II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam mengkaji penelitian ini, ada beberapa tinjauan teori yang
mendukung sebagai alat bantu teoritis untuk menganalisis faktor-faktor yang
memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil, diantaranya adalah sebagai berikut :
2.1. Definisi Nilai Tukar
Nilai tukar (exchange rate) dapat didefinisikan sebagai harga satuan mata
uang yang ditentukan oleh negara lain (Mishkin, 2001). Nilai tukar ini tentunya
memengaruhi ekonomi suatu negara dan kehidupan masyarakat karena mata uang
domestik atau mata uang dalam negeri dapat lebih bernilai secara relatif terhadap
mata uang negara lain. Hal ini dapat ditinjau dari harga relatif komoditi domestik
dan luar negeri. Nilai tukar yang terjadi antara dua negara adalah tingkat harga
yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan
(Mankiw, 2000). Nilai tukar sendiri dibagi menjadi tiga jenis yakni nilai tukar
nominal, nilai tukar riil, dan nilai tukar efektif. Nilai tukar nominal (e) adalah
harga relatif dari mata uang dua negara. Sebagai contoh nilai tukar nominal antara
Indonesia dengan Amerika sebesar Rp 9.000 per dolar maka untuk memperoleh
satu dolar Amerika (1 US$) maka Indonesia harus menukarkannya dengan Rp
9.000,00. Nilai tukar nominal ini merupakan nilai par (par value) dalam masingmasing mata uang negara lain sehingga disebut official rate. Menurut Moosa
(2004) nilai tukar nominal (e) dapat dirumuskan sebagai berikut :
e=Pd/Pf
(2.1)
dimana Pd adalah tingkat harga domestik dan Pf adalah tingkat harga luar negeri.
Nilai tukar riil (q) adalah harga relatif dari barang-barang di antara dua
negara (Mankiw, 2000).
Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana barang-
barang diperdagangkan dari suatu negara untuk barang-barang negara lain. Nilai
tukar riil disebut juga terms of trade.
Sebagai contoh analogi, barang yang
diproduksi oleh banyak negara yaitu komputer. Harga komputer Amerika adalah
11
500 US$ dan harga komputer Jepang adalah 150000 yen. Nilai 1 US$ adalah 150
yen. Apabila membelinya di Jepang maka harga komputer Amerika menjadi
75000 yen. Dengan mengubahnya menjadi mata uang domestik Jepang maka
harga komputer dapat dibandingkan yaitu harga komputer Amerika adalah
setengah dari harga komputer Jepang. Menurut Batiz (1994) nilai tukar riil dapat
dirumuskan sebagai berikut :
q = e (P* / P)
(2.2)
dimana e adalah nilai tukar nominal baik itu sebagai domestic currency atau
foreign currency, P* adalah tingkat harga luar negeri, dan P adalah tingkat harga
domestik.
Nilai tukar efektif merupakan bobot nilai tukar rata-rata antara mata uang
domestik terhadap valuta asing dari negara yang menjadi mitra dagangnya,
sedangkan yang menjadi bobot penimbangnya adalah arti penting relatif hubungan
dagang negara itu dengan setiap mitra dagangnya. Menurut Moosa (2004) kurs
efektif pada waktu t dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari kurs relatif, dan
dapat dirumuskan sebagai berikut :
=
(2.3)
=
(2.4)
=
,
,
(2.5)
dimana Et adalah kurs efektif nominal pada waktu ke-t, m adalah jumlah mata
uang negara mitra dagang utama, wi adalah rata-rata perdagangan yang
didenominasikan dalam mata uang negara i, Vit adalah kurs relatif dari mata uang
negara i pada waktu t, Si adalah kurs pada spot market saat ini, S0 adalah kurs pada
periode dasar, Xi adalah nilai ekspor domestik ke negara i dan Mi adalah nilai
impor dari negara i.
12
2.2. Rezim Nilai Tukar
Pilihan dari rezim nilai tukar dan dampak dalam ekonomi sebuah negara
merupakan salah satu dari banyak topik yang sering dikaji dalam kebijakan
ekonomi. Rezim ini dilihat sebagai dasar ekonomi yang hanya memengaruhi
variabel nominal ekonomi dalam negara yang terlibat dan tidak pada tingkah laku
riilnya. Pada awalnya ada dua jenis rezim yang dipakai oleh sebuah negara
berdasarkan model Mundell-Flemming yaitu rezim nilai tukar tetap (fixed
exchange rate) dan rezim nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Dua
rezim ini disebut juga sebagai bipolar view karena menyoroti kemudahan dalam
pengaturan sangat ketat (super-fixed arrangnment) atau acuan yang tegas (hard
pegs) seperti currency boards atau dolarisasi sepihak sebagai jalan untuk
membeli kepercayaan yang dibutuhkan untuk menghindari serangan spekulasi
mata uang (Sturzenegger dan Yeyati, 2002). Currency boards adalah aturan
dimana bank sentral memegang mata uang yang cukup untuk mendukung mata
uang yang domestik.
Pada rezim nilai tukar tetap, bank sentral sebuah negara menentukan dan
mengumumkan nilai kurs dan siap membeli dan menjual mata uang domestik
untuk mempertahankan kurs sesuai dengan tingkat yang ditentukan (Mankiw,
2000). Artinya, bank sentral sebuah negara harus memiliki cadangan devisa untuk
membiayai apabila terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran sehingga nilai
tukar dapat dipertahankan. Sebagai contoh, apabila Bank Sentral Amerika Fed
menetapkan nilai tukar tetap pada mata uang yen sebesar 150 yen per dolar. Ini
menunjukkan bahawa Bank Sentral Amerika Fed siap untuk memberi 1 US$
untuk ditukar dengan 150 yen atau memberi 150 yen untuk ditukar dengan 1 US$.
Untuk menjalankan kebijakan ini, Fed sebagai bank sentral Amerika harus
menyediakan cadangan dolar (untuk dicetak) dan cadangan yen (yang harus dibeli
sebelumnya). Secara histori, rezim nilai tukar tetap telah ada pada tahun 1950-an
dan 1960-an, dimana banyak negara ekonomi dunia, termasuk Amerika Serikat
menyepakati perjanjian Bretton-Woods. Perjanjian Bretton-Woods berisi sistem
moneter internasional yang disepakati oleh banyak negara untuk menentukan mata
uang negara secara tetap kepada mata uang jangkar saat itu yakni dolar Amerika
Serikat (US$).
Sistem ini mempunyai tujuan yaitu menghindarkan diri dari
13
kemungkinan terlalu berfluktuasinya nilai tukar yang menagadopsi rezim
mengambang bebas dan sistem Bretton-Woods disusun untuk menghindarkan dari
dari kemungkinan negara-negara anggota melakukan devaluasi nilai mata
uangnya untuk menyelesaikan ketidakseimbangan neraca pembayaran yang
dihdapi. Tetapi perkembangan sistem Bretton-Woods hanya sampai pada tahun
1970-an dan sejak tahun 1970-an, fluktuasi nilai tukar riil melonjak secara
dramatis.
Pada rezim nilai tukar mengambang bebas, kurs ditentukan oleh pasar dan
dibiarkan berfluktuasi dengan bebas untuk menanggapi kondisi perekonomian
yang sedang berubah. Pada rezim ini, nilai tukar nominal (e) menyesuaikan untuk
mencapai keseimbangan simultan di pasar barang dan pasar uang. Selain itu bank
sentral negara tersebut tidak ikut campur dalam penentuan nilai tukar. Kelebihan
dari rezim nilai tukar mengambang bebas adanya penyesuaian yang lebih baik
apabila terjadi defisit atau surplus neraca pembayaran, memberikan kesempatan
lebih banyak pada individu atau bank sentral untuk menyusun kembali portofolio,
dan bank sentral tidak perlu memiliki cadangan devisa yang banyak untuk
menjaga likuiditas sehingga bank sentral memiliki kesempatan yang lebih untuk
melakukan yang lebih independen.
Rezim nilai tukar yang diadopsi oleh sebuah negara mempunyai pengaruh
dan peranan yang cukup signifikan dalam meminimalisasi resiko dari fluktuasi
nilai tukar yang mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.
Menurut Mussa (1986) substansi dan perbedaan sistematik dalam pola fluktuasi
nilai tukar riil menyangkal hipotesis kenetralan rezim nilai tukar nominal.
Kenetralan rezim nilai tukar ini konsisten dengan model market-clearing sebagai
penentu harga tingkat nasional.
Model market-clearing menjelaskan bahwa
tingkat komoditi yang ditawarkan sama dengan tingkat komoditi yang diminta.
Apabila sejalan dengan hipotesis kenetralan rezim nilai tukar nominal, seharusnya
rasio harga tingkat nasional harus menunjukkan dengan jelas kesamaan derajat
fluktuasi di bawah rezim nilai tukar nominal tetap. Sebagai gambaran, fluktuasi
nilai tukar riil di bawah rezim nilai tukar mengambang bebas, rasio harga tingkat
nasional menunjukkan fluktuasi terlalu kecil di bawah rezim nilai tukar tetap.
14
Sedangkan stabilitias nilai tukar riil di bawah rezim nilai tukar tetap, rasio harga
tingkat nasional menunjukkan fluktuasi terlalu kecil di bawah rezim mengambang
bebas.
Seharusnya, rasio harga tingkat nasional di bawah rezim nilai tukar
mengambang bebas pergerakannya tidak cukup untuk mengimbangi fluktuasi nilai
tukar nominal di bawah rezim nilai tukar mengambang bebas itu sendiri dan
dengan demikian untuk menjaga kesimbangan stabilitas kurs riil dikaji melalui
rezim nilai tukar tetap. Kesimpulan akhir yang diperoleh rasio harga di tingkat
nasional menunjukkan fluktuasi terlalu kecil, di bawah salah satu rezim nilai
tukar, yang menyiratkan hipotesis kenetralan rezim nilai tukar nominal.
Berdasarkan model Mundell-Fleming, kaitan antara dampak kebijakan
dengan rezim nilai tukar yang diadopsi oleh suatu negara dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 2.1. Kaitan antara Dampak Kebijakan dengan Rezim Nilai Tukar
Rezim Kurs
Kebijakan
Ekspansi Fiskal
Ekspansi Moneter
Hambatan Impor
Mengambang
Tetap
berdampak pada
Y
e
NX
Y
e
0
↑
↓
↑
↑
↓
↑
0
0
↑
0
↑
0
0
0
NX
0
0
↑
Sumber: Mankiw, 2000
Tabel 2.1. diperlihatkan arah dari pengaruh berbagai kebijakan ekonomi terhadap
pendapatan Y, kurs nominal e, dan neraca perdagangan NX.
Tanda “↑ ”
menunjukkan bahwa variabel meningkat, tanda “↓ ” menunjukkan variabel
menurun, tanda “0” menunjukkan tidak ada dampak.
Pada perkembangannya rezim nilai tukar mengalami perubahan seperti
adanya rezim nilai tukar tertambat (pegged exchange rate) dimana suatu negara
menambatkan mata uangnya dengan suatu mata uang atau sekelompok mata uang
lain yang biasanya merupakan mata uang negara mitra dagang utama. Ini berarti
mata uang tersebut bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya.
Jadi mata uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi terhadap mata uang
lain, tetapi mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya.
15
Kemudian rezim nilai tukar merangkak (crawling peg rates) dimana negara
melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya secara periodik dengan
tujuan bergerak menuju suatu nilai tertentu pada rentang waktu tertentu.
Keuntungan dari rezim ini adalah suatu negara dapat mengatur penyesuaian
kursnya dalam periode yang lebih lama dibandingkan rezim nilai tukar tertambat.
Ada lagi yang disebut rezim nilai tukar mengambang bebas terkendali (managed
floating exchange rate system) dimana suatu negara menerapkan nilai tukar
mengambang terkendali apabila bank sentral melakukan intervensi di pasar valuta
asing tetapi tidak ada komitmen untuk mempertahankan nilai tukar secara berkala
atau mengurangi tingkat fluktuasi pada tingkat moderat, serta mencegah
pergerakan nilai yang terlalu besar (Simorangkir dan Sueno, 2005 dalam
Partisiwi, 2008).
Tabel 2.2. Rezim Nilai Tukar Negara dalam Seluruh Kawasan
Negara
Mata Uang
Sistem Nilai Tukar
Indonesia
Malaysia
Singapura
Filipina
Thailand
Jepang
Korea Selatan
Australia
New Zealand
China
India
Jerman
Perancis
Inggris
Kanada
Meksiko
Amerika Serikat
Rupiah
Ringgit
Dollar Singapura
Peso Filipina
Bath
Yen
Won
Dollar Australia
Dollar New Zealand
Yuan
Rupee
Euro
Euro
Poundsterling
Dollar Kanada
Peso Meksiko
Dollar Amerika Serikat
Mengambang Terkendali
Mengambang Terkendali
Mengambang Terkendali
Mengambang Bebas
Mengambang Terkendali
Mengambang Bebas
Mengambang Bebas
Mengambang Bebas
Mengambang Bebas
Merangkak (Crawling Peg)
Mengambang Terkendali
Mengambang Bebas
Mengambang Bebas
Mengambang Bebas
Mengambang Bebas
Mengambang Bebas
Mengambang Bebas
Sumber: IMF, De Facto Classification of Exchange Rate Regimes and Monetary Policy
Frameworks, 2008
2.3. Teori Paritas Daya Beli
Salah satu teori yang terkenal bagaimana menentukan nilai tukar adalah
teori paritas daya beli (theory of purchasing power parity (PPP)). Teori paritas
16
daya beli menetapkan bawa nilai tukar antara dua mata uang akan disesuaikan
untuk merefleksikan perubahan tingkat harga dalam dua negara (Mishkin, 2001).
Teori ini merupakan penyederhanaan sebuah aplikasi dari hukum satu harga (the
law of one price) terhadap harga tingkat nasional daripada harga individu.
Implikasinya bahwa harga komoditi yang diperdagangkan antarnegara haruslah
sama walaupun didenominasikan dalam mata uang yang berlaku. Menurut Kutan
dan Dibooglu (1998) paritas daya beli juga mengimplikasikan nilai tukar yang
stasioner. Sebagai contoh harga baja Jepang meningkat 10 %, yang pada awalnya
10.000 yen menjadi 11.000 yen, relatif terhadap harga dolar Amerika Serikat,
belum berubah di titik 100 US $. Oleh karena itu nilai tukar harus meningkat
sampai 110 yen terhadap dolar, sehingga nilai tukar riil apresiasi 10 % terhadap
dolar. Pengaplikasian hukum satu harga terhadap tingkat harga dalam dua negara
menghasilkan teori paritas daya beli, sehingga apabila di Jepang tingkat harga
meningkat 10% relatif terhadap tingkat harga di Amerika Serikat, maka dolar
akan mengalami apresiasi 10 %. Menurut Batiz (1994) paritas daya beli dapat
dibagi menjadi dua yaitu paritas daya beli absolut (absolute purchasing power
parity) dan paritas daya beli relatif (relative purchasing power parity). Paritas
daya beli absolut menyatakan bahwa kurs memiliki hubungan dengan harga relatif
suatu barang. Hubungan antara kurs dengan tingkat harga umum dirumuskan
sebagai :
P = e P*
(2.6)
dimana P adalah harga domestik, e adalah kurs nominal, dan P* adalah harga luar
negeri (harga impor). Paritas daya beli relatif menyatakan bahwa perubahan kurs
sepanjang waktu t ke t + T akan sebanding dengan perubahan paritas daya beli
antar dua negara. Dalam konsep paritas daya beli relatif, dibutuhkan adanya
penghitungan periode dasar (base period). Persamaan paritas daya beli relatif
dapat dirumuskan sebagai berikut :
(
dimana
)/
=(
)/ (1 +
)
(2.7)
adalah nilai tukar yang diharapkan (expected exchange rate),
adalah kurs pada periode dasar (base period),
adalah inflasi di dalam negeri,
17
dan
adalah inflasi di luar negeri.
Implikasi dari persamaan ini yaitu
perubahan dalam ekspektasi kurs (expected exchange rate) akan berhubungan
dengan perubahan dengan ekspektasi inflasi (expected inflation).
2.4. Consumer Price Index (CPI)
Consumer Price Index merupakan ukuran harga rata-rata berbagai komoditi
yang biasanya dibeli oleh rumah tangga dan CPI ini dapat digunakan untuk
menghitung laju inflasi (Lipsey, 1995). Dalam definisi yang lain yaitu harga
sekelompok barang dan jasa reklatif terhadap harga sekolompok barang dan jasa
yang sama pada tahun dasar (Mankiw, 2000).
Consumer Price Index dapat
digunakan untuk membangun tingkat riil, dan CPI merupakan ukuran yang paling
banyak digunakan untuk menghitung harga domestik, dimana CPI luar negeri
merepresentasikan harga-harga barang tradable luar negeri, CPI bersama nilai
tukar nominal digunakan sebagai ukuran.
2.5. Jumlah Uang Beredar (Money Supply)
Jumlah uang yang tersedia disebut penawaran uang (Mankiw, 2000).
Dalam arti yang lebih luas, jumlah penawaran uang dapat dibedakan menjadi tiga
jenis yaitu terdiri dari base money (M0), M1, M2, dan M3. Uang beredar yang
dipengaruhi oleh bank sentral sebagai instrumen kebijakan moneter yaitu M0
(base money).
Komposisi jumlah uang yang beredar di masyarakat dapat
dibedakan menjadi dua bagian. Pertama adalah uang beredar dalam pengertian
sempit, yang digunakan untuk transaksi yaitu M1 (narrow money), dan kedua
adalah uang beredar dalam pengertian luas yang biasa disebut dengan M2 (broad
money). Komposisi jumlah uang beredar M1 dan M2 adalah sebagai berikut
(Mishkin, 2001) :
M1 = M0 + traveler’s checks + demand deposits + other checkable deposit (2.8)
M2 = M1 + small-denomination time deposits and repurchase
agreements + saving deposit and money market deposits accounts
(2.9)
18
M3 = M2 + large-denomination time deposits and repurchase
agreements + money market mutual fund shares (institutional)
+ term repurchase agreements + term Eurodollars
(2.10)
2.6. Keterbukaan Ekonomi (Openness of the Economy)
Keterbukaan ekonomi merupakan indikator untuk memperlihatkan seberapa
besar tingkat ekspor impor suatu negara. Keuntungan dari keterbukaan ekonomi
antara lain yaitu pertama, bagi negara yang pasar domestiknya relatif kecil, maka
potensi sumber daya yang ada tetap dapat diolah untuk dijual ke luar negeri.
Kedua, keterbukaan ekonomi akan mengarahkan suatu negara pada produktivitas
dan efisiensi produksi. Hal ini yang mendorong daya saing suatu negara untuk
meningkatkan posisinya pada perdagangan internasional.
Dengan adanya
keterbukaan ini, permintaan barang yang dapat diimpor meningkat dan
permintaan untuk barang nontradable menurun sebagai respon terhadap
perubahan harga relatif.
Dalam jangka pendek, perdagangan menyebabkan
individu meningkatkan konsumsi sehingga permintaan tinggi termasuk barang
nontradable.
Hal ini juga sebagai antisipasi harga yang tinggi karena tidak
ditetapkannya liberalisasi perdangangan.
Konsekuensinya harga barang
nontradable meningkat. Ini tentunya berdampak pada penurunan harga relatif
barang ekspor dan barang impor sementara harga perdagangan dunia konstan.
Secara umum, teori ekonomi yang mendukung yakni liberalisasi
perdagangan berhubungan dengan depresiasi nilai tukar riil. Menurut Zakaria
(2011) nilai tukar riil akan terdepresiasi jika liberalisasi perdagangan merupakan
sifat yang tetap atau permanen, dimana bentuk sementara akan mengarahkan
apresiasi nilai tukar dalam jangka pendek. Literatur empiris menjelaskan efek
keterbukaan ini mempunyai pengaruh yang positif dan membuat nilai tukar
depresiasi setelah adanya perdagangan bebas. Tetapi ada juga penelitian empiris
yang menunjukkan tidak signifikan terhadap nilai tukar riil (Edwards, 1987 dalam
Zakaria 2011). Perbedaan hasil ini disebabkan periode waktu yang berbeda untuk
negara yang berbeda dan mempunyai metode yang berbeda juga.
19
2.7. Pendekatan Konseptual Guncangan Struktural
Fluktuasi nilai tukar riil dipengaruhi oleh guncangan struktural (structural
shocks). Perbedaan model dari keseimbangan nilai tukar memberikan penekanan
adanya faktor struktural yang berbeda sebagai determinan pergerakan jangka
panjang nilai tukar.
Sesuai dengan model Balassa-Samuelson, nilai tukar
ditentukan oleh produktivitas relatif di sektor tradable dan non-tradable, seperti
sisi penawaran ekonomi. Menurut Caporale, Amor dan Rault (2000) ada empat
tipe guncangan struktural terhadap nilai tukar riil diantaranya pertama guncangan
domestik riil yang memengaruhi penawaran atau disebut supply shocks, seperti
guncangan produktivitas, perubahan produktivitas relatif domestik terhadap luar
negeri, kedua adalah guncangan domestik riil yang memengaruhi permintaan atau
disebut demand shocks, seperti perubahan konsumsi, perubahan relatif
pengeluaran pemerintah, hubungan pasar sebagai tempat akses komoditi domestik
dan luar negeri dan tingkah laku investasi, ketiga yaitu guncangan eksternal riil
(external real shocks) seperti perubahan ketentuan perdagangan (terms of trade)
atau variasi suku bunga luar negeri dan yang terakhir yaitu guncangan nominal
(nominal shocks) yang direfleksikan melalui permintaan uang relatif terhadap
penawaran dan perubahan nilai tukar nominal, serta efek dari liberalisasi finansial,
semuanya ini dimasukkan sebagai guncangan kebijakan keuangan.
Berdasarkan keadaan dua negara yang stokastik dan dinamika mengenai
output relatif, tingkat nilai tukar, dan harga relatif, variabel struktural yang
memengaruhi digambarkan relatif dimana keadaan luar negeri sama dengan
keadaan dalam negeri menghasilkan guncangan struktual nilai tukar riil. Menurut
Clarida dan Ghali (1995) model yang digunakan sebagai pondasi teoritis yang
diterapkan sebagai batasan yang diapakai untuk analisis identifikasi guncangan
struktural. Guncangan struktural ini dibagi menjadi tiga yaitu guncangan agregat
penawaran (aggregate supply shock), guncangan riil permintaan (real demand
shocks), dan guncangan nominal (nominal shocks). Dengan asumsi harga kaku
(sticky prices), guncangan tersebut memengaruhi tingkat output, tingkat nilai tukar
dan harga dalam jangka pendek sesuai dengan model klasik Mundell-Flemming
sebab perbedaan penting antara jangka pendek dengan jangka panjang adalah
perilaku harga. Dalam jangka panjang, harga bersifat fleksibel dan bisa
20
menanggapi perubahan dalam penawaran atau permintaan sedangkan dalam
jangka pendek, harga bersifat kaku pada tingkat yang telah ditentukan
sebelumnya. Meskipun demikian, skema yang diharapkan menuju konvergen ke
arah keseimbangan jangka panjang segera sesudah harga fleksibel secara penuh
terhadap semua guncangan. Oleh karena itu, diharapkan guncangan penawaran
(supply shocks), seperti produktivitas yang tinggi diharapkan mempunyai dampak
terhadap nilai tukar riil jangka panjang sebab guncangan penawaran positif
meningkatkan ageregat penawaran dari komoditi domestik dan tingkat
pengembalian modal. Dalam model Mundell-Flemming, modal (capital) bergerak
bebas, sehingga menciptakan aliran modal masuk (capital inflow) dan apresiasi
nilai tukar.
Dalam waktu jangka panjang, output domestik mencapai tingkat
potensialnya, harga domestik menurun, dan tingkat nilai tukar depresiasi dalam
upaya menghasilkan surplus perdagangan untuk mengimbangi akumulasi
kewajiban luar negeri.
Guncangan permintaan (demand shocks) diharapkan
memengaruhi tingkat nilai tukar riil jangka panjang.
Guncangan
permintaan
positif
meningkatkan
permintaan
komoditi
domestik, menekan harga produk domestik sehingga harganya turun dan
mengarahkan pada apresiasi nilai tukar dan peningkatan output jangka pendek.
Sepanjang waktu berjalan, pada akhirnya tingkat output yang tinggi mendorong
harga. Dengan meningkatnya harga maka tingkat output akan kembali kepada
tren jangka panjang tetapi tingkat harga menjadi lebih tinggi dan tingkat nilai
tukar juga berada pada tren tersebut. Guncangan permintaan riil tidak mempunyai
dampak jangka panjang pada output dalam model Keynesian, walaupun termasuk
variabel endogen dalam model pertumbuhan.
Guncangan nominal (nominal shocks) yang positif contohnya melalui
penurunan tingkat bunga domestik atau kebijakan jumlah uang beredar. Dalam
jangka pendek, baik nilai tukar nominal maupun riil mengalami depresiasi, harga
relatif meningkat dan output domestik juga meningkat. Sepanjang waktu berjalan,
output dan tingkat nilai tukar riil kembali pada tren jangka panjang. Menurut
Dornbusch (1976) dalam Khan, Mohammad, dan Alamgir (2009), dengan asumsi
model ketidakseimbangan harga kaku (disequilibrium sticky price), menunjukkan
21
bahwa tingkat nilai tukar riil di gerakkan oleh guncangan nominal sebab pasar
barang menyesuaikan lebih lambat dari pasar uang sebagai respon terhadap
nominal shock atau juga biasa disebut monetary shocks. Adanya kekakuan harga
dalam jangka pendek juga membawa implikasi nilai tukar berubah (overshoot)
dari titik keseimbangan yang baru, artinya nilai tukar mengalami perubahan baik
apresiasi atau depresiasi yang lebih besar daripada tingkat perubahan yang
diperlukan untuk mencapai kondisi jangka panjang. Hal ini merupakan respon
terhadap guncangan, nilai tukar bergerak melewati keseimbangan dan akhirnya
mencapai posisi keseimbangan yang baru dalam jangka panjang yaitu PPP.
2.8. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2010) dalam menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil di negara Pakistan dan
dengan menggunakan model yang sudah populer yaitu Structural Vector
Autoregression (SVAR). Hasil estimasi SVAR mengimplikasikan bahwa nominal
shocks merupakan variabel dengan kuantitas yang besar dalam nilai tukar riil
Dollar-Rupee.
Penemuan ini memberikan dukungan empiris terhadap model
harga kaku (Dornbusch, 1976), yang menjelaskan keadaan awal perubahan
(overshoots) nilai tukar dan menekankan relatif pentingnya nominal shocks
sebagai faktor pendorong utama nilai tukar tersebut. Hasil yang ditujukkan di
negara Pakistan mengindikasikan adanya ruang lingkup yang efektif mengenai
kebijakan moneter dan mengendalikan nilai tukar, terutama dalam jangka pendek.
Melalui kebijakan tersebut, pemerintah Pakistan berusaha menjaga daya saing
internasionalnya yaittu melalui nilai tukar yang realistis dengan mengatur
manajemen nilai tukar nominal di Pakistan. Tetapi dalam jangka panjang, real
shocks juga mempunyai peran penting dalam menjelaskan flukruasi nilai tukar.
Dampaknya yang ditimbulkan yaitu untuk meningkatkan daya saing sehingga
pemerintah Pakistan fokus terhadap bidang riil ekonomi, seperti meningkatkan
efisiensi, teknologi dan produktivitas.
Ahmad dan Pentecost (2009) melakukan penelitian sumber fluktuasi nilai
tukar riil di sembilan negara Afrika. Melalui metode Trivariate Structural Vector
22
Autoregression. Analisis yang dilakukan berdasarkan model stokastik harga kaku
(sticky-price) yang terdiri dari tiga guncangan yang diidentifikasi yaitu relative
demand shocks, relative supply shocks dan monetary shocks.
Hasil empiris
menunjukkan salah satu hal yang paling penting dalam pergerakan nilai tukar riil
dalam kasus sembilan negara Afrika adalah relative demand shocks dimana dalam
laporannya memengaruhi lebih dari 51% variasi dalam nilai tukar riil setiap
rentang waktu yang digunakan.
Hal ini saling terkait karena negara-negara
tersebut merupakan negara perekonomian terbuka kecil (small open economies)
dengan rezim nilai tukar mengambang, sehingga guncangan terhadap permintaan
dari luar negeri merupakan hal biasa dan melalui keseimbangan nilai tukar
mengakomodasi guncangan tersebut. Kontribusi dari relative supply shocks lebih
kecil dalam variasi nilai tukar riil dalam beberapa negara yang menjadi contoh
kecuali Algeria, Mesir dan Tanzania.
Metode lain yang digunakan adalah model Dynamic Generalized Method of
Moments (GMM). Hal ini dilakukan oleh Caporale et al. (2009) dan objeknya
adalah 39 negara berkembang yang dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Amerika
Latin, Asia, dan MENA. Hasil penelitian menunjukkan berbagai jenis guncangan
baik itu external shocks, real shocks, dan monetary shocks dapat menjelaskan
variabilitas nilai tukar riil negara pasar ekonomi tersebut sebagai keseluruhan
subjek.
Analisis antar wilayah mengindikasi bahwa monetary shocks atau
nominal shocks dan external shocks merupakan faktor utama di Amerika Latin
dan MENA, sedangkan di wilayah Asia Tenggara, domestic real shocks memiliki
peran utama. Keterbukaan ekonomi membantu untuk menstabilkan nilai tukar riil
di kebanyakan negara. Lebih jauh, intergrasi finansial internasional merupakan
salah satu sumber penting dalam variabilitas nilai tukar riil dalam negara pasar
ekonomi. Di negara-negara Asia dan Amerika Latin dijelaskan bahwa fluktuasi
nilai tukar riil, walaupun dengan rezim nilai tukar tetap (fixed exchange rate) yang
dimaksudkan untuk mengurangi fluktuasi, adanya kebijakan nilai tukar yang tidak
kompatibel dengan kebijakan moneter internasional yang berkembang sekarang.
Sebaliknya di wilayah MENA, integrasi finansial internasional kondusif untuk
membantu stabilisasi nilai tukar riil.
23
Stąż ka (2006) menganalisis sumber fluktuasi nilai tukar riil di delapan
negara Eropa Pusat dan Eropa Timur yang menjadi anggota baru European Union
(EU). Dengan menggunakan metode Structural Vector Autoregression (SVAR).
Hasil yang diharapkan adalah sumber yang dominan dalam fluktuasi nilai tukar
negara-negara tersebut adalah guncangan nominal (negara-negara tersebut
merefleksikan melalui sisi keseimbangan dari nilai tukar) dan ternyata hal berikut
ini tidak dapat disangsikan bahwa pergerakan nilai tukar nominal terhadap Euro
dibandingkan tingkat riilnya didorong oleh real shocks. Ini dapat dilihat dari sisi
ekonomi riil.
Hasil penelitian ini berlawanan dengan pola yang ada bahwa
fluktuasi nilai tukar riil dalam anggota ERM II (Exchange Rate Mechanism II)
dengan pengecualian Latvia didorong oleh faktor real demand shocks, ternyata
penemuan ini secara khusus lebih sensitif, menyesuaikan kepada sudut pandang
keseimbangan dan munculnya ERM II yang harusnya sejalan dengan pendekatan
ketidakseimbangan. Pendekatan pertama yang digunakan adalah sudut pandang
ketidakseimbangan, yang memprediksikan bagian terbesar dalam fluktuasi nilai
tukar riil diakibatkan oleh guncangan pasar finansial atau guncangan nominal.
Hal ini merupakan faktor dalam negara-negara non ERM II. Pendekatan kedua
yaitu sudut pandang ekonomi riil, yang menyebutkan pergerakan nilai tukar riil
sebagai guncangan yang mengakomodasi variabel riil makroekonomi, membantu
melakukan penyesuaian terhadap kebutuhan. Namun, apabila berbicara mengenai
guncangan yang memiliki pengaruh jangka panjang maka Stąż ka (2006)
berdasarkan metode yang digunakan tidak layak sebab waktu yang digunakan
untuk jangka pendek yang cocok dengan negara transisi yang diteliti. Produksi
industri mungkin membuat proksi yang kecil terhadap agregat pendapatan,
walaupun ekonomi yang diteliti merupakan ekonomi transisi dimana sektor
jasanya kurang maju.
Chowdury (2004) juga menganalisis sumber fluktuasi nilai tukar riil di
negara pasar ekonomi yang baru muncul seperti Chili, Kolumbia, Malaysia,
Singapura, Korea Selatan, dan Uruguay.
Menggunakan metode Vector
Autoregression (VAR) menunjukkan bahwa real shocks dan nominal shocks dapat
menjelaskan fluktuasi nilai tukar riil yang dianalisis tetapi real shocks lebih
mendominasi nominal shocks untuk seri nilai tukar yang ingin diteliti.
Real
24
shocks menyebabkan apresiasi riil dan nominal, saat nominal shocks
menghasilkan depresiasi nominal. Secara umum, nominal shocks mempunyai
peran yang cukup penting dalam menentukan nilai tukar nominal dibandingkan
menjelaskan pergerakan nilai tukar riil.
Menambahkan penelitian yang lain, Daly (2006) di Tunisia relative real
demand dan relative supply shocks merupakan faktor yang paling banyak
menjelaskan variasi nilai tukar riil selama periode estimasi dan mengindikasikan
lebih 80 % dari dekomposisi varian nilai tukar riil. Di dukung penelitian yang
dilakukan Aleisa dan Dibooglu (2002), di negara Arab Saudi, dengan asumsi sifat
netral jangka panjang, ditemukan bahwa real shocks memiliki peran penting
dalam pergerakan nilai tukar riil.
Dalam
mengukur
komposisi
guncangan
struktural,
penelitian
ini
menggunakan metode yang berbeda pada penelitian kebanyakan. Penelitian ini
mengacu pada Caporale et al. (2009) yang menggunakan metode panel dinamis
GMM.
Tabel berikut meringkas beberapa penelitian terdahulu dengan topik
terkait, yakni faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi nilai tukar riil.
Tabel 2.3. Beberapa Penelitian Terdahulu
No.
Peneliti
Metode
Kesimpulan
1.
William D.
Lastrapes
(1992)
Vector
Untuk negara yang
Autoregression digunakan dalam contoh,
penemuan menunjukkan
fluktuasi melalui periode
flexible rate sangat
tergantung pada real shocks
pada semua frekuensi baik
jangka panjang atau jangka
pendek.
2.
Annika
Alexius
(1999)
Structural
Vector
Autoregression
(SVAR)
Faktor yang paling besar
dalam pergerakan real
exchange rates yaitu supply
shock.
Objek
Penelitian
Amerika
Serikat,
Jerman,
Inggris,
Jepang, Itali
dan Kanada
(periode
Maret 1973 –
Desember
1989)
Denmark,
Finlandia,
Norwegia,
dan Swedia
(periode
tahun 1960 –
1998)
25
3.
Ali M.
Kutan dan
Salahattin
Dibooglu
(2000)
Bivariate
Vector
Autoregression
(VAR)
4.
Tao Wang
(2004)
Structural
Vector
Autoregression
(SVAR)
5.
6.
7.
Dalam kasus Polandia,
nominal shocks mempunyai
pengaruh besar dalam
menjelaskan perubahan
dalam real exchange rate
padahal di Hongaria, real
shocks mempunyai
pengaruh yang lebih besar
terhadap perubahan real
exchange rate,
Polandia dan
Hongaria
(periode
1990 – 1998)
Real relative demand
shocks merupakan faktor
yang paling penting dalam
sumber fluktuasi dalam real
exchange rate dalam
periode 1980-2002,
sementara itu supply shocks
telah menjadi faktor utama
dalam melaporkan variasi
pendapatan relatif dan
harga relatif.
Imed Drine Vector
Real demand shocks
dan
Autoregression mendominasi fluktuasi real
Christophe
(VAR)
exchange rate dan
Rault (2004)
kontribusi dari external
shocks lebih rendah.
Ibrahim S.
Vector
Real shocks lebih
Chowdury
Autoregression mendominasi nominal
(2004)
(VAR), dan
shocks dalam menjelaskan
Ordinary
fluktuasi nilai tukar.
Least Square
(OLS)
China
(periode
1980 – 2002)
Agnieszka
Stąż ka
(2006)
Structural
Vector
Autoregression
(SVAR)
Real demand shocks
merupakan merupakan
faktor yang dapat
menjelaskan real exchange
rate bagi negara ERM II
Moroko,
Filipina, dan
Uruguay
(periode
1979 – 1998)
Chili,
Kolumbia,
Malaysia,
Singapura,
Korea
Selatan, dan
Uruguay
(periode
Januari 1980
– Desember
1996
Republik
Ceko,
Estonia,
Hongaria,
Latvia,
Lithuania,
Polandia,
Slovakia, dan
Slovenia
(1995–2005)
26
8.
9.
A.H.
Ahmad dan
Eric J.
Pentecost
(2009)
Vector
Demand shocks menjadi
Autoregression sumber utama dalam
(VAR)
pergerakan real exchange
rate, walaupun nominal
shocks juga memiliki peran
kecil tetapi perannya sangat
signifikan untuk negara
Afrika Selatan dan
Botswana, dan supply
shocks lebih signifikan
terhadap Aljazair, Mesir,
dan Tanzania.
Sembilan
negara
Afrika yaitu
Aljazair,
Botswana,
Mesir,
Ghana,
Kenya,
Moroko,
Nigeria,
Afrika
Selatan dan
Tanzania
(periode
1980 – 2005)
Guglime
Metode GMM 1. Analisis dengan geografi
39 negara
Maria
(Generalized
wilayah menunjukkan
yang dibagi
Caporale,
Method of
monetary dan external
menjadi 3
Thouraya
Moments)
shocks mempunyai peran wilayah : 20
Hadj, dan
penting di negara
negara
Christophe
Amerika Latin dan
Amerika
Rault (2009)
wilayah MENA,
Latin
sedangkan domestic real
(Argentina,
shocks merupakan faktor
Bolivia,
yang lebih kuat dalam
Brasil, Chili,
mendorong fluktuasi nilai Kolumbia,
tukar riil di negara Asia
Kosta Rika,
Tenggara,
Republik
Domino,
2. Trade openess lebih untuk Ekuador, El
membantu menstabilkan
Salvador,
real exchange rate di
Guatemala,
kebanyakan negara
Haiti,
mengingat pemilihan
Honduras,
rezim nilai tukar hanya
Meksiko,
mempunyai efek yang
Nikaragua,
signifikan pada wilayah
Panama,
MENA .
Paraguay,
Peru,
Trinidad,
Uruguay, dan
Venezuela),
10 negara
Asia Timur
(Bangladesh,
China, India,
Indonesia,
Korea,
27
10.
Muhammad
Luqman
Khan,
Sulaiman D.
Mohammad,
dan Alamgir
(2010)
Structural
Vector
Autoregression
(SVAR)
Lebih dari 60 %
keragaman dalam
peramalan real exchange
rate dollar-rupee dalam
empat kuarter tergantung
pada nominal shocks.
Malaysia,
Pakistan,
Filipina, Sri
Lanka, dan
Thailand),
dan 9 negara
dari wilayah
MENA
(Algeria,
Mesir, Iran,
Israel,
Moroko,
Syria,
Tunisia, dan
Turki)
periode 1979
- 2004
Pakistan
(periode
1982 – 2007)
28
2.9. Kerangka Pemikiran
Skema alur berpikir pada gambar di bawah ini digunakan untuk
menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Dengan semakin terbukanya
ekonomi global dan didukung oleh kedekatan geografis serta hubungan ekonomi
antarnegara dalam satu kawasan mejadi faktor pendorong dalam pembentukan
integrasi ekonomi dan keuangan regional untuk meningkatkan pembangunan
ekonomi negara anggotanya. Pergerakan nilai tukar setiap negara tentunya
dipengaruhi oleh beberapa faktor
melalui bentuk guncangan struktural yang
terdiri dari demand shocks, supply shocks, nominal shocks, dan openness of
economy dalam penelitian ini. Kemudian diidentifikasi apa yang menjadi sumber
dengan proporsi terbesar terhadap fluktuasi nilai tukar riil baik di seluruh kawasan
atau masing-masing kawasan.
Kawasan yang menjadi kajian ini dibagi
ASEAN+6 dan non ASEAN+6 yang terdiri dari negara-negara di Uni Eropa dan
Amerika Utara. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dan dapat dibandingkan
pada setiap negara yang berada dalam kawasan tersebut. Variabel guncangan
tersebut diproksi melalui variabel-variabel yang diestimasi melalui metode
Generalized Method of Moment (GMM).
Negara-Negara dalam
Seluruh Kawasan
Negara-Negara dalam
Kawasan Non ASEAN+6
Negara-Negara dalam
Kawasan ASEAN+6
Fluktuasi Nilai Tukar Riil
Real Demand
Shocks
Real Supply
Shocks
Nominal
Shocks
Openness of
Economy
Metode Data Panel
Dinamis (GMM)
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
29
2.10. Kerangka Pemikiran
Kajian mengenai faktor-faktor dalam memengaruhi nilai tukar riil telah
dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Dari tinjauan yang diperoleh maka
terdapat kesimpulan sementara dari penelitian yang dilakukan ini, yaitu:
1. Pendapatan (GDP riil) diduga berdampak negarif terhadap fluktuasi nilai
tuka riil,
2. Pengeluaran pemerintah diduga berdampak positif terhadap nilai tukar riil,
3. Jumlah uang beredar diduga berdampak positif terhadap nilai tukar riil,
dan
4. Keterbukaan ekonomi diduga berdampak positif terhadap fluktuasi nilai
tukar riil.
Download