Opini Hairul Sobri Eep Pulihkan Sumsel, Wujudkan Keadilan Iklim #Climate Justice Mengkritisi kondisi lingkungan hidup pada hari ozon sedunia yang jatuh ditanggal 16 September 2017. Target Paris Agreement/COP21 yang merupakan konvensi kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim, yang menyepakati menjaga kenaikan temperatur global tidak melebihi 2oC, dan mengupayakan menjadi 1,5oC. hal ini ditindak lanjuti pemerintah Indonesia dengan membuat UU No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement Menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai National Determined Contribution (NDC) pada 2030. Mempertanyakan komitmen Negara yang menargetkan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% di tahun 2020 dan 29% ditahun 2030. Dengan baseline emisi Indonesia 2.87 Gton CO2e di semua sektor1 yang menjadi acuan keberhasilan untuk mengurangi emisi penyebab GRK. 5 sektor target pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi diantaranya, energi, Limbah, industrial processes and production use (IPPU) proses industri dan penggunaan produk, Pertanian, dan Kehutanan. Diantara 5 sektor tersebut yang paling penghasil emisi adalah sektor kehutanan dan disusul oleh sektor energi. Sektor kehutanan emisi terbesar berasal dari kebakaran hutan dan sektor energi berasal dari pembangkit khusunya PLTU yang berbahan baku batubara. Dan sumatera selatan merupakan provinsi terbesar yang menghasilkan emisi dari kedua sektor tersebut. Di sektor kehutanan sumatera selatan menargetkan penurun emisi sebesar 18,9 jtTon CO2e2 dari total target nasional sebesar 497 jtTon CO2e, sektor paling besar dari 5 sektor target pemerintah nasional. Hal ini tidak sebanding dengan emisi yang dihasilkan sumatera selatan dalam 3 tahun terakhir. Sektor kehutanan dan lahan di sumatera selatan merupakan penyumbang emisi terbesar, kita ketahui bahwa sumatera selatan adalah penghasil emisi gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan lahan terutama areal gambut yang sudah dibebankan izin kepada perusahaan skala besar yang rakus ruang. Lahan gambut yang menyimpan 14% karbon dunia atau sekitar 329-525 GTon CO2e. Dengan besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut khususnya sumatera selatan seharusnya pemerintah daerah dapat melihat dan mempertanyakan kemampuan pemegang izin yang terbukti tidak mampu menjaga gambut 1 2 Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim http://ditjenppi.menlhk.go.id Sekretariat RAN-GRK Prov. Sumatera Selatan dari lepasnya karbon yang sangat besar akibat kebakaran dalam 3 tahun terakhir ini. Tindak nyata yang dilakukan pemerintah daerah untuk menurunkan emisi. Sangat disesalkan kalau pemerintah daerah selama ini dalam kasus kebakaran hutan dan lahan masih lemah untuk melakukan penegakan hukum dan menjerat perusahaan pembakar hutan. Seolah terlihat tegas pemerintah daerah hanya menjadikan masyarakat lokal sebagai tumbal pelaku pembakar hutan dan lahan, tanpa melihat lagi kearifan lokal, luasan dan sumber penyumbang emisi di sektor kehutanan akibat kebakaran selama terutama di areal lahan gambut yang dibebani izin perusahaan skala besar. Dengan total luasan 1,5 juta hektar izin yang diberikan kepada perusahaan HTI di sumatera selatan. Hampir seluruh wilayahnya aizin HTI berada dilahan gambut. Melihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. Sumatera selatan (RPJMD) melalui Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2014 periode 2013-2018 disebutkan bahwa sumatera selatan memiliki luas hutan 3.670.957 Ha atau sekitar 41,96% dari total luasan sumatera selatan. Bahkan pemerintah daerah juga telah mengakui sebagai salah satu provinsi yang rentan terhadap kebakaran hutan yang berdampak terhadap provinsi lain bahkan negara tetangga. Namun di dalam RPJMD tersebut pemerintah daerah berinisiatif untuk “Kawasan hutan yang terdeforestasi dan terdegradasi bila tidak dimanfaatkan untuk kegiatan hutan tanaman atau dialihfungsikan menjadi usaha perkebunan atau pertanian lainya akan berpotensi menjadi semak belukar dan belukar rawa atau dapat berpotensi menjadi lahan kritis”. Kebijakan daerah kontradiktif dengan target penurunan emisi areal terdeforestasi malah akan di alihfungsikan. Seharusnya pemerintah daerah melakukan pencegahan untuk areal-areal kritis dan melakukan pemulihan dengan melibatkan masyarakat lokal serta mengacu kearifan lokal masyarakat untuk mengelola dan memulihkan lahan yang di bekali pengetahuan pertanian yang berkelanjutan. Bukan sebaliknya dengan memberikan izin-izin perkebunan baru. Di sektor Energi sumatera selatan menargetkan penurun emisi sebesar 54 jtTon CO2e3 dari total target nasional sebesar 314 jtTon CO2e yang merupakan sektor terbesar kedua dari 5 sektor penurunan emisi yang dicanangkan pemerintah nasional. Ada 8 PLTU di Sumatera selatan yang saat ini existing, dan 3 diantaranya PLTU yang baru dibanun dalam 1 tahun terakhir. 1 PLTU dibangun di kabupaten Muba yang pemanfaatannya pun untuk kebutuhan industry bukan untuk memenuhi kebutuhan listrik rakyat, dan 2 PLTU lainnya dibangun di kabupaten Lahat yang merupakan PLTU mulut tambang. PLTU mulut tambang menggambarkan bahwa sektor energi yang dibangun merupakan cara eksplotasi pihak 3 Sekretariat RAN-GRK Prov. Sumatera Selatan pemodal dan pemerintah untuk menguras SDA secara massif. Emisi besar yang keluar dari sektor energi bersumber dari PLTU yang berbahan batubara. Dengan adanya energi kotor ini, secara nasional Kemetrian ESDM memperkirakan membutuhkan biaya sekitar 3500 triliun untuk menekan emisi sampai target yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 314 jtTon CO2e. sedangkan income pemerintah dari sektor energi hanya 100 triliun tiap tahunnya. bertolak belakang dengan kebijakan internasional Indonesia untuk menurunkan emisi. Pemerintah Indonesia malah berencana akan membangun 6 PLTU di sumatera selatan. Lapisan ozon yang semakin tahun semakin menipis akibat besarnya emisi yang dihasilkan akan berdampak GRK. Membuat suhu bumi menjadi panas dan harus segera di pulihkan. Semua elemen masyarakat dunia harus sadar bahwa ancaman GRK agar bumi tidak bisa dihuni lagi oleh generasi mendatang harus dilawan. Di Sumatera selatan sendiri pemerintah harus memulai percaya bahwa kearifan lokal masyarakat mengelola SDA harus didukung demi terjaganya kesejahteraan dan keseimbangan ekologis. Pemerintah juga harus percaya terhadap rakyatnya dengan dampingan dan dukungan pemerintah keadilan iklim yang selama ini hanya selogan dapat terwujud. Pemerintah juga harus memulai dan berinovasi untuk membangun pembangkit energi yang terbarukan dan ramah lingkungan sesuai karakteristik daerah masing-masing.