SKRIPSI

advertisement
PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM
TERHADAP PRODUK HERBAL YANG TIDAK BERSERTIFIKASI HALAL
DI KABUPATEN SLEMAN
SKRIPSI
Oleh :
ANI MUGI RAHAYU
No. Mahasiswa: 09410434
PROGRAM STUDI (S1) ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2013
viii
MOTTO
“Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu adalah
untuk dirinya sendiri.”
_Q.S Al-Ankabut: 6_
“Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah
akan menghilangkan darinya satu kesusahan di Hari Kiamat.”
_HR. Muslim_
“Obstacles don’t have to stop you. If you run the wall, don’t turn around and give
up. Figure out how to climb it, go through it, or work around it.”
_Michael Jordan_
“Jangan ragu dan malas untuk memulai sesuatu yang positif, karena ketika kamu
telah melakukannya kamu bahkan akan melakukannya terus tanpa ingin
berhenti.”
“Seberapa besar perjuanganmu akan menentukan seberapa besar hasil yang
kamu dapatkan.”
_Penulis_
ix
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan:
Untuk Bapak dan Ibuku yang sangat aku sayangi yang senantiasa sabar
mendidik, membimbing, mendoakan dan mendukungku
Untuk kakak-kakak kandungku tersayang yang selalu memberi masukan dan doadoanya
Untuk sahabat-sahabatku yang terus berdiri di sampingku sampai akhir
Untuk kamu........
Untuk Universitas Islam Indonesia almamater yang akan selalu aku banggakan
x
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan hidayah, kesempatan, dan kemudahan kepada kita semua dalam
menjalankan amanah yang menjadi tanggung jawab kita. Shalawat serta salam
selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga
dan para sahabat, karena dengan syafa’atnya kita dapat hijrah dari zaman jahiliyah
yang penuh kegelapan menuju zaman penuh berkah yang terang benderang.
Atas karunia dan pertolongan dari Allah SWT, penulis akhirnya dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN KONSUMEN
MUSLIM
TERHADAP
PRODUK
HERBAL
YANG
TIDAK
BERSERTIFIKASI HALAL DI KABUPATEN SLEMAN”. Penulisan skripsi
ini dimaksudkan sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1)
pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penulisan skripsi
ini akan sulit terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan staf pendidikan serta
seluruh pihak yang terlibat.
Pada kesempatan ini izinkan penulis menghaturkan terima kasih yang tak
terhingga kepada:
1. Allah SWT, yang selalu ada dalam setiap langkah, atas karunia, hidayah, akal,
pikiran, kekuatan, kesehatan, dan segala kemudahan-Nya.
xi
2. Pahlawan besar dunia, Rasulullah Muhammad SAW, yang telah membawa
dunia dari jaman yang gelap menuju jaman yang terang dan cerah ini.
3. Ayahanda Kamiso dan Ibunda Sarinah, serta saudara-saudara kandung saya
mbak Fera, mas Yayan dan mbak Eci, saudara ipar mas Yanto dan kak Ade,
terimakasih atas do’anya dan dukungannya karena dengan do’a itu jalan terjal
yang sekiranya akan menghambat dapat disingkiran oleh para malaikat.
4. Bapak. Bagya Agung Prabowo, SH. M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, bantuan
pemikiran dan pengarahan dengan sabar dan bijaksana yang sangat berguna
bagi saya dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
5. Bapak. Dr. Rusli Muhammad, SH. M.H selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia.
6. Bapak Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec, selaku Rektor Universitas Islam
Indonesia.
7. Dosen dan Staf Karyawan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang
telah memberikan bimbingan.
8. Bapak Dr. Drs. Rohidin, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Akademik.
9. Lembaga Konsumen Yogyakarta terima kasih mbak Awi
10. LPPOM MUI Yogyakarta terima kasih Bapak Elvy Effendi
11. BPOM Yogyakarta terima kasih Bapak Dwi Fitri Hatmoko
xii
12. Keluarga besar di rumah saya Pekanbaru, keluarga di Padang dan Kutuarjo
yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada saya.
13. Keluarga besar UKM Basket FH UII yang sangat saya cintai, mas Muhammad
Hawari Dahlan, SH; mas Hafiz Siraz, SH; mas Andrea Begawan Poentadatri,
SH; Bang Reza Vahlevi, SH; mas Surya Gautama, SH; mas Arif, mas Eky,
Putra, Ago, Agi, Yudi, Atta, Adi, Aik, Lintang, Brian, Ius, Santoso, Fitria,
Ramzy, Ozik, Juda, Darma, dll; Rozzyana Nyndhya alias Odjie (partner
manager yang setia,sehati, dan sejiwa), coach Alfa dan Coach Johan, terimah
kasih atas dukungan dan iringan doa untuk saya.
14. Sahabat-sahabat saya di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang
sangat saya sayangi Roro Ajeng Muninggar, Woro Restu Pangasih, Oktri
Defilania, Veni Dwi Puspitadewi, Maryam Qurrotu Aini, Siwi Sulistianingtyas,
Aditya Rahmandita, dan Lalu Satya Ardi Purnama Putra, kalian yang selalu
memberi dukungan, semangat, doa, dan selalu ada untuk saya sampai akhir.
15. Sahabat-sahabat SMA yang paling tersayang Ledy Setyawati Lestari, Della
Notary, Rhininta Adistyarani, Anisa Rahmanita, Nadia Annisa, Inez Dwi Fuji
Astuti, Wahyuni Permata, Ariful Adli, Leonard Bima Antasari, dan Arief
Fadliansyah, kalian yang walaupun terpisah jarak masih selalu memberi
dukungan, semangat, doa dari jauh, dan selalu ada untuk saya sampai saat ini.
16. Teman-teman
KKN
Unit
144,
‘IPENK’ryanto
Yudha
Pratama,
Fadhlan’JHONI’ Sukoco, Mbokde Puji PurnaWENWEN, Dwiki ‘HANG JI
xiii
WOOK’ Prawatya, Normawati ‘IvayaIva’ Arifah dan BUNDO Rethmawati
Putri.
17. Teman-teman
seperjuangan, senior dan junior baik reguler maupun IP di
Fakultas Hukum yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang senantiasa
berbagi nasihat dan dukungan khususnya untuk.
18. Teman-teman, kakak-kakak dan adik-adik
yang berada di luar Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia yang tidak bisa saya sebutkan satu per
satu, terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.
Semua pihak yang sudah berpartisipasi, memberikan doa, dan memberi
dukungan baik materi maupun non materi yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu saya ucapkan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap kepada para pembaca
untuk senantiasa dapat memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Semoga amal baik yang telah disumbangkan oleh semua pihak dalam
penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat dan bernilai ibadah, Amiiin..
Wassalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh
Yogyakarta, 08 April 2013
Hormat saya
Penulis
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PENGAJUAN ................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
iv
ORISINALITAS PENULISAN ………………………………………………... v
CURRICULUM VITAE ………………………………………….…………… vi
HALAMAN PERNYATAAN REVISI ………………………………………. vii
HALAMAN MOTTO ....................................................................................... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... ix
KATA PENGANTAR .......................................................................................... x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiv
ABSTRAK ........................................................................................................ xvii
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 12
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 12
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 12
E. Metode Penelitian ............................................................................. 19
F. Kerangka Skripsi ............................................................................. 22
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
MUSLIM
TERHADAP
PRODUK
YANG
TIDAK
xv
BERSERTIFIKASI HALAL DAN TANGGUNG JAWAB PELAKU
USAHA
A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen Muslim
terhadap Produk yang Tidak Bersertifikasi
Halal ..................................................................................................... 24
1. Pengertian Konsumen dan Konsumen Muslim ............................... 24
2. Hak dan Kewajiban Konsumen ....................................................... 28
3. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen ............................................ 32
4. Asas, Tujuan, dan Manfaat Perlindungan Konsumen ..................... 36
5. Sanksi terhadap Pelanggaran Perlindungan Konsumen .................. 40
6. Hak atas Informasi .......................................................................... 43
7. Sertifikasi Halal ............................................................................... 51
B. Tinjauan Umum tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha
terhadap Produk yang Tidak Bersertifikasi
Halal ..................................................................................................... 58
1. Tinjauan Umum tentang Pelaku Usaha ........................................... 58
2. Tinjauan Umum tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha ............... 65
3. Tanggung Jawab Produk (Product Liability) .................................. 74
BAB
III.
PERLINDUNGAN
PRODUK
HERBAL
KONSUMEN
YANG
MUSLIM
TIDAK
TERHADAP
BERSERTIFIKASI
HALAL DI KABUPATEN SLEMAN
A. Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Produk Herbal
xvi
yang Tidak Bersertifikasi Halal di Kabupaten
Sleman ................................................................................................... 79
1. Peredaran Produk Herbal yang Tidak Bersertifikasi Halal
di Kalangan Konsumen .................................................................... 79
2. Peredaran Produk Herbal yang Tidak Bersertifikasi Halal
di Kalangan Pelaku Usaha ............................................................... 84
3. Perlindungan Konsumen dari LPPOM MUI .................................... 88
4. Perlindungan Konsumen dari LKY .................................................. 93
5. Perlindungan Konsumen dari BPOM ............................................... 95
B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha atas Produk Herbal yang
Tidak Bersertifikasi Halal di Kabupaten Sleman ............................. 98
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 103
B. Saran ..................................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan konsumen muslim
terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dan tanggung jawab
pelaku usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten
Sleman. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana
perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi
halal dan bagaimana tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang
tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman. Penelitian ini menggunakan
sumber data primer dan data sekunder, data primer diperoleh melalui
wawancara langsung dengan subjek penelitian dan data sekunder diperoleh
melalui kepustakaan baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara
yakni melakukan tanya jawab langsung dengan subjek penelitian mengenai halhal yang berkaitan dengan penelitian dan melalui studi kepustakaan yakni
mencari data dengan cara mempelajari buku-buku, literatur, jurnal, makalah,
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Analisis data yang
dilakukan dengan cara memaparkan data secara normatif berdasarkan
permasalahan penelitian yang dikaitkan dengan perundang-undangan yang
berlaku untuk mencari penyelesaiannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi
halal di Kabupaten Sleman yang seharusnya diterima oleh konsumen sebagai
pemenuhan atas hak informasi belum dipenuhi oleh pelaku usaha yaitu tidak
mencantumkan label halal yang disertifikasi oleh MUI pada kemasan produk
herbal yang diperdagangkannya. Lebih lanjut tanggung jawab pelaku usaha
terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman
belum terpenuhi karena kurangnya kesadaran dari pelaku usaha. Penelitian ini
merekomendasikan perlu segera ditetapkan aturan hukum beserta sanksi yang
tegas yang mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal produk
yang diperdagangkannya di wilayah Indonesia serta peran aktif pemerintah dan
lembaga yang berwenang dalam melakukan sosialisasi dan pengawasan untuk
meningkatkan kesadaran pelaku usaha dan konsumen akan pentingnya produk
halal dan resmi kehalalannya dari MUI.
Kata kunci: perlindungan konsumen, muslim, sertifikasi halal, produk herbal.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Produk herbal merupakan suplemen vitamin, obat-obatan atau kosmetik
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan di mana ekstrak dari seluruh atau sebagian
bahan tumbuh-tumbuhan tersebut dijadikan sebagai obat sehingga obat herbal
disebut juga dengan obat botani.1 Istilah herbal atau disebut juga herba
memiliki arti nama jenis tumbuhan yang mempunyai batang basah karena
banyak mengandung air dan tidak mempunyai kayu.2 Produk herbal cenderung
lebih bersifat alami sehingga lebih aman untuk dikonsumsi dan digunakan
karena berasal dari ekstrak alami tumbuh-tumbuhan.
Seiring dengan berkembangnya waktu dan kehidupan serta kesibukan
masyarakat, kini muncul produk herbal dalam bentuk praktis untuk digunakan
seperti berupa kapsul, tablet, minyak, lotion, dan sebagainya. Demi
mendapatkan bentuk praktis tersebut tentu tumbuh-tumbuhan herbal harus
melewati serangkaian proses pengolahan dan biasanya dalam pengolahannya
harus ditambahkan dengan zat-zat tertentu. Penambahan zat-zat tersebut hanya
diketahui oleh produsen atau pihak yang mengolah tumbuh-tumbuhan herbal
tersebut. Masyarakat sebagai pengguna atau konsumen hanya tinggal membeli
dan kemudian mengkonsumsinya saja sebagai produk herbal. Produsen
1
Pengertian Obat Herbal terdapat dalam http://multiherbal.net/pengertian-obat-herbal746.html, diakses pada tanggal 7 Oktober 2012, 12:45 WIB.
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ke-2, Balai Pustaka, Jakarta, 1989,
hlm. 304.
2
seharusnya memberikan informasi terkait segala sesuatu yang berhubungan dan
terkandung dalam produk herbal yang diproduksinya. Informasi tersebut tentu
saja harus dicantumkan pada kemasan produk yang dijualnya itu.
Seperti jamur di musim hujan, peredaran produk herbal seakan menjadi
tren. Banyak keunggulan dari produk herbal yang menyebabkan sebagian besar
masyarakat lebih memilih produk herbal sebagai alternatif. Indonesia adalah
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam sehingga tidak menutup
kemungkinan bahwa pengguna produk herbal tersebut adalah masyarakat
muslim pula, sehingga adalah suatu kewajiban bagi mereka untuk
mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal. Perintah ini telah secara
tegas dan jelas diatur oleh Allah SWT bagi umat Islam untuk memakan
makanan yang halal dan baik yakni dalam Q.S Al-Maidah ayat 88 yang artinya
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah
rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kami beriman
kepada-Nya.”3 Kehalalan suatu produk merupakan faktor utama dan
fundamental yang menjadi pertimbangan umat Islam sebelum mengkonsumsi
makanan. Karena dengan mengkonsumsi makanan atau minuman yang halal
akan memberikan ketenteraman batin kepada manusia sehingga ia dapat
menjalankan segala aktivitas dan ibadahnya dengan lancar karena senantiasa
diiringi oleh perasaan tenang.
3
Elvi Zahara Lubis “Hubungan Pencantuman Label Halal dengan Perlindungan Konsumen”
dalam Moral & Adil, volume 1, 2009, hlm. 30.
3
Menjadi sangat penting bagi umat muslim untuk mengetahui apakah
produk yang akan dibeli atau dikonsumsinya itu halal atau tidak, sehingga
dalam hal ini produsen atau pelaku usaha harus mencantumkan label halal pada
kemasan produk yang dijualnya. Hal ini karena mengingat masih rendahnya
tingkat pengetahuan masyarakat terhadap bahan baku yang terkandung dalam
suatu produk.4 Label yang diberikanpun tidak hanya sekedar label halal karena
label halal tersebut terlebih dahulu harus mendapatkan sertifikasi halal yang
diberikan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia atau yang selanjutnya disingkat dengan LPPOM MUI
yang merupakan lembaga yang ditunjuk untuk memiliki kewenangan atas hal
tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun
2001.5
Kepentingan masyarakat terutama umat muslim untuk mengetahui
informasi mengenai kehalalan suatu produk telah dijamin oleh negara yang
pengaturannya terdapat pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disingkat dengan UUPK. UUPK ini
ada untuk melindungi konsumen karena secara historis konsumen dianggap
pihak yang memiliki posisi tawar lebih lemah sehingga dikeluarkan aturanaturan dan regulasi khusus untuk melindungi kepentingan konsumen sehingga
meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen secara tidak langsung
4
5
Ibid.
Ibid., hlm. 31.
4
mendorong pelaku usaha agar lebih bertanggungjawab.6 Lemahnya posisi
konsumen dibandingkan posisi pelaku usaha ini disebabkan karena sejak dari
proses sampai diperoleh hasil produksi barang atau jasa, konsumen tidak
terlibat campur-tangan sedikitpun.7
UUPK pasal 3 butir d menyebutkan bahwa perlindungan konsumen
bertujuan
untuk
menciptakan
sistem
perlindungan
konsumen
yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi. Keterbukaan informasi di sini berarti adanya
perilaku saling jujur antara konsumen dan pelaku usaha untuk memberi
informasi yang berhubungan dengan barang atau jasa dalam kegiatan transaksi
dan keterbukaan informasi ini benar-benar harus ada dan menjadi bagian dalam
praktik penerapan hukum perlindungan konsumen. Salah satu informasi
tersebut berupa informasi mengenai kehalalan suatu produk yang telah
mendapat sertifikasi dari LPPOM MUI.
Setiap konsumen memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu produk. Pasal 4 butir c UUPK
menyebutkan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hak atas informasi
ini sangat penting karena jika informasi yang diberikan kepada konsumen
tentang suatu produk tidak memadai maka hal ini juga merupakan salah satu
6
Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, cetakan ke-1, Nusa media, Bandung, 2010,
hlm. 27.
7
Erman Rajagukguk dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, Mandar Maju,
Bandung, 2000, hlm. 37.
5
bentuk cacat produk, yakni disebut dengan cacat instruksi atau cacat karena
informasi yang tidak memadai.8 Apabila konsumen telah memperoleh
informasi yang benar tentang manfaat, bahan yang terkandung, kehalalan, dan
lain-lain tentang suatu produk maka akan timbul kenyamanan dan
ketenteraman batin bagi konsumen sehingga manfaat dari produk tersebut
dapat lebih dirasakan. Pelaku usaha juga dilarang untuk memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan
dalam label pada kemasan produk.
Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi dan transaksi, banyak
pelaku usaha yang tidak lagi memperhatikan hak-hak yang dimiliki konsumen.
Banyak para pelaku usaha hanya memikirkan keuntungan yang kelak akan
diperolehnya. Padahal, apabila pelaku usaha secara jujur memberikan
informasi yang dibutuhkan oleh konsumen maka dengan sendirinya ia akan
menjadi dipercaya serta keuntungannyapun akan semakin meningkat. Pelaku
usaha tidak lagi memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang produk
yang dijualnya, terutama informasi tentang kehalalan produknya yang jelasjelas hal ini merupakan informasi penting dan menjadi pertimbangan utama
khususnya bagi umat muslim dalam mengkonsumsi suatu produk. Kini banyak
beredar obat-obatan dan kosmetik herbal yang tidak memiliki label
bersertifikasi halal, sekalipun ada label halal tetapi tidak memperoleh
sertifikasi halal dari LPPOM MUI. Terlebih lagi pelaku usaha yang
8
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, edisi ke-1,
PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 41.
6
memproduksi obat-obatan dan kosmetik herbal juga seorang muslim. Hal ini
tentu saja membuat umat muslim menjadi takut untuk mengkonsumsi obatobatan
dan
kosmetik
herbal,
sedangkan
sebenarnya
mereka
sangat
membutuhkan produk-produk tersebut salah satunya sebagai alternatif
pengobatan kesehatan tubuh. Konsumen memiliki pengetahuan yang sedikit
tentang bahan baku yang terkandung dalam obat-obatan dan kosmetik herbal,
meskipun terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang sudah pasti halal, namun dalam
pengolahannya tentu ditambahkan lagi suatu zat atau enzim tertentu yang tidak
dipahami oleh konsumen walaupun dicantumkan pada kemasan produknya.
Bukan hal yang mustahil apabila zat atau enzim tambahan tersebut
mengandung suatu unsur yang tidak halal, oleh karena itu di sinilah letak
betapa pentingnya informasi halal pada suatu produk yang dicantumkan pada
kemasan terutama bagi umat muslim atau dapat disebut juga konsumen
muslim.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa pangan halal adalah pangan yang
tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk
dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan
tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya, termasuk bahan
pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan
yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.
Pasal 10 Undang-Undang ini juga menyatakan bahwa setiap orang yang
memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah
7
Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal
bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan
wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label, pernyataan
tentang halal sebagaimana dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari label.
Berdasarkan hasil pengamatan yang penulis lakukan di beberapa tempat
yang khusus menjual produk herbal (obat-obatan dan kosmetik) di Kabupaten
Sleman, ditemukan beberapa produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dari
LPPOM MUI, walaupun terdapat label halal namun tidak bersertifikasi halal
sebagaimana yang diberikan oleh LPPOM MUI. Hal ini merupakan kategori
penipuan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen, karena pelaku
usaha tidak berlaku jujur untuk mencantumkan sertifikasi halal pada kemasan
produk herbal yang diproduksi dan diperdagangkannya di mana hal ini
merupakan hak informasi yang harus diterima oleh konsumen muslim.
Aturan hukum yang ada telah memperkuat kenyataan bahwa sertifikasi
halal merupakan salah satu informasi penting bagi konsumen terutama
konsumen muslim. Hal ini merupakan hak yang telah melekat padanya dan
harus dipenuhi oleh pelaku usaha serta memperoleh jaminan dan perlindungan
dari pemerintah mengingat posisi tawar konsumen yang lemah karena seluruh
kegiatan produksi, pengemasan sampai dengan peredaran barang dan/atau jasa
didominasi oleh pelaku usaha. Beredarnya obat-obatan dan kosmetik yang
tidak mencantumkan label yang bersertifikasi halal menjadi ketakutan
8
tersendiri bagi konsumen muslim untuk mengkonsumsi suatu produk yang
jelas-jelas sangat mereka butuhkan untuk kesehatan tubuh mereka.
Idealitanya, sertifikasi halal merupakan hak informasi yang harus
diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen muslim. Secara umum dikenal
ada 4 (empat) hak dasar konsumen yaitu hak untuk mendapatkan keamanan;
hak untuk mendapatkan informasi; hak untuk memilih; dan hak untuk
didengar.9 Empat hak dasar tersebut merupakan hak-hak konsumen yang telah
diakui secara internasional.10 Hak untuk memperoleh informasi tentang
kehalalan suatu produk dengan demikian merupakan hak dasar yang dimiliki
oleh konsumen muslim. Pasal 4 butir c Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mengatur dengan tegas bahwa konsumen berhak atas informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa. Selanjutnya pada pasal 4 butir d UUPK dijelaskan lagi bahwa konsumen
berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan jasa. Informasi kehalalan akan produk-produk herbal yang
diperoleh konsumen akan memberikan kenyamanan dan ketentraman dalam
hidupnya. Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label Iklan dan Pangan telah dijelaskan bagaimana kriteria makanan
halal itu serta telah ditetapkan ketentuan bahwa makanan halal yang diproduksi
dan dipasarkan di wilayah Indonesia harus memiliki label halal dan kemudian
label halal tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ketentuan ini
9
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, cetakan ke-3, edisi revisi 2, PT.
Grasindo, Jakarta, 2006, hlm. 20.
10
Ibid.
9
diperkuat dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
tentang Pangan Pasal 30 ayat (2) dijelaskan bahwa label sebagaimana yang
dimaksud harus memuat keterangan yang salah satunya adalah keterangan
halal. Selanjutnya, Undang-Undang Pangan Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan
bahwa setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan
yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau
kepercayaan tertentu bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan
persyaratan atau kepercayaan tersebut. Dari segi kesehatan, Undang-Undang
juga mengatur tentang pentingnya label halal yaitu tercantum dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 21 ayat (2) Penjelasan
butir d yakni ketentuan lain tersebut misalnya pencantuman kata atau tanda
halal yang menjamin bahwa makanan atau minuman yang dimaksud
diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan halal. Selanjutnya,
dalam hal sertifikasi halal sebagai syarat untuk mendapatkan label halal dari
LPPOM MUI, semua penjelasan, ketentuan, tahap dan prosedurnya diatur
secara jelas dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang
Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Segala
macam peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas
merupakan bentuk perlindungan konsumen yang diberikan oleh pemerintah
dan merupakan kewajiban bagi pelaku usaha untuk memenuhi hal tersebut
dalam rangka memberikan perlindungan bagi hak-hak konsumen. Pemerintah
juga turut berperan serta dalam pengaturan sertifikasi dan labelisasi kehalalan
produk ini yaitu dengan menunjuk Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga
10
resmi yang melaksanakan pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal untuk
diperdagangkan di Indonesia yang diatur dalam Keputusan Menteri Agama
Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksanaan Pemeriksa Pangan
Halal. Realitanya, di Kabupaten Sleman penulis menemukan beberapa produk
herbal, baik obat-obatan maupun kosmetik yang dijual di beberapa toko herbal
tidak bersertifikasi halal, sekalipun berlabel halal namun tidak bersertifikasi
halal sebagaimana ketentuan yang seharusnya.
Idealitanya, pelaku usaha harus bertanggungjawab atas ketiadaan
informasi mengenai sertifikasi halal produk-produk herbalnya sehingga
menimbulkan
kerugian
bagi
konsumen.
Konsumen
berhak
meminta
pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikannya serta menuntut
ganti-rugi atas kerugian yang dideritanya.11 Kerugian yang dialami konsumen
akibat penggunaan produk dapat berupa kerugian fisik, materi, maupun jiwa. 12
Tanggung jawab pelaku usaha ini disebut dengan tanggung jawab produk
(product liability). Menurut Agnes M. Toar, sebagaimana yang dikutip oleh
Shidarta dalam bukunya “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,
tanggung jawab produk merupakan tanggung jawab para produsen untuk
produk yang dibawanya ke dalam peredaran yang menimbulkan atau
menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut,
tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan
undang-undang (perbuatan melawan hukum). Namun, dalam tanggung jawab
11
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 59.
12
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, edisi ke-1,
PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 127.
11
produk ini penekanannya ada pada perbuatan melawan hukum. Ketentuan
perbuatan melanggar hukum diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata). Untuk dapat menuntut kerugian atas dasar
pebuatan melawan hukum maka harus dipenuhi unsur-unsur yaitu ada
perbuatan melanggar hukum; ada kerugian; ada hubungan kausalitas antara
perbuatan melanggar hukum dengan kerugian; dan ada kesalahan.13 Ketentuan
tentang tanggung jawab produk diatur dalam KUH Perdata pasal 1504. Pasal
ini berkaitan dengan pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1505 sampai dengan 1511
KUH Perdata. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini dengan
menyatakan: “Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti-rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” Realitanya, di
Kabupaten Sleman penulis menemukan beberapa pelaku usaha tidak
memberikan tanggung jawab atas produknya yang tidak bersertifikasi halal
kepada konsumen
muslim,
bahkan
mereka
tetap
memproduksi
dan
memperdagangkan produk yang tidak bersertifikasi halal tersebut.
Melihat betapa pentingnya perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
permasalahan yang terjadi dan mencari cara penyelesaiannya maka penulis
berminat untuk meneliti dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan
mengambil
13
Ibid, hlm. 130.
judul
“PERLINDUNGAN
KONSUMEN
MUSLIM
12
TERHADAP PRODUK HERBAL YANG TIDAK BERSERTIFIKASI
HALAL DI KABUPATEN SLEMAN.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis
merumuskan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang
tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman?
2. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang tidak
bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal
yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang
tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman.
D. Tinjauan Pustaka
Pengertian herbal, atau herb dalam bahasa Inggris adalah tanaman atau
tumbuhan yang mempunyai kegunaan atau nilai lebih dalam pengobatan.14
Terkadang
herbal
disebut
juga
dengan
tanaman
obat
yang
dalam
perkembangannya dimasukkan sebagai salah satu pengobatan alternatif.
14
Mengenal Pengertian Herbal dan Pengobatan Alami terdapat dalam www.anneahira.com,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 15:55 WIB.
13
Produk herbal dengan demikian merupakan suatu produk yang dibuat atau
berasal dari tumbuhan atau tanaman yang berguna untuk pengobatan, bisa
berupa vitamin, obat-obatan atau kosmetik. Kandungan zat aktif yang terdapat
dalam herbal sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia, bukan hanya bersifat
menyembuhkan atau mengatasi penyakit tetapi juga dapat meningkatkan daya
tahan dan kualitas kesehatan tubuh. Obat herbal berasal dari tumbuhan yang
diproses/ diekstrak sedemikian rupa sehingga menjadi serbuk, pil atau cairan
yang dalam prosesnya tidak menggunakan zat kimia, dapat menyembuhkan
penyakit dengan efek samping yang minim karena dibuat dari bahan-bahan
yang alami.15
Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan
suatu produk sesuai dengan syariat Islam.16 Sertifikat halal ini merupakan
syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak
dikonsumsi oleh konsumen terutama sekali konsumen muslim. Pelaku usaha
harus memenuhi syarat tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah
ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh sertifikat halal.
Setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha memperoleh label halal dari
MUI untuk kemudian dicantumkan pada label produknya. Sertifikat halal ini
hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan pelaku usaha harus melakukan
perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi kehalalan produknya kembali.
15
Pengertian Obat Herbal terdapat dalam http://artikel-herbal.thifaonline.com/pengertianobat-herbal.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 16:00 WIB.
16
Wiku Adisasmito “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat dan
Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, 2008, hlm. 14.
14
Perlindungan konsumen merupakan aspek penting dalam dunia transaksi,
oleh karena itu, terlebih dahulu harus dipahami pengertian dari konsumen,
pelaku usaha dan hubungan di antara keduanya. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, istilah konsumen adalah pemakai barang-barang hasil industri
(bahan, pakaian, makanan, dan sebagainya).17
Konsumen berasal dari kata dalam bahasa Inggris yakni consumer, atau
dalam bahasa Belanda “consument”, “konsument”.18 Konsumen secara harfiah
adalah orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan; pemakai
atau pembutuh.19 Konsumen berarti “seseorang yang membeli barang atau
menggunakan jasa” atau “seseorang” atau “sesuatu perusahaan yang membeli
barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu” juga “sesuatu atau seseorang
yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang.20 Konsumen
muslim adalah konsumen yang memeluk atau beragama Islam. Konsumen
muslim
tidak
hanya
membutuhkan
kesehatan
fisik
tapi
juga
kesehatan/ketenteraman rohani, yakni terbebas dari mengonsumsi barangbarang yang haram, baik haram karena zatnya maupun yang haram karena
prosesnya.21
17
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ke-2, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, hlm. 458.
18
N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen, cetakan ke-1, Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm. 22.
19
Ibid.
20
AZ. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 69.
21
Perlindungan Konsumen Muslim dalam Perspektif Hukum Indonesia terdapat dalam
www.infoampuh.com, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 16:47 WIB.
15
Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya Hukum
tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa di dalam kepustakaan
ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen
akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan
konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk, sebagai
bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Bagi konsumen akhir,
mereka memerlukan produk yang aman bagi kesehatan tubuh, keamanan jiwa
dan untuk kesejahteraan keluarga atau rumah-tangganya.22
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjelaskan pengertian konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri-sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Melihat dari pengertian tersebut, yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ini ada pengertian dari konsumen
akhir.
Kemudian yang disebut pelaku usaha sebagaimana yang dijelaskan dalam
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 memiliki pengertian
yaitu setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
22
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cetakan ke-2, edisi revisi,
Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm. 31.
16
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha.
Konsumen tidak dapat terlepas dari yang disebut dengan pelaku usaha.
Konsumen memerlukan produk yang dihasilkan dan dijual oleh pelaku usaha
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu juga dengan pelaku
usaha untuk memperoleh keuntungan dan demi mempertahankan kelangsungan
bisnisnya membutuhkan peranan konsumen, oleh karena itu antara konsumen
dan pelaku uaha memiliki hubungan yang sangat erat dan saling membutuhkan.
Namun, sering di dalam hubungan tersebut terjadi permasalahan-permasalahan
yang dapat merugikan bagi salah satu pihak. Biasanya di sini konsumenlah
yang lebih dirugikan karena memiliki poisi tawar yang lebih lemah. Jika
ditelusuri terkait kerugian di sini, berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata
menjelaskan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu menggantikan kerugian tersebut. Ketentuan tersebut menjelaskan
bahwa setiap orang yang menimbulkan atau menyebabkan suatu kerugian,
maka ia harus bertanggungjawab atas kerugian yang telah ditimbulkannya itu.
Suatu perlindungan hukum diperlukan dalam rangka melakukan upaya
untuk melindungi dan menghindarkan konsumen dari kerugian dan
penyalahgunaan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kini hadir untuk mengatur segala
hal yang menyangkut hubungan antara konsumen dan pelaku usaha agar hak
dan kewajiban dari kedua pihak tersebut bisa terpenuhi dengan baik.
17
Perlindungan konsumen menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 mengandung pengertian “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Penetapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini merupakan
bentuk tanggung jawab Negara dalam upayanya untuk melindungi kepentingan
konsumen serta membatasi perilaku pelaku usaha. Namun, undang-undang ini
tidak semata-mata hanya khsusus untuk melindungi konsumen saja lantas
pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, tetapi ini teristimewakan karena
perekonomian nasional banyak ditentukan oleh pelaku usaha.23
Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) konsumen
memiliki hak antara lain sebagai berikut:
1. Hak atas keamanan dan keselamatan
2. Hak untuk mendapatkan informasi
3. Hak untuk didengar pendapatnya
4. Hak untuk memilih
5. Hak untuk mendapat ganti-rugi
6. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen mengatur tentang asas-asas perindungan konsumen, yaitu:
23
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, edisi ke-1,
PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 1.
18
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil
dan spiritual.
4. Asas
keamanan
dan
keselamatan
konsumen
dimaksudkan
untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menerangkan bahwa
perlindungan konsumen bertujuan untuk:
1.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
19
2.
Mengangkat
harkat
dan
martabat
konsumen
dengan
cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/ atau jasa.
3.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian
hukum
dan
keterbukaan
informasi
serta
akses
untuk
mendapatkan informasi.
5.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam
menjalankan usahanya.
6.
Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha
produksi,
kesehatan,
kenyamanan,
keamanan,
keselamatan
konsumen.
E. Metode Penelitian
Metode ini memuat beberapa hal:
1. Objek Penelitian
Perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak
bersertifikasi halal dan tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal
yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman.
2. Subjek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah:
a. Konsumen muslim produk herbal
b. Pelaku usaha produk herbal di Kabupaten Sleman
20
c. Pimpinan Lembaga Konsumen Yogyakarta
d. Pimpinan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia Yogyakarta
e. Pimpinan Badan Pengawas Obat dan Makanan Yogyakarta
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer
Sumber data primer yaitu data yang langsung diperoleh di lapangan
berupa hasil wawancara.
b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh melalui
penelitian kepustakaan yang terdiri atas:
1) Bahan Hukum Primer berupa:
a) KUH Perdata
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pangan
d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1996 tentang Kesehatan
e) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label
Iklan dan Pangan
f) Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang
Pedoman dan Tata-Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan
Halal
21
g) Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang
Lembaga Pelaksanaan Pemeriksa Pangan Halal
2) Bahan hukum sekunder berupa bahan hukum yang tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis seperti
literatur atau buku-buku, serta hasil wawancara dan observasi yang
berhubungan dengan perlindungan konsumen muslim terhadap
produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dan tanggung jawab
pelaku usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan cara:
a. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan tanyajawab langsung dengan subjek penelitian. Jenis wawancara yang
dilakukan adalah dengan cara mengajukan pertanyaan kepada subjek
penelitian mengenai objek penelitian dan hal-hal yang ada relevansinya
dengan objek penelitian tersebut.
b. Studi kepustakaan, yaitu mencari data dengan cara mempelajari bukubuku, literatur, jurnal, makalah, berbagai peraturan perundangundangan yang ada relevansinya dengan tujuan penelitian.
5. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, yakni dengan menelaah
undang-undang dan regulasi yang ada relevansinya dengan perlindungan
22
konsumen muslim dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk
herbal yang tidak bersertifikasi halal.
6. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan deskriptif kualitatif yaitu data yang
diperoleh diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian kemudian
diuraikan dengan cara menganalisa data yang diperoleh dari hasil penelitian
yang selanjutnya disusun secara sistematis sehingga diperoleh gambaran
yang jelas dan lengkap sehingga dihasilkan suatu kesimpulan yang dapat
menjawab permasalahan tentang perlindungan konsumen muslim terhadap
produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dan tanggung jawab pelaku
usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten
Sleman.
F. Kerangka Skripsi
Penjelasan secara singkat pembahasan dari Bab I sampai dengan Bab IV dalam
rangka untuk mengetahui dan mempermudah dalam memperoleh gambaran
dalam hasil skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
BAB I
Pendahuluan dalam skripsi ini berisi tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan tentang perlindungan konsumen muslim terhadap produk
herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman.
23
BAB II
Tinjauan pustaka yang terdiri dari kajian teoritis yang berguna
sebagai acuan melakukan pembahasan terhadap pokok permasalahan yang
berkaitan dengan tinjauan umum mengenai pengertian perlindungan konsumen
terhadap sertifikasi halal produk herbal, hak dan kewajiban para pihak dan
tanggung jawab pelaku usaha tehadap konsumen.
BAB III
Berisi tentang pembahasan dari permasalahan yang terdiri dari
perlindungan hukum bagi konsumen muslim sebagai konsumen produk herbal
yang tidak bersertifikasi halal dan tanggung jawab pelaku usaha atas produk
herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman.
BAB IV
Penutup berisi kesimpulan dan saran tentang perlindungan hukum
bagi konsumen muslim sebagai konsumen produk herbal yang tidak
bersertifikasi halal dan tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang
tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN
24
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM
TERHADAP PRODUK YANG TIDAK BERSERTIFIKASI HALAL
DAN TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen Muslim terhadap
Produk yang Tidak Bersertifikasi Halal
1. Pengertian Konsumen dan Konsumen Muslim
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan konsumen sebagai
pemakai barang-barang hasil industri (bahan, pakaian, makanan, dan
sebagainya). Konsumen (alih bahasa dari consumer) secara harfiah berarti
“seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa” atau “seseorang
yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang.”24
Konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan atau
pemanfaat barang dan atau jasa untuk tujuan tertentu.25 Konsumen
umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan
kepada mereka oleh pengusaha yakni setiap orang yang mendapatkan
barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan.26
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 adalah setiap orang
24
Az Nasution, Hukum dan Konsumen, cetakan ke-1, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995,
hlm. 69.
25
Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, cetakan ke-1, Nusa Media, Bandung, 2010,
hlm. 30.
26
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cetakan ke-1, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 17.
25
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan. Penjelasan pasal ini menerangkan bahwa
di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu
produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan
suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.
Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Az Nasution berdasarkan berbagai studi yang beliau lakukan berkaitan
dengan perlindungan konsumen kemudian berhasil memaparkan batasan
tentang konsumen (akhir) yaitu:
a. Pemakai terakhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri-sendiri
atau orang lain dan tidak untuk diperjual-belikan;
b. Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi
keperluan diri-sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk
diperdagangkan kembali;
c. Setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan
tidak untuk diperdagangkan.
Menurut Janus Sidabalok, ada dua golongan konsumen jika dibedakan
dari segi cara memperoleh produk untuk dikonsumsi, yaitu:
a. Konsumen yang memperoleh produk dengan cara membeli dari
produsen yang berarti konsumen terikat hubungan kontrak dengan
produsen. Jenis perjanjian (kontrak) antara produsen dan konsumen
26
umumnya adalah jual beli, tetapi mungkin juga jenis lainnya seperti
perjanjian kredit, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya.
b. Konsumen yang tidak membeli, tetapi memperolehnya dengan cara
lain, yang berarti konsumen yang sama sekali tidak terikat dalam
hubungan kontraktual dengan produsen.
Pembedaan ini menjadi penting untuk mengetahui hak dan kewajiban
hukum para pihak sekaligus untuk menentukan pertanggungjawaban,
sebab dalam hukum, pertanggungjawaban lahir dari hubungan hukum.
Konsumen yang memiliki hubungan kontraktual dengan produsen dapat
dilindungi kepentingannya berdasarkan isi kontrak perjanjian, namun tidak
demikian halnya dengan konsumen yang tidak terikat secara kontraktual
dengan produsen. Semua orang adalah konsumen karena membutuhkan
barang dan jasa untuk memenuhi dan mempertahankan hidupnya sendiri,
keluarganya, ataupun untuk memelihara/merawat harta bendanya.27
Konsumen muslim adalah konsumen yang memeluk dan beragama
Islam. Berdasarkan prinsip-prinsip umum konsumen muslim dalam Islam,
konsumen adalah setiap orang, kelompok, atau badan hukum pemakai
suatu harta benda atau jasa karena adanya hak yang sah, baik ia pakai untuk
pemakaian akhir ataupun untuk proses produksi selanjutnya.28 Konsumen
muslim dalam mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa membutuhkan
27
Ibid, hlm. 18.
Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, cetakan
ke-1, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2004, hlm. 129.
28
27
kesehatan fisik dan rohani dari produk-produk yang tidak halal baik dari
segi bahan yang digunakan maupun proses pembuatannya.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi
masyarakat muslim :
a.
Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini
mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi
untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah
daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future
consumption (karena terdapat balasan surga di akhirat), sedangkan
konsumsi duniawi adalah present consumption.
b.
Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral
agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki.
Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang
dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah SWT
merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat
dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan
menjauhkan diri dari kejahatan.
c.
Kedudukan harta merupakan anugerah Allah SWT dan bukan sesuatu
yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara
28
berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika
diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.29
Menurut Manan, ada 5 prinsip konsumsi dalam Islam, yaitu:
a.
Prinsip keadilan, prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari
rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Pelarangan dilakukan
karena berkaitan dengan hewan yang dimaksud berbahaya bagi tubuh
dan tentunya berbahaya bagi jiwa , terkait dengan moral dan spiritual.
b.
Prinsip kebersihan, makanan harus baik dan cocok untuk dimakan,
tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.
c.
Prinsip kesederhanaan, prinsip ini mengatur perilaku manusia
mengenai makan dan minuman yang tidak berlebihan.
d.
Prinsip kemurahan hati, dengan mentaati perintah Islam tidak ada
bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan
halal yang disediakan Tuhannya.
e.
Prinsip moralitas, seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama
Allah sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya
setelah makan.30
2. Hak dan Kewajiban Konsumen
Menurut John F. Kennedy ada 4 (empat) dasar hak konsumen yang
kemudian hak-hak ini diakui secara internasional, yaitu:
29
Perilaku Konsumen Muslim terdapat dalam http://kaqyun.wordpress.com/2010/09/23/32/,
diakses pada tanggal 17 Januari 2013, 18.30 WIB.
30
Nurul
Huda,
Perilaku
Konsumen
Islami
dalam
xa.yimg.com/kq/.../PRILAKU+KONSUMSI+ISLAMI.doc, diakses pada tanggal 17 Januari 2013,
18.00 WIB.
29
a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safe products);
b. Hak untuk mendapatkan informasi tentang suatu produk (the right to be
informed about products);
c. Hak untuk memilih produk (the right to definite choices in selecting
products);
d. Hak untuk didengar kepentingannya (the right to be heard regarding
consumer interests).
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menambahkan satu lagi hak
sebagai pelengkap empat dasar hak konsumen yaitu hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal
sebagai panca-hak konsumen.31
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985
tentang Perlindungan Konsumen (Guidelinesfor Consumer Protection) juga
merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yaitu:
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya;
b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;
c. Tersedianya
informasi
yang
memadai
bagi
konsumen
untuk
memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai
kehendak dan kebutuhan pribadi;
d. Pendidikan konsumen;
31
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi revisi, PT. Gramedia Widiasaran
Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 20.
30
e. Tersedianya upaya ganti-rugi yang efektif;
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi
lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi
tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menetapkan 9 (sembilan) hal yang menjadi hak bagi konsumen,
yakni:
a. Hak
atas
kenyamanan,
keamanan,
dan
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
31
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti-rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diteriman tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-Undang merupakan
bagian dari implementasi suatu negara sebagai kesejahteraan, karena
Undang-Undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga
dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang
mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh dan berkembang
karena pengaruh sosialisme sejak abad 19 (sembilan belas).32
Hak-hak dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan
penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu
Pasal 27 ayat (2)33 dan Pasal 3334 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.35 Hak-hak konsumen merupakan “generasi keempat hak asasi
manusia” yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi manusia
dalam perkembangan di masa-masa akan datang.36
32
Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, cetakan ke-1, Nusa Media, Bandung, 2010,
hlm. 33.
33
Bunyi Pasal 27 ayat (2): “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.”
34
Bunyi Pasal 33: “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
35
Abdul Halim Barkatullah, op.cit., hlm. 34.
36
Ibid.
32
Selain hak-hak yang disebutkan dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, ada juga hak lain yaitu hak untuk dilindungi dan akibat negatif
persaingan curang. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan
bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang
dalam hukum dikenal dengan “persaingan curang” (unfair competition).37
Selain mendapatkan hak, konsumen juga memiliki kewajiban yang
harus dilaksanakan. Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menjelaskan beberapa hal yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
3. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Konsumen memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan dengan
pelaku usaha. Hal ini karena posisi tawar konsumen yang lemah sehingga
hak-hak konsumen sangat rentan untuk dilanggar. Posisi tawar konsumen
dikatakan lemah karena sebagian besar kegiatan produksi didominasi oleh
pelaku usaha, sehingga perlu adanya perlindungan terhadap hak-hak
37
Shidarta, op.cit., hlm. 22.
33
konsumen yakni dengan adanya suatu aturan atau hukum yang melindungi
hak-hak konsumen tersebut.
Perlindungan hukum bagi konsumen sangat dibutuhkan karena
semakin banyaknya persaingan dalam produk dan pelayanan yang
kemudian dapat menempatkan konsumen menjadi berada dalam posisi
yang lemah. Kebijakan perlindungan hukum bagi konsumen akan
mendorong kepercayaan konsumen sehingga dapat memajukan partisipasi
konsumen dalam transaksi dan meningkatkan bisnis.38
Az Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum dan Konsumen,
menjelaskan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari
hukum konsumen yang memuat asas-asas yang bersifat mengatur dan
melindungi kepentingan konsumen. Menurut beliau, hukum konsumen
adalah “Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan
dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.”
Selanjutnya, hukum perlindungan konsumen memiliki pengertian, yakni
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para
penyedia barang dan atau jasa konsumen.39
38
Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, cetakan ke-1, Nusa Media, Bandung, 2010,
hlm. 24.
39
Az Nasution, Hukum dan Konsumen, cetakan ke-1, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995,
hlm. 66.
34
Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan
masalah konsumen di mana kondisi para pihaknya berimbang dalam
kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikannya.
Sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang itu
mampu untuk menegakkan dan mempertahankan hak-hak mereka yang sah.
Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang
mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak
seimbang.40
Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan
konsumen mengatur hal yang sama yaitu kepentingan hukum atau hak-hak
konsumen. Dengan demikian, hukum konsumen atau hukum perlindungan
konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang
timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.41
Negara
dapat
melakukan
intervensi
dalam
upaya
melakukan
perlindungan konsumen yaitu dengan membuat suatu peraturan perundangundangan. Salah satu peraturan perundang-undangan tersebut adalah adanya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan
bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kalimat
40
Ibid.
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cetakan ke-1, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 46.
41
35
“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum” diharapkan dapat
menjadi benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang dapat
merugikan pelaku usaha hanya demi kepentingan perlindungan konsumen.
Perlindungan konsumen memilki cakupan yang luas meliputi:
a. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang
dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau
melanggar ketentuan undang-undang. Hal ini termasuk persoalanpersoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses
distribusi, desain produk dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan
standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak,
serta persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian
jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang
tidak sesuai;
b. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat
yang tidak adil. Hal ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan
periklanan, standar kontrak, harga, layanan purna jual, dan sebagainya,
hal ini berkaitan dengan perilaku produsen selama memproduksi dan
mengedarkan produknya.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
ini diharapkan dapat menjadi payung hukum (umbrella act) bagi perundangundangan lain yang bertujuan untuk melindungi konsumen, baik yang sudah
ada maupun yang akan dibuat.
36
4. Asas, Tujuan, dan Manfaat Perlindungan Konsumen
a. Asas-asas Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
seluruh pihak yang terkait, baik masyarakat, pelaku usaha dan
pemerintah dasar yang berdasarkan kepada asas-asas perlindungan
konsumen. Menurut Pasal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen
asas-asas perlindungan konsumen terdiri dari:
1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2) Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3) Asas
keseimbangan,
dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materil dan spiritual.
4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
37
5) Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha
amaupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
b. Tujuan Perlindungan Konsumen
Tujuan perlindungan konsumen menurut Pasal 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah:
1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
2) Mengangkat
harkat
dan
martabat
konsumen
dengan
cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakain barang dan/atau
jasa;
3) Meningkatkan
pemberdayaan
konsumen
dalam
memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha;
6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
38
c. Manfaat perlindungan kosumen
Perlindungan konsumen memiliki manfaat antara lain:
1) Balancing position
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Kedudukan konsumen yang tadinya cenderung menjadi
sasaran pelaku usaha untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya,
kini dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
maka praktek-praktek yang merugikan konsumen tersebut akan
dikenakan sanksi. Kepentingan konsumen dengan demikian
menjadi dapat terlindungi dari praktik-praktik yang merugikan
pihaknya melalui hak gugat yang dimilki konsumen.
Jika gugatan konsumen tersebut benar-benar sampai terjadi,
maka hal ini dapat menjadi precedent buruk bagi bisnis yang
bersangkutan. Sementara dengan dipatuhinya ketentuan-ketentuan
dalam perlindungan konsumen, maka konsumen ditempatkan
sebagai subyek di dalam bisnis, yang memiliki hak yang seimbang
sebagai pelaku usaha. Posisi konsumen yang demikian akan
menciptakan kondisi pasar yang sehat dan tentunya saling
menguntungkan, baik bagi pihak konsumen karena dapat menikmati
produk-produk yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan
maupun pihak produsen karena tetap mendapatkan kepercayaan
39
pasar yang tentunya akan mendukung kelangsungan usahanya di
masa mendatang.
2) Memberdayakan konsumen
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah
tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih rendah.
Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat pendidikan konsumen
yang masih rendah. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen
memberikan
landasan
baru
bagi
pemberdayaan
konsumen di Indonesia melalui pembinaan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena untuk mengharapkan
kesadaran dari pelaku usaha di Indonesia itu sangat tidak mudah.
Proses
pemberdayaan
sebagaimana
dimaksud
harus
dilaksanakan secara integral, baik melibatkan peran aktif dari
pemerintah, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
maupun dari kemauan masyarakat konsumen itu sendiri untuk lebih
mengetahui hak-haknya. Jika kesadaran konsumen akan hak-haknya
semakin baik, maka konsumen dapat ditempatkan pada posisinya
yang sebenarnya, yaitu sebagai pasangan yang saling membutuhkan
dan saling menguntungkan.
3) Meningkatkan profesionalisme pelaku usaha
Perkembangan dunia bisnis yang terus berubah dengan cepat di
satu sisi dan di sisi lain kesadaran konsumen yang semakin baik
menyebabkan pelaku usaha tidak mungkin lagi bertahan dengan
40
cara-cara yang tradisional. Pelaku usaha dituntut untuk menjalankan
usahanya secara profesional yang harus dilaksanakan dalam
keseluruhan proses produksi. Pelaku usaha dalam menjalankan
usahanya harus memperhatikan keadilan, kejujuran, dan etika dalam
menjalankan usahanya.
Bahkan, jika dirasa perlu pelaku usaha harus berani
menangguhkan keuntungan untuk saat sekarang demi memperoleh
perhatian pasar yang justru akan mendatangkan keuntungan yang
lebih besar di masa yang akan datang, oleh karena itu
profesionalisme pelaku usaha merupakan tuntutan yang harus
dipenuhi untuk saat ini dan tidak dapat ditawar-tawar lagi jika
pelaku usaha ingin tetap eksis dalam menjalankan usahanya.42
5. Sanksi terhadap Pelanggaran Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur tentang sanksi
terhadap pelanggaran perlindungan konsumen. Hal ini diatur dalam Pasal
60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 yang satu persatu akan dibahas pada
sub bab ini.
Pasal 60 Undang-Undang Perlindungan Konsumen berbunyi:
(1) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan
sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
42
Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan
Konsumen, cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 90-92.
41
(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti-rugi paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal
61
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
berbunyi:
“penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau
pengurusnya.”
Ketentuan
ini
menunjukkan
bahwa
terdapat
pertanggungjawaban pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
pelaku usaha sampai kepada pengurusnya. Melalui ketentuan pasal ini
perusahaan dinyatakan sebagai subjek hukum pidana.
Kemudian
Pasal
62
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
menyatakan bahwa:
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17
ayat (1) huruf d dan hurug f dipidana dengan pidan penjara paling lama
2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
42
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Ketentuan ini, menurut Ahmad Miru
dan Sutarman Yodo,
memberlakukan dua tauran hukum sesuai dengan tingkat pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:
a. Pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap,
atau kematian diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana yang
diberlakukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Pelanggaran di luar hal tersebut berlaku ketentuan pidana yang diatur
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
Pasal
63
berbunyi:
“terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat
dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti-rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.”
43
6. Hak atas Informasi
a. Dasar Hukum Kewajiban Menyediakan Informasi
Hak untuk memperoleh informasi diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf c yang menyatakan bahwa
konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya menjelaskan
bahwa hak informasi ini sangat penting karena tidak tersedia dan tidak
memadainya informasi yang disampaikan oleh pelaku usaha kepada
konsumen terkait produk yang diperdagangkannya, maka hal ini juga
merupakan salah satu bentuk cacat produk yaitu dikenal dengan cacat
instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai.
Pelaku usaha atau produsen harus berlaku jujur dalam berproduksi,
yakni dengan memberikan informasi terkait produknya sehingga
konsumen dapat memilih produk yang terbaik bagi dirinya. Konsumen
yang telah menentukan dan menetapkan pilihannya atas suatu produk
barang dan/atau jasa berdasarkan atas informasi yang disediakan oleh
pelaku usaha berhak untuk mendapatkan produk tersebut sesuai dengan
kondisi dan jaminan yang tertera dalam informasi.
43
Informasi dapat
disampaikan dengan bermacam-macam cara antara lain melalui iklan di
43
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cetakan ke-1, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 41.
44
berbagai media, secara lisan, atau mencantumkannya dalam kemasan
produk.44
Informasi dapat memberikan dampak yang signifikan untuk
meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta
meningkatkan kesetiannya terhadap produk tertentu, sehingga akan
berdampak memberikan keuntungan bagi pelaku usaha. Hak informasi
ini dengan demikian, selain memberikan manfaat dan keuntungan bagi
konsumen juga memberikan keuntungan bagi pelaku usaha.
Menurut Troelstrup, saat ini konsumen membutuhkan informasi
yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun yang lalu.
Alasannya adalah:
1) Terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya;
2) Daya beli konsumen semakin meningkat;
3) Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga
belum banyak diketahui oleh semua masyarakat;
4) Model-model produk lebih cepat berubah;
5) Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses
yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual.45
Menurut Professor Hans W. Micklitz seorang ahli hukum
konsumen dari Jerman, sebagaimana yang dikutip oleh Shidarta,
44
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi revisi, PT. Gramedia Widiasaran
Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 24.
45
Ibid.
45
membedakan konsumen berdasarkan hak informasi ini. Ia menyatakan,
secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu:
1) Konsumen yang terinformasi (well informed). Konsumen tipe ini
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) memiliki tingkat pendidikan tertentu;
b) mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup sehingga dapat
berperan dalam ekonomi pasar;
c) lancar berkomunikasi.
Konsumen ini mampu bertanggungjawab dan relatif tidak
memerlukan perlindungan apabila memiliki tiga ciri dan potensi
tersebut.
2) Konsumen yang tidak terinformasi. Konsumen tipe ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
a) kurang berpendidikan;
b) termasuk kategori kelas menengah ke bawah;
c) Tidak lancar berkomunikasi,
Konsumen dengan ciri-ciri demikian perlu dilindungi dan
khususnya menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan
perlindungan.
Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena halhal khusus, dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan
46
orang asing (yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat)
sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh negara.
Semakin tingginya teknologi yang digunakan dalam proses
produksi suatu barang dan/atau jasa, menyebabkan makin banyaknya
informasi yang harus dikuasai oleh masyarakat konsumen. Oleh karena
itu, menjadi mustahil bagi konsumen untuk memiliki kemampuan dan
kesempatan untuk mengakses informasi. Istilah consumer ignorance
yang artinya ketidakmampuan konsumen dalam menerima informasi
akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan, bisa
saja dimanfaatkan secara tidak wajar oleh pelaku usaha, sehingga
hukum perlindungan konsumen memberikan hak kepada konsumen atas
informasi yang benar dimana di dalamnya juga tercakup hak atas
informasi yang proposional dan diberikan secara tidak diskriminatif.
b. Tinjauan Umum tentang Label
Label merupakan keterangan yang melengkapi suatu kemasan
barang yang berisi tentang bahan-bahan yang digunakan
untuk
membuat barang tersebut, cara pengggunaan, efek samping dan
sebagainya.46 Bentuk label ada yang berupa tanda dengan tulisan,
gambar pada kemasan atau berupa brosur/selebaran yang dimasukkan
ke dalam kemasan. Label memiliki beberapa fungsi, antara lain:
46
Pengertian Label terdapat dalam http://fie0803.wordpress.com/2012/01/12/pengertianlabel/, diakses pada tanggal 4 Desember 2012, 15:10 WIB.
47
1) Merupakan salah satu bentuk perlindungan pemerintah kepada para
konsumen yang baru berupa pelaksanaan tertib suatu undangundang bahan makanan dan minuman atau obat, dalam hal ini
pemerintah mewajibkan produsen untuk melekatkan label/etiket
pada hasil produksinya sesuai dengan peraturan yang tercantum
dalam undang-undang bahan makan.
2) Dengan melekatkan label sesuai dengan peraturan berarti produsen
memberikan keterangan agar konsumen dapat memilih membeli
serta meneliti secara bijaksana.
3) Merupakan jaminan bahwa barang yang telah dipilih tidak
berbahaya bila digunakan. Dalam hal ini maka para konsumen harus
membiasakan diri untuk membaca label terlebih dahulu sebelum
membeli barang atau produk.
4) Bagi produsen label dipergunakan sebagai alat promosi dan
perkenalan
terhadap
barang
yang
diproduksi
atau
diperdagangkannya.47
Label yang merupakan keterangan dari suatu produk yang tertera
pada kemasan ini jenisnya bermacam-macam. Menurut Stanton, ada
tiga macam label, yaitu:
1) Brand Label. Label ini memuat merk, gambar, atau produsen dari
produk yang dicantumkan dalam kemasan produk. Informasi
47
Ibid.
48
tersebut
penting
bagi
konsumen
sehingga
mereka
dapat
membedakan suatu produk dengan produk lainnya.
2) Descriptive Label. Label ini memberikan informasi mengenai
bahan
baku,
persentase kandungan,
nilai
kalori/gizi,
cara
penggunaan/konsumsi, tanggal pembuatn, tanggal kedaluarsa, dan
lain-lain.
3) Grade Label. Label ini menginformasikan kepada konsumen
tentang penilaian kualitas produk.48
Label adalah media penyampai informasi, maka sudah selayaknya
informasi yang dicantumkan adalah informasi yang sebenar-benarnya
dan tidak menyesatkan. Informasi yang harus dicantumkan pada label
meliputi:
1) Nama makanan atau nama produk;
a) Disamping nama makanan juga dapat dicantumkan nama
dagang.
b) Produk dalam negeri ditulis dalam bahasa Indonesia (bila perlu
dapat ditambahkan bahasa Inggris). Produk luar negeri boleh
dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia.
c) Bila nama belum ditetapkan dalam standar makanan, sebaiknya
memilih deskripsi yang cocok sehingga tidak menyeesatkan.
48
Mat
Rofingun,
Kemasan
dan
Label
Produk
terdapat
dalam
http://matrofingun.wordpress.com/2007/06/25/kemasan-dan-label-produk/, diakses pada tanggal 4
Desember 2012, 15:24 WIB.
49
d) Kata-kata yang menunjukkan bentuk sifat atau keadaan produk
tidak perlu merupakan bagian nama makanan, tetapi cukup
dicantumkan pada label, seperti: “segar”, “alami”, “murni”,
“dibuat dari”, dan “halal”.
2) Komposisi atau bahan ingredients;
3) Isi netto;
4) Nama dan alamat pabrik/ importir;
5) Nomor pendaftaran;
6) Kode produksi;
7) Tanggal kadaluarsa;
8) Petunjuk atau cara penggunaan;
9) Petunjuk atau cara penyimpanan;
10) Nilai gizi;
11) Tulisan atau pernyataan khusus;
Pernyataan khusus yang harus dicantumkan antara lain:
a) Susu kental manis: “Perhatikan, tidak cocok untuk bayi”.
b) Makanan yang mengandung bahan yang berasal dari babi:
“MENGANDUNG BABI”.
c) Susu dan makanan yang mengandung susu.
d) Makanan bayi
e) Pemanis buatan
f) Makanan dengan iradiasi: “RADURA” dan logo iradiasi
50
g) Makanan halal: tulisan bahasa Indonesia atau Arab.49
Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan, menjelaskan pengertian label pangan
adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar,
tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada
pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan
bagian kemasan pangan.
Pencantuman label merupakan kewajiban yang harus dilakukan
oleh pelaku usaha. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) yakni setiap orang
yang memproduksi atau menghasilkan pangan yang dikemas ke dalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label
pada, di dalam, dan atau dikemasan pangan. Lebih lanjut dijelaskan
dalam ayat (2) pasal ini bahwa pencantuman label sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak
mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta
terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan
dibaca.
Ketentuan-ketentuan
lain
terkait
segala
sesuatu
yang
menyangkut pelabelan diatur secara lengkap dan jelas dalam peraturan
ini.
49
Albiner
Siagian,
Pelabelan
Pangan
terdapat
dalam
http://id.scribd.com/doc/68773261/Pengertian-Label-di-Indonesia, diakses pada tanggal 4
Desember 2012, 15:26 WIB.
51
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/MENKES/SK/I/1996
tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan Pasal 2
menerangkan bahwa pada label makanan dapat dicantumkan tulisan
“halal”.
7. Sertifikasi Halal
a. Tinjauan Umum tentang Halal
Halal secara leksikal, sebagaimana
yang tercantum dalam
Ensiklopedia Islam, berasal dari bahasa Arab “halla”, “yahillu wa
halalan” yang berarti “melepas”, “memecahkan”, “membubarkan”, dan
“membolehkan”. Menurut Yusuf al-Qardawi, seorang ulama fikih
kontemporer dari Mesir dalam kitabnya al-Halal wa al-Haram fi alIslam, halal adalah kebolehan (al-mubah) yang dilepas dari ikatan
larangan dan diizinkan syari’ (syariat) untuk dilakukan. Menurutnya lagi,
postulat awal yang ditetapkan Islam dan menjadi salah satu kaidah usul
fikih adalah bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT adalah
halal. Tidak boleh ada penetapan haram kecuali memang ada nash sahih
dan sarih (pengertiannya jelas) yang menjelaskan demikian.50
Bagi umat Islam, kewajiban untuk mengkonsumsi barang yang halal
diatur secara jelas di dalam Al-Quran yaitu dalam Surat Al-Baqarah ayat
168 yang berbunyi:
50
Halal dalam Ensiklopedia Islam 2, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005, hlm. 288.
52
☺ ִ
234,5 ./0 '(*+,- #%ִ& !"
6C,
?&AB
>
:,8;+<=
67089
DF

IJK GH(
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.”
Larangan mengkonsumsi makanan yang haram diatur dalam surat
Al-Maidah ayat 3 yang artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib
dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
53
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ketentuan mengenai kehalalan kemudian diatur lagi dalam Surat AlBaqarah ayat 172-174 yang berbunyi:
RS 
0 LMN֠PQ ִ
6CV';ִ֠W0
T
2*U,-
:
%^ ]!RS [B ZQ XCYP0
cdXִ&
ִ☺AB
IabK
L_F(,5
96,,0 c<Q0 ,f
g;Uִ☺; 6R2;+%
e
o&p klmn Q
0 Xhi'j;
0qXG dX8YI :ִ☺,s rQ qX

[B > &;+%
 96;]B u,s (U
 ./0 t;
p
IahK ]U&d
 RwG PQ
D
iAn Q
[☺!C
LMN֠PQ [B
L_q
uY=V}0
{
g|2;
9:
zQ
ִ(,mn € +,֠ ''Vw,~ o&p
‚/B
]A8p
L_s
c
zQ ƒ]☺„2 ./0 0 …†+|‡S
i ./0 fִ☺0U{B;
IaK ]Un ˆ‰+
 ],0
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik
yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah [172]. Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah tetapi barangsiapa
54
dalam
keadaan
terpaksa
(memakannya)
sedang
dia
tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
[173]. Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah
diturunkan Allah, yaitu Al kitab dan menjualnya dengan harga yang
sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan)
ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada
mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka
siksa yang Amat pedih [174].”
b. Tinjauan Hukum Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat
Islam. Sertifikat halal menurut Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor
518 Tahun 2001 Tanggal 30 November 2001 tentang Pedoman dan Tata
Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal adalah fatwa tertulis yang
menyatakan kehalalan suatu produk pangan yang dikeluarkan oleh
Lembaga Pemeriksaan. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk
mencantumkan label halal. Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung
jawab untuk memelihara kehalalan produk yang diproduksinya, dan
sertifikat halal ini dapat dipindahtangankan.51
51
Wiku Adisasmito “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat dan
Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, 2008, hlm. 13.
55
Produk halal adalah produk yang memenuhi syariat kehalalan sesuai
dengan syariat Islam, yaitu:
1) Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2) Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti: bahanbahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran, dana
sebagainya.
3) Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut
tata cara syariat Islam.
4) Semua
tempat
penyimpanan,
penjualan,
pengolahan,
tempat
pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi
5) Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamr.52
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, serta
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan "Halal" Pada Label
Makanan yang kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Kesehatan
RI No.924/Menkes/ SK/VIII/1996, telah mengatur secara jelas tentang
kehalalan dan pencantuman label halal pada makanan. Tidak hanya
kehalalan pada makanan, namun juga kehalan pada minuman, obat,
52
Ibid.
56
kosmetika dan produk-produk lain yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat khususnya masyarakat muslim.
Aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut
menunjukkan adanya suatu keharusan terutama bagi pelaku usaha untuk
mencantumkan label halal pada produknya dalam rangka menjamin
ketenteraman umat muslim dalam menjalankan kehidupan dan agama
serta kepercayaannya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dalam Pasal
30 ayat (2) huruf menegaskan bahwa salah satu aspek yang harus dimuat
pada label kemasan pangan adalah keterangan halal. Kemudian dalam
penjelasannya ditegaskan lagi bahwa keterangan halal untuk suatu
produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas
memeluk agama Islam, namun pencantumannya pada label pangan baru
merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan
dan/atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah
halal bagi umat Islam. Adapun keterangan tentang halal dimaksudkan
agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal
(haram). Pencantuman halal pada label pangan dianggap telah terjadinya
pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan
tersebut bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan itu.
c. Kewenangan MUI dalam Fatwa Perijinan
57
Kehalalan atau keharaman suatu produk bukan hanya terletak pada
kandungan bahan-bahan yang ada di dalamnya, tetapi juga menyangkut
proses produksinya, bahan tambahan dan bahan pelengkap yang
digunakan, serta proses pengankutan produk tersebut. Seringkali
ditemukan bahan tambahan yang berasal dari hewan yang diharamkan
oleh syariat agama. Bahan tambahan yang halal sekalipun dapat menjadi
haram apabila dicampurkan dengan zat yang haram, seperti zat perwarna
yang dilarutkan dengan alkohol. Oleh karena itu, perlu informasi halal
pada suatu produk di mana untuk mencantumkannya pelaku usaha atau
produsen harus melewati serangkaian proses pengujian terhadap
produknya yang dilakukan oleh suatu lembaga resmi yang telah ditunjuk.
Lembaga yang berkompeten untuk menguji kehalalan suatu produk
yang diperdagangkan di wilayah Indonesia, baik di tingkat pusat maupun
daerah, adalah Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Penunjukan lembaga ini
berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 519
Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal
dimana pada Pasal 1 menyebutkan bahwa “menunjuk Majelis Ulama
Indonesia sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang
dinyatakan halal, yang dikemas untuk diperdagangkan di Indonesia”. Hal
ini kemudian diperkuat lagi dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 924 Tahun 1996 yang menunjuk LPPOM MUI sebagai lembaga
yang berhak untuk menguji dan mengeluarkan sertifikat halal.
58
LPPOM MUI adalah lembaga yang berfungsi membantu MUI dalam
memeriksa, mem-verifikasi dan mengkaji pangan, obat-obatan, dan
kosmetika untuk menentukan kehalalannya. LPPOM MUI dalam
menjalankan tugasnya memiliki visi yaitu menjadi lembaga sertifikasi
halal yang amanah untuk produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika
dalam rangka mendukung ketenangan dan ketentraman masyarakat
dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk pangan, obat-obatan,
dan kosmetika.
Untuk mewujudkan visi tersebut, LPPOM MUI memilki misi antara
lain:
1) memberikan
pelayanan
sertifikasi
halal
kepada
perusahaan-
perusahaan yang mengajukan.
2) memberikan penyuluhan dan pendidikan halal bagi masyarakat
berkaitan dengan kehalalan produk.
3) melakukan kajian-kajian ilmiah dalam rangka meningkatkan mutu
dan pelayanan sertifikasi dan pendidikan halal.
4) Melakukan
kerjasama
dengan
berbagai
pihak
menuju
ke
kemashlahatan masyarakat luas melalui kegiatan-kegiatan yang halal
sesuai syariah Islam.
B. Tinjauan Umum tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap
Produk yang Tidak Bersertifikasi Halal
1. Tinjauan Umum tentang Pelaku Usaha
59
a. Pengertian Pelaku Usaha
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 1 Angka 3 menjelaskan pengertian bahwa pelaku usaha
adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
Berdasarkan pengertian tersebut berarti termasuk perusahaan
(korporasi) dalam segala bentuk dan bidang usahanya, seperti BUMN,
koperasi, dan perusahaan swasta, baik berupa pabrikan, importir,
pedagang eceran, distributor, dan lain-lain. Pengertian pelaku usaha yang
terdapat dalam UUPK ini tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha
di luar negeri, karena UUPK membatasi oramg perseorangan atau badan
usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha di
wilayah hukum negara Republik Indonesia.53
Sebagai penyelenggara dalam kegiatan usaha, pelaku usaha
merupakan pihak yang harus bertanggungjawab atas akibat-akibat negatif
53
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 9.
60
berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga
yang dalam hal ini adalah konsumen.54
Pengertian pelaku usaha yang luas sebagaimana tercantum dalam
Pasal 1 angka 3 UUPK, akan memudahkan konsumen untuk menuntut
ganti kerugian dimana konsumen tidak begitu mengalami kesulitan
dalam menemukan kepada siapa tuntutan akan diajukan karena banyak
pihak yang dapat digugat. Sebaiknya, ditentukan urutan-urutan pelaku
usaha yang seharusnya digugat oleh konsumen jika dirugikan oleh pelaku
usaha, yakni dengan urutan-urutan sebagai berikut:55
1) Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk
tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui
oleh konsumen yang dirugikan.
2) Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di
luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK
tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri.
3) Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui,
maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli
barang tersebut.
Urutan-urutan di atas hanya diberlakukan jika suatu produk
mengalami cacat pada saat diproduksi. Urutan-urutan tersebut juga
54
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cetakan ke-1, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 17.
55
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, op. cit., hlm. 10.
61
mempertimbangkan tentang kompetensi pengadilan maupun Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), karena siapapun yang
digugat oleh konsumen, pengadilan atau BPSK yang kompeten adalah
pengadilan atau BPSK yang mewilayahi tempat tinggal konsumen,
sehingga tidak memberatkan konsumen.
b. Hubungan Pelaku Usaha dan Konsumen
Konsumen dan pelaku usaha memiliki hubungan yang erat dan
berkesinambungan. Hal ini karena secara tidak langsung keduanya saling
menghendaki dan memiliki rasa ketergantungan yang sangat tinggi antara
satu dengan yang lainnya. Pendapat Purba dalam menjelaskan hubungan
antara pelaku usaha dengan konsumen yakni kunci pokok dari
perlindungan konsumen adalah bahwa konsumen dan pelaku usaha itu
saling membutuhkan, produksi tidak ada artinya jika tidak ada yang
mengkonsumsinya dan produk yang dikonsumsi itu aman dan
memuaskan, sehingga kemudian hal ini merupakan bentuk promosi gratis
bagi pelaku usaha.
Pelaku usaha sangat bergantung dan membutuhkan konsumen
sebagai pelanggan dalam rangka mempertahankan kelangsungan
usahanya. Begitupun sebaliknya, konsumen juga bergantung terhadap
hasil produksi dari pelaku usaha. Hubungan yang terjadi antara pelaku
usaha dan konsumen ini merupakan rangkaian hubungan yang
berkelanjutan yang terjadi sejak proses produksi, distribusi hingga proses
penawaran. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan suatu bentuk
62
rangkaian perbuatan hukum yang mepunyai akibat hukum baik bagi
semua pihak maupun pihak-pihak tertentu saja.
Masih rendahnya kesadaran dan lemahnya pengetahuan konsumen
tidak mustahil dijadikan peluang bagi pelaku usaha dalam transaksi yang
tidak mempunyai iktikad baik yaitu berprinsip mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan memanfaatkan sesefisien mungkin sumber daya
yang ada. Kepentingan konsumen seringkali dikendalikan oleh kekuatan
dari luar dirinya, baik dari pelaku usaha maupun pemerintah. Lemahnya
posisi konsumen ini antara lain disebabkan oleh perangkat hukum yang
ada belum bisa memberikan rasa aman.
Ada dua doktrin atau teori yang mendasari adanya hubungan hukum
antara pelaku usaha dan konsumen yaitu doktrin caveat emptor yang
kemudian berkembang menjadi doktrin caveat venditor.
Doktrin caveat emptor disebut juga dengan let the buyer beware atau
pembeli harus melindungi dirinya sendiri yang merupakan dasar dari
lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi
bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat
seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi pihak konsumen.
Konsumen harus memikirkan dan bertanggungjawab atas perlindungan
terhadap kepentingannya. Pelaku usaha tidak bertanggungjawab atas
cacat atau kerugian meskipun kerugian tersebut merupakan akibat dari
tindakan pelaku usaha yang tidak melakukan upaya untuk menghindari
terjadinya kerugian yang dialami oleh konsumen.
63
Doktrin caveat venditor dikemukakan karena pelaku usaha adalah
pihak yang paling mengetahui informasi secara benar, jelas, dan jujur
atas setiap barang dan/atau jasa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, pihak
pelaku usaha harus lebih waspada dan berhati-hati dalam memproduksi
sesuatu produk, jangan sampai bertentangan dengan tuntutan, kriteria,
dan kepentingan konsumen. Transaksi yang terjadi tidak lagi sematamata diserahkan kepada pelaku usaha dan konsumen melainkan
dilakukan proteksi konsumen melalui peraturan perundang-undangan
dengan mengatur transaksi tersebut untuk melindungi konsumen yang
posisi tawarnya lebih lemah.
c. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Undang-undang memberikan sejumlah hak dan membebani sejumlah
kewajiban dan larangan bagi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat
antara produsen dengan konsumen dan dapat menciptakan iklim usaha
yang kondusif bagi perkembangan usaha dan perekonomian pada
umumnya.
Ada 5 (lima) hak yang dimiliki oleh pelaku usaha yang diatur dala
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 6, yaitu:
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
64
2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beriktikad tidak baik;
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik paabila terbukti secara hukumm
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perudang-undangan
lainnya.
Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,
menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak
jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak
atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas
barang dan/atau jasa yang sama. Hal yang biasa terjadi adalah jika suatu
barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah dari barang yang
serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Jadi,
dalam hal ini yang lebih dipentingkan adalah harga yang wajar.
Kewajiban bagi pelaku usaha diterangkan dan diatur dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen Pasal 7 yakni antara lain:
1) Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
65
2) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur,
serta tidak diskriminatif;
4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa;
5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha beriktikad baik dalam melakukan kegiatan
usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian
yakni diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian itu
harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen menjelaskan bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku
usaha karena pelaku usahalah yang meliputi semua kegiatan dakam
melakukan usahanya, sehingga kewajiban pelaku usaha dalam beriktikad
baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap
penjualan.
66
2. Tinjauan Umum tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha
a. Pengaturan tanggungjawab pelaku usaha
Tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 19 yang menjelaskan:
1) Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
2) Ganti-rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau pengembaliam barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3) Pemberian ganti-rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh
hari setelah tanggal transaksi.
4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
b. Prinsip-prinsip tanggung jawab
67
1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault
liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup
umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Prinsip ini
dipegang secara teguh dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367.
Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan
yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan
melawan hukum mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok,
yakni:
a) Adanya perbuatan;
b) Adanya unsur kesalahan;
c) Adanya kerugian yang diderita;
d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Kesalahan dalam hal ini maksudnya adalah unsur yang
bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum, tidak hanya
bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan
kesusilaan dalam masyarakat.
Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima
karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti
kerugian bagi pihak korban, dengan kata lain tidak adil jika orang
68
yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang
lain.
Tentang pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti
ketentuan Pasal 163 HIR (Herziene Indonesische Reglement) atau
Pasal 283 RBG (Rechtsreglement Buitengewesten) dan Pasal 1865
KUH Perdata, di sana dijelaskan bahwa barangsiapa yang mengaku
mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau
peristiwa itu (actorie incumbit probatio).
Ketentuan di atas sesuai dengan asas dalam hukum acara yakni
asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara
(audi et alteram partem) di mana hakim harus memberi para pihak
beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memilki
kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.
Perlu diperjelas dalam prinsip ini adalah definisi tentang
subyek pelaku kesalahan (Pasal 1367 KUH Perdata). Asas
vicarious liability dan corporate liability dikenal dalam doktrin
hukum. Vicarious liability mengandung pengertian bahwa majikan
bertanggungjawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh
orang-orang/karyawan yang berada di bawah pengawasannya
(captain of the ship doctrine), jika karyawan itu dipinjamkan ke
pihak lain (borowed servant) maka tanggung jawabnya beralih
pada si pemakai karyawan tadi (fellow-servant doctrine).
69
Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama
dengan vicarious liability yakni lembaga (korporasi) yang
menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab
terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya.
Doktrin yang terakhir disebut ostensible agency di mana suatu
korporasi memberi kesan kepada masyarakat bahwa orang yang
bekerja di tempat itu adalah karyawan yang tunduk di bawah
perintah/koordinasi korporasi tersebut, sehingga sudah cukup
syarat bagi korporasi untuk wajib bertanggungjawab secara
vicarious kepada konsumennya.
2) Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab
Prinsip
ini
menyatakan
tergugat
selalu
dianggap
bertanggungjawab (persumption of liability principle) sampai ia
dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi, beban
pembuktian ada pada pihak tergugat.
Undang-Undang perlindungan Konsumen mengadopsi sistem
pembuktian terbalik yang ditegaskan dalam Pasal 19, Pasal 22, dan
Pasal 23. Pasal 22 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
mencantumkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur
kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal
19 ayat (4) Pasal 20 dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung
gugat pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
70
melakukan
pembuktian,
ketentuan
ini
dimaksudkan
untuk
menerapkan sistem beban pembuktian terbalik.
Penerapan teori beban pembuktian terbalik ini bertentangan
dengan asas hukum praduga tak bersalah. Namun, jika diterapkan
dalam kasus konsumen akan tampak cukup relevan. Jika yang
digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan
kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat
inilah yang harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak
bersalah. Tentu saja konsumen tidak kemudian menjadi dapat
sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai
penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha,
jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat.
3) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab
Prinsip
praduga
untuk
tidak
selalu
bertanggungjawab
(presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam
lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan
yang demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah pada hukum
pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/
bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang
(konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang sehingga
dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta
pertanggungjawabannya.
71
Namun, dalam Pasal 44 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, ada penegasan bahwa
prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab ini tidak lagi
diterapkan secara mutlak, dan mengarah kepada prinsip tanggung
jawab dengan pembatasan uang ganti-rugi (setinggi-tingginya satu
juta rupiah) sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut dapat
ditunjukkan
dan
pembuktian
tersebut
dibebankan
kepada
konsumen.
4) Prinsip tanggung jawab mutlak
Prinsip
tanggungjawab
mutlak
(strict
liability)
sering
diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute
liability). Ada pendapat yang mengatakan strict liability adalah
prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai
fakta yang menentukan, ada pengecualian yang memungkinkan
untuk dibebaskan dari tanggung jawab seperti force majeur.
Sedangkan absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa
kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada
pandangan yang agak mirip yang mengaitkan perbedaan keduanya
pada ada atau tidaknya hubungan kausalitas antara subjek yang
bertanggungjawab
dan
kesalahannya.
Pada
strict
liability,
hubungan itu harus ada. Sementara pada absolute liability,
hubungan itu tidak selalu ada, maksudnya dapat saja tergugat yang
72
dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung
kesalahan tersebut.
Menurut R.C. Hoeber et al, alasan penerapan prinsip tanggung
jawab mutlak ini biasanya karena:
a) Konsumen
tidak
dalam
posisi
menguntungkan
untuk
membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi
dan distribusi kompleks.
b) Diasumsikan
produsen
lebih
dapat
mengantisipasi
jika
sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya.
c) Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan
konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha,
khususnya produsen barang yang memasarkan produk yang
merugikan konsumen. Asas tanggung jawab tersebut dikenal
dengan naman product liability. Menurut asas ini, produsen wajib
bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen atas
penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability
dapat dilakukan berdasarkan tiga hal, yaitu:
a) Melanggar jaminan (breach of warranty)
b) Ada unsur kelalaian (negligence)
c) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability)
73
Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab
mutlak terletak pada risk liability di mana kewajiban mengganti
rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya
kerugian itu. Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban
pembuktian, walaupun tidak sebesar tegugat. Ia hanya perlu
membuktikan adanya hubungan kausalitas antar perbuatan pelaku
usaha dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan
prinsip strict liability.
5) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of
liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk
dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar
yang dibuatnya. Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan
prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya. Pasal 17 Ayat (1) Protokol
Guatemala 1971 yakni dalam pengangkutan udara, prinsip
tanggung jawab dengan pembatasan dikaitkan dengan prinsip
tanggung jawab mutlak. Batas tanggung jawab pihak pengangkut
untuk satu penumpang sebesar 100.000 dolar Amerika Serikat
(tidak termasuk biaya perkara) atau 120.000 dolar (termasuk biaya
perkara).
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila
ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen yang baru, seharusnya pelaku
74
usaha tidak boleh menetukan secara sepihak klausula yang
merugikan konsumen, termasuk membatasi tanggung jawabnya.
Jika ada pembatasan mutlak harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang jelas.56
3. Tanggung jawab produk (Product Liability)
a.
Pengertian tanggung jawab produk
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata
dapat dilihat dan dipegang (tangible goods), baik yang bergerak
maupun tidak bergerak. Jika dikaitankan dengan masalah tanggung
jawab produsen (product liability), produk bukan hanya berupa
tangible goods,tetapi juga termasuk yang bersifat intangible, seperti
listrik, produk alami (makanan, binatang peliharaan), tulisan (peta
penerbangan yang diproduksi secara masala), atau perlengkapan
rumah, termasuk komponen suku cadang. Istilah product liability
diterjemahkan secara bervariasi ke dalam bahasa Indonesia seperti
“tanggung gugat produk” atau “tanggung jawab produk".
Peter E Nygh dan Peter Butt dalam Butterworths Concise
Australian Legal Dictionary, mengatakan bahwa product liability
merupakan tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada
penguasaha, distributor atau pemasok. Agnes M Toar mengartikan
tanggung jawab produk sebagai tanggung jawab prousen untuk produk
56
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi revisi, PT. Gramedia Widiasaran
Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 72-80.
75
yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan kerugian
karena cacat yang melekat pada produk tersebut.
Jadi, yang dimaksud dengan tanggung jawab produk adalah suatu
tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang
menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang
atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor)
produk tersebut, juga terhadap orang/badan yang terlibat dalam
rangkaian komersial tentang bengkel dan pergudangan, demikian juga
para agen dan pekerja dari badan-badan usaha tersebut.57
Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang
cacat/rusak sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian
bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian, atau
harta benda.58
Produk cacat menurut Emma Suratman adalah setiap produk yang
tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan
atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal
lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syaratsyarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunannya,
sebagaimana diharapkan orang.
Suatu produk dapat disebut cacat karena:
57
Tami Rusli “Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen” dalam
Pranata Hukum, volume 7, nomor 1, 2012, hlm. 81-82.
58
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, hlm. 103.
76
1) Cacat produk adalah keadaan produk yang umumnya berada di
bawah tingkat harapan konsumen atau cacat sedemikian rupa
sehingga dapat membahayakan harta-bendanya, kesehatan tubuh
atau jiwa konsumen.
2)
Cacat desain
3) Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak
dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi
penggunaan tertentu. Produk yang tidak memuat peringatan atau
instruksi tertentu adalah termasuk produk cacat yang tanggung
jawabnya secara tegas dibebankan pada produsen dari produk
yang bersangkutan.59
b.
Tanggung
jawab
produk
(product
liability)
dalam
hukum
Perlindungan Konsumen di Indonesia
Dasar adanya tanggung jawab produk ialah perjanjian antara para
pihak atau perbuatan melawan hukum, maka berdasarkan hukum
Indonesia, ketentuan-ketentuan berkaitan dengan hal tersebut harus
menjadi patokan utama dalam penyelesaian masalah tersebut.60
Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas
landasan adanya:
1) Pelanggaran jaminan (breach of warranty), yakni pelanggaran
terhadap jaminan bahwa barang yang dijual tidak mengandung
cacat
59
Ibid, hlm. 104.
Tami Rusli “Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen” dalam
Pranata Hukum, volume 7, nomor 1, Januari 2012, hlm. 82.
60
77
2) Kelalaian (negligence), yakni bila pelaku usaha yang digugat itu
gagal menunjukkan, ia cukup berhati-hati dalam membuat,
menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau
mendistribusikan suatu barang.
3)
Tanggung jawab mutlak (strict liability).61
Masalah product liability ini erat kaitannya dengan masalah
persaingan dalam era perdagangan bebas maupun dengan makin
meningkatnya perhatian terhadap perlindungan konsumen. Inti
masalahnya terletak pada kualitas dari produk yang dihasilkan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah menggunakan prinsip
semi-strict liability sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tentang
tanggung jawab pelaku usaha. Demikian juga Pasal 20 yang berbunyi
bahwa pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang
diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan dari iklan tersebut.
Selain itu, dalam Pasal 28 dinyatakan bahwa pembuktian terhadap ada
tidak unsur kesalahan dalam gugatan ganti-rugi merupakan beban
tanggung jawab pelaku usaha.
Berdasarkan sistem hukum yang ada kedudukan konsumen sangat
lemah dibanding produsen. Salah satu usaha untuk melindungi dan
meningkatkan kedudukan konsumen adalah dengan menerapkan
prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum tentang
tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukannya prinsip tanggung
61
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi revisi, PT. Gramedia Widiasaran
Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 81.
78
jawab mutlak diharapkan pula para produsen atau pelaku usaha
menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk yang
dihasilkannya.
Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia meliputi 3
(tiga) bagian penting, yakni:
1) Faktor-faktor
eksternal
hukum
yang
akan
mempengaruhi
perkembangan dan pembaharuan hukum perlindungan konsumen
termasuk penerapan prinsip tanggung jawab mutlak.
2) Faktor internal sistem hukum, yaitu elemen struktur budaya
hukum dalam rangka penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di
Indonesia.
3) Ruang lingkup materi atau substansi dari prinsip tanggung jawab
mutlak yang perlu diatur dalam undang-undang.62
62
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, hlm. 108.
79
BAB III
PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP PRODUK
HERBAL YANG TIDAK BERSERTIFIKASI HALAL
DI KABUPATEN SLEMAN
B. Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Produk Herbal yang Tidak
Bersertifikasi Halal di Kabupaten Sleman
7. Peredaran Produk Herbal yang Tidak Bersertifikasi Halal di Kalangan
Konsumen
Kesehatan merupakan kebutuhan yang amat sangat penting dan
mendasar bagi kehidupan manusia. Seiring meningkatnya kesadaran
masyarakat akan kesehatan segala upaya ditempuh oleh setiap orang untuk
menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat dan prima. Demi menjaga
80
kesehatan sebagian besar orang mengkonsumi suplemen vitamin untuk
meningkatkan daya tahan tubuh. Selain itu, dalam upaya untuk
menyembuhkan berbagai penyakit dibutuhkan obatan-obatan tertentu yang
harus dikonsumsi oleh seseorang.
Beberapa suplemen vitamin atau obat-obatan seperti yang tersebut di
atas biasanya dapat dibeli di apotek ataupun berdasarkan resep dari dokter.
Umumnya, suplemen vitamin atau obatan-obatan tersebut dibuat dari
bahan kimia, yang apabila dikonsumsi terus-menerus dalam jangka
panjang atau dikonsumsi secara berlebihan dapat menimbulkan efek
samping tertentu seperti menjadi ketergantungan, reaksi pencernaan
seperti mual, sakit perut, dan sebagainya. Terlebih lagi, obat-obatan dan
suplemen vitamin tersebut memiliki harga yang relatif tinggi sehingga
sulit untuk dijangkau oleh masyarakat kalangan bawah, padahal mereka
juga tentu sangat membutuhkan terutama obat-obatan apabila mereka
terserang penyakit.
Berangkat dari hal tersebut, kini tersedia alternatif lain bagi konsumen
pengguna obat-obatan tersebut agar tetap dapat menjaga kesehatan tubuh
mereka dan dapat menyembuhkan penyakit yang mereka derita tetapi tidak
perlu khawatir akan efek samping dari bahan-bahan kimia yang
terkandung dalam obat-obatan tersebut serta tidak perlu merogoh saku
mereka lebih dalam lagi karena harga yang tersedia lebih terjangkau.
Alternatif yang dimaksud adalah produk herbal yang dapat berupa
suplemen vitamin, obat-obatan atau kosmetik.
81
Seiring
dengan
perkembangan
teknologi
dan
meningkatnya
permintaan masyarakat akan kebutuhan atas suatu produk, semakin
banyak pula muncul pelaku usaha yang meproduksi produk-produk herbal
guna memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Kini banyak toko-toko
yang menjual berbagai macam produk herbal terutama obat-obatan dan
kosmetik di Yogyakarta, baik toko obat biasa maupun toko yang khusus
produk-produk herbal saja. Perkembangan dalam produksi produk herbal
ini sayangnya tidak diimbangi dengan perkembangan informasi tentang
kehalalan produk tersebut yang dicantumkan melalui label halal resmi dari
MUI. Hal ini dapat terlihat dari masih adanya produk-produk herbal yang
tidak bersertifikasi halal MUI di toko-toko produk herbal di Kabupaten
Sleman.
Berdasarkan wawancara terhadap 3 (tiga) orang konsumen yang
mengkonsumsi produk herbal terlihat bahwa Rahmanda Raditya (bukan
nama sebenarnya) mengkonsumsi produk herbal dengan alasan produk
herbal tidak memiliki risiko seperti produk-produk yang menggunakan
bahan kimia walaupun harga keduanya cenderung sama tergantung dari
produk yang bermerk atau tidak. Mas Raditya sendiri ketika membeli
produk atau obat herbal tidak memperhatikan ada atau tidaknya label halal
pada kemasan produk tersebut, karena menurutnya produk-produk herbal
itu adalah produk yang berasal dari tanaman, jadi sudah pasti halal. Ia
tidak mengetahui bahwa sebenarnya ada ketentuan bahwa pelaku usaha
harus mencantumkan informasi berupa label halal pada kemasan produk
82
yang dijualnya. Ketika ditanya mengenai perasaannya bahwa produk yang
ternyata ia konsumsi itu tidak halal, ia merasa sedikit kecewa, namun juga
cenderung tidak peduli karena yang penting saat ia mengkonsumsi produk
herbal tersebut ia tidak mengetahui bahwa produknya itu tidak halal jadi
tidak masalah untuk dirinya. Namun, menurutnya label halal terutama
yang disertifikasi oleh MUI itu sangat penting karena jika dilihat,
penduduk Indonesia mayoritas adalah muslim, jadi sangat penting untuk
mengkonsumsi suatu produk itu yang sudah jelas informasi halal atau
tidaknya.63
Selanjutnya wawancara yang penulis lakukan dengan Nindita Rosie
(bukan nama sebenarnya) yang juga merupakan konsumen produk herbal.
Alasannya mengkonsumsi produk herbal adalah karena produk herbal itu
lebih aman bagi tubuh karena terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang alami
dan tidak membuat ginjal bekerja lebih keras seperti ketika mengkonsumsi
obat-obatan kimia. Selama ini, ketika membeli produk herbal yang akan
dikonsumsinya, Mbak Rosie tidak memperhatikan ada atau tidaknya label
halal pada kemasan produk herbal tersebut, karena ia meyakini bahwa
produk herbal yang berasal dari tumbuh-tumbuhan alami pasti halal. Ia
merasa kecewa apabila suatu ketika diketahui bahwa produk herbal yang
ia konsumsi ternyata tidak halal, karena merasa telah dibohongi oleh
pelaku usaha. Labelisasi halal menurutnya sangat penting terutama bagi
63
Wawancara dengan Rahmanda Raditya, konsumen produk herbal, di Jalan Taman Siswa, 10
Januari 2013, pukul 15.30 WIB
83
umat muslim agar merasa aman, nyaman, dan tenteram dalam
mengkonsumsi produk.64
Wawancara terakhir penulis lakukan dengan konsumen kosmetik
herbal yaitu Camelia Desi (bukan nama sebenarnya) yang gemar
menggunakan kosmetika herbal. Alasannya menggunakan kosmetika
herbal adalah karena menurutnya kosmetika herbal itu lebih sehat dan jauh
dari bahan-bahan kimia. Ia selalu memperhatikan label halal pada
kosmetika herbal sebelum ia membelinya, karena ia merasa bahwa dirinya
adalah muslim dan penting baginya untuk tahu produk yang ia konsumsi
itu halal atau haram. Ia pernah mengetahui tentang adanya sertifikasi halal
dari MUI namun ia merasa kecewa karena masih ada pelaku usaha yang
tidak mencantumkan sertifikasi halal sebagai informasi yang penting bagi
konsumen muslim. Hal ini penting menurutnya karena Indonesia
merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim, selain itu
masyarakat pada umumnya menganggap kalau produk herbal itu sudah
pasti halal. Apabila ia mengetahui bahwa produk yang dikonsumsinya itu
ternyata adalah tidak halal, mbak Desi biasanya langsung bereaksi untuk
tidak menggunakan lagi produk tersebut. Menurutnya, label halal yang
disertifikasi oleh MUI itu sangat penting karena produk yang memiliki
sertifikat halal yang resmi menunjukkan bahwa produk tersebut benarbenar halal dan dijamin kehalalannya oleh negara.65
64
Wawancara dengan Nindita Rosie, konsumen produk herbal, di Jalan Cantel, 11 Januari
2013, pukul 19.30 WIB
65
Wawancara dengan Camelia Desi, konsumen produk herbal, di Jalan Kusumanegara, 13
Januari 2013, pukul 19.00 WIB
84
Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa masih adanya
konsumen muslim yang menemukan dan mengkonsumsi produk herbal
yang tidak berlabel halal resmi dari MUI. Hal ini disebabkan pelaku usaha
tidak mencantumkan informasi halal pada kemasan produk yang
diperdagangkannya. Ada sebagian konsumen yang masih belum
meperhatikan label halal sewaktu membeli produk herbal, namun ada juga
yang jeli memperhatikan label halalnya. Namun, mayoritas konsumen
muslim tersebut merasa kecewa atas tidak tercantumnya informasi halal
pada produk yang mereka beli. Terlebih lagi jika kemudian diketahui
bahwa produk yang mereka konsumsi ternyata benar-benar tidak halal,
maka untuk itulah informasi halal dibutuhkan karena mayoritas konsumen
hanya mengetahui bahan utama yang digunakan saja, yaitu berasal dari
tanaman yang mereka yakini itu adalah halal.
Berdasarkan temuan langsung di lapangan dengan demikian ada dua
bentuk pelanggaran hak informasi bagi konsumen muslim, yaitu produk
herbal yang sama sekali tidak mencantumkan label halal dan produk
herbal yang mencantumkan logo halal tetapi tidak resmi dari MUI.
8. Peredaran Produk Herbal yang Tidak Bersertifikasi Halal di Kalangan
Pelaku Usaha
Produk herbal dalam peredarannya tidak terlepas dari peran pelaku
usaha, baik produsen maupun distributor sehingga konsumen akhir dapat
menikmati dan memanfaatkan produk tersebut, oleh karena itu diharapkan
85
tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak merugikan konsumen
karena tidak jelasnya informasi yang diberikan.
Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan kepada Ibu Dewi
(bukan nama sebenarnya) selaku produsen obat-obatan herbal yang sudah
menjalankan usahanya kurang lebih selama hampir 2 tahun. Ia mengetahui
tentang sertifikasi halal namun urung mendaftarkan produknya untuk
mendapatkan sertifikasi halal karena biaya yang harus ia keluarkan untuk
hal tersebut terlalu mahal, ditambah lagi ia enggan untuk mengikuti
prosedurnya yang menurutnya cenderung rumit. Meskipun produknya
tidak disertai label halal, ia tidak memberikan penjelasan kepada
konsumennya bahwa produknya itu adalah halal. Ibu Dewi yakin bahwa
obat-obatan herbal yang ia produksi adalah halal karena bahan-bahannya
berasal dari tumbuh-tumbuhan, selain itu menurutnya proses yang ia
lakukan dalam memproduksi obat-obatan tersebut adalah halal. Sehingga
ia beranggapan bahwa tidak masalah jika produknya tidak bersertifikasi
halal selama tidak ada keluhan dari konsumen.66
Hasil wawancara dengan Ibu Rita (bukan nama sebenarnya) selaku
produsen dan distributor kosmetika herbal. Produk kosmetika herbal milik
Ibu Rita memiliki label berlogo halal, namun bukan sertifikasi halal yang
resmi dari MUI. Ia tidak mengetahui informasi tentang pentingnya label
halal dan sertifikasi halal pada produk. Namun, sejauh ini belum ada
keluhan dari konsumen terkait produk kosmetikanya ini. Ia berniat untuk
66
Wawancara dengan Ibu Dewi, Produsen obat-obatan herbal, di Kabupaten Sleman, 4
Januari 2013, pukul 15.00 WIB
86
ke depannya akan melakukan sertifikasi bagi produk kosmetikanya. Ia
juga berharap bahwa prosedur sertifikasi nantinya tidak harus menelan
biaya yang mahal.67
Hasil wawancara dari dua produsen tersebut secara jelas menunjukkan
bahwa masih ada produsen yang belum mancantumkan label atau
sertifikasi halal resmi dari MUI pada kemasan produk yang mereka jual.
Selain itu, pelaku usaha juga tidak memberikan pelayanan berupa
penjelasan terkait informasi halal mengenai produk yang dijualnya. Para
pelaku usaha tersebut belum memenuhi hak konsumen terutama konsumen
muslim atas informasi halal produk-produk herbal yang mereka produksi.
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
menekankan
akan
pentingnya hak informasi bagi konsumen. Informasi yang benar dan cukup
yang diperoleh konsumen akan memberikan kenyamanan tersendiri dalam
dirinya.
Sebagaimana
yang
disebutkan
dalam
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf a bahwa konsumen berhak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa. Hal ini memperkuat alasan bahwa kenyamanan, ketentraman
dan ketenangan akan dirasakan oleh konsumen terutama sekali konsumen
muslim apabila ketika ia mengkonsumsi produk yang dibelinya setelah
mengetahui bahwa informasi yang tertera pada kemasan atau yang
diberikan itu adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Konsumen
muslim dapat memperoleh rasa nyaman dan aman itu apabila
67
Wawancara dengan Ibu Rita, Produsen dan Distributor kosmetika herbal, di Kabupaten
Sleman, 6 Januari 2013, pukul 11.00 WIB
87
mengkonsumsi produk yang memilki label halal resmi yang bersertifikasi
dari MUI. Selain itu, pelaku usaha juga harus memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur kepada konsumen terkait produk yang ia jual. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, oleh karena itu informasi terkait kehalalan
produk harus benar-benar teruji dan pengujiannya harus dilakukan oleh
lembaga yang berkompeten dan telah ditunjuk secara resmi sebagaimana
yang ditegaskan dalam undang-undang.
Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan konsumen telah menegaskan
kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, yakni:
a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta
tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
88
f. Memberi kompensasi, ganti-rugi dan/atau jasa penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Apabila dikaitkan antara hasil wawancara pelaku usaha dengan pasal 7
UUPK, terlihat adanya ketidaksesuaian yaitu dengan huruf b di mana
faktanya pelaku usaha itu tidak melaksanakan kewajibannya untuk
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kehalalan
produk yang diperdagangkannya. Kewajiban tersebut sangat erat kaitannya
dengan hak informasi yang harus diperoleh konsumen yang telah
ditegaskan dalam Pasal 4 huruf c UUPK serta hak atas keamanan,
kenyamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi produk sebagaimana
tercantum dalam UUPK Pasal 4 huruf a.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa masih
banyak produk herbal yang tidak mencantumkan label halal yang telah
disertifikasi oleh MUI. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 8 huruf h Undang-Undang Perlindungan Konsumen
bahwa pelaku usaha itu dilarang untuk tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan “halal” yang tercantum
pada label.
9. Perlindungan Konsumen dari LPPOM MUI
MUI melaui LPPOM MUI sebagai lembaga yang diberi wewenang
untuk menguji suatu produk sampai dengan mengeluarkan sertifikat halal
89
sudah seharusnya dapat memberikan ketenteraman dan ketenangan kepada
konsumen muslim dalam mengkonsumsi produk herbal. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Bapak Elvy Effendie selaku pengurus LPPOM MUI
dimana beliau menyatakan bahwa masih sangat banyak produk herbal
yang beredar di kalangan masyarakat yang tidak bersertifikasi halal resmi
dari MUI.
Menurut Bapak Elvy, sertifikasi halal sebenarnya bukan kewajiban
karena belum ada dasar hukum yang mengaturnya. Sertifikasi halal
sebenarnya diwajibkan untuk produk-produk yang berasal dari hewan, dan
itupun produk import. Namun, seiring berkembangnya perekonomian hal
tersebut menjadi berlaku bagi produk-produk yang berasal dari hewan di
dalam negeri juga. Beliau menyampaikan tidak ada sebenarnya pihak yang
harus bertanggung jawab akan hal ini dikarenakan ketiadaan dasar
hukumnya tadi, namun diharapkan kesadaran dan inisiatif dari pihak-pihak
terkait akan pentingnya sertifikasi halal ini, terutama bagi mayoritas
penduduk yang beragama Islam.
Kurangnya keinginan dan kesadaran dari pelaku usaha, menurut
beliau, merupakan faktor masih adanya produk herbal yang tidak
bersertifikasi halal. Memang jika terlihat dari luar produk herbal ini dirasa
halal karena berasal dari tumbuh-tumbuhan yang juga pasti halal. Namun,
perlu dipertanyakan mengenai kehalalan proses produksi dan penggunaan
zat tambahannya. Sebagai contoh, apakah dalam proses penyaringannya
menggunakan air biasa atau menggunakan alkohol, selain itu jika produk
90
herbal itu ditambahkan laktosa atau gula susu tambahan apakah susu
tersebut berasal dari hewan yang halal, kemudian jika produk herbal yang
dikemas dalam kapsul yang terbuat dari gelatin, apakah gelatinnya berasal
dari hewan yang halal. Karena hal-hal itulah maka diperlukan sertifikasi
halal yang dalam proses pembuatannya suatu produk itu akan melewati
serangkaian pengujian dari mulai pembuatan, pengemasan, sampai dengan
pemasarannya.
Menurut beliau lagi, sebenarnya prosedur sertifikasi itu tidak rumit,
akan tetapi mungkin yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha adalah
biaya yang dikeluarkan itu dirasa mahal. Pelaku usaha menganggap
dengan mengeluarkana biaya untuk sertifikasi maka ia juga harus
menaikkan harga produk
yang dijualnya,
padahal sangat besar
kemungkinan jika produknya sudah bersertifikasi halal, akan semakin
meningkatkan minat konsumen karena produk yang dijualnya itu sudah
aman dan halal walaupun harganya lebih mahal.
Adapun prosedur sertifikasi halal produk di LPPOM MUI adalah
sebagai berikut:
a. Pendaftaran
1) Pengisian formulir
Pelaku usaha dapat meperoleh formulir pendaftaran di sekretariat
LPPOM MUI
2) Penyusunan dokumen Sistem Jaminan Halal (SJH)
91
Dokumen ini berisi uraian mengenai bagaimana cara perusahaan
menjamin produksi halal yang berkelanjutan. Dokumen SJH harus
memuat:
a) Halaman judul
b) Profil perusahaan
c) Kata pengantar
d) Susunan tim halal perusahaan
e) Panduan halal-haram (arti dan dasar-dasar halal)
f) Cara menjamin produksi halal per –tahap proses pengolahan
g) Cara menjaga kebersihan/sanitasi
h) Daftar bahan-bahan yang digunakan
i) Lampiran-lampiran (dokumen pendukung)
b. Pengembalian formulir beserta dokumen SJH
c. Audit
Proses audit dilakukan oleh Tim Auditor yang bertugas
d. Sidang Internal LPPOM MUI
Sidang ini membahasa hasil audit yang dilakukan oleh auditor apakah
terdapat masalah atau tidak
e. Sidang Komisi Fatwa
f. Penerbitan sertifikat halal
Adapun biaya yang dikeluarkan untuk melakukan sertifikasi halal
meliputi 3 (tiga) komponen, yaitu:
a.
Skala usaha
92
Biaya berdasarkan skala usaha kecil, menengah, atau besar.
b.
Jarak
Biaya dihitung berdasarkan jarak dari sekretariat LPPOM MUI ke
lokasi usaha yang bersangkutan. Jika jaraknya masih meliputi Kota
Yogyakarta,
Kabupaten
Sleman,
dan
Kabupaten
Bantul
itu
dikategorikan jarak yang dekat, di luar itu dikategorikan jarak
menengah atau jauh.
c.
Kompleksitas yang ada di perusahaan
Berdasarkan ketiga komponen tersebutlah LPPOM MUI kemudian
merumuskan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk
melakukan prosedur sertifikasi.
Terkait perlindungan yang diberikan, menurut Bapak Elvy, tidak ada
perlindungan yang harus diberikan oleh LPPOM MUI karena memang
tidak adanya dasar hukum yang mengharuskan demikian. Namun
demikian, LPPOM MUI tetap memilki peran yakni dengan melakukan
sosialisasi terkait manfaat dan pentingnya sertfikasi halal ini karena akan
memberikan rasa aman, nyaman, dan tentram bagi konsumen muslim.
Sosialisasi yang dilakukan oleh LPPOM MUI adalah melalui radio-radio
seperti RRI dan MQ FM setiap hari Jumat pada minggu pertama dan kedua
setiap bulan.
Menurut beliau lagi, perlu segera disahkannya RUU kewajiban
sertifikasi halal yang kini sedang dibahas dalam rangka untuk melindungi
93
konsumen muslim, disamping juga diperlukan kesadaran dari
pelaku
usaha untuk melakukan sertifikasi dan memberikan informasi halal tentang
produknya dan juga kesadaran dari konsumen untuk memilih dan
mengkonsumsi produk-produk yang halal.68
Jadi dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya
sangat penting pemberian informasi halal pada kemasan produk herbal
karena kehalalan suatu produk herbal tidak hanya dilihat dari bahan-bahan
yang tampak dari luar tetapi juga dilihat dari prosedur pembuatannya yang
mana hal itu dapat diketahui melalui serangkaian pengujian dalam rangka
memperoleh sertifikasi halal. Masih banyaknya produk herbal yang
beredar di kalangan masyarakat tanpa pencantuman label halal resmi dari
MUI disebabkan masih kurangnya rasa tanggung jawab pelaku usaha. Hal
ini akibat dari tidak adanya kebijakan dari pemerintah berupa aturan
hukum yang mewajibkan sertifikasi halal serta tidak adanya kegiatan
sosialisasi yang cukup oleh lembaga-lembaga yang bertanggungjawab atas
hal tersebut.
10. Perlindungan Konsumen dari LKY
Berdasarkan hasil wawancara dengan Mbak Awi, salah satu anggota
Lembaga Konsumen Yogyakarta, LKY merupakan lembaga swadaya
masyarakat yang anggotanya berasal dari anggota masyarakat yang
memiliki visi yang sama untuk bersama-sama menegakkan perlindungan
68
Wawancara dengan Bapak Elvy Effendie, Pengurus LPPOM MUI Yogyakarta, di
Sekretarian LPPOM MUI, 12 Januari 2013, pukul 08.30 WIB
94
konsumen di Indonesia khususnya Yogyakarta. LKY mengutamakan
dalam hal pendidikan dan pengorganisasian, advokasi untuk kasus-kasus
sengketa konsumen, penelitian, dan pendampingan masyarakat.
Sampai saat ini LKY belum menemukan adanya keluhan atau
pengaduan dari konsumen terkait labelisasi atau sertifikasi kehalalan
produk herbal. Jika ada konsumen yang merasa dirugikan dengan hal itu,
konsumen bisa langsung datang ke Kantor LKY kemudian pihak LKY
akan memproses untuk diberikan pendampingan, mediasi, dan advokasi.
Apabila kemudian ada keluhan dari konsumen terkait hal labelisasi
dan sertifikasi kehalalan produk ini maka akan dilihat kasus yang terjadi
bagaimana dan sejauh apa hal yang terjadi itu merugikan konsumen,
kemudian hal tersebut ditarik kesimpulan berdasarkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yakni pelanggaran yang terjadi itu telah
melanggar hak-hak konsumen yang mana. Ketiadaan label halal yang
disertifikasi MUI dalam hal ini merupakan bentuk pelanggaran UUPK
yakni ketiadaan hak informasi yang diberikan pelaku usaha kepada
konsumen.
Tidak hanya fokus kepada konsumen, LKY juga memfokuskan
kegiatannya kepada pelaku usaha, yaitu melakukan upaya agar pelaku
usaha timbul kesadaran bahwa konsumen memiliki hak-hak yang harus
dipenuhi oleh pelaku usaha tersebut. Selain itu, LKY juga melakukan
kegiatan pendidikan dan perngorganisasian, salah satunya melakukan
sosialisasi terkait hal apapun yang berhubungan dengan konsumen dalam
95
rangka pemenuhan hak-hak konsumen itu sendiri. Semua kegiatan yang
dilakukan oleh LKY ini bertujuan untuk menegakkan keadilan konsumen,
walaupun dalam pelaksanaannya menemukan banyak kendala yang salah
satunya adalah kurangnya kesadaran pelaku usaha akan hak-hak konsumen
yang harus dipenuhinya tersebut.69
Jika dilihat dari hasil wawancara di atas, LKY sebagai salah satu
lembaga yang berperan dalam hal perlindungan konsumen cenderung
bersifat pasif, karena LKY baru melakukan tindakan dan memberi bantuan
kepada konsumen apabila konsumen itu telah datang dan menyampaikan
keluhannya, baru kemudian LKY melakukan advokasi dan mendampingi
konsumen apabila konsumen menginginkan penyelesaian atas masalahnya
tersebut. Tindakan preventif berupa sosialisasi pentingnya pencantuman
informasi halal oleh pelaku usaha pada kemasan produk herbal kurang
maksimal padahal produk herbal yang tidak bersertifikasi halal sudah
banyak beredar di kalangan masyarakat.
11. Perlindungan Konsumen dari BPOM
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dwi Fitri Hatmoko, jika
dilihat dari tugas, pokok, dan fungsi dari BPOM, BPOM menafsirkan
produk herbal yaitu mengarah pada obat tradisional. Dalam peredarannya,
obat tradisional ada 3 macam, yaitu:
69
WIB
Wawancara dengan Mbak Awi, anggota LKY, di Kantor LKY, 8 Januari 2013, pukul 12.30
96
a. Jamu, yaitu obat tradisional asli Indonesia yang berasal berasal dari
tanaman dan bersifat diketahui secara turun-temurun.
b. Obat herbal terstandar, yaitu jamu yg sudah mengalami uji pra klinis,
mengarah kepada sudah adanya sentuhan ilmiah, dan sudah melalui
proses dengan sentuham ilmu pengetahuan.
c. Fitofarmaka, yaitu obat tradisonal yang tingkatannya paling tinggi,
hampir setara dengan obat modern serta sudah melalui uji klinis, uji
toksinitas, dan uji keamanan.
Bagi masyarakat awam, yang disebut kehalalan suatu produk itu
cenderung masih terbatas pada produk yang dikonsumsi seperti makanan
dan minuman, kalau yang disebut jamu, kosmetika, atau obat sudah
terdapat tuntutan dari masyarakat terkait kehalalannya misalnya pada
vaksin, tetapi tuntutan tersebut belum terlalu kuat karena produk jamu,
kosmetika, atau obat tidak sehari-hari dikonsumsi seperti halnya makanan
dan minuman.
BPOM berdasarkan tugas, pokok, dan fungsinya di atas mengawasi
produk herbal yang mereka tafsirkan dengan obat tradisional tersebut.
Produk-produk yang diawasi oleh BPOM adalah obat (produk teurapetik),
pangan, kosmetika, obat tradisional, dan produk food suplement.
Terkait kehahalan suatu produk, BPOM memiliki tugas yang lebih
cenderung pada labelisasi dan kemasan. Halal menurut BPOM meliputi 2
aspek, yaitu:
97
a. aspek bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk dan
proses produksinya;
b. aspek syari’at yaitu aspek yang di tinjau berdasarakan syari’at agama
Islam.
Aspek bahan yang digunakan dan proses produksi menjadi tugas dari
BPOM dalam hal pengawasan dan pengujiannya, sedangkan aspek syariat
menjadi tugas dari MUI di mana melalui LPPOM MUI memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan sertifikat halal. Jadi, ada kerjasama
antara BPOM dan MUI dalam hal pengujian dan pengawasan produkproduk pangan serta sertifikasi label kehalalan suatu produk.
Konsumen atau masyarakat mengetahui halal atau tidaknya suatu
produk dengan adanya label pada kemasan. Permasalahan kandungan
bahan di dalamnya halal atau tidak, hal ini merupakan tugas pemerintah.
Untuk itulah pemerintah, termasuk juga yang terlibat adalah BPOM
beserta Departemen Kesehatan dan MUI beserta Departemen Agama harus
menjamin hak tersebut.
Sebagai komunikasi antara pelaku usaha dengan konsumen maka
diperlukan label halal sebagaimana yang resmi dari MUI. Sertifikat halal
dikeluarkan oleh LPPOM MUI, kemudian BPOM yang memberi izin
pencantuman logo halal di kemasan. BPOM melakukan pengawasan
sebelum memberi izin untuk pencantuman logo halal, apakah sertifikat
yang dimiliki pelaku usaha itu asli atau palsu. Pelaku usaha yang
98
perusahaannya telah memilki sertifikat halal dari LPPOM MUI kemudian
mengajukan permohonan untuk pencantuman label halal kepada BPOM,
kemudian dikaji lagi oleh BPOM apakah benar-benar layak untuk
dicantumkan label halal pada produknya yakni dengan diberikan surat
keterangan pencantuman logo halal pada label kemasan produk.
Bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh BPOM, salah satunya
berdasarkan surat ketetapan yaitu aturan atau pedoman pencantuman label
pada produk, namun untuk saat ini hanya berlaku untuk pangan, sedangkan
untuk produk herbal belum ada.70
Kesimpulannya, terkait masalah kehalalan produk, BPOM memiliki
peran yang berhubungan erat dengan LPPOM MUI, di mana proses
pengujian produk dan pencantuman label halal resmi dilakukan oleh
BPOM sedangkan aspek syariatnya merupakan wewenang dari LPPOM
MUI yang diberikan berdasarkan hasil pengujian dan sidang fatwa. Ini
merupakan peran yang dilakukan BPOM dalam hal labelisasi halal yang
sangat diperlukan sebagai bentuk komunikasi antar konsumen dengan
pelaku usaha yang diwujudkan dalam bentuk pencantuman informasi halal
pada kemasan produk herbal. Ketetapan mengenai keharusan pencantuman
informasi halal pada produk baru terbatas pada produk pangan saja, belum
dispesifikasikan pada produk herbal.
70
Wawancara dengan Bapak Dwi Fitri Hatmoko, Kepala Bidang Serlik BPOM Yogyakarta, di
Kantor BPOM Yogyakarta, 16 Januari 2013, pukul 08.00 WIB
99
C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha atas Produk Herbal yang Tidak
Bersertifikasi Halal di Kabupaten Sleman
Perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen memiliki pengertian yaitu segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Konsumen muslim adalah pihak yang diberi perlindungan dalam
hal ini atas produk herbal yang dikonsumsinya.
Informasi kehalalan produk herbal yang tidak diberikan oleh pelaku usaha
kepada konsumen muslim mengharuskan pelaku usaha bertanggungjawab atas
perbuatannya itu. Sebagaimana yang kewajiban pelaku usaha yang tertera pada
Pasal 7 huruf f Undang-Undang Perlindungan Konsumen yakni pelaku usaha
wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
Selanjutnya pada Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dijelaskan lebih lanjut tentang tanggung jawab pelaku usaha yaitu:
1.
Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2.
Ganti-rugi
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dapat
berupa
pengembalian uang atau pengembalian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
100
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3.
Pemberian ganti-rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari
setelah tanggal transaksi.
4.
Pemberian ganti-rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak
menghapuskan
kemungkinan
adanya
tuntutan
pidana
berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.
Tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen
sebagai akibat dari penggunaan produk, baik berupa kerugian materi, fisik
maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan,
yang secara garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti
kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang
berdasarkan perbuatan melanggar hukum.
1.
Tuntutan berdasarkan wanprestasi
Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka
terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (pelaku usaha dengan
konsumen) terikat suatu perjanjian, sehingga pihak ketiga (bukan sebagai
pihak yang terikat dalam perjanjian) yang dirugikan, tidak dapat menuntut
ganti kerugian dengan alsan wanprestasi.
101
Pada tanggung gugat berdasarkan adanya wanprestasi, kewajiban
untuk membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan
klausula dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh
kedua pihak secara sukarela tunduk berdasarkan perjanjiannya. Dengan
demikian, bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar
ganti kerugian atau berapa besar ganti kerugian yang harus dibayar,
melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta
besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, dan apa yang telah
diperjanjiakn tersebut, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
2.
Tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum
Tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar
hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara pelaku usaha dengan
konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap
pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian
antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian, pihak ketiga pun
dapat menuntut ganti kerugian.
Apabila ingin menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus
merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ni berarti bahwa
untuk dapat menuntut ganti kerugian, harus dipenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
a.
Ada perbuatan melanggar hukum;
b.
Ada kerugian;
102
c.
Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dan
kerugian; dan
d.
Ada kesalahan.71
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan ganti kerugian
kepada konsumen atau sanksi administrasi yang hanya meliputi pengembalian
uang atau pengembalian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku usaha, mengenai tanggung
jawab pelaku usaha terkait informasi yang harus diberikan kepada konsumen
muslim tentang sertifikasi halal produk herbal dapat disimpulkan bahwa pelaku
usaha tidak memberikan dan memenuhi tanggung jawabnya sebagaimana halhal yang telah dijelaskan di atas bahwa pencantuman label halal resmi dari
MUI merupakan bentuk pemenuhan hak informasi halal bagi konsumen
muslim atas produk herbalnya. Hal ini karena tidak adanya kesadaran dari
pelaku usaha akan pentingnya sertifikasi halal, mereka menganggap sertifikasi
halal itu tidak penting, yang terpenting bagi mereka adalah izin dari BPOM dan
Dinas Kesehatan. Tidak adanya keluhan dari konsumen menjadikan pelaku
usaha merasa tidak harus bertanggungjawab atas sertifikasi halal ini. Menurut
pelaku usaha, sebaiknya konsumen muslimlah yang harus memilih sendiri
mana produk yang berlabel halal atau tidak yang nantinya akan mereka
konsumsi.
71
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, edisi ke-1,
PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 127-130.
103
BAB IV
PENUTUP
D. Kesimpulan
12. Perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak
bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman yang seharusnya diterima oleh
konsumen sebagai pemenuhan atas hak informasi belum dipenuhi oleh
pelaku usaha yaitu tidak mencantumkan label halal yang disertifikasi oleh
MUI pada kemasan produk herbal yang diperdagangkannya. Tidak
dipenuhinya
perlindungan konsumen yang diberikan oleh pemerintah
melalui lembaga-lembaga seperti BPOM, LPPOM MUI, dan LKY
dikarenakan tidak adanya aturan atau dasar hukum yang tegas mengenai
kewajiban yang mengharuskan pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi
halal. Aturan hukum yang ada hanya menegaskan pencantuman label halal
saja, tetapi bukan pencantuman label halal yang disertifikasi resmi oleh
MUI.
104
13. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk herbal yang tidak
bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman belum terpenuhi. Pelaku usaha
tidak menyadari bahwa sertifikasi halal atas produk herbalnya yang
dicantumkan pada kemasan merupakan tanggung jawabnya sebagai pelaku
usaha atas pemenuhan hak informasi bagi konsumen muslim, sehingga
pelaku usaha cenderung mengabaikannya.
E. Saran
1. Pemerintah perlu segera menetapkan aturan hukum beserta sanksi yang
tegas yang mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal
produk yang diperdagangkannya di wilayah Indonesia, karena mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam. Pemerintah beserta lembaga-lembaga
yang berwenang dan terkait dengan sertifikasi halal ini harus berperan lebih
aktif lagi dalam hal sosialisasi dan pengawasan, jangan hanya menunggu
keluhan dari konsumen baru kemudian melakukan tindakan. Selain itu,
perlu adanya penunjukan lembaga yang bertanggungjawab untuk
melakukan sosialisasi dan melangsungkan kebijakan sertifikasi halal ini.
Selain hal-hal tersebut, perlu juga dilakukan upaya untuk meningkatkan
kesadaran bagi pelaku usaha dan konsumen akan pentingnya produk yang
halal dan resmi kehalalannya dari MUI.
2. Pelaku usaha hendaknya menyadari akan tanggung jawabnya sebagai
pelaku usaha produk herbal atas pencantuman sertifikasi halal pada
105
kemasan yang itu merupakan bagian dari hak informasi bagi konsumen
muslim. Tanggung jawab pelaku usaha dapat dilakukan antara lain dengan
cara berkomitmen untuk melakukan sertifikasi halal dan kemudian
mencantumkan label halal pada kemasan produk herbalnya. Pelaku usaha
hendaknya menarik produk herbalnya untuk segera disertifikasi halal lebih
dahulu sebelum kemudian diedarkan kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Barkatullah. Hak-hak Konsumen, cetakan ke-1, Nusa Media,
Bandung, 2010.
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7,
edisi ke-1, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.
AZ. Nasution. Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
__________. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cetakan ke-2,
edisi revisi, Diadit Media, Jakarta, 2006.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008
Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan
Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003.
Ensiklopedia Islam 2, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005
Erman Rajagukguk dkk. Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, Mandar
Maju, Bandung, 2000.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum tentang Perlindungan Konsumen,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cetakan ke-1, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006
Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi
Islam, cetakan ke-1, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2004.
N.H.T Siahaan. Hukum Konsumen, cetakan ke-1, Panta Rei, Jakarta, 2005.
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, cetakan ke-3, edisi revisi
ke-2, PT.Grasindo, Jakarta, 2006.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ke-2,
Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
YLKI, Perlindungan konsumen Indonesia suatu Sumbangan Pemikiran Buku I
Jurnal dan Makalah Hukum:
Elvi Zahara Lubis “Hubungan Pencantuman Label Halal dengan Perlindungan
Konsumen” dalam Moral & Adil, volume 1, 2009.
Wiku Adisasmito “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling
Obat dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008.
Tami Rusli “Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen”
dalam Pranata Hukum, volume 7, nomor 1, 2012
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Iklan dan Pangan.
Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata
Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga
Pelaksanaan Pemeriksa Pangan Halal.
Website:
Pengertian Obat Herbal, dalam http://multiherbal.net/pengertian-obat-herbal746.html, diakses pada tanggal 7 Oktober 2012, 12:45 WIB.
Mengenal Pengertian Herbal dan Pengobatan Alami, dalam www.anneahira.com,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 15:55 WIB.
Pengertian Obat Herbal, dalam http://artikel-herbal.thifaonline.com/pengertianobat-herbal.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 16:00 WIB.
Perlindungan Konsumen Muslim dalam Perspektif Hukum Indonesia, dalam
www.infoampuh.com, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 16:47 WIB.
Pengertian
Label
terdapat
dalam
http://fie0803.wordpress.com/2012/01/12/pengertian-label/, diakses pada tanggal
4 Desember 2012, 15:10 WIB
Mat
Rofingun,
Kemasan
dan
Label
Produk
terdapat
dalam
http://matrofingun.wordpress.com/2007/06/25/kemasan-dan-label-produk/, diakses pada
tanggal 4 Desember 2012, 15:24 WIB
Albiner
Siagian,
Pelabelan
Pangan
terdapat
dalam
http://id.scribd.com/doc/68773261/Pengertian-Label-Di-Indonesia, diakses pada tanggal 4
Desember 2012, 15:26 WIB
Nurul Huda, Perilaku Konsumen Islami ditulis oleh Nurul Huda terdapat dalam
xa.yimg.com/kq/.../PRILAKU+KONSUMSI+ISLAMI.doc, diakses pada tanggal 17 Januari
2013, 18.00 WIB
Perilaku
Konsumen
Muslim
terdapat
dalam
http://kaqyun.wordpress.com/2010/09/23/32/, diakses pada tanggal 17 Januari
2013, 18.30 WIB
Download