1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Senyawa 2,5-bis-(4’-hidroksi-3’-metoksi)-benzilidinsiklopentanon atau yang
dikenal dengan nama Pentagamavunon-0 merupakan senyawa turunan kurkumin
hasil sintesis Fakultas Farmasi UGM yang telah dipatenkan sebagai obat anti
inflamasi (Supardjan dkk, 2002). PGV-0 memiliki kelebihan dibanding obat anti
inflamasi non steroid (AINS) yang lain, yaitu bersifat aman bagi lambung
(Wahyuni, 1999). PGV-0 memiliki berbagai aktivitas farmakologis, diantaranya
aktivitas antioksidan, antifungi, analgetik, dan sitotoksik.
Kemanfaatan PGV-0 terbatas karena sifat PGV-0 yang sukar larut dalam air,
sehingga sulit diabsorpsi dalam saluran pencernaan. Hal ini mengakibatkan
bioavailabilitas PGV-0 secara per oral rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan
formulasi menggunakan sistem penghantaran yang tepat untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Salah satu usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut
adalah menggunakan sistem nanopartikel.
Nanopartikel dapat meningkatkan kelarutan suatu senyawa serta dapat
meningkatkan absorpsi obat (Prusty dan Sahu, 2009). Sistem nanopartikel
memberikan manfaat yaitu dapat menurunkan kebutuhan dosis dan pemberian
obat yang lebih efisien, serta toksisitas lebih rendah. Irianto (2013) telah
1
2
melakukan preparasi nanopartikel mengggunakan kitosan rantai pendek dan
pengait silang natrium alginat untuk enkapsulasi PGV-0. Menurut Kouschak dkk
(2012) efisiensi enkapsulasi nanopartikel paling baik terjadi pada kitosan rantai
pendek dan rantai sedang. Penelitian ini menggunakan kitosan rantai sedang dan
pengait silang natrium alginat untuk enkapsulasi PGV-0 melalui metode gelasi
ionik.
Kitosan merupakan polimer alami yang bersifat biodegradabel dan non toksik.
Penggunaan kitosan memberikan keuntungan yaitu meningkatkan absorpsi obat
karena kitosan dapat membuka tight junction dan bersifat mukoadhesif (Henrik
dkk., 1996). Natrium alginat merupakan anion negatif yang digunakan untuk
menstabilkan nanopartikel yang terbentuk (Sarmento dkk., 2006). Penggunaan
kitosan dan alginat diketahui dapat melindungi obat dari pengaruh lingkungan
gastrointestinal.
Preparasi nanopartikel dilakukan dengan mencampurkan dua fase aqueous
yang mengandung polikation kitosan dan polianion alginat. PGV-0 kemudian
ditambahkan sehingga akan terenkapsulasi di dalam nanopartikel. Proses ini
terjadi secara spontan pada suhu ruangan. Untuk mendapatkan nanopartikel yang
stabil, dilakukan variasi konsentrasi kitosan, alginat, dan PGV-0. Rasio
konsentrasi yang optimal dikarakterisasi dengan mengamati ukuran partikel,
morfologi
partikel,
efisiensi
enkapsulasi,
dan
kemampuan
nanopartikel
mempertahankan obat dalam kompleks setelah diinkubasi dalam cairan lambung
3
buatan serta cairan usus buatan. Pada akhirnya diharapkan akan terbentuk formula
nanopartikel yang optimal sebagai model nanopartikel sebelum diformulasi dalam
bentuk serbuk.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan :
1. Apakah preparasi nanopartikel dengan metode gelasi ionik menggunakan
kitosan rantai sedang dan pengait silang natrium alginat dapat menghasilkan
nanopartikel Pentagamavunon-0 ?
2. Bagaimana karakteristik nanopartikel yang dihasilkan, yang meliputi ukuran
partikel, morfologi partikel, dan efisiensi enkapsulasi nanopartikel tersebut?
3. Bagaimana entrapment stability nanopartikel di dalam cairan lambung buatan
dan cairan usus buatan?
C. Tujuan penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan formulasi
Pentagamavunon-0 menjadi ukuran nanopartikel dengan metode gelasi ionik
menggunakan kitosan rantai sedang dan pengait silang natrium alginat.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui apakah preparasi nanopartikel dengan metode gelasi ionik
menggunakan kitosan rantai sedang dan natrium alginat dapat menghasilkan
nanopartikel Pentagamavunon-0
4
2. Untuk melakukan karakterisasi nanopartikel yang dihasilkan dengan
mengamati ukuran partikel, morfologi partikel, dan entrapment efficiency
3. Untuk mengetahui entrapment stability nanopartikel Pentagamavunon-0
dalam cairan lambung buatan dan cairan usus buatan.
D. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi penelitian dalam bidang formulasi khususnya nanopartikel, dapat
memberikan informasi mengenai preparasi nanopartikel PGV-0-kitosanalginat serta dapat dijadikan evaluasi dalam usaha pengembangan metode
selanjutnya.
2. Bagi
industri
farmasi,
dapat
dijadikan
landasan
dalam
bidang
pengembangan produk menjadi nanopartikel dengan metode gelasi ionik
untuk pembuatan obat dalam skala besar untuk kepentingan industri.
3. Bagi
masyarakat
utamanya
pasien,
dapat
memberikan
alternatif
pengobatan yang lebih aman, efisien, dan acceptable
E. Tinjauan pustaka
1.
Pentagamavunon-0
Senyawa 2,5-bis-(4’-hidroksi-3’-metoksi)-benzilidinsiklopentanon atau yang
dikenal dengan nama Pentagamavunon-0 merupakan salah satu modifikasi
5
struktur kurkumin (1,7-bis-(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,6-heptadiena-3,5-dion),
yaitu dengan memodifikasi gugus β-diketon pada rantai tengah menjadi
monoketon siklik. Senyawa PGV-0 memiliki gugus dan atom yang bertindak
sebagai basa Lewis yaitu atom Oksigen pada gugus hidroksi dan karbonil. Atom
O tersebut dapat berikatan ionik dengan suatu kation (Sardjiman, 2000). PGV-0
disintesis dari vanilin dan siklopentanon dengan proses reaksi sederhana, murah,
proses cepat pada suhu dan tekanan ruang (Sardjiman, 1993, Sardjiman, 2000).
PGV-0 disintesis untuk mendapatkan aktivitas dan stabilitas yang lebih baik
daripada kurkumin. Struktur PGV-0 disajikan pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur senyawa Pentagamavunon-0
Nama trivial senyawa tersebut berasal dari Penta = cincin 5 karbon yang
berada pada bagian tengah struktur, gama = gadjah mada, vu = vrije universiteit,
dan ton = senyawa mengandung gugus keton. PGV-0 telah menerima Paten no US
6.541.672 B1 sejak tanggal 1 April 2003. Molekul ini juga telah dipatenkan
sebagai obat anti inflamasi (Supardjan, 2002). PGV-0 memiliki BM 352,13 g/mol
dengan jarak lebur 212-214oC (Sardjiman, 2000). PGV-0 larut dalam metanol,
etanol, dimetil sulfoksida (DMSO) dan etil asetat namun sukar larut dalam air.
6
Pentagamavunon telah diteliti mempunyai aktivitas antioksidan, antifungi,
antibakteri, antiinflamasi, aktivitas sitotoksik dan analgetik (Sardjiman, 2000;
Nurrochmad, 2001; Aningtyas, 2009). Potensi PGV-0 sebagai analgetika terbukti
cukup baik, dengan aktivitas relatif 80% terhadap analgetika natrium diklofenak.
Aktivitas anti inflamasi PGV-0 adalah melalui mekanisme yang sama dengan
kurkumin yaitu melalui penghambatan enzim siklooksigenase (Kundarto, 2008).
PGV-0 lebih selektif dalam menghambat enzim siklooksigenase-2 (COX-2)
daripada COX-1, sehingga PGV-0 bersifat aman bagi lambung yang dibuktikan
oleh penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (1999). PGV-0 menunjukkan daya
penghambatan lebih besar dibanding obat AINS yang beredar di pasaran
(Martono, 2005).
PGV-0 tidak menunjukkaan toksisitas akut dengan LD50 lebih dari 10,16
g/kgBB dan tidak menunjukkan toksisitas subkronis sampai dosis 110,4 mg/kgBB
pada tikus (Sardjiman, 1993; Setyawati, 2000). Berdasar gambaran tersebut,
terlihat bahwa PGV-0 memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai
obat analgetik-antiinflamasi yang aman.
Profil farmakokinetika PGV-0 menunjukkan kadar dalam darah yang sangat
eratik (naik turun) dan cepat hilang dari peredaran darah (Kustaniah, 2001;
Amalia, 2001). Profil farmakokinetik yang kurang baik ini diduga karena sifat
kurkumin maupun analognya yaitu PGV-0 bersifat sukar larut dalam air, sehingga
mengakibatkan kecepatan disolusinya dan ketersediaan hayatinya rendah. Selain
7
itu PGV-0 juga mengalami first pass effect yang intensif. Hal ini menyebabkan
PGV-0 kurang bermanfaat jika digunakan secara oral karena bioavailabilitasnya
yang rendah.
Usaha untuk meningkatkan kelarutan PGV-0 telah dilakukan dengan beberapa
cara. Menurut Siagian (2008) pembentukan kompleks dengan maltodextrin dapat
meningkatkan kelarutan PGV-0. Penggunaan kosolven akuades-etanol-PEG-400
dengan perbandingan 20:20:60 % v/v pada suhu 55oC dapat meningkatkan
kelarutan PGV-0 hingga 909 kali (Pratama, 2008).
2.
Nanopartikel
Nanopartikel merupakan partikel koloid padat dengan diameter 1-1000 nm. Di
dalam sistem biologis terdapat banyak senyawa yang berukuran nanometer, yang
merupakan target pengobatan. Dengan mencocokkan ukuran target pengobatan
dengan obat yang digunakan, nanopartikel memberikan banyak keuntungan. Salah
satu keuntungannya adalah meningkatkan luas permukaan sehingga presentase
senyawa aktif yang berada pada permukaan juga meningkat dan kemungkinan
lebih besar untuk berinteraksi dengan reseptor (Gupta dan Kompella, 2006).
Nanopartikel dapat melewati kapiler dan diambil oleh sel serta permeasi melewati
epitel lebih mudah (Vinagradov dkk., 2002; Desai dkk., 1996). Karena ukurannya
yang kecil, nanopartikel dapat melewati celah antar sel yang sulit ditembus
partikel makro. Hal ini memungkinkan penghantaran yang efisien pada senyawa
8
terapetik ke situs target di dalam tubuh. Nanopartikel juga meningkatkan
bioavailabilitas oral dan stabilitas obat terhadap degradasi enzim (nuklease dan
protease) (Moghimi dkk., 2001).
Terdapat 2 macam teknologi pembuatan nanopartikel, yaitu teknologi top
down dan teknologi bottom up (Reverchon dan Adami, 2006). Teknologi top
down memanfaatkan gaya mekanik untuk membuat ukuran skala nano, misalnya
dengan alat pearl/ ball milling dan homogenisasi tekanan tinggi. Teknologi ini
sangat bermanfaat karena prosesnya sederhana dan dapat diaplikasikan pada
berbagai bahan. Sedangkan teknologi bottom up membentuk partikel skala nano
dari larutan molekuler. Contoh teknologi bottom up meliputi presipitasi fluida
superkritik dan difusi emulsifikasi. (Ober dan Gupta, 2011). Perbandingan
teknologi produksi nanopartikel diilustrasikan dalam gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Perbandingan teknologi produksi nanopartikel top down (atas) dan bottom
up (bawah)
Berdasar proses preparasinya, terdapat dua tipe nanopartikel : nanosphere dan
nanokapsul ( Allemann dkk., 1993). Pada tipe nanosphere obat didispersikan atau
diadsorpsi atau dijebak pada matriks polimer, sedangkan pada nanokapsul obat
9
membentuk inti yang dilingkupi membran polimer. Istilah ―nanopartikel‖
diadaptasi karena kadang sulit menetapkan secara tidak ambigu apakah partikel
tersebut tipe matriks atau membran (Tiyaboonchai, 2003).
Karakterisasi nanopartikel penting dilakukan untuk mengevaluasi karakternya
yang akan berperan dalam aplikasi klinis. Beberapa karakterisasi yang dapat
dilakukan diantaranya ukuran partikel, dispersitas ukuran partikel, efisiensi
enkapsulasi dan uji disolusi. Ukuran nanopartikel menentukan rute biologis yang
dilewatinya. Penelitian yang dilakukan oleh Desai dkk (1996) menunjukkan
bahwa nanopartikel dapat berpenetrasi melalui lapisan submukosa sedangkan
mikropartikel dengan ukuran lebih besar sebagian besar tetap berada pada lini
epitel. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur ukuran partikel
adalah menggunakan mikroskop dan Particle Size Analyzer.
Studi pelepasan obat untuk mengetahui laju dan mekanisme pelepasan obat
nanopartikel tidak dapat dilakukan dengan metode pelepasan obat konvensional,
misalnya metode yang terdapat dalam United States Pharmacopoeia (USP). Hal
ini diantaranya disebabkan oleh luas area permukaan nanopartikel yang sangat
besar sehingga sulitnya tercapai kondisi sink, saat sampling obat terlarut sulit
dipisahkan dari partikel tidak larut, di dalam tubuh pelepasan nanopartikel
mungkin memerlukan enzim khusus untuk mendegradasi polimer, serta adanya
nanopartikel sensitif pH/ suhu (Murthy, 2009).
10
Formulasi nanopartikel kurkumin telah dilaporkan oleh Bisht dkk (2007).
Ikatan silang nanopartikel polimer dengan inti hidrofobik dan cangkang hidrofilik
dalam enkapsulasi kurkumin menghasilkan obat yang terenkapsulasi dalam
nanopartikel dengan ukuran kurang dari 100 nm. Nanokurkumin dapat
didispersikan dalam media aqueous. Pada uji aktivitas nanokurkumin sebagai
antikanker terhadap sel pankreas, nanokurkumin secara konstan menunjukkan
efikasi yang sebanding dengan kurkumin bebas.
Hasil serupa juga diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Das dkk
(2010). Nanoformulasi kurkumin dilakukan menggunakan kitosan dan alginat
melalui metode pre-gelasi ionotropik diikuti dengan pengikatan silang polikation,
serta menggunakan Pluronic F127 sebagai bahan peningkat kelarutan kurkumin.
Analisis menunjukkan partikel berbentuk sferis dengan ukuran rerata 100 ± 20
nm.
Setelah proses pembuatan nanopartikel, obat dapat diformulasikan menjadi
bentuk sediaan konvensional seperti tablet, kapsul, pellet, dan suspensi injeksi.
Tahap ini melibatkan eliminasi solven dan pengubahan nanokristal obat ke bentuk
sediaan baru tanpa mengubah sifat fisik, kimia, dan sifat farmasetik. Berbagai
teknik seperti pengeringan beku (freeze drying), pengeringan semprot (spray
drying), sentrifugasi dan ultrafiltrasi telah digunakan untuk pengeringan atau
pemekatan nanopartikel obat. Pelindung seperti manitol, sukrosa, dan trehalose
11
umumnya ditambahkan pada nanopartikel untuk menghindari aglomerasi (Chen
dkk, 2010)
3.
Kitosan
Poli-(1,4)-2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa atau yang lebih dikenal dengan
kitosan, merupakan suatu polimer modifikasi karbohidrat alami yang dibuat
melalui parsial N-deasetilasi dalam kondisi alkali dari kitin, biopolimer yang
terdapat pada kulit crustacea seperti kepiting, udang, dan lobster. Kitosan juga
ditemukan pada beberapa mikroorganisme, yeast, dan fungi (Illum, 1998). Kitin
merupakan polimer alami paling berlimpah kedua di alam setelah selulosa.
Gambar 3. Struktur molekul kitin (kiri) dan kitosan (kanan)
Kitosan merupakan polisakarida yang terdiri dari beragam jumlah residu Nasetil-2-amino-2-deoksi-D-glukosa (N-asetil-glukosamin) dan 2-amino-2-deoksiD-glukosa (glukosamin) yang antar residu terhubung dengan ikatan β (1→4),
membentuk polimer rantai panjang yang linear (Aranas dkk, 2010). Rumus
molekul kitosan adalah (C6H11NO4)n. Struktur kitin dan kitosan disajikan dalam
gambar 3.
12
Kitosan tersedia dalam kisaran bobot molekul (50 kDa-2000 kDa) dan derajat
deasetilasi yang lebar (66%-99,8%) (Singh dkk, 2011; Shaji dkk, 2010). Kitosan
dengan derajat deasetilasi lebih dari 50% larut dalam larutan aqueous asam.
Derajat deasetilasi kitosan merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi
pengkhelatan terhadap ion, sifat asam basa, sifat sorpsi, agregasi, kelarutan, dan
biodegradibilitasnya (Sweidan, 2011). Kitosan larut dalam asam, praktis tidak
larut dalam etanol (95%) dan solven organik lain, tidak larut dalam larutan netral
dan basa di atas pH 6,5 (Rowe dkk., 2006). Pada proses disolusi, gugus NH2
terprotonasi, menghasilkan polisakarida bermuatan positif (RNH3+) dan garam
kitosan yang larut dalam air.
Kitosan dianggap sebagai sistem pembawa yang aman karena kitosan
merupakan polimer alam yang memiliki sifat biokompatibel, biodegradabel, non
toksik, dan non irritan. Menurut Arai dkk (1968) LD50 kitosan pada tikus dengan
pemberian secara oral adalah lebih dari 16g/kg berat badan. Dari uji
biokompatibilitas kitosan dengan metode uji respon inflamasi secara in vitro,
kitosan tidak menunjukkan efek menginduksi respon imun (Rodrigues dkk, 2012).
Kitosan terdegradasi oleh lisozim di dalam tubuh menjadi N-asetil glukosamin,
yang selanjutnya dikeluarkan melalui jalur sintetik glikoprotein (Prusty dan Sahu,
2009)
Kitosan banyak digunakan dalam formulasi obat maupun kosmetika, sebagai
pengikat tablet (Upadrashta dkk, 1992), membantu penyembuhan luka (Paul dan
13
Sharma, 2004) dan penghantaran gen (Maclaughlin dkk., 1998), salah satunya
sistem nanopartikulat. Menurut Bowman dan Leong (2006) kitosan lebih efisien
dalam meningkatkan uptake obat ketika diformulasi dalam bentuk nanopartikulat
dibandingkan sebagai larutan.
Penggunaan kitosan secara luas ini disebabkan oleh keuntungan yang
diberikan, salah satunya adalah sifat mukoadhesi kitosan yang disebabkan
interaksi antara kitosan yang bermuatan positif dengan musin yang bermuatan
negatif yang menghasilkan waktu kontak lebih panjang antara obat dan
permukaan adsorptif, sehingga meningkatkan absorpsinya (Soane dkk., 1999;
Henrik dkk., 1996). Mekanisme dari transpor kitosan melewati saluran
pencernaan yang paling mungkin adalah melalui endositosis (Behrens dkk., 2002).
Keuntungan yang lain adalah kitosan dapat digunakan sebagai peningkat permeasi
lumen usus pada daerah di mana nilai pH-nya dibawah atau hampir sama dengan
pKa-nya, karena pada daerah pH tersebut kitosan dapat terprotonasi. Interaksi
gugus amina yang terprotonasi dengan membran sel menyebabkan terjadinya
pembukaan sementara tight junction (Amidi dkk., 2010, Van der Lubben dkk.,
2001 dalam Rodrigues dkk, 2012). Sifat ini menyebabkan kitosan dapat
memfasilitasi transpor paraseluler senyawa hidrofilik. Efek kitosan dalam
pembukaan tight junction bersifat sementara, sehingga tidak menyebabkan
kerusakan permanen epitel atau tidak toksik.
14
Keuntungan lainnya adalah
kitosan dapat diproses dengan metode yang
sederhana dan memiliki stabilitas yang baik (Tiyaboonchai, 2003; Shaji, dkk.,
2010). Struktur kitosan memungkinkan untuk dilakukan modifikasi kimia yang
beragam (Aranas dkk, 2010), ditambah adanya faktor rentang bobot molekul dan
derajat asetilasi yang lebar, sehingga memungkinkan dilakukan pengembangan
formulasi.
Terdapat empat metode pembuatan nanopartikel kitosan, yaitu gelasi
ionotropik, mikroemulsi, difusi pelarut emulsifikasi dan kompleks polielektrolit
(Tiyaboonchai, 2003). Pada kerangkanya, kitosan memiliki gugus amina yang
densitasnya bergantung pada derajat asetilasi dan pH. Pada lingkungan asam,
gugus amina terprotonasi membentuk muatan positif yang dapat diikat silang
secara fisik maupun kimiawi. Proses gelasi ionik paling banyak digunakan untuk
membuat nanopartikel kitosan karena merupakan metode yang preparasinya
mudah dan sederhana, tanpa menggunakan solven organik atau energi yang tinggi
(Tiyaboonchai, 2003; Tsai dkk, 2008).
Irianto (2013) telah melakukan preparasi nanopartikel PGV-0 dengan metode
gelasi ionik menggunakan kitosan rantai pendek dan natrium alginat,
menghasilkan nanopartikel yang stabil dalam saluran pencernaan serta memiliki
efek antiinflamasi in vivo yang lebih besar daripada PGV-0 tak termodifikasi.
Sigma Aldrich membagi kitosan berdasar panjang rantainya menjadi kitosan
rantai pendek (viskositas 20-200 cps), rantai sedang (200-800 cps) dan rantai
15
panjang (800-2000 cps). Panjang rantai menentukan viskositas kitosan dalam
lingkungan aqueous, efisiensi enkapsulasi, serta bioavailabilitasnya. Efisiensi
enkapsulasi paling baik terjadi pada kitosan rantai pendek dan rantai sedang
(Kouchak dkk, 2012). Pada kitosan rantai panjang, viskositas terlalu besar
sehingga menghalangi interaksi gugus amonim dalam kitosan dengan obat.
4.
Alginat
Alginat merupakan polimer linear yang terdiri dari dua unit monosakarida
yaitu asam D-mannuronat (M) dan L-glukoronat (G) yang terhubung dengan
ikatan glikosidik pada posisi 1, 4 (Skaugrud dkk., 1999). Residu ini disusun dalam
blok yang bervariasi baik urutan maupun komposisinya. Alginat diekstraksi dari
alga coklat, diantaranya Laminaria hyperborean, Ascophyllum nodosum, and
Macrocysis pyrifera (Smidsrod dan Skjak-Braek, 1990). Struktur molekul alginat
terdapat dalam gambar 4.
Gambar 4. Stuktur molekul alginat
Alginat digunakan dalam industri makanan dan minuman sebagai gelling
agent, penstabil koloid, serta penghantaran obat. Dalam formulasi biasanya
16
digunakan alginat dalam bentuk garamnya, yaitu natrium alginat. Natrium alginat
larut dalam air, namun akan mengendap sebagai asam alginat pada pH yang
rendah. Nilai pKa asam glukoronat dan asam manuronat berturut-turut adalah 3.6
dan 3.3 (Skaugrud dkk., 1999). Alginat mempunyai gugus karboksilat yang dapat
berpenetrasi pada mukosa sehingga mempunyai sifat adhesi yang baik dan
bermanfaat untuk penghantaran mukosal (Jabbari dkk., 1993). Sifat bioadhesi
alginat bahkan lebih baik daripada kitosan, polistiren, dan karboksimetil selulosa
(Brunetti, 2006).
Saat ini telah dikembangkan alginat ultrapure yang mengatasi masalah
toksisitas dan imunogenisitas kontaminan minor yang sering ditemui pada alginat
industri, sehingga alginat digolongkan sebagai senyawa yang aman dan
biokompatibel (Thwala, 2012). Degradasi alginat in vivo terjadi melalui
depolimerisasi eliminasi β. Ikatan glikosidik alginat rentan terhadap hidrolisis,
baik asam maupun basa. Stabilitas alginat yang optimum mendekati pH 6
(Anderson dkk, 2012). Degradasi alginat didominasi oleh eliminasi β. Hingga saat
ini belum diketahui adanya enzim pendegradasi alginat pada manusia (Holme dkk,
2001). Degradasi alginat pada manusia tersaji dalam gambar 5 berikut.
17
Gambar 5. Degradasi β alkali alginat
5.
Gelasi Ionik
Salah satu metode pembuatan nanopartikel adalah metode gelasi ionik
(Racovita dkk., 2009). Metode gelasi ionik dikembangkan oleh Calvo dkk (1997).
Dasar dari metode ini adalah sifat kitosan yang mengalami transisi cair-gel karena
adanya interaksi ionik dengan polianion. Interaksi ini terjadi antara gugus
amonium kitosan yang bermuatan positif dengan suatu pengikat silang (Dounighi
dkk, 2012). Nanopartikel terbentuk dengan pengadukan yang konstan pada suhu
ruangan.
Metode gelasi ionik juga biasa disebut dengan metode koaservasi atau
kompleksasi polielektrolit. Pada metode gelasi ionik, polisakarida (kitosan)
dilarutkan dalam medium asam lemah, kemudian ditambahkan bertetes-tetes
dengan pengadukan yang konstan pada larutan yang mengandung counterion lain
(Racovita dkk., 2009). Jika kitosan diikat silang dengan elektrolit seperti
18
tripoliposfat disebut gelasi ionik, sedangkan pada koaservasi kompleks, polimer
polikation direaksikan dengan muatan yang berlawanan, misalnya polimer
polianion seperti alginat (Yan dkk., 2007, Prusty dan Sahu., 2009).
Interaksi elektrostatik antara pengait silang anion dengan kitosan menentukan
sifat nanopartikel yang dihasilkan. Interaksi ini tergantung dari struktur molekul
anion, muatan permukaan dan konsentrasi molekularnya, pH larutan kitosan, dan
sifat fisik kitosan (Gupta dan Jabrail, 2007). Sifat fisik kitosan meliputi bobot
molekul dan derajat deasetilasi.
Keuntungan dari metode gelasi ionik ialah dapat dilakukan pada kondisi yang
ringan, tidak memerlukan pelarut organik, dapat meningkatkan kapasitas loading
obat, serta terbentuknya nanopartikel dengan lingkungan yang hidrofilik (Calvo
dkk, 1997; Agnihotri dkk. 2004). Pembuatan nanopartikel dengan metode gelasi
ionik telah dikembangkan antara lain pada enkapsulasi Deksametason (Dustgani
dkk, 2008), Doksorubisin (Janes dkk., 2001), Ampisilin trihidrat (Saha dkk.,
2010), Tramadol (Nasiri dkk., 2012).
F. Landasan teori
Senyawa PGV-0 merupakan turunan kurkumin yang dibuat dengan
memodifikasi β-diketon pada rantai tengah menjadi monoketon siklik. PGV-0
bersifat tidak larut dalam air sehingga bioavailabilitasnya secara per oral rendah.
Dengan mengembangkan sistem pembawa nanopartikel untuk PGV-0 diharapkan
19
dapat memperbaiki kelarutan PGV-0 di dalam air, serta mempermudah transpor
obat di dalam saluran pencernaan sehingga dapat memperbaiki bioavailabilitas
PGV-0 di dalam tubuh.
Salah satu metode pembuatan nanopartikel yang dapat diterapkan adalah
metode gelasi ionik menggunakan kitosan. Polimer kitosan sebagai pembawa
sistem nanopartikel memberikan beberapa keuntungan, diantaranya sifat kitosan
yang kompatibel dan non toksik, serta bersifat mukoadhesif sehingga dapat
meningkatkan absorpsi obat. Selain itu, kitosan dapat membuka tight junction
yang bersifat sementara, sehingga memfasilitasi transpor dan meningkatkan
bioavailabilitas obat.
Kitosan dalam suasana asam akan mengalami ionisasi membentuk ion
amonium (NH3+). Kitosan dapat mengalami transisi gel-cair dan berinteraksi
secara ionik dengan PGV-0. PGV-0 merupakan senyawa yang memiliki gugus
kaya elektron dalam strukturnya, yaitu gugus karbonil dan keton, serta adanya
ikatan rangkap konjugasi. Gugus keton monosiklik pada PGV-0 menyumbang
muatan negatif sehingga dapat berinteraksi dengan muatan positif dari gugus
amonium (NH3+) pada kitosan. Interaksi ini menyebabkan kitosan sebagai matrik
polimer akan mengenkapsulasi PGV-0 di dalam strukturnya menghasilkan
kompleks berukuran nanopartikel.
Enkapsulasi obat di dalam matriks kitosan terjadi secara spontan. Dalam
prosesnya
hanya
diperlukan
penghomogenan
ringan
untuk
memastikan
20
pembentukan kompleks kitosan, alginat dan PGV-0 terjadi secara sempurna. Jika
interaksi kitosan dan PGV-0 berlangsung dengan baik, maka enkapsulasi PGV-0
dalam matriks kitosan terjadi secara optimal. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai
Entrapment Efficiency (%). Nilai Entrapment Efficiency yang tinggi menunjukkan
proses enkapsulasi obat berlangsung secara optimal.
Setelah terbentuk nanopartikel, gugus amonium dalam polimer kitosan yang
tidak berinteraksi dengan PGV-0 akan saling tolak menolak dengan sesamanya
karena kesamaan muatan, sehingga terjadi ketidakstabilan dalam kompleks. Oleh
karena itu ditambahkan alginat yang memiliki gugus karboksilat bermuatan
negatif (COO-) yang akan mengikat muatan positif kitosan sehingga menstabilkan
kompleks nanopartikel. Kompleks kitosan dan alginat efektif dalam melindungi
obat agar tetap berada dalam kompleks nanopartikel saat melewati saluran
pencernaan.
G. Hipotesis
1. Preparasi senyawa Pentagamavunon-0 menggunakan metode gelasi ionik
dengan kitosan rantai sedang dan pengait silang natrium alginat dapat
menghasilkan partikel berukuran nanometer.
2. Nanopartikel yang dihasilkan memiliki entrapment efficiency yang tinggi.
3. Nanopartikel yang dihasilkan memiliki entrapment stability yang tinggi dari
dalam lingkungan lambung buatan dan usus buatan.
Download