61 Analisis yang dilakukan selama ini terbatas pada arus dan

advertisement
Analisis yang dilakukan selama ini terbatas pada arus dan tegangan yang
tetap. Selanjutnya pembahasan akan menerapkan arus dan tegangan
bolak-balik seperti ditunjukkan pada gambar 4.1.
Gambar 4.1. Gelombang bolak balik
Semua bentuk gelombang pada gambar 4.1. disebut sebagai bentuk
gelombang bolak-balik. Gambar 4.1.a. disebut sebagai tegangan bolakbalik sinusoidal karena mengikuti pola gelombang sinus. Gelombang jenis
ini adalah jenis yang umumnya dijumpai. Bahasan selanjutnya hanya
akan menerapkan bentuk gelombang ini. Bentuk gelombang yang
ditunjukkan pada gambar 4.1.b sering disebut sebagai gelombang persegi
sedangkan yang ditunjukkan pada gambar 4.1.c adalah gelombang
segitiga. Dua bentuk terakhir biasanya dibangkitkan di laboratorium,
keduanya tidak dibahas dalam buku ini.
Perhatikan dan bandingkan ketiga bentuk gelombang pada gambar
4.1 diatas dengan tegangan searah yang ditunjukkan pada gambar 4.2.
61
Gambar 4.2. Tegangan Searah
Terlihat bahwa pada sistem DC besaran tegangan besarnya tetap, tidak
berubah terhadap waktu, sedangkan pada sistem AC besaran tegangan
berubah terhadap waktu.
4.1 Bentuk Gelombang Sinusoiadal
Tegangan sinusoidal dihasilkan oleh berbagai sumber. Sumber
yang paling umum adalah stop kontak di rumah-rumah dimana sumber
aslinya berada pada pusat pembangkit listrik (PLN) dengan berbagai
pusat pembangkit seperti PLTA, PLTU, PLTP, PLTG dan lain-lain.
Gelombang sinusoidal dengan karakteristik yang dapat dikendalikan oleh
pengguna didapat dari suatu alat yang dinamakan generator fungsi
seperti ditunjukkan pada gambar
43.e
Gambar 4.3. Beberapa sumber bolak-balik
Lihatlah gambar 4.4., perhatikan bahwa antara kurva 0 s.d. π,
dengan kurva π s.d. 2π, keduanya adalah saling berkebalikan dengan
besaran puncak yang sama dimana mempunyai nilai puncak sebesar 120
Volt.
62
Gambar 4.4
Secara matematis persamaan suatu tegangan sinusoidal adalah
v = Vp sinθ
(4.1)
perhatikan bahwa pada sudut sebesar 90o, sin θ = sin 90o = 1, sehingga v =
Vp = 120 Volt. Hal yang sama muncul pada sudut sebesar 270o Sedangkan
akan tetapi sin 270o = - sin 90o = -1, sehingga VP = -1.
Pada sudut 0o, 180o dan 360o sinθ=0 sehingga v = 0 volt. Vp
(tegangan puncak) adalah tegangan sesaat terbesar yang mungkin terjadi.
Ini adalah amplitudo gelombang sinus tersebut. Saat VP= 120 V sering
disebut sebagi puncak atas dan VP=-120 sering disebut sebagai puncak
bawah. Beda tegangan antara VP=120 dan VP=-120 dikenal dengan VPP
(tegangan puncak ke puncak).
Sumbu horisontal pada gambar 4.4. bersatuan radian atau degree.
Persamaan berikut digunakan untuk mengkonversi antara keduanya
 π 
(degree)
radian = 
o 
 180 
(4.2)
 180 o
degree = 
 π
(4.3)

 (radian )

Perioda (T) dari suatu gelombang sinusoidal adalah waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan satu gelombang penuh yaitu terjadinya
satu puncak atas dan satu puncak bawah, yang seringkali disebut sebagai
satu siklus.
63
Gambar 4.5.
Perhatikan gambar 4.5.(a), nampak gelombang tersebut memiliki perioda
sebesar satu detik, sedangkan gelombang pada gambar 4.5.(b) memiliki
perioda sebesar 0,5 detik.
Frekuensi (f) dari suatu gelombang sinusoidal adalah jumlah siklus
yang terjadi selama satu detik. Pada gambar 4.5.(a) dan 4.5.(b) masing
masing memiliki frekuensi satu siklus dan dua siklus perdetik. Satuan
siklus per detik seringkali disebut sebagai Hertz(Hz);
1 hertz = 1siklus per detik
(4.4)
Perhatikan bahwa antara perioda dan frekuensi adalah saling
berkebalikan sehingga dapat dinyatakan sebagai
T=
1
f
(4.5)
dimana
T adalah perioda dengan satuan detik
f adalah frekuensi dengan satuan Hertz
Gelombang sinusoidal dapat dibangkitkan dengan cara
memproyeksikan secara vertikal suatu vektor rotasi seperti diilustrasikan
64
pada gambar 4.6.
Gambar 4.6.
Dalam gerak translasi dikenal, kecepatan = jarak/ waktu,
65
sedangkan pada gerak rotasi berlaku kecepatan putar ( ω )
ω=
2π
T
(4.6)
jika 1/T dinyatakan sebagai f maka
ω = 2π f
(4.7)
jika Jarak = kecepatan x waktu maka sudut θ (dalam satuan radian) yang
ditempuh suatu putaran dengan kecepatan ω dalam waktu t dapat
ditentukan dengan persamaan
θ = ωt radian
(4.8)
persamaan 4.1. dapat ditulis kembali sebagai
v = VP sin ωt
(4.9)
v = VP sin 2 π f
(4.10)
gambar 4.7
Gambar 4.8
66
Gambar 4.9
4.2 Nilai Efektif (RMS)
Gambar 4.10
Berapakah tegangan sinusoidal akan memasok daya yang setara
dengan tegangan DC? perhatikan gambar 4.10. gambar tersebut
menyatakan bahwa jika tegangan DC sebesar 10 V dipasokkan ke suatu
beban, daya yang setara dengan itu dapat dipasok dari tegangan
sinusoidal dengan tegangan puncak sebesar 14.14 V. Dalam bentuk
persamaan, nilai ekivalen atau nilai efektif dari suatu tegangan sinusoidal
sama dengan 0.707 kali nilai tegangan puncaknya.
1
VDC ekuivalen = Vef = 0.707(VP ) =
I DC ekuivalen = I ef = 0.707(I P ) =
2
1
2
(Vp )
(I P )
(4.13)
(4.14)
VP =1.414Vef = 2 (Vef )
(4.15)
I P = 1.414 I ef = 2 (I ef )
(4.16)
67
Dalam sistem AC, suatu besaran menunjukkan nilai RMSnya jika tidak
diberi keterangan tertentu.
4.3 Nilai Rata-Rata
Gambar 4.11.
Tegangan rata-rata adalah nilai rata-rata setengah gelombang
penuh dari gelombang sinus. Ber satuan Volts average (Vave) . Nilai
tegangan rata-rata adalah setara dengan 0.637 kali nilai tegangan
puncaknya.
Vave = 0.637Vp
(4.17)
Nilai tegangan rata-rata ditentukan hanya dari setengah gelombang
karena nilai rata-rata satu gelombang penuh adalah sama dengan nol.
4.4 Elemen R,L,C dalam tegangan Bolak-Balik
Akan kita bahas pengaruh sinyal sinusiodal terhadap elemen R,L
dan C. Pada gambar 4.20. suatu sinyal sinusiodal dilewatkan melalui
sebuah resistor.
gambar 4.20.
68
Seperti ditunjukkan pada gambar 4.20, arus yang dihasilkan mempunyai
nilai puncak yang dapat ditentukan melalui persamaan 4.21:
Ip =
Ep
R
(4.21)
di sana juga nampak bahwa tidak terjadi pergeseran phasa sehingga
dikatakan vR dan iR adalah sephasa. Perhatikan juga bahwa frekuensi
keduanya (vR dan iR) adalah sama.
Daya yang diserap oleh resistor dapat ditentukan dengan
persamaan
2
PR = I R R =
2
VR
= VR I R watt
R
PR = VR I R = (
20
20
V)(
4
2
A) =
(4.22)
80
= 40 watt
2
Perhatikan kemiripan antara penggunaan persamaan 4.22 –pada sistem
bolak-balik- dengan hal yang sama pada sistem searah, perbedaan hanya
pada penambahan nilai efektifnya.
gambar 4.21
Untuk resistor ideal nilai hambatannya tidak terpengaruh oleh frekuensi,
seperti ditunjukkan pada gambar 4.21. Tetapi pada prakteknya
bagaimanapun akan muncul efek kapasitif dan induktif pada setiap
resistor, ini akan mempengaruhi karakteristik resistor pada frekuensi
sangat tinggi maupun sangat rendah. Untuk saat ini semua resistor
dianggap ideal.
Reaksi kapasitor dan induktor terhadap sinyal sinusoidal sedikit
berbeda dengan reaksi resistor. Keduanya –induktor dan kapasitor69
memang membatasi besaran arus yang akan mengalir, tetapi pada
keadaan ideal keduanya tidak menyerap energi yang dialirkan padanya.
Pada induktor energi akan disimpan dalam bentuk medan magnet
sedangkan pada kapasitor energi akan disimpan dalam bentuk medan
listrik, dimana keduanya dapat dikembalikan ke sistem jika diinginkan
melalui desain tertentu.
Untuk induktor reaktansi terhadap sinyal sinusoidal dapat
ditentukan dengan persamaan 4.23
X L = ωL = 2πfL
(4.23)
reaktansi mempunyai kemiripan dengan resistansi, yaitu mampu
membatasi arus, dengan kata lain reaktansi adalah semacam daya hambat
yang dimiliki suatu induktor pada sinyal bolak-balik.
Persamaan 4.23. memperlihatkan bahwa reaktansi induktif
dipengaruhi secara proporsional oleh frekuensi sinyal yang diterapkan.
Ingat kembali bahwa induktor idealnya mempunyai karakter sebagai
hubung pendek dalam sinyal searah. Sinyal searah mempunyai frekuensi
f=0, sehingga perhitungan X L = 2πfL = 2π 0 L = 0Ω , hal ini mendukung
pernyataan kalimat sebelumnya.
Pada frekuensi sangat tinggi induktor memiliki karakter hubung
buka, karena induktor mempunyai reaktansi yang sangat tinggi.
Gambar 4.22
Hubungan XL terhadap frekuensi diperlihatkan pada gambar 4.22.
70
Perhatikan bahwa pada saat frekuensi bernilai nol maka XL bernilai nol,
dan bertambah besar secara linier terhadap penambahan frekuensi. Garis
lurus untuk masing-masing L dapat ditulis persamaannya sebagai y = mx
+ b dimana b bernilai nol dan bernilai 2πL sebagai gradien.
VP
XL
IP =
(4.24)
gambar 4.23.
Jika tegangan sinusoidal diterapkan terhadap induktor 0.5 H pada
gambar 4.23. reaktansinya bernilai XL=2⁵(60Hz)(0.5H)=188.5Ω. Dengan
hukum Ohm dapat ditentukan nilai puncak arus yang mengalir yaitu
IP =
VP
20V
=
= 106.1x10 −3 = 106.1 mA
X L 188.5Ω
Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.23., disana terlihat bahwa
penerapan tegangan terhadap induktor menyebabkan tegangan vL
mendahului arusnya iL sebesar 90o. Induktor menyebabkan pergeseran
phasa antara tegangan dan arus sebesar 90o.
Untuk sistem arus bolak-balik persamaan dasar dayanya adalah
sebagai berikut:
P=
VP I P
cos θ = Vef I ef cos θ
2
(4.25)
Gambar 4.24
71
Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.24, Vef adalah beda tegangan
pada suatu elemen atau rangkaian dimana dayanya ditentukan,
sedangkan Ief adalah arus yang mengalir melaluinya. Sudut θ adalah
sudut phasa antara tegangan dan arus. Pada kasus resistor murni kita
dapati tegangan dan arus adalah sephasa sehingga θ bernilai nol.
Substitusi nilai sudut ke persamaan 4.25. menghasilkan P = VI cosθ
= VI(1) = VI dimana V dan I merujuk ke Vef dan Ief. Sedangkan pada
induktor murni sudut θ bernilai 90o sementara cos 90o adalah nol sehingga
menyebabkan daya yang diserap sama dengan nol watt, ini menunjukkan
kepada kita mengenai pernyataan terdahulu bahwa induktor ideal tidak
menyerap daya akan tetapi hanya menyimpannya sebagai medan magnet.
Suatu rangkaian yang mempunyai resistor dan induktor akan memiliki
sudut phasa antara 0o dan 90o.
Untuk kapasitor murni reaktansi dapat ditentukan dengan
persamaan 4.26
XC =
1
1
ohm
=
ωC 2πfC
(4.26)
ini menyatakan bahwa kenaikan frekuensi menyebabkan turunnya
reaktansi kapasitor (hal ini berlawanan dengan induktor). Jika f=0 maka
XC=
1
≈ ∞Ω ini merupakan nilai yang sangat tinggi sehingga dapat
2π (0)C
disetarakan dengan hubung buka.
72
Gambar 4.25.
Gambar 4.25 adalah kurva hiperbolis hubungan antara XC dan
frekuensi. Dsini ditunjukkan bahwa nilai XC mempunyai nilai yang sangat
besar pada frekuensi mendekati nol dan turun secara cepat dengan
kenaikan frekuensi. Hukum Ohm dapat juga diterapkan untuk elemen
kapasitif dengan menggunakan persamaan:
VP
XC
IP =
(4.27)
Gambar 4.26
Tegangan sinusoidal dengan spesifikasi seperti ditunjukkan pada
gambar 4.26. dilewatkan melintasi kapasitor 10µF, reaktansi XC adalah
XC =
1
1
=
= 265.25 ohm
2πfC 2π (60 Hz )(10 µF )
dan nilai puncak arusnya dapat ditentukan dengan menggunakan hukum
Ohm
IP =
VP
10V
=
= 37.7 mA
X C 265.25Ω
Seperti ditunjukkan pada gambar 4.26., perhatikan bahwa dalam
hal ini pergeseran phasa sebesar 90o terjadi antara iC dan vC, hal ini
merupakan kebalikan dari induktor. Substitusi ke persamaan umum daya
menghasilkan
PC
= VI cos θ = VI cos 90 o = VI (0) = 0 W
Faktor cos θ pada persamaan daya disebut dengan faktor daya dari
rangkaian biasanya dinyatakan dengan
73
power factor = cosθ = FP
(4.28)
yang memiliki nilai terbesar satu, yaitu saat rangkaian bersifat resistif
murni dimana sudut phasa yang terjadi adalah 0o. sedangkan nilai
terkecilnya adalah nol, yaitu saat rangkaian bersifat reaktif murni
(kapasitif atau induktif). Untuk rangkaian dengan kombinasi resistor dan
elemen reaktif nilai faktor daya adalah antara nol sampai dengan satu.
4.5 Phasor dan Bilangan kompleks
Pada gambar 4.28 ditunjukkan sebuah vektor yang mewakili
resistansi, reaktansi induktif dan reaktansi kapasitif. Sudut yang
ditunjukkan oleh ketiganya masing-masing ditentukan oleh pergeseran
phasa antara tegangan dan arus pada setiap elemen. Untuk resistor,
tegangan dan arus adalah sephasa, karenanya tidak ada pergeseran phasa,
dan sudut antara keduanya adalah 00. Karena sudut diukur dari sumbu x
horizontal sebelah kanan, vektor resistansi digambarkan pada sumbu x.
Panjangnya ditentukan oleh nilai resistansi R. Untuk XL dan XC sudutnya
adalah sudut antara beda tegangan (yang mendahului) dan arusnya.
Untuk XL sudutnya sebesar +900, dan untuk XC sudutnya sebesar -900.
Panjang dari vektor ditentukan oleh nilai reaktansi dari setiap elemen.
Perhatikan bahwa bahwa sudut selalu diukur dari sumbu x.
gambar 4.28
Kombinasi dari elemen-elemen reaktif dan resistif pada gambar 4.28
disebut impedansi dan diberi simbol Z. Impedansi adalah suatu ukuran
yang menyatakan kemampuan suatu rangkaian ac untuk menghambat
74
arus yang mengalir melalui rangkaian. Diagram pada gambar 4.28 disebut
diagram impedansi. Hanya resistansi dan reaktansi yang ditunjukkan pada
suatu diagram impedansi.
Tegangan dan arus dinyatakan dalam diagram phasor yang
ditunjukkan pada gambar 4.29 untuk setiap elemen. Sudut yang terkait
adalah sudut phasa pada domain waktu dari suatu gelombang sinusoidal.
Besaran yang dipakai adalah nilai RMSnya. Setiap besaran -termasuk
sudut yang berhubungan- dinyatakan dengan huruf tercetak tebal dan
disebut sebagai sebuah phasor.
gambar 4.29
Diagram phasor untuk suatu resistor murni menunjukkan bahwa vR
dan iR adalah sephasa karena mereka memiliki sudut yang sama dan arah
yang sama. -Arah berlawanan dengan arah jarum jam menggambarkan
vektor yang mendahului-. Pada gambar 4.29(b). Jika vL dan iL adalah
vektor berputar searah jarum jam seperti yang di definisikan pada gambar
4.8., vL mendahului iL sebesar 90o. Untuk kapasitor yang terlihat pada
gambar 4.29(c) iC mendahului vC sebesar 90o. -Arah berlawanan jarum jam
menunjukkan ketertinggalan dari suatu besaran-.
Sebuah vektor seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.30. dapat
ditentukan dengan pertamaa, dinyatakan sebagai besaran dan sudutnya
dari sumbu x horizontal positif atau kedua dinyatakan sebagai komponen
kearah sumbu x dan komponen kearah sumbu y (yaitu dengan
75
memproyeksikan vektor tersebut kearah masing-masing sumbu). Bentuk
pertama disebut dengan bentuk polar, dan bentuk kedua disebut dengan
bentuk rektanguler.
Persamaan yang dibutuhkan untuk mengkonversikan suatu bentuk
ke bentuk yang lain adalah
gambar 4.30.
Polar ---->Rektanguler
A = C cos θ
B = C sin θ
Rektanguler ------>Polar
C =
A
θ = tan
2
−1
+ B
B
A
2
4.29
Huruf j dicantumkan ke dalam bentuk rektanguler untuk
membedakan antara komponen real (horizontal) dan komponen imajiner
(vertikal). Istilah real dan imajiner semata-mata berhubungan dengan
definsi matematis dan tidak dijelaskan lebih lanjut disini.
Untuk melakukan operasi matematis, huruf j didefinisikan sebagai
− 1 , sehingga,
j = −1
j 2 = ( − 1 ) 2 = −1
j 3 = j 2 j 1 = (−1)( − 1 = − − 1 = − j
j 4 = j 2 j 2 = ( −1)(−1) = +1
76
Walaupun pada operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk rektanguler,
tetapi hanya operasi penjumlahan dan pengurangan yang akan dijelaskan
dengan menggunakan bentuk ini. Sedangkan pada operasi perkalian dan
pembagian akan dijelaskan dalam bentuk polar.
Perhatikan contoh berikut:
Contoh 4.1.
Konversikan bentuk polar berikut ke dalam bentuk rektanguler.
a.
10∠53.13o
A = 10 cos 53.13 o = 10(0.6) = 6
B = 10 sin 53.13 o = 10(0.8) = 8
sehingga
10∠53.13o = 6 + j8
b. 16∠ − 30o
A = 16 cos 30 o = 10(0.866) = 13.86
B = 16 sin 30 o = 10(0.5) = 8
sehingga
16∠30 o = 13.86 + j8
Konversikan bentuk rektanguler berikut kedalam bentuk polar
a.
30 + j 40
C = (30) 2 + (40) 2 = 50
θ = tan −1
40
= 53.13 o
30
sehingga
30 + j 40 = 50∠53.13 o
b. 4 − j 20
77
C = (4) 2 + (20) 2 = 20.4
θ = tan −1
20
= 78.69 o
4
sehingga
4 − j 20 = 20.4∠ − 78.69 o
4.5.1 Penjumlahan
Dalam bentuk rektanguler penjumlahan dilakukan dengan
menjumlahkan masing-masing bagian (real dan imajiner secara terpisah)
( A1 + jB1 ) + ( A2 + jB2 ) = ( A1 + A2 ) + j ( B1 + B2 )
4.30
Gambar 4.31
Contoh 4.2.
Tentukan tegangan Ein pada rangkaian gambar 4.31.
Jawaban:
Dengan menerapkan HKT menghasilkan
ein = v1 + v 2
Dalam bentuk phasor (nilai RMS):
V1 = 0.707(10V )∠0 o = 7.07V∠0 o
V2 = 0.707(20V )∠0 o = 14.14V∠60 o
Jika dinyatakan dalam bentuk rektanguler
V1 = 7.07 + j 0
V2 = 14.14 cos 60 o + j14.14 sin 60 o
= 14.14(0.5) + j14.14(0.866)
= 7.07V + j12.25V
sehingga
78
Ein
= (14.14V ) 2 + (12.25) 2 = 18.71V
θ = tan −1
12.25
= 40.9 o
14.14
dalam bentuk polar
Ein = 18.71V∠40.9 o
dalam domain waktu
ein = 2 (18.71) sin(ωt + 40.9 o )
= 26.46 sin(ωt + 40.9 o )
V1 = 10V∠30 o
V2 = 3.6V∠30 o
Ein = V1 + V 2 = 13.6∠30o
V1 = 0.6V∠ − 20 o
V2 = 1.8V∠160 o
gambar 4.32
Ei n = V1 + V2 = 1.2∠160 o
4.5.2 Pengurangan
Mirip dengan penjumlahan pada operasi pengurangan berlaku
( A1 + jB1 ) − ( A2 + jB2 ) = ( A1 − A2 ) + j ( B1 − B2 )
4.31
Contoh 4.3.
Tentukan arus i1 pada gambar 4.33. dalam bentuk rektanguler
Jawaban:
79
gambar 4.33
Dengan menerapkan HKA maka
IT=I1+I2
Maka
I1 = I T − I 2
= 8 A∠90 o − 4 A∠45 o
= (0 + j8) − (4 cos 45 o + j 4 sin 45 o )
= (0 + j8) − (2.828 + j 2.828)
= (0 − 2.828) + j (8 − 2.828)
I 1 = −2.828 A + j 5.172 A = 5.895 A∠118.67 o
dan
i1 = 8.34 sin(ωt + 118.67 o )
gambar 4.34
4.5.3 Perkalian dan Pembagian
(C1∠θ1 )(C 2 ∠θ 2 ) = C1C 2 ∠(θ1 + θ 2 )
(4.32)
80
C1∠θ C1
=
∠(θ1 − θ 2 )
C 2 ∠θ C 2
(4.33)
Jika besaran yang tersedia berbentuk rektanguler maka harus
dikonversi terlebih dahulu menjadi bentuk polar:
Contoh 4.4.
Tentukan hasil dari operasi-operasi berikut:
a. (10∠60 o )(6∠ − 20 o ) = (10(60)∠(60 o − (−20 o ) = 60∠40 o
b. (0.4∠ − 30 o )(600∠60 o ) = (0.4)(600)∠(−30) + 60 o ) = 240∠30 o
c. (40∠20 o ) /(5∠ − 30 o ) = 40 / 5∠(20 o − (−30 o ) = 8∠50 o
Contoh 4.5.
Tentukan hasil dari operasi-operasi berikut:
(5 + j10)(6∠20 o )
0. 2 − j 0. 8
a.
b. (0.2∠30 o )2(8 + j 6)
Jawaban:
a.
(5 + j10)(6∠20 o )
0. 2 − j 0. 8
5 + j10 = 11.18∠63.43 o
0.2 − j 0.8 = 0.825∠ − 75.96 o
(11.18∠63.43 o )(6∠20 o )
67.08∠63.43 o
=
= 81.31∠159.39 o
o
o
0.825∠ − 75.96
0.825∠ − 75.96
b. (0.2∠30 o )2(8 + j 6)
(0.2∠30 o )2 = (0.2∠30 o )(0.2∠30 o ) = 0.004∠60 o
8 + j 6 = 10∠36.87 o
(0.04∠60 o )(10∠36.87 o ) = 0.4∠96.87 o
4.6 Phasor untuk Elemen RLC
Akan dibahas penerapan aljabar phasor pada elemen-elemen R,L
dan C. Ingat kembali gambar 4.26.
81
Z R = R∠0 o
Z L = X L ∠90 o
4.34
Z C = X C ∠ − 90 o
Gambar 4.35
Perhatikan resistor pada gambar 4.35. Dengan mengacu tegangan
yang tercantum maka arus yang melewatinya dapat ditentukan sebagai
berikut:
IR =
V
V∠θ
V
V
=
= ∠θ − 0 o = ∠θ
o
Z R R∠0
R
R
Perhatikan bahwa V dan I dalam keadaan sephasa karena keduanya
mempunyai sudut yang sama yaitu Θ.
Gambar 4.36
Untuk induktor pada gambar 4.36, arus yang melaluinya adalah
IL =
V
V∠θ
V
=
=
∠(θ − 90 o )
o
Z L X L ∠90
XL
Hasilnya menunjukkan i tertinggal dari tegangan sebesar 90o sedangkan
nilainya sebesar V/XL
Gambar 4.37
Sedangkan untuk kapasitor pada gambar 4.37. arusnya ditentukan
dengan persamaan:
IC =
V
V∠θ
V
=
=
∠(θ + 90 o )
o
Z C X C ∠ − 90
XC
82
Contoh 4.6.
Tentukan arus yang melewati sebuah resistor sebesar 20Ω jika tegangan
yang diterapkan adalah 40 sin (200t+20o)
Jawaban:
Dalam notasi phasor
V = (0.707)(40V )∠20 O = 28.28V∠20 o
dengan hukum Ohm
I=
V
28.28V∠20 o
=
= 1.414 A∠20 o
o
ZR
20Ω∠0
dalam domain waktu
i = ( 2 )(1.414) sin(200t + 20 o )
= 2 sin(200t + 20 o )
Contoh 4.7.:
Tentukan beda tegangan pada sebuah induktor 20mH jika arus yang
mengalir adalah sebesar 10x10-3 sin (500t+60o)
Jawaban:
X L = ωL = (500rad / det)(20 x10 −3 H ) = 10000 x10 −3 Ω = 10Ω
Dalam notasi phasor
I = (0.707 mA∠60 o ) = 7.07 mA∠60 o
dengan menerapkan hukum Ohm
V = IZ L = (7.07 mA∠60 o )(10Ω∠90 o ) = 70.7 mV∠150 o
dalam domain waktu, tegangannya adalah
v = ( 2 )(70.7 x10 −3 ) sin(500t + 150o)
= 100 x10 −3 sin(500t + 150 o )
= 0.1sin(500t + 150 o )
83
Gambar 4.38
Contoh 4.8.
Tentukan arus yang melewati sebuah kapasitor sebesar 5 µF jika tegangan
yang diterapkan adalah 40 sin 377t
Jawaban:
XL =
1
1
=
= 530.5Ω
ωC (377 rad / det)(5 x10 −6 F )
Notasi phasor
V = (0.707)(20V∠0 o ) = 14.14V∠0 o
dengan menerapkan hukum Ohm
I=
V
14.14∠0 o
=
= 0.0267 A∠90 o = 26.7 mA∠90 o
o
Z C 530.5Ω∠ − 90
arus dalam domain waktu
iC = ( 2 )(26.7 x10 −3 ) sin(377t + 90 o )
= 37.75 x10 −3 sin(377t + 90 o )
4.7 Rangkaian Seri pada sistem bolak-balik
Dalam rangkaian seri arus sepanjang rangkaian adalah sama
sedang- kan total impedansi rangkaian adalah penjumlahan secara vektor
dari impedansi masing-masing elemen. Sehingga
Z T = Z 1 + Z 2 + Z 3 + ... + Z n
(4.35)
Mengacu gambar 4.39. reaktansi dari induktor adalah
X L = ωL = (377 rad / s)(10.61 mH ) = 4Ω
84
gambar 4.39.
akan membantu jika gambar 4.39. dinyatakan sebagai blok impedansi
seperti ditunjukkan pada gambar 4.40
gambar 4.40.
Dengan menggunakan persamaan 4.35. maka
Z T = Z1 + Z 2
Substitusi nilai-nilai impedansi menghasilkan
Z T = (3Ω + j 0) + (0 + j 4Ω)
= (3Ω + j 4Ω) = 5Ω∠53.13 o
Gambar 4.41.
Diagram impedansi pada gambar 4.41. secara jelas memperlihatkan
bahwa total impedansi dapat ditentukan secara grafis.
Dengan menerapkan hukum Ohm
85
I=
E 120V∠ − 53.13 o
=
= 24 A∠ − 53.13o
o
ZT
5Ω∠53.13
dimana dalam domaian waktu
i = 2 (24) sin(ωt − 53.13 o )
= 33.94 sin(ωt − 53.13 o )
Tegangan pada resistor
V R = V1 = IZ 1 = (24 A∠ − 53.13o )(3Ω∠0 o ) = 72V∠ − 53.13o
dalam domain waktu
v R = 2 (72) sin(ωt − 53.13 o )
= 101.81sin(ωt − 53.13 o )
Perhatikan bahwa vR dan I adalah sephasa jika keduanya mempunyai
sudut yang sama.
Tegangan pada induktor
V L = V2 = IZ 2 = (24 A∠ − 53.13 o )(4Ω∠90 o ) = 96V∠36.87 o
dengan domain waktu
v L = 2 (96) sin(ωt − 36.87 o )
= 135.74 sin(ωt − 36.87 o )
Gambar 4.42
Diagram phasor dari tegangan dan arus ditunjukkan pada gambar
4.42. Perhatikan bahwa tegangan E yang dikenakan adalah penjumlahan
vektor VL dan VR sesuai dengan HKT
E=VR+VL
86
Penggunaan hukum pembagian tegangan untuk menentukan VR (hal
yang sama) menunjukkan nilai yang sama
VR =
Z1 (E )
(3∠0 o )(120∠0 o )
360∠0 o
=
=
Z1 + Z 2
3 + j4
5∠53.13 o
Akan kita lihat secara hati-hati bentuk gelombang tegangan dan
arus yang terdapat pada gambar 4.43. Terlihat bahwa VR dan iR sephasa
sedangkan VL mendahului iL sebesar 90o. Karena rangkaian bersifat
induktif perhatikan juga bahwa arus masukan juga tertinggal dengan
tegangan masukan sebesar 53.13o. Semakin bersifat induktif sudut
tertinggalnya semakin besar. Pada sembarang titik sumbu x, nilai sesaat
e,vR,vL memenuhi hukum Ohm. Saat t=0 atau θ=0o, e=0 dan
e=VR+VL
sehingga
0=VR+VL
dan
VR=VL
Gambar 4.43
Daya rangkaian dapat ditentukan menggunakan persamaan berikut
P = EI cos θ = I 2 R = VR I R =
2
VR
R
(4.36)
dimana θ adalah sudut phasa antara arus dan tegangan
87
P = Ei cos θ = (120V)(24A) cos 53.13o
P=(120V) (24A) (0.6)
=1728W
sementara
P = I T R = (24 A) 2 (3Ω) = 1728W
2
Faktor daya rangkaian adalah
FP = cosθ = 0.6
ini menunjukkan bahwa rangkaian jauh dari sifat resitif murni tetapi tidak
juga bersifat reaktif murni. Rangkaian seperti ini menyebabkan faktor
daya tertinggal yang mengindikasikan rangkaian bersifat induktif. Untuk
rangkaian dengan besar faktor daya yang sama tetapi mendahului
ditambahkan label “leading”, jika hanya dituliskan Fp=0.6 berarti faktor
daya =0.6 tertinggal.
Untuk rangkaian seri faktor daya dapat juga ditentukan dengan
FP =
R
ZT
(4.37)
misalnya
FP =
3
= 0.6
5
Kadangkala, pada praktek, suatu rangkaian didesain bahwa pada range
frekuensi tertentu reaktansi induktif lebih besar dari pada impedansi
serinya. Sebagai contoh XL =400 Ω dan R= 3Ω, total impedansi adalah
Z T = R2 + X L = (3Ω)2 + (400Ω)2 = 400Ω
2
sehingga rangkaian secara praktek seakan induktif murni
FP =
R
3
=
= 0.0075 ≅ 0
Z 400
Berikutnya akan kita bahas rangkaian seri RLC seperti ditunjukkan
pada gambar 4.44. substitusi blok impedansi ke masing-masing elemen
ditunjukkan pada gambar 4.45. sedangkan total impedansinya adalah
88
Z T = Z1 + Z 2 + Z 3
= (5kΩ + j 0) + (0 + j 4kΩ) + (0 − j16kΩ)
= 5kΩ + j 4kΩ − j16kΩ
= 5kΩ − j12kΩ
= 13kΩ∠ − 67.38 o
Gambar 4.44
Gambar 4.45
Diagram impedansi rangkaian ini ditunjukkan pada gambar 4.46.
Perhatikan bahwa reaktansi induktif dan reaktansi kapasitifnya saling
oposan, selisihnya adalah netto reaktansi dari rangkaian. Arus rangkaian
adalah
I =
E
60V∠0 o
=
= 4.615mA∠67.38 o
Z T 13kΩ∠ − 67.38 o
i = 2 (4.615 x10 −3 ) sin(ωt + 67.38 o )
= 6.53 x10 −3 sin(ωt + 67.38 o )
89
Gambar 4.46
Tegangan pada masing-masing elemen dapat ditentukan secara langsung
menggunakan hukum Ohm
v R = IR = (4.615mA∠67.38 o )(5kΩ∠0 o )
= 23.075V∠67.38 o )
v L = IZ L = (4.615mA∠67.38 o )(4kΩ∠90 o )
= 18.46V∠157.38 o )
vC = IZ C = (4.615mA∠67.38 o )(16kΩ∠ − 90 o )
= 73.84V∠ − 22.62 o )
Diagram phasor dari rangkaian ditunjukkan pada gambar 4.47. Terlihat
bahwa vL dan vC merupakan vektor oposisi sedangkan I tertinggal dari vL
sebesar 90o serta mendahului vC sebesar 90o dan sephasa dengan vR.
Gambar 4.47.
Tegangan-tegangan tersebut dapat juga ditentukan menggunakan hukum
90
pembagian tegangan sehingga tidak memerlukan dihitungnya I terlebih
dahulu.
VL =
Z 2 (E)
(4kΩ∠90 o )∠0 o )
240∠90 o
=
=
Z 1 + Z 2 + Z 3 13 x10 3 ∠ − 67.8 o 13∠ − 67.38 o
dalam domain waktu berbentuk
v L = 2 (18.46) sin(ωt − 157.38 o )
= 26.1sin(ωt − 157.38 o )
Daya rangkaian
P = EI T cos θ
= (60V )(4.615mA) cos 67.38 o
= 106.5mW
atau
P = I 2R
= (4.615mA)2(5kΩ)
= 106.5mW
sedangkan faktor daya rangkaian adalah
FP = cos θ = cos(67.38 o ) = 0.3846 leading
atau
FR =
R
5kΩ
=
= 0.3846 leading
Z T 13kΩ
4.8 Paralel
Analisis terhadap rangkaian paralel ac sangat mirip dengan apa
yang kita lakukan pada saat menganalisis rangkaian paralel dc. Kebalikan
dari suatu impedansi yang disebut sebagai admitansi didefinisikan
sebagai persamaan berikut, dengan satuan siemens:
Y=
1
Z
(4.38)
91
Gambar 4.51
Untuk paralel rangkaian AC seperti ditunjukkan pada gambar 4.51. total
nilai admitansinya ditentukan dengan persamaan
YT = Y1 + Y2 + Y3 + .... + Yn
(4.390
atau
1
1
1
1
1
=
+
+
+ ..... +
Z T Z1 Z 2 Z 3
Z4
(4.40)
dalam kasus hanya terdapat dua impedansi maka persamaan menjadi
ZT =
Z1Z 2
Z1 + Z 2
(4.41)
Tegangan pada semua cabang bernilai sama, dan total arus masukan
dapat ditentukan dengan HKA atau dengan cara menentukan total
impedansi (atau admitansi) input dilanjutkan dengan memanfaatkan
hukum ohm.
Kebalikan dari nilai resistansi dalam sistem ac adalah konduktansi serta
mempunyai sudut 0o sebagaimana persamaan berikut
YR = G∠0 o =
1
R∠0 o
(4.42)
Kebalikan reaktansi adalah suseptansi dengan satuan siemen. Notasi dan
sudut untuk masing-masing komponen dinyatakan pada persamaan 4.43
dan persamaan 4.44. Istilah suseptansi didapat dari kata suseptibel
YL = BL ∠ − 90 o =
1
X L ∠90 o
(4.43)
YC = BC ∠ − 90 o =
1
X C ∠90 o
(4.44)
Diagram admitansi dari suatu rangkaian RLC didefinisikan seperti
nampak pada gambar 4.52.
92
Gambar 4.52
Perhatikan paralel RLC pada gambar 4.53. Substitusi blok impedansi
dinyatakan pada gambar 4.54. Total admitansi dan impedansi dapat
ditentukan sebagai
YR =
1
1
1
=
=
= 0.333mS∠0 o
o
o
Z R R∠0
3kΩ∠0
YR =
1
1
1
=
=
= 0.333mS∠0 o
o
o
Z R R∠0
3kΩ∠0
dan
YT = YR + YL
= 0.333mS∠0 o + 0.250mS∠ − 90 o
= 0.333mS − j 0.250mS
= 0.416mS∠ − 36.9 o
atau Z T =
1
1
=
= 2.4kΩ∠36.9 o
YT 0.416mS∠ − 36.9 o
atau Z T =
ZRZL
(3kΩ∠0 o )(4kΩ∠90 o
=
ZR + ZL
3kΩ + j 4kΩ
Diagram admitansinya ditunjukkan pada gambar 4.55.
Perhatikan bahwa total admitansi dapat ditentukan dengan menggunakan
aljabar vektor yang sederhana. Arus I adalah
I=
E
120V∠0 o
=
= 50mA∠ − 36.9 o
o
Z T 2.4kΩ∠36.9
= 50mA∠ − 36.9 o
atau
93
I=
E
= E (YT ) = (120V∠0 o )(0.416mS∠ − 36.9 o )
ZT
= 50mA∠ − 36.9 o
Arus yang melintasi masing-masing elemen dapat ditentukan dengan
hukum Ohm:
I R = EYR =
E 120V∠0 o
=
= 40mA∠0 o
o
Z R 3kΩ∠0
I L = EYL =
E
120V∠0 o
=
= 30mA∠ − 90 o
Z L 4kΩ∠90 o
dan
Gambar 4.53
Gambar 4.54
Gambar 4.55
Diagram phasor arus dan tegangannya dapat digambarkan pada gambar
4.56. Perhatikan bahwa IR sephasa dengan E dan IL tertinggal dari dari
tegangan E sebesar 90o.
94
I=IR+IL
Gambar 4.56.
Daya yang disalurkan ke rangkaian dapat ditentukan dengan persamaan
yang sama seperti pada rangkaian seri
P = EI cos θ T = IR 2 =
2
VR
= VR I R
R
(4.45)
dimana semua tegangan dan arus dalam bentuk nilai RMS
Untuk contoh ini
P = EI cos θ T = (120)(50mA) cos 36.9 o = (6)(0.7997)
= 4.8W
atau
2
P=
VR
E 2 (120V ) 2
=
=
= 4.8W
R
R
3kΩ
Faktor daya untuk rangkaian paralel dapat ditentukan dengan persamaan
berikut
FP = cos θ T =
G
YT
pada contoh ini hasilnya adalah
FP = cos θ T = cos 36.9 o = 0.8lagging
atau
FP =
G 0.333x10 −3
=
= 0.8lagging
YT 0.416 x10 −3
Istilah lagging menyatakan bahwa tegangan input mendahului arus input.
Berikutnya akan dibahas rangkaian paralel RLC yang ditunjukkan pada
gambar 4.57
95
Gambar 4.57.
Admitansi masing masing elemen pada gambar 4.57. b adalah
YR =
1
1
=
= 0 . 5 S ∠0 o
Z R 2Ω∠0 o
YL =
1
1
=
= 1S∠ − 90 o
Z L 1Ω∠90 o
YC =
1
1
=
= 0.2 S∠90 o
o
Z C 5Ω∠ − 90
Sehingga total admitansinya adalah
YT = YR + YL + YC
= (0.5S + j 0) + (0 − j1S ) + (0 + j 0.2 S )
= 0.5S + j (−1S + 0.2 S )
= 0.5S − j 0.8S
= 0.943S∠ − 58 o
dan
ZT =
1
1
=
= 1.06∠58 o
YT 0.943S∠ − 58 o
untuk mempermudah paralel dua elemen R dan L menghasilkan
Z 'T = Z R Z L =
ZRZL
ZR + ZL
dan
96
Z T = Z 'T Z C =
Z 'T Z C
= 1.06Ω∠58 o
Z 'T + Z C
Diagram admitansinya ditunjukkan pada gambar 4.58.
Gambar4.58
Perhatikan bahwa rangkaian bersifat lagging, sehingga tegangan input
meninggalkan I.
Arus rangkaian ditentukan dengan hukum Ohm
I=
E
= E (YT ) = (20mV∠100 o )(0.943∠ − 58 o )
ZT
= 18.86mA∠42 o
dalam domain waktu
i = 2 (18.86 x10 − 3) sin(ωt + 42 o )
= 26.67 x10 − 3 sin(ωt + 42 o )
Arus yang melintasi masing-masing elemen dapat ditentukan dengan
hukum Ohm
IR =
E
20mV∠100 o
=
= 100mA∠100 o
ZR
2 Ω∠0 o
IL =
E
20mV∠100 o
=
= 20mA∠10 o
ZL
1Ω∠90 o
IC =
E
20mV∠100 o
=
= 4mA∠190 o
o
ZC
5Ω∠ − 90
Total arus dapat juga ditentukan dengan HKA
97
I=IR+IL+IC
Diagram phasor rangkaian ditunjukkan pada gambar 4.59.
Gambar 4.59
Daya rangkaian dapat ditentukan dengan persamaan terdahulu sehingga
P = Ei cos θT
= (20mV) (18.86mA) cos (100o-42o)
= (377.2x10-6) (cos 58o)
= (377.2x10-6) (0.5299)
= 200µW
atau
P=
E 2 (20mV ) 2 400 µW
=
=
= 200 µW
R
2Ω
2
Sedangkan faktor dayanya adalah
FP = cos θ T = cos 58 o = 0.5299lagging
260
98
4.9 Daya pada Tegangan Sinusoidal
Dalam rangkaian bolak-balik hanya elemen resistif saja yang
menyerap energi listrik. Elemen reaktif murni menyimpan energi dalam
bentuk medan magnet dan dapat dikembalikan ke dalam sistem. Berapa
total watt yang diserap adalah jumlah yang diserap oleh elemen-elemen
resistif yang ada, perhatikan persamaan 4.55.
Gambar 4.97.
Koneksi wattmeter (alat pengukur daya) ditunjukkan pada gambar
4.97. Terminal tegangan mengukur level tegangan, sedangkan terminal
arus menunjukan level arusnya. Wattmeter telah memperhatikan efek
sudut daya (cos θ) dalam hal ini angka yang ditunjukkan alat adalah
bersatuan watt.
Meskipun dalam konsep daya AC tidak mengenal disipasi energi
oleh elemen reaktif, energi listrik tertentu diambil dari pasokan dan
disimpan dalam bentuk medan magnet atau medan listrik. Tentu saja
energi ini dapat dikembalikan kedalam sistem tetapi pada waktu sesaat
hal ini akan menaikkan arus pasokan ke elemen reaktif tersebut. Kenaikan
arus ini menyebabkan generator pemasok untuk mengatasinya. Pada
tingkat tegangan yang tetap kenaikan arus mengharuskan kenaikan
penyediaan daya maksimum sesaat. Kenaikan arus maupun daya akan
menyebabkan kenaikan biaya peralatan maupun biaya produksi atas
energi yang diperlukan.
Perbedaan antara energi yang diserap sistem dengan energi yang
diserap elemen resistif dinyatakan dalam faktor daya (power factor = FP)
(FP= cos θ). Untuk sistem dengan FP=1, semua daya yang dipasok
99
didisipasi oleh sistem, pemakaian elemen reaktif yang lebih banyak
menyebabkan FP mendekati nol dan semakin banyak energi disimpan
oleh elemen reaktif sistem.
Perkalian EI -yang tidak tergantung dari berapapun energi terserap
dan disimpan-, disebut sebagai daya semu (S = apparent power) dari
suatu sistem bolak-balik dengan satuan volt-ampere(VA). Untuk
rangkaian 4.97. daya semu ditentukan dengan persamaan 4.56
S = EI (volt − ampere(VA))
(4.56)
Arus I, adalah arus yang harus dipasok oleh sumber termasuk bagian
yang akan diubah menjadi simpanan elemen reaktif. Semakin besar arus
mengalir, industri mengeluarkan lebih banyak biaya untuk daya semu
dari biaya
Gambar 4.98
Hubungan antara daya real dan daya semu, dinyatakan dalam
segitiga seperti ditunjukkan pada gambar 4.98., komponen dari segitiga
ini adalah daya reaktif dengan satuan volt-ampere reaktif (VAR) dimana
besarnya dinyatakan dengan persamaan:
Q = EI sin θ
(4.XX)
Daya reaktif adalah ukuran dari daya masukan yang diabsorbsi (bukan
didisipasi) oleh elemen reaktif. Pada pasokan dengan tegangan tetap
semakin kecil daya ini menyebabkan arus pasokan yang lebh kecil juga.
Efisiensi sistem tertinggi dicapai pada saat Q=0 atau P=S
Untuk beberapa rangkaian, total daya reaktif secara sederhana
adalah selisih antara komponen kapasitif dan komponen induktif
100
sebagaimana persamaan berikut:
2
QL = I L X L =
VL
= VL I L
XL
QC = I C X C =
VC
= VC I C
XC
2
(4.xx)
2
2
(4.xx)
Untuk suatu rangkaian dengan VAR kapasitif sama dengan VAR induktif,
netto daya reaktif adalah sama dengan nol, dengan kata lain daya real dan
daya semu bernilai sama.
Karena
PT = EI COS θ = S T COS θ = S T FP
(4.xx)
maka dapat kita tentukan
FP =
PT
ST
(4.xx)
dimana PT dan ST merepresentasikan total masing-masing besaran sistem.
Contoh 4.9.
Dari tegangan dan arus yang diperlihatkan pada rangkaian gambar
4.99 tentukan:
a. Total daya yang diserap
b. Netto daya reaktif
c. Total daya semu
d. PF dari rangkaian
Gambar 4.99
Jawaban:
a. Daya yang diserap hanyalah daya yang dipakai oleh elemen resistif
sehingga:
101
PT = I 2 R = (12 A) 2 (10Ω) = (144)(10) = 1440W
b. QC = I 2 X C = (3 A) 2 (40Ω) = (9)(40) = 360VAR (kapasitif )
Q L = I 2 X L = (6 A) 2 (20Ω) = (36)(20) = 720VAR (induktif )
QT = QL − QC = 720 − 360 = 360VAR (induktif )
c. S T = PT + QT
2
2
= (1440 w)2 + (360 w)2
≅ 1484VA
d. FP =
PT 1440 W
=
=0.97
S T 1484 VA
4.10 Koreksi Faktor Daya
Pada suatu rangkaian yang bekerja pada efisiensi tertinggi, arus
yang ditarik dari sumber dapat dikurangi ke titik minimalnya, jika
tegangan sumber tetap. Sehingga daya semu sistem yang hanya
ditentukan dari perkalian arus dan tegangan dapat dijaga agar tetap
minimum.
Karena S T = EI T = PT + QT , netto komponen reaktif beban yang
2
2
lebih kecil dalam keadaan PT yang tetap, akan menyebabkan mengecilnya
daya semu dan naiknya faktor daya dari rangkaian ( =
PT
). Konsep
ST
koreksi faktor daya adalah usaha yang dilakukan terhadap sistem untuk
memastikan agar faktor daya bernilai maksimum, mendekati nilai satu
jika memungkinkan dengan cara mengurangi netto komponen reaktif dari
pembebanan sistem. Seperti ditekankan didepan hasil akhirnya adalah
pengurangan arus yang ditarik oleh sistem dari sumber.
Sebagai contoh penerapan adalah penggunaan elemen kapasitiif
untuk memperbaiki faktor daya sistem dengan suatu faktor daya
tertinggal akibat beban induktif seperi motor-motor, trafo dan lain-lain.
102
Contoh 4.10.
Sebuah motor dengan daya 2.2HP memiliki PF 0.8 lagging dengan
efisiensi 76%, jika dihubungkan ke sumber 208V, 60HZ. Tentukan
besarnya kapasitansi yang harus di paralel dengan motor untuk
menaikkan PF menjadi satu.
Jawaban:
PO = 2.2 HP = (2.2)(746W / HP) = 1641.2W
PO
P
1641.25W
dan Pi = O =
= 2159.47W
Pi
0.76
η
η=
FP = cos θ = 0.8
θ = cos− 10.8 = 36.87 o
tan θ =
QL
Pi
Q L = Pi tan θ = 2159.47(tan 36.87 o )
= 2159.47(0.75)
= 1619.6 VAR
Sudut daya beban diperlihatkan pada gambar 2.100 agar PF =1
maka harus ditambahkan VAR kapasitif sebesar var induktifnya
sehingga QC=QL=1619.6VAR
2
QC =
VC
E2
=
XC
XC
dan
XC =
E2
(208V ) 2
43.26Ω
=
=
= 26.71Ω
QC 1619.6 VAR 1619.6
tetapi
XC =
1
2πfC
sehingga
C=
1
1
=
= 99.31µF
2πfX C 2π (60 HZ )(26.71Ω)
103
Download