PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP PRODUK HERBAL YANG TIDAK BERSERTIFIKASI HALAL DI KABUPATEN SLEMAN SKRIPSI Oleh : ANI MUGI RAHAYU No. Mahasiswa: 09410434 PROGRAM STUDI (S1) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2013 viii MOTTO “Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu adalah untuk dirinya sendiri.” _Q.S Al-Ankabut: 6_ “Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di Hari Kiamat.” _HR. Muslim_ “Obstacles don’t have to stop you. If you run the wall, don’t turn around and give up. Figure out how to climb it, go through it, or work around it.” _Michael Jordan_ “Jangan ragu dan malas untuk memulai sesuatu yang positif, karena ketika kamu telah melakukannya kamu bahkan akan melakukannya terus tanpa ingin berhenti.” “Seberapa besar perjuanganmu akan menentukan seberapa besar hasil yang kamu dapatkan.” _Penulis_ ix PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan: Untuk Bapak dan Ibuku yang sangat aku sayangi yang senantiasa sabar mendidik, membimbing, mendoakan dan mendukungku Untuk kakak-kakak kandungku tersayang yang selalu memberi masukan dan doadoanya Untuk sahabat-sahabatku yang terus berdiri di sampingku sampai akhir Untuk kamu........ Untuk Universitas Islam Indonesia almamater yang akan selalu aku banggakan x KATA PENGANTAR Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah, kesempatan, dan kemudahan kepada kita semua dalam menjalankan amanah yang menjadi tanggung jawab kita. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabat, karena dengan syafa’atnya kita dapat hijrah dari zaman jahiliyah yang penuh kegelapan menuju zaman penuh berkah yang terang benderang. Atas karunia dan pertolongan dari Allah SWT, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP PRODUK HERBAL YANG TIDAK BERSERTIFIKASI HALAL DI KABUPATEN SLEMAN”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini akan sulit terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan staf pendidikan serta seluruh pihak yang terlibat. Pada kesempatan ini izinkan penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Allah SWT, yang selalu ada dalam setiap langkah, atas karunia, hidayah, akal, pikiran, kekuatan, kesehatan, dan segala kemudahan-Nya. xi 2. Pahlawan besar dunia, Rasulullah Muhammad SAW, yang telah membawa dunia dari jaman yang gelap menuju jaman yang terang dan cerah ini. 3. Ayahanda Kamiso dan Ibunda Sarinah, serta saudara-saudara kandung saya mbak Fera, mas Yayan dan mbak Eci, saudara ipar mas Yanto dan kak Ade, terimakasih atas do’anya dan dukungannya karena dengan do’a itu jalan terjal yang sekiranya akan menghambat dapat disingkiran oleh para malaikat. 4. Bapak. Bagya Agung Prabowo, SH. M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, bantuan pemikiran dan pengarahan dengan sabar dan bijaksana yang sangat berguna bagi saya dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. 5. Bapak. Dr. Rusli Muhammad, SH. M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 6. Bapak Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec, selaku Rektor Universitas Islam Indonesia. 7. Dosen dan Staf Karyawan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah memberikan bimbingan. 8. Bapak Dr. Drs. Rohidin, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Akademik. 9. Lembaga Konsumen Yogyakarta terima kasih mbak Awi 10. LPPOM MUI Yogyakarta terima kasih Bapak Elvy Effendi 11. BPOM Yogyakarta terima kasih Bapak Dwi Fitri Hatmoko xii 12. Keluarga besar di rumah saya Pekanbaru, keluarga di Padang dan Kutuarjo yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada saya. 13. Keluarga besar UKM Basket FH UII yang sangat saya cintai, mas Muhammad Hawari Dahlan, SH; mas Hafiz Siraz, SH; mas Andrea Begawan Poentadatri, SH; Bang Reza Vahlevi, SH; mas Surya Gautama, SH; mas Arif, mas Eky, Putra, Ago, Agi, Yudi, Atta, Adi, Aik, Lintang, Brian, Ius, Santoso, Fitria, Ramzy, Ozik, Juda, Darma, dll; Rozzyana Nyndhya alias Odjie (partner manager yang setia,sehati, dan sejiwa), coach Alfa dan Coach Johan, terimah kasih atas dukungan dan iringan doa untuk saya. 14. Sahabat-sahabat saya di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang sangat saya sayangi Roro Ajeng Muninggar, Woro Restu Pangasih, Oktri Defilania, Veni Dwi Puspitadewi, Maryam Qurrotu Aini, Siwi Sulistianingtyas, Aditya Rahmandita, dan Lalu Satya Ardi Purnama Putra, kalian yang selalu memberi dukungan, semangat, doa, dan selalu ada untuk saya sampai akhir. 15. Sahabat-sahabat SMA yang paling tersayang Ledy Setyawati Lestari, Della Notary, Rhininta Adistyarani, Anisa Rahmanita, Nadia Annisa, Inez Dwi Fuji Astuti, Wahyuni Permata, Ariful Adli, Leonard Bima Antasari, dan Arief Fadliansyah, kalian yang walaupun terpisah jarak masih selalu memberi dukungan, semangat, doa dari jauh, dan selalu ada untuk saya sampai saat ini. 16. Teman-teman KKN Unit 144, ‘IPENK’ryanto Yudha Pratama, Fadhlan’JHONI’ Sukoco, Mbokde Puji PurnaWENWEN, Dwiki ‘HANG JI xiii WOOK’ Prawatya, Normawati ‘IvayaIva’ Arifah dan BUNDO Rethmawati Putri. 17. Teman-teman seperjuangan, senior dan junior baik reguler maupun IP di Fakultas Hukum yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang senantiasa berbagi nasihat dan dukungan khususnya untuk. 18. Teman-teman, kakak-kakak dan adik-adik yang berada di luar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini. Semua pihak yang sudah berpartisipasi, memberikan doa, dan memberi dukungan baik materi maupun non materi yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu saya ucapkan terima kasih. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap kepada para pembaca untuk senantiasa dapat memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga amal baik yang telah disumbangkan oleh semua pihak dalam penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat dan bernilai ibadah, Amiiin.. Wassalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh Yogyakarta, 08 April 2013 Hormat saya Penulis xiv DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PENGAJUAN ................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv ORISINALITAS PENULISAN ………………………………………………... v CURRICULUM VITAE ………………………………………….…………… vi HALAMAN PERNYATAAN REVISI ………………………………………. vii HALAMAN MOTTO ....................................................................................... viii HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... ix KATA PENGANTAR .......................................................................................... x DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiv ABSTRAK ........................................................................................................ xvii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................ 12 C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 12 D. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 12 E. Metode Penelitian ............................................................................. 19 F. Kerangka Skripsi ............................................................................. 22 BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP PRODUK YANG TIDAK xv BERSERTIFIKASI HALAL DAN TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Produk yang Tidak Bersertifikasi Halal ..................................................................................................... 24 1. Pengertian Konsumen dan Konsumen Muslim ............................... 24 2. Hak dan Kewajiban Konsumen ....................................................... 28 3. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen ............................................ 32 4. Asas, Tujuan, dan Manfaat Perlindungan Konsumen ..................... 36 5. Sanksi terhadap Pelanggaran Perlindungan Konsumen .................. 40 6. Hak atas Informasi .......................................................................... 43 7. Sertifikasi Halal ............................................................................... 51 B. Tinjauan Umum tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Produk yang Tidak Bersertifikasi Halal ..................................................................................................... 58 1. Tinjauan Umum tentang Pelaku Usaha ........................................... 58 2. Tinjauan Umum tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha ............... 65 3. Tanggung Jawab Produk (Product Liability) .................................. 74 BAB III. PERLINDUNGAN PRODUK HERBAL KONSUMEN YANG MUSLIM TIDAK TERHADAP BERSERTIFIKASI HALAL DI KABUPATEN SLEMAN A. Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Produk Herbal xvi yang Tidak Bersertifikasi Halal di Kabupaten Sleman ................................................................................................... 79 1. Peredaran Produk Herbal yang Tidak Bersertifikasi Halal di Kalangan Konsumen .................................................................... 79 2. Peredaran Produk Herbal yang Tidak Bersertifikasi Halal di Kalangan Pelaku Usaha ............................................................... 84 3. Perlindungan Konsumen dari LPPOM MUI .................................... 88 4. Perlindungan Konsumen dari LKY .................................................. 93 5. Perlindungan Konsumen dari BPOM ............................................... 95 B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha atas Produk Herbal yang Tidak Bersertifikasi Halal di Kabupaten Sleman ............................. 98 BAB IV. PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................... 103 B. Saran ..................................................................................................... 103 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dan tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dan bagaimana tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman. Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan data sekunder, data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan subjek penelitian dan data sekunder diperoleh melalui kepustakaan baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara yakni melakukan tanya jawab langsung dengan subjek penelitian mengenai halhal yang berkaitan dengan penelitian dan melalui studi kepustakaan yakni mencari data dengan cara mempelajari buku-buku, literatur, jurnal, makalah, berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Analisis data yang dilakukan dengan cara memaparkan data secara normatif berdasarkan permasalahan penelitian yang dikaitkan dengan perundang-undangan yang berlaku untuk mencari penyelesaiannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman yang seharusnya diterima oleh konsumen sebagai pemenuhan atas hak informasi belum dipenuhi oleh pelaku usaha yaitu tidak mencantumkan label halal yang disertifikasi oleh MUI pada kemasan produk herbal yang diperdagangkannya. Lebih lanjut tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman belum terpenuhi karena kurangnya kesadaran dari pelaku usaha. Penelitian ini merekomendasikan perlu segera ditetapkan aturan hukum beserta sanksi yang tegas yang mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal produk yang diperdagangkannya di wilayah Indonesia serta peran aktif pemerintah dan lembaga yang berwenang dalam melakukan sosialisasi dan pengawasan untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha dan konsumen akan pentingnya produk halal dan resmi kehalalannya dari MUI. Kata kunci: perlindungan konsumen, muslim, sertifikasi halal, produk herbal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Produk herbal merupakan suplemen vitamin, obat-obatan atau kosmetik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan di mana ekstrak dari seluruh atau sebagian bahan tumbuh-tumbuhan tersebut dijadikan sebagai obat sehingga obat herbal disebut juga dengan obat botani.1 Istilah herbal atau disebut juga herba memiliki arti nama jenis tumbuhan yang mempunyai batang basah karena banyak mengandung air dan tidak mempunyai kayu.2 Produk herbal cenderung lebih bersifat alami sehingga lebih aman untuk dikonsumsi dan digunakan karena berasal dari ekstrak alami tumbuh-tumbuhan. Seiring dengan berkembangnya waktu dan kehidupan serta kesibukan masyarakat, kini muncul produk herbal dalam bentuk praktis untuk digunakan seperti berupa kapsul, tablet, minyak, lotion, dan sebagainya. Demi mendapatkan bentuk praktis tersebut tentu tumbuh-tumbuhan herbal harus melewati serangkaian proses pengolahan dan biasanya dalam pengolahannya harus ditambahkan dengan zat-zat tertentu. Penambahan zat-zat tersebut hanya diketahui oleh produsen atau pihak yang mengolah tumbuh-tumbuhan herbal tersebut. Masyarakat sebagai pengguna atau konsumen hanya tinggal membeli dan kemudian mengkonsumsinya saja sebagai produk herbal. Produsen 1 Pengertian Obat Herbal terdapat dalam http://multiherbal.net/pengertian-obat-herbal746.html, diakses pada tanggal 7 Oktober 2012, 12:45 WIB. 2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ke-2, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 304. 2 seharusnya memberikan informasi terkait segala sesuatu yang berhubungan dan terkandung dalam produk herbal yang diproduksinya. Informasi tersebut tentu saja harus dicantumkan pada kemasan produk yang dijualnya itu. Seperti jamur di musim hujan, peredaran produk herbal seakan menjadi tren. Banyak keunggulan dari produk herbal yang menyebabkan sebagian besar masyarakat lebih memilih produk herbal sebagai alternatif. Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa pengguna produk herbal tersebut adalah masyarakat muslim pula, sehingga adalah suatu kewajiban bagi mereka untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal. Perintah ini telah secara tegas dan jelas diatur oleh Allah SWT bagi umat Islam untuk memakan makanan yang halal dan baik yakni dalam Q.S Al-Maidah ayat 88 yang artinya “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kami beriman kepada-Nya.”3 Kehalalan suatu produk merupakan faktor utama dan fundamental yang menjadi pertimbangan umat Islam sebelum mengkonsumsi makanan. Karena dengan mengkonsumsi makanan atau minuman yang halal akan memberikan ketenteraman batin kepada manusia sehingga ia dapat menjalankan segala aktivitas dan ibadahnya dengan lancar karena senantiasa diiringi oleh perasaan tenang. 3 Elvi Zahara Lubis “Hubungan Pencantuman Label Halal dengan Perlindungan Konsumen” dalam Moral & Adil, volume 1, 2009, hlm. 30. 3 Menjadi sangat penting bagi umat muslim untuk mengetahui apakah produk yang akan dibeli atau dikonsumsinya itu halal atau tidak, sehingga dalam hal ini produsen atau pelaku usaha harus mencantumkan label halal pada kemasan produk yang dijualnya. Hal ini karena mengingat masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap bahan baku yang terkandung dalam suatu produk.4 Label yang diberikanpun tidak hanya sekedar label halal karena label halal tersebut terlebih dahulu harus mendapatkan sertifikasi halal yang diberikan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia atau yang selanjutnya disingkat dengan LPPOM MUI yang merupakan lembaga yang ditunjuk untuk memiliki kewenangan atas hal tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001.5 Kepentingan masyarakat terutama umat muslim untuk mengetahui informasi mengenai kehalalan suatu produk telah dijamin oleh negara yang pengaturannya terdapat pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disingkat dengan UUPK. UUPK ini ada untuk melindungi konsumen karena secara historis konsumen dianggap pihak yang memiliki posisi tawar lebih lemah sehingga dikeluarkan aturanaturan dan regulasi khusus untuk melindungi kepentingan konsumen sehingga meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen secara tidak langsung 4 5 Ibid. Ibid., hlm. 31. 4 mendorong pelaku usaha agar lebih bertanggungjawab.6 Lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi pelaku usaha ini disebabkan karena sejak dari proses sampai diperoleh hasil produksi barang atau jasa, konsumen tidak terlibat campur-tangan sedikitpun.7 UUPK pasal 3 butir d menyebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. Keterbukaan informasi di sini berarti adanya perilaku saling jujur antara konsumen dan pelaku usaha untuk memberi informasi yang berhubungan dengan barang atau jasa dalam kegiatan transaksi dan keterbukaan informasi ini benar-benar harus ada dan menjadi bagian dalam praktik penerapan hukum perlindungan konsumen. Salah satu informasi tersebut berupa informasi mengenai kehalalan suatu produk yang telah mendapat sertifikasi dari LPPOM MUI. Setiap konsumen memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu produk. Pasal 4 butir c UUPK menyebutkan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hak atas informasi ini sangat penting karena jika informasi yang diberikan kepada konsumen tentang suatu produk tidak memadai maka hal ini juga merupakan salah satu 6 Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, cetakan ke-1, Nusa media, Bandung, 2010, hlm. 27. 7 Erman Rajagukguk dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 37. 5 bentuk cacat produk, yakni disebut dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai.8 Apabila konsumen telah memperoleh informasi yang benar tentang manfaat, bahan yang terkandung, kehalalan, dan lain-lain tentang suatu produk maka akan timbul kenyamanan dan ketenteraman batin bagi konsumen sehingga manfaat dari produk tersebut dapat lebih dirasakan. Pelaku usaha juga dilarang untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label pada kemasan produk. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi dan transaksi, banyak pelaku usaha yang tidak lagi memperhatikan hak-hak yang dimiliki konsumen. Banyak para pelaku usaha hanya memikirkan keuntungan yang kelak akan diperolehnya. Padahal, apabila pelaku usaha secara jujur memberikan informasi yang dibutuhkan oleh konsumen maka dengan sendirinya ia akan menjadi dipercaya serta keuntungannyapun akan semakin meningkat. Pelaku usaha tidak lagi memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang produk yang dijualnya, terutama informasi tentang kehalalan produknya yang jelasjelas hal ini merupakan informasi penting dan menjadi pertimbangan utama khususnya bagi umat muslim dalam mengkonsumsi suatu produk. Kini banyak beredar obat-obatan dan kosmetik herbal yang tidak memiliki label bersertifikasi halal, sekalipun ada label halal tetapi tidak memperoleh sertifikasi halal dari LPPOM MUI. Terlebih lagi pelaku usaha yang 8 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, edisi ke-1, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 41. 6 memproduksi obat-obatan dan kosmetik herbal juga seorang muslim. Hal ini tentu saja membuat umat muslim menjadi takut untuk mengkonsumsi obatobatan dan kosmetik herbal, sedangkan sebenarnya mereka sangat membutuhkan produk-produk tersebut salah satunya sebagai alternatif pengobatan kesehatan tubuh. Konsumen memiliki pengetahuan yang sedikit tentang bahan baku yang terkandung dalam obat-obatan dan kosmetik herbal, meskipun terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang sudah pasti halal, namun dalam pengolahannya tentu ditambahkan lagi suatu zat atau enzim tertentu yang tidak dipahami oleh konsumen walaupun dicantumkan pada kemasan produknya. Bukan hal yang mustahil apabila zat atau enzim tambahan tersebut mengandung suatu unsur yang tidak halal, oleh karena itu di sinilah letak betapa pentingnya informasi halal pada suatu produk yang dicantumkan pada kemasan terutama bagi umat muslim atau dapat disebut juga konsumen muslim. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya, termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam. Pasal 10 Undang-Undang ini juga menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah 7 Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label, pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. Berdasarkan hasil pengamatan yang penulis lakukan di beberapa tempat yang khusus menjual produk herbal (obat-obatan dan kosmetik) di Kabupaten Sleman, ditemukan beberapa produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dari LPPOM MUI, walaupun terdapat label halal namun tidak bersertifikasi halal sebagaimana yang diberikan oleh LPPOM MUI. Hal ini merupakan kategori penipuan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen, karena pelaku usaha tidak berlaku jujur untuk mencantumkan sertifikasi halal pada kemasan produk herbal yang diproduksi dan diperdagangkannya di mana hal ini merupakan hak informasi yang harus diterima oleh konsumen muslim. Aturan hukum yang ada telah memperkuat kenyataan bahwa sertifikasi halal merupakan salah satu informasi penting bagi konsumen terutama konsumen muslim. Hal ini merupakan hak yang telah melekat padanya dan harus dipenuhi oleh pelaku usaha serta memperoleh jaminan dan perlindungan dari pemerintah mengingat posisi tawar konsumen yang lemah karena seluruh kegiatan produksi, pengemasan sampai dengan peredaran barang dan/atau jasa didominasi oleh pelaku usaha. Beredarnya obat-obatan dan kosmetik yang tidak mencantumkan label yang bersertifikasi halal menjadi ketakutan 8 tersendiri bagi konsumen muslim untuk mengkonsumsi suatu produk yang jelas-jelas sangat mereka butuhkan untuk kesehatan tubuh mereka. Idealitanya, sertifikasi halal merupakan hak informasi yang harus diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen muslim. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen yaitu hak untuk mendapatkan keamanan; hak untuk mendapatkan informasi; hak untuk memilih; dan hak untuk didengar.9 Empat hak dasar tersebut merupakan hak-hak konsumen yang telah diakui secara internasional.10 Hak untuk memperoleh informasi tentang kehalalan suatu produk dengan demikian merupakan hak dasar yang dimiliki oleh konsumen muslim. Pasal 4 butir c Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur dengan tegas bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Selanjutnya pada pasal 4 butir d UUPK dijelaskan lagi bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Informasi kehalalan akan produk-produk herbal yang diperoleh konsumen akan memberikan kenyamanan dan ketentraman dalam hidupnya. Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Iklan dan Pangan telah dijelaskan bagaimana kriteria makanan halal itu serta telah ditetapkan ketentuan bahwa makanan halal yang diproduksi dan dipasarkan di wilayah Indonesia harus memiliki label halal dan kemudian label halal tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ketentuan ini 9 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, cetakan ke-3, edisi revisi 2, PT. Grasindo, Jakarta, 2006, hlm. 20. 10 Ibid. 9 diperkuat dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pangan Pasal 30 ayat (2) dijelaskan bahwa label sebagaimana yang dimaksud harus memuat keterangan yang salah satunya adalah keterangan halal. Selanjutnya, Undang-Undang Pangan Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan atau kepercayaan tersebut. Dari segi kesehatan, Undang-Undang juga mengatur tentang pentingnya label halal yaitu tercantum dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 21 ayat (2) Penjelasan butir d yakni ketentuan lain tersebut misalnya pencantuman kata atau tanda halal yang menjamin bahwa makanan atau minuman yang dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan halal. Selanjutnya, dalam hal sertifikasi halal sebagai syarat untuk mendapatkan label halal dari LPPOM MUI, semua penjelasan, ketentuan, tahap dan prosedurnya diatur secara jelas dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Segala macam peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas merupakan bentuk perlindungan konsumen yang diberikan oleh pemerintah dan merupakan kewajiban bagi pelaku usaha untuk memenuhi hal tersebut dalam rangka memberikan perlindungan bagi hak-hak konsumen. Pemerintah juga turut berperan serta dalam pengaturan sertifikasi dan labelisasi kehalalan produk ini yaitu dengan menunjuk Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga 10 resmi yang melaksanakan pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal untuk diperdagangkan di Indonesia yang diatur dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksanaan Pemeriksa Pangan Halal. Realitanya, di Kabupaten Sleman penulis menemukan beberapa produk herbal, baik obat-obatan maupun kosmetik yang dijual di beberapa toko herbal tidak bersertifikasi halal, sekalipun berlabel halal namun tidak bersertifikasi halal sebagaimana ketentuan yang seharusnya. Idealitanya, pelaku usaha harus bertanggungjawab atas ketiadaan informasi mengenai sertifikasi halal produk-produk herbalnya sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen. Konsumen berhak meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikannya serta menuntut ganti-rugi atas kerugian yang dideritanya.11 Kerugian yang dialami konsumen akibat penggunaan produk dapat berupa kerugian fisik, materi, maupun jiwa. 12 Tanggung jawab pelaku usaha ini disebut dengan tanggung jawab produk (product liability). Menurut Agnes M. Toar, sebagaimana yang dikutip oleh Shidarta dalam bukunya “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, tanggung jawab produk merupakan tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut, tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (perbuatan melawan hukum). Namun, dalam tanggung jawab 11 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 59. 12 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, edisi ke-1, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 127. 11 produk ini penekanannya ada pada perbuatan melawan hukum. Ketentuan perbuatan melanggar hukum diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Untuk dapat menuntut kerugian atas dasar pebuatan melawan hukum maka harus dipenuhi unsur-unsur yaitu ada perbuatan melanggar hukum; ada kerugian; ada hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian; dan ada kesalahan.13 Ketentuan tentang tanggung jawab produk diatur dalam KUH Perdata pasal 1504. Pasal ini berkaitan dengan pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1505 sampai dengan 1511 KUH Perdata. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini dengan menyatakan: “Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti-rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” Realitanya, di Kabupaten Sleman penulis menemukan beberapa pelaku usaha tidak memberikan tanggung jawab atas produknya yang tidak bersertifikasi halal kepada konsumen muslim, bahkan mereka tetap memproduksi dan memperdagangkan produk yang tidak bersertifikasi halal tersebut. Melihat betapa pentingnya perlindungan hukum bagi konsumen terhadap permasalahan yang terjadi dan mencari cara penyelesaiannya maka penulis berminat untuk meneliti dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan mengambil 13 Ibid, hlm. 130. judul “PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM 12 TERHADAP PRODUK HERBAL YANG TIDAK BERSERTIFIKASI HALAL DI KABUPATEN SLEMAN.” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut: 1. Bagaimana perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman? 2. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman. 2. Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman. D. Tinjauan Pustaka Pengertian herbal, atau herb dalam bahasa Inggris adalah tanaman atau tumbuhan yang mempunyai kegunaan atau nilai lebih dalam pengobatan.14 Terkadang herbal disebut juga dengan tanaman obat yang dalam perkembangannya dimasukkan sebagai salah satu pengobatan alternatif. 14 Mengenal Pengertian Herbal dan Pengobatan Alami terdapat dalam www.anneahira.com, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 15:55 WIB. 13 Produk herbal dengan demikian merupakan suatu produk yang dibuat atau berasal dari tumbuhan atau tanaman yang berguna untuk pengobatan, bisa berupa vitamin, obat-obatan atau kosmetik. Kandungan zat aktif yang terdapat dalam herbal sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia, bukan hanya bersifat menyembuhkan atau mengatasi penyakit tetapi juga dapat meningkatkan daya tahan dan kualitas kesehatan tubuh. Obat herbal berasal dari tumbuhan yang diproses/ diekstrak sedemikian rupa sehingga menjadi serbuk, pil atau cairan yang dalam prosesnya tidak menggunakan zat kimia, dapat menyembuhkan penyakit dengan efek samping yang minim karena dibuat dari bahan-bahan yang alami.15 Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam.16 Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak dikonsumsi oleh konsumen terutama sekali konsumen muslim. Pelaku usaha harus memenuhi syarat tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha memperoleh label halal dari MUI untuk kemudian dicantumkan pada label produknya. Sertifikat halal ini hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan pelaku usaha harus melakukan perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi kehalalan produknya kembali. 15 Pengertian Obat Herbal terdapat dalam http://artikel-herbal.thifaonline.com/pengertianobat-herbal.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 16:00 WIB. 16 Wiku Adisasmito “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008, hlm. 14. 14 Perlindungan konsumen merupakan aspek penting dalam dunia transaksi, oleh karena itu, terlebih dahulu harus dipahami pengertian dari konsumen, pelaku usaha dan hubungan di antara keduanya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah konsumen adalah pemakai barang-barang hasil industri (bahan, pakaian, makanan, dan sebagainya).17 Konsumen berasal dari kata dalam bahasa Inggris yakni consumer, atau dalam bahasa Belanda “consument”, “konsument”.18 Konsumen secara harfiah adalah orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan; pemakai atau pembutuh.19 Konsumen berarti “seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa” atau “seseorang” atau “sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu” juga “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang.20 Konsumen muslim adalah konsumen yang memeluk atau beragama Islam. Konsumen muslim tidak hanya membutuhkan kesehatan fisik tapi juga kesehatan/ketenteraman rohani, yakni terbebas dari mengonsumsi barangbarang yang haram, baik haram karena zatnya maupun yang haram karena prosesnya.21 17 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ke-2, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 458. 18 N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen, cetakan ke-1, Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm. 22. 19 Ibid. 20 AZ. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 69. 21 Perlindungan Konsumen Muslim dalam Perspektif Hukum Indonesia terdapat dalam www.infoampuh.com, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 16:47 WIB. 15 Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya Hukum tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk, sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Bagi konsumen akhir, mereka memerlukan produk yang aman bagi kesehatan tubuh, keamanan jiwa dan untuk kesejahteraan keluarga atau rumah-tangganya.22 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri-sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Melihat dari pengertian tersebut, yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ini ada pengertian dari konsumen akhir. Kemudian yang disebut pelaku usaha sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 memiliki pengertian yaitu setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik 22 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cetakan ke-2, edisi revisi, Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm. 31. 16 sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha. Konsumen tidak dapat terlepas dari yang disebut dengan pelaku usaha. Konsumen memerlukan produk yang dihasilkan dan dijual oleh pelaku usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu juga dengan pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan dan demi mempertahankan kelangsungan bisnisnya membutuhkan peranan konsumen, oleh karena itu antara konsumen dan pelaku uaha memiliki hubungan yang sangat erat dan saling membutuhkan. Namun, sering di dalam hubungan tersebut terjadi permasalahan-permasalahan yang dapat merugikan bagi salah satu pihak. Biasanya di sini konsumenlah yang lebih dirugikan karena memiliki poisi tawar yang lebih lemah. Jika ditelusuri terkait kerugian di sini, berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata menjelaskan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu menggantikan kerugian tersebut. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa setiap orang yang menimbulkan atau menyebabkan suatu kerugian, maka ia harus bertanggungjawab atas kerugian yang telah ditimbulkannya itu. Suatu perlindungan hukum diperlukan dalam rangka melakukan upaya untuk melindungi dan menghindarkan konsumen dari kerugian dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kini hadir untuk mengatur segala hal yang menyangkut hubungan antara konsumen dan pelaku usaha agar hak dan kewajiban dari kedua pihak tersebut bisa terpenuhi dengan baik. 17 Perlindungan konsumen menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengandung pengertian “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.” Penetapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini merupakan bentuk tanggung jawab Negara dalam upayanya untuk melindungi kepentingan konsumen serta membatasi perilaku pelaku usaha. Namun, undang-undang ini tidak semata-mata hanya khsusus untuk melindungi konsumen saja lantas pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, tetapi ini teristimewakan karena perekonomian nasional banyak ditentukan oleh pelaku usaha.23 Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) konsumen memiliki hak antara lain sebagai berikut: 1. Hak atas keamanan dan keselamatan 2. Hak untuk mendapatkan informasi 3. Hak untuk didengar pendapatnya 4. Hak untuk memilih 5. Hak untuk mendapat ganti-rugi 6. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen mengatur tentang asas-asas perindungan konsumen, yaitu: 23 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, edisi ke-1, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 1. 18 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menerangkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk: 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 19 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/ atau jasa. 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam menjalankan usahanya. 6. Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi, kesehatan, kenyamanan, keamanan, keselamatan konsumen. E. Metode Penelitian Metode ini memuat beberapa hal: 1. Objek Penelitian Perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dan tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman. 2. Subjek Penelitian Subjek dari penelitian ini adalah: a. Konsumen muslim produk herbal b. Pelaku usaha produk herbal di Kabupaten Sleman 20 c. Pimpinan Lembaga Konsumen Yogyakarta d. Pimpinan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia Yogyakarta e. Pimpinan Badan Pengawas Obat dan Makanan Yogyakarta 3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah: a. Sumber data primer Sumber data primer yaitu data yang langsung diperoleh di lapangan berupa hasil wawancara. b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang terdiri atas: 1) Bahan Hukum Primer berupa: a) KUH Perdata b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pangan d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1996 tentang Kesehatan e) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Iklan dan Pangan f) Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata-Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal 21 g) Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksanaan Pemeriksa Pangan Halal 2) Bahan hukum sekunder berupa bahan hukum yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis seperti literatur atau buku-buku, serta hasil wawancara dan observasi yang berhubungan dengan perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dan tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan cara: a. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan tanyajawab langsung dengan subjek penelitian. Jenis wawancara yang dilakukan adalah dengan cara mengajukan pertanyaan kepada subjek penelitian mengenai objek penelitian dan hal-hal yang ada relevansinya dengan objek penelitian tersebut. b. Studi kepustakaan, yaitu mencari data dengan cara mempelajari bukubuku, literatur, jurnal, makalah, berbagai peraturan perundangundangan yang ada relevansinya dengan tujuan penelitian. 5. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, yakni dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang ada relevansinya dengan perlindungan 22 konsumen muslim dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal. 6. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan deskriptif kualitatif yaitu data yang diperoleh diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian kemudian diuraikan dengan cara menganalisa data yang diperoleh dari hasil penelitian yang selanjutnya disusun secara sistematis sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan lengkap sehingga dihasilkan suatu kesimpulan yang dapat menjawab permasalahan tentang perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dan tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman. F. Kerangka Skripsi Penjelasan secara singkat pembahasan dari Bab I sampai dengan Bab IV dalam rangka untuk mengetahui dan mempermudah dalam memperoleh gambaran dalam hasil skripsi ini, yaitu sebagai berikut: BAB I Pendahuluan dalam skripsi ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan tentang perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman. 23 BAB II Tinjauan pustaka yang terdiri dari kajian teoritis yang berguna sebagai acuan melakukan pembahasan terhadap pokok permasalahan yang berkaitan dengan tinjauan umum mengenai pengertian perlindungan konsumen terhadap sertifikasi halal produk herbal, hak dan kewajiban para pihak dan tanggung jawab pelaku usaha tehadap konsumen. BAB III Berisi tentang pembahasan dari permasalahan yang terdiri dari perlindungan hukum bagi konsumen muslim sebagai konsumen produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dan tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman. BAB IV Penutup berisi kesimpulan dan saran tentang perlindungan hukum bagi konsumen muslim sebagai konsumen produk herbal yang tidak bersertifikasi halal dan tanggung jawab pelaku usaha atas produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN 24 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP PRODUK YANG TIDAK BERSERTIFIKASI HALAL DAN TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Produk yang Tidak Bersertifikasi Halal 1. Pengertian Konsumen dan Konsumen Muslim Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan konsumen sebagai pemakai barang-barang hasil industri (bahan, pakaian, makanan, dan sebagainya). Konsumen (alih bahasa dari consumer) secara harfiah berarti “seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa” atau “seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang.”24 Konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan atau pemanfaat barang dan atau jasa untuk tujuan tertentu.25 Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha yakni setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan.26 Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 adalah setiap orang 24 Az Nasution, Hukum dan Konsumen, cetakan ke-1, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 69. 25 Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, cetakan ke-1, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 30. 26 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 17. 25 pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Penjelasan pasal ini menerangkan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Az Nasution berdasarkan berbagai studi yang beliau lakukan berkaitan dengan perlindungan konsumen kemudian berhasil memaparkan batasan tentang konsumen (akhir) yaitu: a. Pemakai terakhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri-sendiri atau orang lain dan tidak untuk diperjual-belikan; b. Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri-sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali; c. Setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Janus Sidabalok, ada dua golongan konsumen jika dibedakan dari segi cara memperoleh produk untuk dikonsumsi, yaitu: a. Konsumen yang memperoleh produk dengan cara membeli dari produsen yang berarti konsumen terikat hubungan kontrak dengan produsen. Jenis perjanjian (kontrak) antara produsen dan konsumen 26 umumnya adalah jual beli, tetapi mungkin juga jenis lainnya seperti perjanjian kredit, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya. b. Konsumen yang tidak membeli, tetapi memperolehnya dengan cara lain, yang berarti konsumen yang sama sekali tidak terikat dalam hubungan kontraktual dengan produsen. Pembedaan ini menjadi penting untuk mengetahui hak dan kewajiban hukum para pihak sekaligus untuk menentukan pertanggungjawaban, sebab dalam hukum, pertanggungjawaban lahir dari hubungan hukum. Konsumen yang memiliki hubungan kontraktual dengan produsen dapat dilindungi kepentingannya berdasarkan isi kontrak perjanjian, namun tidak demikian halnya dengan konsumen yang tidak terikat secara kontraktual dengan produsen. Semua orang adalah konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk memenuhi dan mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara/merawat harta bendanya.27 Konsumen muslim adalah konsumen yang memeluk dan beragama Islam. Berdasarkan prinsip-prinsip umum konsumen muslim dalam Islam, konsumen adalah setiap orang, kelompok, atau badan hukum pemakai suatu harta benda atau jasa karena adanya hak yang sah, baik ia pakai untuk pemakaian akhir ataupun untuk proses produksi selanjutnya.28 Konsumen muslim dalam mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa membutuhkan 27 Ibid, hlm. 18. Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, cetakan ke-1, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2004, hlm. 129. 28 27 kesehatan fisik dan rohani dari produk-produk yang tidak halal baik dari segi bahan yang digunakan maupun proses pembuatannya. Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim : a. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akhirat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption. b. Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah SWT merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan. c. Kedudukan harta merupakan anugerah Allah SWT dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara 28 berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.29 Menurut Manan, ada 5 prinsip konsumsi dalam Islam, yaitu: a. Prinsip keadilan, prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Pelarangan dilakukan karena berkaitan dengan hewan yang dimaksud berbahaya bagi tubuh dan tentunya berbahaya bagi jiwa , terkait dengan moral dan spiritual. b. Prinsip kebersihan, makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. c. Prinsip kesederhanaan, prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makan dan minuman yang tidak berlebihan. d. Prinsip kemurahan hati, dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhannya. e. Prinsip moralitas, seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan.30 2. Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut John F. Kennedy ada 4 (empat) dasar hak konsumen yang kemudian hak-hak ini diakui secara internasional, yaitu: 29 Perilaku Konsumen Muslim terdapat dalam http://kaqyun.wordpress.com/2010/09/23/32/, diakses pada tanggal 17 Januari 2013, 18.30 WIB. 30 Nurul Huda, Perilaku Konsumen Islami dalam xa.yimg.com/kq/.../PRILAKU+KONSUMSI+ISLAMI.doc, diakses pada tanggal 17 Januari 2013, 18.00 WIB. 29 a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safe products); b. Hak untuk mendapatkan informasi tentang suatu produk (the right to be informed about products); c. Hak untuk memilih produk (the right to definite choices in selecting products); d. Hak untuk didengar kepentingannya (the right to be heard regarding consumer interests). Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menambahkan satu lagi hak sebagai pelengkap empat dasar hak konsumen yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca-hak konsumen.31 Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelinesfor Consumer Protection) juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yaitu: a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; d. Pendidikan konsumen; 31 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi revisi, PT. Gramedia Widiasaran Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 20. 30 e. Tersedianya upaya ganti-rugi yang efektif; f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan 9 (sembilan) hal yang menjadi hak bagi konsumen, yakni: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 31 h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti-rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diteriman tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-Undang merupakan bagian dari implementasi suatu negara sebagai kesejahteraan, karena Undang-Undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh dan berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad 19 (sembilan belas).32 Hak-hak dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2)33 dan Pasal 3334 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.35 Hak-hak konsumen merupakan “generasi keempat hak asasi manusia” yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi manusia dalam perkembangan di masa-masa akan datang.36 32 Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, cetakan ke-1, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 33. 33 Bunyi Pasal 27 ayat (2): “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” 34 Bunyi Pasal 33: “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” 35 Abdul Halim Barkatullah, op.cit., hlm. 34. 36 Ibid. 32 Selain hak-hak yang disebutkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, ada juga hak lain yaitu hak untuk dilindungi dan akibat negatif persaingan curang. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum dikenal dengan “persaingan curang” (unfair competition).37 Selain mendapatkan hak, konsumen juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan. Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan beberapa hal yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 3. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Konsumen memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha. Hal ini karena posisi tawar konsumen yang lemah sehingga hak-hak konsumen sangat rentan untuk dilanggar. Posisi tawar konsumen dikatakan lemah karena sebagian besar kegiatan produksi didominasi oleh pelaku usaha, sehingga perlu adanya perlindungan terhadap hak-hak 37 Shidarta, op.cit., hlm. 22. 33 konsumen yakni dengan adanya suatu aturan atau hukum yang melindungi hak-hak konsumen tersebut. Perlindungan hukum bagi konsumen sangat dibutuhkan karena semakin banyaknya persaingan dalam produk dan pelayanan yang kemudian dapat menempatkan konsumen menjadi berada dalam posisi yang lemah. Kebijakan perlindungan hukum bagi konsumen akan mendorong kepercayaan konsumen sehingga dapat memajukan partisipasi konsumen dalam transaksi dan meningkatkan bisnis.38 Az Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum dan Konsumen, menjelaskan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas yang bersifat mengatur dan melindungi kepentingan konsumen. Menurut beliau, hukum konsumen adalah “Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.” Selanjutnya, hukum perlindungan konsumen memiliki pengertian, yakni keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen.39 38 Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, cetakan ke-1, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 24. 39 Az Nasution, Hukum dan Konsumen, cetakan ke-1, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 66. 34 Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen di mana kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikannya. Sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang itu mampu untuk menegakkan dan mempertahankan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.40 Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen mengatur hal yang sama yaitu kepentingan hukum atau hak-hak konsumen. Dengan demikian, hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.41 Negara dapat melakukan intervensi dalam upaya melakukan perlindungan konsumen yaitu dengan membuat suatu peraturan perundangundangan. Salah satu peraturan perundang-undangan tersebut adalah adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kalimat 40 Ibid. Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 46. 41 35 “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum” diharapkan dapat menjadi benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang dapat merugikan pelaku usaha hanya demi kepentingan perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen memilki cakupan yang luas meliputi: a. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Hal ini termasuk persoalanpersoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak, serta persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai; b. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Hal ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purna jual, dan sebagainya, hal ini berkaitan dengan perilaku produsen selama memproduksi dan mengedarkan produknya. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat menjadi payung hukum (umbrella act) bagi perundangundangan lain yang bertujuan untuk melindungi konsumen, baik yang sudah ada maupun yang akan dibuat. 36 4. Asas, Tujuan, dan Manfaat Perlindungan Konsumen a. Asas-asas Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, baik masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah dasar yang berdasarkan kepada asas-asas perlindungan konsumen. Menurut Pasal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen asas-asas perlindungan konsumen terdiri dari: 1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2) Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3) Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual. 4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 37 5) Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha amaupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. b. Tujuan Perlindungan Konsumen Tujuan perlindungan konsumen menurut Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah: 1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakain barang dan/atau jasa; 3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; 6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 38 c. Manfaat perlindungan kosumen Perlindungan konsumen memiliki manfaat antara lain: 1) Balancing position Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kedudukan konsumen yang tadinya cenderung menjadi sasaran pelaku usaha untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, kini dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka praktek-praktek yang merugikan konsumen tersebut akan dikenakan sanksi. Kepentingan konsumen dengan demikian menjadi dapat terlindungi dari praktik-praktik yang merugikan pihaknya melalui hak gugat yang dimilki konsumen. Jika gugatan konsumen tersebut benar-benar sampai terjadi, maka hal ini dapat menjadi precedent buruk bagi bisnis yang bersangkutan. Sementara dengan dipatuhinya ketentuan-ketentuan dalam perlindungan konsumen, maka konsumen ditempatkan sebagai subyek di dalam bisnis, yang memiliki hak yang seimbang sebagai pelaku usaha. Posisi konsumen yang demikian akan menciptakan kondisi pasar yang sehat dan tentunya saling menguntungkan, baik bagi pihak konsumen karena dapat menikmati produk-produk yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan maupun pihak produsen karena tetap mendapatkan kepercayaan 39 pasar yang tentunya akan mendukung kelangsungan usahanya di masa mendatang. 2) Memberdayakan konsumen Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan landasan baru bagi pemberdayaan konsumen di Indonesia melalui pembinaan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena untuk mengharapkan kesadaran dari pelaku usaha di Indonesia itu sangat tidak mudah. Proses pemberdayaan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan secara integral, baik melibatkan peran aktif dari pemerintah, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat maupun dari kemauan masyarakat konsumen itu sendiri untuk lebih mengetahui hak-haknya. Jika kesadaran konsumen akan hak-haknya semakin baik, maka konsumen dapat ditempatkan pada posisinya yang sebenarnya, yaitu sebagai pasangan yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan. 3) Meningkatkan profesionalisme pelaku usaha Perkembangan dunia bisnis yang terus berubah dengan cepat di satu sisi dan di sisi lain kesadaran konsumen yang semakin baik menyebabkan pelaku usaha tidak mungkin lagi bertahan dengan 40 cara-cara yang tradisional. Pelaku usaha dituntut untuk menjalankan usahanya secara profesional yang harus dilaksanakan dalam keseluruhan proses produksi. Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya harus memperhatikan keadilan, kejujuran, dan etika dalam menjalankan usahanya. Bahkan, jika dirasa perlu pelaku usaha harus berani menangguhkan keuntungan untuk saat sekarang demi memperoleh perhatian pasar yang justru akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar di masa yang akan datang, oleh karena itu profesionalisme pelaku usaha merupakan tuntutan yang harus dipenuhi untuk saat ini dan tidak dapat ditawar-tawar lagi jika pelaku usaha ingin tetap eksis dalam menjalankan usahanya.42 5. Sanksi terhadap Pelanggaran Perlindungan Konsumen Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur tentang sanksi terhadap pelanggaran perlindungan konsumen. Hal ini diatur dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 yang satu persatu akan dibahas pada sub bab ini. Pasal 60 Undang-Undang Perlindungan Konsumen berbunyi: (1) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. 42 Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 90-92. 41 (2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti-rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 61 Undang-Undang Perlindungan Konsumen berbunyi: “penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.” Ketentuan ini menunjukkan bahwa terdapat pertanggungjawaban pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha sampai kepada pengurusnya. Melalui ketentuan pasal ini perusahaan dinyatakan sebagai subjek hukum pidana. Kemudian Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). (2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan hurug f dipidana dengan pidan penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 42 (3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Ketentuan ini, menurut Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, memberlakukan dua tauran hukum sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu: a. Pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana yang diberlakukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Pelanggaran di luar hal tersebut berlaku ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 63 berbunyi: “terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: a. perampasan barang tertentu; b. pengumuman keputusan hakim; c. pembayaran ganti-rugi; d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. pencabutan izin usaha.” 43 6. Hak atas Informasi a. Dasar Hukum Kewajiban Menyediakan Informasi Hak untuk memperoleh informasi diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf c yang menyatakan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Ahmad Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya menjelaskan bahwa hak informasi ini sangat penting karena tidak tersedia dan tidak memadainya informasi yang disampaikan oleh pelaku usaha kepada konsumen terkait produk yang diperdagangkannya, maka hal ini juga merupakan salah satu bentuk cacat produk yaitu dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Pelaku usaha atau produsen harus berlaku jujur dalam berproduksi, yakni dengan memberikan informasi terkait produknya sehingga konsumen dapat memilih produk yang terbaik bagi dirinya. Konsumen yang telah menentukan dan menetapkan pilihannya atas suatu produk barang dan/atau jasa berdasarkan atas informasi yang disediakan oleh pelaku usaha berhak untuk mendapatkan produk tersebut sesuai dengan kondisi dan jaminan yang tertera dalam informasi. 43 Informasi dapat disampaikan dengan bermacam-macam cara antara lain melalui iklan di 43 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 41. 44 berbagai media, secara lisan, atau mencantumkannya dalam kemasan produk.44 Informasi dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiannya terhadap produk tertentu, sehingga akan berdampak memberikan keuntungan bagi pelaku usaha. Hak informasi ini dengan demikian, selain memberikan manfaat dan keuntungan bagi konsumen juga memberikan keuntungan bagi pelaku usaha. Menurut Troelstrup, saat ini konsumen membutuhkan informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun yang lalu. Alasannya adalah: 1) Terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya; 2) Daya beli konsumen semakin meningkat; 3) Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui oleh semua masyarakat; 4) Model-model produk lebih cepat berubah; 5) Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual.45 Menurut Professor Hans W. Micklitz seorang ahli hukum konsumen dari Jerman, sebagaimana yang dikutip oleh Shidarta, 44 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi revisi, PT. Gramedia Widiasaran Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 24. 45 Ibid. 45 membedakan konsumen berdasarkan hak informasi ini. Ia menyatakan, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu: 1) Konsumen yang terinformasi (well informed). Konsumen tipe ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) memiliki tingkat pendidikan tertentu; b) mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar; c) lancar berkomunikasi. Konsumen ini mampu bertanggungjawab dan relatif tidak memerlukan perlindungan apabila memiliki tiga ciri dan potensi tersebut. 2) Konsumen yang tidak terinformasi. Konsumen tipe ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) kurang berpendidikan; b) termasuk kategori kelas menengah ke bawah; c) Tidak lancar berkomunikasi, Konsumen dengan ciri-ciri demikian perlu dilindungi dan khususnya menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan. Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena halhal khusus, dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan 46 orang asing (yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh negara. Semakin tingginya teknologi yang digunakan dalam proses produksi suatu barang dan/atau jasa, menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh masyarakat konsumen. Oleh karena itu, menjadi mustahil bagi konsumen untuk memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mengakses informasi. Istilah consumer ignorance yang artinya ketidakmampuan konsumen dalam menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan, bisa saja dimanfaatkan secara tidak wajar oleh pelaku usaha, sehingga hukum perlindungan konsumen memberikan hak kepada konsumen atas informasi yang benar dimana di dalamnya juga tercakup hak atas informasi yang proposional dan diberikan secara tidak diskriminatif. b. Tinjauan Umum tentang Label Label merupakan keterangan yang melengkapi suatu kemasan barang yang berisi tentang bahan-bahan yang digunakan untuk membuat barang tersebut, cara pengggunaan, efek samping dan sebagainya.46 Bentuk label ada yang berupa tanda dengan tulisan, gambar pada kemasan atau berupa brosur/selebaran yang dimasukkan ke dalam kemasan. Label memiliki beberapa fungsi, antara lain: 46 Pengertian Label terdapat dalam http://fie0803.wordpress.com/2012/01/12/pengertianlabel/, diakses pada tanggal 4 Desember 2012, 15:10 WIB. 47 1) Merupakan salah satu bentuk perlindungan pemerintah kepada para konsumen yang baru berupa pelaksanaan tertib suatu undangundang bahan makanan dan minuman atau obat, dalam hal ini pemerintah mewajibkan produsen untuk melekatkan label/etiket pada hasil produksinya sesuai dengan peraturan yang tercantum dalam undang-undang bahan makan. 2) Dengan melekatkan label sesuai dengan peraturan berarti produsen memberikan keterangan agar konsumen dapat memilih membeli serta meneliti secara bijaksana. 3) Merupakan jaminan bahwa barang yang telah dipilih tidak berbahaya bila digunakan. Dalam hal ini maka para konsumen harus membiasakan diri untuk membaca label terlebih dahulu sebelum membeli barang atau produk. 4) Bagi produsen label dipergunakan sebagai alat promosi dan perkenalan terhadap barang yang diproduksi atau diperdagangkannya.47 Label yang merupakan keterangan dari suatu produk yang tertera pada kemasan ini jenisnya bermacam-macam. Menurut Stanton, ada tiga macam label, yaitu: 1) Brand Label. Label ini memuat merk, gambar, atau produsen dari produk yang dicantumkan dalam kemasan produk. Informasi 47 Ibid. 48 tersebut penting bagi konsumen sehingga mereka dapat membedakan suatu produk dengan produk lainnya. 2) Descriptive Label. Label ini memberikan informasi mengenai bahan baku, persentase kandungan, nilai kalori/gizi, cara penggunaan/konsumsi, tanggal pembuatn, tanggal kedaluarsa, dan lain-lain. 3) Grade Label. Label ini menginformasikan kepada konsumen tentang penilaian kualitas produk.48 Label adalah media penyampai informasi, maka sudah selayaknya informasi yang dicantumkan adalah informasi yang sebenar-benarnya dan tidak menyesatkan. Informasi yang harus dicantumkan pada label meliputi: 1) Nama makanan atau nama produk; a) Disamping nama makanan juga dapat dicantumkan nama dagang. b) Produk dalam negeri ditulis dalam bahasa Indonesia (bila perlu dapat ditambahkan bahasa Inggris). Produk luar negeri boleh dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. c) Bila nama belum ditetapkan dalam standar makanan, sebaiknya memilih deskripsi yang cocok sehingga tidak menyeesatkan. 48 Mat Rofingun, Kemasan dan Label Produk terdapat dalam http://matrofingun.wordpress.com/2007/06/25/kemasan-dan-label-produk/, diakses pada tanggal 4 Desember 2012, 15:24 WIB. 49 d) Kata-kata yang menunjukkan bentuk sifat atau keadaan produk tidak perlu merupakan bagian nama makanan, tetapi cukup dicantumkan pada label, seperti: “segar”, “alami”, “murni”, “dibuat dari”, dan “halal”. 2) Komposisi atau bahan ingredients; 3) Isi netto; 4) Nama dan alamat pabrik/ importir; 5) Nomor pendaftaran; 6) Kode produksi; 7) Tanggal kadaluarsa; 8) Petunjuk atau cara penggunaan; 9) Petunjuk atau cara penyimpanan; 10) Nilai gizi; 11) Tulisan atau pernyataan khusus; Pernyataan khusus yang harus dicantumkan antara lain: a) Susu kental manis: “Perhatikan, tidak cocok untuk bayi”. b) Makanan yang mengandung bahan yang berasal dari babi: “MENGANDUNG BABI”. c) Susu dan makanan yang mengandung susu. d) Makanan bayi e) Pemanis buatan f) Makanan dengan iradiasi: “RADURA” dan logo iradiasi 50 g) Makanan halal: tulisan bahasa Indonesia atau Arab.49 Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, menjelaskan pengertian label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. Pencantuman label merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) yakni setiap orang yang memproduksi atau menghasilkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, dan atau dikemasan pangan. Lebih lanjut dijelaskan dalam ayat (2) pasal ini bahwa pencantuman label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. Ketentuan-ketentuan lain terkait segala sesuatu yang menyangkut pelabelan diatur secara lengkap dan jelas dalam peraturan ini. 49 Albiner Siagian, Pelabelan Pangan terdapat dalam http://id.scribd.com/doc/68773261/Pengertian-Label-di-Indonesia, diakses pada tanggal 4 Desember 2012, 15:26 WIB. 51 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan Pasal 2 menerangkan bahwa pada label makanan dapat dicantumkan tulisan “halal”. 7. Sertifikasi Halal a. Tinjauan Umum tentang Halal Halal secara leksikal, sebagaimana yang tercantum dalam Ensiklopedia Islam, berasal dari bahasa Arab “halla”, “yahillu wa halalan” yang berarti “melepas”, “memecahkan”, “membubarkan”, dan “membolehkan”. Menurut Yusuf al-Qardawi, seorang ulama fikih kontemporer dari Mesir dalam kitabnya al-Halal wa al-Haram fi alIslam, halal adalah kebolehan (al-mubah) yang dilepas dari ikatan larangan dan diizinkan syari’ (syariat) untuk dilakukan. Menurutnya lagi, postulat awal yang ditetapkan Islam dan menjadi salah satu kaidah usul fikih adalah bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT adalah halal. Tidak boleh ada penetapan haram kecuali memang ada nash sahih dan sarih (pengertiannya jelas) yang menjelaskan demikian.50 Bagi umat Islam, kewajiban untuk mengkonsumsi barang yang halal diatur secara jelas di dalam Al-Quran yaitu dalam Surat Al-Baqarah ayat 168 yang berbunyi: 50 Halal dalam Ensiklopedia Islam 2, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005, hlm. 288. 52 ☺ ִ 234,5 ./0 '(*+,- #%ִ& !" 6C, ?&AB > :,8;+<= 67089 DF IJK GH( “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Larangan mengkonsumsi makanan yang haram diatur dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa 53 terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ketentuan mengenai kehalalan kemudian diatur lagi dalam Surat AlBaqarah ayat 172-174 yang berbunyi: RS 0 LMN֠PQ ִ 6CV';ִ֠W0 T 2*U,- : %^ ]!RS [B ZQ XCYP0 cdXִ& ִ☺AB IabK L_F(,5 96,,0 c<Q0 ,f g;Uִ☺; 6R2;+% e o&p klmn Q 0 Xhi'j; 0qXG dX8YI :ִ☺,s rQ qX [B > &;+% 96;]B u,s (U ./0 t; p IahK ]U&d RwG PQ D iAn Q [☺!C LMN֠PQ [B L_q uY=V}0 { g|2; 9: zQ ִ(,mn +,֠ ''Vw,~ o&p /B ]A8p L_s c zQ ]☺2 ./0 0 +|S i ./0 fִ☺0U{B; IaK ]Un + ],0 “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah [172]. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah tetapi barangsiapa 54 dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [173]. Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang Amat pedih [174].” b. Tinjauan Hukum Sertifikasi Halal Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikat halal menurut Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 Tanggal 30 November 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal adalah fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan suatu produk pangan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeriksaan. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal. Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan produk yang diproduksinya, dan sertifikat halal ini dapat dipindahtangankan.51 51 Wiku Adisasmito “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008, hlm. 13. 55 Produk halal adalah produk yang memenuhi syariat kehalalan sesuai dengan syariat Islam, yaitu: 1) Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi. 2) Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti: bahanbahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran, dana sebagainya. 3) Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam. 4) Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi 5) Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamr.52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan "Halal" Pada Label Makanan yang kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.924/Menkes/ SK/VIII/1996, telah mengatur secara jelas tentang kehalalan dan pencantuman label halal pada makanan. Tidak hanya kehalalan pada makanan, namun juga kehalan pada minuman, obat, 52 Ibid. 56 kosmetika dan produk-produk lain yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat khususnya masyarakat muslim. Aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut menunjukkan adanya suatu keharusan terutama bagi pelaku usaha untuk mencantumkan label halal pada produknya dalam rangka menjamin ketenteraman umat muslim dalam menjalankan kehidupan dan agama serta kepercayaannya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dalam Pasal 30 ayat (2) huruf menegaskan bahwa salah satu aspek yang harus dimuat pada label kemasan pangan adalah keterangan halal. Kemudian dalam penjelasannya ditegaskan lagi bahwa keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam, namun pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan/atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Adapun keterangan tentang halal dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Pencantuman halal pada label pangan dianggap telah terjadinya pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan itu. c. Kewenangan MUI dalam Fatwa Perijinan 57 Kehalalan atau keharaman suatu produk bukan hanya terletak pada kandungan bahan-bahan yang ada di dalamnya, tetapi juga menyangkut proses produksinya, bahan tambahan dan bahan pelengkap yang digunakan, serta proses pengankutan produk tersebut. Seringkali ditemukan bahan tambahan yang berasal dari hewan yang diharamkan oleh syariat agama. Bahan tambahan yang halal sekalipun dapat menjadi haram apabila dicampurkan dengan zat yang haram, seperti zat perwarna yang dilarutkan dengan alkohol. Oleh karena itu, perlu informasi halal pada suatu produk di mana untuk mencantumkannya pelaku usaha atau produsen harus melewati serangkaian proses pengujian terhadap produknya yang dilakukan oleh suatu lembaga resmi yang telah ditunjuk. Lembaga yang berkompeten untuk menguji kehalalan suatu produk yang diperdagangkan di wilayah Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah, adalah Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Penunjukan lembaga ini berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal dimana pada Pasal 1 menyebutkan bahwa “menunjuk Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal, yang dikemas untuk diperdagangkan di Indonesia”. Hal ini kemudian diperkuat lagi dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924 Tahun 1996 yang menunjuk LPPOM MUI sebagai lembaga yang berhak untuk menguji dan mengeluarkan sertifikat halal. 58 LPPOM MUI adalah lembaga yang berfungsi membantu MUI dalam memeriksa, mem-verifikasi dan mengkaji pangan, obat-obatan, dan kosmetika untuk menentukan kehalalannya. LPPOM MUI dalam menjalankan tugasnya memiliki visi yaitu menjadi lembaga sertifikasi halal yang amanah untuk produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika dalam rangka mendukung ketenangan dan ketentraman masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika. Untuk mewujudkan visi tersebut, LPPOM MUI memilki misi antara lain: 1) memberikan pelayanan sertifikasi halal kepada perusahaan- perusahaan yang mengajukan. 2) memberikan penyuluhan dan pendidikan halal bagi masyarakat berkaitan dengan kehalalan produk. 3) melakukan kajian-kajian ilmiah dalam rangka meningkatkan mutu dan pelayanan sertifikasi dan pendidikan halal. 4) Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak menuju ke kemashlahatan masyarakat luas melalui kegiatan-kegiatan yang halal sesuai syariah Islam. B. Tinjauan Umum tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Produk yang Tidak Bersertifikasi Halal 1. Tinjauan Umum tentang Pelaku Usaha 59 a. Pengertian Pelaku Usaha Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 Angka 3 menjelaskan pengertian bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Berdasarkan pengertian tersebut berarti termasuk perusahaan (korporasi) dalam segala bentuk dan bidang usahanya, seperti BUMN, koperasi, dan perusahaan swasta, baik berupa pabrikan, importir, pedagang eceran, distributor, dan lain-lain. Pengertian pelaku usaha yang terdapat dalam UUPK ini tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri, karena UUPK membatasi oramg perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha di wilayah hukum negara Republik Indonesia.53 Sebagai penyelenggara dalam kegiatan usaha, pelaku usaha merupakan pihak yang harus bertanggungjawab atas akibat-akibat negatif 53 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 9. 60 berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga yang dalam hal ini adalah konsumen.54 Pengertian pelaku usaha yang luas sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UUPK, akan memudahkan konsumen untuk menuntut ganti kerugian dimana konsumen tidak begitu mengalami kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan akan diajukan karena banyak pihak yang dapat digugat. Sebaiknya, ditentukan urutan-urutan pelaku usaha yang seharusnya digugat oleh konsumen jika dirugikan oleh pelaku usaha, yakni dengan urutan-urutan sebagai berikut:55 1) Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan. 2) Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri. 3) Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut. Urutan-urutan di atas hanya diberlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat diproduksi. Urutan-urutan tersebut juga 54 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 17. 55 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, op. cit., hlm. 10. 61 mempertimbangkan tentang kompetensi pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), karena siapapun yang digugat oleh konsumen, pengadilan atau BPSK yang kompeten adalah pengadilan atau BPSK yang mewilayahi tempat tinggal konsumen, sehingga tidak memberatkan konsumen. b. Hubungan Pelaku Usaha dan Konsumen Konsumen dan pelaku usaha memiliki hubungan yang erat dan berkesinambungan. Hal ini karena secara tidak langsung keduanya saling menghendaki dan memiliki rasa ketergantungan yang sangat tinggi antara satu dengan yang lainnya. Pendapat Purba dalam menjelaskan hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen yakni kunci pokok dari perlindungan konsumen adalah bahwa konsumen dan pelaku usaha itu saling membutuhkan, produksi tidak ada artinya jika tidak ada yang mengkonsumsinya dan produk yang dikonsumsi itu aman dan memuaskan, sehingga kemudian hal ini merupakan bentuk promosi gratis bagi pelaku usaha. Pelaku usaha sangat bergantung dan membutuhkan konsumen sebagai pelanggan dalam rangka mempertahankan kelangsungan usahanya. Begitupun sebaliknya, konsumen juga bergantung terhadap hasil produksi dari pelaku usaha. Hubungan yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen ini merupakan rangkaian hubungan yang berkelanjutan yang terjadi sejak proses produksi, distribusi hingga proses penawaran. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan suatu bentuk 62 rangkaian perbuatan hukum yang mepunyai akibat hukum baik bagi semua pihak maupun pihak-pihak tertentu saja. Masih rendahnya kesadaran dan lemahnya pengetahuan konsumen tidak mustahil dijadikan peluang bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai iktikad baik yaitu berprinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan sesefisien mungkin sumber daya yang ada. Kepentingan konsumen seringkali dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, baik dari pelaku usaha maupun pemerintah. Lemahnya posisi konsumen ini antara lain disebabkan oleh perangkat hukum yang ada belum bisa memberikan rasa aman. Ada dua doktrin atau teori yang mendasari adanya hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen yaitu doktrin caveat emptor yang kemudian berkembang menjadi doktrin caveat venditor. Doktrin caveat emptor disebut juga dengan let the buyer beware atau pembeli harus melindungi dirinya sendiri yang merupakan dasar dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi pihak konsumen. Konsumen harus memikirkan dan bertanggungjawab atas perlindungan terhadap kepentingannya. Pelaku usaha tidak bertanggungjawab atas cacat atau kerugian meskipun kerugian tersebut merupakan akibat dari tindakan pelaku usaha yang tidak melakukan upaya untuk menghindari terjadinya kerugian yang dialami oleh konsumen. 63 Doktrin caveat venditor dikemukakan karena pelaku usaha adalah pihak yang paling mengetahui informasi secara benar, jelas, dan jujur atas setiap barang dan/atau jasa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, pihak pelaku usaha harus lebih waspada dan berhati-hati dalam memproduksi sesuatu produk, jangan sampai bertentangan dengan tuntutan, kriteria, dan kepentingan konsumen. Transaksi yang terjadi tidak lagi sematamata diserahkan kepada pelaku usaha dan konsumen melainkan dilakukan proteksi konsumen melalui peraturan perundang-undangan dengan mengatur transaksi tersebut untuk melindungi konsumen yang posisi tawarnya lebih lemah. c. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Undang-undang memberikan sejumlah hak dan membebani sejumlah kewajiban dan larangan bagi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara produsen dengan konsumen dan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan perekonomian pada umumnya. Ada 5 (lima) hak yang dimiliki oleh pelaku usaha yang diatur dala Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 6, yaitu: 1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 64 2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik; 3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; 4) Hak untuk rehabilitasi nama baik paabila terbukti secara hukumm bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perudang-undangan lainnya. Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Hal yang biasa terjadi adalah jika suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah dari barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Jadi, dalam hal ini yang lebih dipentingkan adalah harga yang wajar. Kewajiban bagi pelaku usaha diterangkan dan diatur dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen Pasal 7 yakni antara lain: 1) Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 65 2) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; 3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif; 4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa; 5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; 6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Kewajiban pelaku usaha beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian yakni diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha karena pelaku usahalah yang meliputi semua kegiatan dakam melakukan usahanya, sehingga kewajiban pelaku usaha dalam beriktikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap penjualan. 66 2. Tinjauan Umum tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha a. Pengaturan tanggungjawab pelaku usaha Tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 19 yang menjelaskan: 1) Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2) Ganti-rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau pengembaliam barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Pemberian ganti-rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi. 4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. b. Prinsip-prinsip tanggung jawab 67 1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Prinsip ini dipegang secara teguh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan melawan hukum mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yakni: a) Adanya perbuatan; b) Adanya unsur kesalahan; c) Adanya kerugian yang diderita; d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Kesalahan dalam hal ini maksudnya adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban, dengan kata lain tidak adil jika orang 68 yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Tentang pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163 HIR (Herziene Indonesische Reglement) atau Pasal 283 RBG (Rechtsreglement Buitengewesten) dan Pasal 1865 KUH Perdata, di sana dijelaskan bahwa barangsiapa yang mengaku mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (actorie incumbit probatio). Ketentuan di atas sesuai dengan asas dalam hukum acara yakni asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara (audi et alteram partem) di mana hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memilki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut. Perlu diperjelas dalam prinsip ini adalah definisi tentang subyek pelaku kesalahan (Pasal 1367 KUH Perdata). Asas vicarious liability dan corporate liability dikenal dalam doktrin hukum. Vicarious liability mengandung pengertian bahwa majikan bertanggungjawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/karyawan yang berada di bawah pengawasannya (captain of the ship doctrine), jika karyawan itu dipinjamkan ke pihak lain (borowed servant) maka tanggung jawabnya beralih pada si pemakai karyawan tadi (fellow-servant doctrine). 69 Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama dengan vicarious liability yakni lembaga (korporasi) yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Doktrin yang terakhir disebut ostensible agency di mana suatu korporasi memberi kesan kepada masyarakat bahwa orang yang bekerja di tempat itu adalah karyawan yang tunduk di bawah perintah/koordinasi korporasi tersebut, sehingga sudah cukup syarat bagi korporasi untuk wajib bertanggungjawab secara vicarious kepada konsumennya. 2) Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab Prinsip ini menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (persumption of liability principle) sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada pihak tergugat. Undang-Undang perlindungan Konsumen mengadopsi sistem pembuktian terbalik yang ditegaskan dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23. Pasal 22 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mencantumkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (4) Pasal 20 dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung gugat pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk 70 melakukan pembuktian, ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik. Penerapan teori beban pembuktian terbalik ini bertentangan dengan asas hukum praduga tak bersalah. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak cukup relevan. Jika yang digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat inilah yang harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak kemudian menjadi dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat. 3) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab (presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan yang demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/ bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang sehingga dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. 71 Namun, dalam Pasal 44 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, ada penegasan bahwa prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab ini tidak lagi diterapkan secara mutlak, dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti-rugi (setinggi-tingginya satu juta rupiah) sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut dapat ditunjukkan dan pembuktian tersebut dibebankan kepada konsumen. 4) Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability). Ada pendapat yang mengatakan strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai fakta yang menentukan, ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab seperti force majeur. Sedangkan absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidaknya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggungjawab dan kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada. Sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada, maksudnya dapat saja tergugat yang 72 dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut. Menurut R.C. Hoeber et al, alasan penerapan prinsip tanggung jawab mutlak ini biasanya karena: a) Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi kompleks. b) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya. c) Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produk yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab tersebut dikenal dengan naman product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal, yaitu: a) Melanggar jaminan (breach of warranty) b) Ada unsur kelalaian (negligence) c) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability) 73 Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability di mana kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar tegugat. Ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antar perbuatan pelaku usaha dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability. 5) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya. Pasal 17 Ayat (1) Protokol Guatemala 1971 yakni dalam pengangkutan udara, prinsip tanggung jawab dengan pembatasan dikaitkan dengan prinsip tanggung jawab mutlak. Batas tanggung jawab pihak pengangkut untuk satu penumpang sebesar 100.000 dolar Amerika Serikat (tidak termasuk biaya perkara) atau 120.000 dolar (termasuk biaya perkara). Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen yang baru, seharusnya pelaku 74 usaha tidak boleh menetukan secara sepihak klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.56 3. Tanggung jawab produk (Product Liability) a. Pengertian tanggung jawab produk Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat dan dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Jika dikaitankan dengan masalah tanggung jawab produsen (product liability), produk bukan hanya berupa tangible goods,tetapi juga termasuk yang bersifat intangible, seperti listrik, produk alami (makanan, binatang peliharaan), tulisan (peta penerbangan yang diproduksi secara masala), atau perlengkapan rumah, termasuk komponen suku cadang. Istilah product liability diterjemahkan secara bervariasi ke dalam bahasa Indonesia seperti “tanggung gugat produk” atau “tanggung jawab produk". Peter E Nygh dan Peter Butt dalam Butterworths Concise Australian Legal Dictionary, mengatakan bahwa product liability merupakan tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada penguasaha, distributor atau pemasok. Agnes M Toar mengartikan tanggung jawab produk sebagai tanggung jawab prousen untuk produk 56 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi revisi, PT. Gramedia Widiasaran Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 72-80. 75 yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Jadi, yang dimaksud dengan tanggung jawab produk adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut, juga terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang bengkel dan pergudangan, demikian juga para agen dan pekerja dari badan-badan usaha tersebut.57 Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat/rusak sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian, atau harta benda.58 Produk cacat menurut Emma Suratman adalah setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syaratsyarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunannya, sebagaimana diharapkan orang. Suatu produk dapat disebut cacat karena: 57 Tami Rusli “Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen” dalam Pranata Hukum, volume 7, nomor 1, 2012, hlm. 81-82. 58 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 103. 76 1) Cacat produk adalah keadaan produk yang umumnya berada di bawah tingkat harapan konsumen atau cacat sedemikian rupa sehingga dapat membahayakan harta-bendanya, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. 2) Cacat desain 3) Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Produk yang tidak memuat peringatan atau instruksi tertentu adalah termasuk produk cacat yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada produsen dari produk yang bersangkutan.59 b. Tanggung jawab produk (product liability) dalam hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia Dasar adanya tanggung jawab produk ialah perjanjian antara para pihak atau perbuatan melawan hukum, maka berdasarkan hukum Indonesia, ketentuan-ketentuan berkaitan dengan hal tersebut harus menjadi patokan utama dalam penyelesaian masalah tersebut.60 Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya: 1) Pelanggaran jaminan (breach of warranty), yakni pelanggaran terhadap jaminan bahwa barang yang dijual tidak mengandung cacat 59 Ibid, hlm. 104. Tami Rusli “Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen” dalam Pranata Hukum, volume 7, nomor 1, Januari 2012, hlm. 82. 60 77 2) Kelalaian (negligence), yakni bila pelaku usaha yang digugat itu gagal menunjukkan, ia cukup berhati-hati dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan suatu barang. 3) Tanggung jawab mutlak (strict liability).61 Masalah product liability ini erat kaitannya dengan masalah persaingan dalam era perdagangan bebas maupun dengan makin meningkatnya perhatian terhadap perlindungan konsumen. Inti masalahnya terletak pada kualitas dari produk yang dihasilkan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah menggunakan prinsip semi-strict liability sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tentang tanggung jawab pelaku usaha. Demikian juga Pasal 20 yang berbunyi bahwa pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan dari iklan tersebut. Selain itu, dalam Pasal 28 dinyatakan bahwa pembuktian terhadap ada tidak unsur kesalahan dalam gugatan ganti-rugi merupakan beban tanggung jawab pelaku usaha. Berdasarkan sistem hukum yang ada kedudukan konsumen sangat lemah dibanding produsen. Salah satu usaha untuk melindungi dan meningkatkan kedudukan konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum tentang tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukannya prinsip tanggung 61 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi revisi, PT. Gramedia Widiasaran Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 81. 78 jawab mutlak diharapkan pula para produsen atau pelaku usaha menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk yang dihasilkannya. Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia meliputi 3 (tiga) bagian penting, yakni: 1) Faktor-faktor eksternal hukum yang akan mempengaruhi perkembangan dan pembaharuan hukum perlindungan konsumen termasuk penerapan prinsip tanggung jawab mutlak. 2) Faktor internal sistem hukum, yaitu elemen struktur budaya hukum dalam rangka penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia. 3) Ruang lingkup materi atau substansi dari prinsip tanggung jawab mutlak yang perlu diatur dalam undang-undang.62 62 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 108. 79 BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP PRODUK HERBAL YANG TIDAK BERSERTIFIKASI HALAL DI KABUPATEN SLEMAN B. Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Produk Herbal yang Tidak Bersertifikasi Halal di Kabupaten Sleman 7. Peredaran Produk Herbal yang Tidak Bersertifikasi Halal di Kalangan Konsumen Kesehatan merupakan kebutuhan yang amat sangat penting dan mendasar bagi kehidupan manusia. Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan segala upaya ditempuh oleh setiap orang untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat dan prima. Demi menjaga 80 kesehatan sebagian besar orang mengkonsumi suplemen vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Selain itu, dalam upaya untuk menyembuhkan berbagai penyakit dibutuhkan obatan-obatan tertentu yang harus dikonsumsi oleh seseorang. Beberapa suplemen vitamin atau obat-obatan seperti yang tersebut di atas biasanya dapat dibeli di apotek ataupun berdasarkan resep dari dokter. Umumnya, suplemen vitamin atau obatan-obatan tersebut dibuat dari bahan kimia, yang apabila dikonsumsi terus-menerus dalam jangka panjang atau dikonsumsi secara berlebihan dapat menimbulkan efek samping tertentu seperti menjadi ketergantungan, reaksi pencernaan seperti mual, sakit perut, dan sebagainya. Terlebih lagi, obat-obatan dan suplemen vitamin tersebut memiliki harga yang relatif tinggi sehingga sulit untuk dijangkau oleh masyarakat kalangan bawah, padahal mereka juga tentu sangat membutuhkan terutama obat-obatan apabila mereka terserang penyakit. Berangkat dari hal tersebut, kini tersedia alternatif lain bagi konsumen pengguna obat-obatan tersebut agar tetap dapat menjaga kesehatan tubuh mereka dan dapat menyembuhkan penyakit yang mereka derita tetapi tidak perlu khawatir akan efek samping dari bahan-bahan kimia yang terkandung dalam obat-obatan tersebut serta tidak perlu merogoh saku mereka lebih dalam lagi karena harga yang tersedia lebih terjangkau. Alternatif yang dimaksud adalah produk herbal yang dapat berupa suplemen vitamin, obat-obatan atau kosmetik. 81 Seiring dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya permintaan masyarakat akan kebutuhan atas suatu produk, semakin banyak pula muncul pelaku usaha yang meproduksi produk-produk herbal guna memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Kini banyak toko-toko yang menjual berbagai macam produk herbal terutama obat-obatan dan kosmetik di Yogyakarta, baik toko obat biasa maupun toko yang khusus produk-produk herbal saja. Perkembangan dalam produksi produk herbal ini sayangnya tidak diimbangi dengan perkembangan informasi tentang kehalalan produk tersebut yang dicantumkan melalui label halal resmi dari MUI. Hal ini dapat terlihat dari masih adanya produk-produk herbal yang tidak bersertifikasi halal MUI di toko-toko produk herbal di Kabupaten Sleman. Berdasarkan wawancara terhadap 3 (tiga) orang konsumen yang mengkonsumsi produk herbal terlihat bahwa Rahmanda Raditya (bukan nama sebenarnya) mengkonsumsi produk herbal dengan alasan produk herbal tidak memiliki risiko seperti produk-produk yang menggunakan bahan kimia walaupun harga keduanya cenderung sama tergantung dari produk yang bermerk atau tidak. Mas Raditya sendiri ketika membeli produk atau obat herbal tidak memperhatikan ada atau tidaknya label halal pada kemasan produk tersebut, karena menurutnya produk-produk herbal itu adalah produk yang berasal dari tanaman, jadi sudah pasti halal. Ia tidak mengetahui bahwa sebenarnya ada ketentuan bahwa pelaku usaha harus mencantumkan informasi berupa label halal pada kemasan produk 82 yang dijualnya. Ketika ditanya mengenai perasaannya bahwa produk yang ternyata ia konsumsi itu tidak halal, ia merasa sedikit kecewa, namun juga cenderung tidak peduli karena yang penting saat ia mengkonsumsi produk herbal tersebut ia tidak mengetahui bahwa produknya itu tidak halal jadi tidak masalah untuk dirinya. Namun, menurutnya label halal terutama yang disertifikasi oleh MUI itu sangat penting karena jika dilihat, penduduk Indonesia mayoritas adalah muslim, jadi sangat penting untuk mengkonsumsi suatu produk itu yang sudah jelas informasi halal atau tidaknya.63 Selanjutnya wawancara yang penulis lakukan dengan Nindita Rosie (bukan nama sebenarnya) yang juga merupakan konsumen produk herbal. Alasannya mengkonsumsi produk herbal adalah karena produk herbal itu lebih aman bagi tubuh karena terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang alami dan tidak membuat ginjal bekerja lebih keras seperti ketika mengkonsumsi obat-obatan kimia. Selama ini, ketika membeli produk herbal yang akan dikonsumsinya, Mbak Rosie tidak memperhatikan ada atau tidaknya label halal pada kemasan produk herbal tersebut, karena ia meyakini bahwa produk herbal yang berasal dari tumbuh-tumbuhan alami pasti halal. Ia merasa kecewa apabila suatu ketika diketahui bahwa produk herbal yang ia konsumsi ternyata tidak halal, karena merasa telah dibohongi oleh pelaku usaha. Labelisasi halal menurutnya sangat penting terutama bagi 63 Wawancara dengan Rahmanda Raditya, konsumen produk herbal, di Jalan Taman Siswa, 10 Januari 2013, pukul 15.30 WIB 83 umat muslim agar merasa aman, nyaman, dan tenteram dalam mengkonsumsi produk.64 Wawancara terakhir penulis lakukan dengan konsumen kosmetik herbal yaitu Camelia Desi (bukan nama sebenarnya) yang gemar menggunakan kosmetika herbal. Alasannya menggunakan kosmetika herbal adalah karena menurutnya kosmetika herbal itu lebih sehat dan jauh dari bahan-bahan kimia. Ia selalu memperhatikan label halal pada kosmetika herbal sebelum ia membelinya, karena ia merasa bahwa dirinya adalah muslim dan penting baginya untuk tahu produk yang ia konsumsi itu halal atau haram. Ia pernah mengetahui tentang adanya sertifikasi halal dari MUI namun ia merasa kecewa karena masih ada pelaku usaha yang tidak mencantumkan sertifikasi halal sebagai informasi yang penting bagi konsumen muslim. Hal ini penting menurutnya karena Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim, selain itu masyarakat pada umumnya menganggap kalau produk herbal itu sudah pasti halal. Apabila ia mengetahui bahwa produk yang dikonsumsinya itu ternyata adalah tidak halal, mbak Desi biasanya langsung bereaksi untuk tidak menggunakan lagi produk tersebut. Menurutnya, label halal yang disertifikasi oleh MUI itu sangat penting karena produk yang memiliki sertifikat halal yang resmi menunjukkan bahwa produk tersebut benarbenar halal dan dijamin kehalalannya oleh negara.65 64 Wawancara dengan Nindita Rosie, konsumen produk herbal, di Jalan Cantel, 11 Januari 2013, pukul 19.30 WIB 65 Wawancara dengan Camelia Desi, konsumen produk herbal, di Jalan Kusumanegara, 13 Januari 2013, pukul 19.00 WIB 84 Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa masih adanya konsumen muslim yang menemukan dan mengkonsumsi produk herbal yang tidak berlabel halal resmi dari MUI. Hal ini disebabkan pelaku usaha tidak mencantumkan informasi halal pada kemasan produk yang diperdagangkannya. Ada sebagian konsumen yang masih belum meperhatikan label halal sewaktu membeli produk herbal, namun ada juga yang jeli memperhatikan label halalnya. Namun, mayoritas konsumen muslim tersebut merasa kecewa atas tidak tercantumnya informasi halal pada produk yang mereka beli. Terlebih lagi jika kemudian diketahui bahwa produk yang mereka konsumsi ternyata benar-benar tidak halal, maka untuk itulah informasi halal dibutuhkan karena mayoritas konsumen hanya mengetahui bahan utama yang digunakan saja, yaitu berasal dari tanaman yang mereka yakini itu adalah halal. Berdasarkan temuan langsung di lapangan dengan demikian ada dua bentuk pelanggaran hak informasi bagi konsumen muslim, yaitu produk herbal yang sama sekali tidak mencantumkan label halal dan produk herbal yang mencantumkan logo halal tetapi tidak resmi dari MUI. 8. Peredaran Produk Herbal yang Tidak Bersertifikasi Halal di Kalangan Pelaku Usaha Produk herbal dalam peredarannya tidak terlepas dari peran pelaku usaha, baik produsen maupun distributor sehingga konsumen akhir dapat menikmati dan memanfaatkan produk tersebut, oleh karena itu diharapkan 85 tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak merugikan konsumen karena tidak jelasnya informasi yang diberikan. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan kepada Ibu Dewi (bukan nama sebenarnya) selaku produsen obat-obatan herbal yang sudah menjalankan usahanya kurang lebih selama hampir 2 tahun. Ia mengetahui tentang sertifikasi halal namun urung mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikasi halal karena biaya yang harus ia keluarkan untuk hal tersebut terlalu mahal, ditambah lagi ia enggan untuk mengikuti prosedurnya yang menurutnya cenderung rumit. Meskipun produknya tidak disertai label halal, ia tidak memberikan penjelasan kepada konsumennya bahwa produknya itu adalah halal. Ibu Dewi yakin bahwa obat-obatan herbal yang ia produksi adalah halal karena bahan-bahannya berasal dari tumbuh-tumbuhan, selain itu menurutnya proses yang ia lakukan dalam memproduksi obat-obatan tersebut adalah halal. Sehingga ia beranggapan bahwa tidak masalah jika produknya tidak bersertifikasi halal selama tidak ada keluhan dari konsumen.66 Hasil wawancara dengan Ibu Rita (bukan nama sebenarnya) selaku produsen dan distributor kosmetika herbal. Produk kosmetika herbal milik Ibu Rita memiliki label berlogo halal, namun bukan sertifikasi halal yang resmi dari MUI. Ia tidak mengetahui informasi tentang pentingnya label halal dan sertifikasi halal pada produk. Namun, sejauh ini belum ada keluhan dari konsumen terkait produk kosmetikanya ini. Ia berniat untuk 66 Wawancara dengan Ibu Dewi, Produsen obat-obatan herbal, di Kabupaten Sleman, 4 Januari 2013, pukul 15.00 WIB 86 ke depannya akan melakukan sertifikasi bagi produk kosmetikanya. Ia juga berharap bahwa prosedur sertifikasi nantinya tidak harus menelan biaya yang mahal.67 Hasil wawancara dari dua produsen tersebut secara jelas menunjukkan bahwa masih ada produsen yang belum mancantumkan label atau sertifikasi halal resmi dari MUI pada kemasan produk yang mereka jual. Selain itu, pelaku usaha juga tidak memberikan pelayanan berupa penjelasan terkait informasi halal mengenai produk yang dijualnya. Para pelaku usaha tersebut belum memenuhi hak konsumen terutama konsumen muslim atas informasi halal produk-produk herbal yang mereka produksi. Undang-Undang Perlindungan Konsumen menekankan akan pentingnya hak informasi bagi konsumen. Informasi yang benar dan cukup yang diperoleh konsumen akan memberikan kenyamanan tersendiri dalam dirinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf a bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hal ini memperkuat alasan bahwa kenyamanan, ketentraman dan ketenangan akan dirasakan oleh konsumen terutama sekali konsumen muslim apabila ketika ia mengkonsumsi produk yang dibelinya setelah mengetahui bahwa informasi yang tertera pada kemasan atau yang diberikan itu adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Konsumen muslim dapat memperoleh rasa nyaman dan aman itu apabila 67 Wawancara dengan Ibu Rita, Produsen dan Distributor kosmetika herbal, di Kabupaten Sleman, 6 Januari 2013, pukul 11.00 WIB 87 mengkonsumsi produk yang memilki label halal resmi yang bersertifikasi dari MUI. Selain itu, pelaku usaha juga harus memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur kepada konsumen terkait produk yang ia jual. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen, oleh karena itu informasi terkait kehalalan produk harus benar-benar teruji dan pengujiannya harus dilakukan oleh lembaga yang berkompeten dan telah ditunjuk secara resmi sebagaimana yang ditegaskan dalam undang-undang. Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan konsumen telah menegaskan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, yakni: a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; 88 f. Memberi kompensasi, ganti-rugi dan/atau jasa penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Apabila dikaitkan antara hasil wawancara pelaku usaha dengan pasal 7 UUPK, terlihat adanya ketidaksesuaian yaitu dengan huruf b di mana faktanya pelaku usaha itu tidak melaksanakan kewajibannya untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kehalalan produk yang diperdagangkannya. Kewajiban tersebut sangat erat kaitannya dengan hak informasi yang harus diperoleh konsumen yang telah ditegaskan dalam Pasal 4 huruf c UUPK serta hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi produk sebagaimana tercantum dalam UUPK Pasal 4 huruf a. Berdasarkan hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak produk herbal yang tidak mencantumkan label halal yang telah disertifikasi oleh MUI. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 8 huruf h Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa pelaku usaha itu dilarang untuk tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan “halal” yang tercantum pada label. 9. Perlindungan Konsumen dari LPPOM MUI MUI melaui LPPOM MUI sebagai lembaga yang diberi wewenang untuk menguji suatu produk sampai dengan mengeluarkan sertifikat halal 89 sudah seharusnya dapat memberikan ketenteraman dan ketenangan kepada konsumen muslim dalam mengkonsumsi produk herbal. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Elvy Effendie selaku pengurus LPPOM MUI dimana beliau menyatakan bahwa masih sangat banyak produk herbal yang beredar di kalangan masyarakat yang tidak bersertifikasi halal resmi dari MUI. Menurut Bapak Elvy, sertifikasi halal sebenarnya bukan kewajiban karena belum ada dasar hukum yang mengaturnya. Sertifikasi halal sebenarnya diwajibkan untuk produk-produk yang berasal dari hewan, dan itupun produk import. Namun, seiring berkembangnya perekonomian hal tersebut menjadi berlaku bagi produk-produk yang berasal dari hewan di dalam negeri juga. Beliau menyampaikan tidak ada sebenarnya pihak yang harus bertanggung jawab akan hal ini dikarenakan ketiadaan dasar hukumnya tadi, namun diharapkan kesadaran dan inisiatif dari pihak-pihak terkait akan pentingnya sertifikasi halal ini, terutama bagi mayoritas penduduk yang beragama Islam. Kurangnya keinginan dan kesadaran dari pelaku usaha, menurut beliau, merupakan faktor masih adanya produk herbal yang tidak bersertifikasi halal. Memang jika terlihat dari luar produk herbal ini dirasa halal karena berasal dari tumbuh-tumbuhan yang juga pasti halal. Namun, perlu dipertanyakan mengenai kehalalan proses produksi dan penggunaan zat tambahannya. Sebagai contoh, apakah dalam proses penyaringannya menggunakan air biasa atau menggunakan alkohol, selain itu jika produk 90 herbal itu ditambahkan laktosa atau gula susu tambahan apakah susu tersebut berasal dari hewan yang halal, kemudian jika produk herbal yang dikemas dalam kapsul yang terbuat dari gelatin, apakah gelatinnya berasal dari hewan yang halal. Karena hal-hal itulah maka diperlukan sertifikasi halal yang dalam proses pembuatannya suatu produk itu akan melewati serangkaian pengujian dari mulai pembuatan, pengemasan, sampai dengan pemasarannya. Menurut beliau lagi, sebenarnya prosedur sertifikasi itu tidak rumit, akan tetapi mungkin yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha adalah biaya yang dikeluarkan itu dirasa mahal. Pelaku usaha menganggap dengan mengeluarkana biaya untuk sertifikasi maka ia juga harus menaikkan harga produk yang dijualnya, padahal sangat besar kemungkinan jika produknya sudah bersertifikasi halal, akan semakin meningkatkan minat konsumen karena produk yang dijualnya itu sudah aman dan halal walaupun harganya lebih mahal. Adapun prosedur sertifikasi halal produk di LPPOM MUI adalah sebagai berikut: a. Pendaftaran 1) Pengisian formulir Pelaku usaha dapat meperoleh formulir pendaftaran di sekretariat LPPOM MUI 2) Penyusunan dokumen Sistem Jaminan Halal (SJH) 91 Dokumen ini berisi uraian mengenai bagaimana cara perusahaan menjamin produksi halal yang berkelanjutan. Dokumen SJH harus memuat: a) Halaman judul b) Profil perusahaan c) Kata pengantar d) Susunan tim halal perusahaan e) Panduan halal-haram (arti dan dasar-dasar halal) f) Cara menjamin produksi halal per –tahap proses pengolahan g) Cara menjaga kebersihan/sanitasi h) Daftar bahan-bahan yang digunakan i) Lampiran-lampiran (dokumen pendukung) b. Pengembalian formulir beserta dokumen SJH c. Audit Proses audit dilakukan oleh Tim Auditor yang bertugas d. Sidang Internal LPPOM MUI Sidang ini membahasa hasil audit yang dilakukan oleh auditor apakah terdapat masalah atau tidak e. Sidang Komisi Fatwa f. Penerbitan sertifikat halal Adapun biaya yang dikeluarkan untuk melakukan sertifikasi halal meliputi 3 (tiga) komponen, yaitu: a. Skala usaha 92 Biaya berdasarkan skala usaha kecil, menengah, atau besar. b. Jarak Biaya dihitung berdasarkan jarak dari sekretariat LPPOM MUI ke lokasi usaha yang bersangkutan. Jika jaraknya masih meliputi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul itu dikategorikan jarak yang dekat, di luar itu dikategorikan jarak menengah atau jauh. c. Kompleksitas yang ada di perusahaan Berdasarkan ketiga komponen tersebutlah LPPOM MUI kemudian merumuskan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk melakukan prosedur sertifikasi. Terkait perlindungan yang diberikan, menurut Bapak Elvy, tidak ada perlindungan yang harus diberikan oleh LPPOM MUI karena memang tidak adanya dasar hukum yang mengharuskan demikian. Namun demikian, LPPOM MUI tetap memilki peran yakni dengan melakukan sosialisasi terkait manfaat dan pentingnya sertfikasi halal ini karena akan memberikan rasa aman, nyaman, dan tentram bagi konsumen muslim. Sosialisasi yang dilakukan oleh LPPOM MUI adalah melalui radio-radio seperti RRI dan MQ FM setiap hari Jumat pada minggu pertama dan kedua setiap bulan. Menurut beliau lagi, perlu segera disahkannya RUU kewajiban sertifikasi halal yang kini sedang dibahas dalam rangka untuk melindungi 93 konsumen muslim, disamping juga diperlukan kesadaran dari pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi dan memberikan informasi halal tentang produknya dan juga kesadaran dari konsumen untuk memilih dan mengkonsumsi produk-produk yang halal.68 Jadi dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya sangat penting pemberian informasi halal pada kemasan produk herbal karena kehalalan suatu produk herbal tidak hanya dilihat dari bahan-bahan yang tampak dari luar tetapi juga dilihat dari prosedur pembuatannya yang mana hal itu dapat diketahui melalui serangkaian pengujian dalam rangka memperoleh sertifikasi halal. Masih banyaknya produk herbal yang beredar di kalangan masyarakat tanpa pencantuman label halal resmi dari MUI disebabkan masih kurangnya rasa tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini akibat dari tidak adanya kebijakan dari pemerintah berupa aturan hukum yang mewajibkan sertifikasi halal serta tidak adanya kegiatan sosialisasi yang cukup oleh lembaga-lembaga yang bertanggungjawab atas hal tersebut. 10. Perlindungan Konsumen dari LKY Berdasarkan hasil wawancara dengan Mbak Awi, salah satu anggota Lembaga Konsumen Yogyakarta, LKY merupakan lembaga swadaya masyarakat yang anggotanya berasal dari anggota masyarakat yang memiliki visi yang sama untuk bersama-sama menegakkan perlindungan 68 Wawancara dengan Bapak Elvy Effendie, Pengurus LPPOM MUI Yogyakarta, di Sekretarian LPPOM MUI, 12 Januari 2013, pukul 08.30 WIB 94 konsumen di Indonesia khususnya Yogyakarta. LKY mengutamakan dalam hal pendidikan dan pengorganisasian, advokasi untuk kasus-kasus sengketa konsumen, penelitian, dan pendampingan masyarakat. Sampai saat ini LKY belum menemukan adanya keluhan atau pengaduan dari konsumen terkait labelisasi atau sertifikasi kehalalan produk herbal. Jika ada konsumen yang merasa dirugikan dengan hal itu, konsumen bisa langsung datang ke Kantor LKY kemudian pihak LKY akan memproses untuk diberikan pendampingan, mediasi, dan advokasi. Apabila kemudian ada keluhan dari konsumen terkait hal labelisasi dan sertifikasi kehalalan produk ini maka akan dilihat kasus yang terjadi bagaimana dan sejauh apa hal yang terjadi itu merugikan konsumen, kemudian hal tersebut ditarik kesimpulan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yakni pelanggaran yang terjadi itu telah melanggar hak-hak konsumen yang mana. Ketiadaan label halal yang disertifikasi MUI dalam hal ini merupakan bentuk pelanggaran UUPK yakni ketiadaan hak informasi yang diberikan pelaku usaha kepada konsumen. Tidak hanya fokus kepada konsumen, LKY juga memfokuskan kegiatannya kepada pelaku usaha, yaitu melakukan upaya agar pelaku usaha timbul kesadaran bahwa konsumen memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha tersebut. Selain itu, LKY juga melakukan kegiatan pendidikan dan perngorganisasian, salah satunya melakukan sosialisasi terkait hal apapun yang berhubungan dengan konsumen dalam 95 rangka pemenuhan hak-hak konsumen itu sendiri. Semua kegiatan yang dilakukan oleh LKY ini bertujuan untuk menegakkan keadilan konsumen, walaupun dalam pelaksanaannya menemukan banyak kendala yang salah satunya adalah kurangnya kesadaran pelaku usaha akan hak-hak konsumen yang harus dipenuhinya tersebut.69 Jika dilihat dari hasil wawancara di atas, LKY sebagai salah satu lembaga yang berperan dalam hal perlindungan konsumen cenderung bersifat pasif, karena LKY baru melakukan tindakan dan memberi bantuan kepada konsumen apabila konsumen itu telah datang dan menyampaikan keluhannya, baru kemudian LKY melakukan advokasi dan mendampingi konsumen apabila konsumen menginginkan penyelesaian atas masalahnya tersebut. Tindakan preventif berupa sosialisasi pentingnya pencantuman informasi halal oleh pelaku usaha pada kemasan produk herbal kurang maksimal padahal produk herbal yang tidak bersertifikasi halal sudah banyak beredar di kalangan masyarakat. 11. Perlindungan Konsumen dari BPOM Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dwi Fitri Hatmoko, jika dilihat dari tugas, pokok, dan fungsi dari BPOM, BPOM menafsirkan produk herbal yaitu mengarah pada obat tradisional. Dalam peredarannya, obat tradisional ada 3 macam, yaitu: 69 WIB Wawancara dengan Mbak Awi, anggota LKY, di Kantor LKY, 8 Januari 2013, pukul 12.30 96 a. Jamu, yaitu obat tradisional asli Indonesia yang berasal berasal dari tanaman dan bersifat diketahui secara turun-temurun. b. Obat herbal terstandar, yaitu jamu yg sudah mengalami uji pra klinis, mengarah kepada sudah adanya sentuhan ilmiah, dan sudah melalui proses dengan sentuham ilmu pengetahuan. c. Fitofarmaka, yaitu obat tradisonal yang tingkatannya paling tinggi, hampir setara dengan obat modern serta sudah melalui uji klinis, uji toksinitas, dan uji keamanan. Bagi masyarakat awam, yang disebut kehalalan suatu produk itu cenderung masih terbatas pada produk yang dikonsumsi seperti makanan dan minuman, kalau yang disebut jamu, kosmetika, atau obat sudah terdapat tuntutan dari masyarakat terkait kehalalannya misalnya pada vaksin, tetapi tuntutan tersebut belum terlalu kuat karena produk jamu, kosmetika, atau obat tidak sehari-hari dikonsumsi seperti halnya makanan dan minuman. BPOM berdasarkan tugas, pokok, dan fungsinya di atas mengawasi produk herbal yang mereka tafsirkan dengan obat tradisional tersebut. Produk-produk yang diawasi oleh BPOM adalah obat (produk teurapetik), pangan, kosmetika, obat tradisional, dan produk food suplement. Terkait kehahalan suatu produk, BPOM memiliki tugas yang lebih cenderung pada labelisasi dan kemasan. Halal menurut BPOM meliputi 2 aspek, yaitu: 97 a. aspek bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk dan proses produksinya; b. aspek syari’at yaitu aspek yang di tinjau berdasarakan syari’at agama Islam. Aspek bahan yang digunakan dan proses produksi menjadi tugas dari BPOM dalam hal pengawasan dan pengujiannya, sedangkan aspek syariat menjadi tugas dari MUI di mana melalui LPPOM MUI memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikat halal. Jadi, ada kerjasama antara BPOM dan MUI dalam hal pengujian dan pengawasan produkproduk pangan serta sertifikasi label kehalalan suatu produk. Konsumen atau masyarakat mengetahui halal atau tidaknya suatu produk dengan adanya label pada kemasan. Permasalahan kandungan bahan di dalamnya halal atau tidak, hal ini merupakan tugas pemerintah. Untuk itulah pemerintah, termasuk juga yang terlibat adalah BPOM beserta Departemen Kesehatan dan MUI beserta Departemen Agama harus menjamin hak tersebut. Sebagai komunikasi antara pelaku usaha dengan konsumen maka diperlukan label halal sebagaimana yang resmi dari MUI. Sertifikat halal dikeluarkan oleh LPPOM MUI, kemudian BPOM yang memberi izin pencantuman logo halal di kemasan. BPOM melakukan pengawasan sebelum memberi izin untuk pencantuman logo halal, apakah sertifikat yang dimiliki pelaku usaha itu asli atau palsu. Pelaku usaha yang 98 perusahaannya telah memilki sertifikat halal dari LPPOM MUI kemudian mengajukan permohonan untuk pencantuman label halal kepada BPOM, kemudian dikaji lagi oleh BPOM apakah benar-benar layak untuk dicantumkan label halal pada produknya yakni dengan diberikan surat keterangan pencantuman logo halal pada label kemasan produk. Bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh BPOM, salah satunya berdasarkan surat ketetapan yaitu aturan atau pedoman pencantuman label pada produk, namun untuk saat ini hanya berlaku untuk pangan, sedangkan untuk produk herbal belum ada.70 Kesimpulannya, terkait masalah kehalalan produk, BPOM memiliki peran yang berhubungan erat dengan LPPOM MUI, di mana proses pengujian produk dan pencantuman label halal resmi dilakukan oleh BPOM sedangkan aspek syariatnya merupakan wewenang dari LPPOM MUI yang diberikan berdasarkan hasil pengujian dan sidang fatwa. Ini merupakan peran yang dilakukan BPOM dalam hal labelisasi halal yang sangat diperlukan sebagai bentuk komunikasi antar konsumen dengan pelaku usaha yang diwujudkan dalam bentuk pencantuman informasi halal pada kemasan produk herbal. Ketetapan mengenai keharusan pencantuman informasi halal pada produk baru terbatas pada produk pangan saja, belum dispesifikasikan pada produk herbal. 70 Wawancara dengan Bapak Dwi Fitri Hatmoko, Kepala Bidang Serlik BPOM Yogyakarta, di Kantor BPOM Yogyakarta, 16 Januari 2013, pukul 08.00 WIB 99 C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha atas Produk Herbal yang Tidak Bersertifikasi Halal di Kabupaten Sleman Perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki pengertian yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Konsumen muslim adalah pihak yang diberi perlindungan dalam hal ini atas produk herbal yang dikonsumsinya. Informasi kehalalan produk herbal yang tidak diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen muslim mengharuskan pelaku usaha bertanggungjawab atas perbuatannya itu. Sebagaimana yang kewajiban pelaku usaha yang tertera pada Pasal 7 huruf f Undang-Undang Perlindungan Konsumen yakni pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Selanjutnya pada Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dijelaskan lebih lanjut tentang tanggung jawab pelaku usaha yaitu: 1. Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2. Ganti-rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau pengembalian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian 100 santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemberian ganti-rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi. 4. Pemberian ganti-rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat dari penggunaan produk, baik berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan, yang secara garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum. 1. Tuntutan berdasarkan wanprestasi Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (pelaku usaha dengan konsumen) terikat suatu perjanjian, sehingga pihak ketiga (bukan sebagai pihak yang terikat dalam perjanjian) yang dirugikan, tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alsan wanprestasi. 101 Pada tanggung gugat berdasarkan adanya wanprestasi, kewajiban untuk membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan klausula dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua pihak secara sukarela tunduk berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar ganti kerugian atau berapa besar ganti kerugian yang harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, dan apa yang telah diperjanjiakn tersebut, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 2. Tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum Tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian. Apabila ingin menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ni berarti bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian, harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Ada perbuatan melanggar hukum; b. Ada kerugian; 102 c. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dan kerugian; dan d. Ada kesalahan.71 Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan ganti kerugian kepada konsumen atau sanksi administrasi yang hanya meliputi pengembalian uang atau pengembalian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku usaha, mengenai tanggung jawab pelaku usaha terkait informasi yang harus diberikan kepada konsumen muslim tentang sertifikasi halal produk herbal dapat disimpulkan bahwa pelaku usaha tidak memberikan dan memenuhi tanggung jawabnya sebagaimana halhal yang telah dijelaskan di atas bahwa pencantuman label halal resmi dari MUI merupakan bentuk pemenuhan hak informasi halal bagi konsumen muslim atas produk herbalnya. Hal ini karena tidak adanya kesadaran dari pelaku usaha akan pentingnya sertifikasi halal, mereka menganggap sertifikasi halal itu tidak penting, yang terpenting bagi mereka adalah izin dari BPOM dan Dinas Kesehatan. Tidak adanya keluhan dari konsumen menjadikan pelaku usaha merasa tidak harus bertanggungjawab atas sertifikasi halal ini. Menurut pelaku usaha, sebaiknya konsumen muslimlah yang harus memilih sendiri mana produk yang berlabel halal atau tidak yang nantinya akan mereka konsumsi. 71 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, edisi ke-1, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 127-130. 103 BAB IV PENUTUP D. Kesimpulan 12. Perlindungan konsumen muslim terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman yang seharusnya diterima oleh konsumen sebagai pemenuhan atas hak informasi belum dipenuhi oleh pelaku usaha yaitu tidak mencantumkan label halal yang disertifikasi oleh MUI pada kemasan produk herbal yang diperdagangkannya. Tidak dipenuhinya perlindungan konsumen yang diberikan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga seperti BPOM, LPPOM MUI, dan LKY dikarenakan tidak adanya aturan atau dasar hukum yang tegas mengenai kewajiban yang mengharuskan pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal. Aturan hukum yang ada hanya menegaskan pencantuman label halal saja, tetapi bukan pencantuman label halal yang disertifikasi resmi oleh MUI. 104 13. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk herbal yang tidak bersertifikasi halal di Kabupaten Sleman belum terpenuhi. Pelaku usaha tidak menyadari bahwa sertifikasi halal atas produk herbalnya yang dicantumkan pada kemasan merupakan tanggung jawabnya sebagai pelaku usaha atas pemenuhan hak informasi bagi konsumen muslim, sehingga pelaku usaha cenderung mengabaikannya. E. Saran 1. Pemerintah perlu segera menetapkan aturan hukum beserta sanksi yang tegas yang mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal produk yang diperdagangkannya di wilayah Indonesia, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Pemerintah beserta lembaga-lembaga yang berwenang dan terkait dengan sertifikasi halal ini harus berperan lebih aktif lagi dalam hal sosialisasi dan pengawasan, jangan hanya menunggu keluhan dari konsumen baru kemudian melakukan tindakan. Selain itu, perlu adanya penunjukan lembaga yang bertanggungjawab untuk melakukan sosialisasi dan melangsungkan kebijakan sertifikasi halal ini. Selain hal-hal tersebut, perlu juga dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran bagi pelaku usaha dan konsumen akan pentingnya produk yang halal dan resmi kehalalannya dari MUI. 2. Pelaku usaha hendaknya menyadari akan tanggung jawabnya sebagai pelaku usaha produk herbal atas pencantuman sertifikasi halal pada 105 kemasan yang itu merupakan bagian dari hak informasi bagi konsumen muslim. Tanggung jawab pelaku usaha dapat dilakukan antara lain dengan cara berkomitmen untuk melakukan sertifikasi halal dan kemudian mencantumkan label halal pada kemasan produk herbalnya. Pelaku usaha hendaknya menarik produk herbalnya untuk segera disertifikasi halal lebih dahulu sebelum kemudian diedarkan kembali. DAFTAR PUSTAKA Abdul Halim Barkatullah. Hak-hak Konsumen, cetakan ke-1, Nusa Media, Bandung, 2010. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-7, edisi ke-1, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. AZ. Nasution. Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995. __________. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cetakan ke-2, edisi revisi, Diadit Media, Jakarta, 2006. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Ensiklopedia Islam 2, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005 Erman Rajagukguk dkk. Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-1, Mandar Maju, Bandung, 2000. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000. Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, cetakan ke-1, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2004. N.H.T Siahaan. Hukum Konsumen, cetakan ke-1, Panta Rei, Jakarta, 2005. Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, cetakan ke-3, edisi revisi ke-2, PT.Grasindo, Jakarta, 2006. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ke-2, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. YLKI, Perlindungan konsumen Indonesia suatu Sumbangan Pemikiran Buku I Jurnal dan Makalah Hukum: Elvi Zahara Lubis “Hubungan Pencantuman Label Halal dengan Perlindungan Konsumen” dalam Moral & Adil, volume 1, 2009. Wiku Adisasmito “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008. Tami Rusli “Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen” dalam Pranata Hukum, volume 7, nomor 1, 2012 Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Dasar 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Iklan dan Pangan. Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksanaan Pemeriksa Pangan Halal. Website: Pengertian Obat Herbal, dalam http://multiherbal.net/pengertian-obat-herbal746.html, diakses pada tanggal 7 Oktober 2012, 12:45 WIB. Mengenal Pengertian Herbal dan Pengobatan Alami, dalam www.anneahira.com, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 15:55 WIB. Pengertian Obat Herbal, dalam http://artikel-herbal.thifaonline.com/pengertianobat-herbal.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 16:00 WIB. Perlindungan Konsumen Muslim dalam Perspektif Hukum Indonesia, dalam www.infoampuh.com, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, 16:47 WIB. Pengertian Label terdapat dalam http://fie0803.wordpress.com/2012/01/12/pengertian-label/, diakses pada tanggal 4 Desember 2012, 15:10 WIB Mat Rofingun, Kemasan dan Label Produk terdapat dalam http://matrofingun.wordpress.com/2007/06/25/kemasan-dan-label-produk/, diakses pada tanggal 4 Desember 2012, 15:24 WIB Albiner Siagian, Pelabelan Pangan terdapat dalam http://id.scribd.com/doc/68773261/Pengertian-Label-Di-Indonesia, diakses pada tanggal 4 Desember 2012, 15:26 WIB Nurul Huda, Perilaku Konsumen Islami ditulis oleh Nurul Huda terdapat dalam xa.yimg.com/kq/.../PRILAKU+KONSUMSI+ISLAMI.doc, diakses pada tanggal 17 Januari 2013, 18.00 WIB Perilaku Konsumen Muslim terdapat dalam http://kaqyun.wordpress.com/2010/09/23/32/, diakses pada tanggal 17 Januari 2013, 18.30 WIB