4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik (Anas sp

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ternak Itik
Itik (Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat.
Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar (Anas
moscha) atau Wild mallard. Itik tersebut dijinakkan oleh manusia hingga
terbentuk itik yang dipelihara sekarang yang disebut Anas domesticus (Chavez &
Lasmini, 1978). Menurut Sahara dkk. (2009), jika dibandingkan dengan unggas
lainnya, itik memiliki keunggulan yaitu mampu mempertahankan produksi telur
lebih lama; bila dipelihara dengan sistem pengelolaan yang sederhana sekalipun,
itik masih mampu berproduksi dengan baik; umumnya tingkat morbilitas dan
mortalitas rendah; itik selalu bertelur di pagi hari, dengan demikian kegiatan
pengambilan telur dilakukan sekali sehari sehingga peternak dapat melakukan
kegiatan lainnya; dengan pakan yang berkualitas rendah itik masih mampu
bertelur; telurnya baik dijadikan untuk telur asin dan jamu.
Itik Bali disebut juga itik penguin (Anas sp) sosoknya hampir sama dengan
itik jawa, tetapi lehernya lebih pendek dan bagian belakang tubuhnya tidak begitu
lebar. Warna bulunya lebih terang dibandingkan dengan itik Jawa. Ada tiga
macam warna bulu itik Bali yang biasa ditemukan, yakni warna sumbian
(menyerupai warna jerami padi), cemaning (kombinasi warna hitam dan putih),
dan selem gulai (hitam seperti warna gula aren). Itik Bali ada yang mempunyai
ciri khas berupa jambul pada bagian kepalanya, terdapat pada itik yang berwarna
putih. Penampilan itik jambul cukup menarik, sehingga selain menjadi itik
petelur, itik ini sering dimanfaatkan sebagai unggas hias. Pada umumnya,
cangkang telur itik bali berwarna putih, tetapi ada pula yang berwarna kebiruan.
Itik ini mulai berproduksi setelah berumur 6 bulan. Penyebaran itik ini meliputi
Bali dan Lombok (Samosir, 2003; Sukmaya dkk, 2010; Udayana, 2014).
4
2.2 Sistem Pemeliharaan Itik
Berdasarkan data dari Departemen Pertanian (2002), sistem pemeliharaan
ternak itik secara umum dapat di kelompokkan menjadi tiga yaitu :
1. Sistem tradisional atau ekstensif, yaitu sistem pemeliharaan dimana
ternak itik dilepas atau digembalakan di sawah setelah musim panen.
2. Sistem semi intensif, yaitu sistem pemeliharaan dimana ternak itik
dilepas atau digembalakan pada siang hari untuk mencari makan dan
ternak itik dimasukkan kembali ke dalam kandang pada sore hari.
3. Sistem intensif, yaitu sistem pemeliharaan dimana ternak itik
dikandangkan secara terus menerus. Usaha peternakan itik bukan
hanya sekedar sambilan akan tetapi sudah memiliki orientasi bisnis
yang diarahkan dalam suatu kawasan, baik sebagai cabang usaha
maupun sebagai usaha pokok, karena usaha budidaya itik cukup
menguntungkan dan dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan
keluarga (Apriyantono, 2011).
Di Bali peternak memelihara itiknya dengan cara tradisional (ekstensif)
dan semi intensif, walaupun sudah ada beberapa peternak menggunakan sistem
intensif (Budaarsa dkk, 2012).
2.3 Cacing Trematoda
Trematoda merupakan subfilum dari filum Platyhelminthes. Cacing ini
tidak mempunyai rongga badan dan semua organ berada di dalam jaringan
parenkim. Bentuk tubuh pipih dorsoventral, tidak bersegmen dan seperti daun.
Cacing trematoda mempunyai dua alat penghisap, oral sucker yang berada di
ujung anterior dari badan dan ventral sucker atau acetabulum berada di sepertiga
pada permukaan ventral dan posisinya bervariasi (Soulsby, 1982; Levine, 1990;
Gosling, 2005)
Dinding luar atau tegumen cacing trematoda adalah kutikula yang kadangkadang mengandung duri atau sisik. Sistem pencernaan makanan dari cacing
trematoda sangat sederhana, makanan masuk melalui mulut selanjutnya secara
berurutan menuju faring, esofagus dan seka. Kebanyakan cacing trematoda tidak
5
mempunyai anus, dengan demikian sisa metabolisme makanan harus dimuntahkan
(Erasmus, 1972; Levine, 1990).
Sistem saraf tersusun dari serabut cincin esophageal dan pasangan ganglia,
tiga pasang berada di depan dan tiga pasang lainnya berada di belakang bagian
dari tubuh. Pada umumnya cacing dewasa tidak mempunyai organ perasa yang
khusus. Cacing trematoda tidak mempunyai sistem peredaran darah. Sistem
ekskresi tersusun dari sebuah kantong posterior, sebuah sistem percabangan dari
tabung pengumpul atau saluran pengumpul yang masuk ke dalam kantong
posterior, dan sebuah sistem sel-sel ekskresi yang terbuka ke dalam saluran
pengumpul (Soulsby, 1982; Brotowidjojo, 1987; Levine, 1990).
Sistem reproduksinya komplek, sebagian besar dari trematoda adalah
hermaprodit yaitu pada setiap individu mempunyai organ reproduksi jantan dan
betina. Tetapi pembuahan silang merupakan hal yang biasa, disebabkan karena
testis lebih dulu berkembang daripada ovarium dan pembuahan sendiri tidak
umum (Dunn, 1978; Soulsby, 1982; Levine, 1990).
2.4 Siklus Hidup Cacing Trematoda
Siklus hidup cacing trematoda secara umum mengalami lima stadium
antara lain : mirasidium, sporokista, redia, serkaria dan metaserkaria. Telur keluar
bersama tinja dan harus mencapai air untuk berkembang lebih lanjut. Telur ini
akan menetas dalam waktu sekitar 10-12 hari pada suhu 260C, dan muncul
mirasidium. Mirasidium ini berenang dengan aktif di dalam air hingga menjumpai
siput dari famili Hydrobiidae, Bithyniidae dan Melaniidae (IARC, 1994).
Mirasidium masuk ke dalam siput, melepaskan epitelnya yang bersilia, masuk ke
hepatopankreas, dan berubah berbentuk seperti kantong sporokista. Di dalam
sporokista terdapat bola-bola benih dan berkembang ke stadium berikutnya
menjadi redia. Setiap sporokista memproduksi 5-8 redia, yang membebaskan diri
dari sporokista dan berkembang mencapai panjang 1-3 mm. Redia mempunyai
mulut, faring yang berotot dan sepanjang tonjolan tumpul ke lateral di tengahtengah dari pertengahan posterior tubuh. Selanjutnya redia akan tumbuh dan
berkembang
menghasilkan
larva
ketiga
6
disebut serkaria.
Serkaria
akan
meninggalkan tubuh siput sekitar 3-7 minggu setelah infeksi, tergantung dari
suhu, dan aktif berenang di dalam air. Dalam dua jam serkaria ini melepaskan
ekornya dan masuk ke dalam tubuh induk semang kedua yaitu siput dan ikan air
tawar, kemudian berkembang menjadi metaserkaria (Soulsby, 1982; Levine,
1990; Kaufmann, 1996).
Induk semang kedua setelah ditelan oleh hospes definitif akan
mengakibatkan metaserkaria pecah di dalam usus halus, berkembang lebih lanjut
menjadi cacing muda. Cacing muda akan menembus dinding usus masuk ke
dalam rongga peritoneum, kemudian memasuki parenkim hati dan bermigrasi di
dalam hati. Akhirnya cacing muda tersebut masuk ke dalam saluran empedu dan
mengalami perkembangan menjadi cacing dewasa dan memulai produksi telur
sekitar 8 minggu setelah infeksi. Selama di dalam tubuh, cacing ini akan
memakan jaringan hati dan darah (Erasmus, 1972; Levine, 1990).
2.5 Cacing Trematoda Hati pada Itik
Amphimerus sp. Bentuk tubuh memanjang agak silinder, melebar pada
bagian posterior dan meruncing pada ujung anterior; memiliki panjang 20-23 mm
dan lebar 1,09-1,12 mm; ujung anterior tanpa duri; esofagus pendek; memiliki
ventral sucker, bukan pada ujung posterior; tidak memiliki kantong cirrus; oral
sucker sangat kecil bahkan tidak ada, acetabulum lokasinya 1/3 dari ujung anterior
tubuh; testis berbentuk oval, tidak memiliki anus (McDonald, 1981).
Gambar 2.1. Ilustrasi cacing Amphimerus sp. (McDonald, 1981)
7
Metorchis sp. Bentuk tubuh seperti buah pir; memiliki panjang 4,3-5,6 mm
dan lebar 0,8-1,5 mm; ujung anterior tanpa duri; memiliki ventral sucker, bukan
pada ujung posterior; tidak memiliki kantong cirrus; acetabulum dan oral sucker
memiliki ukuran yang sama, kadang-kadang oral sucker kurang berkembang
dengan baik, acetabulum terletak 1/3 dari ujung anterior; vitelaria lateral, hingga
mencapai anterior ovarium; testis bentuknya berlobus-lobus dan tidak memiliki
anus (McDonald, 1981).
Gambar 2.2. Ilustrasi cacing Metorchis sp. (McDonald, 1981)
Opisthorchis sp. Bentuk tubuh memanjang, bukan silinder; memiliki
panjang 5,9-8,25 mm, lebar 0,7-2 mm; ujung anterior tanpa duri; esofagus
pendek; tidak memiliki kantong cirrus; memiliki ventral sucker, bukan pada ujung
posterior; acetabulum sedikit lebih besar daripada oral sucker; oral sucker ada atau
kurang berkembang dengan baik, acetabulum terletak 1/3 atau 1/4 dari anterior
tubuh; testis memiliki banyak cabang atau berlobus; tidak memiliki anus
(McDonald, 1981).
-
Opisthorchis skrjabini. Bentuk tubuh memanjang, bukan silinder;
memiliki panjang 5,9-8,25 mm, lebar 0,7-2 mm; ujung anterior tanpa duri;
oral sucker dan acetabulum memiliki ukuran yang sama; ovarium
berbentuk oval, testis memiliki banyak cabang atau berlobus; vitelaria
dimulai dari sebelah anterior acetabulum, tidak mencapai ovarium
(McDonald, 1981).
8
Gambar 2.3. Ilustrasi cacing Opisthorchis skrjabini (McDonald, 1981)
-
Opisthorchis parageminus. Bentuk tubuh memanjang, bukan silinder;
memiliki panjang 5,9-8,25 mm, lebar 0,7-2 mm; ujung anterior tanpa duri;
acetabulum sedikit lebih besar daripada oral sucker (diameter 235µ dan
225µ); vitelaria dimulai dari acetabulum, sekitar 1/3 atau 1/4 dari anterior
tubuh meluas hingga posterior testis; ovarium berlobus, testis bulat
berlobus atau bercabang (McDonald, 1981).
Gambar 2.4. Ilustrasi cacing Opisthorchis parageminus (McDonald, 1981)
-
Opisthorchis obsequens. Bentuk tubuh memanjang, sedikit melebar, bukan
silinder; memiliki panjang 2,5-5,1 mm; ujung anterior tanpa duri;
acetabulum sedikit lebih besar dari oral sucker (diameter acetabulum
260µ, oral sucker 150-210µ); vitelaria dimulai dari acetabulum, sekitar 1/3
atau 1/4 dari anterior tubuh memanjang sampai testis pertama; testis
bercabang atau bulat berlobus (McDonald, 1981).
Gambar 2.5. Ilustrasi cacing Opisthorchis obsequens (McDonald, 1981)
9
-
Opisthorchis simulans. Bentuk tubuh memanjang, sangat ramping;
memiliki panjang 7-23 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum lebih
kecil daripada oral sucker (diameter 200µ dan 500µ); vitelaria dimulai dari
pertengahan tubuh, tepat di belakang acetabulum; testis bulat berlobus atau
bercabang (McDonald, 1981).
Gambar 2.6. Ilustrasi cacing Opisthorchis simulans (McDonald, 1981)
-
Opisthorchis longissimus. Bentuk tubuh memanjang, sangat ramping;
memiliki panjang 20-24 mm, lebar 0,7-1 mm; ujung anterior tanpa duri;
acetabulum sedikit lebih kecil daripada oral sucker; vitelaria dimulai dari
pertengahan tubuh, tepat di belakang acetabulum; testis berdekatan di
ujung posterior (McDonald, 1981).
Gambar 2.7. Ilustrasi cacing Opisthorchis longissimus (McDonald, 1981)
-
Opisthorchis geminus. Bentuk tubuh memanjang dan ramping; memiliki
panjang 7-12,5 mm, lebar 1,3-2 mm; ujung anterior tanpa duri; acetabulum
sedikit lebih kecil daripada oral sucker; vitelaria dimulai dari pertengahan
tubuh, tepat di belakang acetabulum; testis terpisah, kira-kira 1/5 dari
posterior tubuh (McDonald, 1981).
Gambar 2.8. Ilustrasi cacing Opisthorchis geminus (McDonald, 1981)
10
Bilharziella sp. Bentuk tubuh pipih, memanjang, melebar pada posterior;
Jantan : memiliki panjang 2,95-4 mm, dan lebar 0,375-0,5 mm; acetabulum 500µ860µ dari ujung anterior; panjang esofagus 375µ-500µ. Betina : memiliki panjang
1,8-2,1 mm, dan lebar 0,25-0,89 mm; tidak memiliki saluran ginekoforus;
memiliki oral sucker dan acetabulum; ceca berada pada garis tengah tubuh;
umumnya tidak memiliki divertikula; ovarium memanjang (McDonald, 1981;
Soulsby, 1982).
Gambar 2.9. Ilustrasi cacing Bilharziella sp. (McDonald, 1981)
Gymnophallus mollissima. Bentuk tubuh oval, menyerupai jamur payung
dan sangat besar; panjang 1,33-1,36 mm; ujung anterior tanpa duri; memiliki
ventral sucker, bukan pada ujung posterior; memiliki kantong cirrus atau tidak ada
sama sekali; oral sucker lebih besar 1,5 kali daripada acetabulum; tidak memiliki
genital sucker, memiliki atrium genital; ceca sangat pendek; ovarium terletak pada
garis tengah tubuh, kedua vitelaria tidak beraturan (McDonald, 1981).
11
Gambar 2.10. Ilustrasi cacing Gymnophallus mollissima (McDonald, 1981)
Trichobilharziella sp. Bentuk tubuh bulat memanjang; Panjang 6,1 mm;
kutikula ditutupi oleh tuberkel yang kecil; memiliki oral dan ventral sucker atau
tidak ada sama sekali; saluran ginekoforus hanya di bagian anterior dan telur
diproduksi tunggal; vesikula seminalis diantara acetabulum dan saluran
ginekoforus; testis mulai posterior hingga ke ujung seka (McDonald, 1981;
Levine, 1990).
Gambar 2.11. Ilustrasi cacing Trichobilharziella sp. (McDonald, 1981)
2.6 Patogenesis dan Gejala Klinis
Sejak cacing muda masuk dan berkembang menjadi dewasa di hati dan
saluran empedu, parasit ini dapat menyebabkan penebalan dinding saluran
12
empedu dan kerusakan epitel saluran empedu. Pada keadaan lebih lanjut dapat
timbul odema (Islam et al., 1988). Luasnya organ yang mengalami kerusakan
tergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya
infeksi.
Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadium ringan tidak
ditemukan gejala. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan,
penurunan berat badan, penurunan kondisi tubuh dan anemia. Pada stadium lanjut
dapat menimbulkan odema dan pembesaran hati (Levine, 1990).
2.7 Kerangka Konsep
Pemeliharaan itik di Bali bersifat tradisional dan semi intensif, dan ada
beberapa bersifat intensif. Itik digembalakan pada siang hari ke daerah
persawahan yang baru selesai panen atau aliran sungai untuk mencari makan
seperti sisa-sisa hasil panen atau mencari sumber pakan lain seperti siput dan ikan
air tawar.
Infeksi parasit sudah menyebar secara luas di seluruh dunia. Prevalensi
infeksi sangat dipengaruhi oleh faktor : parasit (cara penyebaran atau siklus hidup,
daya tahan hidup, patogenitas dan imunogenitas), hospes (spesies, umur, ras, jenis
kelamin, status imunitas dan status gizi) dan lingkungan (seperti musim, suhu dan
tata laksana peternakan). Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling
mempengaruhi infeksi parasit. Infeksi cacing trematoda pada hati itik terjadi
karena termakannya hospes intermedier atau induk semang perantara. Menurut
McDonald (1981), induk semang perantara pertama yaitu siput sedangkan induk
semang perantara kedua adalah siput dan ikan air tawar. Apabila siput dan ikan air
tawar yang mengandung serkaria dan metaserkaria cacing hati termakan oleh itik,
maka itik dapat terinfeksi.
2.8 Hipotesis
Terdapat perbedaan prevalensi infeksi cacing trematoda hati pada ternak
itik lokal yang berasal dari beberapa kabupaten di Bali, dilihat dari faktor
lingkungan terutama letak geografis dan sistem pemeliharaan.
13
Download