BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pneumonia adalah proses infeksi akut

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli) pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada
bronkus yang disebut bronkopneumonia (Depkes RI, 2002). Faktor risiko sangat besar
pengaruhnya terhadap morbiditas maupun mortalitas pneumonia pada balita.
2.1
Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita
Faktor risiko adalah beberapa faktor yang berkontribusi terhadap munculnya
kondisi sehat atau sakit (Stanhope dan Lancester, 2002).Faktor risiko pneumonia sudah
diketahui, namun untuk menekan kematian oleh karena pneumonia masih belum bisa
dilaksanakan secara maksimal untuk memberantas faktor risiko tersebut.
2.1.1
Faktor sosial ekonomi dan demografi
Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu yang yang berkontribusi utama
dalam penyakit pernapasan.Hubungan korelasi negatif antara status sosial ekonomi
dengan morbiditas saluran pernapasan.Status ekonomi secara umum yang berhubungan
dengan insiden pneumonia diukur dari besarnya rumah tangga, banyaknya kamar, dan
banyaknya orang yang menghuni tiap kamar (Machmud, 2006).Masyarakat miskin juga
identik dengan ketidakmampuannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar.Balita yang
hidup dalam keluarga dengan sosial ekonomi rendah cenderung kurang mendapat
asupan makanan yang cukup sehingga lebih rentan terkena penyakit. Sosial ekonomi
yang rendah dapat memengaruhi upaya pencarian pengobatan. Upah Minimum
Kabupaten/Kota (UMK) untuk Kota Denpasar tahun 2014 adalah Rp 1.656.900,-
8
9
(Depnaker, 2013). Kejadian pneumonia 1,81 kali lebih tinggi pada daerah
kabupaten/kota yang penduduknya miskin (Trihono dan Gitawati, 2009). Status
ekonomi berhubungan dengan pneumonia balita dimana anak yang berasal dari status
sosial ekonomi rendah mempunyai risiko terkena pneumonia sebesar 2,39 kali (95% CI
: 1,39 – 4,09) dibandingkan anak yang berasal dari status sosial ekonomi tinggi. Anak
dari status sosial ekonomi sedang mempunyai risiko terkena pneumonia 2,15 kali (95%
CI : 1,25 – 3,70) dibandingkan dari anak dari status sosial ekonomi tinggi (Hananto,
2004).
Negara-negara berkembang memiliki gambaran tentang adanya perbedaan
tingkat kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan pendidikan ibu (Machmud,
2006). Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh melalui jenjang
pendidikan. Peran seorang ibu penting dalam pemeliharaan kesehatan balita selalu
berusaha agar anaknya tetap sehat. Ibu yang berpendidikan baik akan mempunyai
wawasan yang cukup dalam pemeliharaan balita (Depkes RI, 2003). Pendidikan ibu
berhubungan bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 5,31; 95% CI :
2,18 – 12,98) ini berarti balita yang ibunya memiliki pendidikan rendah mempunyai
risiko 5,31 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan balita yang ibunya memiliki
pendidikan tinggi (Fanada, dkk., 2012).
Faktor umur ikut berperan dalam penyakit yang diderita oleh anak.Risiko untuk
terkena pneumonia lebih besar pada anak umur di bawah dua tahun.Anak umur di
bawah dua tahun lebih besar risikonya terkena pneumonia dibandingkan yang lebih tua
karena status imun/kekebalan anak di bawah dua tahun belum sempurna dan lumen
saluran napas yang masih sempit (Depkes RI dalam Tantry, 2008). Menurut Depkes
10
risiko untuk terkena pneumonia adalah umur kurang dari dua tahun. Data Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) dan Profil
Kesehatan Indonesia proporsi kasus pneumonia pada kelompok umur kurang dari satu
tahun dari tahun 2007 sampai 2009 sekitar 35% dari semua kasus pneumonia pada
balita (Kemenkes RI, 2010). Hasil penelitian yang ada di Indonesia menunjukkan
bahwa kasus pneumonia lebih dominan pada anak kurang dari satu tahun. Umur
memiliki hubungan dengan kejadian pneumonia pada balita (Regina dkk., 2013). Umur
balita ≤ 12 bulan berpeluang 4,18 kali terkena pneumonia dibandingkan balita umur >
12 bulan sampai dengan < 60 bulan (Hartati (2011), begitu juga dinyatakan anak ≤12
bulan mempunyai risiko untuk terjadi pneumonia 2,27 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak usia >12 bulan (Hananto (2004).
Pedoman P2 ISPA menyebutkan jenis kelamin laki-laki adalah faktor risiko
yang memengaruhi kejadian pneumonia (Depkes RI, 2004). Hal ini disebabkan diameter
saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau
adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara anak laki-laki dan perempuan
(Sunyataningkamto, 2004). Secara umum hampir semua penelitian menyatakan secara
konsisten bahwa jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena pneumonia, walaupun
ada beberapa yang dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna.
Jenis kelamin laki-laki lebih besar risiko untuk terkena pneumonia daripada
perempuan (Anwar & Dharmayanti, 2014; Sugihartono & Nurjazuli, 2012; Annah, dkk.,
2012). Sebesar 56% penderita pneumonia yang dirawat di RS adalah laki-laki
berdasarkan penelitian di Uruguay tahun 1997-1998 (Machmud, 2006). Jenis kelamin
tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita
11
dimana laki-laki memiliki peluang 1,24 kali lebih besar terkena pneumonia daripada
balita perempuan (Hartati, 2011). Hasil yang sama juga terdapat pada penelitian yang
lain bahwa balita laki-laki mempunyai risiko 1,11 kali dibandingkan perempuan untuk
terkena pneumonia namun secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna (Herman
2002).
2.1.2
Riwayat penyakit (ISPA)
Infeksi saluran pernapasan atas akut biasa disebut ISPA ringan atau bukan
pneumonia. Infeksi saluran pernapasan atas akut (ISPA) lebih banyak menyerang anak
karena mekanisme pertahanan tubuhnya masih sangat lemah. Seorang balita rata-rata
mengalami batuk pilek tiga sampai enam kali dalam setahun (Depkes RI, 2002).
Penelitian di Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam Semarang, mendapatkan hubungan
yang tidak signifikan antara infeksi saluran pernapasan dengan kejadian pneumonia (OR
: 2,13; 95% CI : 0,78-5,64) (Sugihartono dan Nurjazuli, 2012).
Keadaan anak saat lahir ikut berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak selanjutnya selain riwayat ISPA yang berulang, salah satunya adalah BBLR. Berat
badan lahir rendah ialah keadaan dimana bayi berat badan kurang dari 2.500 gram
(sampai dengan 2.499 gram). Bayi dan balita dengan BBLR lebih berisiko terhadap
kematian bahkan sejak masa awal kehidupannya. Hal ini disebabkan zat anti kekebalan
di dalam tubuhnya belum sempurna (Molyneux dalam Tantry, 2008). Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa bayi 0-4 bulan dengan riwayat BBLR memiliki risiko yang lebih
besar untuk menderita pneumonia (Abdullah dalam Tantry, 2008). Penelitian di
Sumatera Selatan mendapatkan hasil bahwa balita yang memiliki riwayat BBLR
memiliki risiko 1,90 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan riwayat balita
12
yang lahir dengan berat badan normal namun secara statistik tidak bermakna (OR : 1,90
; 95% CI :0,72-4,90) (Herman, 2002).
2.1.3
Pemberian ASI yang kurang memadai
Efektivitas ASI dalam mengendalikan infeksi dapat dibuktikan dengan
berkurangnya kejadian beberapa penyakit spesifik pada bayi yang mendapat ASI
dibanding bayi yang mendapat susu formula. Penelitian oleh WHO membuktikan
bahwa pemberian ASI sampai usia dua tahun dapat menurunkan angka kematian anak
akibat penyakit diare dan infeksi saluran napas akut (Tumbelaka dan Karyanti, 2008).
Air susu ibu sangat besar peranannya dalam pembentukan daya tahan tubuh bayi dan
sebagai imunisasi aktif. Air susu ibu dapat memberi perlindungan kepada tubuh bayi
melalui berbagai zat kekebalan yang ada di dalamnya serta asupan nutrisi untuk
beraktivitas (Roesli, 2005).
Air susu ibu terbukti sebagai minuman sekaligus makanan yang luar biasa
manfaatnya karena seorang ibu yang dalam keadaan kekurangan gizi, maka ASI tetap
mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi dan mampu mengatasi infeksi
melalui komponen sel fagosit dan immunoglobulin (Munasir dan Kurniati, 2008).
Imunoglobulin ASI tidak diabsorpsi bayi tetapi berperan memperkuat sistem imun lokal
usus. Air susu ibu juga meningkatkan immunoglobulin A (sIgA) pada mukosa traktus
respiratorius dan kelenjar saliva bayi. Ini disebabkan faktor pertumbuhan dan hormon
sehingga dapat merangsang perkembangan sistem imun lokal bayi. Hal ini terlihat dari
lebih rendahnya penyakit otitis media, pneumonia, bakteriemia, meningitis dan infeksi
traktus urinarius pada bayi yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu
formula (Matondang, dkk,. 2008).
13
Pemberian ASI yang dianjurkan adalah bayi diberikan ASI saja tanpa makanan
atau minuman tambahan termasuk air putih selama enam bulan, ini disebut dengan
pemberian ASI eksklusif (Matondang, dkk., 2008). Hal ini disebabkan kandungan
dalam ASI yang sudah sebagian besar terdiri dari air (87,5%) dan walaupun berada di
tempat yang mempunyai suhu udara panas bayi tidak akan dehidrasi karena sudah
minum ASI (Hendarto dan Pringgadini, 2008). Satu bulan pertama ASI mencukupi
seluruh kebutuhan nutrisi dan energi bayi, setelah enam bulan memberikan separuh atau
lebih, dan selama tahun kedua mencukupi 1/3 atau lebih kebutuhan nutrisi bayi
(Proverawati dan Rahmawati, 2010).
Kolostrum adalah cairan susu kental yang berwarna kekuning-kuningan yang
dihasilkan oleh sel alveoli payudara ibu dengan jumlah yang tidak terlalu banyak tetapi
kaya zat gizi (Proverawati dan Rahmawati, 2010). Kolostrum merupakan ASI yang
keluar pada saat kelahiran sampai hari ke-4 atau ke-7 (Roesli, 2005). Kolostrum kaya
akan zat antibodi terutama sIgA. Kolostrum memiliki lebih dari 50 proses pendukung
perkembangan imunitas termasuk faktor pertumbuhan dan perbaikan jaringan (Munasir
dan Kurniati, 2008). Kolostrum dapat membunuh kuman dalam jumlah besar karena
mengandung sel darah putih dan protein imunoglobulin.Kolostrum dihasilkan pada saat
sistem pertahanan tubuh bayi paling rendah sehingga dapat dikatakan bayi menerima
imunisasi yang pertama dalam kehidupannya (Roesli, 2005).Banyak zat antibodi dan
faktor imunosupresif terkandung dalam kolostrum yang mencegah terjadinya stimulasi
berlebih
akibat
masuknya
antigen
dalam
jumlah
yang
besar
(Sumadiono,
2008).Beberapa daerah di Indonesia sengaja membuang kolostrum karena dianggap
dapat berpengaruh tidak baik terhadap kesehatan anak.
14
Inisiasi menyusu dini adalah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah lahir
dengan membiarkan kontak kulit bayi ke kulit ibunya, paling tidak selama satu jam
segera setelah lahir (Roesli, 2008). Manfaat IMD bagi bayi adalah mengkoordinasikan
reflek hisap, telan dan napas bayi; meningkatkan kecerdasan; memenuhi kebutuhan
nutrisi bayi karena ASI merupakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang
optimal; memberi kekebalan pasif kepada bayi melalui kolostrum; meningkatkan
bounding attachment antara ibu dan bayi; merangsang kolostrum segera keluar serta
mencegah hipotermi. Manfaat bagi ibu adalah meningkatkan keberhasilan produksi
ASI; merangsang produksi oksitosin dan prolaktin; dan meningkatkan ikatan batin ibu
dan bayi (Sidi, dkk., 2004).
Pemberian ASI saja selama enam bulan tanpa diselingi makanan atau cairan
apapun, misal pisang, bubur susu, biskuit, susu formula (Wiji 2013). Laporan Expert
Consultation on the Optimal Duration of Exclusive Breast Feeding dalam (Wiji 2013)
menyatakan bahwa bayi yang diberikan ASI eksklusif selama enam bulan memiliki
daya perlindungan yang lebih tinggi terhadap penyakit infeksi dibandingkan bayi yang
diberikan ASI eksklusif hanya empat bulan. World Health Organization (WHO) dan
UNICEF merekomendasikan menyusui setiap kali bayi mau, ASI secara eksklusif
selama enam bulan dan apabila ASI diperah jangan memberikan dengan botol atau dot,
menyusui dalam satu jam pertama setelah bayi dilahirkan(Proverawati dan Rahmawati,
2010).
Hasil penelitian mendapatkan hubungan yang signifikan antara riwayat
pemberian ASI dengan kejadian pneumonia (OR : 8,96; 95% CI: 2,84 – 23,23). Balita
berisiko 8,96 kali lebih besar terkena pneumonia bila mengkonsumsi ASI tidak
15
eksklusif dibanding dengan balita yang mengkonsumsi ASI eksklusif(Sugihartono dan
Nurjazuli, 2012). Bayi di bawah enam bulan yang tidak diberi ASI eksklusif berisiko
lima kali untuk mengalami kematian akibat pneumonia dibandingkan bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif (UNICEF-WHO, 2006). Bayi yang diberi ASI tidak
eksklusif mempunyai risiko terjadinya pneumonia pada umur 4-24 bulan sebesar 4,89
kali (95% CI : 2,86 - 8,36) dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif
(Naim, 2000). Sebaliknya penelitiandi Puskesmas II Denpasar Selatan menunjukkan
hasil tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian
pneumonia pada bayi dan anak balita, tidak memberikan ASI eksklusif bukan
merupakan faktor risiko kejadian pneumonia (OR : 3,51; 95% CI : 0,73 – 16,79)
(Farmani, 2011).
Setelah bayi berumur enam bulan diberikan makanan tambahan dan ASI
diteruskan pemberiannya sampai usia anak dua tahun atau lebih(Wiji 2013). Menurut
penelitian (Heriyana, dkk, 2005) lamanya pemberian ASI berhubungan dengan kejadian
pneumonia (OR : 7,95; 95% CI : 1,78 - 35,48).
Frekuensi menyusui yang semakin sering dapat meningkatkan produksi ASI,
mencegah payudara nyeri serta sakit karena penumpukan dan penggumpalan ASI, dan
meminimalkan kemungkinan bayi menjadi kuning karena proses pembentukan hati
yang belum matur. Bayi yang baru lahir disusui sampai merasa puas atau bila
diperhitungkan dengan waktu sebaiknya setiap dua sampai tiga jam sekali. Menyusui
minimal lima menit pada masing-masing payudara pada hari pertama setelah
melahirkan dan frekuensinya semakin ditingkatkan setiap hari sehingga dapat
meningkatkan produksi ASI yang berkualitas. Frekuensi menyusui bayi tidak perlu
16
dibatasi dan durasi menyusui kurang lebih 20 menit untuk masing-masing payudara
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan bayi (Proverawati dan Rahmawati, 2010).
Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan belum mampu menerima makanan
karena saluran pencernaan yang belum sempurna dan kekebalan tubuh pada bayi juga
belum sepenuhnya terbentuk. Pemberian makanan tambahan diberikan ketika bayi
sudah mencapai usia enam bulan. Makanan sangat rentan tercemar kuman, pemberian
makanan yang terlalu dini kepada bayi akan berpotensi menimbulkan infeksi karena
bayi belum mampu mencernanya dengan baik sehingga jika ada kuman yang masuk
melalui makanan bayi akan mudah terinfeksi penyakit (Depkes RI, 2004).
Volume ASI setelah minggu-minggu pertama kurang lebih 450-650 ml,
berkurang sedikit dari sejak minggu pertama kelahiran bayi. Setiap hari sebanyak 600
ml susu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bayi. Jumlah tersebut dapat dicapai
dengan menyusui bayi selama empat sampai enam bulan pertama, oleh karena itu
selama kurun waktu tersebut ASI mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Setelah
berumur enam bulan bayi perlu mendapatkan makanan tambahan karena volume
pengeluaran ASI mulai menurun dan sejak saat itu kebutuhan gizi tidak lagi dapat
dipenuhi oleh ASI (Proverawati dan Rahmawati, 2010).
2.1.4
Defisiensi vitamin A
Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi saluran
pernapasan dari infeksi kuman.Vitamin A dapat melindungi tubuh dari infeksi
organisme asing, seperti bakteri patogen. Mekanisme pertahanan ini termasuk ke dalam
sistem imun eksternal, karena sistem imun ini berasal dari luar tubuh. Vitamin ini akan
meningkatkan aktivitas kerja dari sel darah putih dan antibodi di dalam tubuh sehingga
17
tubuh menjadi lebih resisten terhadap senyawa toksin maupun terhadap serangan
mikroorganisme parasit, seperti bakteri patogen dan virus (Umardani dalam Setiarsih,
2014).
Program pemberian vitamin A setiap enam bulan untuk balita telah dilaksanakan
di Indonesia. Hasil penelitian di Indramayu menunjukkan peningkatan risiko kematian
pneumonia pada anak yang tidak mendapatkan vitamin A(Sutrisna B.,1993). Tidak ada
perbedaan bermakna insiden dan beratnya pneumonia antara balita yang mendapatkan
vitamin A dengan yang tidak, hanya waktu untuk sakit lebih lama pada yang tidak
mendapatkan vitamin A (Kartasasmita, 1993).
2.1.5
Pemberian imunisasi yang tidak lengkap
Cara untuk menumbuhkan kekebalan terhadap berbagai macam penyakit adalah
melalui pemberian imunisasi.Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk
terkena pneumonia.Anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi campak
mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami kematian akibat pneumonia, terutama
pada anak yang sedang menderita pneumonia.Cara pertama vaksinasi membantu
mencegah anak-anak dari infeksi yang berkembang langsung yang menyebabkan
pneumonia, misalnya Haemophilus influenzae type b (Hib) dan cara kedua imunisasi
dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari
penyakit (misalnya campak dan pertussis). Pemberian imunisasi diupayakan lengkap
untuk menghindari faktor yang dapat meningkatkan mortalitas akibat pneumonia
(Djaya, 1999).
Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah
vaksin pertussis (ada dalam DPT), campak, Hib (Haemophilus influenzae type b) dan
18
Pneumococcus (PCV).Pertussis dan campak telah masuk ke dalam program vaksinasi
nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia.Haemophilus influenzae type b(Hib)
dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO namun belum semua negara
memasukkannya ke dalam program nasional karena harganya yang mahal.Vaksin Hib
dan pneumokokus dapat mencegah kematian 1.075.000 anak setahun(Kemenkes RI,
2010).
Menteri kesehatan Republik Indonesia menyatakan telah memasukkan vaksin
Hib ke dalam program imunisasi dasar yaitu pentavalen mulai tahun 2014, namun untuk
wilayah Bali mulai tahun 2013.Vaksin pentavalen kedudukannya menggantikan vaksin
kombo yang sekarang tidak ada lagi. Pemberian vaksin pentavalen sama dengan vaksin
kombo yaitu pada umur bayi dua bulan, tiga bulan, empat bulan untuk imunisasi dasar.
Untuk imunisasi lanjutan vaksin pentavalen diberikan pada umur anak paling cepat 18
bulan sampai tiga tahun.
Hasil penelitian mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara anak
yang status imunisasi DPT dan campak tidak lengkap dengan yang status DPT dan
campak lengkap. Balita yang status campak dan DPT tidak lengkap berpeluang sebesar
1,16 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan yang statusnya lengkap (95%
CI: 0,73 – 1,84) (Hananto, 2004).
2.1.6
Paparan asap rokok
Prevalensi masyarakat dengan kelompok umur ≥ 15 tahun yang sudah
melakukan aktivitas merokok setiap hari di Indonesia adalah 28,2%, dimana 1,7%
kelompok umur 5 – 9 tahun sudah pernah merasakan merokok untuk pertama kali
(Riskesdas, 2010). Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011 juga menyatakan bahwa
19
jumlah orang dewasa yang terpapar asap rokok di dalam rumah sebesar 78,4%, hal ini
sangat berdampak pada anak-anak yang tinggal satu rumah dengan perokok karena anak
menjadi perokok pasif sehingga mengalami peningkatan risiko terkena radang saluran
pernapasan, pneumonia, infeksi telinga tengah, asma serta kelambatan pertumbuhan
paru-paru.
Sumber pencemaran udara dapat dikategorikan menjadi alamiah dan kegiatan
manusia (antropogenic).Sumber antropogenic utamanya adalah kendaraan bermotor,
rumah tangga, serta kegiatan lainnya seperti merokok (Achmadi, 2011). Adanya
anggota keluarga yang merokok di dalam ruangan dan di dekat balita tidak baik untuk
kesehatan terutama kesehatan saluran pernapasan. Merokok pasif yang didapat balita
dari kebiasaan orang tuanya dapat mengganggu pernapasan anak.
Variabel merokok sebagai variabel independent dalam suatu penelitian
mempunyai variasi yang cukup luas dalam kaitannya dengan dampak merokok. Paparan
rokok perlu diidentifikasi selengkapnya dari berbagai segi, antara lain dari jenis perokok
(perokok aktif atau perokok pasif), jumlah rokok yang dihisap (dalam satu batang,
bungkus, atau pak perhari), jenis rokok yang dihisap (keretek, cerutu atau rokok putih,
pakai filter atau tidak), cara menghisap rokok (menghisap dangkal, di mulut saja atau
isap dalam), alasan mulai merokok (sekedar ingin hebat, ikut-ikutan, kesepian, pelarian,
sebagai gaya, meniru orang tua), umur mulai merokok (sejak umur 10 tahun atau lebih).
Berdasarkan hal tersebut jenis perokok juga dapat dibagi atas perokok ringan jika
merokok kurang dari 10 batang per hari, perokok sedang jika menghisap rokok antara
10-20 batang per hari, perokok berat jika merokok lebih dari 20 batang per hari (Buston,
2007).
20
Terdapat hubungan antara anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan
merokok dengan pneumonia pada balita dengan OR sebesar 2,70 (Yuwono, 2008),
begitu juga penelitian oleh Sugihartono dan Nurjazuli (2012) dengan OR sebesar 5,74
(95% CI : 1,78 – 18,49).
2.1.7
Faktor lingkungan fisik rumah
Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan
sarana pembinaan keluarga. Kontruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi
syarat kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit
khususnya penyakit yang berbasis lingkungan.
Kondisi fisik rumah sangat
memengaruhi terhadap kejadian pneumonia.
Kelembaban kandungan uap air dipengaruhi oleh sirkulasi udara dan
pencahayaan yang masuk dalam rumah. Kelembaban udara dalam rumah yang
meningkat berpotensi sebagai tempat hidup bakteri-bakteri penyebab penyakit.
Keterkaitan antara kelembaban dan penyakit pneumonia saling berpengaruh terhadap
kejadian pneumonia. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan etiologi
pneumonia berupa virus, bakteri dan jamur. Faktor etiologi tersebut dapat tumbuh
dengan baik jika kondisi optimal. Penghuni ruangan biasanya akan mudah menderita
sakit infeksi saluran napas karena situasi tersebut (Notoatmodjo, 2007).
Faktor-faktor kelembaban udara meliputi keadaan bangunan yaitu dinding, iklim
dan cuaca. Air hujan masuk dan meresap melalui pori-pori dinding sehingga akan
mengakibatkan kelembaban udara dalam ruangan. Kelembaban udara secara
menyeluruh dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Kelembaban di dalam rumah menurut
Departemen Pekerjaan Umum dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu kelembaban yang
21
naik dari tanah (rising damp), merembes melalui dinding (percolating damp) dan bocor
melalui atap (roof leaks) (Dinas Pekerjaan Umum, 2006).
Keputusan Menteri Kesehatan No.829 Tahun 1999 menyatakan syarat-syarat
kelembaban yang memenuhi standar kesehatan adalah tingkat kelembaban udara dalam
rumah yang dianggap baik adalah sebesar 40-70% serta lantai dan dinding harus kering.
Alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban adalah higrometer, digantung pada
papan yang terbuat dari kayu kemudian dapat dilihat berapa angka kelembaban yang
tertera pada alat tersebut kemudian melakukan pencataan hasil. Higrometer adalah
perangkat untuk menentukan kelembaban atmosfer yang dapat menunjukkan
kelembaban relatif (persentase kelembaban di udara), kelembaban mutlak (jumlah
kelembaban)
atau
keduanya.
Beberapa
higrometer
standar
hanya
mampu
menginformasikan dua keadaan seperti pada kondisi udara kering atau basah. Jenis
higrometer lainnya merupakan bagian dari perangkat yang disebut humidistats, yang
digunakan untuk mengontrol pelembab udara atau pengering untuk mengatur
kelembaban udara (Keman, 2005).
Tingkat kelembaban berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita
dengan OR sebesar 2,90 dimana balita yang menempati rumah dengan kelembaban
tinggi berisiko 2,90 kali terkena pneumonia dibandingkan balita yang menempati
kondisi rumah dengan kelembaban normal (Yulianti,dkk., 2002). Tingkat kelembaban
berhubungan bermakna dengan kejadian pneumonia.Balita memiliki risiko terkena
pneumonia sebesar 2,80 kali lebih besar apabila tinggal pada rumah yang
kelembabannya kurang atau lebih dari syarat yang ditetapkan dibandingkan yang tinggal
di rumah dengan tingkat kelembaban memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Sebaliknya
22
dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara kelembaban rumah dengan
kejadian pneumonia pada balita (Pramudiyani dan Prameswari, 2011).
Kurangnya ventilasi berpengaruh terhadap peningkatan kelembaban dalam
ruangan yang merupakan media yang baik untuk tempat hidup bakteri dan patogen.
Fungsi lain ventilasi adalah untuk menjaga ruangan dalam kelembaban optimum dan
membuat ruangan di dalam rumah terhindar dari kontaminasi bakteri yang dapat
membahayakan (Notoatmodjo, 2007). Ventilasi memiliki fungsi yang penting terutama
untuk mengatur O2 yang masuk ke ruangan sehingga aliran udara dalam rumah tetap
segar dan terjaga dengan baik yang dibutuhkan oleh penghuni. Kurangnya ventilasi
akan menyebabkan meningkatnya kadar CO2 dan menipisnya kadar O2 yang berarti
bahwa kadar racun yang dibawa oleh O2 meningkat dan berbahaya bagi para
penghuninya (Notoatmodjo, 2007).
Ventilasi dapat dibagi menjadi dua, yakni ventilasi alamiah dan ventilasi
buatan.Prinsip kerja ventilasi alamiah adalah terjadinya pertukaran udara secara alamiah
melalui pintu, jendela, lubang angin, maupun lubang-lubang pada dinding ruangan
rumah. Ventilasi buatan berupa pertukaran udara dengan bantuan alat elektronik seperti
kipas angin atau mesin penghisap udara. Kelemahan ventilasi alamiah yaitu peluang
masuknya vektor seperti lalat, nyamuk, dan lainnya lebih tinggi dibandingkan ventilasi
buatan. Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan No.829 Tahun 1999, luas lubang
ventilasi alamiah yang permanen adalah minimal 10% luas lantai (Keman, 2005).
Ventilasi diukur dengan menggunakan rollmeter, dengan kategori dikatakan tidak
memenuhi standar yaitu ukuran ventilasi tidak sesuai dengan standar bangunan
23
nasional, dikatakan standar bila ukuran ventilasi sesuai dengan dua atau lebih standar
bangunan nasional.
Hasil penelitian yang dilakukan di Cilacap menunjukkan terdapat hubungan
yang bermakna antara ventilasi rumah dengan kejadian pneumonia pada anak balita
(OR : 6,30). Anak balita dengan kondisi ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki
risiko 6,30 kali terkena pneumonia dibandingkan anak balita dengan ventilasi yang
memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Hasil penelitian yang sama juga didapatkan adanya
hubungan bermakna antara ventilasi dengan kejadian pneumonia pada balita (OR :
2,91). Hal ini menunjukkan kondisi rumah balita yang memiliki ventilasi tidak
memenuhi syarat memiliki risiko 2,91 kali terkena pneumonia dibandingkan balita
dengan ventilasi rumah yang memenuhi syarat (Sinaga, dkk., 2008). Penelitian yang
dilakukan di Kota Salatiga mendapatkan kondisi ventilasi yang buruk memiliki
hubungan yang signifikan terhadap kejadian pneumonia pada balita dengan OR sebesar
21,21 (Siti Zuraidah, 2002) dan penelitian lain juga didapatkan hal yang sama dengan
OR sebesar 33,00 (Nurjazali dan Retno Widyaningtyas, 2006).
Kondisi lantai yang lembab menyebabkan pertumbuhan yang cepat dari bakteri
patogen, virus maupun jamur sehingga dapat menimbulkan penyakit pada penghuninya.
Jenis lantai yang baik menurut Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan adalah yang kedap air dan mudah dibersihkan.
Lantai dari bahan tanah pada saat musim hujan akan menjadi lembab oleh karena itu
sebaiknya tidak digunakan lagi. Penyebab pneumonia pada balita sangat bervariasi,
mulai dari bakteri Streptococcus pneumoniae dan Haemophyilus influenza, virus
maupun fungi (jamur) (Depkes RI, 2000). Lantai perlu dilapisi dengan lapisan yang
24
kedap air seperti disemen, dipasang tegel, keramik, teraso dan lain-lain. Lantai
sebaiknya dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan tanah untuk mencegah air masuk
ke dalam rumah.
Beberapa penelitian yang terkait dengan jenis lantai dengan kejadian pneumonia
pada balita. Jenis lantai berhubungan dengan kejadian pneumonia (Pramudiyani dan
Prameswari, 2011). Jenis lantai mempunyai asosiasi yang signifikan dengan kejadian
pneumonia pada balita (Nurjazuli dan Widyaningtyas, 2006). Balita mempunyai risiko
menderita pneumonia sebesar 3,90 kali lebih besar saat tinggal di rumah dengan jenis
lantai tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan yang tinggal di rumah dengan jenis
lantai memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Begitu juga penelitian lain dengan OR sebesar
10,53 dan 95% CI : 2,61– 42,44 (Sugihartono dan Nurjazuli, 2012).
Faktor kelembaban rumah juga dipengaruhi oleh dinding rumah.Fungsi dari
dinding selain sebagai pendukung atau penyangga atap juga untuk melindungi rumah
dari gangguan panas, hujan dan angin dari luar dan juga sebagai pembatas antara dalam
dan luar rumah. Dinding berguna untuk mempertahankan suhu dalam ruangan,
merupakan media bagi proses rising damp (kelembaban yang naik dari tanah) yang
merupakan salah satu faktor penyebab kelembaban dalam rumah. Bahan dinding yang
baik adalah dinding yang terbuat dari bahan yang tahan api seperti batu bata atau yang
sering disebut tembok. Dinding dari tembok akan dapat mencegah naiknya kelembaban
dari tanah (rising damp) (Depkes RI, 1994). Dinding dari anyaman bambu yang tahan
terhadap segala cuaca sebenarnya cocok untuk daerah pedesaan, tetapi mudah terbakar
dan tidak dapat menahan lembab, sehingga kelembabannya tinggi.
25
Salah satu hasil penelitian menyatakan kondisi dinding rumah mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia. Besarnya risiko menderita
pneumonia dapat dilihat dari nilai OR sebesar 2,90 artinya anak balita yang tinggal di
rumah dengan kondisi dinding rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena
pneumonia sebesar 2,90 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah
dengan kondisi dinding rumah memenuhi syarat (Yuwono, 2008).
Rumah yang sehat adalah rumah dengan pencahayaan yang cukup. Pencahayaan
yang kurang terutama dari sinar matahari dapat menimbulkan ketidaknyamanan serta
merupakan media yang baik untuk bibit penyakit berkembang biak. Sebaliknya
pencahayaan alami yang berlebihan dapat menyilaukan mata.Sebagian energi pancaran
sinar matahari terdiri atas cahaya ultraviolet yang pendek tersaring di atmosfer bumi
(lapisan ozon) dan polutan atmosfer, dengan demikian radiasi ultraviolet menjadi
terbatas kisarannya yaitu 280-390 nm. Sinar matahari pada keadaan tertentu memiliki
kapasitas membunuh bakteri (Radji, M, 2010).
Cahaya alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam ruangan
melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang terbuka.Cahaya matahari
berguna selain untuk penerangan dapat juga untuk mengurangi kelembaban ruangan,
mengusir nyamuk dan membunuh kuman penyebab penyakit.Pencahayaan alami sangat
penting untuk membunuh bakteri-bakteri patogen yang hidup dalam rumah seperti
bakteri TBC. Bakteri streptococcus pneumoniae memiliki sifat mampu bertahan selama
beberapa hari dalam pembenihan biasa dan mati oleh sinar matahari langsung (Radji, M,
2010).
26
Keputusan
Menteri
Republik
Indonesia
No.829/Menkes/SK/VII/
1999
menyatakan pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung
menerangi seluruh ruangan dengan intensitas cahaya minimal 60 lux serta tidak
menyilaukan mata (Keman, 2005). Pencahayaan alami yang memenuhi syarat yaitu bila
cahaya matahari dapat memasuki ruangan sedangkan yang tidak memenuhi syarat jika
matahari tidak mampu memasuki ruangan. Jendela kamar tidur sebaiknya menghadap
ke timur sehingga mendapatkan cahaya matahari yang optimal ketika pagi hari. Idealnya
proporsi jalan masuknya cahaya alami ke dalam rumah adalah 15-20% dari luas lantai
yang terdapat di dalam ruangan (Notoatmodjo,2007). Sebaiknya memakai genteng kaca
agar dapat mengatur jarak masuknya cahaya.
Alat yang dipakai untuk mengukur pencahayaan adalah luxmeter. Cara
penggunaannya adalah alat langsung diletakkan pada ruangan yang akan diperiksa, lihat
dan dicatat hasilnya. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah Indonesia melalui
Dinas Pekerjaan Umum (DPU) telah menetapkan bahwa untuk kesehatan ruangan, sinar
matahari pagi harus masuk ke dalam ruangan minimal satu jam sehari atau bila
penerangan matahari tidak langsung minimal delapan jam.
Hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Sentosa Baru Kota
Medan menunjukkan adanya hubungan antara pencahayaan alami dengan kejadian
pneumonia pada balita (OR : 2,90) dimana balita dengan tingkat pencahayaan alami
yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,90 kali terkena pneumonia dibandingkan
balita dengan tingkat pencahayaan alami yang memenuhi syarat (Sinaga, dkk., 2008).
Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian lain dengan nilai OR sebesar 22,00
(Wijo Basuki, 2004).
27
Selain keadaan rumah yang tidak lembab, proporsi antara luas bangunan dan
jumlah penghuni merupakan salah satu syarat rumah sehat. Jumlah penghuni yang
terlalu banyak dalam rumah tentu membuat tidak nyaman yaitu menimbulkan rasa
sesak. Kondisi tersebut dapat mengganggu kesehatan sebagai akibat kurangnya
konsumsi O2 dalam ruangan dan meningkatkan risiko penularan penyakit bila ada salah
satu penghuni yang menderita penyakit infeksi.
Syarat bangunan yang nyaman dan tidak membuat sesak kalau memenuhi luas
2,5-3 m2/orang (Notoatmodjo, 2007). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.829 Tahun 1999
tentang kriteria rumah sehat bahwa kepadatan hunian yang
dianggap baik yaitu luas tempat tidur minimal 8 m 2 untuk dua orang (Keman, 2005).
Winslow dan American Public Health Association (APHA) menyatakan aturan untuk
kamar tidur dari segi jumlah yang akan dibangun dan pengaturan di dalamnya
disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin anak. Ukuran tempat tidur anak usia kurang
dari lima tahun minimal 4,5 m2 dan 9 m2 untuk anak yang berumur lebih dari lima
tahun. Sleeping density dapat dipakai untuk menentukan kepadatan hunian, yang
dihitung berdasarkan jumlah kamar tidur yang ada dibagi dengan jumlah penghuni
dalam rumah. Hasil yang didapat dari perhitungan tersebut dikategorikan menjadi tiga,
yaitu kategori baik apabila hasilnya ≥ 0,7, kategori cukup bila kepadatan 0,5 – 0,7, dan
kurang apabila kepadatan < 0,5 (Dinas Pekerjaan Umum, 2006).
Penelitian yang dilakukan di Kota Banjarmasin menunjukkan adanya hubungan
antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 3,06)
dimana anak balita dengan tingkat kepadatan tinggi berisiko 3,06 kali terkena
pneumonia dibandingkan dengan anak balita dengan tingkat kepadatan yang ideal
28
(Yulianti,dkk., 2002). Hasil yang sama mengenai hubungan antara tingkat kepadatan
hunian dengan kejadian pneumonia pada balita dengan OR : 6,90 dan OR : 2,70
(Sinaga, dkk., 2008; Yuwono, 2008). Sebaliknya penelitian yang lain didapatkan hasil
tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian
pneumonia pada balita (OR : 0,92) yang berarti balita yang tinggal dalam rumah dengan
kondisi tidak padat penghuni mempunyai efek perlindungan sebesar 0,92 kali terhadap
pneumonia (Sudirman, 2003).
Download