tinjauan interaksi obat pada pasien gagal jantung kongestif di

advertisement
1
TINJAUAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN GAGAL
JANTUNG KONGESTIF DI INSTALASI RAWAT INAP
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG
KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2007
SKRIPSI
Oleh :
YEKTI ADI PRASETYANINGSIH
K 100 050 062
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat
memompa darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh. Penyakit ini dapat
disebabkan oleh gangguan kemampuan otot jantung berkontraksi atau meningkatnya
beban kerja dari jantung (Mycek et al., 2001).
Gagal jantung adalah penyakit klinis yang sering terjadi, diperkirakan
mempengaruhi lebih dari 2 juta pasien di Amerika Serikat. Angka mortalitas dan
morbiditasnya tinggi setiap tahun, kira-kira 900.000 pasien menjalani perawatan di
rumah sakit dan mencapai 200.000 pasien meninggal dari kondisi ini. Rata-rata
angka kematian tiap tahun adalah 40-50% pada pasien dengan gagal jantung parah
(Crawford, 2003).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga kontribusi penyakit jantung
terhadap kematian 19,8% pada tahun 1993 menjadi
24,4% pada tahun 1998.
Sementara hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1986 dan 2001 terlihat
adanya kecenderungan peningkatan proporsi angka kesakitan pada penyakit
kardiovaskuler (Anonim, 2007).
Adanya penyakit penyerta pada penderita gagal jantung kongestif
menyebabkan jumlah obat yang digunakan juga bertambah banyak. Pemberian
beberapa obat sekaligus (polifarmasi) disamping dapat memperkuat kerja obat
(sinergisme) juga dapat berlawanan (antagonisme), menyebabkan terjadinya
1
2
gangguan
elektrolit,
mempengaruhi
efek
reseptor,
mengganggu
absorbsi,
mempengaruhi distribusi, mempengaruhi metabolisme, dan mengganggu ekskresi
obat yang disebabkan oleh terjadinya interaksi obat. Interaksi obat dapat
didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan
bersamaan (Fradgley, 2003). Interaksi obat dianggap penting secara klinis jika
berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektifitas obat yang
berinteraksi sehingga terjadi perubahan pada efek terapi (Setiawati, 2005). Obat-obat
yang mempunyai rentang terapi sempit seperti digoxin lebih mungkin terlibat dalam
interaksi obat yang bermakna secara klinis (Fradgley, 2003).
Suatu penelitian tentang interaksi obat pada pasien gagal jantung kongestif di
instalasi rawat inap RSUP DR. Sarjito menunjukkan hasil 99 (90%) pasien dari 110
pasien mengalami interaksi obat potensial (Yasin et al., 2005). Penelitian lain di
suatu apotek di Jakarta Timur pada penulisan resep obat oral kardiovaskuler
menunjukkan hasil, dari 138 lembar resep terdapat 14 lembar resep yang tidak
rasional ditinjau dari interaksi obat yang terjadi (Harianto dkk., 2006). Penelitian di
bangsal rawat inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo menunjukkan hasil bahwa
obat-obat kardiovaskular serta kombinasinya merupakan golongan yang berinteraksi
dengan signifikansi 1 paling besar, seperti digoxin-furosemid, digoxin-amiodaron,
dan captopril-spironolakton (Ekowati dkk., 2006).
Mengingat bahwa prevalensi gagal jantung cukup tinggi dan interaksi obatobat kardiovaskuler dapat mengakibatkan terjadinya perubahan efek terapi bahkan
dapat menimbulkan efek toksik, maka perlu dilakukan penelitian tentang adanya
kejadian interaksi obat yang terjadi pada pasien gagal jantung kongestif.
3
Penelitian mengenai interaksi obat ini dilakukan di instalasi rawat Inap
RSUD Pandan Arang. Pemilihan rumah sakit tersebut didasarkan pada laporan pola
penyakit dari unit rekam medik yang tercatat pada tahun 2007 bahwa gagal jantung
kongestif merupakan penyakit dengan jumlah kasus yang menduduki peringkat ke-6
dari 10 besar penyakit di instalasi rawat inap. Selain itu, rumah sakit tersebut
merupakan rumah sakit rujukan dari pukesmas-puskesmas di Kabupaten Boyolali.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Berapa besar insidensi terjadinya interaksi obat potensial pada pasien gagal
jantung kongestif di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Pandan
Arang Kabupaten Boyolali periode tahun 2007?
2. Berapa
besar
insidensi
terjadinya
interaksi
obat
berdasarkan
tingkat
signifikansinya?
3. Berapa besar insidensi terjadinya interaksi obat berdasarkan mekanismenya?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Insidensi terjadinya interaksi obat potensial pada pasien gagal jantung kongestif
rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Kabupaten Boyolali tahun
2007.
2. Insidensi terjadinya interaksi obat berdasarkan tingkat signifikansinya.
4
3. Insidensi terjadinya interaksi obat berdasarkan mekanismenya.
D. Tinjauan Pustaka
1.
Gagal Jantung Kongestif
a. Definisi
Gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat
memompa darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh. Penyakit ini dapat
disebabkan oleh gangguan kemampuan otot jantung berkontraksi atau meningkatnya
beban kerja dari jantung. Gagal jantung kongestif diikuti oleh peningkatan volume
darah yang abnormal dan cairan interstisial jantung. Penyebab dasar gagal jantung
kongestif antara lain penyakit jantung arterosklerosis, penyakit hipertensi, penyakit
katup jantung, kardiomiopati yang melebar, penyakit jantung kongenital. Disfungsi
sistolik kiri akibat penyakit arteri koronaria adalah penyebab utama dari gagal
jantung (Mycek et al., 2001).
b. Respon Fisiologik
Sebenarnya jantung yang mulai lemah akan memberikan 3 mekanisme
kompensasi untuk meningkatkan curah jantung, yaitu :
1)
Meningkatkan aktivitas simpatik
Baroreseptor merasakan penurunan tekanan darah dan memacu aktfitas
reseptor β-adrenergic dalam jantung. Hal ini menimbulkan kecepatan jantung dan
peningkatan kontraksi dari otot-otot jantung yang lebih besar. Selain itu,
vasokonstriksi diperantarai α-1 memacu venous return dan meningkatkan preload
5
jantung. Respons kompensasi ini meningkatkan kerja jantung dan karena itu dapat
menyebabkan penurunan selanjutnya dalam fungsi jantung (Mycek et al., 2001).
2) Retensi cairan.
Penurunan curah jantung akan memperlambat aliran darah ke ginjal,
menyebabkan lepasnya renin, dengan hasil peningkatan sintesis angiotensin II dan
aldosteron. Hal ini meningkatkan resistensi perifer dan retensi natrium dan air.
Volume darah meningkat dan semakin banyak darah kembali ke jantung. Jika
jantung tidak dapat memompa volume ekstra ini, tekanan vena meningkat dan edema
perifer dan edema paru-paru terjadi. Respons kompensasi ini meningkatkan kerja
jantung dan karena itu, selanjutnya menyebabkan penurunan fungsi jantung (Mycek
et al., 2001).
3) Hipertrofi miokard
Jantung membesar dan ruangannya melebar. Pertama peregangan otot-otot
jantung menyebabkan kontraksi jantung lebih kuat, tetapi perpanjangan yang
berlebihan dari serat tersebut akan menyebabkan kontraksi semakin lemah. Jenis
kegagalan ini disebut gagal sistolik dan diakibatkan oleh ventrikel yang tidak dapat
memompa secara efektif. Jarang pasien gagal jantung kongestif dapat mempunyai
disfungsi diastolik, yaitu suatu istilah yang diberikan jika kemampuan ventrikel
relaksasi dan menerima darah terganggu karena perubahan struktural, seperti
hipertrofi. Penebalan dinding ventrikel dan
penurunan volume ventrikel dapat
menurunkan kemampuan otot jantung untuk relaksasi. Hal ini mengakibatkan
ventrikel tidak terisi cukup, dan curah jantung yang tidak cukup disebut sebagai
gagal jantung diastolik (Mycek et al., 2001).
6
Semua kompensasi diatas meningkatkan kerja jantung dan selanjutnya
menyebabkan penurunan kemampuan jantung. Jika mekanisme adaptif gagal
mempertahankan curah jantung, maka terjadi gagal jantung yang disebut
dekompensasi (Mycek et al., 2001).
c. Klasifikasi gagal jantung
Tabel 1. ACC/AHA VS NYHA CLASSIFICATION OF HEART FAILURE
Tahap ACC/AHA
Tahap Deskripsi
Kelas Fungsional NYHA
Kelas
Deskripsi
A
Pasien berisiko tinggi
mengalami gagal jantung,
karena adanya kondisi
penyebab gagal jantung.
Pasien-pasien tersebut tidak
mengalami abnormalitas
struktural atau fungsional
pericardium, miokardium atau
katup jantung yang
teridentifikasi dan tidak pernah
menunjukkan tanda-tanda atau
gejala-gejala gagal jantung
Tidak ada
perbandingan kelas
fungsional
B
Pasien yang telah mengalami
penyakit jantung struktural,
yang menyebabkan gangguan
jantung tapi belum pernah
menunjukkan tanda-tanda atau
gejala-gejala gagal jantung.
I (ringan)
Tidak ada batasan aktivitas
fisik. Aktivitas fisik biasa
tidak menyebabkan fatigue,
palpitasi, atau dispnea yang
tidak semestinya
C
Pasien yang memiliki atau
sebelumnya pernah memiliki
gejala-gejala gagal jantung,
yang disebabkan penyakit
jantung struktural
II (ringan)
Sedikit keterbatasan
aktivitas fisik. Nyaman saat
beristirahat, tapi aktivitas
fisik biasa menghasilkan
fatigue, palpitasi, atau
dispnea
II (sedang)
Ditandai keterbatasan
aktivitas fisik. Nyaman saat
istirahat, tapi aktivitas yang
lebih sedikit dari biasa
mengakibatkan fatigue,
palpitasi atau dispnea
7
Tahap ACC/AHA
D
Tahap Deskripsi
Pasien dengan penyakit jantung
struktural tingkat lanjut dan
gejala-gejala gagal jantung
pada istirahat, walaupun terapi
medis maksimal dan
membutuhkan intervensi
khusus
Kelas Fungsional NYHA
Kelas
IV (parah)
Deskripsi
Tidak dapat melakukan
aktivitas fisik dengan
nyaman. Gejala-gejala
insufisiensi kardiak pada
istirahat. Jika aktivitas fisik
dilakukan,
ketidaknyamanan
bertambah
Sumber : ACC/AHA = American College of Cardiology/ American Heart
Association; HF = Heart Failure; NYHA = New York Heart Association
(Anonim, 2006)
d. Patofisiologi gagal jantung
Gagal jantung kongestif merupakan suatu sindrom dengan banyak penyebab
yang melibatkan ventrikel kanan, kiri atau keduanya. Curah jantung pada gagal
jantung kongestif biasanya di bawah batas normal. Kelainan biokimia instrinsik
menyebabkan kontraktilitas jantung berkurang, yang biasanya berhasil baik dengan
obat ionotropik positif. Hal ini khas untuk gagal jantung kronis akibat penyakit
pembuluh koroner, hiprtensi atau gagal akut disebabkan infark otot jantung. Kadang
timbul gagal “high-output”. Dalam keadaan ini, kebutuhan tubuh sangat tinggi
walaupun curah jantung ditingkatkan tetapi tetap tidak mencukupi. Kegagalan highoutput (gagal jantung dengan curah yang tinggi) dapat terjadi akibat hipertiroidisme,
beri-beri, anemia, dan pintas-arteriovenus. Gagal jantung ini kurang respons terhadap
obat-obat inotropik (Mycek et al., 2001).
Tanda dan gejala utama semua bentuk gagal jantung meliputi takikardi,
penurunan toleransi gerakan badan dan sesak napas, edema perifer dan paru-paru,
serta kardiomegali. Penurunan toleransi gerak badan dengan cepat menimbulkan
kelemahan otot terutama akibat langsung penurunan curah jantung (Katzung, 2001).
8
e. Algoritme Terapi Gagal Jantung
Stage A
Apakah pasien
merokok?
Stage B
Semua terapi stage A
Hipertensi, diabetes,
hiperlipid?
Ya
Sudah pernah mengalami MI dan atau
disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik
(EF < 40%)
Ya
Disarankan
berhenti merokok
Dilakukan terapi
sesuai guideline
Ya
Apakah pasien mempunyai penyakit vascular
aterosklerotik, diabetes, hipertensi dan faktor resiko lain?
Mulai dengan ACE
Inhibitor dan β-blocker
Ya
Penghambat ACE
Stage C
Mulai dengan ACE Inhibitor dan
terapi β-blocker
Tambahkan digoxin
Volume cairan
berlebih
Ya
Tidak
Inisiasi dan titrasi dengan diuretik
Perbaikan
gejala
Tidak
Ya
Monitoring
Pertimbangan penambahan
spironolactone
Spironolactone ditambah ARB
rawat inap pada kondisi parah
Overload cairan
menetap
Hipertensi
persisten
Gejala
angina
Ya
Terapi diuretik
(pertimbangan diuretik
loop/thiazide kombinasi)
Ya
ARB
Amlodipine atau felodipine
Ya
Nitrat
Amlodipine atau felodipine
Ya
Intoleransi ACE
inhibitor
ARB
hydralazine/nitrat
Gambar 1. Algoritme Terapi Gagal Jantung Berdasarkan Stage ACC/AHA
(Dipiro et al., 2005)
9
f.
Penatalaksanaan Terapi
Tujuan terapi untuk gagal jantung kongestif adalah meningkatkan curah
jantung. Golongan obat gagal jantung yang digunakan adalah:
1) Vasodilator
Gangguan fungsi kontraksi jantung pada gagal jantung kongestif, diperberat
oleh peningkatan kompensasi pada preload (volume darah yang mengisi ventrikel
selama diastole) dan afterload (tekanan yang harus diatasi jantung ketika memompa
darah ke sistem arteriol). Vasodilatasi berguna untuk mengurangi preload dan
afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena
menyebabkan
berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena, dilator arterial
menurunkan resistensi arteriol sistemik dan menurunkan afterload. Obat-obat yang
berfungsi sebagai vasodilator antara lain captopril, isosorbid dinitrat, hidralazin
(Mycek et al., 2001).
a)
Inhibitor enzim pengkonversi angiotensin (Inhibitor ACE)
Obat-obat ini menghambat enzim yang berasal dari angiotensin I membentuk
vasokonstriktor kuat angiotensin II. Inhibitor ACE mengurangi kadar angiotensin II
dalam sirkulasi dan juga mengurangi sekresi aldosteron, sehingga menyebabkan
penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor ACE dapat menyebabkan penurunan
retensi vaskuler vena dan tekanan darah, menyebabkan peningkatan curah jantung
(Mycek et al., 2001).
Pengobatan ini sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Penggunaan
inhibitor ACE awal diutamakan untuk mengobati pasien gagal ventrikel kiri untuk
semua tingkatan, dengan atau tanpa gejala dan terapi harus dimulai segera setelah
10
infark miokard. Terapi dengan obat golongan ini memerlukan monitoring yang teliti
karena berpotensi hipotensi simptomatik. Inhibitor ACE ini tidak boleh digunakan
pada wanita hamil. Obat-obat yang termasuk dalam golongan inhibitor enzim
pengkonversi angiotensin ini adalah kaptopril, enalapril, lisinopril, dan quinapril
(Mycek et al., 2001).
b)
Angiotensi II receptor Antagonists
Pasien yang mengalami batuk pada penggunaan ACE Inhibitor, dapat
digunakan angiotensin II receptor Antagonists seperti losartan dosis 25-50 mg/hari
sebagai alternatif. Losartan efektif menurunkan mortalitas dan menghilangkan gejala
pada pasien dengan gagal jantung (Walker et al., 2003).
c)
Relaksan otot polos langsung
Dilatasi pembuluh vena langsung meyebabakan penurunan preload jantung
dengan meningkatkan kapasitas vena, dilator arterial mengurangi resistensi sistem
arteriol dan menurunkan afterload. Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah
hidralazin, isosorbid, minoksidil, dan natrium nitropusid (Mycek et al., 2001).
d)
Antagonis Reseptor β- Adrenergik
Antagonis reseptor β-adrenergik yang paling umum adalah metoprolol, suatu
antagonis reseptor yang selektif terhadap
β1- adrenergik mampu memperbaiki
gejala, toleransi kerja fisik serta beberapa fungsi ventrikel selama beberapa bulan
pada pasien gagal jantung karena pembesaran kardiomiopati idiopati
2003).
(Gilman,
11
2) Diuretik
Diuretik akan mengurangi kongesti pulmonal dan edema perifer. Obat-obat
ini berguna mengurangi gejala volume berlebihan, termasuk ortopnea dan dispnea
noktural paroksimal. Diuretik menurunkan volume plasma dan selanjutnya
menurunkan preload jantung. Ini mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan
oksigen. Diuretik juga menurunkan afterload dengan mengurangi volume plasma
sehingga menurunkan tekanan darah. Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah
diuretik tiazid dan loop diuretik (Mycek et al., 2001).
3) Antagonis Aldosteron
Penggunaan spironolakton sebagai antagonis aldosteron menunjukkan
penurunan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
Aldosteron berhubungan dengan retensi air dan natrium, aktivasi simpatetik, dan
penghambatan parasimpatetik. Hal tersebut merupakan efek yang merugikan pada
pasien dengan gagal jatung. Spironolakton meniadakan efek tersebut dengan
penghambatan langsung aktifitas aldosteron (Walker et al., 2003).
4) Obat-obat inotropik
Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung dan
meningkatkan curah jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui mekanisme
yang berbeda dalam tiap kasus kerja inotropik adalah akibat peningkatan konsentrasi
kalsium sitoplasma yang memacu kontraksi otot jantung (Mycek et al., 2001).
a)
Digitalis
Obat-obat golongan digitalis ini memiliki berbagai mekanisme kerja
diantaranya pengaturan konsentrasi kalsium sitosol. Hal ini menyebabkan terjadinya
12
hambatan pada aktivasi pompa proton yang dapat menimbulkan peningkatan
konsentrasi natrium intrasel, sehingga menyebabkan terjadinya transport kalsium
kedalam sel melalui mekanisme pertukaran kalsium-natrium. Kadar kalsium intrasel
yang meningkat itu menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik.
Mekanisme lainnya yaitu peningkatan kontraktilitas otot jantung, Pemberian
glikosida digitalis menngkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan
penurunan volume distribusi aksi, jadi meningkatkan efisiensi kontraksi (Mycek et
al., 2001).
Terapi digoxin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi sistolik
ventrikel kiri yang hebat setelah terapi diuretik dan vasodilator. Obat yang termasuk
dalam golongan glikosida jantung adalah digoxin dan digitoxin. Glikosida jantung
mempengaruhi semua jaringan yang dapat dirangsang, termasuk otot polos dan
susunan saraf pusat. Mekanisme efek ini belum diselidiki secara menyeluruh tetapi
mungkin melibatkan hambatan Na+K+ - ATPase didalam jaringan ini (Katzung,
2001).
Hipokalemia dapat menyebabkan aritmia hebat. Penurunan kadar kalium
dalam serum sering ditemukan pada pasien-pasien yang mendapatkan thiazid atau
loop diuretik dan biasanya dapat dicegah dengan diuretik hemat kalium atau
suplemen kalium karbonat. Hiperkalsemia dan hipomagnesemia juga menjadi
predisposisi terhadap toksisitas digitalis (Mycek et al., 2001). Tanda dan gejala
toksisitas glikosida jantung yaitu anoreksia, mual, muntah, sakit abdomen,
penglihatan kabur, mengigau, kelelahan, bingung, pusing, meningkatnya respons
13
ventilasi terhadap hipoksia, aritmia ektopik atrium dan ventrikel, dan gangguan
konduksi nodus sinoatrial dan atrioventrikel (Gilman, 2003).
b) Agonis β- adrenergic
Stimulan β- adrenergic memperbaiki kemampuan jantung dengan efek
inotropik spesifik dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan masuknya ion kalsium
kedalam sel miokard meningkat,sehingga dapat meningkatkan kontraksi. Dobutamin
adalah obat inotropik yang paling banyak digunakan selain digitalis (Mycek et al.,
2001).
c)
Inhibitor fosfodiesterase
Inhibitor fosfodiesterase memacu koonsentrasi intrasel siklik-AMP. Ini
menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung. Obat yang
termasuk dalam golongan inhibitor fosfodiesterase adalah amrinon dan milrinon
(Mycek et al., 2001).
2. Interaksi Obat
a. Definisi Interaksi Obat
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat
obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan , atau bila dua atau
lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat
atau lebih akan berubah (Fradgley, 2003).
Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus dalam satu periode (polifarmasi)
dapat menaikkan risiko terjadinya interaksi obat. Hal ini terbukti oleh adanya suatu
survei yang dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi pada pasien rawat
inap di rumah sakit. Survei tersebut menunjukkan bahwa insiden efek samping pada
14
pasien yang mendapatkan 0-5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang
mendapatkan 16-20 macam obat adalah 54%. Peningkatan efek samping tersebut
diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga semakin meningkat
(Setiawati, 2005).
b. Mekanisme Interaksi obat
Menurut jenisnya, interaksi obat dapat dibedakan menjadi :
1) Interaksi farmasetik/inkompatibilitas
Inkompatibilitas ini terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat
yang tidak dapat campur (inkompatibel). Interaksi ini biasanya berakibat inaktvasi
obat (Setiawati, 2005).
2) Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada berbagai tahap, meliputi absorpsi,
distribusi, metabolisme, atau ekskresi (Fradgley, 2003). Interaksi ini meningkatkan
atau mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk menimbulkan efek
farmakologinya
(Anonim,
2000).
Interaksi
farmakokinetik
tidak
dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi
sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat segolongan terdapat variasi
sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya
(Setiawati, 2005).
a)
Interaksi pada proses absorpsi
Absorpsi obat tergantung pada formulasi farmasetik, pKa dan kelarutan obat
dalam lemak, pH, flora usus, dan aliran darah dalam organ pencernaan. Interaksi
yang mengurangi kecepatan absorpsi dan interaksi yang mengurangi jumlah obat
15
yang diabsorpsi perlu dibedakan. Sebagian besar interaksi yang berkaitan dengan
absorpsi, tidak bermakna secara klinis dan dapat diatur dengan memisahkan waktu
pemberian obat (Fradgley, 2003).
b)
Interaksi pada proses distribusi
Interaksi pendesakan obat terjadi bila dua obat berkompetisi pada tempat
ikatan dengan protein plasma yang sama dan satu atau lebih obat didesak dari
ikatannya dengan protein tersebut. Hal ini mengakibatkan peningkatan sementara
konsentrasi obat bebas (aktif), biasanya peningkatan tersebut diikuti dengan
peningkatan metabolisme atau ekskresi. Konsentrasi total obat turun menyesuaikan
dengan peningkatan fraksi obat bebas. Interaksi ini melibatkan obat-obat yang
ikatannya dengan protein tinggi (Fradgley, 2003).
Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi misalnya antara digoxin dan
quinidin, dengan akibat peningkatan kadar plasma digoxin (Setiawati, 2005).
c)
Interaksi pada proses metabolisme
Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom
P450 monooksigenase. Induksi enzim oleh suatu obat dapat meningkatkan kecepatan
metabolisme obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek. Induksi enzim
melibatkan sintesis protein, jadi efek maksimum terjadi setelah dua atau tiga minggu.
Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan peningkatan
toksisitas obat lain. Waktu terjadinya reaksi akibat inhibisi enzim merupakan efek
langsung, biasanya lebih cepat daripada induksi enzim (Fradgley, 2003)
Penghambatan metabolisme suatu obat menyebabkan peningkatan kadar
plasma obat tersebut sehingga meningkatkan efek atau toksisitasnya. Kebanyakan
16
interaksi demikian terjadi akibat kompetisi antar subtrat untuk enzim metabolisme
yang sama. Untuk obat yang dimetabolisme oleh hepar dengan kapasitas tinggi
(mempunyai risiko ekstraksi hepar = EH yang tinggi), bersihan heparnya sangat
dipengaruhi oleh perubahan alir darah hepar (QH) (Setiawati, 2005).
d) Interaksi pada proses eliminasi
Obat dieliminasi melalui ginjal dengan filtrasi glomerolus dan sekresitubular
aktif. Jadi, obat yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat
mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat yang
cukup larut dalam air yang mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai eliminasi
utamanya, yaitu obat yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di hati. Kuinidin,
verapamil, dan amiodaron semuanya dapat meningkatkan konsentrasi digoxin dalam
serum hingga dua kali lipat dengan menghambat klirens ginjal dan non-ginjal dari
digoxin (Fradgley, 2003)
1) Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau
antagonistik. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat
yang penting dalam klinik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi
farmakodinamik seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan
dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan
lamanya efek farmakodinamik. Disamping itu, kebanyakan interaksi farmakodinamik
dapat diramalkan kejadiannya, karena itu dapat dihindarkan bila dokter mengetahui
dan menggunakan logikanya (Setiawati, 2005).
17
Efek yang terjadi pada interaksi farmakodinamik yaitu :
a) Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme antara dua
obat yang bekerja pada sistem organ, sel atau enzim yang sama dengan efek
farmakologi yang sama.
b) Antagonisme
Antagonis terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang
berlawanan, sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu
atau lebih obat.
c) Efek reseptor tidak langsung
Kombinasi obat dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi efek
reseptor yang meliputi sirkulasi kendali fisiologi atau biokimia.
d) Gangguan cairan dan elektrolit
Interaksi obat dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
(Fradgley, 2003)
c. Level Signifikan
Interaksi obat berdasarkan signifikansiya dapat diklasifikasikan menjadi 5
yaitu:
1) Level signifikan 1
Interaksi dengan signifikansi ini memiliki keparahan mayor dan terdokumentasi
suspected, probable, atau established.
18
2) Level signifikan 2
Interaksi dengan signifikansi kedua ini memiliki tingkat keparahan moderat
dan terdokumentasi suspected, probable, atau established.
3) Level signifikan 3
Interaksi ini memiliki tingkat keparahan minor dan terdokumentasi suspected,
probable, atau established.
4) Level signifikan 4
Interaksi ini memiliki keparahan mayor / moderat dan terdokumentasi possible.
5) Level signifikan 5
Interaksi dalam signifikansi ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tingkat
keparahan minor dan terdokumentasi possible serta keparahan mayor, moderat,
minor dan terdokumentasi unlikely.
(Tatro, 2001)
Interaksi obat dapat dibedakan menjadi :
1) Berdasarkan level kejadiannya, interaksi obat terdiri dari established (sangat
mantap terjadi), probable (interaksi obat bisa terjadi), suspected (interaksi obat
diduga terjadi), possible (interaksi obat mungkin terjadi, tetapi belum pasti
terjadi), serta unlikely (interaksi obat tidak terjadi).
2) Berdasarkan onsetnya, interaksi obat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu interaksi
dengan onset cepat (efek interaksi terlihat dalam 24jam) dan interaksi dengan
onset lambat (efek interaksi terlihat setelah beberapa hari sampai minggu).
3) Berdasarkan keparahannya, interaksi obat dapat diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu mayor (efek fatal, dapat menyebabkan kematian), moderat (efek sedang,
19
dapat menyebabkan kerusakan organ), dan minor (tidak begitu masalah,dapat
diatasi dengan baik).
(Tatro, 2001)
d. Penatalaksanaan interaksi obat
Langkah-langkah dalam penatalaksanaan interaksi obat, yaitu :
1) Menghindari kombinasi obat yang saling berinteraksi.
Adanya pertimbangan obat pengganti jika terdapat risiko yang lebih besar
daripada manfaatnya.
2) Menyesuaikan dosis
Diperlukannya modifikasi dosis dari salah satu obat atau kedua obat untuk
mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat jika hasil interaksi obat
meningkatkan atau mengurangi efek obat.
3) Memantau pasien
Adanya pemantauan jika terdapat kombinasi obat yang saling berinteraksi.
4) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya
Adanya penerusan pengobatan sebelumnya jika tidak terjadi interaksi obat
atau kombinasi obat yang berinteraksi merupakan pengobatan yang optimal .
(Fradgley, 2003).
3.
Rumah Sakit
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang komplek menggunakan gabungan
alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personil
terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern yang
sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar, 2003).
20
Rumah
sakit
sebagai
salah
satu
subsistem
pelayanan
kesehatan
menyelenggarakan 2 jenis pelayanan untuk masyarakat yaitu pelayanan kesehatan
dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik,
rehabilitasi medik, dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan
melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan, dan unit rawat inap. Dalam
perkembangannya, pelayanan rumah sakit tidak terlepas dari pembangunan ekonomi
masyarakat. Perkembangan ini tercermin pada perubahan fungsi klasik rumah sakit
yang pada awalnya hanya memberi pelayanan yang bersifat penyembuhan (kuratif)
terhadap pasien melalui rawat inap. Pelayanan dirumah sakit saat ini tidak saja
bersifat penyembuhan (kuratif), tetapi juga bersifat pemulihan (rehabilitatif). Kedua
dilaksanakan secara terpadu melalui upaya promosi kesehatan (promotif) dan
pencegahan (preventif) (Muninjaya, 2004).
a.
Fungsi Rumah Sakit
Guna melaksanakan tugasnya rumah sakit mempunyai berbagai fungsi, yaitu:
1) Menyelenggarakan pelayanan medik
2) Menyelenggarakan pelayanan penunujang dan non medik
3) Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan
4) Menyelenggarakan pelayanan rujukan
5) Menyelenggarakan pelayanan pendidikan dan pelatihan
6) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan
7) Menyelengarakan administrasi umum dan keuangan.
(Siregar, 2003)
21
b.
Klasifikasi Rumah Sakit
Di Indonesia dikenal 3 jenis rumah sakit sesuai dngan kepemilikan, jenis
pelayanan dan kelasnya. Berdasarkan kepemilikannya dibedakan menjadi tiga
macam rumah sakit, yaitu :
1) Rumah sakit pemerintah (Rumah Sakit Pusat, Rumah Sakit Propinsi, Rumah
Sakit Kabupaten) dan rumah sakit swasta yang menggunakan investasi dari
suber dalam negeri (PMDN) dan sumber luar negeri (PMA).
2) Rumah sakit umum, rumah sakit jiwa dan rumah sakit khusus (mata, paru, kusta,
rehabilitasi, jantung, kanker, dan sebagainya).
3) Rumah sakit kelas A, kelas B (pendidikan dan non pendidikan), kelas C, dan
rumah sakit kelas D (Muninjaya, 2004).
Berdasarkan jenis pelayanan dan kelasnya dibedakan menjadi 4 macam,
yaitu:
1) Rumah sakit kelas A
Mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan
subspesialistik.
2) Rumah sakit kelas B
Mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya
11 spesialistik dan subspesialistik terbatas.
3) Rumah sakit kelas C
Mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar.
22
4) Rumah sakit kelas D
Mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar.
(Siregar, 2003)
4.
Rekam Medis
Rekam medis rumah sakit merupakan komponen penting dalam pelaksanaan
kegiatan manajemen rumah sakit. Rekam Medis Rumah Sakit (RMRS) harus mampu
menyajikan informasi lengkap tentang proses pelayanan medis dan kesehatan di
rumah sakit, baik masa lalu, masa kini maupun perkiraan yang akan datang tentang
apa yang akan terjadi (Muninjaya, 2004).
Rekam medis mempunyai beberapa kegunaan antara lain :
a. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita.
b. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap profesional yang
berkontribusi pada perawatan penderita.
c. Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan penderita dan
penanganan atau pengobatan selama di rumah sakit.
d. Digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang
diberikan kepada penderita .
e. Membantu perlindungan kepentinan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi
yang bertanggung jawab.
f. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.
g. Sebagai dasar perhitungan biaya dengan menggunakan data dalam rekam medis,
bagi keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pangobtan seoarang penderita
(Siregar, 2003).
Download