s_sej_041958_BAB IV.

advertisement
BAB IV
KODIFIKASI HADIS PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN ABDUL
AZIZ DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
A. Kondisi Hadis Sebelum Khalifah Umar bin Abdul Aziz Berkuasa
1. Keadaan Hadis Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW hidup di tengah-tengah masyarakat, diantaranya
terdapat para sahabat yang senantiasa menemani beliau. Pada waktu itu, perilakuperilaku nabi Muhammad SAW menjadi panutan atau contoh bagi masyarakat dan
para sahabat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Jika ada suatu permasalahan
dalam hal beribadah maupun permasalahan dalam kehidupan dunia, masyarakat
dan para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Masyarakat yang
berasal dari luar kota Madinah banyak berdatangan kepada nabi Muhammad
SAW untuk berkonsultasi dengan permasalahan mereka. Para pedagang yang
berasal dari kota madinah sangat berperan dalam penyebarluasan pelajaran Nabi
(hadis nabi), selain berdagang mereka juga berdakwah terhadap orang-orang yang
mereka temui (Dawam, 2008). Rasulullah SAW mempunyai kebijaksanaan
tentang hadis-hadisnya, menurut Ismail ada tiga macam kebijaksanaan yang
terpenting yang dilaksanakan Rasulullah SAW, yaitu
a. Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal
dan menyampaikan/ menyebarkan hadisnya, dalil yang menunjukkan
perintah ini yaitu berdasarkan sabda Rasulullah SAW (Ismail, 1994: 75)
42
“dan ceritakanlah dari padaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk
menceritakan apa yang dengar dari padaku. Barang siapa berdusta
terhadap diriku, hendaklah dia bersedia menempati kediamannya di
neraka”. Hadis tersebut dapat dipahami bahwa latar belakang rasulullah
SAW memerintahkan untuk menyebarkan hadis yaitu karena keadaan para
sahabat dan juga karena kepentingan penyiaran Islam. Hadis tersebut dapat
juga mengandung pengertian bahwa diantara para sahabat banyak yang
kuat ingatannya, dan diantara para sahabat, banyak yang tidak hadir ketika
Rasulullah SAW menyampaikan wahyu, maupun dalam bentuk hadis,
namun ketidakhadiran para sahabat tersebut diakibatkan karena tempat
tinggalnya yang jauh, karena kesibukannya dan juga karena sahabat malu
bertanya secara langsung kepada Rasulullah SAW tentang suatu masalah
(salah satu contohnya, yaitu Sayyidina Ali pernah meminta tolong kepada
temannya, untuk menanyakan tentang hukumnya air madzy kepada
Rasulullah SAW. Sayyidina Ali rupanya malu bertanya langsung,
mungkin karena hubungan kekerabatan sebab beliau adalah menantu Nabi,
sedang yang ditanyakan berhubungan dengan sesuatu yang sangat bersifat
pribadi).
b. Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadisnya.
Dalil yang menunjukkan tentang hal ini adalah bahwa rasulullah SAW
bersabda “ janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dari padaku,
terkecuali Al-Qur’an. Dan barangsiapa yang telah menulis daripadaku
selain Al-Qur’an , hendaklah ia menghapusnya. Hal ini dimaksudkan agar
43
ayat-ayat Al-qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an.
c. Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat untuk menulis hadishadisnya. Perintah ini didasarkan pada dalil-dalil Rasulullah SAW sendiri
antara lain dari Abdullah Ibnu Amr Ibnu Ash, adalah salah seorang
sahabat yang rajin menulis tentang apa-apa yang diucapkan oleh Nabi
SAW. Dengan keadaan seperti ini Abdullah Ibnu Amr Ibnu Ash ditegur
oleh sahabat nabi yang lain bahwa Abdullah Ibnu Amr Ibnu Ash telah
menulis semua yang diucapkan Nabi SAW padahal Nabi adalah manusia
biasa yang pastinya berbicara dalam keadaan suka dan berbicara dalam
keadaan duka. Akibat dari adanya teguran ini, maka Abdullah Ibnu Amr
Ibnu Ash bertanya langsung kepada Nabi SAW bahwa apakah dirinya
boleh menulis hadis-hadisnya ataukah tidak. Rasulullah SAW menjawab,
“Tulislah. Maka demi jiwaku yang berada di tangan-NYA, tidaklah keluar
dari mulutku kecuali kebenaran. Riwayat lain menyebutkan bahwa
Rasulullah
SAW
pernah
menyuruh
pegawai-pegawainya
untuk
menuliskan surat untuk di daerah-daerah yang isinya tentang kadar-kadar
zakat unta dan kambing.
Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabat untuk menulis hadis
mempunyai alasan yang logis, menjelaskan
a. diantara para sahabat, ada yang telah pandai menulis
b. diantara para sahabat, ada yang kurang kuat ingatan/ hafalannya
c. untuk memberi petunjuk yang lebih jelas dan orisinil kepada para
petugas rasul di daerah-daerah, diperlukan adanya dokumen tertulis
(Ismail, 1994: 79).
44
Pada masa nabi Muhammad SAW, penyebarluasan hadis sangatlah cepat,
hal tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, Rasulullah SAW bersabda
“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat”, dalam
hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Hendaknya orang yang
hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir (dalam majlis ini), sebab
boleh jadi, banyak orang yang menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari
pada (kamu sendiri) yang mendengar (langsung dariku)”dalam hadis lain
disebutkan bahwa Nabi bersabda ” Kembalilah kepada keluargamu dan ajarkanlah
kepada mereka (apa yang kamu peroleh) (Syuhbah, 1994: 14). Penyebarluasan
hadis ini sangatlah cepat karena masyarakat yang ada di Madinah maupun yang
berada di luar madinah akan segera mengetahui hukum-hukum yang telah
disampaikan oleh Rasulullah SAW. Ada faktor lain yang menyebabkan
penyebarluasan hadis begitu cepat
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat
orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran
agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara
berkesinambungan.
c. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits
termasuk di dalamnya (Dawam, 2008)
Penyebarluasan hadis dilakukan secara terus-menerus oleh para sahabat
melalui lisan (dari mulut ke mulut), pada masa ini hadis tidak ditulis karena
Rasulullah SAW sempat melarang penulisan hadis, hal ini dikarenakan Rasulullah
SAW merasa khawatir akan tercampurnya hadis. hadits Abu Sa’id al-Khudri yang
berbunyi “Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an.
Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia
45
menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong
atas nama saya maka bersiaplah tempatnya di neraka ” (Syuhbah, 1994: 15).
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan Rasulullah SAW melarang
penulisan hadis
a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul
bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadis tanpa diucapkan atau
ditela’ah.
c. Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadis saja (Dawam, 2008).
Larangan penulisan hadis tersebut dikhawatirkan akan tercampurnya hadis
dengan Al-Qur’an, atau penulisan hadis akan melalaikan mereka dari Al-Qur’an.
Atau bisa juga larangan itu ditujukan kepada orang-orang yang dipercayai
kekuatan hafalannya. Nabi sempat melarang penulisan hadis, hal tersebut
dilakukan sampai dengan proses terjadinya Fathul Makkah, ketika nabi hendak
membuka kota Mekah, beliau berpidato di depan orang banyak, ketika itu ada
seorang laki-laki dari yaman bernama Abu Syah meminta untuk segera dituliskan
isi dari pidato Nabi tersebut, Rasulullah SAW meminta para sahabat untuk segera
menuliskan isi pidatonya untuk laki-laki dari Yaman tersebut. (Nurudin, 1994:
27). Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis-hadis yang mengijinkan penulisan
menggantikan hadis yang melarang penulisan, di samping pelarangan penulisan
hadis tersebut terjadi pada awal-awal Islam. Setelah tidak dikhawatirkan lagi akan
tercampuradukkan
atau
melalaikan
Al-Qur’an,
penulisan
hadis
pun
diperkenankan.
Pada zaman Rasulullah SAW ternyata banyak para sahabat yang secara
pribadi mencatat hadis-hadis Rasul. Shahifah atau catatan-catatan yang dibuat
46
oleh para sahabat tentang hadis-hadis Nabi ditulis dengan memakai pelepah
korma, kulit-kulit kayu dan tulang-tulang hewan. Menurut penelitian Dr.
Muhammad Musthafa Al-Azhamy bahwa para sahabat yang memiliki shahifah
atau catatan hadis berjumlah sekitar 50 orang. Kemudian jumlah catatan-catatan
hadis yang ada pada para sahabat yang memiliki shahifah itu menurut Munadzir
Ahsan Kailany berjumlah lebih dari 100.000 hadis (Ismail, 1994: 80).
Penulisan hadis pada masa Rasulullah SAW sebenarnya sudah cukup
banyak, hal tersebut akan terwujud jika semua shahifah dikumpulkan. Diantara
shahifah-shahifah tersebut antara lain Al-Shahifah al-Shadiqah, ditulis oleh
Abdullah bin Amr bin Ash, beliau berkata “tidak ada yang lebih menyenangkan
diriku di dunia ini kecuali Al-Shahifah al-Shadiqah. Shahifah yang kedua adalah
shahifah yang dibuat oleh Ali bin Abi Thalib, shahifah ini dinyatakan sangat tipis
yang hanya membuat tentang ketentuan hukum pembebasan tawanan. Al-Bukhari
meriwayatkan kisah Shahifah Ali ini dari riwayat Abu Juhaifah ”Apakah kamu
mempunyai kitab?”ia menjawab: “tidak, kecuali kitab Allah; ilmu yang kudapati
dari seorang muslim, dan apa yang terdapat dalam shahifah ini yaitu tentang
pembebasan tawanan perang, dan bahwa seorang muslim tidak dapat dijatuhi
hukuman mati karena membunuh seorang kafir. Selanjutnya adalah shahifah Saad
bin Ubadah, At-Turmudzi meriwayatkan dalam kitab sunannya, beliau berkata
“kami temukan dalam kitab sa’ad bahwa Rasulullah SAW menjatuhkan hukuman
berdasarkan sumpah dan seorang saksi (Nurudin, 1994: 30-31).
Namun, banyaknya hadis-hadis yang terhimpun oleh para sahabat dalam
shahifah-shahifahnya masing-masing pasti banyak hadis-hadis yang belum ditulis.
47
Hal ini dibuktikan oleh banyaknya sabda, perbuatan dan kejadian-kejadian yang
berasal dan dialami Nabi selama 23 tahun kerisalahan-kerisalahannya, dan tidak
sedikit dalam kerisalahannya itu terjadi di tempat-tempat yang tidak disaksikan
oleh para sahabat. Selain itu, penyebab lainnya adalah adanya kekhawatiran
tercampurnya Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an serta sebagian sahabat
kebanyakan adalah orang-orang yang tidak pandai menulis. Para sahabat tidak
sederajat dalam menerima suatu riwayat bahkan dalam mengetahui keadaan Rasul
seperti apa, ketidaksederajat itu disebabkan oleh oleh keadaan para sahabat yang
berbeda-beda, tinggal di daerah kota, berdagang, bertani, terus-menerus beribadah
dan diam di masjid sementara rasul pun tidak selalu mengadakan ceramah
terbuka, periwayatan tersebut disampaikan secara lisan, dari mulut ke mulut
dengan mengandalkan daya ingat (Khaeruman, 2004: 92).
Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh orang-orang Arab adalah kekuatan
hafalannya, oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak para sahabat yang
hafal Al-Qur’an, banyak juga yang hafal hadis Rasul. Menurut pendapat banyak
para ulama, ada sekitar 4000 orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan
Abdullah Syayatah. Menurut yang diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Bahdady
bahwa Abu Hurairah telah berkata “Saya telah membagi malam hari kepada tiga
bagian yakni; sepertiga malam untuk Shalat, sepertiga malam untuk tidur dan
sepertia malam untuk mempelajari hadis-hadis Rasul. Hadis-hadis Rasulullah
SAW disampaikan melalui berbagai peristiwa dan cara, yaitu pertama dilakukan
pada majelis-majelis Rasulullah. Pada majelis-majelis Rasulullah itulah para
sahabat mendengarkan hadis-hadis yang disampaikan, kemudian setelah itu para
48
sahabat mempelajarinya dan menghafalnya. Anas bin Malik mengatakan bahwa
”kami berada di sisi Rasulullah SAW kami mendengarkan hadis dari beliau.
Apabila telah selesai, maka kami mempelajarinya kembali dan menghafalnya”
Keduanya, dilakukan pada peristiwa ketika Rasulullah mengalaminya kemudian
beliau menerangkan hukumannya, Abu Hurairah telah meriwayatkan bahwa pada
suatu ketika Rasulullah lewat di muka seorang pedagang bahan makanan.
Rasulullah bertanya tentang bagaimana barang itu dijual, kemudian penjual itu
menjelaskannya. Rasulullah lalu menyuruh penjual tadi memasukkan tangannya.
Penjual tadi memasukkan tangannya ke dalam jualannya, sehingga tampak bagian
bawah barang itu basah dicampur air. Kemudian Rasulullah bersabda “Bukanlah
dari golongan kami, siapa yang menipu”. Ketiga, cara penyampaian hadis
dilakukan pada peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin, kemudian
menanyakan hukumnya kepada Rasulullah SAW,
Ismail menjelaskan
Para sahabat, adakalanya mengalami suatu peristiwa yang berhubungan
dengan dirinya dan adakalanya berhubungan dengan orang lain. Peristiwa
yang dialami para sahabat itu, untuk menenangkan batinnya kemudian
segera ditanyakan kepada Rasulullah. Menerima pertanyaaan itu, Rasul
kemudian menjelaskan dan memberi fatwa tentang hukumnya (Ismail,
1994: 84).
Keempat, cara penyampaian hadis dilakukan pada peristiwa yang
disaksikan langsung oleh para sahabat terhadap apa yang terjadi atau dilakukan
rasulullah. Sistem periwayatan hadis menurut Fatchur Rahman ada dua sistem
1. dengan lafadh yang masih asli dari rasulullah SAW
2. dengan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkannya (Rahman, 1974: 50).
49
Hal tersebut dikarenakan mereka sudah tidak hafal lagi dengan lafadh
aslinya, mereka hanya mementingkan dari segi isinya yang benar-benar
dibutuhkan pada saat itu. Sistem meriwayatkan hadis dengan maknanya saja tidak
dilarang oleh Rasulullah SAW, berbeda dengan riwayat Al-Qur’an, susunan
bahasa dan maknanya, sedikitpun tidak boleh diubah, hal itu disebabkan karena
lafadh dan susunan kalimat Al-Qur’an merupakan mukjizat Allah. Dalam
meriwayatkan hadis yang penting adalah isinya, lafadh dan susunan bahasanya
diperbolehkan menggunakan lafadh dan susunan kalimat lain, asalkan kandungan
dan maknanya tidak berubah.
2. Keadaan Hadis Pada Masa Khulafaur Rasyidin
a. Masa Khalifah Abu Bakar As- Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab
Ketika Rasulullah SAW wafat, maka banyak para sahabat yang menyebar
ke luar kota madinah, penyebarluasan hadis semakin cepat. Namun, hal tersebut
menyebabkan otentisitas hadis yang terganggu, akan semakin membahayakan
karena mudahnya para sahabat dalam meriwayatkan hadis. Dengan keadaan
demikian, maka Khalifah Abu Bakar membuat peraturan mengenai periwayatan
hadis, begitu juga dengan masa Khalifah Umar bin Khattab sehingga pada masa
ini disebut dengan periode pembatasan periwayatan hadis. Pembatasan tersebut
dimaksudkan untuk membatasi penggunaan nama Rasulullah SAW dalam
berbagai urusan. Setiap periwayatan yang mengatasnamakan nama rasulullah
SAW harus mendatangkan saksi (Dawam, 2008). Khalifah Abu Bakar dan
Khalifah Umar bin Khattab menyerukan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam
50
meriwayatkan hadis, selain itu mereka juga meminta kepada para sahabat untuk
menyelidiki riwayat, hal ini dimaksudkan dengan tujuan untuk memelihara AlQur’an, selain itu, kebijaksanaan ini dimaksudkan agar perhatian para sahabat
tercurah kepada pengkajian dan penyebaran Al-Qur’an serta dengan tujuan agar
para sahabat tidak bermudah-mudah dalam meriwayatkan hadis. Pada masa kedua
Khalifah ini, Al-Qur’an masih berada pada tahap dihafal oleh para sahabat.
Dengan keadaan seperti ini, kebijaksanaan yang dilakukan oleh kedua khalifah ini
membawa dampak, dampak yang pertama adalah periwayatan hadis menjadi
sedikit atau sangat terbatas, kemudian hadis dan ilmu hadis belum merupakan
pelajaran yang bersifat khusus serta membawa dampak terhadap pengetahuan dan
penghafalan hadis yang umumnya masih bersifat individual (Ismail, 1994: 94-95).
Dalam menjawab hukum persoalan yang baru, para sahabat terlebih
dahulu merujuk kepada Al-Qur’an, bila tidak menemukannya, maka berpindah ke
hadis. Para sahabat sangat berhati-hati daalam menetapkan hukum. Dalam banyak
kasus, sahabat tidak menerima begitu saja sebuah berita yang berasal dari nabi,
Abu Bakar pernah menolak sebuah hadis yang disampaikan oleh satu orang,
kecuali kalau diperkuat oleh seorang saksi (Zuhri, 1996: 36). Ide penghimpunan
hadis nabi secara tertulis pertamakalinya ditemukan oleh khalifah Umar bin
Khattab. Ide tersebut tidak dilaksanakan karena Umar merasa khawatir bahwa
umat Islam akan merasa terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an.
Adapun Khalifah Umar bin Khattab, beliau sangat tegas dalam meriwayatkan
hadis, bahkan beliau dengan tegas melarang para sahabat untuk memperbanyak
meriwayatkan hadis. Harun menulis dalam bukunya bahwa Umar membatalkan
51
niatnya menulis hadits, seperti kutipan berikut ini. "Umar bin Khatthab pernah
berniat mengumpulkan hadits dan mencatatnya. Beliau kemudian mengurungkan
niatnya karena takut bercampurnya Al-Qur'an dengan hadits." Abu Hurairah yang
pada waktu itu adalah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadis-hadis
Rasul pernah ditanya oleh seseorang bahwa apakah Abu Hurairah banyak
meriwayatkan hadis pada masa khalifah Umar bin khattab, Abu Hurairah
menjawab bahwa seandainya khalifah Umar bin Khattab tahu bahwa dirinya
banyak meriwayatkan hadis, tentu khalifah akan mencambuknya dengan
cambuknya. Kebijaksanannya dianggap wajar karena pada zaman Umar bin
Khattab daerah Islam makin meluas, jumlah orang yang masuk Islam makin
bertambah banyak (Mudzakir dan Ahmad, 2004: 41). Menurut suatu riwayat dari
Urwah bahwa khalifah Umar bin Khattab menyatakan kehendaknya untuk
menulis dan menghimpun hadis-hadis Rasul.
Beliau meminta fatwa kepada para sahabat tentang niatnya itu. Para
sahabat menyatakan sangat setuju. Tetapi, Khalifah Umar bin Khattab
sendiri masih merasa belum mantap. Olehnya itu, beliau lalu melakukan
shalat Istikharah selama satu bulan untuk memohon petunjuk kepada Allah
tentang niatnya itu. Akhirnya, setelah beliau merasa yakin telah
memperoleh petunjuk dari Allah, beliau berkata kepada para sahabat
“sesungguhnya, aku bermaksud untuk menulis hadis-hadis Rasul,
kemudian aku terpikir tentang adanya suatu kaum sebelum kamu yang
telah menulis kitab, ternyata mereka lalu menjadi asyik kepada kitab yang
telah mereka tulis itu dan melupakan kitab Allah. Olehnya itu, demi Allah
aku tidak akan mencampuradukan Al-Qur’an dengan selainnya untuk
selama-lamanya” (Ismail, 1994: 95).
Dengan demikian, sebenarnya khalifah Umar menginginkan adanya
pendewanan hadis, namun karena beliau merasa khawatir umat Islam melupakan
Al-Qur’an maka beliau tidak melanjutkan niatnya untuk mendewankan hadis,
bahkan beliau melarang para sahabat untuk memperbanyak periwayatan hadis.
52
b. Masa Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Keadaan hadis pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib, kebijakan mereka tentang periwayatan hadis tidaklah jauh berbeda dengan
kebijakan khalifah sebelumnya, khalifah Ali bin Abi Thalib, sahabat yang paling
dekat dengan Nabi, tetapi hadis yang diriwayatkannya hanya 58 buah, dan yang
dianggap sahih berjumlah 50, 20 hadis diantaranya terdapat di dalam kumpulan
hadis Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan berdasarkan kesepakatan keduanya.
Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh khalifah Utsman berjumlah sembilan
buah dan diriwayatkan oleh Bukhari dan yang diriwayatkan oleh Muslim
berjumlah lima buah (Khaeruman, 2004: 122). Dikatakan pula bahwa pada masa
pemerintahan khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib terjadi
pembuatan hadis palsu, Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi
pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu
merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar
beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara
tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadits.
Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan
hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya
riwayatnya (Dawam, 2008) .
Sejak berakhirnya masa pemerintahan Khalifah Utsman dan awal
berdirinya Khalifah Ali bin Abi Thalib, mulai timbul hadis-hadis palsu (maudlu)
yaitu ucapan atau buah pikiran seseorang atau dari diri sendiri yang
53
didakwakannya kepada Rasulullah SAW. Tetapi berkat ketekunan dan
penyelidikan dari para ahli hadis terhadap tingkah laku para perawi serta usaha
mereka dalam membuat syarat-syarat dalam menerima atau menolak suatu hadis,
dapatlah ditemukan hadis palsunya (Rahman, 1970: 52). Suatu ketika, Ali bin Abi
Thalib dalam satu khutbahnya menyatakan bahwa beliau menetapkan barangsiapa
yang memiliki kitab atau catatan, maka setelah pulang nanti agar segera
menghapuskan catatannya itu, sebab telah terjadi kebinasaan manusia, tatkala
mereka mengikuti segala pembicaraan dari para ulama mereka dan mereka
meninggalkan kitab Tuhan mereka. Pernyataan khalifah ini memberikan pertanda
bahwa agar para sahabat tidak menyusun hadis selain Al-Qur’an, tetapi hal ini
bukan berarti khalifah melarang untuk mendewankan hadis sebab pada
kenyataannya khalifah sendiri mempunyai catatan hadis/ shahifah hadis.
Pernyataan khalifah adalah untuk menghindari percampuradukkan Al-Qur’an
dengan yang bukan Al-Qur’an dan agar warga masyarakat umum tidak
meninggalkan Al-Qur’an. Selain itu juga, sejak zaman khalifah Umar daerah
Islam mulai meluas ke jazirah Arab, maka para sahabat banyak yang berpencar ke
daerah-daerah. Jika sejak zaman khalifah Umar larangan periwayatan hadis telah
dinyatakan dengan tegas, sedangkan pada masa khalifah Utsman dan Ali,
walaupun masih terdapat larangan tetapi kurang adanya ketegasan, dengan
keadaan seperti itulah maka berpengaruh terhadap pengembangan hadis.
Para sahabat, terutama yang mempunyai kecakapan dalam menulis selalu
mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan Al-Qur’an, perlakuan
mereka terhadap Al-Qur’an ini tidak sama dengan cara mereka memperlakukan
54
hadis, para sahabat menyampaikan berita yang diperolehnya dari Rasulullah SAW
dilakukan dengan lisan belaka. Sedangkan cara sahabat dalam menyampaikan
hadis adalah dengan cara dari mulut ke mulut, jadi pada saat ini belum ditulis
yang hanya bersandar kepada ingatan dan hafalan (Nata, 1998: 162-163). Dengan
melihat keadaan hadis yang ada pada masa khulafaur rasyidin dapat ditarik suatu
pernyataan bahwa pada masa Khulafaur Rasyidin hadis terpelihara dari pemalsuan
karena sikap para sahabat yang tidak memperbolehkan memperbanyak
periwayatan hadis dan juga khalifah Umar bin Khattab yang meyerukan agar
menyedikitkan dan meyelidiki periwayatan hadis. Dinyatakan oleh Shubhy Shalih
tentang keadaan periwayatan hadis pada masa Khulafaur Rasyidin
Pada ujung akhir pemerintahan Khalifah Ali telah mulai ada usaha-usaha
pemalsuan hadis dari sementara umat Islam yang sedang bermusuhan
golongan Syiah, golongan Muawiyah dan Khawarij, tetapi usaha itu
belumlah mempengaruhi keadaan periwayatan hadis secara umum karena
itu, dapatlah dikatakan bahwa pada masa Khulafaur Rasyidin hadis-hadis
rasul masih terpelihara kemurniannya (Ismail, 1994: 95).
Karena hadis dianggap penting dalam syariat Islam, para sahabat sangat
memberikan perhatian besar kepada hadis-hadis Nabi sebagaimana mereka
memberikan perhatiannya kepada Al-Qur’an. Mereka menghafalkan hadis-hadis
atau maknanya. Memahami maksud dan tujuan hadis yang disampaikan Nabi.
Perhatian para sahabat dalam kesungguhannya untuk mendengar wahyu dan
sunnah terbukti dengan mereka mendatangi Rasulullah SAW berkali-kali ketika
Rasulullah SAW masih hidup. Imam Bukhari dalam Sahihnya meriwayatkan
penjelasan Umar bin Khattab
Aku dan tetanggaku dari kalangan Ansar bertempat di kampung Umaiyah
bin Zaid, sebuah kampung yang terletak jauh dari kota Medinah. Kami
silih berganti mengunjunginya. Hari ini tetanggaku yang mengunjunginya,
55
hari esoknya aku yang pergi. Jika aku yang mengunjungi, maka aku
sampaikan kepada tetanggaku itu segala apa yang kudapatkan dari
Rasulullah, demikian juga bila ia yang pergi, ia berbuat seperti yang
kulakukan (Syuhbah, 1994: 12-13).
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa para sahabat sangat serius
dalam menghadapi hadis Nabi, bahkan memberikan perhatian yang penuh.
Mereka juga bersungguh-sungguh dalam menyampaikan hadis yang mereka
terima, mereka lakukan karena mereka yakin bahwa hadis itu merupakan ajaran
yang wajib disampaikan kepada seluruh masyarakat Islam. Dengan cara bergiliran
seperti itu, mereka telah melakukan dua kebaikan, kepentingan dunia dan
kepentingan akhirat. Kebutuhan akan dunia tidak membuat mereka lupa akan
kepentingan agama, sebaliknya, kepentingan agama tidak membuat mereka
melupakan kepentingan dunia. Para sahabat sangat serius dan memberikan
perhatian penuh untuk mendapatkan dan mendengarkan hadis. Dan kenyataan
demikian itu karena mereka yakin bahwa hadis itu merupakan wajib disampaikan
kepada segenap manusia dan syariat yang abadi.
B. Kodifikasi hadis Pada Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
1. Riwayat Hidup Khalifah Umar Bin Abdul Aziz
Umar Bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang shaleh, seorang raja yang
adil. Beliau termasuk khalifah kelima dari khulafaur rasyidin. Manusia terbaik di
zamannya dalam hal keutamaan dan zuhud (Al-Minsyawi, 2007: 71). Alminsyawi mengemukakan bahwa Umar bin Abdul Aziz dilahirkan di Madinah
Munawwarah, namun berbeda dengan pendapat Al-jazairy (2001) yang
56
mengemukakan bahwa Umar bin Abdul Aziz dilahirkan tahun pada masa Yazid
Ibn al-Quraisy (61 H/ 680 M) di Hilwan, sebuah perkampungan di Mesir, hal
tersebut didasarkan pada orang tua Umar Bin Abdul Aziz yang bekerja sebagai
gubernur di Mesir, kemudian orang tuanya mengirimnya ke kota madinah untuk
belajar.
Hilwan, tempat kelahiran Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Sumber : http://www.geocities.com/TimesSquare/Labyrinth/8099/halwan.gif
Nama lengkapnya Umar ibn Abdul Aziz ibn marwan ibn Al-hakam ibn Abu
Al-Ash ibn Umayah ibn Abdu Syams Al-Qurasyi Al-Amawi, seorang khalifah
yang ke delapan dari Bani Umayah.Dilihat dari silsilah keturunannya, Umar bin
Abdul Aziz merupakan keturunan dari khalifah Umar bin Khattab (Suparta, 2002:
57
224). Beliau adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin hakam Al-Umawi AlQuraisy, terkadang beliau dipanggil dengan panggilan Abu Hafs. Ibunya bernama
Ummi Ashim binti Ashim bin Umar bin khattab. Dengan demikian, Khalifah
Umar bin Khattab merupakan kakek dari Umar bin Abdul Aziz dari pihak ibu.
Silsilah keturunan keluarga Umar bin Abdul Aziz
Sumber
http://1.bp.blogspot.com/_oJIhgtUp8Ho/SDYcVgdOtYI/AAAAAAATA/EE2
PHeDj8ps/s400/bani-umayyah.jpg
58
Dimasa kecilnya Umar bin Abdul Aziz tinggal bersama paman-paman
ibunya yang ada di Madinah, dalam suasana keluarga ibunya yang merupakan
keturunan dari Khalifah Umar bin Khattab inilah Umar bin Abdul Aziz
mendapatkan
bimbingan-bimbingan
dan
pendapat-pendapat
yang
baik.
Pendidikan-pendidikan yang ia dapatkan dari keluarga ibunya sangat berpengaruh
terhadap sifat-sifatnya yang istimewa dan terpuji (Syalabi, 2000: 101). Umar bin
Abdul Aziz tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang baik, hidup dalam
kehidupan nikmat dan kemuliaan. Beliau selalu mendapatkan kasih sayang dari
paman-pamannya.
Setelah Umar bin Abdul Aziz menginjak usia remaja, beliau menikah
dengan Fathimah, putri Abdul malik. Abdul Malik ini adalah pamannya sendiri
yang sangat menyayangi Umar. Beliau dinyatakan oleh para penulis Tarikh
sebagai lambangnya Bani Umayyah. Usianya hanya sampai 40 tahun, Al-Syai’i
menyatakan bahwa ia termasuk Khulafaur Rasyidin kelima (Khaeruman, 2004:
179). Khalifah Umar bin Abdul Aziz digambarkan oleh Al-minsyawi (2007: 71)
mengenai keadaan fisiknya, yaitu bertubuh kurus, bermata cekung, berwajah
lembut, putih dan berwajah tampan. Orang-orang bisa tahu kehadirannya dengan
mencium aroma minyak wangi yang dipakainya. Bila beliau melintas di jalanan,
orang-orang yang lewat sesudahnya masih mencium bau minyak wanginya yang
tidak hilang. Bila beliau berjalan, seakan-akan gaya berjalannya terlalu dibuatbuat sebagai ciri khas dirinya. Dengan gaya berjalannya tersebut membuat gadisgadis Madinah dan budak-budak perempuan terkagum-kagum dan berusaha untuk
menirukan gaya dari Umar bin Abdul Aziz tersebut. Tampak jelas pada diri Umar
59
bin Abdul Aziz tanda-tanda kesombongan dan kemewahan Bani Umayah, bila
beliau berjalan, ia dikawal oleh budak-budak dan pengawal beliau tidak mau
membungkukkan badan ke arah alas kakinya, jika ujung kainnya yang mahal
masuk ke dalam alas kakinya, maka beliau akan menarik dan merobeknya, jika
selendangnya yang sebelah jatuh dari pundaknya, maka dengan sombong beliau
enggan untuk mengangkatnya, beginilah penampilan Umar yang terlalu berlebihlebihan dan bermewah-mewahan sehingga banyak orang yang menganggapnya
sebagai manusia yang sombong. Umar bin Abdul Aziz memiliki warisan watak
yang keras dan tegas dari ibunya, beliau cenderung kepada penyimpangan ,
hingga budaknya sangat takut dengannya dan menaatinya dengan terpaksa.
Sebuah cerita yang membuat beliau tersadar dari kesombongannya, ketika beliau
mengetahui ada budak yang berani terhadapnya, beliau langsung memperlihatkan
sifatnya yang kerasnya, beliau langsung mencengkeram, memukul, dan
menendang budak tersebut. Budak tersebut meraung meminta pertolongan.
Setelah beberapa hari berlalu, budak tersebut memberanikan diri untuk bertanya,
“Apakah anda pernah berbuat sebuah kesalahan yang menyebabkan pencipta anda
marah?”. “Ya” jawab Umar. “Apakah Dia segera menghukum anda dengan
sebuah hukuman?”tanya budak tersebut. “Aku berharap tidak”. Jawab Umar.
“Kalau begitu, kenapa anda meyegerakan hukuman untukku padahal dia tidak
menyegerakannya untuk anda?”tanya budak itu lagi. Kemudian Umar malu, dan
secara lemah lembut Umar meninggalkannya sambil berkata “bangunlah!karena
sekarang engkau sudah kumerdekakan dengan mengharap Ridha Allah” (Al-Ahli,
2009: 14). Dibalik cara berjalannya, Umar bin Abdul Aziz yang sombong,
60
kemewahannya, dan juga sikap bengisnya, ternyata ia menyimpan mutiara yang
sempurna. Di balik sikap tegas dan kerasnya kepada pelayannya yang bersalah,
ternyata ia suka berbuat baik. Orang-orang yang mempunyai kebutuhan berharap
kebaikan darinya. Tidak ada yang membedakan diantara beliau dengan
pelayannya, atau merasa lebih hebat dibanding mereka. Mereka bergaul
dengannya sebagaimana pergaulan seorang saudaranya yang tidak memiliki
kekuasaan.
Abdul Malik melihat Umar bin Abdul Aziz sudah mencapai puncak
keilmuan yang tinggi, mampu untuk berijtihad serta memiliki harta yang banyak.
Pada saat itu, usianya sudah mencapai 20 tahun. Abdul Malik merasa bahwa
Umar bin Abdul Aziz sudah layak untuk memimpin sebuah daerah kecil supaya
belajar mencari pengalamannya. Maka beliau dijadikan Gubernur di Madinah.
Abdul Malik memberikan kekuasaannya kepada Umar bin Abdul Aziz di wilayah
Khanasirah. Umar bin Abdul Aziz kemudian dipecat dari jabatannya sebagai
seorang gubernur dikarenakan beliau selalu diliputi perasaan bersalah, beliau telah
menghukum seseorang bernama Khubaib sampai meninggal, hal tersebut
menyebabkan pemecatan terhadap dirinya, dan beliau digantikan oleh Utsman bin
Hayyan al-Marri.
Namun Pada masa kekhalifahannya dianggap sebagai kesejahteraan untuk
seluruh negeri. Khalifah Umar bin Abd Aziz yang terkenal berpribadi shalih dan
cinta kepada ilmu pengetahuan sangat berkeinginan untuk segera menghimpun
hadis. Keinginan itu sudah muncul sebenarnya ketika dia masih menjabat sebagai
Gubernur di Madinah pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Umar
61
pernah dipecat oleh Khalifah Walid sebagai gubernur Madinah karena
perselisihannya dengan Al-Hajjaj dikarenakan ketidaksetujuan Umar terhadap
sikap Al-Hajjaj yang akan memecat Sulaeman Ibnu Abdul Malik dari
kedudukannya sebagai putra mahkota dan akan mengangkat putera Walid sendiri.
Ketika Sulaeman Ibnu Abdul malik menjadi khalifah, beliau mempunyai seorang
putera bernama Ayub, dialah yang akan dicalonkan sebagai khalifah, namun Ayub
meninggal sebelum waktunya. Khalifah Sulaeman kebingungan tentang siapakah
yang akan menjadi khalifah pengganti dirinya, ketika beliau sedang sakit, beliau
meminta kepada wazirnya, Ibnu Haiwah tentang siapakah yang akan mengganti
dirinya. Syalabi telah menceritakan kisah perjalanan Umar bin Abdul Aziz hingga
menjadi khalifah. Sulaeman menanyakan pendapat wazir tentang Umar bin Abdul
Aziz. Wazir menyatakan pujiannya atas pribadi Umar, dan menganjurkan kepada
Sulaeman untuk mengangkat Umar sebagai penggantinya. Dan Umar sendiri
karena cerdiknya segera mengetahui bahwa Sulaeman bermaksud mengangkatnya
sebagai penggantinya. Maka segeralah ia datang kepada Wazir seraya berkata :
“Hai Wazir, menurut pandanganku Khalifah sudah mendekati ajalnya, dan beliau
tentu akan menunjuk penggantinya. Oleh karena itu, dengan mempersaksikan
kepada Tuhan, aku minta kepadamu, seandainya Khalifah menyebut-nyebut
namaku sehubungan dengan itu, agar engkau menghalang-halangi, dan kalau dia
menyebut-nyebut namaku janganlah pula engkau mengingatkan kepadanya”.
Wazir berusaha untuk mengalihkan perhatian kepada Umar dari pembicaraan
mengenai masalah itu, maka ia berkata, “ Aku benar-benar tidak mengira bahwa
engkau akan menyangka semacam itu. Apakah engkau kira bahwa keluarga Abdul
62
Malik akan mengikutsertakan engkau dalam urusan mereka? Demikianlah Wazir
menipu Umar. Dan karena ini Umar menjadi tenang. Sesudah itu, Wazir tidak
pernah berbicara lagi mengenai masalah itu. Tetapi dalam pada masalah itu sudah
diatur sedemikian rupa. Sesudah Sulaeman wafat. Wazir menutup berita tentang
wafatnya Sulaeman, lantas ia mengumpulkan rakyat dan dimintainya untuk
bai’ah. Sesudah itu, raja memberitakan tentang wafatnya Sulaeman, dan
dibukanya surat piagam yang telah ditulis Sulaeman sebelum wafatnya.
Diumumkannya bahwa Umarlah Khalifah yang baru (Syalabi, 2000: 103)
Pada pidato pertama setelah dibaiat, Khalifah Umar bin Abdul Aziz
berkata “Saudra-saudara, sungguh aku telah ditimpa Ba’la dengan kedudukanku
ini, yang telah kuperoleh tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan diriku,
tidak pernah kuminta dan tidak pernah pula dimusyawarahkan dengan kaum
muslimin. Dan kini aku melepaskan Bait kepadaku dan melingkungi leher kalian,
maka pilihlah bagi diri kalian dan urusan kalian siapa saja yang kalian inginkan”.
Maka secara serentak para hadirin berteriak “kami telah memilih anda bagi diri
kami dan urusan kami, dan kami semua ridha dengan anda”. Mendengar itu pun ia
menerima jabatannya dan berkata “sesungguhnya umat ini tidak pernah bertengkat
dengan tentang Tuhannya, kitabnya atau Nabinya, tetapi mereka itu bertengkar
akibat Dinar dan Dirham. Demi Allah aku tidak akan memberikan seseorang
secara batil dan tidak akan menahan suatu hak bagi seseorang”. Kemudian
Khalifah meninggikan suaranya “Wahai manusia, barangsiapa menaati Allah,
maka dia wajib ditaati, dan barangsiapa bermaksiat kepada Allah, maka tidak ada
ketaatan baginya. Taatlah kepadaku sepanjang aku taat kepada Allah, dan apabila
63
aku bermaksiat kepada Allah maka tidak ada kewajiban ketaatan kalian
kepadaku” (Al-Maududi, 1988: 243). Pemerintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz
berlangsung tahun 99 H. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan kepada
seluruh pejabat dan ulama yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya
untuk mengumpulkan hadis. Riwayat Muhammad bin al-hasan bahwa Umar bin
Abdul Aziz menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin
hazm. Instruksi itu berbunyi “Lihat dan telitilah hadis-hadis Rasulullah,
sunahnya, hadis Umar atau sebagainya, lalu tulislah, karena aku takut akan hilan
dan punahya ilmu disebabkan meninggalnya ulama” (Syuhbah, 1994: 19).
Kemudian Umar menjadi khalifah, pada saat itu pulalah merupakan
pembeda kehidupan antara hidupnya yang lama dengan hidupnya yang baru. Saat
pengangkatannya menjadi khalifah, rakyat telah putus terhadap keadilan, orang
yang dirampas tidak bisa menuntut haknya. Ketika sang Khalifah datang, beliau
tidak menerima semua bentuk kezaliman,
Khalifah Umar bin Abdul Aziz
menghapus semua itu. Selama masa pemerintahannya Khalifah memberikan
contoh kehidupan yang sederhana dan Zuhud, sebelum menjadi khalifah, Khalifah
dikenal sebagai orang yang bon viveur (dilahirkan dalam kondisi serba
berkecukupan), beliau menyadari bahwa keluarganya wajib menjalankan
pemerintahan secara islami. hidupnya sangat mewah, badannya penuh wewangian
yang semerbak, namun setelah menjadi khalifah, hal itu ditinggalkannya, bahkan
pelayan-pelayan istananya menjauh karena sikap Khalifah yang tidak seperti
khalifah-khallifah sebelumnya. Beliau menjual semua perlengkapan, perhiasan
istana untuk dishadaqahkan ke Baitul Mal. Khalifah Umar menerapkan sistem
64
pemerintahannya tanpa diskriminasi, semua masyarakat atau umat muslim
memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Baik Arab ataupun bukan Arab
dimasukkan ke dalam satu umat (Shaban, 1993: 195).
Abu Bakar Al-Jazairy menyebutkan bahwa
Hakikat kefaqihan dan keilmuan beliau ini akan nampak sekali dalam
kata-kata hikmahnya, nasehat-nasehatnya, dan wasiat-wasiatnya yang
mengangkat kedudukan beliau setara dengan al-khulafa’ar-rasyidin,
sehingga beliau ditempat pada tempat kelima, dan menyamai Umar bin
Khattab dalam segi keadilannya yang menyebabkan beliau digelari sebagai
Umar ats-Tsani (Umar bin Khattab yang kedua) (Al-Jazairy, 2001)
Hal tersebut diperkuat oleh bukti-bukti tentang perjalanan hidup Umar bin
Abdul Aziz. Dijelaskan oleh sebagian orang yang dekat dengan beliau atau dekat
dengan keluarga beliau bahwa ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi
khalifah, maka mereka mendengar beliau menangis di kamarnya. Beliau berkata, “
Sungguh telah dibebankan kepadaku suatu urusan yang akan menyibukkanku dari
memperhatikan kalian, maka kalau ada orang yang senang aku melepaskannya
niscaya aku akan melepaskannya dan kalau ada orang yang berkehendak untuk
menjabatnya. Niscaya aku akan menyerahkannya”. Bukti selanjutnya adalah
kesaksian dari Umar bin Muhajir, salah seorang anggota keluarga Umar bin Abdul
Aziz, Muhajir berkata, “ Umar bin Abdul Aziz berkata kepadaku bahwa jika kamu
melihatku telah menyimpang dari kebenaran, maka letakkanlah tanganmu di
pundakku dan menggoyangkannya, lalu katakanlah olehmu, wahai Umar,
janganlah hal itu kamu perbuat”. Selama khalifah Umar bin Abdul Aziz
memerintah, apa yang telah dilakukannya menunjukkan bahwa beliau merupakan
seorang penguasa yang memperhatikan rakyat.
65
Sebagaimana yang dikatakan oleh sementara kaum orientalis barat, bahkan
ia juga seorang muslim yang mengetahui berbagai persoalan sampai
sekecil-kecilnya dan mencurahkan perhatian besar kepada masalah
perbaikan umat dan rakyatnya. Akan tetapi, sayang, masa kekhalifahannya
tidak lama karena ia keburu wafat. Kekhalifahannya kemudian digantikan
oleh Yazid II (Amin, 1993: 105).
Selain Umar bin Abdul Aziz, khalifah-khalifah Muawiyah terkenal dalam
sejarah sebagai khalifah yang mementingkan kedudukan dan materi, jauh dari
kezuhudan seperti Khulafaur Rasyidin (Praja, 1994: 5). Dinasti umayah di Syria
(Damaskus) berkuasa selama 91 tahun, Khalifah yang terdiri dari 14 orang.
Khalifah yang dianggap memajukan Islam adalah Abd al- Malik dan Umar bin
Abdul Aziz yang menurut sebagian riwayat termasuk Khulafaur Rasyidin
(Mubarok, 2003: 121). Jika kita ingin menambahkan atau mencari lagi tentang
bukti-bukti yang menunjukkan kefaqihan dan keilmuan Umar bin Abdul Aziz
sehingga beliau digelari sebagai Umar bin Khattab yang kedua, Al-Jazairy
menambahkannya dengan kesaksian yang diberikan oleh Maimun bin Mahran “
banyak para ulama yang belajar bersama dengan Umar bin Abdul Aziz”. Khalifah
Umar bin Abdul Aziz hanya memiliki satu pakaian, seandainya pakaiannya yang
satu dicuci, maka masih ada pakaian yang keduanya, seorang khalifah yang
mengorbankan dirinya untuk masyarakat kaum muslimin. Beliau tidak
membolehkan dirinya yang suci untuk memakai harta negara untuk membeli
pakaian pengganti, khalifah yang sangat tinggi derajatnya.
Salah satu keterangan yang menunjukkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
layak untuk disejajarkan dengan seorang Khulafaur Rasyidin, yaitu kesaksian
Maslamah bin Abdul Malik (saudara istri Umar bin Abdul Aziz) berkata, “ Aku
datang mengunjungi Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit di rumahnya, aku
66
melihat beliau memakai pakaian yang kotor”. Kemudian Maslamah menyuruh
Fatimah (istri Umar bin Abdul Aziz) untuk segera mencuci pakaian Umar.
Keesokannya, maslamah menjenguk Umar kembali, maslamah melihat Umar
masih memakai pakaian yang kotor kemudian maslamah berkata kepada
saudaranya dengan keras “ fatimah, bukankah sudah kusuruh engkau mencuci
pakaian Amirul Mukminin, karena orang-orang akan menjenguk beliau?”.
Fatimah menjawab dengan sedih, “demi Allah, beliau tidak punya pakaian selain
itu.”. Keterangan-keterangan yang mengemukakan tentang prestasi Khalifah
Umar bin Abdul Aziz adalah keterangan Badri Khaeruman, beliau berkuasa
dengan penuh keadilan dan penuh kezuhudan, beliau merupakan figur yang
dimisalkan sebagai orang yang diridhai Allah SWT, Al-Syafii menyatakan bahwa
ia termasuk Khulafaur Rasyidin yang kelima, setelah Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali (Khaeruman, 2004: 179).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz merupakan khalifah yang memberikan
contoh-contoh dalam menegakkan keadilan sehingga beliau disetarakan
kedudukannya dengan kedudukan Khulafaur Rasyidin dan juga namanya
disandingkan dengan kakeknya, khalifah Umar bin Khattab. Salah satu contoh
dari keadilan beliau digambarkan dengan sebuah cerita sebagai berikut. Dalam
suatu riwayat dijelaskan bahwa salah seorang staf Umar menulis surat kepada
beliau yang isinya menyatakan bahwa “sesungguhnya budak perempuan kami
telah pergi, seandainya Amirul Mukminin memerintahkan agar kami melakukan
suatu tindakan untuk menindaknya niscaya kami akan melakukannya”. Kemudian
Umar bin Abdul Aziz membalas surat tersebut, yang isinya sebagai berikut
67
“Amma Ba’du, sungguh aku telah memahami isi suratmu yang menjelaskan
bahwa budak perempuan kita telah pergi. Maka setelah membaca suratku ini,
hendaknya kamu memperlakukan secara adil dan bersihkanlah jalan-jalannya dari
kezhaliman, karena itulah tujuan yang dikehendakinya (Al-Jazairy, 2001). Ketika
berperang Khalifah Umar bin Abdul Aziz melarang pasukannya untuk membunuh
perempuan,
anak-anak
tawanan,
dan
orang-orang terluka.
Beliau
juga
membolehkan para tawanan untuk membelanjakan apa yang mereka kehendaki
jika memang itu adalah uang mereka. Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak pernah
membunuh tawanan.
Tokoh Khalifah Umar bin Abdul Aziz merupakan tokoh yang berbeda
dengan tokoh-tokoh Bani Umayah yang lainnya, hal itu terlihat dari perjalanan
politiknya yang menghindari penindasan. Di dalam pemerintahannya beliau
dikelilingi oleh para ulama fiqih yang mendalam pengetahuannya tentang Islam.
Beliau selalu mengajak para ulama fiqih untuk bermusyawarah dalam
menyelesaikan masalah terutama dalam masalah hukum Islam. Ketika awal masa
kekhalifahannya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa memperbaiki
keadaan negeri-negeri yang telah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Islam lebih
baik daripada memperluas wilayah kekuasaan. Akibatnya, beliau segera
memerintahkan komandan pasukannya untuk segera menghentikan gerakannya
dalam memperluas wilayah kekuasaan Islam, beliau juga mengadakan pendekatan
dengan kaum Alawiyyin yaitu orang-orang keturunan ahli bait Rasulullah SAW
yang pada zaman sebelumnya selalu dikejar-kejar dan ditindas oleh para penguasa
bani Umayah sebelum Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kaum Alawiyyin atau
68
disebut dengan keturunan Ali bin Abi Thalib diajak berdamai dan diperlakukan
dengan baik. Khalifah Umar bin Abdul Aziz melarang orang-orang untuk
mencaci-maki kaum Alawiyyin yang selama ini selalu didengung-dengungkan
setiap hari Jumat di atas mimbar (Syalabi, 2000: 116).
Kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
ini yang membedakannya dengan penguasa-penguasa bani Umayyah yang
sebelumnya. Amin menambahkan tentang kebaikan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz, Ia mengembalikan sebidang tanah di fadak kepada kaum Alawiyyin
(keturunan Ali), yaitu sebidang tanah yang ketika Rasulullah SAW masih hidup
dihususkan untuk beliau, tetapi setelah beliau wafat oleh Abu Bakar dan Umar
Umar bin Khattab tidak diserahkan kepada putri beliau, Siti fatimah r.a dan
keturunannya sebagai warisan atas dasar sabda Rasulullah SAW; “kami para nabi
tidak mewariskan. Apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah” (Amin, 1993:
104).
Keadaan perekonomian pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
sangatlah menakjubkan. Boleh dikatakan bahwa jika warga yang ingin
mengeluarkan zakat sangatlah sukar orang yang ingin menerima zakat. Ibnu Abdil
hakam meriwayatkan ucapan salah satu putera-putera yazid Ibnul Khattab yang
berkata : “Umar menduduki singgasana Khilafah hanya dua setengah tahun.
Tetapi dalam masa yang singkat itu, beliau berhasil membuat rakyatnya menjadi
kaya dan makmur, sehingga orang yang mengeluarkan zakat terpaksa mondarmandir kesana kemari mencari orang yang pantas menerimanya, namun tidak
berhasil menemukannya. Akhirnya, orang tersebut kembali lagi ke rumahnya
69
dengan membawa zakat yang akan dibagikannya”. Yahya Ibnu Said juga
membawakan suatu riwayat yang ceritanya hampir sama, Khalifah Umar bin
Abdul Aziz telah mengutus aku ke Arika Utara untuk membagi-bagikan zakat
penduduk disana, maka aku laksanakanlah perintah itu. Lalu, aku carilah orangorang fakir miskin untuk kuberikan zakat itu pada mereka. Tapi, kami tak
mendapatkan seorangpun juga. Dan kami tak menemukan orang-orang yang mau
menerimanya. Umar betul-betul telah menjadikan rakyatnya kaya. Akhirnya
kubeli dengan zakat itu beberapa orang hamba sahaya yang kemudian
kumerdekakan (Syalabi, 2000: 114).
Selain itu juga, Khalifah Umar bin abdul Aziz mengadakan pendekatan
dengan kaum Nasrani, beliau memperingan pajak kepada kaum nasrani di Cyprus
dan Eilah (dekat laut merah). Beliau memperlakukan kaum Mawali atau bekasbekas budak yang telah memeluk agama Islam seperti memperlakukan kaum
muslimin Arab, beliau beliau membebaskan pajak yang ketika pada masa
Khalifah Umar bin Khattab ditetapkan dikenai pajak (Amin, 1993: 104). Beliau
juga mengizinkan kaum muslimin untuk memiliki tanah-tanah lahan di negeri
yang termasuk di dalam wilayah kekuasaan Islam, kepemilikan tanah pada masa
kekuasaan khalifah Umar bin khattab tidak diperbolehkan dan menjadikannya
sebagai milik negara. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memecat gubernur-gubernur
dan amil-amil yang zalim. Usamah Ibnu Zaid at- Tnukhi, amil zakat di Mesir
yang zalim dan tindakannya yang melampaui batas. Sebelum wafatnya Khalifah,
pembantu-pembantunya telah meninggal lebih dulu, yaitu Sahal, saudaranya,
kemudian Abdul Malik, puteranya, serta Muzahim, wazirnya. Dalam menjalankan
70
kekuasaannya itu, beliau menjauhi cara hidup raja seperti apa yang dilakukan oleh
keluarga dan nenek moyangnya, dan memilih bagi dirinya cara hidup seperti apa
yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin, beliau mengembalikan semua harta yang
yang diwarisinnya sendiri dengan cara yang tidak sesuai dengan syariah, sampaisampai ia mengembalikan seluruh perhiasan istrinya ke Baitul mal (Al-maududi,
1988: 244). Tidak ada seorangpun yang kembali ke baitul mal kecuali ia
mengambil sesuai haknya. Tetapi, ada penjaga dan petugas yang menghitung
perbendaharaan harta kaum muslimin di Baitul mal. Apabila ada harta yang
kurang tanpa ada kecurangan, maka penjaga Baitul mal menggantinya dengan
harta pribadinya. Tidak ada orang terdekat umar bin Abdul Aziz yang menyuruh
untuk mengambil harta, tanah maupun hewan dari Baitul mal kecuali sesuai
dengan hak mereka. Sifat yang paling indah yang diperlihatkan oleh Khalifah
Umar bin abdul Aziz yaitu ketika beliau menolak anaknya yang hendak menikah
menggunakan uang dari Baitul mal (Al-Ahli, 2009: 165-166).
Yazid Ibnu Abi Muslim, gubernur Afrika Utara dan Shalih Ibnu
Abdirrahman, gubernur Iraq, dan As Tsaqafi, gubernur Andalus. Khalifah
mengawasi setiap kegiatan para gubernurnya dengan cara yang tidak pernah
dilakukan oleh para khalifah sebelumnya, yaitu beliau tidak mengangkat pejabatpejabat yang diberi kekuasaan penuh, kemudian beliau tidak mempercayakan
kepada pembantu-pembantunya, beliau hanya meminta kepada para gubernurnya
agar melaksanakan perintahnya yang dikeluarkannya secara rinci. Khalifah Umar
bin Abdul Aziz meninggal dunia saat badannya menjadi kurus karena terlalu
banyak mencurahkan tenaganya dan terlalu mengekang nafsunya hingga hidupnya
71
menderita. Dalam suatu riwayat bahwa Yunus Ibnu Abi Syuhaib pernah
menceritakan “dulu kulihat Umar bin Abdul Aziz, ikat sarungnya tenggelam
dalam lipatan-lipatan perutnya karena gemuknya, namun setelah menjadi khalifah
kulihat tulang-tulang rusuknya dapat kuhitung”. Dan Fatimah, istri Umar pernah
berkata “aku tak pernah melihatnya mandi, membersihkan dirinya dari janabah
atau mimpi, sejak ia diangkat menjadi khalifah sampai pada waktu wafatnya”
(Syalabi, 2000: 117).
Masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz merupakan nikmat dan
kebaikan bagi kaum muslimin, kemajuan dinasti Muawiyah terjadi pada masa
pemerintahan Muawiyah bin Abu Sofyan sampai kepada pemerintahan Hisyam
bin Abdul Malik, sedangkan pemerintahan setelah Hisyam adalah kemunduran
bagi Muawiyah. Kemapanan peradaban Islam pada masa dinasti Muawiyah terjadi
pada masa Muawiyah bin Abu Sofyan, Abdul malik bin Marwan dan Umar bin
Abdul Aziz, secara umum peradaban Islam telah berkuasa pada masa dinasti
Muawiyah sampai kepada puncaknya dibandingkan peradaban pada masa
sebelumnya Amin (Thohir, 2004: 37). Dan pada saat itu pulalah merupakan titik
terakhir bagi kegemilangan Daulah bani Umayah, hal tersebut karena dua hal,
pertama, kaum muslimin telah mengenal keadilan pada masa khalifah Umar bin
Abdul Aziz, maka sepeninggal Khalifah warga tidak sanggup menghadapi
penindasan pada masa khalifah selanjutnya. Kedua, kebencian Khalifah terhadap
penumpahan darah telah memberikan kesempatan yang baik bagi golongan Syiah
untuk menyusun kekuatan untuk menghancurkan bani Umayah.
72
Abu Ja’far al-baqir berkata; Bani Umayah yang berada di bawah
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai
umat yang bersatu. Mujahid menyatakan; kami mendatanginya untuk berguru
kepadanya. Kami tidak meninggalkannya sehingga kami memperoleh ilmu
darinya (Khaeruman, 2004: 180). Pemerintahannya memberikan suatu pertanda
yang membahagiakan rakyat. Ketakwaan dan kesalehannya patut menjadi teladan,
dan kesibukan dalam hidupnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya. Oleh kaum Muslimin, ia dianggap sebagai Khulafaur Rasyidin yang
kelima. Beliau merupakan lambang kesederhanaan. Begitu besar kesalehannya,
kaum Khawarij pun mengakuinya sebagai salah seorang Khalifah yang sah.
Khalifah yang saleh dan jujur (Mahmudunnasir, 1981: 227). Pada masa Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, meskipun sama sekali tidak terjadi peristiwa-peristiwa
yang menggemparkan, betul-betul menarik karena ada hal yang mulia dari ciri-ciri
pemerintahannya. Ciri yang menyolok dalam administrasi pajaknya adalah
dihidupkannya kembali sistem yang lama diperkenalkan oleh khalifah Umar bin
Khattab. Beliau melarang pemilikan tanah oleh orang-orang Islam di negeri asing.
Tetapi, khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak berhasil dalam kebijakan
keuangannya. Karena perbendaharaan negara benar-benar kosong dikarenakan
pembebasan pajak dan bertambahnya orang-orang
yang masuk
Islam.
Kebijakannya dapat dikatakan menghancurkan sistem pemerintahan karena
kecintaan Khalifah terhadap sistem perpajakan lama tidak cocok dengan situasi
waktu itu. Meskipun dengan niat yang baik, namun kebijakan khalifah Umar bin
Abdul Aziz tidak berhasil. Khalifah Umar bin Abdul Aziz meninggal dunia dalam
73
usia 39 tahun dan dimakamkan di Dair Simon dekat Hims. Beliau meninggal pada
bulan Rajab tahun 101 Hijriah. Jasad Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikuburkan
di tempat yang beliau telah beli sebelumnya.
Dalam catatan penulis Tarikh yang lain, dinyatakan bahwa Khalifah Umar
bin Abdul Aziz meninggal akibat diracun oleh pembantunya, namun hal itu
dilakukan atas perintah adiknya yang ingin merebut kekuasaan darinya. Perbuatan
adik iparnya ini telah membuat kondisi kesehatan Khalifah menurun dari hari ke
hari. Pembantu yang meracuninya diberi hukuman yang ringan oleh Khalifah,
yaitu disuruh pergi dan Khalifah memberinya bekal secukupnya.
TEMPAT WAFATNYA KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ
74
SUMBER
:http://abqari.com/Images/umar%20ibn%20abdul%20aziz%20(place%20of%20de
ath).jpg
2. Kodifikasi Hadis Pada Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Khalifah Umar bin Abdul Aziz hidup pada masa pemerintahan Amawiyah,
sebelum masa pemerintahannya, daerah Islam meluas sampai ke jazirah Arab.
Akibatnya, banyak para sahabat yang berpencar ke daerah-daerah untuk
mengembangkan islam. Pada masa ini juga para sahabat banyak yang meninggal
dunia karena usia yang sudah tua dan juga karena peperangan, hal ini berarti
bahwa pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz jumlah para sahabat sangatlah
sedikit dan terpisah ke daerah-daerah, padahal pada saat itu hadis belum dapat
dikodifikasi. Hal tersebut diperparah dengan munculnya hadis palsu (hadis
maudhu) yang sudah tentu akan sangat mengancam kelestarian ajaran islam yang
benar (Ismail,1994: 101). Khalifah-khalifah Muawiyah merupakan orang-orang
yang mementingkan kedudukan dan materi, jauh dari kezuhudan yang dilakukan
oleh Khulafaur Rasyidin, namun semua khalifah Muawiyah tersebut hanya ada
satu yang berbeda dengan yang lainnya, yaitu Umar bin Abdul Aziz (Rahiem,
1992: 11). Setelah agama Islam tersebar luas sampai kepada luar jazirah Arab,
para sahabat mulai berpencar ke beberapa wilayah, pada saat itu banyak juga para
sahabat yang meninggal dunia, dari hal tersebut mendorong para ulama untuk
75
membukukan hadis. Terdoronglah hati khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
berkuasa pada waktu itu untuk menulis dan membukukan hadis.
Pada awal pembukuan dan pengumpulan hadis, pengumpulan hadis
dilakukan dengan tidak adanya klasifikasi, sehingga hadis-hadis itu baik yang
sahih, hasan maupun dhaif bahkan fatwa sahabat dikumpulkan, hal tersebut
berakibat kepada orang-orang yang taraf ilmu pengetahuannya masih rendah tidak
dapat memilah-milah hadis itu. Ulama-ulama yang berusaha mengumpulkan dan
membukukan hadis sesuai dengan perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya
terbatas hanya di kota atau wilayah masing-masing. Tokoh itu adalah Az-Zuhri,
setelah itu usaha pengumpulan dan pembukuan hadis terus dilakukan. (Nata,
1998: 165) Az-Zuhri, beliau dianggap telah berjasa menyebarkan hadis kepada
masyarakat Islam sehingga menembus berbagai zaman. Hal ini diakui oleh Imam
Malik Ibn Anas bahwa Az-Zuhri adalah orang yang pertama kali membukukan
hadis. Hudhari Bek, penulis tarikh Tasyri al- Islami mengakui bahwa Imam Malik
banyak menampung hadis-hadis yang telah dikumpulkan Az- Zuhri. Pembukuan
hadis pada masa ini dimulai dengan mengadakan pentadwinan dengan
memasukan berbagai hadis, maupun fatwa sahabat dan Tabiin. Demikian juga
dengan hadis shahih, hasan dan dhaif. Kitab yang muncul pada masa ini umumnya
tidak sampai kepada umat generasi berikutnya, kecuali kitab al-Muwaththa karya
Malik Ibn Anas. Kitab ini merupakan kitab terbesar pada masanya yang disusun
dengan sistem Tashnif, yaitu meletakkan hadis yang ada hubungannya dengan
hadis lain dalam satu bab, kemudian dikumpulkan. kitab ini mendapat perhatian
76
dari pemerintah dan ulama, terbukti dengan adanya usaha memperluas bahasan
kitab dengan munculnya kitab ringkasannya (Khaeruman, 2004: 39-51).
C. Proses Kodifikasi Hadis
1. Latar Belakang Kodifikasi Hadis
Khalifah umar bin abdul aziz meriwayatkan hadis-hadis dari ayahnya,
Abdul Abdul Aziz bin Marwan, dan juga dari kakeknya, Umar bin Khattab, ,
Umar bin Abi Salamah, Said dan Yusuf bin Abdullah bin Salam, Ubadah bin
Samit, Tamim ad-Dhari, dan Muhirah bin Syubah. Beliau meriwayatkan pula dari
Said bin al-Musayyib, Abdullah bin Ibrahim bin Qarizh, Urwah bin Zubair, Amir
bin Saad bin Abi Waqqash, Abu Burdah, Arak bin Malik, Zuhri, Muhammad bin
Kaab, Mamtur al- Habsyi, dan dari Abu Hazim. Umar bin Abdul Aziz sering
mensanadkan hadisnya dan meriwayatkan dari sahabat dan tabiin, beliau bukan
hanya belajar riwayat saja tanpa hadis tetapi beliau memiliki kapasitas ilmu
sunnah yang besar. Banyak dalil-dalil hadis yang beliau hafal, beliau banyak
mengeluarkan pendapat-pendapatnya berdasarkan hadis-hadis, bahkan ia telah
mampu mencapai derajat berijtihad. Banyak kalangan ahli hadis yang setuju
dengan pendapatnya dan mengambil hadis darinya, para ahli hadis banyak
mengunjungi Umar bin Abdul Aziz, meminta fatwa, bahkan setiap beliau
memberikan fatwa, para ahli hadis sangatlah puas (Al-Ahli, 2009, 20-21.
Kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh para sahabat adalah menghimpun
informasi syariat Islam, memelihara otentisitas Al-Qur’an dan Sunah. Karena Al-
77
Qur’an sudah direkam dengan baik, maka tugas selanjutnya adalah merekam
sunahnya, bagi yang berkepentingan menggali ilmu Fiqih, maka mencatat sunah
berarti mencatat fiqih juga (Zuhri, 1996: 86). Kenapa hadis harus dikodifikasi?
Inisiatif khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk segera mengumpulkan hadis dilatar
belakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan menyebarluaskan hadishadis palsu dikalangan umat Islam, baik yang dibuat oleh umat Islam sendiri
karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja
untuk menghancurkan Islam dari dalam, Kodifikasi Hadits itu justru dilatar
belakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan menyebarluaskan haditshadits palsu dikalangan umat Islam, baik yang dibuat oleh ummat Islam sendiri
karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja
untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini ternyata masih
banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literatur kaum
Muslimin. Di samping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang
berkembang dikalangan masyarakat Islam, berupa anggapan terhadap pepatahpepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits. Sunah atau hadis
tidaklah dicatat pada masa Rasulullah SAW, tetapi hanya dihafal oleh para
sahabat saja, beda dengan Al-Qur’an karena pada waktu itu para sahabat merasa
khawatir terjadi percampurbauran antara hadis dengan Al-Qur’an. Setelah
Rasulullah SAW wafat timbullah kesulitan-kesulitan
- sahabat-sahabat yang hafal hadis banyak yang meninggal dunia akibat
peperangan atau pindah ke negeri-negeri lain.
- hadis yang dihafal, dikhawatirkan ada kata-kata yang berkurang atau
berlebih
- dikhawatirkan timbul hadis-hadis palsu
78
- dikhawatirkan perkataan-perkataan yang diucapkan pemimpin diangggap
hadis (Ramulyo, 1997: 70).
Dari hal tersebut maka timbullah hasrat dari khalifah Umar bin Abdul
Aziz untuk segera menuliskan sunnah Rasulullah SAW. Pada masa Khalifah
Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar ahli-ahli untuk mengumpulkan hadis
yang dilaksanakan oleh Az-Zuhri tetapi dalam hal ini pengumpulan hadis masih
ada hadis yang hasan dan Dhaif yang masih bercampur baur dengan hadis sahih.
Menurut Ismail (1994: 101) bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz melihat
bahwa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin tidak membukukan hadis Rasul,
diantaranya karena disebabkan oleh kekhawatiran terjadinya percampuradukan
Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an. Sedangkan pada masa khalifah Umar
bin Abdul Aziz memerintah, Al-Qur’an sudah terkodifikasi dengan lestari dan
resmi. Dengan demikian, maka bila hadis-hadis dapat dikodifikasi tidak akan
mengganggu kemurnian Al-Qur’an. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut,
maka pada penghujung tahun 100 Hijriah, khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis
surat instruksi kepada para gubernurnya dan juga kepada para ulama untuk
mendewankan/ membukukan hadis.
Latar belakang dan motif khalifah Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan
instruksi kepada para gubernurnya dan kepada para ulama untuk segera
mendewankan hadis diantaranya adalah
1.Al-Qur’an telah dibukukan dan telah tersebar luas, sehingga tidak
dikhawatirkan lagi akan bercampur dengan hadis
79
2. telah makin banyak para perawi/ penghafal hadis yang meninggal dunia. Bila
dibiarkan terus, maka hadis akan terancam punah. Olehnya itu, perlu segera
dibukukan
3. daerah Islam makin meluas. Peristiwa-peristiwa yang dihadapi oleh umat Islam
bertambah banyak dan kompleks. Ini berarti memerlukan petunjuk-petunjuk
dan hadis-hadis Rasul disamping petunjuk Al-Qur’an
4. pemalsuan-pemalsuan hadis makin menghebat. Kalau hal itu dibiarkan terus,
akan terancam kelestarian agama Islam yang benar. Maka langkah segera yang
harus diambil ialah membukukan hadis dan sekaligus menyelamatkannya dari
pengaruh-pengaruh pemalsuan (Ismail, 1994: 103).
Drs. Munzier Suparta M.A menambahkan bahwa sekurang-kurangnya ada
dua hal pokok yang melatarbelakangi kodifikasi hadis. Pertama, ia khawatir akan
hilangnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama karena peperangan.
Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan
hadis-hadis palsu. Selain itu juga, dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam,
sementara kemampuan para Tabi’in berbeda, dari hal itulah maka memerlukan
kodifikasi hadis (Suparta, 2002: 90-91). Dengan melihat berbagai persoalan yang
muncul dengan cukup lama, maka Khalifah mengambil tindakan untuk
menyelamatkan hadis dari kepalsuan, khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
tergolong khalifah yang berakhlak mulia dan adil, turut terlibat mendiskusikan
hadis-hadis yang dihimpunnya.
80
2. Proses Kodifikasi Hadis
Sesudah Umar bin al-Khaththab, tidak ada khalifah yang merencanakan
menghimpun hadis, kecuali khalifah Umar bin Abdul aziz Walaupun demikian
antara Umar binKhathab dan Umar bin Abdul Aziz tidak ada kegiatan sama sekali
untuk mengkodifikasi hadis. tidak sedikit, baik di kalangan sahabat Nabi maupun
tabiin yang telah melakukan pencatatan hadis. Akan tetapi pencatatan hadis itu
masih bersifat individu, dalam arti belum menjadi kegiatan kolektif yang
mendapat mandat dari pemerintah. Proses Kodifikasi hadis dapat disebut juga
dengan proses Tadwin Al-Hadis, proses kodifikasi hadis merupakan suatu proses
pembukuan hadis yang secara resmi dilakukan atas instruksi dari Khalifah Umar
bin Abdul Aziz, proses kodifikasi hadis ini dilakukan pembukuannya secara
besar-besaran dan disponsori oleh pemerintah (Khalifah Umar bin Abdul Aziz).
Beliau merasakan adanya kebutuhan untuk memelihara perbendaharaan sunnah.
Karena hal itulah beliau segera menginstruksikan dengan cara menyebarkan surat
perintah kepada seluruh wilayah kekuasaannya untuk segera menuliskan hadis
bagi siapa saja yang hafal hadis supaya hadis tidak akan hilang setelah masa
sesudahnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada salah satu
gubernurnya, yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm untuk segera
mengumpulkan hadis. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Abu
Bakar bin Muhammad bin Hazm yang isinya sebagai berikut “Perhatikanlah apa
yang ada pada hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir
akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau
terima selain hadits Nabi SAW” (Ainul Yaqin, 2005). Salah satu gubernur yang
81
menerima instruksi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mendewankan hadis
adalah gubernur dari Madinah bernama Abu Bakar Muhammad Ibnu Amr Ibnu
Hazm atau disebut juga dengan Muhammad Ibnu Hazm, selain sebagai seorang
gubernur, Muhammad Ibnu Hazm juga sebagai ulama (Ismail, 1994: 102).
Isi surat Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada Gubernur Muhammad Ibn
Hazm tentang perintahnya untuk pengkodifikasi hadis
Sumber : http://www.cybermq.com/gambarpustaka/3-1.gif
Pembukuan As-sunah ialah menulis hadis-hadis yang berhubungan dengan
sesuatu pembicaraan atau pokok masalah di tempat yang tertentu dan
berhubungan dengan pembicaraan yang lain di tempat yang tersendiri pula. Para
82
ulama menerangkan bahwa Ibnu hazm telah menulis beberapa kitab untuk
memenuhi perintah Khalifah, namun Khalifah Umar bin Abdul Aziz meninggal
sebelum ia menerima kitab-kitab yang telah dikumpulkan Ibnu hazm.
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm
untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman bin
Sasd bin Zaharah al- Anshariyah dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar alShiddiq. Proses pengumpulan Hadis ini dilakukan di madinah belum dapat
dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, dan hal ini
diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri yang terkenal
dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri (Ainul Yaqin, 2005). Muhammad bin
Muslim bin Syihab al-Zuhri, penulis sejarah hadis mengatakan bahwa sebelum
khalifah Umar bin Abdul Aziz berkuasa, orang Islam tidak berani menulis hadis
karena ada larangan waktu itu. Sebuah hadis yang selalu dijadikan dalil tentang
ini:
“Janganlah kalian menulis dari saya selain Al-Qur’an. Barangsiapa
menulis supaya menghapusnya. Ceritakan saja dari saya barangsiapa
berdusta atas nama saya diancam siksa neraka”
“diriwayatkan dari Abu Hurairah, katanya, Rasulullah SAW keluar,
mendapati kami menulis hadis-hadis. Beliau bertanya “apa yang kalian
tulis?”kami menjawab, “hadis-hadis yang kami dengar dari Engkau”, Nabi
berkata,”nabi berkata “Tulisan selain kitab Allah?Tahukah kamu,
tersesatnya umat sebelum kamu hanya disebabkan oleh penulisan mereka
akan berbagai buku bersama Kitab Allah” (Zuhri, 1996: 87-88).
setelah
beliau
berhasil
mendewankan
hadis
Rasul,
kemudian
beliau
menyebarkannya kepada penguasa-penguasa daerah. Dengan demikian maka
pelopor kodifikasi hadis yang dilakukan atas instruksi khalifah Umar bin Abdul
Aziz adalah Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan Muhammad bin Muslim
83
bin Syihab al-Zuhri. Tetapi, para ahli sejarah dan ulama hadis sepakat berpendapat
bahwa yang lebih tepat disebut sebagai pelopor kodifikasi hadis yang pertama
adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, alasannya adalah bahwa
Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri mempunyai beberapa kelebihan
dalam proses mengkodifikasi hadis
Dia dikenal sebagai Ulama Besar di bidang hadis, dibandingkan dengan
ulama-ulama hadis sezamannya
Dia mendewankan seluruh hadis yang ada di Madinah, sedang yang
dilakukan oleh Muhammad Ibnu Hazm, tidak mencakup seluruh hadis
yang ada di Madinah
Dia mengirimkan hasil pendewanannya kepada seluruh penguasa di
daerah, masing-masing satu rangkap, sehingga dengan demikian lebih
cepat tersebar (Ismail, 1994: 103).
Meskipun semenjak masa Nabi terdapat banyak sahabat mempunyai
tulisan hadis sesuai dengan kepentingannya masing-masing tetapi belum ada
perintah resmi dari pihak penguasa pada saat itu, itu sebabnya, Khalifah Umar bin
Aziz sebagai penguasa secara resmi memerintahkan penulisan hadis, tetapi, buku
hadis yang dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai
kepada kita. Dalam sejarah, tercatat bahwa ulama yang pertama kali membukukan
hadis adalah Az-Zuhri (Mubarok, 2003: 128). Imam Az-Zuhri adalah orang yang
pertama kali menghimpun istilah-istilah yang dipakai oleh para ahli hadis,
disampaikannya kepada umat dan memerintahkan para pengikutnya untuk
mengumpulkannya (Nurudin, 1994: 47). Proses kodifikasi hadis pada proses
pembukuannya belum tersistematika dengan baik seperti yang ada sekarang ini
tetapi hanya sekedar dihimpun, belum terklasifikasikan juga antara hadis Sahih
dan Dhaifnya. Instruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz itu berisi perintah agar
84
gubernur Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm segera mengumpulkan hadishadis yang ada pada penghafal-penghafal hadis di madinah, yaitu Amrah binti
Abdir rahman Ibnu Saad Ibnu Zurarah Ibnu Aedes, seorang ahli fiqih, murid
Sayyidah Aisyah ra dan Al-Qasim Ibnu Muhammad Ibnu Abu Bakar As-Shiddiq,
salah seorang pemuka Tabi’in dan salah seorang fuqaha tujuh, fuqaha tujuh
tersebut adalah : 1. Al-Qasim; 2. Urwah Ibnu Zubair; 3. Abu bakar Ibnu Abdir
Rahman; 4. Said Ibnu Musayyab; 5. Abdillah Ibnu Abdullah Ibnu Utbah Ibnu
Mas’ud; 6. Kharijah Ibnu Zaid Ibnu Tsabit; dan 7. Sulaiman Ibnu Yassar.
Dengan demikian, maka ciri-ciri sistem kodifikasi pada masa khalifah
Umar bin Abdul Aziz adalah bahwa hadis yang disusun dalam dewan-dewan
hadis, khususnya yang disusun oleh Muhammad Ibnu Hazm mencakup hadishadis Nabi saja (Maqthu). Muhammad Ibnu Hazm melakukan demikian
dikarenakan instruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menyatakan bahwa
“Janganlah kamu terima, selain dari hadis Nabi SAW” (Ismail, 1994: 102-106).
Kemudian hadis-hadis yang disusun belumlah dapat dipisahkan antara yang
berkualitas shahih, hasan dan Dhaif. Terdorong oleh kemauan keras untuk segera
mengumpulkan
hadis
sebanyak-banyaknya,
maka
mereka
tidak
sempat
menyeleksi apakah hadis-hadis tersebut merupakan hadis-hadis Nabi atau
termasuk di dalamnya Fatwa Sahabat dan Tabiin. Dengan demikian, hadis-hadis
yang dikodifikasi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz masih bercampur
antara hadis-hadis rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan Tabiin. Kitab-kitab
karya ulama belum dapat dipastikan antara hadis-hadis yang Marfu, Mauquf dan
85
Maqthu, dan juga belum dapat dipastikan antara hadis Shahih, Hasan dan Dhaif.
(Rahman, 1974: 55).
3. Dampak Kodifikasi Hadis Terhadap Perkembangan Hukum Islam
Sumber syariat islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Bedanya, Al-Qur’an
merupakan Kalam Allah (wahyu yang dibacakan langsung oleh malaikat Jibril),
maka langsung dicatat setiap kali turun, sedangkan sunnah tidak. Di masa
permulaan Islam pembagian ilmu agama Islam belum sampai ke arah ilmu Fiqih,
ilmu Tauhid, ilmu Akhlak, ilmu ilmu Filsafat dan ilmu Tasawuf, yang ada
hanyalah syariat Islam. Sebuah ajaran yang dibawa Rasulullah SAW, para sahabat
tidak mempunyai pikiran untuk membagi ilmu agama Islam. Berbagai jenis ilmu
tersebut muncul setelah orang Islam melihat syariat Islam dari aspek yang
berbeda-beda. Kegiatan yang dilakukan oleh para sahabat adalah menghimpun
informasi syariat islam, karena Al-Qur’an sudah direkam baik di masa Nabi, maka
tugas selanjutnya adalah merekam sunahnya. Pada periode Tadwin hadis atau
disebut sebagai periode pembukuan, merupakan periode yang menyatakan bahwa
hukum-hukum Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat. Periode ini
merupakan periode keemasan dalam sejarah pembentukan Islam. Pada masa ini
telah dimulai sebuah usaha penafsiran Al-Qur’an dan pengumpulan hadis,
mempelajari dan mendalaminya, menjaga kepalsuan dari pengaruh politik,
pengaruh golongan atau sebab-sebab yang lain (Praja, 1994: 6). Hukum Islam
telah menjadi matang dan berkembang. Khallaf telah menjelaskan faktor-faktor
yang melatarbelakangi berkembangnya hukum Islam pada saat itu
86
1.
wilayah kekuasaan pemerintahan Islam pada periode ini sudah sangat
luas. Kekuasaannya telah meliputi berbagai macam bangsa dengan latar belakang
tradisi dan strata sosial serta kepentingan yang berbeda-beda. Penduduk negara
yang luas ini sudah merupakan keharusan mutlak adanya Undang-undang yang
dijadikan pedoman
2.
para ulama dalam menetapkan perundang-undangan dan memberi fatwa
telah menguasai metode tasyri secara luas dan mudah.
3.
pada periode ini umat Islam sangat bersemangat dan antusias dalam
seluruh aktivitasnya, baik dalam hal ibadah, muamalah dan transaksi-transaksi
sosial lainnya agar penerapannya sesuai dengan kaidah Islam. Umat Islam ketika
menghadapi berbagai masalah hukum, mereka mendatangi para ahli hukum untuk
menanyakan dan meminta fatwa tentang hukum-hukumnya menurut syariat Islam.
Hal tersebut juga dialami oleh para pejabat tinggi negara, para hakim yang dalam
menghadapi berbagai kasus persengketaan sangat memerlukan para ahli hukum
atau ulama (Khallaf, 2001: 71-73).
Jaih Mubarok juga mengemukakan pendapatnya mengenai faktor-faktor
yang mendorong perkembangan hukum Islam. Pertama Perluasan Wilayah.
Ekspansi dunia Islam dilakukan sejak zaman Khalifah. Banyaknya daerah baru
yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang dihadapi umat Islam. Dengan
demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam.
Karena semakin luas wilayah yang dikuasai berarti semakin banyak penduduk di
negeri muslim, dan semakin banyak penduduk, semakin banyak pula persoalan
hukum yang harus diselesaikan. Kedua, munculnya dua aliran pemikiran hukum
87
Islam yang semakin mendorong perkembangan hukum Islam (Mubarok, 2000: 5455). Pada masa ini keadaan hukum Islam menurut Rachmat Djatnika disebut
sebagai masa yang merupakan pembentukan Fiqih Islami. Para Tabi’in telah
tersebar kemana-mana, ke berbagai negara dan kota-kota yang berbeda-beda. Pada
garis besarnya para ahli fiqih pada masa ini terbagi menjadi dua aliran, yaitu
aliran Hijaz dan aliran Irak. Aliran Hijaz merupakan aliran yang berpegang
kepada nash-nash As-sunah dan karena itu madrasah Hijaz disebut dengan
Madrasah Ahli hadis. Sedangkan madrasah Irak telah dipenuhi oleh kebudayaan
masyarakat yang para ahli Fiqihnya cenderung menggunakan Qiyas. Pada masa
ini telah dimulai suatu usaha pengumpulan Al-Hadis, mempelajari dan
mendalaminya menjaga kepalsuannya dari pengaruh politik atau pengaruh
golongan atau sebab-sebab yang lain (Rahiem, 1992: 12). Dengan situasi dan
kondisi seperti ini, jelas akan melahirkan kematangan bagi para ahli hukum Islam.
Suatu akal pemikiran yang baik dan matang ternyata bagaikan bibit unggul yang
akan menghasilkan buah yang baik karena ditanam di tempat yang tanahnya subur
dan baik, sangat mustahil jika bibit unggul yang ditanam di tempat tanah yang
tidak subur akan menghasilkan buah yang matang dan bagus. Sumber-sumber
hukum islam pada periode tadwin ini ada empat: yang pertama adalah Al-Qur’an,
kemudian yang kedua adalah sunah, yang ketiga adalah Ijma dan yang keempat
adalah Ijtihad dengan metode Qiyas atau Ijtihad dengan salah satu dari metode
Istimbat. Jika seorang ahli hukum mendapatkan suatu ketetapan hukum suatu
masalah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dengan Sunah, maka dia harus
berpedoman kepada ketetapan Al-Qur’an dan Sunah. Dan kalau ahli hukum Islam
88
tersebut tidak menemukan ketetapannya di dalam Al-Qur’an dan Sunah, maka dia
berpegang kepada Ijma, selanjutnya jika tidak mendapatkan ketetapan hukum
suatu masalah dalam Al-Qur’an dan Sunah dan tidak juga menemukannya dalam
Ijma ulama, maka barulah ia beristimbat dengan sesuai dengan yang ditunjukkan
oleh syariat (Khallaf, 2001: 81).
Perkembangan hukum Islam menurut Muslim Ibrahim pada masa ini
merupakan sebuah masa yang disebut sebagai fase perkembangan, ilmu Fiqih atau
hukum Islam telah mengalami suatu kemajuan yang sangat pesat, perkembangan
yang begitu pesat ini disebabkan oleh besarnya perhatian Khalifah terhadap ilmu
Fiqih. Dalam hal ini Khalifah yang dimaksud adalah khalifah Umar bin Abdul
Aziz, selain itu, adanya kebebasan berpendapat, semakin banyaknya persoalan
yang timbul, adanya referensi sumber hukum, karena Al-Qur’an , sebagian besar
hadis telah dibukukan, semua hal tersebut menjadi penyebab terjadi kemajuan
yang pesat di bidang ilmu Hukum Islam (Rahiem, 1992: 44). Sumber-sumber
hukum Islam pada masa ini, menurut umar Sulaeman, para Tabi’in melakukan
langkah-langkah sebagai berikut
1. Mencari ketentuannya dalam Al-Qur’an
2. apabila ketentuan itu tidak didapatkan dalam Al-Qur’an, mereka
mencarinya dalam Sunnah
3. apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mereka kembali
kepada pendapat sahabat
4. apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad (Sulaeman,
1991: 81).
89
Ijtihad pada masa Muawiyah berjalan seperti pada masa Khulafaur
Rasyidin,
yaitu
bersandarkan
kepada
kitab,
Sunnah,
Ijma
dan
rayu
(pendapat/pemikiran), periode pada masa ini berbeda dengan periode sebelumnya,
yaitu terdapat pada banyaknya perselisihan dan bercabangnya pendapat-pendapat
yang dapat diketahui dari beberapa sebab (As-Saayis, 1995: 83). Dengan adanya
pembukuan hadis hal tersebut sangatlah berpengaruh dengan pembukuan sunnah.
Pembukuan Fiqih berbarengan dengan pembukuan hadis, mengenai aqidah dan
dalil-dalil yang menjelaskannya telah dikemukakan oleh Al-Qur’an, dalam
menghadapi ibadah kita memerlukan sunnah Rasul karena Kitabullah tidak
menjelaskan masalah-masalah Fiqih secara terperinci. Dengan demikian, maka
sunahlah yang memerincinya (Ash-Shiddieqy, 1971: 93). Kaum Muslimin di
permulaan Islam tidak mempunyai kemampuan untuk membukukan hukumhukum Islam yang diterima dari Rasul, karena pada masa itu belum berkembang
kebudayaan dan kemakmuran, kaum muslimin pada waktu itu berbekal hafalan
yang sangat kuat, ditambah dengan orang-orang yang pandai menulis itu sangat
sedikit jumlahnya. Keadaan tersebut membuat kaum muslimin merasakan adanya
kebutuhan untuk menulis hukum-hukum Islam.
Setelah Bani Umayah berkembang dan banyak pengikutnya, maka
timbullah berbagai peristiwa baru, kesulitan baru, ulasan dan pandangan serta
upaya di bidang materil dan spiritual. Hal tersebut membuat para ulama semakin
dituntut untuk mengembangkan ijtihad dalam menetapkan syariat Islam. Selain
itu, pembahasan semakin luas, hal tersebut berakibat kepada meluasnya lapangan
pembentukan fiqih yang berkaitan dengan kejadian-kejadian pada masa itu
90
(Khallaf, 1985: 8). Hukum Islam berkembang sangat pesat dan Pembahasanpembahasan mengenai hukum Islam meningkat pada saat ini, sehingga mengalami
suatu kematangan dan kesempurnaan ilmu. Persaingan-persaingan antar para ahli
hukum Islam semakin marak karena mereka benar-benar mempergunakan
kesempatan dengan sebaik-baiknya kemerdekaan untuk berfikir. Pembukuan
hadis mempengaruhi perkembangan fiqih, dan juga mempengaruhi perkembangan
para ahli hukum dalam menghadapi berbagai persoalan dan kejadian. Seorang ahli
hukum islam tidak akan memberikan fatwa atau hukum yang tidak diketemukan
di dalam Al-Qur’an dan hadis. Setelah diketemukan di dalam hadis barulah
diberikan putusannya.
Gerakan pembukuan hadis telah memberikan perkembangan, tugas yang
secara serius dikembangkan oleh para ulama dengan sungguh-sungguh, mereka
menjauhi tempat tidur, tidak pernah melepaskan alat tulis, berupaya keras
mengunjungi syaikh-syaikh atau guru untuk mendapatkan hadis secara langsung.
Hal tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan hadis
selanjutnya, hal ini dibuktikan dengan muncul generasi berikutnya yang
berlomba-lomba untuk membukukan hadis. Walaupun khalifah Umar bin Abd alAziz telah meninggal dunia, namun kegiatan penghimpunan hadis terus
berlangsung. Sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, telah muncul berbagai
kitab himpunan hadis di berbagai kota. Ulama berbeda pendapat tentang karya
siapa yang terdahulu muncul. Ada yang mengatakan bahwa yang paling awal
muncul adalah karya ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij al-Bishri ada
yang menyatakan karya Malik bin Anas dan ada yang menyatakan karya ulama
91
lainnya. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis Nabi saja, tetapi
juga menghimpun fatwa-fatwa sahabat dan Tabiin.
92
Download