BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang disebut bronkopneumonia (Depkes RI, 2002). Faktor risiko sangat besar pengaruhnya terhadap morbiditas maupun mortalitas pneumonia pada balita. 2.1 Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita Faktor risiko adalah beberapa faktor yang berkontribusi terhadap munculnya kondisi sehat atau sakit (Stanhope dan Lancester, 2002).Faktor risiko pneumonia sudah diketahui, namun untuk menekan kematian oleh karena pneumonia masih belum bisa dilaksanakan secara maksimal untuk memberantas faktor risiko tersebut. 2.1.1 Faktor sosial ekonomi dan demografi Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu yang yang berkontribusi utama dalam penyakit pernapasan.Hubungan korelasi negatif antara status sosial ekonomi dengan morbiditas saluran pernapasan.Status ekonomi secara umum yang berhubungan dengan insiden pneumonia diukur dari besarnya rumah tangga, banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang menghuni tiap kamar (Machmud, 2006).Masyarakat miskin juga identik dengan ketidakmampuannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar.Balita yang hidup dalam keluarga dengan sosial ekonomi rendah cenderung kurang mendapat asupan makanan yang cukup sehingga lebih rentan terkena penyakit. Sosial ekonomi yang rendah dapat memengaruhi upaya pencarian pengobatan. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk Kota Denpasar tahun 2014 adalah Rp 1.656.900,- 8 9 (Depnaker, 2013). Kejadian pneumonia 1,81 kali lebih tinggi pada daerah kabupaten/kota yang penduduknya miskin (Trihono dan Gitawati, 2009). Status ekonomi berhubungan dengan pneumonia balita dimana anak yang berasal dari status sosial ekonomi rendah mempunyai risiko terkena pneumonia sebesar 2,39 kali (95% CI : 1,39 – 4,09) dibandingkan anak yang berasal dari status sosial ekonomi tinggi. Anak dari status sosial ekonomi sedang mempunyai risiko terkena pneumonia 2,15 kali (95% CI : 1,25 – 3,70) dibandingkan dari anak dari status sosial ekonomi tinggi (Hananto, 2004). Negara-negara berkembang memiliki gambaran tentang adanya perbedaan tingkat kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan pendidikan ibu (Machmud, 2006). Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh melalui jenjang pendidikan. Peran seorang ibu penting dalam pemeliharaan kesehatan balita selalu berusaha agar anaknya tetap sehat. Ibu yang berpendidikan baik akan mempunyai wawasan yang cukup dalam pemeliharaan balita (Depkes RI, 2003). Pendidikan ibu berhubungan bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 5,31; 95% CI : 2,18 – 12,98) ini berarti balita yang ibunya memiliki pendidikan rendah mempunyai risiko 5,31 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan balita yang ibunya memiliki pendidikan tinggi (Fanada, dkk., 2012). Faktor umur ikut berperan dalam penyakit yang diderita oleh anak.Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur di bawah dua tahun.Anak umur di bawah dua tahun lebih besar risikonya terkena pneumonia dibandingkan yang lebih tua karena status imun/kekebalan anak di bawah dua tahun belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Depkes RI dalam Tantry, 2008). Menurut Depkes 10 risiko untuk terkena pneumonia adalah umur kurang dari dua tahun. Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) dan Profil Kesehatan Indonesia proporsi kasus pneumonia pada kelompok umur kurang dari satu tahun dari tahun 2007 sampai 2009 sekitar 35% dari semua kasus pneumonia pada balita (Kemenkes RI, 2010). Hasil penelitian yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa kasus pneumonia lebih dominan pada anak kurang dari satu tahun. Umur memiliki hubungan dengan kejadian pneumonia pada balita (Regina dkk., 2013). Umur balita ≤ 12 bulan berpeluang 4,18 kali terkena pneumonia dibandingkan balita umur > 12 bulan sampai dengan < 60 bulan (Hartati (2011), begitu juga dinyatakan anak ≤12 bulan mempunyai risiko untuk terjadi pneumonia 2,27 kali lebih besar dibandingkan dengan anak usia >12 bulan (Hananto (2004). Pedoman P2 ISPA menyebutkan jenis kelamin laki-laki adalah faktor risiko yang memengaruhi kejadian pneumonia (Depkes RI, 2004). Hal ini disebabkan diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara anak laki-laki dan perempuan (Sunyataningkamto, 2004). Secara umum hampir semua penelitian menyatakan secara konsisten bahwa jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena pneumonia, walaupun ada beberapa yang dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna. Jenis kelamin laki-laki lebih besar risiko untuk terkena pneumonia daripada perempuan (Anwar & Dharmayanti, 2014; Sugihartono & Nurjazuli, 2012; Annah, dkk., 2012). Sebesar 56% penderita pneumonia yang dirawat di RS adalah laki-laki berdasarkan penelitian di Uruguay tahun 1997-1998 (Machmud, 2006). Jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita 11 dimana laki-laki memiliki peluang 1,24 kali lebih besar terkena pneumonia daripada balita perempuan (Hartati, 2011). Hasil yang sama juga terdapat pada penelitian yang lain bahwa balita laki-laki mempunyai risiko 1,11 kali dibandingkan perempuan untuk terkena pneumonia namun secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna (Herman 2002). 2.1.2 Riwayat penyakit (ISPA) Infeksi saluran pernapasan atas akut biasa disebut ISPA ringan atau bukan pneumonia. Infeksi saluran pernapasan atas akut (ISPA) lebih banyak menyerang anak karena mekanisme pertahanan tubuhnya masih sangat lemah. Seorang balita rata-rata mengalami batuk pilek tiga sampai enam kali dalam setahun (Depkes RI, 2002). Penelitian di Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam Semarang, mendapatkan hubungan yang tidak signifikan antara infeksi saluran pernapasan dengan kejadian pneumonia (OR : 2,13; 95% CI : 0,78-5,64) (Sugihartono dan Nurjazuli, 2012). Keadaan anak saat lahir ikut berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya selain riwayat ISPA yang berulang, salah satunya adalah BBLR. Berat badan lahir rendah ialah keadaan dimana bayi berat badan kurang dari 2.500 gram (sampai dengan 2.499 gram). Bayi dan balita dengan BBLR lebih berisiko terhadap kematian bahkan sejak masa awal kehidupannya. Hal ini disebabkan zat anti kekebalan di dalam tubuhnya belum sempurna (Molyneux dalam Tantry, 2008). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa bayi 0-4 bulan dengan riwayat BBLR memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita pneumonia (Abdullah dalam Tantry, 2008). Penelitian di Sumatera Selatan mendapatkan hasil bahwa balita yang memiliki riwayat BBLR memiliki risiko 1,90 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan riwayat balita 12 yang lahir dengan berat badan normal namun secara statistik tidak bermakna (OR : 1,90 ; 95% CI :0,72-4,90) (Herman, 2002). 2.1.3 Pemberian ASI yang kurang memadai Efektivitas ASI dalam mengendalikan infeksi dapat dibuktikan dengan berkurangnya kejadian beberapa penyakit spesifik pada bayi yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula. Penelitian oleh WHO membuktikan bahwa pemberian ASI sampai usia dua tahun dapat menurunkan angka kematian anak akibat penyakit diare dan infeksi saluran napas akut (Tumbelaka dan Karyanti, 2008). Air susu ibu sangat besar peranannya dalam pembentukan daya tahan tubuh bayi dan sebagai imunisasi aktif. Air susu ibu dapat memberi perlindungan kepada tubuh bayi melalui berbagai zat kekebalan yang ada di dalamnya serta asupan nutrisi untuk beraktivitas (Roesli, 2005). Air susu ibu terbukti sebagai minuman sekaligus makanan yang luar biasa manfaatnya karena seorang ibu yang dalam keadaan kekurangan gizi, maka ASI tetap mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi dan mampu mengatasi infeksi melalui komponen sel fagosit dan immunoglobulin (Munasir dan Kurniati, 2008). Imunoglobulin ASI tidak diabsorpsi bayi tetapi berperan memperkuat sistem imun lokal usus. Air susu ibu juga meningkatkan immunoglobulin A (sIgA) pada mukosa traktus respiratorius dan kelenjar saliva bayi. Ini disebabkan faktor pertumbuhan dan hormon sehingga dapat merangsang perkembangan sistem imun lokal bayi. Hal ini terlihat dari lebih rendahnya penyakit otitis media, pneumonia, bakteriemia, meningitis dan infeksi traktus urinarius pada bayi yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula (Matondang, dkk,. 2008). 13 Pemberian ASI yang dianjurkan adalah bayi diberikan ASI saja tanpa makanan atau minuman tambahan termasuk air putih selama enam bulan, ini disebut dengan pemberian ASI eksklusif (Matondang, dkk., 2008). Hal ini disebabkan kandungan dalam ASI yang sudah sebagian besar terdiri dari air (87,5%) dan walaupun berada di tempat yang mempunyai suhu udara panas bayi tidak akan dehidrasi karena sudah minum ASI (Hendarto dan Pringgadini, 2008). Satu bulan pertama ASI mencukupi seluruh kebutuhan nutrisi dan energi bayi, setelah enam bulan memberikan separuh atau lebih, dan selama tahun kedua mencukupi 1/3 atau lebih kebutuhan nutrisi bayi (Proverawati dan Rahmawati, 2010). Kolostrum adalah cairan susu kental yang berwarna kekuning-kuningan yang dihasilkan oleh sel alveoli payudara ibu dengan jumlah yang tidak terlalu banyak tetapi kaya zat gizi (Proverawati dan Rahmawati, 2010). Kolostrum merupakan ASI yang keluar pada saat kelahiran sampai hari ke-4 atau ke-7 (Roesli, 2005). Kolostrum kaya akan zat antibodi terutama sIgA. Kolostrum memiliki lebih dari 50 proses pendukung perkembangan imunitas termasuk faktor pertumbuhan dan perbaikan jaringan (Munasir dan Kurniati, 2008). Kolostrum dapat membunuh kuman dalam jumlah besar karena mengandung sel darah putih dan protein imunoglobulin.Kolostrum dihasilkan pada saat sistem pertahanan tubuh bayi paling rendah sehingga dapat dikatakan bayi menerima imunisasi yang pertama dalam kehidupannya (Roesli, 2005).Banyak zat antibodi dan faktor imunosupresif terkandung dalam kolostrum yang mencegah terjadinya stimulasi berlebih akibat masuknya antigen dalam jumlah yang besar (Sumadiono, 2008).Beberapa daerah di Indonesia sengaja membuang kolostrum karena dianggap dapat berpengaruh tidak baik terhadap kesehatan anak. 14 Inisiasi menyusu dini adalah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah lahir dengan membiarkan kontak kulit bayi ke kulit ibunya, paling tidak selama satu jam segera setelah lahir (Roesli, 2008). Manfaat IMD bagi bayi adalah mengkoordinasikan reflek hisap, telan dan napas bayi; meningkatkan kecerdasan; memenuhi kebutuhan nutrisi bayi karena ASI merupakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang optimal; memberi kekebalan pasif kepada bayi melalui kolostrum; meningkatkan bounding attachment antara ibu dan bayi; merangsang kolostrum segera keluar serta mencegah hipotermi. Manfaat bagi ibu adalah meningkatkan keberhasilan produksi ASI; merangsang produksi oksitosin dan prolaktin; dan meningkatkan ikatan batin ibu dan bayi (Sidi, dkk., 2004). Pemberian ASI saja selama enam bulan tanpa diselingi makanan atau cairan apapun, misal pisang, bubur susu, biskuit, susu formula (Wiji 2013). Laporan Expert Consultation on the Optimal Duration of Exclusive Breast Feeding dalam (Wiji 2013) menyatakan bahwa bayi yang diberikan ASI eksklusif selama enam bulan memiliki daya perlindungan yang lebih tinggi terhadap penyakit infeksi dibandingkan bayi yang diberikan ASI eksklusif hanya empat bulan. World Health Organization (WHO) dan UNICEF merekomendasikan menyusui setiap kali bayi mau, ASI secara eksklusif selama enam bulan dan apabila ASI diperah jangan memberikan dengan botol atau dot, menyusui dalam satu jam pertama setelah bayi dilahirkan(Proverawati dan Rahmawati, 2010). Hasil penelitian mendapatkan hubungan yang signifikan antara riwayat pemberian ASI dengan kejadian pneumonia (OR : 8,96; 95% CI: 2,84 – 23,23). Balita berisiko 8,96 kali lebih besar terkena pneumonia bila mengkonsumsi ASI tidak 15 eksklusif dibanding dengan balita yang mengkonsumsi ASI eksklusif(Sugihartono dan Nurjazuli, 2012). Bayi di bawah enam bulan yang tidak diberi ASI eksklusif berisiko lima kali untuk mengalami kematian akibat pneumonia dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (UNICEF-WHO, 2006). Bayi yang diberi ASI tidak eksklusif mempunyai risiko terjadinya pneumonia pada umur 4-24 bulan sebesar 4,89 kali (95% CI : 2,86 - 8,36) dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (Naim, 2000). Sebaliknya penelitiandi Puskesmas II Denpasar Selatan menunjukkan hasil tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian pneumonia pada bayi dan anak balita, tidak memberikan ASI eksklusif bukan merupakan faktor risiko kejadian pneumonia (OR : 3,51; 95% CI : 0,73 – 16,79) (Farmani, 2011). Setelah bayi berumur enam bulan diberikan makanan tambahan dan ASI diteruskan pemberiannya sampai usia anak dua tahun atau lebih(Wiji 2013). Menurut penelitian (Heriyana, dkk, 2005) lamanya pemberian ASI berhubungan dengan kejadian pneumonia (OR : 7,95; 95% CI : 1,78 - 35,48). Frekuensi menyusui yang semakin sering dapat meningkatkan produksi ASI, mencegah payudara nyeri serta sakit karena penumpukan dan penggumpalan ASI, dan meminimalkan kemungkinan bayi menjadi kuning karena proses pembentukan hati yang belum matur. Bayi yang baru lahir disusui sampai merasa puas atau bila diperhitungkan dengan waktu sebaiknya setiap dua sampai tiga jam sekali. Menyusui minimal lima menit pada masing-masing payudara pada hari pertama setelah melahirkan dan frekuensinya semakin ditingkatkan setiap hari sehingga dapat meningkatkan produksi ASI yang berkualitas. Frekuensi menyusui bayi tidak perlu 16 dibatasi dan durasi menyusui kurang lebih 20 menit untuk masing-masing payudara mencukupi untuk memenuhi kebutuhan bayi (Proverawati dan Rahmawati, 2010). Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan belum mampu menerima makanan karena saluran pencernaan yang belum sempurna dan kekebalan tubuh pada bayi juga belum sepenuhnya terbentuk. Pemberian makanan tambahan diberikan ketika bayi sudah mencapai usia enam bulan. Makanan sangat rentan tercemar kuman, pemberian makanan yang terlalu dini kepada bayi akan berpotensi menimbulkan infeksi karena bayi belum mampu mencernanya dengan baik sehingga jika ada kuman yang masuk melalui makanan bayi akan mudah terinfeksi penyakit (Depkes RI, 2004). Volume ASI setelah minggu-minggu pertama kurang lebih 450-650 ml, berkurang sedikit dari sejak minggu pertama kelahiran bayi. Setiap hari sebanyak 600 ml susu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bayi. Jumlah tersebut dapat dicapai dengan menyusui bayi selama empat sampai enam bulan pertama, oleh karena itu selama kurun waktu tersebut ASI mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Setelah berumur enam bulan bayi perlu mendapatkan makanan tambahan karena volume pengeluaran ASI mulai menurun dan sejak saat itu kebutuhan gizi tidak lagi dapat dipenuhi oleh ASI (Proverawati dan Rahmawati, 2010). 2.1.4 Defisiensi vitamin A Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman.Vitamin A dapat melindungi tubuh dari infeksi organisme asing, seperti bakteri patogen. Mekanisme pertahanan ini termasuk ke dalam sistem imun eksternal, karena sistem imun ini berasal dari luar tubuh. Vitamin ini akan meningkatkan aktivitas kerja dari sel darah putih dan antibodi di dalam tubuh sehingga 17 tubuh menjadi lebih resisten terhadap senyawa toksin maupun terhadap serangan mikroorganisme parasit, seperti bakteri patogen dan virus (Umardani dalam Setiarsih, 2014). Program pemberian vitamin A setiap enam bulan untuk balita telah dilaksanakan di Indonesia. Hasil penelitian di Indramayu menunjukkan peningkatan risiko kematian pneumonia pada anak yang tidak mendapatkan vitamin A(Sutrisna B.,1993). Tidak ada perbedaan bermakna insiden dan beratnya pneumonia antara balita yang mendapatkan vitamin A dengan yang tidak, hanya waktu untuk sakit lebih lama pada yang tidak mendapatkan vitamin A (Kartasasmita, 1993). 2.1.5 Pemberian imunisasi yang tidak lengkap Cara untuk menumbuhkan kekebalan terhadap berbagai macam penyakit adalah melalui pemberian imunisasi.Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk terkena pneumonia.Anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi campak mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami kematian akibat pneumonia, terutama pada anak yang sedang menderita pneumonia.Cara pertama vaksinasi membantu mencegah anak-anak dari infeksi yang berkembang langsung yang menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenzae type b (Hib) dan cara kedua imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya campak dan pertussis). Pemberian imunisasi diupayakan lengkap untuk menghindari faktor yang dapat meningkatkan mortalitas akibat pneumonia (Djaya, 1999). Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah vaksin pertussis (ada dalam DPT), campak, Hib (Haemophilus influenzae type b) dan 18 Pneumococcus (PCV).Pertussis dan campak telah masuk ke dalam program vaksinasi nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia.Haemophilus influenzae type b(Hib) dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO namun belum semua negara memasukkannya ke dalam program nasional karena harganya yang mahal.Vaksin Hib dan pneumokokus dapat mencegah kematian 1.075.000 anak setahun(Kemenkes RI, 2010). Menteri kesehatan Republik Indonesia menyatakan telah memasukkan vaksin Hib ke dalam program imunisasi dasar yaitu pentavalen mulai tahun 2014, namun untuk wilayah Bali mulai tahun 2013.Vaksin pentavalen kedudukannya menggantikan vaksin kombo yang sekarang tidak ada lagi. Pemberian vaksin pentavalen sama dengan vaksin kombo yaitu pada umur bayi dua bulan, tiga bulan, empat bulan untuk imunisasi dasar. Untuk imunisasi lanjutan vaksin pentavalen diberikan pada umur anak paling cepat 18 bulan sampai tiga tahun. Hasil penelitian mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara anak yang status imunisasi DPT dan campak tidak lengkap dengan yang status DPT dan campak lengkap. Balita yang status campak dan DPT tidak lengkap berpeluang sebesar 1,16 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan yang statusnya lengkap (95% CI: 0,73 – 1,84) (Hananto, 2004). 2.1.6 Paparan asap rokok Prevalensi masyarakat dengan kelompok umur ≥ 15 tahun yang sudah melakukan aktivitas merokok setiap hari di Indonesia adalah 28,2%, dimana 1,7% kelompok umur 5 – 9 tahun sudah pernah merasakan merokok untuk pertama kali (Riskesdas, 2010). Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011 juga menyatakan bahwa 19 jumlah orang dewasa yang terpapar asap rokok di dalam rumah sebesar 78,4%, hal ini sangat berdampak pada anak-anak yang tinggal satu rumah dengan perokok karena anak menjadi perokok pasif sehingga mengalami peningkatan risiko terkena radang saluran pernapasan, pneumonia, infeksi telinga tengah, asma serta kelambatan pertumbuhan paru-paru. Sumber pencemaran udara dapat dikategorikan menjadi alamiah dan kegiatan manusia (antropogenic).Sumber antropogenic utamanya adalah kendaraan bermotor, rumah tangga, serta kegiatan lainnya seperti merokok (Achmadi, 2011). Adanya anggota keluarga yang merokok di dalam ruangan dan di dekat balita tidak baik untuk kesehatan terutama kesehatan saluran pernapasan. Merokok pasif yang didapat balita dari kebiasaan orang tuanya dapat mengganggu pernapasan anak. Variabel merokok sebagai variabel independent dalam suatu penelitian mempunyai variasi yang cukup luas dalam kaitannya dengan dampak merokok. Paparan rokok perlu diidentifikasi selengkapnya dari berbagai segi, antara lain dari jenis perokok (perokok aktif atau perokok pasif), jumlah rokok yang dihisap (dalam satu batang, bungkus, atau pak perhari), jenis rokok yang dihisap (keretek, cerutu atau rokok putih, pakai filter atau tidak), cara menghisap rokok (menghisap dangkal, di mulut saja atau isap dalam), alasan mulai merokok (sekedar ingin hebat, ikut-ikutan, kesepian, pelarian, sebagai gaya, meniru orang tua), umur mulai merokok (sejak umur 10 tahun atau lebih). Berdasarkan hal tersebut jenis perokok juga dapat dibagi atas perokok ringan jika merokok kurang dari 10 batang per hari, perokok sedang jika menghisap rokok antara 10-20 batang per hari, perokok berat jika merokok lebih dari 20 batang per hari (Buston, 2007). 20 Terdapat hubungan antara anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan merokok dengan pneumonia pada balita dengan OR sebesar 2,70 (Yuwono, 2008), begitu juga penelitian oleh Sugihartono dan Nurjazuli (2012) dengan OR sebesar 5,74 (95% CI : 1,78 – 18,49). 2.1.7 Faktor lingkungan fisik rumah Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Kontruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit khususnya penyakit yang berbasis lingkungan. Kondisi fisik rumah sangat memengaruhi terhadap kejadian pneumonia. Kelembaban kandungan uap air dipengaruhi oleh sirkulasi udara dan pencahayaan yang masuk dalam rumah. Kelembaban udara dalam rumah yang meningkat berpotensi sebagai tempat hidup bakteri-bakteri penyebab penyakit. Keterkaitan antara kelembaban dan penyakit pneumonia saling berpengaruh terhadap kejadian pneumonia. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan etiologi pneumonia berupa virus, bakteri dan jamur. Faktor etiologi tersebut dapat tumbuh dengan baik jika kondisi optimal. Penghuni ruangan biasanya akan mudah menderita sakit infeksi saluran napas karena situasi tersebut (Notoatmodjo, 2007). Faktor-faktor kelembaban udara meliputi keadaan bangunan yaitu dinding, iklim dan cuaca. Air hujan masuk dan meresap melalui pori-pori dinding sehingga akan mengakibatkan kelembaban udara dalam ruangan. Kelembaban udara secara menyeluruh dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Kelembaban di dalam rumah menurut Departemen Pekerjaan Umum dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu kelembaban yang 21 naik dari tanah (rising damp), merembes melalui dinding (percolating damp) dan bocor melalui atap (roof leaks) (Dinas Pekerjaan Umum, 2006). Keputusan Menteri Kesehatan No.829 Tahun 1999 menyatakan syarat-syarat kelembaban yang memenuhi standar kesehatan adalah tingkat kelembaban udara dalam rumah yang dianggap baik adalah sebesar 40-70% serta lantai dan dinding harus kering. Alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban adalah higrometer, digantung pada papan yang terbuat dari kayu kemudian dapat dilihat berapa angka kelembaban yang tertera pada alat tersebut kemudian melakukan pencataan hasil. Higrometer adalah perangkat untuk menentukan kelembaban atmosfer yang dapat menunjukkan kelembaban relatif (persentase kelembaban di udara), kelembaban mutlak (jumlah kelembaban) atau keduanya. Beberapa higrometer standar hanya mampu menginformasikan dua keadaan seperti pada kondisi udara kering atau basah. Jenis higrometer lainnya merupakan bagian dari perangkat yang disebut humidistats, yang digunakan untuk mengontrol pelembab udara atau pengering untuk mengatur kelembaban udara (Keman, 2005). Tingkat kelembaban berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita dengan OR sebesar 2,90 dimana balita yang menempati rumah dengan kelembaban tinggi berisiko 2,90 kali terkena pneumonia dibandingkan balita yang menempati kondisi rumah dengan kelembaban normal (Yulianti,dkk., 2002). Tingkat kelembaban berhubungan bermakna dengan kejadian pneumonia.Balita memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,80 kali lebih besar apabila tinggal pada rumah yang kelembabannya kurang atau lebih dari syarat yang ditetapkan dibandingkan yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Sebaliknya 22 dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara kelembaban rumah dengan kejadian pneumonia pada balita (Pramudiyani dan Prameswari, 2011). Kurangnya ventilasi berpengaruh terhadap peningkatan kelembaban dalam ruangan yang merupakan media yang baik untuk tempat hidup bakteri dan patogen. Fungsi lain ventilasi adalah untuk menjaga ruangan dalam kelembaban optimum dan membuat ruangan di dalam rumah terhindar dari kontaminasi bakteri yang dapat membahayakan (Notoatmodjo, 2007). Ventilasi memiliki fungsi yang penting terutama untuk mengatur O2 yang masuk ke ruangan sehingga aliran udara dalam rumah tetap segar dan terjaga dengan baik yang dibutuhkan oleh penghuni. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan meningkatnya kadar CO2 dan menipisnya kadar O2 yang berarti bahwa kadar racun yang dibawa oleh O2 meningkat dan berbahaya bagi para penghuninya (Notoatmodjo, 2007). Ventilasi dapat dibagi menjadi dua, yakni ventilasi alamiah dan ventilasi buatan.Prinsip kerja ventilasi alamiah adalah terjadinya pertukaran udara secara alamiah melalui pintu, jendela, lubang angin, maupun lubang-lubang pada dinding ruangan rumah. Ventilasi buatan berupa pertukaran udara dengan bantuan alat elektronik seperti kipas angin atau mesin penghisap udara. Kelemahan ventilasi alamiah yaitu peluang masuknya vektor seperti lalat, nyamuk, dan lainnya lebih tinggi dibandingkan ventilasi buatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.829 Tahun 1999, luas lubang ventilasi alamiah yang permanen adalah minimal 10% luas lantai (Keman, 2005). Ventilasi diukur dengan menggunakan rollmeter, dengan kategori dikatakan tidak memenuhi standar yaitu ukuran ventilasi tidak sesuai dengan standar bangunan 23 nasional, dikatakan standar bila ukuran ventilasi sesuai dengan dua atau lebih standar bangunan nasional. Hasil penelitian yang dilakukan di Cilacap menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan kejadian pneumonia pada anak balita (OR : 6,30). Anak balita dengan kondisi ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 6,30 kali terkena pneumonia dibandingkan anak balita dengan ventilasi yang memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Hasil penelitian yang sama juga didapatkan adanya hubungan bermakna antara ventilasi dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 2,91). Hal ini menunjukkan kondisi rumah balita yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,91 kali terkena pneumonia dibandingkan balita dengan ventilasi rumah yang memenuhi syarat (Sinaga, dkk., 2008). Penelitian yang dilakukan di Kota Salatiga mendapatkan kondisi ventilasi yang buruk memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian pneumonia pada balita dengan OR sebesar 21,21 (Siti Zuraidah, 2002) dan penelitian lain juga didapatkan hal yang sama dengan OR sebesar 33,00 (Nurjazali dan Retno Widyaningtyas, 2006). Kondisi lantai yang lembab menyebabkan pertumbuhan yang cepat dari bakteri patogen, virus maupun jamur sehingga dapat menimbulkan penyakit pada penghuninya. Jenis lantai yang baik menurut Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan adalah yang kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai dari bahan tanah pada saat musim hujan akan menjadi lembab oleh karena itu sebaiknya tidak digunakan lagi. Penyebab pneumonia pada balita sangat bervariasi, mulai dari bakteri Streptococcus pneumoniae dan Haemophyilus influenza, virus maupun fungi (jamur) (Depkes RI, 2000). Lantai perlu dilapisi dengan lapisan yang 24 kedap air seperti disemen, dipasang tegel, keramik, teraso dan lain-lain. Lantai sebaiknya dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan tanah untuk mencegah air masuk ke dalam rumah. Beberapa penelitian yang terkait dengan jenis lantai dengan kejadian pneumonia pada balita. Jenis lantai berhubungan dengan kejadian pneumonia (Pramudiyani dan Prameswari, 2011). Jenis lantai mempunyai asosiasi yang signifikan dengan kejadian pneumonia pada balita (Nurjazuli dan Widyaningtyas, 2006). Balita mempunyai risiko menderita pneumonia sebesar 3,90 kali lebih besar saat tinggal di rumah dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan yang tinggal di rumah dengan jenis lantai memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Begitu juga penelitian lain dengan OR sebesar 10,53 dan 95% CI : 2,61– 42,44 (Sugihartono dan Nurjazuli, 2012). Faktor kelembaban rumah juga dipengaruhi oleh dinding rumah.Fungsi dari dinding selain sebagai pendukung atau penyangga atap juga untuk melindungi rumah dari gangguan panas, hujan dan angin dari luar dan juga sebagai pembatas antara dalam dan luar rumah. Dinding berguna untuk mempertahankan suhu dalam ruangan, merupakan media bagi proses rising damp (kelembaban yang naik dari tanah) yang merupakan salah satu faktor penyebab kelembaban dalam rumah. Bahan dinding yang baik adalah dinding yang terbuat dari bahan yang tahan api seperti batu bata atau yang sering disebut tembok. Dinding dari tembok akan dapat mencegah naiknya kelembaban dari tanah (rising damp) (Depkes RI, 1994). Dinding dari anyaman bambu yang tahan terhadap segala cuaca sebenarnya cocok untuk daerah pedesaan, tetapi mudah terbakar dan tidak dapat menahan lembab, sehingga kelembabannya tinggi. 25 Salah satu hasil penelitian menyatakan kondisi dinding rumah mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia. Besarnya risiko menderita pneumonia dapat dilihat dari nilai OR sebesar 2,90 artinya anak balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,90 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding rumah memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Rumah yang sehat adalah rumah dengan pencahayaan yang cukup. Pencahayaan yang kurang terutama dari sinar matahari dapat menimbulkan ketidaknyamanan serta merupakan media yang baik untuk bibit penyakit berkembang biak. Sebaliknya pencahayaan alami yang berlebihan dapat menyilaukan mata.Sebagian energi pancaran sinar matahari terdiri atas cahaya ultraviolet yang pendek tersaring di atmosfer bumi (lapisan ozon) dan polutan atmosfer, dengan demikian radiasi ultraviolet menjadi terbatas kisarannya yaitu 280-390 nm. Sinar matahari pada keadaan tertentu memiliki kapasitas membunuh bakteri (Radji, M, 2010). Cahaya alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang terbuka.Cahaya matahari berguna selain untuk penerangan dapat juga untuk mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk dan membunuh kuman penyebab penyakit.Pencahayaan alami sangat penting untuk membunuh bakteri-bakteri patogen yang hidup dalam rumah seperti bakteri TBC. Bakteri streptococcus pneumoniae memiliki sifat mampu bertahan selama beberapa hari dalam pembenihan biasa dan mati oleh sinar matahari langsung (Radji, M, 2010). 26 Keputusan Menteri Republik Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/ 1999 menyatakan pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung menerangi seluruh ruangan dengan intensitas cahaya minimal 60 lux serta tidak menyilaukan mata (Keman, 2005). Pencahayaan alami yang memenuhi syarat yaitu bila cahaya matahari dapat memasuki ruangan sedangkan yang tidak memenuhi syarat jika matahari tidak mampu memasuki ruangan. Jendela kamar tidur sebaiknya menghadap ke timur sehingga mendapatkan cahaya matahari yang optimal ketika pagi hari. Idealnya proporsi jalan masuknya cahaya alami ke dalam rumah adalah 15-20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan (Notoatmodjo,2007). Sebaiknya memakai genteng kaca agar dapat mengatur jarak masuknya cahaya. Alat yang dipakai untuk mengukur pencahayaan adalah luxmeter. Cara penggunaannya adalah alat langsung diletakkan pada ruangan yang akan diperiksa, lihat dan dicatat hasilnya. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah Indonesia melalui Dinas Pekerjaan Umum (DPU) telah menetapkan bahwa untuk kesehatan ruangan, sinar matahari pagi harus masuk ke dalam ruangan minimal satu jam sehari atau bila penerangan matahari tidak langsung minimal delapan jam. Hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Sentosa Baru Kota Medan menunjukkan adanya hubungan antara pencahayaan alami dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 2,90) dimana balita dengan tingkat pencahayaan alami yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,90 kali terkena pneumonia dibandingkan balita dengan tingkat pencahayaan alami yang memenuhi syarat (Sinaga, dkk., 2008). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian lain dengan nilai OR sebesar 22,00 (Wijo Basuki, 2004). 27 Selain keadaan rumah yang tidak lembab, proporsi antara luas bangunan dan jumlah penghuni merupakan salah satu syarat rumah sehat. Jumlah penghuni yang terlalu banyak dalam rumah tentu membuat tidak nyaman yaitu menimbulkan rasa sesak. Kondisi tersebut dapat mengganggu kesehatan sebagai akibat kurangnya konsumsi O2 dalam ruangan dan meningkatkan risiko penularan penyakit bila ada salah satu penghuni yang menderita penyakit infeksi. Syarat bangunan yang nyaman dan tidak membuat sesak kalau memenuhi luas 2,5-3 m2/orang (Notoatmodjo, 2007). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.829 Tahun 1999 tentang kriteria rumah sehat bahwa kepadatan hunian yang dianggap baik yaitu luas tempat tidur minimal 8 m 2 untuk dua orang (Keman, 2005). Winslow dan American Public Health Association (APHA) menyatakan aturan untuk kamar tidur dari segi jumlah yang akan dibangun dan pengaturan di dalamnya disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin anak. Ukuran tempat tidur anak usia kurang dari lima tahun minimal 4,5 m2 dan 9 m2 untuk anak yang berumur lebih dari lima tahun. Sleeping density dapat dipakai untuk menentukan kepadatan hunian, yang dihitung berdasarkan jumlah kamar tidur yang ada dibagi dengan jumlah penghuni dalam rumah. Hasil yang didapat dari perhitungan tersebut dikategorikan menjadi tiga, yaitu kategori baik apabila hasilnya ≥ 0,7, kategori cukup bila kepadatan 0,5 – 0,7, dan kurang apabila kepadatan < 0,5 (Dinas Pekerjaan Umum, 2006). Penelitian yang dilakukan di Kota Banjarmasin menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 3,06) dimana anak balita dengan tingkat kepadatan tinggi berisiko 3,06 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita dengan tingkat kepadatan yang ideal 28 (Yulianti,dkk., 2002). Hasil yang sama mengenai hubungan antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita dengan OR : 6,90 dan OR : 2,70 (Sinaga, dkk., 2008; Yuwono, 2008). Sebaliknya penelitian yang lain didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 0,92) yang berarti balita yang tinggal dalam rumah dengan kondisi tidak padat penghuni mempunyai efek perlindungan sebesar 0,92 kali terhadap pneumonia (Sudirman, 2003).