efikasi minyak beriodium dosis rendah ditambah

advertisement
EFIKASI MINYAK BERIODIUM DOSIS RENDAH
DITAMBAH BETA KAROTEN UNTUK
MENANGGULANGI GAKI PADA IBU HAMIL
DI DAERAH ENDEMIK
OLEH:
ASTUTI LAMID
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
2
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ” EFIKASI
MINYAK BERIODIUM DOSIS RENDAH DITAMBAH BETA KAROTEN
UNTUK MENANGGULANGI GAKI PADA IBU HAMIL DI DAERAH
ENDEMIK” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah
dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 22 Agustus 2007
Penulis
Astuti Lamid
NRP A-326010051
3
ABSTRACT
ASTUTI LAMID. Efficacy of low dose of iodized oil plus beta carotene to
alleviate IDD of pregnant women living in endemic area.
Supervised by Rimbawan, Ali Khomsan, Clara M Kusharto, and Muhilal
Background. Pregnant women suffering from Iodine Deficiency
Disorders (IDD) have high risk for delivering baby with congenital hypothyroid.
This condition may cause loss of 13.5 Intelligent Quotient (IQ) point and in the
long run this will affect the quality of human resources. One of intervention
program to alleviate IDD among pregnant women is delivering iodized oil
capsules. Although the distribution of capsules has been successfully conducted,
the prevalence of IDD among pregnant women was still reported high. It was
assumed that the iodized oil capsules was less effective to reduce the prevalence
of IDD.
Objective. Two main objectives of this study were firstly, to examine the
effect of distribution of low dose of iodized oil capsule and low dose of iodized oil
plus beta carotene to pregnant women on improvement level of TSH, free T4,
vitamin A serum and urinary iodine excretion (UIE) during pregnancy and
postpartum period; and secondly, to analyze the effect of distribution of various
doses of iodized oil on growth and development of babies and the level of TSH of
blood spot neonatal.
Method. The research design was quasi experiment and the samples were
pregnant women at first trimester and hyperthyroid pregnant women was
excluded. Samples were then divided into three groups namely high dose (DT)
group of pregnant women received one iodized oil capsule (200 mg iodine) during
pregnancy; low dose (DR) group of pregnant women received 30 mg iodized oil
per month during pregnancy; and low dose plus beta carotene (DRB) group of
pregnant women received 30 mg iodized oil plus 30 mg beta-carotene per month
during pregnancy. The intervention lasted for six months. Location of research
was in six sub-districts in Magelang Regency. Data collected from pregnant
women were TSH, Free T4, vitamin A and hemoglobin serum, urinary iodine
excretion, body weight, height, social economy; nutrient intake, salt intake,
cyanide intake, iodine consumption (food and salt) and IDD knowledge and from
the baby were TSH blood spot; body weight, height and food pattern. Data
obtained was gathered and analyzed using ANOVA and Chi Square test and
logistic regression.
Research result. The result of the study showed that high dose, low dose
and low dose of iodized oil plus beta carotene supplements can reduce level of
TSH serum of post partum women about 38 %, 49% and 52 %. Iodine status of
low dose and low dose of iodized oil plus beta carotene of post partum were
higher compared to high dose as can bee seen from the level of UIE of low dose
and low dose of iodized oil plus beta carotene and high dose of post partum were
126 μg/L; 119 μg/L dan 88 μg/L respectively. Before treatment the level of UIE of
low dose, low dose plus beta carotene and high dose of iodized oil were 99 μg/L;
98 μg/L dan 81 μg/L. The highest percentage of level of TSH blood spot ≥5
μU/ml was at high dose group (82%) and the lowest was low dose plus beta
carotene group (59%).There were significant difference on serum TSH postpartum
4
and TSH blood spot baby between high dose and low dose plus beta-carotene
group (p<0.05). Pregnant women receiving low dose of iodized oil plus beta
carotene has significantly lower risk to have a baby with having TSH blood spot
level over than 5 μU/ml compared to pregnant women receiving high doses of
iodized oil (p<0.05; OR=0.31; 95%Cl OR 0.11-0.86). Distribution of three
supplements can protect pregnant women from iodine deficiency for six months
but low dose and low dose plus beta carotene groups have UIE level higher in
comparison to high dose group of postpartum women. The highest increase of
nutritional status of 3-4 months baby was low dose plus beta carotene group and
the lowest was high dose of iodized oil group.
Key words: efficacy, low dose, high dose, beta carotene, TSH serum, UIE
5
ABSTRAK
ASTUTI LAMID. Efikasi Minyak Beriodium Dosis Rendah Ditambah Beta
Karoten untuk Menanggulangi GAKI pada Ibu Hamil di Daerah Endemik
Dibimbing oleh Rimbawan, Ali Khomsan, Clara M Kusharto dan Muhilal.
Latarbelakang. Ibu hamil yang menderita Gangguan Akibat kekurangan
Iodium (GAKI) menyebabkan transfer iodium pada janin rendah sehingga janin
akan mengalami kekurangan hormon tiroid. Kondisi seperti ini akan
meningkatkan risiko bayi lahir dengan hipotiroid kongenital yang selanjutnya
akan menyebabkan defisit Intelligent Quotient (IQ) sebesar 13,5 poin. Dampak
jangka panjangnya akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas
rendah. Program Pemerintah untuk menanggulangi hal ini salah satunya adalah
dengan distribusi kapsul minyak beriodium yang berdosis 200 mg dan diberikan 1
kali selama hamil. Intervensi dilakukan sejak dini yaitu mulai janin masih dalam
kandungan. Diduga dosis iodium sebesar 200 mg belum efektif dalam
menurunkan prevalensi GAKI pada ibu hamil.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan pertama, mempelajari pengaruh pemberian
suplemen minyak iodium dosis rendah dan minyak iodium dosis rendah+ beta
karoten pada ibu hamil terhadap perubahan serum TSH, Free T4, vitamin A,
ekskresi iodium urin (EIU) pada masa nifas. Kedua, mempelajari pengaruh
pemberian suplemen minyak iodium dosis rendah dan minyak iodium dosis
rendah+ beta karoten pada ibu hamil di daerah GAKI terhadap tumbuh kembang
bayi dan kadar TSH bayi neonatal.
Metodologi. Desain penelitian yang dipilih adalah kuasi eksperimen dengan
ontoh adalah ibu hamil trimester pertama tidak hipertiroid berdasarkan
pemeriksaan serum TSH. Lokasi penelitian dipilih 6 kecamatan endemik GAKI di
kabupaten Magelang. Contoh dibagi kedalam 3 kelompok perlakuan yang masingmasing kelompok diberi suplemen yang berbeda yakni kelompok dosis tinggi
(DT): diberi suplemen kapsul minyak iodium dosis 200 mg (1 kali selama hamil);
kelompok dosis rendah (DR): diberi minyak iodium 30 mg (tiap bulan selama 6
bulan) dan kelompok dosis rendah+beta karoten (DRB): diberi minyak iodium
30 mg dan beta
karoten 30 mg (tiap bulan selama 6 bulan). Data yang
dikumpulkan pada contoh: serum TSH, free T4, vitamin A, hemoglobin dan
ekskresi iodium urin (EIU), antropometri (TB, BB dan LLA), data sosial ekonomi,
pengetahuan GAKI, asupan zat gizi, asupan sianida, asupan iodium (bahan
makanan dan garam). Pada bayi yang dilahirkan: antropometri (BB dan PB);
perkembangan motorik; biokimia (TSH neonatal); makanan yang diberikan pada
bayi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analitik. Uji yang digunakan
adalah uji proporsi (Khi kuadrat), uji beda (ANOVA) dan analisis multivariat uji
regresi logistik. Signifikansi yang digunakan pada alfa 5 %.
Hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplemen minyak iodium dosis
tinggi, dosis rendah dan dosis rendah + beta karoten dapat menurunkan serum
TSH ibu nifas sebesar 38%; 49% dan 52%. Disamping itu status iodium dilihat
dari EIU pada masa nifas pada kelompok yang diberi suplemen minyak iodium
dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten lebih tinggi dibandingkan dengan
yang diberi suplemen iodum dosis tinggi yaitu sebesar 126 ug/L; 119 μg/L
dibandingkan dengan 88 μg/L. Sedangkan pada awal penelitian kadar EIU ibu
6
hamil yang diberi suplemen dosis rendah, dosis rendah+beta karoten dan dosis
tinggi yaitu 99 μg/L; 98 μg/L dan 81 μg/L. Proporsi TSH bayi neonatal >5 μU/ml
terbanyak pada kelompok dosis tinggi (82%) dan terendah pada kelompok dosis
rendah+beta karoten (59%). Ditemukan perbedaan yang signifikan serum TSH
nifas dan TSH bayi neonatal antara kelompok dosis tinggi dan dosis rendah+beta
karoten (p<0,05). Ibu hamil yang diberi suplemen minyak iodium dosis rendah+
beta karoten mempunyai risiko lebih rendah untuk mendapatkan bayi dengan
kadar TSH bayi neonatal >5 μU/ml dibandingkan dengan ibu hamil yang diberi
minyak iodium dosis tinggi (p<0.05; OR=0.31; 95%Cl OR 0.11-0.86). Tumbuh
kembang bayi lahir sampai umur 3-4 bulan terbaik pada kelompok yang diberi
suplemen minyak iodium dosis rendah+beta karoten dibandingkan dengan dua
suplemen lainnya.
7
@Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
8
EFIKASI MINYAK BERIODIUM DOSIS RENDAH
DITAMBAH BETA KAROTEN UNTUK
MENANGGULANGI GAKI PADA IBU HAMIL
DI DAERAH ENDEMIK
OLEH:
ASTUTI LAMID
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
9
Judul Disertasi :
Efikasi Minyak Beriodium Dosis Rendah Ditambah Beta
Karoten untuk
Menanggulangi GAKI pada Ibu Hamil di
Daerah Endemik
Nama Mahasiswa: Astuti Lamid
Nomor Pokok
: A -326010051
Program Studi
: Gizi Masyarakat
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Dr Rimbawan
Ketua
Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS
Anggota
Dr Clara M Kusharto, MSc
Anggota
Prof Dr Muhilal
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi GMK
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS
Prof Dr Ir Khairil Anwar Notodipuro, MS
Tanggal Ujian: 22 Agustus 2007
Tanggal Lulus:
10
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kecamatan Pangkalan Kabupaten Payakumbuh,
Sumatra Barat, pada tanggal 17 Januari 1955 sebagai anak ke enam dari delapan
bersaudara dari pasangan Lamid Datuk Besar (almarhum) dan Kasihan
(almarhumah).
Pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas
ditempuh oleh Penulis di Surabaya. Penulis tamat dari Sekolah Dasar SDN
Bubutan II tahun 1967, Sekolah Menengah Pertama SMP Negeri VI tahun 1970,
Sekolah Menengah Farmasi Negeri tahun 1973 dan Sekolah Menengah Atas SMA
Bhineka tahun 1975.
Setelah tamat dari Akademi Gizi, Depkes RI Jakarta tahun 1979, penulis
melanjutkan ke jenjang S-2 pada Community Nutrition Program, University of
Queensland Australia tahun 1987 dan lulus tahun 1988. Pada bulan Agustus
2001 penulis kembali melanjutkan studi ke jenjang S-3 dengan peminatan
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga di Sekolah
Pascasarjana IPB.
Penulis pernah bekerja sebagai staff Seksi Gizi Dinas Kesehatan Propinsi
Jawa Timur dari tahun 1980-1982. Sejak tahun 1983 sampai sekarang Penulis
bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Departemen
Kesehatan RI di Bogor.
Penulis menikah dengan Dr Komari MSc pada tahun 1981 di Surabaya dan
dikaruniai dua orang puteri bernama Adini Alvina SKH dan Aussie Komala Rani
11
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Disertasi dengan
judul : Efikasi Minyak Beriodium Dosis Rendah Ditambah Beta Karoten untuk
Menanggulangi GAKI pada Ibu Hamil di Daerah Endemik, merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Doktor di Program Studi Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Program Pascasarjana IPB.
Perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ketua Komisi Pembimbing: Dr Rimbawan, Anggota Komisi Pembimbing:
Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS, Dr Clara M Kusharto, MSc, Prof Dr Muhilal APU
yang telah memberikan saran dan bimbingan yang sangat berharga sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan penulisan akhir disertasi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Hadi Riyadi MS yang
bertindak sebagai Penguji Luar pada Ujian Tertutup tanggal 30 Januari 2007.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
Pemerintah Indonesia yang telah memberikan dana penelitian melalui anggaran
DIPA Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan No 105.0/2411.0/XII/2005 tanggal 31 Desember 2004. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada PT Kimia Farma (Persero) Tbk, yang telah memberikan tambahan
biaya penelitian sehingga penelitian dilapangan dan analisa biokimia darah di
laboratorium dapat dilaksanakan dengan lancar. Penulis juga mendapat bantuan
suplemen minyak iodium (kapsul yodiol) dari Pabrik Kimia Farma Watudakon,
Jawa Timur, dan suplemen beta karoten dari PT DSM Nutritional Products
Indonesia, atas semua bantuan yang telah diberikan diucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya.
Penulis mengucapkan terima kasih atas izin yang diberikan oleh Kepala
Puslitbang Gizi dan Makanan sehingga penulis dapat melanjutkan Pendidikan S3
di Program Studi Gizi Masyarakat pada Institut Pertanian Bogor. Demikian pula
disampaikan terima kasih kepada Kepala Balai GAKI yang telah memberikan
kemudahan sehingga Penulis dapat melakukan analisa biokimia darah di
Laboratorium Biokimia Borobudur, Magelang. Kepada Tim Peneliti dan staf di
12
Puslitbang Gizi dan Makanan dan Balai GAKI, Borobudur, Magelang, penulis
sampaikan terima kasih sedalam-dalamnya atas kerjasama yang telah terjalin
selama ini, sehingga semua kegiatan penelitian berjalan dengan baik.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada adik-adik (Soraya Lamid SH,
Dr drh Mirni Lamid MSc) dan kakak-kakak (Nely Mendolini Lamid BA,
Wisdiani Lamid SH, Darmawijaya Lamid BA, Zulifni Lamid, Associate Prof dr
Sofyan Lamid MSc PhD) yang telah memberikan dukungan dan doa sehingga
disertasi ini dapat terwujud
Terakhir penulis mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada suami (Dr
Komari MSc) dan kedua anak kami (Adini Alvina SKH dan Aussie Komala Rani)
atas semua kasih sayang, pengertian, perhatian dukungan moril dan doa sehingga
penulis dapat menyelesaikan kuliah, melakukan penelitian dan menyelesaikan
penulisan disertasi. Saya menyadari disertasi ini masih belum sempurna, oleh
karena itu penulis mohon kritik dan saran agar disertasi ini dapat lebih
disempurnakan.
Bogor, 22 Agustus 2007
Penulis
Astuti Lamid
NRP A-326010051
13
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………..............................
xv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………..
xix
1. PENDAHULUAN …………………………………………………...
1
A. Latar Belakang ................................................................................
1
B. Perumusan Masalah .........................................................................
4
C. Tujuan ..............................................................................................
4
D. Hipotesis ..........................................................................................
5
E. Manfaat ...........................................................................................
5
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
6
A. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)..............................
6
B. Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Iodium ........................
15
C. Iodium dan Kehamilan ...................................................................
23
D. Uji Saring Hipotiroid Kongenital pada Bayi Lahir dan
Bayi Neonatal.................................................................................
33
E. Kekurangan dan Kelebihan Iodium (Iodine Excess) ......................
33
F. Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Vitamin A dan
Beta Karoten ...................................................................................
36
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
46
A. Kerangka Pemikiran .......................................................................
46
B. Definisi Operasional .......................................................................
48
IV. METODE PENELITIAN................................................................
49
A. Desain, Lokasi dan Waktu .............................................................
49
B. Populasi, Contoh dan Besar Contoh …………….... ....................
49
C. Cara Mengumpulkan Contoh dan Data yang Dikumpulkan ……..
50
D. Manajemen Data, Pengolahan Data, Pertimbangan Etik dan
Analisis Data...................................................................................
54
V. HASIL ...............................................................................................
56
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian ...............................................
56
B. Kurang Energi Kronis (KEK)...........................................................
62
C. Asupan Zat Gizi Termasuk Iodium .............................................
65
14
` D. Asupan Sianida ...............................................................................
75
E. Pengetahuan tentang GAKI.............................................................
77
F. Kadar Biokimia Darah dan Urin Contoh pada Tiga Kelompok .......
79
G. Hasil Persalinan pada Tiga Kelompok (TSH Neonatal, BBLR,
Status Gizi dan Perkembangan Bayi)...............................................
87
H. Analisis Regresi Logistik ...............................................................
98
VI. PEMBAHASAN ...............................................................................
100
VII. SIMPULAN DAN SARAN.............................................................
113
A. Simpulan.........................................................................................
113
B. Saran ..............................................................................................
114
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................
116
LAMPIRAN ............................................................................................
129
15
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada Semua Kelompok
Umur....................................................................................... ................
7
Kriteria Secara Epidemiologi untuk Menilai Status Iodium
berdasarkan Median EIU pada Anak Sekolah .....................................
14
3.
Pengaruh Hormon Tiroid dalam Mekanisme Tubuh .............................
23
4.
Defisit Perkembangan Mental pada Bayi dan Anak Sekolah pada
Keadaan Kekurangan Iodium Berat dan Sedang ...................................
28
Dosis Iodium dan Frekuensi Minyak Iodium per Oral/Intra Muscular
(IM) per Kelompok Umur ......................................................................
30
Penelitian tentang Kapsul Minyak Iodium Dosis Tinggi pada Ibu
Hamil ......................................................................................................
32
7.
Konversi Vitamin A dan Karotenoid ......................................................
44
8.
Penelitian tentang Suplemen Vitamin A dan Beta Karoten pada Ibu
Hamil .......................................................................................................
45
9.
Definisi Operasional ...............................................................................
48
10.
Jenis Data dan Frekuensi, Cara dan Metoda Pengumpulan Data............
53
11.
Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok berdasarkan Karakteristik
Sosial Ekonomi .......................................................................................
59
12.
Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok menurut Faktor Risiko ..............
60
13.
Proporsi KEK Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu
Pengukuran..............................................................................................
64
Rerata Asupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Awal
Penelitian ................................................................................................
65
Rerata Asupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Akhir
Penelitian.................................................................................................
66
16.
Daftar Makanan dan Minuman yang Dipantang selama Masa Nifas .....
69
17.
Rerata Total Skor Pengetahuan GAKI Contoh pada Tiga Kelompok
menurut Waktu Pengukuran ...................................................................
78
Sebaran Pengetahuan GAKI Contoh pada Tiga Kelompok menurut
Waktu Pengukuran ..................................................................................
78
Rerata Contoh pada Tiga Kelompok menurut Variabel Biokimia pada
Awal Penelitian .......................................................................................
79
Rerata Contoh pada Tiga Kelompok menurut Variabel Biokimia pada
Akhir Penelitian ......................................................................................
80
2.
5.
6.
14.
15.
18.
19.
20.
16
21.
Rerata Serum TSH (µU/ml) Contoh pada Tiga Kelompok menurut
Waktu Pengukuran ..................................................................................
83
Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok menurut Cut-Off Serum TSH
(µU/ml) pada Awal dan Akhir Penelitian ...............................................
84
Rerata Kadar Hemoglobin dan Proporsi Anemia Contoh pada Tiga
Kelompok menurut Waktu Pengukuran …………………………….....
87
Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok berdasarkan Karakteristik Bayi
Lahir dan Cara Persalinan…………………………………....................
88
25.
Rerata TSH Neonatal pada Tiga Kelompok …....................................
90
26.
Sebaran Bayi Tiga Kelompok menurut Skor Indeks Hipotiroid ............
92
27.
Sebaran Status Gizi Bayi Neonatal sampai Usia 3-4 Bulan pada Tiga
Kelompok ...............................................................................................
93
Rerata Z-Skor Bayi Neonatal dan Bayi Usia 3-4 Bulan pada
Tiga Kelompok ……………………………………………….............
93
29.
Sebaran Bayi Tiga Kelompok menurut Kepemilikan Alat Permainan ..
96
30.
Sebaran Bayi pada Tiga Kelompok menurut Pengasuh Bayi Usia
3-4 Bulan………………………………………………………………
96
Sebaran Bayi pada Tiga Kelompok menurut Makanan Padat yang
Dikenalkan Pertama Kali ……………………………………………....
98
32.
Hasil Seleksi Variabel Kandidat Model ..................................................
98
33.
Faktor Risiko TSH Neonatal yang Tinggi .............................................
99
22.
23.
24.
28.
31.
17
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Cyanogenesis pada Singkong dan Metabolisme Sianida pada
Manusia ………………………………………………………………
11
2.
Model Metabolisme Iodida dalam Folikel Tiroid …………………...
18
3.
Metabolisme Iodium..............................................................................
21
4.
Morfologi Embrio dan Janin .................................................................
24
5.
Fungsi Tiroid Janin dan Postnatal pada Manusia dan Hubungannya
dengan Laju Pertumbuhan Cepat Otak ................................................
25
Skema Hubungan Fungsi Tiroid Sejak Usia Dini sampai Masa
Anak-Anak ............................................................................................
29
7.
Vitamin A dan Beta Karoten ................................................................
37
8.
Absorpsi Vitamin A dan Karoten dalam Sel Usus Halus ...................
39
9.
Metabolisme Vitamin A dan RBP di dalam Hati .................................
41
10.
Aktifitas Vitamin A di dalam Sel .......................................................
42
11.
Kerangka Pemikiran...........................................................................
47
12.
Peta Kabupaten Magelang ....................................................................
56
13.
Rerata LLA Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu
Pengukuran ...........................................................................................
63
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Awal
Penelitian ..............................................................................................
67
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada
Akhir Penelitian ....................................................................................
68
Asupan Iodium Dari Garam dan Bahan Makanan Contoh pada Tiga
Kelompok .............................................................................................
71
Tingkat Kecukupan Iodium Total Contoh pada Tiga Kelompok
Dibandingkan Dengan AKG ................................................................
72
Proporsi Contoh pada Tiga Kelompok Menggunakan Garam dengan
Bermacam Kadar Iodium ......................................................................
74
19.
Rerata Asupan Sianida Contoh pada Tiga Kelompok ..........................
76
20.
Proporsi Contoh pada Tiga Kelompok menurut Asupan Sianida < 10
mg dan ≥ 10 mg ...................................................................................
77
Rerata Serum TSH Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu
Pengukuran ..........................................................................................
81
Kadar EIU Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran
85
6.
14.
15.
16.
17.
18.
21.
22.
18
23.
Proporsi Bayi BBLR pada Tiga Kelompok ..........................................
89
24.
Proporsi Bayi BBLR pada Tiga Kelompok menurut Cut-Off Serum
TSH Contoh pada Awal Penelitian .......................................................
90
Proporsi Bayi Pada Tiga Kelompok menurut Kadar TSH Neonatal
5-9 μU/ml ....................................................................................…….
91
Peningkatan Nilai Z-Skor BB/TB Bayi Neonatal Sampai Bayi Usia
3-4 Bulan pada Tiga Kelompok………………………………………
94
Proporsi Perkembangan Motorik Bayi Usia 3-4 Bulan pada
Tiga Kelompok .....................................................................................
95
25.
26.
27.
19
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan ...........................
130
2.
Surat Persetujuan untuk Penelitian (Informed Consent) ......................
131
3.
Kuesioner Indeks Hipotiroid Bayi (1-12 Bulan) ...................................
132
4.
Prosedur Analisa Serum TSH ..............................................................
133
5.
Prosedur Analisa Serum Free T4 (FT4) ................................................
134
6.
Prosedur Analisa Hemoglobin (Hb) ......................................................
135
7.
Prosedur Analisa Serum Vitamin A (Retinol) ......................................
136
8.
Prosedur Pemeriksaan Ekskresi Iodium Urin (EIU) .............................
137
9.
Prosedur Penetapan KIO3 Garam Beriodium ........................................
139
10. Hasil Analisa Kadar KIO3 Garam Contoh pada Tiga Kelompok
Perlakuan ..............................................................................................
140
11. Merk Garam yang Digunakan Contoh pada Tiga Kelompok ...............
143
12. Uji Regresi Logistik Variabel Dependen Serum TSH Nifas.................
144
13. Uji Regresi Logistik Variabel Dependen EIU ......................................
144
14. Kadar Iodium dalam Makanan di Daerah Endemik dan Non
Endemik GAKI .....................................................................................
145
15. Kadar Sianida (CN¯) dalam Bahan Makanan dari Kecamatan
Pundong Kabupaten Bantul ..................................................................
146
16. Kadar Sianida (CN¯) dalam Bahan Makanan dari Kecamatan
Srumbung Kabupaten Magelang............................................................
146
17. Kadar Sianida (CN¯) Beberapa Jenis Bahan Makanan yang Telah
Mengalami Perlakuan Pengolahan ........................................................
147
20
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai aset utama dalam
pembangunan nasional memerlukan kondisi manusia dengan status gizi yang baik.
Oleh karena itu, masalah gizi pada masyarakat Indonesia akan mengganggu
pencapaian SDM berkualitas tersebut. Salah satu masalah gizi yang erat kaitannya
dengan kualitas SDM adalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI).
GAKI merupakan sekumpulan gejala atau kelainan yang ditimbulkan karena
tubuh menderita kekurangan iodium secara terus menerus dalam waktu yang lama
dan berdampak pada gangguan pada pertumbuhan dan kecerdasan manusia
(Depkes 1996).
Prevalensi GAKI berdasarkan hasil palpasi pada anak sekolah dasar
dinyatakan dengan Total Goiter Rate (TGR) sekitar 9.8% pada tahun 1998
(Depkes 1998) dan 11% tahun 2003 (Muhilal 2004a). Prevalensi TGR pada ibu
hamil sekitar 16% dari hasil survey pemetaan GAKI 1998 (Djokomoelyanto
2001). Data prevalensi GAKI pada ibu hamil sampai saat ini masih sangat kurang.
Survey pemetaan lebih banyak difokuskan pada anak sekolah dasar. Padahal
GAKI pada ibu hamil akan mempengaruhi kualitas anak-anak selanjutnya.
Prevalensi GAKI yang masih tinggi pada ibu hamil menimbulkan
kekhawatiran bahwa status GAKI ibu hamil tersebut menyebabkan defisiensi
hormon tiroid maternal dan intrauterine yang berisiko untuk menyebabkan
gangguan perkembangan janin yang dapat menimbulkan abortus, lahir mati, angka
kematian perinatal meningkat, angka kematian bayi meningkat maupun bayi lahir
hipotiroid. Bayi lahir yang hipotiroid cenderung berkembang menjadi kretin
neurologik seperti defisiensi mental, bisu tuli, dilegia spastik dan mata juling,
kretin miksedematos seperti cebol atau mengalami keterlambatan mental dan
psikomotor (Djokomoeljanto 1989). Oleh karena itu program pemerintah
diperlukan untuk memecahkan masalah GAKI pada ibu hamil.
Telah diketahui bahwa GAKI pada masyarakat pada umumnya disebabkan
kekurangan asupan zat iodium yang berasal dari bahan makanan sehari-hari. Hal
ini disebabkan oleh kandungan iodium tanah yang rendah yang biasanya terdapat
21
di daerah pegunungan (Djokomoeljanto 1994) walaupun ditemukan juga kasus
GAKI di daerah pantai (Adriani et al. 2002). Kondisi GAKI akan diperburuk oleh
kekurangan asupan zat gizi mikro lainnya seperti selenium dan zat besi (Arthur et
al. 1993; Hess et al. 1998).
Program pemerintah dalam menanggulangi masalah GAKI pada ibu hamil
di daerah endemik berat dan sedang adalah dengan pendistribusian kapsul minyak
beriodium ’yodiol’ sebanyak satu kapsul selama kehamilan. Dosis iodium dalam
kapsul sebesar 200 mg. Dengan pendistribusian ini semua ibu hamil di daerah
endemik akan mendapat kapsul minyak iodium dan diharapkan terhindar dari
kekurangan iodium selama kehamilan.
Saat ini kapsul minyak beriodium sudah didistribusikan secara luas. Namun
prevalensi GAKI pada ibu hamil masih ditemukan tinggi. Hal ini diduga
disebabkan masalah jumlah iodium dalam kapsul minyak beriodium tidak efektif
(Djokomoeljanto 2001a) karena iodium banyak dibuang melalui urin sesaat
setelah kapsul dikonsumsi (Thien et al. 1978; Prihatini & Latinulu 2002;
Djokomoelyanto et al. 1993). Keadaan ini diduga memperpendek masa proteksi
sehingga belum cukup melindungi ibu dari keadaan kekurangan iodium selama
hamil.
Pemberian iodium dengan dosis tinggi secara terus menerus juga berisiko
salah satunya menimbulkan kasus hipertiroid atau tirotoksikosis (Delange et al.
2001). Penelitian epidemiologis lain menemukan adanya kasus tirotoksikosis atau
hipertiroid akibat pemberian kapsul minyak beriodium dosis tinggi (200 mg dan
800 mg) yaitu penelitian pada orang dewasa yang menderita GAKI di Sudan
(Elnagar et al. 1995). Kasus tirotoksikosis juga dilaporkan di Eropa, Amerika
Latin, Tasmania,
dan Zimbabwe
dimana asupan
iodium yang berlebihan
akibat pemberian serentak suplementasi dan fortifikasi iodium dalam garam
(Dunn 2002).
Gejala tirotoksikosis yang ditemukan diantaranya degup jantung keras,
sangat gugup, lemah, tidak tahan panas dan kehilangan berat badan.
Tirotoksikosis dapat menjadi berat dan mematikan seperti halnya di Negara
Zimbabwe sebagian dari kasus tirotoksikosis yang ditemukan berakhir dengan
kematian (WHO 1997). Penduduk di daerah defisiensi iodium berisiko terhadap
22
tirotoksikosis yang disebabkan karena mendapat asupan iodium tinggi dalam
program pencegahan GAKI.
Pemberian iodium dosis rendah setiap bulan lebih efektif karena ekskresi
iodium melalui urin jumlahnya kecil. Diperkirakan kapsul yang diberikan setiap
bulan dengan dosis rendah akan dapat mengatasi kekurangan iodium selama
hamil. Hal ini dibuktikan pada orang dewasa yang tinggal di daerah endemik
GAKI di Afrika yang diberikan kapsul minyak beriodium dengan dosis rendah
memberikan efikasi sama dengan yang diberikan minyak beriodium dosis yang
lebih tinggi dan tidak ditemukan efek samping (Tonglet et al. 1992). Atas dasar
itu, pemberian iodium dosis rendah dan setiap bulan lebih disarankan oleh salah
seorang Executive Director ICCIDD (Executive Director 2004, komunikasi
pribadi).
Peningkatan efektifitas iodium lebih tinggi bila diberikan bersama-sama
dengan zat gizi mikro tertentu sehingga perbaikan status gizi lebih baik
dibandingkan dengan pemberian zat gizi mikro tunggal (Sattarzadeh & Zlotkin
1999). Vitamin A yang diberikan bersama iodium pada anak sekolah yang
menderita GAKI dapat menurunkan prevalensi GAKI sampai 45% di Yugoslavia
menurut Hovart dan Maver dalam Untoro (1999). Hasil penelitian Saidin et al.
(2002) pada anak sekolah di daerah endemik GAKI diberikan garam beriodium
bila ditambah dengan vitamin A ditemukan efektifitas iodium dapat ditingkatkan
sampai 2,25 kali sehingga kadar hormon tiroid (T4) mencapai normal.
Keterkaitan vitamin A dalam darah dengan hormon T4 yaitu plasma retinol
berikatan dengan retinol binding protein (RBP) juga membentuk kompleks
dengan pre albumin (transthyretin) dan selain itu kompleks tersebut mengikat juga
hormon T4 (Berdanier 2000). Pemberian vitamin A dalam minyak beriodium jauh
lebih efektif meningkatkan status iodium dalam darah. Namun suplementasi
vitamin A mempunyai efek teratogenik khususnya pada ibu hamil trimester
pertama dan beta karoten sebagai prekursor retinol dalam tubuh dipertimbangkan
lebih aman diberikan selama hamil (WHO 1998). Beta karoten merupakan
senyawa dengan ikatan rangkap yang diduga mampu memberikan keseimbangan
iodium dalam tubuh, sehingga efektifitas iodium meningkat.
23
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efikasi minyak beriodium dosis
rendah dan diberikan setiap bulan dalam mengatasi GAKI pada ibu hamil di
daerah endemik. Sejauh ini penelitian tentang efikasi kapsul minyak beriodium
dengan dosis yang lebih rendah dengan dan tanpa penambahan beta karoten belum
pernah dilakukan pada ibu hamil di daerah endemik GAKI. Penelitian pemberian
iodium dan beta karoten pada ibu hamil yang mengalami GAKI dapat merupakan
program baru dalam penanggulangan GAKI.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah minyak beriodium yang diberikan pada ibu hamil dengan dosis yang
lebih rendah dari pada minyak beriodium dengan dosis tinggi yang selama ini
dipakai dalam program penanggulangan GAKI akan memberikan respon yang
minimal sama dengan minyak iodium dosis tinggi?.
2. Apakah penambahan beta karoten pada minyak beriodium dosis rendah yang
diberikan pada ibu hamil akan memberikan respon yang lebih tinggi dari pada
pemberian minyak beriodium dosis tinggi dan tanpa menimbulkan efek
samping?.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum: mempelajari efikasi minyak beriodium dosis rendah ditambah
beta karoten dalam penanggulangan GAKI pada ibu hamil di daerah endemik.
2. Tujuan khusus:
a. mempelajari pengaruh pemberian minyak beriodium dosis rendah
diberikan setiap bulan pada ibu hamil trimester 1 terhadap perubahan
serum TSH dan kadar EIU pada ibu nifas (akhir penelitian) dan perbaikan
TSH pada bayi neonatal dan status gizi bayi
b. mempelajari pengaruh pemberian minyak beriodium dosis rendah setiap
bulan yang ditambah beta karoten pada ibu hamil trimester 1 terhadap
perubahan serum TSH, serum vitamin A dan kadar EIU pada ibu nifas dan
perbaikan TSH neonatal dan status gizi bayi.
24
c. memeriksa EIU setiap kelompok perlakuan mulai sejak awal penelitian,
sebulan intervensi, akhir kehamilan dan pada akhir penelitian (nifas).
D. Hipotesis
1. Kecukupan hormon tiroid ibu hamil yang diberi minyak beriodium dosis
rendah setiap bulan sama dengan kecukupan hormon tiroid ibu hamil yang
diberi minyak beriodium dosis tinggi yang digunakan dalam program
penanggulangan GAKI
2. Kecukupan hormon tiroid ibu hamil yang diberi minyak beriodium dosis
rendah setiap bulan ditambah beta karoten lebih tinggi dibanding dengan
kecukupan hormon tiroid ibu hamil yang diberi minyak beriodium dosis tinggi
yang digunakan dalam program penanggulangan GAKI.
E. Manfaat
1. Minyak beriodium dengan dosis iodium lebih rendah dari pada dosis iodium
dalam
kapsul
minyak
beriodium
yang
digunakan
dalam
program
penanggulangan GAKI dapat digunakan untuk menanggulangi GAKI pada ibu
hamil di daerah endemik dengan tidak menimbulkan efek samping .
2.
Minyak beriodium dengan dosis iodium lebih rendah dan ditambah beta
karoten yang diberikan setiap bulan dapat digunakan dalam program
penanggulangan GAKI di Indonesia dengan tidak ada efek samping.
Pendistribusiannya dapat diintegrasikan melalui kegiatan penimbangan dan
pelayanan kesehatan ibu hamil di posyandu setiap bulan.
25
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)
1. Besar, Luas Masalah GAKI, Penyebab dan Akibatnya
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
adalah sekumpulan gejala atau
kelainan yang ditimbulkan karena tubuh mengalami kekurangan iodium secara
terus menerus dalam waktu lama sehingga berdampak pada gangguan
perkembangan fisik dan mental manusia (Depkes 1996).
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang banyak diderita oleh berbagai kelompok umur termasuk ibu
hamil. Prevalensi GAKI pada ibu hamil yang diukur dari Total Goitre Rate (TGR)
adalah sekitar 16% (Depkes 1998). Total Goitre Rate merupakan pembesaran
kelenjar gondok atau tiroid.
Pada umumnya GAKI disebabkan masyarakat kurang mengkonsumsi zat
iodium dari bahan makanan. Penderita GAKI yang ditemukan banyak tinggal di
daerah pegunungan, karena tanah di daerah tersebut kurang mengandung iodium
akibat pengikisan lapisan tanah atau erosi sehingga tanaman kurang mengandung
iodium. Selain itu, kekurangan zat gizi mikro lainnya seperti selenium, zat besi
dapat memperburuk keadaan GAKI tersebut (Arthur 1993; Hess 1998).
Gangguan akibat kekurangan iodium terjadi pada setiap kelompok umur
sejak janin sampai usia dewasa dan mulai dari tingkat ringan sampai dengan
tingkat berat sesuai dengan tingkat kekurangan iodium. Ibu hamil dan janin yang
mengalami kekurangan iodium tingkat berat berisiko ibu mengalami keguguran,
bayi yang dilahirkan mati (stillbirth) dan apabila hidup akan menderita gangguan
tumbuh kembang bahkan dapat menjadi cebol (kretin). Tabel 1 menunjukkan
secara rinci gangguan akibat kekurangan iodium.
Pada ibu hamil dengan berbagai tingkat kekurangan iodium akan
mengalami gangguan pada fungsi tiroid yang berakibat berkurangnya sekresi
hormon tiroid. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
janin dan bayi yang dilahirkan. Anak yang lahir dari ibu yang mengalami
defisiensi hormon tiroid akan mengalami keterbelakang perkembangan mental
26
dan menurunkan skor Intelegence Quotient (IQ) sebesar 10-15 poin dibandingkan
dengan anak yang normal (Delange & Fisher 2006).
Tabel 1 Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada Semua Kelompok Umur
Tahap perkembangan
Kelainan GAKI
Janin
- abortus dan lahir mati
- angka kematian perinatal dan bayi meningkat
- kretin neurologik: bisu tuli dan mata juling
- kretin miksedematos: cebol dan keterlambatan mental dan
psikomotor
Neonatus
- gondok neonatal
- hipotiroid neonatal
Anak dan
- gondok, hipotoroid juvenil
Remaja
- gangguan fungsi mental
- keterlambatan perkembangan fisik
Dewasa
- gondok dengan segala akibatnya
- hipotiroid dan gangguan fungsi mental
Sumber: Djokomoeljanto (1989).
2. Upaya Penanggulangan GAKI
a. Penanggulangan GAKI Dahulu dan Sekarang
Sejak jaman dahulu kala pengobatan terhadap penyakit gondok telah
dilakukan. Penyakit gondok dilaporkan telah ada sejak jaman Yunani kuno dan
pengobatannya menggunakan tumbuhan laut (sponge) (Wildman & Medeiros
2000). Tahun 1850 seorang dokter Perancis bernama Chatin menemukan bahwa
kandungan iodium dalam tanah berhubungan dengan kejadian penyakit gondok.
Kemudian pada awal abad 20, iodium
dikenal menjadi pengobatan untuk
penyakit gondok (Wildman & Medeiros 2000).
Iodium pertama digunakan dalam larutan yang dikenal dengan larutan
Lugol, kemudian berkembang menjadi larutan minyak iodium yang diberikan
secara injeksi atau per oral (kapsul). Selain itu, iodinasi air minum dan irigasi,
fortifikasi makanan dengan iodium dan iodisasi garam telah dilakukan untuk
mencegah kekurangan iodium.
Metoda injeksi minyak iodium atau secara intramuskular (IM) pertama kali
dicoba di Papua Nugini (Buttfield & Hetzel 1967) dan sejak itu cakupannya telah
mencapai jutaan penduduk di seluruh dunia (Dunn 1987). Dampak mencolok
injeksi minyak iodium tampak empat tahun kemudian berupa pengecilan kelenjar
27
gondok dan menghilangnya kretin endemik (Buttfield & Hetzel 1967). Cara ini
mendapat pengakuan dunia dan digunakan luas termasuk di Indonesia.
Keuntungan iodium yang diberikan secara injeksi adalah efeknya cepat dan
berlangsung lama sampai 3 tahun. Kelemahannya adalah harga lebih mahal karena
harus menggunakan jarum suntik, memerlukan tenaga terlatih dan memungkinkan
tertular penyakit infeksi melalui jarum suntik yang digunakan berulang (Dunn
1987).
Dalam kemasan 1 ml minyak iodium yang diberikan secara IM mengandung
480 mg iodium. Kehilangan iodium dalam urin pada hari pertama setelah injeksi
minyak iodium adalah 6% (Dunn 1987; Chastin 1992). Efek pemberian dengan
minyak iodium tersebut dapat meningkatkan kadar EIU selama 3,5 tahun dan
setelah itu kadar EIU kembali seperti kadar pada awal sebelum diberi injeksi
minyak iodium (Burgi & Helbling 1996)
Pemberian minyak iodium secara oral merupakan cara cepat dan singkat
untuk mengatasi kekurangan iodium. Dibandingkan dengan pemberian IM,
distribusinya tidak memerlukan tenaga terlatih, tidak menyebabkan bahaya
transmisi penyakit infeksi dan murah karena tidak membutuhkan alat suntik.
Kelemahannya terletak pada compliance dilapangan akibat transportasi atau
kesulitan mencapai penderita
Efek dari minyak iodium (Lipiodol) secara oral dengan dosis tunggal 200480 mg iodine meningkatkan status iodium dan dapat menurunkan prevalensi
gondok (Eltom et al. 1985; Benmiloud et al. 1994; Elnagar et al. 1995). Efek
proteksi minyak iodium secara oral lebih singkat yaitu hanya 1 tahun
dibandingkan dengan injeksi yang mempunyai efek 3 tahun. Kehilangan iodium
melalui urin pada hari pertama pemberian sekitar 48% (Dun 1987; Chastin 1992).
Selain minyak iodium dengan merek dagang Lipiodol, dikenal juga merek
lain Brassiodol dan Yodiol. Bahan baku Lipiodol dari minyak biji opium,
Brassiodol dari minyak biji lobak dan Yodiol dari minyak kacang tanah. Kadar
asam lemak tidak jenuh tunggal pada minyak biji opium lebih rendah
dibandingkan minyak kacang tanah dan minyak biji lobak. Kemampuan retensi
iodium lebih tinggi pada asam lemak tidak jenuh yang mempunyai lebih banyak
ikatan rangkap tunggal (Sirajudin 2003).
28
Sejak tahun 1920 garam beriodium telah digunakan untuk penanggulangan
masalah gondok di Swiss (Djokomoeljanto 1989). Sampai saat ini banyak negara
menggunakan metoda ini dalam menanggulangi GAKI. Cara ini sangat murah dan
mempunyai cakupan yang luas.
b. Program Pemerintah dalam Menanggulangi GAKI
Upaya Pemerintah yang dilakukan yaitu berupa program jangka pendek dan
panjang. Jangka panjang dengan iodisasi garam dan jangka pendek dengan
distribusi kapsul minyak beriodium. Selain itu penyuluhan tentang manfaat garam
beriodium dan pembinaan terhadap produsen garam juga dilakukan oleh
Pemerintah.
Iodisasi dilakukan pada garam dengan alasan garam merupakan media yang
paling baik untuk menyampaikan iodium, karena garam merupakan bahan
makanan yang dikonsumsi semua orang setiap hari sehingga menjamin masukan
iodium dalam menu sehari hari. Garam yang beredar di Indonesia untuk konsumsi
rumah tangga sesuai Peraturan Pemerintah No 15 tahun 1991 dan SK Menteri
Perindustrian No 29/M/SK/2/1995 harus mengandung iodium 30-80 ppm (Tim
Penanggulangan GAKY Pusat 2005; BPS 2000). Garam iodium yang dikonsumsi
sekitar 10 g diharapkan dapat memenuhi kebutuhan iodium masyarakat (WHO
2001). Target garam beriodium untuk semua atau Universal Salt Iodization(USI)
dapat dicapai apabila 90% masyarakat mengkonsumsi garam mengandung cukup
iodium (BPS 2000).
Kapsul minyak beriodium ditujukan untuk penduduk dengan risiko tinggi di
daerah endemik berat dan sedang. Pendistribusian kapsul beriodium sebanyak satu
kapsul Yodiol selama kehamilan dengan metoda blanket approach. Melalui
metoda ini semua ibu hamil di daerah endemik memperoleh kapsul yodiol dan
diharapkan terhindar dari kekurangan iodium selama kehamilan.
Sebelumnya tahun 1974-1991 suntikan lipiodol secara intramuscular
merupakan satu-satunya metode penanggulangan GAKI secara crash program
(Djokomoeljanto 1989). Suntikan lipiodol dihentikan karena biaya operasional
yang mahal dan diganti dengan kapsul Lipiodol. Akhirnya kapsul lipiodol diganti
29
juga dengan kapsul Yodiol tahun 1993 yang harganya lebih murah dengan
efektifitas yang sama dengan kapsul Lipiodol.
Sampai saat ini kapsul minyak iodium (yodiol) sudah didistribusikan secara
luas di daerah GAKI berat atau sedang di seluruh Indonesia, terutama pada
penduduk dengan risiko tinggi yakni anak sekolah, wanita usia subur dan wanita
hamil. Kapsul minyak beriodium merupakan larutan iodium dalam minyak
berbentuk kapsul lunak, mengandung 200 mg iodium. Dosis pemberian kapsul
minyak beriodium ditentukan sebagai berikut : (1) Wanita usia subur (15-49 th) :
2 kapsul/tahun (2) Ibu hamil : 1 kapsul pada masa hamil (3) Ibu menyusui: 1
kapsul masa menyusui (4) Anak SD kelas 1-6 : 1 kapsul/tahun (Depkes 2000a).
Garam krosok tanpa iodium diakui masih ditemukan, diperdagangkan dan
digunakan oleh ibu rumah tangga di beberapa daerah Indonesia (Lamid et al.
1992). Kurangnya informasi dan harga yang murah menyebabkan ibu rumah
tangga masih memilih garam krosok tersebut. Oleh karena itu perlu di lakukan
penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat garam beriodium terutama
kepada ibu rumah tangga. Peran ibu rumah tangga sangat menentukan dalam
memilih dan menggunakan garam yang beriodium sehari-hari di rumah tangga.
Melalui penyuluhan kepada ibu rumah tangga diharapkan terjadi perubahan
perilaku ibu agar lebih mengutamakan aspek kesehatan dalam memilih garam
yang digunakan sehari-hari.
Pembinaan terhadap produsen garam beriodium perlu dilakukan
mengingat masih ditemukan garam yang beredar mengandung iodium tidak sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Kandungan iodium dalam garam
lebih rendah dari kadar yang ditetapkan maupun kandungan iodium yang tinggi
melebihi kadar yang ditentukan
3. Zat Goitrogenik
Zat goitrogenik merupakan faktor lingkungan yang memperberat GAKI.
Peran goitrogenik pada kelenjar tiroid tergantung pada macam senyawa
goitrogenik dan senyawa antitiroid. Tiosianat merupakan salah satu zat
goitrogenik. Kerja senyawa tiosianat atau senyawa mirip tiosianat menghambat
ambilan iodium (iodida) oleh kelenjar tiroid. Molekul iodida dan tiosianat
30
berkompetisi untuk diangkut ke dalam sel folikular karena komposisi molekul
tiosianat mirip dengan iodida.
Sianogenik glikosida dalam beberapa makanan pokok merupakan prekursor
tiosianat (Gaitan et al. 1986). Singkong atau ubi kayu mengandung sianogenik
glikosida, linamarin, yang mengalami hidrolisis setelah kontak dengan ensim
linamarinase yang ada dalam singkong. Perubahan linamarin menjadi sianida
kemudian dikonversikan menjadi tiosianat dijelaskan pada Gambar 1 dibawah ini.
Linamarin dihidrolisis oleh ensim glikosida menghasilkan acetone
cyanohydrin dan hidrogen sianida (HCN) kedua senyawa ini dikenal dengan nama
cyanogens. Hidrolisis linamarin oleh ensim glikosida sangat tergantung oleh
ensim linamarase yang dibebaskan dari tanaman pada kelembapan tinggi dan
temperatur rendah. Cyanogen dapat dihilangkan melalui proses pengolahan.
Sebaliknya pemecahan cyanohydrin menjadi sianida difasilitasi oleh pH basa,
kelembapan yang rendah dan temperatur yang tinggi. HCN yang dihasilkan segera
hilang mungkin karena larut dalam air atau menguap atau hilang karena
pembentukan cyanohydrin kedua. Sianida di konversikan menjadi tiosianat oleh
ensim yang ada di hati dan ginjal. Dalam proses ini, atom sulfur ditambahkan
kedalam reaksi disuplai oleh asam amino sistein (Rosling 1994 ).
Gambar 1 Cyanogenesis pada Singkong dan Metabolisme Sianida pada Manusia
(Rosling 1994 ).
31
Batas maksimum asupan sianida yang aman dikonsumsi manusia adalah 10
mg (0.4 mmol) dan dosis yang lebih tinggi meningkatkan kadar methaemoglobin
pada jaringan dan menimbulkan gejala keracunan (Lundquist 1985). Adanya
ensim rhodanese pada jaringan dan reaksi sulfan-sulfur (asam amino mengandung
sulfur dari makanan) akan mengkonversi sianida yang berlebihan menjadi
tiosianat yang kurang toksik dan diekskresi melalui urin (Rosling 1994).
Penelitian epidemiologi di kepulauan Maluku menemukan ada keterkaitan
daerah endemik goiter dengan konsumsi tinggi makanan yang mengandung
tiosianat yang diiringi dengan rendahnya EIU (Thaha et al. 2002). Walaupun
demikian penghambatan terhadap transpor aktif iodium ke dalam kelenjar tiroid
hanya efektif bila kosentrasi iodium di dalam darah normal atau lebih rendah
(Wilson & Foster 1992). Suplementasi iodium yang diberikan dalam jumlah yang
cukup dan teratur dapat mengatasi masalah hambatan transpor aktif tersebut
(Gaitan 1986).
4. Indikator GAKI
WHO (2001) merekomendasikan pengukuran berat atau ringan GAKI
dengan menggunakan dua indikator yaitu indikator klinis dan biokimia. Indikator
klinis merupakan metoda non-invansive yaitu dengan
mengukur pembesaran
kelenjar tiroid dengan cara palpasi dan ultrasonografi. Indikator biokimia dengan
mengukur ekskresi iodium urin dan spesimen darah untuk menentukan
tiroglobulin
serta
hormon
tirotropin
(TSH)
darah.
Walaupun
tidak
direkomendasikan oleh WHO (2001), penentuan fungsi hormon tiroid sering
dilakukan dalam diagnose GAKI.
a. Pengukuran pembesaran kelenjar tiroid .
Cara palpasi mempunyai kelayakan lebih tinggi dari pada dengan cara
ultrasonografi. Pengukuran prevalensi gondok endemik dengan cara palpasi lebih
mudah dan ekonomis serta hanya membutuhkan pelatihan yang khusus bagi
tenaga kesehatan. Cara ultrasonografi lebih mahal karena membutuhkan 1 set
peralatan khusus lengkap dengan komputer dan tenaga yang terlatih untuk
mengoperasikan peralatan tersebut. Interpretasi hasil pengukuran pembesaran
32
kelenjar tiroid pada wanita hamil dilakukan secara hati-hati karena selama
kehamilan terdapat pembesaran kelenjar tioid karena terjadi hiperplasia kelenjar
tiroid dan bertambahnya daerah vaskularisasi (Cunningham et al. 1989).
b.Tiroglobulin
Tiroglobulin yang dirilis kedalam sirkulasi merupakan indikator ketidak
cukupan asupan iodium. Asupan iodium yang rendah menyebabkan terjadi
proliferasi sel tiroid yang menghasilkan hiperplasia dan hipertrofi. Keadaan ini
meningkatkan kadar serum tiroglobulin (WHO 2001).
c. Ekskresi Iodium Urin (EIU)
EIU merupakan indikator biokimia yang non invasive. EIU merupakan
marker
yang
baik
untuk
menentukan
asupan
iodium
terkini
(WHO/Unicef/ICCIDD 1993). Asupan iodium kemudian dicerna dan diabsorpsi
serta masuk kedalam peredaran darah dengan cepat. Sisa iodium yang tidak
diabsorpsi diekskresikan terbanyak melalui urin dan sebagian kecil melalui
keringat, feses dan udara pernapasan yang dihembuskan (Pernnington 1988).
Ekskresi Iodium Urin individu sangat bervariasi dari hari ke hari bahkan dalam
sehari tergantung asupan iodium.
Eksresi Iodium Urin yang dikumpulkan pagi hari cukup memadai untuk
pengukuran iodium pada populasi, sehingga tidak memerlukan contoh urin selama
24 jam (WHO 2001). Nilai EIU biasanya tidak terdistribusi dengan normal
sehingga untuk menginterpretasikan nilai EIU populasi sebaiknya menggunakan
median dari pada angka rerata (WHO/UNICEF/ICCIDD 1994). Distribusi EIU
dapat digunakan untuk menilai asupan iodium dan status iodium populasi.
Indikator EIU juga dapat menilai tingkat endemik suatu daerah.
Pada Tabel 2 diuraikan bahwa kekurangan iodium ringan apabila asupan
iodium dengan EIU dibawah 100 μg/L, sedangkan kekurangan iodium sedang jika
EIU dibawah 50 μg/L. Kekurangan iodium berat apabila EIU dibawah 20 μg/L.
Status iodium optimal apabila median EIU 100-199 μg/L. Median EIU 200-299
μg/L dikategorikan status iodium berisiko menyebabkan iodine induced
hyperthyroidisim atau disebut dengan IIH. Asupan iodium berlebihan apabila
33
median EIU > 300 μg/L dan status iodium pada keadaan ini dapat menimbulkan
resiko yang buruk terhadap kesehatan dengan munculnya penyakit autoimun,
penyakit tiroid atau iodine induced hyperthyroidism.
Tabel 2 Kriteria Secara Epidemiologi untuk Menilai Status Iodium
berdasarkan Median EIU pada Anak Sekolah
Median UIE
(μg/L)
Asupan iodium
Status iodium
< 20 μg/L
Tidak cukup
Kekurangan iodium berat
20 -49 μg/L
Tidak cukup
Kekurangan iodium sedang
50-99 μg/L
Tidak cukup
Kekurangan iodium ringan
100-199 μg/L
Cukup
Optimal
200-299 μg/L
Lebih dari cukup
Berisiko hipertiroid atau iodine induced
hyperthyroidism (IIH) dalam waktu
5-10 tahun setelah pemberian garam
beriodium pada golongan rawan.
≥ 300 μg/L
Berlebihan
Berisiko terhadap kesehatan
(IIH, autoimun, penyakit tiroid)
Sumber : WHO(2001).
d. Hormon TSH
Hormon TSH merupakan indikator terbaik untuk mendeteksi gejala
hipotiroid primer (Greenspan & Baxter 1995). Pemeriksaan GAKI dan
monitoringnya pada masyarakat menggunakan pemeriksaan serum atau bercak
darah kering TSH bayi neonatal dan serum TSH dapat menentukan ketersediaan
dan kecukupan dari hormon tiroid (WHO/UNICEF/ICCIDD/1994). Kadar
hormon tiroid yang rendah pada kelenjar pituitari karena sintesis hormon tiroid
yang berkurang merangsang pelepasan hormon TSH yang dapat dideteksi dalam
darah. Hormon TSH merangsang semua tahapan metabolisme iodida mulai dari
peningkatan ambilan (uptake) iodida dari sirkulasi, transpor iodida hingga
peningkatan iodinasi tiroglobulin dan peningkatan sekresi hormon tiroid
(Greenspan & Baxter 1995).
34
e. Fungsi hormon tiroid.
Penentuan konsentrasi serum hormon tiroid tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)
biasanya tidak direkomendasikan untuk memonitor GAKI pada populasi karena
kedua uji tersebut sangat mahal dan merupakan indikator yang kurang sensitif
(WHO 2001). Selain itu pemeriksaan serum T4 dan T3 pada ibu hamil ditemukan
meningkat (Harada 1979), sehingga interpretasi hasil uji T4 dan T3 menjadi bias
dalam menentukan uji fungsi tiroid pada ibu hamil. Perubahan yang mencolok
selama kehamilan terjadi karena peningkatan protein transpor iodium yaitu Tiroid
Binding Globulin (TBG), namun kadar hormon tiroid bebas atau free tiroksin
(FT4) dalam keadaan seimbang atau normal (Greenspan & Baxter 1995).
B. Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Iodium
1. Sejarah Penemuan Iodium
Penemuan iodium dirintis oleh Bernard Courtois yang berasal dari Perancis
pada tahun 1811. Profesinya sebagai pembuat bubuk mesiu yang digunakan dalam
perang saat itu mengantarkannya menemukan uap yang berwarna ungu. Uap ungu
tersebut merupakan hasil isolasi dari rumput laut (seaweed) yang ditambahkan
asam sulfat yang berlebihan kemudian uap ungu tersebut dapat dikristalkan.
Karena kekurangan dana maka temuannya lebih disempurnakan oleh koleganya
Charles Bernard Desormes (1777-1862); Joseph Louis Gay-Lussac (1778-1850)
dan Andre-Marie Ampere (1775-1836) (Wikipedia 2007).
Iodium berasal dari kata Yunani: iodes artinya violet; yang merupakan
elemen kimia dengan simbol I, nomor atom 53 dan berat atom 127. Iodium
merupakan halogen seperti halogen lain (brom, fluor) dan iodium cenderung
menerima elektron dan ada di alam sebagai ion negatif. Secara kimia iodium
kurang reaktif dibandingkan halogen lainnya (Wikipedia 2007). Biasanya iodium
berikatan dengan logam atau non logam yang membentuk iodida (Wildman &
Medeiros 2000).
2. Sumber Iodium dan Guna Iodium
Kadar iodium
dari tanaman sangat tergantung kandungan iodida tanah
dimana tanaman itu tumbuh atau tergantung pada pupuk yang digunakan.
35
Sebagian besar iodium tumbuhan dalam bentuk anorganik (Matovinovic 1988)
Kadar iodium air minum tergantung pada kandungan iodium dari batu-batuan dan
tanah sumber air berasal. Demikian juga kandungan iodium hewan tergantung
pada tanaman yang dimakan dan pakan yang digunakan serta air minum.
Makanan laut atau seafood merupakan sumber iodium yang baik dari pada ikan
segar dari air tawar maupun tumbuhan dari darat. Gambaran kandungan iodium
bahan makanan di daerah endemik berdasarkan hasil penelitian Purwaningsih
(1997) disajikan pada Lampiran 22.
Iodium digunakan untuk obat, fotografi, bahan cat (dyes), antiseptik dan
food suplemen. Sebagai unsur kelumit (trace element), iodium dibutuhkan oleh
manusia dalam jumlah yang kecil, sedangkan peranan iodium secara biologi
sebagai pembentuk hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) (Wikipedia 2007)
3. Kebutuhan dan Kecukupan Iodium
Kebutuhan iodium sangat bervariasi sangat tergantung dari usia, jenis
kelamin dan ekskresi urin (Karyadi 1984). Kebutuhan iodium per hari adalah 1-2
μg per kg BB per hari (Almatsier 2001). Angka kecukupan iodium di Indonesia
untuk wanita usia 16-19 th: 150 μg/hari dan 20-59 th: 150 μg/hari untuk ibu
hamil ada tambahan sebesar 25μg/hari iodium untuk kebutuhan janin dan laktasi
(Kartono & Sukatri 2004).
4. Pencernaan dan Penyerapan Iodium
Iodium (I) dalam bahan makanan terikat pada asam amino atau dalam
bentuk bebas, terutama dalam bentuk iodat (IO3-) dan dalam bentuk iodida (I-).
Selama dicerna iodat dari bahan makanan akan mengalami reduksi oleh glutathion
menjadi iodida sedangkan iodida (I-) langsung diserap dari lambung dan usus
halus. Kemudian iodida memasuki enterosit bersama sebagian kecil iodium yang
terikat asam amino yang tidak seefisien ion iodida. Iodida bebas (I-) diserap dari
enterosit memasuki sirkulasi darah didistribusikan diseluruh cairan ekstra sel
yang kemudian menembus kesemua jaringan tubuh. Iodida yang muncul di dalam
darah dalam bentuk bebas tidak terikat dengan protein (Groff & Grooper 2000;
Berdanier 2000).
36
Adapun pencernaan dan penyerapan kapsul minyak beriodium dijelaskan
sebagai berikut: kapsul minyak beriodium dikonsumsi per oral, kemudian dicerna
dalam usus halus. Setelah itu minyak beriodium diabsorbsi dan masuk kedalam
peredaran darah, diantaranya memasuki kelenjar tiroid, disimpan dalam jaringan
lemak tubuh dan sisanya dibuang melalui urin (Dunn & Van Der Haar 1990).
Seperti diketahui kapsul minyak iodium (Yodiol) mengandung asam oleat 43.3%;
asam linoleat 29.9% dan asam linolenat 0.40% (Sirajuddin 2003). Iodium yang
terikat pada asam lemak ikatan rangkap tunggal (etil oleat) akan tertahan lebih
lama dalam tubuh dibandingkan yang terikat pada asam lemak ikatan rangkap
ganda (etil linoleat atau etil linolenat) (Van der Heide et al. 1989). Iodium yang
tidak terikat pada asam lemak memasuki sirkulasi darah dalam bentuk iodida (I-)
(Groff & Grooper 2000).
Iodida dalam sirkulasi, sepertiganya ditangkap kelenjar tiroid, sebagian kecil
memasuki jaringan dan sebagian besar dibuang melalui urin (Djokomoeljanto
1994). Iodida dalam sirkulasi darah ada yang masuk kedalam kelenjar saliva tetap
dalam bentuk inorganik iodida dan biasanya akan diabsoprsi kembali (Husaini
1992). Kelenjar tiroid mengandung 70-80% total iodida tubuh dan dapat
menangkap 120 μg iodida per hari. (Groff & Gropper 2000).
Kelenjar tiroid terbentuk dari banyak bola-bola kecil (folikel) dan
berkembang menjadi 2 lobus lateral tiroid yang dihubungkan oleh suatu jembatan
jaringan yang disebut ismus tiroid. Ismus tirod terletak dibawa kartilago tiroid di
pertengahan antara apeks kartilago tiroid (”Adam’s apple”). Masing-masing
folikel dikelilingi oleh lapisan sel yang disebut koloid. Sel-sel folikel mensitesa
tiroglobulin yang dikeluarkan kedalam lumen folikel. Biosintesa hormon tiroksin
(T4) dan hormon triiodotironin (T3) terjadi dalam tiroglobulin (Ganong
1995)(Greenspan & Baxter 1995).
5. Sintesa, Sekresi Hormon Tiroid dan Transpor Hormon Tiroid
Iodida yang diserap kedalam peredaran darah sebanyak sepertiganya
ditangkap oleh kelenjar tiroid sedangkan sisanya dikeluarkan melalui urin. Kurang
lebih 95% simpanan iodium tubuh berada dalam kelenjar tiroid sedangkan sisanya
berada dalam sirkulasi darah (0.04-0.57%) dan jaringan ( Djokomoeljanto 1996).
37
Kelenjar tiroid merupakan tempat mensintesa hormon tiroid dari bahan baku
iodium (Gambar 2). Kemudian iodium disintesa dan disekresi oleh kelenjar tiroid
melalui beberapa langkah:
-Tahap ”trapping” dimana iodium dikonsentrasikan oleh kelenjar tiroid
dan
dibawa ke kelenjar tiroid. Penangkapan iodium oleh kelenjar tiroid dari darah
melalui sebuah pompa ensim ATP yang memompa Na+ kedalam dan K+ keluar
dari kelenjar tiroid. Penangkapan iodida oleh folikel kelenjar tirod dari darah
dengan proses transpor aktif. Sedikitnya 60 μg iodida harus ditangkap oleh
kelenjar tiroid per hari untuk memproduksi hormon tiroid yang cukup (Wildman
& Medeiros 2000).
Gambar 2 Model Metabolisme Iodida dalam Folikel Tiroid ( Martin et al. 1987)
38
-Tahap organifikasi iodium: dimana iodium dioksidasi dan bereaksi (iodinasi)
dengan tirosil residu dalam tiroglobulin (Tg). Iodinasi pertama yaitu iodium
diikat pada asam amino tirosil dari tiroglobulin yang diaktifkan oleh ensim
peroksidase menjadi 3-monoiodotirosine (MIT). Iodinasi kedua yaitu iodium
diikat dengan MIT menjadi 3,5 diiodotirosin (DIT).
-Tahap penggabungan (coupling): dua molekul dari diiodotirosin bergabung
menjadi hormon tiroksin (T4) dan satu DIT dan MIT bergabung menjadi T3.
Kemudian disimpan dalam koloid dari lumen folikuler tiroid.
-Tahap pelepasan dimana hormon tiroid dirilis kedalam sirkulasi darah dan MIT
dan DIT mengalami deiodinasi (Djokomoeljanto 1996).
Setiap hari kira-kira 80-90 μg hormon 3,5,3’,5’-tetraiodothyronine (T4) atau
disebut hormon tiroksin dan 10-20 μg hormon 3,5,3’-triiodothyronine (T3)
diproduksi dan disekresikan ke dalam darah. Kelenjar tiroid secara aktif
mengabsorbsi iodium dari darah untuk membuat dan mensekresi hormon ini ke
dalam darah. Penurunan hormon tiroid dalam darah akan meningkatkan sekresi
TSH (tirotropin) oleh kelenjar hipofisa dan sebaliknya peningkatan hormon tiroid
akan menurunkan sekresi hormon TSH. Mekanisme ini diatur melalui efek umpan
balik negatif yang melibatkan kerja kelenjar tiroid, hipotalamus dan hipofisa
(Guyton 1982).
Hipofisis mensekresikan hormon TSH dan dihambat melalui umpan balik
negatif oleh hormon T4 dan T3 dalam darah (Granner 1985). Kerja TSH melalui
cyclic AMP dan fosfolipase C yang mempengaruhi 4 tahap sintesa dan sekresi
hormon tiroid dalam kelenjar tiroid. Secara khusus hormon TSH merangsang
semua tahapan metabolisme iodium dari meningkatnya ambilan iodium oleh
kelenjar tiroid hingga peningkatan sekresi hormon tiroid (Greenspan & Baxter
1994).
Kadar serum TSH normal adalah sekitar 0.5 -5 mU/L meningkat pada
hipotiroid dan menurun pada hipertiroid. Waktu paruh TSH plasma adalah sekitar
30 menit dan kecepakatan produksi harian adalah sekitar 40-150 mU/ml/hari
(Greenspan & Baxter1994).
39
Kelenjar tiroid memproduksi 100% hormon T4 yang disirkulasikan dalam
darah tetapi 5% - 10% nya merupakan hormon T3. Walaupun kosentrasi plasma
hormon T4 lebih besar dari hormon T3 tetapi hormon T3 lebih aktif dan lebih
potensial (Groff & Gropperr 2000). Hormon tiroid yang disekresi kemudian
berikatan dengan transpor protein darah kemudian didistribusikan ke target sel
perifer. Tiga transpor protein pembawa hormon tiroid ialah: a)Thyroid Hormone
Binding Globulin (TBG) ditemukan dalam plasma dengan kapasitas rendah tetapi
dengan afinitas yang tinggi terhadap hormon T4 dan T3; b) Albumin dan c)
Transthyretin (prealbumin). Umumnya hormon T4 terikat pada TBG. Ada
sebagian kecil <0.1% dari hormon T4 dan hormon T3 tidak berikatan dengan
protein transpor tetapi dalam bentuk bebas yang secara hormonal lebih aktif
(Groff & Grooper 2000).
6. Metabolisme Iodium
Metabolisme iodium setelah kelenjar tiroid mensekresi hormon tiroid
dapat dilihat dalam Gambar 2. Dalam gambar ini diperkirakan dari asupan 500 μg
iodida (I-) setelah dicerna menghasilkan kurang lebih 500 μg I- yang memasuki
pool iodida ekstraselular. Sebanyak 40 μg iodida yang dibebaskan kelenjar tiroid
dan 60 μg iodida yang dibebaskan dari jaringan juga memasuki pool ekstraselular.
Kemudian dari pool iodida ekstraselular, sepertiga iodida pool memasuki kelenjar
tiroid (115 μg I-) dan sisanya keluar melalui urin (485 μg I-). Konsentrasi iodida
dalam pool tiroid sangat besar mencapai 8000 μg I- (8 mg) dan merupakan tempat
cadangan hormon tiroid. Setiap hari dilepas 75 μg I- (hormon T3, T4) membentuk
pool sirkulasi sekitar 600 μg I- sebagai T3 dan T4. Kemudian dari pool ini dilepas
sekitar 75 μg I- sebagai hormon T3 dan T4 digunakan dalam jaringan hati, otot,
jantung dan otak. Jumlah tersebut dikembalikan ke pool iodida sekitar 60 μg Idan 15 μg I- dikonyugasi dengan glukoronida atau sulfat dalam hati dan diekskresi
melalui feses (Greenspan & Baxter 1995).
40
Gambar 3 Metabolisme Iodium (Greenspan & Baxter1995).
Hormon T4 yang didistribusikan ke jaringan tepi akan mengalami konversi
(monodeiodinase) menjadi hormon T3 oleh pengaruh ensim deiodinase-5’.
Hampir semua tiroksin dalam darah dikonversikan (deiodinasi) menjadi T3
setelah memasuki jaringan tepi. Ada 3 tipe deiodinase yaitu deiodinase-5’ tipe 1,
deiodinase-5’ tipe 2 dan deiodinase-5’ tipe 3. Deiodinase-5’ tipe 1 merupakan
ensim yang mengkonversikan hormon T4 menjadi hormon T3 di dalam kelenjar
tiroid, hepar, ginjal, otot jantung, otot rangka. Deiodinase-5’ tipe 2 berperan
mengkonversi hormon T4 menjadi hormon T3 pada jaringan otak dan kelenjar
hipofisa. Ensim deiodinase-5’ tipe mengkonversi hormon T4 menjadi hormon T3
pada jaringan plasenta, sel glia (Lazarus 1993; Brody 1999).
Hormon T3 di jaringan akan mengalami proses metabolisme pada tingkat
seluler. Hormon T3 merupakan hormon yang menjembatani kerja hormon pada
41
tingkat seluler. Kemudian hormon T3 berikatan dengan reseptor hormon tiroid
nukleus untuk inisiasi transkripsi mRNA mengarah kepada produksi protein baru
termasuk mempengaruhi aktifitas sejumlah ensim, sintesa koensim dan vitamin
dan kemampuan metabolisme lainnya. Terdapat 3 macam reseptor hormon trioid
yaitu : TR α1, TR ß2 dan TR ß2 (Lazarus 1999).
7. Keseimbangan Dinamis (Turnover) Iodida dan Waktu Paruh Iodida dan
Hormon Tiroid.
Turnover atau keseimbangan dinamis iodida dalam darah sangat singkat
terutama diatur oleh ambilan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, dalam
plasma waktu paruh iodida sekitar 10 jam tetapi dapat lebih singkat apabila
kelenjar tiroid aktif secara berlebihan dalam keadaan tirotoksikosis atau dalam
keadaan defisiensi iodium. Turnover hormon tiroid relatif lambat/pelan. Waktu
paruh hormon tiroid (T4) normal sekitar 7 hari. Waktu paruh untuk hormon
tiroid lainnya yaitu T3 antara 1,5 sampai 3 hari (Stanbury 1996)
8. Efek Spesifik Hormon Tiroid terhadap Tubuh
Molekul T4 dan T3 mempunyai 4 dan 3 atom iodium. T4 sebagian besar
sebagai prekursor T3 yang secara biologis lebih aktif (Wikipedia 2007). T4 atau
hormon tiroid mempengaruhi hampir setiap sel dalam tubuh manusia. Hormon
tiroid juga meningkatkan aktifitas pemecahan glukosa sehingga meningkatkan
metabolisme dalam tubuh (Wildman & Medeiros 2000). Kekurangan hormon
tiroid dapat menurunkan basal metabolisme sampai 50% sedangkan produksi
yang berlebih dari hormon tiroid dapat mengakibatkan laju metabolisme basal
100% (Wildman & Medeiros 2000). Dari banyak efek hormon tiroid pada tubuh
manusia dapat disimpulkan 3 efek yang utama pada tubuh yaitu 1) mengatur
metabolisme dan keseimbangan energi, 2) mengatur pertumbuhan dan
perkembangan, dan 3) mengatur aktifitas sistem syaraf (Tortora & Anagnostakos
1990). Lebih rinci pada Tabel 3 di bawah diuraikan beberapa efek spesifik
hormon tiroid (Wilman & Medeiros 2000).
42
Tabel 3 Pengaruh Hormon Tiroid dalam Mekanisme Tubuh
Mekanisme
Pengaruh hormon tiroid
Metabolisme
Karbohidrat
merangsang absorpsi gula dan ambilan oleh sel, meningkatkan
metabolisme karbohidrat, khususnya glikolisis dan
glukoneogenesis, meningkatkan rilis hormon insulin
Metabolisme
Lemak
meningkatkan mobilisasi lemak jaringan adipose,
meningkatkan kandungan plasma asam lemak bebas (FFA)
dan meningkatkan oksidasi asam lemak dalam sel,
mengurangi plasma kolesterol dan trigliserida diduga
dengan meningkatkan kandungan asam empedu-kolesterol
dan membuang melalui feses.
Sintesa Protein
meningkatkan sintesa protein, tetapi dalam jumlah berlebih
menyebabkan katabolisme protein
Metabolisme Basal meningkatkan metabolisme pada semua sel, kekurangan
hormon tiroid menyebabkan metabolisme basal turun 50%
Sistem Kardiovaskuler
meningkatkan denyut jantung; meningkatkan volume darah
Respirasi
Makanan/
Pencernaan
meningkatkan respirasi karena metabolisme seluler meningkat
meningkat nafsu makan dan konsumsi makanan,
meningkat laju sekresi cairan lambung dan motilitas dari
saluran pencernaan makanan dan
kekurangan hormon tiroid menyebabkan konstipasi
Skeletal Muscle
meningkat kontraksi vigor
Central Nervous
System
meningkat ”elation”, jumlah yang berlebih menyebabkan
gugup dan cemas
Kelenjar Endokrin meningkat laju sekresi endokrin
Sumber: Wildman dan Medeiros (2000)
C. Iodium dan Kehamilan
Selama hamil terutama pada trimester pertama, terjadi adaptasi fisiologi
yang ditandai peningkatan kadar Thyroid Binding Globulin (TBG) dan kenaikan
ini sebagai respon terhadap meningkatnya hormon estrogen dan Human Chorionic
Gonadotropin (hCG), sehingga merangsang kelenjar tiroid ibu membesar
(Cunningham 1989). Kondisi tersebut menyebabkan goiter sementara pada masa
kehamilan dan akan kembali normal setelah melahirkan.
43
Selama kehamilan, iodium dibutuhkan untuk ibu sendiri dan pertumbuhan
janin sehingga kebutuhan iodium ibu hamil meningkat. Peningkatan kebutuhan
jumlah iodium juga untuk menutupi kehilangan iodium
melalui peningkatan
renal clearance iodium.
Gambar 4 Morfologi Embrio dan Janin (Rathus 1988)
Iodium atau hormon T4 ditransfer melalui plasenta dan hal ini menunjukkan
pentingnya peranan hormon tiroid pada pembentukan embrio dan janin. Sebelum
usia kehamilan mencapai 12-18 minggu, hormon T4 dan reseptor hormon tiroid
ditemukan pada jaringan janin. Namun produksi hormon tiroid janin dimulai pada
trimester 2 (deViljder 1996). Gambaran morfologi embrio dan janin diuraikan
secara lengkap pada Gambar 4.
1. Iodium untuk Perkembangan Otak Janin Manusia
Iodium dalam bentuk hormon tiroid berperan pada perkembangan otak.
Pada sel otak, T4 dan T3 mengalami monoiodinase dimana T4 dikonversi menjadi
hormon rT3 dan T3 di konversi menjadi T2 dengan bantuan ensim deiodinase -5’
44
tipe 3. Ensim ini ditemukan di plasenta dan mempunyai peran melindungi dan
menghindari hormon tiroid yang berlebihan mencapai janin (Bernal 2005).
Reseptor hormon T3 pada sel nukleus mengikat T3 dan jumlah T3 yang terikat
pada reseptor tersebut meningkat 6-10 kali pada kehamilan 10-16 minggu
(Vulsma et al. 1989).
Pada janin, hormon tiroksin (T4) dapat ditemukan pada kehamilan trimester
pertama (kehamilan 6 minggu) yaitu pada cairan coelomic, jauh sebelum dimulai
sekresi hormon T4 oleh tiroid janin pada 24 minggu kehamilan. (Contempre et al.
1993). Walaupun pada usia 24 minggu janin dapat mensekresi T4 sendiri, transfer
tiroid dari ibu ke janin masih tetap berlanjut sampai kehamilan trimester 3.
Bahkan dalam darah ari-ari pada saat bayi lahir ditemukan 30% serum T4 berasal
dari ibu (Delange et al.1989; Vulsma et al. 1989).
Perkembangan otak dikategorikan dalam dua periode berdasarkan laju
pertumbuhan maksimal (Dobbing & Sands 1973), terlihat pada Gambar 4.
Gambar 5 Fungsi Tiroid Janin dan Postnatal pada Manusia dan Hubungannya
dengan Laju Pertumbuhan Cepat Otak (Delange & Fisher 2006).
45
Periode pertama terjadi selama trimester 1 dan 2 atau antara umur
kehamilan 3 dan 5 bulan. Pada periode ini terjadi multiplikasi, migrasi dan
organisasi neuron. Kemudian periode kedua terjadi pada trimester 3 sampai 2 – 3
tahun post natal. Pada periode ini terjadi multiplikasi, migrasi dan myelinisasi sel
glial. Periode pertama terjadi sebelum kelenjar tiroid janin berfungsi optimal dan
suplai hormon tiroid pada tumbuh kembang janin hampir seluruhnya berasal dari
ibu. Pada periode kedua, suplai hormon tiroid pada janin berasal dari sekresi janin
sendiri dan suplai dari ibu melalui plasenta (Morreale de Escobar et. al. 2000).
2. Kelebihan dan Kekurangan Iodium pada Janin Dalam Kandungan
Tiroid janin mulai mengakumulasi iodium pada kehamilan 10 minggu tetapi
yang bebas dari efek Wolff-Chaikoff hanya selama 4 minggu kehamilan. Roti
dan Braverman (1996) melaporkan bahwa janin yang terpapar oleh ibu hamil yang
mengalami kelebihan iodium (obat), dapat menyebabkan gondok dan hipotirod
khususnya di daerah defisiensi iodium. Ibu hamil yang mengalami kelebihan
iodium berisiko meningkatnya transient kosentrasi TSH ari-ari bayi (Novaes et al.
1994; Roti & Braverman 1996).
Janin yang defisiensi iodium karena ibu selama hamil kekurangan iodium,
akan mengalami gangguan dalam produksi dan sintesa hormon tiroid janin dan
ibu. Suplai hormon tiroid yang tidak cukup pada janin menyebabkan terjadi
gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak janin. Dampak negatifnya bayi
yang dilahirkan mengalami hipotiroid.
Hormon tiroid berfungsi dalam tumbuhkembang dengan cara diferensiasi
sel dan ekspresi gene. Hormon tiroid T3 mengikat reseptor nukleus yang
mengatur ekspresi gene spesifik dalam otak janin dan kehidupan postnatal. T3
terikat pada reseptor inti didapat dari konversi T4 melalui deiodinase-5’tipe 2, dan
bukan dari sirkulasi T3 (Morreale de Escobar et al. 2004; Delange 2001)
3. Bukti-Bukti Pengaruh Kekurangan Iodium pada Tumbuh Kembang Janin
Bukti kekurangan iodium pada tumbuh kembang janin dikumpulkan dari
penelitian pada hewan yang bunting yang dibuat kekurangan iodium dan pada
anak yang mengalami kekurangan iodium.
46
Penelitian telah dilakukan pada tikus, marmot, dan domba yang relevan
dengan masalah kretin endemik dan kerusakan otak hasil akibat kekurangan
iodium. Tikus diberi makanan yang biasa dikonsumsi oleh penduduk desa Jixian
di China (Li et al. 1985; Zhong et al. 1983; Hetzel & Hay 1979). Desa tersebut
termasuk desa endemik GAKI dengan prevalensi kretin endemik 11%. Diit terdiri
dari jagung dan gandum, sayuran dan air diambil dari daerah ini dengan kadar
iodium diit ini sebesar 4.5 ug/kg. Setelah 4 bulan diberi diit, tampak nyata timbul
neonatal goiter, serum T4 janin lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, dan
berat otak tikus menurun.
Marmot bunting dibuat defisiensi iodium tingkat berat dengan memberikan
campuran diit jagung yang kurang iodium akan melahirkan bayi yang mengalami
defisiensi iodium yang ditunjukkan dari pertumbuhan rambut yang jarang (Mano
et al. 1987). Kelenjar gondok induk membesar diikuti dengan penurunan kadar
plasma T4 pada trimester kedua dan kadar plasma T4 pada bayi juga menurun.
Berat otak bayi marmot juga turun secara signifikan pada trimester kedua bila
dibandingkan pada trimester pertama. Hal tersebut menunjukkan penurunan berat
dan jumlah sel cerebellum akibat kurang iodium yang berat pada otak primata.
Domba dibuat defisiensi iodium dengan memberikan diit rendah kandungan
iodium. Pada usia 140 hari janin mengalami defisiensi iodium dan pertumbuhan
fisik berbeda dengan janin kontrol (Potter et al. 1981). Pengamatan lain
menemukan bahwa kekurangan iodium menyebabkan pertumbuhan wool kurang,
kerusakan pembentukan otak dan keterlambatan maturasi tulang yang diindikasi
keterlambatan munculnya epiphyses pada kerangka domba (Hetzel et al. 1988).
Pada kehamilan umur 56 hari, hasil histologi jaringan tiroid ditemukan
hyperplasia. Penurunan berat otak dan kandungan DNA dimulai sejak dini yaitu
pada usia 70 hari. Indikasi penurunan jumlah sel otak terjadi dan hal ini
dimungkinkan oleh adanya keterlambatan multiplikasi neuroblast secara normal
yang terjadi pada hari ke 40-80 hari. Penemuan kejadian di cerebellum serupa
dengan yang terjadi pada marmot (Potter et al. 1981). Hal ini disebabkan ada
hubungan penurunan kandungan iodium pada kelenjar tiroid janin dengan
penurunan plasma T4. Hal ini menunjukkan pentingnya hormon tiroid untuk ibu
dan janin dalam perkembangan otak janin
47
Kekurangan iodium pada anak-anak di daerah yang kekurangan iodium
tingkat sedang menyebabkan terjadi abnormalitas dalam perkembangan
psikomotor dan intelektual anak-anak dan orang dewasa yang secara klinis
eutiroid tetapi tidak ada tanda atau gejala kretin endemik. Hal ini dibuktikan dari
19 kajian meta analisis pada fungsi neuromotor dan kognitif pada kondisi
kekurangan iodium sedang dan berat berakibat kehilangan 13,5 IQ poin
(Bleichrodt 1994).
Tabel 4 Defisit Perkembangan Mental pada Bayi dan Anak Sekolah pada
Keadaan Kekurangan Iodium Berat dan Sedang
Daerah
Spanyol
Sicily,
Italia
Tes/Uji
Bayley
McCarthy
Cattell
Bender-Gestalt
Tuscany
Wechsler Raven
Tuscany
WISC
Reaksi waktu
India
Verbal,
Tes pictorial
Tes motivasi
Bender-Gestallt
Raven
Tes psikomotor
verbal
Tes non verbal
Tes intelektual
Tes psikomotor
Iran
Malawi
Benin
Temuan
Perkembangan psikomotor
dan mental rendah
dibanding kontrol
Kemampuan motor
persepsi rendah
Neuromuscular abnormal
Neurosensorial abnormal
IQ verbal rendah
Motor persepsi rendah
Kecepatan respon
motorik rendah
Kemampuan belajar rendah
Retardasi perkembangan
psikomotor
Defisit IQ 10 poin
dibanding kontrol
Defisit IQ 5 poin
dibanding kontrol
Sumber
Bleichrodt et al.
(1989)
Vermiglio et al.
(1990)
Fenzi et al.
(1990)
Vitti et al.(1992)
Aghini-Lombardi
et. al.(1995)
Tiwari et al.
(1996)
Azizi et al.
(1993)
Shrestha (1994)
Van den Briel et
al. (2000)
4. Perubahan Fungsi Tiroid Sejak Usia Dini dan Konsekuensi Terhadap
Status Gizi Bayi dan Anak
Sebanyak 10% bayi lahir mempunyai tanda biokimia kegagalan fungsi tiroid
yang disebabkan kekurangan iodium tingkat berat dan asupan tiosianat yang
berlebihan di daerah endemik GAKI di Ubangi, Zaire (Delange 1986). Individu
yang hipotiroid tingkat berat juga mempunyai angka kematian yang tinggi
48
(Contempre 1993), walaupun dapat bertahan hidup sampai remaja tetap menjadi
hipotiroid. Hal ini dapat dilihat pada individu yang menjadi endemik kretin
miksodem pada usia dewasa.
Skema di bawah ini dibuat oleh Delange (1986), tampak hipotiroid yang
berat pada bayi mungkin masih dapat diperbaiki karena masih dalam periode
perkembangan otak tetapi tidak dapat mengkoreksi kerusakan pada perkembangan
mental. Fenomena ini sering terjadi dilaporkan pada anak-anak eutiroid yang
mengalami keterlambatan mental karena anak tersebut dahulu hipotiroid yang
telah mendapatkan pengobatan. Hipotiroid pada bayi yang berlanjut pada usia
remaja atau dewasa berkembang menjadi kretin endemik.
Serum T4
Euthyroid
Range
Hypothyroid
Range
Gambar 6 Skema Hubungan Fungsi Tiroid Sejak Usia Dini sampai Masa
Anak-anak (Delange 1986).
Kongenital hipotiroid dapat dicegah pada ibu hamil yang mengalami
defisiensi iodium. Koreksi defisiensi iodium secara klinis dan biokimia pada bayi
dapat memperbaiki normal fungsi hipotiroid, tetapi perbaikan hanya sebagian jika
intervensi terjadi selama masa anak dan remaja. Kasus hipotiroid tidak dijumpai,
49
tetapi kemungkinan terjadi kerusakan otak minor jika koreksi terjadi pada
permulaaan masa anak-anak, atau terjadi hipotiroid pada tingkat tertentu yang
diikuti dengan defisiensi mental yang berat jika koreksi terlambat pada masa
anak-anak dan remaja.
Bayi lahir dengan fungsi tiroid yang normal dan fungsi tiroid ini selanjutnya
tetap normal. Bayi akan tetap tidak hipotiroid dan tidak mengalami mental
retardasi. Hipotiroid mungkin terjadi pada bayi umur diatas 3 tahun, akan
menghasilkan hipotiroid dan retardasi mental yang dapat diperbaiki atau disebut
”late onset hipotiroidism”. Hal ini menunjukkan pentingnya uji saring (skrining)
neonatal untuk mendeteksi hipotiroid kongenital yang disebabkan oleh pengaruh
lingkungan.
5. Dosis Iodium Dalam Kapsul Minyak Iodium untuk Ibu Hamil
Pemberian kapsul minyak beriodium untuk berbagai kelompok umur di
daerah endemik GAKI sedang dan berat berbeda. Menurut Depkes (2000b),
kapsul dibagikan untuk wanita usia subur (2 kapsul/tahun); ibu hamil (1 kapsul
pada masa hamil); ibu menyusui (1 kapsul masa menyusui) dan anak SD kelas 1-6
(1 kapsul/tahun). Merujuk dari program Depkes, ibu selama hamil di daerah
endemik GAKI mendapat 1 kapsul minyak iodium dengan dosis iodium 200 mg
Tabel 5 Dosis Iodium dan Frekuensi Minyak Iodium per Oral/Intra Muskular
(IM) per Kelompok Umur
Durasi
efek
Kelompok umur
3 bln
Oral
6 bln
Oral
12 bln
Oral
>1 th
IM
WUS (wanita usia subur) 100-200 mg I 200-480 mg I 400-960 mg I 480 mg I
Ibu hamil
50-100 mg I 100-300 mg I 300-480 mg I 480 mg I
Bayi
20- 40 mg I
Anak 1-5 th
40-100 mg I 100-300 mg I 300-480 mg I 480 mg I
Anak 6-15 th
100-200 mg I 200-480 mg I 400-960 mg I 480 mg I
Laki dewasa
100-200 mg I 200-480 mg I 400-960 mg I 480 mg I
50-100 mg I 100-300 mg I 240 mg I
Sumber: WHO/UNICEF/ICCIDD (1992)
50
Dosis iodium dan frekuensi minyak iodium yang direkomendasikan oleh
WHO/UNICEF/ICCIDD (1992) untuk target grup ditunjukkan pada Tabel 5.
Secara oral, dosis yang direkomendasikan untuk ibu hamil selama 3, 6 dan 12
bulan adalah 50-100 mg Iodium (I); 100-300 mg I dan 300-480 mg I. Dosis iodium
dalam kapsul minyak iodium dibagikan pada ibu hamil di Indonesia masih dalam
batas dosis iodium yang direkomendasikan oleh WHO yaitu 100-300 mg I.
6. Penelitian di Berbagai Negara Menggunakan Minyak Iodium untuk
Wanita Hamil
Penelitian dari beberapa negara telah memberikan suplemen minyak iodium
dengan dosis tinggi (iodium ≥ 200 mg) dan dosis rendah (iodium <200mg).
Penelitian Cao et al. (1994) di China, Anwar et al. (1998) di Bangladesh, Zaleha
et al. (2000) di Malaysia dan Hadisaputro et al. (2004) di Indonesia, memberi ibu
hamil 1 kapsul minyak iodium dengan dosis 400 mg (Tabel 6). Ibu yang mendapat
suplemen kapsul iodium menunjukkan EIU selama hamil meningkat. Bayi yang
dilahirkan mempunyai berat badan lebih tinggi dari pada kontrol. Kasus bayi
dengan TSH neonatal (blood spot) tinggi ditemukan lebih sedikit dibandingkan
kontrol. Perkembangan mental bayi dan anak lebih baik apabila iodium diberikan
lebih awal yaitu pada trimester 1 dan 2. Semua penelitian tersebut menggunakan
kapsul Lipiodol kecuali penelitian di Indonesia menggunakan kapsul Yodiol.
Penelitian yang dilakukan Chaouki dan Benmiloud (1994) di Aljazair
memberikan ibu selama hamil kapsul Lipiodol dengan dosis iodium 200 mg. Dari
penelitian tersebut ditemukan kadar EIU ibu nifas meningkat 2 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan keadaan awal penelitian ketika ibu hamil. Serum TSH ibu
nifas menurun sekitar 50% dan free T4 meningkat dibandingkan pada awal
penelitian. Tidak ditemukan bayi yang lahir dengan tanda-tanda neonatal
hipotiroid. Dampak terhadap kesehatan bayi akibat pemberian minyak iodium
secara oral diberikan pada ibu hamil trimester 1 di Aljazair yaitu dapat
menurunkan angka keguguran dan bayi lahir mati (Chouki & Benmiloud 1994).
51
Tabel 6 Penelitian tentang Kapsul Minyak Iodium Dosis Tinggi pada Ibu Hamil
Penelitian/
Lokasi
Dosis iodium
selama hamil
Hasil
1. Zaleha et al. 2000
Malaysia
480 mg
EIU meningkat selama hamil
Setelah 6 & 12 bulan intervensi terjadi
hipertiroid dari pemeriksaan serum FT4
2. Anwar et al.1998
Bangladesh
400 mg
Rerata BB lahir lebih tinggi
Proporsi serum T4 total bayi rendah (<16
nmol/L) kecil
Proporsi serum TSH (>4,8mU/L) bayi
kecil
3. Cao et al. 1994
China
400 mg
Perbaikan neurologik:
besar: iodium diberi trimester 1 & 2
kecil : iodium diberi pd trimester 3
4. Hadisaputro et al
2004, Ngawi
400 mg
200 mg
Dosis 400 mg lebih baik pada
perkembangan motorik kasar
5. Chaouki dan
Benmiloud. 1994
Aljazair
240 mg
Neonatal hipotiroid tidak ditemukan
Ibu nifas : EIU naik 2 x
TSH turun 50%, FT4 naik
Kasus hiperiroid atau tirotoksikosis juga ditemukan di Sudan. Orang dewasa
yang menderita GAKI dilaporkan mengalami tirotoksikosis setelah mendapat
suplementasi iodium secara oral (Elnagar et al. 1995).
Selain kapsul kapsul minyak iodium dosis tinggi, kapsul minyak iodium
dosis rendah dilaporkan juga telah diberikan kepada orang dewasa yang berumur
20-30 tahun di Zaire. Kapsul minyak iodium dengan dosis 47 mg dan 118 mg
diberikan selama setahun. Hasil penelitian tersebut tidak berbeda dengan
penelitian yang memberikan kapsul minyak iodium dosis tinggi yaitu pembesaran
kelenjar gondok berkurang, kadar EIU menjadi normal pada bulan ke 6 dan 9 dan
tidak ditemukan efek samping seperti kasus hipertiroid. Pemberian kapsul minyak
iodium dosis rendah lebih efektif, efisien dan dapat diterima dari pada pemberian
melalui intra muskular dan tidak mempunyai efek samping seperti halnya minyak
iodium dosis tinggi (Tonglet et al. 1992).
52
D. Uji Saring Hipotiroid Kongenital pada Bayi Baru Lahir dan Bayi
Nenonatal
Hipotiroid kongenital merupakan kekurangan hormon tiroid sejak lahir hal
ini disebabkan kekurangan iodium yang terjadi sebelumnya yaitu sejak dalam
kandungan. Bila terlambat diobati akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan mental yang tidak bisa dipulihkan
kembali
atau irriversible
(Rustama 2003). Upaya deteksi dini perlu dilakukan sehingga pengobatan dapat
dilakukan dengan segera, agar bayi dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Upaya deteksi dini dengan uji saring (skrining) pada bayi baru lahir atau
bayi neonatal sebagai berikut:
a. Pada bayi baru lahir (umur 2-6 hari ) dilakukan pengambilan sampel darah dari
tali pusar atau dari tumit. Kemudian darah diteteskan diatas kertas saring (filter
paper) dan dikeringkan. Batasan (cut-off) untuk bayi yang dicurigai positif
hipotiroid yang digunakan yaitu :
cut-off 25 uU/ml: untuk sampel darah dari tali pusar
cut-off 20 uU/ml: untuk sampel darah dari tumit
Apabila sampel dicurigai positif dengan nilai diatas cut-off tersebut diatas maka
dilakukan pemeriksaan ulang TSH dan T4 darah vena serta mencari gejala
klinis hipotiroid kongenital (Rustama 2003).
b. Pada bayi neonatal (umur 4 -14 hari) dilakukan pengambilan sampel darah dari
tali pusar atau tumit bayi, kemudian tetesan darah ditampung diatas kertas
saring (Sunartini 2006). Batasan (cut-off) untuk bayi yang diduga positif
hipotiroid sama dengan pada bayi baru lahir
E. Kekurangan dan Kelebihan Iodium (Iodine Excess)
1. Kekurangan Iodium
Kekurangan iodium adalah suatu keadaan dimana asupan iodium kurang
dari bahan makanan sehari-hari sehingga ambilan iodium oleh kelenjar tiroid
berkurang. Akibatnya produksi dan sekresi hormon tiroid menurun. Dalam
keadaan ini terjadi
meningkatkan pelepasan TSH dari hipofisa. Kondisi ini
menyebabkan kelenjar gondok bekerja keras untuk memproduksi lebih hormon
tiroid. Peningkatan stimulasi TSH merupakan adaptasi normal tetapi dapat
53
menyebabkan gondok apabila defisiensi iodium terus berlanjut. Rendahnya kadar
hormon tiroid dalam darah disebut hipotiroid (Dunn & Van Der Haar 1990).
Gejala hipotiroid yang umum ditemukan seperti fatigue, gondok, depresi, berat
badan kurang, temperatur tubuh basal turun dan perkembangan mental yang
terlambat (Wikipedia 2007)
2. Kelebihan Iodium (Iodine Excess)
Kelebihan iodium dapat menimbulkan beberapa efek samping. Batasan
asupan iodium yang dianggap toksik masih beragam. Food and Drug Board dari
Medicine Institute, US National Academy telah mengatur bahwa batas atas yang
dapat ditolerir asupan iodium orang dewasa sebanyak 1100 μg per hari (Dunn
2002). WHO merekomendasikan bahwa intake sampai 1 mg/hari pada orang
dewasa yang eutiroid masih aman (WHO 1994). Elemental iodium adalah toksik
bila dikonsumsi dalam jumlah yang besar yaitu 2-3 gram (Wikipedia 2007).
Berikut ini adalah contoh efek biokimia akibat pemberian iodium dosis
tinggi. Penelitian distribusi iodium dosis tinggi dengan dosis 150 mg per hari
menurunkan pelepasan hormon T4 dan T3 dalam sirkulasi sehingga hipotalamus
(TRH) merangsang peningkatan kosentrasi TSH. Ketika pemberian tidak
diteruskan pasien kembali eutiroid (Roti & Braverman 1996).
Efek dari asupan iodium yang berlebihan secara terus menerus dapat
menyebabkan
iodine-induced
hyperthyroidism
(IIH)
atau
hipertiroid/tirotoksikosis, iodine-induced hypotiroidism atau hipotiroid, dan
penyakit kanker tiroid (Dunn 2002). Oleh karena itu program iodisasi garam dan
kapsul minyak beriodium di daerah defisiensi iodium memerlukan perhatian. Para
ahli sependapat bahwa pemberian iodium pada daerah yang cukup atau daerah
endemik secara terus menerus dapat menyebabkan pembesaran kelenjar gondok,
atau produksi hormon tiroksin berlebihan (hipertiroid), atau terjadi hipotiroid, atau
dapat memicu terjadi respon autoimun, serta penyakit kanker tiroid (Sutanegara
2004).
Mekanisme terjadi hipotiroid akibat kelebihan iodium karena efek WolfChaikoff (Roti & Braverman 1996). Peningkatan pemberian iodida (I-)
meningkatkan inhibisi organifikasi iodida sehingga hormogenesis hormon tiroid
54
menurun diduga disebabkan oleh inhibisi pembangkitan H2O2 oleh kandungan Iintratiroidal yang tinggi.
Mekanisme terjadi hipertiroid atau Iodine Induced Hyperthyroidism (IIH)
yang kadang-kadang disebut dengan Jodbasedow yaitu akibat kelebihan iodium
karena beban iodida yang meningkat terus menerus pada pasien yang sebelumnya
dengan kelenjar tirod yang normal, pasien dengan penyakit Graves atau pada
pasien orang tua atau dewasa dengan goiter multinoduler (Greenspan & Baxter
1994).
Data epidemiologi tentang kasus hipertiroid yang pernah terjadi akibat
pemberian iodium secara terus menerus:
1. Iodisasi garam dengan dosis iodium tinggi
- Di Tasmania fortifikasi roti (5-10th) dengan iodium ditingkatkan menjadi 150
μg. Komplikasi Jodbasedow ditemukan sekitar 0.4% dari populasi 3.319 orang
(IDD Newsletter 1996).
- Di Zaire iodisasi garam selama 2 th dengan dosis iodium 100 ppm.
EIU naik menjadi 200-500 μg/hr; 14% serum TSH tidak terdeteksi ; serum T4
dan T3 naik ada gejala tirotoksikosis.
- Di Zimbabwe garam iodisasi dengan dosis iodium sampai 148 ppm dilaporkan
terjadi tirotoksikosis (Todd et al. 1995).
2. Suplementasi iodium
- Di Sudan orang dewasa yang menderita GAKI mengalami tirotoksikosis
setelah mendapat suplementasi iodium secara oral (Elnagar et al. 1995).
- Pemberian suplemen iodium dosis tinggi pada daerah yang kekurangan
iodium endemik seperti di Brazil dan Spanyol terjadi hipertiroid (Roti &
Braverman 1996).
- Pemberian minyak iodium dilaporkan terjadi tirotoksikosis pada orang dewasa
dan anak sekolah :
Malaysia (8 dari 240 orang orang dewasa) Maberly et al. (1982)
Sudan (4 dari 117 orang orang dewasa) Elnagar et al. (1995)
Sudan (1 dari 2393 anak sekolah) Eltom et al. (1985)
55
Gejala hipertiroid/tirotoksikosis yaitu degup jantung keras, sangat gugup,
lemah, tak tahan panas dan kehilangan berat badan. Kadang-kadang hipertiroid
menjadi berat dan mematikan. Peningkatan hipertiroid diasosiasikan dengan
peningkatan ketersediaan iodium di daerah yang sebelumnya defisiensi iodium.
F. Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Vitamin A dan Beta Karoten
Vitamin A merupakan salah satu dari vitamin yang larut dalam lemak.
Penemuannya bermula dari pengamatan McCollum th 1913-1917 pada tikus yang
diberi diit serelia yang mengandung lemak. Kemudian tikus yang diamati
mengalami gangguan pertumbuhan. Ketika pakan tikus ditambah ekstrak kuning
telur, ternyata kesehatannya pulih kembali. Akhirnya dari pengamatannya,
ditemukan ’a fat soluble factor A’ yang terdapat dalam makanan tertentu yang
penting untuk kelangsungan hidup dan untuk pertumbuhan (Underwood 1998;
Day HG 1997).
Istilah vitamin A merujuk kepada retinol (alkohol), retinal (aldehide),
retinoic acid (metabolit retinal) dan vitamin A juga merujuk kepada prekursor
vitamin A (Groff & Gropper 1995). Prekursor vitamin A adalah karotenoid yang
umum adalah beta karoten. Karotenoid lain yang mempunyai aktifitas secara
biologis seperti ß-karoten, adalah α-karoten, γ-karoten dan likopen. Diantara
karoten tersebut, beta karoten yang paling potensial. Dari sekitar 600 karotenoid
yang ada hanya sekitar 50 an dapat dikonversi dan mempunyai aktifitas vitamin
(Berdanier 2000).
Sifat fisik vitamin A dan beta karoten yaitu berwarna kuning, larut dalam
lemak atau pelarut lemak. Selain itu vitamin A dan beta karoten masing-masing
mempunyai bentuk konfigurasi cis dan trans dan masing masing mempunyai
ikatan rangkap. Ikatan rangkap inilah mencirikan adanya sifat antioksidan
(Berdanier 2000).
Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi faali tubuh yaitu berperan dalam
sintesa protein, reproduksi, pertumbuhan dan penglihatan (Berdanier 2000). Beta
karoten merupakan prekursor vitamin A di dalam tubuh dan secara in-vitro beta
karoten mempunyai aktifitas sebagai antioksidan.
56
Gambar 7 Vitamin A dan Beta karoten (Brody 1999).
1. Sumber Vitamin A dan Beta Karoten
Retinol bentuk aktif dari vitamin A jarang ditemukan dalam makanan.
Dalam makanan vitamin A ditemukan dalam bentuk retinil ester (retinil palmitat)
yang ditemukan umumnya pada makanan dari hewan seperti kuning telur, hati,
minyak ikan susu dan mentega. (Groof & Grooper 2000).
Dalam pangan nabati, vitamin A dalam bentuk prekursor vitamin A atau
provitamin A. Provitamin A dalam tanaman berupa karotenoid. Makanan yang
kaya karoten adalah buah yang berwarna, sayuran berwarna, wortel, sayuran daun
hijau dan minyak sayuran. Kandungan beta karoten dari bahan makanan bervariasi
tergantung
kondisi pertumbuhan dan penanganan pasca panen dan juga
pencernaan mempengaruhi ketersediaannya (Berdanier 2000).
2. Pencernaan Vitamin A dan Beta Karoten
Bahan makanan yang dikonsumsi yang mengandung vitamin A (sebagai
retinil ester seperti retinil palmitat) dari pangan hewani, provitamin A dalam
57
pangan nabati dan beta karoten elemental (suplemen) mengalami proses
pencernaan dalam tubuh. Di lambung, protein dalam makanan yang dikonsumsi
dihidrolisis oleh ensim pepsin. Pemisahan protein dari retinil ester dan karotenoid
dari bahan makanan berlanjut di usus halus oleh ensim proteolitik dan di pankreas
oleh ensim esterase. Pada saat bersamaan di pankreas, asam lemak (triasilgliserol,
fosfolipid dan kolesterol ester) dihidrolisa juga oleh ensim pakreas. Di usus halus
retinol dan karotenoid dilepas dan larut dalam cairan misel bersama dengan
komponen makanan yang larut lemak. Kemudian cairan misel tersebut berdifusi
melalui lapisan glikoprotein yang mengelilingi microvili dari duodenum dan
jejunum masuk ke enterosit (Groff & Grooper 2000).
Dalam sel mukosa usus dan juga terjadi sedikit di hati, beta-karoten
dikonversi oleh ensim beta karoten 15,15’-dioxygenase menjadi retinal.
Kemudian retinal berikatan dengan cellular retinoid binding protein (CRBP) II
kemudian dikonversi menjadi retinol oleh retinal reductase yang merupakan ensim
NADH/NADPH-dependen. Tidak seluruh beta karoten dikonversi menjadi retinal,
diperkirakan sampai 30% beta karoten meninggalkan usus tanpa oksidasi.
Walaupun retinal interkonversi menjadi retinol, beberapa retinal diperkirakan
dioksidasi menjadi retinoic acid (Groff & Grooper 2000).
Retinol mengalami proses reesterifikasi di enterosit dengan melalui dua
cara yaitu:
1. Melibatkan cellular retinol binding protein (CRBP) II, sintesa tergantung
kepada retinoic acid. CRBP II mengikat retinol dan retinal. Kemudian
CRBP II mereduksi retinal menjadi retinol. CRBP II mengikat retinol
diesterifikasi oleh ensim lechitin retinol acyl transferase (LRAT) untuk
membentuk retinyl palmitat.
2. Cara kedua reesterifikasi melibatkan pengikatan retinol kepada protein sel
yang non spesifik, kemudian reesterifikasi oleh ensim acyl CoA retinol
acyl transferase (ARAT) (Groff & Grooper 2000).
58
Gambar 8 Absorpsi Vitamin A dan Karoten dalam Sel Usus Halus
(Groff & Gropper 2000).
3. Penyerapan Vitamin A dan Karotenoid
Asam retinoat langsung masuk vena porta dan diangkut dalam plasma
berikatan dengan albumin. Retinil palmitat/ester yang terbentuk bersama
sebagian kecil retinol yang tidak diesterfikasi dan karotenoid diserap bergabung
dengan kilomikron yang mengandung kolesterol ester, fosfolipid, triasilgliserol
dan apoprotein. Kemudian kilomikron ini langsung dibawa kedalam limfatik
sistem yang akhirnya masuk kedalam sirkulasi darah (Groff & Gropper 2000).
Kilomikron mengirim retinil ester, beberapa retinol yang tidak diesterifikasi,
karotenoid ke jaringan ekstra hepatik seperti bone marrow, sel darah, ginjal,
adipose tisue, otot, paru-paru, limpa. Kilomikron remnan mengirim retinil ester
dan karotenoid yang tidak ditangkap oleh jaringan tepi ke hati. Karotenoid
59
mencapai hati kemudian mengalami berbagai proses antara lain dipecah menjadi
retinol, bergabung dengan VLDL yang disintesa di hati dan didistribusikan ke
jaringan tubuh atau disimpan di hati (Groff & Grooper 2000)
4. Metabolisme Vitamin A dan Karotenoid
Di dalam sel parenkhim hati, retinil ester dari kilomikron remnan di
hidrolisis menjadi retinol. Retinol mengikat CRBP dan mengalami esterifikasi
menjadi retinil ester yang kemudian diangkut ke sel hati yang disebut sel stellate
(Wake 1994). Retinol disimpan dalam bentuk retinil ester dalam sel stellate.
Sekitar 50-80% vitamin A disimpan di hati (sel stellate) dalam bentuk retinil ester
terutama palmitat. Jaringan adipose juga merupakan tempat penyimpanan untuk
retinol dan beta karoten dari kilomikron (McLaren & Frigg 2001). Dalam keadaan
normal penyimpanan ini cukup untuk beberapa bulan. Sel stellate hati tidak dapat
menerima retinil ester lagi ketika terjadi hipervitaminosis (Groff & Grooper
2000).
Mobilisasi retinol dari hati dan dikirim ke jaringan target dalam bentuk
holo-retinol-binding-protein (holo-RBP). Holo-RBP dibentuk dari retinol dilepas
oleh hidrolase dari bentuk penyimpanan ester dengan 1 molekul RBP. Pada
plasma, holo-RBP juga berinteraksi dengan sebuah molekul transthyretin (TTR)
atau dikenal dengan nama prealbumin yang juga mengikat hormon tiroxin (T4).
Retinol-RBP-TTR komplek bersikulasi dalam plasma dengan masa paruh sekitar
11 jam yang tidak di filter oleh gromelurus. Beberapa jaringan menangkap retinol
dari RBP-TTR komplek termasuk adipose, skeletal muscle, ginjal, sel darah putih
dan bone marrow. Berbeda dengan retinol yang dimobilisasi di hati untuk
diangkut ke jaringan lain, retinoic acid diproduksi dalam jumlah kecil tidak jelas
dimana diproduksi
retinoic acid apakah diusus halus atau dihati. Kosentrasi
retinoic acid dalam plasma rendah. Dalam sitoplasma sel, retinoic acid mengikat
kepada cellular retinoic acid-binding protein (CRABP). CRABP seperti CRBP,
berfungsi untuk mengontrol kosentrasi retinoic acid yang bebas, mencegah
katabolisme dan mengarahkan penggunaan retinoic acid
Grooper 2000).
intrasel. (Groff &
60
Gambar 9 Metabolisme Vitamin A dan RBP di dalam Hati
(Groff & Grooper 2000).
5. Fungsi Gen dan Retinoid (Diferensiasi Sel)
Pada sel retinoic acid bekerja sebagai hormon untuk mempengaruhi ekspresi
gen dan mengontrol perkembangan sel (Groff & Grooper 2000). Retinoic acid
bekerja dengan mengaktifkan reseptor vitamin A pada sel nukleus. Dikenal dua
isomer dari retinoic acid adalah: all trans-retinoic acid dan 9-cis-retinoic acid.
Peran reseptor vitamin A memediasi kerja vitamin A, mengatur ekspresi gen yang
responsive terhadap vitamin A, mempertahankan kesehatan dan mencegah
penyakit. Dua reseptor nukleus yang dikenal yaitu Retinoic acid reseptor : RARs
(RAR-alpha, RAR-beta dan RAR-gamma) dan Retinoid X reseptor :RXRs (RXRalpha; TXR-beta; dan RXR-gamma). All trans retinoic acid mengaktifkan RARs
dan 9-cis-retinoic acid mengaktifkan RXRs (Blaner 1998). Menurut Olson 1996,
masing-masing reseptor mempunyai 6 domain antara lain yaitu
61
1. aktifasi amino-terminal domain (A/B)
2. pengikatan DNA domain (C)
3. daerah hinge (D)
4. ligand-binding domain (E)
5. carboxy-terminal tail terlibat dalam heterodimer
Gambar 10 Aktifitas Vitamin A di dalam Sel (Blaner 1998).
Aktifitas vitamin A dalam sel melalui kerja retinoic acid mengaktifkan
vitamin A pada sel nukleus baik RARs atau RXRs. Retinoic acid hanya mengikat
pada RAR reseptor sedangkan 9-cis retinoic acid hanya mengikat RXRs. Nuclear
reseptor mengikat elemen yang respon dalam gen spesifik untuk meningkatkan
atau menurunkan tingkat ekspresi gen. Elemen respon adalah nucleotide
sequences (dalam DNA yang membangun gen). Disimpulkan bahwa vitamin A
melalui aksi trans dan 9-cis-retinoic acid adalah regulator sangat penting dari
transkripsi seperti ditunjukkan dalam gambar 10 (McLaren & Martin 2001;
Blanner 1998).
6. Ekskresi Vitamin A dan Karotenoid
Produk oksidasi vitamin A terkonyugasi dengan glucoronida dan
dikeluarkan sebagai komponen dari asam empedu. Melalui proses tersebut,
62
sejumlah 70% vitamin A hilang. Metabolit karoten juga terbawa dalam asam
empedu untuk diekskresikan. Sisa 30% vitamin A metabolites dikeluarkan melalui
urin (Wildman & Medeiros 2000).
7. Kecukupan, Kebutuhan dan Toksisitas Vitamin A dan Beta Karoten
Kecukupan vitamin A untuk wanita hamil 370 μg RE dan tingkat asupan
yang aman vitamin A yang di rekomendasi 800 μg RE (retinol ekivalent) (Muhilal
& Sulaeman 2004b). Kekurangan vitamin A terbanyak ditemukan pada balita di
negara berkembang. Tanda-tanda kekurangan pada balita yaitu gangguan
pertumbuhan, keratinisasi sel epitel, xeropthalmia dan bahkan penyebab kebutaan.
Tanda sub klinis balita dinegara berkembang banyak mengalami kadar plasma
vitamin A dibawah normal.
Asupan vitamin A berlebihan terutama dari suplemen dapat menimbulkan
keracunan tingkat akut, kronik maupun teratogenik. Keracunan tingkat akut bila
asupan vitamin A dosis sangat tinggi, biasanya > 100 kali Angka Kecukupan Gizi
(AKG) yang dianjurkan pada orang dewasa. Keracunan tingkat kronis yang lebih
umum terjadi, karena asupan vitamin A dengan dosis ≤ 10 kali AKG dan berulang
kali dikonsumsi dalam jangka waktu mingguan bahkan tahunan. Gejala awal
keracunan yang muncul mual, muntah-muntah, pusing, vertigo dan pada tingkat
kronik timbul kulit kering dan gatal, hepatomegali.
Pada ibu hamil asupan
vitamin A berlebihan dikhawatirkan menimbulkan keracunan teratogenik. Efek
teratogenik yang ditimbulkan yaitu kelainan pertumbuhan janin, aborsi, lahir cacat
dan melahirkan keturunan cacat mental yang permanen. Dosis yang aman
disarankan IVACG pada ibu hamil agar tidak terjadi efek teratogenik adalah
asupan vitamin A sampai dengan 10.000 IU (3000 μg RE) per hari atau sampai
dengan 25.000 IU (8500 μg RE) per minggu (Olson 1996; IVACG 1999).
Pada ibu hamil yang mengkonsumsi karotenoid baik dari makanan maupun
suplemen dibuktikan tidak memberikan efek teratogenik (Hatcock et al. 1990;
Bendich 1988).
63
8. Konversi Vitamin A dan Karotenoid Lainnya
Istilah dari “retinol activity equivalent” (RAE) dikenalkan oleh Institute of
Medicine (IOM) untuk mengganti “retinol equivalent” (RE) yang digunakan oleh
FAO/WHO (1988). Penggantian didasarkan atas penelitian bioefikasi karotenoid.
Bioefikasinya diperkirakan lebih rendah pada populasi di negara berkembang.
Revisi konversi vitamin A dan karotenoid menurut International Vitamin A
Consultative Group (IVACG 2002) adalah sebagai berikut :
Tabel 7 Konversi Vitamin A dan Karotenoid
Retinol Activity Equivalent (RAE)
1 μg RAE
Commonly Used Units
= 1 RE of retinol (vitamin A)
1 μg retinol (vitamin A)
2 μg β-carotene dalam minyak (suplemen)
12 μg β-carotene dari bahan makanan
24 μg provitamin A karotenoid lain dalam
bahan makanan
3.33 IU vitamin A aktif dari retinol
Sumber: IVACG (2002)
9. Beberapa Penelitian Tentang Suplemen Vitamin A dan Beta Karoten
Penelitian tentang suplemen vitamin A dan beta karoten yang diberikan
pada ibu hamil di Nepal dilaporkan oleh Katz (2000) dan West (1999). Hasil
temuan kedua penelitian tersebut yaitu baik vitamin A maupun beta karoten
efektif dalam menurunkan angka kematian ibu (maternal mortality). Vitamin A
diketahui mempunyai efek teratogenik. Namun dalam dua penelitian tersebut
dosis vitamin A yang diberikan sebesar 7000 μg retinol ekivalen setara dengan
23310 IU per minggu masih merupakan dosis aman yang disarankan oleh IVACG
(IVACG 1999). Dosis beta karoten yang diberikan per minggu sebesar 42 mg dan
beta karoten tidak mempunyai efek teratogenik.
64
Tabel 8 Penelitian tentang Suplemen Vitamin A dan Beta Karoten pada Ibu Hamil
Penelitian /
Lokasi
Dosis dan
Lama intervenís
Desain penelitian/
Jumlah sampel
Hasil penelitian dan
kesimpulan
Katz .2000
Nepal
Retinol 7000 μg
per minggu
Randomized
Cluster Trial
Dari 43559 WUS; 17373 hamil;
bayi lahir 15987.
Beta karoten
42 mg
per minggu
Ada 3 grup
(n=43559)
- retinol 7000 μg
per minggu
ekivalen dengan
retinyl palmitat
(vitamin A)
- all-trans β- karoten
42 mg per minggu
- placebo
Fetal loss dari :
-grup placebo
92.0/1000 kehamilan
-RR grup retinol
RR 1.06 (95%
CL:0.91,1.25)
-grup beta karoten
RR 1,03 (95% CL:0.87,1.19)
West 1999
Nepal
Vitamin A (7000
μg retinol
ekivalen)
per minggu
β-karoten 42 mg
(ekivalen dengan
7000 μg retinol)
per minggu
Lama intervensi:
3 ½ th
Double blind,
cluster randomized
dari
44646 WUS
22189 ibu hamil
Ada 3 grup:
- plasebo
- vitamin A (7000
μg retinol)
-Beta karoten 42 mg
Mortalitas bayi 6 bulan:
grup placebo
70.8/1000 kelahiran
grup retinol
RR: 1.05 (95% CL:0.87,1.25)
grup beta karoten
RR 1.03 (95% CL:0.86,1.22)
Kesimpulan: dosis retinol atau
beta karoten untuk WUS pra
konsepsi, hamil dan 6 bln
postpartum tidak memperbaiki
fetal/ infant survival
Mortality selama hamil
(per 100.000 kehamilan)
- 704; 426; 361 untuk placebo;
vitamin A; beta karoten
- RR vit A 0,60
(95% CL; 0.37-0.97)
- RR karoten 0,51
(95% CL; 0.30-0.86)
- penurunan vitamin A 40%
(p<0.04)
- penurunan 49% (p<0.01)
- vitamin A dan beta karoten
dapat menurunkan mortalitas
44% dan ratio maternal
mortality turun dari 645
menjadi 385 kematian per
100.000 kelahiran
Kesimpulan: suplementasi
WUS dengan vitamin A/ beta
karoten menurunkan maternal
mortalitas
65
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI
OPERASIONAL
A.
Kerangka Pemikiran
Pemberian suplemen minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten
yang diberikan pada ibu hamil trimester 1 di daerah endemik GAKI diharapkan
lebih meningkatkan sintesa dan sekresi hormon tiroksin bebas (FT4) dari kelenjar
tiroid, meningkatkan kadar EIU dan menghambat (menurunkan) sekresi hormon
TSH oleh kelenjar hipofisa selama hamil dan masa nifas (akhir penelitian)
dibandingkan dengan pemberian suplemen minyak iodium dosis tinggi dan
suplemen minyak iodium dosis rendah. Selain itu tambahan beta karoten pada
suplemen minyak iodium dosis rendah diharapkan dapat meningkatkan kadar
serum vitamin A dan memicu peningkatan hormon tiroksin selama hamil dan
masa nifas (akhir penelitian).
Kebutuhan hormon tiroksin janin dapat dipenuhi dari suplai hormon tiroksin
ibu yang ditransfer melalui plasenta dan dari sekresi hormon tiroksin dari kelenjar
tiroid janin sendiri. Kemudian hormon tiroksin digunakan janin untuk berbagai
proses metabolisme dalam tubuh, pertumbuhan jaringan (tulang) terutama
jaringan otak.
Pemberian suplemen minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten
pada ibu hamil diharapkan berdampak positif terhadap kecukupan iodium bayi
diukur dari TSH neonatal dan status gizi bayi neonatal dan perkembangan motorik
bayi dibandingkan dengan pemberian suplemen minyak iodium dosis tinggi dan
suplemen minyak iodium dosis rendah. Beberapa variabel pengganggu dalam
mempelajari pengaruh pemberian suplemen iodium berbagai dosis terhadap status
iodium ibu selama hamil, masa nifas (akhir penelitian) dan bayi yang dilahirkan
diukur seperti asupan iodium dari bahan makanan termasuk dari garam, asupan
sianida dari bahan makanan dan pengetahuan GAKI dan manfaat garam
beriodium. Namun pengaruh pemberian suplemen minyak iodium berbagai dosis
terhadap iodium air susu ibu (ASI) tidak diteliti.
66
Ibu hamil trm 1
Minyak iodium dosis tinggi
Ibu hamil trm 1
Minyak iodium dosis rendah
Ibu hamil trm 1
Minyak iodium dosis rendah
+ beta karoten
Ibu hamil trm 3
Status iodium
- EIU
Serum TSH
Status vit A
- serum vit A
Ibu nifas
Status iodium
- EIU
Serum FT4
Serum TSH
Status vit A :
- serum vit A
- T4
-T4
- Iodium ASI
Janin
Status iodium
Transfer T4 ibu hamil
Sekresi T4 janin
Pertumbuhan
Asupan iodium
-bahan makanan
- garam rumah tangga
Pengetahuan GAKI
Status gizi
Asupan Gizi
Riwayat kehamilan
Karakteritik ibu hamil :
- TB
- umur
Keterangan
= Tidak diukur
Gambar 11. Kerangka Pemikiran
Bayi 0-4 bln
TSH neonatal
Status gizi
-indeks BB/PB
Perkembangan
- motorik
67
B. Definisi Operasional
Definisi operasional penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 9
dibawah ini.
Tabel 9 Definisi Operasional
Varibel
Deskripsi
Skala dan
Nilai atribut
TSH
Kadar serum thyroid stimulating hormone
(TSH) yang menggambarkan individu
kekurangan hormon tiroid (hipotiroid)
FT4
Kadar serum hormon tiroksin bebas (FT4)
yang menggambarkan individu mengalami
gangguan fungsi tiroid
EIU
Kadar ekskresi iodium urin (EIU) dapat
menggambarkan asupan iodium
Retinol
Kadar
serum
vitamin
A
dapat
menggambarkan
individu
mengalami
kekurangan vitamin A.
Asupan zat gizi
Asupan zat gizi dikumpulkan berdasarkan
energi,
protein, wawancara makanan yang dikonsumsi
iodium, vitamin A, dengan menggunakan metoda recall 1 x 24
jam
besi dan seng.
Hb ibu hamil
Kadar serum hemoglobin menggambarkan
individu anemi atau tidak
Asupan iodium
Asupan iodium dari garam rumah tangga
dari garam rumah diperoleh dari hasil wawancara banyak
tangga
garam yang digunakan per orang per hari
dikalikan dengan kadar iodium garam yang
diukur dengan metoda titrasi
Status gizi
Keadaan seseorang berdasarkan hasil
pengukuran indeks antropometri BB/PB
Pengetahuan
Pemahaman tentang penyebab, akibat,
GAKI
tanda-tanda Gangguan Akibat Kekurangan
Iodium serta upaya pencegahan
Tensi ibu
Angka tekanan systole dan diastole individu
meggambarkan individu hipertensi atau
tidak
Edema ibu hamil
Pembesaran kaki ibu hamil yang diikuti
dengan hipertensi (peningkatan tensi yang
abnormal)
Rasio
Rasio
Rasio
Rasio
Rasio
Rasio
Rasio
Ordinal
Rasio
Ordinal
Ordinal
Ordinal
68
IV. METODA PENELITIAN
A. Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian
Desain penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi
experiment). Lokasi penelitian di Kabupaten Magelang yang merupakan daerah
endemik GAKI. Secara purposive dipilih 6 kecamatan endemik yang membawahi
7 Puskesmas yaitu Puskesmas Ngablak, Pakis, Candimulyo, Sawangan 1,
Sawangan 2, Dukun dan Kaliangkrik. Penelitian ini berlangsung dari bulan
Agustus 2005 sampai dengan bulan Oktober 2006.
B. Populasi, Contoh dan Besar Contoh
Populasi adalah ibu hamil dari 7 Puskesmas endemik di Kabupaten Magelang
yang dipilih diatas. Contoh adalah ibu hamil trimester 1 dengan usia kehamilan ≤ 15
minggu. Kriteria inklusi yaitu ibu hamil tidak sakit atau tidak dalam perawatan
dokter dan tinggal lebih dari 5 tahun di daerah tersebut. Kriteria eksklusi yaitu ibu
hamil hipertiroid berdasarkan pemeriksaan serum TSH ≤ 0.3 μU/ml dan ibu yang
tidak kooperatif. Besar Contoh ditentukan dengan rumus Ariawan (1998):
n= Z
2
1-α/2
[2σ2] / d2 = 34
dengan DO sebesar 30% maka jumlah contoh diperlukan = 48 untuk per kelompok
Keterangan:
Z1-α/2=1.96; σ =3.42 μU/ml (Lamid 2007);
d = perbedaan penurunan TSH diasumsikan 50 %
Total Contoh untuk tiga kelompok sebanyak 144 ibu hamil. Contoh kemudian
secara random alokasi dibagi dalam tiga kelompok perlakuan.
Ketiga kelompok perlakuan tersebut yaitu:
1. Kelompok dosis tinggi (DT); diberikan suplemen minyak iodium dengan
dosis 200 mg berupa kapsul yodiol yang diberikan hanya satu kali selama
hamil. Kapsul yodiol di produksi oleh PT Kimia Farma Tbk.
2. Kelompok dosis rendah (DR): diberikan suplemen minyak iodium 30 mg per
bulan diambil dari 6 tetes minyak iodium dari kapsul yodiol. Suplemen
diberikan setiap bulan selama 6 bulan.
69
3. Kelompok dosis rendah+ beta karoten (DRB): diberi suplemen minyak
iodium 30 mg per bulan ditambah beta karoten 30 mg per bulan. Minyak
iodium diambil 6 tetes dari kapsul yodiol. Beta karoten diambil dari beta
karoten elemental dibuat oleh PT DSM Nutritional Products Indonesia yang
kemudian dikemas dalam kapsul.
Suplemen minyak iodium dan beta
karoten diberikan setiap bulan selama 6 bulan.
Lama intervensi dan dosis suplemen minyak iodium dan beta karoten
Suplemen hanya diberikan selama hamil. Suplemen minyak iodium dosis
tinggi (200 mg iodium) diberikan hanya satu kali selama hamil. Suplemen minyak
iodium dosis rendah (30 mg iodium) diberikan setiap bulan selama 6 bulan selama
hamil. Demikian juga dengan beta karoten ( 30 mg) diberikan setiap bulan selama
6 bulan selama hamil.
Dosis
iodium:
iodium
yang
diberikan
mengacu
pada
rekomendasi
WHO/UNICEF/ICCIDD 1992 yaitu sebesar 50-100mg iodium untuk ibu hamil
per tiga bulan pemberian secara oral. Oleh karena itu dosis iodium per bulan
yang diberikan yaitu sebesar 30 mg.
Dosis beta karoten: beta karoten yang diberikan setiap bulan sebanyak 30 mg
ekivalen dengan sekitar 5 mg retinol. Dosis ini lebih rendah dari anjuran WHO
untuk vitamin A (retinol), bagi ibu hamil triwulan pertama diberikan<25000 IU
per minggu atau ekivalen dengan 7 mg retinol (WHO 1998) dan juga lebih
rendah dibandingkan dosis yang diberikan pada ibu hamil di Nepal dengan
dosis 42 mg per minggu ( Katz et al. 2000).
C. Cara Mengumpulkan Contoh dan Data yang Dikumpulkan
1. Cara Mengumpulkan Contoh
Data ibu hamil yang ada di seluruh desa di 7 wilayah Puskesmas endemik
diperoleh dari bidan desa. Dipilih ibu hamil
trimester pertama berdasarkan
pemeriksaan bidan, kemudian dilakukan pemeriksaan serum TSH. Random
alokasi dilakukan untuk mengelompokkan ibu hamil trimester 1 yang kadar serum
TSH tidak hipertiroid (< 0.3 μU/ml) dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
70
2. Data yang Dikumpulkan dan Metoda yang Digunakan :
Data Contoh selama hamil dan outcome persalinannya (bayi yang
dilahirkan) serta kondisi contoh pada masa nifas dikumpulkan diantaranya data
antropometri dan biokimia yang dikumpulkan secara longitudinal, data pola
konsumsi makanan, data sosial ekonomi, data pengetahuan GAKI, data garam
iodium rumah tangga, data klinis ibu hamil dan bayi. Berikut secara lengkap
diuraikan data yang dikumpulkan selama penelitian berlangsung.
Data antropometri contoh yang diukur ialah berat badan, tinggi badan dan
lingkar lengan atas (LLA). Berat badan contoh diukur dengan timbangan Seca
dengan ketelitian 0.1kg. Tinggi badan contoh diukur dengan microtoise dengan
ketelitian 0.1cm. LLA contoh diukur dengan pita ukuran dengan ketelitian 0.1 cm.
Sosial ekonomi: pekerjaan, pendidikan dan umur contoh dan suami. Jumlah
anak dan jumlah anggota keluarga contoh dikumpulkan pula. Data sosial ekonomi
dikumpulkan dengan metoda wawancara.
Status kesehatan ibu hamil secara klinis dikumpulkan oleh dokter umum
pada awal penelitian. Disamping itu pemeriksaan kehamilan contoh setiap bulan
dilakukan oleh bidan.
Pengetahuan GAKI termasuk juga dalam data yang dikumpulkan.
Pengetahuan GAKI yang diamati adalah pengetahuan tentang garam beriodium,
kapsul iodium dan bagaimana cara pencegahan GAKI. Pengetahuan GAKI
dikumpulkan dengan wawancara.
Pola konsumsi makanan dikumpulkan dengan cara wawancara dan
konsumsi makanan sehari dikumpulkan dengan wawancara dengan metoda recall
1 x 24 jam. Pola konsumsi makanan dikumpulkan untuk menghindari bias dalam
interpretasi hasil wawancara konsumsi dengan metoda Recall 1x24 jam. Asupan
energi, protein, vitamin A, besi dan seng diperoleh dari konversi konsumsi
makanan sehari dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan.
Asupan iodium diperoleh dari konversi konsumsi makanan sehari dengan
menggunakan kadar iodium dalam makanan di daerah endemik yang dianalisis
oleh Purwaningsih (1997) pada daerah Kabupaten Kulon Progo Jawa Tengah.
Makanan lokal daerah di 7 Puskesmas Kabupaten Magelang yang tidak terdapat
dalam daftar komposisi bahan makanan mengandung iodium yang disusun oleh
71
Purwaningsih tidak dianalisa karena tidak ada alokasi dana untuk analisa
kandungan iodium bahan makanan setempat. Asupan iodium juga dikumpulkan
dari konsumsi garam rumah tangga yang dikumpulkan dengan cara wawancara.
Kemudian analisis kandungan iodium garam dari rumah tangga dilakukan dengan
metoda titrasi (Departemen Perindustrian & Unicef 1990).
Asupan sianida diperoleh dari konversi konsumsi makanan sehari dengan
menggunakan komposisi sianida bahan makanan dikembangkan Dahro (2001).
Kadar hormon TSH, FT4 dan TSH bercak darah kering (blood spot)
dianalisis dengan metoda Elisa dan kadar ekskresi iodium urin (EIU) dengan
metoda Wet Disgestion (Sotof Kolhof). Analisis Hb dengan metoda
Cyanmethemoglobin. Analisis serum retinol dengan metode Thurnham (1988).
Status gizi bayi neonatal dan bayi 3-4 bulan diukur dari berat dan panjang
badan. Berat badan diukur dengan beam balance dan panjang badan diukur
dengan microtoise. Pola makanan bayi dikumpulkan dengan metode wawancara.
Index klinis hipotiroid bayi 3-4 bulan diamati dengan pemeriksaan 20 tanda klinis
pada bayi yang dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih menggunakan kuesioner
yang dikembangkan oleh Balai GAKI (2006) (Lampiran 3).
Data perkembangan motorik kasar bayi 3-4 bulan dikumpulkan oleh sarjana
psikologi atau tenaga yang sudah terlatih melakukan pemeriksaan perkembangan
bayi dan anak. Perkembangan motorik yang diamati:
- bayi sudah bisa mengangkat kepala pada saat telungkup
- kepala tertinggal di belakang pada penarikan untuk posisi duduk
- bayi sudah bisa menggenggam mainan yang disentuhkan pada
telapak tangannya
- bayi bisa mengikuti gerakan obyek 180 derajat
- bayi sudah bisa membalas senyuman
Frekuensi pengumpulan data beberapa variabel berbeda satu sama lain. Data
sosial-ekonomi, karakteristik ibu dan kadar garam rumah tangga dikumpulkan
hanya 1 kali, untuk pemeriksaan lain dilakukan secara longitudinal 2 kali atau 6
kali pengukuran. Pada Tabel 10 di bawah ini diuraikan secara detail jenis data,
cara pengumpulan data dan frekuensi data yang dikumpulkan.
72
Tabel 10 Jenis Data dan Frekuensi, Cara dan Metoda Pengumpulan Data
Data / Variabel
yang dikumpulkan
Sosial Ekonomi
Pendidikan, Pekerjaan
Jumlah anak
Frekuensi Waktu
pengumpulan
1 kali
Awal
Cara/metoda
yang digunakan
Wawancara
Karakteristik ibu hamil
Umur, Jumlah paritas
Keguguran
1 kali
Awal
Wawancara
Pemeriksaan kehamilan
Edema, hipertensi
6 kali
Tiap bulan
Pemeriksaan
Status gizi
BB, TB, LLA
6 kali
Tiap bulan
Timbangan Seca,
Microtoise, Pita ukuran
Hormon tiroid
Serum FT4
2 kali
Awal, Akhir
Metoda Elisa
Kecukupan hormon
Tiroid: serum TSH
4 kali
Awal, Trm 2,
Trm 3, Akhir
Metoda Elisa
Status iodium
EIU
4 kali
Awal
1 bulan intervensi
Trm 3 , Akhir
Metoda Wet
Digestion
Status vitamin A
Serum retinol
2 kali
Awal, Akhir
HPLC
Status anemi
hemoglobin
2 kali
Awal, Akhir
Cyanmethemoglobin
Pengetahuan GAKI
2 kali
Awal , Akhir
Wawancara
Kandungan iodium garam 2 kali
Awal, Akhir
Titrasi
2 kali
Asupan zat gizi
Energi, vit A, iodium, besi
Awal, Akhir
Wawamcara
Metode Recall
Kecukupan hormon tiroid 1 kali
TSH
Bayi neonatal
Metoda Elisa
2 kali
Bayi neonatal
Bayi 3-4 bulan
Timbangan Beam balance
Panjang Badan
Perkembangan motorik
1 kali
Bayi 3-4 bulan
Pemeriksaan
dengan metode Depkes
Hipotiroid klinis
1 kali
Bayi 3-4 bulan
Pemeriksaan
atus gizi:
BB, TB
73
D. Manajemen Data, Pengolahan Data, Pertimbangan Etik dan Analisis Data
1. Validasi bagi pengukur antropometri dan pewawancara ibu hamil, supervisi
dan verifikasi data dari lapangan
2. Pengelompokan data
a. Serum TSH contoh pada awal penelitian dikelompokkan kedalam tiga
cut-off serum yang dianggap berisiko selama kehamilan dan bayi yang
dilahirkan. Adapun cut-off serum TSH sebagai berikut:
≥ 2 μU/ml (Orgiazzi & Madec 1996);
≥3.9 μU/ml (Budiman et al. 1998) dan ≥ 5.0 μU/ml (Hartono 2001)
b. TSH bayi neonatal ≥ 20 μU/ml dikategorikan dicurigai positif hipotioid
(Rustama 2003)
c. Hemoglobin (Hb): anemia selama hamil bila kadar Hb <11 g%; anemia
selama nifas bila kadar Hb < 12 g% (Husaini et al. 1989)
d. Asupan iodium dinilai dari kadar Ekskresi Iodium Urin (EIU) yang
dikelompokkan (WHO 2001):
EIU < 100 μg/L : asupan iodium tidak cukup
EIU 100-199 μg/L : asupan optimal
EIU 200-299 μg/L: asupan lebih dari cukup
EIU ≥300 μg/L: asupan berlebihan berisiko terhadap kesehatan
f. BB dan TB bayi dikelompokkan dalam indikator BB/TB baku WHO
NCHS dengan kategori (Menkes 2002),
- BB/TB dengan Z skor ≥ - 2.0 : status gizi baik
- BB/TB dengan Z skor -2.0 < Z score ≥ -3.0 : status gizi kurang
- BB/TB dengan Z skor < 3.0 : status gizi buruk
g. Kurang Energi Kronis contoh pada awal dan akhir penelitian berdasarkan
ukuran LLA< 23.5cm.
h. Kecukupan zat gizi energi, protein, vitamin A, zat besi dan seng dihitung
berdasarkan AKG untuk ibu hamil dan nifas dari Widya Karya Nasional
Pangan dan Gizi tahun 2004.
i. Asupan iodium dari konsumsi garam rumah tangga hasil wawancara
kemudian dikalkulasikan dengan kadar KIO3 dari garam rumah tangga
74
yang digunakan tiap hari hasil analisa kandungan iodium (KIO3) garam
rumah tangga.
j. Tingkat asupan sianida dari bahan makanan dikelompokkan dua
(Lundquist 1985): - < 10mg - asupan normal
- > 10mg - asupan melebihi batas normal.
k. Pengetahuan GAKI:
Jawaban ibu contoh diberi skor. Skor =1 untuk jawaban yang benar dan
Skor=0 untuk jawaban yang salah. Kemudian total skor dikategorikan
menjadi 2 yaitu pengetahuan GAKI dianggap cukup dengan nilai total
Skor ≥ 6 dan pengetahuan GAKI kurang bila total Skor yang dicapai <6.
l. Bayi dikategorikan BBLR bila berat lahir < 2500 gram
m. Indeks hipotiroid bayi (1-12 bulan): dibuat skor yang disesuaikan dengan
skor yang dikembangkan oleh Balai GAKI (2006) kemudian total skor
dikategorikan tiga yaitu total skor > 5 diduga positif hipotiroid; total
skor=2 dirujuk dan total skor <2 =normal.
n. Pola perkembangan bayi 8-12 minggu diukur dengan memakai pedoman
dari Depkes (Depkes 2002). Perkembangan motorik bayi kasar
dikategorikan mengalami keterlambatan (delayed) bila
sekurang-
kurangnya salah satu dari 5 perkembangan motorik kasar yang diamati
tidak terpenuhi.
3. Ibu
hamil
Komisi
dimintakan Informed Consent.
Ethical
Clearance
dari
Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbang Kesehatan No. KS
02.01.2.1.2415
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analitik. Uji yang digunakan
adalah uji proporsi (Khi kuadrat) dan uji beda (ANOVA). Uji Multiple
Comparison
Least Significant Difference (LSD) dipilih untuk mengetahui
kelompok mana saja yang berbeda reratanya bila uji ANOVA terdapat perbedaan
yang bermakna (Steel & Torrie 1980). Analisis multivariat uji regresi logistik
digunakan untuk mempelajari pengaruh pemberian ketiga suplemen iodium
terhadap kadar biokimia darah dan urin ibu dan biokimia darah bayi neonatal.
Signifikansi yang digunakan pada alfa 5%.
75
V. HASIL
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian
1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Magelang letaknya diapit oleh beberapa kabupaten dan kota
antara lain Kabupaten Temanggung, Semarang, Boyolali, Purworejo, Wonosobo,
Kota Magelang serta Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya antara 110o
01’ 51” dan 110o 26’ 58” Bujur Timur dan antara 7o 19’ 13” dan 7o 42’ 16”
Lintang Selatan. Kabupaten Magelang dikelilingi oleh beberapa gunung seperti
gunung Merapi, Merbabu, Sumbing dan gunung Telomoyo. Umumnya daerah
kabupaten Magelang berupa dataran tinggi (Pemda Kabupaten Magelang 2004).
Peta Kabupaten Magelang ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 12 Peta Kabupaten Magelang (Pemda Kabupaten Magelang 2004).
76
Enam kecamatan endemik GAKI yang dipilih yaitu Sawangan, Pakis,
Ngablak, Dukun, Candimulyo dan Kaliangkrik. Setiap kecamatan mempunyai
satu Puskesmas kecuali kecamatan Sawangan mempunyai dua Puskesmas yaitu
Puskesmas Sawangan 1 dan Puskesmas Sawangan 2. Total tujuh Puskesmas yang
menjadi lokasi penelitian yaitu Puskesmas Sawangan 1, Puskesmas Sawangan 2,
Puskesmas Kaliangkrik, Puskesmas Dukun, Puskesmas Ngablak dan Puskesmas
Candimulyo.
Jumlah penduduk Kabupaten Magelang tahun 2004 tercatat sebanyak
1.157.715 jiwa dan jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan
dengan jumlah penduduk laki-laki. Total jumlah rumah tangga yang ada sekitar
292.332 rumah tangga dengan mata pencaharian penduduk terutama dari
pertanian. Lahan pertanian digarap oleh penduduk dengan bertanam padi,
palawija, sayuran dan buah-buahan (Pemda Kabupaten Magelang 2004)
2. Pemilihan dan Pengelompokan Contoh
Ibu hamil trimester 1 direkrut sejak bulan Mei tahun 2005 sampai dengan
bulan Februari 2006. Semula ibu hamil yang terdaftar sebanyak 200 orang dan
direkrut dari 52 desa dari 7 wilayah Puskesmas yaitu Puskesmas Ngablak,
Sawangan 1, Sawangan 2, Pakis, Candimulyo, Dukun dan Kaliangkrik. Namun
sebanyak 56 orang ibu hamil dikeluarkan dari penelitian karena usia
kehamilan>15 minggu dan ibu hipertiroid berdasarkan pemeriksaan kadar serum
TSH<0.3 μU/ml.
Jumlah ibu hamil yang memenuhi kriteria sebagai contoh yaitu sebanyak
144 orang. Randomisasi dilakukan dengan mengelompokkan contoh kedalam tiga
kelompok perlakuan yaitu kelompok minyak iodium dosis tinggi (DT); kelompok
minyak iodium dosis rendah (DR) dan kelompok minyak iodium dosis
rendah+beta karoten (DRB). Setiap kelompok terdiri dari 48 orang contoh.
Tidak semua contoh berpartisipasi selama penelitian berlangsung. Pada
kelompok minyak iodium dosis tinggi ditemukan tiga ibu hamil berkeberatan
diambil darahnya setelah melahirkan, sehingga total contoh kelompok ini pada
akhir penelitian menjadi 45 orang. Pada kelompok minyak iodium dosis rendah, 6
ibu dikeluarkan dari penelitian karena sampai penelitian berakhir ibu belum
77
melahirkan, 4 ibu hamil ditengah penelitian mengikuti transmigrasi ke Lampung,
dan 4 ibu dinyatakan drop out karena minum kapsul minyak iodium lain yang
dibagikan oleh bidan dari program penanggulangan GAKI. Pada kelompok
minyak iodium dosis rendah+beta karoten, 5 orang ibu hamil belum melahirkan
pada saat penelitian telah berakhir, 5 orang ibu hamil tidak patuh karena minum
kapsul iodium lain dari program penanggulangan GAKI dan tiga orang menolak
ikut berpartispasi sampai melahirkan.
Akhirnya secara keseluruhan yang dapat berpartisipasi penuh dari awal
sampai akhir penelitian sebanyak 114 orang contoh dengan rincian kelompok
minyak iodium dosis tinggi: terdapat 45 orang, kelompok minyak iodium dosis
rendah: 34 orang dan kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten: 35
orang. Jumlah tersebut memenuhi jumlah minimal contoh yaitu 34 ibu hamil tiap
kelompok.
3. Karakteristik Contoh dalam Tiap Kelompok
Pendidikan dan pekerjaan contoh dan suami serta jumlah anak diuraikan
pada Tabel 11 di bawah ini. Lebih dari separuh contoh pada tiga kelompok
mempunyai pendidikan hanya sampai di bangku Sekolah Dasar (SD). Contoh
yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada kelompok dosis
rendah sebesar 37%, sedangkan pada kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis
rendah+beta karoten proporsinya lebih rendah yaitu 24% dan 22%. Proporsi
contoh yang mempunyai pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) tertinggi
pada kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu sebesar 11% dan terendah pada
kelompok dosis tinggi yaitu 7%. Walaupun ada contoh pernah duduk di
Perguruan Tinggi (PT) namun proporsinya sangat kecil.
Pendidikan suami contoh mempunyai pola yang sama yaitu ditemukan
proporsi terbesar hanya sampai duduk di bangku Sekolah Dasar dan proporsi
terendah pernah duduk di bangku Perguruan Tinggi.
Sebagian besar contoh dan suami mempunyai mata pencaharian sebagai
petani. Contoh yang bekerja sebagai petani juga berperan ganda sebagai ibu
rumah tangga bila berada di rumah. Contoh yang berperan sebagai ibu rumah
tangga ditemukan tertinggi pada kelompok dosis rendah+beta karoten (43%)
78
diikuti kelompok dosis tinggi (40%) dan terendah pada kelompok dosis rendah
(34%). Contoh yang berperan sebagai ibu rumah tangga juga membantu pekerjaan
suami di ladang atau sawah. Walaupun ada contoh yang bekerja lain sebagai
pegawai swasta, pegawai negeri dan guru namun proporsinya kecil sekali.
Gambaran yang serupa ditemukan juga pada kecilnya proporsi suami contoh yang
mempunyai pekerjaan lain seperti pegawai swasta, pegawai negeri, wiraswasta
atau supir.
Tabel 11 Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok berdasarkan Karakteristik Sosial
Ekonomi
Variabel
Pendidikan contoh
SD
SMP
SMA
PT
Pekerjaan contoh
Petani
Ibu Rumah Tangga
Lain-lain
Pendidikan suami
SD
SMP
SMA
PT
Pekerjaan suami
Petani
Buruh tani
Wiraswasta/pedagang
dll
Jumlah anak (orang)
≤2
>2
Kelompok
DT
(n=45)
n
%
Kelompok
DR
(n=34)
n
%
Kelompok
DRB
(n=35)
n
%
30
11
3
1
66
24
7
2
18
13
3
0
54
37
9
0
21
8
4
2
60
22
11
7
0.670
23
18
4
51
40
9
18
12
4
54
34
12
18
15
2
52
43
5
0.191
31
6
5
3
69
13
11
7
23
6
5
0
68
17
15
0
21
5
6
3
60
15
17
8
0.157
31
5
5
4
69
11
11
9
23
4
6
1
68
12
17
3
25
6
4
0
72
17
11
0
0.489
41
4
91
9
32
2
94
6
34
1
98
2
0.669
P
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Menurut jumlah anak, mayoritas contoh tiga kelompok mempunyai anak ≤
2 orang. Rincian proporsinya yaitu terbesar pada kelompok dosis rendah+beta
79
karoten sebesar 98%, kemudian diikuti kelompok dosis rendah sebesar 94%.
Proporsi terkecil ditempati oleh kelompok dosis tinggi sebanyak 91%.
Penelitian ini juga mengungkapkan contoh yang mempunyai risiko tinggi
yang ditunjukkan dari beberapa variabel seperti umur, riwayat keguguran, status
anemia, tinggi badan, pertambahan berat badan selama hamil dan jumlah paritas
ibu sampai saat ini (Tabel 12).
Tabel 12 Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok menurut Faktor Risiko
Variabel
Umur (tahun)
<17 dan >35
17-35
Riwayat keguguran (kali)
0
1
≥2
Anemia (g%)
Hb<11
Hb ≥11
Tinggi Badan (cm)
<145
≥ 145
Pertambahan BB selama
hamil (kg)
<9
≥9
Paritas (kali)
≤2
>2
Kelompok
DT
(n=45)
n
%
Kelompok
DR
(n=34)
n
%
Kelompok
DRB
(n=35)
n
%
p
3
41
6
94
1
33
3
97
5
30
3
97
0.146
35
7
3
78
16
6
25
8
1
74
23
3
31
4
0
89
11
0
0.410
18
27
40
60
12
22
35
65
11
24
32
68
0.806
12
33
27
73
10
24
29
71
5
30
14
86
0.296
35
10
78
22
27
7
79
21
21
14
60
40
0.110
42
3
93
7
33
1
97
3
34
1
97
3
0.534
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Berdasarkan umur, ibu yang berisiko tinggi ialah ibu yang berumur<17
tahun dan>35 tahun, dan yang berisiko rendah berumur 17-35 tahun. Proporsi
contoh yang berumur<17 tahun dan>35 tahun pada tiga kelompok lebih rendah
dibandingkan dengan contoh yang berumur 17-35 tahun. Sebanyak kurang dari
6% contoh tiga kelompok mempunyai risiko tinggi karena berumur<17 tahun dan
80
>35 th. Tidak ditemukan ada perbedaan yang bermakna antara umur contoh yang
berisiko tinggi dan umur contoh yang berisiko rendah (p>0.05)
Proporsi contoh yang pernah mengalami keguguran sebanyak ≥ 2 kali kecil
pada tiga kelompok bahkan tidak ditemukan contoh yang pernah keguguran ≥ 2
kali pada kelompok dosis rendah+beta karoten. Dengan uji statistik khi kuadrat
tidak ada perbedaan yang signifikan antara contoh yang pernah mengalami
keguguran 1 atau ≥ 2 kali (p>0.05).
Berdasarkan status anemia, contoh yang berisiko tinggi bila kadar Hb
selama hamil mencapai<11 g%. Sebanyak 40% contoh pada kelompok dosis
tinggi mengalami anemia dan proporsinya lebih tinggi dari 2 kelompok lainnya.
Contoh kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten yang menderita
anemia yaitu sebesar 35% dan 32%. Namun setelah dilakukan uji khi kuadrat,
contoh yang mengalami anemia antara tiga kelompok tidak berbeda secara
bermakna (p>0.05).
Tinggi badan contoh yang dianggap berisiko yaitu tinggi badan <145 cm.
Ternyata contoh yang mempunyai tinggi badan <145 cm pada kelompok dosis
rendah sebesar 29% dan lebih tinggi dari pada 2 kelompok lainnya. Contoh
dengan TB <145 cm pada kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis rendah+beta
karoten sebesar 27% dan 14%. Secara statistik tidak ditemukan ada perbedaan
tinggi badan antara tiga kelompok (p>0.05).
Pertambahan berat badan contoh dihitung dari selisih berat badan pada akhir
kehamilan (trimester 3) dan awal kehamilan (trimester 1). Pada tiga kelompok
proporsi contoh dengan pertambahan berat badan <9 kg terlihat lebih tinggi
dibandingkan dengan proporsi contoh dengan pertambahan berat badan ≥9 kg.
Proporsi contoh dengan pertambahan berat badan <9 kg ditemukan pada
kelompok dosis rendah tertinggi yaitu sebesar 79% diikuti dengan kelompok dosis
tinggi
yakni 78% dan terendah kelompok dosis rendah+beta
karoten yaitu
sebanyak 60%. Namun pertambahan berat badan baik kurang atau lebih dari 9 kg
antara tiga kelompok tidak berbeda secara signifikan (p>0.05).
Gambaran paritas contoh dibedakan antara yang mempunyai paritas kurang
dan lebih dari 2 kali. Dari wawancara pada tiga kelompok didapatkan contoh yang
mempunyai paritas >2 kali proporsinya lebih kecil bila dibandingkan dengan
81
contoh yang mempunyai paritas ≤2 kali. Contoh yang mengalami paritas ≥2 kali
pada tiga kelompok kurang dari 7%. Uji khi kuadrat yang dilakukan tidak
menemukan ada perbedaan yang bermakna antara paritas kurang dan lebih dari 2
kali pada tiga kelompok (p>0.05)
4. Kesehatan Waktu Hamil dan Distribusi Suplemen Minyak Iodium dan
Beta Karoten
Kesehatan ibu selama hamil dipantau oleh bidan setiap bulan pada hari yang
bersamaan dengan pengukuran antropometri. Hasil pemantaun kesehatan
ditemukan 5 orang ibu hamil mempunyai tekanan darah melebihi normal dan tiga
orang mengalami pembengkakan kaki (odem). Setelah diberikan penyuluhan oleh
bidan dan dirujuk ke Puskesmas, pada akhir kehamilan semua ibu yang
mengalami komplikasi selama kehamilan menjadi pulih kembali kesehatannya.
Tempat pemeriksaan kesehataan di Puskesmas atau Puskesmas Pembantu, bila
rumah contoh sangat jauh maka bidan dan peneliti mendatangi rumah contoh.
Suplemen minyak iodium dan beta karoten disuplai oleh peneliti dan
didistribusikan di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Distribusi suplemen
dilakukan setelah pemeriksaan kesehatan contoh oleh bidan dan pengukuran
antropometri. Apabila lokasi rumah contoh sangat jauh maka suplemen
dihantarkan sampai ke rumah. Contoh langsung minum suplemen yang dibagikan
dengan disaksikan oleh tim peneliti.
B. Kurang Energi Kronis (KEK)
Rerata LLA contoh mulai dari awal penelitian yaitu pada trimester 1 sampai
akhir penelitian (nifas) dipaparkan pada Gambar 13 di bawah ini. LLA contoh
pada awal untuk tiga kelompok masih diatas ambang normal (> 23.5 cm). Dengan
uji ANOVA tidak ditemukan ada perbedaan rerata LLA antara tiga kelompok
pada pengukuran awal (p>0.05).
Pada tiga bulan intervensi (kehamilan enam bulan), rerata LLA kelompok
dosis tinggi meningkat dari awal sebesar 23.7 cm menjadi 23.9 cm. Rerata LLA
kelompok dosis rendah tetap stabil pada angka 24.1 cm. Demikian juga rerata
LLA kelompok dosis rendah+beta karoten relatif stabil sampai dengan 2 bulan
82
intervensi (kehamilan 5 bulan) yaitu tetap pada angka 23.8 cm, kemudian pada
tiga bulan intervensi (kehamilan umur 6 bulan) terjadi peningkatan. Hasil uji
statistik ANOVA tidak ada perbedaan yang bermakna rerata LLA antar tiga
kelompok pada 2 bulan dan 3 bulan intervensi (p>0.05).
Sejak 4-6 bulan intervensi (kehamilan umur 7-9 bulan), pengamatan rerata
LLA menunjukkan terjadi peningkatan sampai mencapai puncak. Pada 6 bulan
intervensi (kehamilan umur 9 bulan), peningkatan LLA yang tertinggi terjadi pada
kelompok dosis rendah+beta karoten dengan angka mencapai 25.1 cm.
Peningkatan rerata LLA pada 2 kelompok lainnya tidak setinggi kelompok dosis
rendah+beta karoten yaitu hanya mencapai 24.7 cm pada kelompok dosis tinggi
dan 24.8 cm pada kelompok dosis rendah. Rerata LLA antar kelompok pada 4-6
bulan intervensi (kehamilan 7-9 bulan) tidak berbeda dengan uji ANOVA
(p>0.05).
LLA (cm)
DT
25,5
DR
25
DRB
24,5
24
23,5
23
22,5
Awal/
1 bln
2bln
3bln
4bln
5bln
6bln
Akhir
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 13 Rerata LLA Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran.
Pada akhir penelitian (nifas) rerata LLA untuk ke tiga kelompok menurun
bila dibandingkan dengan rerata LLA pada 9 bulan kehamilan (6 bulan
intervensi). Rerata LLA akhir penelitian pada kelompok dosis rendah
dan
83
kelompok dosis rendah+beta karoten lebih tinggi dari pada rerata LLA kelompok
dosis tinggi. Dengan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan rerata LLA antar
kelompok pada akhir penelitian (p>0.05).
Tabel 13 berikut memperlihatkan proporsi contoh yang berisiko tinggi
karena mengalami KEK dengan ukuran LLA <23.5 cm. Proporsi KEK contoh
pada awal penelitian terbesar (48%) ditemukan pada kelompok dosis tinggi,
sedangkan kelompok dosis rendah
dan kelompok dosis rendah+beta karoten
hanya 40% dan 46%. Menginjak 6 bulan intervensi (kehamilan 9 bulan), proporsi
KEK menurun yaitu pada kelompok dosis tinggi menjadi 35% dan kelompok
dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi masing-masing
sebesar 30%.
Tabel 13 Proporsi KEK Contoh pada Tiga Kelompok menurut
Waktu Pengukuran
Waktu
Kelompok Kelompok Kelompok
p
DT
DR
DRB
pengukuran
(n=45)
(n=34)
(n=35)
Awal
LLA<23.5 cm
48
40
46
0.750
LLA≥23.5 cm
52
60
54
6 bln intervensi
LLA<23.5 cm
LLA≥23.5 cm
35
65
30
70
30
70
0.631
Akhir
LLA<23.5 cm
LLA≥23.5 cm
48
52
44
56
39
61
0.387
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Pada akhir penelitian, proporsi KEK pada tiga kelompok menunjukkan
peningkatan, hal ini dapat dilihat dari proporsi KEK pada kelompok dosis tinggi
sebesar 48%, kelompok dosis rendah menjadi 44% dan kelompok dosis
rendah+beta karoten yakni 39%. Dengan uji ANOVA tidak ditemukan perbedaan
yang bermakna proporsi KEK pada awal, 6 bulan intervensi dan akhir penelitian
antar tiga kelompok (p>0.05)
84
C. Asupan Zat Gizi Termasuk Iodium
1. Asupan Energi, Protein, Lemak, Vitamin A, Besi dan Seng
Asupan zat gizi energi, lemak, protein, vitamin A, besi dan seng
dipaparkan pada Tabel 14 di bawah ini. Pada awal penelitian, rerata asupan
energi contoh kelompok dosis tinggi yaitu 1114 kkal sedangkan asupan energi
kedua kelompok lainnya lebih rendah. Rerata asupan protein kelompok dosis
tinggi sebesar 40.4 gram dan asupan kelompok ini lebih tinggi dari pada
kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten. Adapun rerata
asupan protein kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten
yaitu 37.6 gram dan 36.5 gram. Dari wawancara terungkap bahwa proporsi
protein nabati lebih banyak dikonsumsi dari pada asupan protein hewani. Asupan
protein nabati yang banyak dipilih yaitu tempe dan tahu. Tidak ada perbedaan
yang signifikan rerata asupan energi dan protein antara tiga kelompok tersebut
(p>0.05).
Rerata asupan lemak tiga kelompok sekitar 30 gram, sedangkan asupan
vitamin larut lemak seperti vitamin A pada kelompok dosis tinggi, dosis rendah
dan dosis rendah+beta karoten sebesar 711 μg RE; 720 μg RE dan 700 μg RE.
Tabel 14 Rerata Asupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Awal
Penelitian
Asupan zat gizi
Energi (kkal)
Protein (gr)
Lemak (gr)
VitaminA (μgRE)
Besi (mg)
Seng (mg)
Kelompok
DT
(n=45)
1114+ 529
40.4 + 22.0
30.4 + 20.7
711 + 1110
10.2 + 10.9
5.0 + 2.9
Kelompok
DR
(n=34)
1109 + 394
37.6 + 19.9
31.7 + 22.0
720 + 527
12.8 + 13.4
4.5 + 2.1
Kelompok
DRB
(n=35)
1059+ 568
36.5 + 21.5
32.3 + 23.2
700 + 1056
15.4 + 16.9
4.9 + 4.1
P
0.763
0.977
0.712
0.870
0.828
0.986
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Dengan uji statistik ANOVA tidak ada perbedaan yang bermakna asupan
lemak dan vitamin A antara tiga kelompok (p>0.05).
Rerata asupan mineral seperti zat besi pada kelompok dosis rendah+beta
karoten tertinggi (15.4 mg) dibandingkan 2 kelompok lainnya. Rerata asupan seng
85
pada tiga kelompok ditemukan sangat rendah yaitu ≤ 5 mg. Tampak asupan zat
besi dan seng pada tiga kelompok tidak berbeda nyata pada awal penelitian
(p>0.05)
Pada akhir penelitian rerata asupan energi dan protein tertinggi pada
kelompok dosis tinggi, seperti halnya pada awal penelitian. Rerata asupan energi
kelompok dosis tinggi sebesar 1474 kkal dan kelompok dosis rendah dan
kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 1412 kkal dan 1393 kkal. Rerata
kosumsi protein kelompok 1 yakni 47.3 gr sedangkan kelompok dosis rendah dan
dosis rendah+beta karoten yaitu sebesar 46.3 gr dan 43.3 gr. Tidak ditemukan ada
perbedaan yang bermakna rerata asupan energi dan protein antara tiga kelompok
pada akhir penelitian (p>0.05)(Tabel 15).
Tabel 15 Rerata Asupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Akhir
Penelitian
Asupan zat gizi
Energi (kkal)
Protein (gr)
Lemak (gr)
Vitamin A (μgRE)
Besi (mg)
Seng (mg)
Kelompok
DT
(n=45)
1474 + 535
47.3 + 14.9
53.1 + 33.2
862 + 1107
10.6 + 9.1
5.4 + 1.7
Kelompok
DR
(n=34)
1412+ 477
46.3 + 18.3
50.8 + 29.7
787 + 690
10.7 + 8.1
5.4 + 1.9
Kelompok
DRB
(n=35)
1393+ 518
43.3 + 16.5
47.1 + 27.7
906 + 1160
11.9 + 9.4
5.4 + 2.1
p
0.660
0.870
0.810
0.823
0.745
0.756
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Rerata asupan lemak kelompok dosis tinggi sebesar 53.1 gr, kelompok
dosis rendah sebesar 50.8 gr dan kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu 47.1
gr. Rerata asupan vitamin A kelompok dosis rendah+beta karoten tertinggi
dibandingkan 2 kelompok lainnya. Asupan vitamin A kelompok dosis
rendah+beta karoten yakni 906 μg RE; kelompok dosis rendah sebesar 787 μg
RE dan kelompok dosis tinggi sebesar 862 μg RE. Tidak ditemukan ada
perbedaan yang bermakna rerata asupan lemak dan vitamin A pada akhir
penelitian antara tiga kelompok (p>0.05).
Hasil wawancara menunjukkan bahwa baik pada awal atau akhir penelitian
hampir setiap hari contoh mengkonsumsi protein nabati seperti tempe dan tahu
86
dan kurang mengkonsumsi protein hewani. Selain itu ditemukan bahwa
konsumsi sayuran lebih tinggi pada akhir penelitian. Sayuran daun lebih banyak
dipilih seperti daun pepaya dan daun singkong dengan tujuan memperbanyak
produksi Air Susu Ibu.
Rerata asupan mineral besi dan seng relatif sama pada tiga kelompok.
Dengan uji ANOVA tidak ditemukan ada perbedaan asupan zat besi dan seng
antara tiga kelompok ((p>0.05).
Gambar 14 menunjukkan kecukupan energi, protein, besi dan seng masih di
bawah AKG yang dianjurkan pada awal penelitian. Hanya kecukupan vitamin A
untuk semua kelompok ditemukan mendekati AKG yang dianjurkan di Indonesia.
85 83
90
87
80
Tingkat Kecukupan (%)
70
60
54,2
60,2
53,6
51,5
56,1
54,4
DT
DR
DRB
59,3
49,1
50
44,9
40,3
44,5
39,2
40
30
20
10
0
Energi
Protein
Vit A
Besi
Seng
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 14 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada
Awal Penelitian
Tingkat kecukupan energi untuk tiga kelompok tergolong rendah yaitu di bawah
55%. Kecukupan protein dan besi ditemukan kurang dari 60% untuk semua
kelompok dan kecukupan seng semua kelompok di bawah 45%.
87
Hasil uji ANOVA tidak ditemukan ada perbedaan yang bermakna
kecukupan zat gizi, protein, vitamin A, besi dan seng antara ketiga kelompok
perlakuan (p>0.05).
Pada akhir penelitian, tingkat kecukupan zat gizi energi, protein dan mineral
besi dan seng masih di bawah AKG yang dianjurkan. Kecukupan vitamin A
semua kelompok mendekati AKG yang dianjurkan. Kecukupan energi tiga
kelompok kurang dari 62%. Kecukupan protein kelompok dosis tinggi, kelompok
dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten ditemukan sebesar 70.6%;
69.1% dan 64.7%. Kecukupan vitamin A semua kelompok berkisar dari 90%
sampai 97.2%. Kecukupan mineral besi dan seng juga rendah dari AKG yaitu di
bawah 40%. Tidak ditemukan ada perbedaan yang bermakna kecukupan energi,
protein, vitamin A, besi dan seng pada akhir penelitian antara tiga kelompok
(p>0.05) (Gambar 15).
Tingkat Kecukupan (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
97
90 95
DT
DR
DRB
70,6
62 59,1
58,8
69,1
64,7
37,3
33,3
38,7
33,6
Energi
Protein
Vit A
Besi
38,7
38,3
Seng
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta -karoten
Gambar 15 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada
Akhir Penelitian
Pada akhir penelitian (nifas) contoh pada tiga kelompok masih mempercayai
makanan dan minuman yang dipantang (food taboo) dikonsumsi selama masa
nifas. Makanan tersebut dipercaya dapat menimbulkan efek yang merugikan baik
88
bagi ibu maupun kepada bayi yang dilahirkan. Golongan makanan yang dipantang
diantaranya beberapa bahan makanan golongan karbohidrat, protein, sayuran,
buah-buahan dan makanan lain yang dirinci dalam Tabel 16 di bawah ini.
Tabel 16 Daftar Makanan dan Minuman yang Dipantang selama Masa Nifas
Golongan/
Bahan Makanan dan
Minuman
Golongan karbohidrat/
Kentang
Beras ketan
Ubi jalar, rebung
Talas
Golongan protein/
Ikan segar
Ikan asin
Telur
Daging ayam
Golongan sayuran/
Toge
Kubis dan sawi
Labu siam, dn talas
Kool
Golongan buah/
Jambu biji
Makanan pedas
Minuman es
Alasan Makanan dan Minuman Dipantang
Jalan lahir ibu akan gatal dan dikhawatirkan bayi juga
mengalami gatal serta pusar bayi akan keluar darah
Perut ibu jadi sakit dan pusar bayi tidak kering
Pusar bayi akan keluar darah
Bayi akan mengalami gatal-gatal dan pusar bayi tidak
kering
Makanan anyir (amis) menyebabkan ASI jadi amis
Ibu takut mengalami gatal-gatal, ASI jadi amis
dan jahitan pada ibu akibat melahirkan menjadi tidak
kering
Ibu ditakutkan mengalami gatal-gatal, selain itu agar
pusar bayi cepat kering
Pusar bayi akan keluar darah
Jalan lahir ibu akan gatal dan dikhawatirkan bayi juga
mengalami gatal dan mencret
ASI menjadi encer atau bening
Takut bayi akan gatal-gatal dan jahitan ibu sehabis
melahirkan tidak kering
Urin bayi berbau menyengat
Bayi dikawatirkan mengalami sembelit
Bayi dikhawatirkan mencret dan ASI tidak enak
Bayi akan menderita influenza
Bahan makanan yang dipantang dalam golongan karbohidrat seperti
kentang, beras ketan, ubi jalar dan talas. Bahan makanan dalam golongan protein
seperti telur, ikan dan daging ayam. Adapun golongan sayuran yang dipantang
ialah toge, kubis, kool dan daun talas. Semua bahan makanan tersebut sebagai
sumber energi, protein, mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh. Minuman
89
seperti es dipantang juga karena dipercaya mengakibatkan bayi akan menderita
influenza.
2. Asupan Iodium
Asupan iodium dihitung dari dua sumber yaitu dari konsumsi makanan seharihari dan konsumsi garam yang digunakan di rumah tangga. Asupan iodium dari
bahan makanan sehari diperoleh dari hasil wawancara makanan sehari dengan
menggunakan metode Recall 1 x 24 jam. Kemudian konsumsi makanan
dikonversikan kedalam zat gizi iodium dengan menggunakan Daftar Komposisi
Iodium dari bahan makanan di daerah endemik GAKI (Purwaningsih 1997).
Konsumsi garam per kapita per hari dikumpulkan dengan cara wawancara dengan
contoh untuk menjaring jumlah garam yang digunakan dalam masakan dalam sehari
setelah itu dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Kemudian konsumsi garam
perkapita per hari dikalkulasikan dengan hasil analisa kadar iodium (KIO3)garam
yang dilakukan dengan metode titrasi. Hasil analisis kadar iodium garam secara
kuantitatif terlampir (Lampiran 19).
Hasil penelitian tentang asupan iodium dari makanan pada awal dan akhir
penelitian ditunjukkan pada Gambar 16 di bawah ini. Pada awal penelitian, ibu
hamil kelompok dosis tinggi mengkonsumsi iodium dari bahan makanan sebanyak
23.9 μg. Asupan iodium dari bahan makanan kelompok dosis rendah dan kelompok
dosis rendah+beta karoten yakni sebanyak 38.4 μg dan 39.9 μg. Tidak ada
perbedaan asupan iodium dari makanan sehari antar tiga kelompok pada awal
penelitian (p>0.05).
Pada akhir penelitian, asupan iodium dari makanan menurun dibandingkan
pada awal penelitian. Asupan iodium dari bahan makanan kelompok dosis tinggi
menjadi 23.0 μg sedangkan kelompok dosis rendah dan kelompok dosis
rendah+beta karoten ditemukan sebesar 26.4 μg dan 29.5 μg. Asupan iodium dari
makanan antara tiga kelompok pada akhir penelitian secara statistik tidak berbeda
(p>0.05).
Gambaran asupan iodium dari garam selama penelitian juga ditunjukkan pada
Gambar 16. Garam yang beredar di daerah penelitian ada tiga macam yaitu garam
bata, garam halus dan garam curah (krosok) yang tidak mengandung iodium. Garam
90
tersebut dapat diperoleh dari warung dekat pemukiman atau dari pasar tradisional.
Rentangan konsumsi garam per kapita perhari di tiga kelompok pada awal
penelitian adalah 5.5-12.5 gram dengan rerata 9.1 gram. Asupan iodium dari garam
lebih tinggi dari pada asupan iodium dari bahan makanan. Pada awal penelitian
asupan iodium garam pada kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis rendah
menunjukkan angka yang sama yaitu 155.1 μg sedangkan kelompok dosis
rendah+beta karoten ditemukan lebih rendah yakni 148.8 μg.
Pada akhir penelitian asupan iodium dari garam pada kelompok dosis tinggi
sebesar 148.1 μg dan kelompok dosis rendah menjadi 156.6 μg. Asupan iodium
garam kelompok dosis rendah+beta karoten ditemukan sebesar 142.6 μg. Uji
statistik menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna asupan iodium dari garam
Asupan iodium (μg)
selama penelitian pada tiga kelompok (p>0.05).
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
23,9
makanan
garam
38,4
39,9
155,1 155,1
DT
DR
148,8
DRB
Awal
23
148,1
DT
26,4
29,5
156,6
DR
142,6
DRB
Akhir
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 16 Asupan Iodium dari Garam dan Bahan Makanan Contoh
pada Tiga Kelompok
Tingkat kecukupan total asupan iodium sehari contoh pada awal dan akhir
penelitian diperoleh dari asupan iodium sehari yang berasal dari bahan makanan
ditambah asupan iodium dari garam sehari. Kemudian total asupan iodium sehari
91
dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Adapun
perinciannya terlihat dalam Gambar 17 di bawah ini. Angka Kecukupan Gizi
(AKG) iodium yang dianjurkan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII
tahun 2004 adalah sebesar 200 μg untuk wanita hamil (Kartono & Soekatri 2004).
Angka Kecukupan iodium untuk ibu hamil telah mempertimbangkan kebutuhan
iodium ibu dan kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin.
Pada awal dan akhir penelitian kecukupan total asupan iodium sehari contoh
pada tiga kelompok hampir mendekati AKG yang dianjurkan (Gambar 17). Pada
awal, kecukupan asupan iodium total kelompok dosis tinggi sekitar 89%, dan
pada kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten yaitu 91% dan 93%.
Tingkat Kecukupan (%)
100
90
89
91
93
90
92
91
DT
80
DR
DRB
70
60
Awal
Akhir
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 17 Tingkat Kecukupan Iodium Total Contoh pada tiga Kelompok
Dibandingkan AKG.
Di akhir penelitian tidak ada perubahan yang mencolok kecukupan total
asupan iodium yang diamati, karena kecukupan iodium masih sekitar 90%
untuk semua kelompok. Tidak ditemukan ada perbedaan yang signifikan
kecukupan asupan total iodium pada awal dan akhir penelitian antar tiga
kelompok yang dapat dilihat pada Gambar di bawah ini (p>0.05).
A
92
3. Kadar Iodium Garam Rumah Tangga Contoh
Garam yang digunakan di rumah tangga terdiri dari tiga jenis yaitu garam
halus, garam bata dan garam curah (krosok). Merk garam yang digunakan rumah
tangga contoh bermacam-macam baik produksi dari Jawa Tengah atau dari Propinsi
lainnya (Lampiran 20). Garam rumah tangga dibeli dari warung terdekat dengan
rumah contoh atau dibeli dari pasar tradisional. Kemudian garam rumah tangga
contoh dianalisa kandungan iodium (KIO3) dengan metoda titrasi (Lampiran 19).
Gambar 18 menunjukkan pada awal penelitian, proporsi terbesar contoh
menggunakan garam beriodium dengan kadar ≥30-80 ppm sebanyak 70% pada
kelompok dosis rendah. Garam curah yang tidak mengandung iodium masih
dikonsumsi oleh sekitar 2% contoh kelompok dosis tinggi. Garam curah biasanya
digunakan untuk campuran makanan ternak. Disamping itu ditemukan garam
beriodium dengan kadar >80 ppm yang digunakan contoh pada tiga kelompok
dalam masakan sehari-hari dengan proporsi kurang dari 10% untuk semua
kelompok.
Pada akhir penelitian, proporsi terbesar contoh tetap menggunakan garam
beriodium dengan kadar yang dianjurkan (≥ 30-80 ppm). Proporsinya pada
kelompok dosis rendah tertinggi yaitu 67%, sedangkan 2 kelompok lainnya lebih
rendah yaitu kelompok dosis tinggi sebesar 62% dan kelompok dosis rendah+beta
karoten sebesar 66%. Garam curah yang tidak mengandung iodium masih
digunakan oleh 2% contoh pada kelompok dosis tinggi. Selain garam curah yang
tidak beriodium masih digunakan, garam beriodium dengan kadar iodium lebih
rendah (1-29 ppm) atau lebih tinggi (> 80 ppm) dari kandungan yang dianjurkan
dijumpai masih dipilih oleh contoh pada tiga kelompok. Hal ini dapat terlihat dari
sepertiga contoh dari tiga kelompok mengkonsumsi garam dengan kandungan
iodium sebesar 1-29 ppm dan <6% contoh pada tiga kelompok menggunakan garam
dengan kandungan >80-140 ppm. .
93
Proporsi contoh (%)
100%
5
5
6
90%
> 80 ppm
80%
30-80 ppm
4
4
6
1-29 ppm
70%
0 ppm
60%
50%
61
70
60
62
67
66
32
25
34
32
29
28
2
0
0
2
0
0
DT
DR
DRB
40%
30%
20%
10%
0%
Awal
DT
DR
DRB
Akhir
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 18 Proporsi Contoh pada Tiga Kelompok Menggunakan Garam
dengan Bermacam Kadar Iodium
4. Kepatuhan Konsumsi Suplemen Minyak Iodium dan Beta Karoten
Suplemen minyak iodium dapat mensuplai iodium untuk kebutuhan ibu dan
janin selama hamil. Analisa kandungan iodium pada suplemen iodium mendapatkan
hasil sebesar 180-190 mg per kapsul. Pada kelompok dosis tinggi, kapsul minyak
iodium dengan dosis iodium 180-190 mg diberikan hanya 1 kali selama hamil yang
dapat melindungi ibu dari kekurangan iodium selama 6 bulan. Pada kelompok dosis
rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten, minyak iodium dengan dosis 30
mg per bulan diberikan selama 6 bulan. Selama 6 bulan jumlah iodium yang
disuplai kedua kelompok ini sama dengan jumlah iodium yang disuplai kelompok
dosis tinggi.
94
Pengamatan dilapangan ditemukan kepatuhan mengkonsumsi kapsul minyak
iodium kelompok dosis tinggi mencapai 100%. Kepatuhan mengkonsumsi kapsul
minyak iodium kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten
juga sebesar 100%. Hal ini dicapai karena contoh tiga kelompok diharuskan minum
kapsul minyak iodium disaksikan peneliti yang bertugas membagikan suplemen.
Suplemen beta karoten yang diberikan pada kelompok dosis rendah+beta
karoten sebesar 30 mg per bulan. Kepatuhan mengkonsumsi kapsul beta karoten
pada kelompok ini dicapai 100% juga. Distribusi suplemen beta karoten juga
dilakukan peneliti dan contoh diharuskan minum kapsul beta karoten yang
disediakan disaksikan oleh peneliti.
D. Asupan Sianida
Asupan goitrogenik yang diamati adalah asupan sianida. Sianida banyak
terdapat dalam bahan makanan seperti singkong, daun singkong, sawi dll. Asupan
sianida dalam sehari diperoleh dengan cara mewawancarai contoh jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi sehari dengan menggunakan metode Recall 1 X 24 jam.
Kemudian kandungan sianida di dalam bahan makanan tersebut dihitung dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan yang mengandung sianida yang
dikembangkan oleh Dahro (2001). Daftar Komposisi Bahan Makanan yang
mengandung sianida dari bahan makanan mentah maupun makanan yang sudah
diolah.
Gambar 19 menunjukkan pada awal penelitian rerata asupan sianida per hari
pada kelompok dosis tinggi sebesar 7.4 mg sedangkan kelompok dosis rendah dan
dosis rendah+beta karoten relatif sama yaitu sekitar 5 mg per hari. Pada akhir
penelitian asupan sianida per hari pada kelompok dosis tinggi menjadi 8.3 mg; dosis
rendah yaitu 7.5 mg dan pada kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi 10 mg.
Tidak ditemukan ada perbedaan yang signifikan rerata asupan sianida per hari antar
tiga kelompok baik pada awal maupun akhir penelitian (p>0.05).
95
10
Asupan sianida (mg)
10
9
8
8,3 7,5
DT
DR
DRB
7,4
7
6
5
5,1
5
4
3
2
1
0
Awal
Akhir
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 19 Rerata Asupan Sianida Contoh pada Tiga Kelompok
Berikut ini asupan sianida contoh dikategorikan menjadi dua yaitu <10 mg
dan ≥10 mg per hari. Asupan sianida <10 mg dikatakan normal dan ≥10 mg
disebut melebihi batas ambang normal. Proporsi contoh yang mengkonsumsi
sianida <10 mg atau ≥10 mg disajikan dalam Gambar 20 di bawah ini.
Pada awal penelitian, lebih dari 60% contoh tiga kelompok mengkonsumsi
sianida <10 mg per hari dan kurang dari sepertiga contoh dari masing-masing
kelompok mengkonsumsi sianida melebihi ambang batas normal (>=10 mg).
Pada akhir penelitian, proporsi contoh yang mengkonsumsi sianida<10 mg
per hari pada tiga kelompok lebih dari 60% seperti halnya pada awal penelitian.
Sedangkan proporsi contoh yang mengkonsumsi sianida ≥10mg per hari
mempunyai rentangan dari 22% sampai dengan 36%. Tampak tidak ada
perbedaan asupan sianida tiga kelompok pada awal dan akhir penelitian (p>0.05).
96
100%
18
90%
Proporsi contoh (%)
80%
33
24
36
29
22
70%
60%
50%
82
40%
30%
67
76
64
71
78
>=10mg
<10mg
20%
10%
0%
DT
DR
DRB
DT
DR
DRB
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 20 Proporsi Contoh pada Tiga Kelompok menurut Asupan Sianida
<10 mg dan ≥ 10mg
E. Pengetahuan tentang GAKI
Pengetahuan GAKI ibu hamil didapat dari beberapa pertanyaan tentang
pengetahuan GAKI yang diajukan kepada contoh. Pertanyaan tersebut meliputi
sejauh mana pengenalan ibu terhadap permasalahan GAKI yaitu tentang ciri-ciri
atau tanda GAKI atau gondok endemik, akibat dan penyebab GAKI, pengetahuan
tentang sianida dan bagaimana upaya pencegahannya termasuk apakah ibu
memanfaatkan garam yang beredar mengandung iodium.
Jawaban ibu hamil dan ibu nifas kemudian diberi skor. Rerata total skor
pengetahuan GAKI tiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 17. Rerata total skor
kelompok dosis tinggi dan dosis rendah relatif sama yaitu sekitar 5 sedangkan
kelompok dosis rendah+beta karoten sekitar 6. Pada akhir penelitian rerata total
skor ketiga kelompok relatif sama yaitu sekitar 5. Rerata total skor pengetahuan
97
GAKI baik pada awal dan akhir penelitian pada tiga kelompok ditemukan tidak
berbeda bermakna (p>0.05)
Tabel 17 Rerata Total Skor Pengetahuan GAKI Contoh pada Tiga Kelompok
menurut Waktu Pengukuran
Waktu
Kelompok
Kelompok
Kelompok
P
DT
DR
DRB
Pengukuran
(n=45)
(n=34)
(n=35)
Awal
5.6 + 1.5
5.3 + 1.7
6.1+ 1.4
0.102
Akhir
5.3 + 1.2
5.4 + 1.4
5.6 + 1.0
0.618
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Rentangan skor= awal penelitian 3-9 dan akhir penelitian 3-7
Kemudian tingkat pengetahuan GAKI disajikan pada Tabel 18. Tingkat
pengetahuan GAKI dianggap cukup dengan nilai total skor ≥ 6 dan tingkat
pengetahuan GAKI kurang bila total skor yang dicapai <6. Pada awal, proporsi
pengetahuan GAKI cukup ditemukan relatif sama pada kelompok dosis tinggi;
kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu sebesar
53%; 50% dan 54%. Hampir separuh ibu hamil di tiap kelompok mempunyai
pengetahuan GAKI yang dikategorikan cukup.
Tabel 18 Sebaran Pengetahuan GAKI Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu
Pengukuran
Waktu
Pengetahuan Kelompok Kelompok Kelompok
Pengukuran
GAKI
DT
DR
DRB
p
(n=45)
(n=34)
(n=35)
n
%
n
%
N
%
Awal
Cukup
24
53
17
50
19
54
0.885
Akhir
Kurang
Cukup
21
23
47
51
17
17
50
50
16
18
46
51
0.960
Kurang
22
49
17
50
17
49
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Memasuki akhir penelitian dijumpai 51%; 50% dan 51% contoh pada
kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten mempunyai
pengetahuan GAKI yang cukup dan gambaran ini tidak berbeda dengan
98
pengetahuan contoh pada awal penelitian. Tidak ditemukan ada perbedaan yang
signifikan pengetahuan GAKI ibu pada awal dan akhir penelitian antara tiga
kelompok (p>0.05).
Ditinjau lebih dalam terhadap pengetahuan tentang garam beriodium
ditemukan pada awal penelitian 83% kelompok iodium dosis tinggi, 87%
kelompok iodium dosis rendah dan 85% kelompok iodium dosis rendah+beta
karoten mengetahui manfaat garam beiodium. Pada akhir penelitian proporsi
contoh yang mengetahui manfaat garam beriodium pada tiga kelompok relatif
sama dengan pada awal penelitian.
F. Kadar Biokimia Darah dan Urin Contoh pada Tiga Kelompok
1. Profil Rerata Serum TSH, FT4, Vitamin A, dan Hemoglobin
Gambaran rerata kadar biokimia contoh pada tiga kelompok pada awal
penelitian disajikan pada Tabel 19 berikut. Rerata kadar serum hormon TSH,
FT4 dan hemoglobin contoh pada awal penelitian relatif sama. Serum TSH
kelompok dosis tinggi; kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta
karoten sebesar 3.69 mU/ml; 3.19 mU/ml dan 3.33 mU/ml. Serum FT4 untuk
tiga kelompok yaitu 1.58 ng/dl pada kelompok dosis tinggi; 1.59 ng/dl pada
dosis rendah dan 1.55 ng/dl pada kelompok dosis rendah+beta karoten. Rerata
kadar hemoglobin kelompok dosis tinggi sebesar 11.4 g%, dosis rendah 11.2 g%
dan dosis rendah+beta karoten yakni 11.5 g%. Tidak ada perbedaan yang nyata
rerata serum TSH, FT4 dan hemoglobin antar kelompok (p>0.05).
Tabel 19 Rerata Contoh pada Tiga Kelompok menurut Variabel Biokimia
Awal Penelitian
Variabel
Kelompok
Kelompok
Kelompok
Biokimia
DT
DR
DRB
(n=45)
(n=34)
(n=35)
TSH (mU/ml)
3.69 + 2.68
3.19 + 2.55
3.33 + 1.40
FT4 (ng/dl)
1.58 + 0.36
1.59 + 0.37
1.55 + 0.37
Hb (g%)
11.4 + 1.2
11.2 + 1.0
11.5+ 1.1
0.3790
+
0.4080
0.2961
+
0.4067
0.2095 + 0.2572
Vit A (μmol/L)
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
pada
p
0.54
0.88
0.49
0.25
99
Gambaran rerata serum vitamin A pada kelompok dosis tinggi sebesar
0.3790 μmol/L dan lebih tinggi dari pada 2 kelompok lainnya yaitu kelompok
dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 0.2961 μmol/L
dan 0.2095 μmol/L. Walaupun demikian tidak ada perbedaan rerata serum
vitamin A antara tiga kelompok pada awal penelitian (p>0.05).
Hasil analisa biokimia darah pada akhir penelitian, dipaparkan pada Tabel
20 berikut. Penurunan diamati terjadi pada semua kelompok. Serum TSH pada
kelompok dosis tinggi menjadi 2.30 mU/ml, dosis rendah dan dosis rendah+beta
karoten berubah menjadi 1.60 mU/ml dan 1.59 mU/ml. Ditemukan ada perbedaan
yang nyata rerata serum TSH antara tiga kelompok pada akhir penelitian (p<0.05).
Tabel 20 Rerata Contoh pada Tiga Kelompok menurut Variabel Biokimia pada
Akhir Penelitian
Variable
Kelompok
Kelompok
Kelompok
p
Biokimia
DT
DR
DRB
(n=45)
(n=34)
(n=35)
TSH (mU/ml)
2.30 + 1.53
1.60 + 0.84
1.59 + 0.92
0.02*
FT4 (ng/dl)
1.17 + 0.36
1.16 + 0.35
1.13 + 0.35
0.91
Hb (g%)
11.9 + 1.4
11.8 + 1.4
11.8 + 1.7
0.94
1.0640
+
0.3371
1.2449
+
2.1170
1.2578
+
2.1839
Vit A (μmol/L)
0.57
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
*= signifikan (p<0.05)
Serum FT4 pada akhir penelitian mengalami penurunan juga bila
dibandingkan dengan keadaan pada awal penelitian. Serum FT4 pada tiga
kelompok relatif sama. Demikian juga kadar serum hemoglobin relatif sama juga
antara tiga kelompok perlakuan. Tidak ada perbedaan antara rerata serum FT4 dan
hemoglobin antar tiga kelompok pada akhir penelitian (p>0.05). Tidak ditemukan
kasus hipertiroid dari pemeriksaan FT4 pada masa nifas.
Serum vitamin A meningkat untuk semua kelompok. Kadar serum vitamin
A kelompok dosis tinggi; kelompok dosis rendah dan kelompok dosis
rendah+beta karoten menjadi 1.0640 μmol/L; 1.2449 μmol/L dan 1.2578
μmol/L. Tidak ada perbedaan kadar serum vitamin A pada akhir penelitian pada
tiga kelompok perlakuan (p>0.05).
100
Kadar hemoglobin pada akhir penelitian pada tiga kelompok relatif sama.
Berdasarkan batasan anemia pada ibu nifas yaitu <12 g% maka rerata
hemoglobin ketiga kelompok dapat dikategorikan mengalami anemia.
2. Kurva Serum TSH Contoh pada Tiga Kelompok
Pengukuran serum TSH yang diambil dari 4 titik yaitu awal penelitian
(trimester 1), trimester 2, trimester 3 (6 bulan intervensi) dan akhir penelitian
(nifas) kemudian disajikan dalam bentuk kurva (Gambar 21).
Rerata kadar serum TSH pada kelompok dosis tinggi
menunjukkan
penurunan sampai dengan akhir penelitian. Bila disimak lebih lanjut bahwa serum
TSH menurun pada trimester 2, kemudian meningkat pada trimester 3. Setelah 6
bulan intervensi kadar serum TSH turun sampai akhir penelitian.
Penurunan kadar serum TSH kelompok dosis rendah dan kelompok dosis
rendah+beta karoten terus menurun seiring dengan pertambahan umur kehamilan.
Setelah 6 bulan intervensi, serum TSH terus turun sampai akhir penelitian.
4
μU/m
DT
DR
DRB
3,5
Kadar serum TSH
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
awal
trm2
trm3
akhir
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 21 Rerata Serum TSH Contoh Tiga Kelompok menurut Waktu
Pengukuran
101
Pada umumnya retata serum TSH contoh semakin menurun pada trimester 2
dan trimester 3 dan penurunan berlanjut sampai akhir penelitian Penurunan ini
menunjukkan perbaikan kadar serum TSH. Pada akhir penelitian rerata serum
TSH contoh kelompok dosis tinggi masih diatas 2 μU/ml sedangkan kelompok
dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sudah mencapai di bawah
2 μU/ml.
Rerata serum TSH juga disajikan dalam Tabel 21. Penyajian ini dibuat agar
nilai rerata dan proporsi penurunan serum TSH jelas tergambar. Pada awal
penelitian, rerata serum TSH pada tiga kelompok relatif sama.
Pada trimester 2, rerata serum TSH tertinggi yaitu pada kelompok dosis
tinggi sebesar 2.74 μU/ml. Nilai rerata serum TSH kelompok dosis rendah dan
kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi 2.14 μU/ml dan 2.30 μU/ml. Bila
diamati, penurunan serum TSH kelompok dosis tinggi; kelompok dosis rendah
dan kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu sebesar 25.7%; 33% dan 31%.
Pada trimester 3, nilai rerata serum TSH kelompok dosis tinggi
tetap
tertinggi dan nilainya sama dengan nilai rerata serum TSH trimester 2. Sedangkan
rerata serum TSH kelompok dosis rendah
dan kelompok dosis rendah+beta
karoten menurun bila dibandingkan trimester 2.
Pada akhir penelitian, rerata serum tertinggi masih pada kelompok dosis
tinggi yaitu sebesar 2.30 μU/ml, sedangkan kelompok dosis rendah dan kelompok
dosis rendah+beta karoten menjadi 1.60 μU/ml dan 1.59 μU/ml. Dibandingkan
dengan kadar serum TSH pada awal penelitian, penurunan kadar serum TSH pada
akhir penelitian terbesar pada kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 52%,
diikuti kelompok dosis rendah sebanyak 49% dan terkecil kelompok dosis tinggi
sebesar 38%
Hasil uji statistik ANOVA antara rerata serum TSH pada tiga kelompok
pada awal penelitian, trimester 2 dan trimester 3 menunjukkan bahwa tidak
ditemukan ada perbedaan yang signifikan (p>0.05). Namun hasil uji ANOVA
pada akhir penelitian (nifas) menemukan ada perbedaan yang bermakna nilai
rerata serum TSH antara tiga kelompok perlakuan (p<0.05). Lebih lanjut dengan
uji Multiple Comparison Least Significant Difference (LSD) membuktikan bahwa
rerata serum TSH kelompok dosis tinggi terhadap kelompok dosis rendah dan
102
kelompok dosis tinggi terhadap kelompok dosis rendah+beta karoten berbeda
secara sikifikan (p<0.05).
Tabel 21 Rerata Serum TSH (μU/ml) Contoh pada Tiga Kelompok menurut
Waktu Pengukuran
Pengukuran
Kelompok
Kelompok
Kelompok
F
P
DT
DR
DRB
(n=45)
(n=34)
(n=35)
Awal
3.69±2.68
3.19±1.75
3.33±1.4
0.608
0.546
Trimester 2
2.74±2.03
2.14±1.18
2.30±1.13
1.552
0.217
Trimester 3
2.77±2.01
2.01±1.24
2.20±1.30
2.186
0.118
Akhir
2.30±1.50
1.60±0.84 b
1.59±0.92
4.297
0.016
a
b
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta -karoten
*=Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (p<0.05) dengan uji Multiple Comparison LSD
3. Gambaran Serum TSH menurut Beberapa Cut-Off Serum TSH
Di bawah ini serum TSH contoh dari awal penelitian sampai akhir penelitian
dikelompokkan ke dalam tiga cut-off serum TSH yaitu TSH ≥2 μU/ml ; TSH ≥3.9
μU/ml dan TSH ≥5 μU/ml. Pengelompokkan ini dibuat berdasarkan risiko yang
ditimbulkan. TSH ≥2 μU/ml menurut Mariot et al. (1996) dan TSH ≥3.9 μU/ml
menurut Budiman (1998) pada awal kehamilan berisiko timbulnya hipotiroid
selama kehamilan. Tetapi TSH ≥5 μU/ml pada awal kehamilan menurut Hartono
(2001) berisiko melahirkan bayi yang mempunyai gangguan akibat kekurangan
iodium.
Berdasarkan cut-off serum TSH ≥2 μU/ml, pada awal penelitian hanya 28%
kelompok dosis tinggi, 20% kelompok dosis rendah dan 26% kelompok dosis
rendah+beta karoten yang berisiko. Namun pada akhir penelitian proporsi contoh
yang mempunyai serum TSH ≥2 μU/ml pada kelompok dosis tinggi, dosis
rendah dan dosis rendah+beta karoten turun menjadi 21% ; 9% dan 9% (Tabel
22).
Berdasarkan cut-off TSH ≥3.9 μU/ml, pada awal penelitian proporsi contoh
yang berisiko pada kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta
karoten adalah sebesar 15%; 9% dan 8%. Penurunan proporsi contoh yang
103
berisiko pada akhir penelitian yaitu pada kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan
dosis rendah+beta karoten menjadi 6% ; 1% dan 1%.
Tabel 22 Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok menurut Cut-Off Serum TSH
(μU/ml) pada Awal dan Akhir Penelitian
Serum
Awal
Akhir
TSH
DT
DR
DRB
DT
DR
DRB
(μU/ml)
(n=45)
(n=34)
(n=35)
(n=45)
(n=34)
(n=35)
≥2
33
24
29
24
10
11
(73%)
(71%)
(82%)
(53%)
(29%)
(31%)
≥3.9
16
11
10
7
1
1
(36%)
(32%)
(29%)
(15%)
(3%)
(3%)
≥5
8
4
5
4
0
0
(18%)
(12%)
(14%)
(9%)
(0%)
(0%)
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Cut-off serum TSH:
≥2 μU/ml (Orgiazzi & Madec 1996); ≥3.9 μU/ml (Budiman et al. 1998);
≥5 μU/ml (Hartono 2001)
Menurut cut-off TSH ≥5 μU/ml, proporsi contoh yang berisiko pada awal
penelitian semakin kecil dibandingkan dengan kedua cut-off lainnya. Proporsinya
pada kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten adalah
18%, 12% dan 14%. Pada akhir penelitian proporsi contoh yang berisiko
(≥5μU/ml) semakin kecil yaitu 9% pada kelompok dosis tinggi dan tidak ada
contoh yang berisiko pada dua kelompok lainnya.
4. Ekskresi Iodium Urin Contoh pada Tiga Kelompok
Berikut pada Gambar 22 terlihat median kadar EIU antar kelompok selama
penelitian. Nilai median EIU pada contoh awal penelitian pada kelompok dosis
tinggi (81 μg/L), kelompok dosis rendah (99 μg/L) dan kelompok dosis
rendah+beta karoten (98 μg/L) dan dengan uji statistik Kruskalwalis tidak
ditemukan ada perbedaan yang bermakna antar kelompok (p>0.05).
Setelah 1 bulan intervensi median EIU kelompok dosis tinggi, kelompok
dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi 506 μg/L; 203
μg/L dan 223 μg/L dan ternyata ada perbedaan yang bermakna antar kelompok
(p<0.05).
104
Setelah 5-6 bulan intervensi, EIU pada tiga kelompok naik 2 kali
dibandingkan EIU awal. EIU pada kelompok dosis tinggi, kelompok dosis
rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 234 μg/L; 210 μg/L
dan 276 μg/L. Tidak ditemukan ada perbedaan yang bermakna EIU antara tiga
kelompok perlakuan (p>0.05).
Setelah 6 bulan intervensi (akhir penelitian=nifas) nilai median EIU pada
kelompok dosis rendah
dan dosis rendah+beta karoten naik sedangkan pada
kelompok dosis tinggi relatif tetap sama dengan nilai median EIU pada awal
penelitian. Kadar EIU kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten
meningkat menjadi 126 μg/L dan 119 μg/L sedangkan dosis tinggi yaitu sebesar
88 μg/L. Pada akhir penelitian tidak ada perbedaan nilai median EIU antar
kelompok (p>0.05).
600
Kadar EIU (μg/L)
500
DT
DR
DRB
400
300
200
100
awal
1 bln
5-6 bln
akhir
0
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 22 Kadar EIU Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu
Pengukuran.
105
Tampak kecenderungan pola EIU pada kelompok dosis tinggi meningkat
pada satu bulan intervensi kemudian menurun sampai dengan 5-6 bulan
intervensi dan akhirnya menurun terus pada akhir penelitian sampai mencapai
nilai median EIU seperti semula pada awal penelitian. Ternyata nilai median EIU
kelompok dosis rendah pada akhir penelitian meningkat sebanyak 27%
dibandingkan dengan keadaan awal. Demikian juga dengan EIU kelompok dosis
rendah+beta karoten pada akhir penelitian meningkat 21% dibandingkan dengan
keadaan awal penelitian
5. Kadar Hemoglobin Contoh pada Tiga Kelompok
Pada awal penelitian, contoh ketiga kelompok mempunyai rerata kadar
hemoglobin relatif sama yaitu sekitar 11.0 mg/dl. Demikian halnya rerata kadar
hemoglobin pada akhir penelitian juga relatif sama. Tidak ada perbedaan yang
signifikan rerata hemoglobin antar kelompok baik pada awal maupun akhir
penelitian (p>0.05).
Penelitian ini tidak memberikan suplemen tablet besi, namun tidak dapat
dihindarkan bahwa selama hamil contoh di desa masing-masing mendapatkan 90
buah tablet besi yang dibagikan oleh bidan desa. Pembagian tablet besi selama
hamil merupakan program pemerintah dalam penanggulangan anemia pada ibu
hamil. Keterbatasan penelitian ini ialah tidak dapat mengumpulkan data compliance
konsumsi tablet besi.
Pada Tabel 23 dapat diperoleh gambaran contoh yang mengalami anemia.
Proporsi anemia pada awal penelitian pada kelompok dosis tinggi sebesar 40 %;
kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 35 %
dan 32%. Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa proporsi anemia meningkat
pada akhir penelitian. Hal ini terlihat dari proporsinya pada kelompok dosis tinggi
sebesar 56%; kelompok dosis rendah 41% dan kelompok dosis rendah+beta
karoten menjadi 39%. Peningkatannya pada kelompok dosis tinggi sebesar 16%,
kelompok dosis rendah menjadi 6% dan kelompok dosis rendah+beta karoten
sebesar 7% bila dibandingkan dengan proporsi pada awal penelitian.
106
Tabel 23 Rerata Kadar Hemoglobin dan Proporsi Anemia Contoh pada
Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran
Pengukuran
Rerata Hb (g%)
Awal
Akhir
Proporsi anemia
Awal
Akhir
Kelompok
DT
(n=45)
11.4 ± 1.2
11.9 ± 1.4
40
56
Kelompok
DR
(n=34)
Kelompok
DRB
(n=35)
P
11.2 ± 0.0
11.8 ± 1.4
11.5 ± 1.1
11.9 ± 1.7
0.486
0.943
35
41
32
39
0.806
0.345
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Anemia *ibu hamil : Hb<11 g%. **ibu nifas : Hb<12 g%
G. Hasil Persalinan pada Tiga Kelompok (TSH Neonatal, BBLR, Status
Gizi dan Perkembangan Bayi )
1. Karakteristik Bayi Pada Tiga Kelompok
Karakteristik bayi menurut kelompok perlakuan diamati dan hasilnya
dipaparkan pada Tabel 24 di bawah ini. Pada tiap kelompok proporsi bayi berjenis
kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Bayi sebagian besar
dilahirkan secara normal, walaupun ada kasus dengan tindakan (operasi atau
vacum) namun proporsinya sangat kecil.
Hampir semua ibu memberikan kolostrum kepada bayi dan tidak
membuangnya. Kecil sekali proporsi ibu yang membuang kolostrum.
Bidan desa tercatat sebagai penolong persalinan yang paling dicari di desa
hal ini terlihat dari >50% kelahiran bayi ditolong oleh bidan desa. Ditempat
kedua, penolong persalinan adalah dukun beranak dan dokter terakhir dipilih oleh
ibu apabila kehamilannya berisiko tinggi.
Rumah contoh yang jauh dari polindes, maka dipastikan bahwa penolong
persalinan adalah dukun beranak. Kemudian keesokan harinya dilaporkan ke
bidan desa. Bidan desa segera mengunjungi contoh yang telah bersalin untuk
mengecek kondisi kesehatannya. Dari semua contoh, ditemukan 5 orang contoh
persalinannya dilakukan di rumah sakit. Hal ini disebabkan beberapa faktor
107
seperti contoh
mengalami perdarahan dan umur kandungan contoh yang
mencapai usia kehamilan lebih dari 40 minggu.
Tabel 24 Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok berdasarkan Karakteristik
Bayi Lahir dan Cara Persalinan
Variabel
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kolostrum
Diberi kepada bayi
Dibuang
Cara persalinan
Normal
Operasi, vacuum
Penolong persalinan
Dukun
Bidan
Dokter
Kelompok
DT
(n=45)
n
%
Kelompok
DR
(n=34)
n
%
Kelompok
DRB
(n=35)
n
%
23
22
51
49
20
14
58
42
21
14
61
39
42
3
93
7
34
0
100
0
35
0
100
0
43
2
96
4
33
1
97
3
31
4
89
11
15
26
4
33
58
9
14
19
1
41
56
3
10
19
6
34
53
13
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
2. Berat Bayi Lahir (BBLR) pada Tiga Kelompok
Berat bayi lahir tiga kelompok dapat dilihat pada Gambar 23 di bawah ini.
Proporsi bayi berat lahir rendah (< 2500 gram) terbanyak pada kelompok dosis
tinggi sebesar 13%, pada kelompok dosis rendah sekitar 9% dan pada kelompok
dosis rendah+beta karoten tidak ditemukan berat bayi lahir rendah. Bila dihitung
rerata berat badan bayi lahir pada kelompok dosis tinggi ditemukan sebesar 3.07
+ 0.8 kg; kelompok dosis rendah sebesar 3.17 + 0.6 kg dan pada kelompok dosis
rendah+beta karoten yaitu 3.10 + 0.9 kg. Uji ANOVA membuktikan tidak ada
perbedaan rerata berat badan bayi lahir antara tiga kelompok perlakuan (p>0.05).
108
14
13
Proporsi bayi BBLR (%)
12
10
9
8
6
4
2
0
0
DT
DR
DRB
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 23 Proporsi Bayi BBLR pada Tiga Kelompok
Proporsi bayi BBLR menurut kelompok perlakuan ditampilkan kembali
berdasarkan kadar serum TSH contoh pada awal penelitian (Gambar 24). Hal ini
dilakukan untuk melihat outcome persalinan ditinjau dari kadar serum TSH awal.
Proporsi BBLR terbanyak dengan menggunakan cut-off serum TSH awal ≥2
μU/ml dan ≥3.9 μU/ml dan tidak ditemukan kasus bayi BBLR dengan
menggunakan cut-off serum TSH awal ≥5 μU/ml. Dengan cut-off TSH ≥2.0
μU/ml, proporsi bayi BBLR ditemukan sebesar 11% pada kelompok dosis tinggi
dan 9% pada kelompok dosis rendah. Bila cut-off dinaikkan menjadi 3.9 μU/ml,
proporsi BBLR menjadi kecil yaitu masing-masing 2% pada kelompok dosis
tinggi dan dosis rendah. Tidak ditemukan kasus bayi BBLR pada kelompok dosis
rendah+beta karoten dengan menggunakan ketiga cut-off tersebut.
Proporsi bayi BBLR (%)
109
12
11
10
9
8
6
4
2
2
0
2
0
0
DT
DR
DRB
THS≥2 μU/ml
DT
DR
DRB
THS≥3,9 μU/ml
0
0
DT
DR
0
DRB
THS≥5,0 μU/ml
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Cut-off serum TSH:
≥2 μU/ml (Orgiazzi & Madec 1996); ≥3.9 μU/ml (Budiman et al. 1998);
≥5 μU/ml (Hartono 2001)
Gambar 24 Proporsi Bayi BBLR pada Tiga Kelompok menurut Cut-Off
Serum TSH Contoh pada Awal Penelitian
3. Serum TSH Bayi Neonatal pada Tiga Kelompok
Hasil pemeriksaan TSH neonatal dari contoh yang telah melahirkan
disajikan pada Tabel 25. Rerata TSH neonatal pada kelompok dosis tinggi yaitu
5.79 μU/ml sedangkan kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta
karoten sebesar 5.52 μU/ml dan 5.12 μU/ml. Dengan uji statistik ANOVA dapat
diketahui ada perbedaan bermakna antar tiga kelompok (p<0.05). Lebih lanjut uji
Multiple Comparison LSD membuktikan bahwa rerata serum TSH kelompok
dosis tinggi dan kelompok dosis rendah+beta karoten
berbeda secara nyata
(p<0.05).
Tabel 25 Rerata TSH Neonatal pada Tiga Kelompok
Variabel
Kelompok
Kelompok
Kelompok
Kadar biokimia
DT
DR
DRB
(n=45)
(n=34)
(n=35)
TSH neonatal μU/ml 5.79± 1.27 a
5.52± 0.79 ab
5.12± 1.22 b
P
0.04*
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
*=Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama menunjukkan perbedaan
yang nyata (p<0.05) dengan uji Multiple Comparison LSD
110
Pemeriksaan TSH bayi merupakan uji saring (skrining) hipotiroid pada bayi
dilakukan pada usia neonatal. Bila kadar TSH neonatal >20 μU/ml maka bayi
dicurigai hipotiroid. Kadar TSH neonatal tertinggi ditemukan pada penelitian ini
hanya sampai 9 μU/ml. Proporsi TSH neonatal ≥5-9 μU/ml tertinggi terdapat
pada kelompok dosis tinggi (82%), terendah pada kelompok dosis rendah+beta
Proporsi bayi (%)
karoten (59%) dan kelompok dosis rendah sebesar 65% (Gambar 25).
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
82
65
59
DT
DR
DRB
DT DR DRB
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 25 Proporsi Bayi pada Tiga Kelompok menurut Kadar TSH
Neonatal 5-9 μU/ml
Selain dengan TSH neonatal, skrining hipotiroid pada bayi dilakukan juga
dengan pemeriksaan klinis bayi dengan menggunakan skoring hipotiroid. Skoring
tersebut terdiri dari pengamatan dan pemeriksaan 20 tanda klinis pada bayi dapat
dilihat pada Lampiran 3. Hasil pemeriksaan yang dilakukan dapat diketahui
bahwa sebanyak 9% bayi mempunyai
skor index hipotiroid <4. Bayi yang
mempunyai skor ini telah dirujuk untuk mendapatkan pengobatan. Tidak
ditemukan bayi usia 3-4 bulan dengan total skor ≥5, artinya tidak ada bayi yang
dicurigai hipotiroid (Tabel 26).
111
Tabel 26 Sebaran Bayi pada Tiga Kelompok menurut Skor Indeks Hipotiroid
Skor Indeks
Hipotiroid
Skor 0
Skor 2- <4
Kelompok
DT
(n=45)
n
%
Kelompok
DR
(n=34)
n
%
Kelompok
DRB
(n=35)
n
%
41
4
31
3
32
3
91
9
91
9
91
9
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
4. Status Gizi Bayi pada Tiga Kelompok
Sejak lahir bayi dari tiga kelompok tersebut terus dipantau status gizi
sampai bayi berusia 3-4 bulan (Tabel 27). Pemantauan status gizi bayi
menggunakan indikator BB/TB. Pemantauan tersebut menilai status gizi bayi
dalam tiga kategori yakni status gizi baik, gizi kurang maupun gizi buruk dengan
standar WHO.
Pengukuran status gizi pada usia neonatal ditemukan 2 orang bayi (4%)
meninggal pada usia 7 hari dan 10 hari pada kelompok dosis tinggi sehingga
jumlah bayi yang diamati menjadi 43 orang. Pengukuran status gizi menemukan
hasil bahwa masing-masing 3 % bayi kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis
rendah menderita status gizi buruk. Namun pada kelompok dosis rendah+beta
karoten tidak ditemukan satupun bayi dengan status gizi buruk. Gizi kurang hanya
ditemukan pada kelompok dosis rendah (6%).
Menginjak usia 3-4 bulan, status gizi berubah dibandingkan dengan keadaan
usia neonatal. Pada kelompok dosis tinggi proporsi gizi buruk meningkat menjadi
4%. Sebaliknya pada kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta
karoten tidak ditemukan kasus gizi buruk. Namun status gizi kurang muncul pada
kelompok dosis tinggi (4%), kelompok dosis rendah+beta karoten (3%) dan
kelompok dosis rendah proporsinya tetap 6%. Proporsi gizi baik menurun pada
kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi 92% dan
97% namun pada kelompok dosis rendah menjadi (97%).
112
Tabel 27 Sebaran Status Gizi Bayi Neonatal sampai Usia 3-4 Bulan
pada Tiga Kelompok
Status Gizo
Kelompok Kelompok Kelompok
DT
DR
DRB
(n=45)
(n=34)
(n=35)
n
%
n
%
n
%
Bayi neonatal
Gizi baik
Gizi kurang
Gizi buruk
Bayi 3-4 bulan
Gizi baik
Gizi kurang
Gizi buruk
42
0
1
93
0
3
31
2
1
91
6
3
35
0
0
100
0
0
39
2
2
88
4
4
32
2
0
94
6
0
34
1
0
97
3
0
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gizi Baik : BB/TB dengan Z-skor ≥ - 2.0
Gizi Kurang: BB/TB dengan - 2.0<Z-skor ≥ - 3.0
Gizi Buruk : BB/TB dengan Z-skor<- 3
Gambaran rerata status gizi bayi neonatal dan bayi 3-4 bulan dapat dilihat
pada Tabel 28. Rerata status gizi bayi neonatal tiga kelompok masih termasuk gizi
baik. Rerata Z-skor kelompok dosis tinggi, kelompok dosis rendah dan kelompok
dosis rendah+beta karoten sebagai berikut: -0.10 Z skor; 0.10 Z skor dan -0.50 Z
skor.
Tabel 28 Rerata Z-Skor Bayi Neonatal dan Bayi Usia 3-4 Bulan pada Tiga
Kelompok
Status gizi
Kelompok
Kelompok
Kelompok
F
P
DT
DR
DRB
(n=45)
(n=34)
(n=35)
Bayi neonatal -0.10 + 0.99 0.10 + 1.06 -0.50 + 0.81 0.821 0.443
Bayi 3-4 bln
-0.10 + 1.50
0.31 + 1.27
0.00 + 0.94
0.241
0.090
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Status gizi menurut indeks BB/TB
Demikian juga dengan status gizi bayi berusia 3-4 bulan pada tiga
kelompok sama yaitu masih dalam kategori gizi baik. Rerata Z-skor kelompok
dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten yaitu -0.10; 0.31 dan
113
0.00. Dengan uji ANOVA tidak ditemukan adanya perbedaan rerata status gizi
tiga kelompok pada bayi neonatal maupun bayi usia 3-4 bulan (p>0.05)
Peningkatan status gizi menurut indeks BB/TB yang dinyatakan dari nilai Zskor bayi 3-4 bulan dan bayi neonatal ditampilkan pada Gambar 26. Nilai Z-skor
artinya nilai simpangan baku dari median standar. Pada usia neonatal, status gizi
kelompok dosis tinggi dengan nilai rerata - 0.10 Z-skor, kelompok dosis rendah
dengan nilai 0.10 Z skor dan kelompok dosis rendah+beta karoten dengan nilai 0.50 Z-skor. Setelah 3 bulan status gizi bayi tiga kelompok diukur kembali.
Hasil pengukuran status gizi menunjukkan bahwa status gizi bayi usia 3-4
bulan dari contoh kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta
karoten meningkat sebesar 0.3 Z-skor dan 0.5 Z-skor. Status gizi bayi contoh
kelompok dosis tinggi pada bayi usia 3-4 bulan tidak mengalami peningkatan.
1
0,5
Z skor
DT
DR
DRB
0
-0,5
-1
3-4 bl
0 bl
Umur (bl)
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 26 Peningkatan Nilai Z-Skor BB/TB Bayi Neonatal sampai
Usia 3-4 Bulan pada Tiga Kelompok
5. Perkembangan Bayi Usia 3-4 Bulan
Perkembangan bayi dipantau pada usia 3-4 bulan. Tujuan pemantauan untuk
mengetahui apakah terjadi gangguan perkembangan bayi (keterlambatan) pada
gerak motorik, gangguan daya lihat dan daya dengar. Pemantauan perkembangan
anak dilakukan dengan melihat pola perkembangan khusus untuk perkembangan
motorik kasar anak.
114
Pola perkembangan bayi 8-12 minggu yang menjadi fokus pengamatan di
lapangan memakai pedoman dari Departemen Kesehatan dan Tumbuh Kembang
Pediatri Sosial (Depkes 2002).
Setelah pengamatan perkembangan motorik kasar ditemukan adanya
keterlambatan perkembangan motorik bayi 3-4 bulan pada kelompok dosis tinggi
sebesar 15%, hal ini ditunjukkan sebanyak 8% bayi yang hanya dapat mencapai 4
gerakan dan 7% mencapai 3 gerakan. Pada kelompok dosis rendah keterlambatan
perkembangan ditemukan sebesar 12% dengan rincian 8% mencapai 4 gerakan
dan 4% mencapai 3 gerakan, sedangkan kelompok dosis rendah+beta karoten
ditemukan 8% bayi yang mengalami hambatan lebih detail sekitar masing-masing
Proporsi perkembangan motorik (%)
4% yang mencapai 4 gerakan dan 3 gerakan (Gambar 27).
100
90
92
88
85
5 gerakan
80
70
4 gerakan
60
50
40
3 gerakan
30
20
10
8 7
8
4
4 4
0
DT
DR
DRB
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Gambar 27 Proporsi Perkembangan Motorik Bayi Usia 3-4 Bulan
pada Tiga Kelompok
Kepemilikan alat permainan dirumah untuk bayi pada tiga kelompok
diobservasi selama penelitian. Dari wawancara ditemukan lebih dari 50% orang
tua mempunyai alat bermain untuk anak di rumah. Alat permainan yang
ditemukan permainan krinjingan, boneka dll yang sesuai untuk bayi. Orang tua
yang tidak mempunyai alat permainan untuk anak dirumah mengungkapkan
115
bahwa keterbatasan dana yang menyebabkan orang tua tidak dapat menyediakan
alat bermain untuk bayinya dirumah (Tabel 29).
Tabel 29 Sebaran Bayi pada Tiga Kelompok menurut Kepemilikan
Alat Permainan
Kelompok
DT
(n=45)
n
%
Kelompok
DR
(n=34)
n
%
Kelompok
DRB
(n=35)
n
%
Punya
30
67
24
71
19
54
Tidak punya
15
33
10
29
16
46
Kepemilikan alat
Permainan
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Perkembangan bayi akan baik tergantung pengasuhan yang diberikan.
Sebagian besar bayi diasuh ibunya. Fakta dilapangan ditemukan 60-70%
pengasuhan bayi ditangan ibu. Sisanya diasuh oleh ayah, kakak, nenek dll.
Tabel 30 Sebaran Bayi Pada Tiga Kelompok menurut Pengasuh Bayi
Usia 3-4 Bulan
Pengasuh
Bayi usia 3- 4 bulan
Kelompok
DT
(n=45)
n
%
Kelompok
DR
(n=34)
n
%
Kelompok
DRB
(n=35)
N
%
Ibu
Ayah
Kakak
Nenek
Lainnya
32
0
2
8
5
24
3
0
4
3
21
0
0
5
9
68
0
4
17
11
71
8
0
12
9
60
0
0
14
26
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Pengasuhan di kelompok dosis rendah dilakukan oleh ibu (71%) (Tabel
30), diikuti oleh kelompok dosis tinggi sebesar 68% dan kelompok dosis
rendah+beta karoten yang terendah sebanyak 60%.
6. Pemberian ASI, Makanan Padat dan Kunjungan ke Posyandu
116
Wawancara dengan ibu nifas diketahui bahwa setelah lahir bayi tidak segera
disusui. Makanan pralaktasi lebih dini dikenalkan kepada bayi 2 jam setelah lahir.
Makanan pralaktasi yang diberikan berupa madu, air putih, air kopi tanpa gula.
Sebagian besar ASI masih diberikan kepada bayi. Proporsi pemberian ASI
pada kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis rendah sebesar 97%. Sedangkan
pada kelompok dosis rendah+beta karoten sekitar 98% ibu masih mempraktekkan
pemberian ASI kepada bayinya. Alasan ibu kelompok dosis tinggi yang tidak
menyusui bayinya yaitu karena ibu dan anak sakit atau ASI keluarnya sedikit.
Inisiasi ASI sangat bervariasi antara tiga kelompok. Inisiasi ASI 0-1 jam
setelah lahir ditemukan pada 23 % ibu nifas kelompok dosis tinggi, 25% ibu nifas
kelompok dosis rendah
dan 20% ibu kelompok dosis rendah+beta karoten.
Inisiasi 2-12 jam setelah lahir lebih banyak ditemukan pada tiga
kelompok
dengan rincian proporsinya sekitar 40% pada masing-masing kelompok.
Upaya ibu memperlancar produksi ASI yaitu mengkonsumsi berbagai
sayuran atau minum jamu. Proporsi ibu mengkonsumsi sayuran (seperti daun
singkong dan pepaya) kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta
karoten sebesar 75%; 83% dan 94%. Sisanya ibu minum jamu atau susu.
Sampai dengan usia 3-4 bulan terungkap bahwa gambaran sebagian besar
bayi telah diperkenalkan makanan padat sejak usia dini. Kurang lebih sepertiga
bayi dari masing-masing kelompok hanya diberi ASI. Kurang dari 10% bayi dari
tiga kelompok telah diperkenalkan makanan padat sejak usia 1 hari. Masingmasing lebih dari 10% dikenalkan makanan padat sejak bayi berusia 2-7 hari; 730 hari dan usia 3- 4 bulan (Tabel 31).
Dari hasil diwawancarai dengan ibu pada saat bayinya 3-4 bulan, diperoleh
informasi berbagai jenis makanan padat telah dikonsumi bayi. Golongan buah
yang diberikan pisang dan jeruk. Makanan lumat seperti bubur nasi atau bubur
susu juga sudah diperkenalkan lebih dini. Sebagian ibu terlihat telah memberikan
susu formula kepada bayi. Kombinasi beberapa macam makanan padat seperti
buah pisang+bubur susu atau buah pisang+bubur susu+susu formula dapat
dijumpai diberikan ibu kepada bayinya.
Hampir semua ibu (> 94%) membawa bayinya ke posyandu. Ibu membawa
bayi ke posyandu untuk menimbang berat badan dan mengimunisasi bayinya.
117
Tabel 31 Sebaran Bayi pada Tiga Kelompok menurut Makanan Padat
yang Dikenalkan Pertama Kali
Umur pertama
dikenalkan makanan
Padat
Kelompok
DT
(n=45)
N
%
Kelompok
DR
(n=34)
n
%
Kelompok
DRB
(n=35)
n
%
Belum diberi makanan
Sudah diberi makanan
1 hr
2-7 hr
7-30 hr
2 bln
3-4 bln
15
33
12
35
13
37
3
5
6
4
12
6
11
13
9
27
2
4
4
3
9
5
12
12
9
26
3
4
5
5
5
9
12
14
14
14
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
H. Analisis Regresi Logistik
Dari hasil analisis bivariat antara TSH bayi neonatal dengan asupan
iodium, asupan sianida, pengetahuan GAKI, KEK dan asupan vitamin A didapat
hasil seperti yang tercantum pada Tabel 32 di bawah ini.
Tabel 32 Hasil Seleksi Variabel Kandidat Model
Variabel
Suplemen (DT; DR dan DRB)
Total asupan iodium
Asupan sianida
Pengetahuan GAKI
KEK
Asupan vitamin A
Log-likelihood
-66.169
135.600
137.994
137.892
138.221
137.171
G
5.890
2.624
0.231
0.332
0.003
1.053
Nilai p
0.030*
0.453
0.631
0.564
0.953
0.305
Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Pada Tabel tersebut diatas terlihat bahwa ada satu variabel independen
yang mempunyai p value<0.25 yaitu variabel suplemen (iodium dosis tinggi=DT,
iodium dosis rendah=DR, iodium dosis rendah+beta karoten=DRB). Sedangkan
variabel independen lain seperti variabel total asupan iodium, asupan sianida
pengetahuan GAKI, KEK dan asupan vitamin A mempunyai p value diatas 0.25.
118
Analisis bivariat antara EIU pada akhir penelitian dengan total asupan
iodium, asupan sianida, pengetahuan GAKI, KEK dan asupan vitamin A tidak
menemukan ada variabel dengan nilai p<0.25 (Lampiran 21). Demikian juga
hasil analisis bivariat antara variabel dependen TSH nifas dan beberapa variabel
independen diatas tidak menemukan ada variabel dengan nilai p<0.25 (Lampiran
21).
Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa contoh yang diberi minyak
iodium dosis rendah+beta karoten terlihat risiko untuk mendapatkan bayi dengan
TSH tidak normal lebih rendah yang bermakna dibandingkan contoh yang diberi
minyak iodium dosis tinggi (p<0.05; OR=0.31; 95%CL OR 0.11-0.86).
Sementara pada contoh yang diberi minyak iodium dosis rendah terlihat risiko
untuk mendapatkan bayi dengan TSH tidak normal juga lebih rendah namun
tidak bermakna dibandingkan contoh yang diberi dosis tinggi (p>0.05)(Tabel
33).
Tabel 33 Faktor Risiko TSH Neonatal yang Tinggi
Variabel independen
Suplemen
DT
DR
DRB
B
Total asupan iodium
Asupan sianida
Pengetahuan GAKI
KEK
Asupan vitamin A
0.028
0.214
0.243
0.025
0.427
p
OR
95% CL
0.08
0.03*
1
0.40
0.31
Rujukan
0.14-1.12
0.11-0.86
0.884
0.629
0.563
0.953
0.304
1.029
1.239
1.275
1.025
1.533
0.703-1.505
0.519-2.960
0.559-2.906
0.453-2.318
0.679-3.459
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
119
VI. PEMBAHASAN
A. Pengaruh Variabel Perancu
1. Sosial-Ekonomi, Budaya, Asupan Zat Gizi, Kurang Energi Kronis dan
Kepatuhan Mengkonsumsi Suplemen
Pada awal penelitian kecukupan energi, protein, besi dan seng ditemukan
mencapai ≤ 60% dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan (Gambar 14).
Kondisi tersebut dipicu oleh ibu hamil yang menderita morning sicknes, akibat
meningkatnya sekresi hormon estrogen dari plasenta, yang ditandai oleh mual dan
muntah (nausea) serta nafsu makan menurun (Guyton 1982).
Pada akhir penelitian (masa nifas) kecukupan energi, protein, besi dan seng
masih dibawah Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (Gambar 15). Belum
terpenuhinya asupan zat gizi dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat untuk
menghindari mengkonsumsi makanan tertentu (food avoidance) selama masa
nifas (Tabel 16). Makanan yang dihindari merupakan makanan sumber energi,
protein dan vitamin mineral. Makanan tersebut dipercaya bila dikonsumsi akan
berpengaruh kepada bayi yang akan disusui dan hasil penelitian ini sejalan dengan
temuan Pool (1986) yang mempelajari food avoidance pada masyarakat India.
Kurangnya konsumsi makanan seperti itu menyebabkan kebutuhan tubuh akan zat
gizi sulit dipenuhi.
Rendahnya tingkat kecukupan energi, protein dan mineral pada contoh pada
awal dan akhir penelitian diduga dipengaruhi pula oleh faktor kemiskinan.
Indikator kemiskinan seperti pengeluaran sebagai proxi pendapatan, kepemilikan
barang berharga (aset), keadaan perumahan, dan indikator lain tidak diteliti dalam
penelitian ini kecuali pendidikan contoh dan suami yang terbanyak berpendidikan
sekolah dasar.
Fokus penelitian ini adalah mempelajari efek pemberian ketiga suplemen
terhadap perubahan parameter biokimia darah dan urin pada ibu dan perubahan
paramter biokimia darah dan status gizi bayi yang dilahirkan.
Tingkat kecukupan vitamin A pada contoh tiga kelompok pada awal sebesar
83-87% sedangkan pada akhir penelitian diatas 90% (Gambar 14 dan 15).
Kecukupan vitamin A hampir mencapai angka kecukupan gizi yang dianjurkan
120
disebabkan karena tingginya konsumsi sayuran berdaun hijau. Sayuran merupakan
sumber vitamin A yang murah dan mudah di dapat di desa. Pada akhir penelitian
(nifas) konsumsi sayuran meningkat karena ibu nifas percaya (food belief) sayuran
dapat meningkatkan produksi ASI. Peningkatan konsumsi sayuran antara lain
daun singkong dapat meningkatkan asupan sianida pada semua kelompok
penelitian, tetapi rerata asupan sianida tersebut belum melebihi ambang batas
normal asupan sianida maksimum 10 mg (Gambar 19). Pemberian suplemen
iodium yang diterima ibu hamil cukup untuk mencegah effek negatif dari zat
goitrogenik seperti sianida (Gaitan 1986).
Lebih dari 80% contoh pada tiga kelompok baik pada awal dan akhir
penelitian mengetahui manfaat garam beriodium. Dibandingkan dengan data BPS
maka proporsi contoh yang mengetahui manfaat garam beriodium lebih tinggi
(BPS 2000). Hal ini mungkin disebabkan karena daerah penelitian ini telah
terpapar penelitian tentang GAKI yang dilakukan dari Balai GAKI, Magelang,
Universitas Diponegoro, Universitas Gajah Mada maupun dari instansi
pemerintah lainnya.
Walaupun mengetahui manfaat garam beriodium dalam praktek kehidupan
sehari-hari ditemukan sebanyak 60-70% ibu hamil dari tiga kelompok pada awal
dan 62%-67% ibu dari tiga kelompok pada akhir penelitian mengkonsumsi garam
yang memenuhi syarat (30-80 ppm) (Gambar 18). Dengan demikian target
Universal Salt Iodization (USI) belum tercapai. Disamping itu ditemukan
sebanyak 2% contoh pada kelompok dosis tinggi masih mengkonsumsi garam
curah (krosok) yang tak mengandung iodium. Pengetahuan GAKI contoh tiga
kelompok masih kurang (Tabel 18). Oleh karena itu perlu upaya untuk melakukan
penyuluhan tentang GAKI dan manfaat garam beriodium berkesinambungan
dengan cara melalui posyandu
Faktor sosial-ekonomi yang dikaji dari pendidikan dan pekerjaan contoh dan
suami tidak berbeda secara signifikan antara tiga kelompok (p>0.05) (Tabel 11).
Faktor budaya juga tidak berpengaruh dalam penelitian ini karena hampir seluruh
contoh merupakan penduduk asli setempat yang tinggal di dataran tinggi. Rerata
asupan zat gizi makro (energi, protein) dan mikro (vitamin A, besi dan seng) dari
makanan sehari-hari pada awal (trimester 1) dan akhir penelitian (nifas)
121
ditemukan juga tidak signifikan antara tiga kelompok (p>0.05)(Tabel 14 dan15).
Berdasarkan uji proporsi kurang energi kronis (KEK) contoh pada tiga kelompok
pada awal dan akhir penelitian tidak berbeda bermakna (p>0.05)(Tabel 13).
Kepatuhan mengkonsumsi suplemen minyak iodium dan beta karoten contoh
selama penelitian mencapai 100%. Asupan iodium dari bahan makanan, garam
dan total pada awal dan akhir penelitian pada tiga kelompok tidak signifikan
(p>0.05)(Gambar 16). Uji proporsi pengetahuan GAKI contoh baik pada awal
atau akhir penelitian ditemukan tidak bermakna (p>0.05)(Tabel 18).
Berdasarkan pengujian tersebut variabel-variabel perancu sosial-ekonomi,
budaya, asupan zat gizi makro (energi, protein) dan asupan zat gizi mikro
(vitamin A, zat besi, seng) dalam makanan sehari, asupan iodium dari bahan
makanan dan garam, asupan sianida dari bahan makanan, dan kepatuhan
mengkonsumsi suplemen minyak iodium dan beta karoten, kurang energi kronis,
pengetahuan GAKI tidak berpengaruh nyata dalam penelitian ini antara tiga
kelompok suplemen. Dengan demikian variabel perancu ini dapat diabaikan
pengaruhnya
sehingga
tidak
mengganggu
efektiftas
suplemen
dalam
meningkatkan sekresi hormon tiroid ibu hamil.
2. Hasil Analisis Bivariat Beberapa Variabel
Dengan uji proporsi dan uji beda telah dibuktikan bahwa faktor sosialekonomi, budaya, asupan zat gizi termasuk iodium, asupan sianida dan
pengetahuan GAKI tidak berbeda nyata (p>0.05). Dengan uji bivariat untuk
melihat faktor risiko ternyata hanya variabel suplemen yang mempunyai p value
< 0.25 (Tabel 32). Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa contoh diberi
minyak iodium dosis rendah+beta karoten terlihat risiko untuk mendapatkan bayi
dengan TSH neonatal (blood spot) tidak normal lebih rendah yang bermakna
dibandingkan contoh yang diberi dosis tinggi (p<0.05; OR=0.31; 95%Cl OR
0.11-0.86). Sementara pada contoh yang diberi minyak iodium dosis rendah
terlihat risiko untuk mendapatkan bayi dengan TSH tidak normal juga rendah
namun tidak bermakna dibandingkan contoh yang diberi dosis tinggi
(p>0.05)(Tabel 33).
122
B. Perubahan Status Biokimia Darah dan Urin Ibu Hamil Sampai Nifas
1. Serum TSH
Dengan uji statistik ternyata rerata serum TSH pada akhir penelitian (nifas)
yang berbeda secara signifikan antar tiga kelompok perlakuan (p<0.05)(Tabel 20).
Lebih lanjut dengan uji Multiple Comparison LSD ditemukan kelompok yang
berbeda bermakna adalah kelompok dosis tinggi terhadap dosis rendah dan
kelompok dosis tinggi terhadap dosis rendah+beta karoten (p>0.05)(Tabel 21).
Artinya pemberian minyak iodium dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten
mempunyai perbedaan yang bermakna dalam menurunkan hormon TSH
dibandingkan dengan dosis tinggi pada akhir penelitian. Namun penurunan serum
TSH sampai masa nifas terbesar pada kelompok minyak iodium dosis
rendah+beta karoten sebesar 52% dan penurunan kadar serum TSH nifas ini
ternyata 3% lebih tinggi dari pada kelompok dosis rendah dan 14% lebih tinggi
dari pada kelompok dosis tinggi.
Berdasarkan cut-off serum TSH ≥ 5.0 μU/ml (Hartono 2001), proporsi
contoh kelompok dosis tinggi yang berisiko sebesar 9% dan tidak ditemukan
contoh kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten yang berisiko
(Tabel 22).
2. EIU
Suplemen yang diberikan meningkatkan asupan iodium selama hamil
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 22 sehingga dapat memproteksi ibu akan
kekurangan iodium selama hamil. Pada kelompok suplemen iodium dosis tinggi
setelah sebulan intervensi dengan nilai EIU sebesar 506 μg/L, terlihat sebagian
besar iodium (99.75%) dibuang melalui urin. Kemudian 5-6 bulan intervensi
(trimester 3) turun menjadi 234 μg/L, akhirnya pada nifas nilai EIU turun
mencapai 88 μg/L mendekati nilai EIU awal penelitian.
Pola nilai EIU kelompok dosis tinggi yakni sejak 1 bulan intervensi terus
menurun sampai akhirnya nilai EIU pada masa nifas kembali seperti semula pada
awal penelitian. Effect ini disebut Burst Effect yaitu pembuangan iodium melalui
urin dalam jumlah besar, selanjutnya pembuangan iodium dalam urin dalam
jumlah kecil sampai kembali mencapai titik awal.
123
Permaesih et al. (1996) menemukan ibu nifas yang diberi kapsul minyak
iodium 200 mg (yodiol) pola pembuangan urin serupa dengan pola diatas, sebulan
intervensi iodium yang dibuang melalui urin sebesar 99.79% kemudian nilai EIU
turun terus sampai mencapai nilai awal setelah 6 bulan intervensi.
Sedangkan pola EIU dari kelompok minyak iodium dosis rendah dan
kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten mempunyai efek kumulatif
yaitu pemberian minyak iodium dosis yang rendah setiap bulan akan
meningkatkan nilai EIU dan nilai EIU akan turun apabila pemberian minyak
iodium dihentikan. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian ini yakni pemberian
minyak iodium dosis rendah dan minyak iodium dosis rendah+beta karoten
meningkatkan nilai EIU 1 bulan sebesar 203 μg/L dan 223 μg/L (p<0.05). Pada
5-6 bulan intervensi (trimester 3) kadar EIU menjadi sebesar 210 μg/L dan 276
μg/L (p>0.05). Setelah enam bulan intervensi pemberian minyak iodium dosis
rendah dan dosis rendah+beta karoten dihentikan, maka nilai EIU turun menjadi
126 μg/L dan 119 μg/L pada masa nifas (p>0.05). Setelah 6 bulan intervensi, pada
masa nifas kadar EIU kelompok minyak iodium dosis rendah dan minyak iodium
dosis rendah+beta karoten meningkat sebesar 27% dan 21% dibandingkan nilai
EIU pada awal penelitian. Pola yang serupa ditemukan juga oleh Glinoer et al.
(1995) yang melakukan penelitian pada ibu hamil yang diberikan suplemen
iodium dan hormon tiroksin setiap hari sampai melahirkan.
Ekskresi Iodium Urin merupakan salah satu indikator yang disarankan oleh
WHO untuk mempelajari dampak GAKI karena EIU sangat sensitif untuk
perubahan asupan iodium terkini (WHO 2001). Selain itu EIU merupakan
indikator biokimia yang non invasive dan lebih murah dibandingkan indikator
biokimia darah. Pada penelitian ini indikator EIU belum dapat secara siknifikan
mendeteksi perubahan asupan iodium yang terjadi pada 5-6 bulan intervensi
(trimester 3) dan pada akhir penelitian (masa nifas) pada
ketiga suplemen
(Gambar 22).
3. TSH Neonatal
Proporsi TSH neonatal dengan kadar 5-9 uU/ml ditemukan tertinggi pada
kelompok minyak iodium dosis tinggi (82%) sedangkan pada dosis rendah dan
124
dosis rendah+beta karoten sebesar 65% dan 59%. Tidak ditemukan kasus bayi
neonatal yang dicurigai mengalami kongenital hipotiroid dengan TSH neonatal >
20 μU/ml (Gambar 25). Hasil ini serupa dengan temuan dari penelitian Chaouki &
Benmiloud (1994) yang telah memberikan kapsul lipiodol 240 mg pada ibu hamil
di Aljazair. Serum TSH bayi neonatal merupakan indikator yang disarankan oleh
WHO (2001) untuk mendeteksi baik hipotiroid maupun hipertiroid.
Dengan uji ANOVA ditemukan perbedaan TSH neonatal bayi antar
kelompok (p<0.05). Dengan uji Multiple Comparison LSD ditemukan rerata TSH
neonatal yang berbeda bermakna adalah kelompok minyak iodium dosis tinggi
dan kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten (p<0.05)(Tabel 25).
4. Serum Retinol
Kadar serum vitamin A meningkat pada ibu nifas (Tabel 19 dan 20).
Peningkatan tersebut diduga disebabkan pada ibu nifas lebih banyak
mengkonsumsi sayuran untuk memperbanyak produksi ASI. Desa penelitian
merupakan daerah penghasil sayuran yang akan dikirim ke kota besar. Kandungan
beta karoten dan retinol dalam darah ibu menyusui yang tinggal di daerah
penghasil sayuran sudah dibuktikan lebih tinggi dari pada ibu menyusui yang
tinggal didaerah bukan penghasil sayuran (Pambudi et al. 2001). Peningkatan
pada kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten lebih besar dari
kelompok lainnya, hal ini di duga disebabkan karena ibu selama hamil
mendapatkan suplementasi beta karoten. Namun dengan uji statistik tidak
ditemukan ada perbedaan rerata serum retinol antara tiga kelompok (p>0.05).
5. Free T4 dan Hemoglobin
Rerata serum FT4 pada awal dan akhir penelitian diatas 1.0 ng/dl hal ini
menunjukkan bahwa rerata serum FT4 masih dalam batas ambang normal. Tidak
ada perbedaan rerata serum FT4 pada awal dan akhir penelitian (p<0.05)(Tabel 19
dan 20). Tidak ditemukan ada kasus yang hipertiroid secara biokimia.
Rerata kadar hemoglobin pada awal dan akhir contoh pada tiga kelompok
relatif sama. Penelitian ini tidak melarang contoh mendapatkan tablet besi dari
bidan, karena tablet besi dibagikan merupakan Program Pemerintah dalam
125
Penanggulangan anemia karena kekurangan zat gizi besi. Walaupun tidak
dikumpulkan kadar hemoglobin pada akhir kehamilan, diperkirakan proporsi
anemia contoh kelompok yang diberi iodium dosis rendah+beta karoten akan
lebih rendah dari pada 2 kelompok lainnya. Hal ini didukung dari hasil penelitian
Zimmermann et al. (2005) dan Saidin et al. (2002) bahwa pemberian iodium
bersama vitamin A dan tablet besi lebih dapat meningkatkan kadar hemoglobin
dibandingkan pemberian iodium tunggal. Peningkatan proporsi
anemia pada
akhir penelitian (nifas) terjadi pada tiga kelompok diduga disebabkan zat besi
banyak hilang melalui persalinan dan pada masa nifas ibu tidak mengkonsumsi
tablet besi. Bagaimanapun juga peningkatan proporsi anemia tetap tertinggi pada
kelompok dosis tinggi (16%), terendah kelompok dosis rendah dan dosis
rendah+beta karoten sebesar 6% dan 7%.
C. Tumbuh Kembang Bayi
1. Status Gizi Bayi
Proporsi bayi BBLR pada dosis tinggi sebesar 13%, dosis rendah sekitar
9% dan pada dosis rendah+beta karoten tidak ditemukan bayi BBLR (Gambar
23). Pengukuran status gizi bayi neonatal, ditemukan masing-masing 3% pada
kelompok dosis tinggi dan dosis rendah menderita gizi buruk sedangkan
kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten tidak ditemukan kasus
buruk.
Pengukuran kembali status gizi bayi pada usia 3-4 bulan ditemukan kasus
gizi buruk sebesar 4% pada dosis tinggi. Kasus gizi kurang ditemukan sebesar
4%; 6% dan 3% pada kelompok dosis tinggi; kelompok dosis rendah dan
kelompok dosis rendah+beta karoten. Peningkatan status gizi hanya terjadi pada
kelompok minyak iodium dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten .
Peningkatan status gizi sampai bayi pada usia 3-4 bulan terbesar pada
kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten (Z-skor 0.50) diikuti oleh
kelompok minyak iodium dosis rendah (Z-skor 0.3) dan pada kelompok minyak
iodium dosis tinggi tidak tampak peningkatan (Gambar 26).
Tampak status gizi bayi sampai usia 3-4 bulan dilihat dari peningkatan
status gizi dan jumlah kasus gizi buruk dan kurang yang terjadi, ternyata lebih
126
baik pada kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten kemudian diikuti
oleh kelompok minyak iodium dosis rendah.
Pengamatan dengan menggunakan indeks hipotiroid tidak ditemukan
satupun kasus bayi hipotiroid (skor≥5) secara klinis. Indeks hipotiroid dengan
skor 2- < 4 ditemukan masing-masing 9% pada tiap kelompok (Tabel 26).
2. Perkembangan Bayi
Perkembangan bayi yang dipantau hanya sekali saja yaitu pada usia 3-4
bulan. Pada usia 3-4 bulan ditemukan adanya keterlambatan perkembangan
motorik kasar (Gambar 27). Hal ini dapat dilihat pada kelompok minyak iodium
dosis tinggi dimana bayi yang dapat melakukan lima gerakan (penuh) sebanyak
85% dan yang hanya dapat tiga atau empat gerakan sebanyak 15%.
Pada
kelompok minyak iodium dosis rendah, bayi yang dapat melakukan lima gerakan
sebanyak 88% dan yang dapat melakukan tiga atau empat gerakan hanya 12%.
Pada kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten, bayi yang dapat
melakukan lima gerakan sebanyak 92% dan yang dapat melakukan tiga gerakan
atau empat gerakan sebanyak 8%.
Adapun gerakan motorik kasar yang diamati meliputi apakah bayi sudah
bisa mengangkat kepala pada saat telungkup; kepala tertinggal di belakang pada
penarikan untuk posisi
duduk; bayi sudah bisa menggenggam mainan yang
disentuhkan pada telapak tangannya; bayi bisa mengikuti gerakan obyek 180
derajat dan bayi sudah bisa membalas senyuman.
Perkembangan bayi sampai usia 3-4 bulan pada kelompok minyak iodium
dosis rendah dan kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten tampak
lebih baik dibandingkan dengan kelompok minyak iodium dosis tinggi hal ini
yang sejalan dengan peningkatan status gizinya.
Dalam hal pola asuh, di semua kelompok > 60% pengasuhan dilakukan oleh
ibu sedangkan sisanya dilakukan oleh anggota keluarga lain seperti ayah, nenek,
kakak. Proporsi bayi yang mempunyai alat permainan di rumah hanya sekitar
54%-71%.
Permainan
perkembangan bayi.
di
rumah
merupakan
alat
bantu
menstimulasi
127
3. Makanan Bayi
Makanan pralaktasi diketahui telah diperkenalkan kepada bayi 2 jam setelah
lahir berupa madu, air putih atau air kopi tanpa gula. Sampai bayi usia 4 bulan
ASI masih diberikan kepada ≥ 97% bayi. Namun ibu juga telah memberikan
makanan padat sejak usia dini yaitu usia bayi 1 hari, rinciannya yaitu kurang dari
10% pada tiga kelompok. Sekitar 10% dikenalkan makanan padat pada usia 2-7
hari. Sampai usia 4 bulan hanya sepertiga bayi yang belum diberi makanan padat
dan hal ini menunjukkan bahwa ASI eksklusif pada contoh tiga kelompok masih
rendah (Tabel 31).
Hampir semua bayi usia 3-4 bulan yang ditimbang di posyandu (≥94%).
Tingginya persentase penimbangan bayi di posyandu belum menjamin ibu bayi
mendapat informasi ASI eksklusif. Selain itu tingginya proporsi ibu yang telah
memberikan makanan padat pada usia dini menunjukkan penyuluhan tentang
makanan bayi dan ASI kurang diberikan oleh kader.
D. Efek Samping Pemberian Suplemen Minyak Iodium dengan 3 Dosis
Pengaruh pemberian suplemen iodium dosis tinggi pada profil biokimia
darah TSH nifas yaitu ditemukan 1 orang ibu nifas yang mempunyai kadar
TSH=5.34 μU/ml dengan FT4 = 0.9 ng/ml sedangkan 3 orang lainnya mempunyai
TSH nifas dengan rentangan antara 5-5.79 μU/ml. Tidak ditemukan ibu nifas dari
tiga kelompok yang mengalami hipertiroid dari pemeriksaan serum FT4.
Penelitian ini tidak menemukan satupun bayi yang mempunyai kadar TSH
neonatal diatas 20 uU/ml. Namun penelitian ini menemukan bayi BBLR pada
kelompok minyak iodium dosis tinggi sebanyak 4 orang (9%) dan kelompok
minyak iodium dosis rendah sebanyak tiga orang (8%).
E. Interaksi Iodium, Vitamin A dan Zat Besi
Pemberian minyak iodium dosis rendah+beta-karoten memberikan efek
positif yaitu dapat memperbaiki serum TSH dan EIU (selama hamil dan nifas)
serta TSH neonatal (p<0.05). Ibu hamil mendapat tablet besi dari bidan desa.
Dampak positif tersebut disebabkan adanya interaksi peranan iodium dalam
128
minyak, vitamin A dan pengaruh zat besi dari tablet besi tersebut. Penelitian
epidemiologis telah membuktikan bahwa pemberian multigizi iodium, vitamin A
dan zat besi menunjukkan efek sinergis terhadap perbaikan hormon tiroid (Saidin
et al. 2004; Zimmerman et al. 2005; Wijaja-Erhardt et al. 2007).
Zat besi merupakan komponen penting bagi ensim thyroperoxidase dan
ensim ini sebagai katalisator terhadap sintesis hormon tiroid (Beard et al. 1998).
Dengan demikian pemberian zat besi dapat meningkatkan kosentrasi T4 dan T3
plasma dan meningkatkan konversi T4 menjadi T3 (Beard et al. 1998; Beard &
Borel 1990; Dillman et al. 1980).
Sedangkan vitamin A dari prekursornya (beta karoten) merupakan
komponen yang mempunyai ikatan rangkap. Ikatan rangkap inilah yang
mencirikan adanya sifat antioksidan (Berdanier 2000) sehingga diduga dapat
menjaga stabilitas minyak beriodium serta meningkatkan metabolisme iodium.
Beta karoten dari suplemen didalam usus akan diubah oleh enzim 15.15 βkarotenoid dioxygenase menjadi retinol yang kemudian masuk dalam peredaran
darah. Selanjutnya retinol disimpan di dalam hati dan diangkut oleh RBP ke
jaringan tepi. Kemudian, retinol akan berikatan dengan RBP dan membentuk
kompleks dengan prealbumin (transthyretin) dan mengikat hormon T4 (Berdanier
2000).
Retinol yang keluar dari hati dan retinoic acid (RA) dari dalam plasma
memasuki target sel. Ditingkat seluler, RA dan dua isomernya yaitu all transretinoic acid dan 9-cis-retinoic acid yang bekerja seperti hormon akan
mengaktifkan reseptor vitamin A (RAR dan RXR) pada sel nukleus. Peran
reseptor vitamin A ini adalah dalam mediasi kerja vitamin A, mengatur ekspresi
gen dan mempengaruhi sintesa protein tertentu, mempertahankan kesehatan dan
mencegah penyakit (Blaner 1998).
Iodium dari suplemen setelah dicerna dan diserap kemudian memasuki
sirkulasi darah dalam bentuk iodida (I-). Kelenjar tiroid menangkap iodida untuk
memproduksi dan mensekresi hormon tiroid (T4 dan T3). Hormon tiroid dalam
sirkulasi darah sampai di jaringan akan mengalami monodeiodinase menjadi
triiodotironin (T3) yang secara biologis lebih aktif dari T4. Triiodotironin (T3)
merupakan hormon yang memediasi kerja hormon tiroid pada tingkat sel dengan
129
cara T3 berikatan dengan reseptor nukleus yang spesifik yaitu reseptor tiroid (TR)
yang menginisiasi transkripsi mRNA untuk memproduksi protein baru (Lazarus
1993).
Reseptor tiroid (TR), RXR, RAR termasuk dalam anggota keluarga SteroidThyroid-Retinoid Nuclear Receptor Superfamily untuk mengatur aktivitas gen.
Nuclear reseptor ini harus membentuk pasangan (heterodimer) dengan RXR agar
dapat lebih aktif (Blanner 1998). Kelompok yang diberi minyak iodium dosis
tinggi ditambah beta karoten terjadi penurunan TSH nifas yang lebih besar pada
akhir penelitian dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya (Tabel 21). Tiroid
Reseptor (TR) yang membentuk heterodimer dengan RXR dapat mempengaruhi
transkripsi gen TSHß sehingga menurunkan sekresi serum TSH (Wolf G 2002).
Janin pada trimester 2 sudah mulai mensekresi hormon tiroid sendiri namun
masih membutuhkan suplai hormon tiroid dari ibu melalui plasenta sampai ibu
melahirkan. Selain itu, vitamin A, hormon TSH dan vitamin-mineral lainnya juga
melintasi plasenta memasuki jaringan janin. Hormon T3 di plasenta dihasilkan
dari konversi T4 menjadi T3 oleh ensim deiodinase-5’ (tipe 3) dan disuplai dari
ibu lewat plasenta. Tiroid reseptor (TR) muncul sebelum tiroid janin berfungsi
dan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan sekresi hormon tiroid janin.
Reseptor tiroid (TR) lebih memilih heterodimer dengan RXR yang sering
menghasilkan aktifasi lebih efektif. Pada penelitian dengan tikus percobaan
TSHß gen ekspresi diatur oleh hormon T3 dan RA melalui TR-RXR dan RARRXR heterodimer (Howdesthell 2002).
Peranan RA (retinoic acid) menekan transkripsi TSH gen sehingga sekresi
TSH berkurang (Oba 1980; Wolf 2002). Sekresi hormon TSH yang berkurang
dari kelenjar pituitari merefleksikan rendahnya kadar hormon TSH dalam sirkulasi
darah janin yang ditunjukkan dengan kadar TSH bayi neonatal yang rendah.
Fenomena ini terjadi pada kelompok minyak iodium ditambah beta karoten yang
pada akhir penelitian TSH bayi neonatal ditemukan lebih rendah dari pada kedua
kelompok perlakuan yang lain. Dengan demikian, pemberian minyak beriodium
dosis rendah mempunyai pengaruh yang tinggi dengan pemberian vitamin A
(dalam bentuk beta karoten) dan zat besi yang diperoleh dari program.
130
F. Implikasi Studi
Risiko pemberian minyak iodium dosis rendah+beta-karoten setiap bulan
untuk mendapatkan TSH bayi neonatal yang tidak normal lebih rendah
dibandingkan dengan pemberian minyak iodium dosis tinggi pada ibu hamil di
daerah endemik GAKI. Perkembangan terbaru dalam penanggulangan GAKI
yaitu tidak menggunakan lagi minyak iodium dosis tinggi di berbagai negara lain
di dunia (Atmawikarta 2007, komunikasi pribadi). Pertemuan tentang eliminasi
GAKI di Beijing tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Pemerintah China
bekerjasama dengan Unicef dan WHO
mencapai kesepakatan untuk
menggunakan USI dalam penanggulangan GAKI (Wright 2004), namun
pencapaian USI di Indonesia termasuk juga hasil dalam penelitian ini baru
mencapai 60-70 % rumah tangga yang menggunakan garam beriodium sesuai
kadar yang dianjurkan. Masih ada sekitar 30-40 % ibu hamil di daerah endemik
GAKI berisiko untuk melahirkan bayi hipotiroid yang tidak terpapar dengan
garam beriodium yang memenuhi kadar yang ditentukan sehingga untuk daerah
ini penanggulangan GAKI dalam jangka pendek dengan menggunakan minyak
iodium dosis rendah merupakan pilihan yang tepat.
Pemberian minyak dosis rendah+beta karoten dapat diimplementasikan di
daerah endemik GAKI tidak dapat dilakukan secara blanket approach seperti
distribusi kapsul minyak iodium dosis tinggi yang selama ini dilakukan dalam
program penanggulangan GAKI tetapi risiko tersebut harus ditanggulangi dengan
secara terseleksi (targetted approach) melalui pemilihan ibu hamil dengan serum
TSH yang tinggi.
Pemberian minyak iodium dosis rendah+beta karoten mempunyai beberapa
keuntungan diantaranya (1) dapat memperbaiki fungsi tiroid ibu hamil, (2) tidak
memberikan efek samping, (3) meningkatkan kualitas bayi lahir, (4) tatap muka
pemberian suplemen selama kehamilan memberikan kesempatan dalam
memonitor keadaan ibu hamil dilapangan, (5) meningkatkan kesempatan dalam
membantu ibu hamil dengan segala permasalahan dalam program gizi, mengingat
jumlah program dalam rangka peningkatan gizi ibu hamil cukup banyak
diantaranya kapsul iodium, tablet besi dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
multi gizi mikro mempunyai pengaruh lebih baik bagi status gizi ibu dan bayi.
131
Pemberian suplemen iodium dosis rendah+beta karoten tiap bulan akan merubah
sistem distribusi suplemen dari tahunan menjadi bulanan melalui posyandu.
Asupan zat gizi makro dan mineral ibu hamil di daerah penelitian lebih
rendah dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Pola kegiatan ibu hamil
didaerah GAKI sangat produktif karena sebagian besar ibu juga bekerja sebagai
petani. Dengan demikian, pemberian makanan tambahan sebagai wahana untuk
suplementasi memenuhi kebutuhan zat gizi selama kehamilan perlu perhatian.
Pengetahuan GAKI ibu hamil yang kurang memadai pada semua kelompok
perlakuan akan berpengaruh terhadap kepatuhan mengkonsumsi suplemen
iodium, penggunaan garam beriodium dan cara mendeteksi garam beriodium.
Peningkatan pengetahuan GAKI dapat dilakukan melalui penyuluhan yang
berkesinambungan melalui posyandu setiap bulan.
Monitoring tidak saja dilakukan pada distribusi suplemen iodium dosis
rendah+beta karoten selama hamil tetapi juga pada tumbuh kembang bayi yang
dilahirkan. Dengan demikian dapat dieliminasi timbulnya bayi yang mengalami
hipotiroid kongenital.
132
VII. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Ketiga
suplemen
minyak iodium dapat memproteksi ibu hamil akan
kekurangan iodium selama hamil. Asupan iodium ibu hamil trimester 3 setelah
diberi suplemen minyak iodium dosis rendah dan iodium dosis rendah+beta
karoten menjadi lebih dari cukup dan kadar EIU nifas meningkat 27% dan
21%.
2. Kadar TSH ibu nifas yang turun lebih besar (14%) menggambarkan bahwa
intervensi selama 6 bulan dengan suplemen minyak iodium dosis rendah
ditambah beta karoten dapat memperbaiki kadar TSH mencapai normal lebih
baik dari pada intervensi dengan minyak iodium dosis tinggi dan minyak
iodium dosis rendah.
2. Suplementasi minyak iodium dosis tinggi, minyak iodium dosis rendah dan
minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten pada ibu hamil dapat
menurunkan secara nyata kadar serum TSH nifas sebesar 38%; 49% dan 52%.
3. Intervensi ibu hamil dengan suplemen iodium dosis rendah ditambah beta
karoten selama 6 bulan dapat mengurangi proporsi TSH neonatal yang tinggi
(>5 μU/ml) secara bermakna dibandingkan dengan intervensi dengan suplemen
iodium dosis tinggi dan iodium dosis rendah.
4. Proporsi TSH neonatal dengan kadar >5 uU/ml pada kelompok minyak iodium
dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah ditambah beta karoten yaitu sebesar
82%; 65% dan 59% dan tidak ditemukan bayi dengan kadar TSH neonatal > 20
μU/ml (kongenital hipotiroid).
5. Pemberian minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten pada ibu hamil
berdampak positif pada bayi yang dilahirkan dengan tidak ditemukan kasus
bayi BBLR dan pada usia 3-4 bulan pertumbuhan dan perkembangannya lebih
133
meningkat dibandingkan dengan pemberian suplemen iodium dosis tinggi atau
dosis rendah.
Saran
1. Pemberian minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten mempunyai
keunggulan dari segi biokimiawi (darah dan urin) dan status gizi
secara
keseluruhan. Teknologi diarahkan agar masyarakat mempunyai akses secara
mudah dan murah.
2. Masalah ibu hamil didaerah GAKI diperburuk oleh rendahnya tingkat
kecukupan energi dan protein dan tingginya KEK pada ibu hamil maka perlu
difikirkan intervensi yang komperehensif dalam penanggulangan GAKI.
3. Target USI masih rendah maka diperlukan upaya penyuluhan kepada
masyarakat agar menggunakan garam beriodium dan pembinaan terhadap
produsen garam berodium.
4. Masih tingginya KEK pada ibu hamil, rendahnya AKG energi dan protein, dan
masih ditemukan garam beryodium yang tidak memenuhi syarat maka
dirasakan perlu peningkatan penyuluhan untuk ibu hamil tentang makanan
bergizi, GAKI dan penanggulangannya di daerah endemik GAKI melalui
posyandu, polindes maupun Puskesmas.
5. Pemberian minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten pada ibu hamil
berdampak positif yaitu dapat menurunkan proporsi kadar serum TSH ibu nifas
yang tinggi dan menurunkan proporsi kadar TSH neonatal > 5 uU/ml dan
meningkatkan status gizi bayi usia 3-4 bulan sehingga perlu diperluas dengan
mempelajari mutu gizi ASI, perkembangan bayi setelah lahir sampai usia balita
dan cost effectiveness untuk menurunkan risiko BBLR
134
6. Pemberian minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten dalam jangka
pendek dapat digunakan untuk menanggulangi GAKI di daerah endemik
terutama ditujukan terhadap targetted population dan bukan untuk program
community health mengingat bahwa berdasarkan pertemuan Penanggulangan
dan Eliminasi GAKI
di Thailand telah menghasilkan kesepakatan
mengutamakan menggunakan garam beriodium
135
DAFTAR PUSTAKA
Adriani M, Wirjatmadi B, Gunanti IR. 2002. Identifikasi Gondok di Daerah
Pantai: Suatu Gangguan Akibat Kekurangan Yodium?. Jurnal GAKY
Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 3(1): 17-30.
Aghini-Lombardi F, Pinchera A, Antonangeli L, Rago T, Chiovato L, Bargagna S,
Bertucelli B, Ferretti G, Sabrana B, Marcheschi M. 1995. Mild Iodine
Deficiency During Fetal/ Neonatal Life and Neuropsychological Impairment
in Tuscany. J Endocrinol Invest 18:57-62.
Almatzier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anwar US, Anwar ZR, Filteau SM, Sullivan KR, Tom AM. 1998. The Impact of
Maternal Supplementation with a Single Dose of Oral Iodized Poppyseed
Oil on Infant Thyroid Status in Rural Bangladesh. IDD Newsletter 14 (1).
Ariawan I. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Jurusan
Biostatistika dan Kependudukan. Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia.
Arthur JR, Nicol F, Beckett GJ. 1993. Selenium Deficiency, Thyroid Hormone
Metabolism, and Thyroid Hormone Deiodinases. Am J Clin Nutr 57
supl:236S-239S.
Azizi F, Sarshar A, Nafarabadi M, Ghazi A, Kimiagar M, Noohi S, Rahbar N,
Bahrami A, Kalantari S. 1993. Impairment of Neuromotor and Cognitive
Development in Iodine-Deficient Schoolchildren with Normal Physical
Growth. Acta Endocrinol 129:501-504.
Balai GAKI. 2006. Index Hipothyroid Bayi (1-12 bulan). Borobudur, Magelang.
Budiman B, Hartono B, Sularso K, Latinulu S, Riyadi DB. 1998. Studi Faktor
Risiko Melahirkan Bayi Kretin pada Ibu Hamil di Daerah GAKI Endemik.
Laporan Riset. RUT-III. Puslitbang Gizi, Badan Litbang Kesehatan,
Depkes. Kantor Negara Riset dan Tehnologi Dewan Riset Nasional.
Beard JL, Borel MJ. 1990. Impaired Thermoregulation and Thyroid Function in
Iron Deficiency Anemia. Am J Clin Nutr 1990; 52: 813-9.
Beard JL, Brigham DE, Kelly SK, Green MH. 1998. Plasma Thyroid Hormone
Kinetics are Altered in Iron Deficiency Rats. J Nutr 128: 140-8.
Bendich A. 1988. The Safety of Carotene. Nutr Cancer 11: 207-214.
136
Benmiloud M, Chaouki ML, Gutekunst R, Terchert HM, Wood WG, Dunn JT.
1994. Oral Iodized Oil for Correcting Iodine Deficiency: Optimal Dosing
and Outcome Indicator Selection. J. Clin. Endocrinol & Metabolism 79 (1):
20-24.
Berdanier CD. 2000. Advanced Nutrition Micronutrients. Boca Raton, New York:
CRC Press.
Bernal, J. 2005. The Significance of Thyroid Hormone Transporters in The Brain.
Endocrinology 146 :1698-1700.
Blaner WS. 1998. Recent Advances in Understanding The Molecular Basis of
Vitamin A Action. Sight and Life. Newsletter 2: 3-6.
Bleichrodt N, Rey FED, Escobar GM, Garcia I, Rubio C. 1989. Iodine
Deficiency. Implications for Mental and Psychomotor Development in
Children. In: G.R. DeLong, J. Robbins, and P.G. Condliffe, editors. Iodine
and The Brain. New York: Plenum Press publ. 269-287.
Bleichrodt N, Born MP. 1994. A Meta Analysis of Research on Iodine and Its
Relationship to Cognitive Development. In: J.B. Stanbury, editor. The
Damaged Brain of Iodine Deficiency.NewYork. Cognizant Communication
publ. 195-200.
(BPS) Biro Pusat Statistik. 2000. Laporan Hasil Survey Konsumsi Garam Yodium
Rumah Tangga 2000. Jakarta: Kerjasama Badan Pusat Statistik dengan
Departemen Kesehatan dan Bank Dunia.
Brody T. 1999. Nutritional Biochemistry. New York: Academic Press.
Burgi H, Helbling B. 1996. Methods of Iodine Supplementation. What is The
Best Where?. In: Nauman J, Glinoer D, Braverman LE, Hostalek U, editor.
The thyroid and iodine. New York:Schattauer.
Buttfield IH, Hetzel BS. 1967. Endemic Goitre in Eastern New Guinea with
Special Reference to The Use of Iodized Oil in Prophylaxis and Treatment.
Bull World Health Organization 36: 243-62.
Cao XY, Jiang XM, Dou ZH, Rakeman MA, Zhang ML, O’Donnel K, Ma T,
Amette K, DeLong N, DeLong GR. 1994. Timing of Vulnerability of The
Brain to Iodine Deficiency in Endemic Cretinism. N Engl J Med 331(26):
1739-1744.
Chastin I. 1992. Lipiodol Ultra-Fluid for The Prevention and Treatment of
Endemic Goiter and Associated Pathologies. Rossy. Charles de Gaulle
Cedex. Laboratoire Guerbet France.
137
Chouki ML, Benmiloud M. 1994. Prevention of Iodine Deficiency Disorders By
Oral Administration of Lipiodol During Pregnancy. Eur J Endocrinol
130(6):547-51 .
Contempré B, Jaumiaux E, Colvo R, Jurkovic D, Campbell S, de Escobar GM.
1993. Detection of Thyroid Hormones in Human Embryonic Cavities
During The First Trimester of Pregnancy. J Clin Endocrinol Metab
77:1719-1722.
Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. 1989. Adaptasi Ibu Terhadap
Kehamilan. Suyono J, Hartono A, penerjemah; Ronardy DH, editor, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC 1995. Terjemahan dari: Williams
Obstetrics.
Dahro M. 2001. Pengaruh Berbagai Cara Pengolahan untuk Mengurangi Sifat
Goitrogenik Tiosianat pada Beberapa Bahan Makanan di Daerah Gondok
Endemik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Bogor.
Day HG. 1997. Young Rats Need Unknown Growth Factors. J Nutr 127 (5 Suppl)
1029S-1031S.
Delange FM. 1986. Occurrence and Significance of Disorders of Thyroid
Function During The Neonatal Period in Endemic Goitre Areas. In:
Kochupillai, Karmarkar MG, editor. Iodine Nutrition Thyroxine and Brain
Development.
Proceedings of The International Symposium-cumWorkshop on Iodine Nutrition, Thyroxine and Brain Development Held at
All India Institute of Medical Sciences. New Delhi, February 23-28. New
Delhi: Tata McGraw-Hill Publs 94-102 .
Delange F, DeVijlder J, Morrealede Escobar G, Rochiccioli, P, Varrone S. 1989.
Significance of Early Diagnostic Data in Congenital Hypothyroidism:
Report of The Subcommittee on Neonatal Hypothyroidism of The European
Thyroid Association. In: Delange F, Fisher DA, Glinoer D, editor. Research
in Congenital Hypothyroidism. NewYork: Plenum Press. hlm 225-234.
Delange F. 2001. Iodine Deficiency As a Cause of Brain Damage. Postgrad Med J
77: 217-220.
Delange F, Benist BD, and Burgi H. 2001. At What Median Urinary Iodine
Concentration is As Population Iodine Sufficient?. IDD Newsletter 2001;7
(1): 10-11.
Delange F, Fisher DA. 2006. The Iodine Deficiency Disorders (Chapter 20). The
Thyroid
and
Its
Diseases.
(Thyroid
Disease
Manager).
http://www.thyroidmanager.org/thyroid_links.html. [20 Maret 2007].
Departemen Kesehatan. 1996. Laporan Akhir Konsumsi Gizi Tahun 1995. Jakarta.
138
Departemen Kesehatan. 1998. Laporan Akhir Survei Prevalensi Dan Pemetaan
GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium) Koordinator Wilayah III
dan Koordinator Studi untuk Enam Koordinator Wilayah. Jakarta.
Departemen Perindustrian dan Unicef. 1990. Petunjuk Pembuatan Garam
Beriodium. Jakarta: Direktorat Jenderal Industri Kimia Dasar.
Departemen Kesehatan. 2000a. Pedoman Distribusi Kapsul Minyak Beryodium.
Dirjen Binkesmas, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 614.594.2 Ind P.
Departemen Kesehatan. 2000b. Pedoman Distribusi Kapsul Minyak Beryodium,
Cetakan Kedua, (kode Ind 614.594.2 P).
Departemen Kesehatan. 2002. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Depkes RI
dan JICA.
DeViljder JJM, Vulsma T, Kooistra L, Piosik P, Baas F, Kok JH. 1996. The
Importance of Partial Deprivation of Iodine and Thyroid Hormone During
Pregnancy for The off Spring. In: Nauman J, Glinoer D, Braverman LE,
Hostalek U. editor. The Thyroid and Iodine. Merck European Thyroid
Symposium. Warsaw, May 16-18. New York: Schattauer 123-128.
Djokomoeljanto. 1989. Latar Belakang dan Aspek Medis Masalah Gangguan
Akibat Kekurangan Iodium (GAKI). Gizi Indonesia 14: 1-8.
Djokomoelyanto R, Hadisaputro S, Darmono, Soetardjo, Toni S. 1993. Laporan
Penelitian Pengalaman Penggunaan Yodium dalam Minyak Yodiol di
Daerah Gondok Endemik. Kongres Nasional III Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PEKENI). Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Djokomoeljanto. 1994. Gangguan Akibat Defisiensi Yodium dan Gondok
Endemik. Di dalam: Soedarman, editor. Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta,
Penerbit EGC: hlm 449-454.
Djokomoeljanto. 1996. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium. Di dalam: Noer S,
editor. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam. Yakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm
749-756.
Djokomoeljanto. 2001a. Masalah Gangguan Anemia Akibat Kurang Yodium.
Jurnal Data dan Informasi Kesehatan 1(1): 31-39.
Dobbing J, Sands J. 1973. Quantitative Growth and Development of Human
Brain. Arch Dis Child 48:757-767.
Dunn JT. 1987. Iodized Oil in The Treatment and Prophylaxis of IDD. In: Hetzel
BS, Dunn JT, Stanbury JB, editor. The Prevention and Control of Iodine
Deficiency Disorders. Amsterdam: Elsevier 127-34 .
139
Dunn JT, Van Der Haar F. 1990. A Practical Guide to The Correction of Iodine
Deficiency. WHO/Unicef/IDD. The Netherland.
Dunn JT. 2002. Iodine Excess in IDD Control Programs. Jurnal GAKY Indonesia
(Indonesian Journal of IDD) 2 (1): 20-24.
Elnagar B et al. 1995. The Effects of Different Doses of Oral Iodized Oil on
Goiter Size, Urinary Iodine, and Thyroid-Related Hormones. J Clin
Endocrinol Metab 80(3): 891-7.
Eltom M, Karlsson, Kamal AM, Bostrom H, Dahlberg PA. 1985. The
Effectiveness of Oral Iodized Oil in The Treatment and Prophylaxis of
Endemic Goitre. J Clin Endocr Metab 6: 1112-7.
Fenzi GF, Giusti LF, Aghini-Lombardi F, Bartalena L, Marcocci C, Santini F,
Bargagna S, Brizzolara D, Ferretti G, Falciglia G. 1990.
Neuropsychological Assessment in Schoolchildren from an Area of
Moderate Iodine Deficiency. J Endocrinol Invest 13:427-431.
Gaitan E, Robert CC, Raymond HL. 1986. Factor Other Than Iodine Deficiency
in Endemic Goiter: Goitrogens and Protein-Calorie Malnutrition (PCM). In:
Dunn JT, Pretell EA, Daza CH, Viteri FE, editor. Towards The Eradication
on Endemic Goiter,Cretinism, and Iodine Deficiency. Washington,DC, Pan
American Health Organization.
Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Widjajakusumah D, Irawati
D, Siagian M, Moeloek D, Pendit B, penerjemah; Hartawan B, Mandera L,
editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.
Glinoer D, De Nayer P, Delange F, Lemone M, Toppet V, Spehl M, Grunt JP,
Kinthaert, Lejeune B. 1995. A Randomized Trial for The Treament of Mild
Iodine Deficiency During Pregnancy: Maternal and Neonatal Effects. J Clin
Endocril and Metabol 80(1)258-269.
Granner DK. 1985. Hormon Hipofisa dan Hipotalamus. Darmawan I,
penerjemah; Jakarta: EGC Penerbit. Terjemahan dari: Harper’s Review of
Biochemistry.
Greenspan FS, Baxter JD. 1995. Endokrinologi Dasar & Klinik. Wijaya C,
Maulany RF, Samsudin S, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC 1995. Terjemahan dari: Basic and Clinical Endocrinology.
Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism.
Singapore: Wadsworth/Thomson Learning.
Guyton AC. 1982. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Andrianto P,
penerjemah; Jakarta; Penerbit EGC. Terjemahan dari: Human Physiology
and Mechanisms of Disease.
140
Hadisaputro S, Djokomeljanto, Henry S, Penny Y. 2004. Efektifitas Dosis dan
Waktu Pemberian Yodium Oral pada Ibu Hamil di Daerah Gondok
Endemik (Dose and Time Effectivity of Administered Iodized Oral for
Pregnant Women in Endemik Goitre Area). Panduan Seminar Nasional
Pemaparan Hasil Penelitian Hibah Bersaing VIII Jakarta, 27-29 Juli 2004.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional; 2004.
Harada A, Hersman JM, Reed AW, Braunstem GD, Dignan WJ, Derzko C,
Friedman S, Jewelewicz R, Pekary AE. 1979. Comparison of Thyroid
Stimulators and Thyroid Hormone Concentrations in The Sera of Pregnant
Women. J. Clin Endocrinol Metab 48:793-797.
Hartono B. 2001. The Influence of Iodine Deficiency during Pregnancy on
Neurodevelopment from Birth to Two Years [disertasi]. University
Amsterdam: Diponegoro University Press, Indonesia.
Hatcock JN, Hattan DG, Jenkins MY, McDonald JT, Sundaresan PR, Wilkening
VL. 1990. Evaluation of Vitamin A Toxicity. Am J Clin Nutr 52:183-202.
Hess SY, Zimmerman MB, Adou P, Torresan T, Hurrell RF. 1998. Treatment of
Iron Deficiency in Goitrous Children Improves The Efficacy of Iodized Salt
in Cote d’Ivore. Am J clin Nutr 75(4): 743-748.
Hetzel BS, Hay ID. 1979. Thyroid Function, Iodine Nutrition and Fetal Brain
Development. Clin Endocrinol 11:445-460.
Hetzel BS, Chevadej J, Potter BJ. 1988. The Brain in Iodine Deficiency.
Neuropathology and Applied Neurobiology 14:93-104.
Howdeshell KL. 2002. A Model of The Development of The Brain As a Construct
of The Thyroid System. Enviromental Health Perspectives 110 (Supp 3):
337- 348 .
Husaini MA. 1992. Biokimia Fisiologi Gizi. Bogor: Depdikbud. Dikti. Pusat
Antar Universitas Ilmu Hayat IPB.
IVACG Statement. 1999. Safe Doses of Vitamin A During Pregnancy and
Lactation. Sight and Life. Newsletter 1: 34-36.
IVACG. 2002. Vitamin A Conversion to SI. http://ivacg.ilsi.org. [20 Maret 2007].
Karyadi D, Muhilal 1984. Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan. PT Gramedia,
Jakarta .
141
Kartono D, Soekarti M. 2004. Angka Kecukupan Mineral: Besi, Iodium, Seng,
Mangan, Selenium. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi
Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta:Persagi, Pergizi Pangan dan PDGMI;
2004. hlm 393-415.
Katz J, West KP, Khatry SK. 2000. Maternal Low- Dose Vitamin A or Beta
Carotene Supplementation Has no Effect on Fetal Loss and Early Infant
Mortality: a Randomized Cluster Trial in Nepal. Am J Clin Nutr 71: 15701576.
Lamid A, Hidayat TS, Arnelia, Andanwerti T, Afriansyah N. 1992. Penggunaan
Garam Beriodium oleh Masyarakat: Studi Kasus di 12 Desa di Propinsi
Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. PGM 15:38-45.
Lamid A. 2007. Gambaran Serum TSH pada Ibu Hamil di Wilayah Puskesmas
Pakis, Magelang. Biorekayasa Pangan dan Gizi, in press.
Lazarus MA 1993. Thyroid Hormone Receptor: Multiple Forms, Multiple
Possibilities. Endocr Rev 14(2): 184-193.
Li JQ, Wang X, Yan Y, Wang K, Qin D, Xin Z, Wei J. 1985. The Effects of
Severely Iodine Deficient Diet Derived from an Endemic Area on Fetal
Brain Development in The Rat. Observations in The First Generation.
Neuropathol and Appl Neurobiol 12:261-270.
Lundquist P, Rosling H, Sorbo B. 1985. Determination of Cyanide in Whole
Blood, Erythrocytes and Plasma. Clinical Chemistry 31:591-595.
Maberly GF, Corcoran JM, Eastman CJ. 1982. The Effect of Iodized Oil on
Goitre Size, Thyroid Function and The Development of The Jod-Basedow
Phenomenon. Clin Endocrinol 17: 253-60.
Mano MT, Potter BJ, Belling GB, Chevadej J, Hetzel BS. 1987. Fetal Brain in
Response to Iodine Deficiency in a Primate Model Callithrix Jacchus
Jacchus.J. Neurolog Sciences 79 :287-300.
Martin DW, Mayes PA, Rodwel VW, Granner DK. 1987. Biokimia (Harper’s
Review of Biochemistry). Iwan Darmawan, penerjemah; Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Harper’s Review of Biochemistry.
Matovinovic J. 1988. Iodine. In: Present Knowledge of Nutrition. First edition
Washington DC: The Nutrition Foundation.
McLaren DS, Frigg M. 2001. Sight and Life Manual on Vitamin A Deficiency
Disordes (VADD). Sight And Life Manual. Second Edition.
142
Morreale de Escobar G, Obregon MJ, EscobardelRey F. 2000. Is Neuropsychological Development Related to Maternal Hypothyroidism or to
Maternal Hypothyroxinemia? J Clin Endocrinol Metab 85:3975-3987.
Morreale de Escobar G, Obregon MJ, Escobar del Rey F. 2004. Role of Thyroid
Hormone During Early Brain Development. Eur J Endocrinol 151:U25U37.
Muhilal. 2004a. Monitoring and Evaluation of Nutrition Programme. Di dalam:
Satellite Meetings on Problems of Designing Appropriate Nutrition
Programs Evaluation in Indonesia. The Eight National Workshop on Food
and Nutrition. Jakarta, 17-19 May 2004.
Muhilal, Sulaeman A. 2004b. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Di dalam:
Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta,17-19 Mei 2004.
Jakarta Persagi, Pergizi –Pangan, dan PDGMI. hlm 331-342.
Novaes MJ, Biancalana MM, Garci SA, Rassi I, Romaldini JH. 1994. Elevation of
Cord Blood TSH Concentration in New Born Infants of Mothers Exposed to
Acute Povidone Iodine during Delivery. J Endocrinol Invest 17: 805-81994.
Oba K, Kimura S. 1980. Effects of Vitamin A Deficiency on Thyroid Function
and Serum Thyroxine Levels in The Rat. J Nutr Sci Vitaminol (Tokyo)
26:327-334.
Olson JA. 1996. Vitamin A. In: Ziegler EE, Filer J, editor. Persent Knowledge in
Nutrition. Seven Edition. Washington: ILSI Press. hlm 378-383.
Orgiazzi J, Madec AM. 1996. Autoimmune Thyroid Disease and Pregnancy. In:
Nauman J, Glinoer D, Braverman LE, Hostalek U. eds. The Thyroid and
Iodine. Merck European Thyroid Symposium. Warsaw, May 16-18. New
York: Schattauer 123-128.
Pambudi J, Ernawati F, Herman S. 2001. Hubungan Kandungan Karotinoid dan
Retinol dalam Darah dan ASI pada Ibu Menyusui di Daerah Penghasil dan
Bukan Penghasil Sayur. PGM 24: 24-32.
Pemda Kabupaten Magelang. 2007. Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang.
http://www.magelangkab.go.id. [2 Februari 2007].
Pennington JAT.1988. Iodine. In: Smith KT, editor. Trace Minerals in Foods.
Marcel Dekker, New York & Basel.
143
Permaesih D, Suwarti S, Rusmalina Y, Krisdinamurtirin Y, Murdiana A,
Syarifudin L, Komala, Mucherdiyantiningsih. 1996. Dampak Pemberian
Kapsul Yodium pada Ibu Menyusui Terhadap Kadar Yodium ASI, Status
Yodium Ibu dan Bayi Serta Imunisasi Bayi. Laporan Penelitian. Puslibang
Gizi, Depkes RI.
Pool R. 1986. Beliefs Concerning the Avoidance of Food During Pregnancy and
the Immediate Post Partum Period in a Tribal Area of Gujarat. Eastern
Anthropologist 39:251-259.
Potter BJ, McIntosh GH, Hetzel BS. 1981. The Effect of Iodine Deficiency on
Fetal Brain Development in The Sheep. In: Hetzel BS, Smith RM. editor.
Fetal Brain Disorders. Recent Approaches to The Problem of Mental
Deficiency. Amsterdam: Elsevier/North Holland Biomedical Press 119-148.
Prihatini S, Latinulu S. 2002. Pengaruh Status Gizi Terhadap Kadar Yodium Urin
Setelah Pemberian Kapsul Yodium pada Anak Sekolah Dasar di Daerah
Gondok Endemik. Penelitian Gizi dan Makanan 25:1-6.
Purwaningsih S. 1997. Studi Kandungan Selenium dan Iodium Makanan di Desa
Endemik dan Non Endemik GAKI: Kaitannya dengan Parameter Status
Selenium dan Iodium Pada Anak Sekolah [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rathus S.A. 1988. Understanding Child Development. New York: Rinehart and
Winston, Inc.
Rosling H. 1994. Measuring Effects in Humans of Dietary Cyanide Exposure
from Cassava. In:. Bokanga M, Essers A, Poulter N, Rosling H, Tewe O,
editor. Acta Horticultura International Workshop On Cassava Safety.
Ibadan, Nigeria. March 1-4 .
Roti E, Braverman LE. 1996. Iodine Excess and Thyroid Function. In: Nauman J,
Glinoer D, Braverman LE, Hostalek U, editor. The Thyroid and Iodine.
Merck European Thyroid Symposium. Warsaw, May 16-18. New York:
Schattauer 123-128.
Rustama DS. 2003. Skrining (Uji Saring) Hipotiroid pada Bayi Baru Lahir: Suatu
Upaya Deteksi Dini Kelainan Hipotiroid Kongenital (HK). Jurnal GAKY
Indonesia 4(2): 1-6.
Saidin M, Muherdiyantiningsih, Ridwan E, Ihsan N, Lamid A, Sukati dan Karyadi
Ll. 2002. Efektifitas Penambahan Vitamin A dan Zat Besi pada Garam
Yodium Terhadap Status Gizi dan Kosentrasi Belajar Anak Sekolah Dasar.
Penel Gizi dan Makanan 25 (1): 14-25.
144
Sattarzadeh M, Zlotkin SH. 1999. Iron is Well Absorbed by Healthy Adult After
Ingestion of Double-fortified (Iron and Dextran- Coated Iodine) Table Salt
and Urinary Iodine Excretion is Unaffected. J Nutr. 129 (1): 117-21.
Shresta RM. 1994. Effect of Iodine and Iron Supplementation on Physical,
Psychomotor and Mental Development in Primary Schoolchildren in
Malawi.: University of Wageningen. 1-105.
Sirajudin S. 2003 Sintesis Minyak Beriodium Kaya Beta Karoten dari Minyak
Sawit Merah dan Efikasinya Terhadap Pencegahan Defisiensi Iodium
[disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Stanbury JB. 1996. Iodine Deficiency and The Iodine Deficiency Disorders. In:
Ziegler EE, Filer J, editor. Persent Knowledge in Nutrition. Seven Edition.
Washington: ILSI Press. hlm 378-383.
Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics A Biometrical
Approach. Second Edition. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd.
Sunartini, 2005. Skrining Neonatus di Daerah Endemic GAKY. Disajikan dalam
Seminar Ulang Tahun Balai GAKY, Borobudur Magelang.
Sutanegara D. 2004. Kelebihan Iodine (Iodine Excess). Jurnal GAKY Indonesia
3(1-3): 44-50.
Thaha AR, Djunaidi M, Dachlan, Nurhaedar J. 2002. Analisis Faktor Risiko
Coastal Goiter. Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 1(1):
9-18.
Thien K, Tin Tin OO, Khin MN, Wrench JB. 1978. A Study of The Effect of
Intramuscular and Oral Iodized Poppy Seed Oil in The Treatment of Iodine
Deficiency. In: Hetzel BJ, editor. Current Thyroid Problem in South EastAsia and Oceania. Proceeeding of Asia and Occeania Thyroid Association
Workshop, Singapore.
Thurnham DI, Smith E, Flora PS. 1988. Concurrent Liquid-Chromatographic
Assay of Retinol, α-Tocopherol, β-Carotene, α-Carotene, Lycopene, and βCryptoxanthin in Plasma, with Tocopherol Acetate As an Internal Standard.
Clinical Chemistry 34(2): 377-381.
Tim
Penanggulangan GAKY Pusat. 2005. Rencana Aksi Nasional
Kesinambungan Program Penanggulangan Gangguan Akibat Kurang
Yodium.
Tiwari BD, Godbole MM, Chattopadhyay N, Mandal A, Mithal A. 1996.
Learning Disabilities and Poor Motivation to Achieve Due to Prolonged
Iodine Deficiency. Am J Clin Nutr 63:782-786.
145
Tonglet R, Bourdoux P, Minga T, Ermans AM 1992. Efficacy of Low Oral Doses
of Iodized Oil in The Control of Iodine Deficiency in Zaire. N Engl J Med
326: 236-241.
Tood CH, Allain T, Gomo ZAR, Hasler JA, Ndiweni M, Oken E. 1995. Increase
in Thyrotoxicosis Associated with Iodine Supplements in Zimbabwe. Lancet
346: 1563-4.
Tortora GJ, Anagnostakos NP. 1990. Principles of Anatomy and Physiology. New
York: Harper&Row.
Underwood BA. 1998. From Research to Global Reality: The Micronutrient
Story. J Nutrn 128 (2):145-51.
Untoro J. 1999. Use of Oral Iodized Oil to Control Iodine Deficiency in
Indonesia. [disertasi]. Wageningen: Division of Human Nutrition and
Epidemiology, Wageningen Agricultural University.
Van den Briel T, West CE, Bleichrodt N, Vijver FJ, Ategbo EA, Hauvast JGAJ.
2000. Improved Iodine Status is Associated with Improved Mental
Performance of Schoolchildren in Benin. Am J Clin Nutr 72:1179-1185.
Van der Heidi D, de Goeje MJ, van der Bent C. 1989 The Effectiveness of Oral
Administered Iodized Oil in Rat and Man. Annales d’endocrinologie 50:
116.
Vermiglio F, Sidoti M, Finocchiaro MD, Battiato S, Presti VPL, Benvenga S,
Trimarchi F. 1990. Defective Neuromotor and Cognitive Ability in IodineDeficient Schoolchildren of an Endemic Goiter Region in Sicily. J Clin
Endocrinol Metab 70:379-384.
Vitti P, Aghini-Lombardi F, Antonangeli L, Rago T, Chiovato L, Pinchera A,
Marcheschi M, Bargagna S, Beruccelli B, Ferretti. 1992. Mild Iodine
Deficiency in Fetal/Neonatal Life and Neuropsychological Performances.
Acta Medica Austriaca 19:57-59.
Vulsma T, Gons MH, DeVijlder JJ. 1989. Maternal-fetal Transfer of Thyroxine
in Congenital Hypothyroidism Due to a Total Organification Defect or
Thyroid Agenesis. N Engl J Med 321:13-16.
Wake K. 1994. Role of Perisinusoidal Stellate Cells in Vitamin A Storage. In:
Blomhoff R, editor. Vitamin A in Health and Disease. New York, Marcel
Dekker pp 73-86.
West KP, Katz J, Khatry SK, LeClerq SC, Pradhan EK, Shresta SR, Connor PB,
Dali SM, Christian P, Pokhrel RP, Sommer A. 1999. Double Blind, Cluster
Randomized Trial of Low Dose Supplementation with Vitamin A or Beta
Carotene on Mortality Related to Pregnancy in Nepal. BMJ 318:570-575.
146
WHO/Unicef/ICCIDD. 1992. Consultation on the Indicators for Assessing Iodine
Deficiency Disorders and Their Control through Salt Iodization. Geneva, 35 November 1992.
WHO/Unicef/ICCIDD. 1993. Indicators for Assessing Iodine Deficiency
Disorders and Their Control Programmes. Geneva, 3-5 November 1992.
WHO/Unicef/ICCIDD. 1994. Indicators for Assessing Iodine Deficiency
Disorders and Their Control Through Salt Iodization. WHO, Geneva.
WHO. 1994. Statement on Iodized Salt 1994. IDD Newsletter 10(4):43.
World Health Organization. Joint WHO/UNICEF/ICCIDD. 1997. Consultation.
Review Of Findings from 7-Country Study in Africa on Levels of Salt
Iodization in Relation to Iodine Deficiency Disorders, Including IodineInduced Hyperthyroidism. Geneva.
World Health Organization. 1998 . Safe Vitamin A Dosage during Pregnancy and
Lactation. Recommendations and Report from a Consultation Micronutrient
Series. Geneva.
World Health Organization. 2001. Assessment of Iodine Deficiency Disorders and
Monitoring Their Elimination. A Guide for Programme Managers. Second
edition.
Wijaja-Erhardt M, Untoro J, Karyadi E, Wibowo L, Gross R. 2007. Efficacy of
Daily and Weekly Multiple Micronutrient Food-Like Tablets for The
Correction of Iodine Deficiency In Indonesian Males Aged 6-12 Mo. Am J
Clinical Nutrition, Jan; 85: 137-143.
Wikipedia. 2007. Iodine. http://en.wikipedia.org/wiki/iodine. [14 Mei 2007].
Wildman REC, Medeiros DM. 2000. Advanced Human Nutrition. New York.:
CRC Press.
Wilson JD, Foster DW. 1992 Williams Texbook of Endocrinology. 8
WB Saunders Company, Philadelphia.
th
edition.
Wolf G 2002. The Regulation of The Thyroid-Stimulating Hormone of The
Anterior Pituitary Gland by Thyroid Hormone and by 9-cisretinoic Acid.
Nutr Rev 60:374-377.
Zaleha MI, Iskandar Z, Khalid AK, Osman A. 2000. Effect of Iodized Oil
Supplementation on Thyroid Hormone Levels and Mental Performance
among Orang Asli Schoolchildren and Pregnant Mothers in an Endemic
Goitre Area in Peninsular Malaysia. Asia Pacific J Clin Nutr 9(4): 274-281.
147
Zhong FG, Cao XM, Liu JL. 1983. Experimental Study on Influence of Iodine
Deficiency on Fetal Brain in Rats. Chinese J Pathol 12:205-216.
Zimmerman MB. 2005. The Effects of Vitamin A Deficiency and Vitamin A
Supplementation on Thyroid Function in Goitrous Children. Sight and Life.
Newsletter 3: 3-9.
148
LAMPIRAN
149
Lampiran 1. Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan
150
Lampiran 2 Surat Persetujuan untuk Penelitian (Informed Consent)
Judul :
EFIKASI MINYAK BERIODIUM DOSIS RENDAH UNTUK
MENANGGULANGI GAKI PADA IBU HAMIL DI DAERAH ENDEMIK
Nama ibu / suami
: ..........................................
Umur ibu
: ........................................
Alamat Dusun
: .........................................
RT/RW
: .........................................
Desa
: .........................................
Kecamatan/Kabupaten
: .........................................
Telah mendapat penjelasan tentang penelitian
EFIKASI
MINYAK
BERIODIUM DOSIS RENDAH UNTUK MENANGGULANGI GAKI PADA
IBU HAMIL DI DAERAH ENDEMIK dan setuju untuk ikut serta dalam
penelitian ini, dengan catatan bahwa bila suatu waktu merasa dirugikan dalam
bentuk apapun kami berhak untuk membatalkan persetujuan ini
Magelang , ........................2005
Yang menyetujui:
Mengetahui,
Peneliti
(
)
(
)
151
Lampiran 3 Kuesioner Indeks Hipotiroid Bayi (1-12 bulan)
KUESIONER INDEKS HIPOTIROID
1. Identitas
1. Nama anak
2. tempat/ tgl lahir/ umur
3. Nama ibu/ ayah
4. Alamat/ dsn/ desa/ Kec/ Kab
5. No anak diobservasi bln ini
: ………………………
: ………………………
: ………………………
: ………………………
: ………………………
II. Indeks (Beri tanda X pada gejala yang sesuai )
1. (….) Sulit menelan/ tidak mau netek/ kurang nafsu makan (1)
2. (….) Konstipasi/ sulit BAB (1)
3. (….) Lemas/ tidak aktif/ lesu/ letargik (1)
4. (….) Hipotonia generalisata (1)
5. (….) Hipothermia (1)
6. (….) Kulit kasar/kering berbintik–bintik (1,5)
7. (….) Cacat fisik (sebutkan……………………………..) (1)
8. (….) Mudah kejang (1)
9. (….) Bibir/ lidah membesar (1)
10. (….) Mengalami miksedema progresif/ kelopak mata bengkak (2)
11. (….) Wajah khas/ pig face/ mongoloid/ kembar sejagat (3)
12. (….) UUK terbuka (1,5)
13. (….) Berambut kaku kasar dan jarang (1)
14. (….) Tuli (1)
15. (….) Mata juling/ strabismus (1)
16. (….) Hypersaliva/ ngiler terus (1)
17. (….) Tidak bersuara/ jarang menangis/ suara kecil parau/ tidak
terdengar (2)
18. (….) Bodong/ herla umbilikalis (1)
19. (….) Perkembangan psikomotorik bayi terlambat/ belum
tengkurap, duduk, merangkak, berdiri, jalan (2)
20. (….) BB nya kurang sesuai umur (2)
Total skor (25)
Skor
Isi yang
sesuai
1. (….)
2. (….)
3. (….)
4. (….)
5. (….)
6. (….)
7. (….)
8. (….)
9. (….)
10. (….)
11. (….)
12. (….)
13. (….)
14. (….)
15. (….)
16. (….)
17. (….)
18. (….)
19. (….)
20. (….)
……..*
* Total skor =2 dirujuk. Total skor 5 atau lebih diduga positif hipotiroid
Sumber: Balai GAKI (2006)
Tanggal pemeriksaan
Nama pemeriksa
152
Lampiran 4 Prosedur Analisa Serum TSH
PROSEDUR ANALISA SERUM TSH
Metode ELISA
Preparasi Reagen
A. Working wash solution (Wash).
Larutkan 20 ml Wash ditambah 1000 ml dengan aquadest pada penyimpanan
suhu 15-250C stabil selama 60 hari .
B. Substrat working solution (Sub).
Campurkan sub A dan sub B dengan perbandingan 1:1 dan campur. Pada
penyimpanan suhu 2-8 0 C stabil selama 30 hari .
Prosedur
1. Pipet standar konsentrasi 0; 0.5 ; 3.0 ; 6.0 ; 15.0; 30.0 masing-masing 50 μL
2. Pipet contoh sebanyak 50 μL
3. Tambahkan reagen CON sebanyak 100 μL pada masing-masing contoh dan
standar
4. Inkubasi selama 1 jam diatas shaker pada suhu ruang
5. Buang isi lubang dalam larutan Sod Hypoklorid 5 %
6. Cuci dengan larutan Wash sebanyak 5 kali dengan volume tiap lubang 300 μL
lama rendaman 30 detik dengan alat Washer Automatic
7. Tambahkan reagen Sub sebanyak 100 μL dan inkubasi diatas shaken pada
suhu ruang selama 15 menit
8. Kemudian tambah 100 μL reagen Stop solution inkubasi diatas shake dan
dibaca pada panjang gelombang 450 nm dalam 30 menit dengan program KC4
9. Hasil berupa konsentrasi, Absorbant dan Curva
Nilai normal orang dewasa: 0.1-5.0 mU/L
153
Lampiran 5 Prosedur Analisa Serum Free T4 (FT4)
PROSEDUR TETAP SERUM FREE T4
Metode ELISA
Preparasi reagen
A. Working wash solution (Wash)
Larutkan 20 ml Wash menjadi 1000 ml dengan aquadest pada penyimpanan
suhu 15-250C stabil selama 60 hari
B. Substrat working solution (Sub)
Campurkan sub A dan sub B dengan perbandingan 1:1 dan campur. Pada
penyimpanan suhu 2 - 80C stabil selama 30 hari
Prosedur
1. Pipet standar kosentrasi 0... 0.42 .. 1.05.. 2.05 .. 4.2 ..7.4 masing-masing 50 μL
2. Pipet contoh sebanyak 50 μL
3. Tambahkan reagen CON sebanyak 100 μL pada masing-masing contoh dan
standar
4. Inkubasi selama 1 jam diatas shaker pada suhu ruang
5. Buang isi lubang dalam larutan Sod Hypoklorid 5 %
6. Cuci dengan larutan Wash sebanyak 3 kali dengan volume tiap lubang 300 μL
lama rendaman 30 detik dengan alat Washer Automatic
7. Tambahkan reagen Sub sebanyak 100 μL dan inkubasi diatas shaker pada
suhu ruang selama 15 menit
8. Kemudian tambah 100 μL reagen Stop solution inkubasi diatas shake dan
dibaca pada panjang gelombang 450 nm dalam 10 menit dengan program KC4
9. Hasil berupa kosentrasi, Absorban dan Curva
Nilai normal FT4
0.8 – 2.2 ng /dl
154
Lampiran 6 Prosedur Analisa Hb
PROSEDUR ANALISA Hb
METODA CYANMETHEMOGLOBINE
PROSEDUR
1. Pipet larutan Drabkin sebanyak 5 ml masukkan ke dalam tabung reaksi
2. Pipet 20 μL darah kemudian masukkan ke dalam larutan drabkin dan
homogenkan
3. Baca dengan Hb Meter
4. Baca juga blanko dan standar
5. Hasil berupa kosentrasi dengan satuan g/dl
Nilai normal wanita hamil
: ≥ 11 g/100 ml
wanita menyusui : ≥ 12 g/100 ml
155
Lampiran 7 Prosedur Analisa Serum Vitamin A (Retinol)
PROSEDUR EKSTRAKSI VITAMIN LARUT LEMAK DALAM
SERUM/PLASMA (Thurnham 1988)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Ambil 100 ul serum/plasma
100 ul SDS (10mmol)
Campur dengan perlahan pada saat penambahan SDS
200 ul internal standar
Campuran diatas masukan dalam tabung dan diaduk dengan vortex mixer
selama 1 menit
1000 ul heptan mengandung 0.5 g/L BHT
Campuran diatas diaduk selama 3 menit dengan vortex mixer
Sentrifuse selama 10 menit pada 1000 rpm
Ambil 700 ul dengan pipet mikro lapisan atas heptan dan keringkan
dengan gas nitrogen
Setelah kering campuran kemudian tambahkan dengan 100 ul fase mobil
Campurkan dengan vortex mixer selama 15 detik
Kemudian ambil sebanyak 20 ul siap untuk diinjek
Nilai normal serum retinol ≥ 20 ug/dl= 0.698 μmol/L
156
Lampiran 8 Prosedur Pemeriksaan Ekskresi Iodium Urin (EIU)
PROSEDUR PEMERIKSAAN EIU
Metode: Ammonium Persulfate Digestion
Pembuatan Reagen EIU
1. Ammonium Persulfate Solution
Larutkan 228.2 g (NH4)2S2O8 dalam 1 L H2O. Simpan dalam ruang
gelap, stabil untuk 6 bulan
2. Arsenious acid solution
Masukkan 5 g As2O3 dan 25 NaCl ke dalam 1 L labu Erlenmeyer, lalu
tambahkan 200 ml 5 N H2SO4 (Siapkan dengan menambah hati-hati 140
ml H2SO4 pekat dengan H2O sampai 1 L). Tambahkan H2O 500 ml,
panaskan dengan stirring sampai larut, lalu dinginkan dalam temperatur
kamar. Tambahkan dengan H2O sampai 1 L. Simpan dalam ruang gelap,
stabil untuk 6 bulan.
3. Ceric Ammonium Sulfate Solution
Larutkan 24 g Ceric Ammonium Sulfate dalam 1 L 3.5N H2SO4 (Siapkan
dengan menambahkan hati-hati 97 mL H2SO4 pekat dengan H2O sampai 1
L). Dibuat paling lambat 24 jam sebelum digunakan, dan simpan dalam
tempat gelap, stabil untuk 6 bulan.
4. Iodine Standar
• Solution A: Larutkan 0.168 g KIO3 dalam H2O dibuat menjadi l L
dalam labu ukur. Larutan ini sebanding dengan 100 mg/L. Simpan
dalam refrigerator, stabil untuk 6 bulan
• Solution B; Encerkan 2 mL Solution A sampai 100 mL dengan H2O
dalam labu ukur. Larutan ini sebanding dengan 2000 μg/L. Simpan
di refrigerator, stabil selama 1 bulan.
• Solution C: 500 μL Solution B diencerkan menjadi 5 mL dengan
H2O setara dengan 200 μg/L
Prosedur pemeriksaan EIU
1. Contoh urin larutan standar dan reagen dipastikan pada suhu kamar
2. Setiap standar dibuat duplo berturut-turut: std 12.5 (tabung 3 & 4), std 25
(tabung 5 & 6), std 100 (tabung 9 & 10), dan std 200 (tabung 11 & 12).
3. Pembuatan standar dengan memipet 250 μL H2O mulai dari tabung no 1 & 2
(untuk blanko) sampai dengan tabung no 10.
5. Pipet 250 μL Solution C masukkan dalam tabung no 12, 11, 10 dan 9.
6. Vortex tabung no 10 & 9 lalu pipet 250 μL ke tabung no 8 & 7 (100 μg/L).
7. Vortex tabung no 8 & 7 lalu pipet 250 μL ke tabung no 6 & 5 (50 μg/L)
8. Vortex tabung no 6 & 5 lalu pipet 250 μL ke tabung no 4 & 3 (25 μg/L)
9. Vortex tabung no 4 & 3 lalu buang 250 μg/L dari masing-masing tabung (12.5
μg/L)
10. Campur contoh Urin kemudian pipet 250 μg/L ke dalam tabung contoh.
157
11. Tambahkan 1 mL Ammonium Persulfate ke dalam tabung, campur dengan
hati- hati.
12. Panaskan dalam dry bath 91-95 0 C selama I jam
13. Dinginkan tabung sampai mencapai suhu kamar
14. Tambahkan 3.5 mL Arsenious acid ke semua tabung, campur dengan vortex
dan biarkan selama 15 menit
15. Tambahkan 400 μg/L Ceric Ammonium Sulfat ke semua tabung dengan
interval 30 detik, campur dengan vortex sesudah penambahan.
16. Dahulukan pembacaan blanko (tabung 1 & 2) pada panjang gelombang 420
nm tanpa menunggu 30 menit (umumnya sampai 30 menit) hingga pembacaan
dibawah 1000
17. Lanjutkan pembacaan tabung berikutnya dengan interval 30 detik
158
Lampiran 9 Prosedur Penetapan KIO3 Garam Beriodium
PROSEDUR PENETAPAN KIO3 GARAM BERIODIUM
(Departemen Perindustrian & Unicef 1990)
A. Reagen
1.
Larutan standar primer KIO3 0.1 N
2.
Larutan standar Na2S2O3 0.005 N
3.
Chloroform atau Mercuri Iodida
4.
H3PO4 85 %
5. Larutan kanji/amylum 1 % 6. Kalium Iodida (KI)
B. Prosedur Analisa
1. Pembuatan larutan standar primer KIO3
Timbang dengan teliti 21.3 gram KIO3 pure analitik dan diencerkan sampai
volume 1 liter di dalam labu takar. Larutan ini normalitetnya 0.1 N.
Untuk menjadi 0.005 N ambil 50 ml diencerkan dalam 1.000 ml aquadest.
2. Pembuatan larutan standar Na2S2O3
Natrium Thiosulfat mudah diperoleh dengan kemurnian tinggi, tetapi ketidak
tentuan dari jumlah molekul air kristal serta alasan kestabilan, maka Natrium
Thiosulfat bukan larutan standar primer.
Berat molekul Na2S2O3 5 H2O = 248.19
3. Prosedur pelaksanaannya
a. Timbang 25 gram garam (NaCl p.a.) dan masukkan ke dalam Erlen
Meyer 300 ml. Tambahkan aquadest 125 ml sehingga volume larutan
sekitar 150 ml
Dikocok-kocok sampai semua NaCl larut
a. ambil dengan pipet 5 ml larutan KIO3 0.005 N dan masukkan ke dalam
larutan garam diatas
b. Tambahkan 2 ml larutan H3PO4 85 % dan 2 ml larutan kanji 1 (satu) %
c. Tambahkan seujung sendok kecil kira-kira 0.1 gram kristal KI, diadukaduk dengan gelas pengaduk.
d. Segera titrasi dengan larutan Na2S2O3 0.005 N dari micro buret, sampai
warna biru hilang (misalnya: diperlukan larutan Thiosulfat sebanyak: A
ml).
4. Analisa Iodat dalam garam
a. Timbang dengan teliti 25 gram contoh garam (dalam beaker atau gelas Piala
berukuran 250 ml yang bersih dan kering).
b. Tambahkan aquadest 125 ml dan diaduk-aduk sampai semua garam melarut.
c. Tambahkan 2 ml H3PO4 85 % dan 2 ml larutan kanji 1 %
d. Tambahkan seujung sendok kecil Kalium Iodida sambil diaduk
e. Segera titrasi dengan larutan Na2S2O3 0.005 N sampai warna biru cepat
hilang (misalnya: diperlukan Thiosulfat sebanyak: B ml).
f. Untuk koreksi dilakukan pekerjaan blanko. Contohnya aquadest 125 ml (tidak
mengandung garam) ditambah H3PO4 85 %, kanji dan KI, kemudian dititrasi
dengan larutan standar H3PO4 0.005 N
159
Lampiran 10 Hasil Analisa Kadar KIO3 Garam Contoh pada Tiga
Kelompok Perlakuan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
Nama ibu hamil
Tumiyah
Tumisi
Ayem
Jumini
Hinawarsih
Dwi surami
Siti aisyah
Jumini
Slamet sulikah
Suryati
Srikanah
Suharti
Imtihanah
Umayah
Sarjuni
Siti
Karni
Tutik
Prihati
Warti
Aminah
Mujinem
Walmi
Sarti
Laminah
Darmi
Nurkhamimah
Siamiah
Isarofah
Haryani
Yamidah
Surami
Sunarsih
Winarni
Ropiah
Riyanti
37 Siti zaenah
38 Marlah
Alamat
Petung Pakis
Petung Pakis
Kaponan Pakis
Kaponan Pakis
Babadan Pakis
Pakis
Pakis
Kesingan Pakis
Kragilan Pakis
Kragilan Pakis
Pakis
Gondowangi Sw2
Gondowangi Sw2
Podosuko Sw2
Wonodadi Sw1
Windusajan Sw1
Wonodadi Sw1
Wonodadi Sw1
Wonolelo Sw1
Sanden Sw1
Plutungan Sw1
Wonolelo Sw1
Plutungan Sw1
Wonolelo Sw1
Ketep Sw 1
Wonolelo Sw 1
Surodadi Candi M
Candi Mulyo
Candi Mulyo
Candi Mulyo
Delanggu Candi M
Ngablak
Tejosari Ngablak
Tejosari Ngablak
Kirirejo Ngablak
Sowangan Ngablak
Ngargosuko
Klangkrik
Kaliangkrik
Jenis garam
Halus
Halus
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Curah
Krosok
Bata
Halus
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Kadar KIO3 mg/kg
80
112
34
9
12
50
93
33
14
12
39
0
30
57
25
27
39
49
50
16
31
48
37
25
30
30
63
60
20
30
76
13
30
31
30
14
31
32
160
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
Istianah
Iin Setyaningsih
Nurfatayati
Muhimatul
Rohaimah
Asriyah
Titik samrotul
Kartini
Mukayaroh
Sri wahyuni
Ani widiastuti
Bariyem
Nursidah
Nurhayati
Wanti
Siti jariah
Prihati
Slamet prihati
Sri hamti
Sarminah
Siyam
Titin Sumarni
Ngatiyem
Timah
Painten
Lestari
Semi
Tukini
Riyati
Nuryani
Itri
Nuning k
Jumiati
Triyati
Sofiatun
Sri Hartini
Musrifah
Sutarni
Narti
Siti Mukharoma
Rini wiyati
Apiyah
Nanik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Girirejo Klangkrik
Kaliangkrik
Endrokilo Klangkrik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Dukun
Banyudono Dukun
Pakis
Ngaliyan Pakis
Pakis
Pakis
Jambewangi Pakis
Rejosari Pakis
Pakis
Ketundan Pakis
Ketundan Pakis
Kragilan Pakis
Sawangan Sw2
Podosuko Sw2
Banyuroto Sw1
Banyuroto Sw1
Sawangan Sw1
Banyuroto Sw1
Banyuroto Sw1
Surodadi Candi M
Candi mulyo
Tepus Candi M
Ngablak
Bandongan Ngablak
Girirejo Ngablak
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Beseran Klangkrik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Halus
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Halus
Bata
Bata
Bata
Bata
Halus
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
53
30
44
30
22
27
12
30
30
66
72
58
56
30
30
41
14
26
38
37
11
46
120
64
31
67
16
56
30
31
11
15
76
30
19
30
14
73
30
10
48
10
41
161
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
Nurkhidah
Yati
Charsiti
Slamet
Maryati
Siyam
Marwati
Endang P.
Sri Lestari
Muryani
Tri Rohayati
Sulikah
Suratmi
Isgiarti
Dwi Haryani
Siti Khotijah
Rindayati
Ana Lestari
Haryani
Sri Murni
Kini
Supiah
Rofiati
Rohimah
Ruti
Sumiati
Karminah
Kurniati
Ropiah
Surni
Mujini
Salimah
Khasani
Dukun
Sewukan, Dukun
Kaliangkrik
Petung kidul Pakis
Petung Pakis
Petung Pakis
Muneng Pakis
Pakis
Pakis
Pakis
Rejosari Pakis
Kragilan Pakis
Kragilan Pakis
Gondowangi Sw2
Gondowangi Sw2
Gondowangi Sw2
Margowangsan Sw2
Bakalan Sw2
Kronggowanan Sw2
Kapuhan Sw2
Kapuhan Sw2
Surodadi Candi M
Candimulyo
Candimulyo
Deles Candi M
Kanigoro,Ngablak
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Klangkrik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Kaliangkrik
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Halus
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Halus
Bata
Bata
Bata
Bata
Halus
Bata
Bata
Bata
Halus
Bata
Halus
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
Bata
58
65
15
43
15
83
15
37
33
14
18
10
19
15
30
8
29
30
49
13
45
19
38
51
18
30
29
30
12
30
30
134
75
Keterangan:
Kadar KIO3 diperoleh dengan melakukan uji titrasi pada garam yang digunakan
contoh pada hari dilakukan wawancara
162
Lampiran 11 Merk Garam yang Digunakan Contoh pada Tiga Kelompok
Merek garam
Gajah duduk
Gajah
Btrndut
Dandut
Ndan ndut
Ndang dut
Dangdut
Ndang ndut ria
Deng ndut
Bm ndut
Jago
Bang ndut
Goyang ndan dut
Goyang mendut
Goyang ndut
Tito ndan dut super
Kelapa
Cap jempol
Apel merah
Bokor jaya
Mujirahayu
Kapal layar
Adipati
Segitiga G
Kapal laut
Karapan sapi
Perahu layar
Berdayung ria
Indandutan ria
Kelapa mendut
Goyang mendut
Bandgroup
Jempol
Ababil
Jenis garam
halus
halus,bata
bata
bata
bata
halus
bata
bata
bata
bata
bata
bata
bata
halus,bata
bata
bata
bata
bata
halus,bata
bata
bata
bata
bata
halus,bata
bata
halus
bata
bata
bata
bata
bata
bata
halus
halus
163
Lampiran 12 Uji Regresi Logistik Variabel Dependen Serum TSH Nifas
Faktor Risiko TSH Tinggi pada Ibu Nifas
Variabel independen
Suplemen
DT
DR
DDRB
Total asupan iodium
Asupan sianida bahan makanan
Pengetahuan GAKI
Rendah
Cukup
Tinggi
KEK
Asupan vitamin A
P
OR
95 % CL
0.13
0.64
0.90
0.26
1
0.5
0.81
1.10
0.97
Rujukan
0.20-1.23
0.33-1.96
0.28-4.38
0.98-1.02
0.49
0.39
0.63
0.82
1
0.75
0.50
1
1.0
Rujukan
0.33-1.70
0.10-2.44
0.99-1.0
0.99-1.00
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
Lampiran 13 Uji Regresi Logistik Variabel Dependen EIU
Faktor Risiko Ekskresi Iodium Urin (EIU) Rendah pada Ibu Nifas
Variabel independent
Suplemen
DT
DR
DRB
Asupan iodium
Asupan sianida bahan makanan
Pengetahuan GAKI
Rendah
Cukup
Tinggi
KEK
Vitamin A
OR
P
95 % CL
1
0.64
0.88
1.48
0.91
0.37
0.81
0.64
0.54
Rujukan
0.24-1.71
0.32-2.44
0.29-7.62
0.33-1.11
0.45
0.50
0.75
0.08
Rujukan
0.34-1.32
0.28-1.84
0.99-1.0
0.99-1.00
1
0.62
0.72
1
1.0
Keterangan:
DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah
DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten
164
Lampiran 14. Kadar Iodium dalam Makanan di Daerah Endemik
dan Non Endemik GAKI (Purwaningsih 1997)
Jenis Pangan
Endemik(ppm) Non endemik(ppm)
Makanan Pokok: Nasi
0.0113
0.0122
Tiwul
0.1443
Garut
0.0763
Talas
0.2264
Ganyong
0.1254
Ketela rebus
0.0124
0.0766
Geblek
0.0266
Grawol
0.0139
Kacang-kacangan :Tempe kedelai
< 0.0001
0.1354
Tempe bungkuk
< 0.0001
0.1290
Tahu
0.0127
0.1325
Pangan Hewani : Telur
2.0124
6.1720
Ikan
0.1453
Sayuran
: Daun singkong
2.0124
6.1720
Bayam
0.1345
0.2986
Kangkung
< 0.0001
0.1468
Kacang panjang
0.1204
0.1699
Toge
0.1204
0.1655
Nangka
0.3562
0.3845
Caisin
< 0.0001
0.1445
Daun melinjo
0.0012
0.1671
Kol
0.0723
0.3913
Pete
0.8721
Jengkol
0.6052
Buah-buahan
: Pisang
< 0.0001
< 0.0001
Papaya
< 0.0001
0.1451
Duwet
0.2141
0.7562
Jajanan
: Sukro
0.1506
0.1506
Chiki FM
0.1504
0.1504
Kacang kering
0.1504
0.1504
Kue agar
< 0.0001
< 0.0001
Snack nikmat
0.2012
0.2012
Kue bolu
0.1407
0.1407
Kerupuk
0.1731
0.1731
Kerupuk singkong
< 0.0001
< 0.0001
Kue putra bali
0.1407
0.1407
Mimi
0.1504
0.1504
Kue tambang
0.1376
Marimas
0.1399
Slondok
0.1485
Chotot
0.1457
Lain-lain
:Gula jawa
0.1037
0.1366
Garam
9.1852
18.2751
Tanah
< 0.0001
0.1428
Air
0.0004
0.1828
165
Lampiran 15 Kadar Sianida (CN ‫ )־‬dalam Bahan Makanan dari Kecamatan
Pundong Kabupaten Bantul
NO
.
NAMA BAHAN
Asal : Pundong
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Bayam mentah
Bunga kol
Caisin
Cabe hijau
D. kacang panjang
Daun bawang merah
muda
Daun bawang
bakung
Daun tangkil
Daun singkong
Daun papaya
Jagung muda
Kulit tangkil
Kool
Kangkung
Koro
Sawi putih
Seledri
KADAR (mg/100 gram bahan)
Mentah
Rebus
Tumis
1.87
4.50
0.41
0.62
0.0
2.24
Persen
CN ‫־‬
sisa
48.7
89.3
14.3
15.5
0.0
41.1
3.84
5.04
2.52
3.99
9.32
5.45
0.65
4.03
2.41
0.55
0.78
3.33
16.9
80.0
95.6
13.8
8.4
61.0
8.47
5.40
63.8
8.09
95.5
12.97
1.64
9.18
5.89
19.58
12.09
6.85
2.54
4.75
3.66
6.67
0.0
0.0
0.73
14.90
3.95
0.0
1.35
1.96
0.0
51.4
0.0
0.0
12.4
76.1
32.7
0.0
53.2
41.3
0.0
7.83
0.90
8.69
3.54
14.90
4.28
0.97
0.67
0.36
3.27
60.4
54.9
94.7
60.1
76.1
35.4
14.2
26.4
7.6
89.3
Persen
CN ‫ ־‬sisa
Lampiran 16 Kadar Sianida (CN ‫ )־‬dalam Bahan Makanan dari Kecamatan
Srumbung Kabupaten Magelang
NO
.
NAMA BAHAN
Asal : Srumbung
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Buncis
Bunga kol
Gambas
Kangkung
Kool
Paria/paree
Sawi pahit
Slada air (jembak)
Terung ungu
KADAR (mg/100 gram bahan)
Mentah
Rebus
6.42
6.16
5.11
3.73
7.89
6.15
0.873
18.54
4.09
3.70
5.62
0.0
0.37
3.93
0.37
5.77
6.74
1.09
Persen
CN ‫־‬
sisa
57.6
91.2
0.0
9.9
49.8
6.0
66.1
36.4
26.7
Tumis
2.11
4.84
0.0
0.69
4.39
2.99
4.03
8.58
3.56
Persen
CN ‫ ־‬sisa
32.9
78.6
0.0
18.5
55.6
48.6
46.2
46.3
87.0
166
`
Lampiran 17 Kadar Sianida (CN ‫ )־‬Beberapa Jenis Bahan Makanan yang Telah
Mengalami Perlakuan Pengolahan
No. Jenis
Mentah
1.
2.
3.
4.
5.
Ubi
Singkong
Ganyong
Gatot
Talas
3.88
7.80
5.58
5.22
4.68
Kadar sianida (mg/100 gr) setelah perlakuan pengolahan
Rebus %
Kukus %
Rendam %
Tipis %
CN ‫־‬
CN ‫־‬
kukus
CN ‫ ־‬kukus CN ‫־‬
sisa
sisa
sisa
sisa
1.04
26.8
2.80
72.2
2.32
59.8
1.80
46.4
0.20
2.60
1.38
17.7
2.40
30.8
0.70
9.0
1.75
31.4
2.28
40.9
1.83
32.8
2.39
42.8
2.02
38.7
2.57
49.2
1.85
35.4
1.95
37.4
0.37
7.9
2.54
54.3
2.5
54.3
2.28
48.7
Tipis
rebus
0.92
0.39
1.79
0.93
0.82
%
CN ‫־‬
sisa
23.7
5.0
32.1
17.8
17.5
Download