Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA Media Massa sebagai Mesin Kapitalis (Suatu Tinjauan Sosiologis) Suyatno Kahar* Abstract The Mass Media As a Capitalist Machine is a current Contemporary Reality, in which the mass media is controlled by a selfish ideology of capitalism, does not attach importance to media idealism. Between Ideology of Truth and Ideology Pragmatism always fights in the media world today. Mass Media has an interest in developing and / or strengthening its industry. The reality, the way used to strengthen the media industry is to apply the capitalist way, capitalist ideology alias. Keywords: Mass Media, Capitalist, Sociological Review. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti diketahui bahwa tujuan utama dari suatu institusi media dalam hal ini adalah surat kabar, majalah, telivisi, production house dan radio bahkan media online adalah profit. Sangat tentu suatu bisnis haruslah menguntungkan, dengan itu akan menarik para investor untuk menginvestasikan modalnya. Karenaya, keuntungan tersebut akan digunakan untuk perluasan bisnis itu sendiri. Sehingga bisa meningkatkan mutu baik dalam konteks infrastruktur maupun dalam konteks peningkatkan mutu sumber daya manusia. Banyak referensi telah menyebutkan bahwa fenomena marketing telah bergolak pada suatu peperangan di mana pesaing atau kompetitor adalah musuh dan para konsumen akan menjadi dasar untuk menjadi menang. Logika tersebut telah banyak terdapat di berbagai institusi media, yang mana sering terjadi pertarungan ideologi dan pikiran pada konsumen media yang akhirnya tidak menemukan titik temunya. Dalam hal rating juga terdapat ketidaksesuaian indikator untuk mengukur kesuksesan suatu institusi media. Memang konsep marketing media bersifat general, yang tentunya mencakup semua departemen yang sala satunya adalah bagian pemberitaan dan atau penyiaran, dalam bagian tersebut mempunyai sepak terjang dalam memberikan informasi yang aktual secara faktual. Namun sepak terjangnya sering melenceng pada gawang idealisme media informasi. Karena semuanya itu telah terjebak pada gagasan kemasan berita yang tidak terlepas dari pangsa pasar * Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara 83 Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA sehingga kadang lebih mengejar keuntungan daripada idealisme. Memang ada anggapan bahwa pengemasan berita dan hiburan sebagai produk yang telah terbukti dalam pencapaian sasaran pemasaran. Sebab dalam pencapaian tersebut telah diukur dari suatu logika pemasaran untuk meraih keuntungan. Berita tidak lagi dikemas hanya untuk kepentingan publik semata, tetapi sudah menjadi produk yang dapat dijual kepada konsumen dan dapat memberikan kontribusi terhadap suksesnya rencana pemasaran dan semua biaya operasional. Sebuah surat kabar harus memposisikan diri sebagai seorang jurnalistik untuk memaksimalkan profit dengan berita-berita mereka yang diasumsikan sebagai produk. Dan juga diperlukan rencana pemasaran yang matang untuk menarik perhatian pembaca yang berpendidikan tinggi dan dengan level ekonomi menengah ke atas. Para direktur pemasaran merasa bahwa tingginya pembaca dengan level ekonomi menengah kebawah akan mengurangi iklan yang masuk ke surat kabar. Dengan demikian maka, usaha untuk meningkatkan pendapatan institusi media akan menimbulkan benturan-benturan terhadap nilai-nilai etik jurnalistik. Benturan tersebut membuat praktisi media mengalami dilema terhadap institusi mereka, antara kepentingan diri sendiri atau kesejahteraan masyarakat. Memang tidak ada hukum yang membenarkan tentang pengorbanan mutu informasi untuk memenuhi permintaan pasar. Namun paling tidak ada suatu validitas informasi yang faktual. Karena itu, kepekaan terhadap moral para pembuat keputusan tentang status informasi itu sendiri. Sehingga mereka harus mempertimbangkan tanggung jawab sosial di dalam sebuah industri dengan konsep pemasaran yang adil. Kalau dalam wacana Burhan Bungin, penguasaan isi dan tema-tema berita oleh kapitalis adalah bagian lain dari kekuasaan kapitalis terhadap media itu sendiri. keberpihakan televisi pada kapitalis mana yang menjadi pengausaanya adalah drama lain dalam jurnalisme televisi, karena sebuah berita dianggap penting apabila ikut membangun image pemegang modal dalam sebuah perusahaan televisi tersebut. Kekuatan kapitalisme juga terlihat pada keberpihakan mereka dalam dunia politik. Kapitalisme juga terlihat pada keberpihakan mereka dalam dunia politik. Kapitalis yang dilindungi oleh penguasa atau sebaliknya menjadi pertimbangan bagaimana sebuah isi berita disiasati sehingga tidak terkesan memihak namun 84 Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA dapat mengkonstruksi pemirsa ke arah mana acara secara emosi kekuatan politik menginginkannya. Sehingga, dengan demikian televisi tidak kehilangan muka, sedangkan penguasaan juga aman (Bungin, 2008 :105-106). Jelaslah diatas bahwa wacana media selalu mengalami persoalan antara idealisme dan kepentingan pasar, kadang media terjebak pada ranah pragmatisme ekonomi media. Oleh karena, penulis juga menguraikan beberapa hal yang terkait dengan Ideologi Media dan Pengendalian kapitalis. B. Permasalahan Bagaimana Media Massa sebagai Mesin Kapitalis ditinjauan dari aspek Sosiologis? A. Tujuan penulisan Tujuan Penulisan adalah untuk mengetahui Media Massa sebagai Mesin Kapitalis ditinjauan dari aspek Sosiologis? PEMBAHASAAN a. Ideologi Media Definisi ideologi Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya. Fungsi ideologi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial berkaitan erat. Memahami format sosial politik maupun ekonomi suatu masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih 85 Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas manusia itu sendiri. Lantas apa yang dimaksud dengan ideologi media? Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa ideologi media merupakan suatu keseluruhan sistem keyakinan secara konstruktif dalam bentuk visi dan misi atau gagasan, nilai serta gerakan pada media itu sendiri. Suatu gerakan media yang bermuatan perubahan juga merupakan begian dari wujud ideologi media itu sendiri. Hal ini misalnya idealisasi peran dan fungsi Media seperti Nabi yang tentu mempunyai tugas, sebagai berikut: 1. Memberikan informasi. karena secara jelas bahwa fungsi utama pers adalah untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat secara faktual dan aktual. 2. Mempengaruhi. Sebagai fungsi perubahan tentu pers berperan untuk mempengaruhi situasi sosial pada jalan yang lebih baik. 3. Mendidik. Pers juga menjadi sarana untuk melakukan pendidikan sehingga bisa tercapai misi pencerahan dari suatu masyarakat/bangsa. 4. Menghibur. Sangat tentu pers juga berfungsi untuk melayani masyarakat dalam hal kebutuhkan hiburannya. 5. Kontrol sosial. Media massa mempunyai kekuatan yang lebih untuk melakukan kontrol sosial, pada fungsi tersebut tentu berlaku pada pemerintah maupun pada masyarakat itu sendiri. Dari lima poin tersebut di atas merupakan bentuk atau wujud dari ideologi yang bersifat praksis. Adapun paradigma peran media yang seperti dipetahkan oleh Burhan Bungin diantaranya ; 1. Sebagai institusi pencerahan masyarakat,yakni peranya sebagai media edukasi, yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikiranya, dan menjadi masyarakat yang maju. 2. Media berperan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang terbuka dan jujur dan benar disampaikan media massa kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya dengan 86 Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA informasi, masyarakat yang terbuka dengan informasi, sebaliknya pula akan menjadi masyarakat informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada media massa. Selain itu, informasi yang banyak dimiliki oleh masyarakat, menjadikan masyarakat sebagai masyarakat dunia yang dapat berpartisipasi dengan berbagai kemampuanya. 3. Media berperan sebagai penghibur. Sebagai agen of change, media juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agen of change yang dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi manusia bermoral dan masyarakat sakinah, dengan demikian media juga berperan untuk mencegah perkembangan budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya (Bungin, 2009 :85-86). Secara sosiologis maka dapat dijelaskan bahwa ideologi media adalah suatu nilai-nilai kebenaran pada tubuh institusi media untuk berfungsi terhadap situasi sosial dalam konteks informasi, mediasi dan transfigurasi demi keadaban manusia. Sementara itu, Lasswell dan Wright dalam Udi Rusadi juga menguraikan bahwa salah satu fungsi esensial media massa dalam perspektif sosiologis ialah sebagai wahana pewarisan nilainilai dalam arti menjalankan proses regenerasi kehidupan masyarakat. Melalui media terjadi proses komunikasi antar manusia yang memperluas interaksi, mengembangkan pertukaran pengetahuan dan nilai-nilai sehingga yang terjadi tidak semata memperluas jaringan interaksi tetapi juga peradaban. (Udi Rusadi, 2006). Dalam penekanan Lasswell tersebut, pada konteks fungsi sosial media penyiaran publik yang cukup signifikan, terdiri dari : pertama, pengawasan sosial, yaitu merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang obyektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. kedua, korelasi sosial, merujuk pada upaya pemberian interpretasi dan informasi satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan lainnya dengan tujuan pandangan konsensus. ketiga, sosialisasi, merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lainnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya (Mufid, 2007). 87 Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA Karena itu, media juga bisa disebut sebagai faktor lingkungan yang mengubah perilaku khalayak melalui proses pelaziman klasik, pelaziman opera atau proses imitasi atau belajar sosial. Sehingga media juga memiliki dua fungsi yakni pertama, media massa mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan akan fantasi. kedua, media massa berfungsi untuk memenuhi kebutuhan informasi. Secara kontekstual, maka seperti kritik dan pandangan optimis yang diuraikan oleh Douglas Kellner, tentang politik media yang demokratis. Dimana dijelaskan bahwa suatu politik media demokratis akan peduli dengan kenyataan bahwa teknologi media dan komputer baru akan digunakan untuk melayani kepentingan masyarakat, bukan elit korporat. Suatu politik media demokratis akan berjuang untuk memastikan bahwa media dimanfaatkan untuk mencerahkan dan memberi informasi kepada orang-orang, bukan manipulasi mereka. Politik media demokratis akan mengajarkan individu bagaimana memanfaatkan beragam teknologi baru ini untuk menyuarakan pengalaman dan kepentingan mereka sendiri, dan mepromosikan perdebatan dan keberagamaan demokratis, memungkinkan serangkaian luas suara dan ide untuk menjadi bagian dari cyberdemocracy masa depan ( Kellner,2010 : 455). Dengan demikian maka ideologi media nampaknya mempunyai arti yang universal, namun dalam hal ini penulis mencoba memberikan suatu benang merah bahwa ideologi media merupakan jiwa untuk menentukan identitas media itu sendiri. Seperti di penjelasalan awal bahwa ideologi media merupakan suatu keseluruhan sistem keyakinan secara konstruktif dalam bentuk visi dan misi atau gagasan, nilai serta gerakan pada media itu sendiri. Ini juga tidak terlepas dari gagasan dasar ideologi, yang seperti dijelaskan oleh Antonio Gramsci ; lebih dari sekedar sistem ide. b. Pengendalian kapitalis Kajian tentang pengendalian kapitalis dan realitas media maka penulis akan mengawali dengan wacana perilaku kapitalis. Sangat tentu, perilaku kapitalis selalu berdasar pada logika ekonomi yang mana selalu mengejar pendapatan. Menurut pandangan Marx, pengejaran keuntungan merupakan hal yang hakiki dalam kapitalisme, karena tujuan dari modal bukan untuk melayani kebutuhankebutuhan tertentu, akan tetapi untuk menghasilkan keuntungan. Namun pada 88 Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA saat bersamaan, di dalam ekonomi kapitalis terdapat suatu kecenderungan struktur untuk menurunnya tingkat keuntungan, disimpulkan dari pengintegrasian teori ini dengan analisinya mengenai komposisi organik dari modal serta pola hubungannya dengan nilai surplus. Jumlah keuntungan keseluruhan dalam ekonomi kapitalis bergantung pada nilai surplus yang tercipta dalam ekonomi itu; rasio dari modal konstan terhadap modal variabel di dalam perekonomian sebagai keseluruhan, menentukan tingkat keuntungan rata-rata. Dengan demikian, tingkat keuntungan berada dalam perbandingan sebaliknya dari komposisi organik dari modal. Dalam penegasan Marx bahwa kapitalisme didasarkan atas persaingan dalam hal pengejaran keuntungan maka peningkatan teknologi, terutama mekanisasi produksi yang semakin berkembang, merupakan senjata ampuh bagi setiap kapitalis di dalam perjuangannya untuk mempertahankan hidup di pasaran, sehingga seorang pengusaha bisa memperbesar keungtungannya dengan cara berproduksi lebih murah daripada saingan-saingannya. Akan tetapi suksesnya dalam memperoleh keuntungan yang lebih besar memancing kapitalis-kapitalis lain untuk mengikutinya dengan cara menerapkan perbaikan-perbaikan teknik yang sama dan dengan demikian membuat suatu keseimbangan baru (meskipun sama-sama bersifat sementara), di mana setiap kapitalis mempunyai suatu rasio pengeluran modal atas modal konstan, yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Oleh karena itu sebagai akibat keseluruhannya ialah suatu kenaikan dalam komposisi organik dari modal, dan suatu penurunan tingkat rata-rata keuntungan (Giddens, 1983: 65). Logika kapitalis juga terdapat suatu prinsip penguasaan, dalam hal ini adalah persaingan dalam pasar modal harus diakhiri dengan kemenangan yang bersifat penguasaan pasar (monopoli pasar). Logika kapitalis juga merupakan suatu paradigma yang sering berkaitan dengan budaya ekonomi pasar bebas. Bangunan paradigma ekonomi pasar bebas tentu seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith Laissez faire, biarkan orang bertindak sendiri’ biarkan mereka bertindak dengan menggunakan logikanya masing-masing untuk mencapai kesuksesannya. Adam Smith sendiri menganjurkan persaingan pasar bebas, sebab pasar bebaslah yang membuat kapitalsme itu berjalan. Setiap orang harus menanamkan di dalam dirinya motif mencari keuntungan dan 89 Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA mengumpulkan kekayaan (kepemilikan pribadi), sebab kekayaan itu perlu untuk kesuksesan usaha dan kemakmuran bangsa. Meskipun demikian, setiap orang harus menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi (motif persaingan, keuntungan, dan pengumpulan kekayaan) dengan panggilan hati nuraninya akan kebaikan dan perbuatan mulia. Ditegaskan oleh Yasraf A. Piliang bahwa anjuran Adam Smith tersebut tampaknya menjanjikan satu idealisme bagi kemaslahatan umum. Sayangnya, gagasan tersebut telah dimanfaatkan oleh kaum kapitalis yang selalu melakukan monopoli secara bebas. Karena bagi kaum kapitalis, hal tersebut merupakan suatu kesempatan untuk memperluas jaringan kekuaasan dalam rangka mencari keuntungan yang labih besar tanpa memikirkan dampak sosial ekonomi lainnya. Dengan melihat perkembangan kapitalisme global yang menderu menuju titik ekstrim dewasa ini, serta beberapa kelemahan dalam anjuran itu sendiri, tidakkah anjuran tersebut hanya akan bersifat utopis semata? Di manakah letak hati nurani tersebut di dalam mesin kapitalisme global yang kini telah terperangkap oleh kecepatan operasionalnya sendiri? (Piliang, 2004:146). Persoalan neoliberalisme juga pun merupakan praktek dari kesalaanjuran dari laissez faire , di mana berbagai sektor telah dimainkan oleh kaum kapitalis. Dimaksud dengan permainan kapitalis adalah suatu konspirasi atau skenario yang telah di rancang untuk menguasai sektor-sektor tertentu misalnya pada sektor ekonomi, politik dan budaya. Apalagi di era globalisasi pada saat ini, jelas sangat memberi peluang besar bagi kaum kapitalis untuk memperbesar kekuatan ekonomi. Pada konteks media, terdapat suatu pengejaran keuntungan bagi kaum kapitalis itu sendiri, dalam artian bahwa pengendalian kapitalis terhadap media lebih mengarah pada logika yang dimilikinya. Seorang kapitalis tentu memiliki jiwa kapitalis dan realisme pemikirannya adalah kapitalisme global. Hal ini sangat berhubungan dengan kondisi jaman pada saat ini, dimana industri media selalu dibangun berlandaskan semangat kapitalisme tentu akan menghasilkan pesan atau produk media yang berorientasi pada modal. Dengan Bukti untuk produk media berorientasi modal adalah banyaknya iklan komersial dan besarnya pengaruh iklan dalam penentuan suatu program. Mungkin sebagian besar isi media tidak secara eksplisit menunjukkan keberpihakannya. Tetapi secara halus pesan-pesan 90 Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA kapitalisme yang menuntun pada perilaku konsumtif masyarakat disisipkan melalui tayangan sinetron, acara gosip, kuis berhadiah, polling sms dan lain sebagainya. Selain pesan produk media yang pro kapitalisme, sebaliknya ada juga pesan media anti kapitalisme yang nantinya akan diresepsi oleh audiens. Pesan anti kapitalisme bisa berbentuk kritik atas pesan produk media kapitalisme atau praktek kapitalisme oleh media. Oleh karena itu negativitas kapitalisme lah yang menghancurkan idealisme media, sehingga ideologi media tidak lagi berbanding lurus dengan praktek media itu sendiri. Realitas telah menunjukkan bahwa pengusaha mengelola media massa selalu mengutamakan prinsip bisnisnya. Bagi pengusaha, media massa digunakan untuk mencari keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, institusi media dikelola dengan prinsip bisnis. Pada situasi ini, media massa menjalankan berdasar pada hukum ekonomi, yakni pengeluaran sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan mungkin mengesampingkan tanggung jawab sosial. Efisiensi menjadi suatu hal mutlak. Perhitungan antara pengeluaran dan pemasukan menjadi hal utama dan dilakukan secara ketat dalam penyajian pesan komunikasi massa. Misalnya, keputusan jadi-tidaknya suatu program acara diproduksi dan disiarkan di televisi sangat bergantung pada perhitungan rating acara tersebut. Semakin tinggi rating acara itu semakin terus diproduksi dan disiarkan. Oleh karena itu, tayangan yang mempunyai ratingnya tinggi, justru berakibat sebagai disfungsi media massa, namun tetap disiarkan untuk tujuan perolehan pendapatan melalui iklan. Melihat media massa sebagai sumber ekonomi, maka bisa saja terjadi perpindahan pemilikan modal dari investor yang satu ke investor yang lain. Industri media massa menjadi objek bagi investor dalam pasar modal. Selain itu, pesan komunikasi massa secara tidak langsung dapat bertujuan ekonomi bagi penyelenggara media. Pemberitaan dalam bentuk investigasi, yang tampaknya idealis untuk membongkar struktur deviasi sosial, dapat menghasilkan iklan karena ratingnya tinggi. PENUTUP Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa dalam aspek sosiologis dapat dijelaskan bahwa ideologi media adalah suatu nilai-nilai kebenaran pada tubuh 91 Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA institusi media untuk berfungsi terhadap situasi sosial dalam konteks informasi, mediasi dan transfigurasi demi keadaban manusia. Meskipun yang terjadi adalah Media Massa dijadikan sebagai Mesin Kapitalis. Persoalan ini sangat faktual di mana selalu diwacanakan oleh pengamat-pengamat media massa itu sendiri. Hal yang cenderung ditakuti adalah jika para aktor-aktor media massa telah memakai logika pragmatis kapitalis, realistis kapitalis, atau bahkan menggunakan paradigma ideologi pragmatis neoliberalis. Kalau hal itu yang terjadi maka yakin atau tidak eksistensi media massa akan cenderung terombang-ambing oleh lautan kapitalisme. Akibatnya, ideologi kapitalisme menangkap peluang untuk menggorogoti pasar media massa. Karena persoalan kepitalisme media merupakan konspirasi dari kaum kapitalis, yang telah dijadikan media sebagai institusi bisnis. Oleh karena itu, saat ini telah banyak kalangan institusi media yang sering dilematis dalam hal kepentingan “antara idealisme dan kepentingan bisnis” DAFTAR PUSTAKA BUKU: Amir Piliang, Yasraf, 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Malampaui Batas-batas kebudayaan. Yogyakarta : Jalasutra ---------------------------2005. Transpolitika Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Yogyakarta : Jalasutra Bagdikian, Ben H. 1997. The Media Monopoly. Fifth Edition. Boston: Beccon Press. ---------------------. 2004. The New Media Monopoly. New Edition. Boston: Beccon Press. Bungin, Burhan, 2007. Sosiologi Komunikasi : Teori, Pradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat . Jakarta : PT. Kencana P. Media Group --------------------- 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta : PT. Kencana P. Media Group 92 Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA Davis K., Dennis, & Baran J.,Stanley, 2010. Teori Komunikasi Massa :Dasar Pergolakan, dan Masa Depan . Jakarta : Salemba Humanika Golding, Peter & Murdock, Graham (ed.) (1997), The Political Economy of the Media, Volume II, Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing Ltd. Ibrahim, Idi Subandy, (Edt), Kuntowijoyo dkk. 1997. Ecstasy Gaya Hidup, Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung : Mizan Kellner, Douglas, 2010. Budaya Media : Cultural Studies, Identitas, dan Politik atara Modern dan Postmodern . Jogyakarta : Jalasutra Kuntowijoyo, 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Mosco , Vincent. 1999. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London: Sage Publications. Mufid, Muhamad, 2007. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta : Kencana P. Media Group. Narwaya, Guntur Tri St., 2006. Matinya Ilmu Komunikasi. Jogyakarta : Resist Book. Peterson,Theodore ,Jensen W. Jay-Rivers, L.William, 2008. Media Massa & Masyarakat Modern. Jakarta : Kencana P. Media Group. Strinati, Dominic, 2010. Popular Culture pengantar teori menuju budaya populer. Jogyakarta : Ar-ruzz Media. Lain-lain: Robert Dunn. 1993. Pascamodernism : Popularisme Budaya Massa dan Garda Depan, Majalah Prisma No. 1, januari. www. ruangkita.com [http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/112007/30/0903.htm] 93 Jurnal Ilmiah Hukum LEX SCRIPTA http://news.id.finroll.com/home/archive/179728-menjamurnya-media-bisamengarah-kapitalisme.html http://www.scribd.com/Cultural-Studies-Budaya-Pop/d/21549707 http://news.id.finroll.com/home/archive/179728-menjamurnya-media-bisamengarah-kapitalisme.html http://www.scribd.com/doc/32978435/Media-Dan-Ideologi http://bincangmedia.wordpress.com/author/iwanawaluddin/ (http://www.journalist-adventure.com/?author=1) 94