BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Sebelumnya (State of the Art) Penelitian Sebelumnya atau State of the Art adalah sebuah arah atau acuan sejauh mana penelitian yang kita buat sesuai dengan topik yang telah dipilih. Menurut Berchers (2012, hal.85) bahwa: “The term "state of the art" refers to the highest level of general development, as of a device, technique, or scientific field achieved at a particular time. It also refers to the level of development (as of a device, procedure, process, technique, or science) reached at any particular time as a result of the common methodologies employed.” Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan penelitian dengan beberapa jurnal-jurnal pilihan yang mengangkat topik yang sama. Secara garis besar jurnal-jurnal ini memiliki topik yang sama yakni mengenai etika, namun perbedaan juga terlihat dari jenis etika yang digunakan. Salah satu jurnal dari Roni Tabroni (2014) yang berjudul “Etika Komunikasi Politik dalam Ruang Media Massa” yang lebih mengarahkan etika disini kepada penggunaan etika dalam proses komunikasi politik. Penelitian dari Amir Mu’min Solihin (2011) yang berjudul “Etika Komunikasi Lisan Menurut Al-Quran: Kajian Tafsir Tematik” yang melihat etika dari sudut pandang keagamaan, juga penelitian dari Olivia Sinarta dan Dhyah Harjanti (2014) yang berjudul “Penerapan Etika Bisnis pada PT. X” yang menjelaskan penggunaan etika untuk kegiatan bisnis. Jurnal dari Tyler J. Sinclair (2013) “Understanding Divison – Ethical Sports Scandal, Their Public Relations Approaches and Effects” juga mengandung pembahasan etika dimana dijelaskan penggunaan etika untuk menyelesaikan konflik perusahaan, serta jurnal dari Artimis Panigyraki (2013) yang berjudul “The Effects of Applied Business Ethics on Consumers’ Perceptions in the Fast Moving Consumers’ Goods (FMGC) Sector” yang juga menjelaskan mengenai bagaimana penggunaan etika dalam kegiatan bisnis. 7 8 Tabel 2.1 No. Keterangan 1. Judul Penelitian 2. Metode/ Teori yang digunakan 3. Subjek Penelitian Roni Tabroni Amir Mu’min Solihin Olivia Sinarta dan Dhyah Harjanti Artimis Panigyraki Tyler J. Sinclair Panita Nabilah 2014 2011 2014 2011 2013 2014 UNDERSTANDI NG DIVISON – ETHICAL SPORTS SCANDAL, THEIR PUBLIC RELATIONS APPROACHES AND EFFECTS STRATEGI KOMUNIKASI INTERNAL DALAM MEMPERBAIK I ETIKA KOMUNIKASI INTERPERSON AL (STUDI KASUS PADA KOMUNIKASI INTERNAL DI M&C! COMICS) ETIKA KOMUNIKAS I POLITIK DALAM RUANG MEDIA MASSA ETIKA PENERAPAN KOMUNIKASI ETIKA BISNIS LISAN PADA PT. X MENURUT AL-QURAN: KAJIAN TAFSIR TEMATIK THE EFFECTS OF APPLIED BUSINESS ETHICS ON CONSUMERS’ PERCEPTIONS IN THE FAST MOVING CONSUMERS’ GOODS (FMCG) SECTOR Metode Deskriptif Kualitatif Aktivitas Komunikasi Politik Metode Telaah Perpustakaan Metode Deskriptif Quantitative Kualitatif Method Quantitave Method Metode Kualitatif Studi Kasus Etika Komunikasi Subjek dalam penelitian ini adalah orangorang yangmenjadi Division-I collegiate institution Komunikasi Internal pada divisi m&c! comics grup penerbit Kompas Consumers’ Perceptions 9 4. Hasil Penelitian Tanpa dibarengi dengan etika dalam proses komunikasi politik yang menggunakan ruang media massa, perkembangan demokrasi akan cenderung destruktif, tidak mendidik. Padahal, jika dalam demokrasi membutuhkan partisipasi sumber informasi atau orang-orang yang bersangkutan dalam proses penelitian ini, yaitu crown stardirector, manajer, dan customer yang ada pada PT. X Komunikasi PT. X memiliki mendapat kewajiban moral perhatian sangat yang berada pada besar dalam tahap agama islam dan Postcoventional mengarahkanny dan menggunakan a agar setiap muslim pendekatan memakai etika physchological islami dalam dimana berkomunikasi. perusahaan ini Hal itu dapat dibuktikan mengimplementas dengan ikan etika bisnis banyaknya ayat- sesuai prinsipprinsip ayat yang yang ada. Tujuan berkaitan dengan etika PT. X ini adalah Gramedia As a final conclusion we propose that consummation does not come from the pursue of satisfaction rrough materialsm and profit maximization alone but also trough ethiucal behavior and good judgement, so to see our role as to seek what is good and ethical for people, not just their bellies These results showed that an ethical sports scandal negatively affects public perception of the program and university in which it occurs. Participants attached several negative emotions, attitudes, and opinions when asked a variety of questions. The participants also Menghasilkan kesimpulan bahwa di dalam lingkungan internal m&c! comics, komunikasi internal yang terjalin dapat bersifat formal maupun informal sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Dan untuk komunikasi interpersonal, baik komunikasi 10 masyarakat, maka opini publik yang dilakukan para pihak yang berkepentingan dengan politik, sewajarnya dilakukan dengan caracara yang baik, beretika, bermoral, dan mengedepankan kepentingan umum. komunikasi, baik dalam AlQur’an maupun hadits. melayani semua stakeholder dan berkomitmen pada semua stakeholde r. PT. X ini membentuk sebuah nature yan g terdiri dari culture yang mengandung integritas moral. Dimana perusahaan ini memiliki kewajiban moral dan prinsip yang kuat dalam penerapan etika b isnis pada PT. X. Hal itu diwujudkan oleh para leader, manajer, dan staf yang terlibat dalam PT. X dimana penerapan etika b isnis pada felt that the image restoration strategy used in this study was primarily ineffective in restoring the overall image of the program and university. These results, along with the general process of this study, will be discussed within the framework of this paper. veerbal dan nonverbal juga dilakukan. Etika di dalam lingkungan ini bukan suatu keharusan, dimana divisi lebih mengutamakan suasana kekeluargaan daripada suasana formal yang justru terbilang kaku. 11 perusahaan ini dapat digolongkan ke physchological dimana perusahaan ini mempunya level personal development yang berada pada tahap postconvent ional dan mereka memiliki 7 prinsip yang terdiri dari prinsip otonomi, prinsip kejujuran. prinsip keadilan, prinsip saling menguntungkan, integritas moral, prinsip kelestarian lingkungan hidup, prinsip keselamatan konsumen 5. Perbedaan masing- Penelitian ini meneliti tentang Meneliti etika komunikasi, Penelitian ini lebih menjelaskan Penelitian ini lebih mengarah kepada Walaupun penelitian Penelitian ini tentang ini 12 masing Penelitian 6. Persamaan masingmasing Penelitian etika komunikasi namun lebih mengarah pada etika komunikasi politik dan bagaimana aktivitasaktivitasnya namun penelitian ini lebih melihat bagaimana etika komunikasi dari segi keagamaan atau bagaimana menurut agama islam bagaimana etika bisnis dalam suatu perusahaan, dan bagaimana eetika bisnis itu sendiri yang beerpeeran besar dalam berkembangnya perusahaan Sama-sama meneliti bagaimana pentingnya etika komunikasi Sama-sama meneliti bagaimana pentingnya etika komunikasi Adalah penelitian yang memiliki pembahasan etika di dalamnya etika bisnis, dimana etika bisnis sangat berperan dalam persepsi konsumen akan suatu produk dan salah satu faktor seorang konsumen memilih produk Sama-sama meneliti pentingnya etika menggunakan etika komunikasi, namun penelitian ini lebih mengarah kepada bagaimana peran komunikasi dalam menyelesaikan konflik terutama berupa skandal Penelitian ini memiliki etika komunikasi di dalamnya bagaimana strategi komunikasi internal dalam memperbaiki etika komunikasi interpersonal yang ada di dalam lingkungannya. Penelitian ini sama-sama berbicara tentang komunikasi dan etika. 13 2.2 Landasan Konseptual Beberapa teori konsep yang bersinggungan erat dengan bidang kajian dengan skripsi yang dibuat : 2.2.1 Bidang Kajian Komunikasi 2.2.1.1 Strategi Kasali (dalam Soemirat dan Ardianto, 2012, hal.90) menjelaskan bahwa strategi adalah cara dimana ketika suatu organisasi atau lembaga akan mencapai tujuannya, tetapi dengan melihat peluang-peluang dan ancaman-ancaman lingkungan eksternal yang dihadapi, juga bagaimana sumber daya dan kemampuan internal. Istilah strategi sering pula disebut rencana strategis atau rencana jangka panjang perusahaan. Suatu rencana strategis perusahaan menetapkan garis-garis besar tindakan strategis yang akan diambil dalam kurun waktu tertentu ke depan. Berapa lama waktu yang akan dicakup tentu amat bervariasi. Di masa lalu para ahli menyebut sekitar 25 tahun, tetapi dewasa ini jarang sekali perusahaan yang berani menetapkan arahnya untuk 25 tahun ke depan. Sebagian besar membuatnya lima sampai sepuluh tahun. Alasannya perubahan yang terjadi belakangan ini sangat sulit diterka arahnya. Setiap perubahan itu saling kait mengait, sehingga perkiraan terjauh yang dapat diduga menjadi amat terbatas. (Kasali, dalam Soemirat dan Ardianto, 2012, hal.90). Kasali lebih jauh menyebutkan rencana jangka panjang inilah yang menjadi pegangan bagi para praktisi Public Relations untuk menyusun berbagai rencana teknis, dan langkah komunikasi yang akan diambil sehari-hari. Untuk dapat bertindak secara strategis, kegiatan Public Relations harus menyatu dengan visi dan misi perusahaannya. Selain memiliki arti sebagai “jangka panjang” strategi juga menyandang persamaan sebagai “strategi”. Kata strategi itu sendiri mempunyai pengertian yang terkait dengan hal-hal seperti kemenangan, kehidupan, atau daya juang. Artinya menyangkut dengan hal-hal yang berkaitan dengan mampu atau tidaknya perusahaan dalam menghadapi tekanan yang muncul dari dalam atau dari luar. 14 James E. Grunig dan Fred Repper, dalam Soemirat dan Ardianto (2012, hal.93) mengemukakan model strategic management dalam kegiatan Public Relations melalui tujuh tahapan, dimana tiga tahapan pertama mempunyai cakupan luas sehingga lebih bersifat analisis, yakni : 1. Tahap stakeholders, mempunyai hubungan sebuah dengan organisasi publiknya atau perusahaan apabila perilaku perusahaan tersebut mempunyai pengaruh terhadap stakeholdernya atau sebaliknya. Humas harus melakukan survey untuk terus membaca perkembangan lingkungannya, dan membaca perilaku organisasinya serta menganalisis konsekuensi yang akan timbul. Komunikasi yang dilakukan secara kontinyu dengan stakeholders ini membantu perusahaan untuk tetap stabil. 2. Tahap publik, publik terbentuk ketika organisasi atau perusahaan menyadari adanya masalah tertentu. Berdasarkan hasil penelitian Grunig dan Hunt (dalam Soemirat dan Ardianto, 2012, hal. 94), yang menyimpulkan bahwa publik muncul sebagai akibat adanya masalah dan bukan sebaliknya. Dengan kata lain publik selalu eksis apabila ada masalah yang mempunyai potensi akibat terhadap mereka. Publik bukanlah kumpulan suatu massa umum biasa, mereka sangat efektif dan spesifik terhadap suatu kepentingan tertentu dan masalah tertentu. Oleh karena itu humas harus terus menerus mengidentifikasi publik yang muncul terhadap berbagai macam masalah. Biasanya dilakukan melalui wawancara mendalam pada suatu focus group. 3. Tahap isu, publik muncul sebagai konsekuensi dari adanya masalah selalu mengorganisasi dan menciptakan isu. Yang dimaksud dengan isu disini bukanlah isu dalam arti kabar burung atau kabar resmi yang berkonotasi negatif, melainkan suatu tema yang dipersoalkan. Mulanya pokok persoalan demikian luas dan mempunyai banyak pokok, tetapi kemudian akan terjadi kristalisasi sehingga pokoknya akan menjadi lebih jelas karena pihak-pihak yang terkait saling melakukan diskusi. 15 2.2.1.2 Etika a) Pengertian Etika Secara etimologi “etika” berasal dari kata bahasa Yunani ethos. Dalam bentuk tunggal, “ethos” berarti tempat tinggal yang biasa. Padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, perasaan, cara berfikir. Dalam bentuk jamak, ta etha berarti adat kebiasaan. Dalam istilah filsafat, etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak. Etika dibedakan dalam tiga pengertian pokok, yaitu ilmu tentang apa yang baik dan kewajiban moral, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dengan ini maka etika dapat diartikan sebagai nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. (dalam Mufid, 2012, hal.173) Mufid, dalam bukunya (2012, hal.174) juga menjelaskan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong manusia untuk mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia mencapai kesadaran moral yang otonom. Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan antara “etika deskriptif” dan “etika normatif”, Etika deskriptif memberi gambaran dari gejala kesadaran moral, dari norma dan konsep-konsep etis. Etika normatif tidak berbicara lagi tentang gejala, melainkan tentang apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan manusia. Dalam etika normatif, norma dinilai dan setiap manusia ditentukan. Pendapat Endersen, yang disitir Effendy (dalam Soemirat dan Ardianto, 2012, hal. 170) mendefinisikan etika sebagai suatu studi tentang nilai-nilai dan landasan bagi penerapannya. Ia bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa itu kebaikan dan keburukan dan bagaimana seharusnya. Disebutkan pula istilah-istilah etika, etis, moralitas, dan moral acapkali dipergunakan secara tertukar sehingga membingungkan. Tetapi etika hanya berkaitan dengan tingkah laku atau perbuatan, suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja dalam keadaan sadar, sehingga patut dihukum. Bagaimana jenis hukuman dan berat 16 tidaknya hukuman yang dikenakan bergantung pada tindakan yang dilakukan. b) Etika Komunikasi Dalam berbagai kesempatan, komunikasi diperlihatkan sebagai ilmu yang berhubungan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang lain. Ini menandakan bahwa komunikasi menyentuh berbagai macam bidang kehidupan manusia. Komunikasi juga menyentuh aspek ilmu dalam bidang komunikasi. Apa yang terjadi apabila nilai, gagasan, dan ide komunikasi justru tidak dikomunikasikan. Etika komunikasi mencoba untuk mengelaborasi standar etis yang digunakan oleh komunikator dan komunikan. Setidaknya ada tujuh perspektif etika komunikasi yang bisa dilihat dalam perspektif yang bersangkutan. (dalam Mufid, 2012, hal.185-186) 1. Perspektif politik. Dalam perspektif ini, etika untuk mengembangkan kebiasaan ilmiah dalam praktek berkomunikasi, menumbuhkan bersikap adil dengan memilih atas dasar kebebasan, pengutamaan motivasi, dan menanamkan penghargaan atas perbedaan. 2. Perspektif sifat manusia. Sifat manusia yang paling mendasar adalah kemampuan berfikir dan kemampuan menggunakan simbol. Ini berarti bahwa tindakan manusia yang benar-benar manusiawi adalah berasal dari rasionalitas yang sadar atas apa yang dilakukan dan dengan bebas untuk memilih melakukannya. 3. Perspektif dialogis. Komunikasi adalah proses transaksi dialogal dua arah. Sikap dialogal adalah sikap setiap partisipan komunikasi yang ditandai oleh kualitas keutamaan, seperti keterbukaan, kejujuran, kerukunan, intensitas dan lain-lainnya. 4. Perspektif situasional. Faktor situasional adalah relevansi bagi setiap penilaian moral. Ini berarti bahwa etika memperhatikan peran dan fungsi komunikator, standar khalayak, derajat kesadaran, tingkat urgensi pelaksanaan komunikator, tujuan dan nilai khalayak, standar khalayak untuk komunikasi etis. 17 5. Perspektif religius. Kitab suci atau habit religius dapat dipakai sebagai standar mengevaluasi etika komunikasi. Pendekatan alkitabiah dalam agama membantu manusia untuk menemukan pedoman yang kurang lebih pasti dalam setiap tindakan manusia. 6. Perspektif utilitarian. Standar utilitarian untuk mengevaluasi cara dan tujuan komunikasi dapat dilihat dari adanya kegunaan, kesenangan, dan kegembiraan. 7. Perspektif legal. Perilaku komunikasi yang legal, sangat disesuaikan dengan peraturan yang berlaku dan dianggap sebagai perilaku yang etis. Pentingnya pemahaman etika bagi pejabat humas karena menyangkut penampilan (profile) dalam rangka menciptakan dan membina citra perusahaan yang diwakilinya. Dua konsep penting dari humas tersebut diidentifikasi oleh G. Sachs dalam Soemirat dan Ardianto (2012, hal.171) sebagai berikut : “Citra (image) adalah pengetahuan mengenai kita dan sikapsikap terhadap kita yang mempunya kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda. Penampilan adalah pengetahuan mengenai suatu sikap terhadap kita yang kita inginkan mempunyai ragam kelompok kepentingan.” Penjelasan G. Sachs, dapat disimak bahwa citra adalah dunia sekeliling kita yang memandang kita. Penampilan adalah definisi kita sendiri dari titik pandang mengenai kita. Dalam hubungannya dengan kegiatan manajemen perusahaan sikap etislah yang harus ditunjukkan seorang humas dalam profesinya sehari-hari. Seorang humas harus menguasai etika-etika umum dan tidak umum (dalam Soemirat dan Ardianto, 2012, hal.175) antara lain: 1) Good communicator for internal and external public. 2) Tidak terlepas dari faktor kejujuran sebagai landasan utamanya. 3) Memberikan kepada bawahan atau karyawan adanya sense of belonging dan sense of wanted pada perusahaanya, agar para karyawan merasa diakui dan dibutuhkan. 4) Etika sehari-hari dalam berinteraksi dan berkomunikasi harus tetap dijaga. 18 5) Menyampaikan informasi-informasi penting kepada anggota dan kelompok yang berkepentingan. 6) Menghormati prinsip-prinsip rasa hormat terhadap nilai-nilai manusia. 7) Menguasai teknik dan cara penanggulangan kasus-kasus, sehingga dapat memberikan keputusan, dan pertimbangan secara bijaksana. 8) Mengenal batas-batas yang berdasarkan pada moralitas dalam profesinya. 9) Penuh dedikasi dalam profesinya. 10) Menaati kode etik humas. 2.2.1.3 Komunikasi Interpersonal Theodorson (dalam Rohim, 2009, hal.69) mengemukakan bahwa komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu orang atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu kepada satu orang atau sekelompok lain. Proses pengalihan informasi tersebut selalu mengandung pengaruh tertentu. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi, bila isi pesan kita pahami tetapi hubungan di antara komunikasi menjadi rusak. Setiap kali kita melakukan komunikasi, kita tidak saja sekadar menyampaikan isi pesan tetapi kita juga menentukan kadar hubungan interpersonal, bukan saja menentukan “centent” tetapi juga “relationship”. Adapun bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi dapat dibedakan atas dua bagian, pertama komunikasi diadik (dyadic communication), yakni komunikasi yang berlangsung antar dua orang. Orang pertama adalah komunikator yang menyampaikan pesan dan seorang lagi adalah komunikan yang menerima pesan tersebut. Dalam komunikasi ini komunikator selalu memusatkan perhatiannya hanya pada diri komunikan seorang tersebut, sehingga ketika dialog terjadi antara keduanya selalu berlangsung serius dan intensif. Bentuk komunikasi lainnya adalah komunikasi triadik (triadic communication), yakni komunikasi antarpribadi yang pelakunya 19 terdiri dari tiga orang, yakni seorang komunikator dan dua orang komunikan. Jika misalnya A yang menjadi komunikator, maka ia pertama-tama yang akan menyampaikan komunikasi kepada B, kemudian kalau ditanggapi beralih kepada komunikan C secara berdialogis. (dalam Rohim, 2009, hal.70) Rohim juga menjelaskan apabila dibandingkan dengan komunikasi triadik, maka komunikasi diadik lebih efektif, karena komunikator memusatkan perhatiannya kepada seorang komunikan, sehingga seorang komunikator dapat menguasai frame of reference komunikan sepenuhnya. Selain itu umpan balik yang berlangsung juga terjadi, hal ini disebabkan karena proses komunikasi yang berlangsung efektif, seperti yang telah dijelaskan di atas. Pada dasarnya komunikasi interpersonal adalah bentuk komunikasi tatap muka langsung, dialogis yang terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. Berikut adalah definisi lain yang telah dibuat oleh beberapa ahli tentang komunikasi interpersonal. Joseph A. Devito (dalam Suharsono dan Lukas, 2013, hal.86) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai berikut: “Interpersonal communication is the communication that takes place between two persons who have an established relationship, the people are in some way ‘connected’.” Jika dicermati definisi DeVito di atas menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal itu dilihat dari tingkat keintimannya atau kedekatan proses komunikasi itu. Definisinya terutama menekankan pada jumlah orang yang terlibat dalam komunikasi interpersonal itu yang hanya dibatasi sebanyak dua orang dan sudah memiliki hubungan pribadi yang sangat dekat. Oleh karena itu komunikasi interpersonal terutama terjadi dalam hubungan sebagai berikut: “Interpersonal communication would thus include what take place between a son and his father, an employer and an employee, two sisters, a teacher and a student, two lovers, two friends, and so on.” 20 Suharsono dan Lukas, (2012, hal.87) menyebutkan beberapa definisi yang dibuat oleh para ahli Indonesia yang mencoba mengkaji pengertian komunikasi interpersonal dari pendekatan yang lebih luas lagi. Tidak hanya memfokuskan pada jumlah peserta yang hanya dua orang, tetapi dapat juga diakukan oleh lebih dari dua orang, seperti dalam komunikasi kelompok besaar atau kecil. Menurut Agus M. Hardjana komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat mengirimkan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula. Sedangkan Yuyun Wirasasmita menyatakan bahwa komunikasi antarpersonal terjadi terutama di antara dua orang atau beberapa orang (kuantitatif) yang bersifat alamiah dan dapat menghasilkan suatu hubungan produktif secara terus-menerus (kualitatif). Menurut Agus M. Hardjana (dalam Suharsono dan Lukas, 2013, hal. 90) komunikasi interpersonal memiliki beberapa ciri antara lain : 1) Verbal dan nonverbal, pada dasarnya semua bentuk komunikasi dapat dilakukan dengan bahasa verbal dan nonverbal. Bahasa verbal merupakan bahasa lisan maupun tulisan (tertulis), bahasa nonverbal merupakan isyarat, lambang-lambang dan sebagainya. Penggunaan bahasa verbal lisan dan bahasa isyarat memang lebih efektif digunakan dalam komunikasi interpersona, tetapi dengan kemajuan teknologi komunikasi, bahasa lisan juga sering digunakan komunikasi massa, misalnya melalui berbagai bentuk rekaman (kaset, CD, dan lainnya). 2) Mencangkup perilaku tertentu, yakni perilaku spontan, menurut kebiasaan, dan perilaku sadar. Perilaku spontan dapat terjadi sewaktu-waktu dan kadang-kadang tanpa disadari sepenuhnya oleh pelaku. Menurut kebiasaan, adalah komunikasi interpersonal yang dilakukan menurut kebiasaan tertentu sesuai dengan latar belakang budaya mereka yang sedang berkomunikasi. Perilaku sadar, menggambarkan bahwa ketika melakukan komunikasi orang dengan kesadaran penuh akan 21 memilih dan menyesuaikan tindakannya, pilihan itu mencakup misalnya, dengan siapa, kapan, di mana akan melalukan komunikasi itu. 3) Berproses pengembangan, komunikasi interpersonal diharapkan ada kelanjutannya, yakni bagaimana sebuah hubungan yang semula terbentuk memunculkan harapan dengan pertemuan tersebut akan menyambung kembali tali persaudaraan atau pertemanan yang selama ini sudah terjalin baik. 4) Mengandung umpan balik, interaksi, dan koherensi, pada dasarnya setiap komunikasi itu terjadi umpan balik atau respons. Namun dalam komunikasi interpersonal, umpan baliknya itu dapat terjadi seketika, langsung dan lebih cepat karena biasanya komunikasinya berlangsung secara tatap muka. Dengan begitu maka terjadi interaksi atau hubungan langsung antara komunikator dan komunikan. Di samping itu, biasanya karena bersifat langsung tatap muka maka koherensi atau keakraban atau kedekatan dapat dijaga dengan baik dan lebih mudah karena masing-masing dapat dengan langsung mengamati bagaimana proses komunikasi itu berjalan. 5) Berjalan menurut aturan tertentu, Komunikasi interpersonal itu berlangsung menurut aturan yang berlaku pada masyarakat itu. Terutama ini terjadi pada komunikasi kelompok, misalnya ketika melakukan presentasi atau kunjungan atau penelitian ke tempat masyarakat yang lain, harus dapat menyesuaikan dengan berbagai aturan dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat itu. 6) Kegiatan aktif, komunikasi interpersonal merupakan suatu kegiatan aktif. Aktif dalam artian bahwa antara komunikator dan komunikan langsung bertemu, oleh karena itu berbagai respon dapat terjadi pada saat itu juga. Dalam proses komunikasi ini pada dasarnya terjadi proses dialogis atau proses saling memberi informasi bagi kedua belah pihak. 7) Saling mengubah, komunikasi pada dasarnya tidak hanya menyampaikan pesan atau informasi saja, tetapi juga perubahan perilaku sesuai dengan pesan yang disampaikan itu. Jelasnya 22 bahwa komunikassi itu dikatakan berhasil atau efektif apabila membawa dampak perubahan seperti pemikiran, perasaan, sikap, dan perilaku. Menurut Aw (2011, hal.30) beberapa faktor yang mempengaruhi kadar hubungan interpersonal adalah sebagai berikut : a. Toleransi, toleransi menghendaki adanya kemauan masingmasing pihak untuk menghargai dan menghormati perasaan pihak lain. b. Kesempatan-kesempatan yang seimbang, rasa memperoleh keadilan dari interaksi akan menentukan kadar hubungan interpersonal. c. Sikap menghargai orang lain, sikap menghendaki adanya pemahaman bahwa setiap orang itu memiliki martabat. d. Sikap mendukung bukan sikap bertahan, sikap mendukung berarti sikap memberikan persetujuan terhadap orang lain. e. Sikap terbuka, sikap untuk membuka diri, mengatakan tentang keadaan dirinya secara terbuka dan apa adanya. f. Pemilik bersama atas informasi. g. Kepercayaan, kepercayaan adalah perasaan bahwa tidak ada bahaya dari orang lain dalam suatu hubungan. h. Keakraban, merupakan pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang, kedekatan dan kehangatan. i. Kesejajaran, posisi yang sama antara kedua belah pihak. j. Kontrol atau pengawasan. k. Respon, ketepatan dalam memberikan tanggapan. l. Suasana emosional, ketika komunikasi berlangsung tunjukkan dengan ekspresi yang relevan. Dari ke dua belas faktor tersebut, masing-masing dapat memberikan pengaruh terhadap kadar hubungan interpersonal secara positif, artinya semakin baik kualitas faktor tersebut maka semakin baik pula kadar hubungan interpersonal. 23 2.2.1.4 Etika Komunikasi Interpersonal Etika menurut Aw (2011, hal.135) merupakan suatu istilah yang mempunyai pengertian tersendiri, yakni norma, nilai, atau ukuran tingkah laku yang baik dalam kegiatan komunikasi di suatu masyarakat. Pada dasarnya komunikasi internal dapat berlangsung secara lisan maupun tertulis. Secara lisan dapat terjadi secara langsung atau tatap muka, maupun dengan menggunakan media seperti telepon, SMS, facebook, e-mail, dan sebagainya. Baik komunikasi secara langsung maupun tidak langsung, norma etika perlu diperhatikan. Aw menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses komunikasi antarpribadi atau antarindividu. Untuk menjaga proses komunikasi tersebut berjalan baik, agar tujuan komunikasi dapat tercapai tanpa menimbulkan kerenggangan hubungan antar individu, maka diperlukan etika berkomunikasi. Cara paling mudah dalam menerapkan etika komunikasi interpersonal ialah, pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi, bahkan kita semuanya sebagai anggota masyarakat, perlu memerhatikan beberapa hal berikut: Nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya setempat Segala aturan, ketentuan, tata-tertib yang sudah disepakati Adat-istiadat, kebiasaan yang dijaga kelestariannya Tata krama pergaulan yang baik Norma kesusilaan dan budi pekerti Norma sopan-santun dalam segala tindakan Dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat, antara etika dan komunikasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dimanapun orang berkomunikasi, selalu memerlukan pertimbangan etis, agar lawan bicara dapat menerima dengan baik. Berkomunikasi tidak selamanya mudah, apalagi kalau kita tidak mengetahui jati diri mereka yang kita hadapi, tentu kita akan menebak-nebak dan merancang persiapan komunikasi yang sesuai dengan tuntutan etis kedua belah pihak. Ketika kita paham tentang karakter orang yang kita hadapi kita akan lebih mudah berusaha menampilkan diri sebaikbaiknya dalam berkomunikasi. (dalam Aw, 2011, hal. 136) 24 Aw lebih lanjut menjelaskan etika yang tergambar dalam tata krama berkomunikasi adalah kebiasaan dan mungkin merupakan kesepakatan dalam hubungan antarwarga di masyarakat. Ukuran etika itu berlangsung secara selingkung, dan kadang-kadang sulit dimengerti akal sehat. Pemakaian etika dalam konteks komunikasi antar pribadi memiliki paradoks tersendiri. Di lain pihak, hal ini dapat menjadi hal yang positif namun terkadang sesuatu yang negatif dan cenderung merusak dan memperburuk keadaan juga dapat terjadi. Berbagai hal dinilai bertanggung jawab atas hal ini. Dimulai dari cara kita berkomunikasi antar sesama hingga pada saat kita menggunakan etika dalam berinteraksi. Persoalan etika yang potensial selalu melekat dalam setiap bentuk komunikasi antar pribadi sehingga komunikasi dapat dinilai dalam dimensi benar-salah, melibatkan pengaruh yang berarti terhadap manusia lain, sehingga komunikator secara sadar memilih tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai dan cara-cara komunikasi guna mencapai tujuan tersebut. Apakah seorang komunikator bertujuan menyampaikan informasi, meningkatkan pemahaman seseorang, memudahkan keputusan yang bebas pada orang lain, menawarkan nilai-nilai yang penting, memperlihatkan eksistensi dan relevansi suatu persoalan sosial, memberikan sebuah jawaban atau program aksi atau memicu pertikaian—persoalan etika yang potensial terpadu dalam upaya-upaya simbolik sang komunikator. Demikianlah keadaanya pada sebagian besar komunikasi pribadi, baik komunikasi antara dua orang, dalam kelompok kecil, dalam retorika gerakan sosial maupun dalam hubungan masyarakat. (dalam Aw, 2011, hal.136) Juga dengan munculnya ungkapan bahwa manusia adalah satu-satunya hewan “yang secara harfiah dapat disebut memiliki nilai”. Atau apabila lebih dikhususkan lagi, bahwa esensi manusia paling tinggi adalah homo ethicus, yakni manusia adalah pembuat penilaian etika. Tetapi kemudian muncul pertanyaan, mengapa mempersoalkan etika dalam komunikasi antar pribadi? Tentu, dengan menghindari pembicaraan mengenai etika dalam komunikasi, orang 25 akan bersandar pada berbagai macam pembenaran: (1) setiap orang tau bahwa teknik komunikasi tertentu adalah tidak etis jadi tidak perlu dibahas; (2) karena yang penting dalam komunikasi hanyalah masalah kesuksesan maka masalah etika tidak relevan; (3) penilaian etika hanyalah masalah penilaian individu secara pribadi sehingga tak ada jawaban pasti; dan (4) menilai etika orang lain itu menunjukkan keangkuhan atau bahkan tidak sopan. (dalam Aw, 2011, hal.137) Aw lebih lanjut menjelaskan secara potensial timbul ketegangan antara “kenyataan” dan “keharusan”, antara yang aktual dan yang ideal. Mungkin terdapat ketegangan antara apa yang dilakukan oleh setiap orang dengan apa yang menurut kita harus dilakukan orang tersebut. Mungkin terdapat konflik antara komunikasi yang kita pandang berhasil dan penilaian teknik tersebut tidak boleh digunakan karena cacat menurut etika. Kita mungkin terlalu menekankan pemahaman tentang sifat dan efektivitas teknik, proses dan metode komunikasi dengan mengorbankan perhatian pada masalah etika tentang penggunaan teknik-teknik seperti itu. Kita harus menguji bukan hanya bagaimana, melainkan juga apakah kita secara etis harus, memakai bermacam metode dan pendekatan. Masalah “apakah”, jelas bukan hanya penyesuaian khalayak, melainkan masalah etika. Kita boleh merasa bahwa tujuan-tujuan etika itu tidak dapat dicapai secara nyata sehingga tidak banyak manfaatnya. Bagaimana para pelaku dalam sebuah transaksi komunikasi pribadi menilai etika dari komunikasi itu, atau bagaimana para pengamat luar menilai etikanya, akan berbeda-beda tergantung pada standar etika yang mereka gunakan. Sebagian diantaranya bahkan mungkin akan memilih untuk tidak mempertimbangkan etika, Namun, masalah potensial etika tetap ada meskipun tidak terpecahkan atau tidak terjawab. Komunikan umumnya akan menilai, secara resmi ataupun tidak resmi, upaya komunikator berdasarkan standar etika yang relevan menurut mereka. Jika bukan karena alasan lain, selain alasan pragmatik, yakni untuk kesempatan meningkatkan kesuksesan, komunikator perlu mempertimbangkan kriteria etis para khalayaknya. 26 2.1.2.5 Komunikasi Internal Komunikasi internal perusahaan sangat penting dan layak untuk dipelajari, karena sekarang ini banyak orang yang tertarik dan memberi perhatian kepadanya guna mengetahui prinsip dan keahlian komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan tujuan organisasi, baik organisasi komersial seperti lembaga bisnis dan industri ataupun organisasi-organisasi sosial seperti lembaga rumah sakit maupun institusi pendidikan. Arus komunikasi internal yang berlangsung dalam suatu organisasi (dalam Rohim, 2009, hal.108) yaitu arus komunikasi vertikal yang terdiri dari arus komunikasi dari atas ke bawah (downward communication) dan arus komunikasi dari bawah ke atas (upward communication) serta arus komunikasi yang berlangsung antara bagian ataupun karyawan, dalam jenjang atau tingkatan yang sama. Arus komunikasi ini dikenal dengan nama komunikasi horisontal. Ronald Adler dan George Rodman (dalam Rohim, 2009, hal.109) mencoba menguraikan fungsi dari kedua arus komunikasi dalam organisasi tersebut. Pertama adalah downward communication, komunikasi ini berlangsung ketika orang-orang yang berada pada tataran manajemen mengirimkan pesan kepada bawahannya. Fungsi arus komunikasi dari atas ke bawah ini adalah: a. Pemberian atau penyampaian instruksi kerja (job instruction); b. Penjelasan dari pimpinan tentang mengapa suatu tugas perlu dilaksanakan (job rationale); c. Penyampaian informasi mengenai peraturan-peraturan yang berlaku (procedures and practices); d. Pemberian motivasi kepada karyawan untuk bekerja lebih baik. Sedangkan upward communication terjadi ketika bawahan mengirim pesan kepada atasannya. Fungsi arus komunikasi dari bawah ke atas ini adalah penyampaian informasi tentang pekerjaan ataupun tugas yang telah dilaksanakan, penyampaian informasi tentang persoalan-persoalan pekerjaan ataupun tugas yang tidak dapat diselesaikan oleh bawahan, penyampaian saran-saran perbaikan dari 27 bawahan, hingga penyampaian keluhan dari bawahan tentang dirinya sendiri maupun pekerjaannya. Arus komunikasi berikutnya adalah horizontal communication, tindak komunikasi ini berlangsung di antara para karyawan ataupun bagian yang memiliki kedudukan yang setara. Rohim menjelaskan fungsi arus komunikasi horisontal yakni : a. Memperbaiki koordinasi tugas; b. Upaya pemecahan masalah; c. Saling berbagi informasi; d. Upaya memecahkan konflik; e. Membina hubungan melalui kegiatan bersama. Tubbs dan Moss (dalam Rohim, 2009, hal.109) menguraikan adanya tiga model dalam komunikasi, Pertama, model komunikasi linier, yaitu pandangan komunikasi satu arah (one-way view of communication), dalam model ini komunikator memberikan suatu stimulus dan komunikan melakukan respons atau tanggapan yang diharapkan, tanpa mengadakan seleksi dan interpretasi. Contoh dalam komunikasi linier ini adalah teori jarum suntik (hypodermic needle theory). Model komunikasi yang kedua adalah interaksional yang merupakan kelanjutan dari pendekatan linier. Pada model ini, diperkenalkan gagasan tentang umpan balik (feedback), penerima (receiver) melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respons terhadap pesan dari pengirim (sender). Komunikasi dalam model ini, dipertimbangkan sebagai proses dua arah ataupun cyclical process, dimana setiap partisipan memiliki peran ganda, dalam arti pada suatu saat bertindak sebagai pengirim, namun pada waktu yang lain berlaku sebagai penerima pesan. Selanjutnya Tubbs dan Moss juga menyebutkan model yang ketiga yakni transaksional. Dalam pandangan transaksional, komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan di antara dua orang atau lebih. Pandangan ini menekankan bahwa semua perilaku adalah komunikatif, tidak ada satu pun yang tidak dapat dikomunikasikan. 28 Dalam suatu perusahaan baik yang berorientasi komersial maupun sosial, tindak komunikasi dalam perusahaan tersebut akan melibatkan empat fungsi yang dijelaskan oleh Rohim (2009, hal.113114), yaitu : 1. Fungsi infromatif, perusahaan dapat dipandang sebagai suatu sistem pemprosesan informasi. Maksudnya seluruh anggota dalam perusahaan berharap dapat memperoleh informasi yang lebih banyak, lebih baik, dan tepat waktu. Informasi yang didapat memungkinkan setiap anggota perusahaan dapat melaksanakan pekerjaannya secara lebih pasti. Informasi pada dasarnya dibutuhkan oleh semua orangyang mempunya perbedaan kedudukan dalam suatu perusahaan. 2. Fungsi regulatif, berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu perusahaan. Pada semua perusahaan, ada dua hal yang berpengaruh terhadap fungsi regulatif ini. Pertama, alasan atau orang-orang yang berada dalam tatanan manajemen yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang disampaikan. Di samping itu, mereka juga mempunyai kewenangan untuk memberi instruksi atau perintah, sehingga dalam struktur organisasi kemungkinan mereka ditempatkan pada lapis atas supaya perintah-perintahnya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kedua, berkaitan dengan pesan. Pesan-pesan regulatif pada dasarnya berorientasi pada kerja. Artinya, bawahan membutuhkan kepastian peraturan tentang pekerjaan yang boleh dan tidak boleh untuk dilaksanakan. 3. Fungsi persuasif, dalam mengatur suatu perusahaan, kekuasaan dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan yang lebih suka untuk mempersuasif bawahannya daripada memberi perintah. Sebab pekerjaan yang dilakukan secara sukarela oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih besar dibanding kalau pimpinan sering memperlihatkan kekuasaan dan kewenangannya. 29 4. Fungsi integratif, setiap organisasi berusaha untuk menyediakan saluran yang memungkinkan karyawan dapat melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Ada dua saluran komunikasi yang dapat mewujudkan hal tersebut, yaitu saluran komunikasi formal dan juga saluran komunikasi informal. 2.1.2.6 Komunikasi Verbal dan Nonverbal a) Komunikasi Verbal Komunikasi verbal atau sering disebut pesan verbal pada dasarnya merupakan pesan yang berupa kata atau kata-kata yang bermakna bagi individu atau kelompok (masyarakat). Kata-kata itu sering disebut dengan bahasa verbal. Menurut Dedi Mulyana (dalam Suharsono dan Lukas, 2013, hal.70), bahasa verbal merupakan sarana utama bagi individu untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Dapat ditegaskan bahwa komunikasi verbal merupakan komunikasi yang menggunakan kata-kata dalam penyampaian pesan, baik berkenaan dengan gagasan, perasaan, ataupun maksud tertentu dari komunikator kepada komunikan. Komunikasi verbal tidak semudah yang kita bayangkan. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan bicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Hal yang sangat penting dalam komunikasi verbal adalah memahami makna kata. Memahami makna kata tidak sesimpel katakata itu sendiri. Kata atau ujaran yang sama tetapi diucapkan oleh orang yang berbeda, situasi, nada atau tekanan yang berbeda memiliki makna yang berbeda. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami oleh suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah 30 abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu. (dalam Mulyana, 2012, hal.265) Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga fungsi, penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan tranmisi informasi. Penamaan atau penjulukan merupakan suatu usaha mngidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dimasukan ke dalam komunikasi. Fungsi interaksi, menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Barker berpandangan, keistimewaan dari bahasa transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat bertukar informasi, juga tidak dapat menghadirkan semua objek dan tempat untuk dimasukan ke dalam proses komunikasi. (dalam Mulyana, 2012, hal.266) b) Komunikasi Nonverbal Menurut Deddy Mulyana (dalam Suharsono, 2013, hal.74) Secara sederhana, komunikasi nonverbal dapat diartikan sebagai bentuk komunikasi atau penyampaian pesan yang berupa semua bentuk isyarat yang bukan kata-kata. Pesan nonverbal memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam komunikasi. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencangkup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang memiliki nilai potensial bagi pengirim atau penerima, jadi definisi ini mencangkup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan. Kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain. (dalam Rohim, 2012, hal. 343) Ada sebuah dugaan bahwa bahasa nonverbal sebangun dengan bahasa verbalnya. Artinya, pada dasarnya suatu kelompok yang punya 31 bahasa verbal khas juga dilengkapi dengan bahasa nonverbal khas yang sejajar dengan bahasa verbal tersebut. Pesan nonverbal sama dengan pesan verbal, yaitu tidak memiliki nilai universal, terikat oleh suatu budaya masyarakat di mana pesan verbal dan nonverbal itu berkembang dan digunakan oleh masyarakat itu. Menurut Mulyana, bahwa perilaku pesan verbal bersifat eksplisit dan pesan nonverbal bersifat spontan dan kadangkadang berlangsung begitu cepat dan tidak disadari. Dikatakan oleh T.Hall (dalam Suharsono, 2013, hal.76) bahwa bahasa nonverbal itu merupakan “bahasa diam” dan tersembunyi (silent language). Yang dimaksud diam dan tersembunyi aadalah bahwa pesan nonverbal itu maknanya tergantung pada dimensi situasi dan konteks komunikasi. Perbedaan pokok antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Pertama, sementara perilaku verbal adalah saluran tunggal, perilaku nonverbal bersifat multisaluran. Kata-kata datang dari satu sumber, misalnya yang diucapkan orang, yang kita baca dalam media cetak, tetapi isyarat nonverbal dapat dilihat, didengar, dirasakan, dibaui, atau dicicipi, dan beberapa isyarat boleh jadi berlangsung secara simultan (Verderber, dalam Rohim, 2012, hal. 348). Kedua, pesan verbal terpisah-pisah, sedangkan pesan nonverbal saling bersinambung. Artinya, orang dapat mengawali dan mengakhiri pesan verbal kapan pun ia menghendakinya, sedangkan pesan nonverbal akan terus berlanjut atau mengalir, selama ada orang yang hadir di dekatnya. Ini mengingatkan pada satu prinsip komunikasi bahwa kita tidak dapat tidak berkomunikasi, setiap perilaku punya potensi untuk ditafsirkan. Jadi meskipun mungkin untuk menutup saluran linguistik ketika berkomunikasi dengan menolak berbicara atau menulis, tetapi tidak dimungkinkan untuk menolak berperilaku nonverbal. Perbedaan ketiga, Verderber juga menjelaskan komunikasi nonverbal mengandung lebih banyak muatan emosional daripada komunikasi verbal. Sementara kata-kata umumnya digunakan untuk mencapai fakta, pengetahuan atau keadaan, pesan nonverbal lebih potensial untuk menyatakan perasaan seseorang, yang terdalam 32 sekalipun, seperti rasa sayang atau sedih (dalam Rohim, 2012, hal.349). 2.1.2.7 Komunikasi Organisasi a) Definisi Komunikasi Organisasi Redding dan Sanborn mengatakan bahwa komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Katz dan Khan mengatakan bahwa komunikasi organisasi merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti dalam suatu organisasi. Zelko dan Dance mendefinisikan komunikasi organisasi dengan suatu sistem yang saling tergantung yang mencangkup komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Sedangkan Thayer menggunakan pendekatan sistem secara umum dalam memandang komunikasi organisasi. Menurutnya, komunikasi organisasi merupakan arus data yang akan melayani komunikasi organisasi dan proses interkomunikasi dalam beberapa cara. Thayer menyebutkan minimal ada tiga sistem komunikasi dalam organisasi, yaitu pertama, berkenaan dengan kerja organisasi seperti data mengenai tugas-tugas atau beroperasinya organisasi; kedua, berkenaan dengan pengaturan organisasi seperti perintah, aturan dan petunjuk; ketiga, berkenaan dengan pemeliharaan dan pengembangan organisasi seperti hubungan dengan personal dan masyarakat dan pihak eksternal lainnnya. (dalam Rohim, 2009, hal.110) R, Wayne Pace dan Don F. Faules (dalam Rohim, 2009, hal.110) mengemukakan definisi komunikasi organisasi dari dua perspektif yang berbeda. Pertama, perspektif tradisional (fungsional dan objektif), mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Kedua, perspektif interpretif (subjektif) memaknai komunikasi organisasi sebagai proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan organisasi. Atau dengan kata lain bahwa komunikasi organisasi menurut perspektif ini adalah “perilaku pengorganisasian” yang terjadi dan bagaimana 33 mereka yang terlibat dalam proses itu berinteraksi dan memberi makna atas apa yang sedang terjadi. b) Definisi Fungsional Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi menurut Pace dan Faules (2010, hal.31) dapat didefinisikan sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari unit-unit komunikasi dalam hubungan-hubungan hirearkis antara yang satu dengan lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan. Dalam bukunya, Pace dan Faules juga menjelaskan bahwa komunikasi organisasi terjadi kapanpun setidak-tidaknya satu orang yang menduduki suatu jabatan dalam suatu organisasi menafsirkan suatu pertunjukan. Karena fokusnya adalah komunikasi di antara anggota-anggota suatu organisasi, analisis komunikasi organisasi menyangkut penelaahan atas banyak transaksi yang terjadi secara simultan. Sistem tersebut menyangkut pertunjukan dan penafsiran pesan di antara lusinan atau bahkan ratusan individu pada saat yang sama yang memiliki jenis-jenis hubungan berlainan yang menghubungkan mereka; yang pikiran, keputusan, dan perilakunya diatur oleh kebijakan-kebijakan, regulasi, dan “aturan-aturan”; yang mempunyai gaya berlainan dalam berkomunikasi, mengelola, dan memimpin; yang dimotivasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang berbeda; yang berada pada tahap perkembangan berlainan dalam berbagai kelompok; yang mempunyai tingkat ketelitian pesan yang berlainan; dan yang membutuhkan penggunaan tingkat materi dan energi yang berbeda untuk berkomunikasi efektif. Interaksi di antara semua faktor tersebut, disebut dengan sistem komunikasi organisasi. c) Definisi Interpretif Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi, dipandang dari suatu perspektif interpretif (subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan organisasi. Proses interaksi tersebut tidak mencerminkan organisasi; proses interaksi tersebut adalah organisasi. Komunikasi organisasi adalah “perilaku pengorganisasian” yang 34 terjadi dan bagaimana mereka yang terlibat dalam proses itu bertransaksi dan memberi makna atas apa yang sedang terjadi. Realitas organisasi adalah suatu konstruksi subjektif “yang mampu lenyap saat anggotanya tidak lagi menganggapnya demikian.” Lebih jelasnya, komunikasi organisasi adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi. Berdasarkan pembahasan kita terdahulu, pandangan “objektif” atas organisasi menekankan “struktur”, sementara organisasi berdasarkan pandangan “subjektif” menekankan “proses”. Komunikasi lebih dari sekadar alat, komunikasi adalah cara berfikir. (dalam Pace dan Faules, 2010, hal.33). 2.2.2 Bidang Kajian Public Relations 2.2.2.1 Strategi Public Relations Untuk mengetahui bagaimana strategi suatu Public Relations, terlebih dahulu menjelaskan bagaimana prosesnya berlangsung: Tata Cara, Kegiatan Kebijaksanaan Management (Tanggung jawab sosial, kepentingan publik) Mengkomunikasikan Opini Publik, kecenderungan sosietal kepada management Analisis, Evaluasi sikap publik, kecenderungan sosial. Penindakan program kegiatan, komunikasi berencana Penelitian Tujuan, Itikad baik, pengertian, penerimaan Penelitian Gambar 2.1. Proses Public Relations (Effendy, 2009, hal.121) Evaluasi terhadap program dan hasil 35 Seperti yang tampak pada bagan di atas, proses Public Relations dilaksanakan melalui penelitian yang mengevaluasi sikap atau opini publik, yang kemudian dikomunikasikan kepada pimpinan ataupun manajemen organisasi. Tata cara, kegiatan, dan kebijaksanaan adalah sesuatu yang diperhitungkan dengan bagaimana sikap serta opini publik. Tata cara, kegiatan, dan kebijaksanaan tersebut juga masih bisa diubah atau dimodifikasi Seorang Public Relations dalam pelaksanaan tugasnya, diselenggarakan melalui 4 tahap (dalam Effendy, 2009, hal.124-131), yaitu : 1) Penelitian (Research) Tahap pertama merupakan tahap dimana seorang Public Relations mengumpulkan atau mendapatkan data dan fakta, data dan fakta yang didapat harus selengkap-engkapnya sesuai dengan pekerjaan apa yang sedag dilakukan. Dalam tahap penelitian ini, Public Relations hanya mendapatkan data mentah saja, sehingga Public Relations harus mengolah data tersebut. Pengolahan data Public Relations bisa dimulai dengan pertimbangan, perbandingan, dan penilaian yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu kesimpulan atau hasil dari penelitian yang dilakukan tersebut. 2) Perencanaan (Planning) Pada tahap ini Public Relations melakukan penyusunan daftar masalah. Penyusunan daftar ini dimaksudkan agar dapat dilakukan pemikiran dengan cepat untuk mengatasinya dan sekaligus menentukan orang-orangnya yang akan melakukan pelaksanaannya nanti. Perencanaan perlu dipikirkan dengan matang, karena kegiatan ini merupakan salah satu tahap yang ikut menentukan suksesnya pekerjaan seorang Public Relations secara keseluruhan. 3) Penggiatan (Action) Tahap action dari kegiatan Public Relations ini merupakan kegiatan komunikasi, bentuk kegiatan yang dilakukan yang berdasarkan pada data dan fakta yang telah didapatkan, dan dicari jalan keluar dalam pemecahan masalah yang sedang dihadapi. 4) Evaluasi (Evaluation) Evaluasi adalah tahap akhir setelah tahap penelitian, perencanaan, dan penggiatan. Pada tahap evaluasi, perubahan bisa saja terjadi, sebab dalam 36 tahap ini termasuk juga pengawasan terhadap hal-hal yang sudah dijalankan. Jadi sebelum pelaksanaan berakhir sepenuhnya, seorang Public Relations telah melakukan pengawasan untuk mengetahui, apakah pelaksanaannya berdasarkan rencana atau tidak, dan apakah perlu diubah atau tidak. Soemirat dan Ardianto (2013, hal. 91) menyebutkan bahwa sama seperti bagian divisi lain dalam perusahaan, untuk memberi kontribusi kepada rencana kerja jangka panjang itu, praktisi humas dapat melakukan langkahlangkah yang berikut : 1. Menyampaikan fakta dan opini, baik yang beredar di dalam maupun di luar perusahaan. Bahan-bahan itu dapat diperoleh dari kliping media massa dalam kurun waktu tertentu, dengan melakukan penelitian terhadap naskah-naskah pidato pimpinan, bahan yang dipublikasikan perusahaan, serta melakukan wawancara tertentu dengan pihak-pihak yang berkepentingan atau dianggap penting. 2. Menelusuri dokumen resmi perusahaan dan mempelajari perubahan yang terjadi secara historis. Perubahan umumnya disertai dengan perubahan sikap perusahaan terhadap publiknya atau sebaliknya. 3. Melakukan analisis SWOT, meski tidak perlu menganalisis hal-hal yang berada di luar jangkauannya, seorang praktisi humas perlu melakukan analisis yang berbobot mengenai persepsi dari luar dan dalam perusahaan atas SWOT yang dimilikinya. Misalnya menyangkut masa depan industri yang ditekuninya, citra yang dimiliki perusahaan, kultur yang dimiliki serta potensi lain yang dimiliki perusahaan. Pearce dan Robinson (dalam Soemirat dan Ardianto, 2013, hal.92) mengembangkan langkah-langkah strategic management sebagai berikut : a) Menentukan misi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah pernyataan yang umum mengenai maksud pendirian, filosofi, dan sasaran. b) Mengembangkan company profile yang mencerminkan kondisi intern perusahaan dan kemampuan yang dimilikinya. c) Penilaian terhadap lingkungan ekstern perusahaan, baik dari segi semangat kompetitif mamuoun secara umum. d) Analisis terhadap peluang yang tersedia dari lingkungan. e) Identifikasi atas pilihan yang dikehendaki yang tidak dapat digenapi untuk memenuhi tuntutan misi perusahaan. 37 f) Mengembangkan objektif tahunan dan rencana jangka pendek yang selaras dengan objektif jangka panjang dan garis besar strategi. g) Implementasi atas hasil hal-hal di atas dengan menggunakan sumber yang tercantum pada anggaran dan menggabungkan rencana tersebut dengan sumber daya manusia, struktur, teknologi dan sistem balas jasa yang memungkinkan. h) Review dan evaluasi atas hal-hal yang telah dicapai dalam setiap periode jangka pendek sebagai suatu proses untuk melakukan kontrol dan sebagai input bagi pengambilan keputusan di masa depan. Humas dapat memberikan kontribusinya dalam proses strategic management, ungkap Kasali, melalui dua cara, yang pertama melakukan tugasnya sebagai bagian dari strategic management keseluruhan organisasi dengan melakukan survey atas lingkungan dan membantu mendefinisikan misi, sarana, dan objektif organisasi atau perusahaan. Keterlibatan humas dalam proses menyeluruh ini akan memberi manfaat yang besar bagi perusahaan dan sekaligus bagi humas itu sendiri, khususnya pada tingkat korporat. Yang kedua, humas dapat berperan dalam strategic management dengan mengelola kegiatannya secara strategi. Artinya bersedia mengorbankan kegiatan jangka pendek demi arah perusahaan secara menyeluruh. Perencanaan dalam Public Relations, kata Seitel (dalam Soemirat dan Ardianto, 2012, hal.95), adalah suatu hal yang esensial tidak hanya untuk mengetahui dimana suatu kampanye khusus yang dikedepankan, tetapi juga untuk memperoleh dukungan top manajemen. Perencanaan memerlukan pemikiran. Perencanaan suatu program Public Relations jangka pendek untuk mempromosikan pelayanan baru barangkali memerlukan sedikit pemikiran dan waktu dibandingkan dengan perencana kampanye jangka panjang untuk memperoleh dukungan bagi suatu isu kebijakan publik. 2.3 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran menunjukkan proses bagaimana dengan adanya strategi komunikasi internal, komunikasi interpersonal dan etika komunikasi interpersonal yang baik, dapat menciptakan sebuah kegiatan untuk 38 memperbaiki dan membina etika di dalam suatu perusahaan yang kemudian akan menghasilkan etika ideal bagi perusahaan tersebut. Komunikasi Organisasi Kegiatan memperbaiki dan membina etika Menghasilkan etika ideal bagi perusahaan Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dibentuk berdasarkan beberapa teori inti yang dipilih sesuai dengan bagaimana teori tersebut akan menjawab pertanyaan penelitian, teori-teori yang menjadi teori inti tersebut antara lain strategi komunikasi internal menurut Kasali, komunikasi interpersonal menurut Theodorson, dan etika komunikasi interpersonal menurut Suranto Aw.