BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Mental Accounting Mental accounting mengacu pada proses mengidentifikasi, mengkategorikan, dan mengevaluasi hasil dalam keuangan. (Thaler, 1980; Kahneman & Tversky, 1984;). Sebuah fenomena perilaku finansial atau ekonomi perilaku (behavioral finance) yang pertama kali diteliti oleh Richard Thaler. Thaler dan Shefrin (1981) mendefinisikan mental accounting sebagai perilaku ekonomi bilamana seseorang menggolongkan masukan dan keluaran berdasarkan pos-pos seperti halnya model akuntansi (account code). Lebih lanjut Henderson dan Peterson (1992) mengatakan dalam kontek yang umum mental accounting menunjuk pada suatu proses mengkategorikan outcome. Kategorisasi melibatkan aktivitas pencatatan ke dalam 9 rekening-rekening tertentu. Secara mental seseorang cenderung memberikan label pendapatan dan pengeluaran dan memilahkannya kedalam rekening tertentu misalnya pendapatan rutin versus hadiah, kebutuhan pokok versus kebutuhan untuk bersenang-senang/rekreasi. Selain itu, ada kemungkinan seseorang akan membelanjakan uang yag berasal dari pendapatan rutin secara berbeda dengan hadiah (Thaler, 1990). Pendapatan yang diperoleh dari kerja keras (harian/bulanan) dipersepsikan lebih bernilai dibandingkan pendapatan yang diperoleh dari hadiah, tunjangan, bonus, atau sejenisnya meskipun jumlah nominalnya sama. Hal ini dapat membawa memberlakukan implikasi penggunaan ada kemungkinan pendapatan secara akan berbeda tergantung dari mana uang tersebut berasal sehingga bias dalam pengambilan keputusan alokasi pendapatannya. Thaler (1980) mengatakan terdapat tiga komponen dalam proses mental accounting, yakni; pertama, persepsi terhadap hasil (outcomes) dan membuat serta mengevaluasi keputusan. Kedua, menetapkan aktivitas untuk pencatatan yang spesifik. Ketiga, menentukan pembatasan periode waktu terhadap mental accounting lainnya yang berkaitan. Misalnya contoh dari penelitian yang dilakukan Tversky dan Kahneman (1981) menunjukkan bahwa sebagian besar subyek memilih untuk tidak mengganti tiket teater yang hilang, mereka memilih untuk membeli tiket setelah kehilangan jumlah uang yang setara. Hilangnya tiket dan 10 harga tiket dievaluasi sama sementara kehilangan uang dan harga tiket dievaluasi secara terpisah. Temuan ini menunjukkan, meskipun seseorang kehilangan uang dalam jumlah yang sama besar, ternyata tindakan keuangan yang mereka ambil bisa berbeda, tergantung dari pos pengeluaran yang ada di kepala mereka. 2.2. Self-Control Hurlock (1990) berpendapat bahwa self-control berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan dalam dorongan-dorongan dirinya. emosi Kazdin serta (1994) menambahkan bahwa self-control diperlukan guna membantu individu dalam mengatasi kemampuannya yang terbatas dan membantu mengatasi berbagai hal merugikan yang dimungkinkan berasal dari luar. Sementara itu, Calhoun & Acocella (1990) mendefinisikan self-control sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Mempertegas hal ini, Goldfried & Merbaum (dalam Lazarus, 1976), mendefinisikan self-control sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. menggambarkan Selain keputusan itu self-control individu yang juga melalui pertimbangan kognitif untuk menyatakan perilaku yang telah 11 disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan (Lazarus, 1976). Dewi (2004) berpendapat bahwa self-control menyangkut seberapa kuat seseorang memegang nilai dan kepercayaannya untuk dijadikan acuan ketika ia bertindak atau mengambil suatu keputusan. Self-control menggambarkan kemampuan individu yang dengan aktif mengendalikan respon mereka terhadap rangsangan eksternal, pemikiran, perasaan, dan perilaku-perilaku lainnya menurut tujuan, perilaku, atau tujuan (Baumeister, Gaillot, DeWall, and Oaten, 2006; Baumeister, Bratslavsky, Muraven, and Tice, 1998). Dengan demikian, self-control dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku. Block & Block (dalam Lazarus, 1976) menjelaskan ada tiga jenis kualitas self-control yaitu : (1) over control, merupakan self-control yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang menyababkan individu banyak menahan diri dalam beraksi terhadap stimulus, (2) under control, merupakan suatu kecenderungan individu untuk melepaskan impuls dengan bebas tanpa perhitungan yang masak dan (3) appropriate control, merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan impuls secara tepat. 2.3. Personal Finance Yulis 2010 mengutip (ayoeb, 2008) menjelaskan keuangan pribadi (personal finance) pengelolaan keuangan 12 diartikan sebagai kebutuhan keuangan proses hidup secara pengelolaan bagaimana melalui tersusun keuangan individu pengelolaan dan merupakan memenuhi sumber-sumber sistematis. proses Selain itu merencanakan keuangan, termasuk keadaan dan sarana keuangan, guna membentuk dan melaksanakan rencana keuangan yang telah dipersiapkan. Pengelolaan keuangan pribadi merupakan suatu proses pencapaian tujuan pribadi melalui manajemen keuangan yang terstruktur dan tepat (Malinda, 2007). Pengelolaan keuangan menyangkut bagaimana mengelola keuangan yang ada untuk mendapatkan suatu penghasilan yang maksimal atau disebut dengan manajemen keuangan. Manajemen keuangan adalah sebuah kegiatan menyangkut dari kegiatan perencanaan, analisis, dan pengendalian kegiatan keuangan. Sehingga terdapat dua keputusan utama dalam manajemen keuangan yakni; bagaimana menggunakan dana (allocation of funds) dan bagaimana mencari pendanaan (raising of funds). 2.4. Mental Accounting Sebagai Perangkat Self-Control Karlsson (1998) dan Hoch dan Loewenstein (1991) menegaskan sebagai bahwa perangkat mental accounting dapat digunakan Dalam artian mencegah self-control. pemanfaatan dana untuk kepentingan yang bersifat konsumtif atau overspending karena dana sudah dipilah-pilahkan kedalam rekening tertentu seperti tabungan dan investasi 13 sehingga dana tersebut tidak mudah digunakan untuk kepentingan lain (konsumtif). Hal ini berarti bahwa mental accounting tidak selalu mengarah pada hal-hal yang bersifat negative, tetapi pengelompokan uang secara berbeda tergantung dari mana uang tersebut berasal digunakan sebagai self-control yaitu untuk mencegah perilaku boros. Misalnya, Supramono penelitian contoh dan yang dari Damayanti dilakukan penelitian (2011) tidak yang dilakukan menunjukan sesuai dengan bahwa yang dikemukakan oleh Chatterjee, Heath dan Min (2009) serta Thaller (1990) yang menganggap bahwa mental accounting dapat membawa dampak yang tidak baik dalam pengambilan keputusan karena adanya kemungkinan untuk boros atau berperilaku konsumtif atas penghasilan ekstra. Karena hasil penelitian ini menunjukan bahwa pendapatan ekstra guru dimanfaatkan untuk hal-hal yang bersifat positif yaitu sebagian besar menggunakannya untuk biaya pendidikan baik untuk diri sendiri maupun untuk anak dan juga untuk tabungan. Selain itu, penelitian ini memberikan hasil bahwa mental accounting atas penghasilan ekstra guru digunakan sebagai self-control yaitu untuk mencegah perilaku boros atau dalam arti digunakan untuk mencegah pemanfaatan dana untuk kepentingan yang bersifat overspending karena dana sudah dipilah-pilahkan kedalam rekening tertentu. Shefrin dan Thaller (1988), melalui teori behavioral lifecycle, individu memaksimalkan kepuasan terus menerus 14 seumur hidupnya ketika mereka maju dalam siklus hidup dengan (1) mengerahkan pengendalian diri (self-control) yang telah meningkat dalam menunda konsumsi ke periode yang akan datang; (2) secara mental memisahkan penghasilan pada account berbeda (yang disebut dengan mental accounting); (3) menyesuaikan tingakat tabungan (saving rate) mereka atas dasar keuntungan atau kerugian yang dipersepsikan dalam tiga mental accounts yakni : current income, current asset dan future income. Current income merupakan akun mental yang dapat dibelanjakan segera seperti rejeki atau bonus sedangkan current asset misalnya pendidikan anak hingga mencapai usia kuliah. Sementara future income adalah pendapatan yang akan datang. Mereka memprediksi seseorang akan menggunakan lebih banyak rejeki atau bonus yang diperoleh jika dimasukan kedalam rekening current income daripada jika dimasukan kedalam tabungan (current asset), dan digunakan paling sedikit untuk kegiatan konsumtif jika dimasukan kedalam rekening pendapatan yang akan datang (future income). Sebagai contoh, pensiun oleh sebagian orang dikategorikan sebagai current income karena dapat dengan segera dikonsumsi, akan tetapi sebagian orang yang lain mengkategorikan sebagai future income. Individu yang lebih maju dalam siklus hidupnya telah meningkat pengendalian dirinya untuk menunda konsumsi pada periode yang akan datang. Selain itu, rejeki yang diterima sekaligus cenderung 15 akan dimasukan sebagai current asset, sementara jika diterima per-bulan sebagai current income. Konsumsi di masa depan dianggap lebih terbatas ketika uang yang digunakan adalah current income dibandingkan dengan ketika current asset yang harus digunakan. Ini terjadi karena ketidakpastian pengeluaran di masa depan sehingga untuk mewujudkan konsumsi di masa depan harus mengurangi pengeluaran sekarang, agar ada dana yang bisa dikumpulkan dan dikembangkan untuk dipakai memenuhi pengeluaran di masa depan. konsumsi di masa depan lebih diikatkan pada penggunaan current asset sedangkan current income lebih siap dihabiskan pada konsumsi yang bersifat segera/mendesak. Masyarakat memikirkan konsekuensi-konsekuensi yang bervariasi diantara setiap situasi. Keinginan terbesar untuk membeli ketika menggunakan uang dari current income daripada dari current asset, merupakan pertimbangan yang lebih besar akan konsekuensi-konsekuensi di masa depan atau konsumsi-konsumsi di masa depan ketika menggunakan current asset. Ketika memiliki pengeluaran masa depan yang diketahui, keinginan untuk membeli akan lebih menurun ketika harus menggunakan current asset ketimbang menggunakan current income. Sebagai contoh, untuk biaya operasional bulanan, dapat menggunakan dana jangka pendek yang berasal dari gaji bulanan. Namun jika untuk sesuatu yang diinginkan di masa 16 depan, harus menggunakan dana jangka panjang. Dana jangka panjang berasal dari dana cadangan yang tidak digunakan dan telah disimpan di rekening bank (terpisah dari kebutuhan bulanan). Pengeluaran di masa depan mengijinkan dan menurunkan kepastian untuk membeli dalam jumlah yang lebih besar ketika menggunakan current asset daripada ketika menggunakan current income karena ada kepastian pengeluaran di masa depan yang sudah diketahui. Oleh karena itulah, mental accounting berfungsi sebagai strategi kontrol diri dengan mempertimbangkan hal ini, konsumsi di masa depan lebih diikatkan pada penggunaan current asset sedangkan current konsumsi yang income bersifat lebih siap dihabiskan segera/mendesak. pada Menjadikan konsumsi di masa depan lebih besar lagi ketika menggunakan current asset daripada ketika menggunakan current income menyatakan bagaimana mental accounting berfungsi sebagai strategi control diri. Pengendalian diri (self-control) sebenarnya adalah inti dari teori Behavioral life-cycle, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Teori behavioral life-cycle memfokuskan pada tiga karakteristik yaitu melihat ke masa depan, pengendalian diri (self-control), kebiasaan dan hubungan diantara ketiganya. Melihat ke masa depan penting karena tabungan memerlukan perencanaan jangka panjang. Self-control diperlukan karena konsumsi seketika selalu merupakan pilihan yang menarik dibandingkan dengan menabung. Sementara kesuksesan 17 seseorang berurusan dengan problem-problem pengendalian diri membutuhkan penanaman kebiasaan yang baik. Demikian halnya dengan studi mengenai keputusankeputusan pembelian khusus (Karlsson, Garling & Selart, 1997) mendukung teori behavioral life-cycle. Dalam studi ini ditemukan bahwa kemauan/kehendak untuk membeli itu lebih tinggi ketika subyek menggunakan uang dari current income daripada dari current asset. Hasil-hasil temuan ini sejalan dengan ide bahwa penggunaan mental account itu dimotivasi oleh pengontrolan diri. Karlsson, Garlin dan Selart (1997) mengajukan hipotesis bahwa keengganan menggunakan tabungan sebagaimana diprediksi oleh mental accounting akan menurun jika motif menabung dan konsumsi adalah sesuai. Lindgvist (1981) membedakan empat motif menabung; manajemen kas, berjaga-jaga, media keuangan mewujudkan keinginan di masa datang dan manajemen kekayaan. Sedangkan motif konsumsi dibedakan antara lain untuk kepentingan menggantikan sesuatu atau membeli sesuatu yang telah lama diinginkan. Misalnya motif konsumsi adalah untuk mengganti barang yang ada, kemauan menggunakan tabungan akan lebih besar jika motif menabung adalah untuk berjaga-jaga daripada jika motif menabungnya adalah ingin membeli sesuatu yang sudah lama diinginkan. 18