BAB 2 Landasan Teori 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini mengacu pada bagaimana pengaruhjob autonomy terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan budaya organisasi sebagai variabel moderator. 2.1.1 Job Autonomy 2.1.1.1 Definisi Job Autonomy Menurut Zhou dan Shalley (2008) menyatakan bahwa job autonomy mengacu pada kebebasan dan kemerdekaan bahwa orang-orang melakukan, memiliki tugas dalam menentukan bagaimana melaksanakan tugas mereka. Hackman dan Oldham, dalamSlatten and Mehmetoglu (2011)menyatakan bahwa mereka telah mengidentifikasi lima karakteristik inti terkait dengan pekerjaan: (1) skill variety; sejauh mana pekerjaan memerlukan sejumlah keterampilan yang berbeda, kemampuan, atau bakat. (2) task identity; mendefinisikan sejauh mana pekerjaan diselesaikan secara lengkap dari awal pekerjaan sampai akhir. (3) task significance; Signifikansi tugas mengacu pada pentingnya pekerjaan, sejauh mana pekerjaan memiliki dampak pada kehidupan orang lain, organisasi langsung atau lingkungan eksternal. (4) feedback; Umpan balik adalah sejauh mana individu melakukan pekerjaan memperoleh informasi tentang efektivitas kinerja. Umpan balik tidak hanya mengacu pada umpan balik pengawasan, tetapi juga kemampuan untuk mengamati hasil kerja mereka. Adapun yang ke(5) autonomy; sejauh mana seorang pekerja bebas untuk menjadwalkan kecepatan kerja nya dan menentukan prosedur yang akan digunakan. Kelima karakteristik inti sering disebutkan dalam kaitannya dengan istilah umum "pekerjaan yang mencakup sumber daya". Hasil penelitian Gellatly dan Irving (2001) serta Langfred dan Moye (2004) dalam Saragih (2011) menunjukan adanya efek positif dari job autonomy terhadap kinerja, selain itujob autonomy dapat meningkatkan kinerja karena pekerja dengan job autonomy yang tinggi akan melihat bahwa dirinya dipercaya untuk melakukan tugas tersebut. Pandangan ini berdampak positif terhadap efek motivasi intrinsik dan efektivitas dalam bekerja. Menurut Thompson dan Prottas (2005dalamSaragih, (2011) menemukan bahwa otonomi kerja secara signifikan negatif terhadap stres kerja, keinginan berpindah, dan pekerjaan dan konflik keluarga. Selanjutnya, 9 10 Kauffeld (2006), Nonaka et al, (2000). Dalam Smith et al. (2003) juga menemukan hubungan positif antara otonomi kerja dan kompetensi pekerja dan kreativitas. Menurut Hackman dan Oldham dalam Saragih (2011) menyatakan bahwa job autonomy didefinisikan sebagai sejauh mana pekerjaan memberikan kebebasan substansial, kemandirian, dan keleluasaan untuk individu dalam pekerjaan penjadwalan dan dalam menentukan prosedur yang harus digunakan dalam melaksanakannya. Dimana mempunyai inti karakteristik seperti, variasi keahlian, identitas tugas, signifikansi tugas dan umpan balik dari pekerjaan.Langfred dan Moye (2004dalam Saragih, 2011) menyatakan bahwa job autonomy dapat meningkatkan kinerja karena mereka menganggap diri mereka mampu dan lebih percaya diri dalam menjalankan tugas. Secara psikologis, karyawan akan lebih memotivasi untuk melakukan yang terbaik dan mengarah pada kinerja yang lebih tinggi. Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas maka dapat disimpulkan job autonomy merupakan kebebasan, kemerdekaan serta kebahagiaan seorang karyawan dalam menentukan pekerjaan yang akan mereka lakukan lalu menyelesaikannya dengan baik sesuai dengan seberapa besar motivasi, kesediaan, dedikasi serta kemampuan secara menyeluruh mereka dalam menuntaskan hingga menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan terhadapnya. 2.1.1.2Ciri-ciri Job Autonomy Banyak peran kepemimpinan memberikan otonomi pekerjaan, biasanya berarti kebebasan untuk memperluas pada tugas pekerjaan dan tanggung jawab seorang karyawan. Otonomi juga mengacu pada bagaimana dan kapan seorang karyawan melaksanakan tugas, serta tingkat penilaian independen dan kebijaksanaan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan. Otonomi kerja dilaksanakan dengan sejumlah cara, tetapi umumnya seorang karyawan dapat melaksanakan kehendak bebas dan pengendalian diri pada pekerjaan. Ada beberapa tahap-tahap dari job autonomy, yaitu : 1. Job Description Job Description biasanya hanya berisi fungsi-fungsi penting dari posisi atau jabatan. Apaila ruang lingkup yang di miliki karyawan luas berarti mereka senantiasa akanmenggunakan kebijaksanaan dalam cara menyelesaikan tugastugas mereka sampai selesai. Semakin sedikit rincian deskripsi pekerjaan anda, 11 kemungkinan anda lebih besar memiliki otonomi atau kontrol dari tugas dan tanggung jawab pekerjaan. 2. Discretion Penilaian yang baik dan kebijaksanaan merupakan karakteristik penting untuk karyawan dalam kaitannya dengan job autonomy. Pengambilan keputusan didasarkan pada kemampuan menggunakan penilaian independen untuk menentukan bagaimana seorang karyawan melakukan tugas-tugas pekerjaan dan bagaimana karyawan memprioritaskan pekerjaan mereka. Keterampilan manajemen organisasi dan waktu dalam penetapan tujuan serta tenggat waktu didasarkan pada job autonomy. Job autonomymemberikan seorang karyawan kebebasan untuk menetapkan batasan waktu sendiri atau setidaknya mengindikasi kemampuan untuk bersaing atau berkompetisi dengan pesaing. 3. Expanded Duties Bertindak luar peran pekerjaan merupakan contoh job autonomy. Dengan rincian pekerjaan, seorang karyawan memiliki keleluasaan sedikit untuk melakukan tugas yang berada di luar deskripsi pekerjaan seorang karyawan, kecuali seorang atasan memberikan pekerjaan tambahan. Namun, otonomi adalah kemampuan untuk mengevaluasi apakah tugas atau pekerjaan yang diberikan kepada seorang karyawan bisa mendapatkan keuntungan dari melakukan tugas tersebut, atau tanpa perlu untuk mendapatkan persetujuan atau kesepakatan dari seorang manajer atau rekan yang lebih berpengalaman. 4. Authority Otoritas adalah hal yang sangat berbeda dengan otonomi. Otoritas umumnya mengacu pada status atau posisi dalam organisasi relatif terhadap peran rekan kerja, supervisor dan manajer. Seseorang mungkin memiliki kewenangan untuk mendelegasikan tugas dan tanggung jawab kepada pekerja lainnya berdasarkan, keahlian atau posisi. Supervisor dan manajer departemen memiliki kewenangan dan begitu juga beberapa karyawan yang dianggap ahli di bidangnya. Di sisi lain, otonomi memiliki fokus yang lebih besar pada setiap individu ini sebenarnya merupakan kontrol diri, karena kemampuan seseorang untuk memilih dan bagaimana melakukan tugas-tugas pekerjaan biasanya tidak mempengaruhi rekan kerja. 12 2.1.2 Budaya Organisasi 2.1.2.1 Definisi Budaya Organisasi Budaya organisasi menurut Robbins & Mary (2009, p62) adalah sistem makna dan keyakinan bersama yang dianut oleh para anggota organisasi yang menentukan, sebagian besar, bagaimana karyawan bersikap.Adapun budaya organisasi menurut Davis (dikutip Sobirin, 2007, p131) adalah keyakinan dan nilai bersama yang memebrikan makna bagi anggota sebuah institusi dan menjadikan keyakinan dan nilai tersebut sebagai aturan atau pedoman berperilaku di dalam organisasi. Mathis & Jackson (2008, p76) budaya organisasi adalah pola nilai-nilai dan keyakinan bersama dari tenaga kerja. Nilai-nilai dan keyakinan bersama tersebut membekali anggota organisasi dengan makna dan aturan untuk berperilaku. Serta budaya organisasi menurut Andre (2008, p446) merupakan sebuah sistem organisasi mengenai nilai dan norma bersama oleh karena itu budaya organisasi mendefinisikan hal yang penting di dalam organisasi serta sikap, keyakinan dan perilaku yang sesuai bagi anggota organisasi. Budaya organisasi menurut Robbins (dikutip Wibowo, 2011, p17) adalah sebuah persepsi umum yang dipegang oleh anggota organisasi mengenai suatu sistem yang dianut bersama.Budaya organisasi bertujuan agar karyawan merasakan karakteristik dari budaya organisasi itu sendiri.Budaya organisasi menurut Wirawan (2007, p86) adalah norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat, kebiasaan organisasi, dan sebagainya. Isi budaya organisasi yang dikembangkan dalam waktu yang lama oleh pendiri, pemimpin, dan anggota organisasi dalam memproduksi produk, melayani para konsumen, dan mencapai tujuan organisasi. Dari pandangan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi pada dasarnya akan mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi, termasuk mereka yang berada dalam hirarki organisasi. Budaya organisasi merupakan landasan setiap anggota dalam sikap dan perilaku di setiap aktivitas perusahaan yang menjadikan perekat hubungan diantara anggota perusahaan. 2.1.2.2 Dimensi-Dimensi Budaya Organisasi Menurut Wibowo (2011, p34), budaya organisasi dalam suatu organisasi yang satu dapat berbeda dengan yang ada dalam organisasi yang lain, namun budaya 13 organisasi menunjukkan ciri-ciri, sifat, karakteristik tertentu yang menunjukkan kesamaannya.Terminologi yang dipergunakan para ahli untuk menunjukkan karakteristik budaya organisasi sangat bervariasi.Hal tersebut menunjukkan beragamnya ciri, sifat dan elemen yang terdapat dalam budaya organisasi. Robbins (dalam Wibowo 2011, p37) mengemukakan adanya tujuh karakteristik budaya organisasi, yaitu: a. Inovasi dan keberanian mengambil risiko Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko. b. Perhatian pada hal-hal rinci Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan ketepatan, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail. c. Orientasi pada hasil Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil atau manfaat daripada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. d. Orientasi pada orang Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut terhadap orang yang ada di dalam organisasi. e. Orientasi pada tim Sejauh mana aktivitas kerja di organisir berdasarkan tim daripada individual. f. Agresivitas Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai. g. Stabilitas Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai lawan dari perkembangan. 2.1.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Budaya Organisasi Budaya organisasi terus berkembang seiring berjalannya waktu. Menurut Chatman & Cha (dikutip Ng’ang’a& Nyongesa, 2012) ada beberapa faktor yang berperan penting dalam mempengaruhi perkembangan sebuah budaya organisasi, diantaranya yaitu: 14 a. Sejarah Alasan dan cara bagaimana organisasi ini awalnya terbentuk. Usia, filosofi dan nilai-nilai dari pemilik dan manajer senior akan mempengaruhi budaya yang terbentuk b. Teknologi dan fungsi utama Sifat bisnis organisasi dan fungsi utamanya memiliki pengaruh penting pada budaya.Ini termasuk jangkauan dan kualitas produk dan layanan yang diberikan, pentingnya reputasi dan jenis pelanggan. Fungsi utama dari lembaga akan menentukan sifat dari proses teknologi dan metode kerja, yang pada gilirannya juga mempengaruhi struktur dan budaya. c. Strategi Organisasi harus memberikan perhatian pada tujuan di semua bidang utama operasinya. Kombinasi tujuan dan strategi yang dihasilkan akan mempengaruhi budaya atau mungkin kombinasi tujuan dan strategi yang dihasilkan itu sendiri dipengaruhi oleh budaya. d. Ukuran organisasi Organisasi yang besar biasanya memiliki struktur dan budaya organisasi yang lebih formal.Meningkatnya ukuran sebuah organisai biasanya berdampak pada pemisahan departemen. Peningkatan ataupun penurunan ukuran dan tingkat pertumbuhan akan mempengaruhi jumlah anggota (karyawan) dalam sebuah organisasi, sehingga perubahan tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi struktur dan budaya organisasi. e. Lokasi Lokasi geografis dan karakteristik fisik dapat memiliki pengaruh besar pada budaya. Misalnya apakah perusahaan terletak di pedesaan yang tenang atau pusat kota yang sibuk sehingga dapat mempengaruhi jenis pelanggan dan karyawan yang dipekerjakan. Lokasi juga dapat mempengaruhi sifat layanan (program) yang ditawarkan oleh suatu perusahaan. f. Manajemen dan kepemimpinan Eksekutif puncak dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat budaya perusahaan.Akan tetapi, semua anggota staf membantu dalam membentuk budaya dominan yang ada disebuah organisasi.Budaya juga ditentukan oleh sifat staf yang dipekerjakan dan sejauh mana mereka menerima filosofi manajemen dan kebijakan yang diterapkan. 15 g. Lingkungan Agar menjadi efektif, sebuah organisasi harus responsif terhadap pengaruh lingkungan eksternal. 2.1.2.4 Tipe-Tipe Budaya Organisasi Menurut Robbins (dikutip Wibowo, 2011, p27) bahwa budaya dapat dikelompokkan berdasarkan hubungan antara tingkat sosiabilitas dan solidaritas.Dimensi sosiabilitas dapat ditandai dengan tingkat persahabatan yang ditemukan antara anggota organisasi. Dimensi solidaritas dapat ditandai dengan tingkat di mana orang di dalam organisasi berbagi pengertian bersama tentang tugas dan tujuan untuk apa mereka bekerja. Tipe-tipe budaya organisasinya yaitu: a. Networked culture Organisasi memandang anggota sebagai suatu keluarga dan teman.Budaya ini ditandai dengan tingkat sosiabilitas atau kesenangan bergaul tinggi dan tingkat solidaritas atau kesetiakawanan rendah. Karakteristik dari budaya ini adalah para anggota saling mengenal satu sama lain dengan cepat dan merasa bahwa mereka adalah bagian dari kelompok. Selain itu, para anggota cenderung melakukan kebiasaan informal serta menggunakan banyak waktu untuk bersosialisasi. b. Mercenary culture Organisasi berfokus pada tujuan.Budaya organisasi ini ditandai dengan tingkat sosiabilitas yang rendah dan tingkat solidaritas yang tinggi. Karateristik dari budaya ini adalah komunikasi cenderung cepat, langsung dan dikendalikan dengan cara yang tidak ada yang tidak mungkin. Kemenangan adalah segalanya dan orang didorong melakukan suatu hal tanpa memperdulikan berapa lama waktu yang diperlukan untuk membuatnya terwujud. c. Fragmented culture Organisasi yang dibuat dari para individualis.Budaya organisasi ini ditandai dengan solidaritas dan sosiabilitas yang rendah.Karakteristik dari budaya ini adalah antar anggota sedikit melakukan kontak dalam banyak hal, bahkan bisa tidak saling mengenal.Anggota tidak menunjukkan identifikasi dengan organisasi di mana mereka bekerja, melainkan menunjukkan identifikasi dengan profesi di mana mereka menjadi bagian di dalamnya. 16 d. Communal culture Organisasi menilai baik persahabatan dan kinerja.Budaya ini ditandai dengan sosiabilitas dan solidaritas yang tinggi. Karakteristik budaya ini adalah antar anggota sangat bersahabat satu sama lain dan bergaul dengan baik secara pribadi dan profesional. Setiap anggota sangat bersahabat sehingga perbedaan antara pekerjaan dan bukan pekerjaan dalam praktik menjadi kabur.Komunikasi dalam semua bentuk mengalir dengan sangat mudah di antara orang pada semua tingkatan organisasi.Para anggota sangat kuat dalam menunjukkan identifikasi terhadap organisasi. 2.1.2.5 Elemen Dasar Budaya Organisasi Budaya organisasi yang dibentuk dari faktor-faktor yang terkandung di dalam perusahaan sangat dipengaruhi oleh beberapa elemen kunci yang cukup dominan. Adapun elemen-elemen dari budaya perusahaan menurut Deal dan Kennedy yang dikutip oleh Pabundu (2006 : 16) adalah: 1. Lingkungan Usaha Kelangsungan hidup organisasi di tentukan oleh kemampuan perusahaan memberi tanggapan yang tepat terhadap peluang dan tantangan lingkungan. Lingkungan usaha merupakan unsur yang menentukan terhadap apa yang harus dilakukan perusahaan agar bisa berhasil. Lingkungan usaha yang berpengaruh antara lain meliputi produk yang dihasilkan, pesaing, pelanggan, teknologi, pemasok, kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Sehubungan dengan itu, perusahaan harus melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi lingkungan tersebut antara lain seperti kebijakan penjualan, penemuan baru, atau pengelolaan biaya dalam mengahadapi realitas pasar yang berbeda dengan lingkungan usahanya. 2. Nilai-nilai Elemen nilai merupakan konsep dasar dan kepercayaan dari suatu organisasi. Nilai-nilai tersebut menitik beratkan kepada suatu keyakinan untuk mencapai kesuksesan. Nilai-nilai atau keyakinan agar dapat mendorong karyawan untuk mencapai kinerja yang baik, hendaknya harus disampaikan secara terbuka oleh para manajer kepada seluruh lapisan sumber daya manusia (SDM) yang ada, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadinya penyimpangan-penyimpangan dari standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan. 17 3. Pahlawan Pahlawan adalah tokoh yang dipandang berhasil mewujudkan nilai-nilai budaya dalam kehidupan nyata.Pahlawan bisa berasal dari pendiri perusahaan, para manajer, kelompok organisasi atau perorangan yang berhasil menciptakan nilainilai organisasi, mereka bisa menumbuhkan idealisme, semangat dan tempat mencari petunjuk bila terjadi kesulitan atau masalah dalam organisasi. 4. Ritual Kegiatan upacara di suatu perusahaan pada umumnya bentuk penghargaan terhadap kinerja sumber daya manusianya atau dapat berupa laporan aktivitasaktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dalam kurun waktu tertentu.Dengan seringnya frekuensi kegiatan tersebut di perusahaan diharapkan akan menciptakan budaya secara tidak sadar. 5. Jaringan Budaya Elemen ini secara informal dapat dikatakan sebagai jaringan komunikasi di dalam perusahaan, dapat dijadikan sebagai pembawa atau penyebaran nilai-nilai budaya perusahaan.Elemen ini merupakan hierarki dari kekuatan yang tersembunyi di dalam organisasi, oleh karena itulah efektivitas jaringan ini hanya sebagai cara untuk mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi di perusahaan, dapat dikatakan juga bentuk jaringan kultural adalah informal. 2.1.3 Kepuasan Kerja 2.1.3.1 Definisi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan bentuk perasaan seseorang terhadap pekerjaannya, situasi kerja dan hubungan dengan rekan kerja.Dengan demikian kepuasan kerja merupakan sesuatu yang penting untuk dimiliki oleh seorang pegawai, dimana mereka dapat berinteraksi dengan lingkungan kerjanya sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan perusahaan. Robbins dan Judge (2007, p.79) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan positif sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut.Definisi ini tentu sangat luas maknanya.Sedangkan Hariandja (2007, p.290) mengemukakan bahwa kepuasan kerja menunjukkan hingga sejauh mana individu merasakan secara positif atau negatif berbagai macam faktor dari tugas dalam pekerjaannya. Hasibuan (2007, p.202) menjelaskan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya.Sikap ini 18 dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja.Veithzal (2004:475) kepuasan kerja merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang/tidak senang, puas/tidak puas dalam bekerja. Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan karyawan terhadap pekerjaannya. Perasaan itu mencerminkan dari persesuaian antara apa yang diharapkan karyawan dengan apa yang didapatkan karyawan dari pekerjaannya. Dari definisi diatas, akhirnya dapat diambil suatu garis besar pengertian bahwa kepuasan kerja adalah pandangan karyawan terhadap pekerjaannya, mencakup perasaan karyawan dan penilaian karyawan terhadap peranan pekerjaan dalam pemenuhan kebutuhannnya. 2.1.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Menurut Kreitner dan Kinicki (2001) dalam buku Wibowo (2009, p.326) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu : 1. Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan) Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan yang memungkinkan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 2. Discrepancies (perbedaan) Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas harapan. 3. Value attainment (pencapaian nilai) Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 4. Equity (keadilan) Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja.Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya 19 relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya. 5. Dispositional/genetic components (komponen genetik) Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas.Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik.Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan. Terwujudnya kepuasan kerja karyawan merupakan salah satu faktor pendorong dari tercapainya tujuan organisasi. Menurut Hasibuan (2007, p.203), faktor yang menimbulkan kepuasan kerja karyawan adalah: a. Balas jasa yang adil dan layak b. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian c. Berat ringannya pekerjaan d. Suasana dan lingkungan pekerjaan e. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan f. Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya g. Sadar pekerjaan monoton atau tidak 2.1.3.3 Teori Kepuasan Kerja Teori kepuasan kerja mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaannya daripada beberapa lainnya. Greenberg dan Baron (2003, p. 153) menjelaskan dua pendekatan dari teori kepuasan kerja ada sebagai berikut: a. Two-Factor Theory Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang menganjurkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction (ketidakpuasan) merupakan bagian dari kelompok variabel yang berbeda, yaitu motivators dan hygienefactors. Motivators factors menjelaskan bahwa kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya, seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pegembangan diri dan pengakuan. Sedangkan hygiene atau maintance factors menjelaskan bahwa ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi di 20 sekitar pekerjaan (seperti kondisi kerja, pengupahan, keamanan, kualitas pengawasan, dan hubungan dengan orang lain), dan bukannya dengan pekerjaan itu sendiri. b. Value Theory Teori ini memfokuskan pada hasil manapun yang menilai orang tanpa memperhatikan siapa mereka.Kunci menuju kepuasan dalam pendekatan ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dan diinginkan seseorang.Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan seseorang. 2.1.3.4 Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan Kerja Menurut Robbins dan Judge (2007, p.83) ketidakpuasan kerja karyawan dapat dinyatakan dengan sejumlah cara, diantaranya: a Keluar (Exit): Perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi. Mencakup pencarian suatu posisi baru maupun meminta berhenti. b Suara (Voice): Dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi. Mencakup saran perbaikan, membahas problem-problem dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat buruh. c Kesetiaan (Loyalty): Pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi. Mencakup berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat. d Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi, dan tingkat kekeliruan yang meningkat. Hal-hal diatas dapat digambarkan dalam diagram berikut Gambar 2.1 Response to Job Dissatisfaction Sumber : Robbins dan Judge (2007, p.84) 21 2.1.3.5 Panduan Meningkatkan Kepuasan Kerja Menurut Greenberg dan Baron (2003, p. 159) ada beberapa cara untuk meningkatkan kepuasan dan mencegah ketidakpuasan pada pekerjaan, antara lain sebagai berikut: a. Membuat pekerjaan menyenangkan Karyawan akan lebih puas dengan pekerjaan yang mereka senangi ketimbang dengan pekerjaan yang membosankan. Meskipun beberapa pekerjaan secara instrinsik membosankan, pekerjaan tersebut masih mungkin meningkatkan kesenangan ke dalam setiap pekerjaan. b. Karyawan dibayar secara adil Karyawan yang meyakini bahwa sistem pengupahan organisasinya tidak adil akan cenderung tidak puas dengan pekerjaannya. Hal ini diberlakukan tidak hanya untuk gaji dan upah per jam, tetapi juga fringe benefit. Konsisten dengan value theory, karyawan yang merasakan dibayar secara adil dan apabila karyawan diberi peluang untuk memilih fringe benefit yang paling mereka inginkan, maka kepuasan kerjanya cenderung akan meningkat. c. Mencocokan karyawan dengan pekerjaan yang sesuai dengan minatnya. Semakin banyak karyawan menemukan bahwa dirinya dapat memenuhi minatnya pada pekerjaan mereka, maka mereka akan lebih puas terhadap pekerjaannya. Perusahaan dapat menawarkan jasa konseling individu kepada pekerja sehingga kepentingan pribadi dan professional dapat diidentifikasi dan disesuaikan. d. Menghindari kebosanan dan pekerjaan yang berulang-ulang. Kebanyakan karyawan cenderung mendapat sedikit kepuasan apabila mereka dihadapi dengan pekerjaan yang membosankan dan berulang-ulang. Sesuai dengan two-factor theory, karyawan jauh lebih puas dengan pekerjaan yang meyakinkan mereka memperoleh sukses dengan secara bebas melakukan kontrol atas bagaimana cara mereka melakukan sesuatu. 2.1.3.6 Dimensi Kepuasan kerja Menurut Hariandja (2007, p.291) mengemukakan bahwa kepuasan kerja meliputi enam dimensi yaitu : 22 a. Gaji sejumlah bayaran yang diterima seseorang akibat dari pelaksanaan kerja apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil sesuai dengan ketrampilan dan pengorbanan yang diberikan. b. Pekerjaan itu sendiri Salah satu faktor kepuasan kerja adalah pekerjaan yang menantang, bervariasi dan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menggunakan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya sehingga tidak menimbulkan kejenuhan dan kebosanan bagi karyawan dalam mengerjakannya. c. Atasan Seseorang yang senantiasa memberikan perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan pekerjaan.Cara atasan memberi perintah kepada bawahan bisa berdampak menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi karyawan sehingga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang. d. Rekan kerja Rekan kerja yang ramah, hubungan kerja sama dan komunikasi dengan rekan kerja yang terjalin dengan baik akan mendatangkan kepuasan kerja yang tinggi. e. Promosi Pemberian kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan karirnya.Seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik jabatan atau tidak. Proses kenaikan jabatan yang kurang terbuka dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang. f. Lingkungan kerja Terdiri dari lingkungan kerja fisik dan psikologis. Karyawan akan mudah mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaannya bila kondisi seakan sekitarnya bersih, terang,tidak terlalu sempit dan bising. Sehingga karyawan akan mudah mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan dalam suasana atau kondisi yang mendukung atau harmonis. 23 2.1.4 Komitmen Organisasi 2.1.4.1 Definisi Komitmen Organisasi Komitmen Organisasi menurut beberapa ahli : 1)Luthans (2006 : 249) menyatakan komitmen organisasi merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. 2) Griffin (2004 : 15) , menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah sikap yang mencerminkan sejauh mana seorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Karyawan-karyawan yang merasa lebih berkomitmen pada organisasi memiliki kebiasaan-kebiasaan yang bisa diandalkan, berencana untuk tinggal lebih lama di dalam organisasi, dan mencurahkan lebih banyak upaya dalam bekerja. 3)Blau& Global (1987) dalam Muchlas (2005 : 161) , mendefinisikan komitmen organisasi sebagai orientasi seseorang terhadap organisasi dalam arti kesetiaan, identifikasi, dan keterlibatan. Dalam hal ini, karyawan mengidentifikasikan secara khusus organisasi/perusahaan beserta tujuannya dan berharap dapat bertahan sebagai anggota dalam organisasi/perusahaan tersebut. Dari beberapa pernyataan para ahli diatas maka dapat disimpulkan komitmen organisasi adalah suatu sikap dimana para karyawan memiliki keterikatan dengan organisasinya atau perusahaannya dan mengenal baik organisasi tempat ia bekerja . Karyawan yang berkomitmen dengan organisasi maka biasanya akan menetap lama di dalam organisasi itu karena merasa terikat dengan organisasi . 2.1.4.2 Bentuk-bentuk Komitmen Organisasi Menurut Greenberg (2005 : 182), bentuk-bentuk komitmen organisasi adalah: 1) Affective commitmentialah kuatnya keinginan seseorang dalam bekerja bagi organisasi atau perusahaan disebabkan karena dia setuju dengan tujuan-tujuan organisasi tersebut dan ingin melakukannya. 2) Continuance commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi organisasi disebabkan karena diamembutuhkan pekerjaan tersebut dan tidak dapat melakukan pekerjaan yang lain. 24 3) Normative commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalammelanjutkan pekerjaannya bagi organisasi disebabkan karena dia merasa berkewajiban dari orang lain untuk dipertahankan. 2.1.4.3 Konsekuensi dari Komitmen Organisasi Menurut Greenberg (2005 : 184), konsekuensi dari komitmen yaitu: 1) Karyawan yang memiliki komitmen mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk mengundurkan diri. Semakin besar komitmen karyawan pada organisasi, maka semakin kecil kemungkinan untuk mengundurkan diri. 2) Komitmen mendorong orang untuk tetap mencintai pekerjaannya dan akan bangga ketika dia sedang berada di sana. 2.2 Kerangka Pikiran Berdasarkan pembahasan penelitian yang sudah dibahas diatas, maka kerangka penelitian ini ditunjukkan oleh model gambar sebagai berikut: Budaya Organisasi - Job Satisfaction Gaji Pekerjaan itu sendiri Pimpinan Rekan kerja Promosi Lingkungan kerja Job Autonomy Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Sumber : Penulis, 2014 Organizational Commitment - Affective commitment - Continuance commitment - Normative commitment 2.3 Hipotesis Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitan ini, maka hipotesis sementara yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini yaitu: Untuk T-1 : Tidak ada pengaruh secara signifikan job autonomy terhadap kepuasan kerja padaPT Teratai Mas Samudera. 25 : Ada pengaruh secara signifikan job autonomyterhadap kepuasan kerja padaPT Teratai Mas Samudera. Untuk T-2 : Tidak ada pengaruh secara signifikan job autonomyterhadap komitmen organisasi pada PT Teratai Mas Samudera. : Ada pengaruh secara signifikan job autonomyterhadap komitmen organisasi pada PT Teratai Mas Samudera. Untuk T-3 : Tidak ada pengaruh secara signifikan job autonomyterhadap kepuasan kerja dengan budaya organisasi sebagai variabel moderator pada PT Teratai Mas Samudera. : Ada pengaruh secara signifikan job autonomyterhadap kepuasan kerja dengan budaya organisasi sebagai variabel moderator pada PT Teratai Mas Samudera. Untuk T-4 : Tidak pengaruh secara signifikan job autonomyterhadap komitmen organisasi dengan budaya organisasi sebagai variabel moderator pada PT Teratai Mas Samudera. : Ada pengaruh secara signifikan job autonomyterhadap komitmen organisasi dengan budaya organisasi sebagai variabel moderator pada PT Teratai Mas Samudera. 2.4 Penelitian Terdahulu Berikut ini hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini: 1. Penelitian yang dilakukan oleh H.M Thamrin dengan judul “Influence of Transformational Leadership and Organizational Commitment on Job Satisfaction and Employee Performance”. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja memiliki pengaruh positif langsung pada kinerja individu. Untuk meningkatkan kinerja individu dapat diperoleh dengan memberikan perhatian dan stimulasi intelektual untuk individu dan dengan karismanya pemimpin akan dapat membuat perubahaan kearah yang lebih baik, contohnya dengan 26 melakukan pelatihan, konseling, mempertahankan frekuensi interaksi bertujuan untuk mencapai akutalisasi diri. Kepuasan kerja dapat membantu dan memaksilkan profit perusahaan dalam jangka panjang 2. Menurut Chairul Muriman S.,M.SIdrus ,Armanu Thoyib,dan Margono dalam Jurnal Aplikasi Manajemen, volume 6 ,nomor 1 April 2008 yang berjudul “Pengaruh budaya organisasi dan stress terhadap komitmen organisasi dan kepuasan kerja (Studi di kepolisian Negara RI daerah JawaTimur)”, Dari hasil penelitian ini menerima kesimpulan, bahwa: 1. Budaya organisasi berpengaruh terhadap komitmen organisasi dan kepuasan kerja adalah signifikan positif dan kuat ,hal ini menunjukan bahwa semakin kuat budaya organisasi maka komitmen organisasi dan kepuasan kerja semakin meningkat 2.Komitmen organisasi berpengaruh signifikan positif terhadap kepuasan kerja, sebaliknya kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi, hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi komitmen organisasi maka kepuasan kerja semakin meningkat, sebaliknya semakin tinggi kepuasan kerja maka komitmen terhadap organisasi semakin tinggi. 3. Penelitian yang dilakukan Saragih (2011) dengan judul “ The effects of job autonomy on work outcomes: self efficacy as an intervening variable”. Dari penelitian ini dihasilkan kesimpulan: 1. Job autonomy berhubungan positif dengan kinerja dan kepuasan. Semakin tinggi otonomi akan menyebabkan peningkatan kinerja salesperson dan kepuasan kerja. 2. Self efficacy sebagian dimediasi hubungan antara otonomi dan kepuasan kerja, dan hubungan antara kinerja otonomi pekerjaan. 3. Job autonomy tidak berhubungan dengan stres kerja. Self efficacy juga tidak memediasi hubungan antara otonomi kerja dan stres kerja.Perbedaan individu mungkin menjadi penyebab hubungan ini tidak signifikan. 4. Kepuasan kerja berhubungan positif dengan kinerja pekerjaan. Adanya hubungan yang positif akan efek motivasi intrinsik mereka dan efektivitas dalam bekerja. 5. Stres kerja tidak berhubungan dengan prestasi kerja.