2 tinjauan pustaka

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sestoda (cacing pita)
Mula-mula sestoda dianggap sebagai suatu koloni organisme yang
beranggota segmen-segmen atau ruas-ruas (proglotida) sebagai individu yang
masing-masing dilengkapi dengan seperangkat organ reproduksi jantan maupun
betina. Sejak diketahuinya bahwa sestoda memiliki siklus hidup kompleks dengan
beberapa stadium perkembangan maka dikenal dua kelompok besar sestoda yaitu
cacing pita sejati (bentuk sestoda, sebagian besar polyzoic) dan cacing pita tidak
sejati (bentuk sestodarian, monozoic). Istilah maupun pengelompokan antara
sestoda dan sestodarian mengalami beberapa perubahan klasifikasi seiring dengan
berjalannya waktu (Yamaguti 1959; Wardle & McLeod 1952). Pada kurun waktu
dua puluh tahun kemudian, beberapa taksonom sestoda membuat revisi klasifikasi
terutama pada tingkat famili dan genus, dari 14 ordo (Khalil et al. 1994)
diantaranya adalah ordo Pseudophyllidea dan Cyclophyllidea. Beberapa spesies
dalam kedua ordo tersebut merupakan sestoda parasitik pada unggas dan mamalia.
Oleh karena itu penjelasan morfologi dan siklus hidup pada tulisan ini lebih
ditekankan pada kedua kelompok ini.
2.1.1 Morfologi
Ciri umum Cyclophyllidea bertubuh pipih panjang, beruas-ruas, biasanya
berwarna putih susu dalam keadaan hidup. Karakter sestoda yang paling menonjol
adalah tidak adanya usus. Oleh karena itu penyerapan nutrisinya berlangsung
melalui seluruh permukaan tubuhnya yang disebut tegumen. Di bawah lapisan
tegumen terdapat beberapa lapisan otot yang menunjang aktivitas gerakannya.
Seluruh organ terletak di dalam lapisan paling dalam berupa sel-sel parensim.
Sistem syaraf pusat yang disebut cincin rostelar terletak di skoleks berupa
pasangan ganglia yang menginervasi sepanjang strobila melalui syaraf
longitudinal posterior dan anterior. Sistem ekskretori meliputi sel-sel api yang
tersebar dalam parensim.
5
Panjang tubuh sestoda bervariasi, dari beberapa milimeter hingga beberapa
meter. Bagian-bagian tubuh terdiri dari skoleks, leher, dan strobila. Skoleks
adalah bagian tubuh yang menempel pada mukosa usus inang sebagai habitatnya,
terletak di bagian anterior tubuh. Oleh karena itu dilengkapi dengan dua atau
empat batil hisap dengan ciri khas masing-masing jenis cacingnya. Pada
umumnya batil hisap yang berjumlah empat (acetabula) berbentuk mirip setengah
bola, yaitu masing-masing dua terletak di bagian dorsal dan ventral tubuh,
didukung oleh muskular yang kuat dan kadang-kadang juga terdapat deretan kait
(hook) untuk menempel. Struktur organ apikal pada ordo Cyclophyllidea disebut
rostelum. Rostelum ini dapat disembulkan atau ditarik dari dan ke dalam kantung
rostelar (protrusible), menyerupai bentuk kubah di ujung apikal skoleks, kadangkadang dilengkapi dengan deretan kait. Kait-kait rostelum digunakan untuk
memfiksir ketika melakukan penetrasi jauh ke dalam mukosa usus inang.
Leher adalah bagian sangat sempit dan pendek di antara skoleks dan
strobila yang mengandung sel kecambah, dan merupakan zona proliferatif yang
membentuk rantai proglotida. Strobila adalah bagian tubuh sestoda paling besar
berupa rantai proglotida yang tersusun secara linier. Pertumbuhan proglotida
terjadi secara bertahap dan kontinyu selama kelangsungan hidupnya dalam tubuh
inang definitif. Pada proglotida yang baru tumbuh belum terjadi diferensiasi sel,
sehingga berukuran lebih pendek dan sempit dibandingkan dengan yang tumbuh
lebih dahulu. Berlanjut dengan pertumbuhan proglotida berikutnya akan
mendorong proglotida sebelumnya kearah posterior. Secara bersamaan juga
terjadi pertumbuhan menjadi lebih besar ukurannya dan perkembangan organ
reproduksi yang berangsur-angsur menjadi dewasa sampai gravid. Satu individu
sestoda yang tumbuh normal memiliki tiga stadium perkembangan proglotida
yaitu proglotida muda (immature), dewasa (mature), dan matang (gravid).
Morfologi proglotida dewasa digunakan sebagai sebagian kriteria pengenalan
jenis-jenis sestoda.
Organ reproduksi jantan terdiri atas testes yang berjumlah satu atau lebih
hingga ratusan menurut jenis sestoda. Setiap butir testes dihubungkan melalui
saluran kecil (vas efferens) menuju saluran yang lebih besar (vas deferens) sebagai
tempat transportasi sperma menuju organ kopulatoris (cirrus) yang biasanya
6
terbungkus oleh kantung sirus (cirrus pouch). Sistem organ reproduksi betina
terdiri dari ovarium, vitelaria, ootipe, uterus, vagina, reseptakulum seminalis, dan
saluran-saluran yang menghubungkan diantaranya. Bentuk, ukuran, dan letak
ovarium bervariasi menurut jenis sestoda. Setelah mengalami proses pematangan,
telur muda selanjutnya keluar dari ootipe menuju uterus hingga berkembang
menjadi telur yang matang dan siap dibebaskan bersama-sama dengan proglotida
gravid. Ketika dikeluarkan dari tubuh inang definitif biasanya telur telah
berembrio yang disebut onkosfer. Onkosfer berbentuk bulat atau lonjong, simetris
bilateral, dan dipersenjatai dengan tiga pasang kait (hooks). Stadium sejak
onkosfer bebas dari proglotida gravid sampai menjadi larva infektif dalam tubuh
inang antara disebut metasestoda (Noble et al. 1989). Telah dikenal beberapa tipe
metasestoda yang berbeda dalam ukuran, adanya gelembung yang berisi cairan
atau dalam bentuk padat yang mengandung protoskoleks dalam jumlah tertentu.
Beberapa tipe metasestoda yang umum dikenal adalah proserkoid, pleroserkoid,
sistiserkoid, sistiserkus, koenurus, dan hidatida. Sistiserkoid adalah tipe
metasestoda yang ditemukan dalam rongga tubuh serangga inang antara yang
memiliki ciri protoskoleks tunggal dengan posisi evaginasi, dan gelembung padat
(kadang-kadang disertai dengan serkomer) (Soulsby 1982; Wardle & McLeod
1951).
2.1.2 Siklus hidup
Siklus hidup sestoda meliputi tiga stadium perkembangan yaitu cacing
dewasa (sestoda), telur (onkosfer), dan larva (metasestoda) (Gambar 1). Stadium
sestoda adalah stadium parasitik dalam usus halus vertebrata sebagai inang
definitif. Stadium telur merupakan stadium bebas dengan catatan sebelum
onkosfer atau embrio dalam telur infektif teraktivasi untuk siklus berikutnya.
Stadium metasestoda adalah stadium larva parasitik yang bersifat non-aktif dalam
berbagai jaringan hewan vertebrata atau rongga tubuh invertebrata sebagai inang
antara.
Jaringan yang tersusun dari sel-sel germinatif, dan asesori jaringan
lainnya, serta protoskoleks merupakan bagian-bagian metasestoda yang sangat
menentukan perkembangan berikutnya. Dari segi morfologi metasestoda memiliki
tipe-tipe yang unik tergantung dari jenis cacing dan inang antaranya. Sestoda
7
A
d
b
c
a
e
B
C
Gambar 1
f
Siklus hidup sestoda ayam. A. Inang antara dimakan ayam.
B. Proglotida gravid keluar melalui anus. C. Proglotida gravid
dimakan inang antara. a Lumen usus inang antara. b Onkosfer.
c Lumen usus inang definitif. d Sistiserkoid. e Sestoda dewasa.
f Destrobilisasi proglotida gravid (Modifikasi: Calentine 1985,
Dunford & Kaufman 2006; Schwartz 1994; Moorman 2004).
memerlukan sekurang-kurangnya dua inang dalam siklus hidupnya, yaitu inang
antara sebagai habitat berkembang metasestoda yang infektif bagi inang definitif.
Inang definitif adalah habitat sestoda dewasa yang menghasilkan telur. Rantai
makanan merupakan faktor utama dalam transmisi sestoda. Oleh karena itu
kelangsungan hidup jenis sestoda apapun pada suatu tempat tertentu ditunjang
oleh adanya peran dan perilaku dua inang yang umumnya berhubungan erat secara
ekologik. Sejumlah besar telur yang bebas maupun yang tetap berada dalam
proglotida gravid adalah sumber infeksi yang sangat potensial di lingkungan luar
inang. Proglotida gravid lepas (destrobilisasi) secara tunggal atau dalam bentuk
rantai dari rangkaian strobila dan secara aktif atau pasif keluar bersama-sama tinja
inang. Telah dibuktikan bahwa sepanjang 25% posterior strobila bersifat infektif
terhadap inang antara maupun inang definitifnya (Retnani et al. 1993; 1995).
8
Ayam terinfeksi merupakan sumber infeksi bagi serangga inang antara di
lingkungan
peternakan.
Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
jumlah
telur/proglotida gravid adalah populasi ayam terinfeksi, derajat infeksi setiap ekor
ayam, serta status kekebalan inang (Kano & Ito 1983; Wakelin 1984; Sukhideo &
Mettrick 1987). Gray (1972a; 1973) dalam: Kennedy (1975) mengamati
penglepasan proglotida
pada ayam yang diinfeksi 100 ekor sistiserkoid
Raillietina cesticillus. Pada hari ke 28 hingga hari ke 70 setelah infeksi terjadi
destrobilisasi terus-menerus namun skoleks persisten. Pengamatan pada hari ke 20
sebanyak 120-200 proglotida keluar/ayam/hari, berikutnya pada hari ke 39 jumlah
yang dikeluarkan menurun perlahan hingga skoleks mulai gugur pada hari ke 56.
Penelitian tersebut juga mengamati manifestasi respon kebal ayam terhadap
infeksi R. cesticillus yaitu terjadi penurunan
pemapanan (establishment) dan
pertumbuhan, destrobilisasi dan gugurnya skoleks berlangsung lebih cepat.
Kinetik pembentukan, pematangan, dan periodisasi penglepasan proglotida gravid
telah dipelajari pada jenis sestoda mamalia yaitu Taenia (Silverman 1954) dan
Hymenolepis (Kumazawa & Suzuki 1982). Proglotidisasi, pematangan, dan
penglepasan proglotida tidak konstan selama proses perkembangan sestoda
(Silverman 1954; Kumazawa & Suzuki 1982) dan tidak semua telur di dalamnya
fertil (Silverman 1954; Loos-Frank 1987). Proporsi proglotida dewasa:gravid
pada individu sestoda berubah menurut penurunan laju proglotidisai dan
bertambahnya umur cacing. Setelah perkembangan maksimum dicapai, laju
proglotidisasi berangsur menurun namun kecepatan diferensiasi tetap sama
(Kumazawa & Suzuki 1982).
Pembebasan telur dari proglotida gravid dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme. Proglotida gravid segera berdegenerasi setelah lepas dari strobila
(apolisis) kemudian telur di dalamnya bebas. Kemungkinan lain proglotida gravid
aktif merayap sebelum membebaskan telurnya (euapolisis). Mekanisme keluarnya
telur pada euapolisis tidak dijelaskan, namun mirip yang yang diuraikan oleh
Soulsby (1982), terbentuk suatu lubang thysanus pada uterus setelah destrobilisasi
dan telur akan keluar dengan bantuan aktivitas muskuler proglotida. Hiperapolisis
terjadi pada proglotida gravid yang perkembangannya belum sempurna namun
prosesnya tetap berlangsung hingga matang walaupun telah destrobilisasi
9
(Pintner 1913 dalam: Wardle & McLeod 1951). Pseudoapolisis terjadi pada
kelompok sestoda yang memiliki porus uteri. Telur yang telah matang dikeluarkan
melalui porus uteri ketika cacing masih berada dalam usus inang tanpa
destrobilisasi terlebih dahulu kecuali setelah uterusnya relatif kosong.
Siklus berikutnya adalah tertelannya telur sestoda oleh inang antara
kemudian menetas di dalam usus membebaskan onkosfer. Aktivasi penetasan
dipengaruhi oleh aktivitas muskular untuk menggerakkan kait-kait embrio secara
mekanik merobek lapisan dinding telur. Mekanisme penetasan ini juga
dipengaruhi secara kimiawi, umumnya reaksi ensimatik baik yang berasal dari
inang antara maupun parasit itu sendiri (Silverman 1954; Smyth & McManus
1989; Read et al. 1951; Heyneman 1959). Onkosfer yang telah bebas akan
melakukan penetrasi ke dalam mukosa usus inang antara kemudian bermigrasi
melalui sistem sirkulasi disertai perkembangan yang progresif hingga menjadi
larva infektif bagi inang definitif. Tempat terakhir larva infektif adalah jaringan
organ atau bagian tubuh lainnya pada inang antara vertebrata atau rongga tubuh
inang antara invertebrata. Kelangsungan hidup selanjutnya adalah transmisi pasif
melalui inang definitif yang menelan jaringan/organ inang antara yang
mengandung metasestoda. Seperti halnya proses penetasan telurnya, faktor-faktor
fisikokimiawi yang khas pada setiap jenis inang definitif akan mempengaruhi
keberhasilan evaginasi protoskoleks metasestoda (ekskistasi) hingga menempel
pada mukosa usus, proglotidisasi, tumbuh dan berkembang menjadi sestoda
dewasa.
2.2
Sestoda Parasitik pada Ayam Ternak
2.2.1 Jenis-jenis sestoda
Sekurang-kurangnya 10 famili sestoda diketahui dapat menginfeksi
berbagai jenis unggas (Wardle & McLeod 1952; Yamaguti 1959). Telah dikenal
sekitar 1400 spesies sestoda menginfeksi unggas liar maupun domestik (Junker &
Boomker 2007). Sestoda yang sering ditemukan pada ayam ternak tergolong
dalam famili Davaineidae, Paruterinidae,
Dilepididae, dan Hymenolepididae
(Tabel 1). Spesies dari Famili Anoplocephalidae pernah ditemukan pada burung
merpati (Dehlawi 2006). Telah dilaporkan 10 genus, diantaranya Raillietina dari
10
Tabel 1 Spesies sestoda yang umum ditemukan pada ayam ternak.
No
1
2
3
4
Famili
Hymenolepididae
Davaineidae
Dilepididae
Paruterinidae
Spesies
Inang antara
Hymenolepis carioca
Lalat, kumbang
H. cantaniana
Kumbang
Fimbriaria fasciolaris
Kopepoda
Davainea proglottina
Siput
Raillietina echinobothrida
Semut
R. tetragona
Lalat, semut
R. cesticillus
Lalat, kumbang
R. magninumida
Semut
Cotugnia digonopora
Tidak diketahui
Choanotaenia infundibulum
Lalat, kumbang
Amoebotaenia cuneata
Cacing tanah
Metroalisthes lucida
Belalang
Sumber: Permin & Hansen (1998).
famili Davaineidae paling sering ditemukan dan merupakan sestoda yang dominan
menginfeksi unggas liar maupun piaraan termasuk ayam ternak (Abdelqader et al.
2008; Adang et al. 2008; Ahmed & Sinha et al. 1993; Amr et al. 1988; Hassouni
dan Belghyti 2006; Irungu et al. 2004; Ketaren 1992; Kuney 1997; Kurkure et al.
1998; Luka & Ndams 2007; Magwisha et al. 2002; Mcjunkin et al. 2003;
Mpoame 1995; Muhaerwa et al. 2007; Mungube 2007; Mushi et al. 2000; Poulsen
et al.2000; Samad et al. 1986; Schou et al. 2007; Siahaan 1993; Terregino et al.
1999; Wilson et al. 1994; Yadav & Tandon 1991). Seperti disajikan pada Tabel 1
bahwa kisaran jenis inang antara sestoda ayam cukup luas tergantung pada spesies
sestoda. Serangga adalah jenis inang antara yang lebih dominan berperanan
(Gabrion et al. 1976; Soulsby 1982; Gordon & Whitfield 1984; Merzaakhmedov
1985; Mohammed et al. 1988; Adams 1996; Kuney 1997; Permin & Hansen
1998; O’Callaghan et al. 2003). Proglotida gravid yang keluar bersama tinja ayam
akan tertelan oleh inang antara stadium dewasa atau larva yang cocok, dan
selanjutnya berkembang menjadi larva infektif (sistiserkoid). Ayam terinfeksi
11
setelah menelan inang antara yang mengandung sistiserkoid. Diawali dengan
penempelan bagian skoleksnya (attachment) pada mukosa intestin ayam,
selanjutnya tumbuh (proglotidisasi) dan berkembang menjadi cacing pita dewasa.
2.2.2 Patofisiologi infeksi dan gejala klinis
Derajat infeksi ringan oleh nematoda gastrointestinal pada ayam dapat
ditolerir tubuh tanpa mempengaruhi kesehatannya. Sebaliknya jika terinfeksi berat
akan terjadi kompetisi dalam pemenuhan kebutuhan standar nutrisi untuk
kelangsungan hidup inang-parasit (Smith et al. 2005). Dampak yang lain adalah
kelemahan umum dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit
lain (Small 1996). Sebagian besar tulisan menganggap bahwa infeksi oleh sestoda
sangat sedikit mempengaruhi kesehatan hewan bahkan terabaikan. Sejumlah
sestoda yang berukuran besar dapat menyebabkan penyumbatan lumen usus
inang. Variasi spesies sestoda menunjukkan perbedaan patogenitasnya.
Studi yang berkaitan dengan patofisiologi
sestodosis secara tepat
khususnya pada unggas masih belum banyak dilaporkan. Ketepatan studi tersebut
mutlak harus didukung oleh infeksi eksperimental, sedangkan selama ini hanya
berdasarkan kajian infeksi alami di lapangan yang merupakan infeksi campuran
baik cacing jenis lain maupun kausa selain cacing. Kesulitannya adalah
beragamnya jenis sestoda yang dapat menginfeksi ayam disertai dengan
kespesifikan inang antaranya. Kerusakan patologis yang umum ditemukan pada
infeksi cacing secara alami adalah enteritis yang bersifat akut sampai kronis
tergantung derajat infeksinya (Fischer & Say 1989). Perlukaan awal oleh infeksi
sestoda karena penempelan skoleks dengan kait-kaitnya baik pada bagian
rostelum maupun batil hisapnya bahkan penetrasi jauh ke dalam kripta mukosa
usus. Davaineidae adalah famili yang dominan menginfeksi ayam. Ciri umum
yang mudah untuk mengenal famili ini adalah adanya kait-kait pada rostellum
maupun batil hisapnya. Infeksi berat oleh kelompok ini menyebabkan peradangan
hemoragis disertai nekrosa mukosa usus, kadang-kadang meninggalkan nodulnodul perkejuan yang tampak dari permukaan serosa apabila ayam dinekropsi.
Nodul-nodul intestinal tersebut tampak enam bulan setelah ayam diinfeksi dengan
200 sistiserkoid R. echinobothrida.
Perubahan nyata gambaran histopatologi
12
akibat infeksi R. echinobothrida adalah enteritis hiperplastik kataral dengan
pembentukan granuloma pada area penempelan skoleks (Nadakal et al. 1973)
terutama pada kasus infeksi berat. Enteritis bisa meluas, diikuti dengan diare,
kurus, gejala paling umum lesu dan nafsu makan menurun. Infeksi oleh tiga ekor
R. tetragona pada ayam petelur berumur tiga minggu menunjukkan adanya lesi di
intestin, fokal erosi pada epitel, enteritis, dan akumulasi limfosit terutama di
sekitar skoleks yang masuk ke dalam lamina propria (Saeed 2007, Salam et al.
2009).
Dari gambaran klinis dan patologinya, sekurang-kurangnya sestodosis
menimbulkan gangguan fungsi penyerapan nutrisi
yang dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan, penurunan berat karkas maupun produktivitas termasuk
produksi telur. Defisiensi nutrien
terutama protein menyebabkan gangguan
pertahanan tubuh sehingga inang lebih rentan terhadap infeksi. Pada ayam muda
menyebabkan kekerdilan dan kematian tinggi (Dharmendra & Pande 1963 dalam:
Wasito et al. 1994). Infeksi oleh spesies R. echinobothrida menyebabkan
penurunan haemoglobin, hematokrit, jumlah butir sel darah merah, protein serum,
serta peningkatan butir sel darah putih (Samad et al. 1986).
2.2.3 Prevalensi sestodosis pada ayam ternak
Kejadian sestodosis pada unggas banyak dilaporkan dari beberapa wilayah
di Indonesia pada ayam buras yang dipelihara secara tradisional. Selama kurun
waktu lebih dari tiga dasawarsa terakhir prevalensinya mencapai 100%. Pada
tahun 1973 telah dilaporkan tingginya tingkat kejadian sestodosis di beberapa
wilayah Jawa Barat
sebesar 36-100%
dan Jawa Tengah (masing-masing delapan kabupaten)
(Kusumamiharja 1973). Pengamatan pada 216 ekor ayam
kampung di Surabaya terinfeksi sestoda sebanyak 89,35% (Sasmita 1980).
Kejadian yang tinggi di luar Jawa telah dilaporkan oleh Ketaren dan Arif (1988)
yaitu di kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan Bulukumba di Sulawesi
Selatan. Sedangkan kejadian di wilayah Sumatera sebesar 81,72% di Medan
(Siahaan 1993) dan 100% di kecamatan Kotabumi kabupaten Lampung Utara,
Lampung (Inbandiah 1995). Khusus di wilayah Bogor, tingkat kejadian sestodosis
konstan relatif tetap tinggi sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1973 sebesar
13
96 % (Kusumamiharja 1973) hingga penelitian-penelitian berikutnya. Susilowati
(1990), He et al. (1991), dan Retnani et al. (2000; 2001) melaporkan dari wilayah
yang sama dengan jumlah kejadian berturut-turut sebesar 91% dan 89,7% (dari 74
ekor ayam kampung) dan 67,49%
dari total 168 ekor ayam kampung yang
dikandangkan dan diumbar di pekarangan). Berbagai jenis sestoda yang
menyerang ternak ayam yang dominan di daerah Surabaya, Sulawesi Selatan,
Kota Padang, dan Bogor adalah dari genus Raillietina (Budiarti 1985; Samad et
al. 1986; Ketaren & Arif 1988; Purwati 1989; Suwarti 1992).
Kejadian sestodosis pada ayam ternak dengan sistem pemeliharaan secara
tradisional juga banyak dilaporkan di negara lain. Di negara tetangga Malaysia
sestodosis memiliki prevalensi tertinggi dari infeksi cacing saluran pencernaan
pada 60 ekor ayam Gallus domesticus yang diumbar di beberapa desa di Penang,
Malaysia. Secara kuantitatif R. echinobothrida paling banyak ditemukan namun
prevalensinya sama besarnya dengan R. tetragona yaitu 93,3%, sedangkan jenis
yang lain yaitu H. carioca 70%, dan R. cesticillus 48,33% (Rahman et al. 2009).
Beralih ke negara lain yaitu di wilayah Jordania Utara, 208 ekor ayam betina dan
jantan lokal, terinfeksi Genus Amoebotaenia, Davainea, Raillietina, dan
Hymenolepis dengan kisaran prevalensi paling rendah 1,4% (Davainea) dan
tertinggi 35% (Hymenolepis) (Abdelqader et al. 2008).
Masalah endoparasitosis khususnya kecacingan juga banyak dilaporkan
di berbagai negara Afrika. Total prevalensi sestodosis dari 351 ekor ayam ras
lokal yang dikumpulkan dari pasar hewan Dschang, Kamerun Barat, H. carioca
48,43%, A. cuneata 15,10%, R. tetragona 14,53%, dan H. cantaniana 5,70%
(Mpoame & Agbede 1995). Sebanyak 100 ekor ayam yang dipelihara dengan
sistem umbar di daerah Ghana, Afrika Barat, tingkat prevalensi setiap jenis
sestoda paling tinggi berturut-turut R. echinobothrida 81%, Hymenolepis spp.
66%, R. tetragona 59%, R. cesticillus 12% (Poulsen et al. 2000). Sestodosis di
beberapa kota di Kenya, dari 456 ekor sampel ayam local, 47,53% terinfeksi
cacing pita (Irungu et al. 2004). Demikian pula yang terjadi di Nigeria, 1080 ekor
dibeli dari pasar tradisional di Maiduguri, 56% sestodosis hanya disebabkan oleh
satu Genus Raillietina dengan rincian
R. echinobothrida 52,8 %, R. cesticillus
11,3%, R. tetragona 7,4% (Ahmed & Sinha 1993). Demikian pula di Zambia
14
Pusat, 125 ekor ayam yang diumbar hanya terinfeksi Raillietina spp. 81,6% (Phiri
et al. 2007). Di wilayah lain hanya ditemukan satu jenis sestoda yaitu R. tetragona
dengan prevalensi 92,5% pada 80 ekor Gallus gallus berumur lebih dari enam
bulan sepanjang musim hujan di Nigeria Timur (Fakae & Nwalusi 2000). Di
Samaru, Zaria Nigeria, 92 ekor sampel ayam lokal Gallus gallus domesticus yang
dipelihara di area pedesaan memiliki prevalensi H. carioca 25%, R. tetragona
23,9%, R. echinobothrida 13,0%, C. infundibulum 10,9%, R. cesticillus 9,8%
(Luka & Ndams 2007). Tingkat kejadian sestodosis pada 200 ekor sampel ayam
potong lokal di Bauch, Nigeria berturut-turut 3,3% dan 8-42% disebabkan oleh
genus Choanotaenia dan Raillietina (Yoriyo et al. 2008). Di Goromonzi,
Zimbabwe, dari 50 ekor ayam muda dan 50 ekor dewasa terinfeksi setoda dengan
masing-masing rasio sebesar 60:68 % (A. cuneata), 62:80% (Hymenolepis spp.),
66:34% (R. echinobothrida), 94:100% (R. tetragona), 50:76% (R. cesticillus)
(Permin et al. 2002). Sampel sejumlah 267 ekor ayam yang dibeli dari pasar
berdasarkan tiga wilayah agro-ekologik yang berbeda di Amhara, Ethiopia,
terinfeksi R. echinobothrida sebesar 25,84%; R. tetragona 45,69%; R. cesticillus
5,62 %; A. sphenoides 40,45%; C. infundibulum 4,49%; D. Proglottina 1,12%
(Eshetu et al. 2001).
Prevalensi masing-masing jenis sestoda bervariasi menurut karakter
agroekologik setiap wilayah. Faktor agro-ekologik yang sama juga dilakukan pada
190 ekor ayam lokal di pusat Ethiopia dengan total prevalensi sestodosis sebesar
86,32% (Ashenafi & Eshetu 2004). Pengamatan endoparasitosis pada ayam pulet
dan dewasa di pedesaan di Morogoro, Tanzania, dilakukan sejak awal dan
sepanjang musim hujan (Magwisha et al. 2002). Gambaran prevalensi
C. infundibulum (15%, 6%); D. proglottida (9%, 2%); R. tetragona (36%, 21%)
lebih tinggi pada ayam pulet. Derajat infeksi R. tetragona tinggi pada pulet.
Berturut-turut dari prevalensi tertinggi yaitu R. echinobothrida (65,3%),
H. cantaniana (53,7%), Amoebotaenia spp. 37,4%, R. tetragona 35,8%,
R. cesticillus 19,0%, dan C. infundibulum 3,2%. Penelitian di lokasi lain yaitu di
daerah Gharb, Maroko, 300 ekor ayam sampel dari 3 desa terinfeksi H. carioca
(3,7%), R. echinobothrida (5%), H. cantaniana (7%), R. tetragona (9,3%), dan
R. cesticillus (12%) (Hassouni & Belghyti 2006).
15
Pada umumnya pemeliharaan ayam ras komersial dilakukan dengan cara
moderen. Terdapat anggapan bahwa kecacingan jarang menimbulkan kerugian
pada hewan ternak yang dipelihara dengan sistem moderen (Abebe et al. 1997).
Oleh karena itu sangat jarang laporan ilmiah tentang kecacingan pada ayam ternak
di peternakan-peternakan moderen di Indonesia. Hasil pengamatan Zalizar et al.
(2007) mengatakan bahwa kejadian sestodosis ditemukan pada enam buah
peternakan ayam ras petelur di wilayah sentra peternakan ayam petelur komersial
di Kabupaten Bogor, namun tidak menyebutkan angka prevalensinya. Beberapa
kasus sestodosis pada peternakan ayam modern di luar Indonesia telah dilaporkan.
Seperti yang dilakukan Abebe et al. (1997) bahwa di sekitar wilayah Addis
Ababa, Ethiopia ditemukan kasus sestodosis pada ayam ternak ras lokal dan
eksotik dengan prevalensi pada ternak yang dikandangkan 0% (98 ekor),
sedangkan pada sistem semi intensif memiliki tingkat prevalensi R. cesticillus
7,69%, R. tetragona 1,92%, C. infundibulum 4,8% (104 ekor), dan R. cesticillus
37,87%, R. tetragona 26,32%, R. echinobothrida 29,47%, C. infundibulum
22,16 %, A. shenoides 12,63%, H. carioca 5,26% (95 ekor) pada ternak yang
diumbar. Rabbi et al. (2006) menemukan R. tetragona pada ayam layer dan
A. sphenoides pada ayam yang diumbar di Mymensingh, Bangladesh. Masih
berdekatan dengan India yaitu kota Faisalabad, Pakistan, rasio prevalensi
sestodosis pada layer (lokal:luar)
R. tetragona 10,6%:3,0%,
adalah
R. cesticillus
6,8%:3,4%, A. cuneata 1,8%:0%,
R. echinobothrida
12,8%:3,6%,
13,2%:2,0%,
C. infundibulum
H. cantaniana 5,2%:0%, dan H. carioca
9%:4,0% (Shah et al. 1999). Kecacingan di peternakan ayam modern juga
dilaporkan dari wilayah Eropa dan Amerika. Ayam petelur komersil yang
dipelihara dengan sistem baterai terinfeksi sestoda sebanyak 3,3% di Denmark
(Permin et al. 2002). Wilson et al. (1994) melaporkan bahwa 70% dari kejadian
sestodosis di peternakan
ayam broiler di daerah Arkansas Amerika Serikat
disebabkan oleh R. cesticillus.
Beberapa jenis sestoda infeksi alami pada unggas selain ayam ternak juga
banyak ditulis. Sebanyak 50 ekor ayam hutan (A. graeca) di daerah pedesaan di
Turki terinfeksi C. infundibulum 4%, R. echinobothrida 10%,
R. tetragona
6%; 50 ekor burung puyuh (Coturnix coturnix) terinfeksi C. infundibulum 39%,
16
Fimbriaria fasciolaris 1%, Liruterina gallinarum 1%, R. echinobothrida 1%,
R. tetragona 2% (K ro lu dan Ta an 1996). C. infundibulum dan Lynuterina
nigropunctata juga
ditemukan menginfeksi jenis ayam hutan yang lain
(A. barbara) di Tenerife, pulau Canary (Foronda et al. 2005). M. lucida,
Raillietina sp., Choanotaenia sp., Imparmargo baileyi ditemukan pada kalkun liar
(Meleagris gallopavo) di beberapa negara Kansas Timur (McJunkin et al. 2003).
Di Abha, Saudi Arabia, lima jenis sestoda pertama kali ditemukan menginfeksi
merpati liar (Columba livia) yaitu Killigrewia delafondi (Anoplocephalidae),
Retinometra serrata (Hymenolepididae), R. perplexa, dan R. echinobothrida serta
R. dattai (Davaineidae) pada ayam (Gallus gallus domesticus) (Dehlawi 2006).
Hasil penelitian Muhairwa et al. (2007) terhadap 96 ekor itik anak (2-5 bulan) dan
96 ekor dewasa > 6 bulan yang diumbar di suatu wilayah di kota Morogoro,
Tanzania, menunjukkan bahwa R. tetragona (10,4%) dan R. echinobothrida
(0,5%) hanya ditemukan pada itik anak. Adang et al. (2008)
melaporkan
beberapa jenis dalam famili yang sama pada 116 ekor merpati domestik (Columba
livia domestica) di Zaria, Nigeria Utara, dengan prevalensi R.tetragona (27,1%),
R. cesticillus (0,45%), A. cuneata (0,83%), R. echinobothrida (10,6%),
H. cantaniana (1,7%), H. carioca (1,3%). Sebanyak 250 ekor merpati dari
wilayah dan jenis yang sama hanya terinfeksi tiga spesies yaitu R. tetragona
(4,9%), R. cesticillus (3,0%), R. echinobothrida (7,6%) (Natala et al. 2009).
Senlik et al. (2005) hanya menemukan 1% R. echinobothrida dari 100 ekor jenis
merpati yang sama di Turki.
Dhoot et al. (2002) mengamati kecacingan
gastrointestinal pada berbagai jenis burung liar di kebun binatang Maharajbag,
Nagpur. R. tetragona ditemukan pada burung beo (Cockatoa galierita) dengan
prevalensi 22,22% dan burung merak betina (Pava cristatus) 16,66% selain
Davainea sp. sebesar 12,5%.
2.3 Serangga sebagai Inang Antara Sestoda
Beberapa jenis serangga seperti yang tertulis pada Tabel 1 merupakan
inang antara
alami bagi sestoda ayam kecuali genus tertentu dari kumbang.
Sistiserkoid adalah stadium metasestoda yang dapat ditemukan dalam rongga
tubuh serangga baik kepala, toraks, atau abdomen. Sejak 1936 telah dipelajari
17
bahwa Musca domestica berperan dalam transmisi C. infundibulum secara alami
karena ayam memakan lalat yang mengandung sistiserkoid (Reid & Ackert 1937).
Jauh sebelumnya sistiserkoid dalam tubuh lalat ini juga ditemukan oleh Grassi
dan Rovelli di Itali pada tahun 1892, kemudian tahun 1916 Gutberlet
mendeskripsikan
skoleks
sistiserkoid
tersebut
mirip
dengan
skoleks
C. infundibulum. Jenis serangga lain yang dilaporkan pertama kali di Khartoum,
Sudan, sebagai inang antara C infundibulum adalah kumbang Alphitobius
diaperinus (Elowni & Elbihari 1979). Sebanyak 78 ekor (14,39%) kumbang
dewasa terinfeksi secara alami oleh sistiserkoid C. infundibulum, sedangkan
stadium larvanya terinfeksi hanya 0,75%. Pada penelitian ini juga dilakukan
infeksi coba proglotida gravid C. infundibulum namun perkembangan sistiserkoid
pada kumbang tersebut gagal. Kegagalan ini juga dialami oleh Esmaeil (2004)
yang menginfeksi A. diaperinus dan Tribolium confusum dengan proglotida
R. tetragona, R. cesticillus, A. cuneata, R. echinobothrida, H. carioca,
C. infundibulum, dan Cotugnia digonophora, namun ditemukan infeksi alami
sistiserkoid C. digonophora sebanyak 0,3% dari 2314 ekor A. diaperinus.
Menurut Adams (1996) dan Kuney (1997), A. diaperinus atau disebut juga
kumbang kotoran ayam diduga sebagai inang antara sestoda terutama bagi ayam
yang dipelihara dengan sistem liter. Kumbang Famili Carabidae sejak lama telah
dilaporkan sebagai inang antara R. cesticillus melalui infeksi coba, yaitu
Discoderus parallesus Hald, Pterostichus (Gastrostricta) ventralis (say), dan
Agonoderus comma F. (Case & Ackert 1940). Jenis serangga yang lain yaitu dua
spesies belalang Geotrupes sylvaticus dan Cratacanthus dubius juga dilaporkan
sebagai inang antara sestoda pada ayam dan kalkun serta beberapa burung di
Amerika pada tahun 1916 oleh Joyeux, namun siklus hidup secara lengkap tidak
dijelaskan (Horsfall & Jones 1937).
Jenis semut yang pertama kali dilaporkan sebagai inang antara
R. echinobothrida adalah Triglyphothrix striatidens dan Xiphomyrmex sp.
(Nadakal et al. 1973). Melalui pengamatan mikroskop cahaya dan elektron semut
Letothorax nylanderi terbukti mengandung sistiserkoid Anomotaenia brevis yaitu
sestoda yang menginfeksi beberapa spesies burung (Gabrion et al. 1976). Semut
dewasa tersebut terinfeksi selama proses metamorfosis. Sebanyak 63,3% semut
18
Pachycondyla sennaarensis (Mayr) mengandung 1-40 sistiserkoid R. tetragona
setiap ekor semut pada ayam di Sudan (Muhammed et al. 1988). Beberapa spesies
semut dari Genus Monomorium ditemukan sebagai inang antara C. digonophora
di India. M. scabriceps ditemukan di India Utara (Chand 1964 dalam: Ponnudurai
& Chellappa 2001); M. gracilimum dan M. destructor di Kerala (Nadakal et al.
1970 dalam: Ponnudurai dan Chellappa 2001); M. floricola di Namakkal, Tamil
Nad (Ponnudurai & Chellappa 2001). Sistiserkoid dari lima spesies Raillietina
pada perusahaan peternakan di Australia juga ditemukan dalam bagian gaster
tubuh semut Pheidole sp. (O’Callaghan et al. 2003). Jenis semut sebagai inang
antara sestoda bervariasi menurut jenis sestodanya. Lasius niger dan T. sessile
spesies semut yang ditemukan sebagai inang antara pertama sestoda mamalia
Mesocestoides melalui uji DNA. Sebanyak 3,1% dari 223 sampel pul semut
(1 pul=10 ekor) L. niger dan 2,4% dari 84 sampel kelompok semut T. sessile
mengandung DNA stadium metasestoda (sistiserkoid) dari Mesocestoides
(Padgett & Boyce 2005).
2.4 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Sestoda pada
Peternakan Ayam Petelur dalam Kandang Baterai
Terjadinya infeksi parasit dapat digambarkan sebagai fungsi dari jumlah
dan distribusi parasit dalam populasi inang berisiko pada ruang dan waktu tertentu
(Lawson & Gemmell 1983). Transmisi berlangsung jika terjadi interaksi antara
parasit stadium infektif dengan inang yang cocok, didukung lingkungan eksternal
inang-parasit yang kondusif bagi kelangsungan hidupnya. Faktor-faktor transmisi
sestoda bersifat lebih komplek karena melibatkan dua inang atau lebih, dan yang
masing-masing memiliki biologi yang berbeda. Berkaitan dengan sestodosis pada
peternakan ayam, maka dinamika populasi sestoda dewasa pada ayam dan
metasestoda pada serangga yang berpotensi sebagai inang antaranya serta
lingkungan yang mempengaruhi merupakan faktor penting. Lingkungan yang
dimaksud merupakan refleksi dari manajemen peternakan yang sedang
diberlakukan. Oleh karena itu sistem tata laksana tertentu yang diterapkan pada
praktek peternakan dapat menentukan peluang terjadinya penyakit termasuk
kecacingan.
19
2.4.1 Kondisi Fisik Lingkungan
Mengingat bahwa sebagian besar sestoda ayam memiliki umur infeksi
relatif singkat yaitu sekitar dua bulan, maka kontinyuitas keberadaan proglotida
gravid (telur sestoda) tergantung dari lamanya ayam terinfeksi dan ketahanan
hidup telur sestoda di lingkungan eksternal inang. Ketahanan telur sestoda ayam
di lingkungan peternakan belum pernah dipelajari, walaupun terbukti bahwa
sestodosis selalu ditemukan. Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa
sistiserkoid C. infundibulum hasil nekropsi M. domestica yang berasal dari
peternakan tetap hidup sampai 72 jam disimpan dalam larutan garam fisiologis
pada suhu 4 0C, namun hanya 24 jam pada suhu kamar (Ponnudurai et al. 2003).
Jenis sestoda lain, yaitu telur Taenia saginata pada manur basah tetap hidup
selama 71 hari, 16 hari di sampah kota, 33 hari di air sungai, dan 159 hari di
lapangan penggembalaan (Jepsen & Roth (1949) dalam: Soulsby (1982). Di
Australia, Seddon (1950) dalam Soulsby 1982 menemukan telur T. saginata
tetap hidup di lapangan penggembalaan sekurang-kurangnya selama delapan
minggu dan 14,5 minggu dibawah terik matahari. Ketika musim dingin (di negara
dengan empat musim) telur T. saginata tahan beberapa bulan di sampah dan
lingkungan berlumpur, serta di air payau dan air asin (Pawlawsky 1994 dalam:
Gajadhar et al. 2006). Telur Echinococcus tetap hidup diantara suhu -50 0C dan
70 0C, namun rusak dalam waktu singkat jika terpapar pada suhu antara -70 0C
dan 100 0C (Eckert et al. 2001 dalam: Gajadhar et al. 2006). Ketahanan hidup
telur H. diminuta rata-rata 11 hari jika tetap berada dalam pelet tinja tikus pada
suhu 10 0C. Namun jika disimpan dalam bentuk ekstrak tinja di kertas saring
pada suhu 30 0C hanya bertahan sekitar 30 menit (Keymer 1982). Kualitas dan
kuantitas hidup telur sestoda berperan penting dalam infektifitasnya pada inang
antara. Telur H. nana dalam pelet tinja yang langsung diambil dari rektum mencit
hingga empat jam kemudian memiliki infektifitas 60% pada Tribolium sebagai
inang antara coba (Maki & Yanagisawa 1987) dan terbukti lebih tinggi
infektifitasnya dibandingkan dengan telur yang diisolasi langsung dari cacingnya
(El-Sayad & Lotfy 2005). Pada penelitian tersebut juga menyatakan bahwa telur
H. nana tetap hidup dan infektif setelah disimpan dalam air deklorinasi pada suhu
4 0C dalam ruang gelap.
20
2.4.2 Keberadaan inang antara
Keberhasilan transmisi sestodosis pada ayam ternak tergantung pada
keberadaan jenis serangga tertentu sebagai inang antara potensial di lingkungan
peternakan. Apabila terdapat populasi serangga jenis tertentu di area peternakan
berarti di lingkungan tersebut tersedia media perindukan bagi serangga tersebut.
Tipe produksi ternak ayam memiliki sistem manajemen yang berbedabeda dengan masing-masing permasalahan penyakit parasitik yang ditimbulkan.
Misalnya ayam ternak broiler dan pembibitan yang dipelihara di lantai liter
memiliki masalah kumbang (Axtell & Arends 1990), karena erat berhubungan
dengan pakan ayam (komponen biji-bijian) dan kelembaban liter. Telah diketahui
bahwa beberapa jenis kumbang yang ditemukan di peternakan ayam (Kuney
1997) merupakan vektor atau transmiter penyakit-penyakit (Dunford & Kaufman
2006) ayam. Selain sestoda, penyakit-penyakit ayam yang dapat ditularkan
misalnya nematoda ayam Subulura brumpti (Karunamoorthy et al. 1994),
protozoa (Apuya et al. 1994), bakterial (Skov et al. 2004; Bates et al. 2004),
maupun fungal (CastrilloS et al. 1998). Selain liter sebagai media hidup, stadium
pupasi kumbang lebih cenderung di dinding-dinding kandang yang terbuat dari
kayu atau bagian pangkal kandang yang menyentuh tanah. Dengan demikian
masalah gangguan kumbang tidak hanya berhubungan dengan liter, namun
terdapat juga di peternakan ayam dengan bangunan kandang yang mengandung
unsur kayu termasuk kandang baterai.
Ayam ternak petelur komersial yang dipelihara dalam kandang baterai
memiliki masalah dengan tata laksana pembuangan manur. Manur sebagai limbah
utama industri peternakan ayam merupakan material organik yang potensial untuk
perkembangbiakan berbagai jenis serangga , baik sebagai hama perusak struktur
kandang maupun vektor penyakit ayam. Jika penanganan manur tidak dilakukan
secara tepat dapat mengakibatkan masalah serius terutama masalah penyakit ayam
selain sebagai pengganggu (Sánchez-Arroyo 2008; Axtell & Arends 1990; Hall &
Jones 2005; Koehler & Oi 2005). Kelembaban yang tinggi (75%-80%) pada
manur segar merupakan media sempurna bagi perkembangbiakan lalat. Sebanyak
0,5 kg manur dengan kelembaban 50%-85% dapat menghasilkan 1000 lalat rumah
(Weaver & Novak 2006). M. domestica telah dikenal sejak lama berperan sebagai
21
transmiter dalam berbagai penyakit yang ditularkan melalui makanan/pakan baik
pada manusia maupun hewan, termasuk penyakit bakterial saluran pencernaan
pada peternakan ayam layer (Dhillon et al. 2004; Kinde et al. 2005; Olsen &
Hammack 2000). Masalah lalat dan kumbang liter ini merupakan masalah utama
hama peternakan ayam yang sulit pengendaliannya (Kuney 1997).
2.4.3 Tata laksana peternakan
Tipe ayam pedaging dan petelur adalah jenis unggas ternak yang umum
dipelihara secara intensif dalam usaha peternakan ayam komersial menggunakan
teknik moderen. Alternatif metode pemeliharaan ayam ras petelur (Fanatico 2006)
adalah menggunakan sistem khusus seperti cages, cage-free, dan free-range. Tipe
kandang merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kualitas telur
(Moorthy et al. 2000; Muthusamy & Viswathan 1999; Premavalli & Viswanathan
2004). Sistem cages dengan menggunakan kandang baterai adalah metode yang
umum pada peternakan-peternakan ayam ras petelur di Indonesia. Pada sistem
intensif
ayam tetap berada dalam ruangan bahkan kandang individu dengan
kepadatan tinggi, sehingga penanganan manur sebagai limbah utama perlu
diperhatikan.
Pitfal adalah tempat penampungan manur di bawah kandang baterai yang
ukuran kedalamannya bervariasi. Kandang baterai merupakan deretan kandang
individu dengan alas kawat di atas pitfal sehingga manur jatuh melalui sela-sela
dasar kawat kandang. Beberapa metode penanganan manur yaitu manur dibiarkan
menumpuk, segera dikeruk, atau berupa manur basah. Pitfal yang dalam
menghasilkan manur padat jika disimpan cukup kering, sedangkan yang dangkal
sebaiknya berkonstruksi beton dengan kedalaman 7,5-20 cm dan 3-6 m di bawah
kandang baterai (Anonim 1994). Pada sistem ini manur dikeruk secara berkala.
Manur kering dapat ditimbun dalam penampungan selama sekurang-kurangnya
setahun atau lebih. Penanganan manur basah harus selalu mengosongkan
penampungan setiap hari atau minimal seminggu sekali, untuk mengurangi bau
dan masalah lalat.
22
2.4.4 Perilaku inang
Sulit ditelaah bahwa prevalensi sestodosis yang terjadi di lapangan tinggi
namun secara logis peluang transmisinya rendah. Menurut Mackiewics (1988),
sestoda memiliki tiga strategi dasar dalam transmisinya untuk mempertahankan
kelangsungan siklus hidupnya. Pertama, dalam siklus hidupnya parasit beradaptasi
dengan biologi inang; kedua, menyajikan stadium infektif dengan meningkatkan
peluang kontak antara inang dan parasit; ketiga, meningkatkan potensi reproduksi.
Strategi ke dua adalah hal yang telah dipelajari oleh beberapa peneliti berkaitan
dengan perilaku inang. Sejumlah parasit yang daur hidupnya kompleks mungkin
memiliki umur singkat di dalam tubuh inang antaranya, terlebih transmisi ke
inang definitif bersifat pasif melalui rantai makanan atau predasi.
Sebuah hipotesis menyebutkan bahwa perubahan perilaku inang
merupakan satu diantara strategi parasit untuk meningkatkan transmisi ke inang
berikutnya. Beberapa penelitian untuk membuktikan perubahan perilaku tersebut
telah dilakukan. Berhubungan dengan perilaku makan, burung Quelea quelea
menyebabkan kerugian petani karena makan biji-bijian hasil panen di Borno,
Nigeria. Prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada burung-burung tersebut
rendah, namun ketika bukan saat masa panen prevalensi sestodosis relatif tinggi
bahkan terinfeksi oleh empat spesies sestoda. Diduga kuat bahwa pada masa
tersebut burung-burung mencari pakan ke tempat yang lebih luas, sehingga jenis
pakannya lebih variatif termasuk berbagai jenis serangga (Yusufu et al. 2004).
Perubahan perilaku ikan Fundulus parvipinnis (inang antara) yang terinfeksi
parasit meningkatkan kepekaannya untuk dipredasi oleh unggas air sebagai inang
definitifnya. Peningkatan kebutuhan oksigen pada ikan yang mengandung larva
sestoda menyebabkan seringnya muncul di permukaan air sebagai habitatnya
(Smith & Kramer 1987 dalam: Lafferty & Morris 1996), demikian pula jika
penyebabnya adalah ratusan metaserkaria dalam organ otak (Lafferty & Morris
1996). Dua jenis Acanthocephala yaitu Pomphorhynchus laevis (inang
definitifnya ikan) dan Polymorphus minutus (inang definitifnya unggas air)
memiliki satu jenis inang antara amphipoda Gammarus pulex. P. laevis bersifat
fototropik yang menyebabkan perubahan perilaku Gammarus muncul dari tempat
terlindung mudah dipredasi oleh ikan. Gammarus yang terinfeksi P. minutus
23
berperilaku menyebar secara vertikal sehingga lebih mudah dipredasi oleh unggas
air. Pada penelitian ini tidak diamati pengaruh jumlah parasit yang menyebabkan
respon perilaku inang antara tersebut (Cezilly et al. 1999). Ditemukan tujuh
spesies sestoda unggas air dengan inang antara crustacean, Branchiopoda, Artemia
parthenogenetica (Sánchez et al. 2007). Artemia adalah spesies pokok dalam
habitat hipersalin yang merupakan sumber makanan terbesar bagi unggas air
(Cooper et al. 1984; Verkuil et al. 2003; Sánchez et al. 2006b dalam: Sánchez et
al. 2007).
Perilaku inang antara yang terinfeksi larva sestoda dapat mempengaruhi
dinamika dan distribusi populasi inang definitif (Wellnitz et al. 2003 dalam:
Sánchez et al. 2007). Permukaan air yang kaya alga dibutuhkan oleh inang antara
terinfeksi sebagai sumber pakan (Amat et al. 1991 dalam: Sánchez et al. 2007).
Dengan aktivitas makan di bagian permukaan air menyebabkan peningkatan risiko
termakan oleh unggas air. Masih berhubungan dengan air sebagai habitat inang,
inang antara acanthocephala Pomphorhynchus laevis adalah crustase G. pulex.
Parasit ini berwarna oranye kekuningan. Tampak warna yang menonjol melalui
kutikula yang transparan pada Gammarus yang terinfeksi parasit tersebut.
Perilaku inang antara yang terinfeksi menjadi suka cahaya sehingga muncul di
permukaan yang mempermudah dipredasi oleh ikan sebagai inang definitifnya
(Bakker et al. 1997). Perubahan warna inang yang terinfeksi juga terjadi pada
rayap pekerja Caribbean Nasutitermae acajutlae menyebabkan peningkatan
predasi oleh sejenis cicak Anolis sebagai inang definitifnya (Fuller et al. 2003).
Beberapa perilaku jenis serangga lain yang terinfeksi oleh parasit juga
banyak dipelajari dengan model hubungan inang-parasit kumbang Tenebrionidae
dengan sistiserkoid
H. diminuta atau H. nana. Perilaku koprofagi Tenebrio
dipengaruhi oleh adanya proglotida H. diminuta dalam tinja (Pappas et al. 1995;
Shea 2003). Menurut hipotesis Evans et al. (1992 dalam: Pappas et al. (1995),
tinja yang berisi proglotida gravid
H. diminuta mengandung atraktan bagi
Tenebrio. Atraktan ini diduga sebagai ekskretori-sekretori sestoda atau substansi
yang dihasilkan inang sebagai respon infeksi dengan menifestasi perubahan
fisiologi pencernaan. akibat adanya cacing. Belum dipelajari lebih jauh sifat dan
kandungan atraktan tersebut, namun terbukti bukan senyawa yang bersifat volatil
24
setelah diuji dengan kering-vakum dan rehidrasi. Akibat yang ditimbulkan oleh
hubungan inang-parasit merupakan adaptasi parasit dalam lingkungan tubuh inang
atau dampak patologis inang akibat infeksi tidak mudah dijelaskan. T. confusum
yang terinfeksi H. diminuta berubah menjadi lamban dan cenderung
menyembunyikan diri. Perilaku tersebut diduga sebagai adaptasi parasit (Robb &
Reid 1996). Hipotesis ini diperkuat dengan bukti bahwa dampak patologis tidak
membedakan perilaku inang terinfeksi dan inang kontrol. Hasil penelitian Robb &
Reid 1996 berlawanan dengan Webster et al. (2000). Tenebrio yang terinfeksi
H. diminuta cenderung tidak menyembunyikan diri, namun tidak terdapat
perbedaan dalam kecepatan predasi dibandingkan dengan Tenebrio kontrol.
Perpanjangan waktu hidup inang antara yang terinfeksi stadium larva mungkin
dapat menambah kesempatan transmisi terutama yang bersifat pasif menunggu
termakan oleh inang definitif. Pengamatan membuktikan bahwa T. molitor betina
yang diinfeksi H. diminuta memiliki peningkatan waktu hidup sebesar 40% dan
yang jantan sebesar 25% (Hurd et al. 2001). Perlu dipelajari lebih mendalam,
dampak infeksi yang terjadi menguntungkan parasit atau inangnya, atau mungkin
keduanya.
2.4.5 Pengaruh musim
Musim adalah fenomena alam yang perubahannya bersifat siklik, dapat
diprediksi, dan merupakan faktor penting dalam mempengaruhi pola kehidupan
makhluk hidup di muka bumi (Blank 1992 dalam: Altizer et al. 2006). Banyak
contoh pola kejadian penyakit yang menonjol pada musim-musim tertentu
(seasonal). Misalnya, Altizer et al. (2006) menyatakan bahwa ledakan penyakit
musiman yang erat berhubungan dengan faktor iklim umumnya penyakit-penyakit
infeksi akut saluran pernafasan, diare, parasitik tular vektor, dan kecacingan.
Fluktuasi kondisi iklim pada lingkungan geografis tertentu secara langsung atau
tidak langsung dapat mempengaruhi dinamika populasi inang (definitif/antara)
dan parasit (terutama stadium bebas atau di dalam tubuh inang invertebrata)
termasuk cacing parasitik.
Beberapa nematoda intestinal membebaskan stadium infektifnya ke
lingkungan yang optimal pada suhu, curah hujan, dan kelembaban tertentu
25
sebelum mencapai inang berikutnya (Gordon et al. 1934 & Gillett 1974 dalam:
Altizer et al. 2006). Pengaruh perubahan iklim tahunan terhadap intensitas
nematoda intestinal domba/sapi berdasarkan variasi musim telah banyak diteliti
sejak lama. Pengetahuan ini digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
pengendalian nematodosis pada hewan ternak secara spesifik pada geografis
tertentu. Adapun sestodosis pada unggas yang lebih berperan dalam transmisinya
adalah pengetahuan biologi serangga inang antara. Sebagai contoh, populasi dan
aktivitas kumbang Alphitobius dan lalat M. domestica yang merupakan inang
antara sestoda cenderung meningkat pada temperatur yang relatif hangat (Goulson
et al. 2005; Salin 1998; 2000; Tardelli et al. 2004).
Studi tentang pengaruh faktor iklim dan geografi terhadap prevalensi
kecacingan saluran pencernaan ayam ternak telah dilakukan di beberapa wilayah
di luar negeri. Perbedaan infeksi cacing saluran pencernaan pada lima kelompok
umur ayam lokal di daerah dataran tinggi di Dschang, Cameroon, diamati pada
tiga musim yaitu musim hujan (curah hujan 187,2 mm-317,4 mm/bulan),
pascamusim hujan (curah hujan 45-55 mm/bulan), dan kering (curah hujan
<6,5 mm/bulan) (Mpoame & Agbede 1995). Prevalensi maupun derajat infeksi
sestoda (H. cantaniana, H. carioca, dan R. tetragona) cenderung lebih tinggi pada
ayam yang berumur >5 minggu kecuali Amoebotaenia cuneata. Secara umum
baik prevalensi maupun derajat infeksinya paling tinggi di musim hujan,
sedangkan di musin pasca-hujan dan kering tidak menunjukkan perbedaan.
Prevalensi R. tetragona dan
A.cuneata tidak menunjukkan perbedaan antar
musim, sedangkan H. cantaniana dan H. carioca paling tinggi pada musim hujan.
Secara umum menunjukkan bahwa prevalensi maupun derajat infeksi cacing
saluran pencernaan paling tinggi di musim hujan (Mpoame & Agbede 1995).
Mirip dengan pengamatan tersebut juga di lakukan pada ayam yang dipelihara
secara tradisional di pedesaan Morogoro, Tanzania (Magwisha et al. 2002).
Khususnya sestodosis, prevalensi C. infundibulum, D. proglottina, dan
R. tetragona lebih tinggi pada ayam muda yang berumur 12-24 minggu
dibandingkan dengan umur >32 minggu, sedangkan prevalensi A. cuneata,
H. cantaniana, H. carioca, R. cesticillus, dan R. echinobothrida sama. Adapun
perbedaan derajat infeksi yang nyata lebih tinggi pada ayam muda hanya
26
R. tetragona. Pengamatan berdasarkan musim hanya dilakukan terhadap derajat
infeksi yaitu rataan derajat infeksi Raillietina relatif tinggi pada awal musim hujan
dan paling rendah pada puncak musim hujan (Magwisha et al. 2002). Prevalensi
sestodosis ayam juga diamati berdasarkan perbedaan dataran rendah, sedang, dan
tinggi di pedesaan daerah Amhara, Ethiopia (Eshetu et al. 2001). Pada peneltian
tersebut menghasilkan bahwa prevalensi sestodosis paling rendah di daerah
berdataran tinggi (2500 m di atas permukaan laut) dan bersuhu rendah, demikian
sebaliknya di daerah dataran yang lebih rendah (1500 m di atas permukaan laut)
(Eshetu et al. 2001).
Fluktuasi populasi sestodosis pada ayam ternak yang dikaitkan dengan
faktor iklim di Indonesia telah ditelaah di wilayah kecamatan Kotabumi, Lampung
Selatan (Inbandiyah 1996). Populasi sestoda tertinggi pada ayam buras yang
dipelihara secara tradisional di wilayah tersebut terjadi pada bulan terkering
dengan rataan curah hujan 9,2 mm pada bulan September 1994 dengan kisaran
suhu dan kelembaban udara sebesar 17,7-36,6 0C dan 64%. Demikian pula
pengamatan di wilayah kabupaten Bogor selama bulan Juli-Desember 1997
dengan rataan curah hujan sebesar 233,24 mm di wilayah tipe iklim basah dan
174,4 di wilayah kering, kisaran suhu sebesar 23,88-26,79 0C, serta kelembaban
68,26-93,7% (Retnani et al. 2001). Walaupun populasi sestoda lebih tinggi di
daerah basah, fluktuasi populasi selama pengamatan memiliki pola yang sama.
Pada dua bulan pertama pengamatan populasi sestoda meningkat, kemudian
menurun bersama-sama hingga populasi terendah pada bulan-bulan dengan curah
hujan tinggi sebesar 236-357 mm (Retnani et al. 2001).
27
Download