BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian “Lieben und arbeiten”, untuk mencinta dan untuk bekerja. Pernyataan Freud ini menggambarkan dua ranah utama dari kehidupan orang dewasa, dimana pekerjaan merupakan salah satunya. Dalam masa perkembangan dewasa muda, pekerjaan merupakan salah satu tugas perkembangan utama yang harus dipenuhi. Pekerjaan memiliki banyak fungsi dalam kehidupan manusia. Salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan. Namun bagi kebanyakan orang, makna pekerjaan tidak hanya dilihat dari kompensasi uang yang diperoleh. Pekerjaan memberikan banyak makna lain pada kehidupan manusia, antara lain memberikan makna lebih mendalam bagi pengembangan individu. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Craig (1986), bahwa kerja merupakan kesempatan bagi individu untuk mengembangkan kreativitas dan produktivitas serta meningkatkan harga diri. Selain itu, menurut Lemme (1995), pekerjaan merupakan faktor utama yang menentukan status dan kelas sosial ekonomi individu. Aristoteles (Bertens, 1993) menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia di dunia. Kebahagiaan itu sendiri dapat dicapai dengan terpenuhinya kebutuhan hidup dan ada banyak cara yang ditempuh oleh masing-masing individu. Oleh karena 1 2 itu, selain berfungsi untuk untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kesempatan bagi individu untuk mengembangkan kreativitas serta produktivitas, bekerja juga memiliki fungsi untuk mencapai kebahagiaan. Orang bekerja untuk memperoleh penghasilan dan pencapaian karier. Orang berkeluarga untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Begitu pula orang belajar untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan. Semua kegiatan tersebut dilakukan untuk memperoleh satu tujuan, yaitu kebahagiaan. Ketika peneliti mencoba memasukan kata kunci kebahagian, kepuasan hidup dan kualitas hidup di berbagai forum internet dan hasilnya menunjukkan bahwa ternyata di masyarakat definisi ketiga istilah tersebut saling tumpang tindih satu sama lain. Bagi beberapa orang kebahagiaan mungkin berarti mempunyai kelimpahan materi atau mendapatkan semua yang diinginkan. Bagi mereka, kebahagiaan diukur dengan pencapaian materi yang seringkali menganggap orang yang kaya akan merasa lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang hidup serba kekurangan. Namun bila ditanyakan lebih lanjut kepada orang yang kaya ternyata mereka pun belum tentu merasa bahagia dengan segala kelimpahan materi yang dimilikinya. Selanjutnya ada pula yang akan merasa bahagia bila bisa membuat orang lain bahagia atau memberikan manfaat kepada sesama manusia atau bagi sebagian orang dengan menikmati dan mensyukuri apa yang dimilikinya dapat membuatnya merasakan kebahagiaan. Pada pendapat terakhir terlihat bahwa kebahagiaan berkaitan dengan rasa puas 3 terhadap hidup, yaitu dengan mensyukuri apa yang dimiliki atau dengan kata lain akan bahagia bila merasa puas dengan hidupnya. Kepuasan hidup itu sendiri merupakan istilah yang sering dikaitkan dengan kebahagiaan dan kualitas hidup. Bagi sebagian orang kebahagiaan diukur dengan cara melihat kepuasan akan hidupnya. Bila mereka merasa puas maka mereka juga akan mengatakan dirinya bahagia. Sedangkan untuk menilai kepuasan hidup itu berbeda bagi tiap individu. Masingmasing individu mempunyai batasan ideal sendiri yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan hidupnya. Oleh karena itu kepuasan hidup pun menjadi sangat subjektif sesuai dengan batasan ideal yang dimiliki oleh masing-masing individu. Bila kita bicara mengenai kepuasan hidup maka tidak bisa dilepaskan dari bagaimana seseorang menilai kualitas hidupnya. Penilaian kualitas hidup biasanya dilihat dari kepuasan individu terhadap hidupnya begitu pula sebaliknya. Orang akan merasa puas bila kualitas hidupnya baik. Di lain pihak orang mempunyai kualitas hidup yang baik karena merasa puas akan pencapaian yang diraihnya dalam hidup. Tetapi pada kenyataannya dapat ditemui orang yang merasa puas dengan segala yang dimiliki dalam hidup, seperti materi, jabatan dan keluarga tetapi masih belum merasa bahagia dengan hidupnya. Ada juga yang merasa kualitas hidupnya buruk tetapi ternyata di dalam keterpurukannya itu masih bisa merasakan kebahagiaan. Maka dapat dikatakan bahwa bisa saja seseorang merasa puas tetapi tidak bahagia, merasa bahagia tetapi hidupnya buruk atau merasa bahagia walaupun tidak 4 puas dengan hidupnya. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti mengenai batasan dan hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup satu sama lain pada masyarakat. Perbedaan pengertian yang tumpang tindih di dalam masyarakat mengenai kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup bukanlah menjadi suatu hal yang mengherankan karena secara teoritis kedua hal tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Kebahagiaan dapat diartikan sebagai sebuah penilaian menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap, yang meliputi aspek kognitif dan afektif (Galati, Manzano & Sotgiu, 2006). Sedangkan yang dimaksud dengan kepuasan hidup adalah penilaian subjektif atas kualitas hidup seseorang (Sousa & Lyubomirsky, 2001). Lebih jauh lagi dapat diartikan sebagai kepuasan atau penerimaan seseorang atas peristiwa di dalam hidupnya atau pemenuhan keinginan dan kebutuhan seseorang di dalam kehidupannya secara menyeluruh. Berdasarkan pengertian diatas saja terlihat bahwa antara kebahagiaan dan kepuasan hidup ternyata saling berkaitan. Satu istilah lain yang juga berkaitan dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup adalah subjective well-being (SWB). Van Hoorn (2007) secara spesifik menyebutkan bahwa SWB terdiri dari dua komponen yang terpisah, yaitu bagian afektif yang merupakan evaluasi hedonis melalui emosi dan perasaan, serta bagian kognitif yang merupakan informasi berdasarkan penilaian seseorang akan harapannya terhadap kehidupan ideal. O’Connor (1993) menyebutkan bahwa istilah kepuasan hidup dapat 5 juga mengacu pada SWB yaitu merupakan penilaian individual akan kebahagiaan atau kepuasan yang menggambarkan penilaian global atas keseluruhan aspek dalam hidup seseorang. Galati, Manzano & Sotgiu (2006) menyatakan bahwa pada kenyataannya ketiga istilah di atas sering digunakan untuk menjelaskan jenis fenomena yang sama. Sebagai contoh, kebahagiaan dapat dilihat sebagai komponen dari subjective well-being (SWB) dan komponen lainya adalah kepuasan. Lebih lanjut diutarakan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup berhubungan sangat erat tetapi tidak sama (Gundelach & Kreiner, 2004). Bagi seorang konselor adiksi yang memiliki latar belakang mantan pecandu, kepuasan hidupdapat diperoleh ketika mereka terbebas dari ketergantungan dan menjadi manusia yang sehat, produktif dan memiliki nilai bagi diri sendiri dan orang lain. Konselor adiksi dengan latar belakang mantan pecandu tersebut memiliki keyakinan bahwa dengan membantu pecandu lain dapat pula membantu diri mereka untuk tetap konsisten dalam memelihara pemulihannya (man helping man to help him self). Memelihara pemulihan (recovery) dapat dicapai dengan memperbaiki kualitas hidup seorang mantan pecandu yang meliputi faktor biologi, psikologis, sosial dan spiritual. Konselor adiksi berfungsi sebagai sosok panutan (role model) bagi kliennya dalam menjalankan pemulihan mereka. Tanggung jawab sebagai sosok panutan dapat meningkatkan kualitas hidup karena ketika menggunakan narkoba, mereka cenderung 6 sering kali mengabaikan tanggung jawabnya. Selain faktor pemulihan, bagi seorang mantan pecandu, profesi sebagai konselor adiksi sangat menentukan kualitas hidup karena dengan demikian mantan pecandu memiliki pekerjaan yang cenderung sulit didapat sehubungan dengan stigma dan keterbatasan yang dimiliki oleh mereka. Mengukur kebahagian, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya diartikan sebagai sebuah penilaian menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap, yang meliputi aspek kognitif dan afektif. Ketika seorang konselor adiksimendapatkan kepuasan hidup dengan berguna bagi orang lain khususnya yang mengalami masalah ketergantungan sekaligus dapat memelihara pemulihan pribadinya dapat saja mereka juga mendapatkan kebahagiaan. Namun, apakah kebahagian tersebut masih dapat dirasakan ketika ternyata kliennya kembali menggunakan narkoba ? atau pekerjaan yang monoton dan berbagai cita-cita yang cenderung sulit untuk tercapai ? Sampai saat ini, peneliti belum menemukan adanya penelitian terdahulu yang berhubungan dengan masalah kebahagiaan dan kepuasan hidup pada konselor adiksi khususnya dengan latar belakang mantan pecandu baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Hal inilah yang merupakan alasan dilakukanya penelitian untuk melihat lebih dalam hubungan kebahagian terhadap kepuasan hidup yang dimiliki oleh konselor adiksi (studi kasus pada mantan pecandu). Pada penelitian ini responden yang akan digunakan adalah konselor adiksi yang bekerja di 7 Pusat Rehabilitasi, tepatnya Pusat Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN).Alasan peneliti adalah karena konselor adiksi yang bekerja di panti rehabilitasi tersebutsebagian besar adalah mantan pecandu dan selain konselor adiksi sebagai sebuah profesi, mereka juga sebagai sosok panutan bagi pecandu lain dalam menjalani pemulihannya dan berusia dewasa muda. Alasan lainnya karena pada institusi tersebut, peneliti mendapatkan jumlah minimun 30 responden untuk dijadikan sampel sebagai syarat penelitian kuantitatif, dimana hal ini sangat sulit ditemukan pada institusi lain yang jumlah konselor adiksi dengan latar belakang mantan pecandu lenih sedikit jika dibandingkan dengan konselor adiksi dengan latar belakang bukan mantan pecandu. Desain penelitian yang digunakan adalah non-experimental dengan cara pengambilan data melalui kuesioner. Data yang diperoleh akan diolah menggunakan perhitungan statistik parametrik dengan metode korelasi. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraiakan di atas, berikut ini adalah permasalahan penelitian yang hendak dijawab melalui penelitian ini: Apakah terdapat hubungan kebahagiaan dengan kepuasan hidup konselor adiksi mantan pecandu narkoba ? 8 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kebahagiaan dengan kepuasan hidup konselor adiksi dengan latar belakang mantan pecandu. 1.4 Kegunaan Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang hubungan kebahagiaan (happiness) dan kepuasan hidup (life satisfaction) dari seorang konselor adiksi dengan latar belakang mantan pecandu dan dapat memperkaya penelitian-penelitian sebelumnya yang juga membahas aliran psikologi positif yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Sedangkan secara praktis, penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi kepada pihak-pihak yang peduli dengan kesejahteraan konselor adiksi khususnya dengan latar belakang mantan pecandu. 1.5 Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini terdiri dari enam bagian. Adapun sistematika penulisan pada laporan ini adalah sebagai berikut: Bab I. Pendahuluan Berisi latar belakang penelitian dilakukannya penelitian mengenai kebahagiaan dan kepuasan hidup konselor adiksi, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini. 9 Bab II. Kajian Pustaka Pada bab ini, peneliti mengemukakan hasil kajian kepustakaan yang berhubungan dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup (subjective well being), kerangka pemikiran dan hipotesis. Bab III. Objek Dan Metode Penelitian Menegaskan pendekatan, metode dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Bab IV. Hasil Penelitian Dan Pembahasan Memberikan penjelasan mengenai ciri-ciri lokasi penelitian termausk populasi yang merupakan lingkungan fisik dan karakteristik dari objek yang di teliti serta memaparkan dan menganalisis data secara statistik. Bab V. Kesimpulan Dan Saran Berisi kesimpulan yang menjawab permasalahan penelitian, diskusi yang memuat perbandingan dengan temuan-temuan sebelumnya serta keterbatasan penelitian, saran teoritis untuk mengembangkan penelitian, dan saran praktis yang dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian.