BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inflamasi adalah suatu respon biologi reaksi - reaksi kimiawi secara berurutan dan bertugas melindungi tubuh dari infeksi dan memperbaiki jaringan yang rusak akibat trauma. Sebagai akibat dari trauma atau pun perangsangan, sel yang terkena ini akan mengaktifkan suatu sistem yang cukup rumit. Sistem dalam sel ini akan melepaskan berbagai macam mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, faktor Hageman, enzim lisozim, prostaglandin, dan leukotrien (Wilmana, 1995). Inflamasi dapat terjadi secara lokal, sistemik, akut, dan kronik. Respon inflamasi lokal ditandai dengan bengkak, panas, sakit, dan kemerahan. Pada abad ke-2, Galen menambahkan pertanda inflamasi yang kelima yaitu, kehilangan fungsi alat tubuh yang mengalami inflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012). Respon inflamasi tersebut bisa diobati dengan pemberian obat-obat antiinflamasi. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi terbagi menjadi dua golongan, yaitu obat inflamasi golongan steroid dan obat antiinflamasi non steroid. Mekanisme kerja kedua jenis obat tersebut terutama bekerja menghambat pelepasan prostaglandin ke jaringan yang mengalami cedera (Gunawan, 2007). Obat golongan antiinflamasi steroidal misalnya prednison dan obat antiinflamasi non steroid (AINS) misalnya ketoprofen (Furst dan Ulrich, 2002). 1 2 Ketoprofen merupakan obat NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory Drug) turunan asam propionat yang memiliki khasiat analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik (Shohin dkk., 2012). Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin, yaitu zat yang menyebabkan inflamasi (Kay dkk., 2000). Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan rematoid artritis, osteoartritis, dan berbagai penyakit muskuloskeletal kronis (Purwantiningsih dkk., 2010). Selain memiliki efek sebagai anti-inflamasi, ketoprofen juga diketahui memiliki efek analgesik dan antipiretik (Rençber dkk., 2009). Terapi secara oral menggunakan ketoprofen sangat efektif dilakukan, tetapi ketoprofen dapat menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan berupa peradangan, pendarahan, ulserasi, dan perforasi (Shohin dkk., 2012). Ketoprofen merupakan salah satu obat yang digolongkan kategori kelas II dalam Biopharmaceutical Classification System, yaitu golongan obat yang mempunyai permeabilitas yang baik, akan tetapi kelarutannya sangat rendah dalam air (Keshavarao dkk., 2011). Ketoprofen memiliki sifat fisiko-kimia sebagai berikut: lipofilik, bobot molekul 254,3 g/mol, titik leleh 94,5 oC, dan praktis tidak larut dalam air dengan nilai kelarutan dalam air 0,010 mg/mL (Rencber dkk., 2010). Berbagai cara formulasi dilakukan untuk mengatasi permasalahan kelarutan tersebut, salah satunya adalah memformulasikannya dalam bentuk SNEDDS (Keshavarao dkk., 2011). Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) adalah sistem penghantaran obat yang mengandung campuran isotropik minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan obat yang membentuk nanoemulsi secara spontan (self-emulsifying) 3 saat dimasukkan ke dalam fase air dengan agitasi yang ringan. Hasil pencampuran sediaan SNEDDS dalam cairan lambung setelah dikonsumsi oleh pasien akan membentuk nanoemulsi. Bentuk nanoemulsi dipilih karena dalam nanoemulsi terdapat kandungan minyak yang dapat membawa ketoprofen yang sukar larut dalam air (Han dkk., 2011). Hasil studi secara in vivo menunjukkan motilitas lambung dan usus pada saluran percernaan memberikan agitasi yang cukup untuk self-emulsification (Rao dan Shao, 2008). Proses self-emulsifying terjadi secara spontan karena energi bebas yang diperlukan untuk membentuk nanoemulsi sangat rendah (Date dkk., 2010). Formulasi SNEDDS menjadi pilihan yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam formulasi obat karena lebih mudah diproduksi pada skala yang lebih besar dan hemat biaya. Hal ini karena SNEDDS menawarkan larutan lipid yang stabil tanpa perlu proses emulsifikasi dengan energi tinggi (Date dkk., 2010). Keunggulan sediaan SNEDDS adalah kemampuan membentuk nanoemulsi secara spontan di dalam saluran cerna dan ukuran tetesan yang dihasilkan berukuran nanometer (Makadia dkk., 2013). Ukuran tetesan nanoemulsi yang sangat kecil memungkinkan penyerapan obat menjadi lebih efisien. (Kumar dkk., 2011). Peningkatan kelarutan obat lewat formulasi SNEDDS memungkinkan adanya pengurangan dosis sehingga dapat mengurangi efek samping yang terkait dengan dosis. (Nielsen dkk., 2008). Berbagai macam obat yang memiliki masalah kelarutan dilaporkan telah berhasil diformulasi dalam bentuk sediaan SNEDDS, antara lain carvedilol (Mahmoud dkk., 2009), flutamid (Jeevana dan Sreelakshmi, 2011), fenofibrate (Patel dan Vavia, 2007), dan valsatran (Beg dkk., 2012). 4 Pada penelitian ini, akan dilakukan pengujian secara in vivo dari formula nanoemulsi minyak dalam air (O/W) ketoprofen dengan metode SNEDDS menggunakan campuran minyak, surfaktan dan kosurfaktan yang sudah dilakukan oleh Surya (2014). Nanoemulsi yang terbentuk akan diverifikasi formulanya melalui uji transmitan dan waktu emusifikasi. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antiinflamasi untuk mengetahui seberapa besar pengaruh sediaan dalam bentuk SNEDDS dalam memberikan efek antiinflamasi pada tikus dibandingkan sediaan tanpa ketoprofen dalam suspensi. B. Rumusan Masalah 1. Berapa nilai ED50 antiinflamasi SNEDDS ketoprofen dengan asam oleat sebagai fase minyak, tween 20 sebagai surfaktan, dan propilen glikol sebagai ko-surfaktan? 2. Apakah efek antiinflamasi ketoprofen dalam formulasi sediaan SNEDDS lebih baik dibandingkan ketoprofen dalam sediaan suspensi? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui nilai ED50 dari formula SNEDDS ketoprofen. 2. Membandingkan efek antiinflamasi antara ketoprofen dalam sediaan SNEDDS terhadap ketoprofen dalam sediaan suspensi. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terbaru mengenai daya antiinflamasi dari SNEDDS dengan bahan aktif ketoprofen melalui pengujian secara in vivo. 5 E. Tinjauan Pustaka 1. Ketoprofen O CH 3 OH O Gambar 1. Struktur Kimia Ketoprofen Ketoprofen mempunyai nama resmi asam 2-(3-benzoilfenil) propionate. Obat tersebut merupakan derivat asam propionat (gambar 1). Ketoprofen memiliki berat molekul (BM) 254,3 g/mol berwarna putih atau hampir putih, serbuk hablur, dan hampir tidak berbau. Ketoprofen mudah larut dalam aseton, etanol, eter dan larutan alkali, namun tidak mudah larut dalam air. Titik lebur obat tersebut berkisar antara 93-96 oC (Depkes RI., 1995). Ketoprofen bersifat asam lemah dengan nilai pKa 4,39 (Grozdanis dkk., 2008). Kelarutan obat ini dipengaruhi oleh faktor pH dimana semakin tinggi pH maka kelarutan obat tersebut akan semakin meningkat (Sheng dkk., 2006). Ketoprofen termasuk dalam obat antiradang non-steroid dengan daya analgesik dan antipiretik yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin. Aktivitas antiinflamasi ketoprofen melalui mekanisme penghambatan terhadap aktivitas enzim siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2), yaitu enzim yang terlibat dalam sintesis prostaglandin melalui jalur asam arakidonat. Hal ini menyebabkan penurunan kadar prostaglandin yang memediasi nyeri, demam dan peradangan (Kay dkk., 2000). 6 Ketoprofen diklasifikasikan sebagai analgesik sedang yang digunakan untuk penyakit artritis, osteoartritis, nyeri pada saat haid (dismenore), serta mengurangi nyeri sedang (Shohin dkk., 2012). Selain memberikan banyak aktivitas terapeutik, ketoprofen juga memberikan efek samping yang tidak diinginkan, seperti kehilangan darah, luka pada usus atau lambung dan anemia (Gabriel dkk., 1991). Efek samping lain yang timbul bisa berupa asma, urtikaria (Shohin dkk., 2012), dan iritasi saluran cerna (Rencber dkk., 2010). Dosis pemakaian ketoprofen adalah 50 mg empat kali sehari atau 75 mg tiga kali sehari (Parfitt, 1999). Dosis tertinggi ketoprofen yang direkomendasikan untuk penggunaan oral immediate release adalah 100 mg dan 200 mg untuk sediaan lepas lambat (FDA, 2010). Permeabilitas ketoprofen pada usus manusia cukup tinggi sekitar 8,7 x 10-6 cm/s (Sheng dkk., 2006). Kadar puncak dalam darah terjadi pada rentang waktu 0,5 – 2 jam setelah pemberian, setelah itu konsentrasi akan berkurang dengan cepat. Ketoprofen dieliminasi dari tubuh melalui ginjal dengan kinetika orde 1 (k = 0,35/jam) dengan waktu paro eliminasi (t1/2) antara 1,5 jam - 2 jam (Patil dkk., 2005). Ketoprofen digolongkan sebagai obat dengan Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas II. Ketoprofen merupakan obat yang memiliki kelarutan yang rendah dalam air yaitu sekitar kelarutan 0,253 mg/mL (Shohin dkk., 2012). Kelarutan ketoprofen yang rendah air akan menyebabkan waktu tinggal ketoprofen semakin lama dalam lambung, sehingga dapat memperparah efek samping yang timbul. Menurut Pol dkk. (2013), kristal NSAID yang sukar larut 7 dalam cairan lambung akan kontak dengan dinding lambung dalam waktu yang lama sehingga meningkatkan resiko iritasi lambung. 2. Inflamasi Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Robbins, 2004). Penyebab dari inflamasi sendiri antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan (Corwin, 2008). Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002). Respons inflamasi terjadi dalam tiga fase dan diperantarai oleh mekanisme yang berbeda: a. Fase akut, terjadi vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler. b. Reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit. 8 c. Fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya degenerasi dan fibrosis (Wilmana, 2007). Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah: a. Kemerahan (rubor) Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera (Corwin, 2008). b. Rasa panas (kalor) Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana, 2007). c. Rasa sakit (dolor) Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal: (1) adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya pengeluaran zat – zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf – saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007). 9 d. Pembengkakan (tumor) Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008). e. Fungsiolaesa Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi. (Wilmana, 2007). Selama berlangsungnya respon inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan prostaglandin (PG). Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya enzim pemecah. (Wilmana, 2007). Mekanisme inflamasi yang terjadi di dalam tubuh bermula pada membran sel atau jaringan yang mengalami sakit atau terluka. Enzim fosfolipase dalam tubuh dari membran sel menghasilkan asam arakidonat yang nantinya akan melalui dua jalur tahapan yaitu siklooksigenase dan lipoksigenase. Pada jalur siklooksigenase, akan terbentuk endoperoksida sedangkan pada jalur lipoksigenase terbentuk asam hidroperoksida. Setelah proses stimulasi, dua enzim siklooksigenase mulai mensintesis pembentukan modulator peradangan 10 seperti halnya enzim COX-2 mengkatalisis pembentukan prostaglandin jahat yang menyebabkan radang (Dannhardt dan Laufer, 2000). Gambar 2. Pembentukan metabolit asam arakidonat dan peranannya dalam inflamasi. (Sumber: Robbins, 2004) 3. Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) Beberapa tahun terakhir, perkembangan formulasi sediaan farmasi telah terfokus pada sistem mikroemulsi berbasis lipid (lipid-microemulsion) terutama pada Self-emulsifying Drug Delivery System (SEDDS), Self-microemulsifying Drug Delivery System (SMEDDS), dan Self-nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) untuk meningkatkan bioavailabilitas oral obat-obat yang sukar larut air (Balakrishnan dkk., 2009b; Cui dkk., 2009; Woo dkk., 2008). SNEDDS mengandung campuran isotropik minyak, surfaktan, ko-surfaktan dan obat yang membentuk nanoemulsi minyak dalam air bila berada dalam fase air dengan ukuran 11 tetesan nanoemulsi yang terbentuk yaitu kurang dari 100 nm (Date dan Nagarsenker, 2007). SNEDDS akan membentuk nanoemulsi o/w secara spontan (self-emulsifying) saat dimasukkan ke dalam fase air dengan agitasi yang ringan (Nazzal dkk., 2002). SNEDDS akan membentuk nanoemulsi ketika kontak dengan cairan dalam saluran cerna. Kemudian terjadi agitasi untuk proses self-emulsifying dalam GIT dibantu oleh gerakan pada lambung dan usus (Itoh dkk., 2002; Nazzal dkk., 2002). Nanoemulsi yang terbentuk memiliki ukuran tetesan kurang dari 100 nm dan meningkatkan kelarutan obat yang tidak larut air sehingga dapat membantu absorpsi obat pada saluran cerna (Han dkk., 2011). Ukuran nanoemulsi yang sangat kecil memungkinkan obat dapat melewati membran sepanjang GIT dengan cepat dan meminimalisasi iritasi akibat adanya kontak antara kristal obat dengan dinding GIT (Makadia dkk., 2013). Keunggulan sistem SNEDDS dibandingkan sistem pengiriman berbasis lipid lainnya antara lain factor stabilitas yang sangat baik, kapasitas melarutnya tinggi, dan sangat memungkinkan untuk diproduksi dalam skala yang lebih besar (Date dkk., 2010). Beberapa keuntungan formula SNEDDS, di antaranya melindungi obat yang sensitif, meningkatkan biovailabilitas obat oral sehingga memungkinkan pengurangan dosis, muatan obat tinggi, mudah disimpan karena memiliki kestabilan termodinamika yang baik, serta adanya minyak dapat mempercepat obat melewati saluran gastrointestinal sehingga meminimalisasi iritasi yang sering terjadi selama kontak antara zat obat dan dinding usus (Gursoy dan Benita, 2004). 12 Faktor yang mempengaruhi keberhasilan SNEDDS antara lain: (1) sifat fisikokimia dan konsentrasi minyak, surfaktan dan kosurfaktan (co-emulsifier); (2) perbandingan komponen, khususnya perbandingan minyak – surfaktan; (3) suhu dan pH fase air di mana nanoemulsifikasi akan terjadi; dan (4) sifat fisikokimia obat, seperti hidrofilisitas/lipofilisitas, pKa dan polaritas. Komponen-komponen yang mempengaruhi keberhasilan SNEDDS yaitu: a. Minyak Minyak merupakan campuran trigliserida yang mengandung asam lemak dari berbagai rantai dan derajat ketidakjenuhan. Trigliserida diklasifikasikan menjadi rantai pendek (<5 karbon), menengah (6-12 karbon), atau rantai panjang (> 12 karbon) (Debnath, 2011). Pemilihan fase minyak merupakan hal yang penting dan sangat mempengaruhi keberhasilan formulasi SNEDDS. Sifat fisiko kimia minyak meliputi volume molekul, viskositas dan polaritas sangat menentukan dalam spontanitas proses nanoemulsifikasi, ukuran tetesan partikel, kelarutan obat, serta nasib obat dan nanoemulsi dalam jaringan biologis (Anton dkk., 2008). Untuk mencapai loading drug yang maksimal dalam formulasi SNEDDS, maka dipilih minyak yang memiliki potensi melarutkan obat lebih banyak serta menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran droplet yang kecil (Date dkk., 2010). Minyak dengan rantai hidrokarbon yang panjang misalnya minyak kedelai lebih sulit membentuk nanoemulsi dibandingkan minyak dengan hidrokarbon rantai sedang dan rantai pendek, seperti monogliserida rantai sedang dan ester asam lemak (etil oleat) (Anton, 2009; Sadurní, 2005). Pada penelitian ini fase minyak yang dipakai adalah asam oleat. 13 Asam oleat dengan nama IUPAC: cis-9-octadecenoic acid (singkatan lipid 18:1 cis-9) adalah asam lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid) yang memiliki bobot molekul 282,47 g/mol, berwarna kuning pucat atau kuningkecoklatan, dan dapat diperoleh dari sumber nabati atau hewani (NIST, 2014). Gambar 3. Struktur Kimia Asam Oleat Asam oleat juga merupakan penyusun lipid bilayer stratum korneum pada kulit manusia (Williams, 2003). Asam oleat memiliki titik leleh 13°C dan titik didih 300°C (Sciencelab, 2014). Asam oleat bisa bertindak sebagai agen pengemulsi, sehingga dapat memperbaiki bioavailabilitas obat-obat yang sukar larut dalam air pada formulasi tablet (Kibbe, 2000). Asam oleat banyak dipilih sebagai fase minyak dalam formulasi SNEDDS karena kemampuan self-emulsifying yang tinggi dan kapasitas drug loading yang besar (Kurakula dan Miryala, 2013). Kurakula dan Miryala (2013) melakukan penelitian dengan menggunakan asam oleat, tween 80 dan Brij 30 untuk memformulasikan SNEDDS atorvastatin, dengan hasil emulsification time 70-120 detik dan rerata ukuran tetesan 150-230 nm. b. Surfaktan Surfaktan adalah suatu senyawa kimia yang dapat mengaktifkan permukaan suatu zat lain yang awalnya tidak dapat berinteraksi. Surfaktan memiliki karakter yang unik karena dapat berinteraksi dengan senyawa yang polar dan juga non polar 14 dikarenakan struktur surfaktan yang memiliki gugus polar dan non polar yang seimbang. Surfaktan non ionik mempunyai karakteristik yang spesifik yaitu Hidrophilic-Lipophilic Balance (HLB). Surfaktan dengan nilai HLB yang rendah memiliki sifat hidrofobik dan memiliki kelarutan yang lebih besar dalam minyak, sedangkan surfaktan dengan nilai HLB tinggi bersifat hidrofilik dan memiliki kelarutan yang lebih besar dalam media air. Hidrophilic-Lipophilic Balance merupakan ukuran untuk menunjukkan keseimbangan antara gugus hidrofil dan lipofil. Nilai HLB untuk emulsi air dalam minyak berkisar antara 3-6 sedangkan HLB untuk emulsi minyak dalam air berkisar 8-18 (Ansel, 1999). Karakteristik surfaktan yaitu HLB, viskositas dan afinitas, serta konsentrasi surfaktan memiliki pengaruh besar pada proses pembentukan dan ukuran tetesan nanoemulsi (Sadurní dkk., 2005; Wang dkk., 2009). Pemilihan surfaktan harus mempertimbangkan faktor keamanan karena terdapat surfaktan yang dapat menyebabkan iritasi pada mukosa lambung (Cuiné dkk., 2007). Namun sifat tersebut dapat berkurang setelah terjadi interaksi dengan fase minyak (Jumaa dan Müller, 2000). Surfaktan yang digunakan untuk formulasi SNEDDS dapat digunakan secara tunggal maupun kombinasi agar menghasilkan nanoemulsi dengan karakteristik yang diinginkan serta meminimalkan efek merugikan akibat penggunaan surfaktan (Date dkk., 2010). Surfaktan terpilih dalam pembuatan formula harus acceptable pada rute administrasi yang ditentukan dan harus sesuai dengan regulasi yang berlaku (Makadia dkk., 2013). Penambahan surfaktan dapat mengurangi tegangan antar muka sehingga dapat menghasilkan tetesan nanoemulsi yang stabil (Costa dkk., 15 2012). Surfaktan yang digunakan untuk formulasi SEDDS adalah surfaktan non ionik dengan nilai HLB tinggi yang dapat membantu pembentukan tetesan emulsi o/w dengan cepat dalam media berair (Bharathi dkk., 2013). Pada penelitian ini, surfaktan yang digunakan adalah tween 20. Tween 20 atau dengan nama lain Polyoxyethylene (20) sorbitan monolaurate adalah ester dari polioksietilen sorbitan yang memiliki HLB 16,7 dan bobot molekul sekitar 1225 g/mol (Sigma, 2014). Tween 20 memiliki LD50 untuk tikus sebesar 36,7 mL/kg dan untuk mencit lebih dari 33 g/kg (Cayman, 2012). Kassem dkk. (2010), dalam penelitiannya pernah memformulasikan SNEDDS clotrimazole dengan komposisi 10% asam oleat sebagai fase minyak, 60% tween 20 sebagai surfaktan, serta 15% PEG 200 dan 15% n-butanol sebagai ko-surfaktan. Komposisi formulasi tersebut menghasilkan ukuran tetesan nanoemulsi sebesar 81 nm. O O O w O OH O x HO OH O O z y w+x+y+z=20 Gambar 4. Struktur Kimia Tween 20 c. Kosurfaktan Kosurfaktan ditambahkan pada formula SNEDDS untuk meningkatkan drug loading, mempercepat self-emulsification time, dan mengatur ukuran tetesan pada nanoemulsi (Biradar dkk., 2009; Makadia dkk., 2013). Surfaktan tidak cukup menurunkan tegangan antar muka minyak-air untuk menghasilkan nanoemulsi sehingga memerlukan kosurfaktan untuk membantu menurunkan tegangan 16 permukaan hingga mendekati nol. Kosurfaktan menembus ke dalam monolayer surfaktan dan memberikan fluiditas tambahan sehingga mengganggu fase kristal cair yang terbentuk ketika lapisan surfaktan yang terlalu kaku. Metode turbidimetri dapat digunakan untuk menilai efektivitas ko-surfaktan meningkatkan kemampuan pembentukan emulsi (Chennamsetty dkk., 2005). Kosurfaktan amfiphilic seperti propilen glikol, PEG dan eter glikol sering digunakan dalam SNEDDS untuk meningkatkan drug loading dan mempercepat waktu emulsifikasi (Date dkk., 2010). Propilen glikol digunakan dalam penelitian ini sebagai kosurfaktan. Propilen glikol merupakan cairan kental tidak berwarna dan transparan yang umum digunakan sebagai ko-solven (Rowe dkk., 2009). Propilen glikol memiliki HLB 3,4 dan diklasifikasikan sebagai (GRAS) oleh FDA Amerika Serikat sehingga dapat digunakan untuk bahan tambahan makanan, obat-obatan, dan juga kosmetik (FDA, 2014; Ansel, 2011). LD50 akut propilen glikol pada mencit adalah 22000 mg/kg dan 20000 mg/kg pada tikus (Sciencelab, 2014). Menurut WHO, asupan propilen glikol yang aman adalah sebesar 25 mg/kg BB (U.S HHS, 1997). Elnaggar dkk. (2009), dalam penelitiannya melakukan formulasi SNEDDS tamoksifen dengan komposisi tamoksifen sitrat (1,6%), Maisine 35-1 (16,4%), Caproyl 90 (32,8%), Cremophor RH40 (32,8%) dan propilen glikol (16,4%). Formulasi tersebut menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran tetesan sebesar 150 nm. OH OH CH3 Gambar 5. Struktur Kimia Propilen glikol 17 d. Fase air Ukuran tetesan dan stabilitas nanoemulsi dipengaruhi oleh sifat fase air dimana SNEDDS akan diaplikasikan. Faktor pH dan kadar ion fase air sangat penting untuk diperhatikan saat membuat SNEDDS. Lingkungan fisiologis sepanjang saluran pencernaan memiliki rentang pH yang bervariasi mulai dari pH 1.2 (lambung) hingga lebih dari 7,4 (pH darah dan usus). Hal ini akan mempengaruhi perilaku SNEDDS pada obat yang kelarutannya bergantung pada pH (Date dan Nagarsenker, 2007). Adanya ion di lingkungan fisiologis dapat memberi pengaruh yang cukup besar terhadap sifat nanoemulsi (ukuran tetesan dan stabilitas fisik) yang dihasilkan (Morais dkk., 2006). e. Obat Berbagai sifat fisikokimia obat antara lain log P, pKa, struktur dan berat molekul, ionisasi dan jumlah obat memberi pengaruh yang cukup besar pada formulasi SNEDDS. Date dan Nagarsenker (2007), melaporkan adanya peningkatan wilayah nanoemulsifikasi SNEDDS cefpodoxime proxetil ketika berada pada pH yang lebih rendah. Penambahan jumlah obat dalam SNEDDS dapat menyebabkan peningkatan ukuran droplet dibandingkan SNEDDS tanpa obat (Wang dkk., 2009). Obat-obat yang memiliki permukaan aktif, seperti simvastatin menunjukkan sifat yang berbeda seiring peningkatan jumlah obat dalam formula SNEDDS (Dixit dan Nagarsenker, 2008). Ketoprofen digunakan sebagai bahan obat dalam penelitian ini. 18 F. Landasan Teori Ketoprofen merupakan suatu obat analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi. Namun karena ketoprofen memiliki kelarutan yang sangat rendah dalam air. Ketoprofen praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam etanol, kloroform dan eter. Kelarutan ketoprofen dalam etanol 1 : 5 sedangkan dalam air 1 : 10000. (Depkes RI, 1995; Tettey-Amlalo, 2005). Hal ini menjadi masalah dalam memformulasikan ketoprofen untuk aplikasi per oral. Selain itu, ketoprofen juga memiliki kelemahan yaitu adanya potensi mengiritasi lambung. Metode SNEDDS dapat meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut dalam air dengan melewati tahapan disolusi obat (Gupta dkk., 2011). Bagiana (2014) melakukan penelitian tentang formulasi SNEDDS pada GVT-0. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa SNEDDS GVT-0 pada dosis 40 mg/kgBB memberikan presentase daya antiinflamasi (DAI) yang lebih baik dibandingkan dengan suspensi GVT-0 pada dosis yang sama. GVT-0 dalam sediaan SNEDDS terbukti dapat meningkatkan efektivitas senyawa tersebut dalam meningkatkan daya antiinflamasi (DAI). Penelitian lain dilakukan oleh Sahumena (2014) tentang uji aktivitas antiinflamasi SNEDDS ketoprofen dengan komposisi formula menggunakan asam oleat, propilen glikol, tween 20 dan tween 80. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa formulasi SNEDDS untuk obat ketoprofen bisa meningkatkan aktivitas ketoprofen dalam menekan inflamasi. Nilai ED50 kelompok tikus yang diberi SNEDDS ketoprofen tidak dapat dikalkulasi secara tepat namun diperkirakan di bawah 2,25 mg/kgBB karena efek daya antiinflamasi (DAI) dosis terendah dalam percobaan tersebut yaitu 2,25 mg/kgBB sudah lebih 19 dari 50% (Sahumena, 2014). Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara formulasi SNEDDS terhadap aktivitas farmakologis, yakni berupa peningkatan efek terapeutik. Peningkatan efek terapeutik ini berasal dari peningkatan peristiwa absorpsi obat pada saluran cerna. Pembentukan droplet emulsi yang berukuran nano membuat SNEDDS lebih terserap efektif dibandingkan dengan sediaan emulsi biasa. Droplet emulsi yang berukuran nano membuat luas permukaan obat untuk kontak dengan lumen usus menjadi lebih luas dan penyerapan obat berlangsung lebih efektif. Hal tersebut membuat sistem SNEDDS dapat meningkatkan ketersediaan hayati obat di dalam plasma darah (Gupta dkk., 2011). Formulasi nanoemulsi ketoprofen dengan menggunakan metode SNEDDS diharapkan dapat meningkatkan efektivitas ketoprofen dalam menekan inflamasi dan menurunkan dosis ketoprofen untuk efek terapeutik yang sama sehingga bisa menurunkan risiko efek samping obat berupa iritasi saluran cerna. 20 G. Hipotesis Berdasarkan uraian landasan teori tersebut, dapat dirumuskan hipotesis bahwa: 1. Nilai ED50 antiinflamasi SNEDDS ketoprofen dengan asam oleat sebagai fase minyak, tween 20 sebagai surfaktan, dan propilen glikol sebagai ko-surfaktan adalah sebesar 2,25 mg/kgBB. 2. Pemberian ketoprofen dalam bentuk sediaan SNEDDS pada kelompok tikus perlakuan dapat memberikan efek antiinflamasi lebih baik dibandingkan dengan kelompok suspensi ketoprofen.