BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Kajian Pustaka Pentingnya rujukan penelitian sebelumnya sangat menunjang data dan informasi yang dibutuhkan untuk melengkapi penelitian yang penulis lakukan.Penelitian sebelumnya yang dimaksud adalah telaah dan kajian dalam bentuk deskriptif kualitatif, objek dan metode penelitian mempunyai kandungan dan persepsi yang sama namun fokus masalah pada tema yang berbeda. Penelitian mengenai analisa semiotika telah banyak dilakukan menjadi referensi bagi peneliti dan sebagai pembanding uraian penelitian sebelumya antara lain: 2.1.1. Penelitian Anwar (2002) Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung mengenai Wacana Feminisme dalam Iklan (Analisis Semiotika terhadap Iklan pada Majalah Kartini).Penelitian ini menganalisis teks-teks iklan khususnya tentang wacana feminisme dalam majalah Kartini. Pemilihan terhadap majalah perempuan karena dalam majalah perempuan ini menyajikan sumber informasi dan pendidikan sosial yang pengaruhnya terhadap penciptaan citra perempuan di terima oleh kaum perempuan. Iklan-iklan produk barang dan jasa dalam media yang diteliti khususnya yang keseluruhannya ditujukan untuk khalayak perempuan. Model yang digunakan dalam iklan-iklan tersebut perempuan-perempuan berparas cantik, tubuh seksi, dan terkenal. Hal ini dikarenakan keindahan fisik mereka sebagai 24 penciptaan kesan dan daya tarik bagi produk yang diiklankan. Iklan dalam majalah Kartini dikategorikan dalam tiga varian, yakni kecantikan, tradisional, dan keluarga dan kesehatan.Gambaran perempuan dalam iklan merupakan citra ideal perempuan yang mempunyai tubuh sempurna, berambut indah dan penampilan fisik yang menarik. Hasil penelitian menemukan bahwa secara semiosis perempuan ditampilkan sebagai perempuan yang berpusat pada kecantikan diri dalam ruangan dan rumah ditafsirkan sebagai teks domestik. Wacana feminim dalam teks-teks iklan menunjukkan feminitas seorang perempuan diidentifikasi dengan kecantikan, kelembutan dan kehalusan kulit. Paradigma penelitian ini adalah interpretif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif kualitatif. Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan semiotika, penelitian ini lebih memperhatikan hasil signifikansi pertandaan dari pada komunikasinya. Hasil penelitian secara umum menekankan iklan sebagai bentuk perjuangan feminis untuk tampil dalam ruang publik. Perbedaan penelitian Nampak pada unit analisis dan unit obersvasi yakni teks iklan yang diteliti menampilkan visualisasi produk melalui suatu rangkaian cerita mengenai perbedaan memahami komunikasi antara suami dan isteri yang dipandang sebagai wacana keharmonisan pada media televisi. 2.1.2. Listiyani (2003) Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung mengenai Perempuan dalam Iklan di Televisi. Objek penelitian difokuskan pada iklan 25 produk Rinso Antinoda,Iklan M-150, dan iklan Sabun Lux. Penelitian ini difokuskan oleh penulisnya mengenai citra perempuan dalam iklan tersebut. Pendekatan yang dilakukan adalah kritis dengan metode semiotika kualitatif. Teori semiotika yang digunakan adalah perspektif Roland Barthes yang strukturalis. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya pemanfaatan sebagai model iklan menempatkan perempuan sebagai individu yang dieksploitasi dan merepresentasikan stereotipe tertentu terhadap gender di Indonesia. Dari iklaniklan yang diteliti menggambarkan bahwa idealnya perempuan dicitrakan sebagai individu yang sangat membutuhkan laki-laki, individu yang ditempatkan pada sektor reproduksi bukan pada sektor ekonomi dan senantiasa berperan dalam tugas-tugas kerumahtanggaan (sektor domestik). Penelitian tersebut tidak menunjukkan adanya mitos yang dibangun dari ideologi dominan dibalik pencitraan wanita dalam iklan. Adapun aspek yang menjadi persamaan dalam penelitian ini teks-teks iklan yang diteliti adalah teks iklan televisi sedangkan yang membedakannya penelitian yang akan diteliti melihat representasi kesetaraan dan pemberdayaan gender dalam teks iklan. 2.1.3. Maryam (2006) Program Pascasarjana Universitas Padjdajaran mengenai Konstruksi Kecantikan Perempuan Indonesia dalam Iklan Shampo di Televisi (Analisis Semiotika Terhadap Iklan Shampo Rejoice, Zinc dan Lifeboy Hidroprotein). Unit 26 observasinya yakni: iklan shampo Rejoice, Zinc dan Lifeboy Hidroprotein. Pendekatannya interpretif dengan metode semiotika RolandBarthes. Penelitian menyimpulkan tata ungkap visual iklan-iklan yang diteliti dan nilai-nilai ideologis dan konteks budaya yang mencermikan iklan tersebut cenderung bersifat ikonik namun sarat dengan makna simbolis. Kode sinematik yang paling sering digunakan adalah medium shot dengan close up. Representasi citra-citra yang terlihat netral dan alami dalam iklan mengandung muatan ideologi yang sarat dengan ideologi patriarki bagimasyarakat Indonesia. Konstruksi kecantikan yang dibangun dalam iklan mengarah pada pengukuhan stereotipe perempuan yang bias gender , masih mengacu pada nilai gender yang tradisional. Tercermin pula ideologi kapitalisme produsen yang dominan menempatkan perempuan sebagai bagian dari perputaran bisnis industri dan menjadi suatu referensi yang ditawarkan oleh para industri kepada masyarakat konsumen. Nilai gender tradisional secara teoritis belum dipaparkan dalam hasil penelitian yang diperoleh. Aspek yang menjadi persamaan dalam penelitian ini adalah analisis yang digunakannya menggunakan kajian gender yang menganalisis mengenai perempuan dalam iklan sementara yang membedakannya, penelitian ini melihat representasi identitas kesetaraan dan pemberdayaan gender dalam teks iklan. 27 Gambar 2.1. Penelitian Terdahulu Nama/thn Rully Khairul Anwar, Endri Listiyani, 2003 Maryam, 2006 Penelitian 2002 Judul Signifikansi Pierce Wanita dalam Iklan di Kostruksi Kecantikan dengan model Televisi Perempuan dalam Iklan interpretasi Shampo di Televisi Ross Woodrow Metode Perempuan dalam iklan Semiotika Roland sebagai citra Barthes Semiotika Roland Barthes perempuan ideal yang senantiasa bersolek dan mengurus diri untuk kecantikan, kelembutan dan kehalusan kulit Hasil Penelitian ini lebih Exploitasi perempuan Tata ungkap visual iklan memperhatikan hasil Indonesia dan Shampoo cenderung bersifat signifikansi pertandaan stereotipe ikonik , sarat dengan makna daripada pada gender tertentu- simbolis dengan dominan komunikasinya representasi ideologi ketergantungan patriarki dan stereotipe perempuan pada laki- gender lakiperempuan berfokus pada wilayah domestik Kritik Objek penelitian Penelitian tidak Nilai gender tradisional mengenai semiotika menunjukkan adanya secara teoritis belum mitosyang dibangun dipaparkan dalam hasil dari ideologi dominan penelitian yang diperoleh dibalik pencitraan wanita dalam iklan Persamaan Unit analisis: Exploitasi perempuan makna simbolis Feminisme Indonesia dan dengan dominan ideologi dalam teks iklan media stereotipe pada gender patriarki dan stereotipe cetak tertentu gender 28 Perbedaan Unit analisis : Citra Unit analisis: Kecantikan Wanita Perempuan dalam teks Iklan 2.2. KajianTeoritis Pendekatan teori dalam penelitian mengunakan analisa Roland Bartes, kata semiotika berasal dari kata Yunani Semeion , yang berarti tanda.. semiotika berarti ilmu tanda cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. Ahli Stoa (Zeno) dan ahli-ahli skolastik abad pertengahan (Augustinus, William van Ockham, Duns Scotus) telah menekuni masalah-masalah yang berhubungan dengan penggunaan tanda. (Zoest, 1993:1). 2.2.1. Konsep Makna Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, Semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai halhal (Things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek- 29 objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup menghadirkan pesan secara langsung (sebagai analogon atau denotasi) dapat meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa tersebut sudah dilihat oleh seseorang, yakni fotografer. Akan tetapi, di balik peristiwa tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconic message) yang menuntut pembacanya untuk menghubungkannya dengan “pengetahuan” yang telah dimiliki sebelumnya. Salah satu contoh makna yang di uraikan Bartes,di sejumlah media massa Indonesia pada tahun 1998, ketika Presiden Soeharto menandatangani LoI dengan IMF, tampak Camdesus tengah memperhatikan Soeharto yang tengah membubuhkan tanda tangan. Wakil IMF itu berdiri mengawasi dengan posisi tangan bersedekap. Sebagai analogon atau makna denotasi, foto ini hanya menyatakan telah terjadi penandatangan nota persetujuan antara RI yang diwakili Soeharto dengan IMF yang diwakili Camdesus. Akan tetapi, posisi tangan Camdesus dan caranya memandang Soeharto membubuhkan tanda tangan secara konotatif memaknakan dia telah menaklukkan seorang pemimpin yang telah 32 tahun berkuasa (Culler, 2003:52) 2.2.2. Konsep Erotisme Perempuan 30 Kata erotis pertama kali masuk dalam bahasa Inggris pada abad ke-17. Kata tersebut merupakan serapan dari bahasa Prancis, yaitu érotique. Kata érotique diperoleh dari bahasa Yunani, yaitu erotikos yang berasal dari kata eros (Mills, 1993: 6). Menurut (le Petit Robert ) PR (1989: 683), eros adalah nama dewa cinta dari Yunani yang merupakan simbol dari hasrat yang kekuatannya berasal dari libido. Menurut , (Webster’s Third New International Dictionary) WTNID (1981: 772), eros adalah kumpulan kenikmatan yang merupakan naluri hidup yang kekuatannya berasal dari libido dan keinginan diri. Eros juga disebut sebagai pemenuhan cinta melalui kenikmatan hasrat dan kerinduan. Menurut Muller/ Halder (dalam Darmojuwono1994: 24), eros adalah perantara antara dunia yang bersifat inderawi dengan dunia yang hanya terbuka bagi rasio (dunia ide). Eros merupakan dorongan untuk mencapai pengetahuan tentang ide-ide yang hanya dapat dijumpai dalam dunia yang terbuka bagi rasio. Kerinduan pada dunia rasio itu adalah yang berkaitan dengan keindahan, yang berarti kesesuaian antara gambaran yang dikenal dalam dunia yang bersifat inderawi dengan ide yang ada dalam dunia rasio. Keindahan itu mencakup tubuh, jiwa, moral, pengetahuan, dan keindahan itu sendiri. Dari kata eros, muncul erotis yang dalam arti luas berarti segala bentuk pengungkapan cinta antara pria dan wanita, antara jenis kelamin yang sama (homo- erotik), dan cinta terhadap diri sendiri (auto-erotik). Dalam arti sempit, erotis tidak hanya berarti seksualitas yang lebih bersifat jasmaniah, tetapi juga mencakup aspek mental dalam seksualitas dan pengembangan rangsanganrangsangan yang ditimbulkan oleh seksualitas. 31 Hal ini dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk, misalnya dalam dunia seni, mode, periklanan, dan lain-lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) (2005: 307), erotis adalah berkenaan dengan sensasi seks yang memiliki rangsangan atau bersifat merangsang nafsu birahi. Menurut (WTNID) (1981: 772), erotis adalah ditujukan untuk mendorong hasrat seksual yang melukiskan cinta seksual, ditujukan untuk melukiskan kenikmatan hasrat seksual, dan menunjukkan pemuasan seksual yang dipengaruhi kuat oleh hasrat seksual. Menurut PR (1989: 24 683), erotis adalah berkaitan dengan cinta, hubungan cinta atau proses yang disebabkan oleh naluri seksual yang merangsang. Menurut KBBI (2005: 307), erotisme adalah keadaan bangkitnya nafsu birahi, keinginan akan nafsu seks secara terus-menerus. Menurut WTNID (1981: 772), erotisme adalah dorongan dari atau usaha untuk mendorong perasaan seksual dengan sugesti, simbolisme, atau sindiran dalam bentuk seni, keadaan dalam dorongan seksual atau antisipasi, hasrat seksual, desakan hasrat seksual yang abnormal. Menurut PR (1989: 683), erotisme adalah kenginan hati yang erotis, perasaan yang berlebihan, dan penyakit dari sesuatu yang bersifat seksual. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa erotisme adalah keadaan bangkitnya nafsu birahi, keinginan akan nafsu seks secara terus-menerus, sedangkan erotis berkenaan dengan sensasi seks yang memiliki rangsangan, bersifat merangsang nafsu birahi. Perlu dicatat bahwa dalam bahasa Inggris dan Prancis, muncul kata abnormally dan excessif dalam definisi erotisme. Ini menandakan bahwa dalam erotisme tersebut, keinginan seksual yang ada adalah 32 keinginan yang sudah tidak normal lagi, yaitu nafsu yang terus-menerus dan berlebihan. Oleh sebab itu, pengungkapan erotisme menimbulkan persoalan karena diyakini dapat mendorong fantasi seksual berlebihan dalam diri pembaca. Hal tersebut disebabkan adanya anggapan bahwa stiker erotis bersifat cabul dan vulgar. Cabul berkaitan dengan perbuatan yang keji dan kotor, tidak senonoh, dan melanggar kesopanan dan kesusilaan (KBBI: 184), sedangkan vulgar berarti perbuatan yang kasar dan tidak sopan (KBBI: 1263). Menurut WTNID (1981: 1304), vulgar adalah kasar secara moral, berlebihan terutama dalam pemakaian atau penampilan, tidak sederhana dan tidak memiliki sopan santun. Menurut PR (1989: 2121), vulgar adalah memamerkan penampilan yang digunakan kepada masyarakat, yang tidak memiliki kebagusan, dianggap tidak pantas atau rendah secara sosial. Erotisme dapat terjadi ketika seorang pembaca memaknai sebuah karya. Kebebasan berimajinasi itulah yang dimaksud dengan erotis. Jadi, erotisme mengacu pada kenikmatan yang diperoleh pembaca atau melihat gambar di dalam pikirannya. Sisi feminin baik dari kecantikannya, suaranya, tubuh seksinya, kelembutannya, tingkah-lakunya tak lain adalah seorang makhluk yang bernama perempuan. Semua bisa memberikan inspirasi yang tiada habisnya dan juga potensinya mendapatkan keuntungan baik materi maupun bukan materi. Bukan materi dalam hal ini adalah kepuasan untuk dapat menikmati keindahan wanita secara gratis yang bernama “komoditas” dan ”eksploitasi”. 33 Eksploitasi tubuh perempuan dalam pencitraan media massa termasuk media stiker, terjadi tidak saja karena kerelaan perempuan, namun juga karena kebutuhan kelas sosial itu sendiri, sehingga mau tidak mau kehadiran perempuan menjadi sebuah kebutuhan dalam kelas sosial tersebut. Sayangnya kehadiran perempuan dalam kelas sosial itu, masih menjadi bagian refleksi realitas sosial masyarakatnya, bahwa perempuan selalu menjadi subordinat kebudayaan lakilaki. Karenanya, tetap saja perempuan di media massa adalah “perempuannya lelaki” dalam realitas sosialnya. Namun dalam konteks perempuan, terkadang perempuan tampil dalam bentuk yang lebih keras dan keluar dari stereotype perempuan sebagai sosok yang lemah dan tak berdaya. Perempuan juga dapat tampil sebagai perayu, penindas, dan bahkan pecundang. Sosok perempuan ini banyak ditemukan dalam film, video, dan media-media massa, sekaligus merupakan rekonstruksi terhadap dunia realitas perempuan itu sendiri (Bungin, 2003: 130-131). Masalah kemudian yang akan muncul adalah eksploitasi perempuan melalui penonjolan unsur-unsur sensualitas dan erotisme di media massa. Erotisasi tubuh perempuan di media massa mengambil fragmen-fragmen tubuh tersebut sebagai penanda (signifier) dengan berbagai posisi dan pose – seperti yang sering kita saksikan di layar televisi, dan video serta beragam asumsi makna. Tubuh perempuan ditelanjangi melalui ribuan varian sikap, penampilan dan peran. Pada tataran ini, erotisasi tubuh menjadi “modal simbolik“ (layak jual) yang terlepas dari kepentingan ekonomi libido pada sistem kapitalisme. Tubuh wanita dieksploitasi nilai tanda sebagai nilai tukar komoditi . 34 Begitu banyak karya-karya gambar stiker yang menampilkan tubuh perempuan sebagai fokus utama. Bisa dikatakan lewat hasil-hasil olahan visual tersebut, eksistensi perempuan dikukuhkan dari apa yang terdapat pada tubuhnya, bukan apa yang terdapat pada otaknya. Hal ini menguatkan juga pandangan bahwa perempuan selalu dalam kontrol sosial bahkan mungkin kontrol kaum lakilaki, karena kegelisahan wanita terhadap penampilan hanya demi memuaskan orang lain (laki-laki), dan hal tersebut telah dikonstruksikan oleh media. Dominic Strinati mengungkapkan bahwa salah satu bidang utama budaya populer yang telah menarik perhatian kaum feminis adalah representasi perempuan di dalamnya. Sebagaimana dikemukakan Baehr, “Sejak awal, gerakan perempuan telah merespons secara kritis, seringkali dengan berang, terhadap apa yang secara bebas disebut sebagai “seksisme di dalam media (stiker)” (dalam Strinati, 2003: 212). Di dalam budaya kapitalisme, tubuh–dengan berbagai potensi tanda, citra, simulasi, dan artificenya menjadi elemen yang sentral dalam ekonomi politik, disebabkan tubuh perempuan (estetika, gairah, sensualitas, erotisme) merupakan raison d’etre dalam setiap produksi komoditi. Tubuh itu sendiri menjadi komoditi dan sekaligus menjadi metakomoditi, yaitu komoditi yang digunakan untuk menjual (mengkomunikasikan) komoditi-komoditi lainnya (model, hostes, sales girl, cheer leader, peep show), lewat potensi fisik, tanda, dan libidonya (Piliang, 2004: 346). Pada keterangan yang lainnya, Piliang menjelaskan tentang tubuh yang erat kaitannya dengan kesenangan seksual melalui erotisme tubuh yang dibangun 35 oleh media. Kepuasan seksual dari sebuah obyek seksual tidak dapat dipisahkan dari image yang dikembangkan seseorang ketika berhadapan dengan realitas anatomi sebatang tubuh (misalnya tubuh perempuan), dan image tersebut kemudian dijadikan sebagai sebuah penanda (signifier), yang menghasilkan makna atau petanda (signified) tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan Lacan, dalam menguraikan mengenai hubungan heteroseksual pada diri seorang laki-laki: “Meskipun citra tubuh perempuan merupakan faktor penting dalam menghasilkan hasrat seksual lakilaki, akan tetapi ini tidak mencukupi. Agar hasrat seksual tersebut dihasilkan, maka citra tersebut harus dipasangkan (secara eksplisit atau implisit) dengan petanda (signified) yang tepat” (Lacan dalam Piliang, 2004 :368). Artinya, citra tubuh perempuan itu baru dapat menghasilkan kepuasan bagi seorang lakilaki, bila citra tubuh tersebut mempunyai makna seksual. Tidak saja image bersama obyek seksual dapat memberikan kepuasan, bahkan image itu sendiri (gambar, foto, film, video, televisi dan internet) dapat menghasilkan kesenangan tertentu, melalui mekanisme psikis tertentu pula (ibid). Dengan demikian, persepsi dan imajinasi atau khayalan yang bermacammacam dari khalayak sasaran. Persepsi yang dihasilkan inilah yang disebut makna atau petanda (signified). Hal tersebut bila dikaji, menunjukkan kuatnya muatan erotisme pada karya-karya stiker. Penggunaan representasi perempuan ini tak lepas dari adanya degradasi perempuan dalam statusnya sebagai obyek seksual laki-laki yang masih sangat melekat pada masyarakat patriarkhal. 36 Pada akhirnya gambaran tubuh perempuan tersebut akan menjadi citraan (image) yang berperan menimbulkan rangsangan maupun kepuasan seksual. Hal tersebut dapat dilihat dari cara ia ditampilkan melalui bentuk, sikap, posisi, pose dan ekspresi. Piliang menyebutkan bahwa eksplorasi tubuh tersebut berlangsung mengikuti model-model pembiakan secara cepat (proliferation) atau pelipatgandaan secara kilat (multiplication), baik dalam cara, bentuk, varian maupun medianya (2004:380). 2.2.3. Teori Semiotika Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat.Semiotika mempelajari relasi diantara komponen-komponen tanda, serta relasi antar komponen-komponen tersebut dengan masyarakatpenggunanya. Semiotika, yang berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda (sign). Bermula dari kajian tentang bahasa, dan kemudian berkembang menjadi kajian kebudayaan, adalah akar dari perkembangan gerakan intelektual dan filsafat strukturalisme dan poststrukturalisme tersebut, yang merupakan bagian dari gemuruh wacana kritis tahun 1950-1960-an yang mempertanyakan kembali kebenaran-kebenaran universal dan tunggal yang dibangun oleh rasionalisme, logosentrisme, positivisme, dan modernisme. Meskipun demikian, Strukturalisme sendiri sesungguhnya masih menggunakan pendekatan ilmiah yang positivistik, yang kemudian dikritik dan dikoreksi oleh Post strukturalisme. 37 Sistem Tanda Semiotik bekerja tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic) (Wikipedia,2007). 1). Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic) Menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya. 2). Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic) Menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur 38 akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas. 3). Semiotik Semantik (semiotic semantic) Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya 2.2.3.1. Teori Semiotika C.S Peirce Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda 39 ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan. 2.2.3.2. Teori Semiotika Ferdinand De Saussure Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem 40 berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006). 2.2.3.3. Teori Semiotika Baudrillard Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyperreality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006). 41 Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya. 2.2.3.4. Teori Semiotika J. Derrida Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksinya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitaspada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep 42 (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terusmenerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas. Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Kegothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya. Namun, Kegothikan itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer. Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara 43 khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa. Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga maknamakna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut. 2.4.5. Teori Semiotika Teori Umberto Eco Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006). Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa 44 “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini. 2.2.3.5. Teori Semiotika Ogden & Richard Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari Penanda. 45 Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi aktual (Christian). 2.2.4. Semiotika Roland Bartes Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. Berasal dari “semeion” yang nampaknya di turunkan dari kedokteran hipokrit yang dengan perhatiannya lebih condong pada simptamologi dan diagnostik (Sinha, 1988:3). ‘Tanda’ pada masa itu masih bermakna pada sesuatu hal yang menunjuk akan adanya hal lain. Ini memiliki hubungan yang relatif dekat dengan penandaan yang di kemukakan oleh Aristoteles. Dana sebagai penggantinya, Madhab Stoa telah mengelaboirasinya kedalam sebuah penyimpulan yang ketat (Eco, 1984:15), yang menjelaskan bahwa tanda adalah sebuah preposisi yang di konstitusi oleh koneksi yang valid dan menjelaskan kepada konsukuensinya. Jadi jelaslah bahwa memang studi tentang tanda lebih condong mengarah pada penalaran (logika) dan kemungkinan-kemungkinan pengetahuan (epistimologi). Di sebutkan bahwa ad catatan khusus tentang Aristoteles yeng menganggap bahwa “pikiran’ dapat dipertimbangkan sebagai ‘wakil-wakil dari hal-hal’, dan bahasa dalam hal ini merupakan tanda-tanda dari pikiran. Aristoteles 46 mengatakan bahwa kata-kata merupakan” tanda-tanda dari afeksi-afeksi jiwa”. Dia mengatakan :(Kata-kata tuuturan adalah tanda-tanda dari afeksi-afeksi jiwa dan kata-kata tertulis adalah tanda-tanda dari kata-kata tuturan. Sebagaimana semua manusia tidak memiliki tulisan yang sama, demikian pula semua manusia tak memiliki suara tuturan yang sama, akan tetapi afeksi-afeksi jiwa yang di tandai oleh kata-kata tuturan adalah sama semua, sebagaimana juga hal-hal dari pengalaman-pengalaman kita adalah imaji-imaji). Penyebutan “ilmu” pada sosiologi tidaklah sama dengan ilmu-ilmu yang lain. Akan tetapi ia akan berada di daerah yang lebih longgar (Monaco, 1981:140). Sebagai akibatnya maka timbullah masalah tersendiri pada semiologi. Apakah semiologi merupakan suatu ilmu tersendiri yang belum jelas bentuknya (sebagaimana yang diramalkan dan diyakini Saussure) ataukah hanya menjadi bagian dari ilmu lain (sebagaimana Barthes menganggapnya sebagai bagian dari linguistik). Seperti yang dikatakan Fiske (1982 :118), ia tidak sepakat dengan posisi semiologi dalam peta keilmuan : (Semiotika secara hakiki adalah sebuah pendekatan teoritis untuk komunikasi yang dalam tujuannya guna mempertahankan prinsip-prinsip terapan secara luas…, hal semacam ini sangat peka terhadap munculnya kritik bahwa semiotika itu terlalu teoritis dan terlalu spekulatif dan bahwa para ahli semiotika tidak membuat upaya untuk membuktikan atau tidak membuktikan teori-teorinya sebagai sebuah jalan obyektif dan ilmiah). Sejak munculnya Saussure dan Peirce, maka semiologi menitik beratkan bahasannya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya. Meskipun dalam semiotika Pierce masih ada kecenderungan meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis) dan Saussure yang menekankan pada linguistik, pada kenyatannya semiologi juga membahas 47 signifikansi dan komunikasi yang terdapat dalam sistem non linguistik. Sementara itu bagi Barthes (1988:179), semiologi hendaknya mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai sesuatu (things). Memaknai (to signify), dalam hal ini tidak bisa di campur adukkan dengan mengkomunikasikannya. Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tersebut tidak hanya membawa informasi, tentang bagaimana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes dengan demikian melihat signifikansi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang telah terstruktur. Seignifikasi itu tak terbatas pada bahasa, tetapi terdapat pula pada hal-hal yang bukan bahasa. Pada akhirenya Barthes menganggapa kehidupan sosial sendiri merupakansuatu bentuk signifikasi. Dengan kata lain, kehidupan sosial (apapun bentuknya) merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula Pandangan Barthes ini juga banyak dianut oleh semiolog lain sehingga berakibat luasnya ruang lingkup dan obyek penelitian semiologi. Meskipun luas, tetapi semua obyek itu tetap dipandang sebagai sebuah struktur yang di pahami dengan model linguistik. Hal ini nampak misalnya pada bagaimana para semiolog yang pada umumnya memnadang film, program televisi dan radio, poster-poster iklan sertya bentuk lainnya sebagai teks, semacam dalam linguistik. Barthes sendiri dalam bukunya yang berjudul Mythologies (1983:b), mempelakukan obyek-obyek studinya (seperti margarin, sabun mandi, sampul majalah, film Charlie Chaplin dan novel) layaknya seperti memperlakukan bahasa. 48 2.2.2.4. Semiotik Roland Bartes analisa Makna Teori Barthes memfokuskan pada gagasan tentang signifikasi dua tahap, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah definisi objektif kata tersebut, sedangkan konotasi adalah makna subjektif atau emosionalnya (Alex Sobur, 2003 : 263). Adapun cara kerja atau langkah-langkah model Semiotik Roland Barthes dalam mengenalisis makna dapat dipetakan sebagai berikut : Gambar 2.2. Model semiotik Roland Barthes 1. Signifier 2. Signified (Penanda) 1. (Petanda) Denotatif Sign (Tanda Denotatif) 4. CONNOTATIF SIGNIFIER 5. CONNOTATIF SIGNIFIED (PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIF SIGN (TANDA KONOTATIF) Dari peta Barthes tersebut terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4) (Alex Sobur, 2004 : 69). Dari penanda konotatif akan memunculkan petanda konotatif yang kemudian akan melandasi munculnya tanda konotatif 2.2.4.5. Semiotik Roland Signifikasi Dua Tahap Fokus perhatian Roland Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification). Roland Barthes kemudian menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja: 49 Gambar 2.3. Signifikasi Dua Tahap Teori Barthes `Berdasarkan gambar di atas Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan : “Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antar asignifier dan signified didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya . Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.” 50 Lebih lanjut seperti dikutip Alex Sobur, Barthes menjelaskan tahap kedua dari signifikasinya : “Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah “sebuah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan.” Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan, bagi Barthes faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tahapan pertama. Penanda pertama itu merupakan tanda konotasi. Sementara itu unsur-unsur pembentuk dalam mitos harus diarahkan pada asal-usul atau pembentukan sistem semiotik tingkat dua dengan melihat unsur (konotator) sebagai unsur pembentuk makna. 2.2.5 Konsep Mitos Roland Bartes Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakini kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide tertapi merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos merupakan suatu jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan. Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, yakni suatu pesan (Barthes 1972:108). Di sisi lain menurut Barthes, bahwa kita harus jeli dalam melihat apa yang dipresentasikan di hadapan kita. Sesungguhnya segala sesuatu itu tidak ada yang 51 wajar, lazim atau alamiah karena semua itu adalah rekayasa yang mengandung sarat pandangan “ideologis”, untuk kepentingan sepihak, misalnya minum anggur merupakan pernyataan untuk mengatakan bahwa peminumnya tahu tentang budaya Perancis, mereka termasuk golongan elit dan sekaligus mempertahankan sistem kapitalisme. Dalam hal ini Barthes memang banyak mengkritik sistem kapitalis dan terutama politik kanan seperti Le Pen, seorang tokoh rasis yang mempimpin Front Nasional. Contoh-contoh ideologi terpendam lainnya dalam buku Mithologies Barthes adalah rasisme, kolonialisme, dingin. Stereotip mitos gender, bukan dan saja propaganda perang studi terkonsentrasi pada pengeksposan posisi ideologis tetapi analisis bagaimana pesan dikonstitusikan. Mitos menurut Barthes adalah suatu “sistem komunika suatu pesan” (Barthes 1972:109). Mitos dalam pengertian lama identik sejarah/histori, bentukan masyarakat pada masanya. Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan saja berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan itu dapat berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah semua yang mempunyai modus representasi. Paparan contoh di atas mempunyai arti (meaning) yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung, misalnya untuk menangkap arti atau meaning sebuah lukisan diperlukan interpretasi. Tuturan mitologis dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu proses signifikasi sehingga dapat diterima oleh akal. Dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya sebagai suatu objek, konsep, atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi. Dengan 52 demikian maka mitos tergolong dalam suatu bidang pengetahuan ilmiah, yakni semiologi. Kutipan Barthes dalam bukunya Mythologies (1957), mitos adalah bagian penting dari ideologi. Mitos yang dimaksud Barthes bukan seperti mitologi Yunani tentang dewa-dewa. Menurut Barthes, mitos masa kini bukan merupakan konsep, mitos tidak berisi ide-ide atau menunjukkan objek, mitos mas kini mengandung pesan-pesan. Dipandang dari segi struktur, mitos adalah bagian dari parole, sama seperti teks, mitos harus dilihat secara menyeluruh. Mitos adalah unsur penting yang dapat mengubah sesuatu yang kultural atau historis menjadi alamiah dan mudah dimengerti. Mitos bermula dari konotasi yang telah menetap di masyarakat, sehingga pesan yang didapat dari mitos tersebut sudah tidak lagi dipertanyakan oleh masyarakat. Penjelasan Barthes mengenai mitos tidak lepas dari penjelasan Saussure mengenai signifiant dan signifié, bahwa ekspresi dapat berkembang membentuk tanda baru dan membentuk persamaan makna. Adanya E=ekspresi, R=relasi, dan C=isi yang bersifat arbitrer pada setiap individu hingga dapat membentuk makna lapis kedua karena adanya pergeseran makna dari denotasi ke konotasi 9E2(E1-R1-C1)-R2C2). Mitos itu sendiri adalah konotasi yang telah berbudaya. Sebagai contoh ketika kita mendengar pohon beringin, denotasinya adalah pohon besar yang rindang, tetapi ketika sudah menyentuh makna lapis kedua, pohon beringin dapat memiliki makna menakutkan dan gelap. Pohon beringin juga dapat memiliki makna yang lebih dalam lagi seperti lambang pada sila ketiga, persatuan 53 Indonesia, makna ini sudah sampai hingga ideologi karena menyentuh kehidupan sosial manusia sehari-hari. Sebuah mitos dapat menjadi sebuah ideologi atau sebuah paradigma ketika sudah berakar lama, digunakan sebagai acuan hidup dan menyentuh ranah norma sosial yang berlaku di masyarakat. Sebagai contoh, peristiwa ‘pemerkosaan perempuan yang menggunakan rok mini di angkutan umum di malam hari’, dalam kejadian ini terdapat mitos seperti: perempuan yang menggunakan rok mini mengundang hasrat laki-laki, perempuan seharusnya menggunakan pakaian yang menutupi auratnya, atau perempuan tidak diperbolehkan pulang malam. Ideologi yang terlihat dari mitos-mitos tesebut adalah gambaran budaya partiarkal dan islamisme yang kental di Indonesia, reaksi dari gubernur Aceh “perempuan seperti itu pantas diperkosa, seharusnya ia berpakaian lebih sopan”. Pernyataan tersebut memperlihatkan superioritas laki-laki, misogini yang terjadi menempatkan perempuan sebagai yang lain, dan posisi perempuan tidak terlepas dari fungsinya dalam hidup laki-laki. Berdasarkan contoh diatas, kita dapat melihat bahwa mitos yang menjadi unsur penting pembentuk ideologi yang telah tertanam dalam suatu masyarakat. Hal itulah yang menyebabkan mengapa mitos merupakan bagian penting dari ideologi. http://ismoyojessy.blogspot.com/Hoet Benny. 2011.diakses12/05/2014. Mengenai mitos sebagai bagian dari sistem semiotik tingkat dua , St. Sunardi berpendapat, “Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yaitu: signifier, signified, dan sign. Untuk membedakan istilah-istilah 54 yang sudah dipakai dalam sistem semiotik tingkat pertama, Barthes menggunakan istilah berbeda untuk ketiga unsur itu, yaitu, form, concept, dan signification”. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa mitos sendiri diuraikan dalam tiga unsur dengan menggunakan penamaan yang sama dengan sistem semiotik tahap pertama, yaitu signifier (penanda), signified (petanda), dan sign (tanda) itu sendiri. Namun, Barthes membedakannya dengan sistem semiotik tahap dua, yaitu dengan nama form (bentuk), concept (konsep), serta signification (signifikasi) antara bentuk dan konsep. Lebih lanjut Sunardi mengatakan, “Dengan kata lain, form sejajar dengan signifier, concept sejajar dengan signified, dan signification sejajar dengan sign”. dari skema di atas, Sunardi melihat bahwa sistem mitos sebagai sistem semiotik tingkat dua dapat dijabarkan secara lebih rinci untuk kepentingan analisis, yaitu : Sebagai sistem mitos, dia terdiri dari SIGNIFICATION, FORM, dan CONCEPT. Karena sistem mitos adalah juga sistem semiotik, kita dapat membuat skema : III.SI GN, I.SIGNIFIER (expression), dan II.SIGNIFIED (content).Expression dan content ditambahkan dalam skema tersebut agar dapat mengenali lebih rinci watak FORM (signifier) dan CONCEPT (signified). Dengan menambahkan expression di sini, kita tahu bahwa FROM (signifier) mempunyai form dan substance. Dengan melihat skema diatas dan penjelasan ini, kita mendapatkan sedikit kesulitan dalam menggunakan dua macam form: FORM (pada tingkat mitos, jadi pasangan dari CONCEPT) dan form (pada linguistik). Dalam kesulitan ini ternyata kita justru mendapatkan terang: kita dapat mempunyai FORM karena justru dalam diri expression sudah mempunyai form. 55 Dari bagan signifikasi dua tahap Barthes maka penulis menyimpulkan bahwa pemaknaan tanda melalui dua tahap pemaknaan. Tahap pertama, makna denotasi yang mengungkap makna paling nyata dari tanda. Lalu tahap kedua, makna konotasi terkait erat dengan tanda dan pemakainya, yaitu budaya pemakainya. Dari makna konotasi tersebut akan didapatkan mitos, yakni saat budaya tersebut diceritakan dan diberikan penilaian dengan melakukan pemaknaan terhadap tanda. Berbagai tingkatan pertandaan ini sangat penting dalam penelitian desain, karena dapat digunakan sebagai model dalam membongkar berbagai macam makna desain seperti halnya dalam lagu, fenomena kekerasan yang berkaitan secara implisit dengan nilai-nilai mitos, budaya, moral dan spiritual. 1) Mitos menurut Roland Barthes memiliki empat ciri, yaitu : Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan deformatif. Concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya. 2) Intensional mitos tidak ada begitu saja Mitos sengaja diciptakan dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu. 3) Statement of fact mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam. 4) Motivasional menurut Barthes bentuk mitos mengandung motivasi,mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik tingkat pertamanya. 56 Jadi pada dasarnya Erotisme Perempuan dalam Stiker berisi tanda-tanda yang dapat dimaknai berbeda tergantung di mana konteks budaya itu berlaku. Lambang-lambang di dalamnya pun akan lebih mudah bila pembaca yang memaknai memahami keterkaitan antara konteks budaya dan daerah di mana lambang tersebut dimaknai. Praktik pemaknaan bisa terbentuk melalui konteks budaya yang berlaku. Dikutip dari St. Sunardi, menurutnya ada tiga kemungkinan untuk membaca mitos yakni : Satu, menganalisis secara kritis. Dengan membaca mitos dengan sikap kritis mengikuti petunjuk-petunjuk di atas kita sebenarnya mengupas mitos sampai kita tahu betul bagaimana mitos yang kita hadapi menjalankan fungsinya, yaitu distorsi. Kedua, membuat mitos dengan mengembalikan signification ke makna literal, oleh karena itu kita mengembalikan kekuatan simbolis dari tanda tingkat pertama. Ketiga, menjadi konsumen mitos dengan menikmati mitos sampai kita merasakan kehadiran, membiarkan mitos melakukan fungsinya. Dari penjelasan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa untuk membaca mitos ada tiga kemungkinan yaitu dengan menganalisis secara kritis mengembalikan kekuatan simbolis ke tahapan pertama dan menjadi konsumen mitos. Berkaitan dengan masalah penelitian yaitu, pengungkapan makna di balik tanda-tanda dalam stiker Erotisme Perempuan dalam pemaknaanya dapat dianalisis dengan pendekatan semiotika Barthes yang menitik beratkan pada penandaan tingkat kedua yaitu mitos. Dengan kata lain suatu kritik yang disampaikan telah dibuat sedemikian rupa untuk berkomunikasi. Karena semua materi mitos, apakah berbentuk gambar 57 dan tulisan mengisyaratkan sebuah kesadaran akan pemaknaan, menurut Roland Barthes pemaknaan adalah hasil konstruksi di depan mata pembaca yang selalu menimbulkan ilmu pengetahuan tentang masa depan. Media menciptakan mitologi-mitologi atau ideologi-ideologi sebagai sistem konotatif sekunder dengan mencoba memberikan pesan-pesan. Pada level denotatif pesan-pesan tersebut mengekspresikan makna-makna primer atau “natural”. Sementara itu pada level konotatif pesan-pesan itu menyembunyikan makna-makna sekunder yang menjadi mitos masa kini. Menurut Van Zoest, ideologi adalah sesuatu yang abstrak. Ideologi harus dapat diceritakan, cerita itulah yang dinamakan mitos (myth). Sedangkan yang menjadi alasan atau pertimbangan Barthes menempatkan ideologi dengan mitos adalah karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi Pilliang(1999:20). 2.6. Konsep Stiker Stiker adalah jenis selembar kertas atau plastik, perekat, lengket di satu sisi, dan biasanya dengan desain di sisi lain. dapat digunakan untuk dekorasi, dan lain-lain tergantung pada situasi. bisa datang dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna dan diletakkan pada hal-hal seperti kotak makanan, di kamar anak-anak, di atas kertas, loker, notebook dan sebagainya. Stiker sangat banyak digunakan ketika suatu objek memerlukan identifikasi dengan sebuah kata atau ide. Merek stiker dapat disertakan pada 58 produk untuk label produk ini berasal dari perusahaan tertentu. juga dapat digunakan untuk menggambarkan karakteristik produk agar jelas merek yang dimaksud. Pada masa sekarang stiker dapat di gunakan sebagai bagian dari promosi , iklan , dan kampanye politik , misalnya, dalam memperkenalkan calon Presiden, legeslatif pilkada dan lain-lain. Fungsi stiker juga sebagai media ekspresi yang menjadi medium komunikasi pesan melalui tampilan, baik berupa gambar, kata sekaligus kebudayaan. Kebudayaan juga bisa memelihara indentitas anggota-anggota masyarakat dengan nilai-nilai dan simbol-simbol utama masyarakat yang bersangkutan. Dalam gambar stiker isi komunikasi gambar dan teks dikendalikan oleh si pembuat melalui cara-cara tertentu untuk mengirimkan pesan-pesan. Manfaat stiker di dalam kehidupan penggunaan stiker bervariasi dan dapat digolongkan menurut kebutuhan penggunanya, antara lain: 1) Tanda, Identitas atau Simbol Stiker bisa digunakan untuk memberikan tanda tentang sesuatu yang telah dilakukan, misalnya pemberian stiker pada mobil yang telah dilakukan pemeriksaan dan dinyatakan lulus uji emisi, setelah perbaikan dan service atau sebagai tanda khusus untuk memasuki suatu kawasan tertentu. Stiker bisa juga digunakan sebagai simbol dari jenis produk atau yang biasa disebut logo atau emblem pada bidang otomotif baik motor maupun mobil. Suatu organisasi atau perkumpulan juga banyak yang menggunakan stiker yang mereka fungsikan sebagai tanda anggota. 2) Keamanan 59 Suatu perusahaan seperti yang kita ketahui banyak menggunakan stiker sebagai alat untuk keamanan dan ciri pada sebuah produk berupa segel berhologram yang berfungsi untuk menunjukkan bahwa produk mereka masih baru belum pernah digunakan atau asli. Dalam dunia otomotif penggunaannya juga bisa sebagai alat keamanan, misalnya pada stiker film untuk kaca pelindung matahari. 3) Iklan Salah satu cara beriklan yang paling mudah, murah dan efisien adalah dengan membuat sebuah stiker yang berisi tanda, simbol atau keterangan tentang sesuatu yang ingin mereka sampaikan kepada orang lain tentang produk mereka. Hal ini bisa dilakukan oleh instansi, perusahaan, perorangan atau badan usaha saat akan mengadakan suatu even atau acara tertentu dengan bentuk dan tampilan yang dibuat sedemikian rupa sehingga orang mengerti dan memahami maksud tersebut. 4) Bisnis Banyak orang yang menyukai kegunaan dari /stiker/. Hal ini dimanfaatkan oleh seseorang untuk membuka usaha pembuatan dan penjualan stiker.Banyak sekarang kita jumpai perusahaan, kios, toko, lapak yang membuat,menyediakan dan menjual berbagai bisnis mereka. Dengan bahan baku yang murah dan mudah didapat, bisnis ini menjanjikan keuntungan yang lumayan bagi para pelaku bisnis. 5) Seni Stiker juga merupakan suatu hasil seni yang diciptakan melalui kreatifitas pembuatnya. Hasil dari seni ini bisa berupa striping yang digunakan untuk 60 menambahkan nilai seni dan keindahan pada produk kendaraan bermotor baik sepeda motor maupun mobil, decals, stiker printing pada kaos, baju, perlengkapan dan perabotan rumah tangga dan lain lain. 6) Hiasan Salah satu kegunaan stiker adalah sebagai penghias dan pemanis dari sebuah benda, misalnya pada motor dan mobil yang biasa kita sebut dengan decals atau striping body. Dalam dunia otomotif penggunaan stiker merupakan sesuatu yang wajib. Bahkan ada penggemar otomotif yang rela mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan yang diinginkannya (http://sticker- unik39.blogspot.com diakses 16/7/13). 2.2.Kerangka Pemikiran Sesuai dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai analisis semiotika gambar dalam hubungannya dengan pemaknaa yang disiratkan di dalam stiker serta tanda-tanda yang tercipta di dalamnya, maka penulis memberikan batasan penelitian dalam kerangka berfikir sebagai berikut: a) Analisis semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Analisis semiotika berupaya untuk menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, gambar). Dalam penelitian ini, analisis semiotika yang dipakai adalah analisis semiotika Roland Barthes yang terdiri atas, denotatif, konotatif, mitos dan ideologi. 61 b) pemaknaan Erotisme Perempuan adalah Stiker yang berada pada ruang publik c) Signifikasi tahap pertama, meliputi: makna denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda yang terdiri dari dari hubungan antara signifier atau aspek material (gambar, gerak) dan signified atau aspek mental, yaitu konseptual dari aspek material, dimana hubungan keduanya dinamakan sigfication (upaya dalam memberikan makna). d) Signifikasi tahap kedua, meliputi: makna konotasi, yaitu merupakan bukan makna sebenarnya, yang merupakan interaksi yang terjadi saat tanda bertemu dengan perasaan atau emosi serta nilai- nilai budaya dari pembaca dalam memahami sebuah fenomena. Konotasi memiliki makna subyektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu obyek, sedangkan konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. e) Mitos: sebuah cerita yang menjelaskan tentang kebudayaan atau cara kebudayaan menilai sesuatu, sebuah jalan dalam mengkonseptualisasikan atau memahaminya. Budaya berhubungan dengan mitos, dan mitos juga memiliki keterkaitan dengan ideologi. f) Pemaknaa adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan simbol atau lambang adalah sesuatu yang dapat melambangkan mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara arbitrer, conventional, dan representatif interpretatif. 62 Gambar 2.4. kerangka berfikir GAMBAR/STIKER KONOTASi DENOTASI PENANDAA PETANDA mitos 63 MAKNA EROTISME PEREMPUAN