Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id ANALISIS EFEK FENOMENA EQUINOKS TERHADAP KOMUNIKASI ALE PADA DAERAH EQUATOR (THE ANALYSIS EFFECTS EQUINOX PHENOMENON WITH COMMUNICATION ALE IN EQUATOR AREA) Hadi Rasidi, Nia Syafitri, Erlansyah, Muzirwan Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Pontianak Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional e-mail: [email protected] ABSTRAK Riwayat Artikel: Diterima: 22-11-2016 Direvisi: 13-03-2017 Disetujui: 23-03-2017 Diterbitkan: 22-05-2017 Kata kunci: Komunikasi Radio HF, ALE, Fenomena Ekuinoks Komunikasi radio HF yang memanfaatkan lapisan ionosfer sebagai mediumnya menjadi solusi dalam menangani mitigasi bencana yang sulit terjangkau sinyal komunikasi. Akibat dinamika perubahan lapisan ionosfer menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi kerja yang digunakan sehingga perlu adanya manajemen frekuensi dengan mengatur waktu dan frekuensi penggunaan. Salah satu peralatan yang dapat digunakan adalah ALE (Automatic Link Establishment). Perubahan lapisan ionosfer dapat disebabkan oleh aktivitas matahari yang tinggi yang ditandai dengan suhu permukaan bumi tinggi terutama saat bulan-bulan ekuinoks pada daerah ekuator khususnya Pontianak. Berdasarkan hasil yang teramati pada saat terjadinya ekuinoks di Pontianak komunikasi tidak dapat dilakukan pada pukul 5 UT sampai 7 UT dengan hasil frekuensi kerja yang bersifat lemah pada kanal 2 atau sekitar 7 MHz. ABSTRACT Keywords: HF Radio Communications, ALE, Equinox Phenomenon. . HF radio communications uses the ionosphere layer as its medium be solution disaster mitigation from reachto difficult signal communication. As a result of the changing dynamics ionosphere leads to changes in the operating frequency used so that it need frequency management to set using the time and frequency. One of the tools that can be used are ALE (Automatic Link Establishment). Changes in ionosphere can be caused by high solar activity characterized by high surface temperatures, especially at the months of equinox from equatorial region specifics in Pontianak. Based on the results observed equinox conditions in Pontianak that communication cann’t be done at 5 UT until 7 UT with the result characteristics work frequency at low on canal 2 or about 7 MHz. 1. Pendahuluan Secara geologis wilayah Indonesia terdiri atas berbagai pulau besar dan kecil sehingga berpotensi sebagai jalur bencana. Berbagai permasalahan yang muncul dalam penanganan Seminar Nasional Sains Antariksa Bandung, 22 November 2016 bencana seperti komunikasi yang tidak dapat dilakukan karena daerahnya sulit terjangkau dan terpencil. Muncullah solusi alternatif dalam penyelesaian masalah tersebut dengan melalui pemanfaatan komunikasi radio HF. Sistem komunikasi radio HF bekerja pada rentang c 2017 Pusat Sains Antariksa LAPAN ISBN: 978-602-17420-1-3 132 H. Rasidi et al. frekuensi 3 s.d 30 MHz yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lapisan ionosfer sebagai reflektor gelombang radio HFnya (Awaliyah et al., 2014). Karakteristik dari komunikasi radio HF adalah tidak rentan terhadap gangguan alam, memiliki sifat mandiri dan dapat menjangkau komunikasi jarak jauh (sky waves) (Dear, V., 2012a). Dalam melakukan komunikasi radio HF perlu adanya managemen frekuensi kerja, salah satu peralatan yang dapat dipergunakan adalah sistem Automatic Link Establishment (ALE). Dengan dipasangnya peralatan ALE di Pontianak dapat dilakukan pemantauan rentang frekuensi kerja yang dapat dipergunakan dalam berkomunikasi jarak jauh. Pontianak berada pada daerah khatulistiwa yang memiliki keunikan dengan adanya pergerakan matahari mencapai maksimum yang dikenal dengan peristiwa equinoks, yang terjadi 2 (dua) kali dalam setahun yaitu bulan Maret dan September. Berdasarkan hal tersebut penulis akan melakukan analisis pengaruh kejadian equinoks terhadap frekuensi kerja komunikasi radio HF dari peralatan ALE di Pontianak, sehingga memudahkan proses manajemen frekuensi kerja yang dapat dilakukan selama kejadian equinoks. 2. Gambar 2-1. Propagasi Gelombang Sky Wave (Ristanti et al., 2013). Gambar 2-2. Hubungan antar perangkat pada sistem komunikasi data digital menggunakan radio HF (Nurmali dan Suhartini, 2006). Landasan Teori Dalam berkomunikasi jarak jauh, sistem perambatan gelombang radio dapat melalui gelombang antariksa (sky waves) dimana gelombang radio tersebut akan dibelokkan atau dipantulkan dan kembali ke bumi oleh lapisan ionosfer pada jarak ratusan bahkan ribuan kilometer dari pemancar. Tergantung pada frekuensi, waktu dan kondisi ionosfer, sinyal dapat dipantulkan beberapa kali sebelum mencapai antenna penerima. Komunikasi ini menggunakan frekuensi tinggi (HF) dengan rentang 3 MHz sampai dengan 30 MHz (Suhartini, 2008). Adapun propagasi atau perambatan gelombang antariksa (Sky Wave) dapat terlihat pada Gambar 2-1. Sistem komunikasi radio HF merupakan sistem komunikasi yang menggunakan media udara untuk ditransmisikan menuju penerima dan gelombang radio sebagai sinyal pembawa. Perangkat sistem komunikasi radio terdiri atas 3 (tiga) bagian utama yaitu pesawat radio, antena dan catu daya. Adapun hubungan perangkat sistem komunikasi radio HF dapat terlihat pada Gambar 2-2. Salah satu jenis aplikasi dari teknologi komunikasi radio HF yang terkini adalah sistem Automatic Link Establishment (ALE). Sistem ALE merupakan sistem adaptif yang mampu Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3 Gambar 2-3. Peta Stasiun ALE LAPAN (Dear, 2013). memilih frekuensi kerja antara 2 (dua) stasiun radio dengan melakukan evaluasi secara real time dari kondisi propagasi yang terjadi pada semua kanal atau frekuensi yang dimilikinya (Dear, 2012b). Sistem perangkat ALE masih dikategorikan relatif mahal, oleh karena itulah penggunaan teknologi ini sangat jarang dimanfaatkan oleh operator radio secara umum. Hanya beberapa institusi dengan dana yang cukup besar yang mampu menyediakan perangkat ini (BASARNAS, 2011). Saat ini LAPAN telah Analisis Efek Fenomena Equinoks Terhadap . . . 133 Tabel 3-1 Alokasi Frekuensi Stasiun ALE LAPAN. Kanal 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Gambar 2-4. Proses handshaking pada sistem jaringan ALE (Dear, 2011). Range Frekuensi Kerja 3,596 MHz 7,049 MHz 7,102 MHz 10,145 MHz 14,109 MHz 18,109 MHz 21,096 MHz 24,936 MHz 28,146 MHz dan waktu komunikasi seperti yang disajikan pada Gambar 2-5. 3. Gambar 2-5. Data yang diperoleh dari stasiun Bandung pada jaringan ALE Nasional (Dear, 2013). membangun beberapa stasiun komunikasi radio HF dengan peralatan jaringan sistem ALE di beberapa lokasi Indonesia (Gambar 2-3) yakni Bandung, Pontianak, Watukosek, Manado dan Kototabang yang bertujuan untuk riset pengamatan dinamika ionosfer dengan kondisi propagasi gelombang radio HF (Dear, 2012c). Dalam sistem jaringan ALE tiap-tiap stasiun selalu dalam kondisi siaga (standby) atau kondisi memanggil (calling). Pada saat dalam kondisi standby, radio akan melakukan proses scaning untuk memeriksa sinyal panggilan dari frekuensi-frekuensi yang dimiliki atau digunakannya (Gambar 2-4). Proses scaning tersebut memiliki durasi waktu antara 0,2 sampai 0,5 detik per satu frekuensi. Apabila saat proses scaning diterima oleh sinyal panggil yang ditujukan kepada stasiun tersebut, maka sinyal respon akan dikirimkan melalui frekuensi yang sama dan bersamaan dengan adanya proses menunggu sinyal-sinyal acknowledgment dari stasiun pemanggil (Dear, 2011). Dari stasiun-stasiun ALE tersebut, data yang dihasilkan berupa informasi frekuensi kerja Data dan Metode Data-data yang diperlukan dan metode yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : a. Data frekuensi kerja yang didapatkan dari peralatan Automatic Link Establishment (ALE) pada tanggal 21 s.d 23 di musim bulanbulan equinoks yaitu bulan Maret s.d April 2016 dan bulan September s.d Oktober 2016 yang terpasang pada lokasi Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Pontianak-LAPAN. Dalam penentuan frekuensi kerja sistem ALE mengacu pada alokasi kanal frekuensi yang digunakan terdiri atas 8 kanal dan berada pada rentang 3 s.d 30 MHz yang mana telah ditetapkan oleh LAPAN dan ditunjukkan pada Tabel 3-1. Adapun tampilan perekaman data frekuensi kerja peralatan ALE di Pontianak dapat ditunjukkan pada Gambar 3-1. b. Sistem pengumpulan data dilakukan dengan sistem ALE Pontianak akan menerima sinyal secara otomatis dari semua stasiun yang memancarkan sinyal dengan hasil data frekuensi, data frekuensi yang diterima secara otomatis akan ditampilkan ke monitor pada perangkat sistem ALE. Semua data akan tersimpan dalam bentuk file berupa teks, selanjutnya data akan diolah dengan software olale_v2.prj - IDL Development Enviroment (Gambar 3-2). 4. Pembahasan Peralatan ALE di Pontianak bekerja dengan sangat baik, hal ini terlihat dari distribusi sinyal data frekuensi kerja yang diterima oleh ALE di Pontianak dihasilkan dari beberapa sirkit kerja ALE di Indonesia yang ditunjukkan seperti pada Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3 134 H. Rasidi et al. Gambar 3-1. Pencatatan sinyal yang diterima oleh Sistem Jaringan Automatic Link Establishment (ALE) di Pontianak. Gambar 3-2. Diagram Alir Pengolahan dan Analisis Data. Gambar 4-1 dan Gambar 4-2. Berdasarkan Gambar 4-1 dapat dianalisis bahwa distribusi data frekuensi kerja pada saat terjadinya equinoks yakni 21-23 Maret 2016 dan pasca equinoks yakni tanggal 21-23 April 2016 menunjukkan komunikasi radio HF tidak dapat dilakukan pada saat terjadinya equinoks pukul 5 s.d 7 UT dengan sinyal frekuensi kerja yang lemah pada kanal 2. Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3 Hal ini dibuktikan dari hasil pembacaan data 21 Maret 2016 saat sirkitnya BDG-PTK dengan kanal frekuensi kerja 2 pada saat terjadinya equinoks pukul 5-7 UT keadaan komunikasi lemah dan data 21 April 2016 dengan kondisi yang sama keadaan komunikasi kuat. Sirkit pemancar sinyal yang banyak diterima oleh ALE Pontianak adalah Bandung (BDG), Watukosek (WTK) dan Pekan Baru (PKB) dimana frekuensi kerja yang paling baik untuk dilakukan komunikasi adalah pada kanal 2 atau frekuensi kerjanya sekitar 7 MHz. Khusus pada 21 Maret dan 21 April 2016 diterima sinyal dari sirkit Biak (BIK) yang berjarak 2962 km dari sirkit Pontianak dengan komunikasi kuat pada kanal 2 dan 5 atau frekuensi kerjanya sekitar 7 MHz dan18 MHz. Adapun hasil pembacaan distribusi managemen data kanal frekuensi kerja ALE Pontianak pada 21-23 Maret dan April 2016 dapat jelas terlihat dalam Tabel 4-1. Hal ini dibuktikan dari hasil pembacaan data 22 September 2016 saat lokasinya WTKPTK dengan kanal frekuensi kerja 3 pada saat terjadinya equinoks pukul 5 UT sampai dengan 7 UT keadaan komunikasi lemah dan data 22 Oktober 2016 dengan kondisi yang sama keadaan komunikasi kuat. Sirkit pemancar sinyal yang banyak diterima oleh ALE Pontianak adalah Bandung (BDG) dan Watukosek (WTK) dimana frekuensi kerja yang paling baik untuk dilakukan komunikasi adalah pada kanal 3 atau frekuensi kerjanya sekitar 7 MHz. Khusus pada 21-23 september diterima sinyal dari sirkit Kupang (KOE) dengan komunikasi kuat pada kanal 6 atau frekuensi kerjanya sekitar 18 MHz dengan jarak sejauh 1939 km dari sirkit Pontianak. Adapun hasil pembacaan distribusi managemen data kanal frekuensi kerja ALE Pontianak pada 21-23 September dan Oktober 2016 dapat jelas terlihat dalam Tabel 4-2. Berdasarkan Gambar 4-2 dapat dianalisis bahwa distribusi data frekuensi kerja pada saat terjadinya equinoks yakni 21-23 September 2016 dan pasca equinoks yakni tanggal tanggal 21-23 Oktober 2016 menunjukkan komunikasi radio HF tidak dapat dilakukan pada saat terjadinya equinoks pukul 5 s.d 7 UT dengan sinyal frekuensi kerja yang lemah pada kanal 3 kecuali pada 21-23 September 2016 komunikasi dapat dilakukan saat terjadinya equinoks pukul 5 s.d 7 UT dengan sinyal kuat pada kanal 6 dan sirkit pemancar sinyalnya dari Kupang (KOE) dengan jarak sejauh 1939 km dari sirkit Pontianak. Analisis Efek Fenomena Equinoks Terhadap . . . 135 Gambar 4-1. Distribusi data frekuensi kerja ALE pada 21 sampai dengan 23 Maret dan April 2016 di Pontianak. Gambar 4-2. Distribusi data frekuensi kerja ALE pada 21 sampai dengan 23 September dan Oktober 2016 di Pontianak. Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3 136 H. Rasidi et al. Tabel 4-1. Distribusi Frekuensi Kerja (Fk) saat Equinoks Bulan Maret-April 2016 berdasarkan data lokasi, kanal frekuensi kerja dan waktu. BDG-PTK (788 km) WTK-PTK (888 km) PKB-PTK (879 km) BIK-PTK (2962 km) 2& 3 5–7 Lemah Waktu Fk Sangat Kuat (UT) 10 – 16 1,2 & 3 5–6 Lemah 10 – 17 1,2 & 3 - 10 - 19 3 5–7 - 16 BDG-PTK (788 km) WTK-PTK (888 km) PKB-PTK (879 km) 3 6–7 Lemah 14 – 16 1&3 2 1&3 - Lemah - 20 & 19 15 – 20 15 – 18 BDG-PTK (788 km) WTK-PTK (888 km) PKB-PTK (879 km) 1,2 & 3 7 Lemah 18 3 5–7 Lemah 18 – 19 1&2 3 - - 16 – 18&18 17 – 18 BDG-PTK (788 km) WTK-PTK (888 km) PKB-PTK (879 km) BIK-PTK (2962 km) 2&3 5–6 Kuat 9 – 10 2&3 1 3 6 6 6–7 7 Lemah Kuat Kuat 19 8 – 10, 12 16 – 19 7 BDG-PTK (788 km) WTK-PTK (888 km) PKB-PTK (879 km) 3 5 Kuat 0, 8 – 9 3 6–7 Kuat 11 – 12 1&2 - - 0 & 10 BDG-PTK (788 km) WTK-PTK (888 km) PKB-PTK (879 km) 3 - - 0 – 2, 4, 8 – 11 3 6–7 Kuat 8–9 2 3 5–7 Kuat 9 – 10 6 – 10 Sirkit ALE (Jarak) Tanggal Data 21 Maret 2016 22 Maret 2016 23 Maret 2016 21 April 2016 22 April 2016 23 April 2016 Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3 Keadaan Fk Saat Equinoks Waktu (5-7 UT) Ket Kanal Fk Analisis Efek Fenomena Equinoks Terhadap . . . 137 Tabel 4-2. Distribusi Frekuensi Kerja (Fk) saat Equinoks Bulan September-Oktober 2016 berdasarkan data lokasi, kanal frekuensi kerja dan waktu. Tanggal Data 1 5 6 1 2&3 4 6,7 1&3 - - Waktu Fk Sangat Kuat (UT) 22 – 23 14 10 – 15 0,12 9 11 10 – 12 & 15 6 6 Kuat 2,13,23 BDG-PTK (788km) WTK-PTK (888 km) PKB-PTK (879 km) KOE-PTK (1939 km) 1&2 - - 23 – 24 1&2 2 1&2 5–7 - Lemah - 17– 20 & 19 – 20 0,11,12,16 11 & 11 – 12 1 5 5–7 Kuat 23 5 – 7,8 – 12 BDG-PTK (788 km) WTK-PTK (888 km) 1 - - 16,20 1&2 3 5–7 Lemah KOE-PTK (1939 km) 5 6–7 Kuat 10 – 15 & 10, 14 – 18 10 – 15, 17 7,8,15,15 21 Oktober 2016 BDG-PTK (788 km) WTK-PTK (1939 km) 22 Oktober 2016 BDG-PTK (788 km) 1 3 1&2 3 4 1&2 3 7 6–7 6–7 7 Lemah Lemah Kuat Kuat 16 13 10 – 11 15 – 18 9 – 11,12,14 6 10-16 10 - 16 1,2 3 6 7 1,2 3 5–7 5–7 7 5–6 Kuat Kuat Kuat Lemah 1&2 3 4 5–7 5–7 Kuat Lemah 21 September 2016 Sirkit ALE (Jarak) BDG-PTK (788 km) WTK-PTK (888 km) PKB-PTK (879 km) KOE-PTK (1939 km) 22 September 2016 23 September 2016 WTK-PTK (888 km) 23 Oktober 2016 BDG-PTK (788km) WTK-PTK (1939 km) Kanal Fk Keadaan Fk Saat Equinoks Waktu (5-7 UT) Ket 5–6 Lemah 5 Lemah 6-7 Kuat 10 - 12 1,13 – 15 6–8 10 – 11 10,13,18 & 10,11,17 10,13 0,11 10 &16 - Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3 138 H. Rasidi et al. 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penulisan terkait analisa distribusi komunikasi ALE terhadap kejadian equinoks di Pontianak pada tahun 2016 dapat disimpulkan bahwa : a. Sirkit pemancar sinyal yang banyak diterima oleh ALE Pontianak pada 21-23 Maret dan April 2016 adalah Bandung (BDG), Watukosek (WTK) dan Pekan Baru (PKB) dengan kanal frekuensi kerja yang paling baik dalam berkomunikasi adalah kanal 1 atau sekitar frekuensi 7 MHz. b. Sirkit pemancar sinyal yang banyak diterima oleh ALE Pontianak pada 21-23 September 2016 dan Oktober 2016 adalah Bandung (BDG) dan Watukosek (WTK) dengan kanal frekuensi kerja yang paling baik dalam berkomunikasi adalah kanal 3 atau sekitar frekuensi 7 MHz. c. Saat terjadinya equinoks yakni 21-23 Maret dan September 2016 menunjukkan bahwa komunikasi tidak dapat dilakukan dari pukul 5 s.d 7 UT saat waktu maksimum matahari dengan sinyal frekuensi kerja yang bersifat lemah dan hanya pada kanal 2 terkecuali pada 21-23 September 2016 pada sirkit Pontianak dan Kupang (KOE) komunikasi dapat dilakukan dengan sinyal kuat pada kanal 5 atau sekitar frekuensi 18 MHz. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala dan pegawai fungsional perekayasa Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Pontianak atas kesediaan kontribusi terkait bantuannya dalam memberikan arahan dan masukan untuk dapat memanfaatkan hasil data peralatan ALE. Rujukan Awaliyah, N., Prasetiyono, H. M., Gamantyo, H. (2014). Karakteristik Kanal Radio Sistem Prosiding SNSA 2016 ISBN: 978-602-17420-1-3 Komunikasi High Frequency (HF) pada lintasan Surabaya – Merauke, Jurnal Teknik POMITS, 1, 1. Basarnas. (2011). Kunjungan dan Diskusi dalam Rapat Kerja BASARNAS April 2011, Bogor. Dear, V. (2011). Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link Establishment (ALE) Berbasis Manajemen Frekuensi, Berita Dirgantara, 18, 61. Dear, V. (2012a). Jaringan Stasiun ALE LAPAN Untuk Mendukung Komunikasi Darurat di Indonesia, Control and Informatics International Seminar 2012, Universitas Brawijaya, Malang. Dear, V. (2012b). Kajian Studi Kasus Peristiwa Peningkatan Absorbsi Lapisan D Pada Tanggal 7 Maret 2012 Terhadap Frekuensi Kerja Jaringan Komunikasi ALE, Berita Dirgantara, 13, 112. Dear, V. (2012c). Pengamatan Propagasi Komunikasi Radio HF Menggunakan Jaringan Autimatic Link Establisment (ALE) Nasional dan pemanfaatannya, Workshop Kerjasama LAPAN-UNSRAT, Manado. Dear, V. (2013). Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit Komunikasi Radio HF Berdasarkan Data Jaringan Automatic Link Establishment (ALE) Nasional, Berita Dirgantara, 14, 3. Nurmali, D. dan Suhartini, S. (2006). Komunikasi Data Digital Menggunakan Gelombang Radio HF, Berita Dirgantara,7, 28. Ristianti, N., Suhartini, S., Dear. V., Abadi, P., Ekawati, S., Mardiani, A. S., Nurmali, D. (2013). Lapisan Ionosfer Managemen Frekuensi dan Teknik Komunikasi Radio, Berita Dirgantara, 1, 1. Suhartini, S. (2008). Sudut Elevasi dan Ketinggian Antena Untuk Komunikasi Radio HF, Berita Dirgantara, 9, 75. Bagian III Lingkungan Antariksa 139