Perawat merupakan salah satu elemen penting rumah

advertisement
2
Perawat merupakan salah satu elemen penting rumah sakit dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Mereka adalah profesional yang lebih sering
berinteraksi dengan pasien atau penerima jasa layanan kesehatan lainnya di rumah
sakit. Mereka merupakan bagian dari tim kesehatan yang menghadapi permasalahan
kesehatan pasien setiap hari selama 24 jam. Gilles (dalam Persatuan Perawat Nasional
Indonesia, 2012) menyatakan pelayanan kesehatan di rumah sakit, 40 hingga 75%
merupakan pelayanan keperawatan. Selain memberikan pelayanan kepada pasien,
perawat juga berinteraksi dengan keluarga pasien, dan kadang-kadang menerima
keluhan mereka atas ketidakpuasan pelayanan di rumah sakit.
Menurut Undang-undang Keperawatan No. 38 Tahun 2014 (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2014), tugas dan wewenang seorang perawat pada
intinya adalah memberikan asuhan keperawatan baik perseorangan maupun dalam
cakupan masyarakat. Asuhan keperawatan sendiri merupakan rangkaian interaksi
perawat dengan klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan
kebutuhan dan kemandirian klien dalam merawat dirinya. Pada undang-undang
tersebut, terdapat 13 tugas dan wewenang utama perawat, mulai dari melakukan
pengkajian keperawatan secara holistik sampai melakukan penatalaksanaan
keperawatan komplementer dan alternatif. Selain tugas dan wewenang utama, perawat
juga memiliki lima tugas dan wewenang lain yang terjabarkan dalam, pasal 29 ayat 1.
Pada pasal tersebut dijabarkan bahwa perawat juga berfungsi sebagai penyuluh dan
konselor bagi klien, pengelola pelayanan keperawatan, peneliti keperawatan,
pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewewang dan atau pelaksana tugas dalam
keadaan keterbatasan tertentu.
Tugas dan wewewang perawat yang begitu kompleks ini menjadi beban kerja
yang tinggi. Beban kerja yang tinggi bisa dilihat dari lamanya bekerja dan rasio jumlah
ketersediaan perawat dengan jumlah pasien yang datang di rumah sakit. Pada
penelitian Tarwanti (2012) terdapat temuan bahwa para perawat yang ditugaskan di
poli bedah bekerja melebihi standar jam kerja, yaitu 7 jam. Para perawat tersebut
bekerja hingga 8-9 jam karena harus menangani pasien secara intensif dan tindakan
operasi yang sering kali membutuhkan tindakan yang mendadak. Selain pada poli
3
bedah, beban kerja yang tinggi dialami perawat yang bertugas di Unit Gawat Darurat
(UGD).
Fakta di lapangan menunjukkan rasio sumber daya perawat masih belum ideal
dengan jumlah pasien yang ke rumah sakit. Berdasarkan komunikasi pribadi (10
September 2015) dengan salah seorang perawat, idealnya seorang perawat menangani
pasien sebanyak lima orang. Pada kenyataannya perbandingan antara perawat dan
pasien 1 : 10, yaitu seorang perawat menangani 10 orang pasien. Hal ini sering terjadi
di rumah sakit di daerah atau luar kota. Kondisi tidak idealnya rasio jumlah perawat
dan pasien mengakibatkan munculnya gejala-gejala kelelahan fisik dan psikis, stres,
sulit konsentrasi, dan menjadi kurang peka terhadap kebutuhan pasien. Perawat yang
mengalami kondisi-kondisi tersebut menjadi kurang produktif dalam bekerja
(Haryanti, Faridah, & Purwaningsih, 2013) dan kurang bersemangat dalam bekerja
bahkan memiliki keinginan untuk berhenti dari pekerjaannya (Tarwanti, 2012).
Berdasarkan komunikasi pribadi (16 Mei 2016) yang dilakukan peneliti dengan
Kasi Bidang Keperawatan dan Mutu di sebuah rumah sakit bahwa terdapat tiga jenis
perawat yang bertugas di ruangan rawat inap, yaitu Kepala Ruangan, Primary Nurse
(PN), dan Associate Nurse (AN). Perawat yang lebih banyak berinteraksi secara
langsung dengan pasien adalah Associate Nurse, sementara intruksi-instruksi untuk
mengambil tindakan keperawatan diberikan Primary Nurse, dan Kepala Ruangan
adalah perawat yang bertanggungjawab atas segala tindakan dalam ruangan.
Permasalahan yang muncul di lapangan lebih sering karena konflik dengan mitra
kerja, seperti perasaan kesal dan tidak percaya dengan kemampuan rekan kerja serta
perasaan cemburu karena seorang perawat mendapat pujian sementara yang lain tidak.
Permasalahan-permasalahan tersebut sudah coba diatasi dengan memberikan
pelatihan-pelatihan seperti Character Building dan Service Excellent kepada perawat,
namun tetap permasalahan tersebut masih muncul.
Permasalahan yang terjadi pada perawat juga menyangkut kesejahteraan perawat.
Pengaturan remunerasi
masih perlu penyesuaian sehingga tidak menjadi
permasalahan. Sistem remunerasi yang dilakukan saat ini berdasarkan tingkat
keahlian dan penempatan ruangan. Perawat yang memiliki kompetensi tertentu dan
ditempatkan di suatu ruangan sesuai keahliannya belum tentu mendapat remunerasi
4
yang tinggi jika pasien yang ditanganinya sedikit, misalnya para perawat Intensive
Care Unit (ICU), yang mendapat jasa medis yang kurang sesuai karena pasien di
ruang ICU tidak sebanyak di ruang inap yang lain, meskipun pasien yang dilakukan
asuhan keperawatan adalah pasien dengan penyakit kronis dan terminal. Sebaliknya
perawat biasa jika menangani pasien banyak juga tetap mendapat jumlah remunerasi
yang sedikit, karena harus dilakukan prorata dengan perawat lain.
Berdasarkan komunikasi pribadi dengan seorang perawat (13 Mei 2016), yang
menyampaikan
bahwa
setelah
berlakunya
Undang-undang
Keperawatan,
kesejahteraan perawat tersebut lebih meningkat, namun dibalik itu, kenyataan di
lapangan masih terdapat perasaan iri karena penghasilan yang didapat berbeda dengan
perawat yang berada pada jajaran struktural. Peneliti melakukan komunikasi pribadi
kepada seorang perawat lainnya (13 Mei 2016), yang menyampaikan bahwa tingkat
kesejahteraan perawat berbeda-beda. Para perawat yang sudah lama bekerja, namun
memiliki jabatan dan pendidikan rendah meskipun sudah lama bekerja sering
mengeluh kurang puas karena mendapat gaji yang rendah. Keluhan juga sering
ditemukan pada perawat-perawat yang baru bekerja. Secara umum, mengenai
kesejahteraan perawat juga dibahas oleh Wuryanto sebagai Ketua Persatuan Perawat
Nasional Indonesia Jawa Tengah (dalam redaksi Jowonews, 2015), bahwa tuntutan
dan beban kerja yang tinggi pada perawat juga tidak sebanding dengan gaji dan
kesejahteraan perawat.
Fenomena-fenomena mengenai permasalahan pada perawat berfokus pada
penilaian pribadi mengenai perasaan (emosi) dan pikiran (kognitif) mengenai
pengalaman-pengalaman yang dialaminya sebagai seorang perawat. Pada temuan
yang telah dipaparkan, baik dari berbagai penelitian dan komunikasi pribadi di
lapangan dapat disimpulkan penilaian emosi muncul pada perasaan stres, sulit
konsentrasi, kurang percaya, kesal, dan cemburu pada rekan kerja. Penilaian kognitif
muncul terhadap kekurangpuasan pada kesehatan karena mengalami kelelahan fisik
dan kurang puas pada pekerjaan sehingga perilaku yang muncul yaitu kurang
produktif dalam bekerja, kurang peka terhadap kebutuhan pasien, dan adanya
keinginan untuk berhenti bekerja. Penilaian terhadap emosi negatif, misalnya stres
terkait pekerjaan pada perawat mempengaruhi kesejahteraan subjektif (Beh & Loo,
5
2012; Gurkova, Harokova, Dzuka, & Ziakova, 2014; Tarwanti, 2012). Gaji atau
pendapatan merupakan salah satu faktor kepuasan dalam bekerja yang juga
berhubungan dengan kesejahteraan subjektif (Gurkova, dkk., 2014; Myers & Diener,
1995).
Kesejahteraan subjektif didefinisikan sebagai suatu fenomena yang meliputi
evaluasi kognitif dan emosional individu terhadap kehidupan mereka. Bagi
kebanyakan
orang,
kesejahteraan
subjektif
disebut
sebagai
kebahagiaan,
ketenteraman, berfungsi penuh, dan kepuasan hidup (Diener, Scollon, & Lucas,
2009). Evaluasi kognitif dalam bentuk kepuasan hidup berlaku juga pada domain
tertentu dalam kehidupan dan evaluasi emosi berkaitan dengan perasaan positif
maupun negatif (Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999). Individu memiliki
kesejahteraan subjektif yang tinggi jika memiliki kepuasan yang tinggi terhadap
kehidupannya secara umum serta pada domain tertentu, perasaan atau emosi positif
yang tinggi, dan perasaan atau emosi negatif yang rendah. Empat komponen
kesejahteraan subjektif dan contohnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini (Diener,
Scollon, & Lucas, 2009).
Tabel 1. Komponen Kesejahteraan Subjektif
Emosi positif
Emosi negatif
Penilaian hidup
menyeluruh
Kesedihan
Kepuasan hidup
Kegembiraan
saat ini
(riang hati)
Kemarahan
Pemenuhan hidup
Kepuasan hati
Kekhawatiran
Kebermaknaan
Kebahagiaan
Stres
Sukses
Cinta
Kepuasan
domain tertentu
Pernikahan
Pekerjaan
Kesehatan
Waktu luang
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan pada paragraf sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa kesejahteraan subjektif berhubungan dengan kesehatan psikologis
karena berhubungan dengan kondisi perasaan. Kesejahteraan subjektif juga
berhubungan dengan kepuasan kerja karena terkait dimensi kepuasan terhadap
domain tertentu. Hal ini perlu menjadi suatu perhatian bagi perawat maupun lembaga
kesehatan profesional seperti rumah sakit untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan
subjektif perawat, karena bukan hanya akan bermanfaat bagi perawat itu sendiri,
namun juga bagi organisasi dan klien yang mendapatkan asuhan keperawatan.
6
Penelitian Judge dan Lock (1993) menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal
balik antara kesejahteraan subjektif dengan kepuasan kerja. Para pekerja yang
memiliki kepuasan hidup dan kerja yang tinggi lebih mampu bekerja secara
kooperatif, bekerja lebih efektif dan efisien, lebih giat dan lebih loyal kepada
organisasi (Spector, 1997). Emosi positif yang ditunjukkan dalam bekerja akan
meningkatkan kualitas performansi kerja (Cote, 1999), termasuk memberikan empati,
penilaian kerja yang tinggi, bahkan menerima gaji yang lebih baik (Staw, Sutton, &
Pelled, 1994). Individu dengan kesejahteraan subjektif yang tinggi akan memiliki
kualitas kesenjangan hasrat finansial yang rendah (Brown, Kaser, Ryan, Linley, &
Orzech, 2009). Artinya meskipun individu tersebut memiliki gaji atau pendapatan
yang jauh dari harapan atau idealnya, maka ia akan lebih menerima kondisi tersebut.
Beberapa strategi dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif dalam konteks
kerja (Russel, 2008), yaitu dengan: (a) merancang desain pekerjaan yang
memungkinkan karyawan bekerja dengan penuh makna; (b) adanya kerja tim yang
baik dan pembagian kerja yang jelas; (c) penerapan kepemimpinan transformasional
oleh setiap pemimpin; (d) memaksimalkan potensi/ talenta karyawan dengan
menempatkannya pada pekerjaan yang tepat. Selain strategi-strategi tersebut, White
(2013) menyebutkan, program mindfulness pada perawat dapat bermanfaat sebagai
self-care dan pengembangan maupun peningkatan pada kesejahteraannya.
Konsep mindfulness berawal dari melepaskan penderitaan yang dialami manusia.
Penderitaan tersebut dapat berupa stres, depresi, cemas, konflik interpersonal,
kebingungan, khawatir berlebihan dan ketakutan-ketakutan irasional (Mace, 2008).
Mindfulness dipercaya dapat mengurangi penderitaan dan mempromosikan
kesejahteraan (Grossman & Van Dam, 2011).
Menurut Mace (2008), mindfulness menekankan pada kesadaran, menjadi sadar
sepenuhnya pada apa yang terjadi saat ini, dengan mengalihkan pengalaman yang lain,
diterima sepenuhnya tanpa penilaian. Mindfulness merupakan suatu keterampilan
dalam memberikan perhatian dengan berfokus pada satu tujuan, saat ini, dan tidak
menilai (Kabat-Zinn, 1990). Mindfulness sangat berorientasi pada hidup saat ini.
Konsep hidup pada saat ini (living in the present) berbeda dengan hidup untuk saat ini
(living for the present). Hidup untuk saat ini dapat membuat seorang individu
7
berperilaku dengan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang terjadi di masa
depan. Hidup pada saat ini mengembangkan perilaku berdasarkan kontrol diri dan
pencapaian tujuan yang lebih efektif (Brown, Ryan, & Creswell, 2007).
Baer, Allen, dan Smith (2004) merumuskan empat komponen mindfulness yang
menunjang seorang individu untuk hidup pada saat ini, yaitu:
1. Observasi. Kemampuan observasi meliputi kemampuan memperhatikan stimulus
yang muncul, yaitu dalam hal asal, bentuk, intensitas, dan durasi stimulus tersebut.
2. Deskripsi. Pada saat mengobservasi stimulus, diperlukan kemampuan untuk
mendeskripsikan stimulus dengan memberi nama atas fenomena yang terjadi pada
saat itu (present moment), tanpa mengelaborasi atau menganalisis.
3. Bertindak dengan kesadaran, yaitu melakukan sesuatu (aktivitas) dengan perhatian
yang tidak terbagi (fokus). Seseorang yang bertindak dengan kesadaran mampu
menyadari apa yang dilakukannya dan tidak menjadi “automatic pilot” pada
kehidupannya.
4. Menerima tanpa menilai. Kemampuan ini berhubungan dengan deskripsi. Ketika
menerima stimulus dan mengamatinya, lalu mendeskripsikannya. Selanjutnya
menerima tanpa menilai, membiarkan apa adanya tanpa adanya keinginan untuk
mengubah secara impulsif.
Keterampilan mindfulness memiliki korelasi yang erat dengan kemampuan
melihat sesuatu secara menyeluruh dan mempertimbangkan berbagai alternatif
(Carmody, Baer, Lykins, & Olendzki, 2009; Shapiro, Carlson, Astin, & Freedman,
2006). Individu yang bertindak dan beraksi secara mindful, tidak akan reaktif dalam
mengambil keputusan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas otak bagian
korteks prefrontal (Greeson & Brantley dalam Didonna, 2009). Korteks prefrontal
memiliki fungsi luhur, yaitu dalam berpikir, berencana, mengambil keputusan secara
bijaksana, memusatkan perhatian, ketabahan dan kesabaran, pengendalian impuls,
kesadaran
diri,
belajar
dari
pengalaman,
mengungkapkan
emosi,
dan
mengembangkan empati/ kasih sayang (Amen, 2011).
Penggunaan mindfulness dalam konteks klinis sangat luas perkembangannya.
Mindfulness menjadi komponen penting pada beberapa model terapi yang telah
terstandarisasi, termasuk Cognitive Behavior Therapy (CBT), Dialectical Behavior
8
Therapy (DBT), dan Acceptance and Commitment Therapy (ACT). Model terapi
tersebut memasukkan komponen mindfulness dengan mengacu program MindfulnessBased Stress Reduction (MBSR) yang dikembangkan Jon Kabat-Zinn (Didonna,
2009).
Program MBSR merupakan perpaduan antara meditasi mindfulness, yaitu
meditasi napas, meditasi deteksi tubuh, dan meditasi jalan serta hatha yoga. Program
MBSR berlangsung selama delapan minggu dengan durasi total 41-48 jam. Program
MBSR efektif dalam menurunkan stres (Garcia-Banda & Martin-Asuero, 2010;
Shapiro, Astin, Bishop, & Cordova, 2005). Program MBSR juga disarankan oleh
Potter, dkk. (2010) dalam penanganan stres hingga burnout di kalangan profesional
kesehatan. Berkembangnya dunia teknologi dan informasi membuat beberapa peneliti
tertarik melihat manfaat program MBSR melalui telekonferensi yang disebut
Telephonic Mindfulness-Based Stress Reduction (tMBSR). Program tMBSR selama
delapan minggu yang dilakukan pada para perawat menghasilkan perubahan pada
peningkatan kualitas kesehatan dan kesejahteraannya (Bazarko, Cate, Azocar, &
Kreitzer, 2013). Berbagai hasil yang baik mengenai MBSR diiringi dengan tidak
ditemukan adanya efek negatif selama melakukan program tersebut (Praissman,
2008).
Program MBSR saat ini telah dimodifikasi dalam bentuk yang lebih singkat, yaitu
brief MBSR atau bMBSR. Terdapat juga program meditasi mindfulness atau
Mindfulness-Based Meditation (MBM) tanpa hatha yoga. Program-program tersebut
bertujuan menyingkat waktu intervensi namun tetap menghasilkan dampak yang
signifikan.
Berbagai penelitian bMBSR menunjukkan bahwa bMBSR dapat menurunkan
tingkat stres (Brady, O’Connor, Burgermeister, & Hanson, 2011; Foureur, Besley,
Burton, Yu, & Crisp, 2013; Poulin, Mackenzie, Soloway & Karayolas, 2008) dan
meningkatkan kepuasan kerja (Fortney, Luchterhand, Zakletskaia, Zgierska, & Rakel,
2013). Penelitian bMBSR yang dipadukan dengan unsur kognitif, yaitu brief MBCT,
juga menurunkan tingkat stres dan meningkatkan kesejahteraan subjektif perawat
(Lan, Subramanian, Rahmat, & Kar, 2014).
9
Hasil yang baik juga didapat dari berbagai penelitian meditasi mindfulness
terhadap kesejahteraan subjektif. Penelitian Keune dan Forintos (2010) menunjukkan
para praktisi meditasi mindfulness memiliki emosi positif dan perhatian lebih
meningkat. Para mahasiswa keperawatan yang mengikuti program brief meditasi
mindfulness selama satu minggu (satu hari 30 menit), tingkat kecemasannya
berkurang dan tekanan darah sitoliknya lebih stabil (Chen, Yang, Wang, & Zhang,
2013). Hasil penelitian Minda (2013) juga menunjukkan meditasi mindfulness
meningkatkan kecerdasan emosi dan kepuasan diri. Secara umum terdapat manfaat
dari mindfulness terkait kesejahteraan subjektif. Manfaat-manfaat tersebut yaitu
meningkatkan regulasi emosi dan kesadaran, menurunkan stres, meningkatkan
kepuasan dalam suatu hubungan interpersonal, meningkatkan perhatian atau
konsentrasi, menumbuhkan empati, lebih dapat dan merespon sesuatu dengan adaptif
(Davis & Hayes, 2011).
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa program mindfulness, baik
program MBSR, tMBSR, bMBSR, maupun meditasi mindfulness memiliki manfaat
dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif perawat (Bazarko, dkk., 2013; Chen,
dkk., 2013; David & Hayes, 2011; Fortney, dkk., 2013; Garcia-Banda & MartinAsuero, 2010; Keune & Forintos, 2010; Lan, dkk., 2014; Minda, 2013; Poulin, dkk.,
2008; Shapiro, dkk., 2005). Mindfulness dapat menjadi sebuah sarana bagi perawat
untuk menjaga bahkan meningkatkan kesejahteraan perawat serta meningkatkan
kualitas pelayanan teraputik kepada pasien (White, 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah program mindfulness dapat
meningkatkan kesejahteraan subjektif perawat. Hipotesis pada penelitian ini, yaitu
program mindfulness dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif perawat. Kerangka
berpikir penelitian tertera pada Gambar 1.
10
Permasalahan kesejahteraan subjektif perawat
Permasalahan terkait komponen
afek :
Perasaan stres, perasaan kurang
percaya, kesal dan cemburu pada
rekan kerja, kurang produktif,
kurang bersemangat dan serta
kurang peka terhadap kebutuhan
pasien
.
Program Mindfulness
 Meditasi mindfulness
 Internalisasi nilai
sikap mindfulness
Permasalahan terkait komponen
kognitif:
Sulit konsentrasi, mengeluh (kurang
puas dengan gaji yang diterima),
kelelahan fisik (kurang puas pada
kesehatan), keinginan berhenti dari
pekerjaan (kurang puas pada
pekerjaan dan hidup)
Perawat dengan kesejahteraan
subjektif rendah:
 Afek positif rendah dan afek
negatif tinggi
 Kepuasan hidup rendah dan
kepuasan domain tertentu
rendah
Kesejahteraan subjektif tinggi:
 Afek positif tinggi dan afek
negatif rendah
 Kepuasan hidup tinggi dan
kepuasan domain tertentu tinggi
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
Keterangan:
: tanda pengaruh
: garis intervensi
Download