Analisis Rasio Keuangan Dosen - nila firdausi nuzula

advertisement
Handout : Analisis Rasio Keuangan
Dosen : Nila Firdausi Nuzula, PhD
Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya
KEBIJAKAN DISTRIBUSI LABA (PROFIT DISTRIBUTION POLICY)
Perusahaan bisnis selalu berkeinginan untuk memperoleh excess return, yaitu
laba yang lebih besar melebihi kebutuhan reinvestasi untuk tetap mampu
bersaing (earnings exceed their annual reinvestment needs in order to remain
competitive).
Jika perusahaan memiliki kesempatan untuk berinvestasi
(investment opportunities), perusahaan dapat mengalirkan kelebihan dana nya
untuk membiayai investasi baru tersebut. Sebaliknya, jika tidak ada kesempatan
investasi yang sesuai, cash flow yang tersedia (disebut juga free cash flow) dapat
digunakan untuk membayar hutang, membiayai akuisisi, atau didistribusikan
kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau untuk membeli kembali
saham yang beredar (buy back).
Deviden
Salah satu bentuk distribusi laba adalah membayar deviden. Umumnya, deviden
dibayarkan pada interval waktu secara tetap (regular), dan jumlahnya seringkali
ditentukan berdasarkan profit yang diperoleh pada periode tersebut. Sebagai
contoh, di Amerika, pembayaran deviden umumnya dilakukan setiap tiga bulan
sekali. Sementara di negara-negara Eropa, distribusi profit dilakukan secara
tahunan atau tiap enam bulan sekali.
Pembayaran deviden berbeda-beda tergantung pada tipe industri atau bisnis.
Bisnis yang sedang tumbuh (growing business) cenderung tidak membayarkan
deviden, dan menggunakan kelebihan pendapatannya (excess income) untuk
membiayai pertumbuhannya. Sebaliknya, perusahaan yang telah mapan (wellestablished and slow-growing businesses) cenderung membayarkan sebagian
besar labanya, karena sedikit sekali kesempatan investasi yang menguntungkan
(worthwhile investment).
Untuk mengukur besar kecilnya distribusi deviden umumnya investor
menggunakan dividend payout ratio (DPR), yaitu dengan formula:
Mengingat deviden menggambarkan jumlah cash outflow dari modal, maka
investor lebih suka menghitung payout ratio dengan menggunakan operating
cash flow, terutama karena net profit tidak menunjukkan arus dana (actual funds
inflow) yang sesungguhnya.
1
Akan tetapi, banyak buku keuangan yang menggunakan profit per share, bukan
operating cash flow per share. Schmidlin (2014) menyatakan bahwa penggunaan
profit per share kurang menggambarkan situasi ekonomi dan keuangan dalam
pembayaran deviden (economic nature of the distribution of dividend). Oleh
karenanya, ia menyarankan penggunaan operating cash flow per share.
Sekali lagi, perusahaan yang sedang tumbuh dan memiliki kesempatan investasi
tinggi memiliki interpretasi berbeda tentang kinerja pembagian deviden.
Meskipun perusahaan menunjukkan adanya profit, tetapi kebutuhan investasi
yang tinggi pada working capital dan asset tetap cenderung menjadikan
perusahaan tersebut mengalami cash flow negatif. Dalam situasi ini, pembayaran
dividen hanya dapat dilakukan jika perusahaan mengajukan proposal pinjaman
dana dari bank.
Pada prinsipnya, deviden harus dibayarkan jika tidak terdapat kesempatan
investasi. Bagi negara, negara akan mendapatkan pajak dari pendapatan deviden
yang diterima oleh investor.
Indikator kedua adalah dividend yield, yang mengukur tingkat menariknya
saham karena terdapat pembayaran deviden (the attractiveness of a stock
considering its dividend payments). Formula yang digunakan untuk mengukur
dividend yield adalah sebagai berikut.
Rasio ini merupakan proporsi pembayaran deviden terhadap harga saham.
Dividend yield sebesar 5% menunjukkan ada potensi penerimaan deviden
sebesar $5 per lembar untuk setiap harga saham $100.
Pembayaran deviden juga dipengaruhi oleh bentuk perusahaan. Perusahaan
konglomerasi (holding companies), perusahaan yang dibiayai oleh modal sendiri
(private equity), atau perusahaan keluarga (family business) umumnya
mengharapkan arus deviden yang bersifat tetap (regular dividend stream).
Perusahaan ini umumnya memiliki porsi kepemilikan saham yang besar, dan
mengandalkan pembayaran deviden tahunan sebagai sumber pendapatan
utama.
Pembayaran deviden memberikan sinyal bahwa perusahaan yang membayarkan
deviden secara regular dan meningkat dari waktu ke waktu dipersepsikan
sebagai perusahaan yang aman dan well-established bagi investor. Pembayaran
deviden dalam periode yang lama merupakan bukti kemampuan perolehan cash
flow yang memadai.
Umumnya, besarnya deviden dapat disesuaikan dengan fluktuasi perolehan
profit. Tetapi ada kecenderungan bagi manajemen untuk tidak menurunkan
besarnya deviden yang dibayarkan, karena hal itu bisa berdampak pada reputasi
perusahaan. Jika perusahaan memiliki dividend ratio 50% dan sedang mengalami
2
penurunan profit, maka manajemen masih akan cenderung untuk minimal
membayarkan deviden dalam jumlah yang sama dengan pembayaran di tahun
sebelumnya.
Dividend payout ratio memiliki keuntungan untuk menggunakan kelebihan dana
(excess capital flows) yang tidak dapat diinvestasikan pada proyek-proyek yang
kurang menguntungkan. Hal inilah yang disebut sebagai free cash flow problem
hypothesis, bahwa perusahaan bisa saja mengeksekusi dan membiayai investasi
yang tidak menguntungkan sebagai upaya untuk mengurangi kelebihan modal
kerja (excess liquid assets) dalam perusahaan. Free cash flow problem dapat
dikurangi dengan adanya tingkat pembayaran deviden yang tinggi. Perlu
diketahui, untuk menghitung berapa free cash flow yang dimiliki perusahaan,
analis perlu mengurangkan capital expenditure dari operating cash flow
sebagaimana ditunjukkan pada laporan arus kas. Dengan kata lain, free cash flow
sama dengan nilai lebih jumlah operating cash flow dibandingkan nilai capital
expenditure (Schmidlin, 2014).
Perhitungan besarnya rasio operating cash flow dibandingkan capital
expenditure digambarkan dalam rasio capital expenditure (CAPEX ratio):
Rasio capex ini sebenarnya merupakan salah satu ukuran leverage perusahaan.
Perusahaan yang memiliki capex ratio lebih dari 100% menunjukkan
perusahaan banyak menggunakan dana eksternal (external fundings) untuk
mendanai investasinya. Dalam periode jangka panjang hal ini berdampak pada
jumlah hutang yang terlalu tinggi (excessive debts levels). Kinerja seperti ini
umumnya ditunjukkan oleh industry yang bersifat capital-intensive seperti
otomotif, penerbangan dan manufaktur berat. Investor yang memperhatikan
investasi dalam jangka panjang seperti ini umumnya tertarik pada adanya profit
jangka panjang dari dana yang diinvestasikan tersebut.
Share Buyback
Share buyback merupakan bentuk kedua dari kebijakan distribusi laba (profit
distribution). Pembelian kembali saham perusahaan disebut sebagai treasury
stock. Kebijakan pembelian kembali saham ini dapat mengurangi total jumlah
saham yang beredar di pasar, dan meningkatkan proporsi kepemilikan saham
masing-masing pemegang saham.
Sebagai contoh, suatu perusahaan memiliki 10 lembar saham beredar dengan
harga saham saat ini adalah $20. Jika Tuan A membeli 1 lembar saham, maka ia
akan memiliki 10% perusahaan tersebut. Jika manajemen memutuskan untuk
membeli kembali satu lembar saham dan tidak menjualnya kembali, maka hanya
3
terdapat 9 lembar saham beredar. Jadi, kepemilikan Tuan A atas saham
perusahaan adalah 1/9 atau 11.1%.
Hal yang menarik di sini adalah dalam hal pembelian kembali saham, harga
saham bisa jadi tidak terpengaruh oleh adanya buyback mengingat umumnya
buyback berarti ada arus kas keluar, dan adanya arus kas keluar bisa bermakna
berkurangnya potensi modal perusahaan. Yang perlu diingat, investor biasanya
merespon hal ini dengan penurunan harga saham, terutama jika kebijakan
pembelian kembali saham berhubungan dengan kinerja yang kurang baik. Tidak
terpengaruhnya harga saham ini terjadi karena pengurangan jumlah lembar
saham beredar biasanya diikuti dengan meningkatnya proporsi kepemilikan
saham oleh investor. Dalam hukum permintaan dan penawaran, pembelian
kembali saham mengakibatkan jumlah penawaran saham turun. Maka, terdapat
istilah bahwa ‘share buybacks increase the size of each individual’s piece of the
cake’.
Pembelian kembali saham umumnya efektif jika saham dibeli kembali
(repurchased) dengan harga yang rendah, artinya manajemen hanya perlu
membutuhkan dana lebih sedikit untuk mendapatkan sahamnya. Jika
perusahaan membeli saham dengan harga di atas nilai buku, harga saham
biasanya tidak jatuh dan tidak terpengaruh sepanjang perusahaan mampu
menghasilkan profit minimal sama besarnya dengan jumlah modal yang
berkurang karena kebijakan repurchasing tersebut.
Pembelian kembali saham dikatakan sebagai bentuk distribusi laba yang efisien
karena: 1) pembelian kembali saham berbentuk distribusi tidak langsung
(indirect distribution) ini biasanya bukan menjadi objek pajak, dan 2)
manajemen malah dapat meningkatkan kesejahteraan bagi para pemegang
saham melalui kebijakan ini.
Sebagai contoh, jika saham perusahaan sedang dalam kondisi undervalued,
manajemen dapat menggunakan modal berlebih (excess capital) untuk
melakukan pembelian kembali saham. Misalnya jika saham diperdagangkan
pada harga $5, tetapi berdasarkan hasil analisa harga normalnya adalah $10.
Manajemen dapat membeli kembali saham tersebut dengan harga murah. Akan
tetapi, sebelum melakukan pembelian kembali saham, manajemen harus
mendapatkan persetujuan dari pemegang saham, terutama dalam hal kapan
kebijakan tersebut direalisasikan dan berapa jumlah lembar saham yang akan
dibeli kembali.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa kebijakan pembelian kembali saham belum
tentu dapat meningkatkan nilai bagi pemegang saham. Pembelian kembali
saham harus dilakukan dari sudut pandang profitabilitas, untuk kepentingan
membagi (distribusi) laba. Kebijakan repurchasing tanpa mempertimbangkan
harga dan jumlah saham beredar saat ini bukan merupakan kebijakan keuangan
yang baik (sustainable financial policy) karena dana yang akan digunakan untuk
4
membeli kembali saham baiknya bisa diinvestasikan dalam proyek lain secara
lebih efektif. Dampaknya adalah price-to-earnings ratio bisa jadi menurun karena
manajemen cenderung mengeluarkan dan mendistribusikan dana, bukan
berinvestasi dalam proyek. Pelaku pasar memahami hal tersebut dan respon
pasar cenderung buruk, ditandai dengan menurunnya harga saham, karena
berinvestasi dalam perusahaan menjadi kurang menarik.
Kebijakan yang salah dalam hal pembelian kembali saham adalah repurchasing
dengan menggunakan dana berasal dari hutang. Di Amerika, beberapa tahun
sebelum krisis finansial pada tahun 2008/2009, banyak perusahaan yang
melakukan pembelian kembali dengan menggunakan dana pinjaman.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, muncul pertanyaan, tipe kebijakan distribusi yang
seperti apakah yang dikatakan optimal? Berikut ini adalah beberapa pedoman
umum distribusi profit.
1. Perusahaan harus tetap berorientasi untuk mempertahankan perolehan
profit, sehingga kelebihan modal harus dapat diinvestasikan kembali
(reinvested) secara menguntungkan (profitable), sementara hutang harus
dikurangi hingga pada level cukup dan dapat dikelola (adequate and
manageable level).
2. Pada saat harga saham berada pada level yang tepat, manajemen dapat
mempertimbangkan untuk membeli kembali saham dibandingkan membagi
deviden. Repurchasing dapat menghemat pengeluaran pajak, dan saham yang
telah dibeli (treasury stock) dapat digunakan sebagai cadangan yang dapat
dijual kembali di kemudian hari.
3. Distribusi deviden bersifat sensitive terhadap harga saham. Perusahaan yang
selalu membagi deviden relatif memiliki harga saham mahal. Kekurangan
pembagian deviden adalah pemegang saham dikenakan pajak atas
pendapatan deviden.
4. Laba dapat ditahan jika perusahaan tidak memiliki proyek investasi yang
memadai. Cadangan kas ini dapat menyebabkan pendanaan perusahaan
bersifat fleksibel, dan keputusan investasi penting dapat didanai secara
internal dan lebih efisien.
5
Download