TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ikan Lele Sangkuriang Ikan lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetik ikan lele dumbo melalui silang balik (backcross) (Gambar 1). Klasifikasi ikan ini sama dengan ikan lele dumbo yakni: Phyllum: Chordata, Kelas: Pisces, Subkelas : Teleostei, Ordo: Ostariophysi, Subordo: Siluroidea, Famili: Clariidae, Genus: Clarias, Spesies: Clarias sp (Lukito, 2002). Gambar 1. Ikan lele Sangkuriang, Clarias sp. Menurut Anonimus (2005) secara umum morfologi ikan lele Sangkuriang tidak memiliki banyak perbedaan dengan lele dumbo yang selama ini banyak dibudidayakan. Hal tersebut dikarenakan ikan lele Sangkuriang sendiri merupakan hasil silang dari induk ikan lele dumbo. Tubuh ikan lele Sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit licin, berlendir, dan tidak bersisik. Bentuk kepala depress dengan mulut yang relatif lebar, mempunyai empat pasang sungut. Ikan lele Sangkuriang memiliki tiga sirip tunggal, yakni sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur. Sementara itu, sirip yang berpasangan ada dua yakni sirip dada dan sirip perut. Pada sirip dada (pina thoracalis) dijumpai sepasang patil atau duri keras yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri dan kadang-kadang dapat dipakai untuk berjalan di permukaan tanah atau pematang. Pada bagian atas ruangan rongga insang terdapat alat pernapasan tambahan (arborescent), bentuknya seperti batang pohon yang penuh dengan kapiler-kapiler darah (Khairuman dan Amri 2009). Menurut Sunarma (2004) berdasarkan karakter reproduksi, fekunditas ikan lele Sangkuriang lebih besar dibandingkan ikan lele dumbo yaitu 40.000 – 60.000 butir telur per kg induk, sedangkan pada ikan lele dumbo 20.000 – 30.000 butir telur per kg induk (Tabel 1). Dengan demikian ikan lele Sangkuriang lebih unggul dibandingkan ikan lele dumbo. Tabel 1. Karakter reproduksi ikan lele Sangkuriang Clarias sp. dan ikan lele dumbo, Clarias gariepinus. Karakter Reproduksi Kematangan gonad (bulan) Fekunditas (butir/kg induk) Diameter telur (mm) Lamanya waktu inkubasi telur pada suhu 23 – 24oC (jam) Lamanya waktu kuning telur terserap pada suhu 23 – 24oC (hari) Derajat penetasan telur (%) Panjang larva umur 5 hari (mm) Berat larva umur 5 hari (mg) Sifat larva Kelangsungan hidup larva (%) Pakan alami larva Ikan Lele Sangkuriang 8–9 40.000 – 60.000 1,1 – 1,4 30 – 36 Ikan Lele Dumbo 4-5 20.000 -30.000 1,1 - 1,4 30 – 36 4-5 4–5 >90 9,13 2,85 >80 9,13 2,85 Tidak kanibal 90 – 95 Moina sp Daphnia sp Tubifex sp Tidak kanibal 90 – 95 Moina sp Daphnia sp Tubifex sp Sumber : Sunarma (2004) Perkembangan Ovari pada Ikan Betina Ovarium ikan merupakan sepasang organ yang memanjang dalam rongga perut. Rongga-rongga ovarium dikelilingi oleh mesovarium dan project posterior melalui sepasang oviduct yang terhubung ke genital papila (Mananos et al., 2009). Dinding ovari tebal (tunica albugenia) yang berisi banyak pembuluh – pembuluh darah jaringan elastis dan otot licin membentuk lapisan ovigerous (Lagler, 1977). Pada lapisan ini oosit mengalami berbagai fase gametogenesis sampai ova matang (telur) yang dilepaskan ke rongga ovarium atau rongga perut (misalnya, salmon) pada saat ovulasi dan kemudian ke lingkungan eksternal selama pemijahan (Mananos et al., 2009) Menurut Ntiba dan Jaccarini (1990) perkembangan ovarium biasanya terdiri dari beberapa tingkatan yang didasarkan pada pengamatan makroskopis dan mikroskopis. Secara mikroskopis, perkembangan telur diamati untuk menilai perkembangan ovarium, antara lain dengan melihat tebalnya indung telur, pembuluh darah, inti, butiran minyak, vesikel dan kuning telur. Sedangkan secara makroskopis, pengamatan ovarium ditentukan dengan mengamati indung telur, ukuran butir telur, dan volume rongga perut (Sumantadinata, 1990). Ovari pada ikan terbentuk setelah berumur 60 hari. Selama 2 – 3 bulan berikut ovari hanya berisi oogonia yang berasal dari se-sel benih primordial (Bromage dan Cumaratungga, 1988). Sel-sel benih membelah secara mitosis sehingga menghasilkan oogonia primer dan sekunder. Selanjutnya membentuk populasi sel oogonia yang dapat muncul menjadi oosit dan segera menjadi telur (Selman dan Walace,1989). Perubahan bentuk dari oogonia sekunder menjadi oosit dikenal sebagai oogenesis. Saat itu terjadi pertumbuhan sitoplasma dan inti sel di dalam oosit. Selama perubahan itu diiringi pula oleh perubahan folikel (Bromage dan Cumaratungga, 1988). Selanjutnya pertumbuhan oosit ikan dibagi sebagai berikut: 1. Pertumbuhan primer (Previtellogenesis) 2. Pertumbuhan sekunder (Exogenous vitellogenesis) 3. Pertumbuhan tertier (Maturasi, hidrasi dan ovulasi) Proses Maturasi Siklus reproduksi pada ikan betina dibagi ke dalam periode pertumbuhan oosit (gametogenesis atau vitelogenesis) dan periode maturasi (Mananos et al., 2009; Mylonas dan Zohar, 2001). Pada kebanyakan spesies non-mamalia, oosit mencapai ukuran akhir selama vitellogenesis dan memulai tahap pematangan serta ovulasi bila ada stimulasi hormonal yang mencukupi (Carnevali et al., 2006). Namun seperti pada kebanyakan vertebrata, oosit ikan teleost yang sudah mencapai pertumbuhan akhir belum dapat dibuahi dan harus mencapai tahap akhir penyelesaian pembelahan meiotik dan perubahan struktur oosit. Proses tersebut meliputi GVBD (germinal vesicle breakdown), kondensasi kromosom, pembentukan spindel meiotik pertama, pelepasan polar bodi pertama (Nagahama, 1987) dan pembentukan microphyle sebagai saluran masuknya sperma ketika terjadi fertilisasi (Thomas et al., 2002). Semua proses tersebut dikendalikan oleh sistem syaraf pusat sebagai respon terhadap perubahan lingkungan (Carnevali et al., 2006) dengan peran tiga mediator utama: gonadotropin (GTH), MIH (maturation-inducing hormone) dan MPF (maturation-promoting factor) (Nagahama, 1987). Sinyal lingkungan yang ditangkap sistem syaraf direspon hipothalamus dengan mengeluarkan gonadotropin releasing factor (GnRH) yang menstimulasi pelepasan pituitari gonadotropin, GtH I atau FSH (follicle stimulating hormone) dan GtH II atau LH (luteinizing hormone) (Carnevali, et al., 2006). Menurut Suzuki et al. dalam Yaron (1995), kedua substansi tersebut menstimulasi sekresi estradiol dari folikel tetapi GtH II lebih potensial menstimulasi sekresi 17,20-P dari folikel postvitellogenik. Pengaruh umpan-balik sex steroid digunakan pada tingkat pituitari dan otak untuk memungkinkan terjadinya integrasi dengan isyarat lingkungan untuk merangsang terjadinya peningkatan GtH-II preovulatory pada ikan cyprinid (Aida dalam Peter dan Yu, 1997). Peran utama yang mengatur sekresi GtH-II dari pituitari adalah GnRH (gonadotropin-releasing hormone), dalam bentuk [Trp7, Leu8]-GnRH (salmon GnRH atau sGnRH), pGlu-His-Trp-Ser-Tyr-Gly-Leu-ArgPro-Gly-NH2 (mamals GnRH atau mGnRH), [His5, Trp7, Tyr8]-GnRH (chicken GnRH-II atau cGnRH-II), [His5, Leu7, Asn8]-GnRH (catfish GnRH atau cfGnRH) dan [Ser8]-GnRH (seabream GnRH atau sbGnRH) (Peter dan Yu, 1997). Steroid penginduksi maturasi tidak beraksi sebagai steroid tipikal melalui reseptor intraseluler melainkan mengikat reseptor permukaan sel (Carnevali et al., 2006). Pengikatan MIH pada reseptor membrannya diikuti oleh pembentukan MPF pada ooplasma dimana memediasi aksinya pada proses meiotik (Yaron, 1995). Secara hormonal, akhir proses vitellogenesis berpuncak pada pembentukan 17a-hydroxyprogesteron yang terjadi pada sel theca, dimana steroid ini berdifusi ke dalam sel granulosa dan dikonversi menjadi 17a,20b-dihydroxy-4-pregnen-3one yang merupakan hormon penginduksi maturasi (MIH) pada kebanyakan spesies ikan (Nagahama, 1987). Pada Atlantic croacker dan Sotted sea trout (Trant dan Thoman, 1989), Striped bass (King et al., 1995), Toadfish (Modesto dan Canario, 1995), Gillhead sea bream (Canario et al., 1995) dan Turbot (Muginier et al., 1995) MIH diperankan oleh 17a,20b,21-trihydroxy-4-pregnen-3one (Yaron, 1995; Peter dan Yu, 1997). Walaupun secara umum MIH dipertimbangkan sebagai subtansi mediator penting dan mencukupi untuk proses penerusan meiotik, beberapa substansi lain juga dapat memediasi dan turut mengatur proses ini. Beberapa substansi tersebut antara lain: insulin-like growth factor (IGF), activin, epidermal growth factor (EGF), transforming growth factor a (TGFa) dan oestrogen sintesis. Pada folikel ovari red seabream, IGF I merupakan penginduksi kuat kemampuan maturasi (Kagawa dalam Patino dan Sullivan, 2002) dan merangsang aktifitas reseptor MIH pada membran oosit yang sejalan dengan peningkatan kemampuan maturasi pada spotted seatrout (Thomas et al., 2002). Activin A, activin B, EGF dan TGFa merangsang kemampuan maturasi oosit pada folikel ovari ikan zebra, sedangkan co-treatment substansi tersebut dengan follistatin, yang merupakan protein pengikat activin, dapat menekan pengaruh activin juga gonadotropin pada kemampuan induksi maturasi (Pang dan Ge dalam Patino dan Sulivan, 2002). Selama periode maturasi akhir oosit, pada sitoplasma terjadi perubahanperubahan penting untuk proses fertilisasi dan perkembangan embrio. Proteolisis kedua terjadi selama penerusan meiotik yang serentak dengan hidrasi pada oosit dengan tingkat yang luar biasa pada beberapa ikan laut dan perairan payau (Patino dan Sullivan, 2002). Selama proses hidrasi, terjadi peningkatan volume oosit dan kandungan air dari 50-70% pada oosit menjadi 90% pada telur (Thorsen et al dalam Carnevali et al., 2006). Asam amino bebas yang berasal dari lipovitellin, phosvitin dan komponen-b’ nampaknya berperan sebagai efektor osmotik yang mengatur hidrasi oosit dan membentuk pool nutrisi yang dapat berdifusi untuk mendukung perkembangan awal embrio (Patino dan Sullivan, 2002). Proteolisis telur selama maturasi oosit juga berhubungan dengan aktifasi enzim lisosom, diantaranya enzim cathepsin B, D dan L (Carnevali et al., 2006). Proses Ovulasi Mananos et al. (2009) mengemukakan bahwa ovulasi merupakan kelanjutan dari proses perkembangan oosit (gametogenesis atau vitelogenesis) dan pematangan oosit (maturasi) dalam siklus reproduksi ikan (Gambar 2). Pada kebanyakan ikan teleost, ovulasi dihubungkan dengan peningkatan sekresi GtH-II yang merangsang ovulasi sejumlah besar oosit (Peter dan Yu, 1997). Gambar 2. Proses perkembangan oosit dan maturasi serta ovulasi pada ikan betina (Mananos et al., 2009) Pada ikan maskoki, perubahan tingkat serum GtH-II berkorelasi dengan konsentrasi GnRH pada area otak pituitari selama periode preovulatori (Peter dan Yu, 1997). Injeksi in vivo pituitari homogen meningkatkan sensitifitas folikel ovari ikan mas terhadap progestin maturasi yang dikenal sebagai MIH (Jalalabert, et al. dalam Patino et al., 2003). Injeksi gonadothropin (HCG, 100 IU/ikan) dapat menghasilkan rangsangan terhadap alur progestin dengan adanya peningkatan yang signifikan pada progesteron, 17-hydroxyprogesteron dan 17a,20bdihydroxy-4-pregnen-3-one bersamaan dengan terjadinya proses ovulasi pada ikan lele, Heteropneustes fossilis (Mishra dan Joy, 2006). Pada proses penerusan meiotik, ovulasi diperlukan aktifasi transkripsi MIH-dependent yang diatur oleh inti reseptor MIH (Patino dan Sullivan, 2002). Walaupun penerusan meiotik dapat diinduksi oleh beragam rangsangan dengan alur transduksi yang berbeda, induksi ovulasi lebih spesifik dan secara umum terbatas pada rangsangan peningkatan aktifitas protein kinase C (PKC) dan metabolisme asam amino. Sebagai contoh, IGF-I dapat merangsang terjadinya kemampuan maturasi dan penerusan meiotik tetapi tidak dapat merangsang ovulasi pada folikel ovari ikan red seabream (Patino dan Sullivan, 2002). Menurut Patino et al. (2003) MIH dapat berperan langsung merangsang ovulasi atau secara tidak langsung dengan merangsang faktor dari pituitari bertanggung jawab untuk menginduksi kemampuan folikel ovari untuk ovulasi. Peran tidak langsung MIH ditunjukkan pada percobaan Goetz et al. (1983). Peningkatan poduksi prostaglandin F2a (PGF) yang dapat menginduksi ovulasi pada oosit matang pada ikan, terjadi pada inkubasi folikel ovari ikan yellow perch ketika diekspose pada MIH, 17a,20b-dihydroxy-4-pregnen-3-one (Goetz et al., 1983). Ovulasi berhubungan dengan adanya kerusakan pada germinal folikel (GVBD) dan pemecahan serta pelepasan oosit yang sudah matang (Patino dan Sullivan, 2002). Selain peran MIH, gonadothrophin dan 2-hydroxyoestradiol juga dilaporkan dapat merangsang kemampuan ovulasi secara langsung. Inkubasi in vitro fragmen ovari ikan Atlantic croacker pada medium 5 IU hCG tanpa dilanjutkan dengan inkubasi pada MIH dapat tetap merangsang kemampuan pematangan oosit dan ovulasi (Patino et al., 2003). Pada inkubasi in vitro folikel utuh ikan lele pada medium 5 mM 2-hydroxyoestradiol dapat merangsang sintesis 17a,20b-dihydroxy-4-pregnen-3-one dan menghasilkan pengaruh signifikan pada GVBD (Mishra dan Joy, 2006). Menurut Mananos et al. (2009) ovum yang akan ovulasi dapat tetap berada dalam ovarium atau rongga perut untuk periode waktu sebelum pemijahan. Ovum mempunyai kemampuan untuk mempertahankan kematangan selama beberapa waktu, tetapi apabila tidak terjadi pemijahan maka ovum mengalami “ over-ripe” (terlalu matang) melalui proses degenerasi. Hal ini merupakan pertimbangan penting dalam melakukan stripping telur dan inseminasi buatan, karena striping harus dilakukan sebelum over-ripe terjadi. Pada kondisi tertentu kegagalan dalam melakukan striping akan menyebabkan kematian induk. Selang waktu antara ovulasi dan over-ripe sangat bervariasi di antara ikan, mulai dari hitungan menit (misalnya, striped bass, morone ) sampai hari (misalnya, salmon) dan sangat tergantung pada suhu air. Pada Clarias macrocephalus selang waktu antara ovulasi dan over-ripe adalah 10 jam (Mollah dan Tan, 1983). Otak dan Pengaturan Hormon Reproduksi Otak merupakan organ yang sangat penting dalam sistem reproduksi, karena otak berperan sebagai salah satu organ tempat hormon mengalir dalam mengatur siklus reproduksi dalam sumbu brain-pituitari gonad (BPG) atau yang disebut titik pangkal reproduksi (Gambar 3). Gambar 3. Otak dan hormon yang dihasilkan dalam pengaturan reproduksi (Mananos et al., 2009). Pada sumbu ini, hypophyisis gonadotropin (GTHs), follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) berperan utama dalam mengontrol endokrin reproduksi. Sekresi dari dua GTHs dikendalikan oleh otak melalui rangsangan gonadotropin releasing hormone (GnRH) (Mananos et al., 2009). Neuropeptide ini merupakan sistem primer yang mengatur reproduksi, bertindak sebagai integrator informasi eksternal (misalnya, lingkungan) dan mengirim neuroendokrin untuk mengatur sumbu reproduksi (Mananos et al. dan Bernier et al., 2009). Dalam sumbu ini GnRH bekerja langsung pada kelenjar pituitari untuk merangsang FSH dan Sekresi LH yang dilepaskan ke dalam aliran darah untuk bekerja pada gonad, di mana mereka merangsang sintesis hormon steroid gonad, yang merupakan faktor utama perkembangan gonad (Bromage dan Robert, 1995; Amano, 1997; Bosma et al., 1997; Sherwood dan Adam, 2005; Chen dan Fernald, 2008; Mikolajczyk et al., 2008; Mananos et al. dan Bernier et al., 2009). GtH berperan dalam dalam proses perkembangan gonad termasuk pertumbuhan oosit dan maturasi, ovulasi dan pemijahan (Bromage dan Robert, 1995). Selanjutnya Mananos et al. (2009) mengemukakan bahwa GtH terdiri dari follicle stimulating hormon (FSH/GtH I) dan luteinizing hormon (LH/GtH II) untuk mengontrol proses gametogenesis dan produksi sex steroid (Gambar 4). Gambar 4. Hormon dan perubahan gonad dalam siklus reproduksi ikan (Mananos et al., 2009) GnRH tersusun atas 10 asam amino (Chen dan Fernald, 2008; White dan Colleagues dalam Bernier, 2009) yang pertama kali ditemukan di dalam otak mamalia dan awalnya bernama Luteinizing Hormon-Releasing Hormon (LHRH), karena berfungsi melepas LH (Matuso et al. dan Burgus et al. dalam Cabrita et al., 2009). Itu juga yang kemudian dinamai mamalia GnRH (mGnRH), nama yang lebih tepat rangsangan pada sekresi FSH dan LH ( Cabrita et al, 2009). Bentuk GnRH lainnya telah diisolasi dan dikarakterisasi dari otak spesies lain, dan sampai sekarang ada 24 bentuk GnRH (Kah et al., 2007)(Tabel 2). Tabel 2. Struktur asam amino dari 24 bentuk GnRH pada kelompok vertebrata yang berbeda. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 pGlu His Trp Ser Tyr Gly Leu Arg Pro Gly-NH2 Guenia pig (pg GnRH) - Tyr - - - - Val - - Chicken-1 (cGnRH-1 - - - - - - Gln - - Vertebrates Mammalian (mGnRH) Chicken-II (cGnRH-II - - - - His - Trp Tyr - - Frog (fgGnRH) - - - - - - - Trp - - Salmon (sGnRH) - - - - - - Trp Leu - - Catfish (cfGnRH) - - - - His - - Asn - - Seabream (sbGnRH) - - - - - - - Ser - - Herring (hgGnRH) - - - - His - - Ser - - Medaka (mdGnRH) - - - - Phe - - Ser - - Whitefish (whGnRH) - - - - - - Met Am - - Dogfish (dfGnRH) - - - - His - Trp Leu - - Lamprey I (lGnRH-I) - - - - His - Trp Leu - - Lamprey-III (lGnRH-III - - Tyr - Leu Glu Trp Lys - - Tunicate I (tGnRH-I) - - - - Asp Tyr Phe Lys - - Tunicate II - - - - Leu Cys His Ala - - Tunicate III - - - - - Glu Phe Met - Tunicate IV - - - - Asn Gln - Thr - - Tunicate V - - - - - Glu Tyr Ser - - TunicateVI - - - - Lys - Tyr Ser - - Tunicate VII - - - - - Ala - Ala - - Tunicate VIII - - - - Leu Ala - Ala - - Tunicate IX - - - - Asn Lys - Ala - - Octopus GnRH (Asn, Tyr) - - Phe - Asn - Trp His - - Invertebrates Keterangan : mGnRH digunakan sebagai acuan. GnRH Gurita adalah satu-satunya varian dengan 12 asam amino, Asn-Tyr penyisipan di ujung N. Medaka GnRH (mdGnRH) juga dikenal sebagai pejerrey GnRH (pjGnRH) (Mananos et al., 2009) Dari jumlah bentuk GnRH tersebut, 14 ditemukan pada vertebrata, 9 pada tunica (Adams et al, 2002) dan satu dalam cephalopod (Iwakoshi, 2002) Semua GnRHs adalah decapeptides kecuali GnRH gurita yang merupakan dodecapeptide, ada sedikit variasi dalam sekuen asam amino (Sherwood dan Adam, 2005; Mananos et al., 2009). Setiap GnRH baru telah diidentifikasi nama spesies yang pertama ditemukan Berdasarkan analisis filogenetik preproGnRH menunjukkan bahwa GnRHs dapat diklasifikasikan kedalam empat kelompok: GnRH1, GnRH2, GnRH3 dan GnRH4 ( Lethimonier et al., 2004; Sherwood dan Adam, 2005; Tello et al., 2008). Ikan teleost mengandung tiga kelompok pertama, sementara lamprey - terwakili didalam kelompok keempat (Mananos et al., 2009). Selanjutnya Mananos et al. (2009) mengatakan bahwa urutan asam amino pada bentuk GnRH2 dan GnRH3 bersifat tetap, sedangkan struktur GnRH1 bervariasi dari seluruh spesies vertebrata. Semua vertebrata memiliki dua atau tiga bentuk yang berbeda GnRH. Mungkin tidak mengherankan bahwa GnRH memiliki bentuk distribusi yang berbeda di dalam otak dan pituitari dari ikan (Lethimonier et al., 2004). GnRH1 dan GnRH3 terletak pada bagian ventral forebrain, sedangkan GnRH2 pada midbrain. Amano et al. (1994) dalam Amano et al. (1997) kandungan GnRH setiap bagian otak ikan berbeda, pada bagian optic tektum dan dorsal thalamus pada ikan salmon betina mempunyai kandungan sGnRH yang lebih tinggi dibandingkan dengan cGnRH (Gambar 4). Gambar 5. Kandungan sGnRH dan cGnRH-II pada setiap bagian otak ikan Masu salmon betina. Pada skema diagram bagian otak masu salmon menunjukkan perbedaan kandungan GnRH. a, olfactory bulbs; b, telencephalon termasuk POA; c, medio-basal hypothalamus; d, optic tectum-thalamus and dorsal hypothalamus; e, cerebellum; f, medulla oblongata; g, pituitari. (Amano et al., 1994) Secara umum GnRH diperlukan untuk proses reproduksi, akan tetapi GnRHs berperan juga dalam neuromodulatory (Kah et al., 2007). GnRH1 berfungsi untuk mengatur reproduksi melalui pelepasan gonadotropin (Amano, 2004), growth hormon pada kelenjar pituitari (Marchant et al. dalam Chen dan Fernald, 2008) dan juga mengatur prolactin (Weber et al., 1997) dan somatolactin (Kakizawa et al., 1997). GnRH-2 tidak memiliki peran langsung dalam pengendalian sekresi GTH pada hipofisis, akan tetapi dari beberapa studi telah menunjukkan bahwa cGnRH mampu merangsang LH release dari hipofisis (Chang et al., 2009). Selain itu, GnRH2 yang diwakili oleh cGnRH atau cGnRHII berperan dalam memainkan perilaku reproduksi dan mengendalikan nafsu makan dan metabolisme (Kah et al., 2007). Pada GnRH3 merupakan sistem yang unik pada ikan dan mengkode untuk satu peptid yaitu salmon GnRH (sGnRH) (Bernier, 2009). Fungsi GnRH3 pada terminal syaraf, meskipun belum jelas tetapi diduga berperan dalam perilaku reproduksi (Ogawa et al., 2006).