IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi Mikroba dari Pangan Fermentasi Teknik isolasi pada penelitian ini menggunakan cara pengenceran bertingkat dengan metode cawan permukaan agar setelah inkubasi terlihat koloni-koloni tunggal tersebar pada permukaan medium agar. Medium isolasi untuk memperoleh koloni tunggal menggunakan medium selektif skim milk agar. Skim milk agar merupakan medium selektif yang umum digunakan untuk memperoleh mikroba penghasil protease pada medium agar. Koloni mikroba akan membentuk zona bening sebagai hasil perubahan kasein menjadi senyawa nitrogen yang larut (Hidayat et al 2006). Beberapa genus mikroba penghasil protease antara lain Bacillus, Clostridium, Pseudomonas, Proteus, Streptococcus, Micrococcus, berbagai jamur, khamir (Hidayat et al 2006). Isolasi diakukan terhadap lima sampel pangan fermentasi yaitu tauco, tempe, oncom merah, tape ketan, dan asinan sawi. Sampel diperoleh dari pasar serba ada yang bersih dan higienis sehingga diharapkan sampel terhindar dari kontaminasi mikroba luar dan mikroba yang diisolasi benar-benar berasal dari sampel. (a) (b) (d) (c) (e) Gambar 6. Sampel pangan fermentasi yang digunakan sebagai sumber isolat: oncom merah (a), tempe (b), tape ketan (c), tauco (d), asinan sawi (e) Dari kelima sampel diperoleh 4 isolat bakteri dengan ciri koloni berbeda. Penentuan ciri koloni untuk bakteri umumnya berdasarkan pengamatan morfologi yaitu bentuk, ukuran, warna, dan tepian (margin). Beberapa isolat yang berhasil diisolasi dapat dilihat pada Tabel 2. Isolat tersebut merupakan hasil isolasi dari tauco dan asinan sawi yang kemungkinan merupakan mikroba yang berperan dalam proses fermentasi bahan pangan itu sendiri. Proses fermentasi tauco ada dua tahap, yaitu fermentasi oleh kapang dan fermentasi dalam larutan garam oleh bakteri asam laktat dan khamir. Nurwitri et al (2007) menjelaskan bahwa dalam bakteri yang tumbuh selama fermentasi garam pada pembuatan tauco adalah L. delbrueckii. Pada pangan fermentasi berbasis sayuran seperti asinan sawi proses fermentasi umumnya dilakukan dalam larutan garam dan fermentasi berlangsung secara spontan dengan memanfaatkan mikroba-mikroba yang telah ada pada sayuran itu sendiri. Beberapa jenis bakteri yang berperan dalam fermentasi sayuran antara lain Leuconostoc mesenteroides, L. brevis dan Pediococcus cerevisiae (Nurwitri et al 2007). Mikroba penghasil zona bening yang diperoleh pada saat isolasi tersebut kemungkinan merupakan bakteri asam laktat (BAL). Beberapa BAL yang diketahui memiliki aktivitas proteolitik antara lain Lactococcus lactis ssp cremoris, Lactobacillus delbrueckii ssp bulgaricus and Lactobacillus casei (Shin 2004), L. bulgaricus (Courtin et al 2002), Lactobacillus rhamnosus (Pastar et al 2003), Lactobacillus paracasei (Bintsis et al 2003), Lactobacillus helveticus (Oberg et al 2002), L. delbrueckii (Germond et al 2003), Lactobacillus brevis, Lactobacillus cellobiosus, Lactobacillus fermentum and Lactobacillus plantarum (Mugula et al 2003). Dari beberapa jenis BAL proteolitik tersebut, jenis BAL yang terdapat pada tauco dan asinan sawi antara lain L. delbrueckii, Lactobacillus brevis, Lactobacillus fermentum dan Lactobacillus plantarum. Untuk mengetahui isolat tersebut merupakan bakteri asam laktat maka diperlukan identifikasi berdasarkan pada karakteristik morfologi (bentuk sel), uji katalase, pewarnaan Gram, motilitas, tipe fermentasi (Rahayu dan Margino 1997 dalam Yusmarini et al 2009), dan pengujian pada medium MRS. Isolat murni yang menunjukkan kriteria katalase negatif (-), Gram positif (+), dan non motil diidentifikasi sebagai BAL. Selain itu, identifikasi molekuler menggunkan PCR (16S rDNA) juga dapat dilakukan untuk mengetahui dengan pasti jenis bakteri tersebut. Tabel 2. Ciri morfologi koloni isolat No. Isolat Sumber 1 TCN 1 Tauco Ciri Koloni bentuk bulat, ukuran medium, berwarna putih opaque, tepian entire 2 TCN 2 Tauco bentuk tidak beraturan, ukuran large, berwarna putih opaque, tepian undulate 3 TCN 3 Tauco bentuk tidak beraturan, ukuran large, berwarna translusens, tepian undulate 4 DSN 1 Asinan sawi bentuk bulat, ukuran large, berwarna putih opaque, tepian undulate Isolat yang menghasilkan zona bening selanjutnya diukur diameter koloni dan diameter zona beningnya untuk memperoleh indeks protease. Indeks protease adalah perbandingan diameter zona bening koloni dengan diameter koloni isolat. Semakin besar zona bening yang dihasilkan berarti semakin besar pula kemampuan isolat tersebut untuk menghasilkan enzim protease (Yusmarini et al 2009). Pada penelitian ini, isolat yang memiliki indeks protease paling tinggi adalah isolat TCN 2 yakni sebesar 4.00. Indeks proteolitik masing-masing isolat dapat dilihat pada Tabel 3. No. Isolat 1 2 3 4 TCN 1 TCN 2 TCN 3 DSN 1 Tabel 3. Indeks Protease Isolat Diameter isolat Diameter zona bening (cm) (cm) 0.40 1.30 0.40 1.60 0.40 1.20 0.40 1.40 Indeks Protease 3.25 4.00 3.00 3.50 Zona bening Koloni isolat Gambar 7. Contoh zona bening dari isolat TCN 2 pada medium skim milk agar 4.2 Pengukuran Aktivitas Enzim dan Seleksi Isolat 4.2.1 Kurva Pertumbuhan Isolat Isolat yang digunakan untuk menghasilkan enzim harus diketahui terlebih dahulu kurva pertumbuhannya agar dapat ditentukan waktu pemanenan enzimnya. Umumnya mikroba yang digunakan untuk menghasilkan enzim berada pada saat fase log/eksponensial. Dalam kurva pertumbuhan mikroba terdapat empat fase pertumbuhan, yaitu fase adaptasi (lag phase), fase log/eksponensial, fase stationer, dan fase kematian. Fase log atau eksponensial merupakan fase di mana kecepatan pembelahannya paling tinggi, waktu generasinya pendek dan konstan. Selama fase ini,metabolisme sangat pesat sehingga sintesis bahan sel sangat cepat dan konstan. Keadaan ini berlangsung terus hingga salah satu atau beberapa nutrien habis atau telah terjadi penimbunan atas hasil metabolisme yang bersifat racun yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan (Hidayat et al 2006). Dari kurva pertumbuhan pada Gambar 8 diperoleh bahwa pada jam ke-0 belum terlihat adanya kekekeruhan pada medium yang berisi inokulum. Pada tahap ini terjadi fase adaptasi. Suatu mikroba yang dimasukkan ke dalam medium baru umumnya tidak segera membelah diri melainkan menyesuaikan diri dengan medium terlebih dahulu. Setelah mikroba mampu menyesuaikan diri dengan medium kultur, sel mikroba secara perlahan akan mulai membelah diri hingga kemudian selnya bertambah dengan kecepatan pertumbuhan yang semakin meningkat. Suatu keadaan di mana pertumbuhan mikroba sangat pesat disebut fase log atau eksponensial. Pada pengamatan ini, terlihat 2,0 Absorbansi (a) 1,5 1,0 0,5 0,0 0 24 48 72 96 120 Lama inkubasi (jam) 2,0 Absorbansi (b) 1,5 1,0 0,5 0,0 0 24 48 72 96 120 Lama inkubasi (jam) 2,0 Absorbansi (c) 1,5 1,0 0,5 0,0 0 24 48 72 96 120 Lama inkubasi (jam) (d) Absorbansi 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 0 24 48 72 96 120 Lama inkubasi (jam) Gambar 8. Kurva pertumbuhan isolat TCN 1 (a), TCN 2 (b), TCN 3 (c), dan DSN 1 (d) bahwa semua isolat memiliki kekeruhan inokulum yang paling tinggi pada jam ke-24. Pada tahap ini diduga bahwa isolat sudah mencapai fase log sehingga untuk pemanenan enzim dilakukan pada jam ke-24. Pada fase log jumlah sel mikroba sangat banyak dalam menghasilkan metabolit utama seperti enzim. Setelah sel mikroba mencapai kecepatan pertumbuhan yang paling tinggi, selanjutnya jumlah sel tersebut akan konstan yang disebut fase stationer. Hal ini disebabkan adanya penurunan kadar nutrisi dan penimbunan zat-zat racun yang menghambat kecepatan pembelahan sel, sehingga jumlah mikroba yang hidup dengan mikroba yang mati akan sama. Fase ini kemudian dilanjutkan dengan fase kematian di mana kecepatan kematian semakin meningkat sedangkan kecepatan pertumbuhannya menjadi nol. Penurunan jumlah sel ini mulai terjadi setelah inkubasi jam ke-24 hingga jam ke-120. Hal ini disebabkan karena nutrisi pada medium sudah semakin berkurang dan banyak sel mikroba yang telah mati. 4.2.2 Aktivitas Enzim Penggumpal Susu Isolat yang menghasilkan zona bening pada medium isolasi agar susu skim kemudian diuji aktivitas enzim penggumpal susu. Penggumpalan susu merupakan prinsip dasar pada pembuatan keju. Umumnya, penggumpalan susu dalam pembuatan keju melibatkan enzim renin atau renet, yaitu ekstrak kasar dari lambung anak sapi. Dalam pembuatan keju, renet biasanya ditambahkan ke dalam susu setelah penambahan kultur starter. Kalsium memiliki peranan yang penting dalam proses koagulasi dengan menggunakan renet, oleh karena itu dalam pembuatan keju biasanya dilakukan penambahan CaCl2. Begitu juga pada pengukuran aktivitas penggumpalan susu, larutan CaCl2 digunakan sebagai pelarut susu skim. Penambahan CaCl2 bertujuan memperbaiki tekstur dari curd yang dihasilkan (Daulay 1990). Pada Gambar 9 ditunjukkan bahwa keempat isolat memiliki aktivitas penggumpalan susu yang paling tinggi pada waktu inkubasi jam ke-24. Beberapa penelitian melaporkan bahwa waktu fermentasi optimum untuk beberapa mikroba penghasil enzim penggumpal susu antara 1-8 hari; 1 hari untuk Bacillus subtilis (Shieh et al 2009), 4 hari intuk Mucor miehei (Escobar dan Barnett 1990), 3 hari untuk M.pusillus (Arima et al 1970), 3 hari untuk Amylomyces rouxii (Yu dan Chou 2005), 3-4 hari untuk M. Baciliformis (Areces et al 1992), dan 8 hari untuk P. Oxalicum (Hashem 1999). Mulai pada jam ke-48 aktivitas penggumpalan susu mulai menurun hingga jam ke-120. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah substrat sehingga pembentukan kompleks enzim-substrat juga ikut menurun. Pada Gambar 9 ditunjukkan bahwa isolat TCN 1 memiliki aktivitas penggumpalan susu sebesar 29.17 U/mL sedangkan isolat TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 memiliki aktivitas 70 U/mL. Isolat TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 memiliki aktivitas yang paling tinggi, artinya semakin tinggi aktivitas penggumpalannya semakin singkat waktu yang dibutuhkan enzim tersebut untuk menggumpalkan susu hingga whey terpisah. Proses penggumpalan susu oleh renin terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama merupakan perubahan kappa-kasein menjadi para-kasein oleh enzim dan tahap kedua para-kasein digumpalkan oleh proses pemanasan dengan adanya ion kalsium. Renin bekerja pada substrat kappa-kasein yang berfungsi sebagai koloid yang merupakan lapisan luar kasein, sehingga dengan menghidrolisis kappakasein kasein lebih mudah tergumpalkan secara sempurna dengan syarat ion kalsium tersedia dalam larutan tersebut (Winarno 2010). Aktivitas Penggumpalan susu (U/mL) 90 80 70 60 50 Isolat TCN 1 40 Isolat TCN 2 30 Isolat TCN 3 20 Isolat DSN 1 10 0 0 24 48 72 96 120 Lama Inkubasi (jam) Gambar 9. Aktivitas enzim penggumpal susu isolat Dalam penggunannya, renin dapat digunakan dalam dua bentuk yakni renet cair dan renet dalam bentuk padatan seperti bubuk atau pelet. Bentuk renet yang ditambahkan dapat mempengaruhi aktivitas enzim penggumpal susu. Renet dalam bentuk cair memiliki aktivitas penggumpalan susu sebesar 9600 U/mL (Thakur et al 1990) sedangkan dalam bentuk padatan memiliki aktivitas 6200 U/mg (Nerud et al 1989). Selain itu, enzim penggumpal susu dari mikroba juga memiliki aktivitas penggumpalan susu yang berbeda tergantung bentuk penggunaannya. Enzim penggumpal susu dari Mucor pusillus var. Lindt dalam bentuk cair memilki aktivitas penggumpalan susu sebesar 800 U/mL sedangkan dalam bentuk padatan memiliki aktivitas 100 U/mg (Winarno 2010). Hal ini menunjukkan bahwa proses pembuatan dan pemurnian enzim mempengaruhi aktivitas enzim tersebut. Berdasarkan literatur, aktivitas penggumpalan susu oleh isolat pada penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan aktivitas penggumpalan susu oleh renin dalam bentuk renet. Untuk mengetahui efektifitas penggunaan enzim penggumpal susu dari isolat tersebut maka dilakukan pengukuran aktivitas protease supaya diperoleh rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease yang digunakan sebagai indeks penentu kemampuan suatu ekstrak enzim sebagai pengganti renin. Secara umum, aktivitas enzim dipengaruhi oleh suhu dan pH. Suhu yang digunakan selama reaksi penggumpalan adalah 40oC. Penentuan suhu ini berdasarkan suhu optimum agar terbentuk gel yang baik akibat penambahan renin adalah 40oC (Winarno 2010) dan pada umumnya pembuatan keju dilakukan pada suhu 40oC. Hampir semua enzim memiliki aktivitas optimum pada suhu 30-40oC dan mulai terdenaturasi pada suhu 45oC (Winarno 2010). Medium susu skim yang digunakan sebagai substrat memiliki pH 6. Renin termasuk ke dalam golongan protease asam, yakni aktif pada pH rendah, maka pengujian aktivitas penggumpalan susu dilakukan pada kisaran pH 5.5-7.0. Gumpalan susu Gambar 10. Pembentukan gumpalan susu pertama oleh aktivitas enzim isolat 4.2.3 Aktivitas Protease Isolat yang mampu menggumpalkan susu selanjutnya diuji aktivitas proteasenya. Pengukuran aktivitas protease ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan isolat dalam memecah protein menjadi peptida dan asam amino. Kemampuan protease dalam memecah protein akan mempengaruhi flavor atau citarasa akibat terbentuknya peptida dan asam amino tersebut. Pada pengukuran aktivitas ini diharapkan isolat terpilih memiliki aktivitas protease yang rendah, hal ini dikarenakan aktivitas protease yang tinggi dapat menimbulkan citarasa yang pahit pada produk keju yang akan dihasilkan. Aktivitas protease masing-masing isolat dapat dilihat pada Gambar 11. Hasil pengukuran aktivitas protease pada keempat isolat menunjukkan bahwa isolat TCN 1, TCN 3, dan DSN 1 memiliki aktivitas protease paling tinggi pada jam ke-48 yakni berturut-turut 0.0117 U/mL; 0.0150 U/mL; 0.0200 U/mL, sedangkan isolat TCN 2 memiliki akivitas protease paling tinggi pada jam ke-96 yakni sebesar 0.0021 U/mL. Aktivitas protease ini tergolong sangat rendah. Hal ini sesuai dengan harapan bahwa isolat yang diinginkan memiliki aktivitas protease yang rendah sehingga tidak menimbulkan cita rasa yang pahit pada keju yang dihasilkan. Sama halnya dengan aktivitas enzim penggumpal susu, tinggi rendahnya aktivitas protease juga dipengaruhi oleh konsentrasi substrat, suhu, dan pH. Aktivitas Protease (U/mL) 0,025 0,020 0,015 Isolat TCN 1 Isolat TCN 2 0,010 Isolat TCN 3 0,005 Isolat DSN 1 0,000 0 24 48 72 96 120 144 Lama inkubasi (jam) Gambar 11. Aktivitas enzim protease isolat 4.2.4 Rasio Aktivitas Penggumpalan Susu terhadap Protease Isolat yang telah diuji aktivitas penggumpalan susu dan proteasenya kemudian dihitung rasio aktivitas penggumpalannya terhadap protease. Nilai rasio ini akan menentukan isolat mana yang akan dipergunakan selanjutnya untuk menghasilkan enzim penggumpal susu. Isolat terpilih yang selanjutnya akan diproduksi enzimnya adalah isolat yang memiliki aktivitas penggumpalan susu yang paling tinggi dengan aktivitas protease yang paling rendah. Aktivitas enzim yang dipilih adalah aktivitas enzim pada jam ke-24 karena pada waktu tersebut semua isolat menunjukkan aktivitas penggumpalan susu yang paling tinggi dengan aktivitas protease yang rendah. Hasil perhitungan rasio enzim penggumpal susu terhadap protease dari keempat isolat dapat dilihat pada Tabel4. Pada tabel tersebut ditunjukkan bahwa isolat TCN 2 memiliki nilai yang paling tinggi sebesar 175000. Pada penelitian ini, isolat TCN 2 merupakan isolat terpilih yangdapat dimanfaatkan enzimnya sebagai alternatif pengganti renin anak sapi. Tabel 4. Rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease Aktivitas Aktivitas penggumpalan Isolat protease Rasio susu (U/mL) (U/mL) TCN 1 29.17 0.0054 5402 TCN 2 70.00 0.0004 175000 TCN 3 70.00 0.0096 7292 DSN 1 70.00 0.0021 33333 Beberapa penelitian yang dilaporkan menunjukkan bahwa isolat TCN 2 memiliki rasio aktivitas penggumpalan yang lebih tinggi dibandingkan beberapa enzim penghasil penggumpal susu dari mikroba lain. Selain itu, ketiga isolat lain juga memiliki rasio penggumpalan susu terhadap protease yang juga lebih tinggi dibandingkna beberapa sumber lain. Hal ini menunjukkan bahwa isolat lain seperti TCN 1, TCN 3, dan DSN 1 juga memiliki potensi untuk menjadi alternatif pengganti renin dalam pembuatan keju. Rasio ini dapat meningkat apabila dilakukan optimasi kondisi fermentasi isolat selama produksi enzim. Oleh karena itu, untuk kelanjutan penelitian sebaiknya dilakukan optimasi terhadap kondisi fermentasi seperti konsentrasi substrat, suhu inkubasi, pH medium, kecepatan agitasi, dan pengaruh penambahan mineral seperti kalsium agar aktivitas penggumpalan susu dan rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease lebih maksimal. Perbandingan rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease isolat TCN 2 dengan beberapa sumber enzim yang telah dikomersialkan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease isolat TCN 2 dengan beberapa enzim penggumpal susu dari mikroba lain Aktivitas Aktivitas penggumpalan Sumber enzim protease Rasio susu (U/mL) (U/mL) Isolat TCN 2 70 0.0004 175000 Aspergillus niger MC4 (Channe dan Shewale 1998) 400 0.01 40000 Mucor rennin 511 0.11 4650 B. Subtilis natto (Shieh et al 2009) 685 0.23 2981 Pfizer mikrobial rennin 750 0.29 2590 Thermomucor indicae-seudaticae N31 (Dini et al 2010) 56 0.6 93