1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inflamasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inflamasi adalah suatu respon biologi reaksi - reaksi kimiawi secara
berurutan dan bertugas melindungi tubuh dari infeksi dan memperbaiki jaringan
yang rusak akibat trauma. Sebagai akibat dari trauma atau pun perangsangan, sel
yang terkena ini akan mengaktifkan suatu sistem yang cukup rumit. Sistem dalam
sel ini akan melepaskan berbagai macam mediator inflamasi seperti histamin,
serotonin, bradikinin, faktor Hageman, enzim lisozim, prostaglandin, dan
leukotrien (Wilmana, 1995).
Inflamasi dapat terjadi secara lokal, sistemik, akut, dan kronik. Respon
inflamasi lokal ditandai dengan bengkak, panas, sakit, dan kemerahan. Pada abad
ke-2, Galen menambahkan pertanda inflamasi yang kelima yaitu, kehilangan fungsi
alat tubuh yang mengalami inflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012). Respon
inflamasi tersebut bisa diobati dengan pemberian obat-obat antiinflamasi.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi terbagi menjadi
dua golongan, yaitu obat inflamasi golongan steroid dan obat antiinflamasi non
steroid. Mekanisme kerja kedua jenis obat tersebut terutama bekerja menghambat
pelepasan prostaglandin ke jaringan yang mengalami cedera (Gunawan, 2007).
Obat golongan antiinflamasi steroidal misalnya prednison dan obat antiinflamasi
non steroid (AINS) misalnya ketoprofen (Furst dan Ulrich, 2002).
1
2
Ketoprofen merupakan obat NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory
Drug) turunan asam propionat yang memiliki khasiat analgetik, antiinflamasi, dan
antipiretik (Shohin dkk., 2012). Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis
prostaglandin, yaitu zat yang menyebabkan inflamasi (Kay dkk., 2000). Ketoprofen
biasa digunakan untuk pengobatan rematoid artritis, osteoartritis, dan berbagai
penyakit muskuloskeletal kronis (Purwantiningsih dkk., 2010). Selain memiliki
efek sebagai anti-inflamasi, ketoprofen juga diketahui memiliki efek analgesik dan
antipiretik (Rençber dkk., 2009). Terapi secara oral menggunakan ketoprofen
sangat efektif dilakukan, tetapi ketoprofen dapat menyebabkan efek samping pada
saluran pencernaan berupa peradangan, pendarahan, ulserasi, dan perforasi (Shohin
dkk., 2012).
Ketoprofen merupakan salah satu obat yang digolongkan kategori kelas II
dalam Biopharmaceutical Classification System, yaitu golongan obat yang
mempunyai permeabilitas yang baik, akan tetapi kelarutannya sangat rendah dalam
air (Keshavarao dkk., 2011). Ketoprofen memiliki sifat fisiko-kimia sebagai
berikut: lipofilik, bobot molekul 254,3 g/mol, titik leleh 94,5 oC, dan praktis tidak
larut dalam air dengan nilai kelarutan dalam air 0,010 mg/mL (Rencber dkk., 2010).
Berbagai cara formulasi dilakukan untuk mengatasi permasalahan kelarutan
tersebut, salah satunya adalah memformulasikannya dalam bentuk SNEDDS
(Keshavarao dkk., 2011).
Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) adalah sistem
penghantaran obat yang mengandung campuran isotropik minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan obat yang membentuk nanoemulsi secara spontan (self-emulsifying)
3
saat dimasukkan ke dalam fase air dengan agitasi yang ringan. Hasil pencampuran
sediaan SNEDDS dalam cairan lambung setelah dikonsumsi oleh pasien akan
membentuk nanoemulsi. Bentuk nanoemulsi dipilih karena dalam nanoemulsi
terdapat kandungan minyak yang dapat membawa ketoprofen yang sukar larut
dalam air (Han dkk., 2011). Hasil studi secara in vivo menunjukkan motilitas
lambung dan usus pada saluran percernaan memberikan agitasi yang cukup untuk
self-emulsification (Rao dan Shao, 2008). Proses self-emulsifying terjadi secara
spontan karena energi bebas yang diperlukan untuk membentuk nanoemulsi sangat
rendah (Date dkk., 2010).
Formulasi SNEDDS menjadi pilihan yang sangat potensial untuk
dikembangkan dalam formulasi obat karena lebih mudah diproduksi pada skala
yang lebih besar dan hemat biaya. Hal ini karena SNEDDS menawarkan larutan
lipid yang stabil tanpa perlu proses emulsifikasi dengan energi tinggi (Date dkk.,
2010). Keunggulan sediaan SNEDDS adalah kemampuan membentuk nanoemulsi
secara spontan di dalam saluran cerna dan ukuran tetesan yang dihasilkan berukuran
nanometer (Makadia dkk., 2013). Ukuran tetesan nanoemulsi yang sangat kecil
memungkinkan penyerapan obat menjadi lebih efisien. (Kumar dkk., 2011).
Peningkatan kelarutan obat lewat formulasi SNEDDS memungkinkan adanya
pengurangan dosis sehingga dapat mengurangi efek samping yang terkait dengan
dosis. (Nielsen dkk., 2008). Berbagai macam obat yang memiliki masalah kelarutan
dilaporkan telah berhasil diformulasi dalam bentuk sediaan SNEDDS, antara lain
carvedilol (Mahmoud dkk., 2009), flutamid (Jeevana dan Sreelakshmi, 2011),
fenofibrate (Patel dan Vavia, 2007), dan valsatran (Beg dkk., 2012).
4
Pada penelitian ini, akan dilakukan pengujian secara in vivo dari formula
nanoemulsi minyak dalam air (O/W) ketoprofen dengan metode SNEDDS
menggunakan campuran minyak, surfaktan dan kosurfaktan yang sudah dilakukan
oleh Surya (2014). Nanoemulsi yang terbentuk akan diverifikasi formulanya
melalui uji transmitan dan waktu emusifikasi. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas
antiinflamasi untuk mengetahui seberapa besar pengaruh sediaan dalam bentuk
SNEDDS dalam memberikan efek antiinflamasi pada tikus dibandingkan sediaan
tanpa ketoprofen dalam suspensi.
B. Rumusan Masalah
1. Berapa nilai ED50 antiinflamasi SNEDDS ketoprofen dengan asam oleat
sebagai fase minyak, tween 20 sebagai surfaktan, dan propilen glikol sebagai
ko-surfaktan?
2. Apakah efek antiinflamasi ketoprofen dalam formulasi sediaan SNEDDS lebih
baik dibandingkan ketoprofen dalam sediaan suspensi?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui nilai ED50 dari formula SNEDDS ketoprofen.
2. Membandingkan efek antiinflamasi antara ketoprofen dalam sediaan SNEDDS
terhadap ketoprofen dalam sediaan suspensi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terbaru mengenai
daya antiinflamasi dari SNEDDS dengan bahan aktif ketoprofen melalui pengujian
secara in vivo.
5
E. Tinjauan Pustaka
1.
Ketoprofen
O
CH 3
OH
O
Gambar 1. Struktur Kimia Ketoprofen
Ketoprofen mempunyai nama resmi asam 2-(3-benzoilfenil) propionate.
Obat tersebut merupakan derivat asam propionat (gambar 1). Ketoprofen memiliki
berat molekul (BM) 254,3 g/mol berwarna putih atau hampir putih, serbuk hablur,
dan hampir tidak berbau. Ketoprofen mudah larut dalam aseton, etanol, eter dan
larutan alkali, namun tidak mudah larut dalam air. Titik lebur obat tersebut berkisar
antara 93-96 oC (Depkes RI., 1995). Ketoprofen bersifat asam lemah dengan nilai
pKa 4,39 (Grozdanis dkk., 2008). Kelarutan obat ini dipengaruhi oleh faktor pH
dimana semakin tinggi pH maka kelarutan obat tersebut akan semakin meningkat
(Sheng dkk., 2006).
Ketoprofen termasuk dalam obat antiradang non-steroid dengan daya
analgesik dan antipiretik yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin.
Aktivitas antiinflamasi ketoprofen melalui mekanisme penghambatan terhadap
aktivitas enzim siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2), yaitu
enzim yang terlibat dalam sintesis prostaglandin melalui jalur asam arakidonat. Hal
ini menyebabkan penurunan kadar prostaglandin yang memediasi nyeri, demam
dan peradangan (Kay dkk., 2000).
6
Ketoprofen diklasifikasikan sebagai analgesik sedang yang digunakan
untuk penyakit artritis, osteoartritis, nyeri pada saat haid (dismenore), serta
mengurangi nyeri sedang (Shohin dkk., 2012). Selain memberikan banyak aktivitas
terapeutik, ketoprofen juga memberikan efek samping yang tidak diinginkan,
seperti kehilangan darah, luka pada usus atau lambung dan anemia (Gabriel dkk.,
1991). Efek samping lain yang timbul bisa berupa asma, urtikaria (Shohin dkk.,
2012), dan iritasi saluran cerna (Rencber dkk., 2010).
Dosis pemakaian ketoprofen adalah 50 mg empat kali sehari atau 75 mg tiga
kali sehari (Parfitt, 1999). Dosis tertinggi ketoprofen yang direkomendasikan untuk
penggunaan oral immediate release adalah 100 mg dan 200 mg untuk sediaan lepas
lambat (FDA, 2010). Permeabilitas ketoprofen pada usus manusia cukup tinggi
sekitar 8,7 x 10-6 cm/s (Sheng dkk., 2006). Kadar puncak dalam darah terjadi pada
rentang waktu 0,5 – 2 jam setelah pemberian, setelah itu konsentrasi akan berkurang
dengan cepat. Ketoprofen dieliminasi dari tubuh melalui ginjal dengan kinetika
orde 1 (k = 0,35/jam) dengan waktu paro eliminasi (t1/2) antara 1,5 jam - 2 jam
(Patil dkk., 2005).
Ketoprofen
digolongkan
sebagai
obat
dengan
Biopharmaceutical
Classification System (BCS) kelas II. Ketoprofen merupakan obat yang memiliki
kelarutan yang rendah dalam air yaitu sekitar kelarutan 0,253 mg/mL (Shohin dkk.,
2012). Kelarutan ketoprofen yang rendah air akan menyebabkan waktu tinggal
ketoprofen semakin lama dalam lambung, sehingga dapat memperparah efek
samping yang timbul. Menurut Pol dkk. (2013), kristal NSAID yang sukar larut
7
dalam cairan lambung akan kontak dengan dinding lambung dalam waktu yang
lama sehingga meningkatkan resiko iritasi lambung.
2.
Inflamasi
Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang
memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang
paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik
yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Robbins, 2004).
Penyebab dari inflamasi sendiri antara lain mikroorganisme, trauma
mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi
adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau
terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang
masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses
penyembuhan (Corwin, 2008).
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh
cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu
(Dorland, 2002). Respons inflamasi terjadi dalam tiga fase dan diperantarai oleh
mekanisme yang berbeda:
a.
Fase akut, terjadi vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler.
b.
Reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit.
8
c.
Fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya degenerasi dan fibrosis
(Wilmana, 2007).
Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya
permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses
inflamasi yang sudah dikenal ialah:
a. Kemerahan (rubor)
Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah
ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke
tempat cedera (Corwin, 2008).
b. Rasa panas (kalor)
Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana
rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang
daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi
di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita
lihat dan rasakan (Wilmana, 2007).
c. Rasa sakit (dolor)
Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal: (1) adanya
peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan
tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya pengeluaran zat
– zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang
dapat merangsang saraf – saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan
nyeri (Wilmana, 2007).
9
d. Pembengkakan (tumor)
Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang
disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya
peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera
sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang
interstitium (Corwin, 2008).
e. Fungsiolaesa
Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena
inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi. (Wilmana, 2007).
Selama berlangsungnya respon inflamasi banyak mediator kimiawi yang
dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor
kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan prostaglandin (PG). Dengan migrasi sel
fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya enzim
pemecah. (Wilmana, 2007).
Mekanisme inflamasi yang terjadi di dalam tubuh bermula pada membran
sel atau jaringan yang mengalami sakit atau terluka. Enzim fosfolipase dalam
tubuh dari membran sel menghasilkan asam arakidonat yang nantinya akan
melalui dua jalur tahapan yaitu siklooksigenase dan lipoksigenase. Pada jalur
siklooksigenase, akan terbentuk endoperoksida sedangkan pada jalur
lipoksigenase terbentuk asam hidroperoksida. Setelah proses stimulasi, dua
enzim siklooksigenase mulai mensintesis pembentukan modulator peradangan
10
seperti halnya enzim COX-2 mengkatalisis pembentukan prostaglandin jahat
yang menyebabkan radang (Dannhardt dan Laufer, 2000).
Gambar 2. Pembentukan metabolit asam arakidonat dan peranannya dalam inflamasi.
(Sumber: Robbins, 2004)
3.
Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS)
Beberapa tahun terakhir, perkembangan formulasi sediaan farmasi telah
terfokus pada sistem mikroemulsi berbasis lipid (lipid-microemulsion) terutama
pada Self-emulsifying Drug Delivery System (SEDDS), Self-microemulsifying Drug
Delivery System (SMEDDS), dan Self-nanoemulsifying Drug Delivery System
(SNEDDS) untuk meningkatkan bioavailabilitas oral obat-obat yang sukar larut air
(Balakrishnan dkk., 2009b; Cui dkk., 2009; Woo dkk., 2008). SNEDDS
mengandung campuran isotropik minyak, surfaktan, ko-surfaktan dan obat yang
membentuk nanoemulsi minyak dalam air bila berada dalam fase air dengan ukuran
11
tetesan nanoemulsi yang terbentuk yaitu kurang dari 100 nm (Date dan
Nagarsenker, 2007). SNEDDS akan membentuk nanoemulsi o/w secara spontan
(self-emulsifying) saat dimasukkan ke dalam fase air dengan agitasi yang ringan
(Nazzal dkk., 2002).
SNEDDS akan membentuk nanoemulsi ketika kontak dengan cairan dalam
saluran cerna. Kemudian terjadi agitasi untuk proses self-emulsifying dalam GIT
dibantu oleh gerakan pada lambung dan usus (Itoh dkk., 2002; Nazzal dkk., 2002).
Nanoemulsi yang terbentuk memiliki ukuran tetesan kurang dari 100 nm dan
meningkatkan kelarutan obat yang tidak larut air sehingga dapat membantu
absorpsi obat pada saluran cerna (Han dkk., 2011). Ukuran nanoemulsi yang sangat
kecil memungkinkan obat dapat melewati membran sepanjang GIT dengan cepat
dan meminimalisasi iritasi akibat adanya kontak antara kristal obat dengan dinding
GIT (Makadia dkk., 2013).
Keunggulan sistem SNEDDS dibandingkan sistem pengiriman berbasis
lipid lainnya antara lain factor stabilitas yang sangat baik, kapasitas melarutnya
tinggi, dan sangat memungkinkan untuk diproduksi dalam skala yang lebih besar
(Date dkk., 2010). Beberapa keuntungan formula SNEDDS, di antaranya
melindungi obat yang sensitif, meningkatkan biovailabilitas obat oral sehingga
memungkinkan pengurangan dosis, muatan obat tinggi, mudah disimpan karena
memiliki kestabilan termodinamika yang baik, serta adanya minyak dapat
mempercepat obat melewati saluran gastrointestinal sehingga meminimalisasi
iritasi yang sering terjadi selama kontak antara zat obat dan dinding usus (Gursoy
dan Benita, 2004).
12
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan SNEDDS antara lain: (1) sifat
fisikokimia dan konsentrasi minyak, surfaktan dan kosurfaktan (co-emulsifier); (2)
perbandingan komponen, khususnya perbandingan minyak – surfaktan; (3) suhu
dan pH fase air di mana nanoemulsifikasi akan terjadi; dan (4) sifat fisikokimia
obat, seperti hidrofilisitas/lipofilisitas, pKa dan polaritas. Komponen-komponen
yang mempengaruhi keberhasilan SNEDDS yaitu:
a.
Minyak
Minyak merupakan campuran trigliserida yang mengandung asam lemak dari
berbagai rantai dan derajat ketidakjenuhan. Trigliserida diklasifikasikan menjadi
rantai pendek (<5 karbon), menengah (6-12 karbon), atau rantai panjang (> 12
karbon) (Debnath, 2011). Pemilihan fase minyak merupakan hal yang penting dan
sangat mempengaruhi keberhasilan formulasi SNEDDS. Sifat fisiko kimia minyak
meliputi volume molekul, viskositas dan polaritas sangat menentukan dalam
spontanitas proses nanoemulsifikasi, ukuran tetesan partikel, kelarutan obat, serta
nasib obat dan nanoemulsi dalam jaringan biologis (Anton dkk., 2008). Untuk
mencapai loading drug yang maksimal dalam formulasi SNEDDS, maka dipilih
minyak yang memiliki potensi melarutkan obat lebih banyak serta menghasilkan
nanoemulsi dengan ukuran droplet yang kecil (Date dkk., 2010). Minyak dengan
rantai hidrokarbon yang panjang misalnya minyak kedelai lebih sulit membentuk
nanoemulsi dibandingkan minyak dengan hidrokarbon rantai sedang dan rantai
pendek, seperti monogliserida rantai sedang dan ester asam lemak (etil oleat)
(Anton, 2009; Sadurní, 2005). Pada penelitian ini fase minyak yang dipakai adalah
asam oleat.
13
Asam oleat dengan nama IUPAC: cis-9-octadecenoic acid (singkatan lipid
18:1 cis-9) adalah asam lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid) yang
memiliki bobot molekul 282,47 g/mol, berwarna kuning pucat atau kuningkecoklatan, dan dapat diperoleh dari sumber nabati atau hewani (NIST, 2014).
Gambar 3. Struktur Kimia Asam Oleat
Asam oleat juga merupakan penyusun lipid bilayer stratum korneum pada
kulit manusia (Williams, 2003). Asam oleat memiliki titik leleh 13°C dan titik didih
300°C (Sciencelab, 2014). Asam oleat bisa bertindak sebagai agen pengemulsi,
sehingga dapat memperbaiki bioavailabilitas obat-obat yang sukar larut dalam air
pada formulasi tablet (Kibbe, 2000). Asam oleat banyak dipilih sebagai fase minyak
dalam formulasi SNEDDS karena kemampuan self-emulsifying yang tinggi dan
kapasitas drug loading yang besar (Kurakula dan Miryala, 2013). Kurakula dan
Miryala (2013) melakukan penelitian dengan menggunakan asam oleat, tween 80
dan Brij 30 untuk memformulasikan SNEDDS atorvastatin, dengan hasil
emulsification time 70-120 detik dan rerata ukuran tetesan 150-230 nm.
b.
Surfaktan
Surfaktan adalah suatu senyawa kimia yang dapat mengaktifkan permukaan
suatu zat lain yang awalnya tidak dapat berinteraksi. Surfaktan memiliki karakter
yang unik karena dapat berinteraksi dengan senyawa yang polar dan juga non polar
14
dikarenakan struktur surfaktan yang memiliki gugus polar dan non polar yang
seimbang. Surfaktan non ionik mempunyai karakteristik yang spesifik yaitu
Hidrophilic-Lipophilic Balance (HLB). Surfaktan dengan nilai HLB yang rendah
memiliki sifat hidrofobik dan memiliki kelarutan yang lebih besar dalam minyak,
sedangkan surfaktan dengan nilai HLB tinggi bersifat hidrofilik dan memiliki
kelarutan yang lebih besar dalam media air. Hidrophilic-Lipophilic Balance
merupakan ukuran untuk menunjukkan keseimbangan antara gugus hidrofil dan
lipofil. Nilai HLB untuk emulsi air dalam minyak berkisar antara 3-6 sedangkan
HLB untuk emulsi minyak dalam air berkisar 8-18 (Ansel, 1999).
Karakteristik surfaktan yaitu HLB, viskositas dan afinitas, serta konsentrasi
surfaktan memiliki pengaruh besar pada proses pembentukan dan ukuran tetesan
nanoemulsi (Sadurní dkk., 2005; Wang dkk., 2009). Pemilihan surfaktan harus
mempertimbangkan faktor keamanan karena terdapat surfaktan yang dapat
menyebabkan iritasi pada mukosa lambung (Cuiné dkk., 2007). Namun sifat
tersebut dapat berkurang setelah terjadi interaksi dengan fase minyak (Jumaa dan
Müller, 2000). Surfaktan yang digunakan untuk formulasi SNEDDS dapat
digunakan secara tunggal maupun kombinasi agar menghasilkan nanoemulsi
dengan karakteristik yang diinginkan serta meminimalkan efek merugikan akibat
penggunaan surfaktan (Date dkk., 2010).
Surfaktan terpilih dalam pembuatan formula harus acceptable pada rute
administrasi yang ditentukan dan harus sesuai dengan regulasi yang berlaku
(Makadia dkk., 2013). Penambahan surfaktan dapat mengurangi tegangan antar
muka sehingga dapat menghasilkan tetesan nanoemulsi yang stabil (Costa dkk.,
15
2012). Surfaktan yang digunakan untuk formulasi SEDDS adalah surfaktan non
ionik dengan nilai HLB tinggi yang dapat membantu pembentukan tetesan emulsi
o/w dengan cepat dalam media berair (Bharathi dkk., 2013). Pada penelitian ini,
surfaktan yang digunakan adalah tween 20.
Tween 20 atau dengan nama lain Polyoxyethylene (20) sorbitan monolaurate
adalah ester dari polioksietilen sorbitan yang memiliki HLB 16,7 dan bobot
molekul sekitar 1225 g/mol (Sigma, 2014). Tween 20 memiliki LD50 untuk tikus
sebesar 36,7 mL/kg dan untuk mencit lebih dari 33 g/kg (Cayman, 2012). Kassem
dkk. (2010), dalam penelitiannya pernah memformulasikan SNEDDS clotrimazole
dengan komposisi 10% asam oleat sebagai fase minyak, 60% tween 20 sebagai
surfaktan, serta 15% PEG 200 dan 15% n-butanol sebagai ko-surfaktan. Komposisi
formulasi tersebut menghasilkan ukuran tetesan nanoemulsi sebesar 81 nm.
O
O
O
w
O
OH
O
x
HO
OH
O
O
z
y
w+x+y+z=20
Gambar 4. Struktur Kimia Tween 20
c.
Kosurfaktan
Kosurfaktan ditambahkan pada formula SNEDDS untuk meningkatkan drug
loading, mempercepat self-emulsification time, dan mengatur ukuran tetesan pada
nanoemulsi (Biradar dkk., 2009; Makadia dkk., 2013). Surfaktan tidak cukup
menurunkan tegangan antar muka minyak-air untuk menghasilkan nanoemulsi
sehingga memerlukan kosurfaktan untuk membantu menurunkan tegangan
16
permukaan hingga mendekati nol. Kosurfaktan menembus ke dalam monolayer
surfaktan dan memberikan fluiditas tambahan sehingga mengganggu fase kristal
cair yang terbentuk ketika lapisan surfaktan yang terlalu kaku. Metode turbidimetri
dapat digunakan untuk menilai efektivitas ko-surfaktan meningkatkan kemampuan
pembentukan emulsi (Chennamsetty dkk., 2005). Kosurfaktan amfiphilic seperti
propilen glikol, PEG dan eter glikol sering digunakan dalam SNEDDS untuk
meningkatkan drug loading dan mempercepat waktu emulsifikasi (Date dkk.,
2010). Propilen glikol digunakan dalam penelitian ini sebagai kosurfaktan.
Propilen glikol merupakan cairan kental tidak berwarna dan transparan yang
umum digunakan sebagai ko-solven (Rowe dkk., 2009). Propilen glikol memiliki
HLB 3,4 dan diklasifikasikan sebagai (GRAS) oleh FDA Amerika Serikat sehingga
dapat digunakan untuk bahan tambahan makanan, obat-obatan, dan juga kosmetik
(FDA, 2014; Ansel, 2011). LD50 akut propilen glikol pada mencit adalah 22000
mg/kg dan 20000 mg/kg pada tikus (Sciencelab, 2014). Menurut WHO, asupan
propilen glikol yang aman adalah sebesar 25 mg/kg BB (U.S HHS, 1997). Elnaggar
dkk. (2009), dalam penelitiannya melakukan formulasi SNEDDS tamoksifen
dengan komposisi tamoksifen sitrat (1,6%), Maisine 35-1 (16,4%), Caproyl 90
(32,8%), Cremophor RH40 (32,8%) dan propilen glikol (16,4%). Formulasi
tersebut menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran tetesan sebesar 150 nm.
OH
OH
CH3
Gambar 5. Struktur Kimia Propilen glikol
17
d.
Fase air
Ukuran tetesan dan stabilitas nanoemulsi dipengaruhi oleh sifat fase air
dimana SNEDDS akan diaplikasikan. Faktor pH dan kadar ion fase air sangat
penting untuk diperhatikan saat membuat SNEDDS. Lingkungan fisiologis
sepanjang saluran pencernaan memiliki rentang pH yang bervariasi mulai dari pH
1.2 (lambung) hingga lebih dari 7,4 (pH darah dan usus). Hal ini akan
mempengaruhi perilaku SNEDDS pada obat yang kelarutannya bergantung pada
pH (Date dan Nagarsenker, 2007). Adanya ion di lingkungan fisiologis dapat
memberi pengaruh yang cukup besar terhadap sifat nanoemulsi (ukuran tetesan dan
stabilitas fisik) yang dihasilkan (Morais dkk., 2006).
e.
Obat
Berbagai sifat fisikokimia obat antara lain log P, pKa, struktur dan berat
molekul, ionisasi dan jumlah obat memberi pengaruh yang cukup besar pada
formulasi SNEDDS. Date dan Nagarsenker (2007), melaporkan adanya
peningkatan wilayah nanoemulsifikasi SNEDDS cefpodoxime proxetil ketika
berada pada pH yang lebih rendah. Penambahan jumlah obat dalam SNEDDS dapat
menyebabkan peningkatan ukuran droplet dibandingkan SNEDDS tanpa obat
(Wang dkk., 2009). Obat-obat yang memiliki permukaan aktif, seperti simvastatin
menunjukkan sifat yang berbeda seiring peningkatan jumlah obat dalam formula
SNEDDS (Dixit dan Nagarsenker, 2008). Ketoprofen digunakan sebagai bahan
obat dalam penelitian ini.
18
F. Landasan Teori
Ketoprofen merupakan suatu obat analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi.
Namun karena ketoprofen memiliki kelarutan yang sangat rendah dalam air.
Ketoprofen praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam etanol, kloroform dan
eter. Kelarutan ketoprofen dalam etanol 1 : 5 sedangkan dalam air 1 : 10000.
(Depkes RI, 1995; Tettey-Amlalo, 2005). Hal ini menjadi masalah dalam
memformulasikan ketoprofen untuk aplikasi per oral. Selain itu, ketoprofen juga
memiliki kelemahan yaitu adanya potensi mengiritasi lambung. Metode SNEDDS
dapat meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut dalam air dengan melewati
tahapan disolusi obat (Gupta dkk., 2011).
Bagiana (2014) melakukan penelitian tentang formulasi SNEDDS pada
GVT-0. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa SNEDDS GVT-0 pada dosis 40
mg/kgBB memberikan presentase daya antiinflamasi (DAI) yang lebih baik
dibandingkan dengan suspensi GVT-0 pada dosis yang sama. GVT-0 dalam sediaan
SNEDDS terbukti dapat meningkatkan efektivitas senyawa tersebut dalam
meningkatkan daya antiinflamasi (DAI). Penelitian lain dilakukan oleh Sahumena
(2014) tentang uji aktivitas antiinflamasi SNEDDS ketoprofen dengan komposisi
formula menggunakan asam oleat, propilen glikol, tween 20 dan tween 80. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa formulasi SNEDDS untuk obat ketoprofen
bisa meningkatkan aktivitas ketoprofen dalam menekan inflamasi. Nilai ED50
kelompok tikus yang diberi SNEDDS ketoprofen tidak dapat dikalkulasi secara
tepat namun diperkirakan di bawah 2,25 mg/kgBB karena efek daya antiinflamasi
(DAI) dosis terendah dalam percobaan tersebut yaitu 2,25 mg/kgBB sudah lebih
19
dari 50% (Sahumena, 2014). Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh antara formulasi SNEDDS terhadap aktivitas farmakologis,
yakni berupa peningkatan efek terapeutik.
Peningkatan efek terapeutik ini berasal dari peningkatan peristiwa absorpsi
obat pada saluran cerna. Pembentukan droplet emulsi yang berukuran nano
membuat SNEDDS lebih terserap efektif dibandingkan dengan sediaan emulsi
biasa. Droplet emulsi yang berukuran nano membuat luas permukaan obat untuk
kontak dengan lumen usus menjadi lebih luas dan penyerapan obat berlangsung
lebih efektif. Hal tersebut membuat sistem SNEDDS dapat meningkatkan
ketersediaan hayati obat di dalam plasma darah (Gupta dkk., 2011).
Formulasi nanoemulsi ketoprofen dengan menggunakan metode SNEDDS
diharapkan dapat meningkatkan efektivitas ketoprofen dalam menekan inflamasi
dan menurunkan dosis ketoprofen untuk efek terapeutik yang sama sehingga bisa
menurunkan risiko efek samping obat berupa iritasi saluran cerna.
20
G. Hipotesis
Berdasarkan uraian landasan teori tersebut, dapat dirumuskan hipotesis
bahwa:
1. Nilai ED50 antiinflamasi SNEDDS ketoprofen dengan asam oleat
sebagai fase minyak, tween 20 sebagai surfaktan, dan propilen glikol
sebagai ko-surfaktan adalah sebesar 2,25 mg/kgBB.
2. Pemberian ketoprofen dalam bentuk sediaan SNEDDS pada kelompok
tikus perlakuan dapat memberikan efek antiinflamasi lebih baik
dibandingkan dengan kelompok suspensi ketoprofen.
Download