NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN KECEMASAN MASUK SEKOLAH Oleh: ELVIDAWATY RINA MULYATI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006 HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN KECEMASAN MASUK SEKOLAH Elvidawaty Rina Mulyati INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterampilan sosial anak dengan kecemasan masuk sekolah. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang negatif antara keterampilan sosial anak dengan kecemasan masuk sekolah. Responden penelitian adalah siswa Taman Kanak-Kanak yang berusia empat sampai dengan enam tahun, yang baru mengawali pendidikannya di Taman Kanak-Kanak saat penelitian ini dilaksanakan. Metode yang digunakan adalah metode observasi dengan menggunakan instrument Rating Scale. Rating Scale dibuat sendiri oleh peneliti yang berjumlah 15 aitem yang dibuat dengan mengacu pada teori kecemasan yang dikemukakan oleh Maramis (2004). Sedangkan untuk Rating Scale keterampilan sosial berjumlah 18 aitem diadaptasi dari alat ukur yang digunakan oleh Mager (dalam Cartledge & Milburn, 1995). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan uji statistik korelasi Product Moment dari Spearman’s dengan fasilitas program SPSS versi 12.0 for windows untuk menguji apakah ada hubungan antara keterampilan sosial anak dengan kecemasan masuk sekolah. Hasilnya menunjukkan rxy = -0,140 dengan p = 0,215 (p > 0,05). Artinya, tidak ada hubungan antara keterampilan sosial anak dengan kecemasan masuk sekolah. Jadi hipotesis penelitian ditolak. Kata kunci: Keterampilan Sosial, Kecemasan Masuk Sekolah NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN KECEMASAN MASUK SEKOLAH Telah Disetujui Pada Tanggal ________________________ Dosen Pembimbing Utama (Rina Mulyati, S.Psi., M.Si) Latar Belakang Masalah Masa awal anak-anak (early childhood) merupakan periode perkembangan yang merentang dari akhir masa bayi hingga usia kira-kira 5 atau 6 tahun. Pada masa ini anak mulai belajar untuk mandiri, mengembangkan berbagai keterampilan seperti pengenalan huruf, mematuhi perintah, dan juga menghabiskan waktu dengan bermain terutama teman sebayanya. Periode ini disebut juga “tahun-tahun prasekolah” karena merupakan masa persiapan bagi anak untuk memasuki sekolah dasar (Santrock,1995). Pertama kali anak memasuki lingkungan baru diantaranya Taman KanakKanak, umumnya mereka mengalami ketakutan dan juga kekhawatiran. Manifestasi dari perasaan takut ini bisa menimbulkan macam-macam gejala gangguan, antara lain berupa: kejang atau sakit pada perut, sering buang air besar, sering kencing, sakit kepala, dan timbulnya tics (gerak-gerak facial pada wajah; misalnya mengedip-ngedipkan mata terus menerus, menggeleng-gelengkan kepala, mengerenyit-ngerenyitkan alis, menyengir-nyengirkan bibir dan hidung, dan lain-lain) atau anak jadi cepat marah/agresif. Ada kalanya anak juga jadi pemurung dan penakut (Kartono, 1990). Hasil Survey awal yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa pada minggu-minggu pertama anak memasuki Taman Kanak-Kanak, beberapa anak menangis karena harus berpisah dengan orangtuanya, anak tidak ingin ditinggal orangtuanya, anak menjadi pendiam dan pemalu, dan juga anak datang ke sekolah dengan wajah murung. Fenomena ini tidak hanya terjadi Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat, dimana banyak ditemui anak-anak yang mengeluh dan menolak untuk pergi ke sekolah. Penolakan tersebut ditunjukkan dengan munculnya keluhan anak seperti sakit perut setiap senin pagi, anak terlihat enggan dan harus dipaksa berangkat ke sekolah, anak dengan sengaja melupakan sesuatu supaya terlambat pergi ke sekolah, anak sering berkata benci sekolah atau tidak ingin berangkat sekolah dan ketika berada di sekolah selalu mengatakan ingin pulang (D’Alessandro & Huth, 2002). Perilaku anak yang muncul terkait dengan penolakan untuk pergi ke sekolah jika berlangsung dalam waktu yang panjang dan terjadi pada usia pertumbuhan bukanlah suatu hal yang bisa dianggap ringan tetapi mengarah pada masalah yang lebih serius. Salah satunya adalah perasaan cemas yang dialami saat akan masuk ke sekolah dan berdasarkan data penelitian tahun 2003 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa gangguan kecemasan adalah salah satu bentuk penyakit jiwa terbanyak yang dialami oleh anak-anak dan 10% diantaranya membutuhkan perawatan medis (Kruger, 2003). Kecemasan masuk sekolah secara sederhana dapat diartikan sebagai bagian dari kecemasan umum akibat rasa takut berpisah dari ibu atau pengganti ibu, dan ketidakmampuan berdiri sendiri (Hurlock, 1993). Salah satu penyebab anak-anak mengalami kecemasan masuk sekolah adalah adanya sesuatu yang mengganggu mereka, antara lain adanya permasalahan pada guru atau dengan teman, ketidakmampuan belajar, perubahan di rumah, tidak ingin ditinggalkan oleh orangtua, perasaan malu, merasa gugup di sekolah, kelas atau situasi sekolah yang baru, tugas-tugas sekolah yang terlalu mudah dan membosankan, tugas-tugas sekolah yang terlalu sulit dan membuat frustrasi (D’Alessandro & Huth, 2002). Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1993) yang mengatakan bahwa rasa cemas akan cenderung meningkat bila tiba saatnya pergi ke sekolah dan beberapa aspek situasi sekolah yang dianggap tidak menyenangkan oleh anak. Kenyataannya, tidak semua anak-anak yang memasuki masa sekolah ini menunjukkan gejala kecemasan. Beberapa anak justru senang saat akan memasuki sekolah yang baru. Mereka menunjukkan perilaku mudah bergaul dengan teman atau gurunya, cepat beradaptasi dengan lingkungan sekolah, senang berada di sekolah karena dapat menunjukkan bakatnya, dan mereka aktif di kelas. Mereka tidak memiliki permasalahan saat berinteraksi dengan guru atau dengan teman atau bahkan dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Sebagai makhluk sosial, idealnya anak dapat mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial. Anak-anak harus dapat menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Salah satu modal yang perlu dimiliki anak untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah keterampilan sosial. Dengan menguasai keterampilan sosial, anak akan lebih mudah dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga dia dapat berkembang secara normal dan sehat (Mu`tadin, 2002). Penelitian Schaps (dalam Goleman, 1997) yang dilakukan di Taman KanakKanak hingga Sekolah Dasar kelas 6 di Northern California, menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki keterampilan sosial lebih mudah diterima oleh lingkungan sosialnya. Mereka memiliki karakteristik: mampu bertanggung jawab, tegas, populer dan mudah bergaul, bersifat sosial dan suka menolong, memahami orang lain, tenggang rasa, penuh perhatian, terampil dalam menyelesaikan konflik, dan juga pintar dalam menerapkan starategi untuk menyelesaikan masalah antarpribadi. Anak yang tidak memiliki keterampilan sosial yang baik biasanya ditunjukkan dengan ketidakmampuan anak dalam menafsirkan atau menggunakan bahasa tubuh, seringkali salah paham atau keliru memanfaatkan ekspresi wajah misalnya gagal melakukan kontak mata, anak gugup bila harus melakukan percakapan ringan, tidak mengetahui kapan harus mengakhiri pembicaraan dan merasa takut bahwa apa yang dibicarakannya tidak dapat menarik minat orang lain. Ketidakmampuan menyebabkan mereka dalam diabaikan melakukan atau pergaulan ditolak oleh sosial sehari-hari teman sebayanya (Goleman,1997). Menurut Michelson, dkk (dalam Prawitasari dan Hadjam, 2002) Keterampilan sosial meliputi keterampilan-keterampilan memberikan pujian, mengeluh karena tidak setuju terhadap sesuatu hal, menolak permintaan orang lain, tukar pengalaman, menuntut hak pribadi, memberikan saran kepada orang lain, pemecahan konflik atau masalah, berhubungan atau bekerjasama dengan orang lain yang berlainan jenis kelamin, berhubungan dengan orang yang lebih tua dan lebih tinggi statusnya, dan sebagainya. Dengan karakteristik seperti mampu bertanggung jawab, tegas, populer dan mudah bergaul, bersifat sosial dan suka menolong, memahami orang lain, tenggang rasa dan penuh perhatian, penulis berasumsi anak dengan keterampilan sosial yang tinggi memiliki kecemasan masuk sekolah yang rendah sebaliknya, anak yang memiliki keterampilan sosial yang rendah akan memiliki kecemasan masuk sekolah yang tinggi. Dari asumsi tersebut maka timbul keinginan peneliti untuk mengetahui secara lebih “Apakah benar ada hubungan antara keterampilan sosial anak dengan kecemasan masuk sekolah?” Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keterampilan sosial anak dengan kecemasan masuk sekolah. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Dengan mengadakan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang mampu memperluas wawasan ilmiah pada psikologi perkembangan dan klinis pada khususnya, dan juga psikologi pada umumnya dalam mengetahui keterampilan sosial yang dimiliki oleh anak sehingga dapat mengurangi dan mengatasi kecemasan masuk sekolah yang dialami oleh anak-anak khususnya pada masa prasekolah atau Taman Kanak-Kanak. b. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau dasar bagi orangtua yang berkaitan dengan perkembangan anak-anak yang mengalami kecemasan masuk sekolah sehingga orangtua dapat membantu anak untuk mengatasi perasaan cemasnya tersebut. Kecemasan Masuk Sekolah 1. Pengertian Kecemasan Menurut Hurlock (1997) kecemasan adalah keadaan mental yang tidak enak berkenaan dengan sakit yang mengancam atau yang dibayangkan. Rasa cemas ditandai oleh kekhawatiran, ketidakenakan, dan perasaan yang tidak baik yang tidak dapat dihindari oleh seseorang; disertai dengan perasaan tidak berdaya karena merasa menemui jalan buntu; dan disertai pula dengan ketidakmampuan menemukan pemecahan masalah yang dihadapi. Rasa cemas mungkin diekspresikan dalam perilaku yang mudah dikenal seperti murung, gugup, mudah tersinggung, tidur yang tidak nyenyak, cepat marah dan kepekaan yang luar biasa terhadap perkataan atau perbuatan orang lain. 2. Pengertian Kecemasan Masuk Sekolah Kecemasan tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, tetapi juga dialami oleh anak-anak. Anak-anak mengalami cemas merupakan akibat dari suatu ketidaknyamanan, kerusuhan atau pertentangan yang bersifat rangkap. Seperti adanya sesuatu yang mengganggu dalam hubungannya dengan orang-orang yang memiliki peranan penting dalam kehidupannya yang bisa mengakibatkan munculnya masalah dalam diri anak. Diantaranya terdapat kecenderungankecenderungan yang bertentangan atau tidak serasi dan menimbulkan suatu ketegangan serta pertentangan (Jersild,1962). Dapat disimpulkan bahwa kecemasan masuk sekolah yaitu suatu keadaan psikologis yang berupa rasa khawatir secara terus menerus, tidak berdaya dan rasa ketidaknyamanan yang amat sangat yang ditimbulkan oleh sesuatu dari dalam diri atau dari luar diri yang biasanya muncul bila tiba saatnya berangkat ke sekolah maupun saat berada di sekolah. Gejala fisik yang sering ditemui adalah keringat yang berlebihan, sakit perut dan gemetaran bahkan keinginan untuk buang air kecil terus menerus dan tics. 3. Aspek-Aspek Kecemasan Masuk Sekolah Maramis (2004) membagi gejala-gejala (komponen) dari kecemasan menjadi dua, yaitu : a. Gejala-gejala (komponen) somatik, berupa sesak napas, dada tertekan, kepala ringan seperti mengambang, linu-linu, epigastrium nyeri, cepat lelah, palpitasi, dan keringat dingin. Gejala lain pada motorik, pencernaan, pernapasan sistem kardiovaskuler, genitourenaria atau susunan saraf pusat. b. Gejala-gejala (komponen) psikologik, yang timbul dalam rasa was-was, kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, prihatin dengan pikiran orang mengenai dirinya. Anak akan mengalami ketegangan yang terus-menerus dan tidak mampu bersikap santai. Kadang-kadang dilihat dari cara bicaranya yang cepat, tetapi terputus-putus. 4. Jenis-jenis Kecemasan Masuk Sekolah Kaplan dkk (1997) membagi kecemasan menjadi dua jenis yaitu: a. Kecemasan Normal Kecemasan merupakan suatu penyerta yang normal dari pertumbuhan, dari perubahan, dari pengalaman sesuatu yang baru dan belum dicoba, dan dari penemuan identitasnya sendiri dan arti hidup. Kecemasan masuk sekolah adalah normal bagi anak-anak pada hari pertama sekolahnya karena mereka mulai memasuki lingkungan baru yang lebih luas dibandingkan dengan lingkungan keluarga. b. Kecemasan Patologis Kecemasan patologis adalah respon yang tidak sesuai terhadap stimulus yang diberikan berdasarkan intensitas atau durasinya ketika mengalami kecemasan. 5. Penyebab Kecemasan Masuk Sekolah Kartono & Andari (1989) menyatakan penyebab dari kecemasan masuk sekolah adalah ketakutan dan kecemasan yang terus menerus, disebabkan oleh kesusahan-kesusahan dan kegagalan yang bertubi-tubi. Misalnya kegagalannya dalam menjalin hubungan dan interaksi sosial dengan teman sebayanya. Kegagalan ini akan membuat rasa cemas pada diri anak apakah dia diterima atau ditolak oleh teman sebayanya. Sedangkan menurut Supratiknya (1995) sebab munculnya gangguan kecemasan masuk sekolah adalah modeling, yaitu mencontoh orang tua yang memiliki sifat tegang dan pencemas. 6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Masuk Sekolah Mengenai kecemasan yang dialami anak pada masa sekolah awal dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu : a. Keadaan diri Individu Rasa cemas sering berkembang setelah melalui suatu periode rasa khawatir yang kuat, sehingga melemahkan kepercayaan pada diri sendiri dan menimbulkan perasaan tidak mampu. Ketidakpuasan diri yang mereka alami tidak terbatas pada suatu situasi spesifik, tetapi bahkan meluas (Hurlock, 1997). b. Pengalaman yang tidak menyenangkan Hal ini dinyatakan oleh Supratiknya (1995) yang mengatakan bahwa perasaan cemas dapat timbul karena pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dalam pergaulan. c. Lingkungan keluarga Rasa cemas juga bisa disebabkan karena penularan. Jika anak-anak berhubungan terlalu akrab dengan orang yang cemas, misalnya ibunya atau saudaranya mereka mungkin akan menirukan kecemasan. Jika mereka sebelumnya telah menderita rasa cemas maka hubungan dengan orang yang cemas cenderung akan meningkatkan kecemasan (Hurlock,1997). 7. Sekolah Sekolah diperlukan bagi anak untuk dapat mengembangkan fungsi intelektualnya dan juga mengembangkan potensi lain yang ada dalam dirinya (Kartono,1990). Lingkungan sekolah yang baru dapat membuat rasa cemas pada anak karena perubahan situasi dari lingkungan keluarga yang kecil menjadi lingkungan sekolah yang lebih luas. Kemampuan anak dalam beradaptasi maupun berinteraksi dengan orang lain di sekolah sangat menentukan apakah anak itu diterima atau ditolak oleh temannya. Keterampilan Sosial Pada Anak 1. Pengertian Keterampilan Sosial Keterampilan sosial merupakan kemampuan yang beraneka ragam untuk mengeluarkan perilaku-perilaku yang tampak; baik berupa tingkah laku positif maupun negatif dan tidak mengeluarkan perilaku yang dilarang atau tidak disukai oleh orang lain (Libet & Lewinson dalam Cartledge & Milburn, 1995). Morgan (dalam Cartledge & Milburn, 1995) menambahkan keterampilan sosial tidak hanya membutuhkan kemampuan untuk memulai dan menjaga interaksi positif dengan orang lain, tetapi juga termasuk kemampuan untuk menerima objektivitas yang dimilikinya untuk berinteraksi dengan yang lainnya. Jika seseorang dapat lebih sering atau lebih banyak menerima keobjektivitasannya dalam berinteraksi dengan orang lain, maka akan lebih mudah bagi orang lain untuk memberikan penilaian bagi orang tersebut. 2. Keterampilan Sosial Pada Anak Dari penjabaran beberapa pengertian disimpulkan keterampilan sosial pada anak kemampuan individu untuk berperilaku yang sesuai dengan aturan yang ada ataupun yang diinginkan oleh orang lain sehingga seseorang dapat berinteraksi ataupun memulai interaksi dengan yang lain. Perilaku tersebut diantaranya adalah dapat menghargai dan memahami perasaan orang lain, dapat lebih mengontrol diri, menjalin kerjasama dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku. 3. Aspek-Aspek Keterampilan Sosial Mager (dalam Cartledge & Milburn, 1995) menggunakan dua aspek untuk mengukur keterampilan sosial pada anak-anak yaitu: a. Kesopanan Meliputi perilaku anak dalam menunjukkan sikap yang positif terhadap temanteman sebayanya maupun orang yang lebih dewasa. Sikap tersebut antara lain memberikan pujian, memberikan senyuman, mengucapkan terima kasih, membuat pernyataan yang positif dan juga perilaku yang baik dalam situasi yang beraneka ragam. b. Kerjasama Meliputi kemampuan anak untuk berpartisipasi dalam pekerjaan kelompok dengan teman sebaya atau orang yang lebih dewasa, kemampuan menjalankan pertemanan, dapat mengikuti aturan yang berlaku dalam kelompoknya. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data numerical (angka) yang diolah dengan metode statistika. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dengan menggunakan Rating Scale. Adapun Rating Scale yang digunakan adalah Rating Scale Kecemasan Masuk Sekolah dan Rating Scale Keterampilan Sosial. Subjek Penelitian Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa Taman KanakKanak yang berusia empat sampai dengan enam tahun, yang baru mengawali masa pendidikannya di Taman Kanak-Kanak saat penelitian ini dilaksanakan. Hasil Penelitian Hasil analisis deskriptif dapat diketahui bahwa secara umum subjek penelitian memiliki kecemasan masuk sekolah yang rendah, terlihat dari nilai mean empiriknya sebesar 23,53. Sedangkan keterampilan sosial sangat tinggi, terlihat dari nilai mean empiriknya sebesar 64,35. Dari hasil uji normalitas menunjukkan variabel Kecemasan Masuk Sekolah menunjukkan K-SZ = 0,595 ; p= 0,871 (p>0,05) berarti kecemasan masuk sekolah memiliki sebaran normal sedangkan variabel keterampilan sosial menunjukkan KSZ = 1,313 ; p=0,064 (p>0,05) berarti keterampilan sosial memiliki sebaran normal. Untuk uji linearitas diperoleh bahwa F = 0,648 ; p= 0,431 (p<0,05). Hasil menunjukkan bahwa antara keterampilan sosial dan kecemasan masuk sekolah bersifat tidak linear. Hasil Uji Hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Spearman’s. Hasil analisis data yang dilakukan menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara variabel Keterampilan Sosial dengan Kecemasan Masuk Sekolah sebesar rxy = -0,140 dengan p = 0,215 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara keterampilan sosial anak dengan kecemasan masuk sekolah. Dengan demikian hipotesis yang diajukan oleh peneliti ditolak. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki tingkat kecemasan masuk sekolah yang rendah dan keterampilan sosial yang tinggi, tetapi berdasarkan uji korelasi yang telah dilakukan tidak menunjukkan adanya korelasi antara keterampilan sosial anak dengan kecemasan masuk sekolah. Dengan demikian hipotesis penelitian yang menyatakan adanya korelasi negatif antara keterampilan sosial anak dengan kecemasan masuk sekolah, ditolak. Ditolaknya hipotesis tersebut disebabkan keterampilan sosial dengan kecemasan masuk sekolah tidak berpengaruh langsung. Keterampilan sosial ternyata tidak memiliki hubungan dengan kecemasan masuk sekolah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor yang mempengaruhi kecemasan masuk sekolah. Menurut Lang (dalam Goldstein,1995) kecemasan masuk sekolah dapat timbul karena faktor fisiknya yang tidak mendukung, kemampuannya dalam berpikir dan juga perilaku. Sedangkan menurut Hurlock (1993) minat anak pada sekolah juga dapat berpengaruh dalam menghadapi kecemasan masuk sekolah. Tingginya tingkat keterampilan sosial pada subjek penelitian disebabkan oleh semakin besarnya keinginan anak untuk dapat berinteraksi dengan teman sebayanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1997) yang menyatakan bahwa peningkatan perilaku sosial cenderung akan terjadi pada masa kanak-kanak awal. Diantara beberapa penyebab peningkatan perilaku sosial biasanya keinginan untuk diterima secara sosial merupakan pendorong yang cukup kuat bagi peningkatan perilaku sosial. Keterampilan sosial sangat mendukung keberhasilan seseorang dalam pergaulan dengan orang lain. Goleman (1997) berpendapat dengan memiliki keterampilan sosial akan memungkinkan seseorang untuk dapat membentuk hubungan, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi dan juga membuat orang lain merasa nyaman. Dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat kecemasan masuk sekolah pada subjek penelitian adalah rendah. Ini terlihat dari wajah anak-anak yang menunjukkan kegembiraan ketika datang ke sekolah. Kecemasan masuk sekolah yang rendah dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya adalah minat anak pada sekolah. Minat memegang peranan yang penting dalam kehidupan anak sebagai sumber motivasi untuk belajar, sumber aspirasi, kegembiraan dan prestasi (Hurlock, 1993). Sedangkan faktor eksternal adalah Taman Kanak-Kanak itu sendiri. Karena pada dasarnya pendidikan prasekolah bertujuan untuk memberikan pengalaman sosial di bawah bimbingan guru yang terlatih yang membantu mengembangkan hubungan yang menyenangkan agar anak-anak tidak mendapat perlakuan yang mungkin menyebabkan mereka menghindari hubungan sosial (Hurlock,1997). Kemungkinan lain penyebab ditolaknya hipotesis adalah adanya kelemahankelemahan dalam penelitian seperti pada saat pengambilan data yang menggunakan observasi. Sebaiknya, peneliti dalam pengambilan data menggunakan penilai lebih dari satu atau menggunakan interrater agar dapat membagi tugas melihat objek dari berbagai sisi, kemudian diintegrasikan untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap sehingga tidak bersifat subjektif. Kelemahan pada time sampling atau frekuensi pengambilan data yang hanya berlangsung satu kali saja juga dapat mempengaruhi hasil penelitian. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Kesimpulan hasil penelitian ini adalah : 1. Hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa ada korelasi negatif antara keterampilan sosial anak dengan kecemasan masuk sekolah ditolak. Artinya, tidak ada hubungan antara semakin tinggi keterampilan sosial, maka semakin rendah kecemasan masuk sekolah. Begitu juga sebaliknya, tidak ada hubungan antara anak yang memiliki keterampilan sosial yang rendah akan memiliki kecemasan masuk sekolah yang tinggi. 2. Sebagian besar subjek penelitian memiliki tingkat kecemasan masuk sekolah dalam kategori rendah, artinya subjek penelitian tidak memiliki kecemasan masuk sekolah yang berlebihan. 3. Tingkat keterampilan sosial pada sebagian besar subjek penelitian berada dalam kategori sangat tinggi, artinya subjek penelitian memiliki keterampilan sosial yang baik. B. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa saran yang dapat penulis berikan berkaitan dengan proses dan hasil yang diperoleh dari penelitian ini. Saran-saran tersebut, antara lain: 1. Bagi Subjek Penelitian Keterampilan sosial yang telah dimiliki oleh sebagian besar subjek penelitian sebaiknya tetap dilakukan baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan yang lebih luas. Keterampilan sosial juga dapat ditingkatkan dengan hal-hal yang sederhana seperti mengawali kontak sosial dengan orang lain, melibatkan diri dalam percakapan, mengungkapkan rasa terima kasih, mengucapkan “tolong” bila ingin meminta bantuan, mudah berkerjasama dengan orang lain, berperan aktif dalam suatu kelompok dan juga kegiatan-kegiatan lainnya. Hal ini penting dilakukan tidak saja bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain agar dapat diterima dengan baik di masyarakat. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti lain yang tertarik untuk menggali lebih lanjut mengenai kecemasan masuk sekolah atau keterampilan sosial disarankan untuk memperhatikan prosedur dalam pengambilan data. Seperti pada observasi, sebaiknya menggunakan lebih dari satu penilai untuk melihat objek dari berbagai sisi sehingga memperoleh gambaran yang lebih lengkap dan tidak bersifat subjektif. Selain itu, disarankan juga menggunakan metode kualitatif untuk mengetahui hubungan antara keterampilan sosial dengan kecemasan masuk sekolah agar memperoleh data yang lebih mendalam dengan observasi yang lebih baik dan juga wawancara. DAFTAR PUSTAKA Cartledge, G., Milburn, J.F. 1995. Teaching Social Skill to Children and Youth. Third Edition. United States of America : Allen and Bacon D’Allessandro, D., Huth, Lindsay. 2002. Children and School Anxiety. http.//www.vh.org.11/04/05 Goldstein, Sam. 1995. Understanding and Managing Children’s Classroom Behavior. Canada : John Wiley and Sons. Inc. Goleman, Daniel. 1997. Kecerdasan Emosional. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Hurlock, E.B. 1993. Perkembangan Anak. Jilid 2. Alih Bahasa Meitasari Tjandrasa. Jakarta : Erlangga ____________. 1997. Child Development. Alih Bahasa Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga Jersild, A.T. 1962. Psychologi Anak. Edisi Keempat. Alih Bahasa : Mochtar Buchori. Bandung : Tarate Kaplan, I.H., Sadock, J.B., Grebb, A.J. 1997. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku, Psikiatri Klinis. Edisi Ketujuh. Jilid Dua. Jakarta : Binarupa Aksara Kartono, K., Andari, Jenny. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan dalam Islam. Bandung : Mandar Maju Kartono, K. 1990. Psikologi Anak: Psikologi Perkembangan. Bandung : Mandar Maju Kruger, Pamela.2003. School Anxiety. http.//www.vh.org.11/04/05 Maramis, F.W. 1980. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Universitas Airlangga Mu’tadin, Zainun. 2002. Mengembangkan Keterampilan Sosial pada Remaja. http://www.e-psikologi.com.25/4/04 Prawitasari, Johana. 2002. Psikoterapi: Pendekatan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Konvensional dan Sabri, M.A. 1993. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya Santrock, W.J. 2002. Life Span Development : Perkembangan Masa Hidup. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga Supratiknya, A. 2002. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta : Kanisius Zulkifli, L. 1992. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya