BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Sebelumnya

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Sebelumnya (State of the Art)
Penelitian Sebelumnya atau State of the Art adalah sebuah arah atau
acuan sejauh mana penelitian yang kita buat sesuai dengan topik yang telah
dipilih. Menurut Berchers (2012, hal.85) bahwa:
“The term "state of the art" refers to the highest level of general
development, as of a device, technique, or scientific field achieved at a
particular time. It also refers to the level of development (as of a device,
procedure, process, technique, or science) reached at any particular time as
a result of the common methodologies employed.”
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan penelitian dengan
beberapa jurnal-jurnal pilihan yang mengangkat topik yang sama. Secara
garis besar jurnal-jurnal ini memiliki topik yang sama yakni mengenai etika,
namun perbedaan juga terlihat dari jenis etika yang digunakan. Salah satu
jurnal dari Roni Tabroni (2014) yang berjudul “Etika Komunikasi Politik
dalam Ruang Media Massa” yang lebih mengarahkan etika disini kepada
penggunaan etika dalam proses komunikasi politik.
Penelitian dari Amir Mu’min Solihin (2011) yang berjudul “Etika
Komunikasi Lisan Menurut Al-Quran: Kajian Tafsir Tematik” yang melihat
etika dari sudut pandang keagamaan, juga penelitian dari Olivia Sinarta dan
Dhyah Harjanti (2014) yang berjudul “Penerapan Etika Bisnis pada PT. X”
yang menjelaskan penggunaan etika untuk kegiatan bisnis.
Jurnal dari Tyler J. Sinclair (2013) “Understanding Divison – Ethical
Sports Scandal, Their Public Relations Approaches and Effects” juga
mengandung pembahasan etika dimana dijelaskan penggunaan etika untuk
menyelesaikan konflik perusahaan, serta jurnal dari Artimis Panigyraki
(2013) yang berjudul “The Effects of Applied Business Ethics on Consumers’
Perceptions in the Fast Moving Consumers’ Goods (FMGC) Sector” yang
juga menjelaskan mengenai bagaimana penggunaan etika dalam kegiatan
bisnis.
7
8
Tabel 2.1
No.
Keterangan
1.
Judul
Penelitian
2.
Metode/
Teori yang
digunakan
3.
Subjek
Penelitian
Roni Tabroni
Amir Mu’min
Solihin
Olivia Sinarta
dan Dhyah
Harjanti
Artimis
Panigyraki
Tyler J. Sinclair
Panita Nabilah
2014
2011
2014
2011
2013
2014
UNDERSTANDI
NG DIVISON –
ETHICAL
SPORTS
SCANDAL,
THEIR PUBLIC
RELATIONS
APPROACHES
AND EFFECTS
STRATEGI
KOMUNIKASI
INTERNAL
DALAM
MEMPERBAIK
I ETIKA
KOMUNIKASI
INTERPERSON
AL (STUDI
KASUS PADA
KOMUNIKASI
INTERNAL DI
M&C!
COMICS)
ETIKA
KOMUNIKAS
I POLITIK
DALAM
RUANG
MEDIA
MASSA
ETIKA
PENERAPAN
KOMUNIKASI ETIKA BISNIS
LISAN
PADA PT. X
MENURUT
AL-QURAN:
KAJIAN
TAFSIR
TEMATIK
THE EFFECTS
OF APPLIED
BUSINESS
ETHICS ON
CONSUMERS’
PERCEPTIONS
IN THE FAST
MOVING
CONSUMERS’
GOODS (FMCG)
SECTOR
Metode
Deskriptif
Kualitatif
Aktivitas
Komunikasi
Politik
Metode Telaah
Perpustakaan
Metode Deskriptif Quantitative
Kualitatif
Method
Quantitave
Method
Metode Kualitatif
Studi Kasus
Etika
Komunikasi
Subjek dalam
penelitian ini
adalah orangorang
yangmenjadi
Division-I
collegiate
institution
Komunikasi
Internal
pada
divisi
m&c!
comics
grup
penerbit Kompas
Consumers’
Perceptions
9
4.
Hasil
Penelitian
Tanpa dibarengi
dengan etika
dalam proses
komunikasi
politik yang
menggunakan
ruang media
massa,
perkembangan
demokrasi akan
cenderung
destruktif, tidak
mendidik.
Padahal, jika
dalam
demokrasi
membutuhkan
partisipasi
sumber informasi
atau orang-orang
yang
bersangkutan
dalam proses
penelitian ini,
yaitu crown
stardirector,
manajer, dan
customer yang
ada pada PT. X
Komunikasi
PT. X memiliki
mendapat
kewajiban moral
perhatian sangat yang berada pada
besar dalam
tahap
agama islam dan Postcoventional
mengarahkanny dan
menggunakan
a agar setiap
muslim
pendekatan
memakai etika
physchological
islami dalam
dimana
berkomunikasi. perusahaan
ini
Hal itu dapat
dibuktikan
mengimplementas
dengan
ikan etika bisnis
banyaknya ayat- sesuai prinsipprinsip
ayat yang
yang ada. Tujuan
berkaitan
dengan etika
PT. X ini adalah
Gramedia
As
a
final
conclusion
we
propose
that
consummation does
not come from the
pursue
of
satisfaction rrough
materialsm
and
profit maximization
alone but also
trough
ethiucal
behavior and good
judgement, so to
see our role as to
seek what is good
and ethical for
people, not just
their bellies
These
results
showed that an
ethical
sports
scandal
negatively affects
public perception
of the program
and university in
which it occurs.
Participants
attached several
negative
emotions,
attitudes,
and
opinions
when
asked a variety of
questions.
The
participants also
Menghasilkan
kesimpulan bahwa
di
dalam
lingkungan
internal
m&c!
comics,
komunikasi
internal
yang
terjalin
dapat
bersifat
formal
maupun informal
sesuai
dengan
situasi dan kondisi
yang
dihadapi.
Dan
untuk
komunikasi
interpersonal, baik
komunikasi
10
masyarakat,
maka opini
publik yang
dilakukan para
pihak yang
berkepentingan
dengan politik,
sewajarnya
dilakukan
dengan caracara yang baik,
beretika,
bermoral, dan
mengedepankan
kepentingan
umum.
komunikasi,
baik dalam AlQur’an maupun
hadits.
melayani semua
stakeholder dan
berkomitmen
pada
semua stakeholde
r. PT.
X ini membentuk
sebuah nature yan
g terdiri
dari culture
yang mengandung
integritas moral.
Dimana
perusahaan ini
memiliki
kewajiban moral
dan prinsip yang
kuat dalam
penerapan etika b
isnis pada PT. X.
Hal itu
diwujudkan oleh
para leader,
manajer, dan
staf yang terlibat
dalam PT. X
dimana
penerapan etika b
isnis pada
felt that the image
restoration
strategy used in
this study was
primarily
ineffective
in
restoring
the
overall image of
the program and
university. These
results,
along
with the general
process of this
study, will be
discussed within
the framework of
this paper.
veerbal
dan
nonverbal
juga
dilakukan. Etika
di
dalam
lingkungan
ini
bukan
suatu
keharusan,
dimana
divisi
lebih
mengutamakan
suasana
kekeluargaan
daripada suasana
formal yang justru
terbilang kaku.
11
perusahaan ini
dapat
digolongkan
ke physchological
dimana
perusahaan ini
mempunya
level personal
development yang
berada pada
tahap postconvent
ional dan mereka
memiliki 7
prinsip yang
terdiri dari prinsip
otonomi, prinsip
kejujuran. prinsip
keadilan, prinsip
saling
menguntungkan,
integritas moral,
prinsip kelestarian
lingkungan hidup,
prinsip
keselamatan
konsumen
5.
Perbedaan
masing-
Penelitian ini
meneliti tentang
Meneliti etika
komunikasi,
Penelitian ini
lebih menjelaskan
Penelitian ini lebih
mengarah kepada
Walaupun
penelitian
Penelitian
ini tentang
ini
12
masing
Penelitian
6.
Persamaan
masingmasing
Penelitian
etika
komunikasi
namun lebih
mengarah pada
etika
komunikasi
politik dan
bagaimana
aktivitasaktivitasnya
namun
penelitian ini
lebih melihat
bagaimana etika
komunikasi dari
segi keagamaan
atau bagaimana
menurut agama
islam
bagaimana etika
bisnis dalam
suatu perusahaan,
dan bagaimana
eetika bisnis itu
sendiri yang
beerpeeran besar
dalam
berkembangnya
perusahaan
Sama-sama
meneliti
bagaimana
pentingnya etika
komunikasi
Sama-sama
meneliti
bagaimana
pentingnya etika
komunikasi
Adalah penelitian
yang memiliki
pembahasan etika
di dalamnya
etika bisnis,
dimana etika bisnis
sangat berperan
dalam persepsi
konsumen akan
suatu produk dan
salah satu faktor
seorang konsumen
memilih produk
Sama-sama
meneliti
pentingnya etika
menggunakan
etika komunikasi,
namun penelitian
ini
lebih
mengarah kepada
bagaimana peran
komunikasi
dalam
menyelesaikan
konflik terutama
berupa skandal
Penelitian ini
memiliki etika
komunikasi di
dalamnya
bagaimana
strategi
komunikasi
internal
dalam
memperbaiki etika
komunikasi
interpersonal yang
ada di dalam
lingkungannya.
Penelitian ini
sama-sama
berbicara tentang
komunikasi dan
etika.
13
2.2
Landasan Konseptual
Beberapa teori konsep yang bersinggungan erat dengan bidang kajian
dengan skripsi yang dibuat :
2.2.1
Bidang Kajian Komunikasi
2.2.1.1 Strategi
Kasali
(dalam
Soemirat
dan
Ardianto,
2012,
hal.90)
menjelaskan bahwa strategi adalah cara dimana ketika suatu
organisasi atau lembaga akan mencapai tujuannya, tetapi dengan
melihat peluang-peluang dan ancaman-ancaman lingkungan eksternal
yang dihadapi, juga bagaimana sumber daya dan kemampuan internal.
Istilah strategi sering pula disebut rencana strategis atau
rencana jangka panjang perusahaan. Suatu rencana strategis
perusahaan menetapkan garis-garis besar tindakan strategis yang akan
diambil dalam kurun waktu tertentu ke depan. Berapa lama waktu
yang akan dicakup tentu amat bervariasi. Di masa lalu para ahli
menyebut sekitar 25 tahun, tetapi dewasa ini jarang sekali perusahaan
yang berani menetapkan arahnya untuk 25 tahun ke depan. Sebagian
besar membuatnya lima sampai sepuluh tahun. Alasannya perubahan
yang terjadi belakangan ini sangat sulit diterka arahnya. Setiap
perubahan itu saling kait mengait, sehingga perkiraan terjauh yang
dapat diduga menjadi amat terbatas. (Kasali, dalam Soemirat dan
Ardianto, 2012, hal.90).
Kasali lebih jauh menyebutkan rencana jangka panjang inilah
yang menjadi pegangan bagi para praktisi Public Relations untuk
menyusun berbagai rencana teknis, dan langkah komunikasi yang
akan diambil sehari-hari. Untuk dapat bertindak secara strategis,
kegiatan Public Relations harus menyatu dengan visi dan misi
perusahaannya. Selain memiliki arti sebagai “jangka panjang” strategi
juga menyandang persamaan sebagai “strategi”. Kata strategi itu
sendiri mempunyai pengertian yang terkait dengan hal-hal seperti
kemenangan, kehidupan, atau daya juang. Artinya menyangkut
dengan hal-hal yang berkaitan dengan mampu atau tidaknya
perusahaan dalam menghadapi tekanan yang muncul dari dalam atau
dari luar.
14
James E. Grunig dan Fred Repper, dalam Soemirat dan
Ardianto (2012, hal.93) mengemukakan model strategic management
dalam kegiatan Public Relations melalui tujuh tahapan, dimana tiga
tahapan pertama mempunyai cakupan luas sehingga lebih bersifat
analisis, yakni :
1. Tahap
stakeholders,
mempunyai
hubungan
sebuah
dengan
organisasi
publiknya
atau
perusahaan
apabila
perilaku
perusahaan tersebut mempunyai pengaruh terhadap stakeholdernya atau sebaliknya. Humas harus melakukan survey untuk terus
membaca perkembangan lingkungannya, dan membaca perilaku
organisasinya serta menganalisis konsekuensi yang akan timbul.
Komunikasi yang dilakukan secara kontinyu dengan stakeholders
ini membantu perusahaan untuk tetap stabil.
2. Tahap publik, publik terbentuk ketika organisasi atau perusahaan
menyadari adanya masalah tertentu. Berdasarkan hasil penelitian
Grunig dan Hunt (dalam Soemirat dan Ardianto, 2012, hal. 94),
yang menyimpulkan bahwa publik muncul sebagai akibat adanya
masalah dan bukan sebaliknya. Dengan kata lain publik selalu
eksis apabila ada masalah yang mempunyai potensi akibat
terhadap mereka. Publik bukanlah kumpulan suatu massa umum
biasa, mereka sangat efektif dan spesifik terhadap suatu
kepentingan tertentu dan masalah tertentu. Oleh karena itu humas
harus terus menerus mengidentifikasi publik yang muncul
terhadap berbagai macam masalah. Biasanya dilakukan melalui
wawancara mendalam pada suatu focus group.
3. Tahap isu, publik muncul sebagai konsekuensi dari adanya
masalah selalu mengorganisasi
dan menciptakan isu. Yang
dimaksud dengan isu disini bukanlah isu dalam arti kabar burung
atau kabar resmi yang berkonotasi negatif, melainkan suatu tema
yang dipersoalkan. Mulanya pokok persoalan demikian luas dan
mempunyai banyak pokok, tetapi kemudian akan terjadi
kristalisasi sehingga pokoknya akan menjadi lebih jelas karena
pihak-pihak yang terkait saling melakukan diskusi.
15
2.2.1.2 Etika
a) Pengertian Etika
Secara etimologi “etika” berasal dari kata bahasa Yunani ethos.
Dalam bentuk tunggal, “ethos” berarti tempat tinggal yang biasa. Padang
rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, perasaan, cara berfikir. Dalam
bentuk jamak, ta etha berarti adat kebiasaan. Dalam istilah filsafat, etika
berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dalah ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak. Etika dibedakan dalam tiga
pengertian pokok, yaitu ilmu tentang apa yang baik dan kewajiban moral,
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan ini maka etika dapat diartikan sebagai nilai-nilai atau norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. (dalam Mufid, 2012, hal.173)
Mufid, dalam bukunya (2012, hal.174) juga menjelaskan bahwa
tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong
manusia untuk mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dari
dalam, supaya manusia mencapai kesadaran moral yang otonom. Etika
menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan
antara “etika deskriptif” dan “etika normatif”, Etika deskriptif memberi
gambaran dari gejala kesadaran moral, dari norma dan konsep-konsep
etis. Etika normatif tidak berbicara lagi tentang gejala, melainkan tentang
apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan manusia. Dalam etika
normatif, norma dinilai dan setiap manusia ditentukan.
Pendapat Endersen, yang disitir Effendy (dalam Soemirat dan
Ardianto, 2012, hal. 170) mendefinisikan etika sebagai suatu studi
tentang nilai-nilai dan landasan bagi penerapannya. Ia bersangkutan
dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa itu kebaikan dan keburukan
dan bagaimana seharusnya. Disebutkan pula istilah-istilah etika, etis,
moralitas, dan moral acapkali dipergunakan secara tertukar sehingga
membingungkan. Tetapi etika hanya berkaitan dengan tingkah laku atau
perbuatan, suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja dalam keadaan
sadar, sehingga patut dihukum. Bagaimana jenis hukuman dan berat
16
tidaknya hukuman yang dikenakan bergantung pada tindakan yang
dilakukan.
b) Etika Komunikasi
Dalam berbagai kesempatan, komunikasi diperlihatkan sebagai
ilmu yang berhubungan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan
yang lain. Ini menandakan bahwa komunikasi menyentuh berbagai
macam bidang kehidupan manusia. Komunikasi juga menyentuh aspek
ilmu dalam bidang komunikasi. Apa yang terjadi apabila nilai, gagasan,
dan ide komunikasi justru tidak dikomunikasikan. Etika komunikasi
mencoba untuk mengelaborasi standar etis yang digunakan oleh
komunikator dan komunikan. Setidaknya ada tujuh perspektif etika
komunikasi yang bisa dilihat dalam perspektif yang bersangkutan.
(dalam Mufid, 2012, hal.185-186)
1. Perspektif
politik.
Dalam
perspektif
ini,
etika
untuk
mengembangkan kebiasaan ilmiah dalam praktek berkomunikasi,
menumbuhkan
bersikap
adil
dengan
memilih
atas
dasar
kebebasan, pengutamaan motivasi, dan menanamkan penghargaan
atas perbedaan.
2. Perspektif sifat manusia. Sifat manusia yang paling mendasar
adalah kemampuan berfikir dan kemampuan menggunakan
simbol. Ini berarti bahwa tindakan manusia yang benar-benar
manusiawi adalah berasal dari rasionalitas yang sadar atas apa
yang dilakukan dan dengan bebas untuk memilih melakukannya.
3. Perspektif dialogis. Komunikasi adalah proses transaksi dialogal
dua arah. Sikap dialogal adalah sikap setiap partisipan komunikasi
yang ditandai oleh kualitas keutamaan, seperti keterbukaan,
kejujuran, kerukunan, intensitas dan lain-lainnya.
4. Perspektif situasional. Faktor situasional adalah relevansi bagi
setiap penilaian moral. Ini berarti bahwa etika memperhatikan
peran dan fungsi komunikator, standar khalayak, derajat
kesadaran, tingkat urgensi pelaksanaan komunikator, tujuan dan
nilai khalayak, standar khalayak untuk komunikasi etis.
17
5. Perspektif religius. Kitab suci atau habit religius dapat dipakai
sebagai standar mengevaluasi etika komunikasi. Pendekatan
alkitabiah dalam agama membantu manusia untuk menemukan
pedoman yang kurang lebih pasti dalam setiap tindakan manusia.
6. Perspektif utilitarian. Standar utilitarian untuk mengevaluasi cara
dan tujuan komunikasi dapat dilihat dari adanya kegunaan,
kesenangan, dan kegembiraan.
7. Perspektif legal. Perilaku komunikasi
yang legal, sangat
disesuaikan dengan peraturan yang berlaku dan dianggap sebagai
perilaku yang etis.
Pentingnya pemahaman etika bagi pejabat humas karena
menyangkut penampilan (profile) dalam rangka menciptakan dan
membina citra perusahaan yang diwakilinya. Dua konsep penting dari
humas tersebut diidentifikasi oleh G. Sachs dalam Soemirat dan
Ardianto (2012, hal.171) sebagai berikut :
“Citra (image) adalah pengetahuan mengenai kita dan sikapsikap terhadap kita yang mempunya kelompok-kelompok kepentingan
yang berbeda. Penampilan adalah pengetahuan mengenai suatu sikap
terhadap kita yang kita inginkan mempunyai ragam kelompok
kepentingan.”
Penjelasan G. Sachs, dapat disimak bahwa citra adalah dunia
sekeliling kita yang memandang kita. Penampilan adalah definisi kita
sendiri dari titik pandang mengenai kita.
Dalam hubungannya dengan kegiatan manajemen perusahaan
sikap etislah yang harus ditunjukkan seorang humas dalam profesinya
sehari-hari. Seorang humas harus menguasai etika-etika umum dan
tidak umum (dalam Soemirat dan Ardianto, 2012, hal.175) antara lain:
1) Good communicator for internal and external public.
2) Tidak terlepas dari faktor kejujuran sebagai landasan utamanya.
3) Memberikan kepada bawahan atau karyawan adanya sense of
belonging dan sense of wanted pada perusahaanya, agar para
karyawan merasa diakui dan dibutuhkan.
4) Etika sehari-hari dalam berinteraksi dan berkomunikasi harus
tetap dijaga.
18
5) Menyampaikan informasi-informasi penting kepada anggota dan
kelompok yang berkepentingan.
6) Menghormati prinsip-prinsip rasa hormat terhadap nilai-nilai
manusia.
7) Menguasai teknik dan cara penanggulangan kasus-kasus,
sehingga dapat memberikan keputusan, dan pertimbangan secara
bijaksana.
8) Mengenal batas-batas yang berdasarkan pada moralitas dalam
profesinya.
9) Penuh dedikasi dalam profesinya.
10) Menaati kode etik humas.
2.2.1.3 Komunikasi Interpersonal
Theodorson (dalam Rohim, 2009, hal.69) mengemukakan
bahwa komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu orang
atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu
kepada satu orang atau sekelompok lain. Proses pengalihan informasi
tersebut selalu mengandung pengaruh tertentu. Komunikasi yang
efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Kegagalan
komunikasi sekunder terjadi, bila isi pesan kita pahami tetapi
hubungan di antara komunikasi menjadi rusak. Setiap kali kita
melakukan komunikasi, kita tidak saja sekadar menyampaikan isi
pesan tetapi kita juga menentukan kadar hubungan interpersonal,
bukan saja menentukan “centent” tetapi juga “relationship”.
Adapun bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi dapat
dibedakan atas dua bagian, pertama komunikasi diadik (dyadic
communication), yakni komunikasi yang berlangsung antar dua orang.
Orang pertama adalah komunikator yang menyampaikan pesan dan
seorang lagi adalah komunikan yang menerima pesan tersebut. Dalam
komunikasi ini komunikator selalu memusatkan perhatiannya hanya
pada diri komunikan seorang tersebut, sehingga ketika dialog terjadi
antara keduanya selalu berlangsung serius dan intensif. Bentuk
komunikasi
lainnya
adalah
komunikasi
triadik
(triadic
communication), yakni komunikasi antarpribadi yang pelakunya
19
terdiri dari tiga orang, yakni seorang komunikator dan dua orang
komunikan. Jika misalnya A yang menjadi komunikator, maka ia
pertama-tama yang akan menyampaikan komunikasi kepada B,
kemudian kalau ditanggapi beralih kepada komunikan C secara
berdialogis. (dalam Rohim, 2009, hal.70)
Rohim juga menjelaskan apabila dibandingkan dengan
komunikasi triadik, maka komunikasi diadik lebih efektif, karena
komunikator memusatkan perhatiannya kepada seorang komunikan,
sehingga seorang komunikator dapat menguasai frame of reference
komunikan sepenuhnya. Selain itu umpan balik yang berlangsung
juga terjadi, hal ini disebabkan karena proses komunikasi yang
berlangsung efektif, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Pada dasarnya komunikasi interpersonal adalah bentuk
komunikasi tatap muka langsung, dialogis yang terjadi antara individu
dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok
dengan kelompok. Berikut adalah definisi lain yang telah dibuat oleh
beberapa ahli tentang komunikasi interpersonal. Joseph A. Devito
(dalam Suharsono dan Lukas, 2013, hal.86) mendefinisikan
komunikasi interpersonal sebagai berikut:
“Interpersonal communication is the communication that
takes place between two persons who have an established
relationship, the people are in some way ‘connected’.”
Jika dicermati definisi DeVito di atas menunjukkan bahwa
komunikasi interpersonal itu dilihat dari tingkat keintimannya atau
kedekatan proses komunikasi itu. Definisinya terutama menekankan
pada jumlah orang yang terlibat dalam komunikasi interpersonal itu
yang hanya dibatasi sebanyak dua orang dan sudah memiliki
hubungan pribadi yang sangat dekat. Oleh karena itu komunikasi
interpersonal terutama terjadi dalam hubungan sebagai berikut:
“Interpersonal communication would thus include what take
place between a son and his father, an employer and an employee,
two sisters, a teacher and a student, two lovers, two friends, and so
on.”
20
Suharsono dan Lukas, (2012, hal.87) menyebutkan beberapa
definisi yang dibuat oleh para ahli Indonesia yang mencoba mengkaji
pengertian komunikasi interpersonal dari pendekatan yang lebih luas
lagi. Tidak hanya memfokuskan pada jumlah peserta yang hanya dua
orang, tetapi dapat juga diakukan oleh lebih dari dua orang, seperti
dalam komunikasi kelompok besaar atau kecil. Menurut Agus M.
Hardjana komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar
dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat mengirimkan pesan
secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan
menanggapi secara langsung pula. Sedangkan Yuyun Wirasasmita
menyatakan bahwa komunikasi antarpersonal terjadi terutama di
antara dua orang atau beberapa orang (kuantitatif) yang bersifat
alamiah dan dapat menghasilkan suatu hubungan produktif secara
terus-menerus (kualitatif).
Menurut Agus M. Hardjana (dalam Suharsono dan Lukas,
2013, hal. 90) komunikasi interpersonal memiliki beberapa ciri antara
lain :
1) Verbal dan nonverbal, pada dasarnya semua bentuk komunikasi
dapat dilakukan dengan bahasa verbal dan nonverbal. Bahasa
verbal merupakan bahasa lisan maupun tulisan (tertulis), bahasa
nonverbal merupakan isyarat, lambang-lambang dan sebagainya.
Penggunaan bahasa verbal lisan dan bahasa isyarat memang
lebih efektif digunakan dalam komunikasi interpersona, tetapi
dengan kemajuan teknologi komunikasi, bahasa lisan juga sering
digunakan komunikasi massa, misalnya melalui berbagai bentuk
rekaman (kaset, CD, dan lainnya).
2) Mencangkup perilaku tertentu, yakni perilaku spontan, menurut
kebiasaan, dan perilaku sadar. Perilaku spontan dapat terjadi
sewaktu-waktu dan kadang-kadang tanpa disadari sepenuhnya
oleh
pelaku.
Menurut
kebiasaan,
adalah
komunikasi
interpersonal yang dilakukan menurut kebiasaan tertentu sesuai
dengan
latar
belakang
budaya
mereka
yang
sedang
berkomunikasi. Perilaku sadar, menggambarkan bahwa ketika
melakukan komunikasi orang dengan kesadaran penuh akan
21
memilih dan menyesuaikan tindakannya, pilihan itu mencakup
misalnya, dengan siapa, kapan, di mana akan melalukan
komunikasi itu.
3) Berproses pengembangan, komunikasi interpersonal diharapkan
ada kelanjutannya, yakni bagaimana sebuah hubungan yang
semula terbentuk memunculkan harapan dengan pertemuan
tersebut akan menyambung kembali tali persaudaraan atau
pertemanan yang selama ini sudah terjalin baik.
4) Mengandung umpan balik, interaksi, dan koherensi, pada
dasarnya setiap komunikasi itu terjadi umpan balik atau respons.
Namun dalam komunikasi interpersonal, umpan baliknya itu
dapat terjadi seketika, langsung dan lebih cepat karena biasanya
komunikasinya berlangsung secara tatap muka. Dengan begitu
maka
terjadi
interaksi
atau
hubungan
langsung
antara
komunikator dan komunikan. Di samping itu, biasanya karena
bersifat langsung tatap muka maka koherensi atau keakraban
atau kedekatan dapat dijaga dengan baik dan lebih mudah karena
masing-masing dapat dengan langsung mengamati bagaimana
proses komunikasi itu berjalan.
5) Berjalan menurut aturan tertentu, Komunikasi interpersonal itu
berlangsung menurut aturan yang berlaku pada masyarakat itu.
Terutama ini terjadi pada komunikasi kelompok, misalnya ketika
melakukan presentasi atau kunjungan atau penelitian ke tempat
masyarakat yang lain, harus dapat menyesuaikan dengan
berbagai aturan dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat itu.
6) Kegiatan aktif, komunikasi interpersonal merupakan suatu
kegiatan aktif. Aktif dalam artian bahwa antara komunikator dan
komunikan langsung bertemu, oleh karena itu berbagai respon
dapat terjadi pada saat itu juga. Dalam proses komunikasi ini
pada dasarnya terjadi proses dialogis atau proses saling memberi
informasi bagi kedua belah pihak.
7) Saling mengubah, komunikasi pada dasarnya tidak hanya
menyampaikan pesan atau informasi saja, tetapi juga perubahan
perilaku sesuai dengan pesan yang disampaikan itu. Jelasnya
22
bahwa komunikassi itu dikatakan berhasil atau efektif apabila
membawa dampak perubahan seperti pemikiran, perasaan, sikap,
dan perilaku.
Menurut
Aw
(2011,
hal.30)
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi kadar hubungan interpersonal adalah sebagai berikut :
a. Toleransi, toleransi menghendaki adanya kemauan masingmasing pihak untuk menghargai dan menghormati perasaan
pihak lain.
b. Kesempatan-kesempatan yang seimbang, rasa memperoleh
keadilan dari interaksi akan menentukan kadar hubungan
interpersonal.
c. Sikap menghargai orang lain, sikap menghendaki adanya
pemahaman bahwa setiap orang itu memiliki martabat.
d. Sikap mendukung bukan sikap bertahan, sikap mendukung
berarti sikap memberikan persetujuan terhadap orang lain.
e. Sikap terbuka, sikap untuk membuka diri, mengatakan tentang
keadaan dirinya secara terbuka dan apa adanya.
f. Pemilik bersama atas informasi.
g. Kepercayaan, kepercayaan adalah perasaan bahwa tidak ada
bahaya dari orang lain dalam suatu hubungan.
h. Keakraban, merupakan pemenuhan kebutuhan akan kasih
sayang, kedekatan dan kehangatan.
i. Kesejajaran, posisi yang sama antara kedua belah pihak.
j. Kontrol atau pengawasan.
k. Respon, ketepatan dalam memberikan tanggapan.
l. Suasana emosional, ketika komunikasi berlangsung tunjukkan
dengan ekspresi yang relevan.
Dari ke dua belas faktor tersebut, masing-masing dapat
memberikan pengaruh terhadap kadar hubungan interpersonal secara
positif, artinya semakin baik kualitas faktor tersebut maka semakin
baik pula kadar hubungan interpersonal.
23
2.2.1.4 Etika Komunikasi Interpersonal
Etika menurut Aw (2011, hal.135) merupakan suatu istilah
yang mempunyai pengertian tersendiri, yakni norma, nilai, atau
ukuran tingkah laku yang baik dalam kegiatan komunikasi di suatu
masyarakat. Pada dasarnya komunikasi internal dapat berlangsung
secara lisan maupun tertulis. Secara lisan dapat terjadi secara
langsung atau tatap muka, maupun dengan menggunakan media
seperti telepon, SMS, facebook, e-mail, dan sebagainya. Baik
komunikasi secara langsung maupun tidak langsung, norma etika
perlu diperhatikan.
Aw menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal merupakan
proses komunikasi antarpribadi atau antarindividu. Untuk menjaga
proses komunikasi tersebut berjalan baik, agar tujuan komunikasi
dapat tercapai tanpa menimbulkan kerenggangan hubungan antar
individu, maka diperlukan etika berkomunikasi. Cara paling mudah
dalam menerapkan etika komunikasi interpersonal ialah, pihak-pihak
yang terlibat dalam proses komunikasi, bahkan kita semuanya sebagai
anggota masyarakat, perlu memerhatikan beberapa hal berikut:
Nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya setempat
Segala aturan, ketentuan, tata-tertib yang sudah disepakati
Adat-istiadat, kebiasaan yang dijaga kelestariannya
Tata krama pergaulan yang baik
Norma kesusilaan dan budi pekerti
Norma sopan-santun dalam segala tindakan
Dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat, antara etika
dan komunikasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Dimanapun orang berkomunikasi, selalu memerlukan pertimbangan
etis, agar lawan bicara dapat menerima dengan baik. Berkomunikasi
tidak selamanya mudah, apalagi kalau kita tidak mengetahui jati diri
mereka yang kita hadapi, tentu kita akan menebak-nebak dan
merancang persiapan komunikasi yang sesuai dengan tuntutan etis
kedua belah pihak. Ketika kita paham tentang karakter orang yang
kita hadapi kita akan lebih mudah berusaha menampilkan diri sebaikbaiknya dalam berkomunikasi. (dalam Aw, 2011, hal. 136)
24
Aw lebih lanjut menjelaskan etika yang tergambar dalam tata
krama berkomunikasi adalah kebiasaan dan mungkin merupakan
kesepakatan dalam hubungan antarwarga di masyarakat. Ukuran etika
itu berlangsung secara selingkung, dan kadang-kadang sulit
dimengerti akal sehat. Pemakaian etika dalam konteks komunikasi
antar pribadi memiliki paradoks tersendiri. Di lain pihak, hal ini dapat
menjadi hal yang positif namun terkadang sesuatu yang negatif dan
cenderung merusak dan memperburuk keadaan juga dapat terjadi.
Berbagai hal dinilai bertanggung jawab atas hal ini. Dimulai dari cara
kita berkomunikasi antar sesama hingga pada saat kita menggunakan
etika dalam berinteraksi.
Persoalan etika yang potensial selalu melekat dalam setiap
bentuk komunikasi antar pribadi sehingga komunikasi dapat dinilai
dalam dimensi benar-salah, melibatkan pengaruh yang berarti
terhadap manusia lain, sehingga komunikator secara sadar memilih
tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai dan cara-cara komunikasi
guna mencapai tujuan tersebut. Apakah seorang komunikator
bertujuan menyampaikan informasi, meningkatkan pemahaman
seseorang, memudahkan keputusan yang bebas pada orang lain,
menawarkan nilai-nilai yang penting, memperlihatkan eksistensi dan
relevansi suatu persoalan sosial, memberikan sebuah jawaban atau
program aksi atau memicu pertikaian—persoalan etika yang potensial
terpadu dalam upaya-upaya simbolik sang komunikator. Demikianlah
keadaanya pada sebagian besar komunikasi pribadi, baik komunikasi
antara dua orang, dalam kelompok kecil, dalam retorika gerakan
sosial maupun dalam hubungan masyarakat. (dalam Aw, 2011,
hal.136)
Juga dengan munculnya ungkapan bahwa manusia adalah
satu-satunya hewan “yang secara harfiah dapat disebut memiliki
nilai”. Atau apabila lebih dikhususkan lagi, bahwa esensi manusia
paling tinggi adalah homo ethicus, yakni manusia adalah pembuat
penilaian etika. Tetapi kemudian muncul pertanyaan, mengapa
mempersoalkan etika dalam komunikasi antar pribadi? Tentu, dengan
menghindari pembicaraan mengenai etika dalam komunikasi, orang
25
akan bersandar pada berbagai macam pembenaran: (1) setiap orang
tau bahwa teknik komunikasi tertentu adalah tidak etis jadi tidak perlu
dibahas; (2) karena yang penting dalam komunikasi hanyalah masalah
kesuksesan maka masalah etika tidak relevan; (3) penilaian etika
hanyalah masalah penilaian individu secara pribadi sehingga tak ada
jawaban pasti; dan (4) menilai etika orang lain itu menunjukkan
keangkuhan atau bahkan tidak sopan. (dalam Aw, 2011, hal.137)
Aw lebih lanjut menjelaskan secara potensial timbul
ketegangan antara “kenyataan” dan “keharusan”, antara yang aktual
dan yang ideal. Mungkin terdapat ketegangan antara apa yang
dilakukan oleh setiap orang dengan apa yang menurut kita harus
dilakukan
orang
tersebut.
Mungkin
terdapat
konflik
antara
komunikasi yang kita pandang berhasil dan penilaian teknik tersebut
tidak boleh digunakan karena cacat menurut etika. Kita mungkin
terlalu menekankan pemahaman tentang sifat dan efektivitas teknik,
proses dan metode komunikasi dengan mengorbankan perhatian pada
masalah etika tentang penggunaan teknik-teknik seperti itu. Kita harus
menguji bukan hanya bagaimana, melainkan juga apakah kita secara
etis harus, memakai bermacam metode dan pendekatan. Masalah
“apakah”, jelas bukan hanya penyesuaian khalayak, melainkan
masalah etika. Kita boleh merasa bahwa tujuan-tujuan etika itu tidak
dapat dicapai secara nyata sehingga tidak banyak manfaatnya.
Bagaimana para pelaku dalam sebuah transaksi komunikasi
pribadi menilai etika dari komunikasi itu, atau bagaimana para
pengamat luar menilai etikanya, akan berbeda-beda tergantung pada
standar etika yang mereka gunakan. Sebagian diantaranya bahkan
mungkin akan memilih untuk tidak mempertimbangkan etika, Namun,
masalah potensial etika tetap ada meskipun tidak terpecahkan atau
tidak terjawab. Komunikan umumnya akan menilai, secara resmi
ataupun tidak resmi, upaya komunikator berdasarkan standar etika
yang relevan menurut mereka. Jika bukan karena alasan lain, selain
alasan pragmatik, yakni untuk kesempatan meningkatkan kesuksesan,
komunikator perlu mempertimbangkan kriteria etis para khalayaknya.
26
2.1.2.5 Komunikasi Internal
Komunikasi internal perusahaan sangat penting dan layak
untuk dipelajari, karena sekarang ini banyak orang yang tertarik dan
memberi perhatian kepadanya guna mengetahui prinsip dan keahlian
komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan tujuan
organisasi, baik organisasi komersial seperti lembaga bisnis dan
industri ataupun organisasi-organisasi sosial seperti lembaga rumah
sakit maupun institusi pendidikan. Arus komunikasi internal yang
berlangsung dalam suatu organisasi (dalam Rohim, 2009, hal.108)
yaitu arus komunikasi vertikal yang terdiri dari arus komunikasi dari
atas ke bawah (downward communication) dan arus komunikasi dari
bawah ke atas (upward communication) serta arus komunikasi yang
berlangsung antara bagian ataupun karyawan, dalam jenjang atau
tingkatan yang sama. Arus komunikasi ini dikenal dengan nama
komunikasi horisontal.
Ronald Adler dan George Rodman (dalam Rohim, 2009,
hal.109) mencoba menguraikan fungsi dari kedua arus komunikasi
dalam organisasi tersebut. Pertama adalah downward communication,
komunikasi ini berlangsung ketika orang-orang yang berada pada
tataran manajemen mengirimkan pesan kepada bawahannya. Fungsi
arus komunikasi dari atas ke bawah ini adalah:
a. Pemberian atau penyampaian instruksi kerja (job instruction);
b. Penjelasan dari pimpinan tentang mengapa suatu tugas perlu
dilaksanakan (job rationale);
c. Penyampaian informasi mengenai peraturan-peraturan yang
berlaku (procedures and practices);
d. Pemberian motivasi kepada karyawan untuk bekerja lebih baik.
Sedangkan upward communication terjadi ketika bawahan
mengirim pesan kepada atasannya. Fungsi arus komunikasi dari
bawah ke atas ini adalah penyampaian informasi tentang pekerjaan
ataupun tugas yang telah dilaksanakan, penyampaian informasi
tentang persoalan-persoalan pekerjaan ataupun tugas yang tidak dapat
diselesaikan oleh bawahan, penyampaian saran-saran perbaikan dari
27
bawahan, hingga penyampaian keluhan dari bawahan tentang dirinya
sendiri maupun pekerjaannya.
Arus
komunikasi
berikutnya
adalah
horizontal
communication, tindak komunikasi ini berlangsung di antara para
karyawan ataupun bagian yang memiliki kedudukan yang setara.
Rohim menjelaskan fungsi arus komunikasi horisontal yakni :
a. Memperbaiki koordinasi tugas;
b. Upaya pemecahan masalah;
c. Saling berbagi informasi;
d. Upaya memecahkan konflik;
e. Membina hubungan melalui kegiatan bersama.
Tubbs dan Moss (dalam Rohim, 2009, hal.109) menguraikan
adanya tiga model dalam komunikasi, Pertama, model komunikasi
linier, yaitu pandangan komunikasi satu arah (one-way view of
communication), dalam model ini komunikator memberikan suatu
stimulus dan komunikan melakukan respons atau tanggapan yang
diharapkan, tanpa mengadakan seleksi dan interpretasi. Contoh dalam
komunikasi linier ini adalah teori jarum suntik (hypodermic needle
theory). Model komunikasi yang kedua adalah interaksional yang
merupakan kelanjutan dari pendekatan linier. Pada model ini,
diperkenalkan gagasan tentang umpan balik (feedback), penerima
(receiver) melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respons
terhadap pesan dari pengirim (sender). Komunikasi dalam model ini,
dipertimbangkan sebagai proses dua arah ataupun cyclical process,
dimana setiap partisipan memiliki peran ganda, dalam arti pada suatu
saat bertindak sebagai pengirim, namun pada waktu yang lain berlaku
sebagai penerima pesan.
Selanjutnya Tubbs dan Moss juga menyebutkan model yang
ketiga
yakni
transaksional.
Dalam
pandangan
transaksional,
komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan di antara
dua orang atau lebih. Pandangan ini menekankan bahwa semua
perilaku adalah komunikatif, tidak ada satu pun yang tidak dapat
dikomunikasikan.
28
Dalam suatu perusahaan baik yang berorientasi komersial
maupun sosial, tindak komunikasi dalam perusahaan tersebut akan
melibatkan empat fungsi yang dijelaskan oleh Rohim (2009, hal.113114), yaitu :
1. Fungsi infromatif, perusahaan dapat dipandang sebagai suatu
sistem pemprosesan informasi. Maksudnya seluruh anggota
dalam perusahaan berharap dapat memperoleh informasi yang
lebih banyak, lebih baik, dan tepat waktu. Informasi yang didapat
memungkinkan setiap anggota perusahaan dapat melaksanakan
pekerjaannya secara lebih pasti. Informasi pada dasarnya
dibutuhkan oleh semua orangyang mempunya perbedaan
kedudukan dalam suatu perusahaan.
2. Fungsi regulatif, berkaitan dengan peraturan-peraturan yang
berlaku pada suatu perusahaan. Pada semua perusahaan, ada dua
hal yang berpengaruh terhadap fungsi regulatif ini. Pertama,
alasan atau orang-orang yang berada dalam tatanan manajemen
yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan
semua informasi yang disampaikan. Di samping itu, mereka juga
mempunyai kewenangan untuk memberi instruksi atau perintah,
sehingga dalam struktur organisasi kemungkinan mereka
ditempatkan pada lapis atas supaya perintah-perintahnya
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kedua, berkaitan dengan
pesan. Pesan-pesan regulatif pada dasarnya berorientasi pada
kerja. Artinya, bawahan membutuhkan kepastian peraturan
tentang
pekerjaan
yang
boleh
dan
tidak
boleh
untuk
dilaksanakan.
3. Fungsi persuasif, dalam mengatur suatu perusahaan, kekuasaan
dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan
yang diharapkan. Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan
yang lebih suka untuk mempersuasif bawahannya daripada
memberi perintah. Sebab pekerjaan yang dilakukan secara
sukarela oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang
lebih besar dibanding kalau pimpinan sering memperlihatkan
kekuasaan dan kewenangannya.
29
4. Fungsi integratif, setiap organisasi berusaha untuk menyediakan
saluran yang memungkinkan karyawan dapat melaksanakan
tugas dan pekerjaan dengan baik. Ada dua saluran komunikasi
yang dapat mewujudkan hal tersebut, yaitu saluran komunikasi
formal dan juga saluran komunikasi informal.
2.1.2.6 Komunikasi Verbal dan Nonverbal
a) Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal atau sering disebut pesan verbal pada
dasarnya merupakan pesan yang berupa kata atau kata-kata yang
bermakna bagi individu atau kelompok (masyarakat). Kata-kata itu
sering disebut dengan bahasa verbal. Menurut Dedi Mulyana (dalam
Suharsono dan Lukas, 2013, hal.70), bahasa verbal merupakan sarana
utama bagi individu untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud
kita. Dapat ditegaskan bahwa komunikasi verbal merupakan
komunikasi yang menggunakan kata-kata dalam penyampaian pesan,
baik berkenaan dengan gagasan, perasaan, ataupun maksud tertentu
dari komunikator kepada komunikan. Komunikasi verbal tidak
semudah yang kita bayangkan. Simbol atau pesan verbal adalah
semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir
semua rangsangan bicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori
pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar
untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan.
Hal yang sangat penting dalam komunikasi verbal adalah
memahami makna kata. Memahami makna kata tidak sesimpel katakata itu sendiri. Kata atau ujaran yang sama tetapi diucapkan oleh
orang yang berbeda, situasi, nada atau tekanan yang berbeda memiliki
makna yang berbeda. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan
untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan
dan dipahami oleh suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana
utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa
verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai
aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah
30
abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang
merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu.
(dalam Mulyana, 2012, hal.265)
Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga fungsi,
penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan tranmisi informasi.
Penamaan atau penjulukan merupakan suatu usaha mngidentifikasi
objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga
dapat dimasukan ke dalam komunikasi. Fungsi interaksi, menekankan
berbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan
pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Melalui bahasa,
informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Barker berpandangan,
keistimewaan dari bahasa transmisi informasi yang lintas-waktu,
dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan,
memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi. Tanpa bahasa,
manusia
tidak
dapat
bertukar
informasi,
juga
tidak
dapat
menghadirkan semua objek dan tempat untuk dimasukan ke dalam
proses komunikasi. (dalam Mulyana, 2012, hal.266)
b) Komunikasi Nonverbal
Menurut Deddy Mulyana (dalam Suharsono, 2013, hal.74)
Secara sederhana, komunikasi nonverbal dapat diartikan sebagai
bentuk komunikasi atau penyampaian pesan yang berupa semua
bentuk isyarat yang bukan kata-kata. Pesan nonverbal memiliki
pengaruh yang sangat kuat dalam komunikasi. Menurut Larry A.
Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencangkup
semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting
komunikasi,
yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan
lingkungan oleh individu, yang memiliki nilai potensial bagi pengirim
atau penerima, jadi definisi ini mencangkup perilaku yang disengaja
juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara
keseluruhan. Kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari
bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain. (dalam Rohim,
2012, hal. 343)
Ada sebuah dugaan bahwa bahasa nonverbal sebangun dengan
bahasa verbalnya. Artinya, pada dasarnya suatu kelompok yang punya
31
bahasa verbal khas juga dilengkapi dengan bahasa nonverbal khas
yang sejajar dengan bahasa verbal tersebut.
Pesan nonverbal sama dengan pesan verbal, yaitu tidak
memiliki nilai universal, terikat oleh suatu budaya masyarakat di
mana pesan verbal dan nonverbal itu berkembang dan digunakan oleh
masyarakat itu. Menurut Mulyana, bahwa perilaku pesan verbal
bersifat eksplisit dan pesan nonverbal bersifat spontan dan kadangkadang berlangsung begitu cepat dan tidak disadari. Dikatakan oleh
T.Hall (dalam Suharsono, 2013, hal.76) bahwa bahasa nonverbal itu
merupakan “bahasa diam” dan tersembunyi (silent language). Yang
dimaksud diam dan tersembunyi aadalah bahwa pesan nonverbal itu
maknanya tergantung pada dimensi situasi dan konteks komunikasi.
Perbedaan pokok antara komunikasi verbal dan komunikasi
nonverbal. Pertama, sementara perilaku verbal adalah saluran tunggal,
perilaku nonverbal bersifat multisaluran. Kata-kata datang dari satu
sumber, misalnya yang diucapkan orang, yang kita baca dalam media
cetak, tetapi isyarat nonverbal dapat dilihat, didengar, dirasakan,
dibaui, atau dicicipi, dan beberapa isyarat boleh jadi berlangsung
secara simultan (Verderber, dalam Rohim, 2012, hal. 348).
Kedua,
pesan
verbal
terpisah-pisah,
sedangkan
pesan
nonverbal saling bersinambung. Artinya, orang dapat mengawali dan
mengakhiri pesan verbal kapan pun ia menghendakinya, sedangkan
pesan nonverbal akan terus berlanjut atau mengalir, selama ada orang
yang hadir di dekatnya. Ini mengingatkan pada satu prinsip
komunikasi bahwa kita tidak dapat tidak berkomunikasi, setiap
perilaku punya potensi untuk ditafsirkan. Jadi meskipun mungkin
untuk menutup saluran linguistik ketika berkomunikasi dengan
menolak berbicara atau menulis, tetapi tidak dimungkinkan untuk
menolak berperilaku nonverbal.
Perbedaan ketiga, Verderber juga menjelaskan komunikasi
nonverbal mengandung lebih banyak muatan emosional daripada
komunikasi verbal. Sementara kata-kata umumnya digunakan untuk
mencapai fakta, pengetahuan atau keadaan, pesan nonverbal lebih
potensial untuk menyatakan
perasaan seseorang, yang terdalam
32
sekalipun, seperti rasa sayang atau sedih (dalam Rohim, 2012,
hal.349).
2.1.2.7 Komunikasi Organisasi
a) Definisi Komunikasi Organisasi
Redding dan
Sanborn
mengatakan
bahwa
komunikasi
organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam
organisasi yang kompleks. Katz dan Khan mengatakan bahwa
komunikasi
organisasi
merupakan
arus
informasi,
pertukaran
informasi dan pemindahan arti dalam suatu organisasi. Zelko dan
Dance mendefinisikan komunikasi organisasi dengan suatu sistem
yang saling tergantung yang mencangkup komunikasi internal dan
komunikasi eksternal. Sedangkan Thayer menggunakan pendekatan
sistem secara umum dalam memandang komunikasi organisasi.
Menurutnya, komunikasi organisasi merupakan arus data yang akan
melayani komunikasi organisasi dan proses interkomunikasi dalam
beberapa cara. Thayer menyebutkan minimal ada tiga sistem
komunikasi dalam organisasi, yaitu pertama, berkenaan dengan kerja
organisasi seperti data mengenai tugas-tugas atau beroperasinya
organisasi; kedua, berkenaan dengan pengaturan organisasi seperti
perintah, aturan dan petunjuk; ketiga, berkenaan dengan pemeliharaan
dan pengembangan organisasi seperti hubungan dengan personal dan
masyarakat dan pihak eksternal lainnnya. (dalam Rohim, 2009,
hal.110)
R, Wayne Pace dan Don F. Faules (dalam Rohim, 2009,
hal.110) mengemukakan definisi komunikasi organisasi dari dua
perspektif yang berbeda. Pertama, perspektif tradisional (fungsional
dan
objektif),
mendefinisikan
komunikasi
organisasi
sebagai
pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang
merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Kedua, perspektif
interpretif (subjektif) memaknai komunikasi organisasi sebagai proses
penciptaan makna atas interaksi yang merupakan organisasi. Atau
dengan kata lain bahwa komunikasi organisasi menurut perspektif ini
adalah “perilaku pengorganisasian” yang terjadi dan bagaimana
33
mereka yang terlibat dalam proses itu berinteraksi dan memberi
makna atas apa yang sedang terjadi.
b) Definisi Fungsional Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi menurut Pace dan Faules (2010,
hal.31) dapat didefinisikan sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan
di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu
organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari unit-unit komunikasi
dalam hubungan-hubungan hirearkis antara yang satu dengan lainnya
dan berfungsi dalam suatu lingkungan.
Dalam bukunya, Pace dan Faules juga menjelaskan bahwa
komunikasi organisasi terjadi kapanpun setidak-tidaknya satu orang
yang menduduki suatu jabatan dalam suatu organisasi menafsirkan
suatu pertunjukan. Karena fokusnya adalah komunikasi di antara
anggota-anggota suatu organisasi, analisis komunikasi organisasi
menyangkut penelaahan atas banyak transaksi yang terjadi secara
simultan. Sistem tersebut menyangkut pertunjukan dan penafsiran
pesan di antara lusinan atau bahkan ratusan individu pada saat yang
sama
yang
memiliki
jenis-jenis
hubungan
berlainan
yang
menghubungkan mereka; yang pikiran, keputusan, dan perilakunya
diatur oleh kebijakan-kebijakan, regulasi, dan “aturan-aturan”; yang
mempunyai gaya berlainan dalam berkomunikasi, mengelola, dan
memimpin; yang dimotivasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang
berbeda; yang berada pada tahap perkembangan berlainan dalam
berbagai kelompok; yang mempunyai tingkat ketelitian pesan yang
berlainan; dan yang membutuhkan penggunaan tingkat materi dan
energi yang berbeda untuk berkomunikasi efektif. Interaksi di antara
semua faktor tersebut, disebut dengan sistem komunikasi organisasi.
c) Definisi Interpretif Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi, dipandang dari suatu perspektif
interpretif (subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi
yang
merupakan
organisasi.
Proses
interaksi
tersebut
tidak
mencerminkan organisasi; proses interaksi tersebut adalah organisasi.
Komunikasi organisasi adalah “perilaku pengorganisasian” yang
34
terjadi dan bagaimana mereka yang terlibat dalam proses itu
bertransaksi dan memberi makna atas apa yang sedang terjadi.
Realitas organisasi adalah suatu konstruksi subjektif “yang mampu
lenyap saat anggotanya tidak lagi menganggapnya demikian.” Lebih
jelasnya, komunikasi organisasi adalah proses penciptaan makna atas
interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi.
Berdasarkan pembahasan kita terdahulu, pandangan “objektif” atas
organisasi menekankan “struktur”, sementara organisasi berdasarkan
pandangan “subjektif” menekankan “proses”. Komunikasi lebih dari
sekadar alat, komunikasi adalah cara berfikir. (dalam Pace dan Faules,
2010, hal.33).
2.2.2
Bidang Kajian Public Relations
2.2.2.1 Strategi Public Relations
Untuk mengetahui bagaimana strategi suatu Public Relations, terlebih
dahulu menjelaskan bagaimana prosesnya berlangsung:
Tata Cara, Kegiatan
Kebijaksanaan
Management
(Tanggung jawab sosial, kepentingan publik)
Mengkomunikasikan Opini
Publik, kecenderungan
sosietal kepada
management
Analisis, Evaluasi
sikap publik,
kecenderungan
sosial.
Penindakan
program kegiatan,
komunikasi
berencana
Penelitian
Tujuan, Itikad
baik, pengertian,
penerimaan
Penelitian
Gambar 2.1. Proses Public Relations
(Effendy, 2009, hal.121)
Evaluasi terhadap
program dan hasil
35
Seperti yang tampak pada bagan di atas, proses Public Relations
dilaksanakan melalui penelitian yang mengevaluasi sikap atau opini publik,
yang kemudian dikomunikasikan kepada pimpinan ataupun manajemen
organisasi. Tata cara, kegiatan, dan kebijaksanaan adalah sesuatu yang
diperhitungkan dengan bagaimana sikap serta opini publik. Tata cara,
kegiatan, dan kebijaksanaan tersebut juga masih bisa diubah atau
dimodifikasi
Seorang
Public
Relations
dalam
pelaksanaan
tugasnya,
diselenggarakan melalui 4 tahap (dalam Effendy, 2009, hal.124-131), yaitu :
1) Penelitian (Research)
Tahap pertama merupakan tahap dimana seorang Public Relations
mengumpulkan atau mendapatkan data dan fakta, data dan fakta yang
didapat harus selengkap-engkapnya sesuai dengan pekerjaan apa yang sedag
dilakukan. Dalam tahap penelitian ini, Public Relations hanya mendapatkan
data mentah saja, sehingga Public Relations harus mengolah data tersebut.
Pengolahan data Public Relations bisa dimulai dengan pertimbangan,
perbandingan, dan penilaian yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu
kesimpulan atau hasil dari penelitian yang dilakukan tersebut.
2) Perencanaan (Planning)
Pada tahap ini Public Relations melakukan penyusunan daftar
masalah. Penyusunan daftar ini dimaksudkan agar dapat dilakukan pemikiran
dengan cepat untuk mengatasinya dan sekaligus menentukan orang-orangnya
yang akan melakukan pelaksanaannya nanti. Perencanaan perlu dipikirkan
dengan matang, karena kegiatan ini merupakan salah satu tahap yang ikut
menentukan
suksesnya
pekerjaan
seorang
Public
Relations
secara
keseluruhan.
3) Penggiatan (Action)
Tahap action dari kegiatan Public Relations ini merupakan kegiatan
komunikasi, bentuk kegiatan yang dilakukan yang berdasarkan pada data dan
fakta yang telah didapatkan, dan dicari jalan keluar dalam pemecahan
masalah yang sedang dihadapi.
4) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi adalah tahap akhir setelah tahap penelitian, perencanaan, dan
penggiatan. Pada tahap evaluasi, perubahan bisa saja terjadi, sebab dalam
36
tahap ini termasuk juga pengawasan terhadap hal-hal yang sudah dijalankan.
Jadi sebelum pelaksanaan berakhir sepenuhnya, seorang Public Relations
telah melakukan pengawasan untuk mengetahui, apakah pelaksanaannya
berdasarkan rencana atau tidak, dan apakah perlu diubah atau tidak.
Soemirat dan Ardianto (2013, hal. 91) menyebutkan bahwa sama
seperti bagian divisi lain dalam perusahaan, untuk memberi kontribusi kepada
rencana kerja jangka panjang itu, praktisi humas dapat melakukan langkahlangkah yang berikut :
1. Menyampaikan fakta dan opini, baik yang beredar di dalam maupun di
luar perusahaan. Bahan-bahan itu dapat diperoleh dari kliping media
massa dalam kurun waktu tertentu, dengan melakukan penelitian
terhadap naskah-naskah pidato pimpinan, bahan yang dipublikasikan
perusahaan, serta melakukan wawancara tertentu dengan pihak-pihak
yang berkepentingan atau dianggap penting.
2. Menelusuri dokumen resmi perusahaan dan mempelajari perubahan
yang terjadi secara historis. Perubahan umumnya disertai dengan
perubahan sikap perusahaan terhadap publiknya atau sebaliknya.
3. Melakukan analisis SWOT, meski tidak perlu menganalisis hal-hal yang
berada di luar jangkauannya, seorang praktisi humas perlu melakukan
analisis yang berbobot mengenai persepsi dari luar dan dalam
perusahaan atas SWOT yang dimilikinya. Misalnya menyangkut masa
depan industri yang ditekuninya, citra yang dimiliki perusahaan, kultur
yang dimiliki serta potensi lain yang dimiliki perusahaan.
Pearce dan Robinson (dalam Soemirat dan Ardianto, 2013, hal.92)
mengembangkan langkah-langkah strategic management sebagai berikut :
a) Menentukan misi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah pernyataan
yang umum mengenai maksud pendirian, filosofi, dan sasaran.
b) Mengembangkan company profile yang mencerminkan kondisi intern
perusahaan dan kemampuan yang dimilikinya.
c) Penilaian terhadap lingkungan ekstern perusahaan, baik dari segi
semangat kompetitif mamuoun secara umum.
d) Analisis terhadap peluang yang tersedia dari lingkungan.
e) Identifikasi atas pilihan yang dikehendaki yang tidak dapat digenapi
untuk memenuhi tuntutan misi perusahaan.
37
f) Mengembangkan objektif tahunan dan rencana jangka pendek yang
selaras dengan objektif jangka panjang dan garis besar strategi.
g) Implementasi atas hasil hal-hal di atas dengan menggunakan sumber
yang tercantum pada anggaran dan menggabungkan rencana tersebut
dengan sumber daya manusia, struktur, teknologi dan sistem balas jasa
yang memungkinkan.
h) Review dan evaluasi atas hal-hal yang telah dicapai dalam setiap periode
jangka pendek sebagai suatu proses untuk melakukan kontrol dan
sebagai input bagi pengambilan keputusan di masa depan.
Humas dapat memberikan kontribusinya dalam proses strategic
management, ungkap Kasali, melalui dua cara, yang pertama melakukan
tugasnya sebagai bagian dari strategic management keseluruhan organisasi
dengan melakukan survey atas lingkungan dan membantu mendefinisikan
misi, sarana, dan objektif organisasi atau perusahaan. Keterlibatan humas
dalam proses menyeluruh ini akan memberi manfaat yang besar bagi
perusahaan dan sekaligus bagi humas itu sendiri, khususnya pada tingkat
korporat. Yang kedua, humas dapat berperan dalam strategic management
dengan
mengelola
kegiatannya
secara
strategi.
Artinya
bersedia
mengorbankan kegiatan jangka pendek demi arah perusahaan secara
menyeluruh.
Perencanaan dalam Public Relations, kata Seitel (dalam Soemirat dan
Ardianto, 2012, hal.95), adalah suatu hal yang esensial tidak hanya untuk
mengetahui dimana suatu kampanye khusus yang dikedepankan, tetapi juga
untuk memperoleh dukungan top manajemen. Perencanaan memerlukan
pemikiran. Perencanaan suatu program Public Relations jangka pendek untuk
mempromosikan pelayanan baru barangkali memerlukan sedikit pemikiran
dan waktu dibandingkan dengan perencana kampanye jangka panjang
untuk memperoleh dukungan bagi suatu isu kebijakan publik.
2.3
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran menunjukkan proses bagaimana dengan adanya
strategi komunikasi internal, komunikasi interpersonal dan etika komunikasi
interpersonal yang baik, dapat menciptakan sebuah kegiatan untuk
38
memperbaiki dan membina etika di dalam suatu perusahaan yang kemudian
akan menghasilkan etika ideal bagi perusahaan tersebut.
Komunikasi
Organisasi
Kegiatan
memperbaiki dan
membina etika
Menghasilkan etika
ideal bagi
perusahaan
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dibentuk berdasarkan beberapa teori inti yang
dipilih sesuai dengan bagaimana teori tersebut akan menjawab pertanyaan
penelitian, teori-teori yang menjadi teori inti tersebut antara lain strategi
komunikasi internal menurut Kasali, komunikasi interpersonal menurut
Theodorson, dan etika komunikasi interpersonal menurut Suranto Aw.
Download