2 mengandung 4% HCl 1M dan divorteks selama 1 menit. Prodigiosin yang terlarut dalam etanol dipisahkan dari sel bakteri dengan sentrifugasi 10.000 rpm selama 5 menit. Kandungan prodigiosin dalam etanol diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh, dikonversi dengan kurva standar untuk menentukan kandungan prodigiosin yang sebenarnya. Selanjutnya data dianalisis secara statistik untuk mengetahui komposisi media yang terbaik. Percobaan ini dilakukan sebanyak empat kali ulangan. Pemurnian prodigiosin. Bakteri S. marcescens dibiakkan dalam 250 ml media LB dan NB yang masing-masing mengandung FeSO4 1 mM. Media diautoklaf dan diinokulasi dengan 1 ml biakan bakteri yang berumur 16 jam (OD600: 0.5). Kemudian biakan diinkubasikan dalam mesin bergoyang (75 rpm) selama 7 hari. Prodigiosin diekstraksi dari supernatan biakan bakteri dengan menggunakan etil asetat. Biakan disentrifugasi pada 5000 rpm selama 20 menit untuk memisahkan sel dari supernatan. Supernatan ditambahkan 200 ml etil asetat di dalam erlenmeyer dan diaduk dengan magnetik stirrer selama 1 jam pada suhu ruangan. Prodigiosin yang terlarut dalam etil asetat dipisahkan dari fraksi air dengan menggunakan tabung fraksinator. Kemudian etil asetat diuapkan dengan evaporator pada suhu 50oC dan prodigiosin yang diperoleh dilarutkan dengan 1.5 ml DMSO. Pemurnian prodigiosin dilakukan dengan kromatografi kolom menggunakan silika gel yang dibuat dengan pelarut metanol. Kemudian sampel prodigiosin dalam pelarut metanol dialirkan melalui kolom tersebut. Prodigiosin yang terperangkap dalam kolom silika gel dilepaskan dan dilarutkan dengan kloroform. Setelah kloroform diuapkan di dalam ruang asam, prodigiosin dilarutkan dengan 0.5 ml DMSO. Konsentrasi prodigiosin diukur dengan spektrofotometer dan profilnya dideteksi menggunakan kromatografi lapis tipis dengan silika gel dan amil asetat sebagai pelarut. Setelah didiamkan lebih kurang selama 2 jam akan terbentuk spot berwarna pink (merah muda). Spot ini merupakan visualisasi dari prodigiosin murni yang dikoleksi dan dilarutkan dalam DMSO. Spot ini juga diukur Rf-nya. Rf dapat dihitung dengan cara: Rf = Respon S. marcescens terhadap antibiotik. Antibiotik kloramfenikol, kasugamisin, rimfamisin, streptomisin, dan ampisilin masing-masing ditambahkan ke dalam media LB sebanyak 50 g/ml. Kemudian bakteri Serratia marcescens ditumbuhkan dengan metode gores pada media tersebut dan diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Pengaruh antibiotik kloramfenikol terhadap produksi prodigiosin. Pengaruh kloramfenikol terhadap produksi prodigiosin diuji dalam tabung reaksi yang mengandung 3 ml media LB dengan konsentrasi 0, 2.5, 5, dan 10 g/ml. Media diinokulasi dengan 10 µL biakan bakteri Serratia marcescens dan diinkubasi pada suhu ruang dalam mesin bergoyang. Produksi prodigiosin diamati 2 hari setelah inkubasi. Pembuatan kurva standar prodigiosin. Kurva standar dibuat dari prodigiosin murni dengan Sigma. Larutan prodigiosin dengan konsentrasi 0–100 g/ml dibuat dalam pelarut metanol (Lampiran 2). HASIL Produksi prodigiosin pada media LB dan NB Bakteri patogen wbc yang diidentifikasi sebagai S. marcescens menunjukkan pertumbuhan koloni berwarna merah pada media LB agar setelah diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang (Gambar 1). Pigmen merah juga dihasilkan oleh S. marcescens ketika dibiakan dalam media LB dan NB cair, tetapi pigmentasi merah terlihat cukup bervariasi bila ada penambahan Fe2+ dan Ca2+ dengan konsentrasi yang berbeda (Gambar 2 dan 3). Gambar 1 Biakan Serratia marcescens pada media LB. 3 a b c d Gambar 2 Perbedaan kepekatan warna merah pada media LB. Hasil uji menunjukkan bahwa (a) CaCO3 0 mM: FeSO4 0 mM (b) CaCO3 0 mM: FeSO4 0.25 mM (c) CaCO3 0 mM: FeSO4 0.5 mM (d) CaCO3 0 mM: FeSO4 1 mM menghasilkan kepekatan yang berbeda. disebabkan oleh penambahan FeSO4. Sedangkan peningkatan konsentrasi CaCO3 cenderung menurunkan produksi prodigiosin. Pada konsentrasi FeSO4 antara 0.25 dan 1 mM, hubungan antara kosentrasi FeSO4 dengan produksi prodigiosin cenderung bersifat linier. Artinya, semakin tinggi konsentrasi FeSO4 dalam media, semakin tinggi produksi prodigiosin. Produksi prodigiosin pada media LB dan NB dengan konsentrasi FeSO4 1 mM masing-masing mencapai 165 dan 293.5 g/ml (Gambar 4 dan 5). Tabel 1 Data hasil analisis statistik produksi prodigiosin S. marcescens dengan kandungan Fe2+ dan Ca2+ pada media LB dan NB FeSO4 (mM) LB 0 59 dey 128 dx 60 cy 66,5 dy 0.25 73 dx 85,5 ex 31 dy 30 ey 0,5 107 cx 110,5 dx 72,5 cy 108,5 cx bx cy NB 165 0 95 cy 0.5 1 b c d 0 1 0.25 a CaCO3 (mM) Media 2.5 143,5 90 ey 94,5 cy 42,5 ez 293,5 ax 121,5 dx 202,5 bx 262 ay 5 131 10 by 142,5 by 140,5 bx 93,5 cy 129,5 bx 97,5 cy 151,5 by 137 by 259 ay Catatan: Angka-angka pada setiap kolom dan baris (a,b,c) yang sama yang diikuti oleh huruf-huruf yang sama (p,q,r) tidak berbeda nyata. BNT 0,05= 14.5 Gambar 3 Perbedaan kepekatan warna merah pada media NB. Hasil uji menunjukkan bahwa (a) CaCO3 0 mM: FeSO4 0 mM (b) CaCO3 0 mM: FeSO4 0.25 mM (c) CaCO3 0 mM: FeSO4 0.5 mM (d) CaCO3 0 mM: FeSO4 1 mM menghasilkan kepekatan yang berbeda. Hasil analisis statistik produksi prodigiosin S. marcescens pada media LB dan NB dengan kandungan Fe2+ dan Ca2+ disajikan dalam Tabel 1. Ada interaksi yang nyata antara jenis media dengan variasi konsentrasi Fe2+ dan Ca2+ terhadap produksi prodigiosin (Lampiran 3). S. marcescens menghasilkan prodigiosin lebih tinggi dalam media NB dibandingkan dengan media LB. Penambahan CaCO3 dan FeSO4 ke dalam media mampu meningkatkan produksi prodigiosin, tetapi peningkatan produksi prodigiosin yang paling signifikan 256 ay Gambar 4 Grafik perbandingan konsentrasi prodigiosin pada media LB yang dikombinasikan dengan FeSO4 dan CaCO3 pada konsentrasi berbeda. 4 Gambar 5 Grafik perbandingan konsentrasi prodigiosin pada media NB yang dikombinasikan dengan FeSO4 dan CaCO3 pada konsentrasi berbeda. Pemurnian prodigiosin Sebanyak 250 ml media LB dan NB yang mengandung FeSO4 1 mM digunakan untuk produksi prodigiosin. Biakan diinokulasi dengan 1 ml biakan bakteri (OD600: 0.5) dan diinkubasikan dalam mesin bergoyang (75 rpm) selama 7 hari. Prodigiosin yang dihasilkan diekstraksi dari supernatan biakan bakteri dengan menggunakan etil asetat. Hasil ekstraksi dari media LB dan NB masingmasing diperoleh prodigiosin sebanyak 486.0 dan 489.0 mg. Setelah dimurnikan melalui kromatografi kolom dengan silika gel, tingkat kemurniannya masing-masing mencapai 77,8% dan 92% pada media LB dan NB (Tabel 2). Tabel 2 Persentase kemurnian prodigiosin Media Ekstrak prodigio sin Prodigiosin hasil kromatogr afi LB 486 378 77,8 NB 489 450 92 Perbedaan serapan panjang gelombang prodigiosin pada kedua sifat pelarut tersebut berkaitan dengan perubahan warna prodigiosin pada kondisi asam dan basa. Warna merah akan terjadi pada pelarut yang bersifat asam sedangkan pada pelarut yang bersifat basa, warna prodigiosin menjadi kekuningan. Titik puncak yang lain juga dapat terdeteksi pada serapan panjang gelombang 494-496 nm baik pada pelarut bersifat basa dan asam dari prodigiosin pada media LB (Gambar 6). Begitu juga dari prodigiosin media NB, titik puncak lainnya terdeteksi pada panjang gelombang 502 dan 506 nm (Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa pemurnian dengan kromatografi kolom masih belum mampu membersihkan prodigiosin dari senyawa metabolit lainnya. Pelarut asam Pelarut basa Gambar 6 Grafik deteksi prodigiosin pada media NB dengan spektrofotometer. Pelarut basa Pelarut asam % Kemurni an Hasil pemurnian prodigiosin dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer dan kromatografi lapis tipis dengan silika gel. Hasil analisis dengan spektrofotometer menunjukkan bahwa prodigiosin memiliki nilai absorbansi yang tinggi pada panjang gelombang 460 nm jika dilarutkan dalam pelarut yang bersifat basa dan 540 nm jika berada dalam pelarut yang bersifat asam. Gambar 7 Grafik deteksi prodigiosin pada media LB dengan spektrofotometer. Gambar 8 menunjukkan hasil analisis prodigiosin menggunakan kromatografi lapis tipis dengan silika gel yang dijalankan dengan pelarut amil asetat. Ada dua spot yang terdeteksi dengan nilai Rf 0.24 dan 0.82 cm pada media LB dan Rf 0.25 dan 0.83 cm pada 5 media NB. Spot merah dengan nilai Rf 0.82 dan 0.83 adalah prodigiosin. 14.1 cm 11.5 cm Tabel 3 13.8 cm LB Gambar 8 meskipun S. marcescen mampu tumbuh pada media yang mengandung kloramfenikol, tetapi pigmentasinya terhambat (Gambar 10). Bahkan pigmentasi merah sudah tidak terjadi pada konsentrasi kloramfenikol 5 µg/ml (Gambar 11). Hal ini menjukkan bahwa antibiotik kloramfenikol dapat menghambat biosintesis prodigiosin. 11.5 cm NB Hasil pengujian beberapa antibiotik terhadap S. marcescens Antibiotik Fenotipe Warna koloni (50 g/ml) Kloramfenikol + Putih Kasugamisin + Merah Rimfamisin + Merah Streptomisin Ampisilin + Merah Visualisasi ekstrak prodigiosin dengan kromatografi lapis tipis. Uji bioautografi dengan bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae telah dilakukan untuk memastikan bahwa spot merah pada nilai Rf 0.82 dan 0.83 adalah prodigiosin (Gambar 9). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri hanya terhambat pada spot merah, tetapi tidak pada spot yang lain. Hal ini membuktikan bahwa spot merah yang mampu menghambat pertumbuhan X. oryzae pv. oryzae dengan nilai Rf 0.82 dan 0.83 adalah prodigiosin. Gambar 10 LB Gambar 9 Hasil uji pengaruh antibiotik kloramfenikol terhadap produksi prodigiosin. NB Hasil uji bioautografi dengan bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Respon S. marcescens terhadap antibiotik Tabel 3 menyajikan hasil pengujian beberapa antibiotik terhadap S. marcescens. Bakteri ini bersifat resisten terhadap hampir semua antibiotik yang diuji, kecuali streptomisin. Hal yang menarik adalah a b c d Gambar 11 Hasil uji pengaruh kloramfenikol terhadap produksi prodigiosin pada konsentrasi (A) 0 µg/ml, (B) 2.5 µg/ml, (C) 5 µg/ml, (D) 10 µg/ml. 6 PEMBAHASAN Produksi prodigiosin tidak saja berbedabeda antar strain S. marcescens, tetapi juga ditentukan oleh komposisi media dalam biakan (Pandey et al. 2009; Kim et al. 2009). Casullo de Araújo et al. (2010) telah berhasil menggunakan limbah buangan tepung kasava yang ditambahkan dengan manitol (2%) untuk menghasilkan prodigiosin hingga 49.5 mg/ml. Hasil prodigiosin ini lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan tepung kacang seperti dilaporkan oleh Giri et al. (2004) yang hanya mencapai 39 mg/ml. Sedangkan hasil penelitian Jungdon et al. (2001) di dalam media cair yang mengandung dextrose dan casein hanya menghasilkan 13 mg/ml prodigiosin. Penelitian ini membandingkan produksi prodigiosin pada media LB dengan NB yang mengandung konsentrasi CaCO3 dan FeSO4 yang berbeda-beda. Kedua jenis media memiliki sumber nitrogen (N) dan karbon (C) yang berbeda. Sumber N dan C pada media LB berasal dari triptose dan ekstrak khamir serta ditambahkan dengan mineral NaCl sedangkan pada media NB menggunakan ektrak daging dan pepton. Perbedaan produksi prodigiosin yang signifikan dalam media LB dan NB diduga berkaitan dengan perbedaan kandungan nutrisi pada kedua media tersebut. Media NB mengandung pepton dan ekstrak daging. Pepton berfungsi sebagai sumber nitrogen, sulfur, karbon, dan energi sedangkan ekstrak daging penting untuk memenuhi kebutuhan asam amino esensial, vitamin, koenzim, dan mineral dalam pertumbuhan bakteri. Pada media LB, sumber nitrogen, karbon, asam amino esensial, vitamin, koenzim, dan mineral dipenuhi dari ekstrak khamir dan triptose. Nutrisi dalam media LB kaya dengan karbon yang bersumber dari tryptose, sedangkan media NB kaya dengan nitrogen yang berasal dari ektrak daging dan pepton. Pada umumnya, pertumbuhan bakteri lebih cepat pada media dengan kandungan nitrogen yang tinggi. Hal ini yang menyebabkan produksi prodigiosin lebih tinggi pada media NB dibandingkan dengan media LB. Disamping itu, struktur prodigiosin yang mengandung nitrogen banyak juga membutuhkan sumber nitrogen yang lebih tinggi untuk proses biosintesisnya (Lampiran 4). Kebutuhan ini hanya dapat disuplai dari media yang banyak kandungan nitrogennya seperti yang terdapat pada media NB. Hasil ini juga sesuai dengan yang diungkapkan oleh Venil dan Perumalsamy (2009) bahwa media NB merupakan salah satu media yang baik untuk produksi prodigiosin. Hal ini menunjukkan bahwa biosintesis progidiosin lebih tinggi pada media rendah nutrisi. Oleh karena itu, Casullo de Araújo et al. (2010) dan Giri et al. (2004) berhasil memproduksi prodigosin pada media yang cukup sederhana dengan masing-masing memanfaatkan limbah buangan tepung kasava dan tepung kacang. Harapan ke depannya adalah limbah tepung kasava yang banyak mengandung karbon dapat diteliti untuk dijadikan media standar dalam produksi prodigiosin. Kemampuan bakteri menghasilkan prodigiosin semakin meningkat jika ada penambahan CaCO3 dan FeSO4. Hal ini menunjukkan bahwa kedua mineral tersebut mempunyai peranan penting dalam biosintesis prodigiosin. Peran spesifik Fe2+ dalam biosintesis prodigiosin belum diketahui, tetapi penambahan Fe2+ hingga konsentrasi tertentu sangat diperlukan untuk memaksimalkan pertumbuhan sel mikroba. Keberadaan Fe2+ dalam media dapat menghasilkan prodigiosin yang larut dalam air. Sedangkan Ca2+ merupakan salah satu ion yang juga dapat digunakan untuk mempengaruhi pertumbuhan bakteri (Kim et al. 2004). Disamping itu, Ca2+ dan Fe2+ juga merupakan salah satu ion yang berperan sebagai kofaktor untuk membantu kerja enzim dalam biosintesis prodigiosin. Media NB dengan FeSO4 merupakan kombinasi terbaik untuk produksi prodigiosin dalam skala besar. Rata-rata konsentrasi tertinggi terdapat pada media NB dengan FeSO4 1 mM, yaitu 293,5 g/ml. Sedangkan rata-rata konsentrasi terendah adalah 30 g/ml, terdapat pada media LB dengan CaCO3 10 mM dan FeSO4 0,25 mM. Berdasarkan proses purifikasi prodigiosin melalui tahapan ekstraksi dan kromatografi kolom dengan menggunakan silika gel menunjukkan bahwa produksi prodigiosin pada media NB lebih murni dibanding media LB. Pada media LB kemurniannya 77,8 % sedangkan media NB 92 %. Hasil ini juga bisa diperkuat dengan nilai Rf yang diperoleh dari hasil kromatografi lapis tipis. Nilai Rf pada media NB lebih tinggi dibandingkan dengan media LB walaupun masih terbentuk dua spot pada masing-masing media. Tambahan lagi, terlihat pada grafik hasil spektrofotometer bahwa adanya dua titik puncak yang terbentuk yang menggambarkan bahwa prodigiosin yang dihasilkan belum murni. 7 Kromatogram hasil dari kromatografi lapis tipis digunakan dalam metode bioautografi. Metode ini bertujuan untuk menunjukkan adanya aktivitas antibakteri yang ditandai dengan terbentuknya daerah jernih yang tidak ditumbuhi oleh mikroba pada media (Kusumaningtyas et al. 2008). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa prodigiosin memang memiliki fungsi sebagai antibakteri yang terbukti dengan terbentuknya zona bening pada media yang sebelumnya sudah diinokulasikan dengan bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Biosintesis prodigiosin ternyata terhambat oleh antibiotik kloramfenikol, tetapi bagaimana mekanisme penghambatannya belum diketahui. Kloramfenikol adalah antibiotik yang mempunyai aktivitas bakteriostatik dan pada dosis tinggi bersifat bakterisidal. Aktivitas antibakterisidalnya terjadi melalui penghambatan proses sintesis protein dengan menginaktifkan enzim peptidil transferase yang seharusnya berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan peptida (Ganiswarna et al. 1995). Kemungkinan dengan terhambatnya sintesis protein tersebut, biosintesis propdigiosin akan terhambat. SIMPULAN Media terbaik yang bisa digunakan untuk produksi prodigiosin adalah media NB yang dikombinasikan dengan larutan FeSO4 1 mM. Pada media ini diperoleh konsentrasi prodigiosin tertinggi, yaitu 293,5 g/ml. Sedangkan pada larutan CaCO3 konsentrasi prodigiosin yang dihasilkan lebih sedikit, yaitu 165 g/ml. Prodigiosin yang murni dapat diperoleh melalui purifikasi dari prodigiosin menggunakan kromatografi lapis tipis dengan silika gel. Setelah dilakukan proses purifikasi diperoleh kemurnian tertinggi pada media NB, yaitu 92%. Biosintesis prodigiosin terhambat oleh kloramfenikol. Hal ini diduga disebabkan oleh terhambatnya proses sintesis protein atau enzim yang berperan dalam biosintesis prodigiosin. SARAN Perlu penelitian lebih lanjut untuk produksi prodigiosin dalam skala besar dengan memanfaatkan bahan dasar media yang lebih murah dan ekonomis, seperti penggunaan limbah tepung kasava sebagai sumber karbon dan limbah tahu/ tempe untuk sumber nitrogennya. DAFTAR PUSTAKA Castro AJ. 1967. Antimalarial activity of prodigiosin. Nature 13: 903–4. Casullo de Araújo, Fukushima K, Takaki GMC. 2010. Prodigiosin production by Serratia marcescens UCP 1549 using Renewable-Resources as a low cost substrate. Molecules 15:6931-6940. Chang S, M. Sanada, O. Johdo, S. Ohta, Y. Nagamatsu and A. Yoshimoto. 2000. High production of prodigiosin by Serratia marcescens grown ethanol. Biotechnol Lett 22: 1761-1765. Croft SL, K. Seifert, M. Duchene. 2002. Antiprotozoal activities of phospholipid analogues. Mol Biochem Parasitol 126: 165–172. Dhanasekaran D. Raj DM, Thajuddin N, Panneerselvam A. 2009. Production of prodigiosin from Serratia marcescens and its cytotoxicity activity. Pharm Res 2: 590593. Ganiswarna SG et al. 1995. Pharmacological Basis of Therapeutic. Di dalam: Gilman AG, editor. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Giri AV, Anandkumar N, Muthukumaran G, Pennathur G. 2004. A novel medium for the enhanced cell growth and production of prodigiosin from Serratia marcescens isolated from soil. BMC Microbiol 4: 1-10. Jungdon B, Hyunsoo M, Kyeong-Keun O, Chang-Ho K, Dae SL, Seung WK, Suk-In H. 2001. A novel bioreactor with an internal adsorbent for intergrated fermentation and recovery of prodigiosin like pigment produced from Serratia sp. Biotechnol Letts 23: 1315-1319. Khanafari A, Assadi MM, Fakhr FA. 2006. Review of prodigiosin, pigmentation in Serratia marcescens. Biol Sci 6: 1-13. Kim HB, Smith CP, Micklefield J, Mavituna F. 2004. Metabolic flux analysis for calcium dependent antibiotic (CDA) production in Streptomyces coelicolor. Metabol Eng 6: 313–325. Kim SJ et al. 2009. Statistical optimization of medium components for the production of prodigiosin by Hahella chejuensis KCTC 2396. J Microbiol Biotechnol 18: 19031907.