16 BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KONSEP

advertisement
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KONSEP PENELITIAN,
KERANGKA BERPIKIR, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa hasil penelitian lain yang berhubungan dengan brand equity
akan dipaparkan sebagai berikut; Penelitian Sirait (2004) yang berjudul “Analisis
Brand Equity Honda Pada Sepeda Motor Honda (studi kasus di Denpasar)”
dengan mengambil dua jenis sampel yang diambil secara accidental sampling, di
mana sampel I 400 responden dan sampel II 250 responden. Dengan teknik
analisis frekuensi untuk brand awareness, untuk brand association, brand
perceived quality menggunakan teknik analisis skor rata-rata kinerja dan
kepentingan dengan diagram kartesius, sementara untuk brand loyalty dengan
teknik analisis frekuensi dalam persentase. Dengan data yang dikumpulkan
melalui wawancara dan daftar pertanyaan dengan variabel yang diteliti antara lain;
brand awareness (brand muncul pertama dipikiran konsumen, brand lain,
mengenal brand Honda, dan sumber informasi), brand association (ekslusif,
tampilan, teknologi tinggi, desain, varian, kenyamanan, perawatan, harga,
keamanan, gesit, manfaat di jalur macet, sparepart, irit bahan bakar, kinerja,
serbaguna, disukai tua muda, gaya hidup, performa unggul, harga jual, budaya
jepang), brand perceived quality (kinerja, kualitas, sistem pelayanan, ketahanan,
spesifikasi, konsumsi bahan bakar, asesoris, rekayasa, dan konsistensi), dan brand
loyalty (harga, brand, sama, biasa, sesuai, dealer, teknologi, kinerja, irit, suka,
pameran, aksesoris, rekomendasi, bangga, dan mengatasi macet).
17
Hasil dari penelitiannya menyatakan brand awareness sepeda motor
Honda di Denpasar mengindikasikan keberadaanya baik, dengan brand
association, mengkonsumsi bahan bakar irit, kinerja mesinnya halus dan tahan
lama, memiliki performa tinggi, sangat unggul di kelasnya, dan harga jual kembali
relatif tinggi. Perceived quality untuk meningkatkan kinerja mesin, kehandalan
produk melalui peningkatan kreativitas dan inovasi dan kinerja serta
kehandalannya dengan pelatihan, pendidikan, dan motivasi untuk memberikan
pelayanan terbaik kepada konsumen. Brand loyalty sepeda motor brand Honda
menunjukkan kecendrungan yang baik, hanya saja pada tingkatan likes the brand
dan committed buyer persentase mengecil. Untuk memperbesarnya dapat dengan
mewujudkan kepuasan pada konsumen yang ada sekarang, agar konsumen ini
dapat menjadi media promosi bagi pihak perusahaan sepeda motor brand Honda
di Kota Denpasar.
Penelitian Ekutias Merek (brand equity) terhadap brand Sepeda Motor
Honda dilakukan juga oleh Fadli dan Qomariah (2008) dalam penelitian yang
berjudul Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Sepeda Motor Honda terhadap
keputusan pembelian (Studi Kasus pada Universitas Sumatra Utara). Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor brand equity mana yang paling
berperan dalam proses pengambilan keputusan pembelian sepeda motor Honda di
Lingkungan Universitas Sumatra Utara. Dengan menggunakan 100 orang sampel
dan teknik analisis statistik regresi liniear berganda. Hasil dari penelitian ini
adalah keempat faktor brand equity berperan signifikan di dalam mempengaruhi
keputusan konsumen dalam pembelian sepeda motor Honda. Penelitian brand
18
Bali Shanti, Shanti, Shanti hamper serupa tujuan utamanya namun dengan objek,
lokus, dan metode yang berbeda.
Penelitian serupa dilakukan oleh Wiguna (2005) yang berjudul “Ekuitas
Brand Beberapa Produk SIM Card Pra Bayar di Kota Denpasar” dengan
menggunakan dua jenis sampel, sampel I sebanyak 400 orang di Kota Denpasar
untuk menganalisis brand awareness dan sampel II sebanyak 440 orang pemakai
SIM Card Simpati, Mentari, Pro XL dan IM3 Smart untuk menganalisis brand
association, brand perceived quality,dan brand loyalty. Hasil penelitian brand
awareness SIM Card Simpati, Mentari, Pro XL dan IM3 Smart menunjukkan
hasil yang baik, ini dapat dilihat dari bentuk piramida yang menunjukkan bentuk
piramida terbalik. Brand association SIM Card simpati diproduksi dengan
teknologi tinggi, memudahkan hidup, digunakan oleh semua usia, dan untuk
telepon seluler. SIM Card Pro XL diproduksi dengan teknologi tinggi, relatif
murah, digunakan oleh semua usia dan untuk telpon seluler. SIM Card IM 3
Smart diproduksi dengan teknologi tinggi, digunakan oleh semua usia dan untuk
telpon seluler. Asosiasi-asosiasi yang terbentuk dapat digunakan sebagai kekuatan
untuk menarik konsumen baru. Untuk faktor brand perceived quality SIM Card
pra bayar, perusahaan perlu mempertahankan dimensi kualitas yang telah dimiliki
yang tingkat kepentingan untuk pelanggannya tinggi. Faktor brand perceived
quality bisa digunakan sebagai keunggulan untuk bersaing dengan perusahaan
lain. Karena dengan memberikan kepuasan kepada konsumen maka mereka akan
selalu loyal pada produk. Brand loyalty SIM Card Simpati, Mentari, Pro XL, dan
IM3 Smart membentuk piramida terbalik dengan presentase terbesar berada pada
19
likes the brand, untuk itu perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam dari
faktor-faktor brand equity agar nantinya dapat diperoleh strategi yang tepat untuk
meningkatkan brand equity SIM Card Simpati, Mentari, Pro XL, dan IM3 Smart.
Implikasi strategis peningkatan brand didasarkan atas faktor-faktor brand equity
yang terkait dengan bauran pemasaran yaitu peningkatan promosi dan kualitas
pelayanan. Kinerja yang menurun dari suatu produk memerlukan peningkatan
promosi dan pelayanan untuk dapat bersaing dengan perusahaan lain. Kinerja
yang sudah baik terus dipertahankan dan ditingkatkan.
Situmorang (2008) meneliti PT. XYZ yang merupakan perusahaan
pengembang daerah tujuan wisata yang bernama Pulau Mansalaar di Sumatra
Utara. Strategi pengembangan di daerah tersebut mengacu pada prinsip-prinsip
ekowisata. Mansalaar menawarkan suatu kegiatan pariwisata berupa perjalanan
yang bertanggung jawab terhadap kelestarian alam dan memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat lokal. Salah satu keunggulan Mansalaar adalah konsep unik yang
menjadikan pulau tersebut menjadi satu-satunya 'Pulau Patung' di dunia. Selain
sebagai karya seni yang bernilai tinggi, patung-patung yang ditempatkan di dalam
air dapat menjadi rumah bagi ikan-ikan yang berada di laut yang mengelilingi
pulau. Suatu strategi pemasaran dibutuhkan untuk memperkenalkan Mansalaar
kepada konsumen. Strategi pemasaran tersebut akan berhasil apabila didukung
oleh brand yang kuat, yang dapat menyentuh benak dan perasaan setiap penikmat
ekowisata, sehingga mereka mengambil keputusan untuk mendatangi Mansalaar.
Kebutuhan dan harapan konsumen memegang peranan yang sangat besar
dalam proses pemilihan destinasi pariwisata. Jika konsumen tidak memiliki
20
informasi yang cukup dan beranggapan bahwa suatu destinasi pariwisata tidak
akan dapat memenuhi kebutuhan dan harapannya, maka penggunaan jasa wisata
tidak akan pernah terjadi. Konsumen yang menjadi target Mansalaar secara umum
tidak memiliki informasi yang cukup, baik mengenai ekowisata, maupun
Mansalaar sebagai daerah tujuan ekowisata. Suatu penelitian dilakukan untuk
membangun brand yang kuat bagi Mansalaar. Hasil penelitian diskusi
berkelompok dan wawancara mendalam memberikan gambaran, bahwa strategi
branding Mansalaar harus dapat menciptakan brand awareness dan brand image
yang positif melalui pelayanan yang berkualitas untuk memenuhi kebutuhan dan
harapan konsumen. Selain perspektif konsumen, tantangan yang dihadapi oleh
PT.XYZ adalah bencana alam, yang dapat menghalangi niat wisatawan untuk
mendatangi Mansalaar.
Analisis yang dilakukan terhadap permasalahan dan beberapa alternatif
penyelesaiannya memberikan solusi, yang terdiri dari tiga bagian utama. Solusi
pertama adalah membangun indentitas brand yang dapat menyampaikan visi,
misi, dan nilai perusahaan kepada konsumen. Solusi yang kedua adalah internal
branding, sehingga setiap orang yang terlibat dalam pengelolaan Mansalaar
mengetahui nilai dan budaya perusahaan, mewujudkannya dalam perilaku, dan
menyampaikannya dengan benar kepada konsumen. Internal branding juga
mendorong setiap orang untuk melakukan inovasi dan kreativitas, dengan tujuan
meningkatkan kualitas brand secara berkelanjutan.
Vicente menulis penelitian yang berjudul State Branding in 21th Century
(2004) menyatakan bahwa berbagai teknik dipergunakan untuk memasarkan
21
sebuah negara bagian. Lebih jauh dikatakan sebuah negara bisa dikatakan sebagai
perusahaan brand yang mengelola berbagai sub brands. Mengetahui posisi
kompetitif suatu negara adalah sesuatu hal yang penting dalam proses branding
sebuah negara. Ini dimaksudkan negara tersebut harus mampu menetukan segmen
market sehingga mampu mendisain brand-nya. Kesuksesan branding suatu negara
tidak ditentukan oleh proses peluncuran dan suksesnya kampanye. Namun juga
konsistensi untuk berada di jalurnya dan juga fleksibilitas untuk mengatasi hal-hal
yang terduga serta tetap melakukan monitoring terhadap pesaing. Lebih jauh agar
brand sebuah negara lebih bertahan lebih lama maka negara tersebut harus
menepati janji-janji yang ditawarkan oleh brand tersebut.
Olimpia (2008) dalam Artikelnya yang berjudul Variables of The Image
of Tourist Destination menyatakan bahwa citra sebuah destinasi pariwisata sangat
berkaitan erat dengan citra sebuah Negara, citra sebuah bangsa, dan citra sebuah
tempat. Citra sebuah tempat diformulasikan oleh si ‘penerima’ dengan
mengakumulasikan pengalaman dengan tempat tersebut, penggunaan sumberdaya
informasi personal dan impersonal. Oleh ‘penyampai’, citra adalah hasil dari aksi
langsung maupun tidak langsung. Branding sebuah tempat adalah proses
konsitensi dan koordinasi dari sebuah pencapaian citra. Citra apa yang akan
diterima sebuah negara tergantung dari konteks pengunjung atau pemerhati.
Branding sebuah negara dipengaruhi oleh beberapa faktor dan asosiasi seperti;
geografi, atraksi wisata, sumber daya alam, produk lokal, masyarakatnya, etnik,
sejarah, dan lain-lain. Kesuksesan mencari sebuah citra untuk sebuah destinasi
harus dilakukan sebagai berikut: mencari keunggulan atribut-atribut atau asosiasi-
22
asosiasi dari sebuah destinasi, persiapan di lapangan, pengklasifikasian dan
pertimbangan dari opini wisatawan tentang atribut atau asosiasi yang sesuai.
Kerangka atribut atau asosiasi adalah; fungsional, emosional, epistemis, dan
kondisional.
Miller (2006) menulis penelitian yang berjudul City Branding: Gold Coast
Australia.telah mengembangkan pendekatan baru pada branding sebuah kota,
dinamakan a summative measure of city brand attitude, dengan kerangka konsep
yang memasukkan berbagai komunitas atribut sebagai brand association yang
relevan. Hasilnya telah mengidentifikasi beberapa variabel kritis dari total level
sampel, termsuk keamanan, aktifitas leisure, toko retail dan lingkungan.
Pemegang kebijakan lokal dapat mempergunakan beberapa model untuk
memperbaiki
komunitas kota lebih baik. Sebagai contoh, perbaikan ke pada
keamanan dan lingkungan adalah langkah positif yang dapat diambil. Model ini
perlu untuk diuji pada kota yang lain dan Negara lain sebelum dapat
digeneralisasikan. Kemungkinan sebuah brand dipersepsikan berbeda oleh
kelompok yang berbeda adalah kesimpulan utamanya. Penelitian branding
terhadap sebuah destinasi juga dilakukan oleh Vitic (2007) yang mengangkat isu
re-branding Yusgoslavia sebagai sebuah destinasi pasca pecahnya Negara
Yugoslavia.
Penelitian dari Lee dan Leh (2011) Menulis hal yang sama dengan apa
yang akan diteliti. Dengan mengambil judul Dimensions Of Costumer-Based
Brand Equity: A Study On Malaysian Brand. Dengan menggunakan Teori brand
yang dikemukakan oleh Aaker dengan teknik analisis faktor penelitian ini
23
menunjukkan bahwa variabel-variabel penelitian memberikan peran yang cukup
baik walaupun ada yang harus dieliminasi karena perannya yang tidak signifikan.
Kebanyakan penelitian mengenai brand sebagaimana yang dipaparkan
sebelumny dilakukan untuk suatu produk barang, sementara penelitian yang ada
selama ini mengenai branding suatu destinasi adalah bagaimana menciptakan dan
mengembangkan brand suatu destinasi serta strateginya masih sangat terbatas di
indonesia. Mengingat belum adanya penelitian variabel-variabel brand equity
suatu destinasi pariwisata di Indonesia, maka layak dilakukan penelitian brand
equity dimaksud, terlebih lagi variabel-variabelnya yang memiki perberbedaan
dengan variabel-variabel pada brand equity suatu barang. Penelitian ini sejenis
dengan peneitian Lee dan Leh (2011) namun berbeda lokus dan berbeda brand.
Penelitian ini akan menganalisis variabel-variabel brand equity dari brand suatu
destinasi pariwisata yaitu Bali dengan tag line-nya “Bali Shanti, Shanti, Shanti”
dan bagaimana brand itu memiliki kekuatan sebagai penentu keputusan
wisatawan dalam menentukan destinasi pariwisatanya.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Brand
Brand adalah janji, totalitas dari suatu persepsi segala sesuatu yang dilihat,
dengar, baca, ketahui, rasakan, atau dipikirkan, tentang produk jasa atau bisnis.
Brand memiliki posisi istimewa di benak pelanggan didasarkan atas pengalaman
masa lalu, pergaulan, dan ekpekstasi ke depan. Brand juga merupakan jalan pintas
bagi atribut, manfaat, keyakinan, dan nilai yang mendiferensiasi, mengurangi
24
kompleksitas, dan menyederhanankan proses pengambilan keputusan (Kotler dan
Pfoertsch, 2008:14).
Brand adalah alat bantu efektif dan memaksa untuk mendiferensiasi
penawaran suatu produk atau jasa dari pesaing. Brand membantu penawaran suatu
produk atau jasa dari pesaing. Brand membantu bisnis mengatasi perkembangan
cepat produk dan jasa serupa. Ketika produk atau jasa dapat ditiru dengan mudah,
maka tidak demikian dengan brand. Kadang kala brand dapat menjadi pembeda
satu-satunya dalam lingkungan yang sangat kompleks. Brand adalah satu hal yang
dapat menerobos kekacauan dan membuat perusahaan dikenal dan didengar oleh
pelanggan potensial, makin tingginya risiko terlibat dalam dunia yang makin
kompleks sekarang ini dapat diatasi dengan membangun brand yang kuat dan
dapat dipercaya. Brand mengurangi risiko karena brand membawa gambaran
tertentu tentang produk, jasa atau perusahan. Tentu saja, ini hanya berlaku jika
perusahaan berhasil menyampaikan janji brand-nya terus menerus (Kotler dan
Pfoertsch , 2008:49).
Menurut American Marketing Association, brand didefinisikan sebagai,
nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut,
di mana tujuan pemberian brand adalah untuk mengidentifikasi produk dan jasa
yang dihasilkan sehingga berbeda dari produk atau jasa yang dihasilkan oleh
pesaing (Rangkuti, 2002:2).
Menurut Kotler (2002:460) brand adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau
rancangan,
atau
kombinasi
hal-hal
tersebut
yang
dimaksudkan
untuk
mengidentifikasi barang atau jasa dari seseorang atau kelompok penjual dan untuk
25
membedakannya dari produk pesaing. Mengacu pada definisi yang dikemukakan
Kotler di atas, keberadaan brand produk dimaksudkan sebagai pengenal dan
pembeda produk dari produk lain yang sejenis atau produk pesaing.
Brand pada dasarnya tidak hanya sekedar simbol, selanjutnya brand
memiliki enam tingkat pengertian. Enam tingkat pengertian tersebut, yaitu:
1. Brand menyatakan atribut. Brand mengingatkan konsumen pada atributatribut tertentu antara lain: Mercedez menyatakan sesuatu yang mahal, dibuat
dengan baik, terancang baik, tahan lama, bergengsi tinggi, nilai jual kembali
yang tinggi.
2. Brand menyatakan manfaat. Bagi konsumen, kadang sebuah brand tidak
sekedar meyatakan atribut tetapi menyatakan manfaat. Mereka membeli
produk tidak membeli atribut tetapi membeli manfaat. Atribut yang dimiliki
suatu produk dapat diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan atau
emosional. Antara lain, atribut ‘tahan lama’ dieterjemahkan menjadi manfaat
fungsional ‘tidak perlu cepat membeli lagi’, atribut ‘mahal’ diterjemahkan
menjadi manfaat emosional ‘bergengsi’.
3. Brand menyatakan nilai. Brand dapat diartikan sebagai nilai produk, antara
lain: Mercedez mempunyai nilai kinerja tinggi, terjamin keamanan,
bergengsi.
4. Brand berarti budaya. Brand dapat diartikan atau diinterpretasikan sebagai
budaya tertentu. Antara lain, Mercedez mewakili budaya Jerman:
teroganisasi, efisien, kualitas tinggi.
26
5. Brand berarti kepribadian. Brand produk juga dapat menggambarkan
kepribadian tertentu, sebagai contoh: Mercedez menggambarkan kepribadian
seorang eksekutif yang rasional.
6. Brand berarti pemakai. Brand produk dapat berarti pemakai tertentu sebagai
contoh : Mercedez menggambarkan pemakainya seorang diplomat atau
eksekutif.
Menurut Usmara (2008:133) branding memainkan peran khusus dalam
perusahaan jasa karena brand yang kuat dapat meningkatkan kepercayaan
pelanggan untuk membeli. Brand yang kuat memungkinkan para pelanggan untuk
memvisualisasikan dan memahami secara lebih baik produk-produk yang tidak
tampak. Brand
yang kuat merupakan pengganti ketika perusahaan tidak
menawarkan kain untuk disentuh, celana untuk dicoba, buah melon dan apel
untuk diperiksa dan dilihat, mobil untuk di uji coba. Bagi barang-barang dalam
kemasan, produk merupakan brand utama. Akan tetapi, dalam layanan jasa, brand
utamanya adalah nama perusahaan. Pengaruh brand untuk jasa berbeda karena
jasa tidak dapat dilihat seperti halnya pengemasan, pelabelan, dan pemajangan.
Tidaklah mungkin untuk mengemas dan memajang jasa hiburan atau transportasi
seperti paket Kodak dan memajang film. Keinginan dalam pemasaran adalah
untuk menghubungkan branding dengan barang. Melalui produk, kemasan, dan
desain logo, para pemasar memiliki pengaruh terhadap materialitas barang dalam
usaha-usaha menciptakan branding mereka. Branding sama relevannya dengan
jasa. Sifat produk yang tidak dapat disentuh bukan berarti bahwa pengembangan
brand kurang pas atau penting untuk jasa ketimbang barang, hanya bahwa
27
aplikasinya berbeda dalam hal-hal tertentu. Setiap prinsip branding yang sejauh
ini didiskusikan: perusahaan berani untuk berbeda, yang secara jelas
mendefinisikan alasan keberadaan mereka, dan membuat hubungan emosional.
Pengaruh brand mengubah produk ke perusahaan karena jasa memainkan peranan
yang lebih penting dalam menentukan nilai pelanggan.
Berdasarkan pendapat Usmara tersebut dapat dikemukakan bahwa
branding atau citra sangatlah penting bagi sebuah perusahaan jasa. Pariwisata
merupakan salah satu industri jasa, dan citra memainkan suatu peranan penting.
Tulisan ini akan membahas pentingnya branding dalam kepariwisataan Bali pada
khususnya.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat dilihat beberapa penulis
mengemukakan hal yang serupa dengan yang dikemukakan oleh Wiryawan dalam
Kamus Brand-nya (2008:21) bahwa pengertian brand adalah persepsi,
pengalaman, harapan terhadap sebuah produk, jasa, pengalaman, personal,
ataupun organisasi; merupakan gabungan dari berbagai atribut, baik secara nyata
maupun tidak nyata, disimbolisasikan dalam merek dagang, dan apabila dikelola
secara baik akan menciptakan nilai dan pengaruh. Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan brand adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan, atau
kombinasi hal-hal tersebut yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi Bali sebagai
destinasi pariwisata.
2.2.2 Strategi Brand
Strategi brand uatu perusahaan dapat dideskripsikan sebagai susunan dari
angka, keadaan umum, dan faktor brand yang berbeda yang diterapkan
28
perusahaan
di
seluruh
organisasinya.
Strategi
branding
terdiri
dari
mengembangkan misi, penempatan, janji brand, dan proposisi nilai yang kuat
Pemosisian ( positioning) brand adalah tentang menemukan titik yang
tepat di benak pelanggan untuk menciptakan asosiasi yang diinginkan. Oleh
karena itu sangat penting untuk mengetahui siapa pelanggan anda dan di mana
mendapatkannya. Pemosisian selalu dilakukan setelah mengklarifikasi dan
menentukan segmentasi pasar target. Seorang pemasar tidak dapat memposisikan
produk atau jasa tanpa tahu siapa yang dijadikan target.
Titik awal setiap strategi brand adalah melaksanakan apa yang
diperjuangkan perusahaan. Bagi kebanyakan brand korporat. kepemimpinan
adalah bagian penting dari inti identitas brand, karena hal itu dapat mengilhami
karyawan melalui penyusunan tingkat brand yang inspirasional. Di sisi lain, bagi
pelanggan, kepemimpinan memberi keyakinan dan keamanan. Kepemimpinan
juga menyiratkan kualitas yang tinggi dan solusi yang inovatif. Kepemimpinan
dapat dicapai bersamaan dengan dimensi lainnya, yaitu kompetensi, inovasi,
kualitas, inspirasi, sukses.
Betapa pentingngya mengartikulasikan pernyataan misi brand dengan jelas
yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Kata-kata dapat menjadi alat bantu
yang sangat kuat, hanya jika di dalamnya terdapat arti yang benar dan dapat
diandalkan. Sebelum suatu perusahaan memulai rencana dan menerapkan
pendekatan branding yang holistis, terlebih dahulu harus ditentukan apa yang
sebenarnya ingin dicapai. Pernyataan misi brand adalah gagasan yang memandu
brand. Pernyataan misi brand adalah gagasan yang memandu brand. Pernyataan
29
itu harus jelas dan ambisius, tetapi merupakan sasaran bisnis yang dapat dicapai.
Pernyataan misi memungkinkan brand untuk mendapatkan autentisitas.
Pernyataan misi brand menjadi patok duga bagi semua keputusan manajemen dan
karyawan. Lebih jauh lagi, hal itu memberi arah kepada pelanggan, dan setiap
orang yang terlibat dengan perusahaan.
Perusahaan yang mampu mengelola brand dengan baik dengan focus pada
konsumen akan dengan mudah meningkatkan kekuatan brand equity-nya
(Karadeniz, 2010). Brand tergantung pada kemampuan perusahaan untuk
mengelola sistem penyampaian nilainya. Sistem penyampaian termasuk semua
pengalaman yang akan diperoleh pelanggan setelah menggunakan penawaran.. Ini
juga dapat dikatakan sebagai kepribadian brand. Hal ini menjelaskan seolah-olah
brand adalah manusia. Kepribadian brand dapat memberikan difrensiaisi yang
diperlukan bahkan dalam pasar yang seimbang. Kepribadian berpengaruh besar
untuk mendukung pengenalan brand, membuatnya lebih menarik, dan mudah
diingat, serta menstimulasi atribut positif semisal energi, kesegaran, responsivitas,
yang menjadi hal penting bagi banyak brand.
Sangat perlu untuk menyampaikan janji brand yang terdifrensiaisi. Jika
perusahaan kehilangan kemampuannya untuk mendefrensiasi brand-nya melalui
atribut fungsi, mereka harus berfokus pada keuntungan dari proses dan hubungan,
semisal kemudahan pemesanan atau responsivitas terhadap permintaan pelanggan.
Dengan demikian, karyawan di lini depan harus mengerti dan menyampaikan janji
brand dengan tepat kepada pelanggannya (Kotler dan Pfoertsch , 2008:187-197).
30
Alreck dan Settle (1999:130-144) mengemukakan bahwa para pemasar
seharusnya membangun hubungan dengan konsumen daripada membuat
penjualan tunggal. Idealnya hubungan tersebut adalah hubungan yang erat antara
pelanggan dan brand. Mereka merumuskan enam strategi untuk membangun
hubungan
tersebut:
menghubungkan
brand
dengan
kebutuhan
pokok,
dihubungkan dengan suasana hati yang menyenangkan, menarik motivasi bawah
sadar sesorang, mengkondisikan konsumen untuk memilih brand dengan reward,
penetrasi persepsi, dan menyediakan model yang atraktif untuk memacu
konsumen. Salah satu strategi atau kombinasinya tergantung oleh dari produk atau
jasa yang di-branding-kan. Kesuksesan strategi tergantung dari pemahaman
pemasar akan proses membangun rasa ketertarikan dan proses menjaga hubungan
yang erat tersebut.
Hal hampir serupa dikemukakan Rod (2003), membangun citra yang kuat
untuk sebuah brand diperlukan strategi perencanaan brand yang hati hati
berdasarkan pada: (1) definisi yang baik dan unik sebagai sebuah kepribadian. (2)
pemilihan strategi positioning yang tepat (3) tema dari pengembangan produk (4)
onsistensi dalam penyediaan iklan dan promosi (5) penjagaan brand. Keseluruhan
Strategi tersebut harus dibangun atas pemahaman dari kebutuhan konsumen.
Kesuksesan dari pengembangan sebuah brand tergantung dari bagaimana persepsi
konsumen dapat dipastikan untuk percaya bahwa destinasi itu berbeda dan lebih
baik dari destinasi yang lain.
31
Jika bisa disimpulkan bahwa strategi brand atau brand strategy adalah
rencana pengembangan brand secara sistematik, terarah, dan terukur untuk
mencapai tujuan bisnis yang telah disepakati. Strategi tersebut haruslah
berorientasi pada visi brand dan harus dapat mempengaruhi keseluruhan
operasional bisnis dalam memastikan perilaku dan pengalaman brand konsisten.
(Wiryawan, 2008:39)
2.2.3 Brand Equity
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia brand equity adalah seperangkat aset
dan keterpercayaan brand yang terkait dengan brand tertentu, nama dan atau
simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh
sebuah produk atau jasa, baik bagi pemasar, perusahaan maupun pelanggan. Bagi
pelanggan brand equity dapat memberikan nilai dalam memperkuat pemahaman
mereka akan proses informasi, memupuk rasa percaya diri dalam pembelian, serta
meningkatkan pencapaian kepuasan. Nilai brand equity bagi pemasar atau
perusahaan dapat mempertinggi keberhasilan program pemasaran dalam memikat
konsumen baru atau merangkul konsumen lama. Hal ini dimungkinkan karena
dengan brand yang telah dikenal maka promosi yang dilakukan akan lebih efektif.
Menurut Philip Kotler (1997:64 dalam Sirait, 2004:34) brand equity
sangat berkaitan dengan seberapa banyak konsumen berada dalam kondisi puas
terhadap suatu brand dan merasa rugi bila berganti brand, konsumen menghargai
brand dan menganggapnya sebagai teman, serta konsumen loyal terhadap brand
tersebut. Brand equity juga berkaitan dengan tingkat pengakuan terhadap suatu
32
brand, kualitas brand yang diyakini, asosiasi mental dan emosional yang kuat,
serta aktiva lain seperti paten, brand dagang, dan hubungan saluran distribusi.
Sementara Amber & Styles (2000 dalam Gregorius, 2004: 136-137)
mendefinisikan brand equity sebagai serangkaian memori dalam benak
pelanggan, anggota saluran distribusi, perusahaan induk, dan anggota utama lain
dari jejaring bisnis brand tertentu yang bisa berdampak pada aliran kas dan
profitabilitas masa datang. Memori dalam definisi ini mencakup ”procedural
memory”(apa yang telah kita pelajari tentang cara melakukan sesuatu, kebiasaan,
dan perilaku) dan “declarative memory” (apa yang kita ingat). Sedangkan
menurut Lassar (1995) brand equity adalah pedoman atau haluan dari
kepercayaan mendalam konsumen pada sebuah
brand dan bagaimana
kompetitornya. Kepercayaan tersebut diterjemahkan kepada loyalitas pelanggan
dan kemampuan untuk membayar harga yang pantas untuk sebuah brand.
Menurut penulis lain yaitu Aaker (1997:22-23) brand equity
adalah
seperangkat aset liabilitas brand yang terkait dengan suatu brand, nama, simbol,
yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah
produk atau jasa baik pada perusahaan maupun pelanggan. Agar aset dan liabilitas
mendasari brand equity, maka aset dan liabilitas brand harus berhubungan dengan
nama atau sebuah simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama atau
sebuah simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama, dan simbol
brand, beberapa atau semua aset dan liabilitas yang menjadi dasar brand equity
akan berubah pula.
33
Pengertian brand equity menurut Durianto, dkk (2001:4) serupa dengan
apa yang di tulis di wikipedia dan Aaker adalah seperangkat aset dan liabilitas
brand yang terkait dengan suatu brand, nama, istilah, simbol yang mampu
menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu produk atau jasa baik
itu kepada perusahaan maupun kepada konsumen.
Terdapat tiga teori mengenai istilah brand equity menurut Rangkuti
(2002:8) yaitu: 1) Bahwa eksekutif perusahaan tidak mengetahui nilai aset yang
tidak tampak dari perusahaannya tanpa mengetahui aspek keuangannya. Aspek
keuangan penting untuk diketahui pada saat perusahaan akan melakukan akusisi.
Tanpa mengetahui nilai dari brand kemungkinan besar nilainya akan menjadi
dibawah nilai. 2) Brand equity diukur berdasarkan kemampuan brand tersebut
untuk mendukung perluasan brand yang dilakukan. Semakin kuat brand equity
yang dimiliki maka usaha perluasan brand akan semakin mudah. 3) Persepsi
brand equity yang ada dalam benak konsumen dapat dilihat dari perilaku
konsumen dalam membuat keputusan pembelian. Analisis yang digunakan adalah
loyalitas brand, dominasi brand, dan kesan brand sebagai komponen dari brand
equity.
Menurut Onojaefe dan Khumalo (2011) berpendapat bahwa brand equity
mampu meningkatkan nilai bisnis dan memberikan keunggulan kompetitif bagi
perusahaan. Nilai-nilai dan keunggulan kompetitif adalah: 1) Brand yang kuat
menyederhanakan proses keputusan pembelian, meningkatkan tingkat eberhasilan
harga dan kebehasilan dalam pemanfaatan peluncuran produk baru. 2) Nama
brand sering dinterpretasikan sebagai indikator dari kualitas dan brand yang kuat
34
adalah jani dari kualitas dan kepuasan. 3) Brand Equity dapat dihubungkan
dengan citra yang baik yang terhubung dengan konsumen, brand equity yang kuat
menyebabkan loyalitas yang lebih besar dari pelanggan juga mampu
meningkatkan daya saing.
Menurut Kamus Brand yang ditulis Wiryawan (2008:29) empat hal yang
menjadi basis penilaian brand equity adalah: penilaian loyalitas, penilaian
persepsi, penilaian asosiasi, penilaian kesadaran brand. Hal tersebut senada
dengan dikemukakan oleh Aaker (1997:25-30), namun menurut Aaker brand
equity dapat dikelompokkan dalam lima kategori yaitu: 1) Kesadaran brand
(brand awarness), menunjukkan kesanggupan seorang calon pembeli atau
konsumen untuk mengenali dan mengingat kembali bahwa suatu brand
merupakan bagian dari kategori produk tertentu. 2) Asosiasi brand (brand
association), mencerminkan pencitraan suatu brand terhadap suatu kesan tertentu
dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk,
geografis, harga, pesaing, selebritis. 3) Persepsi kualitas (percieved quality),
mencerminkan persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan
suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan. 4)
Loyalitas brand (brand loyalty), mencerminkan tingkat keterikatan konsumen
dengan dengan suatu brand produk. 5) Aset-aset brand lainnya (other proprietary
brand asset ), seperti paten, merek dagang dan saluran distribusi pemasaran.
Banyak tulisan yang mengadopsi dimensi Aaker tersebut sebagai landasan
teori dalam tulisannya seperti Tong (2006), Touminen (1999), Smith (2007),
Cresscitelli dan Figueredo (2009). Baik itu mengadopsi secara utuh dan
35
melakukan penelitian dengan objek yang lain ataupun mengdaptasi sesuai dengan
bidang penelitian yang akan diteliti. Kelima dimensi brand equity di atas
dikhtisarkan seperti pada Gambar 2.1 berikut:
Kesadaran Brand
(Brand Awareness)
Asosiasi Brand
(Brand Associated)
BRAND EQUITY
Nama, Simbol
Persepsi Kualitas
(Percieved Quality)
Loyalitas Brand
(Brand Loyalty)
Aset-aset brand
Lainnya
(Other Proprietary
Brand Asset)
Gambar 2.1 Dimensi Brand Equity menurut Aaker
Memberikan nilai kepada
perusahaan dengan
memperkuat:
 Efisiensi dan efektivitas
program pemasaran
 Loyalitas brand
 Harga / Laba
 Perluasan Brand
 Peningkatan perdagangan
 Keunggulan kompetitif
Memberikan nilai kepada
pelanggan dengan
memperkuat:
 Interpretasi/proses
informasi
 Rasa percaya diri dalam
pembelian
 Pencapaian kepuasan dari
pelanggan
Sumber : .Aaker (1997:25) Manajemen Ekuitas Brand
Karakteristik dari kategori atau faktor brand equity di bagi atas beberapa
tingkat. Untuk mampu melihat dimensi kategori Aaker secara lebih jelas masingmasing kategori atau faktornya, variabel atau jabaran dari masing-masing kategori
brand awareness, brand association, brand perceived quality, dan brand loyalty
dapat ditinjau sebagai berikut, sehingga sesuai pada Tabel 2.1 berikut ini.
36
Tabel 2.1
Kategori Brand Equity
Kategori
Kesadaran Brand
(Brand Awareness)
Jabaran Kategori
Puncak pikiran (Top Of Mind)
Pengingatan kembali Brand (Brand Recall)
Pengenalan brand (Brand Recognition)
Tidak menyadari Brand (Unaware Of Brand)
Asosiasi Brand
Atribut produk (Product Atributs)
(Brand Association)
Atribut tak berwujud (Intangibles Attributs)
Manfaat bagi pelanggan (Costumer Benefit)
Harga relatif (Relative Price)
Penggunaan (User Or Application)
Pemakai atau pelanggan (User Or Costumer)
Kelas product (Product Class)
Persepsi Kualitas
Kualitas Product (Product Quality)
( Brand Perceived Quality)
Kinerja (Performance)
Fitur (Feature)
Konformasi (Conformance)
Estetika (Esthetics)
Keandalan (Realibility)
Ketahanan (Durability)
Kemampuan melayani (Serviceability)
Hasil akhir (Fit and Finish)
Kualitas Layanan (Service Quality)
Bentuk fisik (Tangibles)
Empati (Emphaty)
Kemampulayanan (Responsiveness)
Jaminan (Assurance)
Loyalitas Brand
Pembeli yang komit (Committed Buyer)
(Brand Loyalty)
Pembeli yang menyukai brand (Likes the
brand)
Pembeli yang puas (Satisfied Buyer)
Pembeli karena kebiasaan (Habitual Buyer)
Pembeli yang berpindah-pindah (Switcher)
Aset-aset Brand Lainnya
Paten (Paten)
(Other Propreitary Brand Asset)
Merek dagang (Trademarks)
Saluran distribusi (Channel)
Hubungan (Relationship)
Sumber : Aaker (1997). Manajemen Ekuitas Brand.
Banyak juga para penulis yang melakukan debat atau sedikit berbeda
dengan apa yang dikemukan terhadap konsep dimensi brand equity
yang
dikemukakan oleh Aaker tersebut salah satunya dikemukakan oleh Keller dalam
37
beberapa tulisan Rajh (2002), Huang dan Lin (2005), Zhong (2005). Ada pula
yang membandingkan brand equity dan brand value dalam tulisan Wood (2000).
Menurut Keller (1993) brand equity adalah perbedaan pengaruh brand knowledge
atas reaksi pelanggan terhadap pemasaran dari brand tersebut. Menurut Keller ada
dua dimensi dalam brand equity yaitu brand awareness dan brand image dan
variabel-variabelnya dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini
Brand Recall
Brand Awareness
Brand Recognition
Brand Equity
Brand Knowledge
Types Of
Brand Association
Favorability Of
Brand Association
Non
Product Related
Product Related
Attribute
Functional
sBenefits
Symbolic
Attitudes
Experential
Brand Image
Strength Of
Brand Association
Uniqueness Of
Brand Association
Price
Packaging
User Imagery
Gambar 2.2 Brand Equity menurut Keller
Usage Imagery
Sumber: Keller (1993)
Berpijak dari banyak perdebatan mengenai dimensi brand equity tersebut
Walker (2002: 2) dalam makalah presentasinya mengemukakan dimensi brand
38
equity terdiri dari hubungan, popularitas, kualitas, keunikan, dan familiar.
Sementara Adriana dalam tulisannya dan setelah melihat banyak tulisan mengenai
brand equity memadukan pendapat Keller dan Aaker dimensi brand equity terdiri
dari loyality, awareness, perceived quality, personality, identity, image, dan
associations.
Jika kebanyakan studi-studi brand equity didominasi oleh pendekatan
perilaku dan psikologi konsumen seperti yang dilakukan Aaker dan Keller namun
ada beberapa pakar yang menggunakan informasi ekonomi atas ekuitas yang
dianggap pelanggan berasal dari brand. Studi tersebut dilakukan oleh Erdem dan
Swait (1998, dalam
Sadat, 2009:172). Fokus utama terletak pada peranan
kredibilitas yang ditentukan oleh pengalaman berinteraksi antara perusahaan dan
pelanggan. Jika pelanggan tidak yakin dengan atribut-atribut produk yang
ditawarkan, maka perusahaan akan menggunakan brand sebagai ”senjata” untuk
meyakinkan mereka. Dengan demikian, brand berperan sebagai sinyal kredibilitas
bagi seluruh produk yang memberikan keyakinan kepada pelanggan. Singkatnya,
melalui sinyal brand, pelanggan akan memperoleh berbagai persepsi mengenai
ekuitas, risiko, serta biaya informasi, sehingga mereka dapat mengoptimalkan
manfaat yang diharapkan.
Pendekatan berbasis Sosiologi dan Antropologi dikemukakan oleh
McCraken (1993, dalam Sadat, 2009:173-174). Bagi McCraken, brand menjadi
bernilai karena dapat memberikan makna pada sebuah produk. Makna tersebut
dapat diperoleh dari beragam sumber kultural, seperti tradisi, status sosial, gender,
kebangsaan, etnik, dan keluarga. Transfer makna pada sebuah brand dapat
39
dilakukan melalui proses komunikasi pemasaran (iklan, promosi, dan hubungan
publik), sehingga brand dapat memiliki makna tertentu di benak pelanggan.
Begitu banyak pengertian dan pendekatan dalam studi brand equity
masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing, namun
dalam penelitian kali ini penulis akan mengadaptasi pendekatan yang
dikemukakan oleh Aaker (brand awareness, brand association, brand perceived
quality, brand loyalty, dan other proprietery brand asset) karena Aaker terkenal
di dalam dunia pemasaran dan telah menulis lebih dari 70 artikel dan delapan
buku dari berbagai aspek brand, serta Aaker mampu melihat kekuatan brand
melalui pendekatan psikologi konsumen dalam hal ini adalah wisatawan
merupakan komponen terpenting dalam sebuah industri jasa khususnya
pariwisata. Namun Menurut Durianto, dkk (2001:4) elemen-elemen brand equity
di luar other proprietery brand asset dikenal dengan elemen-elemen utama dari
brand equity. Other proprietery brand asset berguna untuk memperluas brand,
seperti analisis portofolio brand dan arsitektur brand. Dalam menilai brand
equity, elemen brand equity yang kelima tersebut secara langsung akan
dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut. Mengadapatasi yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah penulis hanya akan menggunakan empat
konsep utama dari brand equity yang dikemukakan oleh Aaker yaitu brand
awareness, brand association, brand perceived quality, dan brand loyalty.
2.2.3.1 Brand Awareness
Brand awareness merupakan kesanggupan seorang konsumen untuk
mengenal atau mengingat kembali tentang keberadaan suatu brand yang berkaitan
40
dengan suatu kategori produk atau jasa tertentu (Aaker, 1997:90, Sadat 2009:165).
Khalayak cenderung membeli brand yang sudah dikenal karena mereka sudah
merasa aman dengan sesuatu yang sudah dikenal, atau mungkin ada asumsi bahwa
sebuah brand yang sudah dikenal mempunyai kemungkinan bisa diandalkan,
kemantapan dalam bisnis, dan kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Faktor
kesadaran sangat penting khususnya dalam konteks di mana brand mesti lebih
dahulu memasuki rangkaian pertimbangan, mesti salah satu brand yang
dievaluasi. Brand yang tidak dikenal biasanya hanya mempunyai sedikit peluang.
Menurut Kotler (1997:64, dalam Sirait, 2005:38) brand awareness merupakan
tingkat keasadaran konsumen terhadap suatu brand yang diukur berdasarkan
ingatan dan pengakuan terhadap brand tersebut.
Tingkatan brand awareness dari yang terendah sampai yang tertinggi
(Rangkuti: 2002:40) adalah sebagai berikut.
1. Unaware of Brand (tidak menyadari brand) merupakan tingkat kesadaran
yang paling rendah dari konsumen, di mana konsumen tidak menyadari akan
adanya suatu brand yang dikaitkan dengan suatu kategori produk atau jasa
tertentu.
2. Brand Recognition (pengenalan brand) merupakan tingkat minimal dari
kesadaran konsumen akan suatu brand di mana dalam mengingat brand
tersebut konsumen memerlukan bantuan.
3. Brand Recall (pengingatan kembali terhadap brand) merupakan pengingatan
kembali terhadap brand didasarkan pada permintaan seseorang untuk
menyebutkan brand tertentu dalam suatu kelas produk. Hal ini diistilahkan
41
dengan pengingatan kembali tanpa bantuan, karena berbeda dari tugas
pengenalan, responden tidak perlu dibantu untuk memunculkan brand
tersebut.
4. Top of Mind (puncak pikiran) merupakan brand utama dari berbagai brand
yang ada dalam benak konsumen. Apabila seseorang ditanya secara langsung
tanpa diberi bantuan pengingatan dan ia dapat menyebutkan satu nama brand,
maka brand yang paling banyak disebutkan pertama sekali merupakan puncak
pikiran. Dengan kata lain, brand tersebut merupakan brand utama dari
berbagai brand yang ada di dalam benak konsumen.
Tingkat kesadaran brand secara berurutan dapat digambarkan sebagai suatu
piramida seperti pada Gambar 2.3 berikut.
Puncak
pikiran
Pengingatan
kembali akan brand
Pengenalan brand
Tidak menyadari brand
(
Gambar 2.3 Piramida Brand Awareness (Sumber : Rangkuti, 2002:56)
Penciptaan nilai brand awareness untuk mewujudkan brand equity yang
kuat (Durianto, dkk, 2001:56) dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu:
42
1. Anchor to which other association can be attached, artinya brand diibaratkan
sebagai sebuah jangkar yang terdiri dari beberapa rantai, di mana rantai ini
menggambarkan asosiasi dari brand tersebut,
2. Familiarity – Liking artinya dengan mengenal suatu brand maka akan
menumbuhkan rasa terbiasa konsumen terhadap suatu produk terutama produk
yang bersifat keterlibatan rendah,
3. Substance / commitment, artinya kesadaran akan brand dapat menandakan
keberadaan, komitmen, dan inti yang sangat penting bagi perusahaan. Jika
kualitas dari dua brand suatu produk barang atau jasa sejenis sama, maka
brand awareness yang menjadi faktor penentu bagi konsumen dalam
membuat keputusan pembelian, dan
4. Brand to consider, artinya langkah pertama dalam suatu proses pembelian
adalah menyeleksi dari suatu kelompok brand yang telah dikenal untuk
dipertimbangkan brand mana yang akan dibeli.
Pengembangan dari brand awareness dikemukakan oleh Wiryawan dalam
Kamus brand-nya (2008:16) yaitu presentase khayalak sasaran yang mengenali
keberadaan sebuah brand ketika ditanyakan dalam sebuah survei. Ada dua tipe
awareness, yang pertama adalah spontanitas, yang mengukur persentase dari
sejumlah orang yang secara spontan menyebut sebuah brand
tertentu ketika
ditanyai tentang kategori sebuah brand; dan yang kedua adalah ketepatan, yang
mengukur persentase dari sejumlah orang yang mengenal sebuah brand dari
kategori tertentu pada saat diperlihatkan daftar yang diberikan. Brand awareness
43
dalam penelitian ini adalah kesadaran wisatawan yang datang ke Bali terhadap
brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti”.
2.2.3.2 Brand Association
Asosiasi brand adalah segala kesan yang muncul di benak konsumen yang
terkait dengan ingatannya mengenai suatu brand teretentu. Kesan-kesan yang
terkait brand akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman
konsumen dalam mengkonsumsi suatu brand atau dengan semakin seringnya
penampakan brand tersebut dalam strategi komunikasinya, apalagi jika kaitan
tersebut didukung oleh suatu jaringan dan kaitan-kaitan lainnya. Suatu brand yang
telah mapan akan memiliki posisi menonjol dalam persaingan apabila didukung
oleh berbagai asosiasi yang kuat. Berbagai asosiasi brand yang saling
berhubungan akan menimbulkan suatu rangkaian yang disebut brand image.
Semakin banyak asosiasi yang saling berhubungan, semakin kuat brand image
yang dimiliki oleh brand tersebut.
Pada umumnya asosiasi brand yang membentuk brand image, akan
menjadi landasan konsumen dalam keputusan pembelian dan loyalitasnya pada
brand tersebut. Dalam prakteknya, didapati banyak sekali kemungkinan asosiasi
dan variasi dari asosiasi brand yang dapat memberikan nilai bagi suatu brand,
baik dipandang dari suatu sudut perusahaan, maupun dari sisi konsumen. Menurut
Aaker (1997:60) asosiasi brand adalah, segala hal yang berkaitan dengan ingatan
mengenai brand. Asosiasi itu tidak hanya eksis, namun juga memiliki suatu
tingkat kekuatan. Keterikatan pada suatu brand akan lebih kuat apabila dilandasi
pada banyak pengalaman atau penampakan untuk mengkomunikasikan.
44
Pendapat lain dikemukakan oleh Scott M.Davis (2000, dalam Sadat,
2009:169) dinyatakan bahwa brand association akan menggambarkan kekuatan
manfaat yang ditawarkan sebuah brand kepada pelanggan. Pendapat yang sedikit
berbeda dikemukakan Wiryawan (2008:25) brand association adalah perasaan,
kepercayaan, dan pengetahuan pelanggan mengenai sebuah brand. Ke tiga hal
tersebut harus tetap konsisten dengan posisi brand dan keunikannya. Proses
asosiasi ini bisa disandingkan dengan tokoh, karakter, sifat, atau sikap tertentu.
Pengertian brand association adalah keseluruhan kesan yang ada di benak
konsumen yang berkenaan dengan ingatannya terhadap brand suatu produk atau
jasa (Durianto, dkk 2001:69). Berbagai asosiasi yang diingat konsumen dapat
dirangkai sehingga membentuk citra tentang brand atau citra brand di dalam
benak konsumen (Rangkuti, 2002:43). Citra brand merupakan sekumpulan
asosiasi brand yang terbentuk di benak konsumen. Konsumen yang terbiasa
menggunakan brand tertentu cenderung memiliki konsistensi terhadap brand
image atau hal ini disebut juga dengan kepribadian brand.
Fungsi brand association (Durianto, dkk 2001:69) adalah sebagai berikut:
1. Help process/ retrieve information, artinya membantu dalam proses
penyusunan informasi.
2. Diffrentiate, artinya suatu asosiasi dapat memberikan landasan di dalam upaya
pembedaan antara brand yang satu dengan brand yang lainnya.
3. Reason to buy, artinya brand association dapat mengangkat atribut produk
atau manfaat produk bagi konsumen, di mana hal ini memberikan alasan untuk
memakai brand tersebut bagi konsumen.
45
4. Create positive attitude/ feelings, artinya asosiasi-asosiasi brand dapat
menciptakan perasaan yang positif berdasarkan pengalaman pemakaian
terdahulu.
5. Basis for extensions, artinya asosiasi dapat menjadi landasan dalam
melakukan perluasan dengan menciptakan rasa kesesuaian antara brand dan
sebuah produk baru.
Selanjutnya menurut Durianto, dkk (2001:70), asosiasi-asosiasi terhadap
suatu brand umunya dikaitkan dengan hal-hal sebagai berikut.
1. Product attributes (atribut produk). Dengan mengasosiasikan atribut atau
karakteristik produk atau jasa dan jika atribut tersebut bermakna, akan dapat
menjadi alasan dalam pembelian brand tersebut.
2. Intangibles attributes (atribut tidak berwujud). Suatu atribut tak berwujud
merupakan atribut umum, seperti persepsi kualitas, kemajuan teknologi, atau
kesan lain yang mengiktisarkan serangkaian atribut yang obyektif.
3. Customer’s benefits (manfaat bagi pelanggan). Sebagian besar atribut
memberikan manfaat bagi pemakainya.
4. Relative price (harga relatif). Evaluasi terhadap suatu brand disebagian kelas
produk ini akan diawali dengan penentuan posisi brand tersebut dalam satu
atau dua tingkat harga.
5. Application (penggunaan). Pendekatan ini adalah mengasosiasikan brand
dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu.
6. User/Customer
(pengguna/pelanggan).
Pendekatan
ini
mengasosiasikan brand dengan tipe pengguna atau pelanggan.
adalah
dengan
46
7. Celebrity/person (orang terkenal/khalayak). Mengkaitkan orang terkenal
dengan sebuah brand dapat mentransfer asosiasi kuat dari orang terkenal
tersebut kepada brand.
8. Life Style/personality (gaya hidup/ kepribadian). Asosiasi brand yang
dikaitkan dengan gaya hidup dapat diilhami oleh asosiasi para pemakai brand
dengan aneka kepribadian dan gaya hidup yang hampir sama.
9. Product class (kelas produk). Mengasosiasikan sebuah brand dengan kelas
produknya.
10. Competitors (para pesaing). Mengetahui pesaing dan berusaha untuk
menyamai atau bahkan mengunggulinya.
11. Country/geographic area (negara/wilayah). Sebuah negara dapat menjadi
simbol sebuah brand asalkan terdapat hubungan yang erat dengan produk,
bahan, dan kemampuan.
Brand Association dalam penelitian adalah segala sesuatu yang dirasakan
dan kesan terhadap brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti” dari wisatawan yang
berkunjung ke Bali.
2.2.3.3 Brand Percieved Quality
Pengertian brand perceived quality adalah persepsi konsumen terhadap
keseluruhan kualitas atau keunggulan dari suatu produk atau jasa yang dikaitkan
dengan harapan konsumen dalam mengkonsumsi produk atau jasa tersebut,
(Durianto, dkk, 2001:96). Karena persepsi kualitas brand merupakan persepsi
pelanggan, maka persepsi kualitas brand tidak dapat ditentukan secara objektif.
Persepsi konsumen akan melibatkan apa yang berbeda-beda terhadap suatu
47
produk atau jasa. Maka dapat dikatakan bahwa membahas persepsi kualitas brand
berarti akan membahas keterlibatan dan kepentingan pelanggan.
Mengingat kepentingan dan keterlibatan konsumen berbeda-beda, maka
persepsi kualitas brand perlu dinilai berdasarkan sekumpulan kriteria yang
berbeda. Persepsi kualitas yang tinggi bukan berarti harapan pelanggan yang
rendah (pelanggan merasakan kepuasan yang tinggi jika harapannya jauh lebih
rendah dari kinerja atau kenyataan). Persepsi kualitas mencerminkan perasaan
pelanggan secara menyeluruh mengenai suatu brand.
Persepsi kualitas mempunyai peranan yang penting dalam membangun
suatu brand, di mana dalam banyak konteks persepsi kualitas sebuah brand dapat
menjadi alasan penting bagi pembelian serta brand mana yang akan
dipertimbangkan konsumen yang pada gilirannya akan mempengaruhi konsumen
dalam memutuskan brand yang akan dibeli dan dikonsumsi. Karena persepsi
kualitas terkait erat dengan keputusan pembelian maka persepsi kualitas dapat
mengefektifkan semua elemen program pemasaran, khususnya program promosi.
Apabila persepsi kualitas tinggi, maka kemungkinan besar program pemasaran
promosi dan periklanan yang telah dijalankan akan efektif. Tetapi persespi
kualitas dapat juga menyebabkan kesulitan yang berarti jika program pemasaran
tidak direncanakan dengan baik.
Menurut Rangkuti (2002:42), brand perceived quality dapat mewujudkan
lima nilai, yaitu: 1) Alasan utama bagi konsumen dalam membeli suatu produk
atau jasa. Hal tersebut akan mempengaruhi brand-brand mana yang
dipertimbangkan dan brand mana yang akan dipilih konsumen, 2) Dapat dijadikan
48
sebagai strategi pemosisian yang akan membedakan suatu brand dengan brand
yang lainnya, 3) Dapat dijadikan sebagai pilihan dalam menetapkan berbagai
harga optimum atau harga premium, 4) Dapat menarik minat distributor,
pengecer, atau saluran ditribusi yang lainnya untuk mendistribusikan brand
tersebut, dan 5) Dapat dieksploitasi dengan cara mengenalkan berbagai perluasan
brand yaitu dengan menggunakan suatu brand tertentu untuk masuk dalam
kategori produk baru.
Dimensi brand perceived quality mengacu kepada pendapat David
A.Garvin dalam Durianto, dkk (2001:98) adalah sebagai berikut.
1. Kinerja, meliputi berbagai karakteristik operasional dari perusahaan.
2. Karena faktor kepentingan setiap konsumen berbeda maka konsumen
memiliki penilaian yang berbeda terhadap atribut-atribut kinerja tersebut.
3. Pelayanan; menggambarkan kemampuan untuk memberikan pelayanan pada
produk yang ditawarkan
4. Ketahanan; menggambarkan umur ekonomis dari produk tersebut.
5. Keandalan; menggambarkan konsistensi dari kinerja produk.
6. Karakteristik produk; menggambarkan nilai tambah atau tambahan-tambahan
atribut dari produk.
7. Kesuaian dengan spesifikiasi; menggambarkan kualitas produk yang sesuai
dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji.
8. Hasil; menggambarkan kualitas yang dirasakan setelah mengkonsumsi
tersebut.
49
Dimensi brand perceived quality untuk konteks jasa menurut Durianto,
dkk (2001:100) adalah sebagai berikut:
1. Bentuk fisik; kesan kualitas dari fasilitas fisik, perlengkapan, dan penampilan
karyawan.
2. Kompetensi; kemampuan, keyakinan, dan percaya diri dari karyawan divisi
pelayanan.
3. Keandalan; penyelesaian tugas yang akurat dan meyakinkan
4. Tanggung jawab; kemauan karyawan untuk membantu konsumen dengan
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.
5. Empati; perhatian dan kepedulian terhadap konsumen.
Brand perceived quality dalam penelitian ini adalah persepsi wisatawan
terhadap kualitas Bali sebagai destinasi pariwisatanya dan ditinjau dari dimensi
yang dikemukan oleh durianto brand perceived quality dari konteks jasa yaitu
bentuk fisik, kompetensi, keandalan, tanggung jawab dan empati.
2.2.3.4 Brand Loyalty
Loyalitas brand merupakan suatu ukuran keterkaitan konsumen kepada
suatu brand. Ukuran ini dapat memberikan gambaran tentang mungkin atau
tidaknya konsumen beralih ke brand produk lain, terutama jika pada brand
tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut
lainnya.
Bagi perusahaan manapun, sangatlah mahal untuk mendapatkan konsumen
baru. Sebaliknya, relatif tidak mahal untuk memelihara konsumen yang sudah
ada, terutama jika para konsumen itu sudah puas dengan atau bahkan memakai
50
brand tersebut, (Aaker, 1997:27). Kenyataanya dibanyak pasar
terjadi
kegamangan di antara para konsumen dalam menentukan pilihan terhadap brand
yang sudah ada, sekalipun terdapat biaya pengalihan yang kecil dan komitmen
konsumen rendah. Karena itu dasar perekrutan konsumen adalah, investasi
akuisisi konsumen yang besar pada masa-masa sebelumnya. Lebih jauh,
setidaknya beberapa konsumen yang ada menonjolkan pemakaian brand dan
meyakinkan para konsumen baru.
Pengertian brand loyalty adalah ukuran kesetiaan konsumen terhadap
suatu brand produk atau jasa tertentu. Hal ini merupakan inti dari brand equity
yang menjadi sentral gagasan pemasaran karena merupakan suatu ukuran
keterkaitan seorang konsumen terhadap suatu brand, (Rangkuti, 2002:60 dan
Aaker 1997:57). Tingkatan brand loyalty dari yang terendah sampai yang
tertinggi adalah sebagai berikut:
1. Switcher atau price buyer (pembeli yang berpindah-pindah). Pada tingkatan
loyalitas yang paling dasar ini konsumen sama sekali tidak loyal atau tidak
tertarik pada brand apapun yang ditawarkan. Brand memainkan peranan yang
kecil dalam keputusan pembelian karena konsumen lebih memperhatikan
harga
sehingga
konsumen
sering
berpindah-pindah
brand
dalam
mengkonsumsi suatu kategori atau jasa.
2. Habitual Buyer (Pembeli karena kebiasaan). Pada tingkatan ini adalah para
pembeli yang puas dengan produk, atau setidaknya tidak mengalami
ketidakpuasan. Para pembeli tipe ini mungkin bisa disebut sebagai pembeli
karena kebiasaan. Berbagai segmen bisa rentan terhadap para kompetitor
51
yang mampu menciptakan suatu manfaat nyata untuk beralih brand. Akan
tetapi, para pembeli ini juga sulit dirangkul kompetitor karena tidak ada alasan
bagi mereka untuk memperhitungkan berbagai alternatif.
3. Satisfied Buyer (Pembeli yang puas). Pada tingkatan ini terdapat konsumen
yang puas namun mereka menanggung biaya peralihan baik itu waktu, uang
atau risiko sehubungan dengan upaya untuk melakukan pergantian ke brand
yang lainnya. Konsumen loyal terhadap suatu brand, namun tidak menutup
kemungkinan konsumen ini berpindah ke brand yang lainnya dengan
menanggung biaya peralihan. Untuk menarik minat para pembeli ini, para
kompetitor perlu mengatasi biaya peralihan dengan menawarkan bujukan
untuk beralih atau dengan tawaran suatu manfaat yang cukup besar sebagai
kompensasi. Kelompok Ini mungkin bisa disebut sebagai pelanggan yang
loyal terhadap biaya peralihan.
4. Likes the brands (Pembeli yang menyukai brand). Konsumen memiliki
perasaan emosional dalam menyukai suatu brand. Rasa suka ini didasarkan
atas asosiasi seperti simbol, pengalaman dalam menggunakan, atau kesan
kualitas yang tinggi sehingga menempatkannya sebagai ‘teman’ pendamping
setiap saat.
5. Commited Buyer (Pembeli yang memiliki komitmen). Terdapat konsumen
yang memang setia terhadap suatu brand. Konsumen merasa bangga dalam
memakainya karena dapat menunjukkan identitias dirinya.
52
Tingkatan brand loyalty dapat digambarkan dengan sebuah piramida
dalam Gambar 2.4 sebagai berikut:
Pembeli
yang
berkomitmen
Pembeli yang
menyukai brand
Pembeli yang puas
Pembeli karena kebiasaan
Pembeli yang berpindah-pindah
Gambar 2.4 Piramida Brand Loyalty (sumber : Durianto dkk, 2002:126)
Potensi brand loyalty yang dapat diberikan kepada perusahaan menurut
Durianto , dkk (2001:127) adalah:
1. Mengurangi biaya pemasaran. Brand loyalty yang kuat berarti dapat
mempertahankan pelanggan yang sudah ada. Biaya pemasaran untuk
mempertahankan pelanggan yang sudah ada lebih kecil dari pada biaya
pemasaran untuk mencari konsumen baru.
2. Meningkatkan penjualan. Konsumen yang loyal berarti konsumen yang
melakukan pembelian suatu brand secara berulang-ulang. Pembelian
berulang-ulang ini dapat meningkatkan penjualan.
53
3. Menarik minat pelanggan baru. Pelanggan yang puas terhadap suatu brand
akan merekomendasikannnya kepada calon-calon pelanggan yang baru.
4. Memberi waktu untuk merespon ancaman pesaing. Jika perusahaan pesaing
mengembangkan produk yang unggul, pelanggan akan memberi waktu kepada
perusahaan untuk memperbaharui produknya.
Pengertian yang senada dikemukakan oleh Oliver (2007) dan Yoo (2000)
dalam Sadat (2009:170) dinyatakan bahwa brand loyalty adalah komitmen yang
kuat dalam berlangganan atau membeli kembali suatu brand secara konsisten di
masa mendatang. Sementara Wiryawan (2008:33) menuliskan brand equity
adalah tingkat kesetiaan pelanggan pada sebuah brand, diukur dari dukungan
yang diberikan secara terus menerus, pembelian berulang pada brand tersebut,
dan kesetiaan terhadap brand tersebut. Untuk membangun brand, peningkatan
loyalitas brand adalah sumber utama dari keuntungan secara ekonomi. Hanya
loyalitas yang membuat pelanggan membeli brand tertentu dan tidak mau beralih
ke brand yang lain, meskipun kondisi tersebut sulit direalisasikan di tengah
kenyataan banyaknya pesan-pesan iklan yang membobardir setiap saat. Namun
jika loyalitas tersebut dapat diraih, tentu saja akan meningkatkan brand equity
yang sangat penting dalam jangka panjang.
Suatu produk dapat mempunyai kesadaran brand yang tinggi, kualitas
yang baik, asosiasi brand yang cukup banyak, tetapi belum tentu mempunyai
loyalitas brand. Sebaliknya produk yang mempunyai loyalitas brand dapat
dipastikan mempunyai kesadaran brand yang cukup tinggi, kualitas yang baik,
asosiasi brand yang cukup dikenal. Apalagi dalam kondisi pasar dengan tingkat
54
pertumbuhan yang mulai melemah seperti keadaan sekarang ini dan tingkat
persaingan yang cukup tinggi. Brand Loyalty dalam penelitian kali ini adalah
tingkat keterikatan wisatawan yang berkunjung ke Bali dengan brand “ Bali
Shanti, Shanti, Shanti”.
2.2.4 Faktor – faktor Yang Menentukan Keputusan Wisatawan Memilih
Destinasi Pariwisata
Morley (1990) menyatakan permintaan akan pariwisata tergantung pada
ciri-ciri wisatawan, seperti penghasilan, umur, motivasi, dan watak. Ciri-ciri ini
masing-masing akan mempengaruhi kecenderungan orang untuk bepergian
mencari kesenangan, kemampuannya untuk bepergian dan pilihan tempat tujuan
perjalanannya. Permintaan juga ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri tempat
tujuan perjalanan, daya tariknya, harga dan efektif tidaknya kegiatan memasarkan
tempat tujuan. Kebijaksanaan pemerintah dapat mendorong atau menurunkan
permintaan akan pariwisata secara langsung dan sengaja, dan secara tidak
langsung melalui faktor-faktor yang penting bagi wisatawan, seperti keamanan.
Morley yakin faktor-faktor sosial juga dapat mempengaruhi permintaan, seperti
misalnya sikap penduduk setempat pada wisatawan dan minat yang dibangkitkan
oleh budaya setempat. Permintaan pada gilirannya akan mempengaruhi
penawaran pariwisata. (Morley 1990, dalam Glenn 1997: 8-9)
Sementara Dann (1977) berpendapat ada dua faktor atau tahap dalam
keputusan untuk melakukan perjalanan. 1) faktor pendorong, adalah faktor yang
membuat kita ingin bepergian, 2) faktor penarik, adalah faktor yang
mempengaruhi ke mana wisatawan akan pergi setelah ada keinginan awal untuk
55
bepergian. Faktor-faktor itu ‘menarik’ wisatawan ke tempat tertentu setelah
‘didorong’ untuk keinginan bepergian. Jadi pertanyaan ‘apa yang membuat orang
bepergian?’ hanya berkaitan dengan faktor pendorong. Menurut Dann ada dua
alasan pokok untuk bepergian yaitu Anomi (melarikan diri dari keadaan yang
kacau) dan memperbesar ego. Dann dalam Glenn (1997:31). Faktor yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah faktor eksternal yang merupakan daya tarik
dari brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti” agar wisatawan mau berkunjung dan
berwisata ke Bali.
Menurut Homer dan Swarbook dalam Sudibya (2004: 96) terdapat dua
faktor penentu keputusan untuk berlibur yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal terdiri dari motivasi personal, kepribadian, pendapatan, kesehatan,
keputusan keluarga, keputusan pekerjaan, pengalaman di masa lalu, hobi dan
ketertarikan, pengetahuan akan liburan yang potensial, gaya hidup, kebiasaan,
opini dan persepsi. Sementara faktor eksternalnya terdiri dari keberadaan produk
yang sesuai, saran dari agen perjalanan, informasi yang didapat dari destansi
tujuan melalui organisasi pariwsiata dan media, rekomendasi dari teman atau
keluarga, kebijakan politik , faktor kondisi kesehatan di daerah tujuan, promosi
spesial, dan iklim.
2.2.5 Wisatawan
Menurut pasal 5 resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan BangsaBangsa No.870 ada yang disebut dengan wisatawan dan pelancong:
56
1) Wisatawan (tourist) yaitu pengunjung sementara yang paling sedikit tinggal
selama 24 jam di negara yang dikunjunginya dan tujuan perjalanannya dapat
digolongkan ke dalam klasifikasi berikut ini:
a. Kesenangan, liburan, kesehatan, studi, keagamaan , dan olahraga;
b. Bisnis, keluarga, konfrensi, dan misi.
2) Pelancong (excursionist) yaitu pengunjung sementara yang tinggal kurang
dari 24 jam di Negara yang dikunjunginya (termasuk penumpang dengan
kapal pesiar)
Menurut panitia statistik Liga Bangsa-bangsa 22 januari 1937 istilah
wisatawan dimaksudkan adalah setiap orang yang melakukan perjalanan selama
24 jam atau lebih dalam suatu Negara yang lain dari Negara di mana ia biasanya
tinggal.
IUTO tahun 1970 mengemukakan yang dimaksud dengan wisatawan
adalah orang asing yang tinggal pada suatu Negara selama lebih dari 24 jam.
Sementara menurut G.A Schmoll dalam Sudibia (2004:90) wisatawan adalah
individu atau kelompok individu yang mempertimbangkan dan merencanakan
tenaga beli yang dimilikinya untuk perjalanan rekreasi dan berlibur, yang tertarik
pada perjalanan pada umunya dengan motivasi perjalanan yang pernah ia lakukan,
menambah pengetahuan, tertatik oleh pelayanan yang diberikan oleh suatu daerah
tujuan wisataa yang dapat menarik pengunjung di masa yang akan datang
Ogilive dalam Sudibia (2004:92) menyatakan bahwa wisatawan adalah
semua orang yang memenuhi dua syarat, pertama bahwa mereka meninggalkan
rumah kediamanya untuk jangka waktu kurang dari satu tahun dan kedua bahwa
57
mereka sementara mereka pergi, mereka mengeluarkan uang di tempat yang
mereka kunjungi dan tidak mencari nafkah di tempat tersebut
Menurut undang-undang nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan
disebutkan wisatawan adalah orang yang melakukan wisata. Sedangkan Sihite
(dalam Wisnawa, 2009 ) pengertian wisatawan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) wisatawan nusantara adalah wisatawan dalam negeri atau wisatawan domestik.
2) wisatawan mancanegara adalah warga negara suatu negara yang mengadakan
perjalanan wisata ke luar lingkungan dari negaranya (memasuki negara lain).
Dalam penelitian kali ini pengertian wisatawan diadopsi dari pengertian yang
tercantum dalam undang-undang nomor 10 tahun 2009 yaitu orang yang
melakukan wisata. Dalam penelitian kali ini yang dimaksud dengan wisatawan
adalah setiap individu atau kelompok yang dating ke Bali untuk melakukan
wisata.
2.2.6 Destinasi Pariwisata
Destinasi pariwisata adalah suatu entitas yang mencakup wilayah
geografis tertentu yang didalamnya terdapat komponen produk pariwisata (atraksi,
kelengkapan, aksesibilitas) dan layanan, serta unsur pendukung lainnya
(masyarakat, pelaku industri pariwisata, dan institusi pengembang) yang
membentuk sistem yang sinergis dalam menciptakan motivasi kunjungan serta
totalitas pengalaman kunjungan bagi wisatawan (Legawa 2008).
58
Tipologi Destinasi Pariwisata berdasarkan UN-WTO yaitu: (1) kawasan
perairan/bahari (coastal zone), (2) kawasan pantai (beach destination and site), (3)
kawasan gurun (destination in desert & Ariad areas), (4) kawasan pegunungan
(mountain destinations), (5) Kawasan Taman Nasional (natural & sensitive), (6)
kawasan ekowisata (ecotourism destinations). Dalam penelitian ini yang
dimaksud oleh destinasi pariwisata adalah Bali.
2.2.7 Teori-teori Untuk Memahami Konsumen Memilih Sebuah Produk
Dalam penelitian ini membicarakan pembuatan keputusan wisatawan
dalam menentukan destinasi pariwisatanya, maka tidak bisa dilepaskan kaitannya
dengan tingkat keterlibatan konsumen. Mowen (1995) dalam Sutisna (2001:11)
mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan konsumen dalam suatu pembelian
dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan yang ditimbulkan oleh
stimulus. Dengan perkataan lain, seseorang terlibat atau tidak terhadap suatu
produk ditentukan oleh apakah dia merasa penting atau tidak di dalam mengambil
keputusan pembelian produk. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa ada
konsumen yang mempunyai keterlibatan tinggi dalam pembelian suatu produk,
dan ada juga konsumen yang mempunyai keterlibatan yang rendah atas pembelian
suatu produk.
Perilaku konsumen dalam pembeliannya dapat dikelompokkan ke dalam
empat tipe. Pertama, adalah konsumen yang melakukan pembeliannya dengan
pembuatan keputusan (timbul kebutuhan, mencari informasi dan mengevaluasi
brand serta memutuskan pembelian), dan dalam pembeliannya memerlukan
59
keterlibatan tinggi. Dua interkasi ini menghasilkan tipe perilaku pembelian yang
kompleks. Kedua, perilaku konsumen yang melakukan pembelian terhadap suatu
brand tertentu secara berulang-ulang dan konsumen mempunyai keterlibatan
tinggi dalam pembeliannya. Perilaku konsumen seperti ini menghasilkan tipe
perilaku konsumen yang loyal terhadap brand. Ketiga, perilaku konsumen yang
melakukan pembeliannya konsumen merasa kurang terlibat. Perilaku pembelian
seperti ini menghasilkan tipe perilaku konsumen yang terbatas dalam membuat
keputusan. Keempat, perilaku konsumen yang dalam pembelian atas suatu brand
produk berdasarkan kebiasaan, dan pada saat melakukan pembelian konsumen
merasa kurang terlibat. Perilaku seperti ini menghasilkan perilaku konsumen tipe
inertia. Inertia merupakan perilaku konsumen yang berulang kali dilakukan,
tetapi sebenarnya konsumen itu tidak loyal karena mengubah pilihan brand-nya
jika ada stimulus yang menarik.
Assael (1992) mengidentifikasi kapan konsumen mempunyai keterlibatan
tinggi terhadap suatu produk sebagai berikut:
1.
Apakah produk itu penting bagi konsumen. Dalam hal ini apakah produk
itu menjadi citra diri bagi konsumen (misalnya pemilikan mobil
merupakan simbol status dan identitas diri)
2.
Apakah produk itu secara terus menerus menarik bagi konsumen.
Misalnya kesadaran konsumen pada mode menyebabkan pembelian
terhadap pakaian
60
3.
Apakah produk membawa atau menimbulkan risiko. Produk-produk yang
mempunyai risiko tinggi baik risiko keuangan maupun risiko sosial,
misalnya pembelian rumah, pembelian mobil, pembelian komputer dan
sebagainya biasa dikategorikan produk keterlibatan tinggi.
4.
Mempunyai daya tarik emosional. Misalnya konsumen yang menyenangi
musik akan terdorong untuk membeli sistem stereo baru.
5.
Apakah produk-produk itu bisa diidentifikasikan pada norma-norma
kelompok. Misalnya produk-produk yang menjadi simbol kelompok,
seperti Harley Davidson, Mercedez, BMW dan lain sebagainya.
Perilaku pembelian keterlibatan rendah terjadi ketika konsumen dalam
pembeliannya tidak begitu terlibat. Dengan perkataan lain, konsumen tidak terlalu
memikirkan brand produk apa yang harus dibelinya, di mana harus dibeli, dan
hal-hal lain yang harus dibeli. Bagi konsumen yang tidak begitu terlibat dalam
pembeliannya, brand apapun sebenarnya tidak menjadi soal yang penting tingkat
kepuasan minimalnya terpenuhi.
Walaupun karakteristik perilaku pembelian lebih banyak menunjukkan
kurang terlibatnya konsumen dalam pembelian (Hupfer and Gardner dalam
Sutisna 2001:46), tetapi mengapa para pemasar berusaha mengarahkan pada
perlikau pembelian konsumen dengan keterlibatan tinggi. Terdapat dua alasan
untuk itu, pertama; lebih mudah mempengaruhi konsumen ketika para pemasar
menganggap bahwa ada proses kognitif dalam evaluasi brand. Manfaat produk
dapat diarahkan kepada segmen sasaran dalam usahanya mengubah sikap
terhadap brand. Dengan perkataan lain, pemasar menginformasikan kepada
61
segmen sasaran manfaat-manfaat produk yang ditawarkannya. Alasan kedua
mengapa pemasar cenderung memfokuskan perhatiannya pada keputusan yang
keterlibatannya tinggi; yaitu pemasar berasumsi bahwa urutan dalam proses
memilih (disebut hierarki pengaruh) konsumen berpikir dahulu sebelum
bertindak. Asumsi para pemasar, konsumen terlebih dahulu membentuk
kepercayaan terhadap brand, mengevaluasi brand, dan membuat keputusan
pembelian. Perbandingan hierarki keterlibatan tinggi dan keterlibatan rendah
dapat dilihat di Tabel 2.2 di bawah ini:
Tabel 2.2
Perbandingan Hierarki Keterlibatan Tinggi (High Involvement) dan
Keterlibatan Rendah (Low Involvement)
No
Hierarki Keterlibatan Tinggi
1 Kepercayaan terhadap brand
pertama kali dibentuk oleh
pembelajaran aktif
No
Hierarki Keterlibatan Rendah
1 Kepercayaan terhadap brand
pertama kali dibentuk oleh
pembelajaran pasif
2
Brand dievaluasi
2
Setelah itu keputusan dibuat
3
Keputusan pembelian dibuat
3
Setelah pembelian, brand
mungkin dievaluasi mungkin juga
tidak
Sumber: Sutisna (2001:47)
Memperhatikan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk untuk
produk pariwisata Bali dengan brand-nya ”Bali Shanti, Shanti, Shanti” termasuk
dalam kategori keterlibatan tinggi,
di mana dalam proses pembelian produk
wisata seorang calon wisatawan tentu akan melakukan pembelajaran secara aktif
dan kompleks, namun produk wisata memiliki karakter yang spesial yaitu proses
produksinya berlangsung bersamaan dengan proses konsumsinya atau dengan kata
62
lain bisa dirasakan setelah keputusan dibuat dan berkunjung ke Bali maka brand
itu kemudian di evaluasi ataupun tidak dievaluasi, hal tersebut menunjukkan juga
bahwa produk pariwisata dalam proses pembeliannya termasuk dalam kategori
keterlibatan rendah.
Berikut adalah teori-teori yang yang dapat memahami
bagaimana konsumen memilih produk .
2.2.7.1 Teori Pembelajaran Pasif
Teori yang dikemukakan oleh Krugman (1965) ini sebenarnya
membicarakan media televisi sebagai sarana pembelajaran yang pasif. Artinya,
seluruh informasi yang ditayangkan di televisi merupakan informasi yang datang
menghampiri penonton/konsumen, dan bukan penonton yang mencari-cari
informasi/iklan di televisi. Hampir bisa dipastikan bahwa orang menonton televisi
adalah karena ingin menonton acara intinya dan bukan menonton selingan iklan.
Oleh karena itu, ketika konsumen melihat iklan televisi dia berada dalam kondisi
pasif.
Krugman membuat hipotesis bahwa televisi adalah media keterlibatan
rendah yang menghasilkan pembelajaran pasif. Krugman juga mempertanyakan
mengapa media televisi mampu menghasilkan daya ingat brand yang tinggi,
tetapi menghasilkan sedikit perubahan dalam sikap terhadap brand. Krugman
beralasan karena pada saat konsumen menerima stimulus iklan dia tidak
menghubungkan dengan kebutuhanya, kepercayaan terhadap brand-nya, dan pada
masa lalunya. Dengan perkataan lain, ketika penonton televisi menonton melihat
iklan obat sakit kepala, pada saat itu dia tidak mengalami sakit kepala. Sedangkan
daya ingat yang melekat pada konsumen atas stau brand tertentu karena
63
konsumen sering melihat iklan brand itu di televisi. Jadi daya ingat yang melekat
pada benak konsumen dibangun dengan penayangan iklan yang berulang-ulang.
Implikasi dari teori dapat diidentifikasi sebagai berikut. Pertama,
bagaimana penerapannya pada media sebagai sarana memasang iklan.
Berdasarkan teori pembelajaran pasif, produk-produk yang dibeli dengan tingkat
keterlibatan rendah sebaiknya memasang iklan pada televisi dan radio. Majalah
dan surat kabar kurang cocok untuk iklan produk-produk yang dibeli dengan
keterlibatan rendah, tapi lebih cocok untuk iklan untuk produk-produk dengan
keterlibatan tinggi. Produk yang dibeli dengan tingkat keterlibatan tinggi,
biasanya produk-produk yang secra teknis rumit, harganya mahal dan bisa
dijadikan simbol kelas atau kelompok. Oleh karena itu, spesifikasi produk perlu
diinformasikan dalam iklan. Konsumen yang mempunyai keterlibatan tinggi
terhadap produk yang ingin dibelinya biasanya akan aktif mencari informasi,
sehingga jika iklan itu ditayangkan di televisi akan sangat tidak efektif dan tidak
efisien.
Kedua, teori Krugman juga mempunyai implikasi pada sifat iklan yang
harus ditampilkan. Krugman menyatakan juga bahwa jika konsumen dalam
keadaan pasif dan tidak mempunyai kepentingan terhadap brand produk yang
diiklankan, evaluasi brand tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu menampilkan
iklan yang bersifat informasional akan kurang berguna. Sebaiknya iklan
menampilkan sisi lain yang tidak berisfat informasional, tetapi bisa berupa simbol,
atau penimbulan kesan untuk menyampaikan pesan kepada konsumen.
64
Pada Tabel 2.3 keterlibatan rendah yang memandang konsumen adalah pasif dan
keterlibatan tinggi yang memandang konsumen adalah aktif.
Tabel 2.3
Keterlibatan Rendah, Pembelajaran Pasif, Keterlibatan Tinggi, dan
Pembelajaran Aktif
Keterlibatan Rendah dan
Pembelajaran Pasif
1. Konsumen mempelajari informasi secara
acak
2. Konsumen sebagai pengumpul informasi
3. Konsumen merupakan audiens yang pasif
terhadap iklan, sehingga hasilnya
pengaruh pada konsumen kuat.
4. Konsumen membeli dulu brand produk,
baru kemudian jika diperlukan
mengevaluasinya
5. Tingkat kepuasan konsumen mempunyai
rentang yang luas, shingga dalam proses
pembeliannya konsumen berdasarkan
pada sedikit atribut.
6. Karakteristik kepribadian dan gaya hidup
tidak berhubungan dengan perilaku
pembelian, karena produk tidak secara
erat behubungan dengan identitas dan
sistem kepercayaan konsumen
7. Kelompok rujukan mempunyai sedikit
pengaruh pada pilihan produk karena
produk tidak mungkin dihubungkan
dengan norma dan nilai-nilai kelompok.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Keterlibatan Tinggi dan
Pembelajaran Aktif
Konsumen adalah pemroses informasi
Konsumen adalah pencari informasi
Konsumen merupakan audiens yang
aktif untuk iklan, sehingga iklan kurang
mempunyai pengaruh pada konsumen
Konsumen mengevaluasi brand
sebelum melakukan pembelian
Konsumen mencari tingkat kepuasan
maksimal dari apa yang diharapkan
sebelumnya, sehingga konsumen akan
membandingkan brand produk yang
satu dengan yang lainnya secara hatihati dengan mendasarkan pada banyak
atribut produk
Kepribadian dan gaya hidup
berhubungan dengan perilaku
konsumen, karena produk mempunya
hubungan yang erat dengan identitas
dan system kepercayaan konsumen.
Kelompok rujukan mempunyai
pengaruh pada perilaku konsumen
karena produk bias dihubungkan
dengan norma dan nilai-nilai kelompok.
Sumber : Sutisna (2001:52)
2.2.7.2 Teori Social Judgement
Teori kedua yang dikemukan oleh Sherif (1961) ini menjelaskan perilaku
pembelian keterlibatan rendah yaitu pertimbangan penilaian sosial. Sherif juga
65
mengidentifikasi ruang gerak rentang penerimaan, ruang gerak rentang penolakan
dan ruang gerak tidak mempunyai komitmen.
Individu yang tingkat keterlibatannya tinggi terhadap suatu masalah akan
mempunyai ruang gerak/rentang penerimaan yang sempit. Sementara individu
yang tidak begitu terlibat dalam proses pembelian produk, akan mempunyai ruang
gerak penerimaan yang luas atas masalah yang dihadapinya.
Teori penilaian sosial dari Sherif juga mengidentifikasi pengaruh
asimilasi. Pengaruh asimilasi terjadi ketika konsumen menerima informasi yang
jatuh pada ruang gerak rentang penerimaan. Informasi yang jatuh pada ruang
gerak rentang penerimaan akan diterima lebih positif dari yang sebenarnya. Di sisi
lain, jika informasi yang diterima jatuh pada rentang penolakan, individu akan
mempunyai interpretasi yang lebih negatif dari yang sebenarnya.
Implikasi dari teori ini terhadap perilaku konsumen yaitu bahwa
konsumen yang mempunyai keterlibatan tinggi akan mempunyai ruang
penerimaan yang sempit atas berbagai informasi. Dapat dikatakan konsumen
seperti ini mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap brand. Dia akan berusaha
menghindari informasi-informasi yang tidak sesuai dengan loyalitas brand-nya.
Sementara itu konsumen yang mempunai keterlibatan yang rendah akan
mempunyai ruang penerimaan yang luas dan banyak. Konsumen seperti ini tidak
mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap brand tertentu. Konsumen bisa
mengubah pilihan brandnya kapan saja tanpa proses yang rumit. Implikasi lainnya
yaitu konsumen berusaha menghindari informasi yang tidak sesuai dengan ruang
66
gerak penerimaanya, dan mencari atau menerima informasi yang sesuai dengan
ruang gerak penerimaannya.
2.2.7.3 Teori Model Kemungkinan Elaborasi
Teori ini dikemukakan oleh Petty & Cacioppo (1986). Model
ini
menunjukkan cara bagaimana konsumen memproses informasi dalam kondisi
keterlibatan tinggi dan keterlibatan rendah. Model ini memberikan rangkaian
kesatuan mulai dari pemrosesan informasi yang detail sampai pada pemrosesan
informasi yang bersifat tambahan, pelengkap, atau bukan hal yang pokok.
Konsumen yang mempunyai keterlibatan tinggi terhadap suatu produk, akan
memfokuskan pemrosesan informasi pada yang inti dan detailnya. Sedangkan
konsumen yang mempunyai keterlibatan yang rendah akan lebih memperhatikan
informasi pada unsur-unsur yang bukan inti dari iklannya.
Petty dan Cacioppo juga menemukan bahwa konsumen yang lebih terlibat
lebih mungkin dipengaruhi oleh kualitas pesan yang kuat, sedangkan konsumen
yang keterlibatannya rendah lebih mudah dipengaruhi oleh pesan-pesan yang
bukan hal yang pokok seperti musik, suasana, tampilan warna, dan sifat dari latar
belakang iklan. Ditemukan juga bahwa konsumen yang tingkat keterlibatannya
rendah lebih mungkin dipengaruhi oleh variasi pulasan dalam iklan misalnya
kualitas cetakan, layout, gambar dari bintang iklan, warna dan lain-lain.
Sementara itu konsumen yang lebih terlibat lebih mungkin dipengaruhi oleh
variasi substansif seperti isi pesan yang berkenaan dengan manfaat dan atribut
dari produk.
67
Hasil temuan di atas memberikan inspirasi pada bagaimana seharusnya
iklan dirancang. Bagi konsumen yang lebih terlibat, iklan seharusnya menekankan
pada isi pesan, sedangkan bagi konsumen yang kurang terlibat seharusnya
menkankan pada unsur-unsur pelengkap dari iklan seperti musik, suasana, warna
dan bintang iklan misalnya. Bagi iklan yang mengandalkan pada unsur pelengkap
mengandung bahaya yaitu konsumen akan lebih banyak memperhatikan unsurunsur tambahannya saja sementara produk yang diiklankan konsumen sama sekali
tidak memperhatikan bahkan tidak tahu.
2.2.7.4 Teori Pembelajaran Koginitif
Menurut Assael (1992) dalam Sutisna (2001:49) Untuk tipe perilaku
konsumen dengan keterlibatan tinggi dasar teorinya adalah teori pembelajaran
kognitif. Teori dikemukakan oleh Bandura (1962) yang menyatakan bahwa
konsumen berperilaku untuk menyelesaikan berbagai masalahnya. Timbulnya
kebutuhan dan keinginan, dipandang sebagai masalah yang harus diselesaikan.
Perilaku yang ditampilkan merupakan proses penyelesaian masalah.
Kognitif melihat belajar sebagai proses pemecahan masalah bukannya
proses pengembangan koneksi antara stimulus dan tanggapan. Dengan kata lain,
teori kognitif menekankan proses berpikir yang dilibatkan didalam proses
pembelajaran konsumen. Berdasarkan teori tersebut tugas pembelajaran didalam
suatu lingkungan pasar baru dirumuskan sebagai berikut: (1) identifikasi brand,
(2) evaluasi brand, dan (3) penetapan pola tingkah laku reguler berkenaan
dengan merek yang dievaluasi. Teori pembelajaran kognitif lebih relevan untuk
produk yang penting dan memerlukan keterlibatan tinggi.
68
2.3. Konsep Penelitian
Untuk membatasi dan mengarahkan penelitian perlu kiranya dilakukan elaborasi
terhadap konsep-konsep tersebut di atas sebagai berikut:
2.3.1
Analisis Brand Equity
Analisis yang dimaksudkan adalah teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu analisisis faktor konfirmatori terhdap faktor-faktor dari
brand equity. Analisis faktor konfirmatori adalah adalah salah satu teknik yang
cukup kuat dalam menganilisi model sederhana dalam melihat berfungsinya
faktor di sebuah model structural. Dalam penelitian ini analisis ini digunakan
untuk menjawab masalah dari penelitian ini yaitu mengetahui berfungsinya atau
peran setiap faktor brand equity, yaitu brand awareness, brand association, brand
perceived quality, dan brand loyalty untuk pada akhirnya melihat kekuatan brand
itu sendiri.
2.3.2
Brand Pariwisata Bali ”Bali Shanti, Shanti, Shanti”
Penelitian ini merujuk kepada pengertian yang dikemukakan Kotler bahwa
brand adalah nama, istilah, symbol, atau rancangan, atau kombinasi hal-hal
tersebut yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi
barang atau jasa dari
seseorang atau kelompok penjual dan untuk membedaknnya dari produk pesaing.
Seperti dikemukakan di awal begitu banyak brand pariwisata Bali yang
telah terbentuk di benak wisatawan dengan sendirinya, namun sejak tanggal 16
Juni 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan sebuah brand resmi
destinasi wisata Bali beserta tag line-nya seperti yang terdapat pada Gambar 2.5
berikut :
69
Gambar 2.5 Logo dan Tag-Line Brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti “
Sumber : http://www.dipardabali.com/v2009/inc/diparda.php?id=9901
Brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti” mengambil konsep Tri Hita Karana
yang berlandaskan hubungan antara manusia, lingkungan, dan spiritual. Dengan
visi mewujudkan Bali sebagai salah satu tempat yang harmoni dan damai.
Branding “Bali Shanti, Shanti, Shanti”, dapat di deskripsikan dalam empat
bagian; tampilan visual logo, huruf yang digunakan, warna yang digunakan serta
tag linenya itu sendiri yaitu Shanti, Shanti, Shanti.
Tampilan visual logo menggambarkan segitiga sama
sisi
yang
menggambarkan stabilitas dan keseimbangan dari tiga Dewa yang mengontrol
jagad (Brahma, Wisnu, Siwa), juga merepresentasikan tiga tingkatan kosmos
(Bhur, Bwah dan Swah Loca) seperti 3 tahapan dalam kehidupan (lahir, hidup,
dan mati). Segitiga sama sisi juga merepresentasikan Tri Hita Karana sebuah
filosofi dasar masyarakat Bali yang menuntun keseimbangan, dalam bahasa
70
sansekerta bermaksud ‘Tiga penyebab kesejahteraan, kemakmuran, dan
keamanan’
melalui hubungan yang harmoni dengan Tuhan, dengan sesama
manusia, dan dengan lingkungan. Ukiran bunga yang simetris merepresentasikan
kreativitas dari masyarakat Bali yang hidup secara damai dalam keseimbangan
dengan alam.
Huruf yang digunakan huruf “B” yang membentuk angka ‘3’
merepresentasikan hal yang disebutkan pada alinea sebelumnya, dan hurufnya
serupa dengan ‘Ang’ karakter suci dari Dewa Brahma. Huruf “L” yang menjulang
hingga hampir ke puncak menggambarkan komitmen yang kuat dari pemegang
kebijakan secara menyeluruh untuk mencapai tujuan yang tinggi yang
dilambangkan dengan mahkota.
Penggunaan warna merah, hitam, dan putih (Tri Datu) merefleksikan tiga
Dewa (Tri Murti). Merah melambangkan Dewa Brahma, Sang Pencipta. Putih
melambangkan Dewa Wisnu, Sang Pemelihara. Hitam melambangkan Dewa
Siwa, Sang Pelebur. Ketiga Dewa ini
akan memelihara dan melindungi
kehidupan dan kemakmuran Bali tumbuh dalam harmoni, berkelanjutan, dan
dalam kedamaian.
Tag Line ‘ Shanti, Shanti, Shanti’ diterjemahkan secara mudah artinya
‘damai, damai, damai’ . Oleh masyarakat Bali ‘Shanti’ diucapkan tiga kali dan
diawali dan diakhiri dengan ‘Om’ (simbol suci untuk Tuhan). Dalam arti yang
sebenarnya ‘Om Shanti, Shanti, Shanti Om’ adalah kesucian di dalam hati kita,
dunia, dan jagad raya.
71
Setelah ditinjau dari maknanya selanjutnya di paparkan proses dari Bali
branding itu sendiri. Proses Bali Branding terbagi dalam lima tahap. Tahap
pertama;
Insight Finding (penemuan mendalam), di mana dalam proses ini
dilakukan wawancara mendalam dan diskusi berkelompok dengan pemegang
kebijakan di Bali serta melakukan analisa kompetensi internal dan pesaing Bali.
Tahap kedua; Penyamaan persepsi, di mana dalam tahap ini dilakukan diskusi
yang sinergi dengan pemegang kebijakan di Bali, dan pengembangan visi dan
misi dan nilai-nilai Bali. Tahap ketiga; perumusan identitas Bali, dalam tahap ini
dilakukan pengembangan diferensiasi, pemosisian, dan kepribadian Bali serta
pengembangan identitas visual Bali. Tahap keempat; perumusan strategi aktivasi
brand Bali, dalam tahap ini dilakukan pengembangan taktik dan program
eksternal dan internal Bali. Pada tahap terkahir yaitu tahap kelima, tahap
implemantasi dan evaluasi, dalam tahap ini dilakukan eksekusi dan evaluasi
program-program internal dan eksternal branding Bali. Dalam penelitian ini yang
dimaksud brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti” adalah logo beserta tag-line nya.
2.3.3
Faktor Penentu Wisatawan Memilih Destinasi Pariwisata Bali
Berdasarkan landasan teori yang dikemukakan oleh Homer dan Swarbook
dalam Sudibya (2004:96) terdapat dua faktor penentu keputusan untuk berlibur
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari motivasi
personal, kepribadian, pendapatan, kesehatan, keputusan keluarga, keputusan
pekerjaan, pengalaman di masa lalu, hobi dan ketertarikan, pengetahuan akan
liburan yang potensial, gaya hidup, kebiasaan, opini dan persepsi. Sementara
faktor eksternalnya terdiri dari keberadaan produk yang sesuai, saran dari agen
72
perjalanan, informasi yang didapat dari destinasi tujuan, melalui organisasi
pariwisata dan media, rekomendasi teman atau keluarga, kebijakan politik, faktor
kondisi kesehatan di daerah tujuan, promosi special dan iklim.
Faktor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah faktor eksternal di
dalam memenentukan keputusan destinasi pariwisatanya. Bagaimana Brand “Bali
Shanti, Shanti, Shanti” dipersepsikan sebagai gambaran atau simbol dari kondisi
destinasi pariwisata Bali yang didapatkan dari media atau rekemondasi seseorang,
sehingga mampu ditangkap maknanya kemudian mempengaruhi dan menarik
wisatawan
membuat
keputusan
untuk
memilih
Bali
sebagai
destinasi
pariwisatanya.
2.4 Kerangka Berpikir
Dilatarbelakangi pengetahuan akan pentingnya sebuah brand bagi
destinasi pariwisata penelitian ini diawali. Bali memiliki brand pariwisata Bali
Shanti, Shanti,Shanti yang merupakan brand resmi pariwisata Bali disamping
brand yang sudah tertanam di benak wisatawan. Kemudian terdapat kritik
terhadap brand tersebut oleh Diarta yang mengkritik hubungan brand dengan
wisatawan. Latar belakang lain adalah belum ada penelitian brand equity terhadap
suatu brand destinasi pariwisata. Berlatar belakang hal tersebut dirumuskan
masalah
Bagaimanakah
peran
variabel
terhadap
faktor
brand
equity,
Bagaimanakah peran faktor –faktor brand equity terhadap kekuatan brand equity,
dan Bagaimanakah kekuatan dari brand Bai “Shanti, Shanti,Shanti”
Untuk membahas Penelitian ini menggunakan teori-teori brand, strategi
brand, brand equity, faktor-faktor yang menentukan wisatawan memilih destinasi
73
pariwisata, wisatawan, destinasi pariwisata, dan beberapa teori untuk memahami
konsumen memilih produk. Adapun teknik analisis faktor yang digunakan adalah
teknik analisis konfirmatori terhadap 24 variabel dan empat faktor brand equity
”Bali Shanti, Shanti, Shanti, Shanti” yaitu brand awareness, brand association,
brand perceieved quality, dan brand loyalty, kemudian dari keempat faktor
tersebut terdapat 24 variabel yaitu pengenalan brand, pengakuan brand,
pengingatan kembali brand, brand yang pertama kali muncul di benak wisatawan,
fitur, manfaat, perilaku, wisatawan, situasi, hubungan dengan komunitas,
keunikan, hubungan perasaan brand dengan wisatawan, kepribadian, Image,
kualitas insan pariwisata, kualitas objek wisata, kualitas informasi yang diberikan,
respon terhadap wisatawan, keseuaian janji dan kenyataan, wisatawan yang
berpindah-pindah brand, wisatawan karena kebiasaan, wisatawan yang puas,
wisatawan yang menyukai brand, wisatawan yang komit. Berdasarkan hasil
analisis terhadap variabel dan faktor tersebut dapat ditentukan variabel mana
yang memberikan peran yang cukup besar terhadap faktor, dan akan tampak
peran masing-masing faktor, sehingga dari rata-rata peran masing-masing faktor
tersebut akan diketahui kekuatan dari Brand Bali Shanti, Shanti, Shanti.
Peneilitian ini juga meneliti apakah brand menjadi faktor penentu wisatawan
berkunjung ke Bali. Dengan diketahuinya masing-masing peran dari varibel dan
faktor brand equity akan muncul rekomendasi variabel mana yang harus dibenahi
dan faktor mana yang harus dibenahi, atau harus dikaji ulang jika memang
ternyata brand Bali “Shanti, Shanti, Shanti” bukan salah satu faktor penentu
wisatawan berkunjung ke Bali.
74
2.5 Model Penelitian
Brand Pariwisata
Bali Shanti,Shanti, Shanti
Pengenalan brand
Latar Belakang
1. Pentingnya sebuah brand
bagi destinasi pariwisata
2. Kritik terhadap brand Bali
“Shanti, Shanti, Shanti”
3. Belum ada penelitian
brand equity terhadap
brand sebuah destinasi
pariwisata sebelumnya di
Indonesia
Pengakuan brand
Brand Awareness
Pengingatan kembali brand
Brand yang pertama kali
muncul di benak wisatawan
Fitur
Manfaat
Brand Association
Attitude/perilaku
Masalah:
1. Bagaimana peran masingmasing variabel terhadap
Faktor brand Equity?
2. Bagaimana peran masingmasing faktor brad equity
terhadap kekuatan brand Bali
Shanti,Shanti, Shanti?
3. Seberapa besar Kekuatan
brand Bali Shanti,
Shanti,Shanti?
Wisatawan /pengguna
Situasi
Hubungan dengan komunitas
Keunikan
Hubungan perasaan brand
dengan wisatawan
Kepribadian
Analisis Faktor Konfirmatori
Image
Kualitas insan pariwisata
Brand Equity
Brand Bali Shanti,
Shanti Shanti
Brand Perceived
Quality
Kualitas objek wisata
Kulitas informasi yang diberikan
Respon terhadap wisatawan
Kesesuain janji dan kenyataan
Faktor wisatawan
menentukan destinasi
pariwisatanya.
Wisatawan yang berpindah-pindah brand
Brand Loyalty
Wisatawan karena kebiasaan
Wisatawan yang puas
Wisatawan yang menyukai brand
Gambar 2.6 Model Penelitian
Wisatawan yang komit
Sumber: Diadaptasi dari Model Aaker
Download