EFIKASI MINYAK BERIODIUM DOSIS RENDAH DITAMBAH BETA KAROTEN UNTUK MENANGGULANGI GAKI PADA IBU HAMIL DI DAERAH ENDEMIK OLEH: ASTUTI LAMID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ” EFIKASI MINYAK BERIODIUM DOSIS RENDAH DITAMBAH BETA KAROTEN UNTUK MENANGGULANGI GAKI PADA IBU HAMIL DI DAERAH ENDEMIK” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, 22 Agustus 2007 Penulis Astuti Lamid NRP A-326010051 3 ABSTRACT ASTUTI LAMID. Efficacy of low dose of iodized oil plus beta carotene to alleviate IDD of pregnant women living in endemic area. Supervised by Rimbawan, Ali Khomsan, Clara M Kusharto, and Muhilal Background. Pregnant women suffering from Iodine Deficiency Disorders (IDD) have high risk for delivering baby with congenital hypothyroid. This condition may cause loss of 13.5 Intelligent Quotient (IQ) point and in the long run this will affect the quality of human resources. One of intervention program to alleviate IDD among pregnant women is delivering iodized oil capsules. Although the distribution of capsules has been successfully conducted, the prevalence of IDD among pregnant women was still reported high. It was assumed that the iodized oil capsules was less effective to reduce the prevalence of IDD. Objective. Two main objectives of this study were firstly, to examine the effect of distribution of low dose of iodized oil capsule and low dose of iodized oil plus beta carotene to pregnant women on improvement level of TSH, free T4, vitamin A serum and urinary iodine excretion (UIE) during pregnancy and postpartum period; and secondly, to analyze the effect of distribution of various doses of iodized oil on growth and development of babies and the level of TSH of blood spot neonatal. Method. The research design was quasi experiment and the samples were pregnant women at first trimester and hyperthyroid pregnant women was excluded. Samples were then divided into three groups namely high dose (DT) group of pregnant women received one iodized oil capsule (200 mg iodine) during pregnancy; low dose (DR) group of pregnant women received 30 mg iodized oil per month during pregnancy; and low dose plus beta carotene (DRB) group of pregnant women received 30 mg iodized oil plus 30 mg beta-carotene per month during pregnancy. The intervention lasted for six months. Location of research was in six sub-districts in Magelang Regency. Data collected from pregnant women were TSH, Free T4, vitamin A and hemoglobin serum, urinary iodine excretion, body weight, height, social economy; nutrient intake, salt intake, cyanide intake, iodine consumption (food and salt) and IDD knowledge and from the baby were TSH blood spot; body weight, height and food pattern. Data obtained was gathered and analyzed using ANOVA and Chi Square test and logistic regression. Research result. The result of the study showed that high dose, low dose and low dose of iodized oil plus beta carotene supplements can reduce level of TSH serum of post partum women about 38 %, 49% and 52 %. Iodine status of low dose and low dose of iodized oil plus beta carotene of post partum were higher compared to high dose as can bee seen from the level of UIE of low dose and low dose of iodized oil plus beta carotene and high dose of post partum were 126 μg/L; 119 μg/L dan 88 μg/L respectively. Before treatment the level of UIE of low dose, low dose plus beta carotene and high dose of iodized oil were 99 μg/L; 98 μg/L dan 81 μg/L. The highest percentage of level of TSH blood spot ≥5 μU/ml was at high dose group (82%) and the lowest was low dose plus beta carotene group (59%).There were significant difference on serum TSH postpartum 4 and TSH blood spot baby between high dose and low dose plus beta-carotene group (p<0.05). Pregnant women receiving low dose of iodized oil plus beta carotene has significantly lower risk to have a baby with having TSH blood spot level over than 5 μU/ml compared to pregnant women receiving high doses of iodized oil (p<0.05; OR=0.31; 95%Cl OR 0.11-0.86). Distribution of three supplements can protect pregnant women from iodine deficiency for six months but low dose and low dose plus beta carotene groups have UIE level higher in comparison to high dose group of postpartum women. The highest increase of nutritional status of 3-4 months baby was low dose plus beta carotene group and the lowest was high dose of iodized oil group. Key words: efficacy, low dose, high dose, beta carotene, TSH serum, UIE 5 ABSTRAK ASTUTI LAMID. Efikasi Minyak Beriodium Dosis Rendah Ditambah Beta Karoten untuk Menanggulangi GAKI pada Ibu Hamil di Daerah Endemik Dibimbing oleh Rimbawan, Ali Khomsan, Clara M Kusharto dan Muhilal. Latarbelakang. Ibu hamil yang menderita Gangguan Akibat kekurangan Iodium (GAKI) menyebabkan transfer iodium pada janin rendah sehingga janin akan mengalami kekurangan hormon tiroid. Kondisi seperti ini akan meningkatkan risiko bayi lahir dengan hipotiroid kongenital yang selanjutnya akan menyebabkan defisit Intelligent Quotient (IQ) sebesar 13,5 poin. Dampak jangka panjangnya akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas rendah. Program Pemerintah untuk menanggulangi hal ini salah satunya adalah dengan distribusi kapsul minyak beriodium yang berdosis 200 mg dan diberikan 1 kali selama hamil. Intervensi dilakukan sejak dini yaitu mulai janin masih dalam kandungan. Diduga dosis iodium sebesar 200 mg belum efektif dalam menurunkan prevalensi GAKI pada ibu hamil. Tujuan. Penelitian ini bertujuan pertama, mempelajari pengaruh pemberian suplemen minyak iodium dosis rendah dan minyak iodium dosis rendah+ beta karoten pada ibu hamil terhadap perubahan serum TSH, Free T4, vitamin A, ekskresi iodium urin (EIU) pada masa nifas. Kedua, mempelajari pengaruh pemberian suplemen minyak iodium dosis rendah dan minyak iodium dosis rendah+ beta karoten pada ibu hamil di daerah GAKI terhadap tumbuh kembang bayi dan kadar TSH bayi neonatal. Metodologi. Desain penelitian yang dipilih adalah kuasi eksperimen dengan ontoh adalah ibu hamil trimester pertama tidak hipertiroid berdasarkan pemeriksaan serum TSH. Lokasi penelitian dipilih 6 kecamatan endemik GAKI di kabupaten Magelang. Contoh dibagi kedalam 3 kelompok perlakuan yang masingmasing kelompok diberi suplemen yang berbeda yakni kelompok dosis tinggi (DT): diberi suplemen kapsul minyak iodium dosis 200 mg (1 kali selama hamil); kelompok dosis rendah (DR): diberi minyak iodium 30 mg (tiap bulan selama 6 bulan) dan kelompok dosis rendah+beta karoten (DRB): diberi minyak iodium 30 mg dan beta karoten 30 mg (tiap bulan selama 6 bulan). Data yang dikumpulkan pada contoh: serum TSH, free T4, vitamin A, hemoglobin dan ekskresi iodium urin (EIU), antropometri (TB, BB dan LLA), data sosial ekonomi, pengetahuan GAKI, asupan zat gizi, asupan sianida, asupan iodium (bahan makanan dan garam). Pada bayi yang dilahirkan: antropometri (BB dan PB); perkembangan motorik; biokimia (TSH neonatal); makanan yang diberikan pada bayi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analitik. Uji yang digunakan adalah uji proporsi (Khi kuadrat), uji beda (ANOVA) dan analisis multivariat uji regresi logistik. Signifikansi yang digunakan pada alfa 5 %. Hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplemen minyak iodium dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah + beta karoten dapat menurunkan serum TSH ibu nifas sebesar 38%; 49% dan 52%. Disamping itu status iodium dilihat dari EIU pada masa nifas pada kelompok yang diberi suplemen minyak iodium dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi suplemen iodum dosis tinggi yaitu sebesar 126 ug/L; 119 μg/L dibandingkan dengan 88 μg/L. Sedangkan pada awal penelitian kadar EIU ibu 6 hamil yang diberi suplemen dosis rendah, dosis rendah+beta karoten dan dosis tinggi yaitu 99 μg/L; 98 μg/L dan 81 μg/L. Proporsi TSH bayi neonatal >5 μU/ml terbanyak pada kelompok dosis tinggi (82%) dan terendah pada kelompok dosis rendah+beta karoten (59%). Ditemukan perbedaan yang signifikan serum TSH nifas dan TSH bayi neonatal antara kelompok dosis tinggi dan dosis rendah+beta karoten (p<0,05). Ibu hamil yang diberi suplemen minyak iodium dosis rendah+ beta karoten mempunyai risiko lebih rendah untuk mendapatkan bayi dengan kadar TSH bayi neonatal >5 μU/ml dibandingkan dengan ibu hamil yang diberi minyak iodium dosis tinggi (p<0.05; OR=0.31; 95%Cl OR 0.11-0.86). Tumbuh kembang bayi lahir sampai umur 3-4 bulan terbaik pada kelompok yang diberi suplemen minyak iodium dosis rendah+beta karoten dibandingkan dengan dua suplemen lainnya. 7 @Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB 8 EFIKASI MINYAK BERIODIUM DOSIS RENDAH DITAMBAH BETA KAROTEN UNTUK MENANGGULANGI GAKI PADA IBU HAMIL DI DAERAH ENDEMIK OLEH: ASTUTI LAMID Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 9 Judul Disertasi : Efikasi Minyak Beriodium Dosis Rendah Ditambah Beta Karoten untuk Menanggulangi GAKI pada Ibu Hamil di Daerah Endemik Nama Mahasiswa: Astuti Lamid Nomor Pokok : A -326010051 Program Studi : Gizi Masyarakat Disetujui: Komisi Pembimbing Dr Rimbawan Ketua Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS Anggota Dr Clara M Kusharto, MSc Anggota Prof Dr Muhilal Anggota Diketahui Ketua Program Studi GMK Dekan Sekolah Pascasarjana Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS Prof Dr Ir Khairil Anwar Notodipuro, MS Tanggal Ujian: 22 Agustus 2007 Tanggal Lulus: 10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kecamatan Pangkalan Kabupaten Payakumbuh, Sumatra Barat, pada tanggal 17 Januari 1955 sebagai anak ke enam dari delapan bersaudara dari pasangan Lamid Datuk Besar (almarhum) dan Kasihan (almarhumah). Pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas ditempuh oleh Penulis di Surabaya. Penulis tamat dari Sekolah Dasar SDN Bubutan II tahun 1967, Sekolah Menengah Pertama SMP Negeri VI tahun 1970, Sekolah Menengah Farmasi Negeri tahun 1973 dan Sekolah Menengah Atas SMA Bhineka tahun 1975. Setelah tamat dari Akademi Gizi, Depkes RI Jakarta tahun 1979, penulis melanjutkan ke jenjang S-2 pada Community Nutrition Program, University of Queensland Australia tahun 1987 dan lulus tahun 1988. Pada bulan Agustus 2001 penulis kembali melanjutkan studi ke jenjang S-3 dengan peminatan Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga di Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis pernah bekerja sebagai staff Seksi Gizi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur dari tahun 1980-1982. Sejak tahun 1983 sampai sekarang Penulis bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan RI di Bogor. Penulis menikah dengan Dr Komari MSc pada tahun 1981 di Surabaya dan dikaruniai dua orang puteri bernama Adini Alvina SKH dan Aussie Komala Rani 11 UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Disertasi dengan judul : Efikasi Minyak Beriodium Dosis Rendah Ditambah Beta Karoten untuk Menanggulangi GAKI pada Ibu Hamil di Daerah Endemik, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Program Pascasarjana IPB. Perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Komisi Pembimbing: Dr Rimbawan, Anggota Komisi Pembimbing: Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS, Dr Clara M Kusharto, MSc, Prof Dr Muhilal APU yang telah memberikan saran dan bimbingan yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan penulisan akhir disertasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Hadi Riyadi MS yang bertindak sebagai Penguji Luar pada Ujian Tertutup tanggal 30 Januari 2007. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia yang telah memberikan dana penelitian melalui anggaran DIPA Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan No 105.0/2411.0/XII/2005 tanggal 31 Desember 2004. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada PT Kimia Farma (Persero) Tbk, yang telah memberikan tambahan biaya penelitian sehingga penelitian dilapangan dan analisa biokimia darah di laboratorium dapat dilaksanakan dengan lancar. Penulis juga mendapat bantuan suplemen minyak iodium (kapsul yodiol) dari Pabrik Kimia Farma Watudakon, Jawa Timur, dan suplemen beta karoten dari PT DSM Nutritional Products Indonesia, atas semua bantuan yang telah diberikan diucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya. Penulis mengucapkan terima kasih atas izin yang diberikan oleh Kepala Puslitbang Gizi dan Makanan sehingga penulis dapat melanjutkan Pendidikan S3 di Program Studi Gizi Masyarakat pada Institut Pertanian Bogor. Demikian pula disampaikan terima kasih kepada Kepala Balai GAKI yang telah memberikan kemudahan sehingga Penulis dapat melakukan analisa biokimia darah di Laboratorium Biokimia Borobudur, Magelang. Kepada Tim Peneliti dan staf di 12 Puslitbang Gizi dan Makanan dan Balai GAKI, Borobudur, Magelang, penulis sampaikan terima kasih sedalam-dalamnya atas kerjasama yang telah terjalin selama ini, sehingga semua kegiatan penelitian berjalan dengan baik. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada adik-adik (Soraya Lamid SH, Dr drh Mirni Lamid MSc) dan kakak-kakak (Nely Mendolini Lamid BA, Wisdiani Lamid SH, Darmawijaya Lamid BA, Zulifni Lamid, Associate Prof dr Sofyan Lamid MSc PhD) yang telah memberikan dukungan dan doa sehingga disertasi ini dapat terwujud Terakhir penulis mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada suami (Dr Komari MSc) dan kedua anak kami (Adini Alvina SKH dan Aussie Komala Rani) atas semua kasih sayang, pengertian, perhatian dukungan moril dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah, melakukan penelitian dan menyelesaikan penulisan disertasi. Saya menyadari disertasi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mohon kritik dan saran agar disertasi ini dapat lebih disempurnakan. Bogor, 22 Agustus 2007 Penulis Astuti Lamid NRP A-326010051 13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………….............................. xv DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….. xvii DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….. xix 1. PENDAHULUAN …………………………………………………... 1 A. Latar Belakang ................................................................................ 1 B. Perumusan Masalah ......................................................................... 4 C. Tujuan .............................................................................................. 4 D. Hipotesis .......................................................................................... 5 E. Manfaat ........................................................................................... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 6 A. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI).............................. 6 B. Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Iodium ........................ 15 C. Iodium dan Kehamilan ................................................................... 23 D. Uji Saring Hipotiroid Kongenital pada Bayi Lahir dan Bayi Neonatal................................................................................. 33 E. Kekurangan dan Kelebihan Iodium (Iodine Excess) ...................... 33 F. Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Vitamin A dan Beta Karoten ................................................................................... 36 III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 46 A. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 46 B. Definisi Operasional ....................................................................... 48 IV. METODE PENELITIAN................................................................ 49 A. Desain, Lokasi dan Waktu ............................................................. 49 B. Populasi, Contoh dan Besar Contoh …………….... .................... 49 C. Cara Mengumpulkan Contoh dan Data yang Dikumpulkan …….. 50 D. Manajemen Data, Pengolahan Data, Pertimbangan Etik dan Analisis Data................................................................................... 54 V. HASIL ............................................................................................... 56 A. Gambaran Umum Daerah Penelitian ............................................... 56 B. Kurang Energi Kronis (KEK)........................................................... 62 C. Asupan Zat Gizi Termasuk Iodium ............................................. 65 14 ` D. Asupan Sianida ............................................................................... 75 E. Pengetahuan tentang GAKI............................................................. 77 F. Kadar Biokimia Darah dan Urin Contoh pada Tiga Kelompok ....... 79 G. Hasil Persalinan pada Tiga Kelompok (TSH Neonatal, BBLR, Status Gizi dan Perkembangan Bayi)............................................... 87 H. Analisis Regresi Logistik ............................................................... 98 VI. PEMBAHASAN ............................................................................... 100 VII. SIMPULAN DAN SARAN............................................................. 113 A. Simpulan......................................................................................... 113 B. Saran .............................................................................................. 114 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 116 LAMPIRAN ............................................................................................ 129 15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada Semua Kelompok Umur....................................................................................... ................ 7 Kriteria Secara Epidemiologi untuk Menilai Status Iodium berdasarkan Median EIU pada Anak Sekolah ..................................... 14 3. Pengaruh Hormon Tiroid dalam Mekanisme Tubuh ............................. 23 4. Defisit Perkembangan Mental pada Bayi dan Anak Sekolah pada Keadaan Kekurangan Iodium Berat dan Sedang ................................... 28 Dosis Iodium dan Frekuensi Minyak Iodium per Oral/Intra Muscular (IM) per Kelompok Umur ...................................................................... 30 Penelitian tentang Kapsul Minyak Iodium Dosis Tinggi pada Ibu Hamil ...................................................................................................... 32 7. Konversi Vitamin A dan Karotenoid ...................................................... 44 8. Penelitian tentang Suplemen Vitamin A dan Beta Karoten pada Ibu Hamil ....................................................................................................... 45 9. Definisi Operasional ............................................................................... 48 10. Jenis Data dan Frekuensi, Cara dan Metoda Pengumpulan Data............ 53 11. Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi ....................................................................................... 59 12. Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok menurut Faktor Risiko .............. 60 13. Proporsi KEK Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran.............................................................................................. 64 Rerata Asupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Awal Penelitian ................................................................................................ 65 Rerata Asupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Akhir Penelitian................................................................................................. 66 16. Daftar Makanan dan Minuman yang Dipantang selama Masa Nifas ..... 69 17. Rerata Total Skor Pengetahuan GAKI Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran ................................................................... 78 Sebaran Pengetahuan GAKI Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran .................................................................................. 78 Rerata Contoh pada Tiga Kelompok menurut Variabel Biokimia pada Awal Penelitian ....................................................................................... 79 Rerata Contoh pada Tiga Kelompok menurut Variabel Biokimia pada Akhir Penelitian ...................................................................................... 80 2. 5. 6. 14. 15. 18. 19. 20. 16 21. Rerata Serum TSH (µU/ml) Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran .................................................................................. 83 Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok menurut Cut-Off Serum TSH (µU/ml) pada Awal dan Akhir Penelitian ............................................... 84 Rerata Kadar Hemoglobin dan Proporsi Anemia Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran ……………………………..... 87 Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok berdasarkan Karakteristik Bayi Lahir dan Cara Persalinan………………………………….................... 88 25. Rerata TSH Neonatal pada Tiga Kelompok ….................................... 90 26. Sebaran Bayi Tiga Kelompok menurut Skor Indeks Hipotiroid ............ 92 27. Sebaran Status Gizi Bayi Neonatal sampai Usia 3-4 Bulan pada Tiga Kelompok ............................................................................................... 93 Rerata Z-Skor Bayi Neonatal dan Bayi Usia 3-4 Bulan pada Tiga Kelompok ………………………………………………............. 93 29. Sebaran Bayi Tiga Kelompok menurut Kepemilikan Alat Permainan .. 96 30. Sebaran Bayi pada Tiga Kelompok menurut Pengasuh Bayi Usia 3-4 Bulan……………………………………………………………… 96 Sebaran Bayi pada Tiga Kelompok menurut Makanan Padat yang Dikenalkan Pertama Kali …………………………………………….... 98 32. Hasil Seleksi Variabel Kandidat Model .................................................. 98 33. Faktor Risiko TSH Neonatal yang Tinggi ............................................. 99 22. 23. 24. 28. 31. 17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Cyanogenesis pada Singkong dan Metabolisme Sianida pada Manusia ……………………………………………………………… 11 2. Model Metabolisme Iodida dalam Folikel Tiroid …………………... 18 3. Metabolisme Iodium.............................................................................. 21 4. Morfologi Embrio dan Janin ................................................................. 24 5. Fungsi Tiroid Janin dan Postnatal pada Manusia dan Hubungannya dengan Laju Pertumbuhan Cepat Otak ................................................ 25 Skema Hubungan Fungsi Tiroid Sejak Usia Dini sampai Masa Anak-Anak ............................................................................................ 29 7. Vitamin A dan Beta Karoten ................................................................ 37 8. Absorpsi Vitamin A dan Karoten dalam Sel Usus Halus ................... 39 9. Metabolisme Vitamin A dan RBP di dalam Hati ................................. 41 10. Aktifitas Vitamin A di dalam Sel ....................................................... 42 11. Kerangka Pemikiran........................................................................... 47 12. Peta Kabupaten Magelang .................................................................... 56 13. Rerata LLA Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran ........................................................................................... 63 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Awal Penelitian .............................................................................................. 67 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Akhir Penelitian .................................................................................... 68 Asupan Iodium Dari Garam dan Bahan Makanan Contoh pada Tiga Kelompok ............................................................................................. 71 Tingkat Kecukupan Iodium Total Contoh pada Tiga Kelompok Dibandingkan Dengan AKG ................................................................ 72 Proporsi Contoh pada Tiga Kelompok Menggunakan Garam dengan Bermacam Kadar Iodium ...................................................................... 74 19. Rerata Asupan Sianida Contoh pada Tiga Kelompok .......................... 76 20. Proporsi Contoh pada Tiga Kelompok menurut Asupan Sianida < 10 mg dan ≥ 10 mg ................................................................................... 77 Rerata Serum TSH Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran .......................................................................................... 81 Kadar EIU Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran 85 6. 14. 15. 16. 17. 18. 21. 22. 18 23. Proporsi Bayi BBLR pada Tiga Kelompok .......................................... 89 24. Proporsi Bayi BBLR pada Tiga Kelompok menurut Cut-Off Serum TSH Contoh pada Awal Penelitian ....................................................... 90 Proporsi Bayi Pada Tiga Kelompok menurut Kadar TSH Neonatal 5-9 μU/ml ....................................................................................……. 91 Peningkatan Nilai Z-Skor BB/TB Bayi Neonatal Sampai Bayi Usia 3-4 Bulan pada Tiga Kelompok……………………………………… 94 Proporsi Perkembangan Motorik Bayi Usia 3-4 Bulan pada Tiga Kelompok ..................................................................................... 95 25. 26. 27. 19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan ........................... 130 2. Surat Persetujuan untuk Penelitian (Informed Consent) ...................... 131 3. Kuesioner Indeks Hipotiroid Bayi (1-12 Bulan) ................................... 132 4. Prosedur Analisa Serum TSH .............................................................. 133 5. Prosedur Analisa Serum Free T4 (FT4) ................................................ 134 6. Prosedur Analisa Hemoglobin (Hb) ...................................................... 135 7. Prosedur Analisa Serum Vitamin A (Retinol) ...................................... 136 8. Prosedur Pemeriksaan Ekskresi Iodium Urin (EIU) ............................. 137 9. Prosedur Penetapan KIO3 Garam Beriodium ........................................ 139 10. Hasil Analisa Kadar KIO3 Garam Contoh pada Tiga Kelompok Perlakuan .............................................................................................. 140 11. Merk Garam yang Digunakan Contoh pada Tiga Kelompok ............... 143 12. Uji Regresi Logistik Variabel Dependen Serum TSH Nifas................. 144 13. Uji Regresi Logistik Variabel Dependen EIU ...................................... 144 14. Kadar Iodium dalam Makanan di Daerah Endemik dan Non Endemik GAKI ..................................................................................... 145 15. Kadar Sianida (CN¯) dalam Bahan Makanan dari Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul .................................................................. 146 16. Kadar Sianida (CN¯) dalam Bahan Makanan dari Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang............................................................ 146 17. Kadar Sianida (CN¯) Beberapa Jenis Bahan Makanan yang Telah Mengalami Perlakuan Pengolahan ........................................................ 147 20 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai aset utama dalam pembangunan nasional memerlukan kondisi manusia dengan status gizi yang baik. Oleh karena itu, masalah gizi pada masyarakat Indonesia akan mengganggu pencapaian SDM berkualitas tersebut. Salah satu masalah gizi yang erat kaitannya dengan kualitas SDM adalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI). GAKI merupakan sekumpulan gejala atau kelainan yang ditimbulkan karena tubuh menderita kekurangan iodium secara terus menerus dalam waktu yang lama dan berdampak pada gangguan pada pertumbuhan dan kecerdasan manusia (Depkes 1996). Prevalensi GAKI berdasarkan hasil palpasi pada anak sekolah dasar dinyatakan dengan Total Goiter Rate (TGR) sekitar 9.8% pada tahun 1998 (Depkes 1998) dan 11% tahun 2003 (Muhilal 2004a). Prevalensi TGR pada ibu hamil sekitar 16% dari hasil survey pemetaan GAKI 1998 (Djokomoelyanto 2001). Data prevalensi GAKI pada ibu hamil sampai saat ini masih sangat kurang. Survey pemetaan lebih banyak difokuskan pada anak sekolah dasar. Padahal GAKI pada ibu hamil akan mempengaruhi kualitas anak-anak selanjutnya. Prevalensi GAKI yang masih tinggi pada ibu hamil menimbulkan kekhawatiran bahwa status GAKI ibu hamil tersebut menyebabkan defisiensi hormon tiroid maternal dan intrauterine yang berisiko untuk menyebabkan gangguan perkembangan janin yang dapat menimbulkan abortus, lahir mati, angka kematian perinatal meningkat, angka kematian bayi meningkat maupun bayi lahir hipotiroid. Bayi lahir yang hipotiroid cenderung berkembang menjadi kretin neurologik seperti defisiensi mental, bisu tuli, dilegia spastik dan mata juling, kretin miksedematos seperti cebol atau mengalami keterlambatan mental dan psikomotor (Djokomoeljanto 1989). Oleh karena itu program pemerintah diperlukan untuk memecahkan masalah GAKI pada ibu hamil. Telah diketahui bahwa GAKI pada masyarakat pada umumnya disebabkan kekurangan asupan zat iodium yang berasal dari bahan makanan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh kandungan iodium tanah yang rendah yang biasanya terdapat 21 di daerah pegunungan (Djokomoeljanto 1994) walaupun ditemukan juga kasus GAKI di daerah pantai (Adriani et al. 2002). Kondisi GAKI akan diperburuk oleh kekurangan asupan zat gizi mikro lainnya seperti selenium dan zat besi (Arthur et al. 1993; Hess et al. 1998). Program pemerintah dalam menanggulangi masalah GAKI pada ibu hamil di daerah endemik berat dan sedang adalah dengan pendistribusian kapsul minyak beriodium ’yodiol’ sebanyak satu kapsul selama kehamilan. Dosis iodium dalam kapsul sebesar 200 mg. Dengan pendistribusian ini semua ibu hamil di daerah endemik akan mendapat kapsul minyak iodium dan diharapkan terhindar dari kekurangan iodium selama kehamilan. Saat ini kapsul minyak beriodium sudah didistribusikan secara luas. Namun prevalensi GAKI pada ibu hamil masih ditemukan tinggi. Hal ini diduga disebabkan masalah jumlah iodium dalam kapsul minyak beriodium tidak efektif (Djokomoeljanto 2001a) karena iodium banyak dibuang melalui urin sesaat setelah kapsul dikonsumsi (Thien et al. 1978; Prihatini & Latinulu 2002; Djokomoelyanto et al. 1993). Keadaan ini diduga memperpendek masa proteksi sehingga belum cukup melindungi ibu dari keadaan kekurangan iodium selama hamil. Pemberian iodium dengan dosis tinggi secara terus menerus juga berisiko salah satunya menimbulkan kasus hipertiroid atau tirotoksikosis (Delange et al. 2001). Penelitian epidemiologis lain menemukan adanya kasus tirotoksikosis atau hipertiroid akibat pemberian kapsul minyak beriodium dosis tinggi (200 mg dan 800 mg) yaitu penelitian pada orang dewasa yang menderita GAKI di Sudan (Elnagar et al. 1995). Kasus tirotoksikosis juga dilaporkan di Eropa, Amerika Latin, Tasmania, dan Zimbabwe dimana asupan iodium yang berlebihan akibat pemberian serentak suplementasi dan fortifikasi iodium dalam garam (Dunn 2002). Gejala tirotoksikosis yang ditemukan diantaranya degup jantung keras, sangat gugup, lemah, tidak tahan panas dan kehilangan berat badan. Tirotoksikosis dapat menjadi berat dan mematikan seperti halnya di Negara Zimbabwe sebagian dari kasus tirotoksikosis yang ditemukan berakhir dengan kematian (WHO 1997). Penduduk di daerah defisiensi iodium berisiko terhadap 22 tirotoksikosis yang disebabkan karena mendapat asupan iodium tinggi dalam program pencegahan GAKI. Pemberian iodium dosis rendah setiap bulan lebih efektif karena ekskresi iodium melalui urin jumlahnya kecil. Diperkirakan kapsul yang diberikan setiap bulan dengan dosis rendah akan dapat mengatasi kekurangan iodium selama hamil. Hal ini dibuktikan pada orang dewasa yang tinggal di daerah endemik GAKI di Afrika yang diberikan kapsul minyak beriodium dengan dosis rendah memberikan efikasi sama dengan yang diberikan minyak beriodium dosis yang lebih tinggi dan tidak ditemukan efek samping (Tonglet et al. 1992). Atas dasar itu, pemberian iodium dosis rendah dan setiap bulan lebih disarankan oleh salah seorang Executive Director ICCIDD (Executive Director 2004, komunikasi pribadi). Peningkatan efektifitas iodium lebih tinggi bila diberikan bersama-sama dengan zat gizi mikro tertentu sehingga perbaikan status gizi lebih baik dibandingkan dengan pemberian zat gizi mikro tunggal (Sattarzadeh & Zlotkin 1999). Vitamin A yang diberikan bersama iodium pada anak sekolah yang menderita GAKI dapat menurunkan prevalensi GAKI sampai 45% di Yugoslavia menurut Hovart dan Maver dalam Untoro (1999). Hasil penelitian Saidin et al. (2002) pada anak sekolah di daerah endemik GAKI diberikan garam beriodium bila ditambah dengan vitamin A ditemukan efektifitas iodium dapat ditingkatkan sampai 2,25 kali sehingga kadar hormon tiroid (T4) mencapai normal. Keterkaitan vitamin A dalam darah dengan hormon T4 yaitu plasma retinol berikatan dengan retinol binding protein (RBP) juga membentuk kompleks dengan pre albumin (transthyretin) dan selain itu kompleks tersebut mengikat juga hormon T4 (Berdanier 2000). Pemberian vitamin A dalam minyak beriodium jauh lebih efektif meningkatkan status iodium dalam darah. Namun suplementasi vitamin A mempunyai efek teratogenik khususnya pada ibu hamil trimester pertama dan beta karoten sebagai prekursor retinol dalam tubuh dipertimbangkan lebih aman diberikan selama hamil (WHO 1998). Beta karoten merupakan senyawa dengan ikatan rangkap yang diduga mampu memberikan keseimbangan iodium dalam tubuh, sehingga efektifitas iodium meningkat. 23 Penelitian ini bertujuan untuk menguji efikasi minyak beriodium dosis rendah dan diberikan setiap bulan dalam mengatasi GAKI pada ibu hamil di daerah endemik. Sejauh ini penelitian tentang efikasi kapsul minyak beriodium dengan dosis yang lebih rendah dengan dan tanpa penambahan beta karoten belum pernah dilakukan pada ibu hamil di daerah endemik GAKI. Penelitian pemberian iodium dan beta karoten pada ibu hamil yang mengalami GAKI dapat merupakan program baru dalam penanggulangan GAKI. B. Perumusan Masalah 1. Apakah minyak beriodium yang diberikan pada ibu hamil dengan dosis yang lebih rendah dari pada minyak beriodium dengan dosis tinggi yang selama ini dipakai dalam program penanggulangan GAKI akan memberikan respon yang minimal sama dengan minyak iodium dosis tinggi?. 2. Apakah penambahan beta karoten pada minyak beriodium dosis rendah yang diberikan pada ibu hamil akan memberikan respon yang lebih tinggi dari pada pemberian minyak beriodium dosis tinggi dan tanpa menimbulkan efek samping?. C. Tujuan 1. Tujuan Umum: mempelajari efikasi minyak beriodium dosis rendah ditambah beta karoten dalam penanggulangan GAKI pada ibu hamil di daerah endemik. 2. Tujuan khusus: a. mempelajari pengaruh pemberian minyak beriodium dosis rendah diberikan setiap bulan pada ibu hamil trimester 1 terhadap perubahan serum TSH dan kadar EIU pada ibu nifas (akhir penelitian) dan perbaikan TSH pada bayi neonatal dan status gizi bayi b. mempelajari pengaruh pemberian minyak beriodium dosis rendah setiap bulan yang ditambah beta karoten pada ibu hamil trimester 1 terhadap perubahan serum TSH, serum vitamin A dan kadar EIU pada ibu nifas dan perbaikan TSH neonatal dan status gizi bayi. 24 c. memeriksa EIU setiap kelompok perlakuan mulai sejak awal penelitian, sebulan intervensi, akhir kehamilan dan pada akhir penelitian (nifas). D. Hipotesis 1. Kecukupan hormon tiroid ibu hamil yang diberi minyak beriodium dosis rendah setiap bulan sama dengan kecukupan hormon tiroid ibu hamil yang diberi minyak beriodium dosis tinggi yang digunakan dalam program penanggulangan GAKI 2. Kecukupan hormon tiroid ibu hamil yang diberi minyak beriodium dosis rendah setiap bulan ditambah beta karoten lebih tinggi dibanding dengan kecukupan hormon tiroid ibu hamil yang diberi minyak beriodium dosis tinggi yang digunakan dalam program penanggulangan GAKI. E. Manfaat 1. Minyak beriodium dengan dosis iodium lebih rendah dari pada dosis iodium dalam kapsul minyak beriodium yang digunakan dalam program penanggulangan GAKI dapat digunakan untuk menanggulangi GAKI pada ibu hamil di daerah endemik dengan tidak menimbulkan efek samping . 2. Minyak beriodium dengan dosis iodium lebih rendah dan ditambah beta karoten yang diberikan setiap bulan dapat digunakan dalam program penanggulangan GAKI di Indonesia dengan tidak ada efek samping. Pendistribusiannya dapat diintegrasikan melalui kegiatan penimbangan dan pelayanan kesehatan ibu hamil di posyandu setiap bulan. 25 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) 1. Besar, Luas Masalah GAKI, Penyebab dan Akibatnya Gangguan Akibat Kekurangan Iodium adalah sekumpulan gejala atau kelainan yang ditimbulkan karena tubuh mengalami kekurangan iodium secara terus menerus dalam waktu lama sehingga berdampak pada gangguan perkembangan fisik dan mental manusia (Depkes 1996). Gangguan Akibat Kekurangan Iodium merupakan masalah kesehatan masyarakat yang banyak diderita oleh berbagai kelompok umur termasuk ibu hamil. Prevalensi GAKI pada ibu hamil yang diukur dari Total Goitre Rate (TGR) adalah sekitar 16% (Depkes 1998). Total Goitre Rate merupakan pembesaran kelenjar gondok atau tiroid. Pada umumnya GAKI disebabkan masyarakat kurang mengkonsumsi zat iodium dari bahan makanan. Penderita GAKI yang ditemukan banyak tinggal di daerah pegunungan, karena tanah di daerah tersebut kurang mengandung iodium akibat pengikisan lapisan tanah atau erosi sehingga tanaman kurang mengandung iodium. Selain itu, kekurangan zat gizi mikro lainnya seperti selenium, zat besi dapat memperburuk keadaan GAKI tersebut (Arthur 1993; Hess 1998). Gangguan akibat kekurangan iodium terjadi pada setiap kelompok umur sejak janin sampai usia dewasa dan mulai dari tingkat ringan sampai dengan tingkat berat sesuai dengan tingkat kekurangan iodium. Ibu hamil dan janin yang mengalami kekurangan iodium tingkat berat berisiko ibu mengalami keguguran, bayi yang dilahirkan mati (stillbirth) dan apabila hidup akan menderita gangguan tumbuh kembang bahkan dapat menjadi cebol (kretin). Tabel 1 menunjukkan secara rinci gangguan akibat kekurangan iodium. Pada ibu hamil dengan berbagai tingkat kekurangan iodium akan mengalami gangguan pada fungsi tiroid yang berakibat berkurangnya sekresi hormon tiroid. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dan bayi yang dilahirkan. Anak yang lahir dari ibu yang mengalami defisiensi hormon tiroid akan mengalami keterbelakang perkembangan mental 26 dan menurunkan skor Intelegence Quotient (IQ) sebesar 10-15 poin dibandingkan dengan anak yang normal (Delange & Fisher 2006). Tabel 1 Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada Semua Kelompok Umur Tahap perkembangan Kelainan GAKI Janin - abortus dan lahir mati - angka kematian perinatal dan bayi meningkat - kretin neurologik: bisu tuli dan mata juling - kretin miksedematos: cebol dan keterlambatan mental dan psikomotor Neonatus - gondok neonatal - hipotiroid neonatal Anak dan - gondok, hipotoroid juvenil Remaja - gangguan fungsi mental - keterlambatan perkembangan fisik Dewasa - gondok dengan segala akibatnya - hipotiroid dan gangguan fungsi mental Sumber: Djokomoeljanto (1989). 2. Upaya Penanggulangan GAKI a. Penanggulangan GAKI Dahulu dan Sekarang Sejak jaman dahulu kala pengobatan terhadap penyakit gondok telah dilakukan. Penyakit gondok dilaporkan telah ada sejak jaman Yunani kuno dan pengobatannya menggunakan tumbuhan laut (sponge) (Wildman & Medeiros 2000). Tahun 1850 seorang dokter Perancis bernama Chatin menemukan bahwa kandungan iodium dalam tanah berhubungan dengan kejadian penyakit gondok. Kemudian pada awal abad 20, iodium dikenal menjadi pengobatan untuk penyakit gondok (Wildman & Medeiros 2000). Iodium pertama digunakan dalam larutan yang dikenal dengan larutan Lugol, kemudian berkembang menjadi larutan minyak iodium yang diberikan secara injeksi atau per oral (kapsul). Selain itu, iodinasi air minum dan irigasi, fortifikasi makanan dengan iodium dan iodisasi garam telah dilakukan untuk mencegah kekurangan iodium. Metoda injeksi minyak iodium atau secara intramuskular (IM) pertama kali dicoba di Papua Nugini (Buttfield & Hetzel 1967) dan sejak itu cakupannya telah mencapai jutaan penduduk di seluruh dunia (Dunn 1987). Dampak mencolok injeksi minyak iodium tampak empat tahun kemudian berupa pengecilan kelenjar 27 gondok dan menghilangnya kretin endemik (Buttfield & Hetzel 1967). Cara ini mendapat pengakuan dunia dan digunakan luas termasuk di Indonesia. Keuntungan iodium yang diberikan secara injeksi adalah efeknya cepat dan berlangsung lama sampai 3 tahun. Kelemahannya adalah harga lebih mahal karena harus menggunakan jarum suntik, memerlukan tenaga terlatih dan memungkinkan tertular penyakit infeksi melalui jarum suntik yang digunakan berulang (Dunn 1987). Dalam kemasan 1 ml minyak iodium yang diberikan secara IM mengandung 480 mg iodium. Kehilangan iodium dalam urin pada hari pertama setelah injeksi minyak iodium adalah 6% (Dunn 1987; Chastin 1992). Efek pemberian dengan minyak iodium tersebut dapat meningkatkan kadar EIU selama 3,5 tahun dan setelah itu kadar EIU kembali seperti kadar pada awal sebelum diberi injeksi minyak iodium (Burgi & Helbling 1996) Pemberian minyak iodium secara oral merupakan cara cepat dan singkat untuk mengatasi kekurangan iodium. Dibandingkan dengan pemberian IM, distribusinya tidak memerlukan tenaga terlatih, tidak menyebabkan bahaya transmisi penyakit infeksi dan murah karena tidak membutuhkan alat suntik. Kelemahannya terletak pada compliance dilapangan akibat transportasi atau kesulitan mencapai penderita Efek dari minyak iodium (Lipiodol) secara oral dengan dosis tunggal 200480 mg iodine meningkatkan status iodium dan dapat menurunkan prevalensi gondok (Eltom et al. 1985; Benmiloud et al. 1994; Elnagar et al. 1995). Efek proteksi minyak iodium secara oral lebih singkat yaitu hanya 1 tahun dibandingkan dengan injeksi yang mempunyai efek 3 tahun. Kehilangan iodium melalui urin pada hari pertama pemberian sekitar 48% (Dun 1987; Chastin 1992). Selain minyak iodium dengan merek dagang Lipiodol, dikenal juga merek lain Brassiodol dan Yodiol. Bahan baku Lipiodol dari minyak biji opium, Brassiodol dari minyak biji lobak dan Yodiol dari minyak kacang tanah. Kadar asam lemak tidak jenuh tunggal pada minyak biji opium lebih rendah dibandingkan minyak kacang tanah dan minyak biji lobak. Kemampuan retensi iodium lebih tinggi pada asam lemak tidak jenuh yang mempunyai lebih banyak ikatan rangkap tunggal (Sirajudin 2003). 28 Sejak tahun 1920 garam beriodium telah digunakan untuk penanggulangan masalah gondok di Swiss (Djokomoeljanto 1989). Sampai saat ini banyak negara menggunakan metoda ini dalam menanggulangi GAKI. Cara ini sangat murah dan mempunyai cakupan yang luas. b. Program Pemerintah dalam Menanggulangi GAKI Upaya Pemerintah yang dilakukan yaitu berupa program jangka pendek dan panjang. Jangka panjang dengan iodisasi garam dan jangka pendek dengan distribusi kapsul minyak beriodium. Selain itu penyuluhan tentang manfaat garam beriodium dan pembinaan terhadap produsen garam juga dilakukan oleh Pemerintah. Iodisasi dilakukan pada garam dengan alasan garam merupakan media yang paling baik untuk menyampaikan iodium, karena garam merupakan bahan makanan yang dikonsumsi semua orang setiap hari sehingga menjamin masukan iodium dalam menu sehari hari. Garam yang beredar di Indonesia untuk konsumsi rumah tangga sesuai Peraturan Pemerintah No 15 tahun 1991 dan SK Menteri Perindustrian No 29/M/SK/2/1995 harus mengandung iodium 30-80 ppm (Tim Penanggulangan GAKY Pusat 2005; BPS 2000). Garam iodium yang dikonsumsi sekitar 10 g diharapkan dapat memenuhi kebutuhan iodium masyarakat (WHO 2001). Target garam beriodium untuk semua atau Universal Salt Iodization(USI) dapat dicapai apabila 90% masyarakat mengkonsumsi garam mengandung cukup iodium (BPS 2000). Kapsul minyak beriodium ditujukan untuk penduduk dengan risiko tinggi di daerah endemik berat dan sedang. Pendistribusian kapsul beriodium sebanyak satu kapsul Yodiol selama kehamilan dengan metoda blanket approach. Melalui metoda ini semua ibu hamil di daerah endemik memperoleh kapsul yodiol dan diharapkan terhindar dari kekurangan iodium selama kehamilan. Sebelumnya tahun 1974-1991 suntikan lipiodol secara intramuscular merupakan satu-satunya metode penanggulangan GAKI secara crash program (Djokomoeljanto 1989). Suntikan lipiodol dihentikan karena biaya operasional yang mahal dan diganti dengan kapsul Lipiodol. Akhirnya kapsul lipiodol diganti 29 juga dengan kapsul Yodiol tahun 1993 yang harganya lebih murah dengan efektifitas yang sama dengan kapsul Lipiodol. Sampai saat ini kapsul minyak iodium (yodiol) sudah didistribusikan secara luas di daerah GAKI berat atau sedang di seluruh Indonesia, terutama pada penduduk dengan risiko tinggi yakni anak sekolah, wanita usia subur dan wanita hamil. Kapsul minyak beriodium merupakan larutan iodium dalam minyak berbentuk kapsul lunak, mengandung 200 mg iodium. Dosis pemberian kapsul minyak beriodium ditentukan sebagai berikut : (1) Wanita usia subur (15-49 th) : 2 kapsul/tahun (2) Ibu hamil : 1 kapsul pada masa hamil (3) Ibu menyusui: 1 kapsul masa menyusui (4) Anak SD kelas 1-6 : 1 kapsul/tahun (Depkes 2000a). Garam krosok tanpa iodium diakui masih ditemukan, diperdagangkan dan digunakan oleh ibu rumah tangga di beberapa daerah Indonesia (Lamid et al. 1992). Kurangnya informasi dan harga yang murah menyebabkan ibu rumah tangga masih memilih garam krosok tersebut. Oleh karena itu perlu di lakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat garam beriodium terutama kepada ibu rumah tangga. Peran ibu rumah tangga sangat menentukan dalam memilih dan menggunakan garam yang beriodium sehari-hari di rumah tangga. Melalui penyuluhan kepada ibu rumah tangga diharapkan terjadi perubahan perilaku ibu agar lebih mengutamakan aspek kesehatan dalam memilih garam yang digunakan sehari-hari. Pembinaan terhadap produsen garam beriodium perlu dilakukan mengingat masih ditemukan garam yang beredar mengandung iodium tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Kandungan iodium dalam garam lebih rendah dari kadar yang ditetapkan maupun kandungan iodium yang tinggi melebihi kadar yang ditentukan 3. Zat Goitrogenik Zat goitrogenik merupakan faktor lingkungan yang memperberat GAKI. Peran goitrogenik pada kelenjar tiroid tergantung pada macam senyawa goitrogenik dan senyawa antitiroid. Tiosianat merupakan salah satu zat goitrogenik. Kerja senyawa tiosianat atau senyawa mirip tiosianat menghambat ambilan iodium (iodida) oleh kelenjar tiroid. Molekul iodida dan tiosianat 30 berkompetisi untuk diangkut ke dalam sel folikular karena komposisi molekul tiosianat mirip dengan iodida. Sianogenik glikosida dalam beberapa makanan pokok merupakan prekursor tiosianat (Gaitan et al. 1986). Singkong atau ubi kayu mengandung sianogenik glikosida, linamarin, yang mengalami hidrolisis setelah kontak dengan ensim linamarinase yang ada dalam singkong. Perubahan linamarin menjadi sianida kemudian dikonversikan menjadi tiosianat dijelaskan pada Gambar 1 dibawah ini. Linamarin dihidrolisis oleh ensim glikosida menghasilkan acetone cyanohydrin dan hidrogen sianida (HCN) kedua senyawa ini dikenal dengan nama cyanogens. Hidrolisis linamarin oleh ensim glikosida sangat tergantung oleh ensim linamarase yang dibebaskan dari tanaman pada kelembapan tinggi dan temperatur rendah. Cyanogen dapat dihilangkan melalui proses pengolahan. Sebaliknya pemecahan cyanohydrin menjadi sianida difasilitasi oleh pH basa, kelembapan yang rendah dan temperatur yang tinggi. HCN yang dihasilkan segera hilang mungkin karena larut dalam air atau menguap atau hilang karena pembentukan cyanohydrin kedua. Sianida di konversikan menjadi tiosianat oleh ensim yang ada di hati dan ginjal. Dalam proses ini, atom sulfur ditambahkan kedalam reaksi disuplai oleh asam amino sistein (Rosling 1994 ). Gambar 1 Cyanogenesis pada Singkong dan Metabolisme Sianida pada Manusia (Rosling 1994 ). 31 Batas maksimum asupan sianida yang aman dikonsumsi manusia adalah 10 mg (0.4 mmol) dan dosis yang lebih tinggi meningkatkan kadar methaemoglobin pada jaringan dan menimbulkan gejala keracunan (Lundquist 1985). Adanya ensim rhodanese pada jaringan dan reaksi sulfan-sulfur (asam amino mengandung sulfur dari makanan) akan mengkonversi sianida yang berlebihan menjadi tiosianat yang kurang toksik dan diekskresi melalui urin (Rosling 1994). Penelitian epidemiologi di kepulauan Maluku menemukan ada keterkaitan daerah endemik goiter dengan konsumsi tinggi makanan yang mengandung tiosianat yang diiringi dengan rendahnya EIU (Thaha et al. 2002). Walaupun demikian penghambatan terhadap transpor aktif iodium ke dalam kelenjar tiroid hanya efektif bila kosentrasi iodium di dalam darah normal atau lebih rendah (Wilson & Foster 1992). Suplementasi iodium yang diberikan dalam jumlah yang cukup dan teratur dapat mengatasi masalah hambatan transpor aktif tersebut (Gaitan 1986). 4. Indikator GAKI WHO (2001) merekomendasikan pengukuran berat atau ringan GAKI dengan menggunakan dua indikator yaitu indikator klinis dan biokimia. Indikator klinis merupakan metoda non-invansive yaitu dengan mengukur pembesaran kelenjar tiroid dengan cara palpasi dan ultrasonografi. Indikator biokimia dengan mengukur ekskresi iodium urin dan spesimen darah untuk menentukan tiroglobulin serta hormon tirotropin (TSH) darah. Walaupun tidak direkomendasikan oleh WHO (2001), penentuan fungsi hormon tiroid sering dilakukan dalam diagnose GAKI. a. Pengukuran pembesaran kelenjar tiroid . Cara palpasi mempunyai kelayakan lebih tinggi dari pada dengan cara ultrasonografi. Pengukuran prevalensi gondok endemik dengan cara palpasi lebih mudah dan ekonomis serta hanya membutuhkan pelatihan yang khusus bagi tenaga kesehatan. Cara ultrasonografi lebih mahal karena membutuhkan 1 set peralatan khusus lengkap dengan komputer dan tenaga yang terlatih untuk mengoperasikan peralatan tersebut. Interpretasi hasil pengukuran pembesaran 32 kelenjar tiroid pada wanita hamil dilakukan secara hati-hati karena selama kehamilan terdapat pembesaran kelenjar tioid karena terjadi hiperplasia kelenjar tiroid dan bertambahnya daerah vaskularisasi (Cunningham et al. 1989). b.Tiroglobulin Tiroglobulin yang dirilis kedalam sirkulasi merupakan indikator ketidak cukupan asupan iodium. Asupan iodium yang rendah menyebabkan terjadi proliferasi sel tiroid yang menghasilkan hiperplasia dan hipertrofi. Keadaan ini meningkatkan kadar serum tiroglobulin (WHO 2001). c. Ekskresi Iodium Urin (EIU) EIU merupakan indikator biokimia yang non invasive. EIU merupakan marker yang baik untuk menentukan asupan iodium terkini (WHO/Unicef/ICCIDD 1993). Asupan iodium kemudian dicerna dan diabsorpsi serta masuk kedalam peredaran darah dengan cepat. Sisa iodium yang tidak diabsorpsi diekskresikan terbanyak melalui urin dan sebagian kecil melalui keringat, feses dan udara pernapasan yang dihembuskan (Pernnington 1988). Ekskresi Iodium Urin individu sangat bervariasi dari hari ke hari bahkan dalam sehari tergantung asupan iodium. Eksresi Iodium Urin yang dikumpulkan pagi hari cukup memadai untuk pengukuran iodium pada populasi, sehingga tidak memerlukan contoh urin selama 24 jam (WHO 2001). Nilai EIU biasanya tidak terdistribusi dengan normal sehingga untuk menginterpretasikan nilai EIU populasi sebaiknya menggunakan median dari pada angka rerata (WHO/UNICEF/ICCIDD 1994). Distribusi EIU dapat digunakan untuk menilai asupan iodium dan status iodium populasi. Indikator EIU juga dapat menilai tingkat endemik suatu daerah. Pada Tabel 2 diuraikan bahwa kekurangan iodium ringan apabila asupan iodium dengan EIU dibawah 100 μg/L, sedangkan kekurangan iodium sedang jika EIU dibawah 50 μg/L. Kekurangan iodium berat apabila EIU dibawah 20 μg/L. Status iodium optimal apabila median EIU 100-199 μg/L. Median EIU 200-299 μg/L dikategorikan status iodium berisiko menyebabkan iodine induced hyperthyroidisim atau disebut dengan IIH. Asupan iodium berlebihan apabila 33 median EIU > 300 μg/L dan status iodium pada keadaan ini dapat menimbulkan resiko yang buruk terhadap kesehatan dengan munculnya penyakit autoimun, penyakit tiroid atau iodine induced hyperthyroidism. Tabel 2 Kriteria Secara Epidemiologi untuk Menilai Status Iodium berdasarkan Median EIU pada Anak Sekolah Median UIE (μg/L) Asupan iodium Status iodium < 20 μg/L Tidak cukup Kekurangan iodium berat 20 -49 μg/L Tidak cukup Kekurangan iodium sedang 50-99 μg/L Tidak cukup Kekurangan iodium ringan 100-199 μg/L Cukup Optimal 200-299 μg/L Lebih dari cukup Berisiko hipertiroid atau iodine induced hyperthyroidism (IIH) dalam waktu 5-10 tahun setelah pemberian garam beriodium pada golongan rawan. ≥ 300 μg/L Berlebihan Berisiko terhadap kesehatan (IIH, autoimun, penyakit tiroid) Sumber : WHO(2001). d. Hormon TSH Hormon TSH merupakan indikator terbaik untuk mendeteksi gejala hipotiroid primer (Greenspan & Baxter 1995). Pemeriksaan GAKI dan monitoringnya pada masyarakat menggunakan pemeriksaan serum atau bercak darah kering TSH bayi neonatal dan serum TSH dapat menentukan ketersediaan dan kecukupan dari hormon tiroid (WHO/UNICEF/ICCIDD/1994). Kadar hormon tiroid yang rendah pada kelenjar pituitari karena sintesis hormon tiroid yang berkurang merangsang pelepasan hormon TSH yang dapat dideteksi dalam darah. Hormon TSH merangsang semua tahapan metabolisme iodida mulai dari peningkatan ambilan (uptake) iodida dari sirkulasi, transpor iodida hingga peningkatan iodinasi tiroglobulin dan peningkatan sekresi hormon tiroid (Greenspan & Baxter 1995). 34 e. Fungsi hormon tiroid. Penentuan konsentrasi serum hormon tiroid tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) biasanya tidak direkomendasikan untuk memonitor GAKI pada populasi karena kedua uji tersebut sangat mahal dan merupakan indikator yang kurang sensitif (WHO 2001). Selain itu pemeriksaan serum T4 dan T3 pada ibu hamil ditemukan meningkat (Harada 1979), sehingga interpretasi hasil uji T4 dan T3 menjadi bias dalam menentukan uji fungsi tiroid pada ibu hamil. Perubahan yang mencolok selama kehamilan terjadi karena peningkatan protein transpor iodium yaitu Tiroid Binding Globulin (TBG), namun kadar hormon tiroid bebas atau free tiroksin (FT4) dalam keadaan seimbang atau normal (Greenspan & Baxter 1995). B. Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Iodium 1. Sejarah Penemuan Iodium Penemuan iodium dirintis oleh Bernard Courtois yang berasal dari Perancis pada tahun 1811. Profesinya sebagai pembuat bubuk mesiu yang digunakan dalam perang saat itu mengantarkannya menemukan uap yang berwarna ungu. Uap ungu tersebut merupakan hasil isolasi dari rumput laut (seaweed) yang ditambahkan asam sulfat yang berlebihan kemudian uap ungu tersebut dapat dikristalkan. Karena kekurangan dana maka temuannya lebih disempurnakan oleh koleganya Charles Bernard Desormes (1777-1862); Joseph Louis Gay-Lussac (1778-1850) dan Andre-Marie Ampere (1775-1836) (Wikipedia 2007). Iodium berasal dari kata Yunani: iodes artinya violet; yang merupakan elemen kimia dengan simbol I, nomor atom 53 dan berat atom 127. Iodium merupakan halogen seperti halogen lain (brom, fluor) dan iodium cenderung menerima elektron dan ada di alam sebagai ion negatif. Secara kimia iodium kurang reaktif dibandingkan halogen lainnya (Wikipedia 2007). Biasanya iodium berikatan dengan logam atau non logam yang membentuk iodida (Wildman & Medeiros 2000). 2. Sumber Iodium dan Guna Iodium Kadar iodium dari tanaman sangat tergantung kandungan iodida tanah dimana tanaman itu tumbuh atau tergantung pada pupuk yang digunakan. 35 Sebagian besar iodium tumbuhan dalam bentuk anorganik (Matovinovic 1988) Kadar iodium air minum tergantung pada kandungan iodium dari batu-batuan dan tanah sumber air berasal. Demikian juga kandungan iodium hewan tergantung pada tanaman yang dimakan dan pakan yang digunakan serta air minum. Makanan laut atau seafood merupakan sumber iodium yang baik dari pada ikan segar dari air tawar maupun tumbuhan dari darat. Gambaran kandungan iodium bahan makanan di daerah endemik berdasarkan hasil penelitian Purwaningsih (1997) disajikan pada Lampiran 22. Iodium digunakan untuk obat, fotografi, bahan cat (dyes), antiseptik dan food suplemen. Sebagai unsur kelumit (trace element), iodium dibutuhkan oleh manusia dalam jumlah yang kecil, sedangkan peranan iodium secara biologi sebagai pembentuk hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) (Wikipedia 2007) 3. Kebutuhan dan Kecukupan Iodium Kebutuhan iodium sangat bervariasi sangat tergantung dari usia, jenis kelamin dan ekskresi urin (Karyadi 1984). Kebutuhan iodium per hari adalah 1-2 μg per kg BB per hari (Almatsier 2001). Angka kecukupan iodium di Indonesia untuk wanita usia 16-19 th: 150 μg/hari dan 20-59 th: 150 μg/hari untuk ibu hamil ada tambahan sebesar 25μg/hari iodium untuk kebutuhan janin dan laktasi (Kartono & Sukatri 2004). 4. Pencernaan dan Penyerapan Iodium Iodium (I) dalam bahan makanan terikat pada asam amino atau dalam bentuk bebas, terutama dalam bentuk iodat (IO3-) dan dalam bentuk iodida (I-). Selama dicerna iodat dari bahan makanan akan mengalami reduksi oleh glutathion menjadi iodida sedangkan iodida (I-) langsung diserap dari lambung dan usus halus. Kemudian iodida memasuki enterosit bersama sebagian kecil iodium yang terikat asam amino yang tidak seefisien ion iodida. Iodida bebas (I-) diserap dari enterosit memasuki sirkulasi darah didistribusikan diseluruh cairan ekstra sel yang kemudian menembus kesemua jaringan tubuh. Iodida yang muncul di dalam darah dalam bentuk bebas tidak terikat dengan protein (Groff & Grooper 2000; Berdanier 2000). 36 Adapun pencernaan dan penyerapan kapsul minyak beriodium dijelaskan sebagai berikut: kapsul minyak beriodium dikonsumsi per oral, kemudian dicerna dalam usus halus. Setelah itu minyak beriodium diabsorbsi dan masuk kedalam peredaran darah, diantaranya memasuki kelenjar tiroid, disimpan dalam jaringan lemak tubuh dan sisanya dibuang melalui urin (Dunn & Van Der Haar 1990). Seperti diketahui kapsul minyak iodium (Yodiol) mengandung asam oleat 43.3%; asam linoleat 29.9% dan asam linolenat 0.40% (Sirajuddin 2003). Iodium yang terikat pada asam lemak ikatan rangkap tunggal (etil oleat) akan tertahan lebih lama dalam tubuh dibandingkan yang terikat pada asam lemak ikatan rangkap ganda (etil linoleat atau etil linolenat) (Van der Heide et al. 1989). Iodium yang tidak terikat pada asam lemak memasuki sirkulasi darah dalam bentuk iodida (I-) (Groff & Grooper 2000). Iodida dalam sirkulasi, sepertiganya ditangkap kelenjar tiroid, sebagian kecil memasuki jaringan dan sebagian besar dibuang melalui urin (Djokomoeljanto 1994). Iodida dalam sirkulasi darah ada yang masuk kedalam kelenjar saliva tetap dalam bentuk inorganik iodida dan biasanya akan diabsoprsi kembali (Husaini 1992). Kelenjar tiroid mengandung 70-80% total iodida tubuh dan dapat menangkap 120 μg iodida per hari. (Groff & Gropper 2000). Kelenjar tiroid terbentuk dari banyak bola-bola kecil (folikel) dan berkembang menjadi 2 lobus lateral tiroid yang dihubungkan oleh suatu jembatan jaringan yang disebut ismus tiroid. Ismus tirod terletak dibawa kartilago tiroid di pertengahan antara apeks kartilago tiroid (”Adam’s apple”). Masing-masing folikel dikelilingi oleh lapisan sel yang disebut koloid. Sel-sel folikel mensitesa tiroglobulin yang dikeluarkan kedalam lumen folikel. Biosintesa hormon tiroksin (T4) dan hormon triiodotironin (T3) terjadi dalam tiroglobulin (Ganong 1995)(Greenspan & Baxter 1995). 5. Sintesa, Sekresi Hormon Tiroid dan Transpor Hormon Tiroid Iodida yang diserap kedalam peredaran darah sebanyak sepertiganya ditangkap oleh kelenjar tiroid sedangkan sisanya dikeluarkan melalui urin. Kurang lebih 95% simpanan iodium tubuh berada dalam kelenjar tiroid sedangkan sisanya berada dalam sirkulasi darah (0.04-0.57%) dan jaringan ( Djokomoeljanto 1996). 37 Kelenjar tiroid merupakan tempat mensintesa hormon tiroid dari bahan baku iodium (Gambar 2). Kemudian iodium disintesa dan disekresi oleh kelenjar tiroid melalui beberapa langkah: -Tahap ”trapping” dimana iodium dikonsentrasikan oleh kelenjar tiroid dan dibawa ke kelenjar tiroid. Penangkapan iodium oleh kelenjar tiroid dari darah melalui sebuah pompa ensim ATP yang memompa Na+ kedalam dan K+ keluar dari kelenjar tiroid. Penangkapan iodida oleh folikel kelenjar tirod dari darah dengan proses transpor aktif. Sedikitnya 60 μg iodida harus ditangkap oleh kelenjar tiroid per hari untuk memproduksi hormon tiroid yang cukup (Wildman & Medeiros 2000). Gambar 2 Model Metabolisme Iodida dalam Folikel Tiroid ( Martin et al. 1987) 38 -Tahap organifikasi iodium: dimana iodium dioksidasi dan bereaksi (iodinasi) dengan tirosil residu dalam tiroglobulin (Tg). Iodinasi pertama yaitu iodium diikat pada asam amino tirosil dari tiroglobulin yang diaktifkan oleh ensim peroksidase menjadi 3-monoiodotirosine (MIT). Iodinasi kedua yaitu iodium diikat dengan MIT menjadi 3,5 diiodotirosin (DIT). -Tahap penggabungan (coupling): dua molekul dari diiodotirosin bergabung menjadi hormon tiroksin (T4) dan satu DIT dan MIT bergabung menjadi T3. Kemudian disimpan dalam koloid dari lumen folikuler tiroid. -Tahap pelepasan dimana hormon tiroid dirilis kedalam sirkulasi darah dan MIT dan DIT mengalami deiodinasi (Djokomoeljanto 1996). Setiap hari kira-kira 80-90 μg hormon 3,5,3’,5’-tetraiodothyronine (T4) atau disebut hormon tiroksin dan 10-20 μg hormon 3,5,3’-triiodothyronine (T3) diproduksi dan disekresikan ke dalam darah. Kelenjar tiroid secara aktif mengabsorbsi iodium dari darah untuk membuat dan mensekresi hormon ini ke dalam darah. Penurunan hormon tiroid dalam darah akan meningkatkan sekresi TSH (tirotropin) oleh kelenjar hipofisa dan sebaliknya peningkatan hormon tiroid akan menurunkan sekresi hormon TSH. Mekanisme ini diatur melalui efek umpan balik negatif yang melibatkan kerja kelenjar tiroid, hipotalamus dan hipofisa (Guyton 1982). Hipofisis mensekresikan hormon TSH dan dihambat melalui umpan balik negatif oleh hormon T4 dan T3 dalam darah (Granner 1985). Kerja TSH melalui cyclic AMP dan fosfolipase C yang mempengaruhi 4 tahap sintesa dan sekresi hormon tiroid dalam kelenjar tiroid. Secara khusus hormon TSH merangsang semua tahapan metabolisme iodium dari meningkatnya ambilan iodium oleh kelenjar tiroid hingga peningkatan sekresi hormon tiroid (Greenspan & Baxter 1994). Kadar serum TSH normal adalah sekitar 0.5 -5 mU/L meningkat pada hipotiroid dan menurun pada hipertiroid. Waktu paruh TSH plasma adalah sekitar 30 menit dan kecepakatan produksi harian adalah sekitar 40-150 mU/ml/hari (Greenspan & Baxter1994). 39 Kelenjar tiroid memproduksi 100% hormon T4 yang disirkulasikan dalam darah tetapi 5% - 10% nya merupakan hormon T3. Walaupun kosentrasi plasma hormon T4 lebih besar dari hormon T3 tetapi hormon T3 lebih aktif dan lebih potensial (Groff & Gropperr 2000). Hormon tiroid yang disekresi kemudian berikatan dengan transpor protein darah kemudian didistribusikan ke target sel perifer. Tiga transpor protein pembawa hormon tiroid ialah: a)Thyroid Hormone Binding Globulin (TBG) ditemukan dalam plasma dengan kapasitas rendah tetapi dengan afinitas yang tinggi terhadap hormon T4 dan T3; b) Albumin dan c) Transthyretin (prealbumin). Umumnya hormon T4 terikat pada TBG. Ada sebagian kecil <0.1% dari hormon T4 dan hormon T3 tidak berikatan dengan protein transpor tetapi dalam bentuk bebas yang secara hormonal lebih aktif (Groff & Grooper 2000). 6. Metabolisme Iodium Metabolisme iodium setelah kelenjar tiroid mensekresi hormon tiroid dapat dilihat dalam Gambar 2. Dalam gambar ini diperkirakan dari asupan 500 μg iodida (I-) setelah dicerna menghasilkan kurang lebih 500 μg I- yang memasuki pool iodida ekstraselular. Sebanyak 40 μg iodida yang dibebaskan kelenjar tiroid dan 60 μg iodida yang dibebaskan dari jaringan juga memasuki pool ekstraselular. Kemudian dari pool iodida ekstraselular, sepertiga iodida pool memasuki kelenjar tiroid (115 μg I-) dan sisanya keluar melalui urin (485 μg I-). Konsentrasi iodida dalam pool tiroid sangat besar mencapai 8000 μg I- (8 mg) dan merupakan tempat cadangan hormon tiroid. Setiap hari dilepas 75 μg I- (hormon T3, T4) membentuk pool sirkulasi sekitar 600 μg I- sebagai T3 dan T4. Kemudian dari pool ini dilepas sekitar 75 μg I- sebagai hormon T3 dan T4 digunakan dalam jaringan hati, otot, jantung dan otak. Jumlah tersebut dikembalikan ke pool iodida sekitar 60 μg Idan 15 μg I- dikonyugasi dengan glukoronida atau sulfat dalam hati dan diekskresi melalui feses (Greenspan & Baxter 1995). 40 Gambar 3 Metabolisme Iodium (Greenspan & Baxter1995). Hormon T4 yang didistribusikan ke jaringan tepi akan mengalami konversi (monodeiodinase) menjadi hormon T3 oleh pengaruh ensim deiodinase-5’. Hampir semua tiroksin dalam darah dikonversikan (deiodinasi) menjadi T3 setelah memasuki jaringan tepi. Ada 3 tipe deiodinase yaitu deiodinase-5’ tipe 1, deiodinase-5’ tipe 2 dan deiodinase-5’ tipe 3. Deiodinase-5’ tipe 1 merupakan ensim yang mengkonversikan hormon T4 menjadi hormon T3 di dalam kelenjar tiroid, hepar, ginjal, otot jantung, otot rangka. Deiodinase-5’ tipe 2 berperan mengkonversi hormon T4 menjadi hormon T3 pada jaringan otak dan kelenjar hipofisa. Ensim deiodinase-5’ tipe mengkonversi hormon T4 menjadi hormon T3 pada jaringan plasenta, sel glia (Lazarus 1993; Brody 1999). Hormon T3 di jaringan akan mengalami proses metabolisme pada tingkat seluler. Hormon T3 merupakan hormon yang menjembatani kerja hormon pada 41 tingkat seluler. Kemudian hormon T3 berikatan dengan reseptor hormon tiroid nukleus untuk inisiasi transkripsi mRNA mengarah kepada produksi protein baru termasuk mempengaruhi aktifitas sejumlah ensim, sintesa koensim dan vitamin dan kemampuan metabolisme lainnya. Terdapat 3 macam reseptor hormon trioid yaitu : TR α1, TR ß2 dan TR ß2 (Lazarus 1999). 7. Keseimbangan Dinamis (Turnover) Iodida dan Waktu Paruh Iodida dan Hormon Tiroid. Turnover atau keseimbangan dinamis iodida dalam darah sangat singkat terutama diatur oleh ambilan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, dalam plasma waktu paruh iodida sekitar 10 jam tetapi dapat lebih singkat apabila kelenjar tiroid aktif secara berlebihan dalam keadaan tirotoksikosis atau dalam keadaan defisiensi iodium. Turnover hormon tiroid relatif lambat/pelan. Waktu paruh hormon tiroid (T4) normal sekitar 7 hari. Waktu paruh untuk hormon tiroid lainnya yaitu T3 antara 1,5 sampai 3 hari (Stanbury 1996) 8. Efek Spesifik Hormon Tiroid terhadap Tubuh Molekul T4 dan T3 mempunyai 4 dan 3 atom iodium. T4 sebagian besar sebagai prekursor T3 yang secara biologis lebih aktif (Wikipedia 2007). T4 atau hormon tiroid mempengaruhi hampir setiap sel dalam tubuh manusia. Hormon tiroid juga meningkatkan aktifitas pemecahan glukosa sehingga meningkatkan metabolisme dalam tubuh (Wildman & Medeiros 2000). Kekurangan hormon tiroid dapat menurunkan basal metabolisme sampai 50% sedangkan produksi yang berlebih dari hormon tiroid dapat mengakibatkan laju metabolisme basal 100% (Wildman & Medeiros 2000). Dari banyak efek hormon tiroid pada tubuh manusia dapat disimpulkan 3 efek yang utama pada tubuh yaitu 1) mengatur metabolisme dan keseimbangan energi, 2) mengatur pertumbuhan dan perkembangan, dan 3) mengatur aktifitas sistem syaraf (Tortora & Anagnostakos 1990). Lebih rinci pada Tabel 3 di bawah diuraikan beberapa efek spesifik hormon tiroid (Wilman & Medeiros 2000). 42 Tabel 3 Pengaruh Hormon Tiroid dalam Mekanisme Tubuh Mekanisme Pengaruh hormon tiroid Metabolisme Karbohidrat merangsang absorpsi gula dan ambilan oleh sel, meningkatkan metabolisme karbohidrat, khususnya glikolisis dan glukoneogenesis, meningkatkan rilis hormon insulin Metabolisme Lemak meningkatkan mobilisasi lemak jaringan adipose, meningkatkan kandungan plasma asam lemak bebas (FFA) dan meningkatkan oksidasi asam lemak dalam sel, mengurangi plasma kolesterol dan trigliserida diduga dengan meningkatkan kandungan asam empedu-kolesterol dan membuang melalui feses. Sintesa Protein meningkatkan sintesa protein, tetapi dalam jumlah berlebih menyebabkan katabolisme protein Metabolisme Basal meningkatkan metabolisme pada semua sel, kekurangan hormon tiroid menyebabkan metabolisme basal turun 50% Sistem Kardiovaskuler meningkatkan denyut jantung; meningkatkan volume darah Respirasi Makanan/ Pencernaan meningkatkan respirasi karena metabolisme seluler meningkat meningkat nafsu makan dan konsumsi makanan, meningkat laju sekresi cairan lambung dan motilitas dari saluran pencernaan makanan dan kekurangan hormon tiroid menyebabkan konstipasi Skeletal Muscle meningkat kontraksi vigor Central Nervous System meningkat ”elation”, jumlah yang berlebih menyebabkan gugup dan cemas Kelenjar Endokrin meningkat laju sekresi endokrin Sumber: Wildman dan Medeiros (2000) C. Iodium dan Kehamilan Selama hamil terutama pada trimester pertama, terjadi adaptasi fisiologi yang ditandai peningkatan kadar Thyroid Binding Globulin (TBG) dan kenaikan ini sebagai respon terhadap meningkatnya hormon estrogen dan Human Chorionic Gonadotropin (hCG), sehingga merangsang kelenjar tiroid ibu membesar (Cunningham 1989). Kondisi tersebut menyebabkan goiter sementara pada masa kehamilan dan akan kembali normal setelah melahirkan. 43 Selama kehamilan, iodium dibutuhkan untuk ibu sendiri dan pertumbuhan janin sehingga kebutuhan iodium ibu hamil meningkat. Peningkatan kebutuhan jumlah iodium juga untuk menutupi kehilangan iodium melalui peningkatan renal clearance iodium. Gambar 4 Morfologi Embrio dan Janin (Rathus 1988) Iodium atau hormon T4 ditransfer melalui plasenta dan hal ini menunjukkan pentingnya peranan hormon tiroid pada pembentukan embrio dan janin. Sebelum usia kehamilan mencapai 12-18 minggu, hormon T4 dan reseptor hormon tiroid ditemukan pada jaringan janin. Namun produksi hormon tiroid janin dimulai pada trimester 2 (deViljder 1996). Gambaran morfologi embrio dan janin diuraikan secara lengkap pada Gambar 4. 1. Iodium untuk Perkembangan Otak Janin Manusia Iodium dalam bentuk hormon tiroid berperan pada perkembangan otak. Pada sel otak, T4 dan T3 mengalami monoiodinase dimana T4 dikonversi menjadi hormon rT3 dan T3 di konversi menjadi T2 dengan bantuan ensim deiodinase -5’ 44 tipe 3. Ensim ini ditemukan di plasenta dan mempunyai peran melindungi dan menghindari hormon tiroid yang berlebihan mencapai janin (Bernal 2005). Reseptor hormon T3 pada sel nukleus mengikat T3 dan jumlah T3 yang terikat pada reseptor tersebut meningkat 6-10 kali pada kehamilan 10-16 minggu (Vulsma et al. 1989). Pada janin, hormon tiroksin (T4) dapat ditemukan pada kehamilan trimester pertama (kehamilan 6 minggu) yaitu pada cairan coelomic, jauh sebelum dimulai sekresi hormon T4 oleh tiroid janin pada 24 minggu kehamilan. (Contempre et al. 1993). Walaupun pada usia 24 minggu janin dapat mensekresi T4 sendiri, transfer tiroid dari ibu ke janin masih tetap berlanjut sampai kehamilan trimester 3. Bahkan dalam darah ari-ari pada saat bayi lahir ditemukan 30% serum T4 berasal dari ibu (Delange et al.1989; Vulsma et al. 1989). Perkembangan otak dikategorikan dalam dua periode berdasarkan laju pertumbuhan maksimal (Dobbing & Sands 1973), terlihat pada Gambar 4. Gambar 5 Fungsi Tiroid Janin dan Postnatal pada Manusia dan Hubungannya dengan Laju Pertumbuhan Cepat Otak (Delange & Fisher 2006). 45 Periode pertama terjadi selama trimester 1 dan 2 atau antara umur kehamilan 3 dan 5 bulan. Pada periode ini terjadi multiplikasi, migrasi dan organisasi neuron. Kemudian periode kedua terjadi pada trimester 3 sampai 2 – 3 tahun post natal. Pada periode ini terjadi multiplikasi, migrasi dan myelinisasi sel glial. Periode pertama terjadi sebelum kelenjar tiroid janin berfungsi optimal dan suplai hormon tiroid pada tumbuh kembang janin hampir seluruhnya berasal dari ibu. Pada periode kedua, suplai hormon tiroid pada janin berasal dari sekresi janin sendiri dan suplai dari ibu melalui plasenta (Morreale de Escobar et. al. 2000). 2. Kelebihan dan Kekurangan Iodium pada Janin Dalam Kandungan Tiroid janin mulai mengakumulasi iodium pada kehamilan 10 minggu tetapi yang bebas dari efek Wolff-Chaikoff hanya selama 4 minggu kehamilan. Roti dan Braverman (1996) melaporkan bahwa janin yang terpapar oleh ibu hamil yang mengalami kelebihan iodium (obat), dapat menyebabkan gondok dan hipotirod khususnya di daerah defisiensi iodium. Ibu hamil yang mengalami kelebihan iodium berisiko meningkatnya transient kosentrasi TSH ari-ari bayi (Novaes et al. 1994; Roti & Braverman 1996). Janin yang defisiensi iodium karena ibu selama hamil kekurangan iodium, akan mengalami gangguan dalam produksi dan sintesa hormon tiroid janin dan ibu. Suplai hormon tiroid yang tidak cukup pada janin menyebabkan terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak janin. Dampak negatifnya bayi yang dilahirkan mengalami hipotiroid. Hormon tiroid berfungsi dalam tumbuhkembang dengan cara diferensiasi sel dan ekspresi gene. Hormon tiroid T3 mengikat reseptor nukleus yang mengatur ekspresi gene spesifik dalam otak janin dan kehidupan postnatal. T3 terikat pada reseptor inti didapat dari konversi T4 melalui deiodinase-5’tipe 2, dan bukan dari sirkulasi T3 (Morreale de Escobar et al. 2004; Delange 2001) 3. Bukti-Bukti Pengaruh Kekurangan Iodium pada Tumbuh Kembang Janin Bukti kekurangan iodium pada tumbuh kembang janin dikumpulkan dari penelitian pada hewan yang bunting yang dibuat kekurangan iodium dan pada anak yang mengalami kekurangan iodium. 46 Penelitian telah dilakukan pada tikus, marmot, dan domba yang relevan dengan masalah kretin endemik dan kerusakan otak hasil akibat kekurangan iodium. Tikus diberi makanan yang biasa dikonsumsi oleh penduduk desa Jixian di China (Li et al. 1985; Zhong et al. 1983; Hetzel & Hay 1979). Desa tersebut termasuk desa endemik GAKI dengan prevalensi kretin endemik 11%. Diit terdiri dari jagung dan gandum, sayuran dan air diambil dari daerah ini dengan kadar iodium diit ini sebesar 4.5 ug/kg. Setelah 4 bulan diberi diit, tampak nyata timbul neonatal goiter, serum T4 janin lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, dan berat otak tikus menurun. Marmot bunting dibuat defisiensi iodium tingkat berat dengan memberikan campuran diit jagung yang kurang iodium akan melahirkan bayi yang mengalami defisiensi iodium yang ditunjukkan dari pertumbuhan rambut yang jarang (Mano et al. 1987). Kelenjar gondok induk membesar diikuti dengan penurunan kadar plasma T4 pada trimester kedua dan kadar plasma T4 pada bayi juga menurun. Berat otak bayi marmot juga turun secara signifikan pada trimester kedua bila dibandingkan pada trimester pertama. Hal tersebut menunjukkan penurunan berat dan jumlah sel cerebellum akibat kurang iodium yang berat pada otak primata. Domba dibuat defisiensi iodium dengan memberikan diit rendah kandungan iodium. Pada usia 140 hari janin mengalami defisiensi iodium dan pertumbuhan fisik berbeda dengan janin kontrol (Potter et al. 1981). Pengamatan lain menemukan bahwa kekurangan iodium menyebabkan pertumbuhan wool kurang, kerusakan pembentukan otak dan keterlambatan maturasi tulang yang diindikasi keterlambatan munculnya epiphyses pada kerangka domba (Hetzel et al. 1988). Pada kehamilan umur 56 hari, hasil histologi jaringan tiroid ditemukan hyperplasia. Penurunan berat otak dan kandungan DNA dimulai sejak dini yaitu pada usia 70 hari. Indikasi penurunan jumlah sel otak terjadi dan hal ini dimungkinkan oleh adanya keterlambatan multiplikasi neuroblast secara normal yang terjadi pada hari ke 40-80 hari. Penemuan kejadian di cerebellum serupa dengan yang terjadi pada marmot (Potter et al. 1981). Hal ini disebabkan ada hubungan penurunan kandungan iodium pada kelenjar tiroid janin dengan penurunan plasma T4. Hal ini menunjukkan pentingnya hormon tiroid untuk ibu dan janin dalam perkembangan otak janin 47 Kekurangan iodium pada anak-anak di daerah yang kekurangan iodium tingkat sedang menyebabkan terjadi abnormalitas dalam perkembangan psikomotor dan intelektual anak-anak dan orang dewasa yang secara klinis eutiroid tetapi tidak ada tanda atau gejala kretin endemik. Hal ini dibuktikan dari 19 kajian meta analisis pada fungsi neuromotor dan kognitif pada kondisi kekurangan iodium sedang dan berat berakibat kehilangan 13,5 IQ poin (Bleichrodt 1994). Tabel 4 Defisit Perkembangan Mental pada Bayi dan Anak Sekolah pada Keadaan Kekurangan Iodium Berat dan Sedang Daerah Spanyol Sicily, Italia Tes/Uji Bayley McCarthy Cattell Bender-Gestalt Tuscany Wechsler Raven Tuscany WISC Reaksi waktu India Verbal, Tes pictorial Tes motivasi Bender-Gestallt Raven Tes psikomotor verbal Tes non verbal Tes intelektual Tes psikomotor Iran Malawi Benin Temuan Perkembangan psikomotor dan mental rendah dibanding kontrol Kemampuan motor persepsi rendah Neuromuscular abnormal Neurosensorial abnormal IQ verbal rendah Motor persepsi rendah Kecepatan respon motorik rendah Kemampuan belajar rendah Retardasi perkembangan psikomotor Defisit IQ 10 poin dibanding kontrol Defisit IQ 5 poin dibanding kontrol Sumber Bleichrodt et al. (1989) Vermiglio et al. (1990) Fenzi et al. (1990) Vitti et al.(1992) Aghini-Lombardi et. al.(1995) Tiwari et al. (1996) Azizi et al. (1993) Shrestha (1994) Van den Briel et al. (2000) 4. Perubahan Fungsi Tiroid Sejak Usia Dini dan Konsekuensi Terhadap Status Gizi Bayi dan Anak Sebanyak 10% bayi lahir mempunyai tanda biokimia kegagalan fungsi tiroid yang disebabkan kekurangan iodium tingkat berat dan asupan tiosianat yang berlebihan di daerah endemik GAKI di Ubangi, Zaire (Delange 1986). Individu yang hipotiroid tingkat berat juga mempunyai angka kematian yang tinggi 48 (Contempre 1993), walaupun dapat bertahan hidup sampai remaja tetap menjadi hipotiroid. Hal ini dapat dilihat pada individu yang menjadi endemik kretin miksodem pada usia dewasa. Skema di bawah ini dibuat oleh Delange (1986), tampak hipotiroid yang berat pada bayi mungkin masih dapat diperbaiki karena masih dalam periode perkembangan otak tetapi tidak dapat mengkoreksi kerusakan pada perkembangan mental. Fenomena ini sering terjadi dilaporkan pada anak-anak eutiroid yang mengalami keterlambatan mental karena anak tersebut dahulu hipotiroid yang telah mendapatkan pengobatan. Hipotiroid pada bayi yang berlanjut pada usia remaja atau dewasa berkembang menjadi kretin endemik. Serum T4 Euthyroid Range Hypothyroid Range Gambar 6 Skema Hubungan Fungsi Tiroid Sejak Usia Dini sampai Masa Anak-anak (Delange 1986). Kongenital hipotiroid dapat dicegah pada ibu hamil yang mengalami defisiensi iodium. Koreksi defisiensi iodium secara klinis dan biokimia pada bayi dapat memperbaiki normal fungsi hipotiroid, tetapi perbaikan hanya sebagian jika intervensi terjadi selama masa anak dan remaja. Kasus hipotiroid tidak dijumpai, 49 tetapi kemungkinan terjadi kerusakan otak minor jika koreksi terjadi pada permulaaan masa anak-anak, atau terjadi hipotiroid pada tingkat tertentu yang diikuti dengan defisiensi mental yang berat jika koreksi terlambat pada masa anak-anak dan remaja. Bayi lahir dengan fungsi tiroid yang normal dan fungsi tiroid ini selanjutnya tetap normal. Bayi akan tetap tidak hipotiroid dan tidak mengalami mental retardasi. Hipotiroid mungkin terjadi pada bayi umur diatas 3 tahun, akan menghasilkan hipotiroid dan retardasi mental yang dapat diperbaiki atau disebut ”late onset hipotiroidism”. Hal ini menunjukkan pentingnya uji saring (skrining) neonatal untuk mendeteksi hipotiroid kongenital yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan. 5. Dosis Iodium Dalam Kapsul Minyak Iodium untuk Ibu Hamil Pemberian kapsul minyak beriodium untuk berbagai kelompok umur di daerah endemik GAKI sedang dan berat berbeda. Menurut Depkes (2000b), kapsul dibagikan untuk wanita usia subur (2 kapsul/tahun); ibu hamil (1 kapsul pada masa hamil); ibu menyusui (1 kapsul masa menyusui) dan anak SD kelas 1-6 (1 kapsul/tahun). Merujuk dari program Depkes, ibu selama hamil di daerah endemik GAKI mendapat 1 kapsul minyak iodium dengan dosis iodium 200 mg Tabel 5 Dosis Iodium dan Frekuensi Minyak Iodium per Oral/Intra Muskular (IM) per Kelompok Umur Durasi efek Kelompok umur 3 bln Oral 6 bln Oral 12 bln Oral >1 th IM WUS (wanita usia subur) 100-200 mg I 200-480 mg I 400-960 mg I 480 mg I Ibu hamil 50-100 mg I 100-300 mg I 300-480 mg I 480 mg I Bayi 20- 40 mg I Anak 1-5 th 40-100 mg I 100-300 mg I 300-480 mg I 480 mg I Anak 6-15 th 100-200 mg I 200-480 mg I 400-960 mg I 480 mg I Laki dewasa 100-200 mg I 200-480 mg I 400-960 mg I 480 mg I 50-100 mg I 100-300 mg I 240 mg I Sumber: WHO/UNICEF/ICCIDD (1992) 50 Dosis iodium dan frekuensi minyak iodium yang direkomendasikan oleh WHO/UNICEF/ICCIDD (1992) untuk target grup ditunjukkan pada Tabel 5. Secara oral, dosis yang direkomendasikan untuk ibu hamil selama 3, 6 dan 12 bulan adalah 50-100 mg Iodium (I); 100-300 mg I dan 300-480 mg I. Dosis iodium dalam kapsul minyak iodium dibagikan pada ibu hamil di Indonesia masih dalam batas dosis iodium yang direkomendasikan oleh WHO yaitu 100-300 mg I. 6. Penelitian di Berbagai Negara Menggunakan Minyak Iodium untuk Wanita Hamil Penelitian dari beberapa negara telah memberikan suplemen minyak iodium dengan dosis tinggi (iodium ≥ 200 mg) dan dosis rendah (iodium <200mg). Penelitian Cao et al. (1994) di China, Anwar et al. (1998) di Bangladesh, Zaleha et al. (2000) di Malaysia dan Hadisaputro et al. (2004) di Indonesia, memberi ibu hamil 1 kapsul minyak iodium dengan dosis 400 mg (Tabel 6). Ibu yang mendapat suplemen kapsul iodium menunjukkan EIU selama hamil meningkat. Bayi yang dilahirkan mempunyai berat badan lebih tinggi dari pada kontrol. Kasus bayi dengan TSH neonatal (blood spot) tinggi ditemukan lebih sedikit dibandingkan kontrol. Perkembangan mental bayi dan anak lebih baik apabila iodium diberikan lebih awal yaitu pada trimester 1 dan 2. Semua penelitian tersebut menggunakan kapsul Lipiodol kecuali penelitian di Indonesia menggunakan kapsul Yodiol. Penelitian yang dilakukan Chaouki dan Benmiloud (1994) di Aljazair memberikan ibu selama hamil kapsul Lipiodol dengan dosis iodium 200 mg. Dari penelitian tersebut ditemukan kadar EIU ibu nifas meningkat 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan awal penelitian ketika ibu hamil. Serum TSH ibu nifas menurun sekitar 50% dan free T4 meningkat dibandingkan pada awal penelitian. Tidak ditemukan bayi yang lahir dengan tanda-tanda neonatal hipotiroid. Dampak terhadap kesehatan bayi akibat pemberian minyak iodium secara oral diberikan pada ibu hamil trimester 1 di Aljazair yaitu dapat menurunkan angka keguguran dan bayi lahir mati (Chouki & Benmiloud 1994). 51 Tabel 6 Penelitian tentang Kapsul Minyak Iodium Dosis Tinggi pada Ibu Hamil Penelitian/ Lokasi Dosis iodium selama hamil Hasil 1. Zaleha et al. 2000 Malaysia 480 mg EIU meningkat selama hamil Setelah 6 & 12 bulan intervensi terjadi hipertiroid dari pemeriksaan serum FT4 2. Anwar et al.1998 Bangladesh 400 mg Rerata BB lahir lebih tinggi Proporsi serum T4 total bayi rendah (<16 nmol/L) kecil Proporsi serum TSH (>4,8mU/L) bayi kecil 3. Cao et al. 1994 China 400 mg Perbaikan neurologik: besar: iodium diberi trimester 1 & 2 kecil : iodium diberi pd trimester 3 4. Hadisaputro et al 2004, Ngawi 400 mg 200 mg Dosis 400 mg lebih baik pada perkembangan motorik kasar 5. Chaouki dan Benmiloud. 1994 Aljazair 240 mg Neonatal hipotiroid tidak ditemukan Ibu nifas : EIU naik 2 x TSH turun 50%, FT4 naik Kasus hiperiroid atau tirotoksikosis juga ditemukan di Sudan. Orang dewasa yang menderita GAKI dilaporkan mengalami tirotoksikosis setelah mendapat suplementasi iodium secara oral (Elnagar et al. 1995). Selain kapsul kapsul minyak iodium dosis tinggi, kapsul minyak iodium dosis rendah dilaporkan juga telah diberikan kepada orang dewasa yang berumur 20-30 tahun di Zaire. Kapsul minyak iodium dengan dosis 47 mg dan 118 mg diberikan selama setahun. Hasil penelitian tersebut tidak berbeda dengan penelitian yang memberikan kapsul minyak iodium dosis tinggi yaitu pembesaran kelenjar gondok berkurang, kadar EIU menjadi normal pada bulan ke 6 dan 9 dan tidak ditemukan efek samping seperti kasus hipertiroid. Pemberian kapsul minyak iodium dosis rendah lebih efektif, efisien dan dapat diterima dari pada pemberian melalui intra muskular dan tidak mempunyai efek samping seperti halnya minyak iodium dosis tinggi (Tonglet et al. 1992). 52 D. Uji Saring Hipotiroid Kongenital pada Bayi Baru Lahir dan Bayi Nenonatal Hipotiroid kongenital merupakan kekurangan hormon tiroid sejak lahir hal ini disebabkan kekurangan iodium yang terjadi sebelumnya yaitu sejak dalam kandungan. Bila terlambat diobati akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan mental yang tidak bisa dipulihkan kembali atau irriversible (Rustama 2003). Upaya deteksi dini perlu dilakukan sehingga pengobatan dapat dilakukan dengan segera, agar bayi dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Upaya deteksi dini dengan uji saring (skrining) pada bayi baru lahir atau bayi neonatal sebagai berikut: a. Pada bayi baru lahir (umur 2-6 hari ) dilakukan pengambilan sampel darah dari tali pusar atau dari tumit. Kemudian darah diteteskan diatas kertas saring (filter paper) dan dikeringkan. Batasan (cut-off) untuk bayi yang dicurigai positif hipotiroid yang digunakan yaitu : cut-off 25 uU/ml: untuk sampel darah dari tali pusar cut-off 20 uU/ml: untuk sampel darah dari tumit Apabila sampel dicurigai positif dengan nilai diatas cut-off tersebut diatas maka dilakukan pemeriksaan ulang TSH dan T4 darah vena serta mencari gejala klinis hipotiroid kongenital (Rustama 2003). b. Pada bayi neonatal (umur 4 -14 hari) dilakukan pengambilan sampel darah dari tali pusar atau tumit bayi, kemudian tetesan darah ditampung diatas kertas saring (Sunartini 2006). Batasan (cut-off) untuk bayi yang diduga positif hipotiroid sama dengan pada bayi baru lahir E. Kekurangan dan Kelebihan Iodium (Iodine Excess) 1. Kekurangan Iodium Kekurangan iodium adalah suatu keadaan dimana asupan iodium kurang dari bahan makanan sehari-hari sehingga ambilan iodium oleh kelenjar tiroid berkurang. Akibatnya produksi dan sekresi hormon tiroid menurun. Dalam keadaan ini terjadi meningkatkan pelepasan TSH dari hipofisa. Kondisi ini menyebabkan kelenjar gondok bekerja keras untuk memproduksi lebih hormon tiroid. Peningkatan stimulasi TSH merupakan adaptasi normal tetapi dapat 53 menyebabkan gondok apabila defisiensi iodium terus berlanjut. Rendahnya kadar hormon tiroid dalam darah disebut hipotiroid (Dunn & Van Der Haar 1990). Gejala hipotiroid yang umum ditemukan seperti fatigue, gondok, depresi, berat badan kurang, temperatur tubuh basal turun dan perkembangan mental yang terlambat (Wikipedia 2007) 2. Kelebihan Iodium (Iodine Excess) Kelebihan iodium dapat menimbulkan beberapa efek samping. Batasan asupan iodium yang dianggap toksik masih beragam. Food and Drug Board dari Medicine Institute, US National Academy telah mengatur bahwa batas atas yang dapat ditolerir asupan iodium orang dewasa sebanyak 1100 μg per hari (Dunn 2002). WHO merekomendasikan bahwa intake sampai 1 mg/hari pada orang dewasa yang eutiroid masih aman (WHO 1994). Elemental iodium adalah toksik bila dikonsumsi dalam jumlah yang besar yaitu 2-3 gram (Wikipedia 2007). Berikut ini adalah contoh efek biokimia akibat pemberian iodium dosis tinggi. Penelitian distribusi iodium dosis tinggi dengan dosis 150 mg per hari menurunkan pelepasan hormon T4 dan T3 dalam sirkulasi sehingga hipotalamus (TRH) merangsang peningkatan kosentrasi TSH. Ketika pemberian tidak diteruskan pasien kembali eutiroid (Roti & Braverman 1996). Efek dari asupan iodium yang berlebihan secara terus menerus dapat menyebabkan iodine-induced hyperthyroidism (IIH) atau hipertiroid/tirotoksikosis, iodine-induced hypotiroidism atau hipotiroid, dan penyakit kanker tiroid (Dunn 2002). Oleh karena itu program iodisasi garam dan kapsul minyak beriodium di daerah defisiensi iodium memerlukan perhatian. Para ahli sependapat bahwa pemberian iodium pada daerah yang cukup atau daerah endemik secara terus menerus dapat menyebabkan pembesaran kelenjar gondok, atau produksi hormon tiroksin berlebihan (hipertiroid), atau terjadi hipotiroid, atau dapat memicu terjadi respon autoimun, serta penyakit kanker tiroid (Sutanegara 2004). Mekanisme terjadi hipotiroid akibat kelebihan iodium karena efek WolfChaikoff (Roti & Braverman 1996). Peningkatan pemberian iodida (I-) meningkatkan inhibisi organifikasi iodida sehingga hormogenesis hormon tiroid 54 menurun diduga disebabkan oleh inhibisi pembangkitan H2O2 oleh kandungan Iintratiroidal yang tinggi. Mekanisme terjadi hipertiroid atau Iodine Induced Hyperthyroidism (IIH) yang kadang-kadang disebut dengan Jodbasedow yaitu akibat kelebihan iodium karena beban iodida yang meningkat terus menerus pada pasien yang sebelumnya dengan kelenjar tirod yang normal, pasien dengan penyakit Graves atau pada pasien orang tua atau dewasa dengan goiter multinoduler (Greenspan & Baxter 1994). Data epidemiologi tentang kasus hipertiroid yang pernah terjadi akibat pemberian iodium secara terus menerus: 1. Iodisasi garam dengan dosis iodium tinggi - Di Tasmania fortifikasi roti (5-10th) dengan iodium ditingkatkan menjadi 150 μg. Komplikasi Jodbasedow ditemukan sekitar 0.4% dari populasi 3.319 orang (IDD Newsletter 1996). - Di Zaire iodisasi garam selama 2 th dengan dosis iodium 100 ppm. EIU naik menjadi 200-500 μg/hr; 14% serum TSH tidak terdeteksi ; serum T4 dan T3 naik ada gejala tirotoksikosis. - Di Zimbabwe garam iodisasi dengan dosis iodium sampai 148 ppm dilaporkan terjadi tirotoksikosis (Todd et al. 1995). 2. Suplementasi iodium - Di Sudan orang dewasa yang menderita GAKI mengalami tirotoksikosis setelah mendapat suplementasi iodium secara oral (Elnagar et al. 1995). - Pemberian suplemen iodium dosis tinggi pada daerah yang kekurangan iodium endemik seperti di Brazil dan Spanyol terjadi hipertiroid (Roti & Braverman 1996). - Pemberian minyak iodium dilaporkan terjadi tirotoksikosis pada orang dewasa dan anak sekolah : Malaysia (8 dari 240 orang orang dewasa) Maberly et al. (1982) Sudan (4 dari 117 orang orang dewasa) Elnagar et al. (1995) Sudan (1 dari 2393 anak sekolah) Eltom et al. (1985) 55 Gejala hipertiroid/tirotoksikosis yaitu degup jantung keras, sangat gugup, lemah, tak tahan panas dan kehilangan berat badan. Kadang-kadang hipertiroid menjadi berat dan mematikan. Peningkatan hipertiroid diasosiasikan dengan peningkatan ketersediaan iodium di daerah yang sebelumnya defisiensi iodium. F. Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Vitamin A dan Beta Karoten Vitamin A merupakan salah satu dari vitamin yang larut dalam lemak. Penemuannya bermula dari pengamatan McCollum th 1913-1917 pada tikus yang diberi diit serelia yang mengandung lemak. Kemudian tikus yang diamati mengalami gangguan pertumbuhan. Ketika pakan tikus ditambah ekstrak kuning telur, ternyata kesehatannya pulih kembali. Akhirnya dari pengamatannya, ditemukan ’a fat soluble factor A’ yang terdapat dalam makanan tertentu yang penting untuk kelangsungan hidup dan untuk pertumbuhan (Underwood 1998; Day HG 1997). Istilah vitamin A merujuk kepada retinol (alkohol), retinal (aldehide), retinoic acid (metabolit retinal) dan vitamin A juga merujuk kepada prekursor vitamin A (Groff & Gropper 1995). Prekursor vitamin A adalah karotenoid yang umum adalah beta karoten. Karotenoid lain yang mempunyai aktifitas secara biologis seperti ß-karoten, adalah α-karoten, γ-karoten dan likopen. Diantara karoten tersebut, beta karoten yang paling potensial. Dari sekitar 600 karotenoid yang ada hanya sekitar 50 an dapat dikonversi dan mempunyai aktifitas vitamin (Berdanier 2000). Sifat fisik vitamin A dan beta karoten yaitu berwarna kuning, larut dalam lemak atau pelarut lemak. Selain itu vitamin A dan beta karoten masing-masing mempunyai bentuk konfigurasi cis dan trans dan masing masing mempunyai ikatan rangkap. Ikatan rangkap inilah mencirikan adanya sifat antioksidan (Berdanier 2000). Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi faali tubuh yaitu berperan dalam sintesa protein, reproduksi, pertumbuhan dan penglihatan (Berdanier 2000). Beta karoten merupakan prekursor vitamin A di dalam tubuh dan secara in-vitro beta karoten mempunyai aktifitas sebagai antioksidan. 56 Gambar 7 Vitamin A dan Beta karoten (Brody 1999). 1. Sumber Vitamin A dan Beta Karoten Retinol bentuk aktif dari vitamin A jarang ditemukan dalam makanan. Dalam makanan vitamin A ditemukan dalam bentuk retinil ester (retinil palmitat) yang ditemukan umumnya pada makanan dari hewan seperti kuning telur, hati, minyak ikan susu dan mentega. (Groof & Grooper 2000). Dalam pangan nabati, vitamin A dalam bentuk prekursor vitamin A atau provitamin A. Provitamin A dalam tanaman berupa karotenoid. Makanan yang kaya karoten adalah buah yang berwarna, sayuran berwarna, wortel, sayuran daun hijau dan minyak sayuran. Kandungan beta karoten dari bahan makanan bervariasi tergantung kondisi pertumbuhan dan penanganan pasca panen dan juga pencernaan mempengaruhi ketersediaannya (Berdanier 2000). 2. Pencernaan Vitamin A dan Beta Karoten Bahan makanan yang dikonsumsi yang mengandung vitamin A (sebagai retinil ester seperti retinil palmitat) dari pangan hewani, provitamin A dalam 57 pangan nabati dan beta karoten elemental (suplemen) mengalami proses pencernaan dalam tubuh. Di lambung, protein dalam makanan yang dikonsumsi dihidrolisis oleh ensim pepsin. Pemisahan protein dari retinil ester dan karotenoid dari bahan makanan berlanjut di usus halus oleh ensim proteolitik dan di pankreas oleh ensim esterase. Pada saat bersamaan di pankreas, asam lemak (triasilgliserol, fosfolipid dan kolesterol ester) dihidrolisa juga oleh ensim pakreas. Di usus halus retinol dan karotenoid dilepas dan larut dalam cairan misel bersama dengan komponen makanan yang larut lemak. Kemudian cairan misel tersebut berdifusi melalui lapisan glikoprotein yang mengelilingi microvili dari duodenum dan jejunum masuk ke enterosit (Groff & Grooper 2000). Dalam sel mukosa usus dan juga terjadi sedikit di hati, beta-karoten dikonversi oleh ensim beta karoten 15,15’-dioxygenase menjadi retinal. Kemudian retinal berikatan dengan cellular retinoid binding protein (CRBP) II kemudian dikonversi menjadi retinol oleh retinal reductase yang merupakan ensim NADH/NADPH-dependen. Tidak seluruh beta karoten dikonversi menjadi retinal, diperkirakan sampai 30% beta karoten meninggalkan usus tanpa oksidasi. Walaupun retinal interkonversi menjadi retinol, beberapa retinal diperkirakan dioksidasi menjadi retinoic acid (Groff & Grooper 2000). Retinol mengalami proses reesterifikasi di enterosit dengan melalui dua cara yaitu: 1. Melibatkan cellular retinol binding protein (CRBP) II, sintesa tergantung kepada retinoic acid. CRBP II mengikat retinol dan retinal. Kemudian CRBP II mereduksi retinal menjadi retinol. CRBP II mengikat retinol diesterifikasi oleh ensim lechitin retinol acyl transferase (LRAT) untuk membentuk retinyl palmitat. 2. Cara kedua reesterifikasi melibatkan pengikatan retinol kepada protein sel yang non spesifik, kemudian reesterifikasi oleh ensim acyl CoA retinol acyl transferase (ARAT) (Groff & Grooper 2000). 58 Gambar 8 Absorpsi Vitamin A dan Karoten dalam Sel Usus Halus (Groff & Gropper 2000). 3. Penyerapan Vitamin A dan Karotenoid Asam retinoat langsung masuk vena porta dan diangkut dalam plasma berikatan dengan albumin. Retinil palmitat/ester yang terbentuk bersama sebagian kecil retinol yang tidak diesterfikasi dan karotenoid diserap bergabung dengan kilomikron yang mengandung kolesterol ester, fosfolipid, triasilgliserol dan apoprotein. Kemudian kilomikron ini langsung dibawa kedalam limfatik sistem yang akhirnya masuk kedalam sirkulasi darah (Groff & Gropper 2000). Kilomikron mengirim retinil ester, beberapa retinol yang tidak diesterifikasi, karotenoid ke jaringan ekstra hepatik seperti bone marrow, sel darah, ginjal, adipose tisue, otot, paru-paru, limpa. Kilomikron remnan mengirim retinil ester dan karotenoid yang tidak ditangkap oleh jaringan tepi ke hati. Karotenoid 59 mencapai hati kemudian mengalami berbagai proses antara lain dipecah menjadi retinol, bergabung dengan VLDL yang disintesa di hati dan didistribusikan ke jaringan tubuh atau disimpan di hati (Groff & Grooper 2000) 4. Metabolisme Vitamin A dan Karotenoid Di dalam sel parenkhim hati, retinil ester dari kilomikron remnan di hidrolisis menjadi retinol. Retinol mengikat CRBP dan mengalami esterifikasi menjadi retinil ester yang kemudian diangkut ke sel hati yang disebut sel stellate (Wake 1994). Retinol disimpan dalam bentuk retinil ester dalam sel stellate. Sekitar 50-80% vitamin A disimpan di hati (sel stellate) dalam bentuk retinil ester terutama palmitat. Jaringan adipose juga merupakan tempat penyimpanan untuk retinol dan beta karoten dari kilomikron (McLaren & Frigg 2001). Dalam keadaan normal penyimpanan ini cukup untuk beberapa bulan. Sel stellate hati tidak dapat menerima retinil ester lagi ketika terjadi hipervitaminosis (Groff & Grooper 2000). Mobilisasi retinol dari hati dan dikirim ke jaringan target dalam bentuk holo-retinol-binding-protein (holo-RBP). Holo-RBP dibentuk dari retinol dilepas oleh hidrolase dari bentuk penyimpanan ester dengan 1 molekul RBP. Pada plasma, holo-RBP juga berinteraksi dengan sebuah molekul transthyretin (TTR) atau dikenal dengan nama prealbumin yang juga mengikat hormon tiroxin (T4). Retinol-RBP-TTR komplek bersikulasi dalam plasma dengan masa paruh sekitar 11 jam yang tidak di filter oleh gromelurus. Beberapa jaringan menangkap retinol dari RBP-TTR komplek termasuk adipose, skeletal muscle, ginjal, sel darah putih dan bone marrow. Berbeda dengan retinol yang dimobilisasi di hati untuk diangkut ke jaringan lain, retinoic acid diproduksi dalam jumlah kecil tidak jelas dimana diproduksi retinoic acid apakah diusus halus atau dihati. Kosentrasi retinoic acid dalam plasma rendah. Dalam sitoplasma sel, retinoic acid mengikat kepada cellular retinoic acid-binding protein (CRABP). CRABP seperti CRBP, berfungsi untuk mengontrol kosentrasi retinoic acid yang bebas, mencegah katabolisme dan mengarahkan penggunaan retinoic acid Grooper 2000). intrasel. (Groff & 60 Gambar 9 Metabolisme Vitamin A dan RBP di dalam Hati (Groff & Grooper 2000). 5. Fungsi Gen dan Retinoid (Diferensiasi Sel) Pada sel retinoic acid bekerja sebagai hormon untuk mempengaruhi ekspresi gen dan mengontrol perkembangan sel (Groff & Grooper 2000). Retinoic acid bekerja dengan mengaktifkan reseptor vitamin A pada sel nukleus. Dikenal dua isomer dari retinoic acid adalah: all trans-retinoic acid dan 9-cis-retinoic acid. Peran reseptor vitamin A memediasi kerja vitamin A, mengatur ekspresi gen yang responsive terhadap vitamin A, mempertahankan kesehatan dan mencegah penyakit. Dua reseptor nukleus yang dikenal yaitu Retinoic acid reseptor : RARs (RAR-alpha, RAR-beta dan RAR-gamma) dan Retinoid X reseptor :RXRs (RXRalpha; TXR-beta; dan RXR-gamma). All trans retinoic acid mengaktifkan RARs dan 9-cis-retinoic acid mengaktifkan RXRs (Blaner 1998). Menurut Olson 1996, masing-masing reseptor mempunyai 6 domain antara lain yaitu 61 1. aktifasi amino-terminal domain (A/B) 2. pengikatan DNA domain (C) 3. daerah hinge (D) 4. ligand-binding domain (E) 5. carboxy-terminal tail terlibat dalam heterodimer Gambar 10 Aktifitas Vitamin A di dalam Sel (Blaner 1998). Aktifitas vitamin A dalam sel melalui kerja retinoic acid mengaktifkan vitamin A pada sel nukleus baik RARs atau RXRs. Retinoic acid hanya mengikat pada RAR reseptor sedangkan 9-cis retinoic acid hanya mengikat RXRs. Nuclear reseptor mengikat elemen yang respon dalam gen spesifik untuk meningkatkan atau menurunkan tingkat ekspresi gen. Elemen respon adalah nucleotide sequences (dalam DNA yang membangun gen). Disimpulkan bahwa vitamin A melalui aksi trans dan 9-cis-retinoic acid adalah regulator sangat penting dari transkripsi seperti ditunjukkan dalam gambar 10 (McLaren & Martin 2001; Blanner 1998). 6. Ekskresi Vitamin A dan Karotenoid Produk oksidasi vitamin A terkonyugasi dengan glucoronida dan dikeluarkan sebagai komponen dari asam empedu. Melalui proses tersebut, 62 sejumlah 70% vitamin A hilang. Metabolit karoten juga terbawa dalam asam empedu untuk diekskresikan. Sisa 30% vitamin A metabolites dikeluarkan melalui urin (Wildman & Medeiros 2000). 7. Kecukupan, Kebutuhan dan Toksisitas Vitamin A dan Beta Karoten Kecukupan vitamin A untuk wanita hamil 370 μg RE dan tingkat asupan yang aman vitamin A yang di rekomendasi 800 μg RE (retinol ekivalent) (Muhilal & Sulaeman 2004b). Kekurangan vitamin A terbanyak ditemukan pada balita di negara berkembang. Tanda-tanda kekurangan pada balita yaitu gangguan pertumbuhan, keratinisasi sel epitel, xeropthalmia dan bahkan penyebab kebutaan. Tanda sub klinis balita dinegara berkembang banyak mengalami kadar plasma vitamin A dibawah normal. Asupan vitamin A berlebihan terutama dari suplemen dapat menimbulkan keracunan tingkat akut, kronik maupun teratogenik. Keracunan tingkat akut bila asupan vitamin A dosis sangat tinggi, biasanya > 100 kali Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan pada orang dewasa. Keracunan tingkat kronis yang lebih umum terjadi, karena asupan vitamin A dengan dosis ≤ 10 kali AKG dan berulang kali dikonsumsi dalam jangka waktu mingguan bahkan tahunan. Gejala awal keracunan yang muncul mual, muntah-muntah, pusing, vertigo dan pada tingkat kronik timbul kulit kering dan gatal, hepatomegali. Pada ibu hamil asupan vitamin A berlebihan dikhawatirkan menimbulkan keracunan teratogenik. Efek teratogenik yang ditimbulkan yaitu kelainan pertumbuhan janin, aborsi, lahir cacat dan melahirkan keturunan cacat mental yang permanen. Dosis yang aman disarankan IVACG pada ibu hamil agar tidak terjadi efek teratogenik adalah asupan vitamin A sampai dengan 10.000 IU (3000 μg RE) per hari atau sampai dengan 25.000 IU (8500 μg RE) per minggu (Olson 1996; IVACG 1999). Pada ibu hamil yang mengkonsumsi karotenoid baik dari makanan maupun suplemen dibuktikan tidak memberikan efek teratogenik (Hatcock et al. 1990; Bendich 1988). 63 8. Konversi Vitamin A dan Karotenoid Lainnya Istilah dari “retinol activity equivalent” (RAE) dikenalkan oleh Institute of Medicine (IOM) untuk mengganti “retinol equivalent” (RE) yang digunakan oleh FAO/WHO (1988). Penggantian didasarkan atas penelitian bioefikasi karotenoid. Bioefikasinya diperkirakan lebih rendah pada populasi di negara berkembang. Revisi konversi vitamin A dan karotenoid menurut International Vitamin A Consultative Group (IVACG 2002) adalah sebagai berikut : Tabel 7 Konversi Vitamin A dan Karotenoid Retinol Activity Equivalent (RAE) 1 μg RAE Commonly Used Units = 1 RE of retinol (vitamin A) 1 μg retinol (vitamin A) 2 μg β-carotene dalam minyak (suplemen) 12 μg β-carotene dari bahan makanan 24 μg provitamin A karotenoid lain dalam bahan makanan 3.33 IU vitamin A aktif dari retinol Sumber: IVACG (2002) 9. Beberapa Penelitian Tentang Suplemen Vitamin A dan Beta Karoten Penelitian tentang suplemen vitamin A dan beta karoten yang diberikan pada ibu hamil di Nepal dilaporkan oleh Katz (2000) dan West (1999). Hasil temuan kedua penelitian tersebut yaitu baik vitamin A maupun beta karoten efektif dalam menurunkan angka kematian ibu (maternal mortality). Vitamin A diketahui mempunyai efek teratogenik. Namun dalam dua penelitian tersebut dosis vitamin A yang diberikan sebesar 7000 μg retinol ekivalen setara dengan 23310 IU per minggu masih merupakan dosis aman yang disarankan oleh IVACG (IVACG 1999). Dosis beta karoten yang diberikan per minggu sebesar 42 mg dan beta karoten tidak mempunyai efek teratogenik. 64 Tabel 8 Penelitian tentang Suplemen Vitamin A dan Beta Karoten pada Ibu Hamil Penelitian / Lokasi Dosis dan Lama intervenís Desain penelitian/ Jumlah sampel Hasil penelitian dan kesimpulan Katz .2000 Nepal Retinol 7000 μg per minggu Randomized Cluster Trial Dari 43559 WUS; 17373 hamil; bayi lahir 15987. Beta karoten 42 mg per minggu Ada 3 grup (n=43559) - retinol 7000 μg per minggu ekivalen dengan retinyl palmitat (vitamin A) - all-trans β- karoten 42 mg per minggu - placebo Fetal loss dari : -grup placebo 92.0/1000 kehamilan -RR grup retinol RR 1.06 (95% CL:0.91,1.25) -grup beta karoten RR 1,03 (95% CL:0.87,1.19) West 1999 Nepal Vitamin A (7000 μg retinol ekivalen) per minggu β-karoten 42 mg (ekivalen dengan 7000 μg retinol) per minggu Lama intervensi: 3 ½ th Double blind, cluster randomized dari 44646 WUS 22189 ibu hamil Ada 3 grup: - plasebo - vitamin A (7000 μg retinol) -Beta karoten 42 mg Mortalitas bayi 6 bulan: grup placebo 70.8/1000 kelahiran grup retinol RR: 1.05 (95% CL:0.87,1.25) grup beta karoten RR 1.03 (95% CL:0.86,1.22) Kesimpulan: dosis retinol atau beta karoten untuk WUS pra konsepsi, hamil dan 6 bln postpartum tidak memperbaiki fetal/ infant survival Mortality selama hamil (per 100.000 kehamilan) - 704; 426; 361 untuk placebo; vitamin A; beta karoten - RR vit A 0,60 (95% CL; 0.37-0.97) - RR karoten 0,51 (95% CL; 0.30-0.86) - penurunan vitamin A 40% (p<0.04) - penurunan 49% (p<0.01) - vitamin A dan beta karoten dapat menurunkan mortalitas 44% dan ratio maternal mortality turun dari 645 menjadi 385 kematian per 100.000 kelahiran Kesimpulan: suplementasi WUS dengan vitamin A/ beta karoten menurunkan maternal mortalitas 65 III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Pemikiran Pemberian suplemen minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten yang diberikan pada ibu hamil trimester 1 di daerah endemik GAKI diharapkan lebih meningkatkan sintesa dan sekresi hormon tiroksin bebas (FT4) dari kelenjar tiroid, meningkatkan kadar EIU dan menghambat (menurunkan) sekresi hormon TSH oleh kelenjar hipofisa selama hamil dan masa nifas (akhir penelitian) dibandingkan dengan pemberian suplemen minyak iodium dosis tinggi dan suplemen minyak iodium dosis rendah. Selain itu tambahan beta karoten pada suplemen minyak iodium dosis rendah diharapkan dapat meningkatkan kadar serum vitamin A dan memicu peningkatan hormon tiroksin selama hamil dan masa nifas (akhir penelitian). Kebutuhan hormon tiroksin janin dapat dipenuhi dari suplai hormon tiroksin ibu yang ditransfer melalui plasenta dan dari sekresi hormon tiroksin dari kelenjar tiroid janin sendiri. Kemudian hormon tiroksin digunakan janin untuk berbagai proses metabolisme dalam tubuh, pertumbuhan jaringan (tulang) terutama jaringan otak. Pemberian suplemen minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten pada ibu hamil diharapkan berdampak positif terhadap kecukupan iodium bayi diukur dari TSH neonatal dan status gizi bayi neonatal dan perkembangan motorik bayi dibandingkan dengan pemberian suplemen minyak iodium dosis tinggi dan suplemen minyak iodium dosis rendah. Beberapa variabel pengganggu dalam mempelajari pengaruh pemberian suplemen iodium berbagai dosis terhadap status iodium ibu selama hamil, masa nifas (akhir penelitian) dan bayi yang dilahirkan diukur seperti asupan iodium dari bahan makanan termasuk dari garam, asupan sianida dari bahan makanan dan pengetahuan GAKI dan manfaat garam beriodium. Namun pengaruh pemberian suplemen minyak iodium berbagai dosis terhadap iodium air susu ibu (ASI) tidak diteliti. 66 Ibu hamil trm 1 Minyak iodium dosis tinggi Ibu hamil trm 1 Minyak iodium dosis rendah Ibu hamil trm 1 Minyak iodium dosis rendah + beta karoten Ibu hamil trm 3 Status iodium - EIU Serum TSH Status vit A - serum vit A Ibu nifas Status iodium - EIU Serum FT4 Serum TSH Status vit A : - serum vit A - T4 -T4 - Iodium ASI Janin Status iodium Transfer T4 ibu hamil Sekresi T4 janin Pertumbuhan Asupan iodium -bahan makanan - garam rumah tangga Pengetahuan GAKI Status gizi Asupan Gizi Riwayat kehamilan Karakteritik ibu hamil : - TB - umur Keterangan = Tidak diukur Gambar 11. Kerangka Pemikiran Bayi 0-4 bln TSH neonatal Status gizi -indeks BB/PB Perkembangan - motorik 67 B. Definisi Operasional Definisi operasional penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini. Tabel 9 Definisi Operasional Varibel Deskripsi Skala dan Nilai atribut TSH Kadar serum thyroid stimulating hormone (TSH) yang menggambarkan individu kekurangan hormon tiroid (hipotiroid) FT4 Kadar serum hormon tiroksin bebas (FT4) yang menggambarkan individu mengalami gangguan fungsi tiroid EIU Kadar ekskresi iodium urin (EIU) dapat menggambarkan asupan iodium Retinol Kadar serum vitamin A dapat menggambarkan individu mengalami kekurangan vitamin A. Asupan zat gizi Asupan zat gizi dikumpulkan berdasarkan energi, protein, wawancara makanan yang dikonsumsi iodium, vitamin A, dengan menggunakan metoda recall 1 x 24 jam besi dan seng. Hb ibu hamil Kadar serum hemoglobin menggambarkan individu anemi atau tidak Asupan iodium Asupan iodium dari garam rumah tangga dari garam rumah diperoleh dari hasil wawancara banyak tangga garam yang digunakan per orang per hari dikalikan dengan kadar iodium garam yang diukur dengan metoda titrasi Status gizi Keadaan seseorang berdasarkan hasil pengukuran indeks antropometri BB/PB Pengetahuan Pemahaman tentang penyebab, akibat, GAKI tanda-tanda Gangguan Akibat Kekurangan Iodium serta upaya pencegahan Tensi ibu Angka tekanan systole dan diastole individu meggambarkan individu hipertensi atau tidak Edema ibu hamil Pembesaran kaki ibu hamil yang diikuti dengan hipertensi (peningkatan tensi yang abnormal) Rasio Rasio Rasio Rasio Rasio Rasio Rasio Ordinal Rasio Ordinal Ordinal Ordinal 68 IV. METODA PENELITIAN A. Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi experiment). Lokasi penelitian di Kabupaten Magelang yang merupakan daerah endemik GAKI. Secara purposive dipilih 6 kecamatan endemik yang membawahi 7 Puskesmas yaitu Puskesmas Ngablak, Pakis, Candimulyo, Sawangan 1, Sawangan 2, Dukun dan Kaliangkrik. Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus 2005 sampai dengan bulan Oktober 2006. B. Populasi, Contoh dan Besar Contoh Populasi adalah ibu hamil dari 7 Puskesmas endemik di Kabupaten Magelang yang dipilih diatas. Contoh adalah ibu hamil trimester 1 dengan usia kehamilan ≤ 15 minggu. Kriteria inklusi yaitu ibu hamil tidak sakit atau tidak dalam perawatan dokter dan tinggal lebih dari 5 tahun di daerah tersebut. Kriteria eksklusi yaitu ibu hamil hipertiroid berdasarkan pemeriksaan serum TSH ≤ 0.3 μU/ml dan ibu yang tidak kooperatif. Besar Contoh ditentukan dengan rumus Ariawan (1998): n= Z 2 1-α/2 [2σ2] / d2 = 34 dengan DO sebesar 30% maka jumlah contoh diperlukan = 48 untuk per kelompok Keterangan: Z1-α/2=1.96; σ =3.42 μU/ml (Lamid 2007); d = perbedaan penurunan TSH diasumsikan 50 % Total Contoh untuk tiga kelompok sebanyak 144 ibu hamil. Contoh kemudian secara random alokasi dibagi dalam tiga kelompok perlakuan. Ketiga kelompok perlakuan tersebut yaitu: 1. Kelompok dosis tinggi (DT); diberikan suplemen minyak iodium dengan dosis 200 mg berupa kapsul yodiol yang diberikan hanya satu kali selama hamil. Kapsul yodiol di produksi oleh PT Kimia Farma Tbk. 2. Kelompok dosis rendah (DR): diberikan suplemen minyak iodium 30 mg per bulan diambil dari 6 tetes minyak iodium dari kapsul yodiol. Suplemen diberikan setiap bulan selama 6 bulan. 69 3. Kelompok dosis rendah+ beta karoten (DRB): diberi suplemen minyak iodium 30 mg per bulan ditambah beta karoten 30 mg per bulan. Minyak iodium diambil 6 tetes dari kapsul yodiol. Beta karoten diambil dari beta karoten elemental dibuat oleh PT DSM Nutritional Products Indonesia yang kemudian dikemas dalam kapsul. Suplemen minyak iodium dan beta karoten diberikan setiap bulan selama 6 bulan. Lama intervensi dan dosis suplemen minyak iodium dan beta karoten Suplemen hanya diberikan selama hamil. Suplemen minyak iodium dosis tinggi (200 mg iodium) diberikan hanya satu kali selama hamil. Suplemen minyak iodium dosis rendah (30 mg iodium) diberikan setiap bulan selama 6 bulan selama hamil. Demikian juga dengan beta karoten ( 30 mg) diberikan setiap bulan selama 6 bulan selama hamil. Dosis iodium: iodium yang diberikan mengacu pada rekomendasi WHO/UNICEF/ICCIDD 1992 yaitu sebesar 50-100mg iodium untuk ibu hamil per tiga bulan pemberian secara oral. Oleh karena itu dosis iodium per bulan yang diberikan yaitu sebesar 30 mg. Dosis beta karoten: beta karoten yang diberikan setiap bulan sebanyak 30 mg ekivalen dengan sekitar 5 mg retinol. Dosis ini lebih rendah dari anjuran WHO untuk vitamin A (retinol), bagi ibu hamil triwulan pertama diberikan<25000 IU per minggu atau ekivalen dengan 7 mg retinol (WHO 1998) dan juga lebih rendah dibandingkan dosis yang diberikan pada ibu hamil di Nepal dengan dosis 42 mg per minggu ( Katz et al. 2000). C. Cara Mengumpulkan Contoh dan Data yang Dikumpulkan 1. Cara Mengumpulkan Contoh Data ibu hamil yang ada di seluruh desa di 7 wilayah Puskesmas endemik diperoleh dari bidan desa. Dipilih ibu hamil trimester pertama berdasarkan pemeriksaan bidan, kemudian dilakukan pemeriksaan serum TSH. Random alokasi dilakukan untuk mengelompokkan ibu hamil trimester 1 yang kadar serum TSH tidak hipertiroid (< 0.3 μU/ml) dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 70 2. Data yang Dikumpulkan dan Metoda yang Digunakan : Data Contoh selama hamil dan outcome persalinannya (bayi yang dilahirkan) serta kondisi contoh pada masa nifas dikumpulkan diantaranya data antropometri dan biokimia yang dikumpulkan secara longitudinal, data pola konsumsi makanan, data sosial ekonomi, data pengetahuan GAKI, data garam iodium rumah tangga, data klinis ibu hamil dan bayi. Berikut secara lengkap diuraikan data yang dikumpulkan selama penelitian berlangsung. Data antropometri contoh yang diukur ialah berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan atas (LLA). Berat badan contoh diukur dengan timbangan Seca dengan ketelitian 0.1kg. Tinggi badan contoh diukur dengan microtoise dengan ketelitian 0.1cm. LLA contoh diukur dengan pita ukuran dengan ketelitian 0.1 cm. Sosial ekonomi: pekerjaan, pendidikan dan umur contoh dan suami. Jumlah anak dan jumlah anggota keluarga contoh dikumpulkan pula. Data sosial ekonomi dikumpulkan dengan metoda wawancara. Status kesehatan ibu hamil secara klinis dikumpulkan oleh dokter umum pada awal penelitian. Disamping itu pemeriksaan kehamilan contoh setiap bulan dilakukan oleh bidan. Pengetahuan GAKI termasuk juga dalam data yang dikumpulkan. Pengetahuan GAKI yang diamati adalah pengetahuan tentang garam beriodium, kapsul iodium dan bagaimana cara pencegahan GAKI. Pengetahuan GAKI dikumpulkan dengan wawancara. Pola konsumsi makanan dikumpulkan dengan cara wawancara dan konsumsi makanan sehari dikumpulkan dengan wawancara dengan metoda recall 1 x 24 jam. Pola konsumsi makanan dikumpulkan untuk menghindari bias dalam interpretasi hasil wawancara konsumsi dengan metoda Recall 1x24 jam. Asupan energi, protein, vitamin A, besi dan seng diperoleh dari konversi konsumsi makanan sehari dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan. Asupan iodium diperoleh dari konversi konsumsi makanan sehari dengan menggunakan kadar iodium dalam makanan di daerah endemik yang dianalisis oleh Purwaningsih (1997) pada daerah Kabupaten Kulon Progo Jawa Tengah. Makanan lokal daerah di 7 Puskesmas Kabupaten Magelang yang tidak terdapat dalam daftar komposisi bahan makanan mengandung iodium yang disusun oleh 71 Purwaningsih tidak dianalisa karena tidak ada alokasi dana untuk analisa kandungan iodium bahan makanan setempat. Asupan iodium juga dikumpulkan dari konsumsi garam rumah tangga yang dikumpulkan dengan cara wawancara. Kemudian analisis kandungan iodium garam dari rumah tangga dilakukan dengan metoda titrasi (Departemen Perindustrian & Unicef 1990). Asupan sianida diperoleh dari konversi konsumsi makanan sehari dengan menggunakan komposisi sianida bahan makanan dikembangkan Dahro (2001). Kadar hormon TSH, FT4 dan TSH bercak darah kering (blood spot) dianalisis dengan metoda Elisa dan kadar ekskresi iodium urin (EIU) dengan metoda Wet Disgestion (Sotof Kolhof). Analisis Hb dengan metoda Cyanmethemoglobin. Analisis serum retinol dengan metode Thurnham (1988). Status gizi bayi neonatal dan bayi 3-4 bulan diukur dari berat dan panjang badan. Berat badan diukur dengan beam balance dan panjang badan diukur dengan microtoise. Pola makanan bayi dikumpulkan dengan metode wawancara. Index klinis hipotiroid bayi 3-4 bulan diamati dengan pemeriksaan 20 tanda klinis pada bayi yang dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Balai GAKI (2006) (Lampiran 3). Data perkembangan motorik kasar bayi 3-4 bulan dikumpulkan oleh sarjana psikologi atau tenaga yang sudah terlatih melakukan pemeriksaan perkembangan bayi dan anak. Perkembangan motorik yang diamati: - bayi sudah bisa mengangkat kepala pada saat telungkup - kepala tertinggal di belakang pada penarikan untuk posisi duduk - bayi sudah bisa menggenggam mainan yang disentuhkan pada telapak tangannya - bayi bisa mengikuti gerakan obyek 180 derajat - bayi sudah bisa membalas senyuman Frekuensi pengumpulan data beberapa variabel berbeda satu sama lain. Data sosial-ekonomi, karakteristik ibu dan kadar garam rumah tangga dikumpulkan hanya 1 kali, untuk pemeriksaan lain dilakukan secara longitudinal 2 kali atau 6 kali pengukuran. Pada Tabel 10 di bawah ini diuraikan secara detail jenis data, cara pengumpulan data dan frekuensi data yang dikumpulkan. 72 Tabel 10 Jenis Data dan Frekuensi, Cara dan Metoda Pengumpulan Data Data / Variabel yang dikumpulkan Sosial Ekonomi Pendidikan, Pekerjaan Jumlah anak Frekuensi Waktu pengumpulan 1 kali Awal Cara/metoda yang digunakan Wawancara Karakteristik ibu hamil Umur, Jumlah paritas Keguguran 1 kali Awal Wawancara Pemeriksaan kehamilan Edema, hipertensi 6 kali Tiap bulan Pemeriksaan Status gizi BB, TB, LLA 6 kali Tiap bulan Timbangan Seca, Microtoise, Pita ukuran Hormon tiroid Serum FT4 2 kali Awal, Akhir Metoda Elisa Kecukupan hormon Tiroid: serum TSH 4 kali Awal, Trm 2, Trm 3, Akhir Metoda Elisa Status iodium EIU 4 kali Awal 1 bulan intervensi Trm 3 , Akhir Metoda Wet Digestion Status vitamin A Serum retinol 2 kali Awal, Akhir HPLC Status anemi hemoglobin 2 kali Awal, Akhir Cyanmethemoglobin Pengetahuan GAKI 2 kali Awal , Akhir Wawancara Kandungan iodium garam 2 kali Awal, Akhir Titrasi 2 kali Asupan zat gizi Energi, vit A, iodium, besi Awal, Akhir Wawamcara Metode Recall Kecukupan hormon tiroid 1 kali TSH Bayi neonatal Metoda Elisa 2 kali Bayi neonatal Bayi 3-4 bulan Timbangan Beam balance Panjang Badan Perkembangan motorik 1 kali Bayi 3-4 bulan Pemeriksaan dengan metode Depkes Hipotiroid klinis 1 kali Bayi 3-4 bulan Pemeriksaan atus gizi: BB, TB 73 D. Manajemen Data, Pengolahan Data, Pertimbangan Etik dan Analisis Data 1. Validasi bagi pengukur antropometri dan pewawancara ibu hamil, supervisi dan verifikasi data dari lapangan 2. Pengelompokan data a. Serum TSH contoh pada awal penelitian dikelompokkan kedalam tiga cut-off serum yang dianggap berisiko selama kehamilan dan bayi yang dilahirkan. Adapun cut-off serum TSH sebagai berikut: ≥ 2 μU/ml (Orgiazzi & Madec 1996); ≥3.9 μU/ml (Budiman et al. 1998) dan ≥ 5.0 μU/ml (Hartono 2001) b. TSH bayi neonatal ≥ 20 μU/ml dikategorikan dicurigai positif hipotioid (Rustama 2003) c. Hemoglobin (Hb): anemia selama hamil bila kadar Hb <11 g%; anemia selama nifas bila kadar Hb < 12 g% (Husaini et al. 1989) d. Asupan iodium dinilai dari kadar Ekskresi Iodium Urin (EIU) yang dikelompokkan (WHO 2001): EIU < 100 μg/L : asupan iodium tidak cukup EIU 100-199 μg/L : asupan optimal EIU 200-299 μg/L: asupan lebih dari cukup EIU ≥300 μg/L: asupan berlebihan berisiko terhadap kesehatan f. BB dan TB bayi dikelompokkan dalam indikator BB/TB baku WHO NCHS dengan kategori (Menkes 2002), - BB/TB dengan Z skor ≥ - 2.0 : status gizi baik - BB/TB dengan Z skor -2.0 < Z score ≥ -3.0 : status gizi kurang - BB/TB dengan Z skor < 3.0 : status gizi buruk g. Kurang Energi Kronis contoh pada awal dan akhir penelitian berdasarkan ukuran LLA< 23.5cm. h. Kecukupan zat gizi energi, protein, vitamin A, zat besi dan seng dihitung berdasarkan AKG untuk ibu hamil dan nifas dari Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2004. i. Asupan iodium dari konsumsi garam rumah tangga hasil wawancara kemudian dikalkulasikan dengan kadar KIO3 dari garam rumah tangga 74 yang digunakan tiap hari hasil analisa kandungan iodium (KIO3) garam rumah tangga. j. Tingkat asupan sianida dari bahan makanan dikelompokkan dua (Lundquist 1985): - < 10mg - asupan normal - > 10mg - asupan melebihi batas normal. k. Pengetahuan GAKI: Jawaban ibu contoh diberi skor. Skor =1 untuk jawaban yang benar dan Skor=0 untuk jawaban yang salah. Kemudian total skor dikategorikan menjadi 2 yaitu pengetahuan GAKI dianggap cukup dengan nilai total Skor ≥ 6 dan pengetahuan GAKI kurang bila total Skor yang dicapai <6. l. Bayi dikategorikan BBLR bila berat lahir < 2500 gram m. Indeks hipotiroid bayi (1-12 bulan): dibuat skor yang disesuaikan dengan skor yang dikembangkan oleh Balai GAKI (2006) kemudian total skor dikategorikan tiga yaitu total skor > 5 diduga positif hipotiroid; total skor=2 dirujuk dan total skor <2 =normal. n. Pola perkembangan bayi 8-12 minggu diukur dengan memakai pedoman dari Depkes (Depkes 2002). Perkembangan motorik bayi kasar dikategorikan mengalami keterlambatan (delayed) bila sekurang- kurangnya salah satu dari 5 perkembangan motorik kasar yang diamati tidak terpenuhi. 3. Ibu hamil Komisi dimintakan Informed Consent. Ethical Clearance dari Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbang Kesehatan No. KS 02.01.2.1.2415 Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analitik. Uji yang digunakan adalah uji proporsi (Khi kuadrat) dan uji beda (ANOVA). Uji Multiple Comparison Least Significant Difference (LSD) dipilih untuk mengetahui kelompok mana saja yang berbeda reratanya bila uji ANOVA terdapat perbedaan yang bermakna (Steel & Torrie 1980). Analisis multivariat uji regresi logistik digunakan untuk mempelajari pengaruh pemberian ketiga suplemen iodium terhadap kadar biokimia darah dan urin ibu dan biokimia darah bayi neonatal. Signifikansi yang digunakan pada alfa 5%. 75 V. HASIL A. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Gambaran Umum Daerah Penelitian Kabupaten Magelang letaknya diapit oleh beberapa kabupaten dan kota antara lain Kabupaten Temanggung, Semarang, Boyolali, Purworejo, Wonosobo, Kota Magelang serta Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya antara 110o 01’ 51” dan 110o 26’ 58” Bujur Timur dan antara 7o 19’ 13” dan 7o 42’ 16” Lintang Selatan. Kabupaten Magelang dikelilingi oleh beberapa gunung seperti gunung Merapi, Merbabu, Sumbing dan gunung Telomoyo. Umumnya daerah kabupaten Magelang berupa dataran tinggi (Pemda Kabupaten Magelang 2004). Peta Kabupaten Magelang ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Gambar 12 Peta Kabupaten Magelang (Pemda Kabupaten Magelang 2004). 76 Enam kecamatan endemik GAKI yang dipilih yaitu Sawangan, Pakis, Ngablak, Dukun, Candimulyo dan Kaliangkrik. Setiap kecamatan mempunyai satu Puskesmas kecuali kecamatan Sawangan mempunyai dua Puskesmas yaitu Puskesmas Sawangan 1 dan Puskesmas Sawangan 2. Total tujuh Puskesmas yang menjadi lokasi penelitian yaitu Puskesmas Sawangan 1, Puskesmas Sawangan 2, Puskesmas Kaliangkrik, Puskesmas Dukun, Puskesmas Ngablak dan Puskesmas Candimulyo. Jumlah penduduk Kabupaten Magelang tahun 2004 tercatat sebanyak 1.157.715 jiwa dan jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki. Total jumlah rumah tangga yang ada sekitar 292.332 rumah tangga dengan mata pencaharian penduduk terutama dari pertanian. Lahan pertanian digarap oleh penduduk dengan bertanam padi, palawija, sayuran dan buah-buahan (Pemda Kabupaten Magelang 2004) 2. Pemilihan dan Pengelompokan Contoh Ibu hamil trimester 1 direkrut sejak bulan Mei tahun 2005 sampai dengan bulan Februari 2006. Semula ibu hamil yang terdaftar sebanyak 200 orang dan direkrut dari 52 desa dari 7 wilayah Puskesmas yaitu Puskesmas Ngablak, Sawangan 1, Sawangan 2, Pakis, Candimulyo, Dukun dan Kaliangkrik. Namun sebanyak 56 orang ibu hamil dikeluarkan dari penelitian karena usia kehamilan>15 minggu dan ibu hipertiroid berdasarkan pemeriksaan kadar serum TSH<0.3 μU/ml. Jumlah ibu hamil yang memenuhi kriteria sebagai contoh yaitu sebanyak 144 orang. Randomisasi dilakukan dengan mengelompokkan contoh kedalam tiga kelompok perlakuan yaitu kelompok minyak iodium dosis tinggi (DT); kelompok minyak iodium dosis rendah (DR) dan kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten (DRB). Setiap kelompok terdiri dari 48 orang contoh. Tidak semua contoh berpartisipasi selama penelitian berlangsung. Pada kelompok minyak iodium dosis tinggi ditemukan tiga ibu hamil berkeberatan diambil darahnya setelah melahirkan, sehingga total contoh kelompok ini pada akhir penelitian menjadi 45 orang. Pada kelompok minyak iodium dosis rendah, 6 ibu dikeluarkan dari penelitian karena sampai penelitian berakhir ibu belum 77 melahirkan, 4 ibu hamil ditengah penelitian mengikuti transmigrasi ke Lampung, dan 4 ibu dinyatakan drop out karena minum kapsul minyak iodium lain yang dibagikan oleh bidan dari program penanggulangan GAKI. Pada kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten, 5 orang ibu hamil belum melahirkan pada saat penelitian telah berakhir, 5 orang ibu hamil tidak patuh karena minum kapsul iodium lain dari program penanggulangan GAKI dan tiga orang menolak ikut berpartispasi sampai melahirkan. Akhirnya secara keseluruhan yang dapat berpartisipasi penuh dari awal sampai akhir penelitian sebanyak 114 orang contoh dengan rincian kelompok minyak iodium dosis tinggi: terdapat 45 orang, kelompok minyak iodium dosis rendah: 34 orang dan kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten: 35 orang. Jumlah tersebut memenuhi jumlah minimal contoh yaitu 34 ibu hamil tiap kelompok. 3. Karakteristik Contoh dalam Tiap Kelompok Pendidikan dan pekerjaan contoh dan suami serta jumlah anak diuraikan pada Tabel 11 di bawah ini. Lebih dari separuh contoh pada tiga kelompok mempunyai pendidikan hanya sampai di bangku Sekolah Dasar (SD). Contoh yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada kelompok dosis rendah sebesar 37%, sedangkan pada kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis rendah+beta karoten proporsinya lebih rendah yaitu 24% dan 22%. Proporsi contoh yang mempunyai pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) tertinggi pada kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu sebesar 11% dan terendah pada kelompok dosis tinggi yaitu 7%. Walaupun ada contoh pernah duduk di Perguruan Tinggi (PT) namun proporsinya sangat kecil. Pendidikan suami contoh mempunyai pola yang sama yaitu ditemukan proporsi terbesar hanya sampai duduk di bangku Sekolah Dasar dan proporsi terendah pernah duduk di bangku Perguruan Tinggi. Sebagian besar contoh dan suami mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Contoh yang bekerja sebagai petani juga berperan ganda sebagai ibu rumah tangga bila berada di rumah. Contoh yang berperan sebagai ibu rumah tangga ditemukan tertinggi pada kelompok dosis rendah+beta karoten (43%) 78 diikuti kelompok dosis tinggi (40%) dan terendah pada kelompok dosis rendah (34%). Contoh yang berperan sebagai ibu rumah tangga juga membantu pekerjaan suami di ladang atau sawah. Walaupun ada contoh yang bekerja lain sebagai pegawai swasta, pegawai negeri dan guru namun proporsinya kecil sekali. Gambaran yang serupa ditemukan juga pada kecilnya proporsi suami contoh yang mempunyai pekerjaan lain seperti pegawai swasta, pegawai negeri, wiraswasta atau supir. Tabel 11 Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Variabel Pendidikan contoh SD SMP SMA PT Pekerjaan contoh Petani Ibu Rumah Tangga Lain-lain Pendidikan suami SD SMP SMA PT Pekerjaan suami Petani Buruh tani Wiraswasta/pedagang dll Jumlah anak (orang) ≤2 >2 Kelompok DT (n=45) n % Kelompok DR (n=34) n % Kelompok DRB (n=35) n % 30 11 3 1 66 24 7 2 18 13 3 0 54 37 9 0 21 8 4 2 60 22 11 7 0.670 23 18 4 51 40 9 18 12 4 54 34 12 18 15 2 52 43 5 0.191 31 6 5 3 69 13 11 7 23 6 5 0 68 17 15 0 21 5 6 3 60 15 17 8 0.157 31 5 5 4 69 11 11 9 23 4 6 1 68 12 17 3 25 6 4 0 72 17 11 0 0.489 41 4 91 9 32 2 94 6 34 1 98 2 0.669 P Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Menurut jumlah anak, mayoritas contoh tiga kelompok mempunyai anak ≤ 2 orang. Rincian proporsinya yaitu terbesar pada kelompok dosis rendah+beta 79 karoten sebesar 98%, kemudian diikuti kelompok dosis rendah sebesar 94%. Proporsi terkecil ditempati oleh kelompok dosis tinggi sebanyak 91%. Penelitian ini juga mengungkapkan contoh yang mempunyai risiko tinggi yang ditunjukkan dari beberapa variabel seperti umur, riwayat keguguran, status anemia, tinggi badan, pertambahan berat badan selama hamil dan jumlah paritas ibu sampai saat ini (Tabel 12). Tabel 12 Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok menurut Faktor Risiko Variabel Umur (tahun) <17 dan >35 17-35 Riwayat keguguran (kali) 0 1 ≥2 Anemia (g%) Hb<11 Hb ≥11 Tinggi Badan (cm) <145 ≥ 145 Pertambahan BB selama hamil (kg) <9 ≥9 Paritas (kali) ≤2 >2 Kelompok DT (n=45) n % Kelompok DR (n=34) n % Kelompok DRB (n=35) n % p 3 41 6 94 1 33 3 97 5 30 3 97 0.146 35 7 3 78 16 6 25 8 1 74 23 3 31 4 0 89 11 0 0.410 18 27 40 60 12 22 35 65 11 24 32 68 0.806 12 33 27 73 10 24 29 71 5 30 14 86 0.296 35 10 78 22 27 7 79 21 21 14 60 40 0.110 42 3 93 7 33 1 97 3 34 1 97 3 0.534 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Berdasarkan umur, ibu yang berisiko tinggi ialah ibu yang berumur<17 tahun dan>35 tahun, dan yang berisiko rendah berumur 17-35 tahun. Proporsi contoh yang berumur<17 tahun dan>35 tahun pada tiga kelompok lebih rendah dibandingkan dengan contoh yang berumur 17-35 tahun. Sebanyak kurang dari 6% contoh tiga kelompok mempunyai risiko tinggi karena berumur<17 tahun dan 80 >35 th. Tidak ditemukan ada perbedaan yang bermakna antara umur contoh yang berisiko tinggi dan umur contoh yang berisiko rendah (p>0.05) Proporsi contoh yang pernah mengalami keguguran sebanyak ≥ 2 kali kecil pada tiga kelompok bahkan tidak ditemukan contoh yang pernah keguguran ≥ 2 kali pada kelompok dosis rendah+beta karoten. Dengan uji statistik khi kuadrat tidak ada perbedaan yang signifikan antara contoh yang pernah mengalami keguguran 1 atau ≥ 2 kali (p>0.05). Berdasarkan status anemia, contoh yang berisiko tinggi bila kadar Hb selama hamil mencapai<11 g%. Sebanyak 40% contoh pada kelompok dosis tinggi mengalami anemia dan proporsinya lebih tinggi dari 2 kelompok lainnya. Contoh kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten yang menderita anemia yaitu sebesar 35% dan 32%. Namun setelah dilakukan uji khi kuadrat, contoh yang mengalami anemia antara tiga kelompok tidak berbeda secara bermakna (p>0.05). Tinggi badan contoh yang dianggap berisiko yaitu tinggi badan <145 cm. Ternyata contoh yang mempunyai tinggi badan <145 cm pada kelompok dosis rendah sebesar 29% dan lebih tinggi dari pada 2 kelompok lainnya. Contoh dengan TB <145 cm pada kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 27% dan 14%. Secara statistik tidak ditemukan ada perbedaan tinggi badan antara tiga kelompok (p>0.05). Pertambahan berat badan contoh dihitung dari selisih berat badan pada akhir kehamilan (trimester 3) dan awal kehamilan (trimester 1). Pada tiga kelompok proporsi contoh dengan pertambahan berat badan <9 kg terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi contoh dengan pertambahan berat badan ≥9 kg. Proporsi contoh dengan pertambahan berat badan <9 kg ditemukan pada kelompok dosis rendah tertinggi yaitu sebesar 79% diikuti dengan kelompok dosis tinggi yakni 78% dan terendah kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu sebanyak 60%. Namun pertambahan berat badan baik kurang atau lebih dari 9 kg antara tiga kelompok tidak berbeda secara signifikan (p>0.05). Gambaran paritas contoh dibedakan antara yang mempunyai paritas kurang dan lebih dari 2 kali. Dari wawancara pada tiga kelompok didapatkan contoh yang mempunyai paritas >2 kali proporsinya lebih kecil bila dibandingkan dengan 81 contoh yang mempunyai paritas ≤2 kali. Contoh yang mengalami paritas ≥2 kali pada tiga kelompok kurang dari 7%. Uji khi kuadrat yang dilakukan tidak menemukan ada perbedaan yang bermakna antara paritas kurang dan lebih dari 2 kali pada tiga kelompok (p>0.05) 4. Kesehatan Waktu Hamil dan Distribusi Suplemen Minyak Iodium dan Beta Karoten Kesehatan ibu selama hamil dipantau oleh bidan setiap bulan pada hari yang bersamaan dengan pengukuran antropometri. Hasil pemantaun kesehatan ditemukan 5 orang ibu hamil mempunyai tekanan darah melebihi normal dan tiga orang mengalami pembengkakan kaki (odem). Setelah diberikan penyuluhan oleh bidan dan dirujuk ke Puskesmas, pada akhir kehamilan semua ibu yang mengalami komplikasi selama kehamilan menjadi pulih kembali kesehatannya. Tempat pemeriksaan kesehataan di Puskesmas atau Puskesmas Pembantu, bila rumah contoh sangat jauh maka bidan dan peneliti mendatangi rumah contoh. Suplemen minyak iodium dan beta karoten disuplai oleh peneliti dan didistribusikan di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Distribusi suplemen dilakukan setelah pemeriksaan kesehatan contoh oleh bidan dan pengukuran antropometri. Apabila lokasi rumah contoh sangat jauh maka suplemen dihantarkan sampai ke rumah. Contoh langsung minum suplemen yang dibagikan dengan disaksikan oleh tim peneliti. B. Kurang Energi Kronis (KEK) Rerata LLA contoh mulai dari awal penelitian yaitu pada trimester 1 sampai akhir penelitian (nifas) dipaparkan pada Gambar 13 di bawah ini. LLA contoh pada awal untuk tiga kelompok masih diatas ambang normal (> 23.5 cm). Dengan uji ANOVA tidak ditemukan ada perbedaan rerata LLA antara tiga kelompok pada pengukuran awal (p>0.05). Pada tiga bulan intervensi (kehamilan enam bulan), rerata LLA kelompok dosis tinggi meningkat dari awal sebesar 23.7 cm menjadi 23.9 cm. Rerata LLA kelompok dosis rendah tetap stabil pada angka 24.1 cm. Demikian juga rerata LLA kelompok dosis rendah+beta karoten relatif stabil sampai dengan 2 bulan 82 intervensi (kehamilan 5 bulan) yaitu tetap pada angka 23.8 cm, kemudian pada tiga bulan intervensi (kehamilan umur 6 bulan) terjadi peningkatan. Hasil uji statistik ANOVA tidak ada perbedaan yang bermakna rerata LLA antar tiga kelompok pada 2 bulan dan 3 bulan intervensi (p>0.05). Sejak 4-6 bulan intervensi (kehamilan umur 7-9 bulan), pengamatan rerata LLA menunjukkan terjadi peningkatan sampai mencapai puncak. Pada 6 bulan intervensi (kehamilan umur 9 bulan), peningkatan LLA yang tertinggi terjadi pada kelompok dosis rendah+beta karoten dengan angka mencapai 25.1 cm. Peningkatan rerata LLA pada 2 kelompok lainnya tidak setinggi kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu hanya mencapai 24.7 cm pada kelompok dosis tinggi dan 24.8 cm pada kelompok dosis rendah. Rerata LLA antar kelompok pada 4-6 bulan intervensi (kehamilan 7-9 bulan) tidak berbeda dengan uji ANOVA (p>0.05). LLA (cm) DT 25,5 DR 25 DRB 24,5 24 23,5 23 22,5 Awal/ 1 bln 2bln 3bln 4bln 5bln 6bln Akhir Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 13 Rerata LLA Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran. Pada akhir penelitian (nifas) rerata LLA untuk ke tiga kelompok menurun bila dibandingkan dengan rerata LLA pada 9 bulan kehamilan (6 bulan intervensi). Rerata LLA akhir penelitian pada kelompok dosis rendah dan 83 kelompok dosis rendah+beta karoten lebih tinggi dari pada rerata LLA kelompok dosis tinggi. Dengan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan rerata LLA antar kelompok pada akhir penelitian (p>0.05). Tabel 13 berikut memperlihatkan proporsi contoh yang berisiko tinggi karena mengalami KEK dengan ukuran LLA <23.5 cm. Proporsi KEK contoh pada awal penelitian terbesar (48%) ditemukan pada kelompok dosis tinggi, sedangkan kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten hanya 40% dan 46%. Menginjak 6 bulan intervensi (kehamilan 9 bulan), proporsi KEK menurun yaitu pada kelompok dosis tinggi menjadi 35% dan kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi masing-masing sebesar 30%. Tabel 13 Proporsi KEK Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran Waktu Kelompok Kelompok Kelompok p DT DR DRB pengukuran (n=45) (n=34) (n=35) Awal LLA<23.5 cm 48 40 46 0.750 LLA≥23.5 cm 52 60 54 6 bln intervensi LLA<23.5 cm LLA≥23.5 cm 35 65 30 70 30 70 0.631 Akhir LLA<23.5 cm LLA≥23.5 cm 48 52 44 56 39 61 0.387 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Pada akhir penelitian, proporsi KEK pada tiga kelompok menunjukkan peningkatan, hal ini dapat dilihat dari proporsi KEK pada kelompok dosis tinggi sebesar 48%, kelompok dosis rendah menjadi 44% dan kelompok dosis rendah+beta karoten yakni 39%. Dengan uji ANOVA tidak ditemukan perbedaan yang bermakna proporsi KEK pada awal, 6 bulan intervensi dan akhir penelitian antar tiga kelompok (p>0.05) 84 C. Asupan Zat Gizi Termasuk Iodium 1. Asupan Energi, Protein, Lemak, Vitamin A, Besi dan Seng Asupan zat gizi energi, lemak, protein, vitamin A, besi dan seng dipaparkan pada Tabel 14 di bawah ini. Pada awal penelitian, rerata asupan energi contoh kelompok dosis tinggi yaitu 1114 kkal sedangkan asupan energi kedua kelompok lainnya lebih rendah. Rerata asupan protein kelompok dosis tinggi sebesar 40.4 gram dan asupan kelompok ini lebih tinggi dari pada kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten. Adapun rerata asupan protein kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu 37.6 gram dan 36.5 gram. Dari wawancara terungkap bahwa proporsi protein nabati lebih banyak dikonsumsi dari pada asupan protein hewani. Asupan protein nabati yang banyak dipilih yaitu tempe dan tahu. Tidak ada perbedaan yang signifikan rerata asupan energi dan protein antara tiga kelompok tersebut (p>0.05). Rerata asupan lemak tiga kelompok sekitar 30 gram, sedangkan asupan vitamin larut lemak seperti vitamin A pada kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten sebesar 711 μg RE; 720 μg RE dan 700 μg RE. Tabel 14 Rerata Asupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Awal Penelitian Asupan zat gizi Energi (kkal) Protein (gr) Lemak (gr) VitaminA (μgRE) Besi (mg) Seng (mg) Kelompok DT (n=45) 1114+ 529 40.4 + 22.0 30.4 + 20.7 711 + 1110 10.2 + 10.9 5.0 + 2.9 Kelompok DR (n=34) 1109 + 394 37.6 + 19.9 31.7 + 22.0 720 + 527 12.8 + 13.4 4.5 + 2.1 Kelompok DRB (n=35) 1059+ 568 36.5 + 21.5 32.3 + 23.2 700 + 1056 15.4 + 16.9 4.9 + 4.1 P 0.763 0.977 0.712 0.870 0.828 0.986 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Dengan uji statistik ANOVA tidak ada perbedaan yang bermakna asupan lemak dan vitamin A antara tiga kelompok (p>0.05). Rerata asupan mineral seperti zat besi pada kelompok dosis rendah+beta karoten tertinggi (15.4 mg) dibandingkan 2 kelompok lainnya. Rerata asupan seng 85 pada tiga kelompok ditemukan sangat rendah yaitu ≤ 5 mg. Tampak asupan zat besi dan seng pada tiga kelompok tidak berbeda nyata pada awal penelitian (p>0.05) Pada akhir penelitian rerata asupan energi dan protein tertinggi pada kelompok dosis tinggi, seperti halnya pada awal penelitian. Rerata asupan energi kelompok dosis tinggi sebesar 1474 kkal dan kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 1412 kkal dan 1393 kkal. Rerata kosumsi protein kelompok 1 yakni 47.3 gr sedangkan kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten yaitu sebesar 46.3 gr dan 43.3 gr. Tidak ditemukan ada perbedaan yang bermakna rerata asupan energi dan protein antara tiga kelompok pada akhir penelitian (p>0.05)(Tabel 15). Tabel 15 Rerata Asupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Akhir Penelitian Asupan zat gizi Energi (kkal) Protein (gr) Lemak (gr) Vitamin A (μgRE) Besi (mg) Seng (mg) Kelompok DT (n=45) 1474 + 535 47.3 + 14.9 53.1 + 33.2 862 + 1107 10.6 + 9.1 5.4 + 1.7 Kelompok DR (n=34) 1412+ 477 46.3 + 18.3 50.8 + 29.7 787 + 690 10.7 + 8.1 5.4 + 1.9 Kelompok DRB (n=35) 1393+ 518 43.3 + 16.5 47.1 + 27.7 906 + 1160 11.9 + 9.4 5.4 + 2.1 p 0.660 0.870 0.810 0.823 0.745 0.756 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Rerata asupan lemak kelompok dosis tinggi sebesar 53.1 gr, kelompok dosis rendah sebesar 50.8 gr dan kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu 47.1 gr. Rerata asupan vitamin A kelompok dosis rendah+beta karoten tertinggi dibandingkan 2 kelompok lainnya. Asupan vitamin A kelompok dosis rendah+beta karoten yakni 906 μg RE; kelompok dosis rendah sebesar 787 μg RE dan kelompok dosis tinggi sebesar 862 μg RE. Tidak ditemukan ada perbedaan yang bermakna rerata asupan lemak dan vitamin A pada akhir penelitian antara tiga kelompok (p>0.05). Hasil wawancara menunjukkan bahwa baik pada awal atau akhir penelitian hampir setiap hari contoh mengkonsumsi protein nabati seperti tempe dan tahu 86 dan kurang mengkonsumsi protein hewani. Selain itu ditemukan bahwa konsumsi sayuran lebih tinggi pada akhir penelitian. Sayuran daun lebih banyak dipilih seperti daun pepaya dan daun singkong dengan tujuan memperbanyak produksi Air Susu Ibu. Rerata asupan mineral besi dan seng relatif sama pada tiga kelompok. Dengan uji ANOVA tidak ditemukan ada perbedaan asupan zat besi dan seng antara tiga kelompok ((p>0.05). Gambar 14 menunjukkan kecukupan energi, protein, besi dan seng masih di bawah AKG yang dianjurkan pada awal penelitian. Hanya kecukupan vitamin A untuk semua kelompok ditemukan mendekati AKG yang dianjurkan di Indonesia. 85 83 90 87 80 Tingkat Kecukupan (%) 70 60 54,2 60,2 53,6 51,5 56,1 54,4 DT DR DRB 59,3 49,1 50 44,9 40,3 44,5 39,2 40 30 20 10 0 Energi Protein Vit A Besi Seng Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 14 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Awal Penelitian Tingkat kecukupan energi untuk tiga kelompok tergolong rendah yaitu di bawah 55%. Kecukupan protein dan besi ditemukan kurang dari 60% untuk semua kelompok dan kecukupan seng semua kelompok di bawah 45%. 87 Hasil uji ANOVA tidak ditemukan ada perbedaan yang bermakna kecukupan zat gizi, protein, vitamin A, besi dan seng antara ketiga kelompok perlakuan (p>0.05). Pada akhir penelitian, tingkat kecukupan zat gizi energi, protein dan mineral besi dan seng masih di bawah AKG yang dianjurkan. Kecukupan vitamin A semua kelompok mendekati AKG yang dianjurkan. Kecukupan energi tiga kelompok kurang dari 62%. Kecukupan protein kelompok dosis tinggi, kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten ditemukan sebesar 70.6%; 69.1% dan 64.7%. Kecukupan vitamin A semua kelompok berkisar dari 90% sampai 97.2%. Kecukupan mineral besi dan seng juga rendah dari AKG yaitu di bawah 40%. Tidak ditemukan ada perbedaan yang bermakna kecukupan energi, protein, vitamin A, besi dan seng pada akhir penelitian antara tiga kelompok (p>0.05) (Gambar 15). Tingkat Kecukupan (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 97 90 95 DT DR DRB 70,6 62 59,1 58,8 69,1 64,7 37,3 33,3 38,7 33,6 Energi Protein Vit A Besi 38,7 38,3 Seng Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta -karoten Gambar 15 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh pada Tiga Kelompok pada Akhir Penelitian Pada akhir penelitian (nifas) contoh pada tiga kelompok masih mempercayai makanan dan minuman yang dipantang (food taboo) dikonsumsi selama masa nifas. Makanan tersebut dipercaya dapat menimbulkan efek yang merugikan baik 88 bagi ibu maupun kepada bayi yang dilahirkan. Golongan makanan yang dipantang diantaranya beberapa bahan makanan golongan karbohidrat, protein, sayuran, buah-buahan dan makanan lain yang dirinci dalam Tabel 16 di bawah ini. Tabel 16 Daftar Makanan dan Minuman yang Dipantang selama Masa Nifas Golongan/ Bahan Makanan dan Minuman Golongan karbohidrat/ Kentang Beras ketan Ubi jalar, rebung Talas Golongan protein/ Ikan segar Ikan asin Telur Daging ayam Golongan sayuran/ Toge Kubis dan sawi Labu siam, dn talas Kool Golongan buah/ Jambu biji Makanan pedas Minuman es Alasan Makanan dan Minuman Dipantang Jalan lahir ibu akan gatal dan dikhawatirkan bayi juga mengalami gatal serta pusar bayi akan keluar darah Perut ibu jadi sakit dan pusar bayi tidak kering Pusar bayi akan keluar darah Bayi akan mengalami gatal-gatal dan pusar bayi tidak kering Makanan anyir (amis) menyebabkan ASI jadi amis Ibu takut mengalami gatal-gatal, ASI jadi amis dan jahitan pada ibu akibat melahirkan menjadi tidak kering Ibu ditakutkan mengalami gatal-gatal, selain itu agar pusar bayi cepat kering Pusar bayi akan keluar darah Jalan lahir ibu akan gatal dan dikhawatirkan bayi juga mengalami gatal dan mencret ASI menjadi encer atau bening Takut bayi akan gatal-gatal dan jahitan ibu sehabis melahirkan tidak kering Urin bayi berbau menyengat Bayi dikawatirkan mengalami sembelit Bayi dikhawatirkan mencret dan ASI tidak enak Bayi akan menderita influenza Bahan makanan yang dipantang dalam golongan karbohidrat seperti kentang, beras ketan, ubi jalar dan talas. Bahan makanan dalam golongan protein seperti telur, ikan dan daging ayam. Adapun golongan sayuran yang dipantang ialah toge, kubis, kool dan daun talas. Semua bahan makanan tersebut sebagai sumber energi, protein, mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh. Minuman 89 seperti es dipantang juga karena dipercaya mengakibatkan bayi akan menderita influenza. 2. Asupan Iodium Asupan iodium dihitung dari dua sumber yaitu dari konsumsi makanan seharihari dan konsumsi garam yang digunakan di rumah tangga. Asupan iodium dari bahan makanan sehari diperoleh dari hasil wawancara makanan sehari dengan menggunakan metode Recall 1 x 24 jam. Kemudian konsumsi makanan dikonversikan kedalam zat gizi iodium dengan menggunakan Daftar Komposisi Iodium dari bahan makanan di daerah endemik GAKI (Purwaningsih 1997). Konsumsi garam per kapita per hari dikumpulkan dengan cara wawancara dengan contoh untuk menjaring jumlah garam yang digunakan dalam masakan dalam sehari setelah itu dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Kemudian konsumsi garam perkapita per hari dikalkulasikan dengan hasil analisa kadar iodium (KIO3)garam yang dilakukan dengan metode titrasi. Hasil analisis kadar iodium garam secara kuantitatif terlampir (Lampiran 19). Hasil penelitian tentang asupan iodium dari makanan pada awal dan akhir penelitian ditunjukkan pada Gambar 16 di bawah ini. Pada awal penelitian, ibu hamil kelompok dosis tinggi mengkonsumsi iodium dari bahan makanan sebanyak 23.9 μg. Asupan iodium dari bahan makanan kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten yakni sebanyak 38.4 μg dan 39.9 μg. Tidak ada perbedaan asupan iodium dari makanan sehari antar tiga kelompok pada awal penelitian (p>0.05). Pada akhir penelitian, asupan iodium dari makanan menurun dibandingkan pada awal penelitian. Asupan iodium dari bahan makanan kelompok dosis tinggi menjadi 23.0 μg sedangkan kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten ditemukan sebesar 26.4 μg dan 29.5 μg. Asupan iodium dari makanan antara tiga kelompok pada akhir penelitian secara statistik tidak berbeda (p>0.05). Gambaran asupan iodium dari garam selama penelitian juga ditunjukkan pada Gambar 16. Garam yang beredar di daerah penelitian ada tiga macam yaitu garam bata, garam halus dan garam curah (krosok) yang tidak mengandung iodium. Garam 90 tersebut dapat diperoleh dari warung dekat pemukiman atau dari pasar tradisional. Rentangan konsumsi garam per kapita perhari di tiga kelompok pada awal penelitian adalah 5.5-12.5 gram dengan rerata 9.1 gram. Asupan iodium dari garam lebih tinggi dari pada asupan iodium dari bahan makanan. Pada awal penelitian asupan iodium garam pada kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis rendah menunjukkan angka yang sama yaitu 155.1 μg sedangkan kelompok dosis rendah+beta karoten ditemukan lebih rendah yakni 148.8 μg. Pada akhir penelitian asupan iodium dari garam pada kelompok dosis tinggi sebesar 148.1 μg dan kelompok dosis rendah menjadi 156.6 μg. Asupan iodium garam kelompok dosis rendah+beta karoten ditemukan sebesar 142.6 μg. Uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna asupan iodium dari garam Asupan iodium (μg) selama penelitian pada tiga kelompok (p>0.05). 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 23,9 makanan garam 38,4 39,9 155,1 155,1 DT DR 148,8 DRB Awal 23 148,1 DT 26,4 29,5 156,6 DR 142,6 DRB Akhir Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 16 Asupan Iodium dari Garam dan Bahan Makanan Contoh pada Tiga Kelompok Tingkat kecukupan total asupan iodium sehari contoh pada awal dan akhir penelitian diperoleh dari asupan iodium sehari yang berasal dari bahan makanan ditambah asupan iodium dari garam sehari. Kemudian total asupan iodium sehari 91 dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Adapun perinciannya terlihat dalam Gambar 17 di bawah ini. Angka Kecukupan Gizi (AKG) iodium yang dianjurkan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004 adalah sebesar 200 μg untuk wanita hamil (Kartono & Soekatri 2004). Angka Kecukupan iodium untuk ibu hamil telah mempertimbangkan kebutuhan iodium ibu dan kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Pada awal dan akhir penelitian kecukupan total asupan iodium sehari contoh pada tiga kelompok hampir mendekati AKG yang dianjurkan (Gambar 17). Pada awal, kecukupan asupan iodium total kelompok dosis tinggi sekitar 89%, dan pada kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten yaitu 91% dan 93%. Tingkat Kecukupan (%) 100 90 89 91 93 90 92 91 DT 80 DR DRB 70 60 Awal Akhir Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 17 Tingkat Kecukupan Iodium Total Contoh pada tiga Kelompok Dibandingkan AKG. Di akhir penelitian tidak ada perubahan yang mencolok kecukupan total asupan iodium yang diamati, karena kecukupan iodium masih sekitar 90% untuk semua kelompok. Tidak ditemukan ada perbedaan yang signifikan kecukupan asupan total iodium pada awal dan akhir penelitian antar tiga kelompok yang dapat dilihat pada Gambar di bawah ini (p>0.05). A 92 3. Kadar Iodium Garam Rumah Tangga Contoh Garam yang digunakan di rumah tangga terdiri dari tiga jenis yaitu garam halus, garam bata dan garam curah (krosok). Merk garam yang digunakan rumah tangga contoh bermacam-macam baik produksi dari Jawa Tengah atau dari Propinsi lainnya (Lampiran 20). Garam rumah tangga dibeli dari warung terdekat dengan rumah contoh atau dibeli dari pasar tradisional. Kemudian garam rumah tangga contoh dianalisa kandungan iodium (KIO3) dengan metoda titrasi (Lampiran 19). Gambar 18 menunjukkan pada awal penelitian, proporsi terbesar contoh menggunakan garam beriodium dengan kadar ≥30-80 ppm sebanyak 70% pada kelompok dosis rendah. Garam curah yang tidak mengandung iodium masih dikonsumsi oleh sekitar 2% contoh kelompok dosis tinggi. Garam curah biasanya digunakan untuk campuran makanan ternak. Disamping itu ditemukan garam beriodium dengan kadar >80 ppm yang digunakan contoh pada tiga kelompok dalam masakan sehari-hari dengan proporsi kurang dari 10% untuk semua kelompok. Pada akhir penelitian, proporsi terbesar contoh tetap menggunakan garam beriodium dengan kadar yang dianjurkan (≥ 30-80 ppm). Proporsinya pada kelompok dosis rendah tertinggi yaitu 67%, sedangkan 2 kelompok lainnya lebih rendah yaitu kelompok dosis tinggi sebesar 62% dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 66%. Garam curah yang tidak mengandung iodium masih digunakan oleh 2% contoh pada kelompok dosis tinggi. Selain garam curah yang tidak beriodium masih digunakan, garam beriodium dengan kadar iodium lebih rendah (1-29 ppm) atau lebih tinggi (> 80 ppm) dari kandungan yang dianjurkan dijumpai masih dipilih oleh contoh pada tiga kelompok. Hal ini dapat terlihat dari sepertiga contoh dari tiga kelompok mengkonsumsi garam dengan kandungan iodium sebesar 1-29 ppm dan <6% contoh pada tiga kelompok menggunakan garam dengan kandungan >80-140 ppm. . 93 Proporsi contoh (%) 100% 5 5 6 90% > 80 ppm 80% 30-80 ppm 4 4 6 1-29 ppm 70% 0 ppm 60% 50% 61 70 60 62 67 66 32 25 34 32 29 28 2 0 0 2 0 0 DT DR DRB 40% 30% 20% 10% 0% Awal DT DR DRB Akhir Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 18 Proporsi Contoh pada Tiga Kelompok Menggunakan Garam dengan Bermacam Kadar Iodium 4. Kepatuhan Konsumsi Suplemen Minyak Iodium dan Beta Karoten Suplemen minyak iodium dapat mensuplai iodium untuk kebutuhan ibu dan janin selama hamil. Analisa kandungan iodium pada suplemen iodium mendapatkan hasil sebesar 180-190 mg per kapsul. Pada kelompok dosis tinggi, kapsul minyak iodium dengan dosis iodium 180-190 mg diberikan hanya 1 kali selama hamil yang dapat melindungi ibu dari kekurangan iodium selama 6 bulan. Pada kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten, minyak iodium dengan dosis 30 mg per bulan diberikan selama 6 bulan. Selama 6 bulan jumlah iodium yang disuplai kedua kelompok ini sama dengan jumlah iodium yang disuplai kelompok dosis tinggi. 94 Pengamatan dilapangan ditemukan kepatuhan mengkonsumsi kapsul minyak iodium kelompok dosis tinggi mencapai 100%. Kepatuhan mengkonsumsi kapsul minyak iodium kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten juga sebesar 100%. Hal ini dicapai karena contoh tiga kelompok diharuskan minum kapsul minyak iodium disaksikan peneliti yang bertugas membagikan suplemen. Suplemen beta karoten yang diberikan pada kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 30 mg per bulan. Kepatuhan mengkonsumsi kapsul beta karoten pada kelompok ini dicapai 100% juga. Distribusi suplemen beta karoten juga dilakukan peneliti dan contoh diharuskan minum kapsul beta karoten yang disediakan disaksikan oleh peneliti. D. Asupan Sianida Asupan goitrogenik yang diamati adalah asupan sianida. Sianida banyak terdapat dalam bahan makanan seperti singkong, daun singkong, sawi dll. Asupan sianida dalam sehari diperoleh dengan cara mewawancarai contoh jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sehari dengan menggunakan metode Recall 1 X 24 jam. Kemudian kandungan sianida di dalam bahan makanan tersebut dihitung dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan yang mengandung sianida yang dikembangkan oleh Dahro (2001). Daftar Komposisi Bahan Makanan yang mengandung sianida dari bahan makanan mentah maupun makanan yang sudah diolah. Gambar 19 menunjukkan pada awal penelitian rerata asupan sianida per hari pada kelompok dosis tinggi sebesar 7.4 mg sedangkan kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten relatif sama yaitu sekitar 5 mg per hari. Pada akhir penelitian asupan sianida per hari pada kelompok dosis tinggi menjadi 8.3 mg; dosis rendah yaitu 7.5 mg dan pada kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi 10 mg. Tidak ditemukan ada perbedaan yang signifikan rerata asupan sianida per hari antar tiga kelompok baik pada awal maupun akhir penelitian (p>0.05). 95 10 Asupan sianida (mg) 10 9 8 8,3 7,5 DT DR DRB 7,4 7 6 5 5,1 5 4 3 2 1 0 Awal Akhir Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 19 Rerata Asupan Sianida Contoh pada Tiga Kelompok Berikut ini asupan sianida contoh dikategorikan menjadi dua yaitu <10 mg dan ≥10 mg per hari. Asupan sianida <10 mg dikatakan normal dan ≥10 mg disebut melebihi batas ambang normal. Proporsi contoh yang mengkonsumsi sianida <10 mg atau ≥10 mg disajikan dalam Gambar 20 di bawah ini. Pada awal penelitian, lebih dari 60% contoh tiga kelompok mengkonsumsi sianida <10 mg per hari dan kurang dari sepertiga contoh dari masing-masing kelompok mengkonsumsi sianida melebihi ambang batas normal (>=10 mg). Pada akhir penelitian, proporsi contoh yang mengkonsumsi sianida<10 mg per hari pada tiga kelompok lebih dari 60% seperti halnya pada awal penelitian. Sedangkan proporsi contoh yang mengkonsumsi sianida ≥10mg per hari mempunyai rentangan dari 22% sampai dengan 36%. Tampak tidak ada perbedaan asupan sianida tiga kelompok pada awal dan akhir penelitian (p>0.05). 96 100% 18 90% Proporsi contoh (%) 80% 33 24 36 29 22 70% 60% 50% 82 40% 30% 67 76 64 71 78 >=10mg <10mg 20% 10% 0% DT DR DRB DT DR DRB Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 20 Proporsi Contoh pada Tiga Kelompok menurut Asupan Sianida <10 mg dan ≥ 10mg E. Pengetahuan tentang GAKI Pengetahuan GAKI ibu hamil didapat dari beberapa pertanyaan tentang pengetahuan GAKI yang diajukan kepada contoh. Pertanyaan tersebut meliputi sejauh mana pengenalan ibu terhadap permasalahan GAKI yaitu tentang ciri-ciri atau tanda GAKI atau gondok endemik, akibat dan penyebab GAKI, pengetahuan tentang sianida dan bagaimana upaya pencegahannya termasuk apakah ibu memanfaatkan garam yang beredar mengandung iodium. Jawaban ibu hamil dan ibu nifas kemudian diberi skor. Rerata total skor pengetahuan GAKI tiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 17. Rerata total skor kelompok dosis tinggi dan dosis rendah relatif sama yaitu sekitar 5 sedangkan kelompok dosis rendah+beta karoten sekitar 6. Pada akhir penelitian rerata total skor ketiga kelompok relatif sama yaitu sekitar 5. Rerata total skor pengetahuan 97 GAKI baik pada awal dan akhir penelitian pada tiga kelompok ditemukan tidak berbeda bermakna (p>0.05) Tabel 17 Rerata Total Skor Pengetahuan GAKI Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran Waktu Kelompok Kelompok Kelompok P DT DR DRB Pengukuran (n=45) (n=34) (n=35) Awal 5.6 + 1.5 5.3 + 1.7 6.1+ 1.4 0.102 Akhir 5.3 + 1.2 5.4 + 1.4 5.6 + 1.0 0.618 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Rentangan skor= awal penelitian 3-9 dan akhir penelitian 3-7 Kemudian tingkat pengetahuan GAKI disajikan pada Tabel 18. Tingkat pengetahuan GAKI dianggap cukup dengan nilai total skor ≥ 6 dan tingkat pengetahuan GAKI kurang bila total skor yang dicapai <6. Pada awal, proporsi pengetahuan GAKI cukup ditemukan relatif sama pada kelompok dosis tinggi; kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu sebesar 53%; 50% dan 54%. Hampir separuh ibu hamil di tiap kelompok mempunyai pengetahuan GAKI yang dikategorikan cukup. Tabel 18 Sebaran Pengetahuan GAKI Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran Waktu Pengetahuan Kelompok Kelompok Kelompok Pengukuran GAKI DT DR DRB p (n=45) (n=34) (n=35) n % n % N % Awal Cukup 24 53 17 50 19 54 0.885 Akhir Kurang Cukup 21 23 47 51 17 17 50 50 16 18 46 51 0.960 Kurang 22 49 17 50 17 49 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Memasuki akhir penelitian dijumpai 51%; 50% dan 51% contoh pada kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten mempunyai pengetahuan GAKI yang cukup dan gambaran ini tidak berbeda dengan 98 pengetahuan contoh pada awal penelitian. Tidak ditemukan ada perbedaan yang signifikan pengetahuan GAKI ibu pada awal dan akhir penelitian antara tiga kelompok (p>0.05). Ditinjau lebih dalam terhadap pengetahuan tentang garam beriodium ditemukan pada awal penelitian 83% kelompok iodium dosis tinggi, 87% kelompok iodium dosis rendah dan 85% kelompok iodium dosis rendah+beta karoten mengetahui manfaat garam beiodium. Pada akhir penelitian proporsi contoh yang mengetahui manfaat garam beriodium pada tiga kelompok relatif sama dengan pada awal penelitian. F. Kadar Biokimia Darah dan Urin Contoh pada Tiga Kelompok 1. Profil Rerata Serum TSH, FT4, Vitamin A, dan Hemoglobin Gambaran rerata kadar biokimia contoh pada tiga kelompok pada awal penelitian disajikan pada Tabel 19 berikut. Rerata kadar serum hormon TSH, FT4 dan hemoglobin contoh pada awal penelitian relatif sama. Serum TSH kelompok dosis tinggi; kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 3.69 mU/ml; 3.19 mU/ml dan 3.33 mU/ml. Serum FT4 untuk tiga kelompok yaitu 1.58 ng/dl pada kelompok dosis tinggi; 1.59 ng/dl pada dosis rendah dan 1.55 ng/dl pada kelompok dosis rendah+beta karoten. Rerata kadar hemoglobin kelompok dosis tinggi sebesar 11.4 g%, dosis rendah 11.2 g% dan dosis rendah+beta karoten yakni 11.5 g%. Tidak ada perbedaan yang nyata rerata serum TSH, FT4 dan hemoglobin antar kelompok (p>0.05). Tabel 19 Rerata Contoh pada Tiga Kelompok menurut Variabel Biokimia Awal Penelitian Variabel Kelompok Kelompok Kelompok Biokimia DT DR DRB (n=45) (n=34) (n=35) TSH (mU/ml) 3.69 + 2.68 3.19 + 2.55 3.33 + 1.40 FT4 (ng/dl) 1.58 + 0.36 1.59 + 0.37 1.55 + 0.37 Hb (g%) 11.4 + 1.2 11.2 + 1.0 11.5+ 1.1 0.3790 + 0.4080 0.2961 + 0.4067 0.2095 + 0.2572 Vit A (μmol/L) Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten pada p 0.54 0.88 0.49 0.25 99 Gambaran rerata serum vitamin A pada kelompok dosis tinggi sebesar 0.3790 μmol/L dan lebih tinggi dari pada 2 kelompok lainnya yaitu kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 0.2961 μmol/L dan 0.2095 μmol/L. Walaupun demikian tidak ada perbedaan rerata serum vitamin A antara tiga kelompok pada awal penelitian (p>0.05). Hasil analisa biokimia darah pada akhir penelitian, dipaparkan pada Tabel 20 berikut. Penurunan diamati terjadi pada semua kelompok. Serum TSH pada kelompok dosis tinggi menjadi 2.30 mU/ml, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten berubah menjadi 1.60 mU/ml dan 1.59 mU/ml. Ditemukan ada perbedaan yang nyata rerata serum TSH antara tiga kelompok pada akhir penelitian (p<0.05). Tabel 20 Rerata Contoh pada Tiga Kelompok menurut Variabel Biokimia pada Akhir Penelitian Variable Kelompok Kelompok Kelompok p Biokimia DT DR DRB (n=45) (n=34) (n=35) TSH (mU/ml) 2.30 + 1.53 1.60 + 0.84 1.59 + 0.92 0.02* FT4 (ng/dl) 1.17 + 0.36 1.16 + 0.35 1.13 + 0.35 0.91 Hb (g%) 11.9 + 1.4 11.8 + 1.4 11.8 + 1.7 0.94 1.0640 + 0.3371 1.2449 + 2.1170 1.2578 + 2.1839 Vit A (μmol/L) 0.57 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten *= signifikan (p<0.05) Serum FT4 pada akhir penelitian mengalami penurunan juga bila dibandingkan dengan keadaan pada awal penelitian. Serum FT4 pada tiga kelompok relatif sama. Demikian juga kadar serum hemoglobin relatif sama juga antara tiga kelompok perlakuan. Tidak ada perbedaan antara rerata serum FT4 dan hemoglobin antar tiga kelompok pada akhir penelitian (p>0.05). Tidak ditemukan kasus hipertiroid dari pemeriksaan FT4 pada masa nifas. Serum vitamin A meningkat untuk semua kelompok. Kadar serum vitamin A kelompok dosis tinggi; kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi 1.0640 μmol/L; 1.2449 μmol/L dan 1.2578 μmol/L. Tidak ada perbedaan kadar serum vitamin A pada akhir penelitian pada tiga kelompok perlakuan (p>0.05). 100 Kadar hemoglobin pada akhir penelitian pada tiga kelompok relatif sama. Berdasarkan batasan anemia pada ibu nifas yaitu <12 g% maka rerata hemoglobin ketiga kelompok dapat dikategorikan mengalami anemia. 2. Kurva Serum TSH Contoh pada Tiga Kelompok Pengukuran serum TSH yang diambil dari 4 titik yaitu awal penelitian (trimester 1), trimester 2, trimester 3 (6 bulan intervensi) dan akhir penelitian (nifas) kemudian disajikan dalam bentuk kurva (Gambar 21). Rerata kadar serum TSH pada kelompok dosis tinggi menunjukkan penurunan sampai dengan akhir penelitian. Bila disimak lebih lanjut bahwa serum TSH menurun pada trimester 2, kemudian meningkat pada trimester 3. Setelah 6 bulan intervensi kadar serum TSH turun sampai akhir penelitian. Penurunan kadar serum TSH kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten terus menurun seiring dengan pertambahan umur kehamilan. Setelah 6 bulan intervensi, serum TSH terus turun sampai akhir penelitian. 4 μU/m DT DR DRB 3,5 Kadar serum TSH 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 awal trm2 trm3 akhir Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 21 Rerata Serum TSH Contoh Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran 101 Pada umumnya retata serum TSH contoh semakin menurun pada trimester 2 dan trimester 3 dan penurunan berlanjut sampai akhir penelitian Penurunan ini menunjukkan perbaikan kadar serum TSH. Pada akhir penelitian rerata serum TSH contoh kelompok dosis tinggi masih diatas 2 μU/ml sedangkan kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sudah mencapai di bawah 2 μU/ml. Rerata serum TSH juga disajikan dalam Tabel 21. Penyajian ini dibuat agar nilai rerata dan proporsi penurunan serum TSH jelas tergambar. Pada awal penelitian, rerata serum TSH pada tiga kelompok relatif sama. Pada trimester 2, rerata serum TSH tertinggi yaitu pada kelompok dosis tinggi sebesar 2.74 μU/ml. Nilai rerata serum TSH kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi 2.14 μU/ml dan 2.30 μU/ml. Bila diamati, penurunan serum TSH kelompok dosis tinggi; kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu sebesar 25.7%; 33% dan 31%. Pada trimester 3, nilai rerata serum TSH kelompok dosis tinggi tetap tertinggi dan nilainya sama dengan nilai rerata serum TSH trimester 2. Sedangkan rerata serum TSH kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten menurun bila dibandingkan trimester 2. Pada akhir penelitian, rerata serum tertinggi masih pada kelompok dosis tinggi yaitu sebesar 2.30 μU/ml, sedangkan kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi 1.60 μU/ml dan 1.59 μU/ml. Dibandingkan dengan kadar serum TSH pada awal penelitian, penurunan kadar serum TSH pada akhir penelitian terbesar pada kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 52%, diikuti kelompok dosis rendah sebanyak 49% dan terkecil kelompok dosis tinggi sebesar 38% Hasil uji statistik ANOVA antara rerata serum TSH pada tiga kelompok pada awal penelitian, trimester 2 dan trimester 3 menunjukkan bahwa tidak ditemukan ada perbedaan yang signifikan (p>0.05). Namun hasil uji ANOVA pada akhir penelitian (nifas) menemukan ada perbedaan yang bermakna nilai rerata serum TSH antara tiga kelompok perlakuan (p<0.05). Lebih lanjut dengan uji Multiple Comparison Least Significant Difference (LSD) membuktikan bahwa rerata serum TSH kelompok dosis tinggi terhadap kelompok dosis rendah dan 102 kelompok dosis tinggi terhadap kelompok dosis rendah+beta karoten berbeda secara sikifikan (p<0.05). Tabel 21 Rerata Serum TSH (μU/ml) Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran Pengukuran Kelompok Kelompok Kelompok F P DT DR DRB (n=45) (n=34) (n=35) Awal 3.69±2.68 3.19±1.75 3.33±1.4 0.608 0.546 Trimester 2 2.74±2.03 2.14±1.18 2.30±1.13 1.552 0.217 Trimester 3 2.77±2.01 2.01±1.24 2.20±1.30 2.186 0.118 Akhir 2.30±1.50 1.60±0.84 b 1.59±0.92 4.297 0.016 a b Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta -karoten *=Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) dengan uji Multiple Comparison LSD 3. Gambaran Serum TSH menurut Beberapa Cut-Off Serum TSH Di bawah ini serum TSH contoh dari awal penelitian sampai akhir penelitian dikelompokkan ke dalam tiga cut-off serum TSH yaitu TSH ≥2 μU/ml ; TSH ≥3.9 μU/ml dan TSH ≥5 μU/ml. Pengelompokkan ini dibuat berdasarkan risiko yang ditimbulkan. TSH ≥2 μU/ml menurut Mariot et al. (1996) dan TSH ≥3.9 μU/ml menurut Budiman (1998) pada awal kehamilan berisiko timbulnya hipotiroid selama kehamilan. Tetapi TSH ≥5 μU/ml pada awal kehamilan menurut Hartono (2001) berisiko melahirkan bayi yang mempunyai gangguan akibat kekurangan iodium. Berdasarkan cut-off serum TSH ≥2 μU/ml, pada awal penelitian hanya 28% kelompok dosis tinggi, 20% kelompok dosis rendah dan 26% kelompok dosis rendah+beta karoten yang berisiko. Namun pada akhir penelitian proporsi contoh yang mempunyai serum TSH ≥2 μU/ml pada kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten turun menjadi 21% ; 9% dan 9% (Tabel 22). Berdasarkan cut-off TSH ≥3.9 μU/ml, pada awal penelitian proporsi contoh yang berisiko pada kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten adalah sebesar 15%; 9% dan 8%. Penurunan proporsi contoh yang 103 berisiko pada akhir penelitian yaitu pada kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten menjadi 6% ; 1% dan 1%. Tabel 22 Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok menurut Cut-Off Serum TSH (μU/ml) pada Awal dan Akhir Penelitian Serum Awal Akhir TSH DT DR DRB DT DR DRB (μU/ml) (n=45) (n=34) (n=35) (n=45) (n=34) (n=35) ≥2 33 24 29 24 10 11 (73%) (71%) (82%) (53%) (29%) (31%) ≥3.9 16 11 10 7 1 1 (36%) (32%) (29%) (15%) (3%) (3%) ≥5 8 4 5 4 0 0 (18%) (12%) (14%) (9%) (0%) (0%) Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Cut-off serum TSH: ≥2 μU/ml (Orgiazzi & Madec 1996); ≥3.9 μU/ml (Budiman et al. 1998); ≥5 μU/ml (Hartono 2001) Menurut cut-off TSH ≥5 μU/ml, proporsi contoh yang berisiko pada awal penelitian semakin kecil dibandingkan dengan kedua cut-off lainnya. Proporsinya pada kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten adalah 18%, 12% dan 14%. Pada akhir penelitian proporsi contoh yang berisiko (≥5μU/ml) semakin kecil yaitu 9% pada kelompok dosis tinggi dan tidak ada contoh yang berisiko pada dua kelompok lainnya. 4. Ekskresi Iodium Urin Contoh pada Tiga Kelompok Berikut pada Gambar 22 terlihat median kadar EIU antar kelompok selama penelitian. Nilai median EIU pada contoh awal penelitian pada kelompok dosis tinggi (81 μg/L), kelompok dosis rendah (99 μg/L) dan kelompok dosis rendah+beta karoten (98 μg/L) dan dengan uji statistik Kruskalwalis tidak ditemukan ada perbedaan yang bermakna antar kelompok (p>0.05). Setelah 1 bulan intervensi median EIU kelompok dosis tinggi, kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi 506 μg/L; 203 μg/L dan 223 μg/L dan ternyata ada perbedaan yang bermakna antar kelompok (p<0.05). 104 Setelah 5-6 bulan intervensi, EIU pada tiga kelompok naik 2 kali dibandingkan EIU awal. EIU pada kelompok dosis tinggi, kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 234 μg/L; 210 μg/L dan 276 μg/L. Tidak ditemukan ada perbedaan yang bermakna EIU antara tiga kelompok perlakuan (p>0.05). Setelah 6 bulan intervensi (akhir penelitian=nifas) nilai median EIU pada kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten naik sedangkan pada kelompok dosis tinggi relatif tetap sama dengan nilai median EIU pada awal penelitian. Kadar EIU kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten meningkat menjadi 126 μg/L dan 119 μg/L sedangkan dosis tinggi yaitu sebesar 88 μg/L. Pada akhir penelitian tidak ada perbedaan nilai median EIU antar kelompok (p>0.05). 600 Kadar EIU (μg/L) 500 DT DR DRB 400 300 200 100 awal 1 bln 5-6 bln akhir 0 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 22 Kadar EIU Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran. 105 Tampak kecenderungan pola EIU pada kelompok dosis tinggi meningkat pada satu bulan intervensi kemudian menurun sampai dengan 5-6 bulan intervensi dan akhirnya menurun terus pada akhir penelitian sampai mencapai nilai median EIU seperti semula pada awal penelitian. Ternyata nilai median EIU kelompok dosis rendah pada akhir penelitian meningkat sebanyak 27% dibandingkan dengan keadaan awal. Demikian juga dengan EIU kelompok dosis rendah+beta karoten pada akhir penelitian meningkat 21% dibandingkan dengan keadaan awal penelitian 5. Kadar Hemoglobin Contoh pada Tiga Kelompok Pada awal penelitian, contoh ketiga kelompok mempunyai rerata kadar hemoglobin relatif sama yaitu sekitar 11.0 mg/dl. Demikian halnya rerata kadar hemoglobin pada akhir penelitian juga relatif sama. Tidak ada perbedaan yang signifikan rerata hemoglobin antar kelompok baik pada awal maupun akhir penelitian (p>0.05). Penelitian ini tidak memberikan suplemen tablet besi, namun tidak dapat dihindarkan bahwa selama hamil contoh di desa masing-masing mendapatkan 90 buah tablet besi yang dibagikan oleh bidan desa. Pembagian tablet besi selama hamil merupakan program pemerintah dalam penanggulangan anemia pada ibu hamil. Keterbatasan penelitian ini ialah tidak dapat mengumpulkan data compliance konsumsi tablet besi. Pada Tabel 23 dapat diperoleh gambaran contoh yang mengalami anemia. Proporsi anemia pada awal penelitian pada kelompok dosis tinggi sebesar 40 %; kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 35 % dan 32%. Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa proporsi anemia meningkat pada akhir penelitian. Hal ini terlihat dari proporsinya pada kelompok dosis tinggi sebesar 56%; kelompok dosis rendah 41% dan kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi 39%. Peningkatannya pada kelompok dosis tinggi sebesar 16%, kelompok dosis rendah menjadi 6% dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 7% bila dibandingkan dengan proporsi pada awal penelitian. 106 Tabel 23 Rerata Kadar Hemoglobin dan Proporsi Anemia Contoh pada Tiga Kelompok menurut Waktu Pengukuran Pengukuran Rerata Hb (g%) Awal Akhir Proporsi anemia Awal Akhir Kelompok DT (n=45) 11.4 ± 1.2 11.9 ± 1.4 40 56 Kelompok DR (n=34) Kelompok DRB (n=35) P 11.2 ± 0.0 11.8 ± 1.4 11.5 ± 1.1 11.9 ± 1.7 0.486 0.943 35 41 32 39 0.806 0.345 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Anemia *ibu hamil : Hb<11 g%. **ibu nifas : Hb<12 g% G. Hasil Persalinan pada Tiga Kelompok (TSH Neonatal, BBLR, Status Gizi dan Perkembangan Bayi ) 1. Karakteristik Bayi Pada Tiga Kelompok Karakteristik bayi menurut kelompok perlakuan diamati dan hasilnya dipaparkan pada Tabel 24 di bawah ini. Pada tiap kelompok proporsi bayi berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Bayi sebagian besar dilahirkan secara normal, walaupun ada kasus dengan tindakan (operasi atau vacum) namun proporsinya sangat kecil. Hampir semua ibu memberikan kolostrum kepada bayi dan tidak membuangnya. Kecil sekali proporsi ibu yang membuang kolostrum. Bidan desa tercatat sebagai penolong persalinan yang paling dicari di desa hal ini terlihat dari >50% kelahiran bayi ditolong oleh bidan desa. Ditempat kedua, penolong persalinan adalah dukun beranak dan dokter terakhir dipilih oleh ibu apabila kehamilannya berisiko tinggi. Rumah contoh yang jauh dari polindes, maka dipastikan bahwa penolong persalinan adalah dukun beranak. Kemudian keesokan harinya dilaporkan ke bidan desa. Bidan desa segera mengunjungi contoh yang telah bersalin untuk mengecek kondisi kesehatannya. Dari semua contoh, ditemukan 5 orang contoh persalinannya dilakukan di rumah sakit. Hal ini disebabkan beberapa faktor 107 seperti contoh mengalami perdarahan dan umur kandungan contoh yang mencapai usia kehamilan lebih dari 40 minggu. Tabel 24 Sebaran Contoh pada Tiga Kelompok berdasarkan Karakteristik Bayi Lahir dan Cara Persalinan Variabel Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Kolostrum Diberi kepada bayi Dibuang Cara persalinan Normal Operasi, vacuum Penolong persalinan Dukun Bidan Dokter Kelompok DT (n=45) n % Kelompok DR (n=34) n % Kelompok DRB (n=35) n % 23 22 51 49 20 14 58 42 21 14 61 39 42 3 93 7 34 0 100 0 35 0 100 0 43 2 96 4 33 1 97 3 31 4 89 11 15 26 4 33 58 9 14 19 1 41 56 3 10 19 6 34 53 13 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten 2. Berat Bayi Lahir (BBLR) pada Tiga Kelompok Berat bayi lahir tiga kelompok dapat dilihat pada Gambar 23 di bawah ini. Proporsi bayi berat lahir rendah (< 2500 gram) terbanyak pada kelompok dosis tinggi sebesar 13%, pada kelompok dosis rendah sekitar 9% dan pada kelompok dosis rendah+beta karoten tidak ditemukan berat bayi lahir rendah. Bila dihitung rerata berat badan bayi lahir pada kelompok dosis tinggi ditemukan sebesar 3.07 + 0.8 kg; kelompok dosis rendah sebesar 3.17 + 0.6 kg dan pada kelompok dosis rendah+beta karoten yaitu 3.10 + 0.9 kg. Uji ANOVA membuktikan tidak ada perbedaan rerata berat badan bayi lahir antara tiga kelompok perlakuan (p>0.05). 108 14 13 Proporsi bayi BBLR (%) 12 10 9 8 6 4 2 0 0 DT DR DRB Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 23 Proporsi Bayi BBLR pada Tiga Kelompok Proporsi bayi BBLR menurut kelompok perlakuan ditampilkan kembali berdasarkan kadar serum TSH contoh pada awal penelitian (Gambar 24). Hal ini dilakukan untuk melihat outcome persalinan ditinjau dari kadar serum TSH awal. Proporsi BBLR terbanyak dengan menggunakan cut-off serum TSH awal ≥2 μU/ml dan ≥3.9 μU/ml dan tidak ditemukan kasus bayi BBLR dengan menggunakan cut-off serum TSH awal ≥5 μU/ml. Dengan cut-off TSH ≥2.0 μU/ml, proporsi bayi BBLR ditemukan sebesar 11% pada kelompok dosis tinggi dan 9% pada kelompok dosis rendah. Bila cut-off dinaikkan menjadi 3.9 μU/ml, proporsi BBLR menjadi kecil yaitu masing-masing 2% pada kelompok dosis tinggi dan dosis rendah. Tidak ditemukan kasus bayi BBLR pada kelompok dosis rendah+beta karoten dengan menggunakan ketiga cut-off tersebut. Proporsi bayi BBLR (%) 109 12 11 10 9 8 6 4 2 2 0 2 0 0 DT DR DRB THS≥2 μU/ml DT DR DRB THS≥3,9 μU/ml 0 0 DT DR 0 DRB THS≥5,0 μU/ml Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Cut-off serum TSH: ≥2 μU/ml (Orgiazzi & Madec 1996); ≥3.9 μU/ml (Budiman et al. 1998); ≥5 μU/ml (Hartono 2001) Gambar 24 Proporsi Bayi BBLR pada Tiga Kelompok menurut Cut-Off Serum TSH Contoh pada Awal Penelitian 3. Serum TSH Bayi Neonatal pada Tiga Kelompok Hasil pemeriksaan TSH neonatal dari contoh yang telah melahirkan disajikan pada Tabel 25. Rerata TSH neonatal pada kelompok dosis tinggi yaitu 5.79 μU/ml sedangkan kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebesar 5.52 μU/ml dan 5.12 μU/ml. Dengan uji statistik ANOVA dapat diketahui ada perbedaan bermakna antar tiga kelompok (p<0.05). Lebih lanjut uji Multiple Comparison LSD membuktikan bahwa rerata serum TSH kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis rendah+beta karoten berbeda secara nyata (p<0.05). Tabel 25 Rerata TSH Neonatal pada Tiga Kelompok Variabel Kelompok Kelompok Kelompok Kadar biokimia DT DR DRB (n=45) (n=34) (n=35) TSH neonatal μU/ml 5.79± 1.27 a 5.52± 0.79 ab 5.12± 1.22 b P 0.04* Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten *=Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang tidak sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) dengan uji Multiple Comparison LSD 110 Pemeriksaan TSH bayi merupakan uji saring (skrining) hipotiroid pada bayi dilakukan pada usia neonatal. Bila kadar TSH neonatal >20 μU/ml maka bayi dicurigai hipotiroid. Kadar TSH neonatal tertinggi ditemukan pada penelitian ini hanya sampai 9 μU/ml. Proporsi TSH neonatal ≥5-9 μU/ml tertinggi terdapat pada kelompok dosis tinggi (82%), terendah pada kelompok dosis rendah+beta Proporsi bayi (%) karoten (59%) dan kelompok dosis rendah sebesar 65% (Gambar 25). 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 82 65 59 DT DR DRB DT DR DRB Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 25 Proporsi Bayi pada Tiga Kelompok menurut Kadar TSH Neonatal 5-9 μU/ml Selain dengan TSH neonatal, skrining hipotiroid pada bayi dilakukan juga dengan pemeriksaan klinis bayi dengan menggunakan skoring hipotiroid. Skoring tersebut terdiri dari pengamatan dan pemeriksaan 20 tanda klinis pada bayi dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil pemeriksaan yang dilakukan dapat diketahui bahwa sebanyak 9% bayi mempunyai skor index hipotiroid <4. Bayi yang mempunyai skor ini telah dirujuk untuk mendapatkan pengobatan. Tidak ditemukan bayi usia 3-4 bulan dengan total skor ≥5, artinya tidak ada bayi yang dicurigai hipotiroid (Tabel 26). 111 Tabel 26 Sebaran Bayi pada Tiga Kelompok menurut Skor Indeks Hipotiroid Skor Indeks Hipotiroid Skor 0 Skor 2- <4 Kelompok DT (n=45) n % Kelompok DR (n=34) n % Kelompok DRB (n=35) n % 41 4 31 3 32 3 91 9 91 9 91 9 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten 4. Status Gizi Bayi pada Tiga Kelompok Sejak lahir bayi dari tiga kelompok tersebut terus dipantau status gizi sampai bayi berusia 3-4 bulan (Tabel 27). Pemantauan status gizi bayi menggunakan indikator BB/TB. Pemantauan tersebut menilai status gizi bayi dalam tiga kategori yakni status gizi baik, gizi kurang maupun gizi buruk dengan standar WHO. Pengukuran status gizi pada usia neonatal ditemukan 2 orang bayi (4%) meninggal pada usia 7 hari dan 10 hari pada kelompok dosis tinggi sehingga jumlah bayi yang diamati menjadi 43 orang. Pengukuran status gizi menemukan hasil bahwa masing-masing 3 % bayi kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis rendah menderita status gizi buruk. Namun pada kelompok dosis rendah+beta karoten tidak ditemukan satupun bayi dengan status gizi buruk. Gizi kurang hanya ditemukan pada kelompok dosis rendah (6%). Menginjak usia 3-4 bulan, status gizi berubah dibandingkan dengan keadaan usia neonatal. Pada kelompok dosis tinggi proporsi gizi buruk meningkat menjadi 4%. Sebaliknya pada kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten tidak ditemukan kasus gizi buruk. Namun status gizi kurang muncul pada kelompok dosis tinggi (4%), kelompok dosis rendah+beta karoten (3%) dan kelompok dosis rendah proporsinya tetap 6%. Proporsi gizi baik menurun pada kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis rendah+beta karoten menjadi 92% dan 97% namun pada kelompok dosis rendah menjadi (97%). 112 Tabel 27 Sebaran Status Gizi Bayi Neonatal sampai Usia 3-4 Bulan pada Tiga Kelompok Status Gizo Kelompok Kelompok Kelompok DT DR DRB (n=45) (n=34) (n=35) n % n % n % Bayi neonatal Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk Bayi 3-4 bulan Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk 42 0 1 93 0 3 31 2 1 91 6 3 35 0 0 100 0 0 39 2 2 88 4 4 32 2 0 94 6 0 34 1 0 97 3 0 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gizi Baik : BB/TB dengan Z-skor ≥ - 2.0 Gizi Kurang: BB/TB dengan - 2.0<Z-skor ≥ - 3.0 Gizi Buruk : BB/TB dengan Z-skor<- 3 Gambaran rerata status gizi bayi neonatal dan bayi 3-4 bulan dapat dilihat pada Tabel 28. Rerata status gizi bayi neonatal tiga kelompok masih termasuk gizi baik. Rerata Z-skor kelompok dosis tinggi, kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten sebagai berikut: -0.10 Z skor; 0.10 Z skor dan -0.50 Z skor. Tabel 28 Rerata Z-Skor Bayi Neonatal dan Bayi Usia 3-4 Bulan pada Tiga Kelompok Status gizi Kelompok Kelompok Kelompok F P DT DR DRB (n=45) (n=34) (n=35) Bayi neonatal -0.10 + 0.99 0.10 + 1.06 -0.50 + 0.81 0.821 0.443 Bayi 3-4 bln -0.10 + 1.50 0.31 + 1.27 0.00 + 0.94 0.241 0.090 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Status gizi menurut indeks BB/TB Demikian juga dengan status gizi bayi berusia 3-4 bulan pada tiga kelompok sama yaitu masih dalam kategori gizi baik. Rerata Z-skor kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten yaitu -0.10; 0.31 dan 113 0.00. Dengan uji ANOVA tidak ditemukan adanya perbedaan rerata status gizi tiga kelompok pada bayi neonatal maupun bayi usia 3-4 bulan (p>0.05) Peningkatan status gizi menurut indeks BB/TB yang dinyatakan dari nilai Zskor bayi 3-4 bulan dan bayi neonatal ditampilkan pada Gambar 26. Nilai Z-skor artinya nilai simpangan baku dari median standar. Pada usia neonatal, status gizi kelompok dosis tinggi dengan nilai rerata - 0.10 Z-skor, kelompok dosis rendah dengan nilai 0.10 Z skor dan kelompok dosis rendah+beta karoten dengan nilai 0.50 Z-skor. Setelah 3 bulan status gizi bayi tiga kelompok diukur kembali. Hasil pengukuran status gizi menunjukkan bahwa status gizi bayi usia 3-4 bulan dari contoh kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten meningkat sebesar 0.3 Z-skor dan 0.5 Z-skor. Status gizi bayi contoh kelompok dosis tinggi pada bayi usia 3-4 bulan tidak mengalami peningkatan. 1 0,5 Z skor DT DR DRB 0 -0,5 -1 3-4 bl 0 bl Umur (bl) Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 26 Peningkatan Nilai Z-Skor BB/TB Bayi Neonatal sampai Usia 3-4 Bulan pada Tiga Kelompok 5. Perkembangan Bayi Usia 3-4 Bulan Perkembangan bayi dipantau pada usia 3-4 bulan. Tujuan pemantauan untuk mengetahui apakah terjadi gangguan perkembangan bayi (keterlambatan) pada gerak motorik, gangguan daya lihat dan daya dengar. Pemantauan perkembangan anak dilakukan dengan melihat pola perkembangan khusus untuk perkembangan motorik kasar anak. 114 Pola perkembangan bayi 8-12 minggu yang menjadi fokus pengamatan di lapangan memakai pedoman dari Departemen Kesehatan dan Tumbuh Kembang Pediatri Sosial (Depkes 2002). Setelah pengamatan perkembangan motorik kasar ditemukan adanya keterlambatan perkembangan motorik bayi 3-4 bulan pada kelompok dosis tinggi sebesar 15%, hal ini ditunjukkan sebanyak 8% bayi yang hanya dapat mencapai 4 gerakan dan 7% mencapai 3 gerakan. Pada kelompok dosis rendah keterlambatan perkembangan ditemukan sebesar 12% dengan rincian 8% mencapai 4 gerakan dan 4% mencapai 3 gerakan, sedangkan kelompok dosis rendah+beta karoten ditemukan 8% bayi yang mengalami hambatan lebih detail sekitar masing-masing Proporsi perkembangan motorik (%) 4% yang mencapai 4 gerakan dan 3 gerakan (Gambar 27). 100 90 92 88 85 5 gerakan 80 70 4 gerakan 60 50 40 3 gerakan 30 20 10 8 7 8 4 4 4 0 DT DR DRB Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Gambar 27 Proporsi Perkembangan Motorik Bayi Usia 3-4 Bulan pada Tiga Kelompok Kepemilikan alat permainan dirumah untuk bayi pada tiga kelompok diobservasi selama penelitian. Dari wawancara ditemukan lebih dari 50% orang tua mempunyai alat bermain untuk anak di rumah. Alat permainan yang ditemukan permainan krinjingan, boneka dll yang sesuai untuk bayi. Orang tua yang tidak mempunyai alat permainan untuk anak dirumah mengungkapkan 115 bahwa keterbatasan dana yang menyebabkan orang tua tidak dapat menyediakan alat bermain untuk bayinya dirumah (Tabel 29). Tabel 29 Sebaran Bayi pada Tiga Kelompok menurut Kepemilikan Alat Permainan Kelompok DT (n=45) n % Kelompok DR (n=34) n % Kelompok DRB (n=35) n % Punya 30 67 24 71 19 54 Tidak punya 15 33 10 29 16 46 Kepemilikan alat Permainan Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Perkembangan bayi akan baik tergantung pengasuhan yang diberikan. Sebagian besar bayi diasuh ibunya. Fakta dilapangan ditemukan 60-70% pengasuhan bayi ditangan ibu. Sisanya diasuh oleh ayah, kakak, nenek dll. Tabel 30 Sebaran Bayi Pada Tiga Kelompok menurut Pengasuh Bayi Usia 3-4 Bulan Pengasuh Bayi usia 3- 4 bulan Kelompok DT (n=45) n % Kelompok DR (n=34) n % Kelompok DRB (n=35) N % Ibu Ayah Kakak Nenek Lainnya 32 0 2 8 5 24 3 0 4 3 21 0 0 5 9 68 0 4 17 11 71 8 0 12 9 60 0 0 14 26 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Pengasuhan di kelompok dosis rendah dilakukan oleh ibu (71%) (Tabel 30), diikuti oleh kelompok dosis tinggi sebesar 68% dan kelompok dosis rendah+beta karoten yang terendah sebanyak 60%. 6. Pemberian ASI, Makanan Padat dan Kunjungan ke Posyandu 116 Wawancara dengan ibu nifas diketahui bahwa setelah lahir bayi tidak segera disusui. Makanan pralaktasi lebih dini dikenalkan kepada bayi 2 jam setelah lahir. Makanan pralaktasi yang diberikan berupa madu, air putih, air kopi tanpa gula. Sebagian besar ASI masih diberikan kepada bayi. Proporsi pemberian ASI pada kelompok dosis tinggi dan kelompok dosis rendah sebesar 97%. Sedangkan pada kelompok dosis rendah+beta karoten sekitar 98% ibu masih mempraktekkan pemberian ASI kepada bayinya. Alasan ibu kelompok dosis tinggi yang tidak menyusui bayinya yaitu karena ibu dan anak sakit atau ASI keluarnya sedikit. Inisiasi ASI sangat bervariasi antara tiga kelompok. Inisiasi ASI 0-1 jam setelah lahir ditemukan pada 23 % ibu nifas kelompok dosis tinggi, 25% ibu nifas kelompok dosis rendah dan 20% ibu kelompok dosis rendah+beta karoten. Inisiasi 2-12 jam setelah lahir lebih banyak ditemukan pada tiga kelompok dengan rincian proporsinya sekitar 40% pada masing-masing kelompok. Upaya ibu memperlancar produksi ASI yaitu mengkonsumsi berbagai sayuran atau minum jamu. Proporsi ibu mengkonsumsi sayuran (seperti daun singkong dan pepaya) kelompok dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten sebesar 75%; 83% dan 94%. Sisanya ibu minum jamu atau susu. Sampai dengan usia 3-4 bulan terungkap bahwa gambaran sebagian besar bayi telah diperkenalkan makanan padat sejak usia dini. Kurang lebih sepertiga bayi dari masing-masing kelompok hanya diberi ASI. Kurang dari 10% bayi dari tiga kelompok telah diperkenalkan makanan padat sejak usia 1 hari. Masingmasing lebih dari 10% dikenalkan makanan padat sejak bayi berusia 2-7 hari; 730 hari dan usia 3- 4 bulan (Tabel 31). Dari hasil diwawancarai dengan ibu pada saat bayinya 3-4 bulan, diperoleh informasi berbagai jenis makanan padat telah dikonsumi bayi. Golongan buah yang diberikan pisang dan jeruk. Makanan lumat seperti bubur nasi atau bubur susu juga sudah diperkenalkan lebih dini. Sebagian ibu terlihat telah memberikan susu formula kepada bayi. Kombinasi beberapa macam makanan padat seperti buah pisang+bubur susu atau buah pisang+bubur susu+susu formula dapat dijumpai diberikan ibu kepada bayinya. Hampir semua ibu (> 94%) membawa bayinya ke posyandu. Ibu membawa bayi ke posyandu untuk menimbang berat badan dan mengimunisasi bayinya. 117 Tabel 31 Sebaran Bayi pada Tiga Kelompok menurut Makanan Padat yang Dikenalkan Pertama Kali Umur pertama dikenalkan makanan Padat Kelompok DT (n=45) N % Kelompok DR (n=34) n % Kelompok DRB (n=35) n % Belum diberi makanan Sudah diberi makanan 1 hr 2-7 hr 7-30 hr 2 bln 3-4 bln 15 33 12 35 13 37 3 5 6 4 12 6 11 13 9 27 2 4 4 3 9 5 12 12 9 26 3 4 5 5 5 9 12 14 14 14 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten H. Analisis Regresi Logistik Dari hasil analisis bivariat antara TSH bayi neonatal dengan asupan iodium, asupan sianida, pengetahuan GAKI, KEK dan asupan vitamin A didapat hasil seperti yang tercantum pada Tabel 32 di bawah ini. Tabel 32 Hasil Seleksi Variabel Kandidat Model Variabel Suplemen (DT; DR dan DRB) Total asupan iodium Asupan sianida Pengetahuan GAKI KEK Asupan vitamin A Log-likelihood -66.169 135.600 137.994 137.892 138.221 137.171 G 5.890 2.624 0.231 0.332 0.003 1.053 Nilai p 0.030* 0.453 0.631 0.564 0.953 0.305 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Pada Tabel tersebut diatas terlihat bahwa ada satu variabel independen yang mempunyai p value<0.25 yaitu variabel suplemen (iodium dosis tinggi=DT, iodium dosis rendah=DR, iodium dosis rendah+beta karoten=DRB). Sedangkan variabel independen lain seperti variabel total asupan iodium, asupan sianida pengetahuan GAKI, KEK dan asupan vitamin A mempunyai p value diatas 0.25. 118 Analisis bivariat antara EIU pada akhir penelitian dengan total asupan iodium, asupan sianida, pengetahuan GAKI, KEK dan asupan vitamin A tidak menemukan ada variabel dengan nilai p<0.25 (Lampiran 21). Demikian juga hasil analisis bivariat antara variabel dependen TSH nifas dan beberapa variabel independen diatas tidak menemukan ada variabel dengan nilai p<0.25 (Lampiran 21). Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa contoh yang diberi minyak iodium dosis rendah+beta karoten terlihat risiko untuk mendapatkan bayi dengan TSH tidak normal lebih rendah yang bermakna dibandingkan contoh yang diberi minyak iodium dosis tinggi (p<0.05; OR=0.31; 95%CL OR 0.11-0.86). Sementara pada contoh yang diberi minyak iodium dosis rendah terlihat risiko untuk mendapatkan bayi dengan TSH tidak normal juga lebih rendah namun tidak bermakna dibandingkan contoh yang diberi dosis tinggi (p>0.05)(Tabel 33). Tabel 33 Faktor Risiko TSH Neonatal yang Tinggi Variabel independen Suplemen DT DR DRB B Total asupan iodium Asupan sianida Pengetahuan GAKI KEK Asupan vitamin A 0.028 0.214 0.243 0.025 0.427 p OR 95% CL 0.08 0.03* 1 0.40 0.31 Rujukan 0.14-1.12 0.11-0.86 0.884 0.629 0.563 0.953 0.304 1.029 1.239 1.275 1.025 1.533 0.703-1.505 0.519-2.960 0.559-2.906 0.453-2.318 0.679-3.459 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten 119 VI. PEMBAHASAN A. Pengaruh Variabel Perancu 1. Sosial-Ekonomi, Budaya, Asupan Zat Gizi, Kurang Energi Kronis dan Kepatuhan Mengkonsumsi Suplemen Pada awal penelitian kecukupan energi, protein, besi dan seng ditemukan mencapai ≤ 60% dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan (Gambar 14). Kondisi tersebut dipicu oleh ibu hamil yang menderita morning sicknes, akibat meningkatnya sekresi hormon estrogen dari plasenta, yang ditandai oleh mual dan muntah (nausea) serta nafsu makan menurun (Guyton 1982). Pada akhir penelitian (masa nifas) kecukupan energi, protein, besi dan seng masih dibawah Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (Gambar 15). Belum terpenuhinya asupan zat gizi dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat untuk menghindari mengkonsumsi makanan tertentu (food avoidance) selama masa nifas (Tabel 16). Makanan yang dihindari merupakan makanan sumber energi, protein dan vitamin mineral. Makanan tersebut dipercaya bila dikonsumsi akan berpengaruh kepada bayi yang akan disusui dan hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Pool (1986) yang mempelajari food avoidance pada masyarakat India. Kurangnya konsumsi makanan seperti itu menyebabkan kebutuhan tubuh akan zat gizi sulit dipenuhi. Rendahnya tingkat kecukupan energi, protein dan mineral pada contoh pada awal dan akhir penelitian diduga dipengaruhi pula oleh faktor kemiskinan. Indikator kemiskinan seperti pengeluaran sebagai proxi pendapatan, kepemilikan barang berharga (aset), keadaan perumahan, dan indikator lain tidak diteliti dalam penelitian ini kecuali pendidikan contoh dan suami yang terbanyak berpendidikan sekolah dasar. Fokus penelitian ini adalah mempelajari efek pemberian ketiga suplemen terhadap perubahan parameter biokimia darah dan urin pada ibu dan perubahan paramter biokimia darah dan status gizi bayi yang dilahirkan. Tingkat kecukupan vitamin A pada contoh tiga kelompok pada awal sebesar 83-87% sedangkan pada akhir penelitian diatas 90% (Gambar 14 dan 15). Kecukupan vitamin A hampir mencapai angka kecukupan gizi yang dianjurkan 120 disebabkan karena tingginya konsumsi sayuran berdaun hijau. Sayuran merupakan sumber vitamin A yang murah dan mudah di dapat di desa. Pada akhir penelitian (nifas) konsumsi sayuran meningkat karena ibu nifas percaya (food belief) sayuran dapat meningkatkan produksi ASI. Peningkatan konsumsi sayuran antara lain daun singkong dapat meningkatkan asupan sianida pada semua kelompok penelitian, tetapi rerata asupan sianida tersebut belum melebihi ambang batas normal asupan sianida maksimum 10 mg (Gambar 19). Pemberian suplemen iodium yang diterima ibu hamil cukup untuk mencegah effek negatif dari zat goitrogenik seperti sianida (Gaitan 1986). Lebih dari 80% contoh pada tiga kelompok baik pada awal dan akhir penelitian mengetahui manfaat garam beriodium. Dibandingkan dengan data BPS maka proporsi contoh yang mengetahui manfaat garam beriodium lebih tinggi (BPS 2000). Hal ini mungkin disebabkan karena daerah penelitian ini telah terpapar penelitian tentang GAKI yang dilakukan dari Balai GAKI, Magelang, Universitas Diponegoro, Universitas Gajah Mada maupun dari instansi pemerintah lainnya. Walaupun mengetahui manfaat garam beriodium dalam praktek kehidupan sehari-hari ditemukan sebanyak 60-70% ibu hamil dari tiga kelompok pada awal dan 62%-67% ibu dari tiga kelompok pada akhir penelitian mengkonsumsi garam yang memenuhi syarat (30-80 ppm) (Gambar 18). Dengan demikian target Universal Salt Iodization (USI) belum tercapai. Disamping itu ditemukan sebanyak 2% contoh pada kelompok dosis tinggi masih mengkonsumsi garam curah (krosok) yang tak mengandung iodium. Pengetahuan GAKI contoh tiga kelompok masih kurang (Tabel 18). Oleh karena itu perlu upaya untuk melakukan penyuluhan tentang GAKI dan manfaat garam beriodium berkesinambungan dengan cara melalui posyandu Faktor sosial-ekonomi yang dikaji dari pendidikan dan pekerjaan contoh dan suami tidak berbeda secara signifikan antara tiga kelompok (p>0.05) (Tabel 11). Faktor budaya juga tidak berpengaruh dalam penelitian ini karena hampir seluruh contoh merupakan penduduk asli setempat yang tinggal di dataran tinggi. Rerata asupan zat gizi makro (energi, protein) dan mikro (vitamin A, besi dan seng) dari makanan sehari-hari pada awal (trimester 1) dan akhir penelitian (nifas) 121 ditemukan juga tidak signifikan antara tiga kelompok (p>0.05)(Tabel 14 dan15). Berdasarkan uji proporsi kurang energi kronis (KEK) contoh pada tiga kelompok pada awal dan akhir penelitian tidak berbeda bermakna (p>0.05)(Tabel 13). Kepatuhan mengkonsumsi suplemen minyak iodium dan beta karoten contoh selama penelitian mencapai 100%. Asupan iodium dari bahan makanan, garam dan total pada awal dan akhir penelitian pada tiga kelompok tidak signifikan (p>0.05)(Gambar 16). Uji proporsi pengetahuan GAKI contoh baik pada awal atau akhir penelitian ditemukan tidak bermakna (p>0.05)(Tabel 18). Berdasarkan pengujian tersebut variabel-variabel perancu sosial-ekonomi, budaya, asupan zat gizi makro (energi, protein) dan asupan zat gizi mikro (vitamin A, zat besi, seng) dalam makanan sehari, asupan iodium dari bahan makanan dan garam, asupan sianida dari bahan makanan, dan kepatuhan mengkonsumsi suplemen minyak iodium dan beta karoten, kurang energi kronis, pengetahuan GAKI tidak berpengaruh nyata dalam penelitian ini antara tiga kelompok suplemen. Dengan demikian variabel perancu ini dapat diabaikan pengaruhnya sehingga tidak mengganggu efektiftas suplemen dalam meningkatkan sekresi hormon tiroid ibu hamil. 2. Hasil Analisis Bivariat Beberapa Variabel Dengan uji proporsi dan uji beda telah dibuktikan bahwa faktor sosialekonomi, budaya, asupan zat gizi termasuk iodium, asupan sianida dan pengetahuan GAKI tidak berbeda nyata (p>0.05). Dengan uji bivariat untuk melihat faktor risiko ternyata hanya variabel suplemen yang mempunyai p value < 0.25 (Tabel 32). Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa contoh diberi minyak iodium dosis rendah+beta karoten terlihat risiko untuk mendapatkan bayi dengan TSH neonatal (blood spot) tidak normal lebih rendah yang bermakna dibandingkan contoh yang diberi dosis tinggi (p<0.05; OR=0.31; 95%Cl OR 0.11-0.86). Sementara pada contoh yang diberi minyak iodium dosis rendah terlihat risiko untuk mendapatkan bayi dengan TSH tidak normal juga rendah namun tidak bermakna dibandingkan contoh yang diberi dosis tinggi (p>0.05)(Tabel 33). 122 B. Perubahan Status Biokimia Darah dan Urin Ibu Hamil Sampai Nifas 1. Serum TSH Dengan uji statistik ternyata rerata serum TSH pada akhir penelitian (nifas) yang berbeda secara signifikan antar tiga kelompok perlakuan (p<0.05)(Tabel 20). Lebih lanjut dengan uji Multiple Comparison LSD ditemukan kelompok yang berbeda bermakna adalah kelompok dosis tinggi terhadap dosis rendah dan kelompok dosis tinggi terhadap dosis rendah+beta karoten (p>0.05)(Tabel 21). Artinya pemberian minyak iodium dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten mempunyai perbedaan yang bermakna dalam menurunkan hormon TSH dibandingkan dengan dosis tinggi pada akhir penelitian. Namun penurunan serum TSH sampai masa nifas terbesar pada kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten sebesar 52% dan penurunan kadar serum TSH nifas ini ternyata 3% lebih tinggi dari pada kelompok dosis rendah dan 14% lebih tinggi dari pada kelompok dosis tinggi. Berdasarkan cut-off serum TSH ≥ 5.0 μU/ml (Hartono 2001), proporsi contoh kelompok dosis tinggi yang berisiko sebesar 9% dan tidak ditemukan contoh kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten yang berisiko (Tabel 22). 2. EIU Suplemen yang diberikan meningkatkan asupan iodium selama hamil seperti yang ditunjukkan pada Gambar 22 sehingga dapat memproteksi ibu akan kekurangan iodium selama hamil. Pada kelompok suplemen iodium dosis tinggi setelah sebulan intervensi dengan nilai EIU sebesar 506 μg/L, terlihat sebagian besar iodium (99.75%) dibuang melalui urin. Kemudian 5-6 bulan intervensi (trimester 3) turun menjadi 234 μg/L, akhirnya pada nifas nilai EIU turun mencapai 88 μg/L mendekati nilai EIU awal penelitian. Pola nilai EIU kelompok dosis tinggi yakni sejak 1 bulan intervensi terus menurun sampai akhirnya nilai EIU pada masa nifas kembali seperti semula pada awal penelitian. Effect ini disebut Burst Effect yaitu pembuangan iodium melalui urin dalam jumlah besar, selanjutnya pembuangan iodium dalam urin dalam jumlah kecil sampai kembali mencapai titik awal. 123 Permaesih et al. (1996) menemukan ibu nifas yang diberi kapsul minyak iodium 200 mg (yodiol) pola pembuangan urin serupa dengan pola diatas, sebulan intervensi iodium yang dibuang melalui urin sebesar 99.79% kemudian nilai EIU turun terus sampai mencapai nilai awal setelah 6 bulan intervensi. Sedangkan pola EIU dari kelompok minyak iodium dosis rendah dan kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten mempunyai efek kumulatif yaitu pemberian minyak iodium dosis yang rendah setiap bulan akan meningkatkan nilai EIU dan nilai EIU akan turun apabila pemberian minyak iodium dihentikan. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian ini yakni pemberian minyak iodium dosis rendah dan minyak iodium dosis rendah+beta karoten meningkatkan nilai EIU 1 bulan sebesar 203 μg/L dan 223 μg/L (p<0.05). Pada 5-6 bulan intervensi (trimester 3) kadar EIU menjadi sebesar 210 μg/L dan 276 μg/L (p>0.05). Setelah enam bulan intervensi pemberian minyak iodium dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten dihentikan, maka nilai EIU turun menjadi 126 μg/L dan 119 μg/L pada masa nifas (p>0.05). Setelah 6 bulan intervensi, pada masa nifas kadar EIU kelompok minyak iodium dosis rendah dan minyak iodium dosis rendah+beta karoten meningkat sebesar 27% dan 21% dibandingkan nilai EIU pada awal penelitian. Pola yang serupa ditemukan juga oleh Glinoer et al. (1995) yang melakukan penelitian pada ibu hamil yang diberikan suplemen iodium dan hormon tiroksin setiap hari sampai melahirkan. Ekskresi Iodium Urin merupakan salah satu indikator yang disarankan oleh WHO untuk mempelajari dampak GAKI karena EIU sangat sensitif untuk perubahan asupan iodium terkini (WHO 2001). Selain itu EIU merupakan indikator biokimia yang non invasive dan lebih murah dibandingkan indikator biokimia darah. Pada penelitian ini indikator EIU belum dapat secara siknifikan mendeteksi perubahan asupan iodium yang terjadi pada 5-6 bulan intervensi (trimester 3) dan pada akhir penelitian (masa nifas) pada ketiga suplemen (Gambar 22). 3. TSH Neonatal Proporsi TSH neonatal dengan kadar 5-9 uU/ml ditemukan tertinggi pada kelompok minyak iodium dosis tinggi (82%) sedangkan pada dosis rendah dan 124 dosis rendah+beta karoten sebesar 65% dan 59%. Tidak ditemukan kasus bayi neonatal yang dicurigai mengalami kongenital hipotiroid dengan TSH neonatal > 20 μU/ml (Gambar 25). Hasil ini serupa dengan temuan dari penelitian Chaouki & Benmiloud (1994) yang telah memberikan kapsul lipiodol 240 mg pada ibu hamil di Aljazair. Serum TSH bayi neonatal merupakan indikator yang disarankan oleh WHO (2001) untuk mendeteksi baik hipotiroid maupun hipertiroid. Dengan uji ANOVA ditemukan perbedaan TSH neonatal bayi antar kelompok (p<0.05). Dengan uji Multiple Comparison LSD ditemukan rerata TSH neonatal yang berbeda bermakna adalah kelompok minyak iodium dosis tinggi dan kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten (p<0.05)(Tabel 25). 4. Serum Retinol Kadar serum vitamin A meningkat pada ibu nifas (Tabel 19 dan 20). Peningkatan tersebut diduga disebabkan pada ibu nifas lebih banyak mengkonsumsi sayuran untuk memperbanyak produksi ASI. Desa penelitian merupakan daerah penghasil sayuran yang akan dikirim ke kota besar. Kandungan beta karoten dan retinol dalam darah ibu menyusui yang tinggal di daerah penghasil sayuran sudah dibuktikan lebih tinggi dari pada ibu menyusui yang tinggal didaerah bukan penghasil sayuran (Pambudi et al. 2001). Peningkatan pada kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten lebih besar dari kelompok lainnya, hal ini di duga disebabkan karena ibu selama hamil mendapatkan suplementasi beta karoten. Namun dengan uji statistik tidak ditemukan ada perbedaan rerata serum retinol antara tiga kelompok (p>0.05). 5. Free T4 dan Hemoglobin Rerata serum FT4 pada awal dan akhir penelitian diatas 1.0 ng/dl hal ini menunjukkan bahwa rerata serum FT4 masih dalam batas ambang normal. Tidak ada perbedaan rerata serum FT4 pada awal dan akhir penelitian (p<0.05)(Tabel 19 dan 20). Tidak ditemukan ada kasus yang hipertiroid secara biokimia. Rerata kadar hemoglobin pada awal dan akhir contoh pada tiga kelompok relatif sama. Penelitian ini tidak melarang contoh mendapatkan tablet besi dari bidan, karena tablet besi dibagikan merupakan Program Pemerintah dalam 125 Penanggulangan anemia karena kekurangan zat gizi besi. Walaupun tidak dikumpulkan kadar hemoglobin pada akhir kehamilan, diperkirakan proporsi anemia contoh kelompok yang diberi iodium dosis rendah+beta karoten akan lebih rendah dari pada 2 kelompok lainnya. Hal ini didukung dari hasil penelitian Zimmermann et al. (2005) dan Saidin et al. (2002) bahwa pemberian iodium bersama vitamin A dan tablet besi lebih dapat meningkatkan kadar hemoglobin dibandingkan pemberian iodium tunggal. Peningkatan proporsi anemia pada akhir penelitian (nifas) terjadi pada tiga kelompok diduga disebabkan zat besi banyak hilang melalui persalinan dan pada masa nifas ibu tidak mengkonsumsi tablet besi. Bagaimanapun juga peningkatan proporsi anemia tetap tertinggi pada kelompok dosis tinggi (16%), terendah kelompok dosis rendah dan dosis rendah+beta karoten sebesar 6% dan 7%. C. Tumbuh Kembang Bayi 1. Status Gizi Bayi Proporsi bayi BBLR pada dosis tinggi sebesar 13%, dosis rendah sekitar 9% dan pada dosis rendah+beta karoten tidak ditemukan bayi BBLR (Gambar 23). Pengukuran status gizi bayi neonatal, ditemukan masing-masing 3% pada kelompok dosis tinggi dan dosis rendah menderita gizi buruk sedangkan kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten tidak ditemukan kasus buruk. Pengukuran kembali status gizi bayi pada usia 3-4 bulan ditemukan kasus gizi buruk sebesar 4% pada dosis tinggi. Kasus gizi kurang ditemukan sebesar 4%; 6% dan 3% pada kelompok dosis tinggi; kelompok dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten. Peningkatan status gizi hanya terjadi pada kelompok minyak iodium dosis rendah dan kelompok dosis rendah+beta karoten . Peningkatan status gizi sampai bayi pada usia 3-4 bulan terbesar pada kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten (Z-skor 0.50) diikuti oleh kelompok minyak iodium dosis rendah (Z-skor 0.3) dan pada kelompok minyak iodium dosis tinggi tidak tampak peningkatan (Gambar 26). Tampak status gizi bayi sampai usia 3-4 bulan dilihat dari peningkatan status gizi dan jumlah kasus gizi buruk dan kurang yang terjadi, ternyata lebih 126 baik pada kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten kemudian diikuti oleh kelompok minyak iodium dosis rendah. Pengamatan dengan menggunakan indeks hipotiroid tidak ditemukan satupun kasus bayi hipotiroid (skor≥5) secara klinis. Indeks hipotiroid dengan skor 2- < 4 ditemukan masing-masing 9% pada tiap kelompok (Tabel 26). 2. Perkembangan Bayi Perkembangan bayi yang dipantau hanya sekali saja yaitu pada usia 3-4 bulan. Pada usia 3-4 bulan ditemukan adanya keterlambatan perkembangan motorik kasar (Gambar 27). Hal ini dapat dilihat pada kelompok minyak iodium dosis tinggi dimana bayi yang dapat melakukan lima gerakan (penuh) sebanyak 85% dan yang hanya dapat tiga atau empat gerakan sebanyak 15%. Pada kelompok minyak iodium dosis rendah, bayi yang dapat melakukan lima gerakan sebanyak 88% dan yang dapat melakukan tiga atau empat gerakan hanya 12%. Pada kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten, bayi yang dapat melakukan lima gerakan sebanyak 92% dan yang dapat melakukan tiga gerakan atau empat gerakan sebanyak 8%. Adapun gerakan motorik kasar yang diamati meliputi apakah bayi sudah bisa mengangkat kepala pada saat telungkup; kepala tertinggal di belakang pada penarikan untuk posisi duduk; bayi sudah bisa menggenggam mainan yang disentuhkan pada telapak tangannya; bayi bisa mengikuti gerakan obyek 180 derajat dan bayi sudah bisa membalas senyuman. Perkembangan bayi sampai usia 3-4 bulan pada kelompok minyak iodium dosis rendah dan kelompok minyak iodium dosis rendah+beta karoten tampak lebih baik dibandingkan dengan kelompok minyak iodium dosis tinggi hal ini yang sejalan dengan peningkatan status gizinya. Dalam hal pola asuh, di semua kelompok > 60% pengasuhan dilakukan oleh ibu sedangkan sisanya dilakukan oleh anggota keluarga lain seperti ayah, nenek, kakak. Proporsi bayi yang mempunyai alat permainan di rumah hanya sekitar 54%-71%. Permainan perkembangan bayi. di rumah merupakan alat bantu menstimulasi 127 3. Makanan Bayi Makanan pralaktasi diketahui telah diperkenalkan kepada bayi 2 jam setelah lahir berupa madu, air putih atau air kopi tanpa gula. Sampai bayi usia 4 bulan ASI masih diberikan kepada ≥ 97% bayi. Namun ibu juga telah memberikan makanan padat sejak usia dini yaitu usia bayi 1 hari, rinciannya yaitu kurang dari 10% pada tiga kelompok. Sekitar 10% dikenalkan makanan padat pada usia 2-7 hari. Sampai usia 4 bulan hanya sepertiga bayi yang belum diberi makanan padat dan hal ini menunjukkan bahwa ASI eksklusif pada contoh tiga kelompok masih rendah (Tabel 31). Hampir semua bayi usia 3-4 bulan yang ditimbang di posyandu (≥94%). Tingginya persentase penimbangan bayi di posyandu belum menjamin ibu bayi mendapat informasi ASI eksklusif. Selain itu tingginya proporsi ibu yang telah memberikan makanan padat pada usia dini menunjukkan penyuluhan tentang makanan bayi dan ASI kurang diberikan oleh kader. D. Efek Samping Pemberian Suplemen Minyak Iodium dengan 3 Dosis Pengaruh pemberian suplemen iodium dosis tinggi pada profil biokimia darah TSH nifas yaitu ditemukan 1 orang ibu nifas yang mempunyai kadar TSH=5.34 μU/ml dengan FT4 = 0.9 ng/ml sedangkan 3 orang lainnya mempunyai TSH nifas dengan rentangan antara 5-5.79 μU/ml. Tidak ditemukan ibu nifas dari tiga kelompok yang mengalami hipertiroid dari pemeriksaan serum FT4. Penelitian ini tidak menemukan satupun bayi yang mempunyai kadar TSH neonatal diatas 20 uU/ml. Namun penelitian ini menemukan bayi BBLR pada kelompok minyak iodium dosis tinggi sebanyak 4 orang (9%) dan kelompok minyak iodium dosis rendah sebanyak tiga orang (8%). E. Interaksi Iodium, Vitamin A dan Zat Besi Pemberian minyak iodium dosis rendah+beta-karoten memberikan efek positif yaitu dapat memperbaiki serum TSH dan EIU (selama hamil dan nifas) serta TSH neonatal (p<0.05). Ibu hamil mendapat tablet besi dari bidan desa. Dampak positif tersebut disebabkan adanya interaksi peranan iodium dalam 128 minyak, vitamin A dan pengaruh zat besi dari tablet besi tersebut. Penelitian epidemiologis telah membuktikan bahwa pemberian multigizi iodium, vitamin A dan zat besi menunjukkan efek sinergis terhadap perbaikan hormon tiroid (Saidin et al. 2004; Zimmerman et al. 2005; Wijaja-Erhardt et al. 2007). Zat besi merupakan komponen penting bagi ensim thyroperoxidase dan ensim ini sebagai katalisator terhadap sintesis hormon tiroid (Beard et al. 1998). Dengan demikian pemberian zat besi dapat meningkatkan kosentrasi T4 dan T3 plasma dan meningkatkan konversi T4 menjadi T3 (Beard et al. 1998; Beard & Borel 1990; Dillman et al. 1980). Sedangkan vitamin A dari prekursornya (beta karoten) merupakan komponen yang mempunyai ikatan rangkap. Ikatan rangkap inilah yang mencirikan adanya sifat antioksidan (Berdanier 2000) sehingga diduga dapat menjaga stabilitas minyak beriodium serta meningkatkan metabolisme iodium. Beta karoten dari suplemen didalam usus akan diubah oleh enzim 15.15 βkarotenoid dioxygenase menjadi retinol yang kemudian masuk dalam peredaran darah. Selanjutnya retinol disimpan di dalam hati dan diangkut oleh RBP ke jaringan tepi. Kemudian, retinol akan berikatan dengan RBP dan membentuk kompleks dengan prealbumin (transthyretin) dan mengikat hormon T4 (Berdanier 2000). Retinol yang keluar dari hati dan retinoic acid (RA) dari dalam plasma memasuki target sel. Ditingkat seluler, RA dan dua isomernya yaitu all transretinoic acid dan 9-cis-retinoic acid yang bekerja seperti hormon akan mengaktifkan reseptor vitamin A (RAR dan RXR) pada sel nukleus. Peran reseptor vitamin A ini adalah dalam mediasi kerja vitamin A, mengatur ekspresi gen dan mempengaruhi sintesa protein tertentu, mempertahankan kesehatan dan mencegah penyakit (Blaner 1998). Iodium dari suplemen setelah dicerna dan diserap kemudian memasuki sirkulasi darah dalam bentuk iodida (I-). Kelenjar tiroid menangkap iodida untuk memproduksi dan mensekresi hormon tiroid (T4 dan T3). Hormon tiroid dalam sirkulasi darah sampai di jaringan akan mengalami monodeiodinase menjadi triiodotironin (T3) yang secara biologis lebih aktif dari T4. Triiodotironin (T3) merupakan hormon yang memediasi kerja hormon tiroid pada tingkat sel dengan 129 cara T3 berikatan dengan reseptor nukleus yang spesifik yaitu reseptor tiroid (TR) yang menginisiasi transkripsi mRNA untuk memproduksi protein baru (Lazarus 1993). Reseptor tiroid (TR), RXR, RAR termasuk dalam anggota keluarga SteroidThyroid-Retinoid Nuclear Receptor Superfamily untuk mengatur aktivitas gen. Nuclear reseptor ini harus membentuk pasangan (heterodimer) dengan RXR agar dapat lebih aktif (Blanner 1998). Kelompok yang diberi minyak iodium dosis tinggi ditambah beta karoten terjadi penurunan TSH nifas yang lebih besar pada akhir penelitian dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya (Tabel 21). Tiroid Reseptor (TR) yang membentuk heterodimer dengan RXR dapat mempengaruhi transkripsi gen TSHß sehingga menurunkan sekresi serum TSH (Wolf G 2002). Janin pada trimester 2 sudah mulai mensekresi hormon tiroid sendiri namun masih membutuhkan suplai hormon tiroid dari ibu melalui plasenta sampai ibu melahirkan. Selain itu, vitamin A, hormon TSH dan vitamin-mineral lainnya juga melintasi plasenta memasuki jaringan janin. Hormon T3 di plasenta dihasilkan dari konversi T4 menjadi T3 oleh ensim deiodinase-5’ (tipe 3) dan disuplai dari ibu lewat plasenta. Tiroid reseptor (TR) muncul sebelum tiroid janin berfungsi dan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan sekresi hormon tiroid janin. Reseptor tiroid (TR) lebih memilih heterodimer dengan RXR yang sering menghasilkan aktifasi lebih efektif. Pada penelitian dengan tikus percobaan TSHß gen ekspresi diatur oleh hormon T3 dan RA melalui TR-RXR dan RARRXR heterodimer (Howdesthell 2002). Peranan RA (retinoic acid) menekan transkripsi TSH gen sehingga sekresi TSH berkurang (Oba 1980; Wolf 2002). Sekresi hormon TSH yang berkurang dari kelenjar pituitari merefleksikan rendahnya kadar hormon TSH dalam sirkulasi darah janin yang ditunjukkan dengan kadar TSH bayi neonatal yang rendah. Fenomena ini terjadi pada kelompok minyak iodium ditambah beta karoten yang pada akhir penelitian TSH bayi neonatal ditemukan lebih rendah dari pada kedua kelompok perlakuan yang lain. Dengan demikian, pemberian minyak beriodium dosis rendah mempunyai pengaruh yang tinggi dengan pemberian vitamin A (dalam bentuk beta karoten) dan zat besi yang diperoleh dari program. 130 F. Implikasi Studi Risiko pemberian minyak iodium dosis rendah+beta-karoten setiap bulan untuk mendapatkan TSH bayi neonatal yang tidak normal lebih rendah dibandingkan dengan pemberian minyak iodium dosis tinggi pada ibu hamil di daerah endemik GAKI. Perkembangan terbaru dalam penanggulangan GAKI yaitu tidak menggunakan lagi minyak iodium dosis tinggi di berbagai negara lain di dunia (Atmawikarta 2007, komunikasi pribadi). Pertemuan tentang eliminasi GAKI di Beijing tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Pemerintah China bekerjasama dengan Unicef dan WHO mencapai kesepakatan untuk menggunakan USI dalam penanggulangan GAKI (Wright 2004), namun pencapaian USI di Indonesia termasuk juga hasil dalam penelitian ini baru mencapai 60-70 % rumah tangga yang menggunakan garam beriodium sesuai kadar yang dianjurkan. Masih ada sekitar 30-40 % ibu hamil di daerah endemik GAKI berisiko untuk melahirkan bayi hipotiroid yang tidak terpapar dengan garam beriodium yang memenuhi kadar yang ditentukan sehingga untuk daerah ini penanggulangan GAKI dalam jangka pendek dengan menggunakan minyak iodium dosis rendah merupakan pilihan yang tepat. Pemberian minyak dosis rendah+beta karoten dapat diimplementasikan di daerah endemik GAKI tidak dapat dilakukan secara blanket approach seperti distribusi kapsul minyak iodium dosis tinggi yang selama ini dilakukan dalam program penanggulangan GAKI tetapi risiko tersebut harus ditanggulangi dengan secara terseleksi (targetted approach) melalui pemilihan ibu hamil dengan serum TSH yang tinggi. Pemberian minyak iodium dosis rendah+beta karoten mempunyai beberapa keuntungan diantaranya (1) dapat memperbaiki fungsi tiroid ibu hamil, (2) tidak memberikan efek samping, (3) meningkatkan kualitas bayi lahir, (4) tatap muka pemberian suplemen selama kehamilan memberikan kesempatan dalam memonitor keadaan ibu hamil dilapangan, (5) meningkatkan kesempatan dalam membantu ibu hamil dengan segala permasalahan dalam program gizi, mengingat jumlah program dalam rangka peningkatan gizi ibu hamil cukup banyak diantaranya kapsul iodium, tablet besi dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa multi gizi mikro mempunyai pengaruh lebih baik bagi status gizi ibu dan bayi. 131 Pemberian suplemen iodium dosis rendah+beta karoten tiap bulan akan merubah sistem distribusi suplemen dari tahunan menjadi bulanan melalui posyandu. Asupan zat gizi makro dan mineral ibu hamil di daerah penelitian lebih rendah dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Pola kegiatan ibu hamil didaerah GAKI sangat produktif karena sebagian besar ibu juga bekerja sebagai petani. Dengan demikian, pemberian makanan tambahan sebagai wahana untuk suplementasi memenuhi kebutuhan zat gizi selama kehamilan perlu perhatian. Pengetahuan GAKI ibu hamil yang kurang memadai pada semua kelompok perlakuan akan berpengaruh terhadap kepatuhan mengkonsumsi suplemen iodium, penggunaan garam beriodium dan cara mendeteksi garam beriodium. Peningkatan pengetahuan GAKI dapat dilakukan melalui penyuluhan yang berkesinambungan melalui posyandu setiap bulan. Monitoring tidak saja dilakukan pada distribusi suplemen iodium dosis rendah+beta karoten selama hamil tetapi juga pada tumbuh kembang bayi yang dilahirkan. Dengan demikian dapat dieliminasi timbulnya bayi yang mengalami hipotiroid kongenital. 132 VII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Ketiga suplemen minyak iodium dapat memproteksi ibu hamil akan kekurangan iodium selama hamil. Asupan iodium ibu hamil trimester 3 setelah diberi suplemen minyak iodium dosis rendah dan iodium dosis rendah+beta karoten menjadi lebih dari cukup dan kadar EIU nifas meningkat 27% dan 21%. 2. Kadar TSH ibu nifas yang turun lebih besar (14%) menggambarkan bahwa intervensi selama 6 bulan dengan suplemen minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten dapat memperbaiki kadar TSH mencapai normal lebih baik dari pada intervensi dengan minyak iodium dosis tinggi dan minyak iodium dosis rendah. 2. Suplementasi minyak iodium dosis tinggi, minyak iodium dosis rendah dan minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten pada ibu hamil dapat menurunkan secara nyata kadar serum TSH nifas sebesar 38%; 49% dan 52%. 3. Intervensi ibu hamil dengan suplemen iodium dosis rendah ditambah beta karoten selama 6 bulan dapat mengurangi proporsi TSH neonatal yang tinggi (>5 μU/ml) secara bermakna dibandingkan dengan intervensi dengan suplemen iodium dosis tinggi dan iodium dosis rendah. 4. Proporsi TSH neonatal dengan kadar >5 uU/ml pada kelompok minyak iodium dosis tinggi, dosis rendah dan dosis rendah ditambah beta karoten yaitu sebesar 82%; 65% dan 59% dan tidak ditemukan bayi dengan kadar TSH neonatal > 20 μU/ml (kongenital hipotiroid). 5. Pemberian minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten pada ibu hamil berdampak positif pada bayi yang dilahirkan dengan tidak ditemukan kasus bayi BBLR dan pada usia 3-4 bulan pertumbuhan dan perkembangannya lebih 133 meningkat dibandingkan dengan pemberian suplemen iodium dosis tinggi atau dosis rendah. Saran 1. Pemberian minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten mempunyai keunggulan dari segi biokimiawi (darah dan urin) dan status gizi secara keseluruhan. Teknologi diarahkan agar masyarakat mempunyai akses secara mudah dan murah. 2. Masalah ibu hamil didaerah GAKI diperburuk oleh rendahnya tingkat kecukupan energi dan protein dan tingginya KEK pada ibu hamil maka perlu difikirkan intervensi yang komperehensif dalam penanggulangan GAKI. 3. Target USI masih rendah maka diperlukan upaya penyuluhan kepada masyarakat agar menggunakan garam beriodium dan pembinaan terhadap produsen garam berodium. 4. Masih tingginya KEK pada ibu hamil, rendahnya AKG energi dan protein, dan masih ditemukan garam beryodium yang tidak memenuhi syarat maka dirasakan perlu peningkatan penyuluhan untuk ibu hamil tentang makanan bergizi, GAKI dan penanggulangannya di daerah endemik GAKI melalui posyandu, polindes maupun Puskesmas. 5. Pemberian minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten pada ibu hamil berdampak positif yaitu dapat menurunkan proporsi kadar serum TSH ibu nifas yang tinggi dan menurunkan proporsi kadar TSH neonatal > 5 uU/ml dan meningkatkan status gizi bayi usia 3-4 bulan sehingga perlu diperluas dengan mempelajari mutu gizi ASI, perkembangan bayi setelah lahir sampai usia balita dan cost effectiveness untuk menurunkan risiko BBLR 134 6. Pemberian minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten dalam jangka pendek dapat digunakan untuk menanggulangi GAKI di daerah endemik terutama ditujukan terhadap targetted population dan bukan untuk program community health mengingat bahwa berdasarkan pertemuan Penanggulangan dan Eliminasi GAKI di Thailand telah menghasilkan kesepakatan mengutamakan menggunakan garam beriodium 135 DAFTAR PUSTAKA Adriani M, Wirjatmadi B, Gunanti IR. 2002. Identifikasi Gondok di Daerah Pantai: Suatu Gangguan Akibat Kekurangan Yodium?. Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 3(1): 17-30. Aghini-Lombardi F, Pinchera A, Antonangeli L, Rago T, Chiovato L, Bargagna S, Bertucelli B, Ferretti G, Sabrana B, Marcheschi M. 1995. Mild Iodine Deficiency During Fetal/ Neonatal Life and Neuropsychological Impairment in Tuscany. J Endocrinol Invest 18:57-62. Almatzier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Anwar US, Anwar ZR, Filteau SM, Sullivan KR, Tom AM. 1998. The Impact of Maternal Supplementation with a Single Dose of Oral Iodized Poppyseed Oil on Infant Thyroid Status in Rural Bangladesh. IDD Newsletter 14 (1). Ariawan I. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Jurusan Biostatistika dan Kependudukan. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Arthur JR, Nicol F, Beckett GJ. 1993. Selenium Deficiency, Thyroid Hormone Metabolism, and Thyroid Hormone Deiodinases. Am J Clin Nutr 57 supl:236S-239S. Azizi F, Sarshar A, Nafarabadi M, Ghazi A, Kimiagar M, Noohi S, Rahbar N, Bahrami A, Kalantari S. 1993. Impairment of Neuromotor and Cognitive Development in Iodine-Deficient Schoolchildren with Normal Physical Growth. Acta Endocrinol 129:501-504. Balai GAKI. 2006. Index Hipothyroid Bayi (1-12 bulan). Borobudur, Magelang. Budiman B, Hartono B, Sularso K, Latinulu S, Riyadi DB. 1998. Studi Faktor Risiko Melahirkan Bayi Kretin pada Ibu Hamil di Daerah GAKI Endemik. Laporan Riset. RUT-III. Puslitbang Gizi, Badan Litbang Kesehatan, Depkes. Kantor Negara Riset dan Tehnologi Dewan Riset Nasional. Beard JL, Borel MJ. 1990. Impaired Thermoregulation and Thyroid Function in Iron Deficiency Anemia. Am J Clin Nutr 1990; 52: 813-9. Beard JL, Brigham DE, Kelly SK, Green MH. 1998. Plasma Thyroid Hormone Kinetics are Altered in Iron Deficiency Rats. J Nutr 128: 140-8. Bendich A. 1988. The Safety of Carotene. Nutr Cancer 11: 207-214. 136 Benmiloud M, Chaouki ML, Gutekunst R, Terchert HM, Wood WG, Dunn JT. 1994. Oral Iodized Oil for Correcting Iodine Deficiency: Optimal Dosing and Outcome Indicator Selection. J. Clin. Endocrinol & Metabolism 79 (1): 20-24. Berdanier CD. 2000. Advanced Nutrition Micronutrients. Boca Raton, New York: CRC Press. Bernal, J. 2005. The Significance of Thyroid Hormone Transporters in The Brain. Endocrinology 146 :1698-1700. Blaner WS. 1998. Recent Advances in Understanding The Molecular Basis of Vitamin A Action. Sight and Life. Newsletter 2: 3-6. Bleichrodt N, Rey FED, Escobar GM, Garcia I, Rubio C. 1989. Iodine Deficiency. Implications for Mental and Psychomotor Development in Children. In: G.R. DeLong, J. Robbins, and P.G. Condliffe, editors. Iodine and The Brain. New York: Plenum Press publ. 269-287. Bleichrodt N, Born MP. 1994. A Meta Analysis of Research on Iodine and Its Relationship to Cognitive Development. In: J.B. Stanbury, editor. The Damaged Brain of Iodine Deficiency.NewYork. Cognizant Communication publ. 195-200. (BPS) Biro Pusat Statistik. 2000. Laporan Hasil Survey Konsumsi Garam Yodium Rumah Tangga 2000. Jakarta: Kerjasama Badan Pusat Statistik dengan Departemen Kesehatan dan Bank Dunia. Brody T. 1999. Nutritional Biochemistry. New York: Academic Press. Burgi H, Helbling B. 1996. Methods of Iodine Supplementation. What is The Best Where?. In: Nauman J, Glinoer D, Braverman LE, Hostalek U, editor. The thyroid and iodine. New York:Schattauer. Buttfield IH, Hetzel BS. 1967. Endemic Goitre in Eastern New Guinea with Special Reference to The Use of Iodized Oil in Prophylaxis and Treatment. Bull World Health Organization 36: 243-62. Cao XY, Jiang XM, Dou ZH, Rakeman MA, Zhang ML, O’Donnel K, Ma T, Amette K, DeLong N, DeLong GR. 1994. Timing of Vulnerability of The Brain to Iodine Deficiency in Endemic Cretinism. N Engl J Med 331(26): 1739-1744. Chastin I. 1992. Lipiodol Ultra-Fluid for The Prevention and Treatment of Endemic Goiter and Associated Pathologies. Rossy. Charles de Gaulle Cedex. Laboratoire Guerbet France. 137 Chouki ML, Benmiloud M. 1994. Prevention of Iodine Deficiency Disorders By Oral Administration of Lipiodol During Pregnancy. Eur J Endocrinol 130(6):547-51 . Contempré B, Jaumiaux E, Colvo R, Jurkovic D, Campbell S, de Escobar GM. 1993. Detection of Thyroid Hormones in Human Embryonic Cavities During The First Trimester of Pregnancy. J Clin Endocrinol Metab 77:1719-1722. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. 1989. Adaptasi Ibu Terhadap Kehamilan. Suyono J, Hartono A, penerjemah; Ronardy DH, editor, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1995. Terjemahan dari: Williams Obstetrics. Dahro M. 2001. Pengaruh Berbagai Cara Pengolahan untuk Mengurangi Sifat Goitrogenik Tiosianat pada Beberapa Bahan Makanan di Daerah Gondok Endemik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Bogor. Day HG. 1997. Young Rats Need Unknown Growth Factors. J Nutr 127 (5 Suppl) 1029S-1031S. Delange FM. 1986. Occurrence and Significance of Disorders of Thyroid Function During The Neonatal Period in Endemic Goitre Areas. In: Kochupillai, Karmarkar MG, editor. Iodine Nutrition Thyroxine and Brain Development. Proceedings of The International Symposium-cumWorkshop on Iodine Nutrition, Thyroxine and Brain Development Held at All India Institute of Medical Sciences. New Delhi, February 23-28. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publs 94-102 . Delange F, DeVijlder J, Morrealede Escobar G, Rochiccioli, P, Varrone S. 1989. Significance of Early Diagnostic Data in Congenital Hypothyroidism: Report of The Subcommittee on Neonatal Hypothyroidism of The European Thyroid Association. In: Delange F, Fisher DA, Glinoer D, editor. Research in Congenital Hypothyroidism. NewYork: Plenum Press. hlm 225-234. Delange F. 2001. Iodine Deficiency As a Cause of Brain Damage. Postgrad Med J 77: 217-220. Delange F, Benist BD, and Burgi H. 2001. At What Median Urinary Iodine Concentration is As Population Iodine Sufficient?. IDD Newsletter 2001;7 (1): 10-11. Delange F, Fisher DA. 2006. The Iodine Deficiency Disorders (Chapter 20). The Thyroid and Its Diseases. (Thyroid Disease Manager). http://www.thyroidmanager.org/thyroid_links.html. [20 Maret 2007]. Departemen Kesehatan. 1996. Laporan Akhir Konsumsi Gizi Tahun 1995. Jakarta. 138 Departemen Kesehatan. 1998. Laporan Akhir Survei Prevalensi Dan Pemetaan GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium) Koordinator Wilayah III dan Koordinator Studi untuk Enam Koordinator Wilayah. Jakarta. Departemen Perindustrian dan Unicef. 1990. Petunjuk Pembuatan Garam Beriodium. Jakarta: Direktorat Jenderal Industri Kimia Dasar. Departemen Kesehatan. 2000a. Pedoman Distribusi Kapsul Minyak Beryodium. Dirjen Binkesmas, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 614.594.2 Ind P. Departemen Kesehatan. 2000b. Pedoman Distribusi Kapsul Minyak Beryodium, Cetakan Kedua, (kode Ind 614.594.2 P). Departemen Kesehatan. 2002. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Depkes RI dan JICA. DeViljder JJM, Vulsma T, Kooistra L, Piosik P, Baas F, Kok JH. 1996. The Importance of Partial Deprivation of Iodine and Thyroid Hormone During Pregnancy for The off Spring. In: Nauman J, Glinoer D, Braverman LE, Hostalek U. editor. The Thyroid and Iodine. Merck European Thyroid Symposium. Warsaw, May 16-18. New York: Schattauer 123-128. Djokomoeljanto. 1989. Latar Belakang dan Aspek Medis Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI). Gizi Indonesia 14: 1-8. Djokomoelyanto R, Hadisaputro S, Darmono, Soetardjo, Toni S. 1993. Laporan Penelitian Pengalaman Penggunaan Yodium dalam Minyak Yodiol di Daerah Gondok Endemik. Kongres Nasional III Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PEKENI). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Djokomoeljanto. 1994. Gangguan Akibat Defisiensi Yodium dan Gondok Endemik. Di dalam: Soedarman, editor. Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta, Penerbit EGC: hlm 449-454. Djokomoeljanto. 1996. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium. Di dalam: Noer S, editor. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam. Yakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm 749-756. Djokomoeljanto. 2001a. Masalah Gangguan Anemia Akibat Kurang Yodium. Jurnal Data dan Informasi Kesehatan 1(1): 31-39. Dobbing J, Sands J. 1973. Quantitative Growth and Development of Human Brain. Arch Dis Child 48:757-767. Dunn JT. 1987. Iodized Oil in The Treatment and Prophylaxis of IDD. In: Hetzel BS, Dunn JT, Stanbury JB, editor. The Prevention and Control of Iodine Deficiency Disorders. Amsterdam: Elsevier 127-34 . 139 Dunn JT, Van Der Haar F. 1990. A Practical Guide to The Correction of Iodine Deficiency. WHO/Unicef/IDD. The Netherland. Dunn JT. 2002. Iodine Excess in IDD Control Programs. Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 2 (1): 20-24. Elnagar B et al. 1995. The Effects of Different Doses of Oral Iodized Oil on Goiter Size, Urinary Iodine, and Thyroid-Related Hormones. J Clin Endocrinol Metab 80(3): 891-7. Eltom M, Karlsson, Kamal AM, Bostrom H, Dahlberg PA. 1985. The Effectiveness of Oral Iodized Oil in The Treatment and Prophylaxis of Endemic Goitre. J Clin Endocr Metab 6: 1112-7. Fenzi GF, Giusti LF, Aghini-Lombardi F, Bartalena L, Marcocci C, Santini F, Bargagna S, Brizzolara D, Ferretti G, Falciglia G. 1990. Neuropsychological Assessment in Schoolchildren from an Area of Moderate Iodine Deficiency. J Endocrinol Invest 13:427-431. Gaitan E, Robert CC, Raymond HL. 1986. Factor Other Than Iodine Deficiency in Endemic Goiter: Goitrogens and Protein-Calorie Malnutrition (PCM). In: Dunn JT, Pretell EA, Daza CH, Viteri FE, editor. Towards The Eradication on Endemic Goiter,Cretinism, and Iodine Deficiency. Washington,DC, Pan American Health Organization. Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Widjajakusumah D, Irawati D, Siagian M, Moeloek D, Pendit B, penerjemah; Hartawan B, Mandera L, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology. Glinoer D, De Nayer P, Delange F, Lemone M, Toppet V, Spehl M, Grunt JP, Kinthaert, Lejeune B. 1995. A Randomized Trial for The Treament of Mild Iodine Deficiency During Pregnancy: Maternal and Neonatal Effects. J Clin Endocril and Metabol 80(1)258-269. Granner DK. 1985. Hormon Hipofisa dan Hipotalamus. Darmawan I, penerjemah; Jakarta: EGC Penerbit. Terjemahan dari: Harper’s Review of Biochemistry. Greenspan FS, Baxter JD. 1995. Endokrinologi Dasar & Klinik. Wijaya C, Maulany RF, Samsudin S, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1995. Terjemahan dari: Basic and Clinical Endocrinology. Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Singapore: Wadsworth/Thomson Learning. Guyton AC. 1982. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Andrianto P, penerjemah; Jakarta; Penerbit EGC. Terjemahan dari: Human Physiology and Mechanisms of Disease. 140 Hadisaputro S, Djokomeljanto, Henry S, Penny Y. 2004. Efektifitas Dosis dan Waktu Pemberian Yodium Oral pada Ibu Hamil di Daerah Gondok Endemik (Dose and Time Effectivity of Administered Iodized Oral for Pregnant Women in Endemik Goitre Area). Panduan Seminar Nasional Pemaparan Hasil Penelitian Hibah Bersaing VIII Jakarta, 27-29 Juli 2004. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional; 2004. Harada A, Hersman JM, Reed AW, Braunstem GD, Dignan WJ, Derzko C, Friedman S, Jewelewicz R, Pekary AE. 1979. Comparison of Thyroid Stimulators and Thyroid Hormone Concentrations in The Sera of Pregnant Women. J. Clin Endocrinol Metab 48:793-797. Hartono B. 2001. The Influence of Iodine Deficiency during Pregnancy on Neurodevelopment from Birth to Two Years [disertasi]. University Amsterdam: Diponegoro University Press, Indonesia. Hatcock JN, Hattan DG, Jenkins MY, McDonald JT, Sundaresan PR, Wilkening VL. 1990. Evaluation of Vitamin A Toxicity. Am J Clin Nutr 52:183-202. Hess SY, Zimmerman MB, Adou P, Torresan T, Hurrell RF. 1998. Treatment of Iron Deficiency in Goitrous Children Improves The Efficacy of Iodized Salt in Cote d’Ivore. Am J clin Nutr 75(4): 743-748. Hetzel BS, Hay ID. 1979. Thyroid Function, Iodine Nutrition and Fetal Brain Development. Clin Endocrinol 11:445-460. Hetzel BS, Chevadej J, Potter BJ. 1988. The Brain in Iodine Deficiency. Neuropathology and Applied Neurobiology 14:93-104. Howdeshell KL. 2002. A Model of The Development of The Brain As a Construct of The Thyroid System. Enviromental Health Perspectives 110 (Supp 3): 337- 348 . Husaini MA. 1992. Biokimia Fisiologi Gizi. Bogor: Depdikbud. Dikti. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. IVACG Statement. 1999. Safe Doses of Vitamin A During Pregnancy and Lactation. Sight and Life. Newsletter 1: 34-36. IVACG. 2002. Vitamin A Conversion to SI. http://ivacg.ilsi.org. [20 Maret 2007]. Karyadi D, Muhilal 1984. Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan. PT Gramedia, Jakarta . 141 Kartono D, Soekarti M. 2004. Angka Kecukupan Mineral: Besi, Iodium, Seng, Mangan, Selenium. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta:Persagi, Pergizi Pangan dan PDGMI; 2004. hlm 393-415. Katz J, West KP, Khatry SK. 2000. Maternal Low- Dose Vitamin A or Beta Carotene Supplementation Has no Effect on Fetal Loss and Early Infant Mortality: a Randomized Cluster Trial in Nepal. Am J Clin Nutr 71: 15701576. Lamid A, Hidayat TS, Arnelia, Andanwerti T, Afriansyah N. 1992. Penggunaan Garam Beriodium oleh Masyarakat: Studi Kasus di 12 Desa di Propinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. PGM 15:38-45. Lamid A. 2007. Gambaran Serum TSH pada Ibu Hamil di Wilayah Puskesmas Pakis, Magelang. Biorekayasa Pangan dan Gizi, in press. Lazarus MA 1993. Thyroid Hormone Receptor: Multiple Forms, Multiple Possibilities. Endocr Rev 14(2): 184-193. Li JQ, Wang X, Yan Y, Wang K, Qin D, Xin Z, Wei J. 1985. The Effects of Severely Iodine Deficient Diet Derived from an Endemic Area on Fetal Brain Development in The Rat. Observations in The First Generation. Neuropathol and Appl Neurobiol 12:261-270. Lundquist P, Rosling H, Sorbo B. 1985. Determination of Cyanide in Whole Blood, Erythrocytes and Plasma. Clinical Chemistry 31:591-595. Maberly GF, Corcoran JM, Eastman CJ. 1982. The Effect of Iodized Oil on Goitre Size, Thyroid Function and The Development of The Jod-Basedow Phenomenon. Clin Endocrinol 17: 253-60. Mano MT, Potter BJ, Belling GB, Chevadej J, Hetzel BS. 1987. Fetal Brain in Response to Iodine Deficiency in a Primate Model Callithrix Jacchus Jacchus.J. Neurolog Sciences 79 :287-300. Martin DW, Mayes PA, Rodwel VW, Granner DK. 1987. Biokimia (Harper’s Review of Biochemistry). Iwan Darmawan, penerjemah; Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Harper’s Review of Biochemistry. Matovinovic J. 1988. Iodine. In: Present Knowledge of Nutrition. First edition Washington DC: The Nutrition Foundation. McLaren DS, Frigg M. 2001. Sight and Life Manual on Vitamin A Deficiency Disordes (VADD). Sight And Life Manual. Second Edition. 142 Morreale de Escobar G, Obregon MJ, EscobardelRey F. 2000. Is Neuropsychological Development Related to Maternal Hypothyroidism or to Maternal Hypothyroxinemia? J Clin Endocrinol Metab 85:3975-3987. Morreale de Escobar G, Obregon MJ, Escobar del Rey F. 2004. Role of Thyroid Hormone During Early Brain Development. Eur J Endocrinol 151:U25U37. Muhilal. 2004a. Monitoring and Evaluation of Nutrition Programme. Di dalam: Satellite Meetings on Problems of Designing Appropriate Nutrition Programs Evaluation in Indonesia. The Eight National Workshop on Food and Nutrition. Jakarta, 17-19 May 2004. Muhilal, Sulaeman A. 2004b. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta,17-19 Mei 2004. Jakarta Persagi, Pergizi –Pangan, dan PDGMI. hlm 331-342. Novaes MJ, Biancalana MM, Garci SA, Rassi I, Romaldini JH. 1994. Elevation of Cord Blood TSH Concentration in New Born Infants of Mothers Exposed to Acute Povidone Iodine during Delivery. J Endocrinol Invest 17: 805-81994. Oba K, Kimura S. 1980. Effects of Vitamin A Deficiency on Thyroid Function and Serum Thyroxine Levels in The Rat. J Nutr Sci Vitaminol (Tokyo) 26:327-334. Olson JA. 1996. Vitamin A. In: Ziegler EE, Filer J, editor. Persent Knowledge in Nutrition. Seven Edition. Washington: ILSI Press. hlm 378-383. Orgiazzi J, Madec AM. 1996. Autoimmune Thyroid Disease and Pregnancy. In: Nauman J, Glinoer D, Braverman LE, Hostalek U. eds. The Thyroid and Iodine. Merck European Thyroid Symposium. Warsaw, May 16-18. New York: Schattauer 123-128. Pambudi J, Ernawati F, Herman S. 2001. Hubungan Kandungan Karotinoid dan Retinol dalam Darah dan ASI pada Ibu Menyusui di Daerah Penghasil dan Bukan Penghasil Sayur. PGM 24: 24-32. Pemda Kabupaten Magelang. 2007. Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang. http://www.magelangkab.go.id. [2 Februari 2007]. Pennington JAT.1988. Iodine. In: Smith KT, editor. Trace Minerals in Foods. Marcel Dekker, New York & Basel. 143 Permaesih D, Suwarti S, Rusmalina Y, Krisdinamurtirin Y, Murdiana A, Syarifudin L, Komala, Mucherdiyantiningsih. 1996. Dampak Pemberian Kapsul Yodium pada Ibu Menyusui Terhadap Kadar Yodium ASI, Status Yodium Ibu dan Bayi Serta Imunisasi Bayi. Laporan Penelitian. Puslibang Gizi, Depkes RI. Pool R. 1986. Beliefs Concerning the Avoidance of Food During Pregnancy and the Immediate Post Partum Period in a Tribal Area of Gujarat. Eastern Anthropologist 39:251-259. Potter BJ, McIntosh GH, Hetzel BS. 1981. The Effect of Iodine Deficiency on Fetal Brain Development in The Sheep. In: Hetzel BS, Smith RM. editor. Fetal Brain Disorders. Recent Approaches to The Problem of Mental Deficiency. Amsterdam: Elsevier/North Holland Biomedical Press 119-148. Prihatini S, Latinulu S. 2002. Pengaruh Status Gizi Terhadap Kadar Yodium Urin Setelah Pemberian Kapsul Yodium pada Anak Sekolah Dasar di Daerah Gondok Endemik. Penelitian Gizi dan Makanan 25:1-6. Purwaningsih S. 1997. Studi Kandungan Selenium dan Iodium Makanan di Desa Endemik dan Non Endemik GAKI: Kaitannya dengan Parameter Status Selenium dan Iodium Pada Anak Sekolah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rathus S.A. 1988. Understanding Child Development. New York: Rinehart and Winston, Inc. Rosling H. 1994. Measuring Effects in Humans of Dietary Cyanide Exposure from Cassava. In:. Bokanga M, Essers A, Poulter N, Rosling H, Tewe O, editor. Acta Horticultura International Workshop On Cassava Safety. Ibadan, Nigeria. March 1-4 . Roti E, Braverman LE. 1996. Iodine Excess and Thyroid Function. In: Nauman J, Glinoer D, Braverman LE, Hostalek U, editor. The Thyroid and Iodine. Merck European Thyroid Symposium. Warsaw, May 16-18. New York: Schattauer 123-128. Rustama DS. 2003. Skrining (Uji Saring) Hipotiroid pada Bayi Baru Lahir: Suatu Upaya Deteksi Dini Kelainan Hipotiroid Kongenital (HK). Jurnal GAKY Indonesia 4(2): 1-6. Saidin M, Muherdiyantiningsih, Ridwan E, Ihsan N, Lamid A, Sukati dan Karyadi Ll. 2002. Efektifitas Penambahan Vitamin A dan Zat Besi pada Garam Yodium Terhadap Status Gizi dan Kosentrasi Belajar Anak Sekolah Dasar. Penel Gizi dan Makanan 25 (1): 14-25. 144 Sattarzadeh M, Zlotkin SH. 1999. Iron is Well Absorbed by Healthy Adult After Ingestion of Double-fortified (Iron and Dextran- Coated Iodine) Table Salt and Urinary Iodine Excretion is Unaffected. J Nutr. 129 (1): 117-21. Shresta RM. 1994. Effect of Iodine and Iron Supplementation on Physical, Psychomotor and Mental Development in Primary Schoolchildren in Malawi.: University of Wageningen. 1-105. Sirajudin S. 2003 Sintesis Minyak Beriodium Kaya Beta Karoten dari Minyak Sawit Merah dan Efikasinya Terhadap Pencegahan Defisiensi Iodium [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Stanbury JB. 1996. Iodine Deficiency and The Iodine Deficiency Disorders. In: Ziegler EE, Filer J, editor. Persent Knowledge in Nutrition. Seven Edition. Washington: ILSI Press. hlm 378-383. Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics A Biometrical Approach. Second Edition. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. Sunartini, 2005. Skrining Neonatus di Daerah Endemic GAKY. Disajikan dalam Seminar Ulang Tahun Balai GAKY, Borobudur Magelang. Sutanegara D. 2004. Kelebihan Iodine (Iodine Excess). Jurnal GAKY Indonesia 3(1-3): 44-50. Thaha AR, Djunaidi M, Dachlan, Nurhaedar J. 2002. Analisis Faktor Risiko Coastal Goiter. Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 1(1): 9-18. Thien K, Tin Tin OO, Khin MN, Wrench JB. 1978. A Study of The Effect of Intramuscular and Oral Iodized Poppy Seed Oil in The Treatment of Iodine Deficiency. In: Hetzel BJ, editor. Current Thyroid Problem in South EastAsia and Oceania. Proceeeding of Asia and Occeania Thyroid Association Workshop, Singapore. Thurnham DI, Smith E, Flora PS. 1988. Concurrent Liquid-Chromatographic Assay of Retinol, α-Tocopherol, β-Carotene, α-Carotene, Lycopene, and βCryptoxanthin in Plasma, with Tocopherol Acetate As an Internal Standard. Clinical Chemistry 34(2): 377-381. Tim Penanggulangan GAKY Pusat. 2005. Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program Penanggulangan Gangguan Akibat Kurang Yodium. Tiwari BD, Godbole MM, Chattopadhyay N, Mandal A, Mithal A. 1996. Learning Disabilities and Poor Motivation to Achieve Due to Prolonged Iodine Deficiency. Am J Clin Nutr 63:782-786. 145 Tonglet R, Bourdoux P, Minga T, Ermans AM 1992. Efficacy of Low Oral Doses of Iodized Oil in The Control of Iodine Deficiency in Zaire. N Engl J Med 326: 236-241. Tood CH, Allain T, Gomo ZAR, Hasler JA, Ndiweni M, Oken E. 1995. Increase in Thyrotoxicosis Associated with Iodine Supplements in Zimbabwe. Lancet 346: 1563-4. Tortora GJ, Anagnostakos NP. 1990. Principles of Anatomy and Physiology. New York: Harper&Row. Underwood BA. 1998. From Research to Global Reality: The Micronutrient Story. J Nutrn 128 (2):145-51. Untoro J. 1999. Use of Oral Iodized Oil to Control Iodine Deficiency in Indonesia. [disertasi]. Wageningen: Division of Human Nutrition and Epidemiology, Wageningen Agricultural University. Van den Briel T, West CE, Bleichrodt N, Vijver FJ, Ategbo EA, Hauvast JGAJ. 2000. Improved Iodine Status is Associated with Improved Mental Performance of Schoolchildren in Benin. Am J Clin Nutr 72:1179-1185. Van der Heidi D, de Goeje MJ, van der Bent C. 1989 The Effectiveness of Oral Administered Iodized Oil in Rat and Man. Annales d’endocrinologie 50: 116. Vermiglio F, Sidoti M, Finocchiaro MD, Battiato S, Presti VPL, Benvenga S, Trimarchi F. 1990. Defective Neuromotor and Cognitive Ability in IodineDeficient Schoolchildren of an Endemic Goiter Region in Sicily. J Clin Endocrinol Metab 70:379-384. Vitti P, Aghini-Lombardi F, Antonangeli L, Rago T, Chiovato L, Pinchera A, Marcheschi M, Bargagna S, Beruccelli B, Ferretti. 1992. Mild Iodine Deficiency in Fetal/Neonatal Life and Neuropsychological Performances. Acta Medica Austriaca 19:57-59. Vulsma T, Gons MH, DeVijlder JJ. 1989. Maternal-fetal Transfer of Thyroxine in Congenital Hypothyroidism Due to a Total Organification Defect or Thyroid Agenesis. N Engl J Med 321:13-16. Wake K. 1994. Role of Perisinusoidal Stellate Cells in Vitamin A Storage. In: Blomhoff R, editor. Vitamin A in Health and Disease. New York, Marcel Dekker pp 73-86. West KP, Katz J, Khatry SK, LeClerq SC, Pradhan EK, Shresta SR, Connor PB, Dali SM, Christian P, Pokhrel RP, Sommer A. 1999. Double Blind, Cluster Randomized Trial of Low Dose Supplementation with Vitamin A or Beta Carotene on Mortality Related to Pregnancy in Nepal. BMJ 318:570-575. 146 WHO/Unicef/ICCIDD. 1992. Consultation on the Indicators for Assessing Iodine Deficiency Disorders and Their Control through Salt Iodization. Geneva, 35 November 1992. WHO/Unicef/ICCIDD. 1993. Indicators for Assessing Iodine Deficiency Disorders and Their Control Programmes. Geneva, 3-5 November 1992. WHO/Unicef/ICCIDD. 1994. Indicators for Assessing Iodine Deficiency Disorders and Their Control Through Salt Iodization. WHO, Geneva. WHO. 1994. Statement on Iodized Salt 1994. IDD Newsletter 10(4):43. World Health Organization. Joint WHO/UNICEF/ICCIDD. 1997. Consultation. Review Of Findings from 7-Country Study in Africa on Levels of Salt Iodization in Relation to Iodine Deficiency Disorders, Including IodineInduced Hyperthyroidism. Geneva. World Health Organization. 1998 . Safe Vitamin A Dosage during Pregnancy and Lactation. Recommendations and Report from a Consultation Micronutrient Series. Geneva. World Health Organization. 2001. Assessment of Iodine Deficiency Disorders and Monitoring Their Elimination. A Guide for Programme Managers. Second edition. Wijaja-Erhardt M, Untoro J, Karyadi E, Wibowo L, Gross R. 2007. Efficacy of Daily and Weekly Multiple Micronutrient Food-Like Tablets for The Correction of Iodine Deficiency In Indonesian Males Aged 6-12 Mo. Am J Clinical Nutrition, Jan; 85: 137-143. Wikipedia. 2007. Iodine. http://en.wikipedia.org/wiki/iodine. [14 Mei 2007]. Wildman REC, Medeiros DM. 2000. Advanced Human Nutrition. New York.: CRC Press. Wilson JD, Foster DW. 1992 Williams Texbook of Endocrinology. 8 WB Saunders Company, Philadelphia. th edition. Wolf G 2002. The Regulation of The Thyroid-Stimulating Hormone of The Anterior Pituitary Gland by Thyroid Hormone and by 9-cisretinoic Acid. Nutr Rev 60:374-377. Zaleha MI, Iskandar Z, Khalid AK, Osman A. 2000. Effect of Iodized Oil Supplementation on Thyroid Hormone Levels and Mental Performance among Orang Asli Schoolchildren and Pregnant Mothers in an Endemic Goitre Area in Peninsular Malaysia. Asia Pacific J Clin Nutr 9(4): 274-281. 147 Zhong FG, Cao XM, Liu JL. 1983. Experimental Study on Influence of Iodine Deficiency on Fetal Brain in Rats. Chinese J Pathol 12:205-216. Zimmerman MB. 2005. The Effects of Vitamin A Deficiency and Vitamin A Supplementation on Thyroid Function in Goitrous Children. Sight and Life. Newsletter 3: 3-9. 148 LAMPIRAN 149 Lampiran 1. Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan 150 Lampiran 2 Surat Persetujuan untuk Penelitian (Informed Consent) Judul : EFIKASI MINYAK BERIODIUM DOSIS RENDAH UNTUK MENANGGULANGI GAKI PADA IBU HAMIL DI DAERAH ENDEMIK Nama ibu / suami : .......................................... Umur ibu : ........................................ Alamat Dusun : ......................................... RT/RW : ......................................... Desa : ......................................... Kecamatan/Kabupaten : ......................................... Telah mendapat penjelasan tentang penelitian EFIKASI MINYAK BERIODIUM DOSIS RENDAH UNTUK MENANGGULANGI GAKI PADA IBU HAMIL DI DAERAH ENDEMIK dan setuju untuk ikut serta dalam penelitian ini, dengan catatan bahwa bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun kami berhak untuk membatalkan persetujuan ini Magelang , ........................2005 Yang menyetujui: Mengetahui, Peneliti ( ) ( ) 151 Lampiran 3 Kuesioner Indeks Hipotiroid Bayi (1-12 bulan) KUESIONER INDEKS HIPOTIROID 1. Identitas 1. Nama anak 2. tempat/ tgl lahir/ umur 3. Nama ibu/ ayah 4. Alamat/ dsn/ desa/ Kec/ Kab 5. No anak diobservasi bln ini : ……………………… : ……………………… : ……………………… : ……………………… : ……………………… II. Indeks (Beri tanda X pada gejala yang sesuai ) 1. (….) Sulit menelan/ tidak mau netek/ kurang nafsu makan (1) 2. (….) Konstipasi/ sulit BAB (1) 3. (….) Lemas/ tidak aktif/ lesu/ letargik (1) 4. (….) Hipotonia generalisata (1) 5. (….) Hipothermia (1) 6. (….) Kulit kasar/kering berbintik–bintik (1,5) 7. (….) Cacat fisik (sebutkan……………………………..) (1) 8. (….) Mudah kejang (1) 9. (….) Bibir/ lidah membesar (1) 10. (….) Mengalami miksedema progresif/ kelopak mata bengkak (2) 11. (….) Wajah khas/ pig face/ mongoloid/ kembar sejagat (3) 12. (….) UUK terbuka (1,5) 13. (….) Berambut kaku kasar dan jarang (1) 14. (….) Tuli (1) 15. (….) Mata juling/ strabismus (1) 16. (….) Hypersaliva/ ngiler terus (1) 17. (….) Tidak bersuara/ jarang menangis/ suara kecil parau/ tidak terdengar (2) 18. (….) Bodong/ herla umbilikalis (1) 19. (….) Perkembangan psikomotorik bayi terlambat/ belum tengkurap, duduk, merangkak, berdiri, jalan (2) 20. (….) BB nya kurang sesuai umur (2) Total skor (25) Skor Isi yang sesuai 1. (….) 2. (….) 3. (….) 4. (….) 5. (….) 6. (….) 7. (….) 8. (….) 9. (….) 10. (….) 11. (….) 12. (….) 13. (….) 14. (….) 15. (….) 16. (….) 17. (….) 18. (….) 19. (….) 20. (….) ……..* * Total skor =2 dirujuk. Total skor 5 atau lebih diduga positif hipotiroid Sumber: Balai GAKI (2006) Tanggal pemeriksaan Nama pemeriksa 152 Lampiran 4 Prosedur Analisa Serum TSH PROSEDUR ANALISA SERUM TSH Metode ELISA Preparasi Reagen A. Working wash solution (Wash). Larutkan 20 ml Wash ditambah 1000 ml dengan aquadest pada penyimpanan suhu 15-250C stabil selama 60 hari . B. Substrat working solution (Sub). Campurkan sub A dan sub B dengan perbandingan 1:1 dan campur. Pada penyimpanan suhu 2-8 0 C stabil selama 30 hari . Prosedur 1. Pipet standar konsentrasi 0; 0.5 ; 3.0 ; 6.0 ; 15.0; 30.0 masing-masing 50 μL 2. Pipet contoh sebanyak 50 μL 3. Tambahkan reagen CON sebanyak 100 μL pada masing-masing contoh dan standar 4. Inkubasi selama 1 jam diatas shaker pada suhu ruang 5. Buang isi lubang dalam larutan Sod Hypoklorid 5 % 6. Cuci dengan larutan Wash sebanyak 5 kali dengan volume tiap lubang 300 μL lama rendaman 30 detik dengan alat Washer Automatic 7. Tambahkan reagen Sub sebanyak 100 μL dan inkubasi diatas shaken pada suhu ruang selama 15 menit 8. Kemudian tambah 100 μL reagen Stop solution inkubasi diatas shake dan dibaca pada panjang gelombang 450 nm dalam 30 menit dengan program KC4 9. Hasil berupa konsentrasi, Absorbant dan Curva Nilai normal orang dewasa: 0.1-5.0 mU/L 153 Lampiran 5 Prosedur Analisa Serum Free T4 (FT4) PROSEDUR TETAP SERUM FREE T4 Metode ELISA Preparasi reagen A. Working wash solution (Wash) Larutkan 20 ml Wash menjadi 1000 ml dengan aquadest pada penyimpanan suhu 15-250C stabil selama 60 hari B. Substrat working solution (Sub) Campurkan sub A dan sub B dengan perbandingan 1:1 dan campur. Pada penyimpanan suhu 2 - 80C stabil selama 30 hari Prosedur 1. Pipet standar kosentrasi 0... 0.42 .. 1.05.. 2.05 .. 4.2 ..7.4 masing-masing 50 μL 2. Pipet contoh sebanyak 50 μL 3. Tambahkan reagen CON sebanyak 100 μL pada masing-masing contoh dan standar 4. Inkubasi selama 1 jam diatas shaker pada suhu ruang 5. Buang isi lubang dalam larutan Sod Hypoklorid 5 % 6. Cuci dengan larutan Wash sebanyak 3 kali dengan volume tiap lubang 300 μL lama rendaman 30 detik dengan alat Washer Automatic 7. Tambahkan reagen Sub sebanyak 100 μL dan inkubasi diatas shaker pada suhu ruang selama 15 menit 8. Kemudian tambah 100 μL reagen Stop solution inkubasi diatas shake dan dibaca pada panjang gelombang 450 nm dalam 10 menit dengan program KC4 9. Hasil berupa kosentrasi, Absorban dan Curva Nilai normal FT4 0.8 – 2.2 ng /dl 154 Lampiran 6 Prosedur Analisa Hb PROSEDUR ANALISA Hb METODA CYANMETHEMOGLOBINE PROSEDUR 1. Pipet larutan Drabkin sebanyak 5 ml masukkan ke dalam tabung reaksi 2. Pipet 20 μL darah kemudian masukkan ke dalam larutan drabkin dan homogenkan 3. Baca dengan Hb Meter 4. Baca juga blanko dan standar 5. Hasil berupa kosentrasi dengan satuan g/dl Nilai normal wanita hamil : ≥ 11 g/100 ml wanita menyusui : ≥ 12 g/100 ml 155 Lampiran 7 Prosedur Analisa Serum Vitamin A (Retinol) PROSEDUR EKSTRAKSI VITAMIN LARUT LEMAK DALAM SERUM/PLASMA (Thurnham 1988) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Ambil 100 ul serum/plasma 100 ul SDS (10mmol) Campur dengan perlahan pada saat penambahan SDS 200 ul internal standar Campuran diatas masukan dalam tabung dan diaduk dengan vortex mixer selama 1 menit 1000 ul heptan mengandung 0.5 g/L BHT Campuran diatas diaduk selama 3 menit dengan vortex mixer Sentrifuse selama 10 menit pada 1000 rpm Ambil 700 ul dengan pipet mikro lapisan atas heptan dan keringkan dengan gas nitrogen Setelah kering campuran kemudian tambahkan dengan 100 ul fase mobil Campurkan dengan vortex mixer selama 15 detik Kemudian ambil sebanyak 20 ul siap untuk diinjek Nilai normal serum retinol ≥ 20 ug/dl= 0.698 μmol/L 156 Lampiran 8 Prosedur Pemeriksaan Ekskresi Iodium Urin (EIU) PROSEDUR PEMERIKSAAN EIU Metode: Ammonium Persulfate Digestion Pembuatan Reagen EIU 1. Ammonium Persulfate Solution Larutkan 228.2 g (NH4)2S2O8 dalam 1 L H2O. Simpan dalam ruang gelap, stabil untuk 6 bulan 2. Arsenious acid solution Masukkan 5 g As2O3 dan 25 NaCl ke dalam 1 L labu Erlenmeyer, lalu tambahkan 200 ml 5 N H2SO4 (Siapkan dengan menambah hati-hati 140 ml H2SO4 pekat dengan H2O sampai 1 L). Tambahkan H2O 500 ml, panaskan dengan stirring sampai larut, lalu dinginkan dalam temperatur kamar. Tambahkan dengan H2O sampai 1 L. Simpan dalam ruang gelap, stabil untuk 6 bulan. 3. Ceric Ammonium Sulfate Solution Larutkan 24 g Ceric Ammonium Sulfate dalam 1 L 3.5N H2SO4 (Siapkan dengan menambahkan hati-hati 97 mL H2SO4 pekat dengan H2O sampai 1 L). Dibuat paling lambat 24 jam sebelum digunakan, dan simpan dalam tempat gelap, stabil untuk 6 bulan. 4. Iodine Standar • Solution A: Larutkan 0.168 g KIO3 dalam H2O dibuat menjadi l L dalam labu ukur. Larutan ini sebanding dengan 100 mg/L. Simpan dalam refrigerator, stabil untuk 6 bulan • Solution B; Encerkan 2 mL Solution A sampai 100 mL dengan H2O dalam labu ukur. Larutan ini sebanding dengan 2000 μg/L. Simpan di refrigerator, stabil selama 1 bulan. • Solution C: 500 μL Solution B diencerkan menjadi 5 mL dengan H2O setara dengan 200 μg/L Prosedur pemeriksaan EIU 1. Contoh urin larutan standar dan reagen dipastikan pada suhu kamar 2. Setiap standar dibuat duplo berturut-turut: std 12.5 (tabung 3 & 4), std 25 (tabung 5 & 6), std 100 (tabung 9 & 10), dan std 200 (tabung 11 & 12). 3. Pembuatan standar dengan memipet 250 μL H2O mulai dari tabung no 1 & 2 (untuk blanko) sampai dengan tabung no 10. 5. Pipet 250 μL Solution C masukkan dalam tabung no 12, 11, 10 dan 9. 6. Vortex tabung no 10 & 9 lalu pipet 250 μL ke tabung no 8 & 7 (100 μg/L). 7. Vortex tabung no 8 & 7 lalu pipet 250 μL ke tabung no 6 & 5 (50 μg/L) 8. Vortex tabung no 6 & 5 lalu pipet 250 μL ke tabung no 4 & 3 (25 μg/L) 9. Vortex tabung no 4 & 3 lalu buang 250 μg/L dari masing-masing tabung (12.5 μg/L) 10. Campur contoh Urin kemudian pipet 250 μg/L ke dalam tabung contoh. 157 11. Tambahkan 1 mL Ammonium Persulfate ke dalam tabung, campur dengan hati- hati. 12. Panaskan dalam dry bath 91-95 0 C selama I jam 13. Dinginkan tabung sampai mencapai suhu kamar 14. Tambahkan 3.5 mL Arsenious acid ke semua tabung, campur dengan vortex dan biarkan selama 15 menit 15. Tambahkan 400 μg/L Ceric Ammonium Sulfat ke semua tabung dengan interval 30 detik, campur dengan vortex sesudah penambahan. 16. Dahulukan pembacaan blanko (tabung 1 & 2) pada panjang gelombang 420 nm tanpa menunggu 30 menit (umumnya sampai 30 menit) hingga pembacaan dibawah 1000 17. Lanjutkan pembacaan tabung berikutnya dengan interval 30 detik 158 Lampiran 9 Prosedur Penetapan KIO3 Garam Beriodium PROSEDUR PENETAPAN KIO3 GARAM BERIODIUM (Departemen Perindustrian & Unicef 1990) A. Reagen 1. Larutan standar primer KIO3 0.1 N 2. Larutan standar Na2S2O3 0.005 N 3. Chloroform atau Mercuri Iodida 4. H3PO4 85 % 5. Larutan kanji/amylum 1 % 6. Kalium Iodida (KI) B. Prosedur Analisa 1. Pembuatan larutan standar primer KIO3 Timbang dengan teliti 21.3 gram KIO3 pure analitik dan diencerkan sampai volume 1 liter di dalam labu takar. Larutan ini normalitetnya 0.1 N. Untuk menjadi 0.005 N ambil 50 ml diencerkan dalam 1.000 ml aquadest. 2. Pembuatan larutan standar Na2S2O3 Natrium Thiosulfat mudah diperoleh dengan kemurnian tinggi, tetapi ketidak tentuan dari jumlah molekul air kristal serta alasan kestabilan, maka Natrium Thiosulfat bukan larutan standar primer. Berat molekul Na2S2O3 5 H2O = 248.19 3. Prosedur pelaksanaannya a. Timbang 25 gram garam (NaCl p.a.) dan masukkan ke dalam Erlen Meyer 300 ml. Tambahkan aquadest 125 ml sehingga volume larutan sekitar 150 ml Dikocok-kocok sampai semua NaCl larut a. ambil dengan pipet 5 ml larutan KIO3 0.005 N dan masukkan ke dalam larutan garam diatas b. Tambahkan 2 ml larutan H3PO4 85 % dan 2 ml larutan kanji 1 (satu) % c. Tambahkan seujung sendok kecil kira-kira 0.1 gram kristal KI, diadukaduk dengan gelas pengaduk. d. Segera titrasi dengan larutan Na2S2O3 0.005 N dari micro buret, sampai warna biru hilang (misalnya: diperlukan larutan Thiosulfat sebanyak: A ml). 4. Analisa Iodat dalam garam a. Timbang dengan teliti 25 gram contoh garam (dalam beaker atau gelas Piala berukuran 250 ml yang bersih dan kering). b. Tambahkan aquadest 125 ml dan diaduk-aduk sampai semua garam melarut. c. Tambahkan 2 ml H3PO4 85 % dan 2 ml larutan kanji 1 % d. Tambahkan seujung sendok kecil Kalium Iodida sambil diaduk e. Segera titrasi dengan larutan Na2S2O3 0.005 N sampai warna biru cepat hilang (misalnya: diperlukan Thiosulfat sebanyak: B ml). f. Untuk koreksi dilakukan pekerjaan blanko. Contohnya aquadest 125 ml (tidak mengandung garam) ditambah H3PO4 85 %, kanji dan KI, kemudian dititrasi dengan larutan standar H3PO4 0.005 N 159 Lampiran 10 Hasil Analisa Kadar KIO3 Garam Contoh pada Tiga Kelompok Perlakuan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 Nama ibu hamil Tumiyah Tumisi Ayem Jumini Hinawarsih Dwi surami Siti aisyah Jumini Slamet sulikah Suryati Srikanah Suharti Imtihanah Umayah Sarjuni Siti Karni Tutik Prihati Warti Aminah Mujinem Walmi Sarti Laminah Darmi Nurkhamimah Siamiah Isarofah Haryani Yamidah Surami Sunarsih Winarni Ropiah Riyanti 37 Siti zaenah 38 Marlah Alamat Petung Pakis Petung Pakis Kaponan Pakis Kaponan Pakis Babadan Pakis Pakis Pakis Kesingan Pakis Kragilan Pakis Kragilan Pakis Pakis Gondowangi Sw2 Gondowangi Sw2 Podosuko Sw2 Wonodadi Sw1 Windusajan Sw1 Wonodadi Sw1 Wonodadi Sw1 Wonolelo Sw1 Sanden Sw1 Plutungan Sw1 Wonolelo Sw1 Plutungan Sw1 Wonolelo Sw1 Ketep Sw 1 Wonolelo Sw 1 Surodadi Candi M Candi Mulyo Candi Mulyo Candi Mulyo Delanggu Candi M Ngablak Tejosari Ngablak Tejosari Ngablak Kirirejo Ngablak Sowangan Ngablak Ngargosuko Klangkrik Kaliangkrik Jenis garam Halus Halus Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Curah Krosok Bata Halus Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Kadar KIO3 mg/kg 80 112 34 9 12 50 93 33 14 12 39 0 30 57 25 27 39 49 50 16 31 48 37 25 30 30 63 60 20 30 76 13 30 31 30 14 31 32 160 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 Istianah Iin Setyaningsih Nurfatayati Muhimatul Rohaimah Asriyah Titik samrotul Kartini Mukayaroh Sri wahyuni Ani widiastuti Bariyem Nursidah Nurhayati Wanti Siti jariah Prihati Slamet prihati Sri hamti Sarminah Siyam Titin Sumarni Ngatiyem Timah Painten Lestari Semi Tukini Riyati Nuryani Itri Nuning k Jumiati Triyati Sofiatun Sri Hartini Musrifah Sutarni Narti Siti Mukharoma Rini wiyati Apiyah Nanik Kaliangkrik Kaliangkrik Kaliangkrik Girirejo Klangkrik Kaliangkrik Endrokilo Klangkrik Kaliangkrik Kaliangkrik Kaliangkrik Dukun Banyudono Dukun Pakis Ngaliyan Pakis Pakis Pakis Jambewangi Pakis Rejosari Pakis Pakis Ketundan Pakis Ketundan Pakis Kragilan Pakis Sawangan Sw2 Podosuko Sw2 Banyuroto Sw1 Banyuroto Sw1 Sawangan Sw1 Banyuroto Sw1 Banyuroto Sw1 Surodadi Candi M Candi mulyo Tepus Candi M Ngablak Bandongan Ngablak Girirejo Ngablak Kaliangkrik Kaliangkrik Kaliangkrik Beseran Klangkrik Kaliangkrik Kaliangkrik Kaliangkrik Kaliangkrik Kaliangkrik Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Halus Bata Bata Bata Bata Bata Halus Bata Bata Bata Bata Halus Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata 53 30 44 30 22 27 12 30 30 66 72 58 56 30 30 41 14 26 38 37 11 46 120 64 31 67 16 56 30 31 11 15 76 30 19 30 14 73 30 10 48 10 41 161 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 Nurkhidah Yati Charsiti Slamet Maryati Siyam Marwati Endang P. Sri Lestari Muryani Tri Rohayati Sulikah Suratmi Isgiarti Dwi Haryani Siti Khotijah Rindayati Ana Lestari Haryani Sri Murni Kini Supiah Rofiati Rohimah Ruti Sumiati Karminah Kurniati Ropiah Surni Mujini Salimah Khasani Dukun Sewukan, Dukun Kaliangkrik Petung kidul Pakis Petung Pakis Petung Pakis Muneng Pakis Pakis Pakis Pakis Rejosari Pakis Kragilan Pakis Kragilan Pakis Gondowangi Sw2 Gondowangi Sw2 Gondowangi Sw2 Margowangsan Sw2 Bakalan Sw2 Kronggowanan Sw2 Kapuhan Sw2 Kapuhan Sw2 Surodadi Candi M Candimulyo Candimulyo Deles Candi M Kanigoro,Ngablak Kaliangkrik Kaliangkrik Klangkrik Kaliangkrik Kaliangkrik Kaliangkrik Kaliangkrik Bata Bata Bata Bata Bata Bata Halus Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata Halus Bata Bata Bata Bata Halus Bata Bata Bata Halus Bata Halus Bata Bata Bata Bata Bata Bata Bata 58 65 15 43 15 83 15 37 33 14 18 10 19 15 30 8 29 30 49 13 45 19 38 51 18 30 29 30 12 30 30 134 75 Keterangan: Kadar KIO3 diperoleh dengan melakukan uji titrasi pada garam yang digunakan contoh pada hari dilakukan wawancara 162 Lampiran 11 Merk Garam yang Digunakan Contoh pada Tiga Kelompok Merek garam Gajah duduk Gajah Btrndut Dandut Ndan ndut Ndang dut Dangdut Ndang ndut ria Deng ndut Bm ndut Jago Bang ndut Goyang ndan dut Goyang mendut Goyang ndut Tito ndan dut super Kelapa Cap jempol Apel merah Bokor jaya Mujirahayu Kapal layar Adipati Segitiga G Kapal laut Karapan sapi Perahu layar Berdayung ria Indandutan ria Kelapa mendut Goyang mendut Bandgroup Jempol Ababil Jenis garam halus halus,bata bata bata bata halus bata bata bata bata bata bata bata halus,bata bata bata bata bata halus,bata bata bata bata bata halus,bata bata halus bata bata bata bata bata bata halus halus 163 Lampiran 12 Uji Regresi Logistik Variabel Dependen Serum TSH Nifas Faktor Risiko TSH Tinggi pada Ibu Nifas Variabel independen Suplemen DT DR DDRB Total asupan iodium Asupan sianida bahan makanan Pengetahuan GAKI Rendah Cukup Tinggi KEK Asupan vitamin A P OR 95 % CL 0.13 0.64 0.90 0.26 1 0.5 0.81 1.10 0.97 Rujukan 0.20-1.23 0.33-1.96 0.28-4.38 0.98-1.02 0.49 0.39 0.63 0.82 1 0.75 0.50 1 1.0 Rujukan 0.33-1.70 0.10-2.44 0.99-1.0 0.99-1.00 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten Lampiran 13 Uji Regresi Logistik Variabel Dependen EIU Faktor Risiko Ekskresi Iodium Urin (EIU) Rendah pada Ibu Nifas Variabel independent Suplemen DT DR DRB Asupan iodium Asupan sianida bahan makanan Pengetahuan GAKI Rendah Cukup Tinggi KEK Vitamin A OR P 95 % CL 1 0.64 0.88 1.48 0.91 0.37 0.81 0.64 0.54 Rujukan 0.24-1.71 0.32-2.44 0.29-7.62 0.33-1.11 0.45 0.50 0.75 0.08 Rujukan 0.34-1.32 0.28-1.84 0.99-1.0 0.99-1.00 1 0.62 0.72 1 1.0 Keterangan: DT= minyak iodium dosis tinggi; DR= minyak iodium dosis rendah DRB= minyak iodium dosis rendah+beta karoten 164 Lampiran 14. Kadar Iodium dalam Makanan di Daerah Endemik dan Non Endemik GAKI (Purwaningsih 1997) Jenis Pangan Endemik(ppm) Non endemik(ppm) Makanan Pokok: Nasi 0.0113 0.0122 Tiwul 0.1443 Garut 0.0763 Talas 0.2264 Ganyong 0.1254 Ketela rebus 0.0124 0.0766 Geblek 0.0266 Grawol 0.0139 Kacang-kacangan :Tempe kedelai < 0.0001 0.1354 Tempe bungkuk < 0.0001 0.1290 Tahu 0.0127 0.1325 Pangan Hewani : Telur 2.0124 6.1720 Ikan 0.1453 Sayuran : Daun singkong 2.0124 6.1720 Bayam 0.1345 0.2986 Kangkung < 0.0001 0.1468 Kacang panjang 0.1204 0.1699 Toge 0.1204 0.1655 Nangka 0.3562 0.3845 Caisin < 0.0001 0.1445 Daun melinjo 0.0012 0.1671 Kol 0.0723 0.3913 Pete 0.8721 Jengkol 0.6052 Buah-buahan : Pisang < 0.0001 < 0.0001 Papaya < 0.0001 0.1451 Duwet 0.2141 0.7562 Jajanan : Sukro 0.1506 0.1506 Chiki FM 0.1504 0.1504 Kacang kering 0.1504 0.1504 Kue agar < 0.0001 < 0.0001 Snack nikmat 0.2012 0.2012 Kue bolu 0.1407 0.1407 Kerupuk 0.1731 0.1731 Kerupuk singkong < 0.0001 < 0.0001 Kue putra bali 0.1407 0.1407 Mimi 0.1504 0.1504 Kue tambang 0.1376 Marimas 0.1399 Slondok 0.1485 Chotot 0.1457 Lain-lain :Gula jawa 0.1037 0.1366 Garam 9.1852 18.2751 Tanah < 0.0001 0.1428 Air 0.0004 0.1828 165 Lampiran 15 Kadar Sianida (CN )־dalam Bahan Makanan dari Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul NO . NAMA BAHAN Asal : Pundong 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Bayam mentah Bunga kol Caisin Cabe hijau D. kacang panjang Daun bawang merah muda Daun bawang bakung Daun tangkil Daun singkong Daun papaya Jagung muda Kulit tangkil Kool Kangkung Koro Sawi putih Seledri KADAR (mg/100 gram bahan) Mentah Rebus Tumis 1.87 4.50 0.41 0.62 0.0 2.24 Persen CN ־ sisa 48.7 89.3 14.3 15.5 0.0 41.1 3.84 5.04 2.52 3.99 9.32 5.45 0.65 4.03 2.41 0.55 0.78 3.33 16.9 80.0 95.6 13.8 8.4 61.0 8.47 5.40 63.8 8.09 95.5 12.97 1.64 9.18 5.89 19.58 12.09 6.85 2.54 4.75 3.66 6.67 0.0 0.0 0.73 14.90 3.95 0.0 1.35 1.96 0.0 51.4 0.0 0.0 12.4 76.1 32.7 0.0 53.2 41.3 0.0 7.83 0.90 8.69 3.54 14.90 4.28 0.97 0.67 0.36 3.27 60.4 54.9 94.7 60.1 76.1 35.4 14.2 26.4 7.6 89.3 Persen CN ־sisa Lampiran 16 Kadar Sianida (CN )־dalam Bahan Makanan dari Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang NO . NAMA BAHAN Asal : Srumbung 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Buncis Bunga kol Gambas Kangkung Kool Paria/paree Sawi pahit Slada air (jembak) Terung ungu KADAR (mg/100 gram bahan) Mentah Rebus 6.42 6.16 5.11 3.73 7.89 6.15 0.873 18.54 4.09 3.70 5.62 0.0 0.37 3.93 0.37 5.77 6.74 1.09 Persen CN ־ sisa 57.6 91.2 0.0 9.9 49.8 6.0 66.1 36.4 26.7 Tumis 2.11 4.84 0.0 0.69 4.39 2.99 4.03 8.58 3.56 Persen CN ־sisa 32.9 78.6 0.0 18.5 55.6 48.6 46.2 46.3 87.0 166 ` Lampiran 17 Kadar Sianida (CN )־Beberapa Jenis Bahan Makanan yang Telah Mengalami Perlakuan Pengolahan No. Jenis Mentah 1. 2. 3. 4. 5. Ubi Singkong Ganyong Gatot Talas 3.88 7.80 5.58 5.22 4.68 Kadar sianida (mg/100 gr) setelah perlakuan pengolahan Rebus % Kukus % Rendam % Tipis % CN ־ CN ־ kukus CN ־kukus CN ־ sisa sisa sisa sisa 1.04 26.8 2.80 72.2 2.32 59.8 1.80 46.4 0.20 2.60 1.38 17.7 2.40 30.8 0.70 9.0 1.75 31.4 2.28 40.9 1.83 32.8 2.39 42.8 2.02 38.7 2.57 49.2 1.85 35.4 1.95 37.4 0.37 7.9 2.54 54.3 2.5 54.3 2.28 48.7 Tipis rebus 0.92 0.39 1.79 0.93 0.82 % CN ־ sisa 23.7 5.0 32.1 17.8 17.5