sentani. Kayu Sowang juga dipakai sebagai alat
masak, bahan bakar dan obat-obatan. Penggunaan Tumbuhan Sowang sebagai tiang
rumah pada air tawar (Danau Sentani), telah dilakukan secara turun temurun oleh
masyarakat asli Sentani yang tinggal di sekitar Danau Sentani. Tumbuhan Sowang
sangat kuat dan tahan lama serta secara adat/tradisi dipercaya mempunyai nilai magis
yang ampuh untuk menangkal segala sesuatu yang tidak baik atau jahat. Salah satu
keistimewaan Tumbuhan Sowang adalah daya tahannya semakin meningkat bila
terkena air (danau/laut) secara terus-menerus dan dapat bertahan lebih dari 50 tahun
3
dan apabila digunakan di tempat kering dapat mencapai umur pakai 50 sampai 100
tahun lebih.
Tumbuhan Sowang atau Xanthostemon sp tumbuh pada tanah kritis, pada
daerah lembab/basah pertumbuhan pohon Sowang kurang baik dan lebih cocok
tumbuh pada daerah tandus, kering, berpasir, berbatu dan berkerikil (daerah padang
rumput). Tumbuhan Sowang yang tumbuh di daerah tandus lebih keras dan lebih
awet dalam penggunaannya (Jamlean, 1999).
Gambar 1. Tumbuhan Sowang
Menurut Sosef et al (1997) genus Xanthosthemon termasuk dalam family
Myrtaceae, merupakan tumbuhan endemik Pulau New Guinea. Xanthosthemon
tumbuh pada ketinggian 15 m – 450 m dpl. Berbentuk semak sampai pohon
berukuran sedang, dengan ketinggian 30 m – 40 m. Tumbuh tegak, tinggi bebas
cabang 12 m – 22 m, tinggi tajuk 2 m – 6 m memiliki diameter 50 cm – 150 cm
dengan percabangan yang tidak teratur dan tajuk melebar. Batang silindris hingga
agak pipih, kulit batang berwarna coklat keputihan, bagian dalam berwarna coklat
kemerahan. Kulit mati yang mengelupas berbentuk lempengan yang bergantungan
secara vertikal dan memiliki tebal kulit hidup 1 cm – 1,5 cm. Daun tunggal, duduk
daun berseling atau berhadapan. Xanthosthemon memiliki bunga inflorescence
axillary yang mengalami reduksi di beberapa bagian atau bunga tunggal.
Xanthosthemon memiliki buah yang memiliki banyak biji. Buah berbentuk kapsul
yang dapat terbuka dengan katup.
4
Tumbuhan Sowang mampu hidup pada tingkat kesuburan rendah, hidup pada
tanah jenis entisol dan ultisol dengan struktur tanah remah dan lempung, dengan
memiliki suhu udara rata-rata sebesar 25,30C – 27,80C dengan kelembaban yang
tinggi dan curah hujan sebesar 355 mm per bulan. Tumbuhan Sowang memiliki
kemampuan perkembangbiakan vegetatif alami dengan tunas tunggal.
Gambar 2. Bunga dan daun dari Tumbuhan Sowang
Tumbuhan
Sowang
atau
Xanthosthemon
terdapat
dua
jenis
yakni
Xanthostemon novaguinensis Fal dan Xanthostemon Sp. Masyarakat setempat
menyebutnya dengan sebutan Sowang Hitam dan Sowang Putih. Tumbuhan Sowang
dalam bahasa daerah masyarakat adat Sentani disebut Howang. Kedua jenis kayu ini
mempunyai nama tersendiri yaitu Howang Hele (Xanthostemon Sp) dan Howang
Maleuw (Xanthostemon novaguinensis Fal). Dalam bahasa Kampung Maribu
Tumbuhan Sowang disebut sebagai Son atau kayu keras. Masyarakat Ormu menyebut
dengan sebutan Tuwane atau kayu terkuat. Dengan aturan dan peraturan yang
berbeda-beda pula dalam penggunaan dan pengambilan dan penjualan dari
Tumbuhan Sowang tersebut.
5
Gambar 3. Tumbuhan Sowang untuk penyangga rumah
Data Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura (2008)
menunjukkan lebih dari 5.000 warga atau sekitar 2.500 kepala keluarga yang
bermukim di sekitar kawasan cagar alam Pengunungan Cycloops. Dimana
masyarakat adat yang mendiami kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops adalah
masyarakat adat Sentani, masyarakat adat Mooi, masyarakat adat Tepera, masyarakat
adat Ormu dan masyarakat adat Numbay/Humbolt. Pemanfaatan sumberdaya alam
oleh masyarakat adat berdasarkan kearifan lokal yang sudah diwariskan secara turun
temurun.
Pegunungan Cycloops sendiri merupakan daerah habitat Tumbuhan Sowang
yang berada di 2 wilayah pemerintahan, yakni pemerintahan Kabupaten Jayapura dan
Kotamadya Jayapura. Tumbuhan Sowang tumbuh tidak merata di Pegunungan
Cycloops. Tumbuhan Sowang hanya tumbuh di sisi Barat, Selatan sampai Timur
Pegunungan Cycloops dan sebagian Utara Pegunungan Cycloops. Pegunungan
Cycloops merupakan pegunungan yang membujur di sebelah Utara Jayapura pada
koordinat 2025’ - 2034’ LS dan 140024’ - 140043’ BT. Kawasan cagar alam
Pegunungan
Cycloops
ditetapkan
sesuai
dengan
SK
Menteri
Kehutanan
No:56/Kpts/1987 dengan luas kawasan sekitar 22.250 hektar dan sejak tahun 1987
(BKSDA Papua, 2011).
6
WWF Region Sahul Papua (2010), mencatat bahwa kawasan lahan kritis yang
terdapat di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops seluas 1065 hektar. Kerusakan
kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops sudah mencapai 30% terutama pada
kawasan penyangga (buffer zone). Kawasan ini berfungsi sebagai daerah tangkapan
air hujan bagi wilayah Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura Provinsi Papua dan
sebagai sumber pengairan bagi Danau Sentani.
1. 3. Rumusan Masalah
Keanekaragaman hayati mempunyai nilai sosial dan budaya yang sangat
besar. Hutan dan isinya merupakan tempat tinggal bagi suku-suku pedalaman yang
tidak mau tinggal diperkotaan. Masyarakat yang tinggal di pinggiran Danau Sentani
atau di pinggiran Pegunungan Cycloops menggantungkan hidup pada danau maupun
hutan yang berada di Pegunungan Cycloops. Nilai dari kontribusi yang diberikan ini
tentunya memberikan makna sosial dan budaya yang tidak kecil.
Pola pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat adat yang berada di
kawasan Pegunungan Cycloops didasarkan pada kearifan lokal. Penggunaan
Tumbuhan Sowang oleh masyarakat adat diwariskan secara turun temurun dari satu
generasi kepada generasi berikutnya. Dalam pemanfaatan Tumbuhan Sowang,
masyarakat adat dibatasi oleh aturan–aturan adat yang berlaku, yaitu harus meminta
ijin terlebih dahulu pada Ondoafi1 selaku orang yang dihormati. Sedangkan
masyarakat pendatang yang memanfaatkan Tumbuhan Sowang sampai saat ini,
belum menghargai dan mentaati aturan negara ataupun aturan adat yang berlaku.
Mereka bebas mengambil Tumbuhan Sowang termasuk ranting dan cabang untuk
kebutuhan mereka, yang tanpa disadari kebebasan ini mengakibatkan kepunahan
Tumbuhan Sowang apabila dieksploitasi secara berlebihan.
Nilai ekonomi pasar untuk Tumbuhan Sowang yang diperjualbelikan oleh
masyarakat pada kawasan Pegunungan Cycloops baik masyarakat penduduk asli
maupun penduduk pendatang, masih dinilai dengan harga ekonomi yang dianggap
sangat relatif rendah jika dibandingkan dengan nilai ekonomi yang sebenarnya dari
1
Kepala Adat/Kepala kampung masyarakat adat Sentani.
7
Tumbuhan Sowang. Tumbuhan Sowang memiliki nilai keanekaragaman hayati yang
tinggi dan juga merupakan suatu tumbuhan endemik yang hanya terdapat khususnya
pada kawasan Pegunungan Cycloop di Kabupaten dan Kota Jayapura dan di tanah
Papua pada umumnya.
Kehilangan keanekaragaman hayati Tumbuhan Sowang pada kawasan cagar
alam Pegunungan Cycloops dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan pemanfaatan yang
tidak memikirkan akan keberlanjutan lingkungan pada kawasan Pegunungan
Cycloops, seperti pembakaran hutan dan penebangan hutan secara tidak beraturan,
membuat penurunan jumlah Tumbuhan Sowang mulai dirasakan.
Melindungi dan menjaga kelestarian keanekaragaman hayati Tumbuhan
Sowang yang berada di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops sangat penting
dan diperlukan saat ini dan akan datang. Pemerintah Kabupaten Jayapura dan
Kotamadya Jayapura pihak harus berupaya memberikan pemahaman bagi masyarakat
sekitar Pegunungan Cycloops untuk selalu menjaga dan melestarikan cagar alam
Pegunungan Cycloops. Termasuk memberi pemahaman melalui kegiatan-kegiatan
masyarakat untuk tidak mengganggu kelestarian cagar alam Pegunungan Cycloops
terutama keanekaragaman hayati. Peran dari lembaga swadaya masyarakat lokal,
nasional bahkan internasional juga diperlukan untuk bersama-sama mendukung
kegiatan dalam melindungi dan menjaga nilai-nilai keanekaragaman hayati
khususnya yang berada di kawasan Pegunungan Cycloops. Salah satunya dengan
melakukan kampanye pada masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian dari
keanekaragaman hayati di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops.
Dari uraian di atas, penulis mencoba merumuskan permasalahan yang terdapat
pada penelitian ini yakni :
1. Bagaimana identifikasi pola pemanfaatan, pengelolaan dan kepunahan
keanekaragaman hayati Tumbuhan Sowang di kawasan Pegunungan Cycloops
selama ini.
2. Berapa besar nilai ekonomi dari Tumbuhan Sowang yang ada di kawasan
Pegunungan Cycloops.
8
3. Berapa besar nilai faktor diskonto dari Tumbuhan Sowang pada waktu
mendatang dengan melihat nilai ekonomi Tumbuhan Sowang saat ini.
4. Bagaimana peran masyarakat adat secara sosial-kultur dalam melestarikan
nilai keanekaragaman hayati Tumbuhan Sowang, dan apa saja implikasi
kebijakan pengelolaan Tumbuhan Sowang.
1. 4. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah memperkirakan nilai ekonomi dalam
menjaga, melestarikan dan kelanjutan keanekaragaman hayati Tumbuhan Sowang.
Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:
1. Identifikasi pola pemanfaatan, pengelolaan dan kepunahan keanekaragaman
hayati Tumbuhan Sowang di kawasan Pegunungan Cycloops.
2. Menganalisis nilai ekonomi Tumbuhan Sowang yang ada di kawasan
Pegunungan Cycloops.
3. Menghitung nilai faktor diskonto dari Tumbuhan Sowang pada waktu
mendatang dengan melihat nilai ekonomi Tumbuhan Sowang saat ini.
4. Mengkaji peran masyarakat adat secara sosial-kultur dalam melestarikan nilai
keanekaragaman hayati Tumbuhan Sowang, serta implikasi kebijakan
pengelolaan Tumbuhan Sowang.
1. 5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat
Dari Penelitian ini diharapkan dapat diperoleh nilai ekonomi sekarang dan nilai
ekonomi untuk waktu akan datang yang sesungguhnya bagi Tumbuhan Sowang.
Masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan Pegunungan Cycloops secara
langsung menggunakan dan memanfaatkan Tumbuhan Sowang untuk
kehidupannya sehari-hari, sehingga dari nilai tersebut masyarakat mendapatkan
pengertian yang baik untuk tetap melestarikan nilai-nilai dari keanekaragaman
hayati Tumbuhan Sowang di kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops.
9
2. Bagi Pengambil Kebijakan
Nilai ekonomi sekarang dan nilai ekonomi yang akan datang dari Tumbuhan
Sowang yang sesungguhnya, dapat dijadikan sebagai dasar kuantitatif dalam
perencanaan dan pengelolaan kawasan Pegunungan Cycloops dan Tumbuhan
Sowang bagi para pengambil kebijakan/stakeholder (pemerintah, swasta dan
masyarakat). Penetapan kebijakan menentukan sistem pengelolaan dan
perlakuan terhadap Tumbuhan Sowang harus sesuai dengan potensi ekologi,
nilai ekonomi, dan nilai sosial, sehingga nilai keanekaragaman hayati pada
kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops tetap lestari.
3. Bagi Mahasiswa / Peneliti
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
penelitian-penelitian selanjutnya berkaitan dengan keanekaragaman hayati di
Papua khususnya di Pegunungan Cycloops. Penilaian ini juga dapat membantu
para peneliti untuk meningkatkan kemampuan dalam setiap bidang ilmu
masing-masing terhadap pentingnya nilai keanekaragaman hayati khususnya
Tumbuhan Sowang bagi kehidupan berkelanjutan dan mengurangi tingkat
kepunahan spesies berharga secara lokal maupun secara global.
1. 6. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan penilaian terhadap nilai keanekaragaman
hayati Tumbuhan Sowang yang hampir hilang atau hampir punah yang ada di
kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops ke dalam nilai ekonomi sebenarnya.
Penelitian ini juga melihat apakah ada upaya-upaya dari masyarakat asli maupun
pendatang untuk pemeliharaan Tumbuhan Sowang, berupa penanaman kembali agar
tingkat kelestarian dari nilai keanekaragaman hayati tersebut terjaga. Objek penelitian
adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops
yang secara langsung berhubungan dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati
tersebut.
Beberapa batasan dalam penelitian ini, yakni: Pertama, penelitian ini hanya
memperkirakan potensi keanekaragaman hayati Tumbuhan Sowang dengan mengkaji
10
peran masyarakat
adat
secara sosial-kultur.
Kedua,
penelitian ini
hanya
memperkirakan nilai ekonomi yang pantas bagi suatu nilai keanekaragaman hayati
terutama nilai ekonomi dari Tumbuhan Sowang yang berada di kawasan cagar alam
Pegunungan Cycloops. Ketiga, dari jumlah penduduk 5.000 orang atau sekitar 2.500
kepala keluarga, diambil sampel untuk mengetahui penggunaan secara langsung
Tumbuhan Sowang bagi kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat yang berada di
sekitar kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. Jumlah sampel dalam penelitian
ini adalah sebanyak 344 kepala keluarga yang berasal dari kampung Doyo Baru
Distrik Waibu dan Kampung Maribu Distrik Sentani Barat Kabupaten Jayapura
Papua. Keempat, penelitian ini tidak menganalisis dampak ekonomi akibat
kerusakan/hilangnya keanekaragaman hayati yang dirasakan oleh masyarakat di luar
lokasi penelitian.
11
Download