TINJAUAN PUSTAKA Botani Apel Tanaman apel termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Rosales, famili Rosaceae, genus Malus, dan spesies Malus sylvestris Mill. Malus sylvestris Mill mempunyai bermacammacam kultivar yang memiliki kekhasan tersendiri. Beberapa kultivar apel unggulan di Indonesia yaitu Rome Beauty, Manalagi, Anna, Princess Noble, dan Wanglin/Lali jiwo (Prihatman, 2000). Apel merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari daerah Asia Barat dengan iklim temperate. Tanaman apel di daerah tropika dapat dibungakan tanpa tergantung musim dengan mengatur waktu perompesan dan pemangkasan. Satu siklus pembuahan apel membutuhkan waktu 4.5-6 bulan tergantung kultivar dan cuaca sehingga dalam setahun apel dapat dibuahkan 2-3 kali (Prihatman, 2000). Berbeda dengan kawasan empat musim, pembungaan hanya terjadi pada musim semi, sehingga apel hanya berproduksi sekali setahun (Hakim, 2008). Syarat Tumbuh Tanaman apel tumbuh dengan baik pada tanah yang bersolum dalam, mempunyai lapisan bahan organik tinggi, struktur tanahnya remah dan gembur, serta mempunyai aerasi, penyerapan air, dan porositas yang baik sehingga pertukaran oksigen, pergerakan hara, dan kemampuan menyimpanan airnya optimal. Tanah yang cocok adalah Latosol, Andosol, dan Regosol. Derajat keasaman tanah (pH) yang cocok untuk tanaman apel adalah 6-7. Tanaman apel membutuhkan kandungan air tanah yang cukup untuk tumbuh. Kelerengan yang terlalu tajam akan menyulitkan perawatan tanaman, sehingga bila masih memungkinkan dibuat terasering maka tanah masih layak untuk ditanami (Prihatman, 2000). Curah hujan yang ideal untuk tanaman apel adalah 1.500-2.500 mm/tahun dengan hari hujan 110-150 hari/tahun. Banyaknya bulan basah dalam setahun adalah 6-7 bulan dan bulan kering 3-4 bulan. Curah hujan yang tinggi saat 4 berbunga akan menyebabkan bunga gugur sehingga diperlukan cuaca cerah saat pembungaan (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, 2008). Kusumo (1986) menyatakan bahwa penggunaan penutup pohon dari bahan plastik yang tembus sinar matahari dapat mengurangi risiko bunga gugur. Untung (1994) menyatakan bahwa jika waktu musim hujan dapat dipastikan, maka masa berbuah apel bisa diatur dengan menjadwalkan waktu perompesan daun. Tanaman apel membutuhkan cahaya matahari yang cukup antara 50-60 % setiap harinya, terutama pada saat pembungaan. Suhu yang dibutuhkan antara 16-27oC, kelembaban udara sekitar 75-85 %. Tanaman apel dapat tumbuh dan berbuah baik di daerah tropika pada ketinggian 1.000-1.250 m dari permukaan laut (dpl) (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, 2008). Budidaya Apel Kegiatan budidaya apel secara umum meliputi pembibitan, penanaman, perompesan daun, pemangkasan cabang, pelengkungan cabang, pemupukan, penjarangan buah, pengendalian OPT, panen, dan pasca panen. Pelaksanaan teknis budidaya yang tepat diharapkan dapat menghasilkan produksi apel yang optimal. Kemampuan memilih bibit yang baik merupakan langkah awal keberhasilan bertanam apel. Bibit yang unggul mempunyai ciri-ciri batangnya lurus, daunnya terlihat segar, dan tidak mudah rontok. Perbanyakan tanaman apel dapat dilakukan secara vegetatif maupun generatif. Perbanyakan secara generatif jarang dilakukan karena masa berbuah yang lama dan hasilnya belum tentu bagus (Untung, 1994). Teknik perbanyakan yang umum digunakan di Agrowisata Krisna adalah teknik sambung pucuk. Prihatman (2000) menyatakan, teknik sambung pucuk (top grafting) dilakukan dengan cara sebagai berikut: batang bawah dipotong pada ketinggian lebih kurang 20 cm dari pangkal akar, kemudian bagian tengah batang bawah dibelah sepanjang 2-5 cm. Batang atas dipotong sepanjang lebih kurang 15 cm, daunnya dibuang, kemudian pangkal batangnya diiris berbentuk baji, panjang irisan sama dengan panjang belahan batang bawah. Batang atas disisipkan ke belahan batang bawah sehingga kambium bisa bertemu. Sambungan diikat dengan tali plastik serapat mungkin. Tali plastik sudah dapat dibuka dua 5 sampai tiga minggu kemudian. Bibit hasil sambungan yang kira-kira sudah berumur enam bulan dipotong setinggi 80-100 cm dari pangkal batang dan daunnya dirompes. Perompesan dilakukan untuk mematahkan dormansi sebagai pengganti musim gugur di daerah temperate. Perompesan dilakukan supaya penguapan berkurang, sedangkan suplai bahan makanan tetap berlangsung. Akibatnya terjadi kelebihan zat makanan dalam tanaman. Pada kondisi ini tunas-tunas lateral akan muncul lebih cepat (Untung, 1994). Perompesan umumnya dilakukan sekitar 10 hari setelah panen (Soelarso, 1997). Studi yang dilakukan Baiturrohmah (2010) menunjukkan, perbedaan waktu rompes berpengaruh nyata terhadap waktu bunga mekar serempak dan persentase kerontokan pentil buah per pohon sampai delapan minggu setelah rompes. Cabang pohon yang tidak dipangkas akan tumbuh lurus ke atas. Hal ini terjadi karena dominansi tunas apikal dan perlu diatasi dengan pemangkasan dan pelengkungan cabang (Kusumo, 1986). Untung (1994) menambahkan, pelengkungan dilakukan setelah pemangkasan cabang untuk merangsang tumbuhnya tunas lateral. Arah pelengkungan cabang akan menentukan pertumbuhan tunas. Lengkungan yang terlalu ke atas akan menghasilkan sedikit tunas dan sebagian besar terdapat pada bagian ujung cabang. Tunas yang terlalu ke bawah atau busur lengkungannya pendek akan menghasilkan tunas yang tumbuh rapat di lengkungan tertinggi di bagian ujung cabang, sedang di bagian cabang di antaranya tidak tumbuh. Pelengkungan sebaiknya horizontal agar tunastunas tumbuh merata sepanjang cabang. Posisi tersebut menyebabkan dominansi auksin digantikan oleh etilen, yang dapat merangsang pembungaan. Zat pengatur tumbuh yang umum digunakan adalah Dormex yang mengandung bahan aktif hidrogen sianamida. Dormex diberikan satu kali setelah pemangkasan menyatakan, atau perompesan pemberian hidrogen (Soelarso, sianamida 1997). Notodimedjo pada tanaman (1995) apel dapat meningkatkan jumlah daun, luas daun, panjang tunas, dan diameter tunas. Hidrogen sianamida tidak bersifat sistemik. Cara kerjanya adalah menghambat kerja enzim katalase yang berperan dalam penguraian hidrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan oksigen. Penghambatan tersebut menyebabkan hidrogen 6 peroksida diuraikan melalui lintasan pentosa fosfat oksidatif. Dengan peningkatan laju lintasan pentosa fosfat tersebut, dihasilkan lebih banyak substansi yang mendasari pertumbuhan baru. Untung (1994) menyatakan, umumnya pupuk diberikan setelah daun dirontokkan, muncul bunga baru, atau setelah pemangkasan cabang yang sakit atau rusak. Saptarini (2002) menambahkan, N berfungsi untuk merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman, khususnya batang, cabang, dan daun. Tanaman yang kekurangan N akan tumbuh kerdil. Fungsi P merangsang pertumbuhan akarakar baru dari benih dan tanaman muda, juga mempercepat pembuahan, serta pemasakan biji dan buah. Fungsi K memperkokoh fisik tanaman, mempertahankan bunga dan buah tidak mudah gugur, dan membuat tanaman memiliki daya tahan tinggi terhadap kekeringan maupun gangguan penyakit. Pupuk diberikan di alur yang mengelilingi batang selebar tajuk sedalam lebih kurang 20 cm. Untuk pupuk anorganik ditaburkan secara merata di dalam alur, lalu ditutup dengan tanah. Untuk tanaman dewasa diberikan pupuk organik melingkari tanaman dengan radius satu meter. Pemberian pupuk pelengkap cair dilakukan dengan penyemprotan setelah bunga apel membentuk buah sebesar kelereng sampai satu bulan menjelang panen dengan interval dua minggu (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, 2008). Dosis dan waktu pemberian pupuk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Kebutuhan Pupuk untuk Tanaman Apel per Pohon No 1 2 3 Pupuk Organik (Pupuk Kandang) Anorganik NPK (mutiara atau phonska) Pupuk Pelengkap Cair (PPC) 30 kg/pohon Umur Tanaman (Tahun) 5-10 60 kg/pohon > 10 0.5-1 kg/pohon 1-1.5 kg/pohon 2 cc/lt 5-10 Dosis > 10 Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur (2008) - Waktu Pemberian Awal musim hujan Awal musim hujan Awal dan akhir musim hujan Awal dan akhir musim hujan Setelah buah apel sebesar kelereng Keterangan 1 kali/tahun 2 kali/tahun - 7 Baiturrohmah (2010) melaporkan, pemupukan di Kusuma Agrowisata dibedakan atas dasar umur tanaman, yaitu pada tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM) (Tabel 2). Pemupukan pada TBM menggunakan pupuk ZA dengan dosis yang berbeda berdasarkan umur tanaman, sedangkan pada TM menggunakan pupuk majemuk NPK (15:15:15). Pupuk diberikan di sekitar tanaman dengan kedalaman alur sekitar 10-20 cm dan selebar tajuk yaitu sekitar satu meter dari batang pohon pada TM dan setengah meter pada TBM. Tabel 2. Pemupukan di Kusuma Agrowisata Umur tanaman (tahun) 1 2 3 4 ≥5 Pupuk ZA ZA ZA ZA NPK Dosis (g/tanaman) 100 200 300 300 500 Sumber: Baiturrohmah (2010) Hama dan penyakit merupakan faktor penting yang membatasi produksi apel. Kutu hijau (Aphis pomii), tungau, trips, ulat daun (Spodoptera litura), serangga penghisap daun (Helopelthis sp.), ulat daun hitam, dan lalat buah adalah hama yang sering menyerang tanaman apel. Penyakit yang sering menyerang tanaman apel yaitu embun tepung, bercak daun, jamur upas, kanker batang, dan busuk buah. Pencegahan dilakukan dengan penyemprotan dosis ringan sebelum hama dan penyakit menyerang tanaman atau secara rutin 1-2 minggu sekali. Penanggulangan dilakukan dengan penyemprotan sedini mungkin dengan dosis tepat. Penyemprotan sebaiknya dilakukan pagi atau sore hari. Jenis dan dosis pestisida yang digunakan dalam menanggulangi hama sangat beragam tergantung dengan hama dan penyakit yang dikendalikan dan tingkat populasi hama (Soelarso, 1997). Penjarangan buah dilakukan untuk meningkatkan kualitas buah agar besarnya seragam, kulit baik, dan sehat. Penjarangan dilakukan dengan membuang buah yang tidak normal (terserang hama penyakit atau kecil-kecil), sehingga untuk mendapatkan buah yang baik, satu tunas hendaknya berisi 3-5 buah (Prihatman, 2000). Ashari (2004) menyatakan, penjarangan buah yang dilakukan sedini mungkin dapat memastikan produksi bunga/buah pada musim 8 berikutnya, sehingga dapat menjamin panen yang kontinyu. Produksi buah secara besar-besaran akan memaksa tanaman mengeluarkan cadangan karbohidrat terlalu banyak, sehingga setelah masa berbuah selesai, pertumbuhan vegetatif tanaman terganggu dan proses pengumpulan karbohidrat untuk pembungaan akan terhambat. Buah apel dapat dipanen pada umur 4-5 bulan setelah bunga mekar, tergantung pada kultivar dan iklim. Pemanenan paling baik dilakukan pada saat tanaman mencapai tingkat masak fisiologis (ripening). Ciri masak fisiologis buah adalah: ukuran buah terlihat maksimal, aroma mulai terasa, warna buah tampak cerah segar dan bila ditekan terasa renyah (Prihatman, 2000). Pramono (2007) menambahkan, jika panen dilakukan saat buah belum siap akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman dan pembungaan pada musim berikutnya. Pemanenan apel dilakukan dengan cara memetik buah secara manual dengan tangan. Periode panen apel adalah enam bulan sekali berdasarkan siklus pemeliharaan yang telah dilakukan. Apel yang sudah dipanen dikumpulkan pada tempat yang teduh dan tidak terkena sinar matahari langsung agar laju respirasi berkurang untuk mempertahankan kualitas. Penyortiran dilakukan untuk memisahkan antara buah yang baik dan bebas penyakit dengan buah yang jelek atau berpenyakit, agar penyakit tidak tertular ke seluruh buah yang dipanen yang dapat menurunkan mutu produk. Penggolongan dilakukan untuk mengklasifikasikan produk berdasarkan jenis kultivar, ukuran, dan kualitas buah (Prihatman, 2000). Buah yang akan dikirim dikemas untuk menghindari kerusakan. Pengemasan biasanya menggunakan kotak kardus dengan ukuran 48 cm x 33 cm x 37 cm, yang dapat menampung 35 kg apel. Dasar kotak kardus diberi potongan-potongan kertas untuk menghindari risiko terkena benturan. Sebelum kotak ditutup, di atas susunan buah apel diberi potongan-potongan kertas lagi. Buah yang dikemas dalam satu kotak besarnya harus seragam agar mudah menyusunnya. Lapisan buah pertama diatur pada bagian lebar kotak 3-3, 3-3 buah atau berselang 3-2 buah sampai susunan memenuhi panjang kotak. Demikian pula lapisan kedua di atasnya mengisi ruang-ruang di antara buah dari lapisan pertama. Bila tiap-tiap buah diberi sela/ruangan disebut susunan terbuka, 9 dan bila agak rapat disebut susunan tertutup. Susunan terbuka lebih baik untuk sirkulasi udara di antara tiap-tiap buah (Soelarso, 1996). Pemangkasan Tanaman Pemangkasan pada apel menurut tujuannya dibagi menjadi pemangkasan bentuk, pemangkasan pemeliharaan, dan pemangkasan produksi. Pemangkasan bentuk dilakukan dengan cara sebagai berikut: batang utama tanaman apel dipangkas setinggi 80 cm tepat di atas payungan daun kemudian daun yang ada di bawah pangkasan dirompes agar tumbuh tunas lateral dari pangkasan. Tunas lateral disisakan tiga buah yang tumbuhnya ke segala arah agar semua cabangnya terkena sinar matahari. Setelah tunas-tunas tadi tumbuh menjadi cabang yang panjangnya sekitar satu meter, daunnya dirompes dan payungan daun di ujungnya dipangkas. Cabang yang telah gundul dilengkungkan dengan tali dan diikatkan pada kayu pasak lalu dipasakkan ke tanah sehingga posisi cabang benar-benar mendatar. Tujuan pelengkungan cabang hingga mendatar yaitu agar tunas sekunder tumbuh merata dan teratur di sepanjang cabang. Tiga tunas sekunder yang arahnya baik disisakan untuk dipelihara, tunas lainnya dipangkas. Setelah tunas sekunder panjangnya satu meter, daunnya dirompes dan dilengkungkan sampai mendatar agar tunas tersier tumbuh (Saptarini et al., 2002). Pemangkasan pemeliharaan dilakukan setiap diperlukan untuk memelihara bentuk tanaman, mencegah serangan penyakit, dan mengatur arah percabangan sehingga sinar matahari dapat masuk secara merata. Luka bekas pemangkasan juga dapat menjadi sarana penyebaran penyakit. Luka yang besar harus dilumuri dengan parafin, lilin, cat, atau ter supaya tidak kemasukan air dan dihinggapi penyakit. Gunting yang digunakan harus tajam dan licin, sehingga pemangkasan dapat dilakukan sekali potong (Prihatman, 2000). Pemangkasan pemeliharaan dilakukan pada bagian-bagian tanaman yang meliputi: tunas yang tumbuh searah batang pokok, ranting yang tumbuh ke dalam, ranting yang bertumpang tindih, ranting yang mulai mengering dan sudah mati, ranting yang sudah tumbuh pada batang bawah, cabang yang tumbuh dekat dengan tanah, dan cabang yang menunduk ke bawah (Info Agribisnis, 2009). 10 Pemangkasan produksi pada prinsipnya adalah mengubah perbandingan unsur karbon (C) dan nitrogen (N) (C/N rasio) dalam tubuh tanaman. Tidak imbangnya C/N rasio ini dapat mengganggu fase vegetatif dan fase reproduktif tanaman. Tanaman yang C/N rasionya tinggi, rangsangan untuk terbentuknya bunga dan buah semakin tinggi pula (Saptarini et al., 2002). Prastowo et al. (2006) menyatakan, pemangkasan dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber energi (unsur hara dan sinar matahari) untuk memperoleh percabangan yang ideal dan seimbang sehingga distribusi daun merata dalam penerimaan sinar matahari, yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil produksi dan mutu buah. Studi yang dilakukan Khaerunnisa (2010) menunjukkan bahwa perbedaan waktu pangkas pada apel berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas, jumlah kuncup daun, jumlah kuncup bunga, jumlah bunga, dan jumlah buah.