BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kajian Pustaka
Pentingnya rujukan penelitian sebelumnya sangat menunjang data dan
informasi
yang dibutuhkan
untuk
melengkapi
penelitian
yang
penulis
lakukan.Penelitian sebelumnya yang dimaksud adalah telaah dan kajian dalam
bentuk deskriptif kualitatif, objek dan metode penelitian mempunyai kandungan
dan persepsi yang sama namun fokus masalah pada tema yang berbeda. Penelitian
mengenai analisa semiotika telah banyak dilakukan menjadi referensi bagi peneliti
dan sebagai pembanding uraian penelitian sebelumya antara lain:
2.1.1. Penelitian Anwar (2002)
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung mengenai Wacana
Feminisme dalam Iklan (Analisis Semiotika terhadap Iklan pada Majalah
Kartini).Penelitian ini menganalisis teks-teks iklan khususnya tentang wacana
feminisme dalam majalah Kartini. Pemilihan terhadap majalah perempuan karena
dalam majalah perempuan ini menyajikan sumber informasi dan pendidikan sosial
yang pengaruhnya terhadap penciptaan citra perempuan di terima oleh kaum
perempuan.
Iklan-iklan produk barang dan jasa dalam media yang diteliti khususnya
yang keseluruhannya ditujukan untuk khalayak perempuan. Model yang
digunakan dalam iklan-iklan tersebut perempuan-perempuan berparas cantik,
tubuh seksi, dan terkenal. Hal ini dikarenakan keindahan fisik mereka sebagai
24
penciptaan kesan dan daya tarik bagi produk yang diiklankan. Iklan dalam
majalah Kartini dikategorikan dalam tiga varian, yakni kecantikan, tradisional,
dan keluarga dan kesehatan.Gambaran perempuan dalam iklan merupakan citra
ideal perempuan yang mempunyai tubuh sempurna, berambut indah dan
penampilan fisik yang menarik.
Hasil
penelitian
menemukan
bahwa
secara
semiosis
perempuan
ditampilkan sebagai perempuan yang berpusat pada kecantikan diri dalam ruangan
dan rumah ditafsirkan sebagai teks domestik. Wacana feminim dalam teks-teks
iklan
menunjukkan
feminitas
seorang
perempuan
diidentifikasi
dengan
kecantikan, kelembutan dan kehalusan kulit. Paradigma penelitian ini adalah
interpretif.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif kualitatif. Teknik
analisa yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan semiotika, penelitian ini
lebih memperhatikan hasil signifikansi pertandaan dari pada komunikasinya.
Hasil penelitian secara umum menekankan iklan sebagai bentuk perjuangan
feminis untuk tampil dalam ruang publik.
Perbedaan penelitian Nampak pada unit analisis dan unit obersvasi yakni
teks iklan yang diteliti menampilkan visualisasi produk melalui suatu rangkaian
cerita mengenai perbedaan memahami komunikasi antara suami dan isteri yang
dipandang sebagai wacana keharmonisan pada media televisi.
2.1.2. Listiyani (2003)
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung mengenai
Perempuan dalam Iklan di Televisi. Objek penelitian difokuskan pada iklan
25
produk Rinso Antinoda,Iklan M-150, dan iklan Sabun Lux. Penelitian ini
difokuskan oleh penulisnya mengenai citra perempuan dalam iklan tersebut.
Pendekatan yang dilakukan adalah kritis dengan metode semiotika kualitatif.
Teori semiotika yang digunakan adalah perspektif Roland Barthes yang
strukturalis.
Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya pemanfaatan sebagai model
iklan menempatkan perempuan sebagai individu yang dieksploitasi dan
merepresentasikan stereotipe tertentu terhadap gender di Indonesia. Dari iklaniklan yang diteliti menggambarkan bahwa idealnya perempuan dicitrakan sebagai
individu yang sangat membutuhkan laki-laki, individu yang ditempatkan pada
sektor reproduksi bukan pada sektor ekonomi dan senantiasa berperan dalam
tugas-tugas kerumahtanggaan (sektor domestik).
Penelitian tersebut tidak menunjukkan adanya mitos yang dibangun dari
ideologi dominan dibalik pencitraan wanita dalam iklan. Adapun aspek yang
menjadi persamaan dalam penelitian ini teks-teks iklan yang diteliti adalah teks
iklan televisi sedangkan yang membedakannya penelitian yang akan diteliti
melihat representasi kesetaraan dan pemberdayaan gender dalam teks iklan.
2.1.3. Maryam (2006)
Program Pascasarjana Universitas Padjdajaran mengenai Konstruksi
Kecantikan Perempuan Indonesia dalam Iklan Shampo di Televisi (Analisis
Semiotika Terhadap Iklan Shampo Rejoice, Zinc dan Lifeboy Hidroprotein). Unit
26
observasinya yakni: iklan shampo Rejoice, Zinc dan Lifeboy Hidroprotein.
Pendekatannya interpretif dengan metode semiotika RolandBarthes.
Penelitian menyimpulkan tata ungkap visual iklan-iklan yang diteliti dan
nilai-nilai ideologis dan konteks budaya yang mencermikan iklan tersebut
cenderung bersifat ikonik namun sarat dengan makna simbolis. Kode sinematik
yang paling sering digunakan adalah medium shot dengan close up.
Representasi citra-citra yang terlihat netral dan alami dalam iklan
mengandung muatan ideologi yang sarat dengan ideologi patriarki bagimasyarakat
Indonesia. Konstruksi kecantikan yang dibangun dalam iklan mengarah pada
pengukuhan stereotipe perempuan yang bias gender , masih mengacu pada nilai
gender yang tradisional. Tercermin pula ideologi kapitalisme produsen yang
dominan menempatkan perempuan sebagai bagian dari perputaran bisnis industri
dan menjadi suatu referensi yang ditawarkan oleh para industri kepada masyarakat
konsumen.
Nilai gender tradisional secara teoritis belum dipaparkan dalam hasil
penelitian yang diperoleh. Aspek yang menjadi persamaan dalam penelitian ini
adalah
analisis
yang
digunakannya
menggunakan
kajian
gender
yang
menganalisis mengenai perempuan dalam iklan sementara yang membedakannya,
penelitian ini melihat representasi identitas kesetaraan dan pemberdayaan gender
dalam teks iklan.
27
Gambar 2.1. Penelitian Terdahulu
Nama/thn
Rully Khairul Anwar,
Endri Listiyani, 2003
Maryam, 2006
Penelitian
2002
Judul
Signifikansi Pierce
Wanita dalam Iklan di
Kostruksi Kecantikan
dengan model
Televisi
Perempuan dalam Iklan
interpretasi
Shampo di Televisi
Ross Woodrow
Metode
Perempuan dalam iklan
Semiotika Roland
sebagai citra
Barthes
Semiotika Roland Barthes
perempuan
ideal yang senantiasa
bersolek dan mengurus
diri untuk kecantikan,
kelembutan dan
kehalusan kulit
Hasil
Penelitian ini lebih
Exploitasi perempuan
Tata ungkap visual iklan
memperhatikan hasil
Indonesia dan
Shampoo cenderung bersifat
signifikansi pertandaan
stereotipe
ikonik , sarat dengan makna
daripada
pada gender tertentu-
simbolis dengan dominan
komunikasinya
representasi
ideologi
ketergantungan
patriarki dan stereotipe
perempuan pada laki-
gender
lakiperempuan
berfokus pada wilayah
domestik
Kritik
Objek penelitian
Penelitian tidak
Nilai gender tradisional
mengenai semiotika
menunjukkan adanya
secara teoritis belum
mitosyang dibangun
dipaparkan dalam hasil
dari ideologi dominan
penelitian yang diperoleh
dibalik pencitraan
wanita dalam iklan
Persamaan
Unit analisis:
Exploitasi perempuan
makna simbolis
Feminisme
Indonesia dan
dengan dominan ideologi
dalam teks iklan media
stereotipe pada gender
patriarki dan stereotipe
cetak
tertentu
gender
28
Perbedaan
Unit analisis : Citra
Unit analisis: Kecantikan
Wanita
Perempuan
dalam teks Iklan
2.2. KajianTeoritis
Pendekatan teori dalam penelitian mengunakan analisa Roland Bartes,
kata semiotika berasal dari kata Yunani Semeion , yang berarti tanda.. semiotika
berarti ilmu tanda cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses
yang berlaku bagi penggunaan tanda. Ahli Stoa (Zeno) dan ahli-ahli skolastik
abad pertengahan (Augustinus, William van Ockham, Duns Scotus) telah
menekuni masalah-masalah yang berhubungan dengan penggunaan tanda. (Zoest,
1993:1).
2.2.1. Konsep Makna
Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai
dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan
bersama-sama manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, Semiologi pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai halhal (Things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-
29
objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda.
Barthes menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam
sejumlah foto dalam media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang
sanggup menghadirkan pesan secara langsung (sebagai analogon atau denotasi)
dapat meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa tersebut
sudah dilihat oleh seseorang, yakni fotografer. Akan tetapi, di balik peristiwa
tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconic message)
yang menuntut pembacanya untuk menghubungkannya dengan “pengetahuan”
yang telah dimiliki sebelumnya.
Salah satu contoh makna yang di uraikan Bartes,di sejumlah media massa
Indonesia pada tahun 1998, ketika Presiden Soeharto menandatangani LoI dengan
IMF, tampak Camdesus tengah memperhatikan Soeharto
yang tengah
membubuhkan tanda tangan. Wakil IMF itu berdiri mengawasi dengan posisi
tangan bersedekap. Sebagai analogon atau makna denotasi, foto ini hanya
menyatakan telah terjadi penandatangan nota persetujuan antara RI yang diwakili
Soeharto dengan IMF yang diwakili Camdesus.
Akan tetapi, posisi tangan Camdesus dan caranya memandang Soeharto
membubuhkan tanda tangan secara konotatif memaknakan dia telah menaklukkan
seorang pemimpin yang telah 32 tahun berkuasa (Culler, 2003:52)
2.2.2. Konsep Erotisme Perempuan
30
Kata erotis pertama kali masuk dalam bahasa Inggris pada abad ke-17.
Kata tersebut merupakan serapan dari bahasa Prancis, yaitu érotique. Kata
érotique diperoleh dari bahasa Yunani, yaitu erotikos yang berasal dari kata eros
(Mills, 1993: 6). Menurut (le Petit Robert ) PR (1989: 683), eros adalah nama
dewa cinta dari Yunani yang merupakan simbol dari hasrat yang kekuatannya
berasal dari libido. Menurut , (Webster’s Third New International Dictionary)
WTNID (1981: 772), eros adalah kumpulan kenikmatan yang merupakan naluri
hidup yang kekuatannya berasal dari libido dan keinginan diri. Eros juga disebut
sebagai pemenuhan cinta melalui kenikmatan hasrat dan kerinduan. Menurut
Muller/ Halder (dalam Darmojuwono1994: 24), eros adalah perantara antara dunia
yang bersifat inderawi dengan dunia yang hanya terbuka bagi rasio (dunia ide).
Eros merupakan dorongan untuk mencapai pengetahuan tentang ide-ide
yang hanya dapat dijumpai dalam dunia yang terbuka bagi rasio. Kerinduan pada
dunia rasio itu adalah yang berkaitan dengan keindahan, yang berarti kesesuaian
antara gambaran yang dikenal dalam dunia yang bersifat inderawi dengan ide
yang ada dalam dunia rasio. Keindahan itu mencakup tubuh, jiwa, moral,
pengetahuan, dan keindahan itu sendiri.
Dari kata eros, muncul erotis yang dalam arti luas berarti segala bentuk
pengungkapan cinta antara pria dan wanita, antara jenis kelamin yang sama
(homo- erotik), dan cinta terhadap diri sendiri (auto-erotik). Dalam arti sempit,
erotis tidak hanya berarti seksualitas yang lebih bersifat jasmaniah, tetapi juga
mencakup aspek mental dalam seksualitas dan pengembangan rangsanganrangsangan yang ditimbulkan oleh seksualitas.
31
Hal ini dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk, misalnya dalam dunia
seni, mode, periklanan, dan lain-lain. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia(KBBI) (2005: 307), erotis adalah berkenaan dengan sensasi seks yang
memiliki rangsangan atau bersifat merangsang nafsu birahi. Menurut (WTNID)
(1981: 772), erotis adalah ditujukan untuk mendorong hasrat seksual yang
melukiskan cinta seksual, ditujukan untuk melukiskan kenikmatan hasrat seksual,
dan menunjukkan pemuasan seksual yang dipengaruhi kuat oleh hasrat seksual.
Menurut PR (1989: 24 683), erotis adalah berkaitan dengan cinta, hubungan cinta
atau proses yang disebabkan oleh naluri seksual yang merangsang. Menurut KBBI
(2005: 307), erotisme adalah keadaan bangkitnya nafsu birahi, keinginan akan
nafsu seks secara terus-menerus.
Menurut WTNID (1981: 772), erotisme adalah dorongan dari atau usaha
untuk mendorong perasaan seksual dengan sugesti, simbolisme, atau sindiran
dalam bentuk seni, keadaan dalam dorongan seksual atau antisipasi, hasrat
seksual, desakan hasrat seksual yang abnormal. Menurut PR (1989: 683), erotisme
adalah kenginan hati yang erotis, perasaan yang berlebihan, dan penyakit dari
sesuatu yang bersifat seksual.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa erotisme adalah
keadaan bangkitnya nafsu birahi, keinginan akan nafsu seks secara terus-menerus,
sedangkan erotis berkenaan dengan sensasi seks yang memiliki rangsangan,
bersifat merangsang nafsu birahi. Perlu dicatat bahwa dalam bahasa Inggris dan
Prancis, muncul kata abnormally dan excessif dalam definisi erotisme. Ini
menandakan bahwa dalam erotisme tersebut, keinginan seksual yang ada adalah
32
keinginan yang sudah tidak normal lagi, yaitu nafsu yang terus-menerus dan
berlebihan. Oleh sebab itu, pengungkapan erotisme menimbulkan persoalan
karena diyakini dapat mendorong fantasi seksual berlebihan dalam diri pembaca.
Hal tersebut disebabkan adanya anggapan bahwa stiker erotis bersifat
cabul dan vulgar. Cabul berkaitan dengan perbuatan yang keji dan kotor, tidak
senonoh, dan melanggar kesopanan dan kesusilaan (KBBI: 184), sedangkan
vulgar berarti perbuatan yang kasar dan tidak sopan (KBBI: 1263). Menurut
WTNID (1981: 1304), vulgar adalah kasar secara moral, berlebihan terutama
dalam pemakaian atau penampilan, tidak sederhana dan tidak memiliki sopan
santun.
Menurut PR (1989: 2121), vulgar adalah memamerkan penampilan yang
digunakan kepada masyarakat, yang tidak memiliki kebagusan, dianggap tidak
pantas atau rendah secara sosial. Erotisme dapat terjadi ketika seorang pembaca
memaknai sebuah karya. Kebebasan berimajinasi itulah yang dimaksud dengan
erotis. Jadi, erotisme mengacu pada kenikmatan yang diperoleh pembaca atau
melihat gambar di dalam pikirannya.
Sisi feminin baik dari kecantikannya, suaranya, tubuh seksinya,
kelembutannya, tingkah-lakunya tak lain adalah seorang makhluk yang bernama
perempuan. Semua bisa memberikan inspirasi yang tiada habisnya dan juga
potensinya mendapatkan keuntungan baik materi maupun bukan materi. Bukan
materi dalam hal ini adalah kepuasan untuk dapat menikmati keindahan wanita
secara gratis yang bernama “komoditas” dan ”eksploitasi”.
33
Eksploitasi tubuh perempuan dalam pencitraan media massa termasuk
media stiker, terjadi tidak saja karena kerelaan perempuan, namun juga karena
kebutuhan kelas sosial itu sendiri, sehingga mau tidak mau kehadiran perempuan
menjadi sebuah kebutuhan dalam kelas sosial tersebut. Sayangnya kehadiran
perempuan dalam kelas sosial itu, masih menjadi bagian refleksi realitas sosial
masyarakatnya, bahwa perempuan selalu menjadi subordinat kebudayaan lakilaki. Karenanya, tetap saja perempuan di media massa adalah “perempuannya
lelaki” dalam realitas sosialnya.
Namun dalam konteks perempuan, terkadang perempuan tampil dalam
bentuk yang lebih keras dan keluar dari stereotype perempuan sebagai sosok yang
lemah dan tak berdaya. Perempuan juga dapat tampil sebagai perayu, penindas,
dan bahkan pecundang. Sosok perempuan ini banyak ditemukan dalam film,
video, dan media-media massa, sekaligus merupakan rekonstruksi terhadap dunia
realitas perempuan itu sendiri (Bungin, 2003: 130-131).
Masalah kemudian yang akan muncul adalah eksploitasi perempuan
melalui penonjolan unsur-unsur sensualitas dan erotisme di media massa.
Erotisasi tubuh perempuan di media massa mengambil fragmen-fragmen tubuh
tersebut sebagai penanda (signifier) dengan berbagai posisi dan pose – seperti
yang sering kita saksikan di layar televisi, dan video serta beragam asumsi makna.
Tubuh perempuan ditelanjangi melalui ribuan varian sikap, penampilan dan peran.
Pada tataran ini, erotisasi tubuh menjadi “modal simbolik“ (layak jual) yang
terlepas dari kepentingan ekonomi libido pada sistem kapitalisme. Tubuh wanita
dieksploitasi nilai tanda sebagai nilai tukar komoditi .
34
Begitu banyak karya-karya gambar stiker yang menampilkan tubuh
perempuan sebagai fokus utama. Bisa dikatakan lewat hasil-hasil olahan visual
tersebut, eksistensi perempuan dikukuhkan dari apa yang terdapat pada tubuhnya,
bukan apa yang terdapat pada otaknya. Hal ini menguatkan juga pandangan
bahwa perempuan selalu dalam kontrol sosial bahkan mungkin kontrol kaum lakilaki, karena kegelisahan wanita terhadap penampilan hanya demi memuaskan
orang lain (laki-laki), dan hal tersebut telah dikonstruksikan oleh media.
Dominic Strinati mengungkapkan bahwa salah satu bidang utama budaya
populer yang telah menarik perhatian kaum feminis adalah
representasi
perempuan di dalamnya. Sebagaimana dikemukakan Baehr, “Sejak awal, gerakan
perempuan telah merespons secara kritis, seringkali dengan berang, terhadap apa
yang secara bebas disebut sebagai “seksisme di dalam media (stiker)” (dalam
Strinati, 2003: 212).
Di dalam budaya kapitalisme, tubuh–dengan berbagai potensi tanda, citra,
simulasi, dan artificenya menjadi elemen yang sentral dalam ekonomi politik,
disebabkan tubuh perempuan (estetika, gairah, sensualitas, erotisme) merupakan
raison d’etre dalam setiap produksi komoditi. Tubuh itu sendiri menjadi komoditi
dan sekaligus menjadi metakomoditi, yaitu komoditi yang digunakan untuk
menjual (mengkomunikasikan) komoditi-komoditi lainnya (model, hostes, sales
girl, cheer leader, peep show), lewat potensi fisik, tanda, dan libidonya (Piliang,
2004: 346).
Pada keterangan yang lainnya, Piliang menjelaskan tentang tubuh yang
erat kaitannya dengan kesenangan seksual melalui erotisme tubuh yang dibangun
35
oleh media. Kepuasan seksual dari sebuah obyek seksual tidak dapat dipisahkan
dari image yang dikembangkan seseorang ketika berhadapan dengan realitas
anatomi sebatang tubuh (misalnya tubuh perempuan), dan image tersebut
kemudian dijadikan sebagai sebuah penanda (signifier), yang menghasilkan
makna atau petanda (signified) tertentu.
Sebagaimana yang dijelaskan Lacan, dalam menguraikan mengenai
hubungan heteroseksual pada diri seorang laki-laki: “Meskipun citra tubuh
perempuan merupakan faktor penting dalam menghasilkan hasrat seksual lakilaki, akan tetapi ini tidak mencukupi. Agar hasrat seksual tersebut dihasilkan,
maka citra tersebut harus dipasangkan (secara eksplisit atau implisit) dengan
petanda (signified) yang tepat” (Lacan dalam Piliang, 2004 :368).
Artinya,
citra tubuh perempuan itu baru dapat menghasilkan kepuasan bagi seorang lakilaki, bila citra tubuh tersebut mempunyai makna seksual. Tidak saja image
bersama obyek seksual dapat memberikan kepuasan, bahkan image itu sendiri
(gambar, foto, film, video, televisi dan internet) dapat menghasilkan kesenangan
tertentu, melalui mekanisme psikis tertentu pula (ibid).
Dengan demikian, persepsi dan imajinasi atau khayalan yang bermacammacam dari khalayak sasaran. Persepsi yang dihasilkan inilah yang disebut makna
atau petanda (signified). Hal tersebut bila dikaji, menunjukkan kuatnya muatan
erotisme pada karya-karya stiker. Penggunaan representasi perempuan ini tak
lepas dari adanya degradasi perempuan dalam statusnya sebagai obyek seksual
laki-laki yang masih sangat melekat pada masyarakat patriarkhal.
36
Pada akhirnya gambaran tubuh perempuan tersebut akan menjadi citraan
(image) yang berperan menimbulkan rangsangan maupun kepuasan seksual. Hal
tersebut dapat dilihat dari cara ia ditampilkan melalui bentuk, sikap, posisi, pose
dan ekspresi. Piliang menyebutkan bahwa eksplorasi tubuh tersebut berlangsung
mengikuti
model-model
pembiakan
secara
cepat
(proliferation)
atau
pelipatgandaan secara kilat (multiplication), baik dalam cara, bentuk, varian
maupun medianya (2004:380).
2.2.3. Teori Semiotika
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta
relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat.Semiotika
mempelajari relasi diantara komponen-komponen tanda, serta relasi antar
komponen-komponen tersebut dengan masyarakatpenggunanya. Semiotika, yang
berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda (sign).
Bermula dari kajian tentang bahasa, dan kemudian berkembang menjadi
kajian kebudayaan, adalah akar dari perkembangan gerakan intelektual dan
filsafat strukturalisme dan poststrukturalisme tersebut, yang merupakan bagian
dari gemuruh wacana kritis tahun 1950-1960-an yang mempertanyakan kembali
kebenaran-kebenaran universal dan tunggal yang dibangun oleh rasionalisme,
logosentrisme, positivisme, dan modernisme. Meskipun demikian, Strukturalisme
sendiri sesungguhnya masih menggunakan pendekatan ilmiah yang positivistik,
yang kemudian dikritik dan dikoreksi oleh Post strukturalisme.
37
Sistem Tanda Semiotik bekerja tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis
besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik
(semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik
(semiotic semantic) (Wikipedia,2007).
1). Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)
Menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang
menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas
perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan
tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam
menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap
indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan
persendian).
Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh
pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat
sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain,
hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.
2). Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)
Menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya
ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini
mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam
arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur
sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur
38
akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya,
hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.
3). Semiotik Semantik (semiotic semantic)
Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai
dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan
tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan.
Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh
perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan
dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan
makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin
disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima
secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan
perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya
2.2.3.1. Teori Semiotika C.S Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang
terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda
adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera
manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di
luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang
muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan
Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda
39
ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi
referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna
yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal
yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari
sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Contoh: Saat
seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi
mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol
keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi
dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja
memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.
2.2.3.2. Teori Semiotika Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913).
Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda
(signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik
dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai
makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung
didalam karya arsitektur.
Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda
berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi
adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem
40
berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk
dapat memaknai tanda tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut
signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar,
disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk
mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda
tersebut.
Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce
yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier,
bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya
sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut
kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan
tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified
merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.”
(Sobur, 2006).
2.2.3.3. Teori Semiotika Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang
tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang
sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya,
kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyperreality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang
palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
41
Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak
sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa,
mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana
mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa.
Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai
multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari
agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen
percaya.
Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi
pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil
(entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat
atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian
mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi
tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton
dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.
2.2.3.4. Teori Semiotika J. Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksinya. Dekonstruksi,
menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan
penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi yang
dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang
percaya kepada kemurnian realitaspada dasarnya dimaksudkan menghilangkan
struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep
42
(signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah
membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah
mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100).
Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terusmenerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya.
Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga
berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan
ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga
bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa
merefleksikan banyak hal. Kegothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad
pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan
bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau
menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral
keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan
berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Kegothikan itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang
menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya
dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya
daripada sesuatu yang sifatnya temporer. Di lain pihak, bentuk gereja yang
menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang
memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan
kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara
43
khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan
istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga maknamakna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya
ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi)
makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing
makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda
sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda
sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang
membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu
dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida
sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda
tersebut.
2.4.5. Teori Semiotika Teori Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli
semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling
komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia
mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika
secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan
ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian
mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa
44
“satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat
pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda
dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar
hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode
yang dipakai sesuai struktur bahasa.
Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan
dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s
bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau
“konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan
istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin
memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis
daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait
dengan teori linguistik masa kini.
2.2.3.5. Teori Semiotika Ogden & Richard
Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika
trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang
didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan
Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti
(Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda
merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari
Penanda.
45
Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang
Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek
benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri
bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen tertentu
(irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi
aktual (Christian).
2.2.4. Semiotika Roland Bartes
Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni
logika, retorika dan poetika. Berasal dari “semeion” yang nampaknya di turunkan
dari kedokteran hipokrit yang dengan perhatiannya lebih condong pada
simptamologi dan diagnostik (Sinha, 1988:3). ‘Tanda’ pada masa itu masih
bermakna pada sesuatu hal yang menunjuk akan adanya hal lain. Ini memiliki
hubungan yang relatif dekat dengan penandaan yang di kemukakan oleh
Aristoteles. Dana sebagai penggantinya, Madhab Stoa telah mengelaboirasinya
kedalam sebuah penyimpulan yang ketat (Eco, 1984:15), yang menjelaskan
bahwa tanda adalah sebuah preposisi yang di konstitusi oleh koneksi yang valid
dan menjelaskan kepada konsukuensinya.
Jadi jelaslah bahwa memang studi tentang tanda lebih condong mengarah
pada
penalaran
(logika)
dan
kemungkinan-kemungkinan
pengetahuan
(epistimologi). Di sebutkan bahwa ad catatan khusus tentang Aristoteles yeng
menganggap bahwa “pikiran’ dapat dipertimbangkan sebagai ‘wakil-wakil dari
hal-hal’, dan bahasa dalam hal ini merupakan tanda-tanda dari pikiran. Aristoteles
46
mengatakan bahwa kata-kata merupakan” tanda-tanda dari afeksi-afeksi jiwa”.
Dia mengatakan :(Kata-kata tuuturan adalah tanda-tanda dari afeksi-afeksi jiwa
dan kata-kata tertulis adalah tanda-tanda dari kata-kata tuturan. Sebagaimana
semua manusia tidak memiliki tulisan yang sama, demikian pula semua manusia
tak memiliki suara tuturan yang sama, akan tetapi afeksi-afeksi jiwa yang di
tandai oleh kata-kata tuturan adalah sama semua, sebagaimana juga hal-hal dari
pengalaman-pengalaman kita adalah imaji-imaji).
Penyebutan “ilmu” pada sosiologi tidaklah sama dengan ilmu-ilmu yang
lain. Akan tetapi ia akan berada di daerah yang lebih longgar (Monaco,
1981:140). Sebagai akibatnya maka timbullah masalah tersendiri pada semiologi.
Apakah semiologi merupakan suatu ilmu tersendiri yang belum jelas bentuknya
(sebagaimana yang diramalkan dan diyakini Saussure) ataukah hanya menjadi
bagian dari ilmu lain (sebagaimana Barthes menganggapnya sebagai bagian dari
linguistik). Seperti yang dikatakan Fiske (1982 :118), ia tidak sepakat dengan
posisi semiologi dalam peta keilmuan :
(Semiotika secara hakiki adalah sebuah pendekatan teoritis untuk komunikasi
yang dalam tujuannya guna mempertahankan prinsip-prinsip terapan secara
luas…, hal semacam ini sangat peka terhadap munculnya kritik bahwa semiotika
itu terlalu teoritis dan terlalu spekulatif dan bahwa para ahli semiotika tidak
membuat upaya untuk membuktikan atau tidak membuktikan teori-teorinya
sebagai sebuah jalan obyektif dan ilmiah).
Sejak munculnya Saussure dan Peirce, maka semiologi menitik beratkan
bahasannya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya.
Meskipun dalam semiotika Pierce masih ada kecenderungan meneruskan tradisi
skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis) dan Saussure yang
menekankan pada linguistik, pada kenyatannya semiologi juga membahas
47
signifikansi dan komunikasi yang terdapat dalam sistem non linguistik. Sementara
itu bagi Barthes (1988:179), semiologi hendaknya mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai sesuatu (things).
Memaknai (to signify), dalam hal ini tidak bisa di campur adukkan dengan
mengkomunikasikannya. Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tersebut tidak
hanya membawa informasi, tentang bagaimana obyek-obyek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes
dengan demikian melihat signifikansi sebagai sebuah proses yang total dengan
suatu susunan yang telah terstruktur. Seignifikasi itu tak terbatas pada bahasa,
tetapi terdapat pula pada hal-hal yang bukan bahasa. Pada akhirenya Barthes
menganggapa kehidupan sosial sendiri merupakansuatu bentuk signifikasi.
Dengan kata lain, kehidupan sosial (apapun bentuknya) merupakan suatu sistem
tanda tersendiri pula
Pandangan Barthes ini juga banyak dianut oleh semiolog lain sehingga
berakibat luasnya ruang lingkup dan obyek penelitian semiologi. Meskipun luas,
tetapi semua obyek itu tetap dipandang sebagai sebuah struktur yang di pahami
dengan model linguistik. Hal ini nampak misalnya pada bagaimana para semiolog
yang pada umumnya memnadang film, program televisi dan radio, poster-poster
iklan sertya bentuk lainnya sebagai teks, semacam dalam linguistik. Barthes
sendiri dalam bukunya yang berjudul Mythologies (1983:b), mempelakukan
obyek-obyek studinya (seperti margarin, sabun mandi, sampul majalah, film
Charlie Chaplin dan novel) layaknya seperti memperlakukan bahasa.
48
2.2.2.4. Semiotik Roland Bartes analisa Makna
Teori Barthes memfokuskan pada gagasan tentang signifikasi dua tahap,
yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah definisi objektif kata tersebut,
sedangkan konotasi adalah makna subjektif atau emosionalnya (Alex Sobur, 2003
: 263). Adapun cara kerja atau langkah-langkah model Semiotik Roland Barthes
dalam mengenalisis makna dapat dipetakan sebagai berikut :
Gambar 2.2. Model semiotik Roland Barthes
1. Signifier
2. Signified
(Penanda)
1.
(Petanda)
Denotatif Sign (Tanda Denotatif)
4. CONNOTATIF SIGNIFIER
5. CONNOTATIF SIGNIFIED
(PENANDA KONOTATIF)
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIF SIGN (TANDA KONOTATIF)
Dari peta Barthes tersebut terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4) (Alex Sobur, 2004 : 69). Dari penanda konotatif
akan memunculkan petanda konotatif yang kemudian akan melandasi munculnya
tanda konotatif
2.2.4.5. Semiotik Roland Signifikasi Dua Tahap
Fokus perhatian Roland Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang
signifikasi dua tahap (two order of signification). Roland Barthes kemudian
menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja:
49
Gambar 2.3. Signifikasi Dua Tahap Teori Barthes
`Berdasarkan gambar di atas Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan :
“Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antar asignifier dan signified
didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai
denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya . Dengan kata lain,
denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan
konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.”
50
Lebih lanjut seperti dikutip Alex Sobur, Barthes menjelaskan tahap kedua
dari signifikasinya : “Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi,
tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah “sebuah bagaimana kebudayaan
menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam.
Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi.
Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan
sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas,
maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan.”
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan, bagi Barthes faktor penting
dalam konotasi adalah penanda dalam tahapan pertama. Penanda pertama itu
merupakan tanda konotasi. Sementara itu unsur-unsur pembentuk dalam mitos
harus diarahkan pada asal-usul atau pembentukan sistem semiotik tingkat dua
dengan melihat unsur (konotator) sebagai unsur pembentuk makna.
2.2.5 Konsep Mitos Roland Bartes
Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakini
kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide tertapi
merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos merupakan suatu
jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan. Suatu hal yang harus
diperhatikan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, yakni suatu pesan
(Barthes 1972:108).
Di sisi lain menurut Barthes, bahwa kita harus jeli dalam melihat apa yang
dipresentasikan di hadapan kita. Sesungguhnya segala sesuatu itu tidak ada yang
51
wajar, lazim atau alamiah karena semua itu adalah rekayasa yang mengandung
sarat pandangan “ideologis”, untuk kepentingan sepihak, misalnya minum anggur
merupakan pernyataan untuk mengatakan bahwa peminumnya tahu tentang
budaya Perancis, mereka termasuk golongan elit dan sekaligus mempertahankan
sistem kapitalisme.
Dalam hal ini Barthes memang banyak mengkritik sistem kapitalis dan
terutama politik kanan seperti Le Pen, seorang tokoh rasis yang mempimpin Front
Nasional. Contoh-contoh ideologi terpendam lainnya dalam buku Mithologies
Barthes adalah rasisme, kolonialisme, dingin. Stereotip mitos gender, bukan dan
saja propaganda perang studi terkonsentrasi pada pengeksposan posisi ideologis
tetapi analisis bagaimana pesan dikonstitusikan. Mitos menurut Barthes adalah
suatu “sistem komunika suatu pesan” (Barthes 1972:109).
Mitos dalam pengertian lama identik sejarah/histori, bentukan masyarakat
pada masanya. Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan saja berbentuk
tuturan oral, tetapi tuturan itu dapat berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan
ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah semua
yang mempunyai modus representasi. Paparan contoh di atas mempunyai arti
(meaning) yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung, misalnya untuk
menangkap arti atau meaning sebuah lukisan diperlukan interpretasi. Tuturan
mitologis dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu proses signifikasi
sehingga dapat diterima oleh akal.
Dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya sebagai suatu objek,
konsep, atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi. Dengan
52
demikian maka mitos tergolong dalam suatu bidang pengetahuan ilmiah, yakni
semiologi.
Kutipan Barthes dalam bukunya Mythologies (1957), mitos adalah bagian
penting dari ideologi. Mitos yang dimaksud Barthes bukan seperti mitologi
Yunani tentang dewa-dewa. Menurut Barthes, mitos masa kini bukan merupakan
konsep, mitos tidak berisi ide-ide atau menunjukkan objek, mitos mas kini
mengandung pesan-pesan. Dipandang dari segi struktur, mitos adalah bagian dari
parole, sama seperti teks, mitos harus dilihat secara menyeluruh.
Mitos adalah unsur penting yang dapat mengubah sesuatu yang kultural
atau historis menjadi alamiah dan mudah dimengerti. Mitos bermula dari konotasi
yang telah menetap di masyarakat, sehingga pesan yang didapat dari mitos
tersebut sudah tidak lagi dipertanyakan oleh masyarakat. Penjelasan Barthes
mengenai mitos tidak lepas dari penjelasan Saussure mengenai signifiant dan
signifié, bahwa ekspresi dapat berkembang membentuk tanda baru dan
membentuk persamaan makna. Adanya E=ekspresi, R=relasi, dan C=isi yang
bersifat arbitrer pada setiap individu hingga dapat membentuk makna lapis kedua
karena adanya pergeseran makna dari denotasi ke konotasi 9E2(E1-R1-C1)-R2C2).
Mitos itu sendiri adalah konotasi yang telah berbudaya. Sebagai contoh
ketika kita mendengar pohon beringin, denotasinya adalah pohon besar yang
rindang, tetapi ketika sudah menyentuh makna lapis kedua, pohon beringin dapat
memiliki makna menakutkan dan gelap. Pohon beringin juga dapat memiliki
makna yang lebih dalam lagi seperti lambang pada sila ketiga, persatuan
53
Indonesia, makna ini sudah sampai hingga ideologi karena menyentuh kehidupan
sosial manusia sehari-hari.
Sebuah mitos dapat menjadi sebuah ideologi atau sebuah paradigma ketika
sudah berakar lama, digunakan sebagai acuan hidup dan menyentuh ranah norma
sosial yang berlaku di masyarakat. Sebagai contoh, peristiwa ‘pemerkosaan
perempuan yang menggunakan rok mini di angkutan umum di malam hari’, dalam
kejadian ini terdapat mitos seperti: perempuan yang menggunakan rok mini
mengundang hasrat laki-laki, perempuan seharusnya menggunakan pakaian yang
menutupi auratnya, atau perempuan tidak diperbolehkan pulang malam.
Ideologi yang terlihat dari mitos-mitos tesebut adalah gambaran budaya
partiarkal dan islamisme yang kental di Indonesia, reaksi dari gubernur Aceh
“perempuan seperti itu pantas diperkosa, seharusnya ia berpakaian lebih sopan”.
Pernyataan tersebut memperlihatkan superioritas laki-laki, misogini yang terjadi
menempatkan perempuan sebagai yang lain, dan posisi perempuan tidak terlepas
dari fungsinya dalam hidup laki-laki.
Berdasarkan contoh diatas, kita dapat melihat bahwa mitos yang menjadi
unsur penting pembentuk ideologi yang telah tertanam dalam suatu masyarakat.
Hal itulah yang menyebabkan mengapa mitos merupakan bagian penting dari
ideologi. http://ismoyojessy.blogspot.com/Hoet Benny. 2011.diakses12/05/2014.
Mengenai mitos sebagai bagian dari sistem semiotik tingkat dua , St.
Sunardi berpendapat, “Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam
tiga unsur, yaitu: signifier, signified, dan sign. Untuk membedakan istilah-istilah
54
yang sudah dipakai dalam sistem semiotik tingkat pertama, Barthes menggunakan
istilah berbeda untuk ketiga unsur itu, yaitu, form, concept, dan signification”.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa mitos sendiri diuraikan dalam
tiga unsur dengan menggunakan penamaan yang sama dengan sistem semiotik
tahap pertama, yaitu signifier (penanda), signified (petanda), dan sign (tanda) itu
sendiri. Namun, Barthes membedakannya dengan sistem semiotik tahap dua, yaitu
dengan nama form (bentuk), concept (konsep), serta signification (signifikasi)
antara bentuk dan konsep.
Lebih lanjut Sunardi mengatakan, “Dengan kata lain, form sejajar dengan
signifier, concept sejajar dengan signified, dan signification sejajar dengan sign”.
dari skema di atas, Sunardi melihat bahwa sistem mitos sebagai sistem semiotik
tingkat dua dapat dijabarkan secara lebih rinci untuk kepentingan analisis, yaitu :
Sebagai sistem mitos, dia terdiri dari SIGNIFICATION, FORM, dan CONCEPT.
Karena sistem mitos adalah juga sistem semiotik, kita dapat membuat skema :
III.SI GN, I.SIGNIFIER (expression), dan II.SIGNIFIED (content).Expression
dan content ditambahkan dalam skema tersebut agar dapat mengenali lebih rinci
watak FORM (signifier) dan CONCEPT (signified).
Dengan menambahkan expression di sini, kita tahu bahwa FROM (signifier)
mempunyai form dan substance. Dengan melihat skema diatas dan penjelasan ini,
kita mendapatkan sedikit kesulitan dalam menggunakan dua macam form: FORM
(pada tingkat mitos, jadi pasangan dari CONCEPT) dan form (pada linguistik).
Dalam kesulitan ini ternyata kita justru mendapatkan terang: kita dapat
mempunyai FORM karena justru dalam diri expression sudah mempunyai form.
55
Dari bagan signifikasi dua tahap Barthes maka penulis menyimpulkan
bahwa pemaknaan tanda melalui dua tahap pemaknaan. Tahap pertama, makna
denotasi yang mengungkap makna paling nyata dari tanda. Lalu tahap kedua,
makna konotasi terkait erat dengan tanda dan pemakainya, yaitu budaya
pemakainya. Dari makna konotasi tersebut akan didapatkan mitos, yakni saat
budaya tersebut diceritakan dan diberikan penilaian dengan melakukan
pemaknaan terhadap tanda.
Berbagai tingkatan pertandaan ini sangat penting dalam penelitian desain,
karena dapat digunakan sebagai model dalam membongkar berbagai macam
makna desain seperti halnya dalam lagu, fenomena kekerasan yang berkaitan
secara implisit dengan nilai-nilai mitos, budaya, moral dan spiritual.
1) Mitos menurut Roland Barthes memiliki empat ciri, yaitu : Distorsif. Hubungan
antara form dan concept bersifat distorsif dan deformatif. Concept mendistorsi
form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna
yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya.
2) Intensional mitos tidak ada begitu saja Mitos sengaja diciptakan dikonstruksikan
oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.
3) Statement of fact mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita menerimanya
sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sesuatu yang
terletak secara alami dalam nalar awam.
4) Motivasional menurut Barthes bentuk mitos mengandung motivasi,mitos
diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai kemungkinan konsep
yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik tingkat pertamanya.
56
Jadi pada dasarnya Erotisme Perempuan dalam Stiker berisi tanda-tanda
yang dapat dimaknai berbeda tergantung di mana konteks budaya itu berlaku.
Lambang-lambang di dalamnya pun akan lebih mudah bila pembaca yang
memaknai memahami keterkaitan antara konteks budaya dan daerah di mana
lambang tersebut dimaknai. Praktik pemaknaan bisa terbentuk melalui konteks
budaya yang berlaku. Dikutip dari St. Sunardi, menurutnya ada tiga kemungkinan
untuk membaca mitos yakni : Satu, menganalisis secara kritis.
Dengan membaca mitos dengan sikap kritis mengikuti petunjuk-petunjuk di
atas kita sebenarnya mengupas mitos sampai kita tahu betul bagaimana mitos
yang kita hadapi menjalankan fungsinya, yaitu distorsi. Kedua, membuat mitos
dengan mengembalikan signification ke makna literal, oleh karena itu kita
mengembalikan kekuatan simbolis dari tanda tingkat pertama. Ketiga, menjadi
konsumen mitos dengan menikmati mitos sampai kita merasakan kehadiran,
membiarkan mitos melakukan fungsinya.
Dari penjelasan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa untuk membaca
mitos ada tiga kemungkinan yaitu dengan menganalisis secara kritis
mengembalikan kekuatan simbolis ke tahapan pertama dan menjadi konsumen
mitos. Berkaitan dengan masalah penelitian yaitu, pengungkapan makna di balik
tanda-tanda dalam stiker Erotisme Perempuan dalam pemaknaanya
dapat
dianalisis dengan pendekatan semiotika Barthes yang menitik beratkan pada
penandaan tingkat kedua yaitu mitos.
Dengan kata lain suatu kritik yang disampaikan telah dibuat sedemikian
rupa untuk berkomunikasi. Karena semua materi mitos, apakah berbentuk gambar
57
dan tulisan mengisyaratkan sebuah kesadaran akan pemaknaan, menurut Roland
Barthes pemaknaan adalah hasil konstruksi di depan mata pembaca yang selalu
menimbulkan ilmu pengetahuan tentang masa depan.
Media
menciptakan mitologi-mitologi atau ideologi-ideologi sebagai
sistem konotatif sekunder dengan mencoba memberikan pesan-pesan. Pada level
denotatif pesan-pesan tersebut mengekspresikan makna-makna primer atau
“natural”. Sementara itu pada level konotatif pesan-pesan itu menyembunyikan
makna-makna sekunder yang menjadi mitos masa kini. Menurut Van Zoest,
ideologi adalah sesuatu yang abstrak. Ideologi harus dapat diceritakan, cerita
itulah yang dinamakan mitos (myth).
Sedangkan yang menjadi alasan atau pertimbangan Barthes menempatkan
ideologi dengan mitos adalah karena, baik di dalam mitos maupun ideologi,
hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara
termotivasi Pilliang(1999:20).
2.6. Konsep Stiker
Stiker adalah jenis selembar kertas atau plastik, perekat, lengket di satu
sisi, dan biasanya dengan desain di sisi lain. dapat digunakan untuk dekorasi, dan
lain-lain tergantung pada situasi. bisa datang dalam berbagai bentuk, ukuran dan
warna dan diletakkan pada hal-hal seperti kotak makanan, di kamar anak-anak, di
atas kertas, loker, notebook dan sebagainya.
Stiker sangat banyak digunakan ketika suatu objek memerlukan
identifikasi dengan sebuah kata atau ide. Merek stiker dapat disertakan pada
58
produk untuk label produk ini berasal dari perusahaan tertentu.
juga dapat
digunakan untuk menggambarkan karakteristik produk agar jelas merek yang
dimaksud. Pada masa sekarang stiker dapat di gunakan sebagai bagian dari
promosi , iklan , dan kampanye politik , misalnya, dalam memperkenalkan calon
Presiden, legeslatif pilkada dan lain-lain.
Fungsi stiker juga sebagai media ekspresi yang menjadi medium
komunikasi pesan melalui tampilan, baik berupa gambar, kata sekaligus
kebudayaan. Kebudayaan juga bisa memelihara indentitas anggota-anggota
masyarakat dengan nilai-nilai dan simbol-simbol utama masyarakat yang
bersangkutan. Dalam gambar stiker isi komunikasi gambar dan teks dikendalikan
oleh si pembuat melalui cara-cara tertentu untuk mengirimkan pesan-pesan.
Manfaat stiker di dalam kehidupan penggunaan stiker bervariasi dan dapat
digolongkan menurut kebutuhan penggunanya, antara lain:
1) Tanda, Identitas atau Simbol
Stiker bisa digunakan untuk memberikan tanda tentang sesuatu yang telah
dilakukan, misalnya pemberian stiker pada mobil yang telah dilakukan
pemeriksaan dan dinyatakan lulus uji emisi, setelah perbaikan dan service atau
sebagai tanda khusus untuk memasuki suatu kawasan tertentu.
Stiker bisa juga digunakan sebagai simbol dari jenis produk atau yang
biasa disebut logo atau emblem pada bidang otomotif baik motor maupun mobil.
Suatu organisasi atau perkumpulan juga banyak yang menggunakan stiker yang
mereka fungsikan sebagai tanda anggota.
2) Keamanan
59
Suatu perusahaan seperti yang kita ketahui banyak menggunakan stiker
sebagai alat untuk keamanan dan ciri pada sebuah produk berupa segel
berhologram yang berfungsi untuk menunjukkan bahwa produk mereka masih
baru belum pernah digunakan atau asli. Dalam dunia otomotif penggunaannya
juga bisa sebagai alat keamanan, misalnya pada stiker film untuk kaca pelindung
matahari.
3) Iklan
Salah satu cara beriklan yang paling mudah, murah dan efisien adalah
dengan membuat sebuah stiker yang berisi tanda, simbol atau keterangan tentang
sesuatu yang ingin mereka sampaikan kepada orang lain tentang produk mereka.
Hal ini bisa dilakukan oleh instansi, perusahaan, perorangan atau badan
usaha saat akan mengadakan suatu even atau acara tertentu dengan bentuk dan
tampilan yang dibuat sedemikian rupa sehingga orang mengerti dan memahami
maksud tersebut.
4) Bisnis
Banyak orang yang menyukai kegunaan dari /stiker/. Hal ini dimanfaatkan
oleh seseorang untuk membuka usaha pembuatan dan penjualan stiker.Banyak
sekarang kita jumpai perusahaan, kios, toko, lapak yang membuat,menyediakan
dan menjual berbagai bisnis mereka. Dengan bahan baku yang murah dan mudah
didapat, bisnis ini menjanjikan keuntungan yang lumayan bagi para pelaku bisnis.
5) Seni
Stiker juga merupakan suatu hasil seni yang diciptakan melalui kreatifitas
pembuatnya. Hasil dari seni ini bisa berupa striping yang digunakan untuk
60
menambahkan nilai seni dan keindahan pada produk kendaraan bermotor baik
sepeda motor maupun mobil, decals, stiker printing pada kaos, baju, perlengkapan
dan perabotan rumah tangga dan lain lain.
6) Hiasan
Salah satu kegunaan stiker adalah sebagai penghias dan pemanis dari
sebuah benda, misalnya pada motor dan mobil yang biasa kita sebut dengan
decals atau striping body. Dalam dunia otomotif penggunaan stiker merupakan
sesuatu yang wajib. Bahkan ada penggemar otomotif yang rela mengeluarkan
sejumlah
uang
untuk
mendapatkan
yang
diinginkannya
(http://sticker-
unik39.blogspot.com diakses 16/7/13).
2.2.Kerangka Pemikiran
Sesuai dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai analisis semiotika
gambar dalam hubungannya dengan pemaknaa yang disiratkan di dalam stiker
serta tanda-tanda yang tercipta di dalamnya, maka penulis memberikan batasan
penelitian dalam kerangka berfikir sebagai berikut:
a) Analisis semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan
dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya.
Analisis semiotika berupaya untuk menemukan makna tanda termasuk hal-hal
yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, gambar). Dalam penelitian ini,
analisis semiotika yang dipakai adalah analisis semiotika Roland Barthes yang
terdiri atas, denotatif, konotatif, mitos dan ideologi.
61
b) pemaknaan Erotisme Perempuan adalah Stiker yang berada pada ruang publik
c) Signifikasi tahap pertama, meliputi: makna denotasi, yaitu makna paling nyata
dari tanda yang terdiri dari dari hubungan antara signifier atau aspek material
(gambar, gerak) dan signified atau aspek mental, yaitu konseptual dari aspek
material, dimana hubungan keduanya dinamakan sigfication (upaya dalam
memberikan makna).
d) Signifikasi tahap kedua, meliputi: makna konotasi, yaitu merupakan bukan
makna sebenarnya, yang merupakan interaksi yang terjadi saat tanda bertemu
dengan perasaan atau emosi serta nilai- nilai budaya dari pembaca dalam
memahami sebuah fenomena. Konotasi memiliki makna subyektif. Dengan
kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu obyek,
sedangkan konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya.
e) Mitos: sebuah cerita yang menjelaskan tentang kebudayaan atau cara
kebudayaan menilai sesuatu, sebuah jalan dalam mengkonseptualisasikan atau
memahaminya. Budaya berhubungan dengan mitos, dan mitos juga memiliki
keterkaitan dengan ideologi.
f) Pemaknaa adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan
simbol atau lambang adalah sesuatu yang dapat melambangkan mewakili ide,
pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara arbitrer, conventional, dan
representatif interpretatif.
62
Gambar 2.4. kerangka berfikir
GAMBAR/STIKER
KONOTASi
DENOTASI
PENANDAA
PETANDA
mitos
63
MAKNA
EROTISME
PEREMPUAN
Download