pemetaan kerukunan kehidupan beragama di berbagai daerah

advertisement
PEMETAAN KERUKUNAN
KEHIDUPAN BERAGAMA
di Berbagai Daerah di Indonesia
Editor:
H. Mursyid Ali
DEPARTEMEN AGAMA RI
BADAN LITBANG DAN DIKLAT
PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
2009
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah
di Indonesia
Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2009
xxii + 312 hlm; 15 x 21 cm.
ISBN : 978-602-8739-01-6
Hak cipta pada penulis
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari
penerbit
Cetakan pertama, Agustus 2009
Tim Peneliti Keagamaan
Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah
di Indonesia
Editor: Drs. H. Mursyid Ali
Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta
Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama
Gedung Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal
Komplek Taman Mini Indonesia Indah
Telp./Fax. (021) 87790189 Jakarta
Dicetak oleh CV. PRASASTI
ii
KATA SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 disebutkan definisi
Kerukunan Umat Beragama sebagai berikut: ”Kerukunan Umat
Beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati,
menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan
kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”.
Sebagai kondisi maupun proses pengembangan polapola interaksi sosial, kerukunan memiliki fungsi penting bagi
penguatan dan pemeliharaan struktur sosial suatu
masyarakat. Kerukunan dapat menjadi katup pengaman
(safety valve) bagi disintegrasi sosial. Kerukunan dapat
mereduksi konflik, disamping secara fungsional-struktural
berfungsi membangun keseimbangan masyarakat (social
equilibrium). Kerukunan, dengan demikian berfungsi
mengontrol, memelihara, menguatkan dan membangun
”ikatan sosial” struktur masyarakat. Kerukunan mengontrol
unsur untuk saling mengikat dan memelihara keutuhan
bersama agar tetap eksis dan survived. Secara terinci, makna
dan fungsi kerukunan dapat dipahami dalam berbagai
konteks dimensi kehidupan masyarakat.
Menyadari pentingnya kerukunan, maka ada beberapa
hal yang perlu dikembangkan. Pertama, pengembangan
wadah kerukunan yang kuat. Wadah ini harus merupakan
iii
forum komunikasi kelompok-kelompok yang secara murni
menghendaki kerukunan. Untuk itu, wadah harus memiliki
kejelasan orientasi (visi dan misi) yang dapat diprogramkan.
Kedua, pengembangan sistem norma, atau perangkat
pengaturan ikhwal norma dan nilai tentang ekspektasi serta
preskripsi dan proskripsi yang diperlukan. Sistem norma dan
nilai yang dibangun niscaya harus merepresentasikan prinsipprinsip kejelasan orientasi, relevansi dengan kebutuhan,
keadilan bagi semua pihak, kebersamaan dan kepraktisan.
Dalam konteks inilah, peranan pemerintah dan masyarakat
sangat menentukan derajat keberhasilan terbangunnya proses
integrasi sosial masyarakat.
Menyadari makna strategis kerukunan bagi kesatuan
dan keutuhan negara dan bangsa ini, Badan Litbang dan
Diklat Departemen Agama telah melakukan penelitian
tentang ”Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama” di
beberapa daerah pada tahun 2007 yang secara umum hasilnya
dapat disimak dalam buku ini.
Terima kasih diucapkan kepada semua pihak yang
telah memberikan sumbangsihnya. Semoga buku ini
bermanfaat.
Jakarta, Agustus 2009
Kepala Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI,
Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar
NIP. 19481020 196612 1 001
iv
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
S
egala puji bagi Allah atas petunjuk dan rahmat-Nya,
buku berjudul ”Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama
di Berbagai Daerah di Indonesia”, dapat diterbitkan sesuai
dengan rencana yang sudah ditetapkan. Buku ini memuat
hasil-hasil penelitian mengenai Kerukunan Kehidupan
Beragama di Berbagai Daerah di Indonesia yang dilakukan
Puslitbang Kehidupan Keagamaan beberapa tahun terakhir.
Pemetaan kerukunan ini dimaksudkan untuk
mengelaborasi kondisi kehidupan beragama, hubungan antar
umat beragama, potensi-potensi konflik, kecenderungan
hubungan antar umat beragama, institusi-institusi lokal yang
berperan dalam menjaga kerukunan, usaha-usaha yang
dilakukan dalam menjaga integrasi sosial, serta kebijakankebijakan pemerintah yang mendukung lahirnya kondisi
integrasi sosial kemasyarakatan.
Produk-produk
berupa
pemetaan
kerukunan
kehidupan beragama ini diharapkan dapat menjadi bahan
dalam membangun dan merawat harmoni sosial yang telah
ada selama ini, sekaligus mencari alternatif baru yang lebih
mengena dan lebih berbasis pada realitas sosial. Agar
pengkajian ini lebih dapat melihat realitas sosial masyarakat,
maka penelitian dilakukan di daerah yang masyarakatnya
mempunyai tingkat heterogenitas yang tinggi dari segi suku,
etnik dan agama. Kajian ini dilakukan dengan metode
kualitatif dan diperkuat dengan metode kuantitatif. Dengan
demikian, analisis terhadap hasil pengamatan dan wawancara
v
diperkuat dengan hasil angket sehingga semua argumen
kualitatif akan didukung dan diperluas.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama yang telah memberikan arahan dalam penerbitan
buku ini. Kepada para peneliti yang telah melaksanakan
tugasnya dengan baik, kami juga mengucapkan banyak terima
kasih. Semoga hal ini dapat dilanjutkan pada masa-masa yang
akan datang.
Akhirnya kami mengharapkan kepada para pembaca
untuk memberikan kritik dan sarannya, dalam rangka
perbaikan tulisan ini pada masa yang akan datang.
Wabillahitaufik walhidayah.
Wassalam
Jakarta, Agustus 2009
Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D
NIP. 19600416198903 1 005
vi
PENGANTAR EDITOR
Pendahuluan
erdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama berkenaan dengan masalah
kerukunan kehidupan beragama di berbagai daerah di
Indonesia diperoleh gambaran umum antara lain sebagai
berikut.
Konflik dan kerusuhan (riots) sosial yang meledak di
berbagai kota di Indonesia dua-tiga tahun belakangan ini
tidak berlangsung dalam ruang kosong. Konflik dan
kerusuhan itu terjadi dalam realitas sosial dan politik tertentu.
Oleh karena itu, analisis terhadap setiap konflik dan
kerusuhan sosial yang meledak tidak cukup hanya dengan
melihat aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, baik dari
perspektif etnisitas maupun agama. Analisis konflik dan
kerusuhan harus juga memperhatikan faktor-faktor seperti
sosial, politik, dan ekonomi. Faktor-faktor sosial, politik, dan
ekonomi merupakan infrastruktur terjadinya konflik dan
kerusuhan sosial. Sementara etnisitas dan agama dapat
dipandang sebagai faktor komplementer yang menambah
semakin mengerasnya kelompok maupun aktor yang terlibat
konflik dan kerusuhan, apalagi dalam masyarakat majemuk
(heterogen) seperti Indonesia. Memang etnisitas dan agama
bisa menjadi sumber konflik dan kerusuhan sosial, tetapi ia
lebih sering membutuhkan infrastruktur lain untuk terjadinya
konflik dan kerusuhan sosial daripada faktor yang berdiri
sendiri. Apalagi dalam sejarah masyarakat Indonesia yang
majemuk konflik dan kerusuhan sosial yang terjadi senantiasa
melibatkan faktor-faktor yang lebih kompleks dari sekedar
B
vii
soal etnis dan agama. Akan tetapi perlu tetap digarisbawahi
bahwa masyarakat majemuk lebih membuka peluang
terjadinya konflik sosial daripada masyarakat yang homogen
meski pada era modern sekarang masyarakat homogen
hampir mustahil ditemukan.
Kemajemukan bangsa Indonesia bukanlah realitas
yang baru terbentuk. Kemajemukan dari segi etnis, budaya,
bahasa, dan agama, merupakan realitas sejarah yang sudah
berlangsung lama di negeri ini. Sejak masa-masa kerajaan,
penjajahan, dan kemerdekaan kemajemukan telah menjadi
salah satu ciri bangsa Indonesia. Di samping itu, penduduk
Indonesia tersebar di pulau-pulau dengan komposisi yang
tidak merata; ada pulau yang relatif kecil, tetapi padat seperti
pulau Jawa-Luasnya hanya 6,89% dan dihuni 59,99%;
sebaliknya pulau Irian Jaya yang luasnya 21,99% hanya dihuni
0,92% penduduk. Data 1993 menunjukkan bahwa tingkat
kepadatan penduduk di pulau Jawa adalah 814 jiwa per
kilometer persegi, sementara di Irian Jaya untuk ukuran luas
yang sama hanya dihuni 4 jiwa saja.
Selanjutnya, dari segi jumlah dan komposisi pemeluk
agama juga menampakkan tingkat keragaman yang relatif
besar. Persebaran dan komposisi penganut agama di
Indonesia (BPS, 1990) adalah: Islam 87,21% (156.318.610 jiwa);
Protestan 6,04% (10.820.769 jiwa); Katolik 3,58% (6.411.794
jiwa); Hindu 1,83% (3.287.309 jiwa); Budha 1,02% (1.840.693
jiwa); lain-lain 0,32% (568.608 jiwa). Jumlah penduduk
Indonesia pada tahun itu sebanyak 179.247.783 jiwa.
Penyebaran penganut agama itu tidak merata. Meyoritas
penganut Islam tersebar di Sumatera, Jawa, Madura,
Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Sumbawa dan pulau-pulau di
Maluku Utara. Penganut Kristen Protestan mayoritas tersebar
viii
di Irian Jaya, Katolik di Pulau Plores, Timor Timur, dan
mayoritas Hindu tersebar di Pulau Bali.
Sebagaimana diperlihatkan sejarah Indonesia di masa
lampau, kemajemukan itu tidak menimbulkan konflik
masyarakat, apalagi kerusuhan sosial. Sebaliknya bahkan
menjadi himpunan kekuatan bangsa dalam menumbuhkan
semangat nasionalisme. Kemajemukan itu malah telah
menjadi slogan persatuan dan kesatuan bangsa; Bhineka
Tunggal Ika.
Dengan titik tolak bahwa kemajemukan itu merupakan
kekayaan dan modal bangsa, bukan malah menjadi beban,
maka konflik dan kerusuhan sosial di Indonesia harus dilihat
lebih dari itu. Meskipun demikian, karena sejarah sebagai
masyarakat majemuk itu tidak dialami oleh seluruh
masyarakat Indonesia, maka kemajemukan tetap harus
dipandang sebagai faktor sekaligus kondisi yang dapat
menimbulkan konflik antar masyarakat. Di samping
memperhatikan faktor kemajemukan masyarakat, analisis
terhadap konflik dan kerusuhan sosial harus lebih
memperhatikan realitas sosial dan politik yang tengah
berjalan daripada murni sebagai konflik antar kelompokkelompok masyarakat yang dipicu oleh kemajemukan in itself
oleh karena itu, dalam menjelaskan fenomena konflik dan
kerusuhan di Indonesia faktor sosial dan politik termasuk
kebijakan
yang
diformulasikan
pemerintah
dalam
pembangunan bidang agama, menjadi sangat signifikan.
Sampai sejauh ini, secara umum terdapat dua jenis
analisis yang mencoba menjelaskan fenomena kerusuhan
sosial di Indonesia. Pertama, kelompok teoritis yang
berpendapat bahwa kerusuhan sosial yang melibatkan tindak
kekerasan merupakan reaksi emosional terhadap gangguan
dari luar. Kelompok teoritis ini lebih menekankan aspek
ix
psikologis dalam merinci dan menjelaskan fenomena
kerusuhan sosial. Kedua, kelompok pendukung argumen
instrumentalis yang memandang kerusuhan sosial yang
melibatkan tindak kekerasan merupakan hasil dari kalkulasi
strategis dan keputusan taktis. Kelompok ini lebih
memfokuskan aspek politis dalam menjelaskan fenomena
kerusuhan sosial.
Pandangan dua kelompok besar itu sama-sama
mengandung kebenaran: faktor psikologis dan politis samasama bekerja dalam menciptakan kondisi bagi meletusnya
kerusuhan sosial. Karena itu, mengabaikan salah satunya
bukan hanya tidak adil, tetapi juga salah karena lebih
menekankan aspek yang satu dibandingkan yang lain. Untuk
mendapatkan penjelasan yang komprehensif, seluruh faktor
yang dipandang kontributif, atau memiliki kaitan, dengan
peristiwa kerusuhan sosial harus mendapat porsi perhatian
yang seimbang.
Kondisi-kondisi Umum
Kerusuhan sosial tidak bisa dipisahkan dari kondisi
sosial politik negara ini di bawah pemerintahan Orde Baru.
Selama berkuasa lebih dari 30 tahun, pemerintah Orde Baru
telah melancarkan kebijakan pembangunan bidang sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan agama. Pembangunan yang
dicanangkan pemerintah Orde Baru, karena sifat antitesisnya
terhadap kebijakan yang digulirkan pemerintah Orde Lama.
Lebih menekankan bidang pembangunan ekonomi.
Pembangunan bidang-bidang yang lain disubordinasikan ke
dalam bidang ekonomi. Dalam melaksanakan pembangunan
ekonomi, pemerintah Orde Baru menempuh jalan modernisasi
dengan corak pembangunan yang sangat pragmatis. Ini
ditempuh dengan masuknya kapitalisme global melalui
x
pemberian kesempatan yang besar terhadap masuknya modal
asing.
Membanjirnya
modal
asing
ke
Indonesia
mengakibatkan industrialisasi dan perdagangan di negeri ini
mengalami pertumbuhan pesat. Perkembangan ini segera
diikuti oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota karena
besarnya kesempatan kerja yang tersedia di kota. Sektor
pertanian sendiri, diletakkan sebagai bagian dari
industrialisasi dan perdagangan sehingga program-program
yang dicanangkan justru lebih berpihak pada kalangan
pengusaha dan pedagang daripada petaninya sendiri.
Akibatnya, sektor ini tidak hanya menjadi kurang manarik
bagi kalangan generasi muda desa, tetapi juga kurang
menjanjikan dari segi ekonomi. Kondisi ini segera memicu
urbanisasi dan mengkonsentrasikan penyebaran penduduk ke
kota-kota besar.
Akan tetapi, penduduk desa yang bermigrasi ke kotakota itu tidak seluruhnya memiliki keahlian dan keterampilan
yang dibutuhkan di kota besar. Bagi yang dibekali
keterampilan, tenaga kerja mereka segera terserap ke sektorsektor industri di kota, sementara yang tidak memiliki
ketermpilan menjadi kelompok marginal di kota. Sebagian
mereka bekerja di sektor-sektor formal, buruh lepas, dan
sebagainya. Mereka inilah yang kemudian tinggal di
perkampungan-perkampungan kumuh (slum areas) di kotakota. Sementara itu, pada saat yang sama industrialisasi yang
dilancarkan berhasil mengubah wajah fisik perkotaan,
kalangan pemilik modal, dan kaum profesional. Secara fisik
kota mengalami perubahan besar dengan berdirinya gedunggedung baru, jalan-jalan yang luas dan lebar, pusat-pusat
perbelanjaan, dan fasilitas transportasi yang relatif modern.
Sejalan dengan suksesnya program industrialisasi, kaum
xi
pemilik modal dan para profesional juga semakin menikmati
kelimpahan ekonomi. Pada saat yang sama trickle down effect
yang diharapka tidak kunjung terwujud. Akibatnya, fasilitas
fisik perkotaan itu hanya mampu dijangkau dan dinikmati
oleh kaum pemilik modal dan para profesional, sementara
kebanyakan masyarakat perkotaan, apalagi kaum migran desa
yang bekerja di sektor informal, semakin terpinggirkan.
Mereka hanya menikmati sedikit saja hasil pembangunan
ekonomi yang dilancarkan pemerintah.
Arus perpindahan penduduk itu tidak hanya dari desa
ke kota, tetapi juga terjadi antar pulau dan suku bangsa.
Pemerintah bahkan menyelenggarakan program ini secara
sistematik melalui transmigrasi sebagai bagian dari
pemerataan penyebaran penduduk. Program transmigrasi ini
tak jarang menimbulkan masalah hubungan antara etnisitas
dan lokalitas di berbagai daerah di Indonesia, terutama di luar
Jawa. Secara umum, program transmigrasi memang berhasil,
tetapi di antara efek samping dari program ini adalah
tumbuhnya persaingan, terutama di bidang ekonomi antara
kaum pendatang dan penduduk lokal. Persaingan itu tak
jarang dapat memicu konflik dan kerusuhan sosial.
Kasus kerusuhan Sambas, Kalimantan Barat, yang
berlangsung antara masyarakat Dayak versus Madura(1999)
merupakan contoh yang cukup representatif.
Lepas dari itu, melalui pembangunan ekonomi yang
terkonsentrasi di kota-kota, telah terbentuk masyarakat
”heterogen baru” yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya beserta tuntutan-tuntutan infrastruktur dan
norma-norma sosial yang baru pula.
Secara sederhana itulah antara lain gambaran
kebijakan ekonomi yang dilancarkan pemerintah Orde Baru.
Akibat yang timbul dari kebijakan ini adalah semakin
xii
lebarnya disparitas pendapatan antar masyarakat. Pada
gilirannya hal itu membawa akibat-akibat sosial yang
sebelumnya tidak pernah terjadi. Kesenjangan ekonomi yang
lebar mengakibatkan semakin tegasnya perbedaan kelas-kelas
sosial dalam masyarakat sehingga menjadi rawan konflik.
Apalagi jika kesenjangan itu kemudian ditambang faktorfaktor lain, terutama yang bersifat psikologis dan teologis
seperti perbedaan etnis dan agama.
Pembinaan Kerukunan
Pembinaan agama merupakan tanggung jawab
Departemen Agama, sebagai institusi negara yang memang
secara historis mempunyai wewenang di bidang itu. Arah
pembinaan kehidupan beragama di Indonesia antara lain
membangun kerukunan hidup antar dan intra umat
beragama. Hal ini karena agama mempunyai kecenderungan
untuk menyebarkan kebenaran yang diyakini pada umat
manusia. Jika kecenderungan ini tidak diatur, maka akan
menjadikan masyarakat beragama saling berebut pengaruh
yang pada gilirannya dapat menimbulkan konflik antar
agama.
Karena arahnya adalah pembangunan kerukunan
antar dan intra umat beragama, maka Departemen Agama di
samping mengeluarkan pedoman-pedoman penyiaran agama,
juga memberi fasilitas bagi kalangan umat beragama untuk
mengadakan dialog dan kerjasama. Departemen Agama telah
mendirikan forum-forum beranggotakan tokoh agama-agama
yang berfungsi sebagai jembatan antar umat beragama dengan
pemerintah atau Departemen Agama. Forum-forum itu adalah
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesa
(PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisadha
Hindu Darma Indonesia (PHDI), dan Perwalian Umat Budha
xiii
Indonesia (WALUBI). Melalui forum-forum itu diharapkan
agama bertindak sebagai kekuatan pemersatu bagi para
pemeluk agama masing-masing.
Membangun kerukunan agama merupakan agenda
yang tidak ringan. Agenda ini harus dijalankan dengan hatihati mengingat agama lebih melibatkan aspek emosi daripada
rasio; lebih menegaskan ”klaim kebenaran” daripada
”mencari kebenaran”. Meskipun sejumlah pedoman telah
digulirkan, pada umumnya masih sering terjadi gesekangesekan di tingkat lapangan, terutama berkaitan dengan
penyiaran agama, pembangunan rumah ibadah, dan
sebagainya. Pada tingkat tertentu ini dapat mengganggu
kerukunan hidup antar umat beragama.
Pada saat yang sama, agama juga membuka peluang
munculnya paham-paham yang berbeda. Perbedaan paham
dalam menghayati agama itu, pada gilirannya dapat
mengganggu hubungan intern umat beragama karena antara
satu dengan yang lain sering saling menyalahkan, atau dalam
bahasa Islam ”saling mengkafirkan”. Dalam kaitan ini,
Departemen Agama tidak hanya berusaha mengembangkan
paham keagamaan yang moderat, tetapi juga yang sejalan
dengan ideologi nasional bangsa, Pancasila. Paham-paham
yang bercorak ekstrem dan eksklusif tidak dilegitimasi,
bahkan jika mengandung tendensi politik segera dilarang.
Itulah kebijakan umum dalam bidang agama yang diambil
oleh pemerintah Orde Baru melalui Departemen Agama.
Dapat diduga bahwa kalangan masyarakat yang
memiliki paham keagamaan yang berbeda dengan institusi
resmi, akan memendam rasa kecewa yang diwujudkan dalam
berbagai bentuk respon. Bentuk yang paling ekstrim rasa
kecewa itu adalah membangun komunitas sendiri yang
terpisah dari masyarakat umum. Ini jelas merupakan kondisi
xiv
yang rentan konflik. Berkaitan dengan upaya meningkatkan
kerukunan beragama paling sedikit terdapat tiga ancaman.
Pertama, sikap agresif para pemeluk agama. Kedua,
organisasi-organisasi
keagamaan
yang
cenderung
menekankan peningkatan jumlah anggota daripada perbaikan
kualitatif keimanan anggota. Ketiga, disparitas sosial ekonomi
antar para penganut agama yang berbeda.
Faktor-Faktor Pemicu
Tanpa bermaksud menimpakan seluruh kesalahan
pada Orde Baru, harus diakui bahwa kebijakan-kebijakan
yang diformulasikannya seperti yang sepintas digambarkan di
atas telah menciptakan kondisi yang mengarah pada
ketegangan tersembunyi di kalangan masyarakat. Bahkan
sering dikatakan bahwa kondisi tersebut mengandung potensi
konflik yang besar. Jika diasumsikan kerusuhan sosial sebagai
salah satu bentuk protes sosial, maka terjadinya berbagai
kerusuhan sosial di berbagai wilayah tak lebih dan tak kurang
mengindikasikan ketidakpuasan kalangan masyarakat
terhadap kebijakan-kebijakan yang dilancarkan pemerintah,
baik dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Kerusuhan
sosial, dengan demikian, pertama-tama harus diletakkan
dalam konteks kebijakan umum pemerintah sebelum
dideteksi lebih jauh penyebab-penyebab khususnya.
Dalam kaitan itu dapat dikatakan bahwa kebijakankebijakan pemerintah ternyata telah mengkondisikan
terjadinya konflik dan kerusuhan sosial, yang bersifat
horizontal (antar masyarakat) maupun vertikal (antara
masyarakat dan aparat). Respons terhadap kebijakan yang
dilancarkan pemerintah yang dipandang tidak sejalan dengan
aspirasi masyarakat adalah munculnya perasaan kecewa. Ini
merupakan kondisi yang rentan terhadap konflik dan
xv
kerusuhan sosial. Kondisi yang rentan itu dapat diibaratkan
”rumput kering” yang siap terbakar. Karena itu, ketika
kondisi yang rentan itu bergesekan dengan masalah-masalah
sosial yang bersumber dari perbedaan etnis dan agama, maka
segera ia akan meletus menjadi kerusuhan.
Hal ini karena etnisitas dan agama merpakan faktor
sensitif dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia.
Faktor-faktor apakah gerangan yang dapat memicu
konflik, bahkan kerusuhan sosial? Mengikuti uraian-uraian
tersebut, tampak bahwa faktor ekonomi dan politik
merupakan peringkat pertama faktor pemicu konflik dan
kerusuhan. Sedangkan faktor agama menduduki peringkat
kedua. Berkaitan dengan faktor agama, Departemen Agama
telah mendaftar sejumlah kegiatan keagamaan yang
dipandang rawan konflik antara lain:
1. Pendirian rumah ibadah
Seperti terjadi di beberapa wilaya, tempat ibadah yang
didirikan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi
umat beragama merupakan faktor yang sering
menimbulkan hubungan tidak harmonis antara penganut
agama. Lebih dari itu, tak jarang menimbulkan konflik
antar umat beragama.
2. Penyiaran Agama
Penyiaran agama yang dilakukan secara lisan dan media
cetak maupun elektronik dapat menimbulkan konflik
antar umat beragama. Lebih-lebih jika penyiaran agama
itu diarahkan pada penganut agama lain.
3. Bantuan luar negeri
Bantuan luar negeri, baik berupa materi maupun tenaga
ahli, yang diarahkan untuk mengembangkan dan
menyebarkan suatu agama – jika tidak mengikuti
xvi
peraturan yang ada – juga rawan konflik, baik intern umat
beragama maupun antar umat beragama.
4. Perkawinan berbeda agama
Perkawinan berbeda agama, meski pada mulanya bersifat
pribadi dan keluarga, tak jarang menyeret kelompok umat
beragama dalam satu hubungan yang tidak harmonis.
Apalagi jika menyangkut akibat hukum perkawinan, harta
benda perkawinan, warisan dan sebagainya.
5. Perayaan hari besar keagamaan
Penyelenggaraan perayaan hari besar keagamaan yang
kurang mempertimbangkan kondisi, situasi, dan lokasi
juga dapat menimbulkan kerawanan dalam bidang
kerukunan antar umat beragama.
6. Penodaan agama
Perbuatan yang bersifat melecehkan atau menodai doktrin
dan keyakinan suatu agama tertentu, baik yang dilakukan
oleh seseorang maupun sekelompok orang, juga dapat
menimbulkan kerawanan di bidang kerukunan antar umat
beragama. Penodaan agama merupakan faktor yang
paling sering memicu konflik antar umat beragama.
7. Kegiatan aliran sempalan
Aliran yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
yang didasarkan pada keyakinan terhadap agama tertentu
secara menyimpang dari agama bersangkutan dapat
menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat
beragama. Pada gilirannya keresahan itu dapat muncul
dalam bentuk konflik intern dan antar umat beragama.
Faktor-faktor tersebut harus mendapat perhatian agar
konflik dan kerusuhan sosial yang bersumber dari agama
sejauh mungkin dapat dideteksi secara dini.
Peringkat selanjutnya atau ketiga ditempati faktor
lokalitas dan etnisitas. Faktor ini terutama muncul sebagai
xvii
akibat dari migrasi penduduk, baik dari desa ke kota maupun
antar pulau. Migrasi penduduk itu, sebagaimana dikatakan,
melahirkan masyarakat-masyarakat heterogen baru yang
belum mempunyai preseden sebelumnya. Masyarakat seperti
itu membutuhkan social conduct baru yang sejalan dengan
perkembangan masyarakatnya.
Sejauh menyangkut etnisitas, Indonesia memiliki
potensi disintegratif yang tinggi. Secara etnis, sebagaimana
dicatat Hildred Geertz (1963) Indonesia terdiri dari 300
kelompok puak (etnis) yang berbeda masing-masing dengan
identitas kulturalnya sendiri, yang berbicara dengan lebih dari
250 bahasa yang berbeda. Akan tetapi, kesadaran tentang
kelompok etnis di Indonesia sebenarnya baru berlangsung
pada awal abad ke-20 sejalan dengan ide nasionalisme yang
diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda. Kesadaran
tentang komunitas etnis dan keunikan etnisitas masingmasing baru muncul ketika pemerintah kolonial mempercepat
perubahan ekonomi dan sosial, mengembangkan komunikasi
dan transportasi yang membawa sekian banyak individu
terlibat dalam kontak satu sama lain. Di samping itu, dalam
batas-batas tertentu, kesadaran etnis ini juga dijinakkan oleh
faktor agama, khususnya Islam. Dalam beberapa hal Islam
bahkan menjadi supra identity yang mengatasi identitas dan
kesetiaan etnis.
Meskipun demikian, kesadaran etnis itu sama sekali
tidak mungkin dihapuskan. Sejalan dengan akselerasi
modernisasi yang dilancarkan pemerintah yang berakibat
semakin tingginya mobilitas sosial dan intensitas kontak
sosial, telah membuka kembali kesadaran masyarakat tentang
kunikan etnisnya. Ditambah dengan kesadaran lokalitas,
maka etnisitas menjadi semakin mengental. Apalagi terdapat
kategori penduduk asli dan kaum pendatang yang dengan
xviii
mudah dapat menyulut perbedaan-perbedaan yang tak jarang
berujung pada konflik, bahkan kerusuhan sosial.
Secara sosiologis, kerusuhan sosial yang merupakan
ekstensi dari konflik sosial hanya mungkin terjadi di kalangan
masyarakat yang heterogen. Tingkat heterogenitas masyarakat
yang berpadu dengan kondisi sosial-ekonomi, kemudian
menjadi faktor yang sangat menentukan besarnya potensi
konflik dan kerusuhan sosial. Oleh karena itu, sejalan dengan
peringkat di atas, pertama-tama yang harus mendapat
perhatian adalah masalah kehidupan sosial-ekonomi dan
politik yang adil dan demokratis. Di atas itu kebijakan tentang
kehidupan beragama dapat berjalan sehingga bangunan
kehidupan masyarakat yang harmonis akan tegak berdiri.
Pendekatan Masalah
Untuk mengatasi masalah kerusuhan sosial dan
mewujudkan kerukunan keagamaan serta persatuan dan
kesatuan bangsa, diperlukan upaya-upaya konkrit, intensif,
terarah serta kontinu yang melibatkan sebanyak mungkin
pihak terkait yang meliputi tokoh-tokoh keagamaan,
masyarakat dan pemerintah, sesuai dengan kondisi obyektif di
masing-masing wilayah baik di tingkat pusat, provinsi,
maupun di tingkat kabupaten dan kecamatan di seluruh
Indonesia, dengan menggunakan metode, dialog, diskusi,
sarasehan, tatap muka, kerjasama.
Menurut mantan Kabalitbang Agama Johan Efendi,
ada berbagai opsi dalam masyarakat berkenaan dengan
penanganan masalah kerukunan ini. Pertama adalah sikap
saling menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep
hidup berdampingan secara damai. Yang diperlukan adalah
sikap tidak saling mengganggu. Kedua, mengembangkan
kerjasama sosial keagamaan melalui berbagai kegiatan yang
xix
secara simbolik memperlihatkan dan fungsional mendorong
proses pengembangan kehidupan beragama yang rukun.
Ketiga, adalah mencari dan mengembangkan serta
merumuskan titik-titik temu agama-agama untuk menjawab
problem, tantangan dan keprihatinan umat kemanusiaan.
Opsi pertama adalah tahap awal dan kondisi minimal untuk
membangun
kebersamaan
masyarakat.
Opsi
ketiga
merupakan landasan ”theologis” bagi masing-masing
kelompok agama untuk membangun sebuah masyarakat di
mana semua orang dapat hidup bersama dalam semangat
kebersamaan, persamaan, dan kesatuan umat. Sementara opsi
kedua merupakan perwujudan nyata dari kebersamaan dan
kerukunan tersebut.
Terkait ihwal rumah ibadat dan kerukunan ini,
berdasarkan dialog dan diskusi yang cukup intens antara para
wakil dari pemerintah dan majelis-majelis agama pusat, telah
dikeluarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat.
Jakarta, Agustus 2009
Editor
Mursyid Ali
xx
DAFTAR ISI
Halaman
KATA SAMBUTAN .......................................................
iii
KATA PENGANTAR ....................................................
v
PENGANTAR EDITOR .................................................
vii
DAFTAR ISI ...................................................................
xxi
BAGIAN 1
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
DI PROVINSI MALUKU
Moh. Yamin Rumra, Abdul Rauf, dkk ..................
1
BAGIAN 2
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
DI KALIMANTAN BARAT
Fauziah, Ibrahim, dkk ...........................................
43
BAGIAN 3
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI
PROVINSI LAMPUNG
Yukrim Latief, Agus Pahrudin, dkk ......................
67
BAGIAN 4
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI
PROVINSI JAMBI
Muntholib Sm, Hilmi, dkk .................................... 103
BAGIAN 5
KERUKUNAN
KEHIDUPAN
BERAGAMA
MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN
BANYUASIN SUMATERA SELATAN
H. M. Adlin Sila, Suhanah , dkk ........................... 149
xxi
BAGIAN 6
KERUKUNAN
KEHIDUPAN
BERAGAMA
MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN
LUBUK PAKEM SUMATERA UTARA
H. Ahsanul Khalikin ............................................ 175
BAGIAN 7
KERUKUNAN
KEHIDUPAN
BERAGAMA
MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN
BATANG HARI JAMBI
H. Umar R. Soeroer, Asnawati, dkk ...................... 203
BAGIAN 8
KERUKUNAN
KEHIDUPAN
BERAGAMA
MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN
KOTAWARINGIN
BARAT
KALIMANTAN
TENGAH
H. Muchit A. Karim, Muchtar , dkk ..................... 231
BAGIAN 9
KERUKUNAN
KEHIDUPAN
BERAGAMA
MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN
TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN
H. Ridwan Lubis, Hj. Kustini , dkk ...................... 255
BAGIAN 10
Kerukunan Kehidupan Beragama Masyarakat
Perkebunan di Kabupaten Donggala Sulawesi
Tengah
H. Bashori A. Hakim, H. Mursyid Ali, dkk .......... 281
xxii
BAGIAN 1
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
DI PROVINSI MALUKU
Tim Peneliti
Moh. Yamin Rumra
Abdul Rauf
Adam Latuconsina
Karman
Muh. Nahar Nahrawi
Pendahuluan
A. Latar Belakang
alam masyarakat plural kemungkinan besar konflik
itu terjadi. Secara teoritik terdapat beberapa faktor
penyebab konflik sosial. Pertama, pada tataran
makroskopik, konflik sosial disebabkan oleh adanya kebijakan
pemerintah dalam segala bidang yang sentralistik dengan
dampak ketimpangan dan ketidakadilan dalam pembagian
kue pembangunan. Kedua, pada tataran mikroskopik, konflik
sosial bernuansa agama (seperti di Ambon dan Poso) akibat
adanya kebijakan yang kurang memperhatikan kehidupan
sosial keagamaan masyarakat lokal.
D
Secara empirik, cukup banyak faktor-faktor yang
menyebabkan konflik sosial. Pertama, pada tataran
makroskopik, konflik sosial disebabkan oleh adanya
kesenjangan yang nyata dalam bidang hukum, ekonomi,
politik dan budaya. Kasus pemberian kredit tanpa agunan
kepada etnis tertentu (Cina) sementara etnis pribumi harus
2
menggunakan agunan dan persyaratan lain yang berbelit-belit
adalah contoh adanya ketidakadilan ekonomi (Sri Edi
Swasono, 2001,22). Kriminalitas yang dilakukan penjahat kelas
teri, semacam mencuri ayam, ketika ditangkap harus
mendekam di penjara selama enam bulan. Sementara yang
melakukan korupsi bermilyar-milyar hanya mendapat
tahanan kota adalah contoh ketidakadilan dalam bidang
hukukm (M. Rusli Karim, 1999:24). Dalam bidang politik,
pemberian kesempatan dan peluang untuk menempati jabatan
politik atau kekuasaan hanya kepada kalangan tertentu dan
tidak mau berbagi kesempatan kepada kelompok lain telah
mengakibatkan marjinalisasi para politisi yang tidak
segolongan dengan penguasa (Mohtar Mas’ud, 1997:5-7,
Alfian, 2000:9-13, AS Hikam, 2001:36). Akhirnya keputusan
politik semakin tinggi dan meluas menyentuh berbagai
lapisan masyarakat, baik elit politik, intelektual dan
masyarakat, berakibat lahirnya tindak kekerasan politik dan
konflik sosial (Gurr, 1979:6-9). Menyamaratakan biaya
pendidikan di semua jenjang sekolah tanpa melihat kondisi
ekonomi wali murid, sehingga ada subsidi terselubung dari
orang miskin kepada orang-orang kaya adalah contoh faktual
dalam bidang pendidikan. Kedua, pada tataran mikroskopik
terlihat adanya pengabaian masyarakat lokal untuk dapat
mengembangkan multikulturalisme dengan model yang
sesuai dengan kondisi dan budaya lokal, telah berakibat pada
terhentinya pengembangan toleransi antar kelompok etnis
dan agama yang digantikan oleh kebijakan keseragaman yang
dilakukan oleh pemerintah. Ketika kran kebebasan dibuka,
masyarakat lokal bingung mendefenisikan kebebasan itu yang
akhirnya banyak mendefinisikan kebebasan secara keliru.
Argumen teoritis dan empirik di atas kiranya dapat
dijadikan dasar akan perlunya penyusunan peta yang
menggambarkan potensi konflik dan kerukunan kehidupan
umat beragama. Pemetaan kerukunan ini dimaksudkan untuk
3
mengelaborasi kondisi kehidupan beragama, hubungan antar
umat beragama, potensi-potensi konflik, kecenderungan
hubungan antar umat beragama, institusi-institusi lokal yang
berperan dalam menjaga kerukunan, usaha-usaha yang
dilakukan dalam menjaga integrasi sosial, serta kebijakankebijakan pemerintah yang mendukung lahirnya kondisi
integrasi sosial kemasyarakatan.
Produk-produk yang berupa pemetaan keruknan
kehidupan beragama itu akhirnya diharpakan dapat menjadi
bahan dalam membangun dan merawat harmoni sosial yang
telah ada selama ini, sekaligus mencari alternatif-alternatif
baru yang lebih mengena dan lebih berbasis pada realitas
sosial. Agar pengkajian ini lebih dapat melihat realits sosial
masyarakat, akan dilakukan di daerah yang masyarakatnya
mempunyai tingkat heterogenitas yang tinggi dari segi suku,
etnik dan agama. Kajian ini dilakukan dengan metode
kualitatif dan diperkuat dengan metode kuantitatif. Dengan
demikian, analisis terhadap hasil pengamatan, wawancara
dan kualitatif akan diperkuat dengan hasil angket sehingga
semua argumen kualitatif akan didukukung dan diperluas.
B. Masalah Penelitian
Penelitian yang berjudul “Penelitian tentang Pemetaan
Kerukunan Hidup Beragama” memfokus pada beberapa
masalah berikut:
1. Bagaimana aktivitas kehidupan beragama masyarakat.
2. Bagaimana tingkat hubungan antar umat beragama
masyarakat.
3. Apa saja yang menjadi faktor penyebab naik turunnya
kualitas hubungan antar umat beragama.
4. Bagaimana kecenderungan (trends) hubungan antar umat
beragama masyarakat.
4
5. Kebijakan atau program solutif apa yang telah dilakukan
terhadap masalah hubungan antar umat beragama yang
terjadi.
C. Hubungan dan Signifikansi Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, secara rinci
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menggambarkan (mendeskripsikan) tentang aktivitas
kehidupan beragama masyarakat.
2. Menggambarkan tingkat hubungan antar umat beragama
masyarakat.
3. Menggambarkan faktor-faktor penyebab naik dan
turunnya kualitas hubungan antar umat beragama
masyarakat.
4. Menggambarkan kecenderungan hubungan antar umat
beragama masyarakat.
5. Menggambarkan kebijakan / program solutif dari
pemerintah yang pernah ada.
D. Kerangka Konseptual
1. Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama
Pemetaan kerukunan kehidupan beragama dalam
kajian ini adalah penyusunan peta yang dapat
menggambarkan kondisi dan tingkat kerukunan hidup
beragama, kerawanan dan konflik secara jelas pada suatu
daerah tertentu dan mengidentifikasi secara jelas dan tepat
faktor-faktor yang membentuk kerukunan dan atau konflik
antar umat beragama. Dengan pemetaan itu, dapat
dilakukan suatu analisis penyelesaian masalah yang
pragmatis dalam upaya mendorong terciptanya suatu
masyarakat yang rukun dan damai, sehingga terjadi
integrasi bangsa yang semakin kuat dan bersatu.
5
2. Hubungan Sosial
Hubungan sosial yang dimaksud adalah tindakantindakan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih atau satu
kelompok atau lebih dan dalam tindakan itu para pelaku
mengaktifkan simbol-simbol untuk dapat memahami dan
difahami sesuai dengan konteks hubungan yang
berlangsung. Seseorang dapat saja memiliki banyak
identitas, tetapi tidak mungkin menggunakan semua
identitas itu sekaligus dalam hubungan sosial dalam waktu
yang bersamaan. Identitas-identitas lainnya akan digunakan
pada saat yang berlainan sesuai dengan kondisi yang
relevan (Parsudi Suparlan, 1997:26). Akhirnya pola
hubungan sosial dilakukan oleh antar kelompok sosial dan
stratifikasi sosial masyarakat yang tidak menonjolkan
identitas kelompok masing-masing, maka hubungan sosial
itu akan menjadi harmonis. Sebaliknya, jika masing-masing
kelompok menonjolkan identitas kelompok secara
berlebihan, maka yang terjadi adalah ketegangan dalam
hubungan sosial atau malah menjadi potensi konflik yang
semakin besar.
3. Kerukunan Hidup Beragama
Kerukunan hidup beragama adalah pola hubungan
antar berbagai kelompolk umat beragama yang rukun,
saling menghormati, saling menghargai dan damai, tidak
bertengkar dan semua persoalan dapat diselesaikan sebaikbaiknya dan tidak mengganggu kerukunan hubungan antar
umat beragama pada suatu daerah tertentu. Adanya kondisi
kerukunan hidup beragama bukan berarti tidak pernah
konflik. Sebab konflik itu sendiri adalah bagian dari proses
menuju integrasi bangsa atau kerukunan hidup beragama.
Bangsa atau masyarakat dengan integrasi yang kuat, bukan
berarti sebuah bangsa atau masyarakat yang tanpa
perbedaan, tetapi di dalamnya merupakan sebuah bangsa
6
atau masyarakat yang mempunyai komitmen bersama
tentang norma-norma sosial yang dapat menghasilkan daya
untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan
kepentingan dengan cara yang penuh dengan nuansa
kekeluargaan dan demokratis. (Nasikun, 1992:11-13).
Untuk menuju kerukunan hidup beragama ada faktorfaktor yang sangat berpengaruh terhadap naik turunnya
tingkat kerukunan hidup beragama. Faktor-faktor itu adalah
keadilan ekonomi, keadilan politik, persamaan manusia di
hadapan hukum, persamaan kesempatan untuk maju dan
sebagainya. Kondisi kerukunan hidup beragama atau
integrasi sosial makin mudah terjadi jika ada concencus di
antara
anggota
masyarakat
mengenai
nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu.
4. Konflik dan Integrasi
Kondisi kerukunan hidup beragama akan berubah
menjadi konflik jika faktor-faktor penyebab konflik tidak
diperhatikan oleh berbagai kelompok umat beragama
maupun pemerintah. Konflik adalah sebuah kondisi yang
berlawanan dengan integrasi yaitu suatu keadaan di mana
warga bangsa atau masyarakat yang di dalamnya ada dua
pihak atau lebih yang berusaha menggagalkan tercapainya
tujuan masing-masing pihak disebabkan adanya perbedaan
pendapat, nilai-nilai atau pun tuntutan dari masing-masing
pihak. (Puhan 151 1966 dalam Budiarti; 11). Kelompok
keagamaan tertentu yang bersaing untuk memperebutkan
jabatan secara paksa dalam suatu tujuan melahirkan reaksi
dari kelompok keagamaan yang lain. Kasus perebutan
jabatan gubernur dan walikota Maluku Utara adalah kasus
yang masih hangat dalam ingatan kita (Djumsi 66-67). Jadi,
konflik terjadi karena adanya pemaksaan kehendak dari
satu kelompok terhadap kelompok lain yang tidak dapat
7
membuat kesepakatan bersama sehingga muncullah konflik
berdarah.
Di dalam setiap masyarakat, menurut teori
fungsional struktural yang dikembangkan oleh Talesa
Purnomo, selalu terdapat tujuan-tujuan dan prinsip dasar
tertentu terhadap sebagian besar anggota masyarakat yang
menganggap serta menerimanya sebagai suatu hal yang
mutlak benar. Sistem sosial tersebut tidak saja merupakan
sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial,
akan tetapi sekaligus merupakan unsur yang menstabilisir
sistem sosial itu sendiri. Pengaturan interaksi sosial di antara
para anggota masyarakat dapat terjadi oleh karena
komitmen mereka terhadap norma-norma sosial yang
menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan
pendapat dan kepentingan di antara mereka, sehingga
memungkinkan mereka menemukan keselarasan satu sama
lain dalam suatu tingkat integrasi sosial tertentu. (Nasikun,
1992:21-22).
Dari beberapa definisi dan penjelasan konsep di atas,
maka kerangka teori yang dapat dibangun dalam kaitannya
dengan pemetaan kerukunan kehidupan beragama ini
adalah mengatur bagaimana identitas agama dan kelompok
keagamaan yang seluruhnya menggunakan simbol-simbol
sebagai atribut atau identitas tidak diaktifkan sekehendak
hati dalam hubungan sosial. Dalam kerangka ini, kerukunan
kehidupan beragama adalah wujud masyarakat yang rukun
dan integratif yang tidak menonjolkan identitas agamanya
masing-masing pada transaksi sosial secara berlebihan.
Sebab, begitu sebuah kelompok keagamaan atau apapun
namanya mengaktifkan simbol-simbol keagamaan secara
berlebihan dalam berbagai transaksi sosial, maka kelompok
lain akan berbuat serupa. Dalam kondisi pengaturan simbolsimbol identitas secara berlebihan dapat mengakibatkan
terbentuknya kasus sosial yang tidak memungkinkan
8
interaksi antar kelompok terjadi secara baik. Ketika batas
sosial sudah dibangun sedemikian rupa dan tidak ada
interaksi yang wajar, maka yang terjadi kemudian adalah
ketegangan psikologis yang dapat berlanjut menjadi
ketegangan sosial dan ketika ada pemicu yang relevan,
maka dengan mudah dapat menjadi konflik sosial antara
dua kelompok.
5. Kategori Pola Hubungan Sosial
Untuk mempermudah penyusunan peta kerukunan
beragama, maka dalam penelitian ini akan digunakan empat
kategori kerukunan. Pertama, rukun sekali. Rukun sekali
atau integrative yaitu menunjuk pada situasi dan kondisi di
mana semua kelompok etnis, ras, suku, agama dan
kelompok kepentingan bersatu padu dalam menghadapi
semua persoalan bersama dengan mengedepankan
demokrasi, hak azasi manusia, keadilan hukum, nilai-nilai
budaya yang berlaku, kebersamaan, kesederajatan,
penghargaan atas keyakinan, memberikan kesempatan
berprestasi dan mobilisasi sosial, penghindaran tindakan
kekerasan fisik dan keyakinan, rasa aman dengan identitas
yang dimiliki dan eksistensi yang keseluruhannya dilakukan
secara partisipatif dan penuh kearifan. Kedua, kurang rukun,
yaitu menunjukkan pada situasi dan kondisi di mana semua
kelompok etnis, suku, ras, agama dan kelompok
kepentingan, kurang kompak dalam menghadapi dan
memecahkan semua persoalan bersama. Bahkan ada kesan
sebagian tidak peduli dengan demokrasi, hak azasi manusia,
keadilan hukum, keyakinan orang lain, peluang berprestasi
dan mobilitas sosial, serta tidak peduli dengan rasa aman.
Namun demikian tidak terjadi benturan-benturan dalam
masyarakat (begitu pasif). Ketiga, potensial konflik atau
rawan konflik yaitu menunjuk pada situasi dan kondisi di
mana semua kelompok etnis, suku, ras, agama dan
kelompok kepentingan, tidak kompak dalam menghadapi
9
dan memecahkan semua persoalan bersama. Kondisi ini
dalam masyarakat terjadi persaingan yang tidak sehat
(kongkurensi) dan saling curiga mencurigai serta merasa
terancam oleh kelompok lain. Potensial konflik ini dapat
pula disetarakan dengan kerukunan dalam kondisi rawan
dan berbahaya, sehingga perlu segera diantisipasi, misalnya
dengan pembentukan wadah semua kelompok yang ada
dalam masyarakat. keempat, konflik terbuka sangat tidak
rukun yaitu menunjuk pada situasi dan kondisi di mana
semua kelompok etnis, suku, ras, agama dan kelompok
kepentingan tidak kompak dan tidak arif dalam
menghadapi dan memecahkan semua persoalan bersama.
Dalam kondisi ini sering terjadi benturan-benturan sosial,
segregasi sosial, stereotip sosial dan saling memfitnah atau
menghakimi. Mereka bukan saja tidak peduli dengan
demokrasi, hak azasi manusia, keadilan hukum dan
sebagainya, tetapi masyarakat yang emosional dan ingin
melakukan tindak kekerasan atau penyingkiran salah satu
pihak. Keyakinan dan identitas menjadinannya tidak asa
rasa aman. Situasi sudah saling menjegal terhadap
kelompook lain untuk mencapai tujuan dengan kekerasan.
Dengan semua kategori di atas, kiranya dengan mudah
sebuah wilayah dipetakan kerukunan hidup umat
beragamanya. Kadar dari kerukunan, kurang rukun,
potensial konflik dan konflik terbukanya seberapa jauh atau
seberapa besar dapat diketahui dengan penyebaran angket
kepada responden.
E. Metodologi Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian tentang pemetaan kerukunan dan
kerawanan sosial ini dilaksanakan di beberapa kabupaten
yang mempunyai kecenderungan penduduk yang heterogen
di seluruh propinsi., yakni kota Ambon dan Maluku
10
Tenggara. Pertimbangan wilayah penelitian ini didasarkan
pada alasan, yaitu: (1) tingkat heterogenitas penduduk, baik
dari segi agama maupun suku; (2) tingkat persoalan konflik
atau kerawanan sosial, baik yang sudah terjadi maupun
potensial dapat terjadi.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan
kualitatif
yang
didukung
pendekatan
kuantitatif.
Pendekatan kualitatif dilakukan untuk mendeskripsikan
seluruh data yang diperoleh melalui observasi,l wawancara
dan analisis data tekstual. Teknik pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara, observasi dan analisis yang
tajam dan menyeluruh terhadap keseluruhan data, termasuk
data-data tekstual. Analisis data tekstual dilakukan selain
terhadap buku-buku pustaka dan dokumentasi, juga
dilakukan terhadap bahan-bahan dari media massa seperti
koran dan majalah. Wawancara mendalam yang akan
dilakukan pada tiap kecamatan minimal mengambil 10
informan. Informan terdiri dari pejabat pemerintah, tokoh
agama dari masing-masing agama yang terdapat di tingkat
kabupaten atau kota, tokoh adat atau etnis, tokoh pemuda
dan wanita serta masyarakat yang memiliki pengetahuan
tentang situasi pluralitas di wilayah tersebut.
Pendekatan kuantitatif adalah pengumpulan data
melalui penyebaran angket untuk melihat kecenderungan
tentang pandangan dan sikap antar kelompok keagamaan
dalam hubungan sosial sesuai dengan empat kategori yang
telah ditentukan di atas. Penyebaran angket yang dimaksud
hanya untuk melihat prosentasinya saja, tidak sampai
melihat pada hubungan atau korelasinya dan sebagainya.
Kecenderungan
yang
dimaksud
hanyalah
untuk
mendukung data-data kualitatif. Untuk memudahkan
dilakukan penentuan sampel sebanyak 50 orang di setiap
11
kecamatan. Sampel sebanyak itu harus dikategorikan yang
mencerminkan keragaman suku, etnis, dan agama sehingga
akan memperlihatkan keterwakilan kelompok yang ada
(purposif).
Di samping penyebaran angket, maka dilakukan pula
penggunaan data-data skunder kuantitatif (jumlah
penduduk, pemeluk agama dan sebagainya), grafik dan
statistik terutama untuk keperluan penyusunan peta yang
argumentatif.
3. Data yang Dihimpun
Data yang akan dihimpun dalam penelitian ini
meliputi: (a) Kondisi geografis dan demografis yang
meliputi
kondisi
wilayah,
demografi
penduduk,
pertimbangan penduduk asli dan pendatang, mobilitas
penduduk beberapa tahun terakhir, kelompok etnik dan
keagamaan; (b) Setting kehidupan sosial ekonomi meliputi
pengelompokan penduduk menurut letak pemukiman, mata
pencaharian penduduk, penguasaan sumber daya alam,
menurut penguasaan sumber daya ekonomi strategis; (c)
Setting kehidupan sosial politik meliputi pengelompokan
penduduk menurut aspirasi politik, organisasi kepemudaan
underbow partai politik, formasi PNS dan pemegang jabatan
strategis di daerah; (d) Setting kehidupan sosial budaya
meliputi pengelompokan penduduk menurut tingkat
pendidikan bahasa daerah, tradisi masyarakat yang
berkembang serta isu-isu atau potensi yang mengganggu
terciptanya kerukunan sosial atau konflik sosial yang pernah
terjadi di daerah itu; (e) Setting kehidupan sosial
keagamaan,
yang
meliputi
kelompok
pandangan
pemahaman
keagamaan
atau
aliran
pemahaman
keagamaan, tokoh-tokoh agama, rumah ibadah, pendidikan
keagamaan,
tradisi keagamaan yang berkembang
pandangan terhadap kelompok pemahaman keagamaan
12
yang lain; (f) Situasi dan kondisi masyarakat sebelum terjadi
konflik, waktu konflik dan setelah konflik terjadi; (g)
Pengendalian konflik dan usaha-usaha rekonsiliasi menuju
integrasi yang pernah terjadi dan yang tumbuh dalam
masyarakat termasuk upaya-upaya yang dilakukan
pemerintah dan (h) Pandangan atau sikap antar kelompok
tentang pola hubungan sosial keagamaan.
4. Pengolahan Data dan Analisis
Data kualitatif akan dianalisis secara kualitatif melalui
proses editing, kategorisasi, deskripsi dan interpretasi,
penyimpulan sementara dan kesimpulan akhir. Sementara
itu data kuantitatif akan dianalisis melalui proses editing,
kategorisasi, tabulasi, interpretasi dan kesimpulan. Data
yang diolah secara kuantitatif ini akan digunakan untuk
mendukung atau memperkuat data-data yang dianalisis
dengan menggunakan data kualitatif.
13
Gambaran Umum
Wilayah Penelitian
A. Geografi dan Demografi
P
ropinsi Maluku merupakan wilayah kepulauan, terdiri
atas 559 pulau, dan sejumlah pulau tersebut terdapat
beberapa pulau yang tergolong pulau besar (lampiran).
Luas wilayah Propinsi Maluku secara keseluruhan 581.376
km2, terdiri dari 527.185 km2 luas lautan dan 54.185 km2 luas
daratan. Jadi, 95% wilayah Propinsi Maluku lautan. Menurut
letak astronomis, wilayah Maluku terletak pada 30 LU dan 90
LS, dan 1240 BT sampai 1370 BT. Wilayah Maluku terbentang
antara pulau Sulawesi dan Irian, antara pulau Sangihe dan
Timor. Di sebelah utara terbentang Samudera Pasifik, di
sebelah selatan laut Timor dan Arafuru, dan sebelah barat
Laut Maluku. (BPS Maluku, 204:3).
Daratan Propinsi Maluku terdiri dari gugusan gunung
dan danau yang terdapat di hampir seluruh kabupaten atau
kota yang berjumlah 4 gunung dan 11 danau. Gunung yang
tertinggi adalah gunung Binaya dengan ketinggian 3.055 m
14
terletang di pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah. (BPS
Maluku, 2004:3).
Wilayah kepulauan Maluku dipengaruhi oleh iklim
tropis dan iklim musim, karena daerah ini merupakan daerah
kepulauan dan dikelilingi oleh lautan luas.
Pertumbuhan penduduk pada tahun 2004 cukup besar
dibanding tahun sebelumnya dengan angka pertumbuhan
sebesar 2,5%. Hal ini karena kondisi keamanan di daerah ini
sudah mulai kondusif mengakibatkan arus masuk penduduk
terus bertambah. Walaupun demikian, secara trend laju
pertumbuhan penduduk terus menurun pada periode tahun
sensus, terutama pada dekade 1990-2000 penurunannya
sangat tajam, yaitu 0,37%. Namun pada periode 2000-2003
pertumbuhannya cukup tinggi.
Angka pertambahan penduduk antara kabupaten atau
kota sangat bervariasi. Laju pertumbuhan penduduk
Kabupaten Maluku Barat dan Maluku Tenggara mengalami
penurunan selama 2000-2004. sementara Kabupaten Maluku
Tengah, Kabupaten Buru dan Kabupaten Ambon, laju
pertumbuhannya meningkat bahkan cukup tajam untuk kota
Ambon mencapai 6%. Dilihat dari penyebaran penduduk di
Propinsi Maluku sangat merata. Berdasarkan hasil registrasi
penduduk tahun 2004, prosentasi penduduk Kabupaten
Maluku Tengah tercatat lebih tinggi dibanding daerah
lainnya, yaitu 42,73%, sedangkan daerah Kabupaten Buru
hanya mencapai 10,22%.
Perkembangan sarana transportasi menyebabkan
Maluku khususnya Ambon berkembang pesat, penduduknya
makin padat. Sekitar 70% penduduk Ambon pendatang. Raja
Soya misalnya, menyebutkan bahwa warga penduduk yang
tinggi di Batu Merah atau Galunggung, suatu kawasan yang
dihuni oleh umat Islam, dari penduduk yang 23.000 orang,
orang asli ambon yang beragama Islam hanya sekitar 1.000
15
orang, sedang yang lainnya adalah suku BBM. Bahkan
menurut Ketua MUI Propinsi Maluku, di Seram bagian barat
(dulu masuk wilayah Maluku Tengah sebelum dimekarkan)
jumlah suku berasal dari Jawa semakin banyak, terutama di
daerah transmigrasi seperti di Wassarisa, sekalipun tidak
disebutkan jumlahnya secara tepat.
B. Kehidupan Sosial Ekonomi
Mata pencaharian penduduk Maluku sangat heterogen.
Ada yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan dan kehutanan. Selain juga banyak
yang bekerja di sektor perindustrian seperti industri kecil,
listrik dan air minum. Hal serupa terjadi dalam sektor
perdagangan juga tidak sedikit jumlahnya.
Menyadari kondisi geografis Maluku merupakan
sebagian besar lautan, masyarakat lebih banyak bekerja di
sektor perhubungan atau transportasi. Masalah transportasi
menjadi prioritas utama dari sasaran pembangunan di
kawasan ini. Transportasi antar pulau di daerah ini lebih
banyak didominasi oleh angkutan laut yang dihubungkan
dengan pelayaran lokal. Transportasi jalan raya tidak terlalu
dominan dalam melayani kebutuhan transportasi di daerah
ini, tetapi memegang peranan penting, khususnya untuk
melayani penduduk dalam sebuah pulau tertentu yang
merupakan alternatif lain apabila jalur laut tidak bisa
digunakan pada saat kondisinya tidak memungkinkan.
Untuk kelancaran kehidupan ekonomi masyarakat,
pemerintah daerah maupun pihak swasta telah menyediakan
fasilitas-fasilitas perekonomian seperti pertokoan besar (Mall),
toko, pasar, kios, sarana angkutan umum, perbankan dan
koperasi. Di wilayah propinsi ini tidak kurang dari 56 buah
bank dan 172 buah koperasi.
16
Dalam bidang ekonomi, selain etnis Cina, etnis Bugis,
Makassar, Buton dan Jawa menguasai perdagangan hampir di
berbagai pelosok wilayah Maluku. Misalnya penjualan buahbuahan, pakaian dan jenis keperluan rumah tangga di pasarpasar dikuasai oleh etnis Bugis, Makassar dan Jawa, bahkan
sampai di pusat-pusat kecamatan dan desa.
C. Kehidupan Sosial Politik dan Pemerintahan
Propinsi Maluku terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota
dengan jumlah 42 kecamatan dan jumlah desa atau kelurahan
sebanyak 857 desa terdiri dari 824 desa dan 33 kelurahan.
Jumlah kelurahan terbanyak secara berturut-turut adalah
Kabupaten Maluku Tengah terdapat 310 desa dan kelurahan
dari 19 kecamatan. Kabupaten Maluku Tenggara Barat
terdapat 188 desa dan kelurahan dari 17 kecamatan,
Kabupaten Buru terdapat 92 desa dari 10 kecamatan dan kota
Ambon terdapat 50 desa dan kelurahan dari 3 kecamatan.
Di lihat dari aspek politik, sebenarnya kehidupan politik
sebagian masyarakat Ambon masih sederhana. Akan tetapi
kesadaran politik sudah mulai menjamah akar rumput. Sejak
reformasi digulirkan di tanah air, semangat reformasi
bergaung hingga ke desa-desa. Ini tampak dengan adanya
sikap kritis masyarakat yang tidak sekedar menerima berbagai
jenis program pembangunan dewasa ini tanpa kesepakatan
dan mufakat. Mereka bahkan menuntut setiap program
pembangunan di desa-desa.
Partisipasi masyarakat dalam politik juga terlihat dengan
diterimanya berbagai jenis partai politik di wilayah ini. Pada
pemilu tahun 2004 yang lalu misalnya, sejumlah partai politik
yang wakilnya duduk dalam anggota DPRD Propinsi Maluku.
Pada pemilu tahun 2004 anggota dewan dari Partai
Golkar dan Partai PDIP masih mendominasi. Menurut data di
17
BPS Propinsi Maluku tahun 2003 misalnya, anggota dewan
dari Partai Golkar berjumlah 12 orang, dari PDIP 10 orang,
disusul PPP sebanyak 8 orang. Namun, di pemilu 2004, Partai
Keadilan Sejahtera memiliki perkembangan yang cukup
signifikan dengan menempatkan wakilnya 5 orang.
Di Propinsi Maluku, perolehan suara dan penempatan
anggota dewan di legislatif dilihat dari pemeluk agama
tampaknya berimbang. Namun anggapan PDIP sebagai partai
Kristen di Maluku telah menjadi stigma di sebagian kalangan
umat Islam. berbeda dengan Partai Golkar yang lumbungnya
di Maluku Tengah, dengan mayoritas penduduknya muslim.
Jadi, dengan kemenangan Golkar berarti kemenangan seluruh
warga. Ini berbeda dengan kemenangan PDIP atau PKS yang
difahami sebagai kemenangan komunitas tertentu.
D. Kehidupan Beragama
1. Komposisi Pemeluk Agama
Penduduk di Propinsi Maluku dilihat dari segi
kepemelukan agama sangat bervariasi. Berdasarkan data
dari kantor wilayah Departemen Agama Propinsi Maluku
tahun 2004, penduduk Islam mencapai 49%, disusul Kristen
Protestan 43% yang dominan di Maluku. Islam mayoritas di
kabupaten Maluku Tengah 67,07%, Maluku Tenggara
80,63% dan Buru 39,69%. Sedangkan Kristen mayoritas di
Maluku Tenggara Barat (67,30%) dan kota Ambon (54,41%).
Di Maluku Tenggara Barat jumlah penganut agama Kristen
dan Katolik jika digabungkan mencapai 97,24%, artinya
Islam minoritas. Di Maluku Tenggara Islam menjadi
mayoritas yakni 80,63% dibanding dengan 19,36% gabungan
Kristen dan Katolik.
Penyebaran agama di wilayah Maluku sangat
bervariasi. Hal ini tidak terlepas dari sejarah masuknya
penjajah Portugis dan Belanda. Selain menjajah juga
18
menjalankan misi zending Kristen di masa lalu. Di Maluku
Tenggara Barat, Kristen lebih dominan 97,24% disusul oleh
kota Ambon (54,41%). Adapun perkembangan Islam di
wilayah Maluku, berlangsung setelah penjajahan Belanda di
Indonesia. Islam masuk ke Maluku dilakukan oleh etnis
keturunan Arab. Islam juga tersebar di sejumlah jazirah
Huamual dan lain-lain. Demikian halnya di Maluku
Tenggara, Islam lebih dominan dibanding pemeluk agama
lainnya, yaitu 80,63% disusul Maluku Tengah 67,07%. Dalam
kehidupan sehari-hari mereka berbaur hidup dalam
kerukunan dan penuh keharmonisan.
2. Sarana Keagamaan
Sarana keagamaan di Maluku cukup banyak
jumlahnya. Keberadaan sarana ibadah itu didirikan dengan
memenuhi prosedur atau perizinan, juga lebih didasarkan
pada kebutuhan mendesak warga. Terkadang hal ini dapat
menjadi konflik jika tidak dipelihara harmonisasi di
kalangan mereka.
Rumah ibadah tersebut pada umumnya berfungsi
sebagai tempat tuntuk melakukan ibadah, baik ritual
maupun kegiatan pembinaan sosial keagamaan atau
pembinaan keumatan masing-masing agama. Secara umum
dapat terlihat bahwa perkembangan kegiatan sarana
keagamaan baik dari fungsinya maupun pertumbuhannya
semakin menunjukkan kualitasnya.
Jumlah
sarana keagamaan ini, jika dibuat
perbandingan sesuai data BPS Propinsi Maluku tahun 2004
terdapat 1.021 masjid, 1077 gereja, 11 pura dan 3 vihara.
Menurut data dari Kantor Departemen Agama Propinsi
Maluku tahun 2005, ada data baru khusus untuk Seram dan
kepulauan Aru. Di Seram Bagian Timur terdapat 173 Masjid
dan 5 gereja. Di Seram Bagian Barat terdapat 92 masjid dan
19
18 gereja. Di kepulauan Aru terdapat 72 masjid dan gereja
sebanyak 135 buah.
3. Organisasi atau Lembaga Keagamaan dan Tokoh Agama
Masyarakat Indonesia umumnya dan Maluku
khususnya yang religius memandang peran tokoh agama
dan lembagaka keagamaan sangat sentral dalam
membangun dan meningkatkan kerukunan dikalangan
umatnya dan umat lainnya. Para tokoh agama memiliki
peran penting, karena suara mereka memberikan andil
terbesar membangun masyarakat yang lebih baik. Lebih dari
itu, peran tokoh agama dapat menangkal ganggung sosial
yang berpotensi memecah belah umat beragama. Peran
tokoh agama dapat mempersatukan kembali umat atau
masyarakat.
20
Potensi Integrasi dan Koflik
Serta Solusi yang Dilakukan
A. Potensi Integrasi dan Konflik
1. Potensi Integrasi
a. Keragaman masyarakat Maluku yang terdiri dari berbagai
etnis dan ras (Jawa, Sunda, Bugis Makassar, Buton, Cina,
Arab dan Ambon sendiri) dan agama (Islam, Kristen,
Hindu dan Buddha) dapat menjadi potensi untuk
membangun kekuatan dan kedinamisan kehidupan
masyarakat Maluku. Keragaman ini, selain merupakan
perbedaan, juga dapat mewujudkan kooperasi dan
kompetisi.
b. Terdapat budaya-budaya lokal sebaga perekat sosial yang
teruji ampuh membangun harmoni masyarakat,
diantaranya Pela dan Gandong di Kota Ambon dan
Maluku Tengah. Di Maluku Tenggara ada budaya yang
disebut Lar Vul Ngabal sebagai perekat sosial semua
komunitas untuk menciptakan hubungan yang baik dalam
kehidupan masyarakat.
21
c. Adanya kesadaran pemerintah dan para pemuka
masyarakat untuk lebih mewujudkan kehidupan umat
yang rukun.
d. Adanya kemauan bersama yang tulus dari pemuka agama
dan masyarakat untuk membina kerukunan umat
beragama yang lebih harmonis dengan pembinaan internal
masing-masing,
antara
lain
dengan
melakukan
reinterprestasi konsep-konsep ajaran agama yang bersifat
eksklusif kearah pemahaman yang bersifat inklusif.
e. Adanya nilai dan ajaran masing-masing agama yang
menghargai pluralitas dan menjadi tekad serta kesadaran
bersama para pemuka agama setempat untuk lebih
mengembangkan ajaran tersebut bagi pembinaan internal
umat.
f.
Berdirinya forum bersama sebagai wadah seluruh
kelompok agama di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku
Tenggara sejak tahun 1992 dan kegiatan silaturrahmi
tokoh-tokoh agama ke tingkat kecamatan.
2. Potensi Konflik
Sebagaimana halnya dalam integrasi, dalam konflik pun
terdapat potensi-potensi yang sangat kuat. Potensi konflik
yang dapat diidentifikasi di Maluku, diantaranya:
a. Struktur warisan masa lalu, yaitu struktur hubungan antar
kelompok yang berbentuk berdasarkan teori, suku dan
agama. Pemerintah Kolonial Belanda telah mewariskan
struktur social yang menyimpan bom waktu yang setiap
saat bias meledak menjadi ketegangan dan konflik antar
kelompok agama, teritori dan suku di Ambon dan
Maluku.
b. Perkembangan dan komposisi penduduk. Peningkatan
migran dan penduduk Muslim sedikit banyak
menimbulkan krisis persepsi dan sikap di kalangan
22
penduduk asli beragama Kristen. Hal itu selanjutnya
menimbulkan semacam krisis hubungan, kecurigaan dan
ketegangan sosial antara kedua komunitas berbeda agama
yang berlangsung cukup lama di komunitas Maluku sejak
sebelum konflik Januari 1999 meletus. Karena pada
umumnya kaum migran itu orang-orang Islam yang
berasal dari Sulawesi dan Jawa, ada anggapan dari pihak
Kristen bahwa Maluku terjadi Islamisasi.
c. Perkembangan Ekonomi Sosial.
Banyaknya jumlah tingkat pengangguran menimbulkan
masalah-masalah sosial politik tersendiri berdimensi
vertikal, yaitu munculnya dinamika kompetisi dan konflik
politik ekonomi antara pusat dan lokal. Ketergantungan
itu menimbulkan penetrasi campur tangan politik dan
kapital ekonomi dari pusat yang begitu besar. Campur
tangan dan penetrasi kapital demikian menyebabkan
marginalisasi sektor ekonomi lokal dan terdesaknya
struktur kepemimpinan adat yang selama ini sangat
bergantung pada sumber daya lokal. Sebagai contoh, pada
tahun 1992 sebuah gerakan pemetaan tanah adat muncul
dari kalangan pemimpin adat lokal di Maluku untuk
menentang pencaplokan kawasan tanah-tanah adat oleh
birokrasi pemerintah dan bisnis swasta dari pemerintah
daerah dan pusat.; gerakan demikian menimbulkan
konflik-konflik perebutan sumberdaya alam antara
pemerintah dan masyarakat sipil adat dan antara kalangan
bisnis dengan lokal.
d. Perubahan Sosial Politik. Para migran yang dulu hanya
sebagai anak dagang (umumnya orang Muslim dari Bugis,
Makassar, Buton dan Jawa) secara perlahan telah
menguasai ekonomi. Sedangkan penduduk asli,
khususnya Kristen menguasai wilayah birokrasi
pendidikan dan sektor jasa. Struktur piraminda dan
23
mobilitas sosial politik berdasar etnis dan agama di
Maluku merupakan potensi koflik terpendam yang setiap
saat bisa meletus menjadi konflik terbuka ketika tidak ada
mekanisme pembagian kekuasaan yang jelas dan
kehilangan kekuatan kontrol dari luar. Selain itu, sebelum
terjadi kerusuhan telah berhembus isu sensitif
marginalisasi ekonomi dan politk penduduk asli oleh
kaum pendatang. Isu itu berkembang menjadi isu agama,
politik dan ekonomi seperti isu Islamisasi birokrasi.
Contoh kecil, di Maluku Tenggara ada upaya pemerintah
daerah
memilih
calon-calon
kades
dari
kelompok/komunitas tertentu. Inipun dapat memicu
konflik dan rentan konflik.
e. Modernisasi Budaya. Hubungan Pela Gandong ini hanya
berlaku dalam kerangka hubungan adat Ambon, di luar
itu seperti hubungan antar agama atau antar etnis asli dan
pendatang tidak lagi memiliki kekuatan yang mengikat.
Secara adat, jabatan raja atau kepala desa menjadi hak
khusus bagi kalangan dari fam tertentu. Selama puluhan
tahun, hak khusus tersebut diakui oleh orang-orang
pemerintah,
termasuk
pemerintah
kolonial
Belanda. Namun, sejak pemerintah orde baru
mengeluarkan UU No 4 tahun 1975 tentang pemerintah
daerah, pemilihan seorang raja tidak lagi harus dilakukan
secara adat yang dengan persyaratan sang calon harus
berasal dari Soa raja. Modernisasi birokrasi ini
menciptakan kondisi melemahnya fungsi lembagalembaga adat untuk memelihara integrasi sosial di antara
warga masyarakat, sehingga masyarakat Maluku menjadi
sangat rentan menghadapi potensi konflik yang setiap saat
mengancam mereka. Urbanisasi demikian merupakan
sumber masalah sosial-ekonomi tersendiri bagi kota
Ambon. Meningkatnya kaum migran masuk ke kota
Ambon, berarti menyimpan potensi hubungan konflik
24
antar etnik karena perebutan sumberdaya dan erosi
budaya serta belum ditemukannya bentuk solidaritas dan
pola hubungan baru di daerah perkotaan. Hal ini
ditambah dengan kenyataan lain bahwa sebagian besar
penduduk sekitar 60 % s.d. 65 % penduduk usia muda
dibawah 25 tahun. Banyaknya penduduk usia muda
demikian selain membawa masalah meningkatnya
permintaan lapangan kerja baru, juga mengakibatkan
semakin memudarnya nilai dan solidaritas sosial berdasar
adat di kalangan warga masyarakat.
f.
Batas tanah antar desa (Ratsap) juga menjadi potensi
konflik, seperti di Maluku Tenggara. Apabila pemerintah
setempat tidak tanggap dengan masalah ini, maka konflik
akan menyebar ke daerah lainnya di Maluku Tenggara
dan suatu saat memicu konflik terbuka.
B. Langkah-Langkah Solusi yang Dilakukan
1. Upaya di Tingkat Lokal
Beberapa langkah di tingkat lokal yang pernah
dilakukan pemerintah di antaranya (1) membentuk lembaga
Pusat Rujuk Sosial (PRS) lembaga sosial rekonsiliasi yang
kegiatannya antara lain melakukan analisis anatomi
kerusuhan Maluku, merumuskan dan melakukan langkahlangkah penanganan kerusuhan antara lain safari damai,
diskusi dan analisis sosial anatomi kerusuhan, pengadaan
pos-pos keamanan, konsolidasi dengan negeri-negeri dalam
lingkungan kota dan pulau Ambon, seminar dan lokakarya
tentang akar permasalahan kerusuhan Ambon; (2)
membentuk Tim Fasilitator Pemda oleh Gubernur Saleh
Latuconsina tanggal 14 Januari 2000. tim ini sebagai fasilitator
untuk dialog dengan tingkat bawah antar komunitas,
membentuk Tim 24 dan Forum
Jaringan Pengamanan
Lingkungan. Tim 24 dibentuk atas prakarsa gubernur Maluku
25
untuk menjamin keamanan Maluku menjelang dan selama
kunjungan Presidan Abdurrahman Wahid bulan Desember
1999. Anggota forum ini kelompok-kelompok yang selama ini
aktif berkonflik di garis depan; (3) mengadakan Pertemuan
Latupati dan Kepala Desa pada tanggal 12 Desember 1999
yang intinya meminta dukungan para Latupati untuk
menghentikan konflik.
Selain pemerintah, langkah-langkah penghentian
konflik, khususnya di Ambon dilakukan oleh LSM-LSM lokal,
diantaranya: (1) membentuk Tim 20 Wayame. Dalam kerjanya,
Tim 20 Wayame berusaha untuk memelihara resistensi dan
membangun ketahanan lokal; membentuk LSM Baileo
merupakan LSM yang anggotanya dari akar rumput,
khususnya di tempat pengungsi. Misi utamanya melakukan
pemberdayaan dan advokasi pelestarian komunitas dan hak
adat di Maluku menghadapi berbagai penetrasi politik dan
kekuasaan; (2) membentuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan
(TIRUS) yang anggotanya terdiri dari beberapa LSM Ambon
Maluku yang mengurusi masalah kemanusiaan. Pembentukan
LSM ini diprakarsai oleh anggota jaringan Baileo. Selain
berfungsi untuk mengkoordinasi kemanusiaan, LSM ini
berfungsi sebagai forum untuk mengkoordinasi dan membagi
informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan konflik; (3)
membentuk Gerakan Perempuan Peduli (GPP) yang
beranggotakan perempuan dari dua komunitas Muslim dan
Kristen. LSM yang semi pemerintah ini memiliki kegiatan
bervariasi berkaitan dengan rekonsiliasi dan rehabilitasi.
2. Upaya Pemerintah Pusat
Di antara upaya yang pernah dilakukan oleh pemerintah
pusat, yaitu membentuk Tim 19 yang dibentuk oleh TNI/Polri
sebagai upaya pencegahan konflik yang dilakukan dengan
pendekatan keamanan di bawah koordinasi Menkopolkam,
pendekatan rekonsiliasi langsung di bawah Wapres yang
26
pelaksanaannya ditangani oleh Menteri Agama dan
pendekatan rehabilitasi di bawah Menkokesra dan Taskin.
Upaya lainnya memfasilitasi perundingan yang dihadiri dua
komunitas agama Islam dan Kristen. Pada tanggal 11-12
Februari 2002, kedua delegasi tersebut melakukan dialog
(perundingan) di Malino, Gowa Sulawesi Selatan yang
bertujuan mencapai penyelesaian konflik masyarakat di
Maluku.
Selain LSM lokal, ada juga LSM internasional yang ikut
mendukung upaya perdamaian di Maluku, di antaranya the
British Council. LSM Internasional ini bekerjasama dengan
LSM lokal dalam berbagai kegiatan perdamaian di Maluku.
Salah satu kegiatan Konferensi Penelusuran (search
conference) untuk keberdayaan masyarakat Maluku bekerja
sama dengan PSKP (Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian)
UGM.
27
Hubungan Antar
Umat Beragama
A. Hubungan Pertemanan
H
ubungan pertemanan merupakan aspek penting dalam
membina kerukunan di Maluku. Hubungan pertemanan
yang baik akan menciptakan situasi yang kondusif bagi kehidupan umat beragama. Dari hasil ovservasi di lokasi
penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Maluku
menghendaki jalinan pertemanan yang akrab dengan berbagai
komunitas di Maluku. Hal tersebut didukung oleh hasil
wawancara dengan beberapa responden yang menyatakan
bahwa pertemanan di kalangan masyarakat Maluku perlu
diwujudkan untuk membina kerukunan. Mereka menyatakan
bahwa perlu dibina pertemanan seperti menghadiri acara
syukuran, menghadiri acara agama, saling menolong dan
mengingatkan hal-hal yang dapat mengganggu hubungan.
Data tersebut didukung oleh hasil angket dengan responden
200 orang, 80 orang (40%) menunjukkan sangat setuju,
membina hubungan pertemanan dengan anggota masyarakat
yang berbeda agama atau etnis, 92 orang (46%) setuju, 20
orang (10%) tidak setuju, 4 orang (2%) sangat tidak setuju, dan
4 orang (2%) tidak tahu. Ini berarti bahwa masyarakat Maluku
28
sangat setuju melakukan hubungan pertemanan dengan
berbagai komunitas yang berbeda agama atau etnis dan
bahasa.
B. Hubungan Pertetanggaan
Hidup bertetangga yang harmonis sangat diidamidamkan oleh seluruh komponen masyarakat. Masyarakat
Maluku yang plural terikat dengan kehidupan bertetangga,
sehingga perlu dibina hubungan pertetanggaan ini.
Pertetanggaan ini tidak hanya dibangun dengan orang yang
se-etnis saja, akan tetapi meliputi seluruh masyarakat.
Menurut hasil wawancara dengan beberapa responden
mereka pada umumnya merasa perlu melakukan hubungan
pertanggaan dalam membina harmoni kehidupan. Data
tersebut didukung oleh hasil penyebaran angket kepada 200
orang, 52 orang (26%) sangat setuju melakukan hubungan
pertetanggaan tersebut, 120 orang (60%) setuju, 12 orang (6%)
tidak setuju, 12 orang (6%) sangat tidak setuju dan 4 orang
(2%) tidak tahu. Mereka menyadari bahwa sebagai
masyarakat majemuk, mereka perlu hidup membaur dengan
komunitas-komunitas yang ada dengan memegang prinsipprinsip kemanusiaan, seperti menghadiri acara adat
keagamaan, memberikan lahan untuk parkir jama’ah yang
akan melakukan ibadah di masjid maupun di gereja.
C. Hubungan Kekerabatan
Kekerabatan di kalangan masyarakat Maluku sudah
terjalin harmonis sejak dulu. Kekerabatan dalam masyarakat
Maluku kerapkali ditasbihkan dengan seremonial tertentu.
Mereka berkeyakinan bahwa kerukunan dapat diciptakan
melalui hubungan kekerabatan ini. Mereka menolak anggapan
bahwa kekerabatan yang tidak didasarkan tali iman dikatakan
kekerabatan semu. Hal ini diakui juga oleh para tokoh agama
dan tokoh masyarakat (Ketua MUI maupun Ketua Sinode dan
29
Klasis) bahwa hubungan kekerabatan itu harus dibina dengan
siapa saja, tanpa membedakan agama apa dan suku apa. Data
tersebut didukung oleh hasil angket dari 20 orang responden,
38 orang (19%) sangat setuju, 82 orang (41%) setuju,
melakukan hubungan kekerabatan dengan siapa saja
walaupun berbeda agama maupun etnis atau suku.
Selebihnya 52 orang (26%) tidak setuju, 18 orang (9%) sangat
tidak setuju dan 10 orang (5%) tidak tahu.
Namun menurut hasil pengamatan peneliti, di beberapa
daerah di Ambon terutama di kalangan akar rumput masih
terdapat sikap-sikap tegang dan masih belum mau menjalin
hubungan pertetanggaan dengan komunitas yang selain
komunitas mereka (seagama). Ini pula yang dikhawatirkan
menjadi pemicu konflik berikutnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan
antar agama dalam tataran pribadi dapat dikatakan sangat
baik. Di Maluku Tenggara misalnya faktor pendukung
hubungan antar pribadi yang baik itu di antaranya sikap
stereotip yang tidak menonjol di kalangan masyarakat. Ini
sangat berbeda dengan di Ambon, sikap stereotipnya masih
ada, terutama di kalangan akar rumput. Ini didukung oleh
hasil wawancara 200 orang yang menunjukkan 32 orang (16%)
menyatakan sangat setuju membina hubungan antar umat
beragama dalam tataran pribadi, 74 orang (37%) menyatakan
setuju dan selebihnya 48 orang (24%) tidak setuju, 40 orang
(20%) sangat tidak setuju dan 6 orang (3%) tidak tahu.
D. Hubungan Antar Kelompok Politik
1. Hubungan Antar Organisasi Politik
Organisasi politik di Maluku sangat banyak,
sebagaimana terdapat di daerah lain di Indonesia. Organisasi
politik diyakini dapat menciptakan kerukunan di Maluku,
dengan catatan bahwa organisasi politik tersebut menjunjung
30
tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang berharga bagi manusia.
Beberapa responden yang sempat diwawancarai (tokoh
Golkar, tokoh PAN, PKB, PPP, PNU) menyatakan bahwa
perlu dibangun komitmen untuk membangun Maluku melalui
upaya mengedepankan aspek persatuan, bersaing sehat
memperoleh dukungan, mengedepankan kualitas pribadi
seseorang dan tidak mencaci partai lain dalam mencari
dukungan bagi partai.
Dari hasil angket yang disebarkan kepada 200
responden, 82 orang (41%) responden menyatakan sangat
setuju melakukan hubungan antar organisasi politik, 92 orang
(46%) menyatakan setuju. Selebihnya sebanyak 18 orang (9%)
tidak setuju dan 4 orang (2%) sangat tidak setuju.
Namun menurut hasil pengamatan peneliti, masih ada
organisasi politik yang mengusung persatuan hanya retorika
semata, mengedepankan proporsional (agama atau etnis)
organisasi berdasarkan agama atau suku, dan melakukan
cara-cara tidak elegan dalam mencari dukungan bagi
partainya. Noer Tawainella, misalnya (pengamat politik di
Ambon) menyebutkan masih ada organisasi politik yang tidak
fair dalam mencari dukungan partainya, bahkan terkesan ada
pilih-pilih orang berdasarkan proporsi agama atau suku,
bukan kwalitasnya.l
2. Hubungan Antar Pelaku Politik
Pelaku politik (tokoh politik dan kader-kadernya)
menjadi faktor penting dalam membina kerukunan di
Maluku. Mereka menajdi publik figur yang dapat ”membius”
para simpatisannya untuk mendukung kebijakan-kebijakan
partainya. Agar kerukunan tetap langgeng, maka hubungan
antar pelaku politik sangat menentukan.
Hasil wawancara melalui angket pada 200 responden, 62
orang (31%) menyatakan sangat setuju adanya menjalin
hubungan antar pelaku politik. 58 orang (29%) setuju, 27%
31
tidak setuju dan 5% sangat tidak setuju serta 8% tidak tahu.
Mereka juga menghendaki agar para pelaku bersaing sehat
dalam memperoleh dukungan bagi partainya, tidak saling
fitnah, perlu ada etika politik.
Dari hasil pengamatan peneliti, ada diantara para elit
politik yang melakukan kecurangan dalam mencari
dukungan, menebar fitnah dan memprovokasi masyarakat
demi kepentingannya. Hal tersebut diantaranya pemicu
ketidakrukunan di masyarakat Maluku.
3. Hubunan Antar Organisasi Kepemudaan
Organisasi kepemudaan merupakan hal penting untuk
membangun kerukunan di Maluku. Dari hasil wawancara
dengan tokoh-tokoh pemuda diperoleh data bahwa hubungan
antar organisasi kepemudaan di Maluku cukup baik.
Indikasinya, bahwa masing-masing organisasi kepemudaan
tersebut tetap saling menjaga kerukunan, saling memahami
agama lain. Wawancara tersebut didukung oleh hasil
penyebaran angket kepada 200 responden, 38 orang (19%)
menyatakan sangat setuju, 88 orang (44%) setuju, 23% tidak
setuju, 22 orang (11%) sangat tidak setuju, dan 6 orang (3%)
tidak tahu.
Dengan demikian, hubungan antar kelompok politik
dikatakan baik. Dari akumulasi data angket menunjukkan 60
orang (30%) sangat setuju melakukan hubungan antar
kelompok politik, 80 orang (40%) setuju, 38 orang (19%) tidak
setuju, 12 orang (6%) sangat tidak setuju, dan 10 orang (5%)
tidak tahu.
E. Hubungan pada Tataran Peribadatan
1. Hubungan Keagamaan
Hubungan keagamaan masyarakat Maluku dikatakan
baik. Menurut hasil wawancara dengan para tokoh agama
32
(MUI, Sinode dan Klasis) bahwa masyarakat Maluku setuju
apabila antar pemeluk agama dapat membina kerukunan
dengan menghadiri peringatan hari besar agama,
menunjukkan sikap baik dan tidak menunjukkan sikap
permusuhan pada masing-masing agama. Hal ini perlu
dibangun mengingat salah satu faktor penghambat kerukunan
antar umat beragama itu sikap klaim kebenaran dan
menganggap agamanya yang paling selamat dan agama orang
lain keliru dan salah.
Hasil angket yang disebar kepada 200 responden
menunjukkan 44 orang (22%) sangat setuju membina
hubungan keagamaan dengan baik, 88 orang (44%)
menyatakan setuju, 48 orang (24%) tidak setuju dan 14 orang
(7%) menyatakan sangat tidak setuju. Selebihnya 6 orang (3%)
tidak tahu.
Menurut pengamatan peneliti, masih ada pemeluk
agama tertentu yang menunjukkan sikap permusuhan
terhadap pemeluk agama lain karena mereka menganggap
hanya agama mereka yang benar dan akan selamat di akhirat.
Di Ambon, ada beberapa kalangan yang masih memiliki sikap
ini,
sehingga
diprediksikan
dapat
membangkitkan
ketidakrukunan. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap fanatisme
yang kuat di kalangan mereka.
2. Pendirian Rumah Ibadat
Rumah ibadat merupakan sarana untuk mendekatkan
diri pada Tuhan sehingga menjadi orang baik. Di Maluku,
pendirian rumah ibadat dikatakan tidak ada masalah. Hal ini
selain rumah-rumah ibadat itu tidak ada lagi di lingkungan
komunitas lain yang berbeda agama, juga rumah-rumah
ibadat tersebut pada umumnya didirikan mengikuti prosedur
atau perizinan yang telah ditentukan. Ini berlaku di kota
Ambon dan sekitarnya. Sedangkan di Maluku Tenggara
sekalipun rumah ibadah berada di lingkungan komunitas
33
berbeda agama tetap eksis, karena tokoh-tokoh agama dan
tokoh-tokoh masyarakat dapat membina kerukunan dengan
baik. (Wawancara dengan Sekretaris MUI Maluku Tenggara
dan Ketua Sinode Maluku Tenggara).
Data di atas didukung oleh hasil angket yang disebar
kepada 200 responden, 42 orang (21%) menyatakan sangat
setuju dan mempersilakan untuk mendirikan rumah ibadah
mengikuti prosedur perizinan agar menjadi pemeluk agama
yang baik. 100 orang (50%) setuju dan selebihnya 40 orang
(20%) tidak setuju, 16 orang (8%) sangat tidak setuju, dan 2
orang (1%) tidak tahu. Ini artinya bahwa masyarakat Maluku
menghendaki agar pendirian rumah ibadat jangan dijadikan
alat merusak keharmonisan kehidupan masyarakat, justru
sebagai sarana membina kepribadian manusia yang baik.
3. Upacara Keagamaan
Pluralitas di kalangan masyarakat Maluku berlaku juga
dalam upacara keagamaan. Upacara keagamaan ini perlu
dilestarikan sebagai kekayaan budaya masyarakat Maluku.
Oleh karena itu, agar tercipta kerukunan di Maluku upacaraupacara keagamaan itu boleh dihadiri oleh semua kelompok
agama sebagai bagian dari kearifan lokal yang perlu dikelola
dengan baik, tidak dipermasalahkan keberadaannya.
(Wawancara dengan Kakandepag Maluku Tenggara, Ketua
MUI, Ketua Sinode, Ketua Klasis di Ambon).
Data tersebut didukung oleh hasil penyebaran angket
kepada 200 responden, bahwa 66 orang (33%) menyatakan
sangat setuju, 104 orang (52%) setuju, 16 orang (8%) tidak
setuju, 2 orang (1%) sangat tidak setuju dan 12 orang (6%)
tidak tahu.
Menurut pengamatan peneliti di Ambon, masih ada
sikap dari beberapa penganut agama yang sikap kurang
bersahabat mengapresiasi heterogenitas upacara keagamaan.
Hal ini dapat menjadi potensi konflik di Maluku.
34
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan
pada tataran peribadatan di Maluku dikatakan sangat baik. Ini
didukung oleh hasil penyebaran angket yang menunjukkan 98
orang (49%) responden menyatakan setuju dan 52 orang (26%)
menyatakan sangat setuju. Selebihnya 34 orang (17%) tidak
setuju, 10 orang (5%) sangat tidak setuju dan 6 orang (3%)
tidak tahu.
F. Aspek Hubungan Antar Kelompok Agama
1. Hubungan Antar Organisasi Keagamaan
Organisasi keagamaan di Maluku cukup dikenal di
antaranya MUI dan BIIN (Islam) dan GPM (Kristen) memiliki
pengaruh besar bagi penciptaan kerukunan di Maluku.
Menurut hasil wawancara dengan tokoh-tokoh agama (Islam
dan Kristen) perlu dibina hubungan antar organisasi
keagamaan, seperti mengadakan dialog-dialog, pertemuan
berkala, dibentuk wadah kerukunan dan membangun sikap
inklusivisme.
Data tersebut didukung oleh hasil penyebaran angket
kepada 200 responden, bahwa 56 orang (28%) sangat setuju
membina hubungan antar organisasi keagamaan, 84 orang
(42%) setuju, 26 orang (13%) tidak setuju, 18 orang (9%) sangat
tidak setuju dan 16 orang (18%) tidak tahu. Mereka setuju
melakukan pertemuan berkala antar organisasi keagamaan,
membentuk wadah kerukunan, dapat diikuti (kebijakannya)
oleh kalangan di bawahnya, menghilangkan sikap
eksklusivisme, tidak menyebarkan ajaran agama yang dapat
meresahkan masyarakat.
Harus diakui bahwa masil ada kelompok tertentu yang
menyebarkan ajaran agama dapat meresahkan masyarakat
dan mengedepankan sikap eksklusivisme. Menurut hasil
pengamatan penulis, ada beberapa kelompok agama tertentu
yang secara diam-diam melakukan penyebaran agama kepada
35
orang yang berbeda agama. Hal ini dapat membuka peluang
pemicu konflik. Oleh karena itu, para tokoh agama memiliki
peran besar untuk mengingatkan para penganjur agama agar
memperhatikan etika dakwah atau missi.
2. Hubugan Antar Organisasi Pemuda Keagamaan
Organisasi pemuda keagamaan di Ambon cukup
banyak, seperti NU, Muhammadiyah (Islam), Angkatan Muda
Gereja Protestan Maluku (AMGPM) dan sebagainya.
Organisasi pemuda tersebut dapat menjadi wahana bagi
pembentukan kerukunan di Maluku. Menurut hasil
wawancara dengan tokoh agama di Maluku, hubungan antar
organisasi pemuda sangat baik. Indikasinya, mereka memilih
tidak secara diskriminatif (berdasarkan agama, suku atau
etnis),
sering
melakukan
dialog
dan
melakukan
pengembangan-pengembangan dan inovasi-inovasi.
Data tersebut didukung oleh hasil penyebaran angket
kepada 200 responden, 28 orang (14%) menyatakan sangat
setuju melakukan hubungan antar organisasi pemuda
keagamaan, 92 orang (46%) setuju, 50 orang (25%) tidak
setuju, 24 orang (12%) sangat tidak setuju dan 6 orang (3%)
tidak tahu.
Menurut hasil temuan di lapangan hubungan antar
organisasi kepemudaan tampak kurang intensif melakukan
dialog. Sekalipun ada, dialog tersebut bersifat insidentil.
Lembaga Lintas Iman saja melakukan dialog tidak secara
kontinyu, kecuali bersifat insidentil. Apabila lembaga ini
dapat diberdayakan dengan baik, maka dapat menjadi
wahana bagi penciptaan kerukunan di Maluku.
Jadi, hubungan antar kelompok agama di Maluku baik.
Menurut hasil komulatif wawancara kepada 200 orang
responden 42 orang (21%) menunjukkan setuju, 88 orang
(44%) setuju, 38 orang (19%) tidak setuju, 20 orang (10%)
sangat tidak setuju dan 12 orang (6%) tidak tahu.
36
G. Aspek Hubungan Ekonomi
1. Hubungan Transaksi Bisnis (Individu dan Kelompok)
Hubungan transaksi bisnis di Maluku sangat baik.
Menurut hasil wawancara dengan para pelaku bisnis di
Maluku bahwa transaksi bisnis dapat dilakukan dengan siapa
saja tanpa harus memilah-milah agama tertentu atau etnis
tertentu. Perlu disusun kebijakan yang dapat menjembatani
kesenjangan masyarakat antar yang bermodal kuat dan lemah,
memiliki kepedulian terhadap pedagang yang berbeda agama
atau etnis, dan tetap melakukan persahabatan dengan
pedagang yang berbeda etnis atau agama.
Data di atas diperkuat oleh hasil penyebaran angket
kepada 200 responden 56 orang (28%) menyatakan sangat
setuju melakukan transaksi bisnis dengan siapapun, agama
dan suku apapun, 106 orang (53%) setuju, 28 orang (14%)
tidak setuju, 8 orang (4%) sangat tidak setuju dan 2 orang (1%)
tidak tahu.
Menurut hasil pengamatan penulis, sebenarnya masih
banyak para pelaku bisnis yang masihbersikapr diskriminatif
baik agama maupun suku. Beberapa jabatan di jalur bisnis
masih dikuasai oleh agama atau etnis tertentu. Hal ini dapat
menjadi faktor pemicu munculnya ketidakrukunan di
Maluku.
2. Hubungan Pekerjaan
Pekerjaan yang baik harus diserahkan kepada ahlinya.
Hal itu disadari oleh banyak pihak di Maluku agar
pembangunan kehidupan masyarakat Maluku berlangsung
baik. Oleh karena itu, rekrutmen pegawai harus baik, tidak
diskriminatif, mengangkat pejabat tidak diskriminatif, tidak
menghambat karir pegawai yang berbeda suku atau agama,
memberikan fasilitas atau insentif kepada pegawai tidak berat
sebelah. Menurut tokoh-tokoh pemerintah di Maluku,
37
hubungan pekerjaan di Maluku dikatakan
mengindahkan prosedur-prosedur yang berlaku.
baik
dan
Data tersebut didukung oleh hasil angket yang
disebarkan kepada 200 responden bahwa 4 orang (2%)
menyatakan sangat setuju melakukan hubungan pekerjaan
tanpa diskriminatif, 26 orang (13%) menyatakan setuju, 80
orang (40%) tidak setuju, 74 orang (37%) sangat tidak setuju
dan 6 orang (3%) tidak tahu.
Sekalipun demikian, harus diakui bahwa di beberapa
instansi kecenderungan untuk mengangkat pejabat atau
memberikan fasilitas tertentu yang lebih kepada orang
tertentu yang se-agama atau se-suku masih ada. Hal ini dapat
menjadi pemicu kerawanan konflik di Maluku. Jadi,
hubungan antar agama di Maluku, baik dalam transaksi jual
beli maupun hubungan pekerjaan kurang baik. Data
menunjukkan 4 orang (2%) sangat setuju, 26 orang (13%)
setuju, 80 orang (40%) tidak setuju, 64 orang (37%) sangat
tidak setuju dan 6 orang (3%) tidak tahu.
38
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
1. Dari aspek geografi dan demografi Provinsi Maluku
merupakan wilayah yang kurang menguntungkan dalam
usaha pembinaan dan pemeliharaan kerukunan umat
beragama. Provinsi yang terdiri dari ribuan pulau dan
penyebaran penduduk yang tidak merata, serta terjadinya
kantong-kantong konsentrasi pemukiman umat beragama
tertentu telah dapat difahami sebagai permasalahan yang
cukup rumit yang tidak mudah diatasi.
2. Bila diidentifikasi faktor-faktor yang mendukung
terjadinya kerukunan atau konflik umat beragama hampir
berimbang, namun faktor pemicu terjadinya konflik atau
benturan antar umat beragama lebih dominan, terutama di
kalangan masyarakat lapis bawah. Hal ini dapat
dimaklumi menginat faktor adat dan budaya yang telah
lama berfungsi sebagai perekat mengalami kepudaran,
sedangkan peran pemimpin formal dan informal yang
telah terbangun selama ini mengalami krisis wibawa
terutama setelah era reformasi. Potensi konflik terutama di
kota Ambon cukup dominan karena faktor sentimen antar
suku, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan dalam politik,
39
stereotipe negatif yang berkembang di masyarakat, serta
ekses migrasi dan mobilitas penduduk yang tidak
terkendali akan dapat mendorong terjadinya benturanbenturan kepentingan antar kelompok antar umat
beragama.
3. Upaya–upaya untuk mengintegrasikan umat yang telah
mengalami konflik horisontal telah banyak dilakukan baik
atas prakarsa pemerintah pusat dan daerah, antar tokoh
agama, tokoh adat, LSM lokal, nasional dan internasional
bahkan Perguruan Tinggi. Namun demikian upaya-upaya
tersebut meskipun berhasil menghentikan benturan antar
umat beragama, belum dapat dikatakan berhasil
memadamkan sepenuhnya faktor-faktor penyebab konflik.
Berdasarkan daftar pertanyaan yang diisi oleh responden
maupun hasil pengamatan sehari-hari masih terdapat
kendala-kendala dalam berbagai aspek kehidupan seharihari yang dapat mendorong potensi terjadinya konflik
horizontal terutama di kota Ambon. Berbeda halnya
dengan Maluku Tenggara yang penduduknya mayoritas
beragama Islam (80,63%) kondisinya tergolong cukup
rukun dimana budaya adat Larwul Ngabel masih
berfungsi sebagai perekat integrasi umat beragama.
B. Saran
1. Upaya-upaya mendamaikan hubungan antar umat
beragama provinsi Maluku, khususnya di Kota Ambon
harus tetap dilanjutkan dengan segala macam pendekatan
baik keamanan, budaya, agama, politik dan ekonomi
secara simultan. Sebagai faktor pemicu masih berkembang
di tengah masyarakat seperti fanatisme (agama dan suku),
kecemburuan dan stereotipe sosial, maka upaya-upaya
tersebut di atas harus tetap ditingkatkan. Demikian juga ke
depan relokasi pemukiman dan rekonstruksi sosial perlu
40
direncanakan secara matang dan aplikatif agar dapat
terwujud integrasi sosial yang hakiki. Oleh karena itu
fungsi dan peran pemerintah beserta tokoh agama, adat
dan LSM secara terpadu sangat diperlukan.
2. Mengingat konflik yang mungkin terjadi bersifat laten,
diperlukan adanya upaya-upaya deteksi dini dengan
memonitoring dan mengidentifikasi gejala-gejala sosial
yang mengarah, terjadinya konflik terbuka, tindakan
preventif lebih diutamakan daripada tindakan repressif.
Sistem peringatan dini tersebut perlu dirancang dan
dibangun melalui sistem informasi yang strategis dan
akurat dengan melibatkan berbagai unsur (komponen)
masyarakat seperti terurai di atas.
Daftar Pustaka
Abdullah, 1996, Studi Agama: Historisitas atau Normativitas,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Ahmad Syahid, 2003, ”Peta Kerukunan Umat Beragama
Provinsi Bengkulu” dalam Riuh Beranda Satu: Peta
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Puslitbang
Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Jakarta
2003.
C.
Hendropuspito,
Yogyakarta.
1997,
Sosiologi
Utama,
Kanisius,
_____, 1989, Sosiologi Sistematika, Kanisius, Yogyakarta.
Duriana, ”Revitalisasi Nilai-Nilai Pelagandong Pasca Konflik”
dalam Fikratuna,Vol. 1, Nomor 1, 2004.
Hans Warnir, 2004, ”Kekuatan Tradisi: Penyelesaian Konflik Sosial
dan Multireligius”, Vol. III, Nomor 12, Oktober-
41
Desember, Puslitbang Kehidupan Beragama Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen
Agama RI.
Imam Tolkha, 2001, Anatomi Konflik Politik di Indonesia,
Rajawali Press.
Lambang Trijono, 2001, Keluar dari Kemelut Maluku: Refleksi
Pengamalan Praktis Bekerja untuk Perdamaian Maluku,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Maluku Dalam Angka 2004, Badan Pusat Statistik Provinsi
Maluku.
Parsudi Suparlan, 1986, ”The Javanes in Suriname: Ethman ini
an Rthnically Plural Society” dalam A. F. Syaifudin,
Konflik dan Integrasi, Rajawali, Jakarta.
Rumra, Moh. Yamin, 2003, Efektifitas Komunikasi Antar Umat
Beragama di Tual Maluku Tenggara Pasca Konflik,
dalam Fikratuna, Vol. 1, Nomor 1, 2004, Ambon.
S. Yunanto, 2004, ”Konflik Komunal di Ambon: Potret
Politisasi Pluralitas Kehidupan Agama yang Rentan”
dalam Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius,
Vol. III, Nomor 12, Oktober-Desember, Puslitbang
Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan Departemen Agama RI.
Sumarthana, dkk., 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan
Agama di Indonesia, Institut Dia/Interfidei, Yogyakarta.
Syafii Maarif, Ahmad, 2004, ”Penggunaan Simbol-Simbol
Keagamaan untuk Kepentingan Politik”, dalam
Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol. III,
Nomor 12, Oktober-Desember, Puslitbang Kehidupan
Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan Departemen Agama RI.
42
BAGIAN 2
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
DI KALIMANTAN BARAT
Tim Peneliti
Fauziah
Ibrahim
Erwin
Yusriadi
Asnawati
Gambaran Umum
Wilayah Penelitian
K
alimantan Barat terletak di bagian barat pulau
Kalimantan, berbatasan dengan Kalimantan Tengah
dan Sarawak Malaysia. Provinsi ini memiliki luas
146.807 km2, terluas keempat di Indonesia setelah provinsi
Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah.
Kalimantan Barat terdiri dari 2 daerah kota dan 9 daerah
kabupaten. Daerah itu adalah Kota Pontianak dan
Singkawang, serta Kabupaten Pontianak, Landak, Sambas,
Bengkayang, Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi dan Kapuas
Hulu.
Penduduk Kalimantan Barat berjumlah 4,2 juta jiwa,
terbanyak di kota Pontianak (BPS Kalbar 2003). Lebih 60 %
beragama Islam, sisanya yaitu ; Katolik, Kristen, Hindu,
Budha. Dari segi etnis, selalu disebutkan Dayak merupakan
bilangan terbesar, disusul kelompok Melayu, Tionghoa dan
44
Madura, serta sejumlah etnis lainnya seperti Bugis, Jawa, dll.
Tetapi, jumlah riil penduduk berdasarkan etnis tidak pernah
diperoleh datanya (Yusriadi, dkk 2005).
Aktivitas Keagamaan
Kegiatan keagamaan cukup marak di masing-masing
daerah. Sejauh ini masing-masing umat beragama dapat
menjalankan ajaran agamanya dengan baik, tanpa hambatan,
tanpa merasa ancaman dari pihak lain. Simbol-simbol agama
juga bisa ditampakkan tanpa dibatasi oleh kemungkinan
tekanan eksternal dari kelompok agama lain.
Masing-masing dapat membangun rumah ibadah,
melakukan pembinaan ummat, mendirikan sekolah, dan lain
sebagainya. Di setiap daerah terdapat rumah ibadah yang
berdiri di sudut-sudut kota, di kantong-kantong pemukiman.
Sekolah-sekolah yang dibangun berdasarkan afiliasi agama
berkembang, bahkan khusus untuk sekolah tertentu muridnya
lintas agama. Umat tetap dapat melaksanakan ritual
keagamaan tanpa hambatan; melaksanakan shalat berjamaah
di masjid, kebaktian bagi umat Kristiani di gereja, dan
pelaksanaan ritual keagamaan di Vihara, Pekong dan
Kelenteng.
Kegiatan-kegiatan
masyarakat
agama
dalam
menyambut hari besar agama juga berjalan dengan baik.
Sejumlah tokoh di lapangan mengaku mereka terlibat dalam
kegiatan agama keluarga, tetangga dan rekan-rekannya.
Di Singkawang Selatan dan Pontianak Utara, beberapa
tradisi keagamaan seperti Imlek dan Cap Go Meh menjadi
agenda tahunan dan diarahkan menjadi kalender wisata.
Bukan saja dukungan secara politis, tetapi keterlibatan
komponen lintas agama dan etnik dalam persembahan
kegiatan ini.
45
Di Ketapang, penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil
Quran dilakukan bersama-sama lintas agama dan etnik
(Ikhsan Tanggok, 2005). Sedangkan di Sintang, dilaksanakan
kegiatan bersama dalam bidang olahraga, sosial dan perayaan
hari besar bersama.
Hanya saja memang ada beberapa catatan dalam
konteks ini. Di Singkawang misalnya, pernah terjadi
pelarangan menggunakan pengeras suara ketika azan di
lingkungan komunitas etnis Dayak di Singkawang Timur,
gangguan terhadap ibadah sembahyang kubur di Sedau,
lemparan batu kepada Jemaah Hizbullah. Penampakan simbol
identitas etnik Dayak, Tionghoa dan Melayu di kota ini juga
pernah menimbulkan ganjalan yang cukup berarti.
Di Sintang, soal penggunaan pengeras suara di rumah
ibadah juga menjadi ganjalan antar pengurus rumah ibadah
dengan masyarakat sekitar tidak seagama. Penerimaan
pegawai negeri di lingkungan Departemen Agama telah
memicu aksi sekelompok mahasiswa, sehingga mereka
menyegel kantor pemerintah tersebut. Selain itu,
persinggungan terjadi antar agama menyusul pendekatan
dakwah yang dilakukan kelompok agama tertentu yang
dengan menawarkan materi untuk menarik minat orang lain.
Di Delta Pawan Ketapang ketegangan sempat terjadi
menyusul perebutan jenazah dan beredarnya selebaran
bernuansa SARA menjelang Pilkada 2005 lalu. Secara internal,
seorang khatib pernah diturunkan dari mimbar Jumat ketika
menyampaikan khutbah yang menyinggung perasaan
sebagian jamaah. Pendirian tugu persatuan di Simpang Jalan
Merdeka pasar lama juga menimbulkan permasalahan karena
bagi orang Melayu tugu ini dianggap upaya menampilkan
identitas Dayak. Di tempat lain, di hulu sungai Laur beberapa
tahun lalu keagamaan eksklusif sekelompok penganut agama
juga menimbulkan konflik.
46
Tetapi meskipun terdapat beberapa ganjalan, namun,
banyak yang beranggap bahwa ganjalan itu hanya merupakan
riak-riak kecil yang hilang dengan sendirinya. Ganjalan itu
tidak konstan, dan pada akhirnya, suasana kerukunan
kembali wujud seperti semula. Kesadaran mengenai
pentingnya membangun kerukunan beragama di tengah
masyarakat jauh lebih kuat tertancap di sanubari masingmasing umat beragama.
47
Realitas Hubungan
Kehidupan Beragama
Pontianak Utara
P
ontianak Utara memikul beban dari konflik DayakMadura tahun 1997. Suasana mencekam dan ketakutan
dirasakan penduduk di sini. Hal ini terjadi terkait posisi
Pontianak Utara yang menjadi pintu masuk ke kota Pontianak
dari wilayah utara (dan timur), terminal dan perhentian
utama transportasi dari dan ke Pontianak.
Kerusuhan tahun 1999 di Sambas juga membawa
dampak pada penduduk di Pontianak Utara. Bahkan, konflik
tahun 2000 antara Melayu-Madura juga berimbas ke sini.
Terminal Siantan dan toko-toko yang ada di sana menjadi
saksi beberapa pembunuhan, kerumunan massa, dan suasana
yang mencekam. Namun, kemelut ini perlahan mereda seiring
meredanya suasana di titik konflik (di Sambas). Dan,
kehidupan kembali berjalan normal dan kondusif.
Dinamika kehidupan beragama memang tidak statis.
Konflik-konflik keagamaan sering muncul seketika, tanpa
dipahami sebelumnya, apa penyebabnya. Baru-baru ini telah
terjadi pengerusakan puluhan makam Tionghoa di
pemakaman Yayasan Sungai Jernih dan Yayasan Sentiasa, Pal
V Batu Layang Pontianak Utara. Saat ini belum diketahui
48
motif pengerusakan tersebut, penyelidikan masih dilakukan
Polisi. (Equator 19 Oktober 2005).
Singkawang Selatan
Singkawang Selatan termasuk wilayah yang menjadi
saksi sejarah konflik antara Dayak-Madura di Sanggau Ledo
tahun 1997. Daerah Sagatani dan Pangmilang terkena imbas
konflik karena di kedua daerah tersebut terdapat orang
Madura. Kerusuhan tidak sempat meluluhlantakkan kedua
wilayah ini karena penduduk setempat lebih dahulu
melaporkan tanda-tanda akan terjadi serangan Dayak ke
Komando Distrik Militer (Kodim) Singkawang, dan tentara
kemudian mengungsikan orang Madura di sini ke markas
Komando Pendidikan (Dodik) Pasir Panjang –sekitar 20
kilometer dari pusat kota Singkawang. Penyerangan ke
wilayah yang sudah ditinggalkan orang Madura ini hanya
menyebabkan kerugian harta benda saja.
Singkawang Selatan (dan Singkawang Umumnya) juga
terhindar dari kerusuhan antar Melayu-Madura di Sambas
dua tahun setelah Madura-Dayak di Sanggau Ledo itu.
Kantong-kantong pemukiman orang Madura di Singkawang
tetap aman, sekalipun mencekam. Penduduk tidak terusir dan
mengungsi. Malah, di Marhaban, Kelurahan Sedau,
Singkawang Selatan, menjadi tempat relokasi pengungsi
Madura dari Sambas.
Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 2002
dalam skala relatif kecil, terjadi ketegangan di tengah
masyarakat. Insiden ini dikenal dengan kisruh sembahyang
kubur (sembahyang rampas) antara Melayu-Tionghoa di
Sedau. Beberapa orang luka dan 3 sepeda dirusak. Polisi
diturunkan ke Sedau untuk mengamankan suasana karena
massa Melayu sudah beringas dan meneriakkan yel-yel
‘Bakar, hancurkan!’. Mereka berniat membakar sebuah
49
kelenteng dekat balai desa. Kepala Kepolisian, Komandan
Komando Rayon Militer dan Camat turun tangan
menenangkan massa dan memfasilitasi pertemuan antar
Melayu-Tionghoa. Perdamaian dibuat, dan tokoh Tionghoa
mengganti seluruh kerugian yang timbul sebelumnya.
Ketegangan berikutnya terjadi antara kelompok etnis
Tionghoa. Ketegangan dipicu oleh sengketa Tanah Lirang
tahun 2005. Kasus ini berawal dari beroperasinya pabrik
batako milik Su Fong di atas tanah yang diklaim milik Tji
Kong. Salah satu pihak bersikeras menyelesaikan kasus ini
dengan hukum adat Dayak. Massa kedua belah pihak
meluruk ke kantor Camat meminta penyelesaian. Dan
akhirnya setelah pemerintah turun tangan, kedua belah pihak
sepakat memilih damai.
Peralihan status Desa Pangmilang menjadi Kelurahan
juga sempat memicu ketegangan. Kepala Desa menyatakan
dirinya masih sah sebagai kepala desa dan masih menguasai
kantor desa karena merasa masih berhak sampai tahun 2006
sesuai dengan SK Pengangkatannya. Selain itu dia merasa
masyarakat masih mendukungnya. Namun, upayanya
bertahan juga mendapat tantangan. Sejumlah warga menolak
kepemimpinannya. Sejumlah RT menumpuk kartu keluarga
baru sebagai bentuk protes terhadap Kepala Desa itu. Prokontra muncul di tengah masyarakat (Pontianak Post 4 April
2005).
Sintang Kota
Ketegangan dalam skala kecil sempat terjadi di Sintang
Kota. Pada tahun 2004, Kantor Departemen Agama Sintang
yang terdapat di tengah kota diduduki oleh massa
Perhimpunan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia
(PMKRI) dari Universitas Kapuas (Unka). Penyegelan itu
sebagai bentuk protes karena formasi penerimaan pegawai
50
negeri sipil dianggap tidak adil. Di Sintang juga terjadi
perebutan jabatan Rektor Universitas Kapuas. Pemilihan yang
dijadwalkan awal Oktober lalu gagal dilaksanakan karena
tarik menarik kepentingan agama antara pihak yang
menjagokan Dr. Arkanudin yang beragama Islam dengan
pihak yang mengusulkan Petrus Atong, MM yang beragama
Katolik. (Equator 3, 6, 8 Oktober 2005).
Selain itu, penyebaran agama dengan menukar akidah
dengan materi kerap kali menjadi ganjalan. Sejumlah orang
dibujuk memeluk agama tertentu dengan imbalan makanan,
rumah dan berbagai fasilitas hidup. Hal ini riskan terjadi di
wilayah transmigran: antara orang Jawa dan penduduk
setempat. Bahkan terjadi juga intimidasi. Pro-kontra terhadap
kegiatan kelompok Ahmadiyah di internal umat Islam dan
kegiatan saksi Yehova di kalangan umat Kristiani juga
mewarnai kehidupan beragama di Sintang.
Delta Pawan
Selama ini Ketapang mengklaim sendiri sebagai
daerah paling aman dan rukun di Kalimantan Barat. Pidato
Bupati Ketapang tahun 2005 menyebutkan bahwa keamanan
dan Ketertiban Ketapang diklaim 100 % aman. (LPj Bupati
2005). Klaim ini muncul karena kerusuhan yang terjadi di
pelbagai wilayah lain misalnya di Sanggau Ledo, di Sambas,
di Pontianak atau Sanggau, atau kerusuhan di Pangkalan Bun,
Kalimantan Tengah tidak sampai merembet ke Ketapang.
Tetapi
meskipun
demikian,
riak-riak
yang
menggoyang hubungan sosial masyarakat bukan tidak ada.
Pelaksanaan Pilkada 20 Juni 2005 lalu memperlihatkan
munculnya gejolak di tengah masyarakat dan bahkan
ketegangan. Gejolak itu dipicu munculnya selebaran yang
berisi Seruan atau Himbauan yang dibuat oleh Majelis Adat
dan Budaya Melayu Ketapang tanggal 26 Mei 2005 yang
51
ditandatangani Ketua Dewan Pemangku Adat M Dardi D Has,
Ketua Dewan Penasehat H. Ridwan Hasan,BA dan Ketua
Umum
Dewan
Pengurus
H.
Morkes
Effendi;
Seruan/Himbauan Forum Mufakat Alim Ulama Kabupaten
Ketapang yang ditandatangani Ustadz Sy HA Kadir Syahab,
Ustadz Abdullah Alfakir, Ustad M Hory, BA. Ustadz Musleh
Muallim, Ustadz Naweri, S.Ag., Ustadz Udin Mahyudin,
Ustadz Jama’ie Makmur, Ustadz M Zubaer dan Ustadz Hayat
Syarif; dan Bulletin Suara Santri yang diterbitkan Yayasan
Kota Santri, Ketapang yang berjudul “Saatnya Ummat-Islam
Mengambil Keputusan Di Dalam Memilih Pemimpin”.
Selebaran beredar pada masa kampanye, antara lain
isinya seruan kepada umat Islam agar memilih pemimpin
yang beragama Islam, dan jangan memilih pemimpin yang
kafir, jangan memilih pemimpin Yahudi dan Nasrani. Seruan
itu antara lain dilengkapi dengan kutipan ayat Al-Quran
Surah Ali Imran 28, An-Nisa 59, 139, 144, Al-Maidah 51, serta
foto pasangan calon Bupati Morkes Effendi dan Henrikus.
Pada mulanya, selebaran ini adalah untuk konsumsi
internal, baik kalangan anggota MABM, maupun umat Islam.
Tujuannya, agar mereka memberikan dukungan kepada
Morkes dan Henrikus. Sebab, sebelumnya ada kekhawatiran
bahwa dalam Pilkada ini Morkes akan kehilangan
dukungannya dari mayoritas muslim. Asumsi ini muncul
karena pada saat yang sama data-data dan selebaran yang
berisi raport merah Morkes saat menjabat sebagai Bupati
periode 1999-2004 juga beredar. Suara masyarakat
dikhawatirkan lari ke pasangan calon Bupati Lourentius
Majun – Abul Ainen, dan pasangan Gusti Sofyan Afsier –
Lukas Denggol. Namun belakangan selebaran ini jatuh juga ke
tangan masyarakat non-muslim.
Majun dan pendukungnya keberatan dengan selebaran
itu. Majun keberatan karena seruan itu secara tersirat memang
52
dimaksudkan untuk mengganjalnya meskipun pasangannya,
Abul Ainen adalah muslim juga, dan sebaliknya pasangan
Morkes, Henrikus sebenarnya bukan Islam juga. Sedangkan
pasangan Sofyan keberatan karena walaupun selebaran itu
bisa jadi menguntungkannya karena dia muslim, tetapi karena
foto Morkes saja di selebaran itu maka bisa ditafsirkan bahwa
selebaran itu hanyalah untuk Morkes.
Kalangan Katolik dan Protestan memang keberatan
dengan selebaran itu. Mereka mengaku mengklarifikasi
kepada kontak person dari kalangan Islam yang mereka kenal.
Namun, setelah dijelaskan, akhirnya mereka mengerti tafsiran
kafir yang ada pada ayat itu. Sumber lapangan mengaku
bahwa sempat juga isu-isu Pilkada ini dibicarakan dalam
khotbah dan kebaktian. Beberapa tokoh Katolik mengaku
membicarakannya secara khusus.
Dewan Adat Dayak Ketapang mengeluarkan seruan/
himbauan pada tanggal 12 Juni 2005 berkaitan dengan
selebaran itu. Himbauan yang ditandatangani Heronimus
Sintin itu menyebutkan mereka menyesalkan himbauan dan
seruan yang dibuat perorangan atau lembaga itu (sama sekali
tidak disebut secara eksplisit seperti yang kemudian kita lihat)
yang mereka anggap melecehkan kelompok, golongan agama
tertentu. Mereka mengajak masyarakat Dayak untuk memilih
pemimpin yang tidak melakukan pelecehan kepada
kelompok, golongan, agama dan kepercayaan.
Pada masa minggu tenang, pencoblosan, hingga awal
perhitungan suara, tidak muncul gejolak berkaitan dengan
selebaran itu. Reaksi muncul justru pada saat perhitungan
suara memasuki tahap akhir dimana kemenangan Morkes
sudah bisa diprediksikan. Tokoh/pemuka dan masyarakat
Etnis Muslim dan Non Muslim Kabupaten Ketapang
membuat pernyataan sikap dan tututannya kepada Panitia
Pengawas Daerah Pilkada Ketapang Senin, 27 Juni 2005. Dan,
53
ke DPRD Ketapang Selasa, tanggal 28 Juni 2005 agar mencoret
nama Morkes Effendi dan Henrikus, selanjutnya memproses
sesuai hukum yang berlaku.
Dewan Adat Dayak dan Forum Pemuda Dayak serta
tokoh masyarakat adat Dayak Ketapang bersama Tokoh
masyarakat Pasar (Tionghoa) menggelar rapat Rabu 29 Juni
2005 di Rumah Anastasius Bantang, tokoh Dayak yang pernah
menjadi anggota Dewan periode sebelumnya. Akan terus
melakukan tekanan, tetapi tidak anarkis, dan melakukan
melalui perwakilan. Orang Tionghoa tidak pernah terlibat
dalam gerakan mendukung Morkes secara resmi,
menyerahkan persoalan kepada hukum positif.
Pada 30 Juni 2005, diselenggarakan pertemuan antara
tokoh agama Ketapang yang difasilitasi Kandepag Marsijdo
ATS dan Kapolres Drs. Antam Novambar. Mendudukkan
persoalan ini pada tempatnya, meminta tenang, tidak
mempertentang agama, dll. Pada saat itu juga, mewakili
Majelis
Ulama
Indonesia
Ketapang,
Sekretarisnya
menyampaikan permohonan maaf terhadap orang-orang yang
tersinggung dengan selebaran ini.
Permohonan ini
disampaikan karena khawatir situasi yang genting, sebab
pada saat yang sama beredar isu mengenai kemungkinan
orang Madura akan menjadi sasaran aksi massa kelompok
yang menolak selebaran itu. Madura dianggap bertanggung
jawab karena dari 9 ustadz yang menandatangani selebaran
itu, 6 di antaranya adalah Madura. Tambahan lagi orang
belum melupakan sepenuhnya kerusuhan Madura-Dayak di
Sanggau Ledo, Madura – Dayak di Sampit, Kalimantan
Tengah. Bagaimanapun selama masa demonstrasi itu, 9 ustadz
yang menandatangi selebaran itu dicari-cari kelompok
54
demonstran, dan terpaksa mengungsi di Polres Ketapang
untuk sekian lama1.
Pada saat yang sama massa pendukung Morkes
melakukan gerakan. Diprakarsai Majelis Adat dan Budaya
Melayu (MABM) Ketapang menggelar aksi tandingan untuk
mengimbangi tekanan yang sedemikian kuat kepada
Kepolisian, DPRD dan Panwasda-KPUD.
Setelah melalui serangkaian pertemuan dan dialog
akhirnya memang badai berlalu. Suasana relatif aman.
Namun, kelompok yang protes tidak merasa puas sebelum
masalah ini diselesaikan secara hukum, atau dalam bahasa
lain, sebelum pembuat selebaran itu dijatuhi hukuman.
Dewan Adat Dayak tanggal 4 Juli 2005 mengirim surat kepada
Presiden, DPR-RI, DPD dan Mahkamah Agung mengenai
selebaran ini. Ketika tanggal 8 Juli 2005, Drs. Isyah Siat dan
Donatus Gasa, SH mewakili Dewan Adat Dayak (DAD)
Ketapang menyampaikan ucapan selamat kepada Morkes,
keduanya sempat digoyang dengan gerakan mosi tak percaya
–namun tak jadi dilakukan. 12 Juli 2005 sekali lagi kelompok
yang menamakan diri sebagai tokoh masyarakat Muslim dan
Non-Muslim Ketapang (tetapi nama-nama itu tidak dikenal)
mendesak aparat penegak hukum mengutus pelaku pembuat
selebaran SARA itu dengan 7 pernyataan sikap.
Tanggal 21 Juli 2005 DAD Ketapang didampingi
advokat S. Bagus Triyogo A.P, SH dari Bratan Pajang,
Surakarta, Jawa Tengah mengadukan Ustadz Faisal AlHamied, pimpinan Yayasan Kota Santri Ketapang ke Polisi.
1
Equator, Senin 18 Juli 2005 berjudul Sengketa Pilkada Ketapang Polres
Gamang? mengutip komentar seorang pelapor kasus SARA, yang menyoal
mengapa hanya ustad itu saja yang diproses, sedangkan Morkes dan kawankawan yang menandatangani selebaran MABM Kalbar hanya dipanggil
sebagai saksi. Hal yang sama disampaikan Drs. F Radon, saksi pelapor
lainnya. Radon juga mengakui telah melakukan aksi menanyakan hal itu
pada tanggal 16 Juli 2005.
55
Kamis 24 Agustus 2005, sekali lagi kelompok pemrotes
melakukan aksi dalam bentuk menggelar upacara adat
pengembalian tempayan yang terletak di tugu tolak bala di
persimpangan Jalan Merdeka-Jalan A Yani Ketapang2.
Selain ketegangan itu, sebelumnya, pada Mei 2003
terjadi yang menghebohkan Ketapang, bahkan se Kalimantan
Barat. Pada tahun tersebut terjadi perebutan jenazah Yohanes
Victor. Yohanes adalah Ketua Dewan Adat Dayak Ketapang,
pengusaha dan juga Ketua Persatuan Sepakbola Ketapang
(Persikat) memeluk agama Islam dan menikah dengan Siti
Murjanah, seorang perempuan muslim. Yohanes meninggal di
Rumah Sakit Normah di Kuching 26 Mei 2003. Setelah
meninggal jenazahnya sempat dimandikan, dikafani dan
dishalatkan secara Islam di Kuching, Sarawak, Malaysia.
Namun, ketika hampir sampai di Pontianak jenazah itu
diambil oleh anggota keluarganya dan dibawa ke Ketapang.
Atas usaha Wakil Bupati ketika itu Lorentius Majun, jenazah
Yohanes dikremasikan dan dikubur secara Katolik. Mereka
beralasan tidak pernah tahu bahwa Yohanes memeluk agama
Islam. Ribuan umat Islam juga melaksanakan shalat ghaib
untuk Yohanes di Masjid Raya Mujahidin Pontianak pada 30
Mei 2003 (Equator, 31 Mei 2003).
Kasus yang sama juga terjadi pada Susanto. Susanto
masuk Islam secara diam-diam tanpa memberitahukan hal itu
kepada orang tuanya pada tahun 2002, dan dia terus tinggal di
rumah keluarganya. Pada tahun 2003, sekitar 6 bulan setelah
muslim, Susanto meninggal dunia. Pihak keluarga yang tak
tahu mengenai kepindahan agama Susanto tetap
menyelenggarakan jenazah bujangan itu dengan cara adat
2
Harus diakui, bahwa aksi ini merupakan bagian dari ungkapan persatuan
antar kelompok masyarakat etnik di Ketapang di satu sisi, tetapi di sisi lain
secara tersirat mengingatkan orang bahwa kemelut SARA Paska Pilkada di
Ketapang yang belum berakhir. Kegiatan ini melibatkan DAD kecamatan se
Ketapang dan diselenggarakan berdasarkan Adat Dayak.
56
Tionghoa. Sedangkan orang Islam yang tahu Susanto sudah
muslim berusaha menjelaskan persoalan itu dan bahkan
bukti-bukti dokumen yang memperlihatkan ke-Islam Susanto.
Kepala Kantor Urusan Agama Delta Pawan (Matan Hilir
Utara) Abdul Aziz yang sebelumnya mengislamkan Susanto,
memberitahukan, 6 kali mereka datang ke pihak keluarga
Susanto memberikan penjelasan –termasuk meminta agar
jenazah Susanto diselenggarakan sesuai agama yang dianut.
Namun tetap tidak berhasil.
Upacara pengembalian tempayan persatuan bulan
Agustus 2005 yang diselenggarakan dengan adat Dayak
sesungguhnya bagi banyak pihak menimbulkan prasangka.
Walaupun kemudian berdasarkan data angket 72,08 % setuju
dan sangat setuju bahwa kedua kelompok saling mengunjungi
dalam upacara keagamaan, namun kenyataannya tokoh-tokoh
Melayu, kecuali Rumpun Melayu Arus Bawah, tidak
menghadiri upacara itu. Bahkan, tokoh-tokoh agama Islam
menolak ketika diminta untuk membaca doa dalam upacara
itu. Kebanyakan hanya melihat dari jauh apa yang terjadi dan
sebagiannya malah sinis.
57
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Hubungan Antar Agama
K
ecenderungan hubungan antar umat beragama di
wilayah penelitian tidak sama. Di Kota Pontianak,
Singkawang, Sintang kecenderungannya mengarah
pada situasi yang dinamis, yaitu harmonis. Sedangkan di
Ketapang, hubungan cenderung konfliktual.
Hubungan di di Pontianak dianggap harmonis karena,
asumsi ini muncul karena sekalipun terpengaruh suasana
konflik namun konflik yang terbuka tidak pernah terjadi.
Ketegangan muncul lebih karena ditimbulkan tekanan dari
luar dan bukannya muncul dari dalam, dari kalangan
masyarakat setempat. Sejauh ini, pengaruh kejadian di
Sanggau Ledo atau di Sambas, hanya menghasilkan
ketegangan sementara dan dalam skala kecil, tidak merembet
terlalu jauh.
Pemerintah
telah
melakukan
langkah-langkah
preventif, dengan melakukan pertemuan dan dialog antar
tokoh. Di Pontianak Utara terbentuk Forum Komunikasi
Antar Agama yang berdiri tahun 2004, difasilitasi Kantor
Urusan Agama, dan unsur Musyawarah Pimpinan Kecamatan
(Muspika) seperti Camat, Koramil dan Polsek.
Keadaan diprediksi akan terus harmonis karena
kesadaran yang tumbuh di kalangan umat beragama sangat
58
tinggi. Data angket memperlihatkan bahwa di Pontianak
Utara 75 % responden setuju dan sangat setuju terhadap
upaya membangun kerukunan dan 72 % menolak provokasi
dan keributan. 70 % menyatakan mereka bersedia bertoleransi
terhadap segala bentuk ibadah dan kebiasaan agama lain, 72
% eksistensi kerukunan perlu terus dijaga melalui upaya
pembangunan komunikasi antar kelompok agama. Mereka
juga tidak setuju kalau agama menjadi ganjalan dalam
interaksi sosial-ekonomi sesama (70 % tidak setuju).
Begitu pula di Singkawang Selatan. Hubungan antar
agama dianggap harmonis karena pertama: konflik yang
terjadi sebelum ini bukanlah konflik agama. Yang terjadi
sebelum ini muncul karena adanya kepentingan politik dan
golongan, ekonomi, dan kepentingan pribadi yang merembet
pada upaya membawa persoalan ini pada tataran agama, etnis
dan budaya. Tidak saja dalam kasus sengketa Pangmilang,
tetapi dalam kasus-kasus lain yang penyelesaiannya dibawa
ke hukum adat, atau dalam kasus patung naga di tengah kota
yang merupakan representasi kuatnya keinginan politik etnik
tertentu.
Selain itu kuatnya motivasi untuk terus hidup rukun
dengan kelompok lain merupakan sinyal mengenal kesadaran
masing-masing untuk terus menjaga kerukunan. Dialog yang
terbangun antar agama selama ini cukup intensif. Kesadaran
ini mendorong tumbuhnya kerukunan antar umat beragama
di Singkawang Selatan.
Keadaan diprediksi akan terus harmonis karena
kesadaran yang tumbuh di kalangan umat beragama sangat
tinggi. Data angket memperlihatkan bahwa di Singkawang
Selatan 95 % responden setuju dan sangat setuju dengan pola
pertemanan yang sedia ada sekarang dan 90 % responden
setuju dan sangat setuju dengan pola pertetanggaan yang
terbangun sekarang. Dalam konteks hubungan politik, 95 %
59
setuju dan sangat setuju dengan pola hubugan antar
organisasi politik yang ada sekarang, 93 % juga berharap
persaingan sehat mesti dikedepankan.
Dalam tataran
hubungan peribadatan, 79 % responden mengatakan setuju
dan sangat setuju dengan sikap toleransi dan saling memberi
kesempatan kepada semua agama melaksanakan upacara
keagamaan. 95 % setuju dan sangat setuju adanya kerukunan
antar organisasi keagamaan, sebaliknya mereka tidak setuju
dengan organisasi keagamaan yang ekspansif. Mereka juga
tidak setuju kalau agama menjadi ganjalan dalam hubungan
sosial-ekonomi (90 % tidak setuju dan sangat tidak setuju).
Hubungan antar umat beragama di Sintang dianggap
cukup harmonis karena dua aspek, yaitu aspek hubungan
sosial kemasyarakatan dan pandangan serta sikap antar umat
beragama. Dalam aspek realitas hubungan sosial: baik itu
dalam aspek sosial ekonomi, sosial politik dan kehidupan
beragama, setiap umat beragama di Sintang, senantiasa
menjaga hubungan antar mereka agar tetap berjalan dengan
baik, penuh toleransi, saling menghargai dan menghormati.
Masih juga terpelihara hubungan kekerabatan, kekeluargaan
dan tolong menolong.
Jika ada persoalan antar kelompok agama, mereka
senantiasa mencari penyelesaian terbaik melalui musyawarah,
dialog dan komunikasi. Karena itulah di Sintang hingga saat
ini tidak pernah ada konflik antar umat beragama. Hal ini
dapat
dibuktikan
dalam sejarah hubungan sosial
kemasyarakatan antar umat beragama di Sintang.
Selain itu, setiap umat beragama di Sintang juga
menghendaki hubungan antarumat beragama yang rukun,
harmonis, saling menghargai dan menghormati, tolong
menolong, dan membangun kebersamaan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Wujud juga harapan untuk
membuka diri, disertai sikap menolak upaya-upaya
60
penyalahgunaan agama dan menyeretnya untuk kepentingan
politik,
serta
pemaksaan
kehendak.
Data
angket
memperlihatkan bahwa di Sintang Kota 89,90 % responden
setuju dan sangat setuju terhadap upaya membangun
kerukunan, 89,58 % responden setuju dan sangat setuju
dengan pola hubungan yang sehat, terbuka dan demokratis,
77,08 % setuju dan sangat setuju bahwa persaingan politik
harus dilakukan dengan cara sehat, 92,36 % responden setuju
dan sangat setuju adanya sikap toleransi dan saling
memberikan kesempatan kepada agama lain melaksanakan
upacara keagamaan masing-masing. 71,67 % responden setuju
dan sangat setuju adanya kerukunan antar organisasi
keagamaan, dialog dan komunikasi intensif. Umumnya
respon juga tidak setuju kalau agama menjadi ganjalan dalam
hubungan sosial ekonomi (80,20 %).
Pemerintah juga memperlihatkan kepeduliannya
dalam persoalan keumatan dengan memfasilitasi dialog.
Misalnya pada saat kerusuhan di Sambas tahun 1999 dan
menjelang Pilkada 2004, pemerintah mengundang tokohtokoh agama (selain etnik) agar komitmen membangun
kerukunan terus dipertahankan.
Di Ketapang, situasi sekarang memang relatif sudah
aman. Namun, kelompok masyarakat tertentu masih
mengisyaratkan mereka menuntut penyelesaian isu SARA
Pilkada. Mereka menuntut ada penyelesaian. Meskipun
kemudian tuntutan mereda dan masalah berkepanjangan,
namun, ketiadaan penyelesaian (penyelesaian menguap) akan
menimbulkan ganjalan di kemudian hari. Sekalipun masalah
ini mengemuka dalam konteks politik, namun, agama dan
etnik ikut dilibatkan.
Memang dalam konteks hari ini tokoh-tokoh agama,
etnik, politik, dan semua orang di Ketapang memberikan
jawaban bahwa mereka menginginkan suasana damai dan
61
aman. 99,95% responden mengaku setuju dan sangat setuju
bahwa hubungan harus dijalin baik tanpa batas agama dan
etnis. 100 % responden setuju dan sangat setuju bahwa semua
orang harus membaur, walaupun pada bagian lain mereka
mengatakan persahabatan yang tidak didasarkan agama
adalah semu (53,48 % menjawab setuju dan sangat setuju).
100% responden setuju dan sangat setuju bahwa pelaku
politik harus bersaing secara sehat dan tidak saling
memfitnah. 97,66% responden setuju dan sangat setuju
organisasi keagamaan harus menjaga kerukunan kehidupan
beragama. Sebaliknya mereka berbeda secara berimbang soal
kelompok agama dalam pengembangan agama. 30,23% setuju
kelompok seperti ini dibiarkan secara alami, berbanding 41, 86
% tidak setuju, dan 23,25 % sangat tidak setuju. Selebihnya,
tidak tahu dan tidak menjawab. Umumnya memang
responden tidak setuju kalau agama menjadi ganjalan dalam
kegiatan sosial-ekonomi (97,66% setuju dan sangat setuju).
Secara eksplisit diakui, mereka memang belajar banyak
dari pelbagai kerusuhan yang berkembang di tempat lain.
Tetapi, di sisi lain, kecurigaan, perbedaan tanggapan dalam
penyelesaian masalah mereka suatu saat dikhawatirkan
membuat suasana hati berubah, akumulasi kekecewaan tak
mustahil membuncah dan membentuk gumpalan yang akan
meletus di kemudian hari karena persoalan yang timbul tidak
diselesaikan sampai tuntas. Kasus perebutan jenazah
bagaimanapun berakhir dengan kekecewaan kalangan Islam.
Kini, kasus SARA berakhir dengan kekecewaan kelompok
Dayak. Semakin banyak kekecewaan, semakin rawan
hubungan antar kelompok. Sementara pemerintah yang
diharapkan menjadi penengah sejauh ini tidak mampu
memainkan peranan yang maksimal. Kasus sebelum ini
memperlihatkan bahwa saat ini harapan lebih banyak
bergantung pada aparat penegakan hukum (Kepolisian).
62
Penutup
D
ari paparan di atas, secara umum kehidupan
beragama di Kalimantan Barat berada dalam situasi
rukun sekali dan tidak ada konflik terbuka (Lihat Peta
6). Situasi rukun sekali terjadi di wilayah utara kota
Pontianak. Situasi konflik di tempat lain, justru menjadi
perekat hubungan antar kelompok di Pontianak Utara ini.
Kelompok berbagai agama dan etnik ini membangun dialog
antar agama maupun dalam bentuk kerjasama sosial antar
masyarakat. Sebuah rumah ibadah yang dibangun berdasarkan bantuan dari kelompok-kelompok ini, menjadi simbol
kerukunan yang tercipta di tengah masyarakat.
Sedangkan di Singkawang Selatan dan Sintang Kota
suasananya dikatagorikan sebagai kurang rukun. Data yang
diperoleh di wilayah wilayah utara dan timur provinsi Kalbar
ini bahwa terjadi riak-riak kecil yang mengganjal hubungan
antar masyarakat. Riak-riak itu meskipun dipicu oleh
kepentingan pribadi dan kelompok, namun beberapa kasus
memperlihatkan pelibatan simbol agama dan etnik. Memang
persoalannya pada akhirnya dapat diselesaikan melalui dialog
63
dan kesepahaman antar mereka, dan konflik tidak
menyebabkan benturan dalam masyarakat (secara meluas).
Masing-masing pihak menyadari bahwa persoalan
yang terjadi muncul karena ada pihak tertentu yang
membawanya ke ranah agama dan etnik, atau paling tidak
karena adanya kepentingan tertentu, bukan karena masalah
agama. Terhadap persoalan tersebut mereka juga mampu
menyelesaikan persoalan hingga tuntas.
Situasi di Ketapang lebih mengkhawatirkan. Wilayah
selatan provinsi Kalbar yang sebelum ini dicap sebagai daerah
teraman di Kalbar, justru memperlihatkan terjadinya konflik
terbuka. Hubungan antar kelompok etnik dan agama
dibayangi oleh persoalan SARA yang mencuat Paska Pilkada
2005 di Ketapang. Persoalan yang bercampur aduk antara
agama, etnik dan politik, sampai hari ini belum selesai
sekalipun kemarahan kelompok tertentu sudah agak mereda.
Sekarang tidak ada demonstrasi, tidak ada lagi perburuan
terhadap para ustadz yang menandatangani selebaran, namun
ketegangan dan kecurigaan masih dirasakan. Apalagi di
tengah pesimisme bahwa hukum positif yang dipercaya
menyelesaikan persoalan itu tidak akan mampu berbuat
banyak. Sementara itu permintaan maaf di satu pihak tidak
menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah baru
di internal umat beragama. Saling curiga, fitnah, bahkan teror
(fisik dan mental) tidak saja terjadi di antara kelompok etnik,
tetapi juga di internal penganut agama.
Sekalipun pada akhirnya semua pihak menyadari
bahwa ada kepentingan politik dalam konflik SARA, tetapi,
mereka juga tidak mengabaikan bahwa kepentingan politik itu
juga atas nama kepentingan agama dan kelompok etnik.
Masing-masing pihak amat menyadari bahwa kekuasaan
politik akan berimplikasi pada pengembangan agama dan
ekonomi.
64
Tetapi tentu saja, seperti disebutkan di atas situasisituasi itu mempunyai peluang terus berubah. Dinamika
kehidupan sosial tidak pernah konstan, selalu tumbuh dan
berkembang di tengah masyarakat. Sehingga pada akhirnya
suasana yang diprediksi rukun bisa jadi bergerak ke arah
tidak rukun, dan sebaliknya suasana konflik terbuka bisa jadi
meredup menuju suasana rukun.
Daftar Pustaka
[Didik Bil Ikhsan]. 2000. Majalah Didik Bil Ikhsan Edisi 2, tahun
2000.
[Equator]. 2005. Catatan menjelang seminar profil etnik di
Kalimantan Barat, Equator 19 April 2005.
[KR]. 2003. Kalimantan Review Edisi Khusus tahun 2003.
[LPj Bupati]. 2005. Pidato Bupati Ketapang pada penyampaian
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir
Masa Jabatan Bupati Ketapang Tahun 2000-2005,
Maret 2005. Naskah.
BPS dan Bappeda. 2003. Sintang dalam Angka. Sintang: Badan
Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah.
BPS Kalbar. 2003. Kalimantan Barat dalam Angka. Pontianak:
Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat.
BPS Ketapang. 2003. Ketapang Dalam Angka. Ketapang: Badan
Pusat Statistik.
BPS Ketapang. 2003. Monograf Kecamatan Delta Pawan.
Ketapang: Badan Pusat Statistik.
BPS Pontianak. 2004. Monografi Kecamatan Pontianak Utara.
Pontianak: Badan Pusat Statistik.
65
BPS Singkawang. 2004. Monografi Kecamatan Pontianak Utara.
Singkawang: Badan Pusat Statistik.
BPS Sintang. 2003. Kabupaten Sintang dalam Angka 2003.
Sintang: Badan Pusat Statistik.
BPS Sintang. 2004. Monografi Kecamatan Sintang Kota. Sintang:
Badan Pusat Statistik.
Kecamatan Sintang. 2004. Data-base Kecamatan Sintang Kota
tahun 2000-2004. Naskah.
Kecamatan Sintang. 2004. Monografi Desa Se-Kecamatan Sintang
Kota Tahun 2004. Sintang: Kecamatan Sintang.
KUA Pontianak Utara. 2005. Data Penduduk Berdasarkan
Klasifikasi Agama. Pontianak: KUA Kec. Pontianak
Utara.
KUA Singkawang Selatan. 2005. Data Penduduk Berdasarkan
Klasifikasi Agama. Singkawang Selatan: KUA Kec.
Singkawang Selatan.
KUA Sintang Kota. 2005. Data Penduduk Berdasarkan
Klasifikasi Agama. Sintang: KUA Kec. Sintang.
M. Ikhsan Tanggok. 2005. Lourentius Majun, SH; Menembus
Birokrasi Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Morkes Effendi. 2005. Merenda Ketapang Hari Esok. Jakarta:
Penerbit Indomedia.
Munawar. 2003. Sejarah konflik etnis di Kabupaten Sambas.
Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Yusriadi, Hermansyah, Dedy Ari Asfar. 2005. Etnisitas di
Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
66
BAGIAN 3
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
DI PROVINSI LAMPUNG
Tim Peneliti
Yukrim Latief
Agus Pahrudin
Suhanah
Erina Pane
Mansyur Hidayat
Muhadi
Mujib
Gambaran Umum
Wilayah Penelitian
1. Bandar Lampung
a. Geografis dan Demografis
S
ecara geografis, Kota Bandar Lampung terletak diantara
5.20 derajat - 5.30 derajat lintang selatan dan 105.28
derajat -105.37 derajat bujur timur. Terletak di bagian
selatan Provinsi Lampung, tepatnya pada Teluk Lampung dan
di ujung selatan Pulau Sumatra. Kota Bandar Lampung
memiliki luas wilayah 192,18 Km2 yang merupakan 0,54
persen dari luas wilayah Provinsi Lampung .
Seluruh kecamatan yang membatasi wilayah Kota
Bandar Lampung ini merupakan bagian dari wilayah
Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan–kecamatan di Kota
Bandar Lampung terdiri dari 13 kecamatan sebagai berikut :
68
Kecamatan
Ibukota
Luas wilayah
(km2)
20,54
Teluk Betung Barat
Bakung
Teluk Betung Selatan
Sukaraja
Panjang
Panjang Selatan
23,99
Tanjung Karang Timur
Kota Baru
21,10
Teluk Betung Utara
Kupang Kota
9,95
Tanjung Karang Pusat
Palapa
5,67
Tanjung Karang Barat
Gedong Air
17,43
Kemiling
Sumberejo
22,89
Kedaton
Kampung Baru
Rajabasa
Rajabasa
13,02
Tanjung Seneng
Tanjung Seneng
12,62
Sukarame
Sukarame
16,87
Sukabumi
Sukabumi
10,59
8,63
8,88
Jumlah
192,18
Sumber : Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung, 2003
b. Kehidupan sosial Ekonomi,
Kehidupan beragama
Politik,
Budaya
dan
Sebagian besar penduduk Kota Bandar Lampung
bekerja di sektor perdagangan dan jasa. Masyarakat Lampung
mendominasi posisi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) ,
khususnya di lingkungan Pemerintah Daerah dan di instansi
pemerintah lainnya. Masyarakat pendatang (Jawa, Padang,
Batak dan beberapa suku lainnya) ada juga yang menduduki
jabatan strategis pada instansi pemerintah di Kota Bandar
Lampung, namun dalam jumlah yang kecil.
Dan, berdasarkan aspirasi politik, penduduk
didominasi oleh Partai Golongan Karya selanjutnya Partai
69
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera,
Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan
partai-partai lainnya dalam jumlah partisan yang relatif kecil.
Organisasi kepemudaan onderbaw partai politik didominasi
oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Kemudian kondisi Kehidupan Beragama di Kota
Bandar Lampung bersifat campuran. Keadaan ini tampak
pada data penduduk yang memeluk agama sangat beragam,
yaitu pemeluk agama Islam yang mayoritas (91,29) maupun
pemeluk agama lainnya seperti Kristen Protestan, Katolik,
Budha dan Hindu, tetap dapat hidup berdampingan secara
harmonis dengan rasa toleransi serta kekeluargaan yang
tinggi.
Data Jumlah Pemeluk Agama dari Tahun 2000-2003
Tahun
Islam
Kristen
Katolik Hindu Budha
2003
728,012 20,942 18,682 6,119
13,145
2002
623,977 21,039 18,781 6,502
13,191
2001
623,532 21,029 18,771 6,474
13,185
2000
621,191 19,976 16,906 5,491
13,229
Sumber : Dep. Agama Kota Bandar Lampung, 2003
Jumlah
(jiwa)
786,900
683,490
682,991
676,793
Dari jumlah mayoritas penduduk yang beragama
Islam, tidak heran jika jumlah masjid, langgar dan mushola
berada dalam jumlah besar, sehingga mendominasi rumah
ibadah yang lain. Dengan hanya 5 agama yang diakui oleh
negara, maka keberadaan kepercayaan Kong Fu Chu seperti
tidak menjadi perhatian. Padahal ada 1 klenteng yang cukup
besar di Teluk Betung yang menjadi tempat ibadah sebagian
masyarakat
keturunan Cina. Dan pada saat upacara
perkawinan dan kematian, masyarakat keturunan Cina ini
banyak mempergunakan kepercayaan leluhurnya walaupun
diantaranya ada juga keturunan Cina ini yang sudah
menganut agama Kristen atau Katholik.
70
Tipologi kerukunan umat beragama di Bandar
Lampung
digolongkan
dalam
kategori
campuran.
Indikatornya tampak pada berfungsinya lembaga keagamaan
yang didukung kedewasaan umat beragama di perkotaan.
Karena itu, hampir tidak pernah terjadi konflik-konflik atau
kekerasan atas nama agama.
2. Tanggamus
a. Demografis
Dilihat dari sudut demografis, jumlah penduduk
Kecamatan Pringsewu tercatat sebesar 70.050 jiwa, 35.565 lakilaki dan 34.485 perempuan (15.896 KK). Tingkat kepadatan
penduduk di kecamatan ini bila dibandingkan dengan
kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Tanggamus
lainnya cukup padat, dengan ratio kepadatan sebesar 1560
jiwa /Km2. Pertumbuhan penduduk di wilayah ini cukup
terkendali, dikarenakan program KB di daerah tersebut telah
berjalan secara efektif, yang ditunjukkan dengan telah ikutnya
semua Pasangan Usia Subur (PUS) dalam Program Keluarga
Berencana. Terakhir jumlah akseptor yang aktif tercatat 8.576
(72 %) dan peserta yang tidak aktif 3.369 (28 %) dari jumlah
seluruh peserta pasangan usia subur yang ada.1
b. Kehidudupan Sosial, Ekonomi, Politik, Budaya dan
Kehidupan Beragama
Penduduk Kecamatan Pringsewu dilihat dari sudut
lapangan usaha/mata pencahariannya, dapat dilihat dalam
tabel berikut ini:
1
Diadaptasi dari Kecamatan Pringsewu dalam Angka 2003, hal.
12-14.
71
Tabel : 1
MATA PENCAHARIAN PENDUDUK KECAMATAN
PRINGSEWUKABUPATEN TANGGAMUS
No
JENIS PEKERJAAN
JUMLAH
%
1.
Tani
31.803 orang
45,40
2.
Jasa
28.703 orang
26,70
3.
Dagang
7.916 orang
11,30
4.
Pengrajin
4.133 orang
5,90
5.
Usaha angkutan
1.751 orang
2,50
6.
Lain-lain
5.744 orang
8,20
Total Keseluruhan
70.050 orang
100,00
Sumber: Diadaptasi dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2000, dan
Kecamatan Pringsewu Dalam Angka 2003.
Dari tabel di atas diketahui bahwa mata pencaharian
penduduk Kecamatan Pringsewu 45,40 % masih menekuni
bidang pertanian sebagai pekerjaannya, baik sebagai petani
pemilik, penggarap atau buruh tani. Sedangkan selebihnya
54,60 % bekerja di sektor non pertanian, yaitu bergerak
dalam bidang jasa; perorangan, swasta, termasuk didalamnya
juga pegawai negeri dan TNI-Polri, kemudian berdagang,
pengrajin industri, usaha angkutan, dan lain-lain.
Sementara kondisi sosial politik Tanggamus
berdasarkan hasil perolehan suara Pemilihan Umum Nasional
tahun 2003 di Kecamatan Pringsewu, yang masuk katagori
lima partai besar adalah; PDIP, Golkar, Demokrat, PKS, dan
PAN. Untuk perwakilan pusat, provinsi dan daerah, urutan
pertama kedua didominasi oleh partai PDIP dan Partai
Golkar.2 Sementara itu kehidupan sosial keagamaan dapat
2
Wawancara Suroto, Staf PPK Kecamatan Pringsewu, tgl. 25
Agustus 2005.
72
dilihat pada agama dianut oleh penduduk kecamatan
Pringsewu bersifat heterogen, mayoritas penduduk menganut
Agama Islam. Gambaran penduduk mengenai agama yang
dipeluk, secara keseluruhan dapat dilihat dalam tabel berikut
ini.
Tabel : 2
JUMLAH PEMELUK AGAMA DALAM WILAYAH
KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN TANGGAMUS
No.
1.
2.
3.
4.
5.
AGAMA
JUMLAH
%
Islam
65.215 orang
93,10
Kristen
514 orang
0,73
Katolik
3.503 orang
5,00
Hindu
488 orang
0,70
Budha
330 orang
0,47
Jumlah :
70.050 orang
100,00
Sumber diadaptasi dari Kecamatan Pringsewu Dalam Angka 2003
Toleransi beragama dikalangan penduduk setempat
nampaknya telah terwujud dengan baik, kendatipun masih
ada hal-hal tertentu yang masih memerlukan pembinaan.
Penganut-penganut agama itu, meski kebanyakan tinggal
secara berkelompok, dalam kenyataannya dapat hidup
berdampingan secara damai, dalam arti tidak pernah
terdengar adanya gangguan pada kelompok –kelompok
agama yang berbeda, atau konflik dikalangan penduduk yang
bersumber dari perbedaan faham atau agama. Demikian
halnya, kondisi harmonis dan dinamis itu nampak pula dalam
hubungan antara penganut agama dengan pemerintah
setempat, yang terwujud dalam bentuk kerja sama dan saling
pengertian secara timbal balik.
Kehidupan
umat
beragama
di
Tanggamus
mencerminkan situasi yang kondusif, tepatnya digolongkan
sedang. Artinya, kondisi keberagamaannya berjalan secara
73
kondusif, meskipun isu-isu keagamaan kadang muncul
sebagai cerminan masyarakat yang dihuni beragam agama,
Etnis dan budaya. Namun, kemampuan tokoh agama, adat
dan masyarakat mampu menetralisir situasi yang cenderung
konfliktual.
3. Way Kanan
a. Demografis
Kondisi demografis kependudukan Kecamatan Buay
Bahuga sangat heterogen yang terdiri beberapa suku dan
penduduk asli, dan pendatang sedangkan jumlah penduduk
yang terhitung, bulan Agustus 2005 berjumlah 18,898 orang.
Gambaran penduduk mengenai agama yang dianut
secara keseluruhan dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 3
Komposisi Pemeluk Agama Kecamatan Buay Bahuga
Tahun 2005
NO
1.
2.
3.
4.
5.
AGAMA
JUMLAH
18.584 orang
42 orang
67 orang
197 orang
8 orang
JUMLAH
18.898 Orang
Sumber : Laporan departemen agama Kab. Way Kanan (Kec. Buay
Bahuga), tahun 2005
Islam
Kristen
Katolik
Hindu
Budha
b. Kehidupan Sosial, Ekonomi,
Kehidupan Beragama
Politik, Budaya dan
Kehidupan ekonomi Sosial Dan Budaya wilayah
Kabupaten Way Kanan Kecamatan Buay Bahuga merupakan
74
daerah transmigrasi sehingga penduduk asli maupun
pendatang pada umumnya mengadakan pertanian sebagai
sumber kehidupan sehari-hari Sehingga dari luas Kecamatan,
Buay Bahuga 35 Km 2 hampir 60% merupakan lahan pertanian
dan perkebunan. Selain petani 54.190 % pekerjaan penduduk
Lampung sangat beragam seperti PNS 27.621 %, Buruh 11,705
%, Pedagang 6.491 %, Petani, dan lain-lain. Masyarakat
Kecamatan Buay Bahuga secara umum dalam bentuk aslinya
memiliki struktur hukum adat. Bentuk hukum adat tersebut
berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan
lainya.
Sementara dalam kehidupan dibidang politik melalui
pemilu tahun 2005 telah terjadi perubahan komposisi politik,
dimana setelah melewati pilkada yang terlaksana secara
demokrasi menghasilkan komposisi perolehan suara yang
bervariasi, partai demokrat masih merupakan partai terkuat di
Kecamatan Buay Bahuga yang memperoleh suara terbanyak.
Sedangkan partai PKS, PDI, dan GOLKAR ketiga partai
tersebut secara ketat membayangi partai demokrat, jadi partai
terbesar di Buay Bahuga adalah partai demokrat kalau dilihat
dari segi etnik dan agama pendukung partai tersebut adalah
mayoritas beragama Islam.
Kemudian kehidupan beragama dapat dilihat
berdasarkan pada beberapa hal yakni; Kecamatan Bahuga
seperti kita ketahui adalah salah satu daerah yang menonjol
pluralitas sosialnya baik dari segi agama maupun etnis dan
budaya. Peran tokoh agama untuk mengembangkan dan
memelihara eksistensi masing masing agama yang ada di
Kecamatan Buay Bahuga maka setiap agama memiliki tokoh
agama yang di sebut Ulama dari mubaligh, pastor, pendeta
biksu dan sebagainya.
Suasana kerukunan beragama di Way Kanan tampak
berbeda dengan daerah lain. Kerukunan umat beragama di
75
Way Kanan Kec. Buay Bahuga dikategorikan rawan konflik.
Tetapi indikator tersebut tidak dapat dijadikan sebagai
rujukan bahwa daerah ini selalu terjadi konflik, sebab setiap
terjadi konflik selalu dipicu hal-hal yang bukan agama, tetapi
faktor lain yang bisa berimplikasi pada masalah agama.
Kerawanan konflik di Way Kanan Kec. Buay Bahuga
disebabkan karena nilai-nilai budaya lokal kurang
teraplikasikan dalam kehidupan. Padahal nilai-nilai kearifan
lokal masyarakat di Way Kanan Kec. Buay Bahuga bisa
menjadi nilai-nilai filosofi untuk menciptakan kerukunan
beragama secara kondusif. Artinya, untuk menetralisir kondisi
yang rawan konflik dapat dilakukan melalui pendekatan nilainilai lokal dengan melibatkan tokoh agama, masyarakat dan
adat istiadat di daerah tersebut .
4. Lampung Barat
a. Demografis
Berdasarkan data statistik tahun 2004, jumlah
penduduk Lampung Barat adalah 383.736 orang yang
mendiami 14 wilayah kecamatan yaitu : Kecamatan Pesisir
Selatan, Bengkunat, Pesisir Tengah, Karya Penggawa, Pesisir
Utara Lemong, Balik Bukit, Sukau, Belalau, Sekincau, Suoh,
Batu Brak, Sumber Jaya dan Way Tenong. Dengan jumlah
penduduk 383.736 orang, maka rata-rata kepadatan
penduduk/Km2 di Lampung Barat adalah 77,52/Km2.
b. Kehidudupan Sosial, Ekonomi, Politik, Budaya dan
Kehidupan Beragama
Secara umum perekonomian masyarakat Kec. Pesisir
Selatan masih tertinggal, sekalipun potensi yang ada masih
memberi harapan untuk mengalami perkembangan.
76
Sektor kelautan merupakan sub sektor yang menjadi
tumpuan hidup sebagian penduduk Lampung Barat, terutama
yang mendiami wilayah yang berada di pantai. Akan tetapi
penghasilan nelayan di tempat ini sangat fluktuatif karena
jumlah tangkapan ikan sangat ditentukan oleh laut yang
ditempat ini terkenal keganasannya. Dan teknologi
penangkapan ikan yang dipakai masih sangat sederhana
bahkan cenderung tradisional, sehingga juga sulit bagi
penduduk yang menekuni profesi sebagai nelayan untuk
dapat menjadikan Kabupaten ini sebagai tumpuan
perekonomian.
Kemudian aspek kehidupan sosial politik dilihat pada
beberapa faktor yang ada menjadikan kehidupan sosial politik
di daerah ini kurang bergairah dibanding daerah lain. Tingkat
partisifasi politik masyarakat didaerah ini cenderung rendah.
Data yang ada menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif maupun Pemilu
Presiden di tahun 2004 hanya berkisar 65%. Sementara
Kehidupan Beragama, secara kuantitatif mayoritas penduduk
Lampung Barat menganut agama Islam (99,38%), 0.21%
penduduk beragama Kristen, 0.320% beragama Katolik, 0.15%
beragama Hindu, dan 0.20% beragama Budha. Mereka yang
menganut agama selain Islam umumnya adalah para
pendatang yang sengaja memasuki daerah ini untuk mencari
sumber penghidupan (motif ekonomi). Sedangkan penduduk
asli daerah yang terdiri dari etnis Lampung, Semendo, dan
Ogan 100% beragama Islam secara turun temurun. Kehidupan
beragama penduduk di topang oleh sarana peribadatan
berupa Masjid, Gereja, Pure, dan Wihara. Pembangunan
sarana peribadatan ini sebagian besar merupakan swadaya
masyarakat dan hanya sebagian kecil yang merupakan
bantuan proyek pemerintah.
Kondisi kerukunan beragama di Lampung Barat Kec.
Pesisir Selatan tergolong rukun. Hal ini dipengaruhi kultur
77
masyarakatnya yang hidup rukun. Aplikasi nilai-nilai agama
dan adat istiadat masyarakat Lampung Barat Kec. Pesisir
Selatan cukup baik. Dalam konteks kerukunan beragama,
masyarakat dapat bekerjasama saling membantu untuk
pembangunan rumah ibadah, demikian pula dalam upacaraupacara keagamaan terjadi toleransi dan solidaritas tinggi
sehingga hampir semua masalah-maslah keagamaan, etnis,
ras dan suku tidak dipersoalkan oleh masyarakat grass root.
78
Konflik dan Integrasi
1. Bandar Lampung
M
asyarakat Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk
Betung Utara terdiri dari berbagai suku bangsa, adat
istiadat, bahasa dan agama yang menyebar di
berbagai daerah, baik pusat kota maupun di daerah
kecamatannya. Kemajemukannya itu ditandai dengan
beragamnya suku bangsa yang ada hampir disemua
kecamatan di Kota Bandar Lampung. Selain suku Lampung,
ada suku Jawa, Banten, Sunda, Cina, Batak, Bugis, keturunan
Arab, Padang, Palembang, Bali. Sedangkan agama yang
dianut oleh masyarakat Kota Bandar Lampung terdiri dari
beragam agama. Mayoritas masyarakat menganut agama
Islam, selain itu ada agama Kristen, Katholik, Hindu, Budha.
Sedangkan di kalangan masyarakat keturunan Cina ada yang
menganut kepercayaan Konghucu.
79
Sebagai Ibu Kota Propinsi, dengan mobilitas
kehidupan masyarakatnya yang cukup tinggi, Kota Bandar
Lampung
tentu tidak lepas dari permasalahan
masyarakatnya, dari tingkat kejahatan yang memprihatinkan
sampai dengan bentuk-bentuk perselisihan kecil yang
mengarah kepada konflik antar suku dan agama.3 Konflik
yang bernuansa agama pernah terjadi di Kelurahan Pahoman
Kecamatan Teluk Betung Utara, dimana warga yang
memeluk agama Kristen menyelenggarakan acara kebaktian
setiap minggu disebuah rumah yang mana disekitarnya
merupakan masyarakat pemeluk agama Islam. Dapat diakui
bahwa aktifitas sosial dan pendidikan di bawah yayasan
Kristen dan Katolik berkembang pesat di Kota Bandar
Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara walaupun saat ini
sudah ada perubahan orientasi di dalam pelayanannya.
Misalkan, pada pelayanan rumah sakit, walaupun terjangkau
oleh masyarakat namun ada perbedaan pelayanan bagi
mereka yang beragama non Kristen atau Katholik.4
Perkembangan aktifitas sosial dan pendidikan
masyarakat pemeluk Kristen dan Katholik di Bandar
Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara cenderung
membaik disertai dengan bertambahnya jumlah warga
Kristen dan Katolik tersebut. Dari tahun 2000 sampai dengan
tahun 2005, jumlah pemeluk agama di Kota Bandar Lampung
Kecamatan Teluk Betung Utara mengalami perubahan
dengan variasi jumlah yang beragam, sebagai berikut :
3
Wawancara dengan Yogi S. Kasat Serse pada Kepolisian Kota Bandar
Lampung, 16 Agustus 2005.
4
Wawancara dengan Ibu Amin (beragama Islam) yang menyekolahkan
anaknya di SD Xaverius Pahoman dan Ibu Sakim (beragama Islam) yang
penah menjadi pasien di Rumah Sakit Advent Kota Bandar Lampung,
Agustus 2005.
80
Data Jumlah Pemeluk Agama dari Tahun 2000-2005
Tahun
Islam
Kristen
Katolik Hindu Budha
2005
620,583 25,879 15,554
1,641 24,892
2003
728,012 20,942 18,682
6,119 13,145
2002
623,977 21,039 18,781
6,502 13,191
2001
623,532 21,029 18,771
6,474 13,185
2000
621,191 19,976 16,906
5,491 13,229
Sumber : Dep. Agama Kota Bandar Lampung, 2005
Jumlah
(jiwa)
688,549
786,900
683,490
682,991
676,793
Demikian halnya, Pola Integrasi di Kota Bandar
Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara masyarakat sudah
seperti masyarakat perkotaan pada umumnya. Kehidupan
sehari-hari dihabiskan untuk pekerjaannya, sehingga satu
warga dengan warga yang lain kurang sekali berinteraksi.
Interaksi masyarakat yang berada dalam satu kelurahan,
terjalin dengan adanya pengajian di mesjid terdekat dengan
jadwal yang telah ditentukan, biasanya satu minggu sekali,
kegiatan-kegiatan hari besar agama Islam misalnya Maulid
Nabi Muhammad dan kegiatan tujuh belasan. Untuk itu,
masyarakat Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung
Utara
dapat
dikategorikan
rukun
atau
integratif.
Dikategorikan rukun atau integratif karena situasi dan kondisi
dimana semua kelompok etnis, suku, ras, agama dan
kelompok kepentingan, bersatu padu dalam menghadapi
semua persoalan bersama dengan mengedepankan hak azasi
manusia, keadilan hukum, nilai-nilai budaya yang berlaku,
kebersamaan, kesederajatan, dan penghargaan atas keyakinan
sesama warga. Adapun konflik atau pemicu konflik yang ada,
sampai saat ini tidak mencuat kepermukaan.
Adapun faktor-faktor penyebab kerukunan atau
integratif tersebut adalah (1) adanya toleransi serta
pemahaman setiap warga masyarakat, baik masyarakat
setempat maupun masyarakat pendatang yang membawa
81
beragam budaya dan agama (2) adanya interaksi yang
kurang antar warga menyebabkan warga menjadi acuh,
mereka berpendapat asalkan keberadaannya tidak diganggu
oleh warga lain. Langkah-langkah solusi yang telah
dilakukan untuk menjaga kerukunan ini meliputi;
diadakannya dialog antar tokoh agama dan mengadakan
suatu kerjasama dengan beberapa tokoh agama di Kota
Bandar Lampung dimana penyelenggaranya adalah
Nahdatul Ulama Propinsi Lampung. Kegiatan ini diadakan
dalam upaya mensikapi hasil Pemilu tahun 2004 yang dapat
memicu keresahan dan perpecahan di dalam masyarakat
Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk Betung Utara dan
kerjasama antar umat beragama melalui LSM Damar, sebuah
lembaga swadaya masyarakat yang interest terhadap
perempuan korban kekerasan, tanpa membedakan agama
maupun suku. Salah satu kegiatannya adalah acara doa
bersama untuk kebersamaan warga Kota Bandar Lampung
Kecamatan Teluk Betung Utara yang masing-masing
dipimpin oleh imam dari 5 agama dan dialog antar umat
beragama mensikapi kondisi perempuan di Bandar Lampung
Kecamatan Teluk Betung Utara. Kemudian dari pemerintah
melalui Kantor Departemen Agama di Bandar Lampung
Kecamatan Teluk Betung Utara, diadakan penyuluhanpenyuluhan mengenai kerukunan umat beragama dengan
peserta penyuluhan adalah tokoh-tokoh agama yang berada
di lingkungan Kota Bandar Lampung Kecamatan Teluk
Betung Utara.
Kecenderungan Pola Hubungan Antar Umat
Beragama di masa mendatang dapat didasarkan pada realitas
toleransi yang digambarkan selama ini di Kota Bandar
Lampung, bahwa pluralisme di dalam masyarakat Kota
Bandar Lampung, tidak dimaksudkan sebagai pluralisme
ekstrem. Kerukunan hidup beragama di Kota Bandar
Lampung dipengaruhi oleh faktor-faktor karena adanya
82
saling pengertian dan saling memahami di dalam
masyarakat. Kerukunan masyarakat Kota Bandar Lampung
akan tetap terjaga asalkan menggunakan pendekatan budaya
lokal (budaya Lampung). Pendekatan budaya Lampung
diperlukan dalam upaya mengantisipasi konflik sosial dalam
masyarakat. Paling tidak ada empat potensi budaya lokal
yang perlu digali untuk keperluan tersebut. Pertama pi’il
pesengiri5 yang memiliki nilai falsafah dan telah berkembang
menjadi adat istiadat. Meski ada pendapat yang
mengemukakan, piil pesengiri sudah teraktualisasi dalam
berbagai upacara seremonial berupa acara daur hidup dan
perilaku sehari-hari. Kedua Sakai Sambayan6 yang memiliki
unsur untuk mengutamakan tolong menolong. Ketiga Nemui
Nyimah7 yang merupakan sikap yang terbuka bagi semua
orang dan keempat tradisi kemuakhian berfungsi sebagai forum
5
Pi’il Pesengiri diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut harga
diri,prilaku dan sikap hidup yang dapat menjaga dan menegakkan nama
baik dan martabat secara pribadi maupun secara berkelompok yang
senantiasa dipertahankan. Dalam hal-hal tertentu seseorang (Lampung)
dapat mempertaruhkan apa saja (termasuk nyawanya) demi untuk
mempertahankan Pi’il Pesengiri tersebut. Sealin itu dengan Pi’il
Pesengiri seseorang dapat berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu,
kendatipun hal itu merugikan dirinya secara materi, Lampung Dalam
Angka 2002.
6
Sakai Sambayan meliputi beberapa pengertian yang luas termasuk di
dalamnya gotong royong, tolong menolong, bahu membahu dan saling
memberi sesuatu yang diperlukan bagi pihak lain dan hal tersebut tidak
terbatas pada sesuatu yang sifatnya materi saja, tetapi juga dalam arti
moril termasuk sumbangan pemikiran dan sebagainya. Lampung Dalam
Angka 2002.
7
Nemui Nyimah berarti bermurah hati dan ramah terhadap semua pihak baik
terhadap orang dalam kelompok maupun terhadap siapa saja pihak yang
berhubungan dengan mereka. Jadi bermurah hati dengan memberikan
sesuatu yang ada padanya kepada pihak lain, juga bermurah hati dalam
bertutur kata serta sopan santun dan ramah tamah terhadap tamu mereka.
Lampung Dalam Angka 2002.
83
musyawarah antar marga, yang mempertemukan berbagai
pimpinan marga untuk membicarakan masalah sosial
setempat (keamanan kampung, persoalan tanah, hak ulayat,
persiapan upacara keagamaan tapi tidak untuk membicarakan
masalah adat). Forum kemuakhian semacam itu bisa dilakukan
di masjid, gedung pertemuan desa atau balai adat (sesat).
Hubungan antar umat beragama di Bandar Lampung
Kecamatan Teluk Betung Utara secara umum dapat
disimpulkan rukun sekali, namun pembinaan/ pengarahan
kepada warga masyarakat masih sangat dibutuhkan.
Mengingat, pada beberapa segi tertentu ditemukan adanya
gejala kerancuan dalam memahami prinsip kerukunan
beragama, yang mengesankan seolah-olah yang dirukunkan
agamanya. Penyelenggaraan do’a untuk umat lain dalam
upacara yang berkenaan dengan siklus hidup manusia,
merupakan persoalan yang sering muncul di kalangan warga
masyarakat setempat.
2. Tanggamus
Kehidupan intern penganut agama di wilayah
Kecamatan Pringsewu, secara umum diperoleh gambaran
yang menunjukkan adanya suasana hubungan harmonis dan
kondusif. Kondisi itu didukung oleh eratnya jalinan kerja
sama di kalangan intern masing-masing kelompok agama,
baik dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan
maupun dalam melakukan aktivitas sosial. Kondisi
hubungan antar kelompok-kelompok penganut agama di
Kecamatan Pringsewu tidak jauh berbeda dengan kondisi
intern umat beragama , yaitu telah terbina dengan baik,
ditandai dengan suasana damai dan rukun, atau tidak
munculnya konflik-konflik sosial bernuansa agama yang
dapat mengganggu keharmonisan hubungan antar umat
beragama.
Ketegangan-ketegangan
emosional
yang
84
bersumber dari perbedaan agama menunjukkan tingkat
yang sangat minim, demikian pula segregasi atau pun
alienasi yang disebabkan kondisi mayoritas dan minoritas
sulit untuk ditemukan.
Kemudian hubungan di sekitar antar umat beragama
dengan Pemerintah dapat dikatakan telah mendekati
kondisi idealnya. Di wilayah ini belum terdengar adanya
ketegangan antara rakyat dengan pemerintah setempat
akibat beda persepsi terhadap suatu kebijakan bidang
tertentu, termasuk bidang agama. Selain itu tidak pernah
ada gerakan-gerakan tertentu yang menentang pimpinan
Kecamatan, baik secara individu maupun institusional.
Kondisi yang mendekati ideal itu, juga ditunjukkan dengan
terbinanya jalinan komunikasi dan kerjasama timbal balik
antara pemerintah dengan warga masyarakat’ serta
lancarnya roda pembangunan, baik berupa pembangunan
fisik maupun non fisik.
Hubungan antarumat beragama pada tataran pribadi
dalam bentuk pertemanan, pertetanggaan dan kekerabatan
merupakan salah satu wujud kongrit kerukunan kehidupan
beragama. Hal itu didasarkan adanya pertautan orientasi dan
persamaan nilai-nilai budaya yang berasal dari tiap-tiap
kelompok masyarakat serta adanya timbal balik antara satu
kelompok dengan lainnya dalam sector ekonomi. Sementara
itu, langkah-langkah solusi yang telah dilakukan untuk
menjaga kerukunan ini adalah (1) diadakannya dialog dan
kerjasama antar tokoh agama di Tanggamus. (2) melibatkan
seluruh elemen masyarakat dalam kegiatan peringatan hari
besar agama. (3) sedangkan dari pemerintah sendiri melalui
Kantor
Departemen
Agama
Tanggamus,
diadakan
penyuluhan-penyuluhan
mengenai
kerukunan
umat
beragama dengan peserta penyuluhan adalah tokoh-tokoh
agama setempat.
85
3. Way Kanan
Masyarakat Way Kanan, khususnya di Kecamatan
Buay Bahuga tampak rukun, aman, dan damai meski
menghimpun keragaman masyarakat, etnis, suku, budaya,
dan agama yang begitu kentara akan tetapi masyarakat
sendiri dapat membina suasana kerukunan diantara mereka
berdasarkan norma kearifan lokal.
Secara tidak langsung di Kecamatan Buay Bahuga
telah terbentuk beberapa lembaga yang menangani masalahmasalah kehidupan sosial khususnya yang berkenaan
dengan kerukunan hidup beragama diantaranya Lembaga
kerukunan umat beragama yang terbentuk tahun 2000 aktif
melakukan kegiatannya diantaranya; mengadakan dialogdialog antar umat beragama, menyerukan himbauan
bersama pemuka-pemuka agama, melaksanakan pengkajian
untuk hidup rukun antar umat beragama. Begitu juga
dengan generasi muda khususnya remaja Kecamatan Buay
Bahuga yang mengadakan perkumpulan pemuda kerukunan
umat beragama.
Selain pembinaan yang mengarah kepada kerukunan
terdapat juga hal-hal yang dapat dianggap memiliki potensi
kearah konflik di Kecamatan Buay Bahuga diantaranya;
Rendahnya pemahaman keagamaan yang umumnya masih
pada tataran simbolik, budaya minum-minuman keras oleh
masyarakat tertentu yang tanpa mengindahkan lingkungan,
menggunakan pengeras suara di masjid-masjid yang kurang
memperhatikan ketentuan yang sudah ada, pendirian rumah
ibadah yang masih belum memperhatikan aturan contoh
rumah di jadikan Gereja yang terletak dilingkungan
mayoritas beragama Islam, Fanatisme terhadap agama yang
dianutnya sehingga sikap kurang menghargai terhadap
agama lain, Kurangnya saling pengertian antara sesama
masyarakat.
86
Dalam proses perkembangan sosial masyarakat
kemungkinan lahir perbedaan-perbedaan yang ada telah
melahirkan kelompok-kelompok dan kelas-kelas sosial yang
antara satu sama lain sangat kontras. Oleh karenanya, konflik
antar umat beragama dapat muncul karena adanya tarik
menarik kepentingan, perebutan kebutuhan material dan
benturan antara keyakinan gagasan, kebijakan dan nilai sosial
budaya yang dianut kelompok satu dengan yang lain.
Kecamatan Buay Bahuga Way Kanan tentu tidak
lepas dari permasalahan masyarakatnya dari tingkat kejahatan
memprihatinkan sampai dengan bentuk-bentuk perselisihan
yang mengarah konflik antar suku dan agama. Konflik yang
bernuansa agama pernah terjadi di desa Wonoharjo, Runyai
dan Sukadana, yakni ketika warga beragama kristen
mengadakan acara kebaktian di rumah penduduk yang
berada ditempat yang penduduknya mayoritas Islam. Selain
itu, kawin beda agama yang bermotif misi agama juga
menjadi pemicu konflik dan bersifat laten.
Langkah-langkah solusi yang telah dilakukan untuk
menjaga kerukunan ini adalah (1) diadakannya dialog antar
tokoh agama dan mengadakan suatu kerjasama dengan
beberapa tokoh agama. Bedasarkan realitas toleransi yang
digambarkan selama ini di daerah ini, dapat disimpulkan
bahwa pluralisme di dalam masyarakat tidak dimaksudkan
sebagai pluralisme ekstrem. Pluralisme yang perlu dan harus
dikembangkan melalui sikap yang bersedia menerima
perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif akan tetapi
juga
sebagai
potensi
dinamik
yang
memberikan
kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajemukan
di masa depan.
87
4. Lampung Barat
Suasana kehidupan Lampung Barat terdapat
kesamaan pandangan tentang bagaimana batasan hubungan
sosial antar pemeluk agama. Perbedaan latar belakang agama
bukanlah menjadi penghambat mereka untuk saling bekerja
sama
di
segala
bidang
sosial
keagamaan
dan
kemasyarakatan. 8
Dalam bidang sosial ekonomi, pemeluk antar agama
juga dapat bekerja sama, mereka melakukan transaksi jualbeli, bahkan tidak jarang seorang pedagang memiliki
pelanggan yang berbeda agama dengannya. Dalam
pandangan mereka agama tidak menjadi pertimbangan
dalam hubungan sosial ekonomi, tetapi yang dijadikan
pertimbangan adalah harga dan pelayanan. 9
Keharmonisan hubungan antar pemeluk agama ini
dipupuk dengan selalu mengedepankan sikap saling hargamenghargai terhadap keyakinan agama orang lain. Dalam
suatu kesempatan seorang warga
masyarakat yang
beragama Hindu mengundang warga yang beragama Islam
dalam sebuah acara. Untuk menghargai warga yang
beragama Islam dan untuk menghindari prasangka yang
tidak baik, tuan rumah dalam menyiapkan jamuan makan
tidak berkeberatan memesan makanan di Rumah Makan.10
Dalam bidang politik, masyarakat Lampung Barat
tetap memprioritaskan persatuan dan kesatuan bangsa
daripada hanya memikirkan kepentingan kelompoknya
8
Hasil wawancara dengan Bapak Kusnan, tokoh masyarakat
dusun Handop, marang tgl 25 Agustus 2005.
9
Hasil wawancara dengan Bapak H. Abu, tokoh masyarakat
Desa Wayjambu dan Bapak Turi, warga Hindu desa Marang, tgl 27
Agustus 2005.
10
Hasil Wawancara dengan Bapak Turi, ibid.
88
saja. Sehingga mereka tidak sepakat jika untuk mencari
kedudukan atau jabatan harus dengan mengorbankan jiwa
yang disebabkan konflik-konflik berdarah. Mereka sepakat
jika ada persaingan, tetapi persaingan itu harus dilandasi
dengan sportifitas dan secara sehat. Namun demikian,
kerjasama antar organisasi keagamaan masih perlu
ditingkatkan lagi.
Faktor-faktor
penyebab
kerukunan/konflik
dipengaruhi latar belakang sosial budaya, memberikan andil
yang cukup besar atas terbinanya kerukunan kehidupan
beragama di Lampung Barat, kenyataan itu terjadi karena
adanya pertautan orientasi dan persamaan nilai-nilai budaya
yang berasal dari tiap-tiap kelompok masyarakat, baik yang
tergolong mayoritas maupun minoritas. Kemudian sebagai
orang yang beragama prilakunya tentu tidak lepas dari nilainilai agama yang dianut. Agama diturunkan bukan semata
agar manusia mengenal Penciptanya, tetapi juga dijadikan
dasar dalam membina hubungan antara
sesama,
mewujudkan kedamaian dan ketertiban dikalangan umat
manusia itu sendiri. Kemudian pola Hubungan Antar Umat
Beragama tampak pada pergaulan antar umat beragama di
Kabupaten Lampung Barat berlangsung dengan normal dan
lebih didasari oleh pertimbangan pragmatis. Seperti dalam
hubungan dagang, interaksi dan transaksi jual beli antara
pedagang dengan pembeli, begitu juga transaksi pinjam
meminjam uang antara debutur dan kreditur yang berbeda
agama
sekalipun,
berlangsung
semata-mata
atas
pertimbangan kepentitngan laba rugi kedua belah pihak.
Pedagang yang beragama Hindu tetap secara kontinyu
membina hubungan baik dengan pelanggan yang beragama
Islam, semata-mata karena hubungan dagang dengan tidak
mempertimbangkan faktor agama.
Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah sebagai
stakeholders adalah dengan melibatkan tokoh agama dan tokoh
89
masyarakat untuk bersama-sama membicarakan pendekatan
dan solusi apa yang akan diambil dalam rangka penyelesaian
konflik tersebut. Pada tahun 2001 yang lalu Pemerintah
Daerah bekerja sama dengan Departemen Agama telah
memfasilitasi terbentuknya “Forum Komunikasi Antar
Ummat Beragama”. Forum ini dibentuk bertujuan sebagai
wadah untuk menjalin kerukunan dan kerjasama antar ummat
beragama di Lampung Barat.11
Dambaan masyarakat Desa Marang Lampung Barat
untuk bisa hidup rukun, damai di tengah-tengah
heterogenitas agama, suku, ras, budaya dan bahasa tidaklah
sulit, karena langkah kebersamaan di antara mereka sudah
terbangun dengan baik. Sikap kegotongroyongan masih
sangat kental, mereka memberikan pertolongan kepada
saudara mereka yang membutuhkan pertolongan, seperti
membangun rumah, membersihkan lingkungan kampung,
ronda malam, bahkan mereka saling mendatangi ketika ada di
antara warga yang mengadakan pesta perkawinan,
kendurenan atau selamatan. Dalam hidup bermasyarakat
mereka bersahabat dengan baik, tolong menolong antar
sesama dan saling hadir-menghadiri dalam suatu acara .
Sedangkan sebagian kecil lainnya dalam berhubungan sosial
kemasyarakatan masih tetap mempertimbangkan perbedaan
agama, ras, suku, budaya dan bahasa sehingga masih terkesan
eksklusif.
11
Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. Karbito, Kasi
Penamas dan Pokontren Kandepag Lampung Barat, tgl 26 Agustus
2005.
90
Sikap antar Kelompok
Tentang Pola Hubungan
Sosial Keagamaan
S
ikap antar kelompok tentang pola hubungan sosial
keagamaan tampak memiliki kecenderungan masingmasing sesuai fluktuasi interkasi sosial masyarakat di
Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Utara),
Tanggamus (Kecamatan Pringsewu), Way Kanan (Kecamatan
Bahuga), dan Lampung Barat (Kecamatan Pesisir Selatan).
Namun secara garis besar dari beberapa aspek untuk
menelaah hubungan antar kelompok umat beragama. Satu
diantaranya adalah hubungan antar organisasi keagamaan.
Umat beragama diorganisir menurut agamanya masingmasing, 80 persen responden berpendapat sangat setuju
bahwa diperlukan pertemuan berkala dalam upaya menjaga
kerukunan kehidupan beragama. Karena kemajemukan suatu
komunitas masyarakat dalam hal agama, etnis, tradisi dan
bahasa, maka 80 persen responden berpendapat sangat setuju
91
untuk membentuk wadah kerukunan kehidupan beragama di
seluruh Indonesia. Selama ini kerjasama antar organisasi
keagamaan di tingkat pusat cukup baik, bahkan sangat baik.
Mereka sering duduk bersama dalam membicarakan
persoalan masa depan bangsa. Dalam hal ini 80 persen
responden berpendapat, mestinya organisasi keagamaan di
tingkat bawahnya harus mengikuti contoh kerukunan dari
tokoh organisasi keagamaan tersebut.
Sedangkan dalam hal adanya sebagian kecil kelompok
organisasi keagamaan yang sangat ekspansif dan bersemangat
dalam mengembangkan agamanya dan mereka menggunakan
cara-cara yang tidak disukai oleh kelompok agama lain, maka
80 persen responden menjawab sangat tidak setuju jika
kelompok ini dibiarkan saja. Dalam hubungan antar
organisasi kepemudaan keagamaan, 80 persen responden
berpendapat bahwa selama ini hubungan organisasi
kepemudaan cukup baik dan perlu dikembangkan. Dan 80
persen responden menjawab sangat setuju jika diantara
organisasi kepemudaan keagamaan mestinya sering bertemu
dan berdialog untuk membicaraka masa depan bangsa ini
sesuai aspirasi pemuda. Sedangkan dalam pemilihan Karang
Taruna di suatu desa atau kelurahan, sebanyak 80 persen
responden menjawab bahwa tidak perlu melihat agamanya
tetapi melihat kualitas dan kemampuannya.
92
Analisis
Temuan Penelitian
T
emuan-temuan penelitian ini dieksplorasi melalui
analisis bahwa secara umum peta kerukunan umat
beragama di wilayah Lampung, khususnya pada 4
kabupaten sebagai representasi yakni; Bandar Lampung
(Kecamatan Teluk Betung Utara), Tanggamus (Kecamatan
Pringsewu), Way Kanan (Kecamatan Bahuga), dan Lampung
Barat (Kecamatan Pesisir Selatan) bahwasanya, pluralisme
masyarakat adalah sebuah realitas eksistensi yang
terbentuk dari perbedaan yang ada secara kodrati dalam
kehidupan manusia dan masyarakat. Sebuah masyarakat
terdiri
dan
terbentuk
dari
banyak
orang
yang
merupakan warganya. Kalaupun ada sebuah masyarakat
tradisional yang dianggap homogen namun pasti
homogenitasnya itu relatif sifatnya sebab di dalamnya pasti
ada unsur-unsur yang berbeda sehingga tidak terelakan
adanya heterogenitas betapapun kecilnya. Apa lagi di Kota
Bandar Lampung yang memang memiliki realitas
93
kemajemukan, tentunya banyak sekali perbedaan-perbedaan
di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.
Dalam penelitian ini digunakan empat kategori
kerukunan. Pertama, campuran. Kondisi ini tampak pada
masyarakat Bandar Lampung yang juga ibukota provinsi
Lampung. Kedua, Tanggamus termasuk daerah sedang. Ketiga,
Way Kanan dikategorikan masuk dalam kelompok rawan
konflik. Keempat, Lampung Barat digolongkan daerah yang
rukun. Klasifikasi tersebut didasarkan berdasarkan data
lapangan yang dilakukan tim peneliti pada masing-masing
daerah tersebut. Gambaran kerukunan beragama secara
umum di Lampung dikategorikan rukun dengan asumsi
tipologi masyarakat Lampung (pribumi) dan masyarakat
pendatang dapat hidup rukun dalam berbagai dimensi
kehidupan, termasuk di dalamnya kerukunan antar umat
beragama.
Sebagai sebuah masyarakat yang cukup dinamis yang
hidup di kota dan relatif pesat perkembangannya, masyarakat
kota Bandar Lampung bagaimanapun bukanlah sebuah
kumpulan makhluk organus yang statis yang tidak
mengalami perubahan. Perubahan itu baik berlangsung alami
atau direncanakan tentu sangat bervariasi coraknya sehingga
makin memperkaya dan menambah kompleksitas perbedaan.
Dalam perspektif masyarakat Lampung yang multi
etnik perlu disadari bahwa masing-masing etnik tentu
memiliki identitas budayanya sendiri. Selain itu kehadiran
berbagai agama yang menjadi anutan masyarakat kita telah
memperkaya kemajemukannya. Dari berbagai keragaman
yang ada masyarakat Lampung umumnya menyebut Islam
sebagi identitas baik bagi kalangan penduduk asli suku
Lampung maupun suku pendatang. Bagi penduduk asli, Islam
merupakan identitas memang sudah diakui oleh warga
masyarakat, negara maupun pemerintah, dari aspek agama,
94
suku Lampung identik dengan Islam. Oleh karena itu agama
bagi warga Lampung merupakan manifestasi dari suatu
keyakinan yang paling mendasar dalam kehidupan sekaligus
kebutuhan yang asasi dalam realitas secara individual
maupun komunal. Fakta menunjukan mayoritas penduduk
Lampung beragama Islam. Tetapi tidak berarti di lampung
tidak terdapat pemeluk agama lain seperti Hindu, Budha,
Katolik dan Kristen.
Berdasarkan realitas toleransi yang digambarkan
selama ini di beberapa wilayah tersebut mengindikasikan
pluralisme di dalam masyarakat Lampung, tidak
dimaksudkan sebagai pluralisme ekstrem. Pluralisme yang
perlu dan harus dikembangkan adalah pluralisme yang
terwujud dalam sikap pluralistik yakni sikap yang bersedia
menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif
akan tetapi juga sebagai potensi dinamik yang memberikan
kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajemukan
di masa depan. Sebuah pluralisme yang menyemangati sistem
pergaulan sosial yang memungkinkan setiap unsur kultural
masyarakat di Lampung saling berinteraksi secara alamiah
dalam proses yang saling memperkaya dan diharapkan akan
melahirkan sebuah masyarakat majemuk yang terbuka,
multikulturalis yang tidak hanya mengakui tetapi juga
memberi tempat terhadap keragamanan budaya dan agama
dalam masyarakat Lampung sebagai perwujudan dari
pluralisme.
Dalam proses perkembangan sosial masyarakat di
Lampung, perbedaan-perbedaan yang ada telah melahirkan
kelompok-kelompok dan kelas-kelas sosial yang antara satu
sama lain sangat kontras. Oleh karenanya, konflik antar umat
beragama dapat muncul karena adanya tarik menarik
kepentingan, perebutan kebutuhan material dan benturan
antara keyakinan gagasan, kebijakan dan nilai sosial budaya
yang dianut kelompok satu dengan yang lain. Dengan kata
95
lain konflik antar umat beragama tidak selalu disebabkan oleh
faktor keagamaan, tetapi juga faktor kepentingan yang
sifatnya non agama.
Dalam kehidupan keberagamaan masyarakat di
masing-masing wilayah penelitian ini menunjukkan adanya
hubungan sosial antar kelompok keagamaan sudah cukup
kondusif, dan masing-masing umat beragama memiliki
integritas yang tinggi untuk terwujudnya kerukunan
kehidupan beragama. Kerukunan hidup antar umat beragama
dapat diwujudkan dengan baik tidak terlepas dari peran
hubungan antar organisasi. Salah satunya organisasi
kepemudaan. Organisasi kepemudaan dapat mengkader para
pemuda untuk menjadi pemimpin masa depan bangsa, karena
itu, eksistensi organisasi kepemudaan tetap memelihara
kerukunan, menghormati perkembangan agama pada
masyarakat, menempa diri dengan berbagai ilmu dan
pengalaman, sehingga menjadi generasi yang berprestasi
tanpa mendeskriditkan agama-agama lain.
Hubungan antar kelompok agama yang dapat
dijadikan tolak ukur kerukunan kehidupan beragama, antara
lain dapat dilihat dari aspek hubungan antar organisasi
keagamaan, dan antar organisasi pemuda keagamaan.
Kerukunan hidup antar umat beragama dapat terpelihara
melalui upaya-upaya yaitu; mengadakan pertemuan yang
sifatnya berkala dan berkesinambungan khususnya bagi
organisasi keagamaan dalam upaya menjaga kerukunan
kehidupan beragama. Adanya wadah kerukunan kehidupan
beragama yang personelnya terdiri dari berbagai penganut
agama, etnis, tradisi dan bahasa. Menciptakan kerjasama
antar organisasi keagamaan, menghindarkan diri dari
menyalahkan dan mengkafirkan paham lain dan atau
golongan lain, dan setiap organisasi keagamaan bertindak
bijaksana dalam mengembangkan agamanya, sehingga tidak
menimbulkan desintegrasi. Demikian halnya hubungan antar
96
organisasi pemuda keagamaan memberi kontribusi positif
dalam menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama.
Kontribusi ini diwujudkan dalam bentuk hubungan antar
organisasi pemuda keagamaan telah berjalan dengan baik,
mengadakan pertemuan dan dialog dalam membahas masa
depan bangsa sesuai dengan aspirasi pemuda. Organisasi
sosial kemasyarakatan (karang taruna) menempatkan
personel atas dasar kualitas dan kemampuan pribadinya
tanpa memandang asal agama yang dianut.
97
Kesimpulan dan
Rekomendasi
D
ari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
masyarakat Kota Bandar Lampung, khususnya di
Kecamatan Teluk Betung Utara dapat dikategorikan
rukun atau integratif. Dikategorikan rukun atau integratif
karena situasi dan kondisi dimana semua kelompok etnis,
suku, ras, agama dan kelompok kepentingan, bersatu padu
dalam menghadapi semua persoalan bersama dengan
mengedepankan hak azasi manusia, keadilan hukum, nilainilai budaya yang berlaku, kebersamaan, kesederajatan, dan
penghargaan atas keyakinan sesama warga. Adapun konflik
atau pencetus konflik yang ada, sampai saat ini tidak
mencuat kepermukaan.
Bedasarkan realitas toleransi yang digambarkan
selama ini di Kota Bandar Lampung, dapat disimpulkan
bahwa pluralisme di dalam masyarakat Kota Bandar
Lampung di Kecamatan Teluk Betung Utara, tidak
dimaksudkan sebagai pluralisme ekstrem. Pluralisme yang
perlu dan harus dikembangkan adalah pluralisme yang
terwujud dalam sikap pluralistik yakni sikap yang bersedia
98
menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif
akan tetapi juga sebagai potensi dinamik yang memberikan
kemungkinan-kemungkinan dan harapan akan kemajemukan
di masa depan. Sebuah pluralisme yang menyemangati sistem
pergaulan sosial yang memungkinkan setiap unsur kultural
masyarakat di Kota Bandar Lampung di Kecamatan Teluk
Betung Utara saling berinteraksi secara alamiah dalam proses
yang saling memperkaya dan diharapkan akan melahirkan
sebuah masayarakat majemuk yang terbuka, multikulturalis
yang tidak hanya mengakui tetapi juga memberi tempat
terhadap keragamanan budaya dan agama dalam masyarakat
Kota Bandar Lampung di Kecamatan Teluk Betung Utara.
Kondisi masyarakat ini harus diarahkan pada upaya
menumbuhkan kesadaran bahwa pluralitas itu alamiah dan
kerukunan dalam keragaman adalah kebutuhan masyarakat
modern, meningkatkan pemahaman dasar tentang aspekaspek kehidupan keagamaan dan etnisitas setempat dan
memberi bekal praktis berkenaan teknik-teknik dasar hidup
rukun atau pengelolaan konflik.
Demikian halnya di Tanggamus (Kecamatan
Pringsewu). Aktivitas kehidupan beragama masyarakat di
Kecamatan Pringsewu berjalan dengan baik, semua penganut
kelompok keagamaan dapat melaksanakan ibadah, aktivitas
sosial dan keagamaan, sesui keyakinan dan agamanya
masing-masing secara kondusif. Tingkat hubungan antar
umat beragama di Kecamatan Pringsewu secara umum dapat
dikatakan rukun, kendatipun dalam hal-hal tertentu masih
ada persoalan-persoalan khusus yang perlu mendapatkan
pembinaan.
Faktor-faktor penyebab naik turunnya kualitas
hubungan antar umat beragama, dari sekian banyak faktor
yang paling dominan adalah faktor sosial budaya, politik dan
sosial ekonomi. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka
kecenderungan hubungan antar umat beragama di Kecamatan
99
Pringsewu ke depan, kondisinya akan tetap rukun dan lebih
baik, bila mendapat pembinaan dan pengarahan dari semua
fihak.
Pembinaan dan pengarahan yang telah dilakukan
terhadap hubungan antar umat beragama, selain
melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang terdapat
dalam peraturan dan perundang-undangan, juga mengadakan
kegiatan-kegiatan khusus untuk membina kerukunan
kehidupan beragama, dan melibatkan unsur kelompok
penganut agama dalam acara peringatan hari-hari besar
nasional untuk terwujudnya kebersamaan.
Kemudian potensi konflik yang berkaitan langsung
dengan masalah agama pada umumnya menyangkut etika
komunikasi diantara masing-masing pemeluk agama yang
berkenaan dengan penyebaran agama yang dianggap
menyalahi ketentuan yang telah disepakati. Disisi lain,
hubungan antara umat beragama di Kabupaten Lampung
Barat Kecamatan Pesisir Selatan terjadi pada aktifitas sosial
masyarakat. Pada pelaksanaan acara-acara keagamaan,
kenyataannya
ketidak-engganan
masyarakat
untuk
mengundang penganut agama yang berbeda sekalipun dan
juga tidak segan untuk hadir dan mengikuti seremoni yang
sebenarnya sarat dengan nuansa ritual itu, jika diundang oleh
tetangga atau kenalan yang menganut agama yang berbeda.
Dimasa mendatang ada berberapa upaya bagi kerukunan
masyarakat Kota Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung
Utara), Tanggamus (Kecamatan Pringsewu), Way Kanan
(Kecamatan Bahuga), dan Lampung Barat (Kecamatan Pesisir
Selatan) dalam menjawab pluralistas keagamaan itu.
Penyuluhan dan pembinaan di bidang kerukunan kehidupan
beragama perlu terus ditingkatkan, terutama berkenaan
dengan hubungan antar umat beragama dalam tataran
pribadi, yaitu pertemanan, pertetanggaan dan kekerabatan,
agar prinsip-prinsip kerukunan kehidupan beragama dapat
dilaksanakan dengan baik dan benar.
100
Daftar Pustaka
BPS Kabupaten Tanggamus, Produk Domistik Regional Bruto
Kecamatan Se- Kabupaten Tanggamus 2002-2003
--------------, Penduduk Kabupaten Tanggamus, Hasil Sensus
Penduduk Tahun 2000.
--------------, Kecamatan Pringsewu Dalam Angka 2003.
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda, CV. Rajawali, Jakarta, 1992.
Hilman Hadikusuma, Masyarakat dan Adat-Budaya
Lampung, Mandar Maju, Bandung, 1989.
KUA Kecamatan Pringsewu, Profil Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan Pringsewu Kabupaten Tanggamus,
2005.
Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Penyiaran Agama,
Bantuan Kepada Lembaga Keagamaan Dan Pendirian
Tempat-tempat Ibadat, Proyek Penerangan, Bimbingan
Dan Da’wah/Khutbah Agama Islam Propinsi
Lampung, 1981/1982.
101
102
BAGIAN 4
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
DI PROVINSI JAMBI
Tim Peneliti
Muntholib Sm
Hilmi
Ahsanul Khalikin
Rasito
Evi Sopandi
Gambaran Umum
Wilayah Penelitian
A. Kecamatan Kota Baru Kota Jambi
1. Demografis
ecamatan ini luasnya 77,78 km 2 terdiri dari 241 RT
dan 10 kelurahan yaitu: Kelurahan Kenali Besar 32 RT,
Kelurahan Rawasari 22 RT, Kelurahan Simpang III
Sipin 37 RT, Kelurahan Suka Karya 17 RT, Kelurahan Kenali
Asam Bawah 26 RT, Kelurahan Kenali Asam Atas 23 RT,
Kelurahan Pal V 28 RT, Kelurahan Bagan Pete19 RT,
Kelurahan Beliung 12 RT, dan Kelurahan Mayang Mengurai
25 RT.
Kecamatan Kota Baru menurut Sensus Penduduk tahun
2000 berpenduduk 82.015 jiwa. Penduduk tersebut terdiri dari
K
104
81.947 WNI (41.572 laki-laki, 40.375 perempuan) dan 474 NNA
(246 laki-laki, 228 perempuan) dengan kepadatan penduduk
1.153 jiwa/km2 Penduduk Kecamatan Kota Baru Kota Jambi
secara rinci seperti tabel berikut :
2. Kehidupan Keagamaan
Agama yang hidup di Kecamatan Kota Baru adalah
Islam (91,74)%, Katholik (2,32%), Kristen (3,70%), Hindu
(1,28%), Buddha (0,3%), Khong Hu Chu dan lain-lainnya
(1,0%). Yang terakhir ini dalam pencatatan oleh pihak
pemerintah tampaknya belum termasuk dalam administrasi
politik dan pemerintahan.
Secara umum kehidupan beragama relatif rukun dan
tidak pernah ada konflik terbuka yang bersumber pada ajaran
agama yang hidup di daerah ini. Potensi konflik terjadi antara
Muslim dan Kristen dalam masalah pendirian tempat ibadah
karena surat edaran Gubernur menyaratkan suatu tempat
ibadah baru dapat didirikan bila di sekitar tempat ibadah
yang akan didirikan ada 40 kepala keluarga dari pemeluk
agama yang bersangkutan. Pihak Kristen membantu membuat
jalan dalam komunitas muslim yang kebetulan terisolir dan
imbalannya dapat mendirikan tempat ibadah di sekitar
komunitas tersebut.
B. Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi
1. Keadaan Demografis.
Penyebaran penduduk menunjukkan keadaan yang
tidak merata, karena wilayahnya kebanyakan perkebunan
sawit dan karet. Penduduk Kec. Sungai Bahar berdasarkan
Sensus tahun 2003 berjumlah 51.373 orang, terdiri dari lakilaki 26.021 jiwa dan perempuan 25.352 jiwa terhimpun dalam
12.352 KK.
Kec. Sungai Bahar termasuk penerima transmigran yang
cukup banyak Daerah Transmigrasi itu sekarang sudah
105
banyak yang berhasil meningkatkan Pendapatan Anggaran
Daerah baik tingkat II maupun tingkat I, seperti Rimbo
Bujang, Kuamang Kuning, Pemenang, Singkut, dan Sungai
Bahar.
2. Kehidupan Keagamaan.
Agama yang hidup di Kec. Sungai Bahar adalah Islam,
Katholik, Protestan, Hindu, dan Khong Hu Chu. Yang
terakhir ini dalam pencatatan oleh pihak pemerintah
tampaknya belum termasuk dalam administrasi politik dan
pemerintahan Kec. Sungai Bahar. Selain itu ada agama yang
dalam istilah antropologi dikatakan agama lokal yaitu agama
yang dianut oleh masyarakat sederhana seperti orang Kubu
(orang Rimba dan Anak Dalam) juga tidak termasuk dalam
kategori agama yang dicatat oleh pihak kecamatan. Agama
yang dianut masyarakat Kecamatan Sungai Bahar adalah:
Islam 52.643 orang, Katholik 479 orang, Protestan 436 orang,
dan Hindu/Budha/Kepercayaan 346 orang. Tempat Ibadah
seperti Masjid 66 buah, Musholla 155 buah, Gereja 6 buah.
Sarana Pendidikan agama Islam: Pondok Pesantren 4
buah, Pengajian sesudah Magrib 175 buah, TPA 2 buah.
Pegawai Syara’ mendapat bantuan dari Pemda Muaro Jambi,
mereka itu ialah : Da’I : 2 orang, Guru MIS 20 orang, Guru
Ngaji 17 orang, Imam 24 orang, Khotib 24 orang, Bilal 24
orang.
Lembaga pendidikan Islam yang lain adalah Badan
Koordinasi Majelis Ta’lim dan kelompok Yasinan yang ada di
setiap desa. Majlis Ta’lim pesertanya ibu-ibu dan remaja putri,
sedangkan Kelompok Yasinan dikuti oleh bapak-bapak dan
ibu-ibu dalam arti ada kelompok khusus laki-laki dan ada
kelompok khusus perempuan.
Secara umum kehidupan beragama relatif rukun dan
belum pernah terjadi konflik terbuka yang bersumber pada
ajaran agama yang hidup di daerah ini. Namun potensi
konflik terjadi antara Muslim dan Kristen karena ke dua
106
agama ini adalah agama dakwah yang mewajibkan masingmasing umatnya untuk mengembangkan ajaran agamanya.
Potensi konflik dapat terjadi di semua desa dalam Kec. Sungai
Bahar.
C. Kecamatan Kayu Aro Kabupaten Kerinci
Penduduk Kecamatan Kayu Aro menurut Sensus tahun
2004 berjumlah 87.477 jiwa, terdiri dari 41.338 laki-laki dan
46.139 perempuan. Kec. Kayu Aro luasnya 78,481 km 2 terdiri
dari 40 desa, secara administratif, Kec. Kayu Aro dibagi
dalam 40 desa dengan berbagai perbedaan perkembangannya
masing-masing, baik karena potensi geografis, sumberdaya
alam, sumberdaya manusia, maupun karena pembangunan
prasarana pada masing-masing desa.
Sampai saat ini, masyarakat Kec. Kayu Aro masih
bertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan rakyat.
Dengan potensi lahan yang terbatas, sangat sulit menjadikan
sektor pertanian sebagai sumber utama penggerak roda
perekonomian.
Memang
terdapat
beberapa
potensi
sumberdaya alam dan pertambangan yang belum
dikembangkan secara optimal, baik dilihat dari aspek
pemanfaatannya bagi pembangunan daerah/wilayah maupun
dilihat dari aspek pembangunan yang berkelanjutan, akan
tetapi untuk mengeksploitasinya memerlukan nilai investasi
yang tidak sedikit.
Satu di antara banyak karunia alam yang sangat
potensial dikembangkan adalah keindahan alamnya.
Kecamatan Kayu Aro dikenal sebagai Kecamatan yang
memiliki panorama terindah di Kabupaten Kerinci.
Keindahannya menjadi terkenal dengan keberadaan Gunung
Kerinci yang merupakan gunung tertinggi di Sumatera, Air
terjun Telun Berasap dan Danau Gunung Tujuh di kaki
Gunung Kerinci. Di samping itu, keberadaan Taman Nasional
Kerinci Seblat yang merupakan paru-paru dunia, serta
107
sejumlah peninggalan bersejarah menjadikan keindahan
Kecamatan Kayu Aro semakin sempurna.
Potensi lain yang dimiliki Kecamatan Kayu Aro adalah
sumberdaya tambang. Tak kurang dari 25 (dua puluh lima)
jenis bahan galian terdapat di daerah ini dan tersebar di
Kecamatan Kayu Aro. Meski demikian, hanya sebagian kecil
potensi tambang tersebut yang sudah diolah, antara lain batu
kali dan pasir. Pemanfaatannya terkesan kurang optimal,
bahkan terdapat kecenderungan penguasaan yang tidak
berkeadilan dan mengabaikan lingkungan, sehingga kadang
berpotensi menimbulkan koflik di masyarakat.
Pertanian sebagai mata pencaharian utama masyarakat
di Kecamatan Kayu Aro hingga saat ini masih menunjukkan
peranan yang besar. Komoditi utama perkebunan rakyat
meliputi: cassiavera, kopi, Palawija dan kemiri. Satu-satunya
sektor yang mempunyai prospek menjanjikan adalah
pariwisata. Keindahan panorama alam adalah "keunggulan
alamiah" (natural advantage) yang tidak dimiliki oleh daerah
lain di dalam Provinsi Jambi. Tidak banyak kabupaten yang
memiliki objek wisata yang hampir lengkap (kecuali laut)
seperti Kabupaten Kerinci, Khususnya Kecamatan Kayu Aro.
Kalau saja prasarana dan sarana menuju objek wisata cukup
baik dan lancar serta didukung oleh supra struktur yang jelas,
sektor ini akan dapat memberikan sumbangan yang semakin
besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kerinci.
D. Kecamatan Tungkal Ilir Kab. Tanjung Jabung Barat
1. Keadaan Demografis.
Kecamatan Tungkal Ilir terdiri dari empat kelurahan
dan tujuh desa, semua dengan klasifikasi swadaya. Adapun
nama kelurahan di Kecamatan Tungkal Ilir adalah sebagai
berikut: Desa Beram Itam Kanan, Desa Beram Itam Kiri, Desa
Pembengis, Desa Tanjung Senjulang, Desa Tungkal V, Desa
Tungkal IV, Kelurahan Tungkal Harapan, Kelurahan
108
Tungkal IV, Kelurahan Tungkal III, Kelurahan Tungkal II,
Desa Tungkal I.
Ibu Kota Kec. Tungkal Ilir adalah Kuala Tungkal yang
berada di Kelurahan Tungkal Kota, berjarak 125 km dari Ibu
Kota Propinsi Jambi. Penduduk Kec. Tungkal Ilir tercatat
sebanyak 76.749 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki
40.310 jiwa dan perempuan sebanyak 36.439 jiwa.
Keadaan sosial ekonomi penduduk Kec. Tungkal Ilir
secara langsung atau tidak langsung sangat dipengaruhi oleh
kondisi geografis wilayah ini. Kec. Tungkal Ilir berada di
pantai timur sumatera maka sebagian besar wilayah ini
berupa tanah berair. Rumah tempat tinggal, pasar, sebagian
kantor pemerintah, serta fasilitas lainnya hampir semua
dibangun di atas tanah berair dalam bentuk rumah
panggung. Namun beberapa rumah penduduk, ruko, masjid
agung, kantor pemerintah (kantor bupati, DPRD dan lainlain) dibangun secara permanen.
Sebagian besar penduduk Kec. Tungkal Ilir tinggal di
perkotaan yakni di Kota Kuala Tungkal yang merupakan
Ibukota Kecamatan sekaligus juga Ibukota Kabupaten
Tanjung Jabung Barat. Mereka berusaha dalam bidang
perdagangan, usaha sarang burung walet, transportasi,
pegawai negeri/TNI/Polri, buruh. Bagi penduduk yang
hidupnya relatif mapan, seperti memiliki kebun kelapa yang
cukup luas, ada kecenderungan untuk memilih tinggal di
Kota Kuala Tungkal. Sebagian lainnya tinggal di perdesaan
dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Etnis Jawa
bertani di sawah dan ladang, etnis bugis berkebun kelapa.
Kecamatan Tungkal Ilir memiliki berbagai sumber daya
alam berupa tambang minyak bumi, kelapa, dan sumber
daya laut. Sumber daya tambang minyak dikuasi oleh
kontraktor asing dari China, Petro China. Kelapa dikelola
oleh etnis Bugis, Jawa, Banjar, dan Melayu, sumber daya laut
berupa ikan didominasi oleh etnis Bugis dan Banjar.
109
Konflik dan
Integrasi
A. Realitas Hubungan Sosial
P
enduduk Jambi terdiri dari berbagai macam etnis,
budaya,
dan
agama.
Masing-masing
tidak
meninggalkan corak identitasnya – seperti bahasa
daerah dan tradisi – sehingga
mudah dikenal dan
dibedakan. Meskipun demikian, antara etnis yang satu
dengan etnis
yang lainnya saling menghormati dan
menghargai
adat
istiadat
masing-masing,
bahkan
menciptakan tradisi baru yang berlaku untuk banyak etnis
seperti peringatan 17 Agustus, dan bagi yang beragama
Islam diciptakan tradisi tahlilan atau yasinan yang berlaku
bagi semua etnis yang beragama Islam. Tradisi ini
diperuntukkan bagi berbagai peristiwa siklus hidup
(kelahiran, perkawinan, kematian), syukuran (lulus ujian,
naik pangkat, terhindar dari musibah, menempati
rumah/kantor baru, dan lain-lain).
110
B. Hubungan Antar Umat Beragama pada Tataran Pribadi
Masyarakatnya kebanyakan pendatang dari berbagai
daerah yang memiliki latar belakang suku dan budaya yang
beraneka ragam. Penduduk asli di daerah ini adalah Melayu.
Penduduk asli dan pendatang membaur menjadi warga
masyarakat Jambi. Bagi penduduk asli, pendatang juga
menjadi warga masyarakat Jambi dengan ketentuan
bertempat tinggal “setahun padi” (enam bulan) dan “di situ
bumi dipijak di situ langit dijunjung, di mana tembilang di cacak,
di situ tanaman tumbuh” artinya bagi siapapun yang tingal
menetap selama minimal 6 bulan di Jambi dan mematuhi
semua aturan setempat, maka orang tersebut termasuk orang
Jambi. Dalam pengertian ini maka berkenaan dengan isu
politik tentang “putra daerah”, maka dalam pandangan itu,
putra daerah atau orang Jambi adalah mereka yang telah
tinggal di Jambi selama enam bulan.
Suku-suku pendatang di Jambi terdiri dari suku Jawa,
Minang, Banjar, Bugis, Batak, Sunda, Madura, Aceh, India,
Arab, dan lain-lain. Identitas kesukuan mudah dikenal. Di
daerah ini banyak perkumpulan atau organisasi berdasarkan
daerah asal atau suku asal. Mereka yang berasal dari daerah
Sulawesi Selatan mempunyai organisasi Himpunan Keluarga
Sulawesi Selatan (HKSS). Mereka yang berasal dari
Kalimantan (suku Banjar) dengan organisasinya Persatuan
Keluarga Banjar (PKB). Mereka yang berasal dari Sumatra
Utara juga mempunyai perkumpulan, anggota dari
perkumpulan tersebut tidak hanya beragama Kristen, tetapi
juga ada yang beragama Islam, atau lainnya, demikian juga
perkumpulan dari daerah lain.
Identitas
suku-suku
terutama
bahasa
daerah
terpelihara dengan baik. Di samping menggunakan bahasa
Indonesia dan bahasa Melayu, masing-masing suku dapat
menggunakan bahasa daerahnya tanpa ada perasaan risih
(sungkan) terutama jika berkomunikasi dengan sesama
111
sukunya. Bagi orang Batak, mereka bebas menggunakan
bahasa daerahnya, demikian pula etnis China, dan lainlainnya. Bahasa Indonesia mereka gunakan dalam
pertemuan-pertemuan formal atau pun antar suku. Dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa hubungan sosial antara satu
suku dengan lainnya dapat terjalin dengan baik tanpa
meninggalkan identitas suku masing-masing. Hal ini bisa
terwujud karena adanya sikap saling menghormati antara
suku satu dengan lainnya. Demikian hal dengan identitas
kesukuan lainnya, seperti adat budaya perkawinan. Bagi
masyarakat pendatang, pada umumnya menggunakan adat
budaya Jambi (Melayu), di samping adat budayanya sendiri.
Ini semua karena jalinan yang baik antara warga
masyarakat baik sesama pendatang maupun dengan
penduduk asli (Melayu Jambi). Sebagian besar dari mereka
setuju bahwa hubungan pribadi dengan siapapun, termasuk
yang berbeda agama, suku, ras/etnis, budaya dan bahasa
harus dijalin dengan baik.
Pandangan masyarakat Jambi terhadap peran orang tua
yang baik adalah orang tua yang mendorong anaknya
bergaul dengan siapapun termasuk yang berbeda agama,
suku, ras/etnis, budaya dan bahasa setuju yang penting
saling menjaga diri.
Pertemanan di kalangan masyarakat Jambi juga bersifat
terbuka, sebagian besar mereka setuju bahwa manusia harus
berteman dengan orang lain, meskipun berbeda agama,
suku, etnis/ras, budaya dan bahasa. Hal ini dipertegas lagi,
bahwa sebagian besar mereka setuju apabila teman berbeda
agama mempunyai sebuah acara syukuran, maka apabila
diundang seharusnya kita datang.
Pernyataan terakhir ini cukup mengindikasikan bahwa
masyarakat Jambi bersifat terbuka, sebab “acara syukuran”
biasanya kental dengan nuansa keyakinan/agama. Meskipun
masyarakat ini bersifat terbuka, namun ketika masuk ke
wilayah yang dilarang agama, seperti menghadiri ritual
112
keagamaan, sebagian besar mereka tidak setuju untuk
menghadiri acara agama lain (seperti Natalan, Lebaran,
Galungan). Sementara itu, untuk pernyataan yang sama,
hanya sebagian yang menyatakan setuju datang menghadiri
acara keagamaan agama lain. Mereka yang cenderung setuju
menghadiri acara keagamaan lain jika ditelusuri lebih lanjut,
mereka berasal dari golongan non-Muslim (minoritas). Kaum
non-Muslimi ketika Lebaran (Idhul Fitri) mendatangi
tetangga, teman yang beragama Islam untuk mengucapkan
selamat dan saling memaafkan.
Antara warga masyarakat yang berbeda suku maupun
antar pemeluk agama yang berbeda bisa hidup
berdampingan secara damai. Mereka menjalankan aktivitas
sehari-hari tanpa ada gangguan dari pihak atau kelompok
lain. Meskipun di sini ada masing-masing suku membuat
organisasi-organisasi persatuan daerah asal masing-masing.
Namun organisasi-organisasi itu bersifat kekeluargaan dan
sosial keagamaan. Hubungan dengan warga masyarakat
rukun. Warga masyarakat non-Muslim membaur dengan
masyarakat, jika warga masyarakat di sekitar daerah ini
mengadakan hajatan, maka warga non-Muslim ikut
membantu.
Kaitan dengan tolong-menolong masyarakat Jambi ini
sebagian besar (hampir 90 %) menyatakan setuju dengan
menyatakan bahwa meskipun kita berbeda agama, sebaiknya
tolong-menolong dalam berbagai kegiatan sosial, sehingga
bisa terwujud kerukunan sesama warga.
Kaitan dengan hubungan ketetanggaan, masyarakat
Jambi sebagian besar lebih 90%) menyatakan setuju bahwa di
mana kita berada sebaiknya hidup membaur dengan
masyarakat sekitar, meskipun berbeda agama. Walaupun
sebagian besar setuju bahwa hidup di masyarakat harus
membaur meskipun berbeda agama, namun ketika
memasuki wilayah keyakinan agama, masyarakat Jambi
cenderung tidak setuju untuk menghadiri kegiatan agama
113
lain. Dengan demikian nampak bahwa bagi masyarakat
Jambi tentang masalah keyakinan agama menjadi sesuatu
yang sama sekali tidak boleh dicampuradukkan.
Rumah ibadah memiliki fungsi yang sangat penting
bagi pemeluk agama tertentu. Rumah ibadah tidak saja
sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan ritual
keagamaan, namun juga menjadi pusat kegiatan umat agama
yang bersangkutan. Di samping itu, rumah ibadah juga dapat
berfungsi sebagai simbol keberadaan agama yang
bersangkutan. Karena itu, tiap-tiap umat agama berusaha
untuk
mendirikan
rumah
ibadah
masing-masing.
Masyarakat Jambi ini cenderung berpendapat bahwa
pembangunan rumah ibadah menjadi tugas/tanggung jawab
masing-masing pemeluk agama, dalam arti bila dikerjakan
dengan melibatkan agama lain.
Kekerabatan merupakan salah satu faktor yang penting
untuk menjaga kerukunan hidup beragama. Masyarakat
Jambi hanya sebagian kecil (40 %) setuju dengan pendapat
bahwa salah satu cara menjaga kerukunan beragama melalui
jalinan kekerabatan, karena kekerabatan itu lebih penting
dari agama. Pada sisi lain, terhadap pernyataan yang sama
lebih dari 50% masyarakat Jambi ini menyatakan tidak
setuju. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa sebagian
besar masyarakat Jambi (60%) lebih mengedepankan agama
dari pada kekerabatan.
Pada kasus-kasus tertentu peristiwa kawin antar agama
(dengan salah satu pindah agama biasanya pihak laki-laki)
justru menimbulkan kerenggangan tali kekerabatan, bahkan
menimbulkan
ketegangan.
Demikian
pula
dengan
pelaksanaan ibadah keagamaan, sebagian besar (74,5%) tidak
setuju untuk menyediakan peralatan ibadah bagi kerabat
yang berbeda agama.
Persaudaraan atau kekerabatan dalam masyarakat
Jambi lebih mengedepankan ikatan agama. Mereka
mengatakan setuju (52%) bahwa persaudaraan atau
114
kekerabatan yang tidak seiman dan seagama adalah semu.
Sebagian lainnya (45%) tidak setuju dengan pernyataan
tersebut, 3% tidak tahu. Berdasarkan uraian tersebut dapat
dipahami bahwa masyarakat Jambi lebih mementingkan
aspek
agama
dalam
hubungan
kekerabatan
dan
persaudaraan.
C. Tataran Hubungan Antar Kelompok Politik
Bidang politik, sebagian besar (78,5%) masyarakat
Jambi memprioritaskan persatuan dan persaudaraan karena
politik hanyalah suatu alat untuk memperoleh kekuasaan,
karenanya tidak harus mengorbankan persatuan dan
persaudaraan yang bila terganggu membuat hidup menjadi
tidak nyaman dan untuk memperolehnya kembali perlu
biaya yang sangat mahal.
Menurut mereka (88%) dalam mencari dukungan partai
maupun calon pimpinan hendaknya bersaing secara sehat
dan tidak perlu konflik berdarah. Hal ini disadari benar bila
sampai terjadi konflik berdarah semua pihak akan dirugikan
dan hidup menjadi tidak tenteram.
Kegiatan Pemilu maupun Pilkada, 85,5% berpendapat
bahwa peserta atau pendukung tidak perlu menjelekkan satu
dengan lainnya. Dalam menentukan jabatan-jabatan politik
di pemerintahan dari tingkat RT sampai dengan Presiden
dan lebih menekankan pada kualitas pribadi, bukan
berdasarkan pertimbangan proporsionalitas penganut agama
(54,5%).
Namun di sisi lain, 43,5% masyarakat menentukan
jabatan-jabatan tersebut berdasarkan proporsionalitas
penganut agama. Pendapat ini tampaknya didasari oleh
suatu kenyataan bahwa lebih 80% masyarakat Jambi
beragama Islam dan kualitas pribadi, pengetahuan,
kekayaan, pendidikan, dan sebagainya masih relatif rendah,
jadi bila hanya menekankan kualitas pribadi tanpa melihat
115
proporsionalitas pemeluk agama, maka umat Islam akan
dirugikan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa
dalam kegiatan di bidang politik masyarakat Jambi
mengutamakan persatuan dan kesatuan. Hal ini juga terbukti
dari beberapa kali kegiatan pemilu baik pemilu legislatif
maupun eksekutif (Pilpres dan Pilkada) di Jambi tidak terjadi
konflik terbuka.
Hubungan antar pelaku politik, sebagian besar (96,5%)
menghendaki agar para pelaku politik hendaknya bersaing
secara sehat, tidak saling memfitnah karena perilaku tersebut
merupakan perilaku yang tidak terpuji dan merugikan
semua pihak.
Penggalangan dukungan untuk mencapai tujuan
politik, sebagian besar (72%) masyarakat Jambi setuju
menggunakan kekuatan fisik namun harus memenuhi sopan
santun politik . Setelah dirunut lebih jauh yang dimaksud
kekuatan pisik adalah dengan penggalangan masa, arakarakan dengan kendaraan, rapat-rapat yang melibatkan
banyak orang; bukan beradu pisik apalagi sampai berkelahi.
Organisasi kepemudaan yang menjadi kepanjangan
tangan partai politik, sebagian besar masyarakat Jambi
sebagian besar (81%) setuju agar tetap menjaga kerukunan
serta tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat. Alasan
mereka adalah bila generasi muda sudah tidak menjaga
kerukunan, maka sampai tuapun akan seperti itu dan
akibatnya kehidupan masyarakat luaspun menjadi tidak
aman.
Mereka sebagian besar (93%) berpendapat bahwa
organisasi-organisasi kepemudaan dalam mencari dukungan
tidak harus mencari pengaruh karena alasan agama
(berlainan agama) tetapi karena hubungan pribadi,
pertemanan, pertetanggaan bukan karena yang diajak
beragama A dan yang mengajak beragama B.
116
Kedua hal tersebut juga menunjukkan bahwa
masyarakat Jambi lebih mengutamakan persatuan dan
kesatuan, tanpa mengedepankan simbol-simbol agama.
Partai-partai politik yang menggunakan simbol agama
ternyata tidak mendapat dukungan mayoritas. Partai yang
memperoleh suara terbanyak di Jambi adalah Golkar.
D. Hubungan pada Tataran Peribadatan
Masyarakat Jambi mengutamakan persatuan dan
kesatuan, namun dalam hal kegiatan seremonial keagamaan,
sebagian dari mereka hal itu tidak boleh dicampuradukkan
dengan persoalan keyakinan. Apabila diundang dalam acara
hari besar keagamaan (seremonial keagamaan) sebagian
mereka setuju (48 %) dan 52 % sangat tidak setuju.
Pengembangan agama tertentu dilakukan dengan cara
memberikan sesuatu, baik berupa makanan seperti mie
instan, bea siswa, dan lain-lain. Cara-cara seperti ini banyak
dikembangkan terutama di daerah-daerah yang relatif
miskin atau terbelakang. Pemberian sesuatu yang memiliki
tendensi untuk mengembangkan agama tertentu ditolak oleh
sebagian
besar
masyarakat
Jambi,
selebihnya
menerima/setuju dengan cara tersebut.
Berdasarkan dua hal tersebut di atas dapat diketahui
bahwa meskipun masyarakat Jambi mengutamakan
persatuan, namun tidak mencampuradukkan dengan
persoalan ibadah, serta sebagian besar menolak pemberian
yang memiliki tendensi untuk pengembangan agama lain
tertentu.
Pengembangan agama juga dilakukan dengan
mendirikan rumah-rumah ibadah. Rumah ibadah memiliki
fungsi dan makna yang sangat penting bagi pemeluk agama
tertentu. Namun pada sisi lain golongan minoritas
mengalami kesulitan untuk membangun rumah ibadah.
Kesulitan membangun rumah ibadah bagi golongan
minoritas agama disebabkan oleh beberapa hal, terutama
117
ketentuan
peraturan
yang
mengharuskan
adanya
persetujuan dari masyarakat sekitar sebanyak 40 kepala
keluarga. Sebagian besar masyarakat Jambi (71,5%)
menghendaki agar pendirian rumah ibadah harus
mengindahkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sebagian lainnya (25%) berpendapat tidak perlu
mengindahkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Mereka
yang
berpendapat
tidak
perlu
mengindahkan peraturan dengan dalih bahwa rumah ibadah
merupakan kebutuhan primer bagi umat beragama dan
bagian dari hak asasi manusia.
Pembangunan rumah ibadah bagi golongan minoritas
agama menjadi persoalan tersendiri yang dapat menjadi
sumber ketegangan hubungan antara umat Islam dengan
agama Kristen karena itu membangun rumah ibadah
khususnya berupa gereja mengalami kesulitan. Kaum Kristen
menggunakan rumah tinggal untuk melakukan ibadah atau
kebaktian. Kaitan dengan masalah ini 47% masyarakat Jambi
menyatakan setuju dan 53% menyatakan tidak setuju tentang
penggunaan rumah tinggal yang difungsikan sebagai gereja.
Masyarakat Muslim di Jambi merasa terganggu dengan
penggunaan rumah tinggal sebagai tempat kegiatan ibadah
umat Kristen.
Bagian lain dalam tulisan ini telah dikemukakan bahwa
masyarakat Jambi terdiri dari beragam suku. Tiap suku
memiliki tradisi budaya yang dilestarikan dari generasi ke
generasi berikutnya. Di masyarakat Jambi yang merupakan
bagian dari masyarakat Jambi dikenal seloka adat bahwa
“adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah, syara’ mengato
adat memakai.” Seloka adat ini hingga saat ini masih hidup
dalam masyarakat, baik bagi masyarakat asli maupun
pendatang. Hal ini dapat dilihat dari tradisi budaya yang ada
dan tumbuh di masyarakat. Tradisi budaya memiliki
persamaan dan perbedaan antara suku satu dengan suku
lainnya. Bagi suku yang mayoritas Islam seperti Melayu,
118
Bajar, Bugis, kesamaannya pada kekentalan unsur budaya
Islam. Banyak juga ditemui tradisi budaya yang merupakan
percampuran antara tradisi satu suku dengan suku lainnya.
Sebagai contoh, tradisi cukuran. Tradisi ini di Jawa pada
daerah tertentu disebut “selapanan”, karena dilakukan
setelah selapan (35 hari) setelah anak lahir. Di Jawa tradisi ini
tidak disertai pembacaan barzanji lengkap dengan doa-doa
tertentu. Namun setelah tinggal di Jambi, acara cukuran ini
“mengikuti” tradisi di Jambi pada umumnya. Masyarakat
Jawa menerima tradisi baru tanpa harus meninggalkan
tradisi lama. Begitu juga masyarakat dari suku lain biasanya minoritas - yang tinggal di komunitas masyarakat
Jawa (daerah transmigrasi misalnya) dalam upacara siklus
hidup juga mengikuti tradisi masyarakat Jawa yaitu setelah
selesai acara pulangnya dibagikan ambeng.
Masyarakat Jambi, selanjutnya sebagian besar setuju
bahwa bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang
sopan dan toleran, tradisi lokal tetap berjalan dengan baik
apapun agama, suku, dan bangsa, semua dibiarkan terseleksi
secara alami, sehingga tidak ada konflik yang terjadi hanya
disebabkan oleh persoalan agama dan adat istiadat.
Mereka sebagian besar menyatakan setuju bahwa kita
bisa hadir dalam acara siklus hidup, seperti; upacara
rujakan/menujuhbulani, kelahiran, (Aqiqah: Islam), perkawinan, kematian dan lain-lain, dalam tata cara/adat istiadat
masing-masing; hanya sebagian kecil masyarakat Jambi
menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan itu.
Tradisi-tradisi di atas merupakan tradisi yang disepakati
oleh banyak orang tanpa memandang dari mana mereka
berasal baik suku, etnik, bahasa, dan agama. Tradisi ini
merupakan arena untuk memberatkan hubungan sesama
warga Jambi yang berlatarbelakang pekerjaan yang sangat
heterogen dan ajarannya akan sulit mereka berkumpul
bersama bila tidak ada arena untuk itu, dan upacara tradisi-
119
tradisi di atas merupakan kesempatan yang tampak cocok
bagi semua orang.
Besarnya persentase yang berpandangan tersebut dapat
dipahami bahwa masyarakat Jambi yang mutli suku ini di
samping menjunjung tinggi dan melestarikan adat dan
tradisi sukunya, juga memiliki sikap terbuka dan
menghormati adat/tradisi suku lain. Hal ini merupakan
modal kekuatan yang besar bagi masyarakat Jambi untuk
terwujudnya integrasi dan kerukunan.
E. Hubungan antar Kelompok Agama
Masyarakat Jambi di samping multi suku, juga
menganut berbagai agama. Agama-agama yang dianut oleh
masyarakat Jambi meliputi Islam, Kristen, Katholik, Budha,
dan Hindu. Menurut tokoh agama Katolik dan Protestan,
kesadaran masyarakat cukup baik, jadi tidak perlu
dipermasalahkan lagi. Salah satu penyebabnya adalah antara
tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh
pemerintah terjalin komunikasi yang baik dalam suatu
wadah Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, meskipun
kegiatannya tidak terlalu intensif. Komunikasi yang baik
antara tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat dan juga
tokoh pemerintah berimbas pada masyarakat sehingga
hubungan sesama merekapun menjadi baik.
Pelaksanaan kehidupan beragama baik yang Muslim
maupun non-Muslim berjalan dengan baik. Hal yang sama
juga diakui oleh tokoh agama Katholik, dan Budha. Dalam
pandangan masyarakat, komunikasi atau pertemuan (dialog)
secara berkala perlu dilakukan dalam upaya menjaga
kerukunan hidup beragama. Pernyataan mereka ini
diperkuat dari kusioner yang diedarkan. Sebagian besar
masyarakat Jambi memandang bahwa komunikasi atau
dialog tersebut perlu dilakukan untuk menjaga kerukunan
hidup beragama, hanya sebagian kecil masyarakat Jambi
yang tidak setuju.
120
Kaitan dengan dialog ataupun kerjasama antar
organisasi keagamaan yang harus dilaksanakan tidak hanya
pada tingkat pusat, tetapi juga sampai ke organisasi
keagamaan tingkat bawah minimal tingkat Jambi, sebagian
besar mereka setuju dan hanya sebagian kecil yang tidak
setuju. Setelah ditelusuri ketidaksetujuan mereka itu karena
belum pernah ikut dialog ataupun kerjasama antar umat
beragama, sehingga pengalaman indahnya berdialog dan
kerjasama tidak pernah dimiliki, yang ada adalah sikap raguragu dan curiga terhadap agama lain.
Aplikasi pelaksanaan dialog dan kerjasama antar umat
beragama, sebagian besar masyarakat Jambi setuju dibentuk
wadah kerukunan hidup beragama sampai tingkat
kecamatan, bahkan sampai tingkat desa/kelurahan di mana
warganya terdiri dari multi agama.
Sebagian besar masyarakat Jambi tidak menyukai
terhadap sekelompok orang yang merasa agama dan
keyakinannya paling benar, saling mengkafirkan orang yang
berbeda kelompok/paham apalagi berbeda agama.
Kelompok seperti itu menurut mereka harus dilarang hidup
dan berkembang di Indonesia. Sikap saling mengkafirkan
yang dimaksud di atas yang berlaku pada intern suatu
agama karena berbeda aliran atau paham, misalnya dalam
Islam antara aliran Islam Jamaah dengan aliran lainnya (NU,
Muhammadiyah, Jamaah Tabligh, Al Wasliyah, Tarbiyah
Islamiah). Penyataan ini mengindikasikan bahwa masyarakat
Jambi mengutamakan persatuan dan kesatuan, tidak
menyukai konflik atau pertentangan dalam hal beragama.
Masyarakat Jambi sebagian besar menyatakan tidak
setuju
terhadap kelompok organisasi keagamaan yang
sangat ekspansif dan bersemangat dalam mengembangkan
agamanya. Pengembangan agama ekspansif tersebut dapat
berupa pemaksaan kehendak untuk mendirikan rumah
ibadah di tengah-tengah komunitas agama lain, padahal di
daerah tersebut hanya terdapat satu atau beberapa penganut
121
agama yang bersangkutan. Salah satu kasus dapat
dipaparkan dari penuturan tokoh masyarakat bahwa salah
satu agama membantu suatu permukiman yang dihuni oleh
agama lain berupa akses jalan menuju jalan raya sehingga
mobilitas masyarakat menjadi lancar. Awalnya masyarakat
merasa sangat senang, namun setelah di dekat permukiman
mereka yaitu di tepi jalan yang dibuat di atas didirikan
rumah ibadah agama lain, masyarakat menjadi resah; bahkan
gesekan-gesekan antara warga terjadi. Gesekan-gesekan itu
karena sebagian warga (tokoh pemudanya) mendapat
bantuan materi sedangkan sebagian yang lain tidak. Bagi
yang tidak mendapatkan bantuan memusuhi mereka yang
dapat bantuan dan berakibat ketenteraman masyarakat
setempat menjadi terganggu.
Pemuda memegang peran yang sangat stretegis bagi
terwujudnya kerukunan hidup beragama. Masyarakat Jambi
setuju, jika hubungan antar organisasi keagamaan pemuda
yang selama ini cukup baik, perlu dikembangkan ke arah
persatuan dan persaudaraan bangsa. Antara organisasi
keagamaan kepemudaan mestinya sering bertemu dan
berdialog untuk membicarakan masa depan bangsa ini sesuai
aspirasi pemuda. Sebagian besar dari mereka setuju tentang
pernyataan di muka karena para pemuda sadar bahwa masa
depan bangsa harus mereka kenali sejak dini sehingga
mereka pada masanya nanti sudah relatif siap menerima
tanggung jawab memimpin bangsa. Mereka yang tidak
setuju dengan pernyataan di atas ternyata berasal dari kaum
tua yang melihat banyak anak muda yang tidak jelas
kegiatannya ( kebut-kebutan, minuman keras, kongkokongko di pinggir jalan sampai larut malam, dan
sebagainya).
F. Aspek Hubungan Ekonomi
Hubungan ekonomi di masyarakat Jambi yang terdiri
dari multi suku, etnis, budaya, dan agama tampak tidak
122
terjadi masalah karena tidak satu sukupun yang menguasai
mutlak dalam kegiatan ekonomi tanpa melibatkan suku
lainnya. Hal ini sesuai dengan pengamatan antara lain
bidang perdagangan memang sebagian besar dikuasai orang
Minang dan China, namun tetap juga melibatkan suku lain
seperti Jawa, Melayu, Batak dalam perekrutan karyawan.
Begitu juga pertanian tampaknya dikuasai orang Jawa
namun suku lain juga diperbolehkan seperti Bugis, Banjar,
Batak, Minang, Melayu, Cina. Kegiatan ekonomi baik
perdagangan, pertanian, jasa; semuanya terbuka bagi
siapapun dari suku dan agama apapun. Bila tampak ada
bidang yang menonjol tampak dikuasai oleh satu atau dua
suku bukan karena agama maupun suku, tetapi lebih pada
keahlian, ketekunan, keuletan, kejujuran pelaku ekonomi.
Sebagai contoh orang Cina yang berusaha pada pertanian
(sayur mayur) padahal biasanya orang Cina bergerak di
perdagangan dan jasa, namun karena tekun dengan hasilnya
dijual kepada orang Batak, Jawa, dan Melayu maka hasilnya
tidak kalah dengan
orang Jawa yang sudah terbiasa
bergerak di bidang ini.
Hubungan pekerjaan, sebagian besar mereka tidak
setuju jika ada perusahaan besar menambah tenaga kerja
hanya yang seagama atau sesuku saja dengan pemilik
perusahaan. Dengan kata lain dalam hubungan pekerjaan
masyarakat di Jambi menghendaki perlakuan dan peluang
yang sama, tidak diskriminatif. Sistem penggajian/upah,
sebagian besar tidak setuju jika karyawan yang sesuku dan
seagama dengan pemilik perusahaan diberi gaji dan fasilitas
yang lebih besar dari pada karyawan yang tidak sesuku dan
seagama dengan pemilik perusahaan.
Masyarakat di Jambi juga tidak setuju dengan
perlakuan yang berbeda terhadap pekerja. Sebagian besar
mereka, tidak setuju terhadap perlakuan perusahaan yang
memperlakukan pekerja secara berbeda kepada mereka yang
123
berbeda suku dan agama, baik fasilitas peribadatan,
kesejahteraan, karir maupun kemudahan lainnya.
Uraian
tentang
hubungan
sosial
keagamaan
sebagaimana tersebut di atas dapat dikatakan bahwa
masyarakat di Jambi adalah masyarakat yang terbuka bagi
suku apa saja untuk hidup di daerah ini. Beragam suku
dengan berbagai macam budaya dan bahasa dapat eksis di
daerah ini. Hal ini menandakan bahwa masyarakat di Jambi
mengedepankan demokrasi, nilai-nilai budaya yang
berlaku, kebersamaan, kesederajatan, penghargaan atas
keyakinan, menghindari tindak kekerasan fisik dan
keyakinan, rasa aman dengan identitas yang dimiliki.
Dengan demikian maka pola hubungan sosial keagamaan di
Jambi dapat dikategorikan rukun. Kategori ini bersifat
dinamis, artinya se waktu-waktu dapat pula bergeser ke
arah kategori kurang rukun. Apabila kategori rukun
digambarkan dengan warna hijau, kurang rukun dengan
warna kuning, dan konflik dengan warna merah, maka
Jambi masuk kategori hijau tapi tidak hijau betul mungkin
hijau muda, namun belum masuk kategori kuning. Jambi
rukun tapi mengandung faktor-faktor kurang rukun
(potensi konflik). Potensi konflik terdapat pada masalah
pendirian tempat ibadah khususnya bagi umat Kristen.
G. Potensi Kerukunan dan Konflik
Di Jambi belum pernah terjadi konflik terbuka antar
umat beragama. Meskipun demikian, terdapat potensipotensi konflik yang dapat mengganggu kerukunan hidup
dalam masyarakat. Pendirian rumah ibadah berupa gereja
merupakan potensi konflik yang paling banyak ditemui di
Jambi. Di samping itu kecemburuan sosial berupa
kesenjangan ekonomi, seperti antara etnik Cina dengan
lainnya, hal inilah yang sewaktu-waktu merupakan faktor
yang dapat memicu konflik.
124
Potensi konflik berupa pembangunan atau pendirian
rumah ibadah hampir menjadi masalah di seluruh Propinsi
Jambi. Kesulitan mendirikan rumah ibadah dialami oleh
umat agama apapun yang minoritas di seluruh wilayah
Indonesia. Umat Islam di daerah yang mayoritas
penduduknya beragama non Islam, seperti di Bali, akan
mengalami kesulitan mendirikan rumah ibadahnya.
Kesulitan ini bersumber dari Surat Keputusan Bersama (SKB)
Mendagri dan Menag No. 01/BER/MDG-MAG/1979 tentang
Pendirian Rumah Ibadah. Dari perspektif politik hukum,
peraturan tersebut menghendaki agar tidak timbul
gejolak/konflik antar umat beragama yang disebabkan oleh
pendirian rumah ibadah. SKB tersebut dimaksudkan untuk
mengatur, memupuk keharmonisan dan kerukunan, serta
menumbuhkan toleransi antar umat beragama guna
mendukung terciptanya kehidupan beragama yang penuh
kerukunan dan keharmonisan di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sementara kalangan menilai bahwa substansi dari SKB
yang dibuat tahun 1979 itu perlu "diharmonisasikan".
Pemerintah (Depdagri dan Depag) mengisyaratkan,
peninjauan terhadap SKB akan dilakukan secepat mungkin
karena banyaknya kasus rawan, seperti upaya penutupan
sejumlah gereja atau pemukiman yang dijadikan tempat
ibadah. Sementara pemerintah daerah dipandang kurang
tanggap atas kejadian tersebut yang berbuntut munculnya
keresahan di masyarakat.
Argumentasi yang dikemukakan oleh penganut agama
mayoritas di Jambi (Islam) berbeda dengan argumentasi
yang dikemukakan oleh penganut agama minoritas. Menurut
pandangan umat Islam, sebagian dari saudara-saudara kita
yang non Islam itu kurang memperhatikan pembagunan
perumahan ibadah dengan masyarakat sekitar. Kadangkadang mereka hanya 3 KK atau 4 KK ingin membangun
rumah ibadah tanpa mengindahkan peraturan-peraturan
125
yang berlaku dan masyarakat mayoritas sekitar, ini
merupakan peluang-peluang yang bisa menimbulkan
keretakan antar umat beragama, karena mereka tidak
mendapat persetujuan dari masyarakat setempat biasanya
mereka menggunakan tempat atau mengontrak tempat
rumah untuk dijadikan tempat ibadah. Penggunaan rumah
sebagai tempat kegiatan ibadah bagi golongan minoritas
menimbulkan respon negatif dari masyarakat, mereka
merasa terganggu dengan kegiatan tersebut.
Bagi kalangan minoritas, mereka merasa diperlakukan
tidak adil, diskriminatif. Menurut para Pendeta dan Pastur
potensi konflik yang ada berupa pembangunan Gereja. Kami
selama ini begitu sulit untuk membangun rumah ibadah. Jadi
kesulitan itu perlu dicari solusi tentang bagaimana caranya
supaya terdapat saling pengertian dalam hal membangun
rumah ibadah dengan tenang, ada dukungan dan izin yang
betul-betul dengan hati ikhlas supaya kami bisa beribadah
dengan aman dan tenang. Kadang-kadang saya heran
kenapa kita membangun rumah, membangun ruko boleh
tapi kalau itu rumah ibadah nggak boleh. Padahal rumah
ibadah sangat kita perlukan untuk peribadatan.
H. Kecenderungan Pola Hubungan Antar Umat Beragama
di Masa Mendatang
Kecenderungan pola hubungan antar umat beragama
di Jambi sangat tergantung pada umat agama yang
bersangkutan. Potensi konflik yang ada adalah antara umat
Islam dengan Kristen. Faktor penyulut konfliknya adalah
pendirian rumah ibadah. Pola hubungan yang masuk
kategori hijau (rukun) tetapi mengandung unsur kuning
(potensi konflik) dapat bergeser ke warna merah (konflik
terbuka) tergantung pada penyelesaian persoalan pendirian
rumah ibadah. Kecenderungan pola hubungan ke depan
tergantung pada kearifan (keluwesan) pihak Islam dan
Kristen menyikapi ketentuan peraturan pendirian rumah
126
ibadah. Apabila umat Kristen memaksakan diri mendirikan
gereja di tengah mayoritas Muslim apalagi dengan
pemaksaan (menggunakan jasa preman) dan memanipulasi
tanda tangan persetujuan warga sekitar, maka dapat
menyulut terjadinya konflik. Namun apabila umat Kristen
membangun gereja jauh dari komunitas mayoritas muslim
maka konflik tidak terjadi. Dengan demikian maka
kecenderungan pola hubungan antar umat beragama ke
depan ke arah yang rukun, jika masing-masing pihak tidak
memaksakan kehendak khususnya berkaitan dengan rumah
ibadah.
I. Langkah-Langkah Solusi yang Pernah Dilakukan
Konflik terbuka antar umat agama di Jambi belum
pernah terjadi. Meskipun demikian pemerintah dan tokohtokoh agama melakukan upaya preventif untuk meredam
potensi konflik agar tidak berkembang menjadi yang lebih
besar. Pemerintah dan masyarakat di Jambi telah melakukan
upaya untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama
berupa dialog yang dihadiri oleh tokoh-tokoh agama melalui
suatu Forum Kerukunan Antar Umat Beragama mulai dari
tingkat kecamatan sampai tingkat propinsi. Dialog dan
pertemuan tokoh agama difasilitasi oleh pemerintah.
Menurut M. Ridwan Lubis, Kepala Puslitbang Kehidupan
Beragama dalam acara Lokakarya Penyiar Agama se Propinsi
Jambi, dialog antar umat beragama merupakan keharusan,
karena hanya dengan cara inilah, kerukunan antar pemeluk
agama bisa diwujudkan.
Konflik-konflik antar umat beragama sebagian besar,
sesungguhnya bukan berasal dari ajaran-ajaran agama. Ada
berbagai faktor, dari masalah ekonomi hingga kesenjangan
sosial, yang memicu konflik-konflik yang kemudian
mengatasnamakan agama. Pada dasarnya, semua agama
menerima pluralitas, karena kenyataan faktual yang tak dapat
dibantah.
127
Dialog ini harus berangkat dari dua hal. Pertama, umat
beragama harus betul-betul bersedia hidup bersama dengan
damai. Supaya mereka dapat mengembangkan toleransi
positif. Umat agama lain tidak hanya dibiarkan tapi dihargai
untuk dapat hidup sesuai dengan ajaran agamanya. Secara
tradisional sebenarnya itu sudah ada, tapi sering tertutupi
oleh gejolak transformasi sosial dan pengaruh kepentingan
politik. Kedua, perlu dibedakan antara pluralisme dengan
kebenaran agama. Dengan demikian diharapkan bisa saling
menerima secara positif serta saling menghormati. Menerima
secara positif dan hormat kepada agama lain bukan berarti
harus mengatakan bahwa semua agama sama. Dengan dialog
maka dapat menumbuhkan sikap pluralis, yakni mampu
hidup dengan umat beragama yang berbeda.
Salah satu hasil kegiatan ini adalah terbentuknya
Forum Komunikasi Penyiar Agama dalam Kecamatan Kota
Baru. Forum ini beranggotakan berbagai agama yang ada di
kecamatan ini. Melalui forum ini diharapkan dapat terjalin
komunikasi antar penyiar agama dalam rangka mewujudkan
kerukunan hidup antar umat beragama.
J. Sikap Antar Kelompok tentang Pola Hubungan Sosial
(Hubungan Sosial Aantar Kelompok Keagamaan).
1. Hubungan Antar Organisasi Keagamaan.
Umat beragama di Indonesia diorganisir menurut
agamanya masing-masing, begitu juga di Jambi karenanya
diperlukan pertemuan secara berkala dalam menjaga
kerukunan hidup beragama. Pembentukan forum itu telah
terealisir mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat
propinsi. Khusus di tingkat bawah dalam hal ini tingkat
kecamatan terbentuklah Forum Komunikasi Umat Beragama
yang diketuai oleh camat setempat, wakil ketua Kepala Kantor
Agama Kecamatan, anggota semua tokoh agama yang ada di
kecamatan tersebut. Yang menarik sekertaris dipilih oleh dan
128
dari anggota forum. Tampaknya pemilihan sekertaris ini
didasarkan atas siapa yang dianggap paling lancar menangani
masalah kesekretariatan. Keberadaan forum ini tampaknya
mendapat dukungan dari semua agama.
Sebagian tokoh agama tampaknya masih enggan
berdialog dengan agama lain. Setelah dikaji ternyata tokoh
tersebut belum terbiasa berdiskusi dengan orang lain dan ada
kecurigaan bahwa bila berdebat di forum pejabat dia akan
kalah. Perasaan ini ternyata hilang dikit demi sedikit setelah
dalam dialog ternyata yang terjadi adalah suasana keakraban
yang diciptakan bersama di bawah arahan camat setempat.
Tipe kepemimpinan Camat dan Kepala KUA Kecamatan yang
demokratis tampaknya merupakan tipe kepemimpinan yang
diharapkan semua pihak.
Berkurangnya kecurigaan antar kelompok keagamaan
terjadi setelah antar mereka saling bertemu baik dalam Forum
Kerukunan Antar Umat Beragama maupun dalam kegiatan
lain seperti gotong royong, perayaan hari besar nasional,
maupun hari besar keagamaan yang diadakan di kecamatan,
maupun hubungan pribadi. Khusus hubungan pribadi di sini
terjadi karena merasa warga dalam satu kecamatan atau desa
dan bahkan merasa senasib sepenanggungan.
Kenyataan di atas didukung oleh hasil angket yang diedarkan
kepada perwakilan tokoh agama (Islam, Katholik, Protestan,
Hindu, Budha), tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan,
pemuda, dan tokoh wanita. Hasilnya terlihat bahwa
masyarakat Jambi sebagian besar setuju berhubungan dengan
sesama manusia meskipun berbeda etnik, budaya, suku, dan
agama.
Kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan
Jambi pada khususnya bersifat hetrogen baik dari segi agama,
etnis, budaya, dan agama. Hal ini merupakan potensi umat
dan kekayaan bangsa yang harus disyukuri, apabila
dilaksanakan
dengan
baik
akan
menjadi
potensi
pembangunan sebaliknya apabila tidak dilaksanakan dengan
129
baik akan menjadi penghambat pembangunan (konflik).
Dalam kehidupan sekarang dengan adanya perubahan di
segala sektor (era Reformasi) akan berdampak negatif apabila
tidak diiringi dengan penegakan supermasi hukum yang
harus ditegakan di dalam kehidupan bermasyarakat agar
hidup menjadi tertib, rukun, dan harmonis, serta terhindar
dari konflik yang membawa kepada disintegrasi bangsa.
Penegakan supermasi hukum tidak akan berjalan
sebagaimana mestinya, jika situasi dan kondisi kehidupan
politik bangsa Indonesia tidak kondusif. Sejak era reformasi
digulirkan pada Desember 1998 hingga kini di Jambi masih
tergolong daerah aman dan terkendali, namun riak-riak
gejolak sosial politik dan ekonomi masih terjadi di beberapa
daerah kabupaten/kota di Jambi dan hal tersebut telah dapat
dikendalikan.
Kenyataan ini tampaknya sesuai dengan hasil angket
tentang pertemanan dengan semua orang meskipun berbeda
agama, suku, etnik, dan budaya. Hasilnya menunjukan
bahwa masyarakat Jambi sebagian besar setuju bergaul
dengan semua orang meskipun berbeda agama, suku, etnik,
dan budaya; namun potensi tidak setuju juga ada meskipun
kecil saja.
Potensi itu terangkat dari berbagai hasil wawancara
dari berbagai tokoh maupun warga masyarakat dalam
beberapa hal yaitu:
a. Masalah pendirian tempat ibadah khususnya gereja.
Bagi selain Kristen berpedoman pada SKB Menteri
Agama dan Mendagri Tahun 1979 yang ditindaklanjuti oleh
Edaran Gubernur Jambi bahwa tempat ibadah bias dibangun
bila di sekitar tempat itu ada 40 KK orang Kristen. Untuk
Jambi tampaknya sulit terealisir, karena kebanyakan orang
Kristen bertempat tinggal membaur dengan orang Muslim,
sangat jarang orang Kristen yang hidup mengelompok
tersendiri sesama mereka. Akibatnya mendirikan tempat
130
ibadah di sekitar komunitas orang Muslim meskipun harus
memakai berbagai macam siasat antara lain:
 Membeli tanah orang Muslim di pinggiran desa (biasanya
sedikit di atas harga pasaran) pertama untuk rumah,
kemudian untuk tempat kebaktian dan lama kelamaan
dijadikan gereja.
 Komunitas orang Muslim yang kumuh tidak ada jalan
dibikin jalan oleh orang Kristen dan ada beberapa orang
(biasanya beberapa tokoh yang agak ditakuti namun tidak
taat) diberi bantuan materiil, kemudian di pinggir jalan
tersebut dibangun gereja. Orang Muslim yang lain (yang
tidak dapat bantuan) memusuhi pihak Kristen dan pihak
Muslim yang dapat bantuan materiil tadi.
b. Masalah pelaksanaan kebaktian.
Kebaktian Kristen yang dilakukan di rumah orang
Kristen yang terletak di komunitas orang Muslim dengan
mendatangkan warga Kristen dari tempat lain, akibatnya
lingkungan tersebut menjadi resah. Setelah diamati keresahan
itu disebabkan oleh berbagai hal, antara lain:
 Warga Kristen yang datang ke tempat itu banyak yang
tidak dikenal oleh orang Muslim di mana rumah yang
dijadikan tempat kebaktian berada.
 Kebaktian tersebut dengan cara bernyanyi yang bagi
kebanyakan orang Muslim kurang setuju karena pendapat
mereka “ibadah kok sambil nyanyi- nyanyi”
 Sikap warga Kristen yang datang dari tempat lain rata-rata
agak kurang bersahabat dengan warga Muslim setempat.
Jalan keluar yang ditempuh biasanya orang Muslim
melaporkan ke aparat pemerintah setempat dan tokoh agama
Islam setempat. Aparat pemerintah meneruskan laporan ke
Camat, sedangkan tokoh agama meneruskan laporan ke
Kepala KUA Kecamatan. Kedua pejabat tersebut kebetulan
adalah ketua dan wakil ketua Forum Antar Umat Beragama.
Akhirnya semua tokoh agama dan aparat pemerintah di mana
131
kejadian itu terjadi dipertemukan untuk dicari jalan keluar
yang terbaik. Jalan keluarnya antara lain kebaktian itu harus
dilakukan di tempat ibadah bukan di rumah, tetapi bila pesta
perkawinan ala Kristen boleh dilakukan di rumah.
Jalan keluar ini sementara dapat memuaskan ke dua
belah pihak, namun masih terdapat ganjalan yang berat bagi
kaum Kristen yaitu mendirikan tempat ibadah tetap sulit bila
harus memenuhi persyaratan 40 KK di sekitar rumah ibadah
yang akan dibangun.
2. Hubungan Antar Organisasi Keagamaan Pemuda
Organisasi keagamaan pemuda di Jambi tidak menonjol.
Hubungan antar pemuda tampaknya didasari oleh selain
organisasi keagamaan seperti: partai politik, karang taruna,
sekolah, pekerjaan, pertandingan olah raga, dan kesenian.
 Partai politik, karang taruna, wadah ini tampaknya tidak
terlalu memandang agama artinya agama apa saja asal
mereka mau masuk di dalamnya tidak ditolak.
 Sekolah, yang dimaksud di sini adalah sekolah umum non
agama. Pergaulan antar pemuda yang berlainan agama
tampak tidak terjadi hambatan, terbukti belum pernah ada
perkelahian
antar
pemuda/siswa
SLTA
yang
dilatarbelakangi perbedaan agama.
Karang Taruna, organisasi yang tidak terlalu menyentuh
kepentingan pemuda namun ada di setiap desa karena
difasilitasi dari pusat anggotanya dari berbagai macam agama,
dan ketua atau pengurusnya dipilih secara demokratis dalam
arti tidak harus dari agama tertentu.
3. Pekerjaan
Bidang pekerjaan tampaknya hampir tidak ada
pertimbangan masalah agama dalam arti agama apapun bisa
menjadi kawan sekerja, contoh kasus dealer alat berat. Pemilik
132
perusahaan orang China, sopir/operator
karyawan Jawa, Melayu, Minang.
orang
Batak,
4. Pertandingan Olahraga
Arena ini benar-benar didasari keahlian dan
kewilayahan, maksudnya dari desa mana atau kecamatan
mana, kabupaten mana; bukan dari agama apa, suku mana.
Hal ini tampak dari hasil pengamatan, ada ‘bos’ bola orang
Kristen, padahal pemain dan suporter hampir seluruhnya
orang Muslim. Interaksi antar mereka tampak akrab, penuh
kewajaran, dan penuh kesetiakawanan.
5. Kesenian
Bidang ini juga tidak ada batasan tentang agama
tertentu. Organ tunggal (kesenian yang merakyat di seluruh
Jambi) misalnya, yang ikut berpartisipasi menyanyi dangdut
siapa saja yang mau naik panggung tanpa ditanya dari agama
dan suku mana mereka. Siapapun mereka yang suara dan
gayanya menarik menurut penonton mendapat applaus dari
penonton tanpa melihat dari agama mana dia berasal.
Potensi pemuda dari berbagai agama sangat baik untuk
dikembangkan menjadi persaudaraan bangsa dan kesatuan
bangsa. Hal ini dikuatkan dari pengamatan di Jambi bahwa
seorang pemuda itu dikatakan orang Jawa karena sehari-hari
dipanggil mas atau mbak begitu juga suku lain dikatakan
orang Batak karena dipanggil ucok atau butet, padahal banyak
orang Jawa, Batak, Bugis, Banjar, Sunda, Arab, Cina, India;
semuanya sulit berbahasa suku bangsanya tetapi lancar
berbahasa Melayu/Indonesia aksen Jambi.
Kerukunan dalam kenyataannya di Jambi dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Kerukunan Intern Umat Beragama
Kerukunan intern umat beragama tampak terjadi
kekurangrukunan
dalam
hal
ketidaksamaan
dalam
133
melakukan ritual, sebagai contoh orang Muslim yang ada di
propinsi ini terdapat berbagai model, antara lain:
 Antara semua paham dalam Islam (NU, Muhammadiyah,
LDII, Jamaah Tariqot) dengan Jamaah Tabligh yang oleh
masyarakat disebut “Jamaah Kompor” karena ke manamana selalu membawa beras dan kompor. Jamaah Tabligh
dalam perilaku sehari-hari berlainan dengan jamaah
lainnya seperti bentuk pakaian (selalu memakai gamis,
surban, kain sarung di atas mata kaki), memelihara
jenggot sampai panjang, Dalam satu tahun minimal harus
tabligh dengan biaya sendiri dengan cara meninggalkan
anak isteri minimal empat hari, dan bagi yang sudah
tingkatan lanjut sampai empat bulan.
 Antara semua aliran dengan LDII/Islam Jamaah. Islam
Jamaah memang membiarkan orang Islam lainnya (selain
Islam Jamaah) sholat di masjid, musholla mereka, namun
setelah selesai tempat itu dibersihkan dengan cara dipel
karena tempat yang dimasuki selain Islam Jamaah
menjadi kotor.
Perselisihan paham itu tidak sampai menimbulkan
konflik terbuka, hanya sebatas ‘rasan-rasan’. Bagi Kristen yang
tampak di permukaan kasusnya sebagai berikut:
 Protestan Karismatik menganggap babtis yang hanya
diperciki air belum dibabtis, baptis menurut mereka harus
dimandikan.
 Tempat kebaktian. Ada orang bertetangga sama-sama
Kristen tetapi tempat beribadahnya selalu berlainan,
maksudnya orang desa A belum tentu beribadah di gereja
di desa A tadi, bisa di desa lain yang kadang-kadang
jaraknya lebih 25 km. Penyebabnya adalah berlainan
paham, yang satu berpaham A, yang lain berpaham B
yang tidak mungkin disatukan dalam ritual dan paham
itu sudah sejak nenek-nenek mereka dulu.
134
b. Kerukunan Antar Umat Beragama
Kerukunan antar umat beragama di Jambi relatif
rukun, hal ini terbukti belum pernah terjadi konflik terbuka
antar umat beragama, namun potensi konflik tampak selalu
ada. Potensi konflik telah banyak diuraikan di muka. Potensi
ini akan semakin hilang bila pemerintah dan masyarakat
menyikapi dengan bijaksana yang wujudnya antara lain:
 Pihak pemerintah selama ini sudah melakukan dialog
melalui Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, namun
frekuensinya sedikit sekali. Dalam satu tahun berkisar
satu sampai tiga kali dan tampaknya tidak dimasukan
dalam APBD baik tingkat II maupun tingkat I.
 Pihak masyarakat karena menyadari pentingnya hidup
rukun dan harmonis di lingkungannya, maka masyarakat
menciptakan mekanismenya sendiri.
c. Kerukunan Antar Umat Beragama dengan Pemerintah
Pemerintah Jambi tampaknya berusaha melayani
masyarakat-nya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
dinginkan, maka dalam hal pendirian tempat ibadah diaturlah
harus ada 40 KK di lingkungan tempat ibadah yang akan
dibangun baru bisa didirikan.
Kenyataannya ini dianggap merugikan umat selain
Muslim khususnya Kristen, sedangkan umat Muslim
berpegang pada aturan pemerintah di atas, meskipun tidak
konsekuen. Tempat ibadah berupa masjid dan langgar
mematuhi aturan tersebut, tetapi tempat ibadah berupa
musholla pribadi banyak didirikan di depan rumahnya
bahkan satu RT (biasanya 40 KK) terdapat beberapa musholla
pribadi yang ukuran dan mutunya di atas langgar.
135
Analisis
Temuan Lapangan
A. Pola Hubungan Umat Beragama pada Tataran Pribadi.
H
ubungan umat beragama di Jambi akan dianalisis
melalui berbagai pola:
1. Hubungan Pertemanan
Masyarakat Jambi meskipun terdiri dari berbagai etnik,
suku, budaya, dan agama; tampaknya diatur oleh suatu
tatanan yang disepakati bersama yaitu aturan adat. Aturan
adat yang berkaitan dengan siapa yang dimaksud orang Jambi
adalah “sudah setahun jagung di Jambi, di mana bumi dipijak di
situ langit dijunjung, ke bukit sama mendaki ke lembah sama
menurun, berkata di bawah-bawah mandi di ilir-ilir” artinya, orang
Jambi itu adalah orang yang tinggal di Jambi selama 6 bulan
136
berturut-turut, menghormati aturan masyarakat Jambi, selalu
bekerjasama dan bergotong-royong, bertutur kata penuh
sopan santun, tahu diri, dan tidak sombong.
Bila seseorang memenuhi kriteria tersebut, maka
siapapun orangnya dan apapun agamanya dapat hidup aman,
tentreram, damai, dan sejahtera di Jambi. Kaitannya dengan
agama tampaknya yang terjadi konflik tersembunyi adalah
antara orang yang beragama Islam dengan beragama Kristen,
antara orang Batak dan dengan suku lainnya (Jawa, Melayu,
Banjar, Bugis, Sunda).
Umat Islam mempunyai kewajiban menyebarkan agama
kepada orang lain demikian juga bagi kaum Kristen. Namun
bila cara penyebarannya penuh kesopanan, tidak memaksa
tampaknya masuknya seseorang ke agama tertentu tidak
dipermasalahkan.
Orang Batak Kristen termasuk kurang disukai oleh
orang Muslim dari berbagai suku. Setelah di kaji bukan karena
agama melainkan karena style nya yang kurang disukai yaitu
suara keras bila berbicara dan terus terang. Namun bila antar
mereka sudah sering terjadi interaksi akhirnya tidak menjadi
masalah.
Berdasarkan pengamatan masyarakat Jambi sudah
terjadi kawin antar suku seagama, antara Melayu-Jawa,
Melayu-Batak, Melayu-Minang, Melayu-Bugis, Melayu-Banjar
dan sebagainya, bahkan Melayu-Cina, Melayu-Arab, MelayuIndia; akibatnya anak-anak mereka tidak lagi bisa berbudaya
pada suku bapak atau ibunya, melainkan budayanya
Indonesia dengan aksen Melayu Jambi. Banyak ditemukan
orang Cina atau orang Jawa, atau orang Bugis, atau yang
lainnya yang tidak pandai lagi berbahasa bahasa bapak
ibunya, tetapi berbahasa Indonesia dialek Jambi.
2. Hubungan Ketetanggaan
Masyarakat Jambi dari agama dan suku manapun
dalam hubungan bertetangga tidak memilih kecuali etnik Cina
137
di kota. Etnik Cina di kota membuat permukiman
berkelompok sesama mereka dan biasanya dipagar tinggi,
namun etnik yang lain tidak demikian. Hubungan
ketetetanggan antara Cina dengan suku lainnya kurang
harmonis, penyebabnya tampaknya bukan masalah agama
atau bahkan suku melainkan masalah ekonomi. Cina biasa
bergerak di perdagangan dan jasa dan di rumahnya biasanya
juga merangkap gudang yang tidak bisa dibuat pagar biasa
karena keamanannya akan terganggu.
Masyarakat Jambi kebanyakan dalam sedekah (pesta
khitanan, perkawinan) dilakukan di rumah bukan di gedung.
Setelah didalami ternyata ingin melibatkan tetangga
sebanyak-banyaknya, bahkan di dua kecamatan dalam kota
Jambi melibatkan warga satu Kelurahan, entah dari etnik dan
agama mana.
Pembangunan rumah ibadah khususnya masjid atau
musholla banyak di bantu agama lain baik Kristen, Katolik,
Kong Hu Chu, Hindu, maupun Budha. Rumah ibadah yang
mendapat bantuan dari berbagai agama itu bila salah satu
pengurusnya adalah tokoh yang disegani oleh masyarakat
luas. Tampaknya partisipasi agama lain itu sebagai bentuk
interaksi antara minoritas dengan mayoritas dalam hal ini
melalui tokoh. Dengan demikian minoritas merasa
terlindungi.
3. Hubungan Antar Organisasi Politik
Masyarakat
Jambi
dalam
berpolitik
lebih
mengutamakan persaudaraan, persatuan, kesatuan, sehingga
tercapai ketenteraman, keamanan, dan kedamaian. Faktor
suku dan agama tampak tidak menjadi pertimbangan pokok
dalam memilih aspirasi politiknya.
Masalah pilpres dan pilkada masyarakat kecamatan ini
tidak suka bila ada orang yang menjelek-jelekkan orang lain
untuk meraih dukungan, hal ini disebabkan oleh:
138
 Bila perilaku saling menjelekan antara sesama calon, maka
akan terjadi ketidakrukunan, ketidakserasian, kekacauan
dalam masyarakat.
 Masyarakat Jambi sadar sepenuhnya bahwa menjelekkan
orang lain biasanya dilakukan dengan cara menunjuk yang
bersangkutan, kata orang tua kita menunjuk orang itu jelek
misalnya, jari kita hanya satu yang mengarah ke orang
tersebut, sedang tiga jari menunjuk kita sendiri. Maksud
petuah orang tua ini adalah jangan kita menjelekkan orang
lain, jangan-jangan kejelekan kita lebih banyak lagi.
4. Hubungan Antar Organisasi Kepemudaan
Organisasi keagamaan pemuda tampaknya kalah
dengan organisasi kepemudaan lainnya seperti Karang
Taruna, KNPI, Pemuda Pancasila, HMI, PMII dan sebagainya.
Penentuan bagi pemimpinya dasar pertimbangannya adalah
kemampuan, keahlian, kesalehan, kejujuran seseorang bukan
karena factor suku maupun agama tertentu.
Masyarakat Jambi dalam hal menyelenggarakan
seremonial keagamaan dapat dibagi dua :
 Seremonial yang dapat melibatkan semua pihak seperti
upacara siklus hidup, syukuran menaiki rumah baru,
kendaraan baru, lepas dari musibah, peringatan hari-hari
besar agama. Pihak mayoritas (Muslim) selalu
mengundang pihak minoritas (Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, Kong Hu Chu) dan pihak minoritaspun dating
memenuhi undangan tersebut. Tetapi bila yang
mengundang pihak minoritas tetapi tata caranya masih
menurut yang mengundang, maka pihak mayoritas yang
diundang tidak akan datang. Namun bila semua acara,
peralatan masak dan makan, semua petugas orang
Muslim, maka undangan minoritas kepada mayoritas
dipenuhi.
 Seremonial yang tidak boleh melibatkan agama lain,
sebagai contoh sholat Jum’at bagi orang Muslim, agama
139
lain sama sekali tidak boleh terlibat. Kejadian dalam
masyarakat tampaknya sudah terjadi saling pengertian,
dalam arti suara ramai melalui pengeras suara pada hari
Jum’at antara jam 11.00 wib- 13.00 wib pihak selain
muslim menyadarainya.
 Penyelenggaraan seremonial baik yang melibatkan agama
lain maupun khusus bagi agama tertentu, selalu
memperhatikan agar tidak terjadi gangguan terhadap
yang lain. Sebagai contoh, orang selain Muslim bila
mengadakan acara pasti sebelum Maghrib selesai agar
umat Muslim tidak terganggu melaksanakan ibadah
Sholat Maghrib.
Pendirian rumah ibadah di Jambi tampaknya banyak
menimbulkan potensi konflik terutama antara umat Muslim
dengan Umat Kristen. Kaum Kristen merupakan minoritas di
Jambi merasa sulit mendirikan tempat ibadah karena dalam
peraturan Pemda Propinsi Jambi disyaratkan antara lain harus
ada 40 KK di sekitar rumah ibadah yang akan didirikan.
Aturan ini dibuat oleh pihak pemerintah daerah karena
ukuran rumah ibadah orang Muslim bisa didirikan sholat
Jum’at sekaligus dikategorikan masjid bila ada 40 KK yang
kepala keluarganya laki-laki.
Sesungguhnya aturan ini bukan hanya untuk orang
Kristen saja tetapi juga untuk agama lain. Sebagai contoh akan
sangat banyak gereja maupun masjid berdiri dalam satu desa
karena 10 KK berpaham X dapat mendirikan Masjid ataupun
gereja.
5. Hubungan Antar Kelompok Agama
Antar organisasi keagamaan pada awalnya kurang
berinteraksi, namun setelah terjadi bibit-bibit konflik, maka
pihak pemerintah kecamatan berinisiatif membentuk suatu
forum yaitu Forum Kerukunan Antar Umat Beragama dengan
ketua Camat setempat dan wakil ketua Kepala KUA
Kecamatan, anggota semua tokoh agama yang ada di
140
kecamatan yang bersangkutan. Forum inilah yang digunakan
untuk mengadakan dialog antar umat beragama yang ada di
kecamatan yang bersangkutan. Tujuan dialog dirumuskan
sebagai berikut:
 Sarana untuk saling mengenal antar sesama tokoh agama.
 Bila ada masalah yang menyangkut hubungan antar
agama, dalam forum inilah dicari solusi yang terbaik untuk
semua.
 Bila ada provokator yang akan mengganggu ketenteraman
warga, maka anggota forum mencegahnya dan berusaha
menginformasikan kepada anggota lainnya.
 Forum dialog ini menurut pengakuan para tokoh yang
ditemui merupakan sarana yang efektif untuk membina
kerukunan antar agama di suatu wilayah, namun dari
pihak pemerintah tampaknya kurang sungguh-sungguh
melaksanakan-nya hal ini terbukti belum ada dukungan
sarana, biaya, peralatan yang diperlukan.
Dialog antar umat beragama ini tampaknya yang
antusias justru masyarakat, sedangkan pihak pemerintah
tampaknya lesu. Masyarakat antusias karena mereka
menyadari bila sampai terjadi konflik antar umat beragama
korban serta biayanya luar biasa besarnya, karenanya mereka
berusaha mengadakan dialog melalui camat masing-masing.
Masyarakat Jambi juga tidak setuju bila ada orang yang
merasa keyakinannya paling benar dan mengkafirkan orang
lain yang tidak sealiran apalagi tidak seagama, dan yang
demikian ini harus dilarang di Indonesia termasuk di karena
orang ini sesuai yang dikatakan pepatah adat “bercekak
pinggang menggulung lengan baju” artinya orang sombong dan
suka mengajak kelahi, merupakan sifat buruk yang tidak
boleh dilakukan di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah
(maksudnya Propinsi Jambi).
141
6. Pola Hubungan Ekonomi Umat Beragama
Masyarakat Jambi yang terdiri dari berbagai etnik, suku,
budaya, dan agama dalam kehidupan sehari-hari terutama
yang berkaitan kehidupan materi bersifat rasional. Dalam
berbisnis misalnya, bila ada orang seagama, ada pula orang
yang lain agama dan bahkan lain suku menjadi agen atau
grosser atau menjadi toke, maka mereka berbisnis kepada
orang yang memenuhi criteria : ramah, jujur, murah,
pelayanan memuaskan tidak berbelit-belit, setiap lebaran Idul
Fitri atau Natal memberi hadiah. Orang yang demikianlah
yang disenangi oleh masyarakat Jambi tanpa melihat suku
dan agama apa.
Masyarakat Jambi mempunyai tatanan yang berkaitan
dengan seorang pemimpin harus “rajo adil rajo disembah, rajo
lalim rajo disanggah” artinya seorang pemimpin itu harus adil
dan bila tidak akan mendapat perlawanan dari rakyat. Selain
itu dalam masyarakat kecamatan ini dikenal “ Berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing, duduk sama rendah berdiri sama
tinggi”. Maksud dari seloka ini adalah sesuatu pekerjaan harus
dilakukan secara bersama-sama, menghargai hakekat
kemanusiaan tanpa membedakannya.
142
Penutup
A. Kesimpulan
A
ktivitas kehidupan beragama umat Islam tidak
mengalami kesulitan atau hambatan baik dari intern
umat Islam, maupun dari umat beragama lainnya,
bahkan dapat dikatakan sangat leluasa, baik untuk ibadah
wajib maupun ibadah lainnya.Penganut agama Kristiani
menjalankan ibadah di gereja-gereja serta di rumah-rumah
penduduk yang dilaksanakan secara bergiliran dari rumah
satu ke rumah yang lainnya. Khusus untuk penganut agama
Kristen Protestan yang tergabung dalam Gereja Kristen
Protestan Jambi (GKPJ) kegiatan ibadah dilaksanakan di
rumah penduduk yang difungsikan sebagai gereja karena
tidak memiliki gereja.
143
Tingkat hubungan antar umat beragama di Kecamatan
Tungkal Ilir yang cukup rukun atau cukup harmonis.
Hubungan ini bersifat dinamis, yakni bisa harmonis atau
mengarah sebaliknya. Apabila tingkat kerukunan antar umat
beragama digambarkan dengan warna, misalnya warna hijau
berarti rukun, warna kuning kurang rukun, dan warna
merah konflik antar umat beragama, maka warna yang cocok
untuk menggambarkan tingkat hubungan antar umat
beragama di Kecamatan Tungkal Ilir adalah warna hijau tapi
mengandung unsur warna kuning. Artinya, tingkat
hubungan antar umat beragama di Kecamatan Tungkal Ilir
cukup rukun namun mengandung potensi konflik.
Faktor-faktor penyebab naik dan turunnya kualitas
hubungan antar umat beragama masyarakat adalah
pendirian, pemanfaatan rumah sebagai gereja dan
pengembangan agama secara eskpansif merupakan faktorfaktor yang dapat mempengaruhi naik dan turunnya kualitas
hubungan antar umat beragama di Kecamatan Tungkal Ilir.
Kecenderungan hubungan antar umat beragama di
Kecamatan Tungkal Ilir langsung atau tidak langsung
tergantung kepada elit politik dan elit ekonominya. Pada
tataran grass root hubungan antar umat beragama cukup
harmonis. Jika hal ini diimbangi secara positif oleh elit politik
dan elit ekonomi maka kecenderungan hubungan antar
umat beragama ke arah harmonis, rukun.
Kebijakan/program solutif dari Pemerintah yang
pernah Ada berupa langkah-langkah solutif yang pernah
dilakukan dalam rangka mencegah konflik sosial antar umat
beragama dilakukan melalui beberapa cara, yaitu membuat
penataan ruang untuk tempat-tempat ibadah, melakukan
dialog antar tokoh-tokoh agama terutama dalam hal terjadi
keresahan dalam masyarakat berkenaan dengan kehidupan
antar umat beragama, sosialisasi tentang pedoman dan
penyiaran agama, serta pembentukan Forum Komunikasi
Penyiar Agama.
144
B. Rekomendasi
Kondisi kerukunan hidup antar umat beragama di
Jambi cukup rukun namun mengandung potensi konflik.
Kepada semua pihak disarankan untuk memahami secara
bijaksana slogan adat Jambi “Adat bersendi syara’, syara’
bersendi Kitabullah, syara’ mengato adat memakai”. Bagi tokohtokoh agama Islam, slogan tersebut untuk meneguhkan iman
dan keberagamaan umatnya. Bagi tokoh-tokoh agama lain
Budha, Kristen, Katholik, dan Hindu, internalisasi nilai
slogan adat tersebut telah berurat berakar di kalangan
masyarakat Jambi, maka hendaknya bijaksana dalam
menyiarkan agama kepada masyarakat.
Penyiaran
agama
secara
ekspansif
berupa
pembangunan gereja di tempat strategis di tengah-tengah
komunitas Islam, dapat memicu ketegangan hubungan antar
pemeluk agama. Oleh karena itu pemerintah hendaknya
merealisasikan dan melakukan sosialisasi pemetaan ruangan
tempat/rumah ibadah.
Dialog konstruktif antar umat beragama hendaknya
diaktifkan guna menampung aspirasi masyarakat guna
menciptakan kerukunan hidup umat beragama. Demikian
pula Forum Komunikasi Penyiar Agama hendak
diberdayakan.
145
Daftar Pustaka
Abduh, Syuhada, 2002, Konflik-Konflik Sosial Bernuansa Agama
di Berbagai Komunitas (Kasus Kerusuhan di Purwakarta pada
Tahun 1995), Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Ali, Mursyid (Ed), 2000, Studi Keagamaan dan Kerusuhan Sosial
Profil Kerukunan HidupBeragama, Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama, Jakarta.
Azra, Azyumardi, 1998, Agama dalam Keragaman Etnik di
Indonesia, Badan Litbang Agama, Jakarta.
Daulay, M. Zainuddin, 2002, Konflik Kekerasan Bernuansa Sara
di Situbondo, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Hakim, Bashori A., 2002, Kasus Kerusuhan di Pekalongan
Menjelang Pemilu 1997, Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Harsono, Andreas, 1997, Huru-Hara Rengasdenglok, Institut
Studi Arus Informasi, Jakarta.
Husaini, Adian, 2000, Gereja-Gerja Dibakar: Membedah Akar
Konflik SARA di Indonesia, DEA-Press, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1993, Masalah Kesukubangsaan Integrasi
Nasional, UI Press, Jakarta.
Mukhtar, Ibnu Hasan, 2002, Kerusuhan Sosial di Solo; Kerusuhan
Sosial di Tegal Studi Kasus Kerusuhan Tasikmalaya (Tanggal
26 Desember 1996), Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Kecamatan Tungkal Ilir Dalam Angka 2005.
Sahetapy,
JE,
“Agama
Seharusnya
Rukun”,
www.komisihukum.go.id diakses tanggal 10 September
2005.
146
Soetrisno, Lukman, et.al, 1997, Perilaku Kekerasan Kolektif:
Kondisi dan Pemicu, Pusat Penelitian Pengembangan
Pedesaan dan Kawasan (PPPK) Yogyakarta.
Syahid, Achmad dan Daulay, Zainudin, 2001, Peta Kerukunan
Umat Beragama di Indonesia, Puslitbang Kehidupan
Beragama, Jakarta.
Suseno, Frans Magnis. “Sebagian Besar Agama Menerima
Pluralisme”, Jaringan Islam Liberal Online, diaskes
tanggal 2 September 2005.
Tholkhah, Imam dkk (Ed.), 2002, Konflik Sosial Bernuansa
Agama di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Beragama,
Jakarta.
Soeroer, Umar R., 2002, Konflik Sosial Bernuansa Sara di
Bangkalan – Madura, Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Sudjangi, 2002, Kerusuhan Sosial Bernuansa Sara (Studi Kasus)
Kerusuhan Sosial di Rengasdengklok, Kab. Karawang,
Propinsi Jawa Barat, Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Suwariyati, Titik, 2002, Kerusuhan Sosial Bernuansa Sara (Studi
Kasus) Kerusuhan Sosial di Rengasdengklok, Kab. Karawang,
Propinsi Jawa Barat, Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Harian Umum Media Indonesia, Edisi 5 September 2005.
Harian Umum Media Indonesia, Edisi 25 September 2005.
http://www.suara karya.online.com. Kamis, 8 September
2005.
http://www.pbb-iainjakarta.or.id. Radikalisme Agama (FPI,
FKAWJ, MMI, dan HAMMAS) dan Perubahan Sosial di DKI
Jakarta. Diakses tanggal 10 September 2005.
147
148
BAGIAN 5
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN
BANYUASIN SUMATERA SELATAN
Tim Peneliti
H. M. Adlin Sila, S.Ag., MA
Dra. Suhanah, M.Pd.
H. Zabidi
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
ebijakan pemerintah Orde Baru yang men-fokuskan
pembangunan di bidang ekonomi mengaki-batkan
membanjirnya modal asing dan pesatnya pertumbuhan
industrialisasi dan modernisasi, ter-utama di perkotaan yang
sangat menguntungkan pengusaha dan pedagang. Sementara
sektor pertanian termasuk sektor perkebunan yang menjadi
andalan hidup masyarakat, menjadi kurang menarik dan
kurang menjanjikan dari segi ekonomi. Akibatnya kemiskinan
di pedesaan dan urbanisasi besar-besaran dari desa-desa ke
perkotaan, konsentrasi kelompok migran dari pedesaan yang
tidak memiliki ketrampilan, kemudian menjadi kelompok
marginal di perkampungan kumuh di perkotaan. Lebih jauh
kebijakan ekonomi tersebut mengakibatkan kesen-jangan
sosial antar masyarakat dan menjadi rawan konflik. Apalagi
K
150
bila kesenjangan itu kemudian berakumulasi dengan faktorfaktor lain yang bersifat psikologis dan teologis seperti
perbedaan etnis dan agama. Kondisi yang sangat rentan itu
kemudian bersinggungan dengan permasalahan yang bersumber dari perbedaan kepentingan politis, ekonomis, etnis dan
agama, maka merupakan lahan subur meletusnya kerusuhan
sosial. (Sistem Siaga Dini, Balitbang Agama, 1999).
Kerusuhan sosial dapat terjadi diakibatkan ketidak
harmonisan hubungan antar umat beragama yang dilatar
belakangi oleh nilai-nilai atau acuan yang berbeda-beda sesuai
dengan kebudayaan, etnis dan agama masing-masing. Namun
demikian kerukunan bisa terjadi apabila diantara mereka yang
berbeda agama, etnis dan kebudayaan itu saling membutuhkan, saling menghargai perbedaan, saling tolong menolong,
saling membantu dan mampu menyatukan pendapat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kajian tentang
Kerukunan Beragama di Lingkungan Masyarakat Perkebunan
ini dipandang perlu dilakukan.
B. Kerangka Pemikiran
Yang menjadi sasaran penelitian ini adalah kelompok
masyarakat yang berada di Kompleks perkebunan PTPN VII
unit Usaha Musilandas Kabupaten Banyuasin Kota
Palembang.
Kerukunan umat beragama adalah terciptanya suatu
hubungan yang harmonis dan dinamis serta rukun dan damai
di antara sesama umat beragama, yaitu hubungan harmonis
antara sesama umat satu agama dan umat berbagai agama
serta antara umat beragama dengan pemerintah, dalam usaha
memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa
serta
meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun
151
masyarakat sejahtera lahir dan bathin. (Proyek Pembinaan
Kerukunann Hidup Beragama, 1989/1990).
Menurut salah seorang pengurus Masjid yang berada
di PTPN VII Musilandas mengatakan bahwa kriteria hidup
rukun adalah tidak pernah ada pertengkaran dalam hidup
bertetangga.
Umat beragama adalah penganut suatu agama yang
berkembang di masyarakat, seperti : Islam, Kristen, Katolik,
Hindu dan Budha. Sedangkan agama itu sendiri dapat
diketahui dari tiga aspek yaitu aspek kepercayaan, aspek
peribadatan, dan aspek sosiologis. Dari ketiga aspek tersebut
aspek sosiologislah yang dapat memiliki hubungan antar
sesama umat beragama. Ronald Robeertson menga-takan
bahwa agama adalah suatu sistem kesatuan dari keyakinan
dan praktek-praktek yang bersifat relatif terhadap hal-hal
yang sacred yakni segala sesuatu yang dihindari atau
dilarang.
Masyarakat adalah kumpulan manusia dalam arti
seluas-luasnya yang terkait oleh suatu kebudayaan yang
mereka pandang sama. (Koentjoroningrat, dkk, 1984:111).
Pendapat lain mengatakan bahwa masyarakat adalah
sistem tempat berlangsungnya interaksi antar komponen, baik
individual, kelompok maupun antar lembaga. Mereka dapat
hidup saling bergantungan, saling mempengaruhi, saling
memelihara dan saling menghargai dalam komunitas sosial
yang terbentuk berdasarkan ikatan norma-norma dan nilainilai yang diakui, ditaati dan dianut serta dijadikan acuan
bersama dalam berprilaku dan berinteraksi sosial dalam
hidup kesehariannya. (Kontribusi Agama Dalam mewujudkan
Multikulturalisme Di Indonesia, 2004:6)
Adapun masyarakat perkebunan yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah sekumpulan manusia yang mata
152
pencaharian utama guna memenuhi kebutuhan hidupnya dari
perkebunan. Dan mereka dapat hidup berdampingan dalam
satu kompleks perumahan milik perusahaan PTPN VII
Musilandas yang tentunya tidak terlepas dari berinteraksi
dengan sesama tetangganya yang bekerja dalam satu profesi
dan pimpinan yang sama. Walaupun mereka berbeda agama
tetapi dapat hidup damai, aman dan saling bekerja sama
dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
153
Gambaran Umum
Wilayah Penelitian
A. Geografis dan Demografis
P
erusahaan Perkebunan PTPN VII unit Usaha
Musilandas terletak di Kecamatan Banyuasin III
Kabupaten Banyuasin dengan lingkungan desa air batu,
Purwosari, Rawa Maju dan desa Karang Anyar. Perusahaan
ini jaraknya dengan Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan
Palembang 20 Km arah rute Palembang Jambi.
Kecamatan Banyuasin III merupakan salah satu
Kecamatan dari sebelas Kecamatan yang berada di Kabupaten
Banyuasin. Kabupaten ini terletak di antara 104o 16'29" sampai
dengan 104o38'02" Bujur Timur dan 2o18'00" sampai dengan
3o06'16" Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah sebagai
berikut: sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Pulau
Rimau, sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Rantau
Bayur, sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Betung
154
dan sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Talang
Kelapa.
Luas wilayah Kabupaten Banyuasin sekitar 11.832,99
Km dengan jumlah penduduk seluruhnya mencapai 712.813
jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 268.231 jiwa dan
penduduk perempuan 444.582 jiwa. (Laporan tahunan Kantor
Departemen Agama Kabupaten Banyuasin, 2004).
Sedangkan luas wilayah kecamatan Banyuasin III dan
jumalh penduduknya bisa dilihat dalam tabel sebagai berikut:
No Nama
Desa/Kelurahan
(1)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
(2)
Galang Tinggi
Petaling
Sidang Mas
Ujung Tanjung
Rimba Alai
Terantang
Tanjung Beringin
Perlajau
Sukaraja
Regan Agung
Pelajau Ilir
Lubuk Saung
Mulya Agung
Pangkalan balai
Seterio
Sri Bandung
Tanjung Menang
Suka Mulia
Luas
Wilayah
(3)
24,27
26,00
18,40
24,00
22,50
30,00
29,0
32,00
32,00
32,00
18,00
29,00
15,00
64,00
28,00
22,50
25,00
15,00
Jumlah
Pendud
uk
(4)
2.245
1.853
1.669
1.729
913
1.069
1.207
1.320
1.127
1.260
538
1.336
1.442
13.906
3.836
1.500
1.323
761
Kepadatan
Penduduk/
km2
(5)
92
71
90
72
41
36
42
41
35
39
30
46
96
217
137
67
53
51
155
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
Kayuara Kuning
Tanjung Agung
Pangkalan Panji
Langkan
Pulau
Lalang Sembawa
Rejodadi
Mainan
Limau
Purwosari
Tanjung Kepayang
Limbang Mulya
Suka Makmur
Pulau Muning
12,50
2.098
168
24,00
556
23
21,00
3.333
159
45,00
4.440
99
54,00
5.669
105
70,00
6.055
87
33,00
3.115
94
39,42
6.884
175
45,72
1.927
42
7,58
1.999
264
10,00
729
73
8,28
680
82
8,50
774
91
8,50
284
33
874,17
77.573
89
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyuasin
B. Sosial Ekonomi, Budaya dan Pendidikan
Sesuai dengan jenis lapangan usaha di Kabupaten
Banyuasin III, sektor pertanian merupakan yang terbesar
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Kehidupan
ekonomi penduduk Kabupaten Banyuasin tercermin dari
kegiatan perekonomian yang mereka kerjakan. Kegiatan
perekonomian penduduknya dapat digolongkan ke dalam
beberapa jenis lapangan kerja yaitu bidang pertanian,
pertambangan dan penggalian, industri, listrik, gas dan air
minum, perdagangan, bangunan, angkutan, komunikasi,
keuangan dan jasa. Berbagai jenis lapangan pekerjaan tersebut
dikelola oleh sejumlah perusahaan, baik swasta maupun
pemerintah. Untuk kelancaran lapangan usaha pekerjaan
tersebut, pihak pemerintah maupun swasta menyediakan
156
fasilitas-fasilitas berupa: pertokoan, pasar, kios, warung,
rumah makan, angkutan umum, tempat tinggal, perbankan,
koperasi, puskesmas, rumah sakit umum, sarana pendidikan
dan sarana-sarana lainnya.
Untuk
meningkatkan
kesehatan
masyarakat
Kabupaten Banyuasin III ini diperlukan koordinasi yang
seimbang antara Pemerintah dan masyarakat, salah satunya
adalah upaya pemerintah untuk mewujudkan masyarakat
yang sehat adalah dengan pengadaan sarana dan prasarana
kesehatan dan tenaga medis yang memadai, sehingga
layanannya mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat
sampai ke pelosok pedesaan.
Dengan
adanya
upaya
pemerintah
tersebut
diharapkan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan
sarana dan prasarana yang ada semakin meningkat. Sejalan
dengan usaha pemerintah tersebut jumlah sarana pelayanan
dan peningkatan tenaga medis. Di Kecamatan Banyuasin III
ini terdapat 2 (dua) Puskesmas yaitu Puskesmas Pangkalan
Balai dan Puskesmas Sembawa. Keberadaan Puskesmas
tersebut dilengkapi dengan adanya Puskesmas pembantu di
beberapa desa dan adanya bidan desa diseluruh desa yang
dalam Kecamatan Banyuasin III ini diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat Kecamatan Banyuasin III
akan kesehatan.
Jumlah tenaga medis dan paramedis di Kecamatan
Banyuasin III selalu mengalami perkembangan, khususnya
tenaga Bidan paling dominan yaitu 52 bidan, hal ini tidak
lepas dari program Pemerintah untuk menempatkan Bidan
disetiap desa. Adapun jumlah tenaga medis dan paramedis di
Kecamatan Banyuasin III yang terdiri dari Dokter Umum,
Dokter Gigi, Bidan, Perawat, Sanitarian dan lain sebagainya
berjumlah 104 tenaga kesehatan.
157
Bertambahnya
kesadaran
masyarakat
untuk
melakukan usaha yang preventif kesehatan salah satunya
dengan jalan vaksinasi, antara lain dari data yang ada di
Puskesmas Pangkalan Balai dan Puskesmas Sembawa
vaksinasinya sebagai berikut : BCG, DPTI, DPT2, DPT3, TT1,
TT2, TT3, TT4, TT5 , Polio 1, Polio 2, Polio 3, Polio 4 dan
Campak.
Di samping penyediaan sarana dan prasarana
kesehatan, hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah
penyakit yang timbul dalam masyarakat. Penyakit yang
berjangkit dalam masyarakat adalah penyakit tradisional yaitu
penyakit yang dominan berkembang di Kecamatan Banyuasin
III yang mudah menular yaitu Diare, Pnemonia, TBC, dan
Malaria. Masih tingginya penyakit Diare yaitu mencapai 2.274
penderita disebabkan masih kurangnya kesadaran masyarakat
dalam hal kebersihan terutama dalam penggunaan air bersih.
Salah satu usaha Pemerintah untuk menanggulangi masalah
tersebut perlu dilakukan dengan penambahan sarana untuk
mendapatkan air bersih dan sarana penunjang untuk
terciptanya kebersihan lingkungan terutama di desa yang
rawan penyakit tersebut.
Pentingnya pendidikan dewasa ini merupakan salah
satu refleksi tingkat kemajuan kehidupan dan kesejahteraan
suatu daerah. Dengan pendidikan diharapkan dapat
meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna
menunjang pembangunan daerah. Pemerintah hingga saat ini
sangat memperhatikan pengembangan pendidikan dengan
mengadakan sarana serta prasarana pendidikan, penambahan
jumlah sekolah dan guru secara langsung memberikan
kesempatan lebih besar bagi masyarakat untuk memperoleh
pendidikan.
158
Pada tingkat sekolah Dasar baik Negeri maupun
swasta jumlah sekolahnya adalah 68 sekolah dengan jumlah
guru mencapai 589 dan murid 10.594 siswa, sedangkan untuk
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama baik Negeri maupun
Swasta jumlah sekolahnya 10 buah, jumlah gurunya mencapai
273 orang dan murid mencapai 3.169 siswa dan Sekolah
Menengah Umum baik Negeri maupun swasta jumlah
sekolahnya 5 sekolah, jumlah guru mencapai 146 orang dan
jumlah murid mencapai 1.555 siswa. Sekolah kejuruan swasta
jumlah sekolahnya 3 buah, jumlah gurunya 48 orang dan
jumlah muridnya mencapai 442 siswa. Adapun jumlah
fasilitas pendidikan tersebut khususnya Sekolah Dasar
tersebar hampir diseluruh desa di Kecamatn Banyuasin III,
sedangkan untuk SLTP, SMU, SMK sebagian besar terletak di
Kota Pangkalan Balai.
Disamping jumlah sekolah, sarana pendidikan lain
yang tidak kalah pentingnya adalah tenaga pengajar yang
mencukupi, karena kurangnya tenaga pengajar secara
langsung akan mempengaruhi kualitas pendidikan tersebut.
Dilihat dari rasio murid terhadap guru atau perbandingan
jumlah murid dan guru, untuk tingkat Sekolah Dasar rasio
murid terhadap guru 17,99% artinya setiap satu orang guru
dapat mengajar 18 orang siswa, sedangkan rasio murid
terhadap guru untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama dan Sekolah Lanjutan Menengah Umum masingmasing sebesar 11,61 % dan 10,65%. (Banyuasin III Dalam
Angka, Koordinator Statistik Kecamatan Banyuasin III
Kabupaten Banyuasin, BPS 2003)
Pengadaan sekolah tersebut sangat diperlukan
khususnya untuk daerah pedesaan yang berada dipelosok
karena trasportasi untuk menuju sekolah terdekat sangat sulit
dan memerlukan waktu yang relatif lama. Untuk sekolah
159
Menengah Umum Negeri di Kecamatan Banyuasin III hanya 1
buah dan terletak di Kota Pangkalan Balai sehingga
khususnya daerah pedesaan yang cukup jauh dari pangkalan
Balai menjadi salah satu kendala masyarakat untuk
menjangkau sarana pendidikan tersebut.
Pembangunan Nasional maupun daerah tetap di
prioritaskan pada sektor Pertanian yang diharapkan mampu
mendukung pembangunan sektor lain. Kecamatan Banyuasin
III dengan jumlah penduduk 77.573 jiwa yang tersebar di 28
desa, 1 Kelurahan dan 3 Desa Persiapan /UPT sebagian besar
penduduk mata pencahariannya adalah sebagai Petani. Untuk
lebih jelas perkembangan sektor pertanian yang dibagi
menjadi beberapa sub sektor antara lain: a. Tanaman bahan
makanan, realisasi produksi di Kecamatan Banyuasin III pada
tahun 2003 berjumlah 5.322,7 Ton dengan luas panen 1.717
hektar atau rata-rata 3,1 ton perhektar. Jumlah produksi padi
di Kecamatan Banyuasin III hanya menyumbangkan 1,6%
untuk produksi padi Kabupaten Banyuasin yang sebesar
457.457 Ton. Kecilnya produksi padi di Kecamatan ini yang
hanya 1,16 % dari total produksi padi kabupaten Banyuasin
disebabkan berbagai faktor, salah satunya adanya perubahan
lahan tanaman padi menjadi lahan perkebunan.
Adapun luas lahan untuk jagung, ubi, jala, kacang
tanah dan kacang hijau seluas 213 Hektar dengan produksinya
17.122,83 ton. Untuk luas panen kacang Panjang, cabai, Tomat,
Terong, Ketimun, kangkung, bayam dan Buncis adalah 230
Hektar dan produksinya 1.363,9 ton. Serta luas panen dan
produksi untuk mangga, jeruk, sawo, durian, duku,
cempedak, jambu biji, rambutan, pisang adalah 154,6 hektar
dan 1.7126,74 ton.
Perkebunan di Kecamatan Banyuasin III terdiri dari
perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Perkebunan besar
160
terdiri dari perkebunan Negara, Swasta Nasional dan swasta
Asing meliputi komoditi karet dan Kelapa Sawit. 2 komoditi
ini berpotensi di kembangkan di Kecamatan Banyuasin III.
Untuk produksi karet di Kecamatan Banyuasin III sebesar
39.193,81 ton atau sekitar 39,9 % dari total produksi karet
Kabupaten Banyuasin, untuk produksi kelapa sawit
Kecamatan Banyuasin III sebesar 7.500 ton atau sekitar 20,32 %
produksi kelapa sawit kabupaten Banyuasin.
C. Kehidupan Keagamaan
Penduduk yang berada di Kabupaten Banyuasin III
mayoritas menganut agama Islam mencapai 717.810 jiwa,
selebihnya menganut agama Kristen 5.443 jiwa, Katolik 2.235
jiwa, Budha 4.785 jiwa, dan agama Hindu 2.056 jiwa.
Kehidupan keagamaan di wilayah ini dapat dikatakan cukup
marak, bukti kemarakannya terlihat dari banyaknya sarana
ibadah yang ada yang merupakan salah satu tempat umat
beragama melakukan kegiatan keagamaan, seperti: terdapat
majelis taklim 399 buah, masjid 822 buah, mushalla 391 buah,
langgar 211 buah, gereja 30 buah, pura 4 buah, wihara 2 buah .
Selain itu terdapat beberapa pondok pesantren, Ulama,
Muballigh, Khatib, penyuluh agama fungsional dan penyuluh
agama honorer. Dengan melihat banyaknya sarana ibadah
tersebut, tentunya aktivitas keagamaan cukup tinggi dan
kerukunan antar umat beragamanya cukup baik dan toleran.
Upaya
dari
para
pemuka
agama
untuk
dapat
mempertahankan Kerukunan
Antar Umat Beragamanya
cukup kuat dan terjaga dengan baik, sehingga hubungan antar
umat beragama dapat berjalan aman dan damai, saling hormat
menghormati, harga menghargai walaupun berbeda agama,
etnis dan budayanya.
161
Profil Perusahaan Perkebunan
PTPN VII Musilandas
A. Sejarah Singkat Perusahaan Perkebunan PTPN VII
Musilandas
P
emerintah Hindia Belanda semula menetapkan centra
perkebunann di Pulau Jawa dan selanjutnya sesuai
perkembangan zaman diwaktu itu, maka kebijaksanaan
yang semula tercentra di Pulau Jawa kemudian diadakan
expansi ke luar Jawa. Salah satu perusahaan perkebunan milik
maschapai Nederlands Indiche mempunyai lahan di
Musilandas Sumatera Selatan. Maka pada tahun 1926
didirikanlah pusat perkantoran perusahaan dengan komoditi
perkebunan karet. Sejalan dengan perkembangan zaman pada
tahun 1957 dengan dideklarasikannya Trikora oleh
162
pemerintah Indonesia, maka ex perusahaan Belanda terkena
Nasionalisasi. Perkembangan Badan Usaha Perkebunan
Musilandas era nasionalisasi sebagai berikut : 1. pada tahun
1958 sampai dengan tahun 1969 bernama PPN Karet IX, 2.
pada tahun 1969 sampai dengan tahun 1980 bernama PN P X,
3. pada tahun 1980 sampai dengan tahun 1996 bernama PTP X
dan pada tahun 1996 sampai dengan sekarang bernama PTPN
VII Musilandas (Profil PTPN VII Musilandas, Pebruari 2005).
B. Kontribusi Perusahaan dan Sumber Daya Manusianya
Keberadaan perusahaan Perkebunan PTPN VII
Musilandas telah banyak memberikan kontribusi kepada
negara dan daerah setempat , berupa : 1) Pajak Bumi dan
Bangunan; 2) PPN; 3) PPH pasal 21; 4) Commodity Of
Development; 5) Kesempatan kerja kepada masyarakat
setempat dan bantuan-bantuan lainnya.
Pada umumnya tenaga kerja yang ada di PTPN VII
Musilandas ini adalah masyarakat yang berdomisili di sekitar
unit Usaha Musilandas dan masyarakat yang berasal dari luar
Sumatera. Pegawai yang bekerja di perusahaan ini mayoritas
berasal dari suku jawa dan selebihnya dari suku Sumatera.
Latar belakang pendidikannya terdiri darikebanyakan
tamatan SD, SMP. SMA dan jarang sekali yang berpendidikan
dari perguruan tinggi. Komposisi karyawan dapat
digolongkan menjadi : golongan 1a sebanyak 550 orang;
golongan 1b sebanyak 129 orang; golongan 1c sebanyak 5
orang; golongan 1d sebanyak 11 orang; golongan IIa sebanyak
30 orang; golongan II b sebanyak 21 orang; golongan II c
sebanyak 3 orang ; golongan II d sebanyak 4 orang; golongan
III a sebanyak 2 orang; golongan III b sebanyak 3 orang;
golongan IIIc sebanyak 1 orang; dan golongan IV c sebanyak
1 orang. Jumlah seluruh karyawannya ada 761 orang termasuk
163
seorang Manager atau pimpinannya yang bernama Ir. H.
Musyafak (Profil PTPN VII Musilandas, Pebruari 2005).
C. Fasilitas yang tersedia di Perusahaan PTPN VII
Musilandas adalah :
1. Bangunan Perusahaan yang terdiri dari:
a. Kantor sentral;
b. Kantor Apdeling;
c. Gudang Produksi;
d. Pabrik ;
e. Kamar Mesin;
f. Limbah Trap;
2. Sarana Sosial
Beberapa fasilitas yang ada di Unit usaha Musilandas
dan dapat dimanfaatkan oleh pekerja bersama
keluarganya adalah sebagai berikut:
a. perumahan Staf dan perumahan bulanan;
b. sarana pendidikan dari Tingkat SD sampai dengan
SMP;
c. sarana peribadatan meliputi: Mesjid, Mushalla,
dan Gereja;
d. sarana kesehatan yang diberi nama PUSKESBUN;
e. sarana olah raga meliputi: lapangan sepak bola,
lapangan Volly dan lapangan Bulutangkis;
f. kesenian.
164
Interaksi Sosial Antar
Umat Beragama
A. Interaksi Sosial Intern Umat Beragama
S
ebagaimana kita ketahui bahwa Interaksi sosial
merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, tanpa
interaksi sosial maka tidak akan mungkin ada
kehidupan bersama. Menurut Soejono Soekanto, interaksi
sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis dan
menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok
maupun antar individu dengan kelompok lainnya. Interaksi
sosial akan terjadi jika ada kontak sosial dan ada komunikasi
antar pelaku interaksi.
165
Interaksi sosial bila dilihat dari bentuknya dapat
berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition) dan
dapat juga berbentuk pertentangan (conflict). (Soejono
Sukanto, Sosiologi suatu pengantar, 2003: 61). Sedangkan
integrasi adalah sebagai suatu proses dimana kelompokkelompok sosial dalam masyarakat saling menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan hubungan-hubungan
sosial, ekonomi dan politik. Kelompok-kelompok sosial
tersebut dapat terwujud atas dasar agama, suku dan
golongan.
Interaksi sosial antara umat Islam dengan umat Islam
itu sendiri yang berada di Perumahan milik perusahaan PTPN
VII Musilandas dapat dilakukan pada wadah majelis taklim di
Mesjid dalam memperingati kegiatan hari-hari besar Islam
seperti perayaan Isra' ma'raj, Maulid Nabi Muhamad
SAW,dan
pengajian-pengajian yang dilakukan seminggu
sekali yang dilaksanakan pada setiap hari Kamis pagi, bagi
kaum ibu. Untuk kaum bapak dilaksanakan pada setiap
malam jum'at ba'da isya. Begitu pula dalam perayaan hari
raya idul fitri maupun idul adha, semua umat Islam baik lakilaki ataupun perempuan , tua muda
dan anak-anak
berkumpul bersama-sama melakukan shalat idul fitri maupun
idul adha baik yang dilakukan di lapangan, di Masjid ataupun
di Mushalla-Mushalla. Setelah selesai dari mengerjakan shalat
semua umat Islam saling berjabatan tangan mengucapkan
selamat idul fitri mohon maaf lahir dan bathin. Begitu juga
setelah selesai shalat idul adha semua umat Islam
melaksanakan pemotongan kurban yang dagingnya diberikan
kepada fakir miskin. (wawancara dengan salah seorang ibu
yang tinggal di perumahan PTPN VII Musilandas).
Interaksi sosial antar umat Kristen dengan umat
Kristen itu sendiri dapat dilakukan dalam wadah Kebaktian
166
yang dilakukan di Gereja-gereja pada setiap hari minggu pagi
sampai dengan selesai. Acara kebaktian ini dihadiri oleh kaum
bapak, ibu dan anak-anak. Begitu pula dalam acara Natalan
semua umat Kristen maupun umat Katolik baik kaum ibu,
kaum bapak maupun anak-anak semuanya melakukan acara
natalan secara bersama-sama dengan penuh riang dan
gembira dilakukan di Gereja-Gereja . (wawancara denga salah
seorang Bapak yang tinggal di perumahan PTPN VII
Musilandas).
B. Interaksi Sosial Antar Umat Beragama
Dalam masyarakat perkebunan PTPN VII Musilandas
interaksi sosial umat beragama dapat terjadi antara umat
beragama Islam dengan umat beragama Kristen berupa
kerjasama dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti:
kerja bakti, memperingati hari-hari besar Nasional, PKK,
LKMD, di bidang jasa, perdagangan, pendidikan , arisan dan
lain sebagainya. Selain itu dalam upacara-upacara lingkaran
hidup seperti: acara tujuh bulanan, perkawinan, khitanan,
kematian dan sebagainya. Hal-hal semacam itu menurut
Ahmad Fedyani Saifuddin disebut integrasi sosial, yakni
sebagai penyatuan kelompok-kelompok yang tadinya terpisah
satu sama lain dengan melenyapkan perbedaan-perbedaan
seperti agama, etnis dan kebudayaan yang ada sebelumnya.
Pada saat peneliti berada di lapangan, seorang
pegawai PTPN VII Musilandas kebetulan mendapatkan
musibah kecelakaan motor dan meninggal dunia, maka semua
pegawai melakukan ta'ziyah bersama sambil menyerahkan
santunan kematian dan mengantarkan jenazah sampai ke
tempat pemakaman, sehingga mengakibatkan kantor sepi dan
hanya dijaga oleh seorang pegawai.
167
Menurut hasil wawancara dengan bapak Ramalan
sebagai seorang penghulu yang bertempat tinggal di
Perumahan PTPN VII Musilandas mengatakan bahwa warga
kami di sini bila ada perayaan hari raya idul fitri bagi umat
Islam, semua tetangga baik Islam maupun non Islam, mereka
saling berdatangan ataupun berkunjung dari rumah kerumah.
Begitu juga bila ada perayaan hari Natal bagi umat Kristen,
semua umat beragama antar
sesama tetangga saling
beradatangan mengucapkan selamat natal.
C. Faktor-faktor yang Berpotensi dalam Mewujudkan
Kerukunan
Umat beragama yang berada di perumahan milik
perusahaan perkebunan PTPN VII Musilandas menganut dua
agama yaitu Islam dan Kristen, yang dianut oleh dua suku
Jawa dan Sumatera. Warga masyarakat yang berada di sekitar
ini dapat hidup berdampingan dengan baik , aman dan damai,
saling tolong menolong, harga menghargai antara umat yang
satu dengan umat yang lainnya tanpa membedakan agama,
kebudayaan, tingkat pendidikan maupun tingkat ekonomi
mereka.
Kerukunan umat beragama di wilayah ini dapat
terwujud dengan baik karena adanya potensi-potensi yang
meliputi: 1. untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup harihari bagi karyawannya selain ada gaji bulanan, juga
disediakan
koperasi
simpan
pinjam
bagi
yang
membutuhkannya dengan tidak memungut bunga yang
terlalu besar , kecuali untuk biaya administrasi 2 %. Selain itu
diadakan arisan bulanan bagi semua karyawan dengan tujuan
bagi isteri-isteri karyawan dapat bersilaturrahmi dan bertatap
muka dalam setiap bulan sekali pada minggu pertama. 2.
Dalam kegiatan sosial biasanya diadakan kerja bakti,
168
permainan sepak bola, volly, dan olah raga lainnya. 3. Dalam
upacara-upacara lingkaran hidup seperti pesta perkawinan,
tujuh bulanan, khitanan dan lain-lain yang dilaksanakan oleh
warganya, semua umat beragama menghadirinya tanpa
membedakan agama, suku, kebudayaan , tingkat pendidikan
dan tingkat ekonomi mereka. 4. Dari pimpinan perusahaan
sangat memperhatikan pengabdian para karyawannya dengan
memberikan penghargaan kepada seluruh karyawannya yang
telah mengabdi lamanya 25 tahun diberikan uang sebanyak
lima bulan gaji plus 10 gram emas; kemudian 30 tahun
mengabdi diberi lagi uang dan emas sebanyak itu; setelah itu
berlanjut 35 tahun mengabdi diberi lagi uang dan emas
sebanyak itu. (wancara dengan bapak Ramalan pegawai
PTPN VII Musilandas). Bahkan bagi semua karyawan diberi
hak lagi berupa: santunan hari tua yang diberikannya pada
saat pensiun dan banyaknya tergantung lamanya masa kerja
dan tingginya golongan; uang pensiun yang biasanya diambil
tiap bulan sampai yang bersangkutan meninggal dunia.
Atas kebijakan pimpinan ada pemberian berupa paket
bingkisan untuk kaum duafa/fakir miskin yang diberikannya
pada saat menjelang bulan puasa, berupa: beras, gula, terigu
dan minyak goreng .Dalam bidang keagamaan bagi
kebutuhan masyarakat di wilayah sekitar Kabupaten
Banyuasin pada program safari Ramadhan diberikan bantuan
berupa: Sajjadah untuk Masjid Nurul Iman, Keramik untuk
Masjid Baitul Rahman, Ton blok untuk Masjid Baitul Makmur
dan sebagainya. Hal semacam ini dilakukan hampir tiap
tahun. (wawancara dengan salah seorang pegawai PTPN VII
Musilandas).
169
D. Upaya-upaya yang dilakukan dalam memelihara dan
meningkatkan kerukunan antar umat beragama.
Untuk memelihara dan meningkatkan kerukunan
antar umat beragama yang ada di Kabupaten Banyuasin
khususnya warga yang tinggal di perumahan milik PTPN VII
Musilandas dilakukan dengan jalan meningkatkan toleransi
melalui kegiatan sosial dan upacara-upacara lingkaran hidup.
Salah seorang warga menyatakan bahwa bila kita melihat
tetangga sebelah sedang ditimpah musibah seperti kematian ,
maka kita ikut merasakannya dengan membantu sesuai
kemampuan dan kebutuhan mereka atau sekedar menghadiri
acara tersebut. Bahkan sebaliknya bila kita melihat warga kita
sedang mendapatkan kebahagiaan, seperti melakukan hari
pernikahan ataupun kelahiran anaknya, maka warga yang
lainnya menghadiri atau mendatangi tempat itu dengan
mengucapkan selamat atas kebahagiaan itu tanpa melihat
agama, kebudayaan, etnis , tingkat pendidikan dan tingkat
ekonomi mereka.
Dari gambaran di atas dapat dikatakan bahwa
kerukunan antar umat beragama setempat cukup tinggi. Hal
ini dipengaruhi oleh faktor pimpinan perusahaan yang
menekankan kepada seluruh karyawannya untuk dapat hidup
dengan rukun dan damai antara sesama karyawan dan
keluarganya serta masyarakat sekitar dan juga begitu
memperhatikan kebutuhan hidup karyawannya serta
kebutuhan masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhan
kesehariannya. Selain itu pimpinan cukup toleran terhadap
bawahan dan masyarakat sekitarnya serta sangat
memperhatikan perkem-bangan kehidupan keagamaan umat.
170
Penutup
A. Kesimpulan
D
ari uraian-uraian tersebut di atas kiranya dapat
disimpulkan :
1. Interaksi sosial antar umat beragama pada masyarakat
perkebunan karet yang bertempat tinggal di perumahan
milik Perusahaan PTPN VII Musilandas dalam hidup
kesehariannya dapat dikatakan cukup baik. Hal ini
dikarenakan pengaruh pimpinan yang menekankan
kepada karyawannya untuk dapat hidup saling harga
menghargai, hormat menghoramati, antar sesama
karyawan,
antar keluarga karyawan maupun antar
masyarakat sekitar tanpa melihat etnis maupun agama
mereka;
171
2. Interaksi sosial intern umat beragama Islam yang berada
di perumahan milik PTPN VII Musilandas dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan sosial keagamaan seperti dalam
acara shalat tarawih bersama, shalat idul Fitri, shalat idul
adha bersama, dan juga dalam acara kegiatan Isra' mi'raj,
maulid Nabi Muhamad SAW, pengajian-pengajian di
Masjid, Mushalla, langgar dan di rumah-rumah, serta
dalam upacara-upacara lingkaran hidup.
3. Interaksi sosial umat beragama Kristen yang berada di
perumahan milik PTPN VII Musilandas dapat dilakukan
melalui Upacara-upacara keagamaan seperti Natalan yang
dilaksanakan di Gereja-gereja, rumah-rumah dan dalam
Paguyuban-paguyuban pada acara kebaktian bersama.
4. Faktor-faktor yang dapat berpotensi dalam mewujudkan
kerukunan antar umat beragama yang bekerja dalam
perusahaan perkebunan karet ini, antara lain : a) adanya
wadah Koperasi Simpan Pinjam bagi semua karyawan
tanpa melihat etnis, agama maupun pangkat/golongan
mereka; b) adanya perkumpulan arisan, sehingga bagi
keluarga karyawan dapat bertemu dalam setiap bulan
sekali pada minggu pertama; c) Dalam upacara-upacara
lingkaran hidup yang dilaksanakan oleh keluarga
karyawan,
semua
pegawai
diwajibkan
hadir;d)
Kharismatik pimpinan yang ditaati karyawannya; e)
adanya penghargaan bagi karyawan yang sudah
mengabdi lamanya 25 tahun, 30 tahun dan 35 tahun; f)
adanya santunan hari tua yang diberikannya ketika pada
saat akhir masa kerjanya sesuai tingkat golongannya; g)
adanya pemberian uang pensiun yang diambil pada setiap
bulan sekali sampai dengan karyawan itu meninggal
dunia.
172
5. Upaya-upaya yang dilakukan dalam memelihara dan
meningkatkan kerukunan antar umat beragama antara
lain adalah : saling bekerja sama dalam melakukan
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, jangan ada saling
timbul rasa curiga mencurigai diantara sesama umat
beragama
B. Rekomendasi
1. Interaksi sosial antar umat beragama masyarakat
Banyuasin khususnya warga yang berada di perumahan
milik perusahaan perkebunan PTPN VII Musilandas yang
sudah sangat baik itu, perlu di pertahankan terus agar
suasana aman dan damai dapat terpelihara;
2. Hal-hal yang dapat berpotensi dalam memelihara dan
mewujudkan kerukunan antar umat beragama dalam
masyarakat perkebunan karet itu perlu ditingkatkan agar
jalinan hubungan
antar pimpinan, bawahan dan
masyarakat menjadi lebih akrab dan harmonis;
173
Daftar Pustaka
Alo Siliweri, Prof. Dr., MS. Prasangka dan Konflik, Jakarta, 2005
Basri Yusriati, Pembinaan kehidupan Beragama Melalui Masjid di
Kota Kecill Semarang
BPS Kabupaten Banyuasin III , Kota Palembang, 2003
Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan
Agama , Tiga Kondisi Ideal Kehidupan Beragama di
Indonesia, Proyek Pembinaan Keerukunan Hidup
Beragama, Jakarta, 1992
Laporan Tahunan Kandepag Kabupaten Banyuasin 2004
Ronald Robetson, Agama Dalam Analisa Interpretasi Sosiologis,
Jakarta, 1992
Profil PTPN VII Musilandas, 2005
Saifuddin, Ahmad Fedyani, Konflik dan Integrasi Sosial, Jakarta,
1982
Sulaiman, Drs. Hubungan Antar Umat Beragama Hindu dan
Islam di Bali, Departemen Agama Balai Penelitian
Aliran Kerohanian/Keagamaan, Semarang, 2000
Soejono Soekanto, Sosiaologi Suatu Pengantar, Jakarta, 2003
Kontribusi Agama Dalam Mewujudkan Multikulturalisme di
Indonesia, 2004
174
BAGIAN 6
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN
LUBUK PAKEM SUMATERA UTARA
Penulis
Drs. H. Ahsanul Khalikin
Pendahuluan
A. Latar Belakang
K
onflik agama di Indonesia sesungguhnya hampir
tidak pernah terjadi sebagai variable independen.
Setidaknya, hampir tidak dijumpai konflik yang
berlatar belakang agama secara murni. Konflik di Ambon
yang berawal di tahun 1999 tidak sepenuhnya merupakan
konflik agama, karena konflik itu sendiri terbungkus secara
rapi dari proses hubungan antaretnis yang begitu mengkristal
(Alqadrie, 1999). Bahkan konflik di kabupaten Poso yang
secara langsung melibatkan kelompok pemuda Islam dan
Kristen, sesungguhnya memiliki basis kepentingan politik
antara penguasa pusat dan daerah. Namun demikian tidak
berarti kehidupan antarumat beragama di Indonesia steril dari
konflik. Setidaknya perbedaan itu sendiri merupakan bagian
paling potensial di dalam menimbulkan konflik, ketika
176
masyarakat dihadapkan dengan nilai-nilai yang serba
pluralistik1 .
Itu
sebabnya
kemudian
berkembang
studi
multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan varian teori
perbedaan, di mana perbedaan manusia secara analitis lebih
penting dibanding kesamaan mereka2 . Agger menjelaskan,
multikulturalis menyangkal kemungkinan menyatunya
kelompok-kelompok yang berbeda ke dalam satu alasan
bersama yang mulai mengubah struktur sosial secara
keseluruhan. Dengan cara berpikir demikian maka perbedaan
bukan berarti konflik, dan lebih dari itu hubungan mayoritas
dan minoritas sama sekali tidak berkaitan erat dengan akar
persoalan konflik itu sendiri.
Persepsi yang menyatakan bahwa minoritas harus
tunduk kepada mayoritas, bukan merupakan bagian dari
studi multikulturalis. Justru yang sering disalahpahami adalah
bahwa kelompok mayoritas seringkali memaksakan kehendak
kepada kelompok minoritas. Ironisnya, dalam beberapa studi
etnisitas dominasi semacam itu menjadi bagian yang absah di
dalam mengambil kesimpulan. Akibatnya, banyak resolusi
konflik etnis atau agama di Indonesia diselesaikan dengan
metode yang salah.
Persoalan yang sesungguhnya menarik adalah
bagaimana masyarakat secara tradisional mem-bangun
hubungan harmonis antar agama atau antar etnis, tanpa
campur tangan politik yang lebih luas. Dengan cara yang
sama dapat dikatakan bahwa sesungguhnya masyarakat
1
Spivak Gayatri Chakravorty dan Sneja Gunew, “Questions of
Multiculturalism”, dalam Simson During (ed), The Cultural Studies Reader,
London dan New York Routledge, 1993
2
Agger, Ben, “Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan
Implikasinya”, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003
177
Indonesia telah memiliki mekanismenya sendiri di dalam
mengelola konflik dan harmonisasi di antara mereka. Pada
dasarnya mereka sadar akan perbedaan dalam kehidupan
multidimensi.3 Karena faktor eksternal keseimbangan
hubungan antar etnis mengalami perubahan, misalnya
perubahan politik secara makro maupun mikro.
Keseimbangan hubungan antar etnis memang tidak
mungkin dicapai karena posisi ekonomi dan politik satu etnis
dengan etnis lain sejak awal sudah berbeda, termasuk di
dalamnya perbedaan agama. Masalah muncul ketika
perbedaan itu semakin mencolok dan melahirkan
ketimpangan dalam penguasaan sumber daya. Etnis
pendatang sering kali menjadi etnis yang lebih dominan
dalam penguasaan sumber daya walaupun dari sudut jumlah
mereka tergolong minoritas. Ketimpangan penguasa-an
sumber daya ini kemudian meluas ke dalam ketimpangan
akses politik yang menyebabkan lahirnya dominasi suatu
etnis. Dua hal yang berbahaya di sini adalah ketika kelompok
etnis atau agama dominan mendapatkan privilege dari
berbagai agen sosial, khususnya pemerintah dan ketika
kesadaran tentang batas-batas budaya (cultural boundaries)
mulai muncul. Etnis setempat mulai sadar bahwa wilayah itu
merupakan tanah air mereka yang mulai dijajah oleh orang
luar.
Dalam kondisi yang serba multi itulah sering-kali
terjadi konflik antar kelompok masyarakat. Selanjutnya,
konflik-konflik antar kelompok masyara-kat tersebut akan
melahirkan ketidakserasian sosial. Menurut Syafri Sairin dan
Pujo Sumedi, terdapat tiga sumber ketidakserasian sosial,
3
Musthofa, “Kearifan Lokal dan Kerukunan Antarumat
Beragama” (Studi tentang Hubungan Islam-Hindu di Bali dalam
Membangun Harmoni), Lemlit UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005
178
yaitu;4 (1) perebutan sumber daya, alat-alat produksi dan
kesempatan ekonomi (access to economic resources and to means
of production); (2) perluasan batas-batas sosial budaya (social
and cultural borderline expansions); (3) benturan kepentingan
politik, ideology dan agama (conflict of political, ideology and
religious interst).
Ketiga sumber konflik tersebut dapat ditemu-kan
dalam setiap masyarakat (besar atau kecil). Tetapi dalam
masyarakat majemuk dan heterogen, frekwensi benturannya
akan lebih banyak jika dibandingkan dengan masyarakat
sederhana dan homogen. Ketiga sumber konflik tersebut juga
dapat bersatu secara simultan dan melahirkan benturan yang
keras dalam masyarakat sehingga terasa sulit untuk ditelusuri
dan dibedakan.5
Oleh karena itu, untuk mengetahui secara lebih jelas
kondisi obyetif kerukunan dan ketidakrukunan antarumat
beragama pada masyarakat perkebunan di lingkungan PT.
Perkebunan Nusantara II Perkebunan Tamora di sekitar
Kecamatan Tanjung Morawa Kab. Lubuk Pakem, dengan
maksud untuk memudahkan mengantisipasi berbagai hal
yang tidak dinginkan, maka perlu dilakukan sebuah kajian
yang mendalam. Dengan demikian, juga dapat diketahui
berbagai pola pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan
perkebunan terhadap masyarakat perkebunan itu sendiri.
Informasi tersebut dipandang sangat berguna dalam rangka
penyusunan kebijakan dibidang kehidupan keagamaan,
sosial, budaya, politik, khususnya terkait dengan kerukunan.
4
Syafri Sairin dan Pujo Sumedi, “Telaah Pengelolaan Keserasian
Sosial dari Literatur Luar Negeri dan Hasil Penelitian Indonesia”, Jakarta:
Kantor Menteri Negara KLH dan UGM, 1983, 13.
5
Achmad Jainuri, “Model Solusi Pengatan Konflik Sosial Berbasis
Agama”, Lemlit IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005, 4.
179
B. Kerangka Teori
Secara subtansial-perennial, agama merupa-kan sistem
nilai (value system) yang bersumber dari Dzat yang
transhistoris-transcultural, transcendental, realitas tertinggi,
kebenaran mutlak dan kesejatian abadi. Sementara manusia
sebagai penerima agama merupakan makhluk temporalkultural, tidak tak terbatas dan terikat oleh ruang dan waktu.
Oleh karenanya agama lebih merupakan tatanan kemanusiaan
yang bersifat normative, ia merupakan grant theory yang
diberikan Tuhan kepada manusia, dan karenanya dalam
tataran implemantasi sangat tergantung pada cara memahami
dan menginterpretasikannya. Dalam perspektif ini maka
sistem nilai agama yang sacred-transcultural dan sistem nilai
budaya yang profane-historical, antropologis-kondisional tidak
dapat terpisahkan6 .
Pemahaman demi pemahaman maupun reinterpretasi
terhadap pesan-pesan Tuhan (baca: agama) terus berlangsung
secara dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan manusia
itu sendiri. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya transformasi
dan internalisasi nilai-nilai transcedental (transcedental value)
agama dalam kesejarahan (historisitas) manusia, sehingga
manusia
benar-benar
mampu
mengaktualisasikan
kekhalifahannya menuju tatanan kehidupan yang rahmatan lil
alamin (comprehensive human justice).
Sikap umat beragama dalam menginter-pretasikan dan
mengimplementasikan ajaran agamanya sangat dipengaruhi
oleh bagaimana paradigma yang digunakannya dalam
memahami agama itu sendiri. Dalam penelitian agama-agama
6
M. Mudhofi, dkk, “Toleransi Lintas Agama Bagi Masyarakat
Rawan Konflik”, (Studi Kasus Model Kerjasama Lintas Agama di Kota
Semarang), IAIN Walisongo – Semarang, 2005, 5.
180
setidaknya ada tiga paradigma (untuk mengatakan hanya ada
tiga paradigma saja) yang dapat digunakan untuk memetakan
varian tipologi keagama-an dan keberagamaan.
Pertama, paradigma ekslusif.7 Orang atau kelompok yang
memiliki kerangka berpikir ini berpan-dangan bahwa
seseorang tidak akan diselamatkan kecuali kalau mengikuti
iman yang dia akui, kecuali memeluk agama yang dia peluk.
Agama-agama lain barangkali memiliki banyak kebenaran
dan kebaikan, tetapi agama-agama lain tersebut dianggap
tidak bisa menjadi mediasi keselamatan8 .
Ekpresi keberagamaan penganut kelompok ini
memiliki watak tertutup, anti dialog, konservatif, cenderung
fundamentalis, ekstrimis, intoleran, apologis dan dogmatis
sehingga kurang kondusif untuk melihat rumah tangga orang
lain secara bersahabat, sejuk dan ramah, serta terlalu
7
Paradigma ekslusif ini dalam Islam memang memiliki landasan
normative yang dipegang teguh oleh penganutnya, antara lain QS. AlMaidah/5:3; QS. Ali Imran/3:19 dan 85; QS. Al-Bayyinah/98:7. Sementara
bagi penganut paradigma eksklusif di kalangan umat kristiani sering
mendasarkan pada teks Yohanes (14 : 6) yang berbunyi : “Akulah jalan dan
kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang dating kepada Bapa,
kalau tidak melalui Aku”. Juga ada ungkapan yang selalu menjadi kutipan,
“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia,
sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada
manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4, 12).
Dari landasan inilah kemudian muncul istilah “No Other Name” yang
menjadi symbol tentang tidak adanya keselamatan di luar Yesus Kristus,
“extra ecclesiam mulla salus” (tidak ada keselamatan di luar Gereja), “extra
ecclesiam nullus propheta” (tidak ada nabi di luar Gereja). Selanjutnya
dilihat Hendrik Kraemer, “Christian Attitudes toward Non-Christian
Religions” dalam Carl E. Braaten dan Robert W. Jenson, A Map of
Twentieth Century Theology, Readings from Karl Barth to Radical
Pluralism, (Minneapolis: Fortress Press, 1995), 222-231.
8
J.B. Banawiratma, S.J., “Bersama Saudara-Saudari Beriman
Lain Perspektif Gereja Katolik”, dalam Seri Dian 1 Tahun 1, Dialog: Kritik
dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993), 4.
181
menonjolkan sisi perbedaan dengan menutup serapatrapatnya sisi persamaannya. Pendekatan yang dipakai oleh
kelompok ini adalah pendekatan yang bersifat subyektif,
sebuah pendekatan yang menilai subyek lain dari perspektif
agamanya sendiri. Agamanya dipandang paling otentik
memiliki kebenaran dan jalan keselamatan, sementara agama
lain di luar dirinya dianggap hanya memiliki kebenaran yang
palsu dan tidak otentik, sehingga memunculkan budaya truth
claim yang berimplikasi pada pembentukan mode thought yang
partikularistik dan pada akhirnya terjadi apa yang oleh Arkoun
disebut sebagai pelapisan geologi pemahaman agama atau
taqdis al-afkar al-diniy,9 (sakralisasi terhadap pemikiran
keagamaan) dan bahkan kecenderungan pemahaman tentang
agama itu sendiri dianggap sebagai agama yang wajib diikuti,
sehingga religiousitas yang sesungguhnya bersifat “on going
process” serta “on going formation” mengalami stagnasi dan
akhirnya terjadilah marginalisasi dan alienasi agama dalam
realitas empirik. Proses ini pula yang oleh Fazlur Rahman
disebut sebagai proses “ortodoksi”.10 Paradigma ini sangat
sejauh dari kemungkinan terbukanya peluang dialog, intraksi
dan toleransi antarumat beragama.
Kedua, paradigma inklusif. Berbeda dengan kalangan
yang menganut paradigma ekslusif yang memandang konsep
keselamatan dan kebenaran hanya dari sudut pandang
agamanya sendiri, maka kelompok inklusif membedakan
antara kehadiran penyelamatan (the salvific presence) dan
9
M. Arkoun, Al-Islam: Al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hasyim
Saleh, (Beirut: Markaz al-Inma’al-Qaumi, 1990), 172-173; 116-117.
10
Fazlur Rahman, “Islam”, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung:
penerbit Pustaka, 1984); 105
182
aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain.11 Penganut
paradigma inklusif ini lebih mengedepankan pemahaman
ajaran agama secara kontekstual, lebih mementingkan esensi
dan makna terdalam pesan-pesan teks, sehingga implementasi
ajaran agama selalu dipertimbangkan dengan konteks ruang
dan waktu, situasi dan kondisi sosio-kultural yang tak
terpisahkan dengan historisitas manusia. Tetapi dalam
paradigma inipun masih terdapat titik kelemahan yakni
meskipun memiliki pandangan yang menaruh simpati
11
Dalam Islam penganut paradigma inklusif ini sering
menggunakan landasan normative ayat al-Qur’an tentang adanya titik temu
agama-agama (QS. Ali Imran/3:64), dimana masing-masing umat telah
ditetapkan sebuah syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau
metode perjalanan menuju kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif,
Allah memang tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala
hal (monolitisisme). Adanya perbedaan menjadi motivasi untuk berlomba
menuju berbagai kebaikan, dan Allah akan menilai dan menjelaskan
berbagai perbedaan yang ada itu . (QS. Al-Maidah/5:48). Kalangan Islam
inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu.
Sebagaimana dikutif dalam sebuah hadits Rasulullah SAW. Bersabda, “Aku
adalah orang yang paling berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan
akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda
namun agama mereka satu”. (HR Bukhari). Lihat Budhy Munawar
Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta:
Paramadina, 2001), 47-48.
Dalam perspektif Kristiani, pandangan paling ekspresif dari
paradigma inklusif ini nampak pada dokumen Konsili Vatikan II yang
mempengaruhi seluruh komunitas Katolik sejak 1965. Dokumen tentang
pernyataan inklusif yang berkaitan dengan agama lain ada pada “Deklerasi
tentang Hubungan Gereja dan Agama-agama Non Kristiani”. Teolog
terkemuka yang menganut pandangan ini adalah Karl Rahner yang
memunculkan istilah inklusif, the Anonymous Christian (Kristen Anonim),
yakni orang-orang non Kristiani. Para “Kristen Anonim” ini dalam
pandangan Rahner juga akan selamat, sejauh mereka hidup dalam ketulusan
hati terhadap Tuhan. Lihat Karl Rahner, “Cristianity and the Non Christian
Religions”, dalam Carl E. Braaten dan Robert W. Jenson, op. cit, 231-246
183
terhadap agama-agama lain, tetapi kurang menempatkan
agama lain sebagaimana dialami dan dipeluk oleh yang
bersangkutan. Maka sebagai paradigma hubungan antarumat
beragama masih kurang operasional dan kurang tegas
membuka peluang untuk saling berinteraksi dengan penuh
toleransi.
Setidaknya ada tiga gagasan utama yang saling terkait
dari penganut madzhab inklusif yaitu pertama, bahwa subtansi
keimanan dan peribadatan lebih penting daripada formalitas
dan simbolisme keagamaan yang bersifat literal. Kedua, pesanpesan agama yang bersifat abadi dalam esensinya dan
universal dalam maknanya harus selalu ditafsirkan ulang oleh
masing-masing generasi umat sesuai dengan konteks zaman
yang dihadapi. Ketiga, kebenaran mutlak hanyalah milik
Tuhan, maka tak seorangpun yang dapat memastikan bahwa
pemahamannya terhadap pesan perennial Tuhan adalah
paling benar, lebih benar atau lebih baik daripada pemahaman
orang lain. Maka kelompok subtansialis sangat menekankan
betapa pentingnya toleransi terhadap sesama umat seagama
maupun antarumat beragama, karena perbedaan agama,
budaya maupun politik di pandang sebagai fitrah
kemanusiaan yang bersifat universal dan oleh karenanya
perlu direspon dengan penuh kesadaran.
Ketiga, paradigma pluralis. Paradigma ini berbeda
secara subtansial dengan kelompok inklusif, lebih-lebih
dengan kelompok ekslusif. Dalam pandangan ini semua
agama dengan cara masing-masing menempuh jalan
keselamatan menuju Yang Mutlak, the Ultimate, menuju Allah.
Paradigma ini percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan
keselamatannya sendiri dank arena itu klaim bahwa
kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif), atau
yang melengkapi atau yang mengisi jalan yang lain (sikap
184
inklusif) haruslah ditolak, demi alasan-alasan teologis dan
fenomenologis.12
Sementara dalam pandangan Islam, tafsir Islam
pluralis adalah pengembangan secara lebih liberal dari Islam
inklusif. Perbedaan antara Islam dengan agama-agama lain
diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara
“perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Setiap agama
pada dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut yakni
perumusan iman dan pengalaman iman.13
Pada dasarnya pandangan pluralis ini tidak
menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah
keseragaman bentuk agama. Sebab gagasan pluralisme
keagamaan, seperti kata Raimundo Panikkar “berdiri di antara
pluralitas yang tidak berhubungan, dan kesatuan monolitik”.
Sikap pluralistik mengekspresikan adanya fenomena “satu
Tuhan, banyak agama” yang berarti suatu sikap toleran
terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan.14 Paradigma ini
paling memungkinkan untuk membuka dialog, kerjasama,
interaksi dan toleransi antarumat beragama.
12
Tokoh utama yang paling impresif mengemukakan paradigma
pluralis ini adalah; John Harwood Hicks dalam karyanya “God and the
Universe of Faiths (1973). Melalui buku ini ia dianggap sebagai tokoh yang
telah melakukan revolusi dalam teologi agama-agama. Selengkapnya lihat
John Harwood, God and Universe of Faiths, (oxford: One World
Publications, 1993).
13
Pandangan pluralis ini misalnya dikemukakan oleh Sayyed
Hossein Nasr dalam “The One and The Many” dalam Parabola, 22/3/94
14
Sikap pluralistic dewasa ini terekpresi dalam macam-macam
ungkapan, seperti “Other religions are equally valid ways to the same truth’
(John Hicks), “Other religions speak of different but equally valid truths”
(John B. Cobb Jr.), atau “Each religion expresses an important part of the
truth” (Raimundo Panikkar). Keterangan tentang masing-masing ekpresi ini,
lihat John Lyden, Enduring Issues in Religion, (San Diego: Greenhaven,
Inc, 1995), 74-90.
185
Sesungguhnya keanekaragaman (pluralitas) kehidupan
manusia merupakan realitas historis yang tidak dapat
disangkal oleh siapa pun, baik pluralitas etnik, bahasa, sosiokultural, maupun pluralitas agama. Kenyataan ini sekaligus
menunjukkan bahwa sangat sulit bagi manusia untuk
mempertahankan “paradigma tunggal” dalam wacana
apapun. Di sinilah maka pluralitas harus dipahami dan
didekati dengan multidimentional approach.15 Pluralisme tidak
dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa
masyarakat
berada
dalam
kemejemukan
atau
keanekaragaman yang justru hanya menggambarkan kesan
fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak bisa
dipahami hanya sebagai “kebaikan negative” (negative good),
hanya dilihat dari kegunaannya untuk mengeliminasi
fanatisme (to keef fanaticism at bay). Namun pluralisme harus
dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatanikatan keadaban”.16 Dalam perspektif ini yang dibutuhkan
bukan “ideal language” yang bersifat reduktif-positivistik,
tetapi yang diperlukan adalah kepekaan baru yang lebih
bersahaja untuk sepenuhnya menghargai keanekaragaman
narasi.
Dalam konsep yang berbeda Alwi Shihab17
menyimpulkan tentang pluralisme. Menurutnya pertama,
pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemejemukan. Namun yang dimaksud adalah
keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemejemukan tersebut.
Dengan demikian pengertian pluralisme agama adalah bahwa
15
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 104
16
Budy Munawar Rachman, op. cit., 31
17
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam
Beragama, Cet. IV, (Bandung: Mizan, 1988), 41-43.
186
tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat secara aktif
dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan hidup bersama di tengah kebhinekaan.
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan konsep
kosmopolitanisme. Sebab kosmopolitanisme menunjuk
kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras,
budaya, etnis dan bangsa hidup berdampingan di suatu
wilayah tertentu, namun interaksi positif antar penduduk –
khususnya dibidang agama-- kalaulah ada masih pada tingkat
sangat minimal.
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan
dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa
hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan
oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau
masyarakatnya. Maka sebagai konsekuensi dari paham
relativisme agama, doktrin agama apapun harus dinyatakan
benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karena
kebenaran agama-agama – menurut pandangan ini—
walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan
lainnya tetap harus diterima. Untuk itu seorang relativis tidak
akan mengenal, apalagi menerima suatu kebenaran universal
yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam paham
pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak
mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atas suatu
kebenaran, apalagi pemaksaan kebenaran itu pada pihak lain.
Paling tidak seorang pluralis akan menghindari sikap
absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap
pihak lain. Oleh karena itulah banyak orang enggan
mengunakan istilah pluralisme agama karena khawatir akan
terperangkap dalam lingkaran konsep relativisme agama.
187
Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme yakni
menciptakan agama baru dengan memadukan unsur tertentu
atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk
dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.
Dalam konteks ini Nurcholish Madjid menjelas-kan
bahwa pluralisme merupakan pertemuan yang sejati dari
keanekaragaman dalam ikatan-ikatan kesopanan (bond of
civility). Namun keragamannya tetap dalam ruang lingkup
yang several (heterogen), bukan dalam pengertian “beberapa”
(many) yang cenderung homogen.18 Konsep ini mengandung
arti bahwa untuk mewujudkan dan mendukung pluralisme
diperlukan adanya toleransi. Kehidupan bersama dalam
pluralitas agama harus diimbangi dengan sikap toleran
(tasamuh), saling pengertian, saling terbuka untuk
berinteraksi satu dengan lainnya, saling menjunjung tinggi
kehormatan agama lain, dan saling menghargai satu dengan
lainnya.
Konsep toleransi (tasamuh) dalam setiap agama
merupakan bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran agama itu sendiri. Toleransi
merupakan kunci pembuka bagi terwujudnya dialog, kerja
sama dan interaksi sosial lainya dalam kehidupan bersama
antarumat berag-ama. Toleransi juga merupakan kunci bagi
keberlang-sungan hidup masyarakat majemuk (plural).
Ada dua macam penafsiran tentang konsep toleransi
yaitu penafsiran negative (negative interpretation of tolerance)
dan penafsiran positif (positif interpretation of tolerance).19 Yang
18
Nurcholish Madjid, “Pluralisme Agama di Indonesia”, Ulumul
Qur’an, No. 3, Vol. 95, 62-63.
19
Masykuri Abdillah, “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Nur
Achmad (Ed), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:
penerbit Buku Kompas, 2001), 13.
188
pertama menyatakan bahwa toleransi itu hanya mensyaratkan
cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti atau tidak
mengganggu orang lain atau kelompok lain. Yang kedua
menyatakan bahwa toleransi membutuh-kan lebih dari
sekedar itu, ia membutuhkan bantuan, dorongan, dukungan,
penghargaan terhadap eksistenasi orang atau kelompok lain.
189
Gambaran Umum
Wilayah Penelitian
A. Sekilas tentang Kecamatan Tanjung Morawa
M
enurut sejarah asal usul nama Kecamatan Tanjung
Morawa ada beberapa cerita antara lain dari : a. kata
Belanda yaitu Tanjung Morawa dimana mengingat
penjajahan Belanda pada leluhurnya di Eropa menyatakan
Tanjung Morawa berasal dari bahasa Karo yaitu Tanjung
Morawa arti dari Merawa atau perlawanan/patriotik pejuangpejuang bangsa, karena dimasa revolusi perjuangan fisik
melawan penjajahan Belanda, Tanjung Morawa merupakan
daerah perjuangan Medan Area Selatan. Sementara dari cerita
lain asal Tanjung Morawa yaitu dari kata tanung dimana pada
190
dulunya sungai yang ada saat ini tempat berlabuhnya perahu
yang singgah sedangkan Merawa artinya banyak rawa-rawa.
Kecamatan Tanjung Morawa terbentuk pada tahun
1994 yang terdiri dari 25 desa dan satu kelurahan.
B. Kondisi Geografis dan Demografis
Luas Kecamatan Tanjung Morawa ± 13.1175 ha (141,75
Km²) terdiri dari 25 desa dan 1 kelurahan, 194 dusun, 5
lingkungan, 309 Rukun Warga dan 674 Rukun Tetangga.
Wilayahnya terletak pada ketinggian ± 30 meter di atas
permukaan laut dan pada garis Lintang Utara 0,3 s/d 30, garis
Bujur 98 s/d 46 bujur Timur, dengan curah hujan 14.944 mm
dan suhu udara rata-rata 27,8º. Adapun sungai-sungai yang
ada di Kecamatan Tanjung Morawa adalah sungai Belumai,
sungai Batang Kuis, Sungai Batu Gingging, dan sungai Palu
Kemirih, serta beberapa sungai kecil lainnya.
Jumlah penduduk Kecamatan Tanjung Morawa tahun
2003 adalah 159.582 orang yang terdiri dari penduduk lakilaki 80.673 orang dan penduduk perempuan 78.909 orang. Bila
dikelompokkan penduduk berdasarkan etnik adalah : Jawa
sebanyak 84.778 orang, Melayu sebanyak 15.394 orang, Batak
Toba sebanyak 15.394 orang, Karo sebanyak 9.421 orang,
Tapanuli Selatan sebanyak 9.153 orang, Minang sebanyak
2.940 orang, Kalimantan sebanyak 2.640 orang, Aceh sebanyak
1.184 orang, Nias sebanyak 2.102 orang, lain-lain sebanyak
6.594 orang.
Sedangkan matapencaharian penduduk Kecamatan
Tanjung Morawa adalah : tani sebanyak 8.924 orang, industri
sebanyak 26.099 orang, perkebunan sebanyak 301 orang,
pedagang sebanyak 2.115 orang, angkutan sebanyak 1.286
orang, jasa masyarakat sebanyak 2.301 orang, PNS/TNI dan
POLRI sebanyak 3.117 orang, lainnya sebanyak 378 orang.
191
C. Kehidupan Sosial, Ekonomo dan Keagamaan
Dari jumlah penduduk yang ada, penduduk yang
beragama Islam sebanyak 126.165 orang, Kristen sebanyak
26.427 orang, Katholik sebanyak 3.892 orang, Budha sebanyak
2.690 orang, dan Hindu sebanyak 406 orang. Dengan jumlah
masing-masing pemeluk tersedia sarana tempat ibadah untuk
umat Islam terdapat masjid sebanyak 74 buah dan mushalla
sebanyak 55 buah. Untuk umat Kristen terdapat gereja
sebanyak 12 buah, dan Katholik gereja sebanyak 10 buah.
Untuk umat Budha vihara sebanyak 9 buah, dan Hindu tidak
ada.
Pendidikan masyarakat di Kecamatan Tanjung
Morawa dari sekolah dasar swasta sarananya terdapat 9 buah
dengan jumlah murid sebanyak 3311 orang dan guru 119
orang. Sekolah dasar negeri sebanyak 56 buah dengan jumlah
murid 18.019 orang dan guru 700 orang. Madrasah Ibtidaiyah
swasta sarana sebanyak 11 buah dengan murid sebanyak 2.104
orang dan guru 99 orang. Madrasah Ibtidaiyah negeri murid
sebanyak 448 orang dan guru 21 orang. SLTP negeri sarana
sebanyak 3 buah dengan murid 1.911 orang dan guru 141
orang. SLTP swasta terdapat sarana 16 buah dengan murid
5.063 orang dan guru 329 orang. MTsN terdapat sarana
sebanyak 1 buah dengan murid 278 orang dan guru 16 orang.
MTs Swasta terdapat sarana 11 buah dengan murid 2.654
orang dan guru 197 orang. Untuk SMU Negeri 1 buah dengan
murid 994 orang dan guru 87 orang. SMU Swasta terdapat
sarana 7 buah dengan murid 1.816 orang dan guru 132 orang.
192
Kerukunan Umat Beragama
Pada Masyarakat Perkebunan
A. Sejarah singkat Kebun Tamora
K
ebun Tamora merupakan salah satu kebun di
lingkungan PTPN II yang merupakan pemisahan
sebagian dari Kebun Pagar Merbau yang berada di 11
desa dengan 2 kecamatan yaitu kecamatan Talun dan
kecamatan Tanjung Morawa. Keberadaan kebun Tamora
sendiri adalah sejak bulan Januari 2004 yang mempunyai luas
HGU 2.352.58 ha dengan luas tanaman = 983,06 ha dengan
komoditi Kelapa Sawit. Secara umum tanaman Kelapa Sawit
yang ada di Kebun Tamora termasuk kategori Tanaman Tua
(TT) dengan rata-rata tahun tanam 1975 dengan komposisi
sebagai berikut :
193
Tanaman Tua (TT) seluas 271.66 Ha
= 27,69% dari luas
areal
 Tanaman Dewasa (TD) seluas 532,10 Ha = 54,12% dari luas
areal
 Tanaman Muda ™ seluas 179,30 Ha
= 18,23% dari luas
areal
Untuk PT. Perkebunan Nusantara II Kebun Tamora
tidak ada PKS, maka untuk pengolahan hasil produksi Kelapa
Sawit diolah di Pabrik PKS Pagar Merbau dan pengolahan
tanahnya menggunakan sistem Tanpa Olah Tanah (TOT).
Adapun lokasi Kebun Tamora berada di lingkungan
perkampungan yang padat penduduk dan seluruhnya
masyarakat berada di dalam Pemerin-tahan Daerah Tingkat II
Deli Serdang. Dari hamparan HGU yang sebagian lokasi
berada di tengah-tengah areal terdiri dari jurang-jurang dan
areal persawahan yang berada di luar HGU PT Perkebunan
Nusantara II Kebun Tamora. Kebun Tamora berada di daerah
dataran dengan letak geografi 14 – 20 meter di atas
permukaan laut.

B. Struktur Organisasi Kebun Tamora
PTPN II Kebun Tamora sekarang ini dipimpin oleh
seorang Administratur (Ir. H. Suriyanto) sebelumnya
administrator seorang yang beragama Kristen. Dibawah
Adminstratur namanya Asisten Kepala (ASKEP) dibawahnya
ada 3 (tiga) Asisten Teknik Afdeling (di kantor) salah seorang
beragama Kristen lainnya Islam, Perwira Pengaman
(PAPAM), Kepala Tata Usaha (KTU) beragama Kristen,
Asisten Tanaman dan Asisten Hak/Umum. Di bawah AsistenAsisten itu ada namanya Kirani 1 s/d Kirani 3 (Petugas
Pimpinan di lapangan).
194
Setiap afdeling ada satu guru agama dan ada asisten
yang membidangi lapangan. Siar Islam sejak dulunya sudah
ada, dan dikomando oleh PTPN II di tingkat Direktur
berdekatan dengan PTPN II Kebun Tamora. Di dekat kantor
Administratur sudah ada rumah ibadah umat Kristiani, dan
masyarakat tidak pernah mempermasalahkannya.
Kebebasan melaksanakan ibadah shalat seperti shalat
zuhur itu ada istirahatnya, bila jam 12.00 sirena berbunyi
pertanda istirahat dan ibadah shalat zuhur. Kegiatan guruguru agama termasuk pada malam hari, ceramah-ceramah
pada masyarakat perkebunan. Bagi guru-guru pada masingmasing afdeling dianjurkan untuk mengikuti bimbingan
kerohanian sesuai dengan ajaran masing-masing, seperti
program Ari Ginanjar tentang Tes Q kaitannya dengan
pengalaman ibadah.
Gaji karyawan PTPN II Kebun Tamora, seperti
pegawai baru gol. 1(b) diangkat Rp. 1.013.000,- tambahan
untuk keluarga (isteri dan anak 2 orang) sebanyak 9 kg. beras,
tambahan rumah bila tidak perumahan kebun, bisa dikasih
uang sewa, dan pelayanan kesehatan gratis. Menjelang hari
raya karyawan dapat THR, dan bila perusahaan banyak
keuntungan dapat tambahan.
Dalam struktur Organisasi Kebun Tamora terdapat 9
orang pimpinan mulai dari Administratur hingga Asisten
Teknik dan Lapangan serta Kepala Tata Usaha. Dari jumlah
yang ada sebanyak 7 orang beragama Islam dan 2 orang
beragama Kristen. Kedua orang yang beragama Kristen itu
adalah menjabat Asisten Teknik Afdeling I dan KTU.
1. Tenaga kerja dan fasilitas kemasyarakatan
Jumlah tenaga kerja seluruhnya baik karyawan
pimpinan maupun karyawan pelaksana berjumlah = 389
orang. Fasilitas dan sarana yang diberikan oleh perusahaan
195
adalah rumah dinas untuk tempat tinggal karyawan, namun
kenyataan yang ada pada saat ini masih banyak rumah dinas
tersebut yang ditempati oleh karyawan pension dan pihak
ketiga.
Pihak perkebunan memberikan fasilitas-fasilitas bagi
karyawan yang diperuntukkan juga bagi anak karyawan dan
masyarakat di Kebun Tamora dengan tujuan untuk
memotivasi dalam bekerja dan mensejahterakan karyawan.
Kesempatan ini direspon baik oleh karyawan perkebunan
dengan memanfaatkan fasilitas yang ada, terutama dalam
kegiatan-kegiatan olah raga yang mana fasilitas tersebut ada
di setiap afdeling.
Adapun fasilitas tersebut terbagi dua yaitu : (1)
Bangunan Perumahan; rumah staf = 13 buah, rumah karyawan
G.1 = 81 buah, rumah karyawan G.2 = 298 buah, pondok
panjang = 5 buah, dan rumah karyawan G1/Eks masyarakat =
125 buah. (2)Bangunan Perusahaan; kantor = 5 buah,
poliklinik/puskesbun = 1 buah, TK/TPA = 1 buah,
mesjid/langgar = 7 buah, dan balai karyawan = 1 buah.
Masing-masing fasilitas tersebut tersebar di setiap afdeling.
2. Kehidupan Agama
Kecamatan Tanjung Morawa dengan jumlah
penduduknya 159.582 orang, bila dilihat dari pemeluk agama
penduduknya mayoritas beragama Islam (126.165 orang).
Selama ini sudah terbangun toleransi kehidupan beragama
dengan baik. Masalah hubungan internumat beragama adalah
keberadaan LDII selama ini dirasakan kurang membuat
keadaan kondusif, karena belum bisa diterima dengan baik
oleh masyarakat.
Sementara hubungan antarumat beragama yang
muncul adalah kegiatan umat Kristiani seperti ibadah
kebaktian ataupun ibadah lainnya menggunakan fasilitas
196
bangunan gedung, ruko, dan tempat tinggal. Hal ini
disebabkan masih belum fahamnya fungsi rumah ibadah
dikalangan pemeluk agama. Namun secara bertahap sudah
diselesaikan oleh pemerintah daerah.20
Dalam hal sosial kemasyarakatan toleransi berjalan
dengan baik. Bila ada undangan pesta perkawinan, mereka
hidangkan dengan rasa penghormatan kepada muslim
dengan nasi kotak, sedangkan mereka masak sendiri. Dalam
hal memelihara binatang babi, mereka lakukan ditempat yang
jauh dengan orang muslim dan tidak berkeliaran, agar terjaga
segala kotoran dan dampaknya bagi umat muslim. Untuk
pendirian rumah ibadah (gereja), mereka lakukan disekitar
tanah milik keluarga Kristen sendiri. Jelasnya apapun yang
dilakukan umat muslim, umat Kristen dan lainnya selama ini
tidak pernah terjadi perselisihan ataupun konflik.
PTPN II Kebun Tamora melakukan berbagai kegiatankegiatan keagamaan relative banyak, terutama bagi agama
Islam, karena mayoritas muslim seperti ; nasidan, marhaban,
dan lain-lainnya. Pimpinan perusahaan tidak memandang apa
agama, suku, adat istiadat dan lain sebagainya. Termasuk bila
terjadi musibah belasungkawa diantara mereka, perusahaan
selalu memperhatikan dan membantu keluarga yang
ditinggalkan.
Hubungan antar dan intern umat beragama di
lingkungan karyawan dan masyarakat perkebunan selalu
mendapat perhatian dan bantuan perusahaan. Misalnya
dalam acara hari raya/lebaran, natalan, tahun baru, dan lain
sebagainya pihak perusahaan bisa membantu dengan
memberikan fasilitas kendaraan mobil untuk dipergunakan
20
Wawancaca dengan Drs. Impun Srg, MA (KUA Kec. Tanjung
Morawa) tanggal, 27 September 2006
197
sepanjang kegiatan itu berlangsung. Contoh lain ; bantuan
mendirikan masjid/mushalla. Untuk gereja biasanya mereka
minta izin untuk pemagaran gereja di areal tanah milik
perusahaan.
Hubungan sesama tokoh agama, berlangsung baik,
saling tolong menolong dan pengertian, melalui serikat
tolong menolong sesama orang Batak. Bila ada masyarakat
yang
sakit,
serikat
ini
saling
menolong
dan
memperhatikannya
dengan
baik.
Tidak
ditemukan
masyarakat baik muslim, Kristen maupun lainnya yang
fanatik berlebihan terhadap agamanya sehingga agama yang
lain merasa terganggu keberagamaannya.
Pernah ada kasus pendirian gereja HKBP berdekatan
dengan bangunan masjid di tanah kebun kelapa sawit di
daerah Batang Kuis Kec. Tanjung Morawa, kemudian
mendapat protes dari masyarakat muslim dan dilakukan
pembakaran (1980-an) namun, akhirnya diselesaikan dengan
baik.
Dalam hal perkawinan berbeda agama, sudah sering
terjadi dengan dasar suka-sama suka diantara mereka tanpa
ikut campur tangan terlalu jauh dari pihak orang tua. Kalau
laki-lakinya beragama Islam dan perempuannya Kristen ikut
dengan suaminya, demikian juga sebaliknya. Bisa juga lakilakinya Kristen ikut dengan agama perempuannya yang
beragama Islam. Orang tua pada awalnya merasa keberatan,
lama kelamaan bisa menerimanya dengan baik.21
21
Wawancara dengan Gultum dan Isteri (Guru Agama SD & SLTP
Kristen) tanggal, 30 September 2006
198
Penutup
A. Kesimpulan
K
ondisi kerukunan umat beragama di lingkungan
masyarakat perkebunan PTPN II Kebun Tamora Kec.
Tanjung Morawa selama ini sudah terbangun toleransi
kehidupan beragama dengan baik. Masalah hubungan intern
umat beragama adalah keberadaan LDII selama ini dirasakan
kurang membuat mereka kondusif, karena belum bisa
diterima dengan baik oleh masyarakat. Sementara hubungan
antar umat beragama yang muncul adalah kegiatan umat
Kristiani seperti ibadah kebaktian ataupun ibadah lainnya
menggunakan fasilitas bangunan gedung, ruko, dan tempat
tinggal. Hal ini disebabkan masih belum fahamnya fungsi
199
rumah ibadah dikalangan pemeluk agama. Namun secara
bertahap sudah diselesaikan oleh pemerintah daerah.
Pembinaan dan aktifitas sosial keagamaan yang
dilakukan PTPN II Kebun Tamora seperti program kerja
pembinaan di bidang pendidikan ; Madrasah Diniyah
Awaliyah (MDA), pengajian malam bersifat pripat. Program
keagamaan MADASIN (Majelis Dakwah Siar Islam), sebulan
sekali keliling ke antar afdeling (3 afdeling) tambah plasmen,
diikuti oleh pekerja-pekerja termasuk karyawan pimpinan dan
karyawan pelaksana, dan diikuti juga masyarakat perkebunan
di sekitarnya. Kegiatan lainnya peringatan `Hari-Hari Besar
Umat Islam, misalnya ; Isra Miraj, shalat idhul fitri dan idhul
adha, dan lain sebagainya. Kemudian kegiatan membina
anak-anak untuk metode Iqra, setiap tahun PTPN II Kebun
Tamora mengadakan Mushabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ)
antar unit kebun, kemudian di bawa ke seluruh PTP wilayah 1
Sumatera, baru-baru ini diadakan di Lansa – Propinsi NAD.
Interaksi sosial antar umat beragama pada masyarakat
perkebunan PTPN II Kebun Tamora sesama tokoh agama,
tokoh masyarakat saling tolong menolong dan pengertian,
diantaranya sudah membentuk serikat tolong menolong
sesama orang Batak. Bila ada masyarakat yang sakit, serikat
ini saling menolong dan memperhatikannya dengan baik.
Tidak ditemukan masyarakat baik muslim, Kristen maupun
lainnya yang fanatik berlebihan terhadap agamanya sehingga
agama yang lain merasa terganggu keberagamaannya.
Pernah ada kasus pendirian gereja HKBP berdekatan
dengan bangunan masjid di tanah kebun kelapa sawit di
daerah Batang Kuis Kec. Tanjung Morawa, kemudian
mendapat protes dari masyarakat muslim dan terjadi
pembakaran (1980-an), akhirnya diselesaikan dengan baik.
200
B. Rekomendasi
Meskipun
toleransi
kehidupan
keagamaan
masyarakat perkebunan di lingkungan PT. Perkebunan
Nusantara II Kebun Tamora kec. Tanjung Morawa sudah
dirasakan baik dan sangat kondusip, namun masih
dirasakan perlu mendapat perhatian yang lebih serius
adalah tentang aktifitas rutinitas ibadah umat yang
menggunakan fasilitas rumah tinggal yang tidak sesuai
dengan aturan pemerintah, serta perlu perhatian mereka
terhadap ketentuan untuk izin mendirikan rumah ibadah.
Daftar Pustaka
Achmad Jainuri, “Model Solusi Pengatan Konflik Sosial Berbasis
Agama”, Lemlit IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005
Agger, Ben, “Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan
Implikasinya”, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam
Beragama, Cet. IV, (Bandung: Mizan, 1988)
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan
Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001)
Fazlur Rahman, “Islam”, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung:
penerbit Pustaka, 1984)
J.B. Banawiratma, S.J., “Bersama Saudara-Saudari Beriman
Lain Perspektif Gereja Katolik”, dalam Seri Dian 1
Tahun 1, Dialog: Kritik dan Identitas Agama,
(Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993).
201
Syafri Sairin dan Pujo Sumedi, “Telaah Pengelolaan Keserasian
Sosial dari Literatur Luar Negeri dan Hasil Penelitian
Indonesia”, Jakarta: Kantor Menteri Negara KLH
dan UGM, 1983.
Spivak Gayatri Chakravorty dan Sneja Gunew, “Questions of
Multiculturalism”, dalam Simson During (ed), The
Cultural Studies Reader, London dan New York
Routledge, 1993
Masykuri Abdillah, “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Nur
Achmad (Ed), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam
Keragaman, (Jakarta: penerbit Buku Kompas, 2001)
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)
M. Arkoun, Al-Islam: Al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hasyim
Saleh, (Beirut: Markaz al-Inma’al-Qaumi, 1990).
Musthofa, “Kearifan Lokal dan Kerukunan Antarumat Beragama”
(Studi tentang Hubungan Islam-Hindu di Bali
dalam Membangun Harmoni), Lemlit UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2005
M. Mudhofi, dkk, “Toleransi Lintas Agama Bagi Masyarakat
Rawan Konflik”, (Studi Kasus Model Kerjasama
Lintas Agama di Kota Semarang), IAIN Walisongo
– Semarang, 2005
Nurcholish Madjid, “Pluralisme Agama di Indonesia”, Ulumul
Qur’an, No. 3, Vol. 95
202
BAGIAN 7
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN
BATANG HARI JAMBI
Tim Peneliti
Drs. H. Umar R. Soeroer, MM
Dra. Asnawati
Gambaran Umum
Wilayah Penelitian
A. Geografi dan Demografi
L
uas wilayah Kecamatan Bajubang 481,66 Km2, dengan
presentase luas 9,30% dari luas Kabupaten Batang Hari
yang memiliki luas 5.180,35 Km2. Adapun kondisi
geologi kecamatan ini terdiri dari: neogin dari luas 31.196 Ha
sebanyak 10,98%; endapan dari luas 12.900 Ha sebanyak 7,51%;
tufa Vulcan dari luas 11.196 Ha. Sebanyak 13,25%.(BPN
Kabupaten Batang Hari, tahun 2003)
Jumlah penduduk di Kecamatan Bajubang yang
tersebar di delapan desa dan satu kelurahan. Kelurahan dan
desa tersebut adalah: Kelurahan Bajubang, sementara desanya
adalah: Desa Penerokan, Ladang Peris, Batin, Bungku, Petajin,
204
Sungkai, Pompa Air dan Desa Mekar Jaya. Penduduk tersebut
berjumlah 29.200 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak15.384
jiwa, dan perempuan sebanyak 13.816 jiwa. Penduduk dari
jenis kelamin perempuan lebih banyak dari penduduk jenis
kelamin laki-laki.
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
dan Jenis Kelamin
di Kecamatan Bajubang, Tahun 2003
Kelompok
Laki-laki
Perempuan
Umur
0-4
1.552
1.530
5-9
1.629
1.537
10-14
1.725
1.622
15-19
1.758
1.577
20-24
1.424
1.477
25-29
1.473
1.441
30-34
1.314
1.140
35-39
1.231
1.073
40-44
1.013
764
45-49
736
508
50-54
496
359
55-59
336
239
60-64
301
234
65-69
177
129
70-74
134
97
75+
85
80
Jumlah
15.384
15.816
Sumber : BPS Kabupaten Batang Hari, Tahun 2003
Jumlah
3.091
3.166
3.347
3.335
2.901
2.914
2.454
2.304
1.777
1.244
855
575
535
306
231
165
29.200
205
Dari data kependudukan tersebut menurut tingkat
usia antara usia 15 sampai dengan usia 54 tahun merupakan
usia yang produktif untuk bekerja berjumlah 17.784 jiwa dari
jumlah penduduk 29.200 jiwa. Lebih separuh dari jumlah
penduduk yang dapat diandalkan dapat bekerja lebih enerjik
dan produktif, selebihnya adalah usia yang masih sekolah dan
usia yang sudah lanjut. Usia yang sudah lanjut, tidak
produktif lagi untuk bekerja. Karena bekerja di sektor
perkebunan memerlukan tenaga yang prima.
Penduduk Kecamatan Bajubang, sedikit mengalami
perkembangan, pada tahun 2003 jumlah penduduk sebanyak
29.200 jiwa, dua tahun kemudian pada tahun 2005 jumlah
penduduk berjumlah 29.673 jiwa (Laporan KUA Kecamatan
Bajubang, Tahun 2006).
B. Keadaan Sosial dan Budaya
Lingkungan sosial yang berhubungan dengan masalah
pendidikan, jumlah sekolah tingkat Taman Kanak-Kanak (TK)
pada tahun 2003 berjumlah enam buah, dengan tenaga guru
sebanyak 19 orang. Sementara jumlah murid sebanyak 2002
orang, terdiri dari laki-laki 96 orang dan perempuan sebanyak
106 orang. Untuk Sekolah Dasar (SD) baik yang berstatus
negeri dan swasta, pada tahun 2003 berjumlah 27 buah,
dengan jumlah guru sebanyak 223 orang dan jumlah murid
sebanyak 3.415 orang terdiri dari murid laki-laki sebanyak
1.784 orang dan murid perempuan sebanyak 1.631 orang.
Tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Menengah
Pertama (SLTP) pada tahun 2003 berjumlah lima buah baik
bersatus negeri maupun swasta. Tenaga guru sebanyak 83
orang dan jumlah murid sebanyak 814 orang. Sementara
pendidikan pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) pada tahun 2003, datanya pada tingkat kabupaten
206
(Batang Hari) sebanyak 15 buah, jumlah guru sebanyak 307
orang dan jumlah murid sebanyak 3.518 orang. Di Kabupaten
Batang Hari terdapat delapan buah kecamatan.
Perguruan Tinggi yang terdapat di Kabupaten Batang
Hari adalah: STIP, AMKOP, AKPER dan STIE semuanya
berstatus swasta. Jumlah mahasiswa pada tahun ajaran
2003/2004 sebanyak 231 orang, dengan jumlah tenaga dosen
tetap sebanyak 29 orang dan dosen tidak tetap sebanyak 22
orang.
Kemudian di wilayah kecamatan ini terdapat
penduduk yang tergolong anak terlantar dan yatim piatu,
jumlahnya cukup tinggi, yaitu sebanyak 277 orang terdiri dari
laki-laki sebanyak 143 orang dan perempuan sebanyak 134
orang. Pemerintah setempat juga peduli akan keadaan
masyarakat seperti tersebut di atas, dengan menyiapkan
sebanyak 13 panti, dan non panti sebanyak 14 buah.
Bagaimana pemeliharaan dan pembinaannya dilakukan
dengan bekerja sama dengan Sudin Sosial dan Dinas Sosial
(BPS, Kabupaten Batang Hari, Tahun 2003).
Keadaan sosial yang berhubungan dengan kesehatan,
di Kecamatan Bajubang hanya terdapat satu Puskesmas dan
tujuh buah Puskesmas Pembantu. Data yang terkait masalah
medis di kecamatan tidak ada.
C. Kehidupan Keagamaan
Penganut agama menyebar di delapan kelurahan/ desa
terdiri dari penganut agama Islam sebanyak 28.902 orang
(98,98%), Katolik 114 orang (0,39%), Protestan 157 orang
(0,53%), Hindu 10 orang (0,04%) dan penganut agama Buddha
sebanyak 17 orang (0,06%). Bila dikaitkan penganut agama
dengan rumah tempat ibadah masing-masing agama adalah:
umat Islam memiliki Mesjid sebanyak 33 buah, Langgar 11
207
buah dan Mushalla sebanyak tiga buah. Sedang umat Katolik
dan Protestan memiliki satu tempat ibadah (Gereja).
Sementara itu umat Hindu dan Buddha belum memiliki
tempat ibadah di wilayah tersebut, karena jumlah umatnya
belum begitu banyak. Jadi bila mereka akan melakukan
ibadah, umat agama tersebut dilakukan di tingkat kabupaten
atau di tingkat propinsi.
Aktivitas keagamaan berjalan seperti halnya dengan
kecamatan tetangga lainnya. Mereka melakukan pengajian,
yasinan dimalam hari, memperingati perayaan hari besar
Islam (PHBI). Di Desa Batin salah satu desa yang
penduduknya bekerja sebagai perkebunan karet di siang hari,
maka aktivitas keagamaan dilakukan di malam hari, melalui
kelompok pengajian. Kelompok ini terdiri dari kelompok ibuibu, bapak-bapak dan kelompok remaja menurut jadwal yang
disepakati.
Sedang umat non Islam melakukan kebaktian di
Komplek Perumahan Pertamina di Bajubang, satu-satunya
Gereja dicamatan tersebut, yang digunakan kebaktian bagi
umat Katolik dan Kristen secara bergantian. Sedangkan umat
Hindu dan Buddha belum memiliki sarana ibadat, bila akan
melakukan pengamalan ibadat, maka mereka pergi kecamatan
lain yang terdapat rumah ibadat mereka.
208
Kedudukan Adat
P
rovinsi Jambi, dalam masalah adat berbeda dengan
provinsi lain di Indonesia. Kedudukan Adat di Jambi,
memiliki landasan dasar sendi hukum yang kukuh dan
kuat. Dalam hal ini dibuktikan, walaupun telah melalui
rentang waktu yang panjang, dan masyarakatnya hidup
dalam kekuasaan pemerintahan yang silih berganti dengan
corak yang berbeda-beda, namun keberadaan hukum adat
tetap diakui dan tetap hidup di tengah-tengah masyarakat.
Setiap desa terdapat seorang ketua adat secara berjenjang di
tingkat kecamatan, kabupaten dan tingkat propinsi. Sehingga
kedudukan seorang ketua adat sangat penting artinya di
tengah masyarakat. Ketua adat dipilih oleh lingkungan
masyarakat didesa tersebut. Masyarakat harus tunduk atas
209
putusan ketua adat. Bila melanggar putusan adat maka
sanksinya berat. Bila putusan adat di tingkat desa/kelurahan
tidak selesai, maka dilanjutkan pada ketua adat tingkat
kecamatan, demikian seterusnya sampai ke tingkat propinsi.
Dasar hukum Adat Jambi disebut Induk Undang, yang terdiri
dari lima macam, yaitu:
1. TitianTeras Bertangga Batu;
2. Cermin Nan Tidak Kabur;
3. Lantak Nan Tidak Goyah;
4. Nan Tidak Lapuk Karena Hujan Tidak Lekang Karena Panas;
5. Kata Seiyo.
Hukum Adat Jambi1
Dasar Pertama: Titian Teras Bertangga Batu
Maksudnya: ketentuan yang bersumber dari Hadist Nabi
dengan Firman Allah yang tercantum dalam Al-Quran yang
disebut dengan syarak dijadikan tuntunan utama, yang
tercantum dalam Seloko adat berbunyi:
 Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah
 Syarak mengata adat memakai
 Syarak berbuhul mati, adat berbuhul sentak2
Dasar Kedua: Cermin Nan Tidak Kabur
Maksudnya: Ketentuan yang sudah ada berasal dari masa
berabad-abad silam yang terbukti kebenarannya dan
kebaikannnya dalam menga-yomi masyarakat di ikuti dari
1
Disarikan dari berbagai sumber, dan hasil wawancara dengan
beberapa tokoh adapt di tingkat desa, kecamatan, dan wawancara dengan
Herman, S.Ag Kepala KUA bajubang dan Camat Bajubang, Sugiejo, S.Pd.I
pada tanggal 21 September 2006 di Kantor Kecamatan Bajubang.
2
Adat dalam Kotek Pembangunan dan Kehidupan Sehari-hari,
Disusun Oleh Pemerintahan Desa/Kelurahan, Setda Kabupaten Batang Hari,
Tahun 2006
210
generasi ke generasi. Dasar kedua ini mengacu kepada selo
adat yang berbunyi:
 Jalan berambah yang di turut, baju berjahit yang dipakai
 Nan bersesap berjerami, bertunggul berpemareh, berpendam
berpekuburan
Dasar Ketiga: Lantak Nan Tidak Goyah
Maksudnya: Lantak atau tonggal adalah sepotong kayu atau
batu beton yang salah satu ujungnya di tanamkan atau di
masukkan ke dalam tanah untuk dijadikan pedoman atau
penahan sesuatu.
Maksudnya:
dalam
mencantumkan
hukum
dan
melaksakannya orang berwenang harus memiliki mental dan
tekad yang teguh sehingga keadilan bagi semua orang dapat
ditegakkan. Dasar ketiga adat ini diungkapkan dalam
beberapa seloko adat antara lain berbunyi:
 Beruk dirimba disusukan, Anak dipangku diletakkan
 Tiba dimata jangan dipicingkan, Tiba diperut jangan
dikempeskan
 Lurus benar dipegang teguh, Kata benar diubah tidak.
Dasar Keempat: Nan Tidak Lapuk Karena Hujan, Tidak Lekang
Karena Panas
Maksudnya: Berpegang pada kebenaran yang tidak berubah
Dlanjak Layu, Dianggu mati.
Dasar ke lima: Kata Seiyo
Maksudnya: Pembicaraan yang sudah di musyawarahkan dan
dumufakati. Kata Seiyo, diperoleh melalui perundingan
dengan mendengarkan dan memperhatikan pendapat
sebanyak mungkin orang yang patut didengar sehingga
dicapai kesepakatan yang harus diakui dan dipatuhi bersama.
211
Dalam seloka adat dikatakan:
 Elok air karena pembulu, Elok kata karena mufakat
 Bulat boleh digulingkan, Pipih boleh dilayangkan
Kelima dasar hukum tersebut dalamkodifikasinya
dinamakan Induk Undang nan Lima, dan kedudukannya maka
dalam menetapkan hukum adat atau menyelesaikan masalah
yang timbul harus berdalilkan pada prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Induk Undang Nan Lima.
Hukum adat Jambi jika diteliti dengan seksama
ternyata telah mengatur segi-segi kehidupan perorangan dan
kema-syarakatan (sosial) sampai pada persoalan yang sekecilkecilnya, dengan perangkat hukum yang sederhana berupa
pepatah-petitih dan seloko adat, yang harus dilaksanakan
dengan jujur, penuh rasa tanggung-jawab.
212
Pola Kerukunan Umat Beragama
pada Masayarakat Perkebunan
di Kecamatan Bajubang
A. Sejarah dan Profil Perusahaan Perkebunan
P
T. Asiatic Persada, salah satu perusahaan swasta
kerjasama
Indonesia,
Inggeris
dan
Amerika,
berkedudukan di Desa Sei Kandang (Di luar Kecamatan
Bajubang), Kabupten Batang Hari. Perusahaan perkebunan
kelapa sawit berdiri sejak 1986, memiliki areal tanah se luas
30.000 hekatre. Luas tanam 26.000 hektare dan empat ribu
hektare sebagai lokasi pembibitan kelapa sawit, perkantoran
dan pergudangan. Pembagian wilayah terdapat delapan
divisi, tiap divisi memiliki karyawan sebanyak 315 orang, tiga
diantaranya bertugas sebagai Kepala Administrasi, Kepala
Perawatan dan Kepala Tata Usaha.
213
Kantor pusat perusahaan terletak di Sie Kandang,
Kantor Divisi Satu, namanya Divisi Produksi Kebon Tanjung
Johor, letaknya kurang lebih 30 km dari Kantor Divisi
Delapan. Kantor Divisi Delapan teletak di Desa Bungku
kurang lebih 30 kilometer dari Ibukota Kecamatan Bajubang.
Untuk menuju ke areal perkebunan bisa menggunakan
kendaraan umum dengan angkot, atau dengan sepeda motor
dengan jarak tempuh satu jam lamanya dari Bajubang ke Desa
Bungku. Jalannya berkelok-kelok, mendaki dan menurun,
disisi kanan-kiri hanya pohon kelapa sawit, berhamparan
sepanjang jalan.
Menurut Hartiah, yang memegang jabatan sebagai
Kepala Administrasi Divisi Delapan, setiap hari menerima
laporan kegiatan opersional dari wilayah divisinya, dipilah
menurut kepentingannya, demikian juga laporan kejadian
karyawan, dihimpun lalu di lanjutkan ke tingkat pimpinan.
Jadi ketika karyawan sudah beristirahat baik Camp maupun
di luar Camp, dia masih menyelesaikan sejumlah laporan
secara rutin. Karena jabatannya, Hartiah dan keluarga
menempati perumahan karyawan di lingkungan Perusahaan.
Sementara karyawan tetap lainnya tinggal di mess milik
perusahaan. Lalu karyawan harian mengontrak atau membuat
rumah sendiri di luar Camp.
Setiap divisi memiliki karyawan sebanyak 315 orang,
tiga orang diantaranya masing-masing sebagai Kepala
Administrasi, Kepala Tata Usaha dan Kepala Pengawas.
Sebanyak 312 orang itu terbagi dalam bidang-bidang: sopir
mobil operasional, perawatan, pergudangan, kesehatan,
pemanen dan lain-lain. Kondisi Divisi Delapan dari jumlah
315 itu, sebanyak 113 orang tinggal didalam Camp, sedang 202
orang tinggal di luar Camp.
214
Menurut Susi Kristina Hutahayang, Kepala tata Usaha
Divisi Delapan, bahwa standar gaji mereka rata-rata Rp.22.250
perhari kerja perorang. Jumlah hari kerja sebanyak enam hari
dalam seminggu. Jam kerja di Perusahaan adalah tujuh jam
sehari, atau 40 jam dalam dalam seminggu, dengan ketentuan
apabila Perusahaan memerlukan tenaga gilir/aplus, maka
Pekerja harus bersedia melaksanakan pekerjaan tersebut3 .
Disamping gaji yang mereka peroleh, juga mereka menerima
berbagai tunjangan misalnya tunjangan kesehatan, tunjangan
natura, pernikahan, melahirkan dan tunjangan karena
musibah, tunjangan hari raya dan Natal semuanya diatur di
dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) PT. Asiatic Persada.
Kemudian mengenai pelanggaran yang dilakukan
pekerja, menurut Susi Hutagalung, bagian Pengawas
Perusahaan mengatakan: timbulnya moral kerja ditentukan
oleh kesadaran seluruh Pekerja atau tegaknya disiplin, oleh
karena itu setiap pekerja wajib memahami dan melaksanakan
tata Tertib Kerja dan Aturan Kedisiplinan yang telah
ditetapkan oleh Perusahaan. Dalam Bab IX, PKS, Pasal 52
tentang Kewajiban dan Tanggungjawab terdapat 18 item
kewajiban Pekerja. Kemudian dalam Pasal 53 diatur tentang
Sanksi atas pelanggaran tersebut, dengan diberi Surat
Peringatan I sampai ke III, bila tetap melakukan pelanggaran
maka Perusahaan melakukan penetapan Putusan Hubungan
Kerja (PHK).
1. Konflik yang Pernah Terjadi
Konflik yang sering terjadi dalam lingkungan
perusahaan, misalnya diantara Pekerja terjadi perselisihan
3
Ketentuan tersebut dimuat dalam Perjanjian Kerja Bersama PT. Asiatic
Persada 2004-2006, bab III Ketentuan Mengenai Waktu Kerja, Pasal 13,
Ayat 1.1.
215
Paham, karena diantara Pekerja itu berasal dari berbagai latar
belakang etnik, ada etnik Batak, Bugis, Jawa, Madura dan
perbedaan budaya. Penyelesaian konflik diselesaikan oleh
unsur pimpinan, dan bila ternyata tidak bisa diselesaikan
dalam lingkungan Perusahaan, maka diserahkan kepada
pihak Kepolisian, guna diselesaikan secara hukum.
2. Pembinaan Keagamaan PT Asiatic
Di lingkungan perusahaan terdapat delapan buah
Mesjid, yang di fasilitasi oleh PT.Asiatic Persada, tiap wilayah
divisi mempunyai satu buah mesjid. Sedangkan untuk
karyawan yang beragama Kristen maupun agama Katolik,
untuk delapan divisi hanya disediakan satu buah Gereja bagi
umat Katolik dan Kristen, yang letaknya di pertengahan dari
delapan divisi tersebut. Jumlah penganut agama Islam di
wilayah Divisi Delapan sebanyak 60%, dan 40% menganut
agama Kristen dan Katolik. Penganut agama non Islam
kebanyakan berasal dari Medan, Sumatera Utara.
Menurut Suparno, S.Ag, selaku petugas P2N dari
Kantor Urusan Agama Kecamatan Bajubang, yang mewilayahi
Desa Bungku Kecamatan Bajubang, juga bertugas melakukan
pembinaan keagamaan terhadap karyawan di delapan divisi
di lingkungan PT. Asiatic Persada. Jadwal pembinaan
keagamaan bagi umat Islam maupun non Islam dilakukan
satu kali dalam seminggu untuk bapak-bapak dan satu kali
seminggu untuk kaum Ibu. Pembinaan keagamaan disamping
dilakukan di setiap divisi juga dilakukan kebaktian di Gereja,
terutama kegiatan yang sifatnya lebih besar.
Bentuk pembinaan bagi umat Islam berupa pengajian
dan ceramah keagamaan dilakukan di malam hari sesuai
dengan jadwal pembinaan. Pembinaan yang lebih ramai
ketika mela-kukan peringatan hari besar Islam seperti Isra’
216
Mikraj dan Maulid Nabi Muhammad saw. mendatangkan
penceramah dari luar, dilaksanakan di mesjid di lokasi
perusahaan.
Kemudian Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten Batang Hari, Drs.H.Syamsuddin, S.Ag mengatakan
bahwa pihak perusahaan PTP juga memberikan pembinaan
keagamaan terhadap karyawan perkebunan karet dan kelapa
sawit, yaitu:
1. Pendidikan agama bagi anak-anak;
2. Pendidikan dan pelatihan Seni Baca Al-Qur’an;
3. Pelatihan Da’I dan Da’iyah;
4. Perusahaan memberikan santunan kepada anak-anak
yatim piatu.
Perkebunan Karet yang terdapat di Kecamatan
Bajubang adalah di Desa Batin dan juga terdapat di PTP.VI.
namun yang dilakukan obyek kajian adalah perkebunan karet
di Desa Batin. Lokasi desa berjarak enam kilometer dari
Ibukota Kecamatan Bajubang, dapat ditempuh dengan
menggunakan ikendaraan roda dua atau roda empat. Jalannya
termasuk mulus menggunakan aspal, yang dibiayai dari
Pemda setempat, sehingga dapat digunakan sebagai sarana
transportasi yang menghubungkan dengan sembilan desa
lainnya, dalam rangka melancarkan roda perekonomian di
wilayah tersebut.
Disebut desa Batin, karena keadaan desa tersebut
pada awal 1981 dibukanya desa tersebut sangat
memprihatinkan. Sarana jalan belum teratur, penduduknya
sangat sedikit. Terdapat 70 orang warga transmigrasi yang
ditempatkan disini pada tahun 1984 dari pulau Jawa
ditempatkan di Kompleks Perumahan Muhajirin, Mereka
hanya bertahan tidak berapa lama, kemudian mereka
tinggalkan desa ini pergi entah kemana guna menyelamatkan
217
hidup mereka. Tinggal empat keluarga yang bertahan, itupun
dilakukannya karena mereka sakit dan tidak punya biaya
untuk pergi.
Desa Batin mempunyai penduduk 2.999 jiwa yang
terdiri dari laki-laki 1.629 orang dan perempuan sebanyak
2.999 orang itu. Penduduknya terdiri dari warga transmigrasi
dari Jawa, Batak, Padang, Bugis, Sunda dan penduduk asli
Jambi.
Beberapa tahun kemudian, karet sudah mulai tumbuh
dengan baik menunjukkan masa depan yang dapat
diandalkan, Pemda mulai menata desa membentuk kelompok
tani, satu kelompok beranggotakan 25 orang,. Kelompok
tersebut dinamakan Wadah Kerjasama Antar Kelompok Tani
disingkat WKAKT berpusat di Bajubang. Melalui kelompok
ini mereka memperoleh penyuluhan dan bantuan pertanian
lainnya.
Selaku pekerja perkebunan karet, laki dan perempuan,
tua-muda pada pukul 06.00 pagi, mereka sudah pergi kekebun
menyadap karet, sore hari pukul 17.00 baru kembali kerumah
masing-masing. Mereka bekerja pada kebon sendiri bisa
memper-oleh antara 10-15 kilogram karet. Bila dijual dengan
harga Rp.7.000 maka bisa memperoleh hasil penjualan sebesar
Rp.100.000.- setiap hari. Tidak semua warga memiliki kebon
karet, bagi warga yang tidak memiliki kebon karet (terutama
warga pendatang baru), mereka bekerja sebagai buruh,
dengan sistem bagi hasil. Atau mereka bekerja pada
Perusahaan PTP milik pemerintah.
Dalam perkembangan zaman, bagi generasi muda
mereka tidak lagi mengandalkan sebagai penyadap karet,
apalagi bila mereka sudah memperoleh pendidikan tinggi,
mereka pergi kekota bekerja sebagai pegawai negeri atau
pegawai swasta. Hanya orangtua mereka saja menekuni
218
pekerjaan di kebon. Penduduk selain bekerja sebagai tukang
kebon karet, juga ada warga sebagai peternak ayam, petani
sayur-mayur, atau pergi kekota berjualan dan lain-lain.
B. Kondisi Lingkungan dan Aktivitas Sosial Keagamaan
Kondisi lingkungan Kecamatan Bajubang seperti yang
digambarkan dalam lokasi penelitian (Bab I), bahwa tanaman
perkebunan yang paling banyak diproduksi di kabupaten
Batang Hari adalah komoditi kelapa sawit, dan terbanyak di
Kecamatan Bajubang, 76,43% dari seluruh kecamatan di
Kabupaten Batang Hari yang luas wilayahnya 5.180,35 Km2.4
Diantara delapan desa yang ada di Kecamatan
Bajubang, di Desa Bungku mayoritas diproduksi tanaman
kelapa sawit, Sementara di Desa Batin, di mana masyarakatnya,
mayoritas bekerja di perkebunan karet. Dalam aktifitas
keagamaanya, mereka membentuk kelompok-kelompok
pengajian. Kelompok penga-jian terdiri dari kaum ibu-ibu,
kaum bapak-bapak dan kelompok Remaja. Secara bergiliran
melakukan yasinan, bergantian di rumah anggota pengajian
tersebut. Pengajian dilakukan di malam hari dari pukul 19.00
sampai pukul 20.00. karena kalau siang hari mereka bekerja di
kebun karet masing-masing. Media pengajian tersebut
berfungsi ganda, dilakukan untuk aktivitas keagamaan, juga
aktifitas sosial kemasyarakatan.
Aktifitas keagamaan setelah yasinan terkadang diisi
dengan ceramah, terkadang juga habis yasinan lalu selesai.
Sedangkan yang tergolong aktifitas sosial kemasyarakatan
adalah dilakukan arisan. Siapa yang kebagian arisan maka
dirumah itulah diselenggarakan pengajian berikutnya.
Kesempatan itu pula dapat dimanfaatkan pemerintah dalam
4
Kabupaten Batang Hari Dalam Tahun 2004
219
hal ini Kades atau petugas Pemda lainnya, untuk
menyampaikan penyuluhan kepada masyarakat, misalnya
akan dilakukan kerja bakti, ada penyuluhan tentang penyakit
Demam Berdarah, Flu Burung, Pilkades dan lain-lain
kepentingan kemasya-rakatan. Kemudian dengan melalui
kelompok pengajian pula, dapat diperluas mengundang
kelompok pengajian lain, dalam rangka melakukan “hajatan,
selamatan, pernikahan”. Misalnya Kades merencanakan
melakukan acara pernikahan anaknya. Disampaikanlah
maksud tersebut kepada anggota pengajian. Kades
mengumum-kan bahwa pernikahan tersebut akan diundang
1000 orang dengan biaya misalnya Rp.5 juta. Sementara Kades
telah memiliki uang Rp. 2 juta untuk kebutuhan: beras, ayam,
daging, gula, kopi, teh dan lain-lain. Kekurangannnya
ditutupi oleh anggota kelompok pengajian. Semuanya
diselesaikan oleh panitia pelaksana dari persiapan sampai
pelaksanaan, Kades tinggal terima jadinya. Demikian juga bila
ada salah seorang anggota pengajian yang akan melakukan
hajatan, selamatan, juga diperlakukan sama dengan Kades.
Semua anggota kelompok pengajian terlibat dan merasa malu
sendiri bila seseorang anggota pengajian tidak melibatkan diri
dalam acara tersebut.
Bukan saja dalam bentuk acara “suka cita”, dalam
acara “duka cita” pun dilakukan sama. Keluarga yang kena
musibah tidak perlu mengurus kebutuhan yang terkait
musibah tersebut. Semua ditangani kelompok pengajian,
sampai selesai. Kelompok pengajian kompak dan berjalan
lancar. Namun masalah pelaksanaan ritual agama, agak
kurang. Ketika Peneliti melakukan pengamatan, disaat waktu
Magrib tiba, saya datang ke Mushalla Al-Ikhlas shalat magrib,
yang nampak adalah kurang lebih 20 orang anak (laki-laki dan
perempuan) datang shalat dan belajar ngaji, dan seorang
220
dewasa sekaligus sebagai imam. Tidak ada seorang jemaah
dewasa baik laki-laki maupun perempuan yang ikut shalat
Magrib tersebut, kecuali Peneliti. Ketika nginap di rumah
Kades, pukul 03.00 dini hari, saya sudah bangun shalat
malam, saya mengamati Kades dan keluarga tidak bangun
shalat subuh. Kebetulan saya tidur di lantai dua bela-kang,
jadi ketika orang akan ke kamar mandi pasti lewat dekat
kamar saya. Saya tidak melihat angota keluarga masuk kamar
mandi nanti setelah pukul 07.00 pagi baru Kades bangun
langsung duduk ngopi dan ngobrol. Rupanya pengamalan
ibadah shalat itu tidak menjadi pokok, tergantung kembali
kepada pribadi masing-masing. Kejelasan pengamalan agama
diperoleh ketika wawancara dengan H. Syamsuddin, S.Ag
Kepala Kandepag Kabupaten Batang Hari di Wisma
Pertamina Bajubang, juga ketika melaporkan diri kepada
Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Jambi atas kunjungan dan
tugas penelitian di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batang
Hari. Memang masalah ritual agama pada masyarakat
tertentu, kurang melakukan pengamalan ibadah. Dalam
rangka mengantisipasi kejadian tersebut, Gubernur Propinsi
Jambi memberikan Instruksi kepada Pemda setempat, agar
setiap selesai shalat Magrib sampai selesai Shalat Isya’
dilakukan Pengajian bagi Anak-anak5 .
Dalam salah satu kewajiban yang ditujukan kepada
Generasi Muda, salah satu aturan Hukum Adat Jambi, dimana
Adat mendukung Instruksi Pemerintah dari tingkat provinsi
sampai jajaran paling bawah, agar melaksanakan Pengajian
Anak-anak antara shalat Magrib dan Shalat Isya (PAMI)
5
Wawancara dengan H.Syamsuddin, S.Ag. Kepala Kandepag Kabupaten
Batang Hari di Wisma Pertamina, Muara Bulin, 22 Sepember 2006.
221
Di lingkungan Kecamatan Bajubang terdapat komplek
Perusahaan Pertamina. Kehadiran perusahaan besar tersebut
banyak menunjang perkembangan pembangunan wilayah.
Dalam komplek perusahaan Pertamina terdapat berbagai
sarana seperti: wisma, ruang pertemuan, sarana olah raga dan
sarana peribadatan mesjid dan gereja. Gereja satu-satunya di
kecamatan ini dipakai untuk acara kebaktian untuk umat
Katolik dan umat Kristen Protestan. Menurut Pendeta Rido
yang baru empat bulan bertugas melayani umat dikecamatan
ini mengatakan, Dialog Lintas Agama, sangat diperlukan ,
sebagai media pertemuan untuk membicarakan permasalahan
keagamaan dan bagaimana mencari solusi terbaik bagi
masalah yang timbul.
Di wilayah kecamatan ini baru saja berlangsung Dialog
Lintas Agama, sebagai salah satu program pemerintah
Propinsi Jambi, yang pelaksanaannya di lakukan di
Kecamatan Bajubang, pesertanya 150 orang, yang diwakili
lima agama, generasi muda, tokoh adat, tokoh masyarakat,
dengan Nara Sumber Lima Tokoh Agama.
C. Interaksi Sosial Antar Umat Beragama
Interaksi sosial antar umat beragama pada lingkungan
masyarakat yang bekerja dalam perkebunan karet di Desa
Batin, berbeda dengan masyarakat pekerja perkebunan kelapa
sawit di Desa Bungku. Perbedaan itu terlihat tempat tinggal
mereka di perusahaan terikat berbagai aturan, sedang di
perkebunan karet bebas dari aturan kehidupan mereka. Ketika
masyarakat akan melakukan hajatan, selamatan, pernikahan,
mereka tidak terikat dengan waktu, kapan saja bisa
dilakukannya sesuai dengan kesepakatan warga. Tapi bila
tinggal di komplek perusahaan semuanya serba diatur sesuai
dengan keinginan perusahaan.
222
Interaksi sosial di lingkungan perusahaan terjalin baik,
mereka bekerja dalam perusahaan tanpa ada sekat-sekat
agama, suku dan asal daerah. Mereka melakukan pekerjaan
sesuai dengan tugas dan fungsi dalam perusahaan tesebut.
Mereka selalu dalam kebersamaan dan mengikuti aturan
dalam perusa-haan. Karena kalau mereka tidak disiplin dalam
melaksanakan pekerjaan, maka sanksi-sanksi yang mereka
telah sepakati ketika akan masuk kerja, akan menentukan
nasib mereka.
Interaksi sosial yang berkaitan dengan peribadatan,
juga perusahan telah mengaturnya, kapan mulai beribadat
dengan kelompok dan kapan melaksanakan ibadah secara
perseorangan. Sarana peribadatan bagi umat Islam dan
Nasrani telah tersedia. Bagi karyawan yang berdomisili di luar
Camp, merekapun dapat berinteraksi dengan lingkungannya,
baik yang berhubungan interaksi sosial maupun interaksi
keagamaan.
Sementara itu marga masyarakat yang berdomisili di
Desa Batin, yang mata pencahariannya mayoritas berkebun
karet, mereka berinteraksi di tempat pekerjaan di kebon.
Mereka umumnya menganut agama Islam, yang membedakan
diantara mereka adalah suku dan daerah asal. Namun mereka
rukun-rukun saja, tanpa ada konflik.
Di malam hari barulah mereka melakukan interaksi
berkaitan keagamaan, yaitu melalui kelompok pengajian.
Kelompok pengajian dewasa ini dapat berfungsi ganda. Dapat
dimanfaatkan
oleh
Kades
untuk
kegiatan
sosial
kemasyarakatan, misalnya menyampaikan berupa: instruksi,
penyuluhan, atau pelaksanaan suatu hajatan. Sedang bersifat
keagamaan adalah kegiatan kelompok pengajian dan yasinan.
Kelompok pengajian tingkat anak-anak dilakukan di mesjid
dan di mushalla. Mereka belajar mengenal Al-Qur’an dan
223
belajar melaksanakan ibadah shalat, yang dipandu oleh guru
Ngaji setiap habis shalat Magrib sampai shalat Isya’.
D. Upaya Memelihara dan Meningkatkan Kerukunan
Secara umum upaya memelihara dan meningkat
kerukunan umat beragama di perkebunan kelapa sawit dan
perkebunan karet, seperti yang dikemukakan Mawardi Ketua
Adat di Desa Batin mengatakan bahwa dalam menciptakan
kerukunan di tengah masyarakat, harus melakukan aturan
adat, dengan tiga sipilan, terkait dengan hubungan adat,
agama dan pemerintah harus seiring dan sejalan. Adat dipakai
lembaga dituang, cupak (gentong) di isi disaksikan orang
banyak. Maksudnya: bila hukum adat itu sudah diputuskan,
maka harus dipenuhi, dilaksanakan dan disaksikan oleh orang
banyak. Bila tidak dilaksanakan maka penyelesaiannya harus
melalui hukum Negara.
Sementara itu dari upaya yang dilakukan Pemerintah,
sebagaimana dikemukakan Sugirjo, S.Pd.I, Camat Bajubang,
bahwa Pemda setempat telah memberikan bantuan gaji
honorer kepada mereka yang telah mengabdi, melakukan
pembinaan dakwah di masyarakat. Demikian juga kepada
sebagian guru dan pegawai honorer telah diangkat menjadi
pegawai negeri sipil (PNS) dan ditempatkan dikantor Pemda
kecamatan dan kantor KUA setempat, dan sebagai guru
Kemudian usaha yang dilakukan dilingkungan
perkebunan kelapa sawit, maupun diperkebunan karet,
meningkatkan pengajian secara individu dilingkungan
keluarga, sesuai dengan instruksi Gubernur Propinsi Jambi,
agar setiap hari sehabis shalat Magrib dan shalat Isya’
dilakukan pengajian secara rutin.
224
Faktor pendukung dan penghambat kerukunan
Faktor pendukung di perkebunan kelapa sawit, bahwa
perusahan ada kepedulian dalam pembinaan kerukunan bagi
pekerja, yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja Sama (PKB)
PT. Asiatic Persada, sehingga menjadi pedoman bagi pekeja
dalam melakukan pengamalan agama, interaksi sosial
sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya konflik di
antara pekerja. Sedangkan yang menjadi hambatan adalah
masih terdapatnya pekerja yang tinggal di luar camp,
sehingga mengalami kesulitan pendekatan dalam melakukan
pembinaan
keagamaan
maupun
pembinaan
sosial
kemasyarakatan lainnya;
Faktor pendukung di perkebunan karet di Desa Batin,
lebih mudah melakukan sosialisasi pembinaan keagamaan
maupun pembinaan sosial kemasyarakatan, dimana dapat
dilakukan melalui kelompok pengajian yang berlangsung
setiap malam secara bergiliran.
Upaya yang perlu dilakukan untuk memelihara dan
meningkatkan kerukunan dalam lingkungan perusahaan
perkebunan kelapa sawit di Desa Bungku, adalah eksistensi
perusahan memelihara kebijakan memberla-kukan aturan
yang berkaitan pembinaan pekerja, memperhatikan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, sehingga menguntungkan perusahaan dan mensejahterakan pekerja.
Sementara di lingkungan perkebunan karet, dalam
upaya memelihara dan meningkatkan kerukunan, disamping
mening-katkan kegiatan kelompok pengajian , juga meningkatkan pengamalan agama bagi setiap individu, baik yang
dilaksanakan di lingkungan perkebunan maupun yang di
laksanakan dilingkungan keluarga masing-masing.
225
Penutup
A. Kesimpulan
1. Kondisi
lingkungan
dan
kehidupan
keagamaan
masyarakat perkebunan di Kecamatan Bajubang, yang
terjadi di lingkungan perkebunan kelapa sawit di Desa
Bungku, yang terdiri delapan divisi dengan luas areal
30.000 hektare, sudah tertata rapi oleh perusahaan
PT.Asiatic Persada. Mulai dari pengelompokan divisi,
perkantoran dan perumahan dalam komplek perusahaan.
Pembinaan keagamaan terjadwal sesuai dengan aturan
perusahaan yang meliputi : hubungan keja, waktu kerja,
pengupahan,
jaminan
sosial
dan
kesejahteraan,
keselamatan dan kesehatan kerja, istirahat, tata kerja,
kedisiplinan dan PHK, dan penyelesaian keluh kesah
ketanagakerjaan. Sementara kondisi lngkungan kehidupan
keagamaan di Desa Batin, yang mayoritas penduduknya
bekerja pada perkebunan karet, mereka mengelompok
226
dalam pengajian dan juga bisa berfungsi kelompok
kegiatan sosial kemasyarakatan, yang dapat dimanfaatkan
Kades dalam menyampaikan aspirasi pembangunan,
misalnya dalam kerja bakti, penyuluhan, sosialisasi
keagamaan, juga dalam kegiatan hajatan warga.
2. Pada masyarakat perkebunan kelapa sawit di Desa
Bungku, interaksi sosial terjadi dilingkungan perkebunan
dianatara karyawan yang berbeda suku, agama dan
daerah asal mereka. Interaksi dapat terjadi ketika sedang
melaksanakan kegiatan keagamaan bagi umat Islam
terjalin dalam mesjid, dalam melaksanakan hari raya besar
Islam, sementara bagi komunitas krsten kegiatan kebaktian di Gereja. Juga dapat berinteraksi dalam kegiatan
olah raga baik yang terjadi dalam Camp maupun di luar
Camp.
Demikian juga pada masyarakat perkebunan karet di Desa
Batin, interaksi sosial keagamaan pada kelompok
pengajian, ditempat pekerjaan mereka di areal perkebunan, dalam kerja bakti, juga areal peternakan ayam, dalam
forum kegiatan adat, kegiatan siskamling dan lain-lain.
3. Upaya-upaya yang terjadi dalam memelihara dan
mengembangkan kerukunan umat beragama di Desa
Bungku, terpenuhinya kegiatan pembinaan kerohanian
yang dilakukan oleh perusahaan menurut agama yang
dianutnya. Perusahaan telah memfasilitasi sarana
keagamaan. Demikian juga yang terjadi Desa Batin,
perlunya peningkatan pengamalan agama sesuai dengan
instruksi Gubernur Propinsi Jambi, yang diperkuat dengan
instruksi Ketua Adat di tingkat propinsi sampai ketingkat
desa agar setiap hari diwajibkan warga masyarakat yang
beragama Islam (dewasa dan anak-anak) belajar
pendalaman agama, termasuk belajar Ngaji setiap habis
227
shalat Magrib sampai shalat Insya. Kerukunan umat
beragama dapat tercipta kalau umat beragama itu sendiri
menyadari pengamalan agama dilaksanakan sebagai
kewajiban dari Allah Yang Maha Esa. Karena Rumah
ibadah itu tidak hanya bisa dibangun, tapi juga bisa
dipakai untuk pengamalan agama, dan tempat berdiskusi
dan tempat membicarakan kegiatan intern beragama, agar
permasalahan yang timbul dapat diselesaikan secara
kekeluargaan di antara umat.
B. Rekomendasi
1. Penyuluhan agama di lingkungan masyarakat intern dan
antar umat beragama, perlu ditingkatkan dan
dimonitoring oleh para pimpinan majelis-majelis agama
setempat. Karena dalam pengamatan Peneliti di lapangan
di dua lokasi penelitian di Desa Bungku di luar komplek
perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan di Desa Batin
yang mayoritas bekerja diperkebunan karet ternyata
pengamalan agama secara individual sangat kurang.
Sekalipun kelompok pengajian di Desa batin, marak setiap
malam.
2. Pemerintah Propinsi Jambi, telah menyadari akan
kurangnya pengamalan agama di lingkungan keluarga
(umat Islam), maka keluar instruksi Gubernur Propinsi
Jambi, dan seiring dengan itu keluar pula instruksi dari
Ketua Adat Jambi, agar setiap hari antara shalat Magrib
dan shalat Isya’ dilakukan pengamalan agama dan belajar
Ngaji dilingkungan keluarga masing-masing.6
6
. Hasil wawancara dengan Kepala Tata Usaha Kantor Dinas
Perke-bunan Propinsi Jambi pada tanggal 21 September 2006 dan Kepala
Kandepag Kabupaten Batang Hari pada tanggal 20 September 2006.
228
Daftar Pustaka
BPS Kabupaten Batang Hari, Batang Hari Dalam Angka tahun
2004, Batang Hari, 2004;
Kuntjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pemba-ngunan,
Jakarta , Grmedia, 1974;
Lukman Zakaria,H, Makalah, Selokoh Adat LengkapDalam
Upacara Adat Perkawinan Jambi Yang berlaku di
Kabupaten Batang Hari, Batang Hari, 2006
………………, Makalah, Adat dalam Kontek Pembangunan dan
Kehidupan Sehari-hari, Bagian Pemerin-tahan
Desa/Kelurahan, Setda kabupaten Batang Hari,
2006;
P.T Asiatic Persada, Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2004-2006,
Bajubang, 2004;
Tendri Yusman, Dra, M.Si, Seratus Tokoh Masayarakat Batang
Hari, Batang Hari 2004;
229
230
BAGIAN 8
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN
KOTAWARINGIN BARAT KALIMANTAN
TENGAH
Tim Peneliti
Drs. Muchit A Karim, M.Pd.
Muchtar, S.Ag.
Achmad Rosyidi, S.Ag.
Gambaran Umum
Wilayah Penelitian
A. Geografi dan Demografi
K
otawaringin Barat terbagi atas 5 (lima) kecamatan.
Kecamatan Kotawaringin Lama, Kecamatan Arus
Selatan, Kecamatan Kumai, dan
Kecamatan
Pangkalan Lada (pemekaran dari Kecamatan Kumai), serta
Kecamatan Arus Utara.
Kecamatan pangkalan lada dengan batas-batas wilayah
antara lain: Di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan
Arus Selatan; Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Pulau Banteng, dan sebelah Barat berbatasan dengan
232
Kecamatan Arus Selatan serta sebelah selatan berbatasan
dengan Kecamatan Kumai.
Kecamatan Pangkalan Lada adalah Kecamatan yang
paling muda di antara lima kecamatan yang ada di Kabupaten
Kotawaringin Barat yang merupakan pemekaran Kecamatan
Kumai pada tahun 2005, yang terdiri atas sembilan desa.
Jumlah penduduk di Kecamatan Pangkalan Lada
sebanyak 24.369 jiwa yang terdiri dari 6.168 KK, sedangkan
tingkat pendidikan di Kecamatan ini terdiri dari 13.711 jiwa
tidak tamat sekolah dasar diantaranya 9.241 jiwa tidak bisa
membaca dan menulis (buta huruf), yang berpendidik sampai
tamat Sekolah dasar sebanyak 5.429 jiwa, dan yang
berpendidikan Sekolah lanjutan Tingkat Pertama sebanyak
1.631 jiwa, dan yang berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas sebanyak 599 jiwa, serta yang mengenyam pendidikan
Perguruan Tinggi ada 102 jiwa. (Profil Kecamatan Pangkalan
Lada 2005).
Persebaran penduduk di Kecamatan Pangkalan lada
dapat dirinci sebagai berikut ; Jumlah penduduk di Desa
Purbasari sebanyak 2.586 jiwa, Desa Pangkalan Tiga sebanyak
2,353 jiwa dan Desa Pangkalan Dewa sebanyak 2.384 jiwa, di
Desa Pandu Sanjaya sebanyak 3.144 jiwa, Desa Makarti Jaya
dengan jumlah 1.823 jiwa, Desa Sumber Agung jumlah
penduduknya sebanyak 2.602 jiwa, di desa Sungai Rangit Jaya
sebanyak 2.893 jiwa serta Desa Kadipi Atas sebanyak 1.468
jiwa dan Desa Lada Mandala jaya dengan jumlah
penduduknya sebanyak 4.439 jiwa.
Bila dilihat dari persebaran penduduk di Kecamatan
Pangkalan Lada ini tidak merata dikarena kan letak wilayah
sangat mempengaruhi terhadap kehidupan masyarakat
setempat disamping lahan yang kurang menguntungkan
untuk pertanian juga fasilitas sarana transportasi yang belum
233
begitu lancar dan masih minimnya transportasi untuk umum
dalam menjalankan roda perekonomian penduduk setempat.
Sedangkan jarak dari Ibu Kota Kecamatan ke Ibu Kota
Kabupaten ± 180 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan
pribadi kurang lebih 5 jam, dan bila di tempuh dari Ibu Kota
Provinsi kurang lebih memakan waktu 15 jam dengan kondisi
jalan yang sudah rusak dan memerlukan perbaikan di
samping jalan tersebut banyak dilalui oleh kendaraan yang
muatannya sangat berat seperti mobil yang mengangkut
kelapa sawit dari perkebunan dengan bermuatan yang cukup
berat sehingga mempengaruhi kerusakan jalan tersebut.
Sedangkan jalan-jalan yang menghubungkan desa yang satu
dengan desa lainnya masih berupa tanah yang dikeraskan
sehingga ketika musim penghujan datang jalan tersebut sulit
untuk dilewati oleh kendaraan roda empat sedangkan
transport sehari-hari kebanyakan dengan kendaraan roda dua.
Bila dilihat jumlah pemeluk agama di Kecamatan
Pangkalan Lada dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
Jumlah Pemeluk Agama
Kecamatan Pangkalan Lada Tahun 2005
No
1
2
3
4
5
6
234
Desa
Purbasari
Pangkalan
Tiga
Pangkalan
dewa
Pandu
Sanjaya
Makarti Jaya
Sungai
Rangit Jaya
Agama
Islam Katolik Protestan
2588
10
19
2353
50
Hindu Budha
1
-
2384
15
27
-
-
3144
11
70
-
-
1823
2893
15
-
20
207
-
-
7
8
9
Sumber
Agung
Kadipi Atas
Lada
Mandala
Jaya
Jumlah
2602
5
40
-
-
1468
4439
10
16
14
155
-
2
23692
82
592
1
2
Monografi Kecamatan Pangkalan Lada 2005
Bila dilihat dari segi pemeluk agama maka dilihat
pada tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa mayoritas
pemeluk agama di Kecamatan Pangkalan lada sebagian besar
beragama Islam dari jumlah penduduk sebanyak 24.369 jiwa
23.693 jiwa atau 97,23%, menganut agama Islam, 82 orang
beragama Katolik atau sekitar 0,34%, yang beragama Kristen
protestan 592 jiwa atau sekitar 2,43% dan Hindu hanya satu
orang serta yang menganut agama Budha sebanyak 2 orang.
Bila dilihat dari persebaran suku yang tersebar di
Kecamatan Pangkalan Lada maka mayoritas diduduki oleh
suku Jawa dari jumah penduduk sebanyak 24.369 jiwa, 23.452
jiwa atau sekitar 95,17% adalah suku Jawa, 757 jiwa atau
,2,90%, adalah suku Melayu, 199 orang atau 0,81% adalah
suku Dayak, 73 orang atau 0,29% suku Madura, dan Batak 28
orang atau 0,11% dan lain-lain ada suku banjar, bugis
sebanyak 617 orang atau 1,82%. (Kecamatan Dalam Angka
2005)
Bila dilihat dari persebaran penduduk di Kecamatan
Pangkalan Lada mayoritas didiami oleh suku Jawa Menurut
Ch. F. H. Dumont dalam bukunya Masri Singaribun dimana
orang orang dayak yang tadinya mendiami seluruh wilayah
pulau Kalimantan baik di daerah pantai maupun darat.
Dengan kedatangan orang melayu, dari Sumatera dan Malaka
mendesak orang-orang Dayak yang tadinya bermukim di
235
pantai kemudian mundur ke kesebelah darat pulau
Kalimantan ditambah lagi dengan kedatangan orang-orang
Bugis dan Jawa yang mendiami pantai timur Kalimantan
(Dumont 1924). Dan menurut Mallincordt suku bangsa
melayu di sekitar pesisir adalah keturunan Jawa pada masa
pemerintahan Kerajaan Majapahit (Mallicordt 1928: 48) di
tambah lagi pada masa pemerintahan Orde Baru dengan
digalakkannya program transmigrasi di wilayah Kalimantan
dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. maka tidaklah heran
suku Jawa banyak mendiami di berbagai pulau pulau di
Indonesia.
B. Kehidupan Ekonomi, Sosial Budaya
Kecamatan Pangkalan Lada yang berkarak-teristik
daerah pertanian, sebagian besar penduduknya adalah petani
dengan perbandingan bahwa jumlah petani yang menggarap
lahan pertanian sebanyak 10.219 jiwa, atau sekitar 41,94%
adalah petani penggarap sawah dan bekerja sebagai nelayan
sebanyak 35 orang atau 0,014%, dan petani peternak 278 orang
atau sekitar 1,20%, dan buruh sebanyak 2849 orang atau
sekitar11,70% serta bekerja sebagai pedagang dan bertani
sebanyak 1849 orang atau sekitar 7,60%. (laporan tahunan
Kecamatan Pangkalan Lada).
Pertumbuhan pertanian di Kecamatan Pangka-lan Lada
tidak begitu subur dari luas areal 30733 ha, lahan yang hanya
dapat ditanami padi dan pertanian lainnya sebanyak 500 ha
dan tadah hujan 387 ha, serta lahan kering 11.695 ha lahan
kering yang sebagian besar dimanfaatkan sebagai perkebunan
kelapa sawit dan karet serta lada. untuk lahan pemukiman
dan sarana lainnya seluas 2.039 ha, lahan tegalan seluas 5828
ha, serta rawa-rawa 794 ha (Prafil Kecamatan Tahun 2005).
236
Untuk lahan perkebunan yang ada di Pangkalan Lada
khususnya perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh
swasta dan rakyat seluas 9.490 ha, dan sisanya kurang lebih
2205 ha adalah merupakan perkebunan karet, lada. Sedangkan
perkebunan Kelapa Sawit yang di kelola oleh “PT. Medco
Argo Kebun Kumai kurang lebih 8000 ha, Keberadaan
perkebunan tersebut diperkirakan berdiri pada tahun 1996.
Dengan adanya perkebunan ini masyarakat yang berada di
sekelilingnya ada semacam tambahan penghasilan yang
tadinya
masyarakat
bermata
pencaharian
sebagai
petani/bercocok tanam mereka dapat bekerja di perusahaan
perkebunan setelah selesai melakukan aktifitas sebagai petani
mereka bekerja sebagai harian lepas dalam rangka
menyambung kehidupan sehari-hari(mereka sebagai tenaga
kasar seperti potong rumput, memetik kelapa sawit yang
sudah siap petik dan memelihara tanaman).
Sekilas Gambaran PT Medco Argo Kebun Kumai,
Perkebunan Sawit yang dikelola oleh Medco Argo berdiri
pada tahun 1996, sebagai Pimpinan Administrator Kumai
adalah Ir Jafar Khalid dan Mill Manager Ir, Ilyas yang
beralamatkan di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 43 Bambal
Pangkalan Embun Kotawaringin Barat yang merupakan
sebagai kantor perwakilan yang ada di Kabupaten Kotawaringin Barat sedangkan kantor pusat menurut informasi
berada di Jakarta. Di samping bergerak dalam bidang
perkebunan perusahaan ini bergerak di bidang pertambangan,
bidang perhotelan, dan bidang perbankan.
Perkebunan kelapa sawit ini merupakan perkebunan
milik swasta dalam hal ini pemiliknya adalah PT Medco Argo
Kebun Kumai
dengan sistim kontrak lahan dengan
penduduk/masyarakat setempat sebagai pemilik lahan dengan
sistim bagi hasil sesuai dengan perjanjian yang telah mereka
237
sepakati bersama. Perkebunan ini biasanya disebut
perkebunan Plasma karena setelah selesai masa kontraknya
tanah tersbut kembali kepada pemiliknya beserta tanaman
yang ada di lahan tersebut. Dengan model semacam ini
masyarakat diharapkan merasa memiliki perkebunan sawit
karena bila perkebunan ini tidak menghasilkan maka yang
akan rugi tidak hanya perusahaan tetapi juga pemilik lahan
karena mereka tidak akan menerima keuntungan dan tidak
bisa menikmati yang di peroleh dari hasil perkebunan
tersebut. (wawancara dengan Ir. Maladi Bagian Personalia).
Jumlah karyawan sebagai tenaga admnistrasi kantor
sebanyak 13 orang. Mereka ini yang mengendalikan laju
perkembangan perusahaan yang ada di Pangkalan Embun
sebagai kantor perwakilan di Kota Kabupaten, sedangkan
yang bekerja sebagai tenaga di perkebunan sebanyak 89 orang
sebagian besar tinggal di Camp-Camp (mess/rumah tinggal
yang disediakan di tempat perkebunan). Sebagian yang lain
mereka pulang kerumah karena tempat tinggal mereka tidak
jauh dari tempat pekerjaannya. Dari tenaga yang jumlahnya
sebanyak 89 orang itu membawahi delapan afdeling (desa)
perkebunan jadi setiap afdeling dikelola oleh kurang lebih 10
atau 12 orang untuk mengurusi perkebunan tersebut.
Menurut penuturan salah seorang karyawan yang
tinggal di Camp (Bapak Ismanto) yang merupakan pimpinan
camp ia berasal dari Jawa dan diangkat oleh perusahaan
tersebut dari pusat (Jakarta) kebanyak karyawan yang tinggal
di cam adalah sebagian besar masih bujangan dan tidak
memiliki sanak famili, karena sebagian besar tenaga tenaga
tersebut di datangkan dari luar daerah seperti dari Jawa,
Sunda Makassar, Bali dan Sumatera (batak), NTT dan NTB.
Walaupun begitu tidak semua karyawan yang tinggal di camp
sendirian tetapi ada yang sudah berkeluarga. Rata-rata usia
238
perkawinan mereka berkisar satu hingga tujuh tahun dan
mereka rata-rata memiliki anak masih kecih-kecil dan belum
masuk usia sekolah, dan mereka setiap keluarga mendapat
satu pintu yang terdiri dari ruang/kamar tamu, kamar tidur
dan dapur serta kamar mandi dll.
Sedang tenaga harian lepas (tenaga musiman) yang
jumlahnya kurang lebih 1000 orang ini kebanyakan para
petani yang telah selesai menggarap sawahnya mereka
manfaatkan untuk bekerja di perkebunan sambil menunggu
hasil panennya. Mereka tinggal di sekitar perkebunan sebagai
tenaga transmigran. Adapun penduduk asli suku dayak lebih
senang minggir masuk ke pedalaman karena mereka
disamping tidak memiliki keahlian juga ketinggalan dalam
bidang pendidikan dengan para pendatang (wawancara
dengan Kasubbag TA Kandepag Kotawaringin Barat) Drs. H.
Abdullah. Bagi Suku dayak yang telah maju sebagian besar
tidak mau disebut suku dayak lagi. Mereka lebih senang
disebut suku melayu di samping suku dayak sudah banyak
yang membaur dengan pendatang disamping adanya
hubungan perkawinan istilah dayak mempunyai konotasi
merendahkan sehingga ada yang lebih suka menamakannya
Daya (Suku Daya). (Coomons:1997). Sekarang dayak tak perlu
diganti dengan daya, karena hal ini untuk meningkatkan
harkat dan martabat suku dayak di masa lalu. (Masri
Singarimbun, Hon LLD 1997:258).
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga yang siap pakai
kecamatan ini nampaknya masih membutuhkan waktu yang
panjang di samping usianya yang baru berjalan satu tahun,
sarana dan prasarana merupakan kebutuhan yang tidak bisa
dihindari untuk mencerdaskan masyarakat yang akan
berakibat ketertinggalan dengan daerah lain yang sudah lebih
maju. Sekarang ini untuk memenuhi kebutuhan pendidikan
239
hanya terdapat 12 Taman kanak-kanak, 20 Sekolah dasar dan
5 Sekolah lanjutan Pertama serta 2 Sekolah lanjutan Atas.
Berkaitan dengan pendidikan pada umunya masyarakat
daerah ini bagi mereka yang mampu ekonominya mereka
lebih senang menyekolahkan anak-anak mereka di luar daerah
seperti Jawa Tengah (Semarang dan di Jawa Timur (Surabaya)
Disamping transportasinya pada sekarang ini mudah di
jangkau baik itu melalui udara maupun dengan kapal laut.
Selain itu juga mereka masih ada hubungan keluarga di
daerah tersebut karena mereka pada awalnya adalah orangorang transmigran dari daerah tersebut dan tidak heran bila
daerah Kotawaringin barat banyak kendaraan dari daerah
Surabaya dan semarang atau sekitarnya.
Sebagaian matapencaharian mereka adalah bertani
(bercocok tanam) yang sering melibatkan beberapa anggota
keluarga untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari, dan
masih banyak yang tidak bisa baca tulis. Untuk wilayah di
perkebunan rata-rata tenaga berpendidikan SLTP dan SLTA
datang dari luar daerah, sementara yang berpendidikan lebih
tinggi ditempatkan unit perwakilan yang berada di wilayah
Pangkalan Embun.
Kehidupan di camp-camp sendiri nampaknya tidak ada
masalah diantara sesama karyawan. Mereka saling hormat
menghormati, saling bantu membantu dan bergotong royong
dalam kehidupan sehari-hari begitu juga mungkin mereka
merasa senasib dan sepenanggungan nampaknya kehidupan
di camp-camp terasa aman dan damai. Dengan lingkungan
masyarakat sekitarnya tidak ada masalah. Mereka dapat
berdaptasi, sudah saling kenal mengenal dalam lingkungan
pekerjaan, dengan mudah menyesuaikan diri dalam
bermasyarakat.
240
Dalam hubungan sosial kemasyarakatan mereka selalu
berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari seperti kerja bakti,
dalam kegiatan seperti perayaan HUT RI ikut merayakan
secara bersama-sama dengan masyarakat setempat.
C. Kehidupan Keagamaan
Dalam kehidupan keagamaan di daerah perkebunan
Kecamatan Pangkalan Lada dengan ditandai berbagai aktifitas
keagamaan. Masing-masing umat beragama menjalan
kewjibannya tidak bedanya denga umat beragama di daerah
lain, seperti upacara kelahiran, perkawinan, sunatan dan
kematian sesuai dengan budaya yang mereka warisi dari
daerah asal. Begitu pula di daerah lingkungan perkebunan
hampir tidak ada perbedaan. Ketika masyarakat di
perkebunan membutuhkan bantuan seperti mengadakan
sunatan atau pengajian selalu mendatangkan penceramah dari
luar tanpa membedakan mereka dari golongan. Mereka
diminta untuk membaca doa maupun memimpin kegiatan
keagamaan lainnya seperti memberi nama anak yang baru
dilahirkan. Begitu sebaliknya masyarakat di dalam
perkebunan, karena tidak memiliki sarana peribadatan yang
memadai, bila akan melaksanakan salat Jum’at mereka
mencari masjid yang terdekat bersama masyarakat sekitarnya
dan sering memberikan bantuan untuk kegiatan keagamaan.
Bagi yang beragama Islam mereka memberikan sumbangan
kepada yayasan/TPA disekitar perkebunan seperti TPA
Bahrul Ullum dan Bahrul Muttaqin serta Miftahul Ullum.
Mereka memberikan sumbangan melalui gaji yang mereka
potong setiap bulannya untuk disumbangkan pada kegiatan
keagamaan di masyarakat sekelilingnya. Sedang yang
beragama non Islam (Katolik dan protestan) mereka
sumbangkan ke gereja di mana mereka ikut kebaktian. Dalam
241
kegiatan di bulan suci ramadhon mereka mengadakan shalat
tarawih di Camp yang telah kosong yang digunakan sebagai
sarana untuk beribadah salat lima waktu dan kegiatan lainya
seperti pengajian.
Sedangkan kegiatan masyarakat di sekitar perkebunan
pada umumnya di pusatkan di tempat-tempat ibadah seperti
masjid-masjid maupun mushallah. Mereka bangun tempat
ibadah dengan swadaya masyarakat secara bersama-sama
tahap demi tahap sehingga lama-lama berdiri sebuah tempat
ibadah. Jumlah masjid di Kecamatan Pangkalan Lada
sebanyak 111 buah, gereja 2 buah. Hindu dan Budha belum
mempunyai tempat peribadatan, karena jamaahnya baru ada
1 (satu) untuk umat Hindu dan Budha hanya 2 orang.
242
Pola Kerukunan Hidup
Umat Beragama
A. Sejarah Kotawaringin Barat
A
wal mula pemukiman di Kotawaringin Barat tidak
bisa dilepas dari daerah aliran sungai. Di Kabupaten
Kotawaringan Barat terdapat empat sungai besar
yakni Sungai Jelai, Sungai Arut, Sungai Lamandau, dan
Sungai kumai, dan masih banyak puluhan anak sungai.
Pemukiman penduduk sejak berabad-abad yang lalu tumbuh
di sepanjang sungai. Sungai ini selain menjadi tempat mencari
ikan untuk kebutuhan makanan sehari-hari, juga tempat
mandi dan sebagai transportasi.
Penduduk Asli yang tinggal di daerah ini adalah suku
Dayak yang berindukkan Dayak Ngaju. Kedekatan suku
Dayak
dengan
sungai
mengakibat-kan
mereka
mengindentitaskan dirinya, dengan nama sungai (Usop et al,
1995: 1-6.
243
Menurut Ch. F. H. Dumon, dahulu orang Dayak
mendiami seluruh wilayah pulau baik di daerah pantai
maupun darat. Kedatangan suku Melayu, dari Sumatera dan
Malaka, serta suku Jawa mendesak orang-orang Dayak yang
bermukim mundur ke sebelah darat (pedalaman) pulau
Kalimantan. Selain suku Melayu dan Jawa juga kedatangan
orang Bugis yang mendiami pantai Timur dan pantai Barat
pulau Kalimantan. Di sebelah barat Kalimantan berdatangan
pula orang Tionghoa yang bekerja sebagai penambang
(Dumont, 1924) .
Pada umumnya orang-orang Dayak memeluk agama
Kaharingan atau Kristen. Sedang orang Dayak yang telah
memeluk agama Islam menyebut dirinya orang Melayu. Di
daerah Kotawaringin Barat orang melayu banyak yang
bercampur dengan suku dayak dan menumbuhkan satu
kebudayaan yang sangat unik baik dari struktur arsitek
bangunan maupun kehidupan sehari-hari. Orang Tionghoa
banyak kita jumpai di kota-kota seperti Pangkalan Embun,
Sukamara, bahkan di kota kota kecil seperti Nanga Bulik.
Selain itu, juga terjadi percampuran antara orang Dayak
dengan orang India yang beragama Hindu.
Untuk mengetahui suku Melayu di Kalimantan sukar
untuk dijelaskan karena pengertian melayu disini digunakan
dalam pengertian perbedaan agama, tidak dalam pengertian
asal usul suku/bangsa. Meskipun demikian banyak juga orang
melayu yang berasal dari Riau dan Tanah Semenanjung
Malaka. Mallinconrdt menerangkan bangsa Melayu di sekitar
pesisir sebagian keturunan dari suku Jawa pada masa kerajaan
Majapahit, (suku Sedulun dan Melayu Tarakan). Pada tahun
1960, tumbuhlah perkembangan baru datangnya penduduk
asal Banjarmasin-Hulu sungai dengan nama “orang Banjar”,
244
Mereka kebanyakan tinggal di sekitar Sukarama dan
merupakan pedagang yang tangguh.
Sejarah Kotawaringin Barat dimulai dengan masuknya
pengaruh kerajaan Hindu Majapahit di Tahun 1365, dengan
mengangkat kepala-kepala suku menjadi menteri kerajaan
(Riwut, 1993: 55), ini dibuktikan dengan disebutnya daerah
Kotawaringin dalam pupuh XIII buku Kertanegara Kertagama
karya Mpu Prapanca. Nama Kotawaringin Barat berasal dari
nama pohon beringin yang banyak tumbuh di daerah ini,
dengan akarnya yang panjang dan dedaunan yang lebat.
Tentang berdirinya Kotawaringin Barat terdapat dua
pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan
bahwa kerajaan ini baru dibangun oleh Pangeran Adipati
Anta Kesuma, putra banjar Sultan Musta’inubillah (16501678). Yang pergi kearah barat 1679, (Nahan ©, mengutip
Saifuddin Zuhri: 401 dan Riwut 1993:55). Kerajaan Islam
Kotawaringin ini meliputi Sampit, Mendawai dan Pembuang.
Daerah lain di sekitarnya masih dibawah pimpinan kepalakepala suku Dayak (Riwut, 1993: 55). Pendapat ini banyak
didasari oleh tulisan Sanusi dan Lontaan yang tidak
mencantumkan angka tahun pemerintahan raja-raja
Kotawaringin dengan jelas. Sedangkan buku yang lebih baru
memori Hari Pahlawan ke 4315 Nopember 1988 di Pangkalan
Bun angka tahunnya bercampur antara masehi dan tahun
hujriah, dan keduanya tidak sesuai, ( 920 H dan 1499 M).
Pendapat kedua yang bersumber dari catatan di istana
Alnusari di Kotawaringin Lama kurang lebih tahun 1615 M.
Menurut legenda dalam pemufakatan untuk menjalin
hubungan yang baik, maka dilakukan upacara yang meminta
tumbal masing-masing kelompok satu orang untuk dibunuh
dan diatas kuburan dua orang tumbal diletakkan sebuah batu
peringatan yang disebut Ratu Petahan. Hubungan yang baik
245
antara orang Dayak yang memeluk agama lokal dengan para
pendatang yang beragama Islam. Agaknya hubungan yang
baik ini pulalah yang ditiru oleh masyarakat Kalimantan
Tengah hingga sekarang ini.
Dari bagian yang terpenting, dalam sejarah perjuangan
Kotawaringin barat adalah usaha berdirinya kabupaten ini.
Sebab pada era ini penduduk Kotawaringin Barat ditantang
untuk mengurus daerahnya sendiri tanpa pengaruh
pemerintah dari luar. Dalam kerangka Negara kesatuan
Republik Indonesia kabupaten Kotawaringin barat didorong
untuk lebih maju dari masa –masa sebelumnya.
Setelah berjalan sekian lama daerah ini berada di
dalam lingkungan Kabupaten Kotawaringin dengan ibu kota
Sampit, atas dasar kemauan rakyatnya yang disalurkan
melalui Partai partai/organisasi agar daerah swapraja menjadi
suatu daerah Kabupaten tersendiri. Dengan keputusan
DPRDS, Kab. Kotawaringin dengan Pen-Pres No. 5/6 tahun
1960 dan berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Tengah
tanggal 17 Maret 1960, No. 35-PD-1-1960. maka terbentuklah
Kabupaten Kotawaringin Barat.
A. Strategi Pemeliharaan Kerukunan
1. Potensi Kerukunan
Menyadari pentingnya keutuhan dan kerukunan umat
beragama demi persatuan dan kesatuan serta stabilitas
ketahanan nasional maka salah satu hal yang harus
diupayakan adalah peningkatan pembinaan dan kehidupan
beragama, guna menjamin terciptanya kerukunan baik intern
umat beragama atau antar umat beragama terutama dalam
kehidupan di masyarakat perkebunan dan sekitarnya di
Kecamatan Pangkalan Lada. Kerukunan hidup umat
246
beragama di masyarakat perkebunan baik Islam, Kristen,
Katholik, Hindu dan Budha hingga sampai sekarang ini dirasa
cukup baik dan kondusif demikian juga antar etnis/suku.
Disamping pemerin-tah cukup bijaksana dalam menjembatani
umat beragama terhadap pelaksanaan kegiatan keagamaan
sehingga mereka tidak saling curiga mencurigai diantara
masing masing penganut agama.
Di Kecamatan Pangkalan Lada yang merupakan salah
satu kecamatan di wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat
yang merupakan kecamatan termuda tentunya masih banyak
yang harus dibenahi. Pada tahun 2005 yang jumlah
penduduknya mencapai 24.369 jiwa yang kurang lebih
pemeluk agama Islam sebagai mayoritas (97,23), Kristen
Protestan 2,40%, Katolik 0,30%, Lain-lain, 0,7%. Sementara
latar belakang etnis/suku seperti suku Jawa 95,17%, suku
Melayu 2,90%, dan suku Dayak 0,81% serta Suku Madura
0,29%, Batak 0,11%, serta lain-lain 1,82% (Banjar, Bugis).
Nampaknya kehidupan umat beragama masyarakat di
Perkebunan Kelapa Sawit dan masyarakat sekitar berjalan
cukup baik, hubungan umat beragama baik intern maupun
antar umat beragama lainnya menunjukkan adanya sikap
yang saling toleran, saling hormat menghormati, begitu pula
di dalam perkebunan sendiri nampaknya tidak ada masalah
dan cukup kondusif. Kehidupan sehari-hari para pekerja
perkebunan dan masyarakat sekitarnya mereka di sibukkan
dengan pekerjaan masing-masing. Ada hal yang perlu
diteladani di mana penduduk asli mau menerima para
pendatang dengan terbuka dan mereka iku membaur dengan
masyarakat pendatang bahkan banyak masyarakat pribumi
melakukan perkawinan dengan para pendatang.
Keadaan yang semacam ini dapat memupuk keakraban,
saling tolong menolong, saling hormat menghormati. Antara
247
mereka terdapat persamaan kultur dan budaya sehingga
dengan mudah untuk menciptakan suatu keakraban dalam
upaya membina kerukunan baik intern maupun antar umat
beragama. Peristiwa yang terjadi di Sampit merupakan
peristiwa yang mengerikan dan menakutkan bagi masyarakat
kalimantan Tengah pada umumnya dan khususnya di
Kabupaten Sampit yang memakan korban baik harta maupun
jiwa yang tak ternilai harganya merupakan suatu pelajaran
untuk menatap masa depan yang lebih baik dan kondusif agar
masyarakat selalu berhati-hati dan berpikiran jernih dalam
mengatasi suatu permasalahan.
Kehidupan diperkebunan maupun di sekitarnya
nampaknya ada ketergantungan baik yang tinggal di campcamp maupun masyarakat sekitar perkebunan baik sesama
anggota masyarakat maupun sebagai pekerja di perkebunan
dalam upaya pemenuhan kehidupan yang mengharuskan
mereka saling berhubungan dan berintegrasi dalam pekerjaan
maupun dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam
aktifitas keagamaan. Dalam hal pemberian bantuan kepada
tempat-tempat ibadah, masyarakat perkebunan tidak
membedakan-bedakan salah satu agama.
2. Potensi Konflik
Secara konseptual konflik dapat pula terjadi pada
masyarakat yang relatif homogen. Karena konflik merupakan
salah satu sisi dari situasi sosial maka dalam kenyataan tidak
dapat dipisahkan dengan sisi lain yaitu kerja sama
(kerukunan). Oleh karena itu secara mendasar konflik tidak
dapat dilenyapkan sama sekali dalam masyarakat. Selama
masyarakat itu masih ada, anggota-anggotanya akan terus
selalu melakukan interaksi sosial di antara mereka. Selama
ada interaksi selalu ada kemungkinan konflik atau kerjasama.
248
Penyebab konflik sangat kompleks antara lain
sumberdaya, baik ekonomi, sosial dan politik. Dengan
perkembangan iklim dan teknologi komunikasi dan
transportasi menyebabkan hubungan antar daerah menjadi
semakin mudah sehingga perpindahan penduduk dari suatu
pulau ke pulau yang lain semakin mudah. Hal ini sering
menimbulkan kecemburuan sosial dari penduduk (suku)
setempat. Karena persaingan yang tidak seimbang antara
pendatang dengan penduduk asli.
Keberadaan perkebunan sawit di Kecamatan Pangkalan
Lada tidak bisa dipungkiri bahwa selain memberikan
kontribusi penting dalam perekonomian, sekaligus membuka
lapangan kerja dan kehidupan buruh yang terlibat di
dalamnya.
Namun dari sisi lain, perkebunan sawit juga sering
menjadi sumber berbagai konflik sosial dan menjadi
malapetaka lingkungan bagi masyarakat sekitarnya. Dengan
ribuan ha tanah perkebunan sawit tentunya mampu
memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya, yang
sampai sekarang ini dirasakan sudah banyak memberikan
manfaat bagi masyarakat. Tetapi bila tidak dapat mengakses
kepentingan penduduk pribumi (asli) dan pendatang dapat
menimbulkan kecemburuan sosial diantara mereka.
Terpinggirnya penduduk asli yang tidak bisa bersaing
dengan para pendatang yang kaya akan pengalaman dan etos
kerja yang tinggi karena rendahnya tingkat pendidikan dan
sosial masyarakat setempat dibandingkan dengan pekerja
perkebunan mengindikasikan adanya ketimpangan
dan
kesen-jangan ekonomi yang tidak merata. Akibatnya bila
dibiarkan berlarut-larut, kemungkinan akan menimbulkan
konflik sosial di masyarakat.
249
Masuknya para pendatang seperti suku madura atau
yang memiliki watak keras perlu diperhatikan secara baikbaik pada masa mendatang agar tidak menimbulkan
permasalahan baru seperti kasus di Poso, Ambon dan Sampit
yang hingga sekarang ini masih dirasakan.
250
Penutup
A. Kesimpulan
B
erdasarkan beberapa informasi, dan beberapa temuan–
temuan kenyataan dilapangan dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
a. Kondisi sosial masyarakat perkebunan di Kecamatan
Pangkalan Lada termasuk kehidupan keagamaan, pada
umumnya berjalan dengan baik. Dalam pembinaan
keagamaan, mereka lakukan dengan mengadakan
pengajian-pengajian di masjid dengan memanggil
251
Kyai/penceramah untuk berceramah. Dalam peringatan
Hari Hari Besar Keagamaan, masyarakat di lingkungan
perkebun-an yang tinggal di camp-camp dilakukan
berbagai kegiatan sosial keagamaan antar lain
memberikan bantuan kepada Yayasan Yayasan yang
bergerak dalam bidang keagamaan (TPA, dan masjidmasjid).
b. Interaksi masyarakat perkebunan dengan masyarakat di
sekitarnya cukup baik karena di samping adanya
hubungan kerja juga tiap ada kegiatan kegiatan
kemasyarakatan selalu dilibatkan. Mereka saling hormat
menghormati, dan saling toleransi di samping adanya
hubungan ketergantungan di antara mereka.
c. Faktor yang dapat menopang terjalinnya kerukunan di
antara mereka antara lain di samping umat Islam
mayortitas juga hubungan kerja serta perasaan senasib dan
sepenanggungan, karena mereka kebanyakan dari daerah
yang sama. Disamping itu juga penduduk asli mau
menerima para pendatang dengan terbuka bahkan mereka
saling melakukan perkawinan dengan para pendatang.
Sedangkan faktor yang dapat mengusik terciptanya
kerukunan adalah kesenjangan ekonomi dan lapangan
kerja yang tidak seimbang antar pendatang dengan
pribumi yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
Bila hal itu dibiarkan secara terus menerus kemungkinan
akan menimbulkan konflik.
d. Untuk menjaga dan membina kerukunan antar umat
beragama tentunya perusahaan perkebunan hendaknya
jangan hanya mencari keuntungan yang sebanyakbanyaknya dengan mengorbankan masyarakat setempat
dan sekitarnya.
252
B. Rekomendasi
Walaupun kerukunan dirasakan sudah cukup baik,
baik intern umat beragama maupun antar umat beragama
begitu juga dengan masyarakat sekitar perkebunan yang
sekarang telah berjalan dengan baik terutama masalah
kerukunan yang tumbuh dari bawah, perlu terus dipelihara
dan ditingkatkan.
Diharapkan adanya peningkatan peran pemerintah
dalam rangka mencerdaskan
umat beragama, dengan
menyalurkan
tenaga
terdidik
untuk
mengentaskan
ketertinggalan baik di bidang ilmu pengetahuan maupun di
bidang agama, sehingga masyarakat semakin cerdas dan tak
mudah diprofokasi.
Daftar Pustaka
A.W. Wijaya, Ed., Individu, Keluarga dean Masyarakat,
Academika Lasendo, 2001;
BPS KOTA Waringi, Kotawaringin Barat Dalam Angka Tahun
2004; Kota waringin, 2004
Badan Perencanaan Pengendalian Pembangunan daerah
Kabupaten
Kotawaringin
Barat,
Sejarah
Kotawaringin Barat tahun 2004;
Departemen Agama RI, Profil Kerukunan Umat Beragamam Seri
II, Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama RI,
jakarta, tahun 1996;
253
........................., Konflik Sosial Bernaunsa Agaama di Indomesia,
Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan
Litbang dan Diklat Dep. Agama RI, tahun 2003;
.........................,Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia,
Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama RI,
tahun ;
........................., Sistim Siaga Dini, tahun 1999;
Dewi Fortuna Anwar, dkk, Ed., Konflik Kekerasan Internal,
Tinjauan Sejarah, Ekonomi, politik dan Kebijakan di
Asia Pasifik, Obor, Jakarta, Tahun 2004;
Masri Singarimbun, Penduduk dan Perubahan Sosial, Jakarta
tahun 1997;
Profil Kecamatan Pangkalan Lada, Dalam Angka 2005;
Wawancara dengan Kasubbag TA Kandepag Kotawaringin Barat,
Abdullah;
........................., Pimpinan Camp PT. Medco Argo Kebon Kumai,
Ismanto;
........................, Maladi (Bagian Personalia PT. Medco Argo
Kebon Kumai) Mallicordt 1928: 48;
........................., Maulud Supriyadi, Ceff Offecer, PT. Medco
Argo Kebun Kumai;
254
BAGIAN 9
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN
TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN
Tim Peneliti
Prof. Dr. Ridwan Lubis
Dra. Hj. Kustini, M.Si.
Lastriyah
Pendahuluan
A. Latar Belakang
K
ebijakan pembangunan di Indonesia dengan
menggunakan
paradigma
modernisasi
telah
menekankan aspek pertumbuhan ekonomi di berbagai
sektor. Pada sektor agraria, pembangunan dilaksanakan
setidaknya melalui tiga program yaitu: revolusi hijau (green
revolution)1 , eksploitasi hutan serta agro industri (Noer Fauzi;
1999: 163). Keberhasilan revolusi hijau dalam meningkatkan
produksi beras tidak diragukan lagi. Para petani di Jawa
menghasilkan padi dua kali lipat dan pada tahun 1985
Indonesia mencapai swasembada beras. Dalam program
1
Istilah Revolusi Hijau awalnya adalah sebuah jargon politik yang
diusulkan pada tahun 1968 oleh William S. Gaud, seorang administrator
USAID, untuk menandai usaha memotong derap Revolusi Merah dari
Komunisme. Secara ekonomi, Revolusi Hijau adalah modernisasi
pertanian, khususnya tanaman pangan, yang mengandalkan asupan
kimiawi dan biologi, selain persyaratan kelancaran irigasi, ke dalam
kultur bercocok tanam tanaman pokok, khususnya padi di Indonesia dan
gandum di India Utara (Francis Wahono: 1999).
256
eksploitasi hutan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai
kebijakan tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak
Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), maupun tentang Hutan
Tanaman Industri (HTI). Sedangkan melalui Program Agro
Industri telah diterapkan berbagai kebijakan tentang
Perusahaan Inti Rakyat – Perkebunan (PIR – BUN), Tebu
Rayat Intensifikasi (TRI), maupun pemberian kesempatan
kepada pihak swasta untuk mengelola perkebunan.
Berbagai program tersebut di satu sisi telah berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tetapi pada
sisi lain ternyata telah menimbulkan konflik-konflik agraria
dan protes petani. Program revolusi hijau misalnya, menuai
sejumlah konflik karena: (1) pihak petani ingin
mempertahankan penggunaan bibit dan pengelolaan padi
secara tradisional; (2) lapangan pekerjaan makin menyempit
akibat penerapan mekanisasi pertanian; (3) harga pupuk dan
pestisida yang terus meningkat tidak sejalan dengan
peningkatan harga gabah; (4) kredit usaha tani yang tidak
mampu terbayarkan. Program agro industri juga telah
menuai sejumlah protes dari para petani, baik sebagai pemilik
tanah maupun pekerja perkebunan. Protes tersebut antara lain
terjadi karena pengelola perkebunan mengambil alih tanah
produktif yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat,
tercerabutnya rakyat petani dari pemilik tanah menjadi buruh
perkebunan, langkanya penyuluhan dari pihak perkebunan
sehingga tidak terjadi transfer of technolgy, serta monopoli
pemasaran hasil komoditi perkebunan (Noer Fauzi; 1999: 196200).
B. Kerangka Pemikiran
Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan
sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan
257
dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Adanya persyaratan tentang
toleransi, saling pengertian, dan saling menghargai dalam
menciptakan kerukunan menunjukkan bahwa kondisi rukun
bukan merupakan sesuatu yang given, tetapi kondisi yang
harus diupayakan bersama antara umat beragama dan
Pemerintah. 2
Hubungan sesama umat beragama bukanlah sesuatu
yang statis, tetapi merupakan hal yang dinamis, yang terjalin
karena adanya interaksi sosial antar umat beragama. Interaksi
sosial merupakan hubungan antara orang perorang, antara
kelompok manusia dan antara orang perorang dengan
kelompok manusia (Soekanto; 2001: 67). Interaksi sosial dapat
berbentuk kerjasama, persaingan atau pertentangan. Dampak
dari interaksi sosial dapat berupa proses sosial asosiatif
(akomodasi, asimilasi, dan akulturasi) atau bersifat disasosiatif
(persaingan dan pertentangan).
Interaksi sosial antar kelompok masyarakat, baik
kelompok etnik, agama, maupun kelompok berdasarkan
tempat tinggal, sangat diperlukan dalam rangka menghindari
terjadinya konflik. Menurut Varshney (dalam Harmoni: 2002)
konflik sosial antar etnik/agama lebih disebabkan oleh
kuatnya tingkat kohesivitas internal dalam kelompokkelompok etnik/agama (internal engagement). Sedangkan
2
Pengertian kerukunan umat beragama serta pemeliharaan kerukunan
umat beragama dapat dibaca pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
Peraturan Bersama Menteri Agma dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat.
258
perdamaian sosial lebih didorong oleh menguatnya jaringan
pertalian antar warga lintas agama/etnik. Varshney juga
percaya bahwa masyarakat sipil yang memiliki jaringan antar
etnis yang baik dengan suatu pelibatan bersama dalam suatu
kegiatan (network of interethnic civic engagement) akan dapat
mencegah terjadi konflik dan kekerasan. Ikatan warga (civic
engagement) menurut Varshney
meliputi ikatan formal
(associational form of engagement) dan ikatan informal (everyday
form of engagement). Ikatan warga yang teorganisir dapat
berbentuk asosiasi bisnis, organisasi profesi, perkumpulan
olah raga, kelompok yang memiliki hobby tertentu, dan lainlain. Sedangkan ikatan-ikatan yang bersifat informal antara
lain dapat dilihat dalam bentuk interaksi rutin
antar
kelompok masyarakat seperti saling mengunjungi, saling
memberi ucapan selamat pada saat hari raya, makan bersama,
berpartisipasi dalam kegiatan perayaan-perayaan di
lingkungannya, menjalin hubungan ketetanggaan, atau
mengizinkan anak-anak mereka untuk bermain bersama.
Melalui peningkatan komunikasi antar berbagai
kelompok masyarakat maka harapan terciptanya perdamaian
akan lebih mudah dicapai. Salah satu contoh yang dapat
diambil adalah pembentukan forum warga dan forum
komunikasi antar umat beragama yang dalam banyak hal
telah berhasil menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dalam
menyelesaikan sengketa antar kelompok masyarakat. Untuk
menciptakan ikatan warga tersebut maka diperlukan usahausaha untuk melakukan interaksi sosial dan komunikasi
antara kelompok masyarakat (Cahyo Pamungkas: 2005: 92).
C. Gambaran Singkat Kabupaten Tanah Laut
Kabupaten Tanah Laut dengan Ibukota Kecamatan
Pelaihari dibatasi sebelah barat dan sebelah selatan oleh Laut
259
Jawa, sebelah timur oleh Kabupaten Kotabarau dan sebelah
utara oleh Kabupaten Banjar. Kabupaten Tanah Laut meliputi
9 (sembilan) kecamatan yaitu Kecamatan Panyipatan, Jorong,
Batu Ampar, Kintap, Peleihari, Takisung, Bati-Bati, Tambang
Ulang dan Kurau. Daerah yang memiliki wilayah paling luas
adalah Kecamatan Jorong 628,00 km2 , kemudian Kecamatn
Peleihari 575,75 km2 , Kecamatan Batu Ampar 548,10 km2 .
Sedangkan kecamatan yang paling sempit wilayahnya adalah
Kecamatan Tambang Ulang yaitu 160,75 km2.
Kabupaten Tanah Laut dikepalai oleh seorang bupati.
Mulai tahun 1966 sampai sekarang telah terjadi sepuluh kali
pergantian pemegang jabatan bupati. Sejak tahun 2003 jabatan
bupati dipegang oleh Drs. Adriansyah didampingi oleh wakil
bupati Ikhsanudin Husin. Dalam melaksanakan tugasnya,
Bupati Tanah Laut dibantu oleh 3 (tiga) perangkat staf
pemerintah daerah yaitu Sekretaris Daerah (Sekda), Badan
Perencanaan pembangunan Daerah (Bappeda) dan Badan
Pengawasan Kabupaten.
Pada tahun 2004 jumlah penduduk Kabupaten Tanah
Laut sebesar 243.762 orang. Dari rasio jenis kelamin yaitu 103
dapat diketahui bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih besar
dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Dilihat
dari perbandingan penduduk per kecamatan, maka penduduk
terbanyak terdapat di Kecamatan Pelaihari yaitu 65.623 orang
dengan kepadatan penduduk 114 orang per km2 Sedangkan
wilayah yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit
adalah Kecamatan Tambang Ulang yaitu 12.519 orang dengan
kepadatan penduduk 78 orang per km2 . Rata-rata penduduk
setiap desa/kelurahan per km2 dapat dilihat pada tabel
berikut.
Dilihat dari agama yang dipeluk, karakteristik
penduduk Kabupaten Tanah Laut tidak berbeda dengan
kabupaten/kota lainnya yang ada di Kalimantan Selatan.
260
Penduduk beragama Islam merupakan mayoritas. Selebihnya
adalah mereka yang menganut agama Kristen, Katolik, Hindu
dan Buddha. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000,
penduduk yang menganut agama selain agama yang telah
disebutkan, ternyata jumlahnya relatif banyak. Mereka
dikategorikan dengan sebutan ‘lainnya’ (lihat Tabel 2 kolom
8). Tidak ada informasi yang pasti tentang kategori ‘agama
lainnya’. Tetapi kemungkinan besar sebagian dari mereka
menganut kepercayaan seperti leluhurnya yaitu Kaharingan.
Gambaran penduduk Kabupaten Tanah Laut serta
kabupaten/kota lainnya di Provinsi Kalimantan Selatan
berdasarkan Hasil Sensus Penduduk tahun 2000 adalah
sebagai berikut:
Tabel 2
Jumlah Penduduk Menurut Agama dan Kabupaten/Kota
di Kalimantan Selatan Tahun 2000
Kabupaten/
Kota
Tanah Laut
Kotabaru
Banj ar
Barito K.
Tapin
H. Sungai Sl
H. Sungai T
H. Sungai U
Tabalong
Banjarmasin
Banjarbaru
Kalimantan
Selatan
Islam
225.781
387.256
391.481
243.441
138.654
189.318
216.880
285.201
163.926
504.558
120.077
Katolik
907
2.329
276
552
196
135
70
254
1.431
6.897
1.099
Agama
Kristen Hindu
1.907
794
6.036
5.995
646
83
882
1.008
810
152
847
101
587
2.322
502
909
3.972
1.156
10.708
794
2.483
241
Budha
236
3.176
208
27
40
33
22
4.574
14
4.026
37
Lainnya
37
7.607
2.048
10
915
2.671
3.530
551
217
432
42
229.662
412.399
394.742
245.920
1.403.767
193.105
223.411
291.991
170.716
527.415
123.979
2.866.573
14.145
29.380
12.393
18.060
2.954.107
13.555
Jumlah
Sumber: Profil dan Analisa Kependudukan Kalimantan Selatan
Tahun 2000
261
Potensi Perkebunan
Kelapa Sawit di Kabupaten
Tanah Laut
A. Kondisi Geografis
ektor pertanian mempunyai peranan yang cukup
penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia,
termasuk di Kalimantan Selatan. Salah satu sub sektor
pertanian yang cukup besar potensinya adalah perkebunan
kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi
ekspor Indonesia yang cukup penting dalam meningkatkan
devisa negara di luar minyak dan gas.
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir berkembang sangat pesat.
Perkembangan tersebut merupakan hasil dari berbagai pola
pengembangan perkebunan seperti pola PIR, pola kemitraan,
program swastanisasi daerah, dan penanaman kelapa sawit
pada kebun masyarakat (Razak dkk; 2005; 9). Potensi ini
menempatkan Indonesia sebagai negara produsen kelapa
S
262
sawit terbesar kedua setelah Malaysia. Propinsi Riau
merupakan wilayah yang memiliki luas areal perkebunan
kelapa sawit terbesar sekaligus memiliki produksi kelapa
sawit terbesar di Indonesia (Badan Pusat Statistik: 2005; xii).
Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3
Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
Tahun 1998 – 2004 (Ha)
Thn
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Perkebunan Perkebunan Perkebunan
Rakyat
Besar Negara Besar Swasta
890.506
556.640
2.113.050
1.041.046
576.999
2.283.757
1.166.758
588.125
2.403.194
1.561.031
609.943
2.542.457
1.808.424
631.566
2.627.068
1.854.394
662.803
2.766.360
1.904.944
675.090
2.820.525
Jumlah
3.560.196
3.901.802
4.158.077
4.713.431
5.067.058
5.283.557
5.400.559
Pertum
buhan
9,60
6,57
13,36
7,50
4,27
2,21
Sumber: Badan Pusat Statistik; Statistik Kelapa Sawit
Indonesia 2004
Pada tahun 2004 luas areal perkebunan kelapa sawit di
Kalimantan Selatan adalah 143.321 ha, terdiri atas Perkebunan
Rakyat 21.012 ha, dan Perkebunan Swasta 122.309 ha, dengan
keseluruhan jumlah produksi 213.618 ton. Dari data yang
diperoleh, diketahui bahwa perkebunan kelapa sawit di
Provinsi Kalimantan Selatan tidak ada yang dikelola oleh
Perkebunan Negara Dengan kata lain, hanya dikelola dalam
bentuk Perkebunan Rakyat atau Perkebunan Besar Swasta
(Lihat Statistik Kelapa Sawit 2004). Salah satu wilayah di
Kalimantan Selatan yang memiliki areal perkebunan,
khususnya kelapa sawit, adalah Kabupaten Tanah Laut yang
dikelola melalui Perkebunan Besar Swasta (PBS). Lihat tabel
berikut.
263
Tabel 4
Perkebunan Besar Swasta di Kabupaten Tanah Laut
Tahun 2005
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Nama Perkebunan
Besar Swasta (PBS)
PT. Damit Mitra
Sekawan
PT. Smart Tbk.
PT Kintap Jaya
Wattindo
PT Pola Kahuripan Inti
Sawit
PT. Indoraya Everlatex
PT. Lunik Anugrah
PT. Candi Artha
PT. Bangun Kalimantan
PT. Perkebunan
Nusantara XIII
PT. Melindo Jaya Diraja
PT. Bridgestone
Kalimantan Plantation
PT. Sarana Subur
Agrindotama
PT. Multi Raya
Anugrah
PT. Pugung Raya
Lokasi/
Kecamatan
Kintap, Jorong,
Batu Ampar
Kintap
Kintap
PT. Meratussindo
Nugraha Sentosa
PT. Citra Putra Kebun
Aseri
PT. Sinar Surya Jorong
PT Perembe
Batu Ampar
PT. Sapto Angro
Unggul
PT. Emida
Kelapa Sawit
Kelapa Sawit
Lahan
(ha)
4.777,41
8.894,50
4.895,00
4.687,00
Kintap
Kelapa Sawit
7.550,00
Kintap
Batu Ampar
Batu Ampar
Batu Ampar
Pelaihari
Kelapa Sawit
Kelapa Sawit
Kelapa Sawit
Kelapa Sawit
Kelapa Sawit
8.700,00
1.139,00
1.078,00
805,00
3.200,00
Kintap
Bati-Bati
Kelapa Sawit
Karet
9.678,00
5.971,00
Jorong
Kelapa Sawit
1.750,50
Tambang
Ulang
Bati-Bati
Karet, Jambu
Mete
Kelapa
Hybrida
Ubi Kayu
223,40
Jorong
Batu Ampar
Pelaihari
Komoditi
Kelapa Sawit
Jahe
Jorong
Jahe
Jahe, Kelapa
Hybrida
Karet
Jorong
Karet
Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Tanah Laut Tahun 2006
264
649,80
510,00
1.000,00
452,00
50,00
150,00
698,80
B. Profil PT Damit Mitra Sekawan
PT Damit Mitra Sekawan (PT DMS) adalah salah satu
Perkebunan Besar Swasta dengan komoditi kelapa sawit.
Perkebunan ini mulai dibuka tahun 1996, terdiri dari tiga
divisi (wilayah) yang berada di tiga kecamatan yaitu Divisi I
di Kecamatan Kintap, Divisi II di Kecamatan Jorong dan Divisi
III di Kecamatan Batu Ampar dengan luas keseluruhan
13.671,91 ha. Dari keseluruhan luas tanah tersebut, 8.224,00 ha
merupakan tanah dengan Tanaman Menghasilkan (TM) dan
selebihnya merupakan tanah dengan Tanaman Belum
Menghasilkan TBM yaitu tanaman yang sampai saat ini belum
pernah memberikan hasil, karena masih muda atau tanaman
yang sudah cukup umur tetapi belum dapat menghasilkan
karena tidak cocok dengan keadaan tanah. Melihat luasnya
lahan TBM maka dapat dipastikan bahwa di masa depan
produksi kelapa sawit yang dihasilkan PT DMS ahkan
meningkat. Pada tahun 2005 PT DMS telah memproduksi ratarata 9.450 ton/bulan. Tentang nama Damit Mitra Sejahtera,
Manager Divisi III menjelaskan:
‘Damit’ diambil dari nama desa ketika pertama kali dilakukan
pembukaan lahan yaitu di Desa Damit Hulu dan Desa Damit di
Kecamatan Batu Ampar. Sementara kata ‘mitra’ menunjukkan
bahwa sesungguhnya perusahaan kami ingin menjadi partner bagi
Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut untuk bersama-sama
meningkatkan pendapatan daerah yang berarti meningkatkan
kesejahteraan khususnya bagi karyawan perkebunan, dan secara
lebih luas untuk kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tanah Laut.
Untuk itu, pekerja perkebunan diusahakan dari masyarakat setempat
dengan penyediaan fasilitas mobil (truk) antara jemput dari rumah
menuju perkebunan sehingga pekerja perkebunan tetap dapat tinggal
di rumahnya masing-masing. (Wawancara dengan Manager Divisi
III Ir. Todung Silitonga, tanggal 29 September 2006).
265
Kabupaten Tanah Laut dengan ibu kota di Kecamatan
Pelaihari terletak sekitar 110 km dari Kota Banjarmasin. Untuk
sampai ke Kecamatan Batu Ampar masih harus menempuh
perjalanan sekitar 30 km dari Peleihari dengan melewati jalan
kecil dan berbatu, melingkari Gunung Melati, namun masih
bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Dari kantor
Kecamatan Peleihari masih harus menempuh perjalanan
sekitar 20 km untuk sampai ke kantor PT DMS Divisi III. Di
sisi kiri dan kanan jalan, sepanjang mata memandang
terhampar dataran perkebunan kelapa sawit yang dipisahkan
oleh jalan setapak atau jalan tanah yang sudah dikeraskan
sehingga bisa dilewati kendaraan roda empat. Karena hanya
merupakan jalan tanah, maka pada musim penghujan jalan
tersebut akan becek, sementara ketika kemarau tiba, seperti
saat penelitian ini dilaksanakan, jalan berdebu.
Kantor PT DMS Divisi III dengan mudah dapat
dikenali karena merupakan lokasi yang dihuni oleh beberapa
gedung kantor permanen, dikelilingi oleh 9 long house 3 untuk
tempat tinggal para buruh perkebunan, dan beberapa rumah
yang relatif lebih bagus untuk pegawai kantor level manager
dan supervisor. Lokasi tersebut, yang berjarak sekitar 3 km
dari perumahan penduduk, sangat kontras dengan keadaan
sekelilingnya yang hanya merupakan hamparan kebun sawit.
Satpam (security) selalu stand by di pos jaga depan kantor,
sementara sebagia anggota Satpam lainnya berkeliling dengan
sepeda atau sepeda motor mengawasi kebun sawit.
Long house adalah bangunan rumah yang relatif besar (panjang) untuk
tempat tinggal para pekerja perkebunan. Satu long house terdiri atas 10
(sepuluh) kamar atau petak. Pekerja yang sudah berumah tangga masingmasing diberi satu petak. Sementara bagi pekerja yang belum menikah, satu
petak dapat ditempati 5 sampai 6 orang.
3
266
PT DMS Divisi III memiliki pekerja lapangan atau
pekerja kebun sejumlah 512 (lima ratus dua belas) orang, 62
(enam puluh dua) orang suverpisi, dan 14 orang yang bekerja
di staf administrasi. Setiap 10 (sepuluh) orang pekerja
lapangan (pekerja kebun) dipimpin oleh seorang Kepala
Pekerja yang bertanggung jawab kepada seorang mandor.
Mandor terbagi dalam dua kelompok yaitu mandor yunior
dan mandor senior yang bertugas membimbing mandor
yunior. Mandor-mandor tersebut bertanggung jawab kepada
Asisten/Kepala Divisi. Kemuidan di atas Kepala Divisi ada
Koordinator Asisten, Asisten Kepala Manager dan Manager
Utama.
267
Kehidupan Keagamaan di Sekitar
PT Damit Mitra Sekawan
A. Interaksi Sosial Keagamaan
P
ekerja PT DMS Divisi III yang keseluruhannya
berjumlah hampir 600 orang, sebagian besar (92%)
beragama Islam. Selebihnya beragama Kristen, Katolik,
dan Hindu. Untuk kegiatan keagamaan (Islam) PT DMS telah
membangun sebuah masjid yang berada di tengah-tengah
lokasi perumahan buruh perkebunan. Masjid yang diberi
nama Nurul Iman semula hanya merupakan bangunan
musholla sederhana. Delapan bulan lalu musholla tersebut
direnovasi secara permanen sehingga dapat menampung lebih
dari seratus orang jamaah. Untuk memakmurkan masjid,
pimpinan PT DMS telah mengangkat Muhammad Toha (58
268
tahun) sebagai takmir masjid. Muhammad Toha semula
adalah buruh perkebunan yang memiliki sedikit pengetahuan
keagamaan karena sempat menamatkan Madrasah Aliyah dan
tinggal di pesantren di Jawa. Ia bertugas untuk membersihkan
masjid, mengumandangkan adzan setiap kali waktu sholat
tiba, sebagai imam shalat, menjadi guru ngaji, memberikan
ceramah keagamaan sekaligus menjadi penghubung antara PT
DMS dengan tokoh-tokoh agama di Kecamatan Batu Ampar.
Setiap kamis sore setelah asar, di masjid ini diadakan
pengajian yang biasanya mendatangkan penceramah dari luar
perkebunan. Untuk tugas-tugas tersebut, Muhammad Toha
memperoleh bayaran Rp. 480.000,-/bulan.
Pada bulan Ramadlan masjid Nurul Iman menjadi
lebih ramai karena digunakan untuk buka bersama,
tadarusan, pengajian serta shalat tarawih. Masjid juga menjadi
tempat berkumpul para pekerja perkebunan:
Di lingkungan pekerja perkebunan ini tidak ada sarana umum
untuk bisa bertemu antara pekerja selain masjid ini. Oleh karena itu,
pada sore hari sambil menunggu buka bersama, biasanya para
pekerja laki-laki berkumpul di masjid ini, baik untuk sekedar
ngobrol-ngobrol atau sambil mengaji. Masjid ini digunakan warga
tidak hanya untuk beribadah tetapi juga tempat untuk saling
bertemu. Pada bulan Ramadlan ini para pekerja memiliki waktu agak
longgar karena hanya bekerja dari pukul 06.30 sampai pukul 14
WITA. Sementara hari biasa mereka bekeja dari pukul 07.00 sampai
pukul 16.00 dengan diselingi istirahat untuk sholat dan makan siang
selama 60 menit (Wawancara dengan Muhammad Toha, 30
September 2006).
Hubungan personal antara PT DMS dengan tokoh-tokoh
agama khususnya di tingkat kecamatan relatif bagus.4 Hampir
4
Ketika peneliti datang ke Kantor Divisi III PT DMS, untuk berwawancara
dengan Ir. Todung Silitonga (Manager Divisi III), urusan menjadi relatif
269
semua tokoh agama di Kecamatan Batu Ampar pernah
diundang ke masjid Nurul Imam untuk memberikan ceramah.
Menurut Manager Divisi III, dalam beberapa kesempatan, PT
DMS memberikan bantuan untuk kelancaran kegiatan
keagamaan di Desa Batu Ampar.
Namun demikian, bagi sebagian kelompok masyarakat
Kecamatan Batu Ampar, kebijakan tersebut dirasakan belum
memadai. Untuk memperoleh bantuan, harus mengajukan
permohonan dan membuat proposal yang cukup
memberatkan. Kemudian, jika dipenuhi jumlahnya jauh dari
memadai. Berkaca dari fenomena tersebut, sebagian
masyarakat memilih untuk tidak mengajukan permohonan
sekalipun kebutuhan biaya pembinaan umat Islam dirasakan
sangat mendesak.5
Pekerja perkebunan maupun masyarakat sekitarnya
yang beragama Kristen dan Katolik jumlahnya hanya sekitar
2%. Mereka tidak memiliki rumah ibadah permanen sehingga
hanya melakukan kebaktian di rumah-rumah dengan jumlah
jemaat yang terbatas. Tetangga sekitarnya yang beragama
Islam sejauh ini tidak mempermasalahkan karena mereka tahu
mudah karena ditemani oleh seorang Penyuluh Agama, Drs. Makmun,
yang sering memberikan pembinaan keagamaan kepada pekerja
perkebunan di PT DMS. Setelah peneliti menyelesaikan wawancara,
Penyuluh Agama tersebut masih meneruskan perbincangan dengan Ir.
Todung Silitonga menanyakan perihal keluarga, jadwal pengajian dan
hal-hal lain yang bersifat pribadi.
5
Pendapat bahwa PT DMS kurang memperhatikan kepentingan masyarakat
setempat diungkapkan oleh Noor Aida, S.Sos. Camat Kecamatan Batu
Ampar. Menurutnya ia sering membantu masyarakat membuat proposal
yang akan diajukan ke PT DMS. Tetapi PT DMS sering kali mengacuhkan
(tidak merespon) proposal-proposal yang diajukan. Sebagian proposal
memang ada yang dipenuhi, tetapi dengan jumlah biaya yang jauh dari
yang diajukan (Wawancara tanggal 30 September 2006).
270
bahwa gereja Kristen hanya ada 2 (dua) terletak cukup jauh
yaitu di Peleihari. Demikian juga untuk umat Katolik di
Kabupaten Tanah Laut baru tersedia satu gereja yang terletak
di Kecamatan Peleihari sehingga sebagian masyarakat Katolik
ada yang menyelenggarakan sekolah minggu di rumah
jemaatnya. Hubungan ketetanggaan yang selama ini terjalin
dengan baik, menjadi perekat warga sehingga ketika terjadi
penggunaan rumah untuk tempat ibadat, yang bagi sebagian
masyarakat di daerah lain sering menjadi penyebab konflik, di
Kecamatan Batu Ampar sejauh ini tidak menjadi penyebab
konflik. Ikatan antar masyarakat inilah yang oleh Varshney
(2003) disebut sebagai everyday forms of engegement (ikatan
informal).
Transmigrasi spontan dari Bali menjadikan wilayah ini
semakin heterogen karena hadirnya mereka yang beragama
Hindu. Umat Hindu di Kecamatan Batu Ampar berjumlah 476
orang yang tinggal di dua desa yaitu Desa Tajau Pecah dan
Desa Damar Lima (Identifikasi Potensi Wilayah Kecamatan
Batu Ampar Tahun 2005). Sementara umat Hindu di
Kabupaten Tanah Laut berjumlah 794 orang (hasil Sensus
Penduduk Tahun 2000). Di kalangan masyarakat sekitarnya,
umat Hindu dikenal sebagai kelompok yang memiliki etos
kerja tinggi, ulet dan pantang menyerah. Tempat pemukiman
mereka relatif lebih asri, hijau, dihiasi dengan tanaman bunga
yang selain memiliki nilai estetis tetapi juga nilai ritual
ekonomis yaitu untuk perlengkapan upacara.
Namun demikian, keberadaan penganut agama Hindu
sempat memicu terjadinya konflik kecil di wilayah tersebut.
Hal itu terkait dengan pelaksanaan upacara ngaben
(membakar mayat) yang dianggap tidak memperoleh izin dari
pihak berwajib. Setelah aparat pemerintah, khususnya Camat
dan Kepala KUA, serta tokoh agama setempat berdialog,
271
akhirnya ngaben dapat dilaksanakan tanpa keberatan dari
masyarakat sekitarnya.
B. Interaksi Sosial Masyarakat Perkebunan
Bagian ini menjelaskan secara singkat, interaksi di
berbagai bidang kehidupan masyarakat, baik terkait dengan
keberadaan perkebunan, atau interaksi antar warga
masyarakat Kecamatan Batu Ampar yang tinggal di luar
perkebunan.
Interaksi antara PT DMS dengan pihak
Pemerintah Daerah dapat digambarkan sebagai berikut.
Sesuai dengan makna yang terkandung dari nama perusahaan
ini yaitu ingin menjadi ‘mitra’ bagi pemerintah untuk
bersama-sama
meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
maka selayaknya jika PT DMS menjalin hubungan dan
kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah di tingkat
desa, kecamatan, atau kabupaten. Bagaimana selama ini PT
DMS menjalin kerjasama, dapat disimak dari pernyataan
berikut:
Setiap awal bulan saya melakukan rapat koordinasi dengan
seluruh kepala desa serta pejabat lainnya. Rapat tersebut
dilaksanakan di desa-desa secara bergiliran sekaligus sebagai
upaya saya mengunjungi warga dan melakukan pembinaan.
Dalam setiap rapat, Pimpinan PT DMS Divisi III selalu
diundang. Namun, mereka jarang menghadirinya. Pernah sekalikali menghadiri, itupun yang datang hanya setingkat staf.
Dengan Manager sekarang (Ir. Todung Silitonga) yang telah
bertugas lebih dari satu tahun, saya malah belum pernah bertemu
(Wawancara dengan Camat Kecamatan Batu Ampar, Noor Aida,
S. Sos. tanggal 30 September 2006).
Keadiran PT DMS, di satu sisi menjadi lahan pekerjaan
bagi sebagian masyarakat Batu Ampar, khususnya sebagai
buruh di perkebunan. Namun di sisi lain, kehadiran PT DMS
272
juga membawa problem yang cukup serius. Pada musim
kemarau, jala-jalan di perkebunan sawit menjadi berdebu. Jika
jalan tersebut dilalui mobil, maka debu akan semakin
beterbangan. Hal itu sangat mengganggu kesehatan warga.
Masyarakat meminta kepada PT DMS agar jalan, khususnya
yang berdekatan dengan perkampungan warga, sering-sering
disiram sehingga mengurangi debu. Tetapi permintaan itupun
sulit untuk dipenuhi.
Interaksi kurang harmonis antara PT DMS dengan
warga sekitarnya juga tampak ketika PT DMS mulai
membuka lahan. Sekitar 300 ha tanah yang akan digarap PT
DMS digugat sebagai tanah milik warga sehingga warga
menentang pengelolaan tanah tersebut untuk perkebunan
kepala sawit. Warga menganggap bahwa tanah di sekitarnya
telah menjadi miliknya karena selama berpuluh-puluh tahun
warga tinggal di sekitar lahan tersebut. Sementara PT DMS
yang telah memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atas
tanah tersebut merasa telah memiliki kekuatan hukum untuk
menggarapnya. Protes warga sempat disampaikan juga ke
DPRD Kabupaten Tanah Laut. Namun, seperti gerakangerakan protes petani di berbagai daerah, gerakan ini mudah
dipatahkan oleh para penguasa yang kerap kali memihak
kepentingan penguasa. (Francis Wahono; 1999: 2). Setelah
dibicarakan oleh para wakil rakyat yang duduk di DPRD
Kabupaten, sebagian petani akhirnya menerima ganti rugi.
Sementara sebagian warga lainnya masih harus menunggu
kemurahan hati Pimpinan PT DMS.
Interaksi antara warga perkebunan dengan masyarakat
di luar perkebunan dalam bentuk ikatan informal (everyday
form of engagement) merupakan sesuatu yang relatif langka.
Hal itu terjadi karena tempak tinggal para pekerja lapangan
yang berada di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit
273
terletak relatif jauh dari pemukiman warga. Untuk mencapai
long house tempat tinggal para pekerja lapangan, harus
menempuh jarak sekitar 3 km melalui kebun sawit. Jika tidak
ada keperluan yang dirasakan mendesak, maka hampir tidak
terlihat warga yang bukan pekerja perkebunan bertandang ke
pemukiman pekerja perkebunan.
Sementara itu, jaringan antar warga dalam bentuk
ikatan formal (associational form of engagement) tampaknya baru
berada di tingkat kabupaten dalam bentuk Forum Kerukunan
Umat Beragama misalnya. Dengan kata lain untuk masyarakat
bawah, khususnya masyarakat di sekitar perkebunan
tampaknya belum terjalin.
B. Upaya Menjaga dan Meningkatkan Kerukunan Umat
Beragama
Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting
dari kerukunan nasional. Untuk menjaga kerukunan maka
diperlukan upaya bersama dari masyarakat dan pemerintah.
Upaya yang dilakukan masyarakat sekitar perkebunan adalah
melalui jaringan ikatan-ikatan informal (everyday form of
engagement) yang secara alamiah terbentuk karena mereka
saling bertemu di pasar, bertetangga, mengantarkan anak ke
sekolah, bekerja di tempat yang sama atau untuk keperluan
lainnya. Sejauh ini hubungan atau ikatan-ikatan informal
berjalan dengan baik karena sekalipun mereka memiliki
identitas etnik berbeda, tetapi dipersatukan oleh kesamaan
identitas atas nama agama.
Sementara itu kerukunan umat beragama juga terjalin
melalui berbagai bentuk yang oleh Varshney disebut ikatan
formal (associational form of engagement) Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB). Dalam beberapa hal, forum ini
efektif berperan sebagai mediator bagi warga masyarakat
274
unuk bertemu dan saling bertukar pikiran. Forum juga
berperan sebagai early warning system ketika timbul beberapa
peristiwa yang mengarah pada konflik sosial. Sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri Agama Nomor 9
dan Nomor 8 Tahun 2006, maka FKUB terdiri dari mereka
yang merupakan pemuka agama dari berbagai kelompok
agama yang ada. FKUB juga diarahkan untuk menjadi media
antara masyarakat dengan Pemerintah.
Ikatan-ikatan formal lain dapat dilihat dalam bentuk
lembaga-lembaga
sosial
dan
lembaga
keagamaan,
perkumpulan di bidang olah raga, perkumpulan antar
penyuluh agama, perkumpulan para guru dan lain
sebagainya. Ikatan-ikatan tersebut secara nyata telah menjadi
perekat di antara berbagai kelompok masyarakat, sekaligus
menjaga untuk tidak terjadi ketegangan dalam hubungan
antar kelompok masyarakat.
Masih terkait dengan menjaga dan meningkatkan
kerukunan, khususnya antara umat beragama dengan
Pemerintah, dalam hal ini Bupati Kabupaten Tanah Laut,
menyediakan forum dialog interaktif di salah satu radio
daerah yang mengudara di Tanah Laut. Acara yang diadakan
satu minggu satu kali tersebut menampilkan tema
pembicaraan yang berbeda setiap minggu. Tema tersebut
disesuaikan dengan program-program pembangunan di
Kabupaten Tanah Laut. Dalam dialog ini, masyarakat diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau kritik melalui
telepon tentang berbagai hal terkait dengan kebijakan
pemerintah.
Berbagai upaya tersebut sekalipun tidak
(belum)
memperlihatkan langkah-langkah strategis, tetapi sajauh ini
masih efektif untuk menghindari konflik. Pemimpin formal
maupun tokoh-tokoh agama masih memiliki kharisma untuk
275
merukunkan warganya. Sementara kondisi sosial, misalnya
rendahnya kepadatan penduduk, masih memungkinkan
warga untuk hidup damai.
276
Penutup
D
ari uraian singkat di atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut. Pertama, pembinaan
kehidupan keagamaan bagi pekerja perkebunan
sejauh ini dinilai memadai. Pimpinan PT DMS menyediakan
sarana tempat ibadat (masjid) sekaligus petugas khusus
untuk mengelola tempat ibadat tersebut. Sementara itu,
kehidupan keagamaan di luar lingkungan perkebunan masih
didominasi oleh suasana keIslaman karena mayoritas
penduduk beragama Islam. Penduduk non Islam memiliki
tempat ibadat yang sangat terbatas. Oleh karena itu beberapa
jemaat Kristen atau Katolik masih melakukan ibadat di
rumah-rumah. Namun demikian, fenomena tersebut sejauh ini
tidak menjadi masalah sebab ikatan informal antar warga
relatif terjalin dengan baik. Umat Hindu memiliki
277
pengelompokan tempat tinggal tersendiri dan terpusat di
beberapa desa.
Kedua, lokasi long house para pekerja perkebunan serta
kompleks perumahan karyawan kantor PT DMS yang relatif
jauh dari pemukiman penduduk menjadi salah satu kendala
terbangunnnya interaksi yang dinamis dalam bentuk ikatanikatan informal (everyday form of engagement). Sementara
ikatan-ikatan formal (associational form of engagement) sejauh ini
baru terbentuk di tingkat kabupaten dan belum secara khusus
menyentuh kelompok masyarakat di perkebunan. Interaksi
sosial pada kelompok masyarakat di luar perkebunan relatif
berjalan baik karena terbangunnya ikatan-ikatan informal
melalui hubungan ketetanggaan, berinteraksi di pasar,
pertemanan antar anak, di tempat pekerjaan maupun dalam
kegiatan-kegiatan sosial keagamaan.
Ketiga, disadari atau tidak, hubungan atau ikatan
informal antar warga merupakan salah satu strategi untuk
menjaga dan meningkatkan kerukunan umat beragama. Bagi
Pemerintah, upaya menjaga kerukunan dilakukan melalui
pembinaan keagamaan, menyediakan media agar masyarakat
dapat menyampaikan kritik, maupun membentuk asosiasiasosiasi termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama. Di
samping itu, keberadaan para pemuka agama maupun tokoh
masyarakat lainnya
masih efektif
untuk menjaga
keharmonisan antar umat beragama.
Berdasarkan catatan kesimpulan tersebut, maka
penelitian ini merekomendasikan perlunya memperkuat
ikatan-ikatan informal maupun formal baik bagi masyarakat
di lingkungan perkebunan maupun antar masyarakat
perkebunan dengan masyarakat di luar perkebunan. Ikatan
formal dapat terjalin antara lain melalui pembentukan klub
olah raga, pengajian bersama, hubungan di bidang ekonomi
278
misalnya masyarakat menyediakan kebutuhan para pegawai
perkebunan, dan lain sebagainya. Ikatan atau jaringan yang
memperkuat interaski sosial ini merupakan tugas bersama
antara PT DMS, Pemerintah dan masyarakat sekitarnya.
Daftar Pustaka
Ashutosh Varshney. Konflik Etnik dan Civil Society. Dalam
“Harmoni” Volume I Nomor 2 Tahun 2002. Judul Asli:
Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India
(2002). New York: Yale University Press.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Laut. Tanah Laut
dalam Angka 2004
Badan Pusat Statistik. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2004
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi
Kalimantan Selatan kerjasama dengan Badan Pusat
Statistik Propinsi Kalimantan Selatan. Profil dan Analisa
Kependudukan Kalimantan Selatan Hasil Sensus Penduduk
2000.
Cahyo Pamungkas. 2005. Interaksi Sosial Antar Umat
Beragama di Maluku: Sebelum dan Sesudah Konflik
Sosial Tahun 1999. dalam Masyarakat Indonesia. Jilid
XXXI Nomor 1 Tahun 2005.
Francis Wahono. 1999. Petani: Dari KonflikMenuju Demokrasi.
dalam Wacana, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. Nomor
IV Tahun 1999.
279
Francis Wahono. 1999. Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi
ke Perangkap Globalisasi. dalam Wacana, Jurnal Ilmu
Sosial Transformatif. Nomor IV Tahun 1999.
Kristi Poerwandari. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian
Psikologi. Jakarta. Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa Dinamika Perjalanan
Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta. INSIST, KPA
bekerjasama dengan Pustakan Pelajar.
Razak Purba, Witjaksono dan Bambang Dradjat. 2005. Benih
Kelapa Sawit Palsu: Penghambat Peningkatan Produktivitas.
Dalam ‘Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian’
Vol. 27 Nomor 2.
Soerjono Soekanto. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT
Raja Grafindo Perkasa.
280
BAGIAN 10
KERUKUNAN KEHIDUPAN BERAGAMA
MASYARAKAT PERKEBUNAN DI KABUPATEN
DONGGALA SULAWESI TENGAH
Tim Peneliti
Drs. H. Bashori A. Hakim, M.Si
Drs. H. Mursyid Ali
H. Ibnu Hasan Muchtar, Lc, MA.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
K
asus-kasus konflik yang terjadi di berbagai daerah di
Indonesia seringkali melibatkan berbagai faktor
terutama faktor ekonomi, sosial dan politik.
Sementara itu faktor etnis dan agama dianggap sebagai
komplemen yang dapat mempengaruhi sikap aktor yang
terlibat konflik semakin menguat. Faktor etnis dan agama
sebenarnya cukup dominan dalam memberi andil terhadap
peningkatan eskalasi konflik. Konflik vertikal akibat
kesenjangan ekonomi, sosial maupun politik akan menjadi
lebih komplek manakala diperparah oleh perbedaan
horizontal lantaran perbedaan etnis dan agama. Bertemunya
kesenjangan vertikal dan horizontal dalam masyarakat yang
berkonflik akan sangat menyulitkan upaya penyelesaiannya.
282
Konflik seperti itu dapat saja terjadi di setiap kelompok
masyarakat, termasuk di lingkungan masyarakat perkebunan.
Dalam beberapa hal kelompok masyarakat perkebunan
cenderung berbeda dengan kelompok masyarakat
pada
umumnya. Masyarakat perkebunan cenderung lebih terikat
dengan kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang
dibuat oleh perusahaan atau pemilik perkebunan. Ada
kalanya peraturan yang dibuat oleh perusahaan sangat
merugikan karyawan perkebunan lantaran peraturan yang
dibuat tidak mengindahkan ketentuan yang menyangkut
perburuhan. Peraturan yang ada mungkin saja tidak hanya
merugikan secara ekonomis, tetapi juga dapat merugikan hak
dalam hal kebebasan menjalankan ajaran agama para
karyawannya. Apabila keadaan demikian terjadi maka dapat
menimbulkan konflik antara karyawan
dengan pihak
perusahaan perkebunan. Konflik dapat
lebih kompleks
apabila terjadi persaingan kurang sehat atau pertentangan
antar karyawan perkebunan bila dikaitkan dengan perbedaan
etnis ataupun agama. Apabila konflik dibiarkan berlarut,
dapat mengganggu kerukunan termasuk kinerja karyawan
perkebunan. Oleh karena itu maka Puslitbang Kehidupan
Keagamaan memandang perlu dilakukan kajian, khususnya
tentang pola Pembinaan Kerukunan Umat Beragama
Masyarakat Perkebunan di berbagai daerah, termasuk di
Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah.
283
Gambaran Umum
Wilayah Penelitian
A. Kecamatan Rio Pakava
K
ecamatan Rio Pakava secara administratif merupakan
salah satu dari 21 kecamatan yang ada di wilayah
Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi Tengah.
Batas-batas wilayahnya, sebelah Utara berbatasan dengan
Propinsi Sulawesi Selatan, sebelah Selatan dengan Propinsi
Sulawesi Selatan, sebelah Barat dengan Propinsi Sulawesi
Barat dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Kulawi.
Jarak antara Kecamatan Rio Pakava dengan Pusat
Pemerintahan Kabupaten Donggala sekitar 160 km, sedangkan
jarak dengan Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah (Palu) sekitar
284
260 km, dapat ditempuh selama sekitar 4 s/d 5 jam dengan
kendaraan bermotor.
Luas wilayah kecamatan ini 709,4 km, terbagi atas 11
desa definitif dan 1 UPT. Ke 11 desa dan UPT itu adalah:
Towiora, Minti Makmur, Polanto Jaya, Tinauka, Lalundu,
Polando Jaya, Rio Mukti, Panca Mukti, Pantolobete,
Bonemarawa, Ngovi Pakava dan UPT Lalundu IV.
Jumlah penduduk Kecamatan Rio Pakava 17.383 jiwa,
terdiri atas 9.093 laki-laki dan 8.290 perempuan (Data
Kecamatan Rio Pakava, 2006). Persebaran penduduk hampir
merata. di setiap desa. Desa Minti Makmur berpenduduk
paling padat, dengan jumlah 2.318 jiwa, sedangkan desa
terjarang penduduknya adalah Desa Tinauka dengan jumlah
penduduk 377 jiwa. Desa Towiora yang sebagian wilayahnya
menjadi sentra dan lokasi Perusahaan Perkebunan PT. Lestari
Tani Teladan (PT. LTT) berpenduduk 1.708 jiwa. Desa ini
terbagi menjadi tiga (3) dusun, yakni Dusun I, Dusun II dan
Dusun III. Wilayah Dusun III seluruhnya menjadi daerah
perkebunan PT. LTT. Sedangkan Desa Lalundu yang
sebagian wilayahnya juga menjadi lokasi perkebunan
berpenduduk 1.985 jiwa (Data Kecamatan Rio Pakava, 2006).
Dilihat dari segi agama, berdasarkan data tahun 2002
sebagian besar penduduk Kecamatan Rio Pakava beragama
Islam dengan jumlah 12.072 jiwa. Penduduk beragama Hindu
menempati jumlah terbesar kedua dengan jumlah 3.613 jiwa,
selanjutnya penduduk beragama Kristen berjumlah 2.703
jiwa, Katholik 173 jiwa dan Buddha 6 jiwa (Rio Pakava Dalam
Angka, 2002). Banyaknya penduduk beragama Hindu di
kecamatan ini karena adanya program transmigrasi yang
mendatangkan penduduk dari Bali terutama pada tahun 1991
dan tahun 1994.
285
Hubungan intern maupun antar umat beragama
secara umum terlihat harmonis. Kehidupan keagamaan cukup
kondusif, belum pernah terjadi konflik terbuka. Demikian
penuturan para tokoh masing-masing agama. Pernah ada
kasus tempat peribadatan di kalangan intern umat Kristen
tetapi tidak sampai menimbulkan konflik karena cepat diatasi.
Kasus pencurian ayam yang melibatkan oknum antar suku
tertentu juga pernah terjadi, namun dapat diatasi secara cepat
oleh para tokoh masyarakat dan tokoh agama terkait sehingga
tidak menimbulkan bentrok fisik.
Para penduduk dalam hidup bertetangga saling
hormat-menghormati, sekalipun dengan umat beragama lain.
Mereka saling berkunjung ketika ada perayaan hari besar
keagamaan dan saling mengantar makanan satu sama lain.
Kegiatan keagamaan masing-masing umat beragama
terlihat marak terutama umat Islam, Hindu dan Kristen
didukung oleh umatnya yang relatif lebih banyak dibanding
dengan umat beragama lainnya.
B. Perusahaan Perkebunan PT Lestari Tani Teladan
PT. Lestari Tani Teladan (PT. LTT) adalah sebuah
perusahaan perkebunan dengan komoditi kelapa sawit,
bernaung di bawah Perusahaan Astra Agro Lestari (AAL)
yang berpusat di Jakarta.
Di Sulawesi, Perusahaan AAL memiliki 7 cabang
yaitu: PT Pasang Kayu, PT Mamuang, PT Letawa, PT Surya
Lestari I, PT Surya Lestari II, PT Bahtera Sukses (seluruhnya
ada di Propinsi Sulawesi Barat) dan PT.LTT ada di Sulawesi
Tengah. Dengan demikian PT LTT merupakan satu-satunya
perusahaan milik AAL yang ada di Propinsi Sulawesi Tengah.
Perusahaan AAL secara struktural merupakan bagian
dari Perusahaan Astra Internasional (AI) yang juga berpusat
286
di Jakarta.
Perusahaan AAL sampai dengan saat ini
membawahi tiga (3) wilayah operasional, meliputi: Sumatera,
Kalimantan dan Jawa (tinggal satu PT) serta Sulawesi.
Masing-masing wilayah membawahi sejumlah PT. Dengan
demikian Perusahaan AAL memiliki puluhan PT tersebar di
seluruh Indonesia, termasuk PT LTT yang menjadi lokasi
kajian ini. Puluhan PT tersebut bergerak di bidang
perkebunan kepala sawit, karet dan (dulu) teh, tetapi
sekarang lebih dikonsentrasikan kepada kelapa sawit.
PT. LTT dengan status Usaha Swasta Nasional, terletak
di Dusun III Desa Towiora dan sebagian Desa Lalundu
(Lalundu I, II dan IV) Kecamatan Rio Pakava. PT ini
didirikan tahun 1993, memiliki tanah areal perkebunan 6.500
hektar. Tanah seluas itu sebagian besar yakni 5.214,64 hektar
untuk kebun kelapa sawit. Selebihnya untuk perumahan
karyawan, perkantoran, mes /penginapan, rumah ibadah
(masjid, mushalla dan gereja) dan toko koperasi karyawan,
serta sebagian kecil lainnya merupakan areal tanah tidak
produktif/tak dapat ditanami karena berupa rawa, tanah terjal
dan puso.
Seluruh areal perkebunan PT LTT tersebut terbagi
menjadi 11 afdeling, yakni afdeling: OA, OB, OC, OD, OE,
OF, OG, OH, OI, OJ dan Afdeling OK. Luas setiap afdeling
rata-rata antara 200 hektar s/d 600 hektar.
Jumlah karyawan PT. LTT yang merupakan tenaga
produktif sebanyak 456 orang, terdiri atas Karyawan Staff
sebanyak 22 orang dan Standar Karyawan Usaha (SKU) yakni
karyawan tetap sebanyak 434 orang. Baik karyawan Staff
maupun SKU seluruhnya mendapat fasilitas perumahan dari
PT. LTT, berada di areal perkebunan. Selain itu terdapat
karyawan dengan kategori Buruh Harian Lepas (BHL)
sebanyak 401 orang. Sebagian mereka tinggal di perumahan
287
dan sebagian yang lain tinggal di luar perkebunan. Dengan
demikian jumlah karyawan PT. LTT seluruhnya 857 orang,
baik yang tinggal di perumahan perkebunan maupun yang
tinggal di luar perkebunan. (Data Perusahaan Perkebunan PT.
LTT, Rio Pakava, 2006). Semua karyawan diasuransikan oleh
PT LTT.
Perumahan karyawan seluruhnya berjumlah 255 buah,
terdiri atas perumahan Asisten Kepala dan Staf sebanyak 25
buah dan perumahan karyawan SKU sebanyak 230 buah.
Perumahan karyawan tersebut terakhir ini semuanya
berbentuk kopel, dengan rincian 221 rumah untuk karyawan
biasa (bukan mandor) dan 9 rumah sisanya untuk karyawan
mandor.
Perumahan karyawan tersebut tersebar di setiap
afdeling, dengan rincian: di Afdeling OA = 24 unit rumah,
Afdeling OB = 91 unit (termasuk 25 rumah Staf), Afdeling OC
= 21 unit, Afdeling OD = 19 unit, Afdeling OE = 17 unit,
Afdeling OF = 12 unit, Afdeling OG = 7 unit, Afdeling OH = 9
unit, Afdeling OI = 18 unit, Afdeling OJ = 20 unit dan
Afdeling OK= 17 unit (Data Perusahaan Perkebunan PT. LTT,
Rio Pakava, 2006).
Untuk mengelola kebun sawit, di setiap afdeling
terdapat: Asisten Afdeling, Mandor I, mandor-mandor dan
karyawan. Selain itu terdapat Kepala Paguyuban yang
berfungsi untuk mengkoordinasikan kegiatan sosial termasuk
kegiatan keagamaan karyawan di setiap afdeling.
Karyawan PT. LTT dilihat dari segi agama, pendidikan
maupun etnis cukup beragam. Karyawan Staf dan SKU yang
berjumlah 456 orang, sebagian besar (363 orang) beragama
Islam. Kristen sebanyak 58 orang, Hindu 18 orang, Katholik
16 orang karyawan dan Buddha 1 orang.
288
Dilihat dari segi pendidikan, sebagian besar (255
orang) tamatan SD, SMP 17 orang, SMA/SMK 148 orang,
Diploma 6 orang dan Sarjana 30 orang. Dilihat dari etnis,
sebagian besar (53%) etnis Jawa, Palu/Poso 14%, Bugis/
Makassar 10%, Toraja 7%, Bali 5%, Flores 4%, Minahasa 2%,
Gorontalo 2%, Sunda 1% dan lainnya 2% (Data PT LTT, Rio
Pakava, 2006).
Untuk tempat peribadatan para karyawan, pihak PT.
LTT menyediakan rumah ibadah di beberapa afdeling. Tidak
kurang dari 1 masjid, 6 mushalla dan 1 gereja telah dibangun
oleh PT LTT. Masjid al-Muhtadin dibangun tahun 2001/2002,
terletak di Afdeling OB. Masjid berukuran 32x32 meter ini
selain untuk tempat beribadah karyawan (muslim) yang
tinggal di Afdeling OA dan OB, juga menjadi sentra kegiatan
keagamaan umat Islam karyawan PT LTT pada umumnya.
Sedangkan 6 mushalla berikut letaknya masing-masing yaitu:
mushalla Afdeling OC, mushalla di Afdeling OD (untuk
tempat beribadah karyawan Afdeling OD dan OE), mushalla
Afdeling OF (untuk tempat beribadah karyawan Afdeling OF
dan OG), mushalla Afdeling OH, mushalla Afdeling OI (untuk
tempat beribadah karyawan Afdeling OI dan OJ) dan
mushalla Afdeling OK. Masing-masing mushalla berukuran
12x12 meter.
Gereja Oikumene dibangun tahun 2000 terletak di
Afdeling OB, sebagai sentra kegiatan keagamaan umat
Kristen di wilayah perkebunan PT LTT.
Karyawan
beragama Hindu, Katholik maupun Buddha hingga kini
belum difasilitasi rumah ibadah karena jumlah mereka
relatif sedikit dibanding dengan jumlah karyawan beragama
Islam maupun Kristen.
289
AKTUALISASI KEAGAMAAN
DAN KERUKUNAN
A. Kehidupan Keagamaan
K
ehidupan beragama masyarakat perkebunan yakni
karyawan pengelola perkebunan PT.LTT di
Kecamatan Rio Pakava yang terdiri atas berbagai
pemeluk agama terlihat kondusif. Para karyawan di sela-sela
kesibukan mereka bekerja di kantor maupun di perkebunan
dapat melakukan kegiatan keagamaan sesuai ajaran masingmasing agama tanpa hambatan.
Karyawan beragama Islam (yang dalam uraian
selanjutnya disebut
umat Islam) melakukan kegiatan
keagamaan di mushalla yang ada di afdeling tempat mereka
tinggal. Apabila di afdeling tempat tinggal mereka belum ada
mushalla, mereka melakukan kegiatan keagamaan di
290
mushalla yang terdapat di afdeling terdekat. Umat Islam
yang tinggal di Afdeling OA dan OB melakukan kegiatan
keagamaan di Masjid al-Muhtadin yang terletak di Afdeling
OB. Masjid ini karena merupakan satu-satunya masjid yang
ada di wilayah perkebunan PT. LTT, maka menjadi sentra
kegiatan keagamaan umat Islam di perkebunan PT. LTT. Oleh
karena lokasi masjid relatif dekat dengan jalan umum maka
kadang-kadang disinggahi oleh orang luar perkebunan untuk
sekedar melakukan salat lima waktu.
Jumlah umat Islam yang jauh lebih banyak dibanding
dengan jumlah umat beragama lain dengan fasilitas tempat
peribadatan relatif cukup banyak dan terdapat di berbagai
afdeling, menjadikan kegiatan keagamaan umat Islam relatif
semarak. Mushalla di setiap afdeling selain dipergunakan
untuk berjamaah salat lima waktu, salat Jum’at (terutama bagi
umat Islam yang tinggalnya jauh dari masjid) dan salat
tarawih, juga dipergunakan untuk tempat pengajian dan
yasinan setiap malam Jum’at. Yasinan dilakukan pula di
rumah -rumah anggota pengajian terutama anggota pengajian
yang terkena musibah, atau atas permintaah anggota dalam
rangka acara syukuran. Di Masjid al-Muhtadin diadakan
kegiatan peribadatan antara lain: salat berjamaah lima waktu,
salat Jum’at, salat tarawih, acara Peringatan Hari Besar Islam
(PHBI),
sentra kegiatan penyembelihan hewan korban,
pengelolaan zakat fitrah, pengajian/yasinan/tahlilan bapakbapak setiap malam Jum’at sesudah Isya’, pengajian ibu-ibu
setiap Jum’at sore dan pengajian anak-anak. Materi pengajian
anak-anak selain belajar membaca al-Qur’an, do’a dan salat,
juga diajarkan fikih. Kegiatan pengajian diadakan setiap sore
hari, kecuali hari Minggu karena libur. Peserta pengajian
terdiri atas anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Pertama (SMP).
291
Salat Idul Fitri dan Idul Adha diadakan di lapangan.
Karyawan/umat Islam yang tempat tinggalnya jauh dari
Masjid al-Muhtadin, mereka salat Ied di masjid lain terdekat.
Sebagai contoh, karyawan/umat Islam yang bertempat tinggal
di Afdeling OF yang jumlahnya relatif lebih banyak dibanding
dengan umat lain, mereka salat Ied di Masjid al-Muhajirin
Lalundu I. Demikian pula umat Islam yang tinggal di afdeling
OG.
Imam dan Khatib diambil dari luar. Pada bulan puasa,
di masjid sebelum salat tarawih diadakan ceramah
agama/kultum, disampaikan oleh para pejabat PT. LTT dan
karyawan yang mampu ceramah agama. Sesudah salat
tarawih diadakan tadarus al-Qur’an anak-anak dari jam 21.00
s/d 22.00, sedangkan untuk remaja dan bapak-bapak mulai
jam 22.00 s/d 23.30. Tadarus diadakan di masjid dan di
mushalla- mushalla.
Karyawan PT. LTT yang muslim seperti halnya umat
Islam pada umumnya, menyelenggarakan pengumpulan dan
penyaluran zakat fitrah serta penyembelihan qurban setiap
tahun. Zakat fitrah yang terkumpul setiap tahun mencapai
hampir satu ton beras, dibagikan antara lain kepada para
orang tua jompo, muallaf (di PT. LTT ada beberapa muallaf),
dan masyarakat di desa-desa lain yang berhak menerima.
Adapun hewan qurban dari para karyawan setiap tahun, sapi
rata-rata 5 ekor dan kambing antara 3 s/d 6 ekor. Daging
qurban dibagikan selain kepada para karyawan baik muslim
maupun non muslim, juga kepada masyarakat desa sekitar
perkebunan PT. LTT.
Umat
Kristen
mengkonsentrasikan
kegiatan
keagamaan di Gereja Oikumene yang terletak di Afdeling 0B.
Di antara kegiatan keagamaan yang diadakan adalah:
Kebaktian Umum dilakukan pada setiap Minggu siang,
292
Sekolah Minggu diadakan pada hari Minggu pagi, untuk
remaja diadakan setiap hari Jum’at, serta upacara natalan
setiap tahun. Selain itu, setiap Sabtu sore dilakukan Kebaktian
Rumah Tangga, diadakan secara berkeliling ke rumah-rumah
jemaat.
Umat Katholik, Hindu dan Buddha, melakukan
kegiatan keagamaan di rumah ibadah terdekat bergabung
dengan yang lain. Jumlah mereka relatif sedikit sehingga
belum ada fasilitas rumah ibadah dari PT. LTT. Umat Hindu
melakukan kegiatan peribadatan bergabung dengan umat
Hindu lainnya di Pura Lalundu I.
B.
Kerukunan Hidup Beragama
Kerukunan hidup baik di kalangan intern maupun
antar umat beragama terlihat tercipta secara harmonis.
Masyarakat/karyawan perkebunan yang tergabung dalam PT.
LTT di Kecamatan Rio Pakava dalam menyikapi perbedaan di
antara mereka, baik perbedaan faham keagamaan, perbedaan
agama maupun perbedaan etnis terlihat cenderung kooperatif.
Masing-masing kelompok dalam melakukan interaksi sosial
tidak mengedepankan perbedaan, tetapi saling bersikap
hormat-menghormati, , tenggangrasa , toleransi, gotongroyong dan kerjasama. Suasana kerja di kantor yang
memperlihatkan adanya hubungan dan kerjasama yang baik
antara atasan dengan bawahan maupun antar sesama
bawahan, sedikit banyak mempengaruhi keharmonisan
hubungan intern masing-masing umat beragama maupun
antar umat beragama.
Di kalangan intern umat beragama Islam sekalipun
tidak didapati organisasi keagamaan maupun faham
keagamaan yang terorganisir, namun dalam kenyataan secara
individual ada
yang mengamalkan praktek ubudiyah
293
sebagaimana
dipraktekkan
kelompok
NU
maupun
Muhammadiyah. Dengan demikian di perkebunan PT. LTT
ada umat Islam yang amalan ibadahnya seperti NU dan ada
yang seperti Muhammadiyah. Namun dalam melakukan
ibadah di masjid atau mushalla mereka beribadah secara
bersama-sama. Salat lima waktu, salat Jum’at dan salat
tarawih mereka lakukan secara berjamaah dengan imam dan
khatib yang sama. Kenyataan itu dapat dijumpai di Masjid alMuhtadin (satu-satunya masjid di perkebunan PT. LTT) dan
mushalla-mushalla di beberapa afdeling. Hanya saja, dalam
pelaksanaan salat tarawih misalnya, di Masjid al-Muhtadin
dan di mushalla beberapa afdeling melaksanakan salat
tarawih 20 rakaat. Jamaah yang salat tarawihnya 8 rakaat
mengikuti sampai
8 rakaat, kemudian jamaah yang salat
tarawih 20 rakaat melanjutkan hingga selesai dengan imam
yang sama. Mereka melakukan salat Idul Fitri dan Idul Adha
di lapangan secara bersama pula.
Dalam pemilihan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM)
maupun kepengurusan mushalla, mereka cenderung
mengedepankan profesionalitas,
kemauan bekerja
dan
tanggungjawab, bukan sentimen kelompok ataupun etnis.
Demikian pula dalam pemilihan kepanitian Peringatan Hari
Besar Islam (PHBI), panitia qurban dan sebagainya.
Di kalangan intern umat Kristen tampak terjalin
kebersamaan baik dalam melakukan peribadatan maupun
dalam kehidupan sosial antar sesama jamaah. Keadaan itu
terpicu oleh antara lain kebersamaan mereka di lingkungan
kerja yang sama-sama karyawan perkebunan PT. LTT.
Hubungan kerja terjalin akrab antara atasan dengan bawahan
yang kebetulan sama-sama satu agama. Kebersamaan juga
mereka ciptakan dalam kegiatan keagamaan. Setiap Hari
Minggu mereka dari afdeling tempat tinggal masing-masing
294
berangkat ke Gereja Oikumene untuk beribadah/Kebaktian
Umum, dikoordinasikan oleh Ketua Kolom. Di setiap afdeling
dibentuk kelompok-kelompok Paguyuban yang bertugas
mengurus kegiatan sosial dan keagamaan masing-masing
kelompok agama. Untuk kelompok paguyuban ini umat
Kristen membentuk Ketua Kolom yang bertugas mengurus
kegiatan sosial dan keagamaan umat Kristiani di afdeling,
termasuk mengkoordir ke gereja. Kebaktian Rumah Tangga
yang diselenggarakan secara berkeliling dari rumah kerumah
jemaat pada setiap Sabtu Sore, menunjukkan kebersamaan
antar sesama jemaat Kristen.
Dalam hubungan antar umat beragama, kebersamaan
terlihat misalnya pada saat diadakan acara Natal Bersama
pada bulan Desember tahun 2005 yang lalu di Gereja
Oikumene PT. LTT. Acara ini selain dihadiri oleh lima (5)
unsur pimpinan agama-agama, tokoh masyarakat dan Pemda
setempat serta pimpina PT. LTT sendiri, juga dihadiri oleh
kelima pimpinan PT yang ada di bawah naungan PT. AAL
yang ada di wilayah Propinsi Sulawesi Barat. Kebersamaan
juga terlihat pada saat pengumpulan dana dari warga untuk
memberikan sumbangan kepada anggota masyarakat yang
terkena musibah tanpa melihat agama, dikoordinasikan oleh
Kelompok Paguyuban masing-masing afdeling. Pada waktu
perayaan natalan, melalui proposal dari umat Kristiani, umat
Islam ikut menyumbang dana, diambilkan dari dana yang
dikumpulkan pada waktu pengajian/yasinan setiap minggu
sekali. Sebaliknya, pada saat umat Islam menyelenggarakan
perayaan hari besar Islam atau lomba pembacaan al-Qu’an
seperti di Lalundu, pihak Gereja ikut memberikan bantuan
dana melalui proposal yang diterima. Kegiatan seperti: kerja
bakti membersihkan lingkungan, pekarangan rumah ibadah,
serta kegiatan lain yang bersifat gotong royong merupakan
295
kegiatan kebersamaan yang biasa dilakukan oleh kelompok
masyarakat lintas agama di tiap afdeling.
Selain perayaan natal seperti tersebut di atas, kegiatan
kebersamaan lintas agama yang bersifat keagamaan ternyata
terjadi pula pada kegiatan tahlilan / yasinan yang diadakan
tiap malam Jum’at di setiap afdeling. Sebagaimana yang
terjadi di lingkungan masyarakat di Afdeling 0I ( India),
kegiatan tahlilan/yasinan yang diselenggarakan oleh
kelompok Islam dihadiri pula oleh semua kelompok agama di
afdeling itu. Jumlah penghuni Afdeling 0I sebanyak 60 jiwa,
terdiri atas: umat Nasrani 11 jiwa, Hindu 3 jiwa dan
selebihnya umat Islam. Di antara acara dalam kegiatan
tahlilan/yasinan itu adalah pembacaan tahlil, surat Yasin dan
ceramah agama. Pada saat pembacaan tahlil dan surat Yasin,
hanya diikuti oleh kelompok Islam yang hadir. Sedangkan
ceramah agama yang diadakan yaitu ceramah agama Islam
dan ceramah agama Kristen, masing-masing dengan
penceramah yang berbeda.
Dalam kaitannya dengan pembinaan
kerukunan
hidup beragama kepada masyarakat perkebunan yang terdiri
atas berbagai kelompok agama, pada dasarnya pihak
manajemen PT. LTT secara formal tidak memiliki program
khusus mengenai pembinaan kerukunan umat beragama.
Namun dari beberapa kebijakan yang dilakukan oleh
manajemen berkenaan dengan pelayanan kehidupan
keagamaan kepada karyawan PT LTT, yang menghuni
menyebar di 11 afdeling, secara tidak langsung menunjukkan
adanya pola-pola pembinaan kehidupan beragama kepada
para karyawan.
Pola pembinaan kerukuna hidup umat beragama yang
dilakukan pihak manajemen kepada masyarakat karyawan
Perkebunan PT. LTT , tergambar dalam pemberian pelayanan
296
keagamaan kepada mereka baik secara individual maupun
secara kelompok yang tergabung dalam agama-agama.
Adapun pola pembinaan dimaksud antara lain: pelayanan
dengan pemberian hak secara adil, pelayanan dengan
menggunakan prinsip
proporsional, pelayanan dengan
prinsip pemberian kebebasan untuk melakukan kegiatan
keagamaan, serta pelayanan dengan memotivasi terciptanya
kebersamaan.
Pelayanan dengan pemberian hak secara adil
dilakukan pihak manajemen PT.LTT terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kesejahteraan karyawan dan dengan hakhak asasi. Prihal kesejahteraan karyawan misalnya pada setiap
Hari Raya Idul Fitri setiap karyawan diberikan Tunjangan
Hari Raya (THR) tanpa melihat agama karyawan. Tentu saja
nominal jumlah tunjangan untuk setiap karyawan berbeda
sesuai jabatannya. Selain itu setiap karyawan mendapat hak
perumahan, sesuai penempatannya di afdeling, tanpa melihat
latar belakang agama mereka. Yang berkaitan dengan hak
asasi misalnya prihal beragama. Setiap karyawan tidak ada
larangan/tekanan untuk memeluk agama sesuai yang
diyakininya. Dalam melayani kegiataan keagamaan umat
beragama, diangkat Imam dan dibentuk Pengurus Mushalla
di setiap mushalla. Untuk melayani kegiatan keagamaan di
masjid al –Muhtadin, dibentuk DKM dan Imam Masjid.
Untuk melayani kegiatan keagamaan di Gereja Oikumene,
diangkat seorang Pendeta. Baik Imam masjid dan mushalla
serta Pendeta tersebut berstatus sebagai pegawai honorer.
Mereka masing-masing diberi fasilitas perumahan. Bagi
setiap kelompok agama di setiap afdeling dibentuk kelompok
paguyuban untuk melayani kegiatan sosial dan keagamaan
kelompok agama yang bersangkutan. Bentuk-bentuk
pelayanan demikian merupakan upaya pembinaan kerukunan
297
antar karyawan yang berbeda agama di satu pihak dan antara
karyawan dengan pihak manajemen. Dengan cara demikian,
kecemburuan antar karyawan yang berbeda agama
diharapkan tidak terjadi.
Pelayanan
menggunakan
prinsip
proporsional
dilakukan pihak manajemen misalnya dalam hal pemberian
fasilitas rumah ibadah kepada umat beragama atau karyawan
di tiap afdeling. Terdapatnya fasilitas rumah ibadah untuk
umat Islam berupa 6 mushalla yang terletak di 6 afdeling
dari 11 afdeling yang ada dan 1 masjid di Afdeling 0B (Bravo)
serta 1 gereja yang juga di Afdeling 0B (Bravo), menunjukkan
pelayanan prinsip proporsional tersebut. Jumlah umat Islam
yang hampir mayoritas mutlak, menjadikan umat beragama
lain (termasuk Katholik, Hindu dan Buddha) menerima
kenyataan itu, sekalipun ketiga kelompok umat beragama itu
hingga kini belum difasilitasi rumah ibadah di afdeling
mereka. Mereka menyadari, jumlah umat mereka terlalu
sedikit untuk bisa diberikan fasilitas rumah ibadah.
Pelayanan dengan prinsip pemberian kebebasan untuk
melakukan kegiatan keagamaan sesuai agama yang diyakini
masing-masing karyawan. Jam kerja dan jam istirahat diatur
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu karyawan yang
akan menunaikan ibadah sesuai agamanya. Demikian pula
waktu-waktru lembur. Manajemen PT LTT mengadakan
lembur setiap hari Jum’at dan Minggu, tanpa mengganggu
waktu / pelaksanaan ibadah karyawan. Bagi karyawan yang
tidak bersedia lembur, tidak dipaksakan harus lembur. Setiap
kelompok agama diberikan kebebasan untuk melakukan
aktivitas keagamaan seperti: tahlilan/yasinan, pengajian untuk
Islam dan Sekolah Minggu dan Kebaktian Rumah Tangga
untuk umat Kristen.
298
Pelayanan
dengan
memotivasi
terciptanya
kebersamaan dilakukan pihak manajemen PT. LTT, misalnya
pengkoordinasian kegiatan sosial karyawan antar agama
dengan mengedarkan isian sumbangan sosial sesaat sesudah
karyawan menerima gaji, untuk disumbangkan kepada
karyawan yang terkena musibah. Kebijakan yang dibuat PT.
LTT yang diwujudkan dalam bentuk peraturan-peraturan
dengan mengacu kepada pola umum kebijakan PT Astra
Internasional yang mengedepankan pola kemitraan, pada
dasarnya untuk menumbuh kembangkan kebersamaan antara
pihak manajemen PT. LTT dengan karyawan. Selain itu,
dalam berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan umat
beragama, sebagian dananya berasal dari sumbangan PT. LTT.
Pengkoordinasian dana sumbangan untuk karyawan yang
terkena musibah, peraturan-peraturan yang dibuat didasarkan
pola kemitraan, serta bantuan dana untuk kegiatan
keagamaan, itu semua menjadi motivasi bagi terciptanya
kebersamaan di kalangan sesama karyawan sekalipun
berbeda agama.
Dalam upaya pembinaan kerukunan hidup beragama
kepada para karyawan PT. LTT yang terdiri atas berbagai
umat beragama, sudah barang tentu ada faktor-faktor
penghambat di samping adanya faktor pendukung. Di antara
faktor penghambat yang dirasakan adalah: kurangnya
perhatian dari Pejabat Kantor Pemerintahan setempat dan
langkanya tenaga pembina keagamaan atau tenaga dakwah.
Sulitnya alat transportasi dan komunikasi mengakibatkan
tingkat isolasi lokasi perkebunan PT. LTT cukup tinggi.
Sedangkan faktor pendukung upaya pembinaan kerukunan
hidup beragama adalah kebijakan-kebijakan dari pihak
manajemen PT. LTT yang mengedepankan kebersamaan
tanpa melihat latar belakang agama, peran positif dan proaktif
299
pihak manajemen PT. LTT dalam memberikan pelayanan
keagamaan kepada umat beragama, serta sikap umat
beragama yang toleran dalam menghadapi perbedaan, baik
perbedaan etnis maupun agama.
300
Analisis
K
ata ‘rukun” yang lazim disepadankan dengan
harmonious atau concord mempunyai arti cocok,
selaras, sehati dan tidak berseteru. Dengan demikian
kerukunan berarti suatu kondisi sosial yang ditandai oleh
adanya keselarasan, kecocokan dan tidak ada perseteruan.
Kerukunan
merupakan
proses
terwujudnya
dan
terpeliharanya pola interaksi yang beragam antar unit, unsur,
sub sistem yang otonom, misalnya keselarasan berinteraksi
antar kelompok etnis, budaya, strata sosial atau antar
kelompok
keagamaan
yang
berbeda.
Kerukunan
mencerminkan hubungan timbal-balik yang bercirikan saling
menerima, saling menghargai, kebersamaan dan toleransi.
Sedangkan konflik
diartikan sebaliknya, sehingga konflik
seringkali dimaknakan sebagai suasana interaksi sosial yang
301
ditandai adanya perseteruan, perselisihan, permusuhan,
kecurigaan, ketidakharmonisan serta perbedaan kepentingan.
Konflik dapat terjadi antar individu maupun kelompok.
Misalnya konflik antara dua orang warga desa, antar
karyawan, atau antar kelompok kepentingan seperti
kepentingan politik, etnik, organisasi sosial dan konflik antar
kelompok keagamaan, serta konflik kepentingan antara
kelompok buruh dengan kelompok majikannya.
Terkait dengan ihwal kerukunan atau integrasi dan
konflik, dalam pandangan Nasikun (1999) terdapat dua
landasan terjadinya integrasi masyarakat, meskipun sangat
terbatas dalam masyarakat multikultural, yakni: Pertama,
suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya
konsensus oleh sebagian besar anggotanya akan nilai-nilai
kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, adanya
berbagai macam anggota masyarakat sekaligus menjadi
anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross cutting affiliation).
Dengan demikian apabila terjadi konflik akan dapat
dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross cutting loyalities)
dari para tokoh yang berperan dalam pelbagai kesatuan sosial
dalam suatu masyarakat. Sementara konflik yang sering
terjadi dalam masyarakat multikultural cenderung bersifat
ideologis dan politis. Pada tataran ideologis, konflik lazimnya
dalam bentuk benturan sistem nilai yang dianut oleh
kelompok masyarakat sekaligus merupakan penganut dari
ideologi yang berasal dari pelbagai kesatuan sosial.
Sedangkan pada tataran politis, biasanya terjadi dalam ranah
pembagian status, kekuasaan dan akses sumber-sumber
ekonomi yang menopang kehidupan sosial keseharian seluruh
warga masyarakat setempat.
Berkenaan dengan kehidupan sosial di lingkungan
masyarakat perkebunan PT. Lestari Tani Teladan (LTT) yang
302
dijadikan sasaran kajian ini, berdasarkan wawancara dengan
sejumlah nara sumber termasuk dari unsur pimpinan kantor
perkebunan, dapat digambarkan bahwa kerukunan atau
integrasi sosial masyarakat perkebunan relatif kondusif dan
tidak pernah timbul konflik terbuka yang melibatkan massa
atau kelompok-kelompok sosial setempat. Kondisi rukun
tersebut dimungkinkan ditopang oleh beberapa faktor, antara
lain: Pertama, adanya konsensus atau keterikatan semua
karyawan terhadap peraturan yang harus mereka patuhi.
Kepatuhan para karyawan terhadap peraturan tersebut
sampai sekarang tetap terpelihara dengan adanya efektivitas
para pimpinan perusahaan perkebunan yang bersikap tegas
dan disiplin dalam memimpin perusahaan. Sanksi
diberlakukan kepada setiap karyawan yang melakukan
pelanggaran. Agar tidak kehilangan sumber penghidupan,
para karyawan berusaha senantiasa melaksanakan tugasnya
masing-masing sesuai kontrak kerja yang mereka sepakati
bersama. Kedua, di kalangan para karyawan berasal dari latar
belakang sosial yang berbeda-beda, baik dari segi etnis,
budaya, sosial maupun keyakinan agama. Setelah mereka
bertahun-tahun bekerja dan berada dalam lingkungan yang
sama maka kemudian tumbuh
suatu ikatan batin antar
sesama yang semakin kokoh. Solidaritas sosial, kebersamaan,
rasa kekeluargaan, perasaan senasib seperantauan (diaspora)
di kalangan mereka sangat mendukung terciptanya
konsolidasi dan integritas. Ketiga, di jajaran pimpinan
perusahaan dan di kalangan karyawan terdapat sejumlah
tokoh yang berperan ganda. Di antara mereka selain selaku
pimpinan atau karyawan perusahaan juga tokoh kelompok
etnis atau pimpinan keagamaan, sehingga sewaktu-waktu
terjadi konflik di lingkungan karyawan, tokoh-tokoh tersebut
dapat berfungsi sebagai mediator dan simbol pemersatu
303
dalam mencairkan konflik atau perselisihan yang akan timbul.
Keempat, menyangkut kerukunan keagamaan. PT. Lestari Tani
Teladan merupakan lembaga ekonomi. Semua kegiatan,
secara umum terfokus dan terarah pada upaya produktivitas
dan efisiensi kerja dengan harapan dapat menghasilkan
keuntungan maksimal bagi perusahaan. Hal itu berdampak
kepada insentif atau kesejahteraan bagi seluruh karyawan.
Persoalan keagamaan tidak termasuk ke dalam urusan dan
tanggung-jawab perusahaan. Urusan agama dipandang
sebagai wilayah privat dan menjadi urusan pribadi para
karyawan. Karena itu perusahaan tidak mengatur dan tidak
mencampurinya. Bila terjadi konflik antar karyawan yang
berbeda keyakinan keagamaan maka agama atau etnik tidak
boleh diaktifkan, dan dalam kenyataan memang tak pernah
terjadi konflik antar kelompok keagamaan. Sekalipun
demikian, pihak perusahaan memberikan fasilitas dan
kemudahan kepada semua karyawan secara adil dan
proporsional untuk melaksanakan aktivitas keagamaan
masing-masing yang tergabung dalam kelompok keagamaan,
dengan tidak mengganggu aktivitas keagamaan dan
kewajiban para karyawan terhadap perusahaan. Kelima,
tingkat kesejahteraan para karyawan relative baik. Para
karyawan staf dan karyawan SKU seluruhnya mendapat
fasilitas perumahan untuk tempat tinggal bersama anggota
keluarganya, serta penghasilan yang dianggap memadai,
fasilitas kesehatan serta tunjangan hari raya. Dengan
kesejahteraan ekonomi keluarga yang relatif terjamin, maka
tidak banyak keluhan apalagi protes. Kondisi demikian
menguntungkan bagi upaya integritas sosial dan membangun
kerukunan. Keenam, hubungan baik dengan masyarakat
lingkungan setempat tercipta melalui kerjasama dan bantuan
secara berkala yang diberikan oleh perusahaan. Hubungan
304
baik juga tercipta antara perusahaan dengan pihak Pemda
setempat. Kemudian, integrasi dan kerukunan yang sudah
terbangun diperkokoh oleh adanya tantangan bersama yakni
suasana kerusuhan Poso yang berkepanjangan, yang secara
geografis jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi perusahaan.
Pimpinan perusahaan, karyawan dan Pemda serta masyarakat
Kabupaten Donggala mempunyai kepentingan bersama
mengkonsolidasi diri dan selalu waspada terhadap
kemungkinan terkena imbas kerusuhan Poso, antara lain
dengan meningkatkan dan memperketat Kamtibmas
setempat.
Di balik suasana kondusif tersebut, pihak
perusahaan dan masyarakat tentu saja tidak boleh alpa bahwa
kerukunan dan konflik itu bukan sesuatu yang permanen.
Konflik dan kerukunan merupakan suatu proses yang
dinamis. Tidak ada masyarakat yang terus-menerus konflik
atau terus-menerus rukun. Kondisi sekarang yang kondusif,
bukan mustahil berubah menjadi sebaliknya karena ada
gangguan-gangguan baik dari dalam maupun dari luar
lingkungan setempat. Beberapa persoalan yang menurut
Achmad Fedyani Saifuddin (Harian Kompas, 30 Desember,
2006) cukup potensial mengundang konflik antara lain:
Keberhasilan membangun integrasi kebangsaan kita selama
ini, berhasil dijaga dan dikendalikan oleh kekuasaan politik
yang sentralistik. Begitu ada reformasi, ada tekanan dari luar,
tekanan demokrasi, desentralisasi dan sebagainya, maka
terjadi perubahan besar dalam sistem pemerintahan dan
sistem politik. Semua itu membuka kendali yang ketat,
pelonggaran peraturan dan kesepakatan sosial, pada hal pada
saat yang sama integrasi budaya kita belum terbentuk . Selain
kita belum memiliki pengikat secara budaya, bertumpuknya
berbagai kesulitan hidup di berbagai wilayah dapat memicu
305
timbulnya konflik. Kemiskinan, kesenjangan sosial antara
penduduk asli dan pendatang misalnya, dapat menjadi faktor
pendorong ketidak percayaan yang memudarkan ikatan.
Ketidakpercayaan ini menghinggapi kelompok-kelompok
yang mulai kehilangan identitas pengendalian tadi. Muncul
kesadaran baru, kesadaran lokal, kesadaran sektarianisme
yang mendorong mereka mulai memunculkan identitas baru
lagi. Orang mulai melihat identitas kesukuannya lagi, melihat
kelompok lain yang berbeda, lebih sejahtera, lebih maju dan
seterusnya. Pemikiran semacam itu memunculkan kesadaran
baru
menguatkan identitas lokal masing-masing yang
cenderung negatif. Aktualisasi identitas kelompok seharusnya
tidak menjadi ancaman bagi kelompok lain. Bahkan dapat
memberikan keuntungan bagi kehidupan sosial jika saja
orang di dalamnya tetap mempunyai pegangan dan
keyakinan bersama sebagai satu bangsa. Keuntungan lain, kita
yang berada dalam proses demokratisasi, memberikan
peluang kepada setiap kelompok untuk mengungkapkan
dirinya.
Ada proses penyamaan dan penyetaraan semua
kelompok dalam ruang publik dan mengikis diskriminasi.
Semua orang dapat mengungkapkan apa yang diinginkannya.
Namun bila tidak terkendali dapat kebablasan dan
memunculkan perpecahan. Ini dilemma yang dihadapi bangsa
ini. Dilema lain dapat muncul, jika berkembang banyak aliran
atau faham dalam suatu agama, dan mereka berhak
mengekspresikan identitasnya. Munculnya keanekaragaman
aliran dalam suatu agama mungkin tidak dapat diterima oleh
kelompok agama arus utama, bahkan dapat terjadi penolakan.
Kondisi ini dapat berpotensi timbulnya konflik. Lebih-lebih
kalau faham keagamaan baru yang ditolak itu berupaya
memperjuangkan eksistensinya dengan cara paksaan, anarkis
atau kekerasan, maka akan lebih berbahaya lagi buat integrasi
306
dan kerukunan bangsa. Oleh karena itu, menurut Fedyani
lebih lanjut, kita memerlukan pemikiran jangka panjang yang
mendahulukan kepentingan bangsa. Jangka pendek, harus
segera mengurangi kemiskinan, kesenjangan sosial dan
mengikis pengangguran. Bila kesejahteraan social meningkat
maka perpecahan dapat ditekan. Selain itu perlu penguatan
negara. Meskipun banyak yang alergi dengan penguatan
negara sebagai salah satu bentuk trauma masa lalu, namun hal
ini seharusnya tidak perlu terjadi.
307
Penutup
A. Kesimpulan
B
1.
erdasarkan temuan-temuan tersebut di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
308
Kehidupan beragama masyarakat perkebunan PT. LTT
terlihat kondusif. Umat beragama melakukan kegiatan
keagamaan dengan lancar tanpa hambatan di sela-sela
kesibukan mereka bekerja di perkebunan. Demikian pula
kerukunan intern maupun antar umat beragama terkesan
normal. Para karyawan dalam menyikapi perbedaan di
antara mereka baik perbedaan etnis maupun agama lebih
mengedepankan
prinsip
kebersamaan,
hormatmenghormati dan toleransi.
2.
Pola pembinaan kerukunan hidup beragama yang
dilakukan oleh manajemen PT. LTT kepada karyawan
yang terdiri atas berbagai pemeluk agama, tercermin dari
bentuk-bentuk pelayanan keagamaan kepada umat
beragama, meliputi: pelayanan dengan pemberian hak
secara adil, pelayanan dengan menggunakan prinsip
proporsional, pelayanan dengan prinsip pemberian
kebebasan untuk melakukan kegiatan keagamaan, serta
pelayanan dengan memotivasi untuk terciptanya
kebersamaan.
3. Di antara faktor penghambat dalam upaya pembinaan
kehidupan beragama masyarakat perkebunan PT. LTT
adalah: kurangnya perhatian dari Pejabat Departemen
Agama setempat, kurangnya tenaga dakwah/keagamaan,
serta lokasi Perkebunan PT. LTT yang relatif terisolasi.
Sedangkan di antara faktor penunjang pembinaan
kehidupan keagamaan adalah: sikap proaktif manajemen
PT LTT dalam memberikan pelayanan kepada umat
beragama, sikap kebersamaan dan toleransi antara sesama
karyawan dalam menyikapi perbedaan, serta kebijakan
pihak
manajemen
terhadap
karyawan
dengan
mengesampingkan perbedaan etnis dan agama.
4. Berkenaan dengan integrasi sosial di lingkungan
masyarakat PT. LTT, sejauh ini berlangsung normal, tidak
banyak gangguan yang berarti. Suasana integritas sosial
terbangun dan ditopang oleh faktor-faktor: (a) Adanya
konsensus atau keterikatan semua karyawan terhadap
peraturan yang berlaku dan efektivitas kepemimpinan
perusahaan; (b) Kebersamaan dan kerjasama antar
karyawan yang berbeda latar belakang sosial, budaya,
etnik dan agama; (c) Peran ganda sejumlah tokoh yang
berasal dari satu satuan sosial yang berbeda yang
309
merupakan simbol pemersatu; (d) Sebagai lembaga
ekonomi, PT.LTT terfokus kepada produktivitas kerja.
Sementara itu agama diposisikan sebagai wilayah privat,
di luar tanggung-jawab perusahaan, namun pihak
perusahaan memfasilitasi sarana peribadatan kepada
semua kelompok agama secara proporsional agar
karyawan dapat beribadat sesuai keyakinan agamanya;
(e) Penghasilan dan kehidupan sosial ekonomi para
karyawan relatif baik sehingga tidak mudah terpicu
konflik; (f) Integritas dan kerukunan yang sudah
terbangun tersebut diperkokoh oleh adanya kerjasama dan
bantuan dari perusahaan secara berkala kepada Pemda
dan masyarakat sekitar.
B. Rekomendasi
1.
Kondisi kerukunan hidup beragama di kalangan
masyarakat perkebunan PT. LTT Kecamatan Rio Pakava
yang selama ini tercipta secara harmonis, perlu
dipertahankan bahkan ditingkatkan. Diharapkan pihak
manajemen PT. LTT dalam mempertahankan kondisi
harmoni tersebut dapat memotivasi karyawan untuk
meningkatkan kebersamaan dan toleransi. Departemen
Agama setempat diharapkan secara proaktif dapat
membantu upaya tersebut.
2. Pola-pola pembinaan kerukunan hidup beragama yang
diterapkan oleh manajemen PT. LTT untuk menjaga
kerukunan hidup beragama para karyawan , kiranya perlu
dikembangkan terus sehingga kerukunan intern maupun
antar umat beragama di kalangan karyawan PT. LTT
semakin mantap.
3. Pihak Departemen Agama setempat diharapkan kiranya
dapat ikut serta mengupayakan peningkatan pelayanan
310
keagamaan kepada masyarakat perkebunan PT. LTT Rio
Pakava secara proaktif, misalnya melalui kegiatan
monitoring, penyuluhan, dan pengiriman tenaga dakwah
sesuai keperluan secara terprogram.
4. Perlu pula pihak Kantor Departemen Agama setempat
menggalakkan interaksi dan dialog multikultural secara
kontinu, serta pemupukan rasa kebangsaan secara lebih
terarah dengan melibatkan semua kelompok agama yang
ada.
Daftar Bacaan
Ahmad Fedyani Siafuddin, Kompas, 30 Desember 2006
Arikunto, Suharsini, 2002, Prosedur Penelitian – Suatu
Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, Edisi
Revisi V.
Burhan Bungin, M. 2005, Metodologi Studi Kualitatif, Jakarta,
Perdana Media.
Creswell, John, W., Editor: Aris Budiman, et all., 2002,
Research Design, Qualitative & Quantitative
Approaches, Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif,
Jakarta, KIK Press, Eidisi Revisi, Cetakan kedua.
Kantor Kecamatan Rio Pakava, 2003, Rio Pakava Dalam
Angka, Tahun 2002, Donggala, Kantor Kecamatan
Rio Pakava Dalam, 2006.
----------------, 2006, Data Penduduk Kecamatan Riau Pakava,
2006, Kecamatan Rio Kakava, Kabupaten Donggala.
311
Mantra, Ida Bagoes. 2004, Filsafat Studi dan Metode Studi
Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, penerbut Rajawali; (1999)
PT. Lestari Tani Teladan, (PT. LTT), 2006, Data Karyawan
Perusahaan Perkebunan PT. Lestari Tani Teladan
(PT. LTT), Donggala, Kecamatan Rio Pavaka,
Kabupaten Donggala.
Sugiyono, 2001, Metode Studi Administratif, Bandung,
Alfebeta.
312
Download